teori hukum positif

21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif dimulai dari suatu asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum Progresif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan menolak berbagai paham atau aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interressenjurisprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum Progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Tujuan dari hukum Progresif adalah untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status-quo, serta tidak 1

Upload: hielda-fausta

Post on 25-Dec-2015

54 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

teori hukum positif

TRANSCRIPT

Page 1: teori hukum positif

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Progresif dimulai dari suatu asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia,

bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta

final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.

Hukum Progresif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan menolak

berbagai paham atau aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence,

interressenjurisprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies. Hukum progresif

merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta

ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum Progresif menolak

pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan.

Tujuan dari hukum Progresif adalah untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal

hukum dan menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang

tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.

Secara lebih spesifik hukum Progresif antara lain bisa disebut sebagai "hukum yang pro-

rakyat" dan "hukum yang pro-keadilan". Pernyataan dan pemastian tersebut berlanjut sampai

kepada penentuan tentang teorisasinya serta bagaimana hukum akan bekerja dan dijalankan.

Gagasan hukum Progresif muncul karena kepribadian terhadap keadaan hukum di

Indonesia. Para pengamat, termasuk pengamat internasional sudah mengutarakannya dalam

berbagai ungkapan yang negatif, seperti sistem hukum di Indonesia termasuk yang terburuk di

dunia. Rakyat pun berpendapat demikian, namun mereka tidak mengutarakannya sebagai suatu

1

Page 2: teori hukum positif

tuturan yang jelas, melainkan melalui pengalaman konkret mereka dengan hukum sehari-hari,

seperti halnya kelemahan mereka berhadapan dengan hukum dan keunggulan orang kuat yang

cenderung lolos dari hukum.

Keadaan demikian lebih dalam perkembangannya lebih diperparah lagi dengan

kelemahan pada proses pembuatan hukum dan proses penegakan hukum di Indonesia. Secara

umum proses pembuatan hukum ke dalam bentuk tertulis (sebagai salah satu tuntutan hukum

modern untuk menjadi positif dan publik1).

Sementara itu kuatnya pengaruh paham positivisme secara umum menyebabkan proses

penegakan hukum yang cenderung legalistik, formalistik dan mekanistik. kondisi penegakan

hukum di Indonesia dari waktu ke waktu tampak tidak semakin baik. Hal tersebut dapat dilihat

dari beberapa indikator sebagai berikut:

1. Kebijakan yang bersifat partikularistik sehingga menyebabkan kesulitan dalam

mewujudkan sistem peradilan terpadu;

2. Kuatnya pengaruh kekuatan politik dan ekonomi yang membuat lembaga-lembaga

peradilan tidak independen;

3. Sistem rekrutmen dan pembinaan SDM (khususnya aparatur penegak hukum) yang belum

ideal;

4. Keterbatasan fasilitas pendukung proses penegakan hukum, termasuk system kontraprestasi

bagi aparatur penegak hukum dan akses peningkatan kapasitas diri;

5. Kurang berfungsinya mekanisme kontrol dalam penyelenggaraan peradilan.2

1Roberto Mangabeira Unger, 1976. Law in Modern Society: Toward a Critism of Social Theory, New York: TheFree Press, hlm, 238. 2 Abraham S. Blumberg, 1970. Criminal Justice System, Chicago: Quangdrale Books, hlm, 70.

2

Page 3: teori hukum positif

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari pendahuluan diatas,dalam penulisan Paper kali ini Penulis mencoba untuk

menitik beratkan pembahasan mengenai Hukum Progresif. Dengan pembahasan seperti berikut :

1. Mengapa disebut hukum Progresif ?

2. Apa prinsip dasar Hukum Progresif ?

3. dan bagaimana strategi pengembangannya ?

3

Page 4: teori hukum positif

BAB II

PEMBAHASAN

A. Mengapa disebut Hukum progresif ?

Sistem hukum modern yang telah terlanjur diformat dalam sekat-sekat pembagian bidang

hukum secara tradisional “hitam putih” (Perdata, Administrasi, Pidana dst.) menjadi gagap ketika

dituntut harus menyelesaikan perkara-perkara yang berada pada “ranah abu-abu” (tidak tampak

jelas batas antara persoalan etika, privat atau publik).

Secara paradigmatik dapat dijelaskan bahwa modernisme terkait dengan berkembangnya

tradisi pemikiran yang mengedepankan rasionalitas daripada hal-hal yang bersifat metafisika

sebagai mana yang berkembang dalam era sebelumnya. Tradisi pemikiran ilmu pengetahuan

didominasi paradigma Cartesian/Baconian/Newtonian telah merubah dunia menuju pada era

masyarakat modern dengan modernismenya. Secara singkat tradisi tersebut adalah cara berpikir

yang menonjolkan aspek rasional, logis, memecah/memilah (atomizing), matematis, masinal,

deterministik dan linier.

Perkembangan IPTEK yang sangat pesat pasca era “pencerahan” di dunia sains dan seni

secara nyata juga berpengaruh terhadap perkembangan (perubahan) di bidang sosial, politik,

ekonomi dan juga hukum. Di bidang sosial misalnya terjadi perubahan dari tipe masyarakat

agraris menuju pada masyarakat industri yang bersifat liberal. Di bidang politik tampak pada

terbentuknya negara modern dengan platform konstitusional dan demokrasinya. Di bidang

ekonomi muncul sistem perekonomian terbuka yang membuka pasar bebas dan cenderung

bersifat kapitalistik.

4

Page 5: teori hukum positif

Tak pelak lagi perubahan yang terjadi pada masyarakat modern tersebut juga diikuti

dengan perubahan pada tatanan hukumnya, yakni muncul dan berkembangannya tatanan hukum

modern atau lebih dikenal dengan sebutan hokum sistem hukum positif.

Pada awalnya sistem hukum positif dipandang bisa memberikan harapan untuk mengatur

berbagai persoalan pada masyarakat modern sehingga (diprediksikan) bias mencapai ketertiban

dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian, pada kenyataannya dan dalam perkembangannya,

sifat hukum positif yang netral dan liberal, justru menjadikan hukum modern semakin “terasing”

dari realitas-realitas yang terus berkembang semakin pesat.3

Surutnya kejayaan cara berpikir Cartesian/Baconian/Newtonian setelah munculnya teori-

teori baru pada dunia sains seperti teori relativitas dan teori keos telah merubah cara pandang

terhadap kebenaran. Pada kenyataannya metode berpikir secara mekanistis, terukur, linier dst.

pada positivisme menyebabkan terjadinya pereduksian makna dan manipulasi fakta yang

menyebabkan kegagalan dalam memahami realita secara benar dan utuh. Hal demikian

tampaknya terjadi pula pada model hukum modern yang masih bertahan dengan dominasi

positivisme-nya yang semakin sulit menjadi sarana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang

berkembang pada masyarakat pascaindustri.

Fenomena yang nampak jelas menunjukkan perubahan paradigma pada masyarakat

pascaindustri atau yang disebut juga sebagai masyarakat informasi adalah perkembangan IPTEK

telah mencapai tahap yang sangat mutakhir. Salah satu produk IPTEK yang kini menjadi simbol

kemajuan adalah IT (Information Technology). Teknologi inilah yang secara revolusioner

merombak paradigma-paradigma yang ada sebelumnya. Sebut saja misalnya perubahan

paradigma itu terjadi pada system teknologi, yakni dari sistem manual menjadi sistem

3 Achmad Ali, 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Ghalia Indonesia. Halaman 19.

5

Page 6: teori hukum positif

digital/elektronik, yang mengakibatkan perubahan terhadap realitas yang ada yakni dari hard

reality menjadi virtual reality atau hypperreality.

Perubahan-perubahan paradigma secara revolusioner tersebut yang dalam bahasanya

Thomas Khun disebut dengan istilah “lompatan paradigmatik”4 atau dalam bahasanya Fritjof

Capra disebut dengan istilah “ingsutan paradigma”, secara nyata telah menciptakan wajah baru

pada pola perilaku termasuk tatanan nilai-nilai di berbagai belahan dunia, sehingga lalu muncul

“era” atau “aliran” posmodernisme yang mencoba merespon, mengoreksi, mengkritisi bahkan

mengecam berbagai kesalahan dalam modernisme.

Sebenarnya secara filosofis ada aliran pemikiran yang dekat dengan semangat

posmodernisme, seperti: Legal Realism dan Critical Legal Studies. Legal realism antara lain

mengajarkan bahwa peraturan perundang-undangan bisa dikesampingkan jika ternyata

keberadaannya menghalangi pencapaian keadilan. Critical Legal Studies bahkan sejak awal

bersikap bahwa peraturan perundang-undangan harus dihindari karena proses penyusunannya

sarat dengan muatan kepentingan yang timpang.

Penerapan legal realism dan critical legal studies dalam praktek penegakan hukum di

Indonesia pada saat ini jelas tidak realistis karena keberadaan paradigm hukum positif masih

mendominasi dunia hukum di Indonesia. Disamping itu pada kenyataannya bagaimanapun

kritikan atau kecaman pascamodernisme terhadap modenisme toh terbukti belum mampu

menghadang derasnya arus liberalisme, kapitalisme dan positivisme.

Berkaitan dengan realitas-realitas tersebut maka konsep (penafsiran) hukum progresif

dianggap jalan tengah yang terbaik. “Ajaran” hukum progresif tidak “mengharamkan” hukum

positif namun tidak juga mendewakan ajaran hukum bebas. Progresivisme tetap berpijak pada

4 Thomas Khun, 1989. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (The Structure of Scientific Revolutions, diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja Karya CV, hlm, 57-83.

6

Page 7: teori hukum positif

aturan hukum positif, namun disertai dengan pemaknaan yang luas dan tajam. Keluasan dan

ketajaman pemaknaan hukum progresif bahkan lebih dari apa yang dikembangkan dalam

sociological jurisprudence, namun mencakup pula aspek psikologis dan filosofis.

B. Prinsip Dasar Hukum Progresif

Gagasan hukum progresif muncul sebagai reaksi keprihatinan terhadap keadaan hukum di

Indonesia yang sedemikian rupa sehingga muncul pendapat dari pengamat internasional hingga

masyarakat awam bahwa sistem hukum Indonesia masih jauh dari harapan dan memerlukan

pembenahan secara serius. Gagasan Hukum Progresif muncul sebagai reaksi atas “kegagalan”

hukum Indonesia yang didominasi doktrin positivism dalam menanggulangi kasus-kasus korupsi

dan pelanggaran hak asasi manusia.

Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah: “Hukum adalah untuk

Manusia”, bukan sebaliknya manusia yang dipaksa masuk dalam skema hukum. Bahkan hukum

dibuat bukanuntuk dirinya sendiri (hukum untuk hukum)5. Jadi manusialah yang merupakan

penentu dan dipahami dalam hal ini manusia pada dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin

mengeser landasan teori dari factor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum bukan lah

merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process,

law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang

berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap

rakyat.

Oleh sebab itu hukum progresif tidak menempatkan aturan hukum positif sebagai sumber

hukum yang paripurna. Manusia harus mampu memberikan makna pada sebuah aturan hukum

5 Dalam tataran praksis hal ini tampak pada ungkapan-ungkapan: “demi hukum”, “berdasarkan peraturanperundang-undangan”, “sesuai dengan prosedur yang berlaku”, penggunaan prinsip “praduga tak bersalah”secara berlebihan.

7

Page 8: teori hukum positif

melampaui teks yang tertulis guna mewujudkan keadilan yang substantif. Prinsip ini telah

mengispirasi praktek penegakan hukum secara progresif oleh para pekerja hukum6.

Dari sudut teori, maka hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence

atau rechtsdogmatiek dan mengarah pada tradisi sociological jurisprudence. Jadi sebenarnya

konsep hukum progresif bersentuhan, dipengaruhi atau berbagai dengan beberapa teori hukum

yang telah mendahuluinya, antara lain: Konsep hukum responsif (responsive law) yang selalu

dikaitkan dengan tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri; Legal Realism;

Freirerechtslehre; Critical Legal Studies.7 Sekalipun hukum progresif bersama aliran-aliran

hukum tersebut mengkritik doktrin hukum positif, namun hukum progresif sebenarnya tidak

antai terhadap keberadaan sistem hukum positif.

Konsep “progresivisme” bertolak dari pandangan kemanusiaan sehingga berupaya

merubah hukum yang tak bernurani menjadi institusi yang bermoral. Paradigma “hukum untuk

manusia” membuatnya merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta

aksi-aksi yang tepat untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan, kesejahteran dan

kepedulian terhadap rakyat. Dengan kata lain hukum progresif bersifat membebaskan manusia

dari kelaziman baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan maupun prosedur serta

kebiasaan praktik hukum. Dalam sistem hukum yang progresif, ahli hukum tidak hanya berperan

sebagai penegak hukum dalam arti sempit (menemukan hukum dalam aturan formal dan

menerapkannya) namun lebih dari itu harus mampu sebagai “kreator hukum”.

Sebagai institusi yang bermoral maka hukum progresif bermodal nurani (empathy;

compassion; dedication; determination; sincerely; dare) dan dijalankan dengan SQ. Jadi

kebebasan dalam membuat terobosan hukum atau memaknai hokum melampaui bunyi teks, tidak

6 Al. Wisnubroto, ”Kontribusi Hukum Progresif Bagi Pekerja Hukum”, Dalam: Myrna A. Savitri, et.al. (ed.),2011. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Jakarta: Epistema-Huma, hlm, 255.7 J. J. H. Bruggink, Alih bahasa Arif Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 55.

8

Page 9: teori hukum positif

dapat artikan sebagai tindakan semaunya atau sewenangwenang karena semua tindakan hukum

yang bersifat progresif harus dilandasi dengan argumentasi yang dibangun dengan konstruksi

bernalar yang kritis dan bias dipertanggungjawabkan secara rasional dan moral.

Dengan demikian menjalankan hukum secara progresif tidak semata-mata berpijak pada

rule and logic namun juga rule and behavior. Hal ini mengingatkan pada penyataan Oliver

Wendell Holmes: “…The live of the law has not been logic. It has been experience”.

Menggunakan hukum tidak semata-mata mengandalkan logika peraturan namun juga harus

mempertimbangkan hukum yang bersumber dari pengalaman empiris misalnya kearifan lokal.

Karena bertumpu pada dua pijakan yakni peraturan dan perilaku maka hokum progresif

tidak memposisikan hukum sebagai intuisi yang netral. Hukum Progresif merupakan hukum

yang berpihak yakni memberi perhatian pada yang lemah, pro rakyat dan pro keadilan 8. Hukum

yang diposisikan sebagai sebagai intuisi yang netral merupakan pengaruh dari paham liberalisme

yang apabila diterapkan pada situasi yang timpang justru cenderung menguntungkan pihak yang

kuat.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam mewujudkan tujuannya hokum bukanlah

merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process,

law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang

berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap

rakyat. Bahkan hukum progresif menginisiasi konsep “rule breaking” yakni merobohkan hukum

yang dipandang tidak mampu mewujudkan keadilan dan membangun kembali hukum yang lebih

baik.

8 Sudijono Sastroadmodjo, “Konfigurasi Hukium Progresif” dalam: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8Nomor 2, September 2005, hlm, 187.

9

Page 10: teori hukum positif

Menjalankan hukum progresif berarti meninggalkan cara berhukum dengan “kacamata

kuda” (masinal, atomizing, mekanistik, linier) dan merubahnya menjadi pada cara pandang yang

utuh (holistic) dalam membaca aturan dan merekonstruksi fakta. Dengan demikian Dalam

menghadapi situasi yang bersifat extraordinary pekerja hukum harus menjalankan profesi atau

tugas melampaui batas beban tugasnya (Mesu budi/doing to the utmost).

Akhirnya, masalah interpretasi atau penafsiran menjadi sangat urgen dalam

pemberdayaan hukum progresif dalam rangka untuk mengatasi kemandegan dan keterpurukan

hukum. Interpretasi dalam hokum progresif tidak terbatas pada konvensikonvensi yang selama

ini diunggulkan seperti penafsiran gramatikal, sejarah, sistematik dan sebagainya, namun lebih

dari itu berupa penafsiran yang bersifat kreatif dan inovatif sehingga dapat membuat sebuah

terobosan dan “lompatan” pemaknaan hokum menjadi sebuah konsep yang tepat dalam

menjangkau hukum yang bermoral kemanusiaan.

Dengan demikian sebenarnya penegakan hukum progresif tidak hanya terbatas dari sisi

penerapan hukum namun seyogyanya ditopang oleh sisi formulasi hukumnya. Jadi “PR” kita

untuk membumikan gagasan hukum progresif masih sangat panjang.

C. Strategi Pengembangan

Kehadiran gagasan Hukum Progresif merupakan harapan baru dalam memperbaiki

keterpurukan penegakan hukum di Indonesia. Gagasan hukum progresif bisa dipandang sebagai

sarana untuk mendayagunakan hukum dalam mewujudkan tujuan keadilan sosial dan

kesejahteraan masyarakat.

10

Page 11: teori hukum positif

Disisi lain setelah berjalan lebih dari satu dekade sejak dicetuskan oleh penggagasnya

(Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.), muncul pula kekhawatiran terhadap keberadaan hukum

progresif, terutama semenjak berpulangnya Sang Penggagas.

Kekaguman yang berlebihan pada Sang Begawan Ilmu Hukum selaku penggagas hokum

progresif, justru berdampak pada stagnasi pemikiran guna mengembangkan hukum progresif.

Konsep gagasan hukum progresif diposisikan seolah bagai “ayat-ayat suci” bagi kalangan

akademisi maupun praktisi yang menyebut dirinya, entah sebagai “cantriknya Prof. Tjip”, entah

sebagai “penganut mashab hokum progresif”. Bila hal ini terjadi maka sebenarnya perlakuan

terhadap hukum progresif justru bertentangan karakter hukum progresif sebagai “Law on going

process” atau “Law in the making” yang tidak pernah final dalam mencari bentuknya.

Sejumlah praktisi mulai banyak yang tertarik pada aliran hukum progresif. Mereka

mengatakan prinsip-prinsip hukum progresif lebih operasional dari pada aliran hukum yang lain

(misalnya aliran hukum kritis). Namun demikian mereka menghendaki terwujudnya “kisi-kisi

hukum progresif” sebagai “pedoman baku” dalam menjalankan profesinya. Bila hal ini terjadi

maka hukum progresif justru akan terbelenggu pada cara tradisi positivisme. Padahal doktrin

positivisme merupakan sesuatu yang dikritik keras dan hendak diperbaiki oleh hukum progresif.

Sementara para aktivis gerakan advokasi masyarakat memahami hokum progresif sebagai

sebuah gerakan dengan mengkaitkan dengan gerakan people power dan progressive lawyer yang

berideologi anti kemapanan dan “kekiri-kirian”. Hal tersebut patut direspons secara kritis karena

sekalipun ada beberapa spirit yang bersesuaian namun ada prinsip-prinsip dan tradisi yang

kurang pas.

Fenomena sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan tantangan pengembangan

hukum progresif yang bersifat eksternal. Disamping itu terdapat pula tantangan eksternal

11

Page 12: teori hukum positif

terhadap pengembangan hukum progresif. Kalangan ahli hokum yang berbasis doktrin

positivisme seringkali memandang gagasan hukum progresif secara keliru. Gagasan hukum

progresif dipandang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. Pemaknaan secara luas

dipandang kaum positivis sebagai ketidaktertiban atau kesewenangan. Bahkan aksi terobosan

hukum yang ditawarkan hukum progresif dianggap sebagai langkah yang ”membahayakan”

sistem hukum.

Terkait dengan tantangan-tantangan tersebut maka diperlukan strategi untuk

mengembangkan hukum progresif agar bisa diterima sebagai alternatif pembaharuan hukum di

Indonesia. Merubah tradisi hukum modern yang dibagun dengan doktrin positivisme bukan hal

yang mudah, bahkan bisa dikatakan tidak realistis. Terlebih lagi gagasan hukum progresif jauh

lebih muda bila bidandingkan dengan aliran hokum yang telah ada sebelumnya. Yang paling

mungkin dilakukan adalah dengan melakukan gerakan internalisasi spirit hukum progresif dalam

pengembangan hukum baik dalam tataran keilmuan maupun tataran praksis.

Penolakan atau pandangan keliru terhadap gagasan hukum progresif pada umumnya

disebabkan karena pemahaman yang tidak utuh terhadap konsep hokum progresif. Penjelasan

yang lengkap dan bernas mengenai apa dan bagaimana hokum progresif diharapkan bisa

merubah cara pandang dan perilaku dalam berhukum. Ini merupakan tantangan tersendiri sebab

tidak mudah menjelaskan konsep hokum progresif yang utuh dalam waktu yang singkat.

Dalam tataran keilmuan gagasan hukum progresif memang masih belum bias diakui

sebagai sebuah teori. Upaya kajian akademis secara serius harus terusmenerus dilakukan guna

menemukan landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis yang mantab. Kajian-kajian yang

bersifat akademis tidak semata-mata menempatkan hukum progresif sebagai subjek namun juga

sebagai objek kajian. Dengan cara tersebut kajian terhadap hukum progresif bisa bersifat

12

Page 13: teori hukum positif

konstruktif maupun secara kritis, sehingga bisa semakin memperkokoh landasan keilmuan

gagasan hukum progresif.

Tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan hukum progresif dalam dunia praktek

hukum. Hal ini bisa dilakukan dengan upaya mendorong agar sikap, perilaku, cara bernalar serta

cara bertindak dalam penerapan hukum mengacu spirit dan prinsipprinsip hukum progresif.

Tantangan yang harus dihadapi tentu saja adalah system hukum Indonesia yang hingga kini

masih didominasi doktrin positivisme. Namun demikian secercah harapan muncul ketika

beberapa organisasi advokasi hukum dan lembaga peradilan mulai menggunakan spirit hukum

progresif.

13

Page 14: teori hukum positif

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Penerapan prinsip-prinsip hukum progresif dalam dinamika advokasi hokum termasuk di

dunia peradilan, disatu sisi hukum progresif bisa bermanfaat dalam peningkatan kualitas

penegakan hukum dan keadilan, disis lain hukum progresif juga semakin teruji guna

penyempurnaan dirinya. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dalam arti

merobohkan tatanan hukum yang lama dan membangun kembali tatanan hukum yang lebih baik.

Akhir kata penulis berpendapat bahwa gagasan hukum progresif pada hakekatnya merupakan

pembaharuan tradisi berhukum. Oleh sebab itu pengembangan hukum progresif memerlukan

sebuah gerakan intelaktual untuk mewujudkan tradisi berhukum yang lebih baik.

14