terapi medik nyeri pada lansia

29
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Anonim, 2011). Dikutip dalam Eko (2013), insiden nyeri meningkat dengan bertambahnya umur. Nyeri diderita oleh seperempat dari lanjut usia (lansia). Pada komunitas sebanyak 25-50% lansia menderita nyeri kronik, sedangkan pada nursing home prevalensinya 45-85%. Prevalensi nyeri kronik yang tinggi dan menurunnya kualitas hidup lansia menyebabkan beberapa organisasi dunia seperti International Association for the Study of Pain (IASP), the American Geriatrics Society, the Australian Pain Society, the British Geriatric Society, the British Pain Society, the American Medical Directors Association (AGS) dan the European Federation of IASP Chapter memandang perlu untuk memberikan prioritas pada manajemen nyeri pada lansia, dengan membuat guideline assessment dan manajemen nyeri pada lansia. Berdasarkan 1

Upload: rhiirii-chiiechemonkk-gonjezz

Post on 29-Dec-2015

255 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

TUGAS WIRNA EKA HARAP

TRANSCRIPT

Page 1: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi

seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya.

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah

sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat

terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Anonim, 2011).

Dikutip dalam Eko (2013), insiden nyeri meningkat dengan

bertambahnya umur. Nyeri diderita oleh seperempat dari lanjut usia

(lansia). Pada komunitas sebanyak 25-50% lansia menderita nyeri kronik,

sedangkan pada nursing home prevalensinya 45-85%. Prevalensi nyeri

kronik yang tinggi dan menurunnya kualitas hidup lansia menyebabkan

beberapa organisasi dunia seperti International Association for the Study

of Pain (IASP), the American Geriatrics Society, the Australian Pain

Society, the British Geriatric Society, the British Pain Society, the

American Medical Directors Association (AGS) dan the European

Federation of IASP Chapter memandang perlu untuk memberikan prioritas

pada manajemen nyeri pada lansia, dengan membuat guideline assessment

dan manajemen nyeri pada lansia. Berdasarkan guideline tersebut setiap

lansia yang periksa ke dokter harus dilakukan assessment nyeri.

Nyeri kronik yang paling sering diderita oleh lansia adalah kelainan

muskuloskeletal (osteoartritis, artritis inflamasi, stenosis spinal, degenerasi

diskus), dan nyeri neuropatik. Nyeri pada lansia sering disertai depresi,

kecemasan, gangguan tidur, nafsu makan menurun, dan gangguan kognitif

sehingga pada akhirnya kualitas hidu penderita menurun. Menejemen

nyeri pada lansia berbeda dengan pasien muda. Penyebab, komorbiditas,

efek samping pengobatan, dan respon terhadap nyeri dan pengobatannya

berbeda dengan pasien yang muda. Terapi farmakologi pada lansia sering

menimbulkan efek samping terutama analgesik, NSAID, dan opiat. Opiat

cukup efektif untuk mengobati nyeri kronik pada lansia tetapi dokter

1

Page 2: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

sering enggan menggunakan opiat karena khawatir terjadi adiksi.

Manajemen nyeri yang efektif pada lansia meliputi pendekatan

farmakologi dan non-farmakologi. Meskipun memiliki risiko yang tinggi

terjadinya efek samping, intervensi farmakologi masih merupakan

modalitas utama dalam pengobatan nyeri pada lansia (Eko, 2013).

Pendekatan farmakologi meliputi pemberian obat analgesik non-

opiat, analgesik opiat, dan analgesik ajuvan. Dalam manajemen nyeri pada

lansia dokter harus mempertimbangkan perubahan metabolisme obat

karena umur, efek samping obat, interaksi antara obat dan penyakit, serta

interaksi obat dengan obat. Disarankan untuk memberikan dosis titrasi dan

pendekatan start low and go slow. Pada lansia sensitivitas terhadap

analgesik meningkat sehingga diperlukan dosis yang lebih sedikit

dibandingkan orang muda. Perlu dilakukan pemantauan yang hati-hati

terhadap lansia yang menggunakan berbagai macam obat, bukan hanya

memperhatikan efektivitas obatnya saja tetapi juga kemungkinan

terjadinya efek samping obat (Eko, 2013).

Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang terapi

medik yang dianjurkan untuk mengatasi nyeri pada lansia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasrakan latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi

fokus pembahasan dalam makalah ini yaitu tentang “Bagaimana terapi

medik yang dianjurkan untuk mengatasi nyeri pada lansia ?”

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan makalah ini yaitu agar para pembaca dapat

mengetahui tentang terapi medik yang dapat diberikan kepada lansia untuk

mengatasi nyeri.

2

Page 3: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penulisan makalah ini yaitu agar para pembaca dapat

memahmai lebih dalam tentang terapi medik nyeri pada lansia, meliputi.

1. Definisi nyeri.

2. Fisiologi nyeri.

3. Perubahan persepsi nyeri berhubungan dengan usia.

4. Penanganan rasa nyeri.

5. Penggolongan analgetika.

6. Penatalaksanaan farmakologis.

7. Penetapan dosis.

3

Page 4: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Nyeri

Menurut Tjay (2007;312), nyeri adalah perasaan sensoris dan

emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri

merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri

berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan,

yakni pada 44-45 0C.

Menurut Hidayat (2009;214), nyeri merupakan kondisi berupa

perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan

nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan

hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa

nyeri yang di alaminya.

2.2 Fisiologi Nyeri

Menurut Tjay (2007;312), rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya

merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang

adanya gangguan di jaringan misalnya seperti peradangan, infeksi jasad

renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis,

kimiawi atau fisis (kalor, listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada

jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan mediator nyeri seperti

histamin, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin.

Semua mediator nyeri itu merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di

ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian

menimbulkan antara lain reaksi radang dan kejang-kejang. Nociceptor

juga terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari

tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-

tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum belakang, sumsum

lanjutan dan otak tengah. Dari talamus impuls kemudian diteruskna ke

pusat nyeri di otak besar, di mana impuls dirasakan sebagai nyeri.

4

Page 5: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

Mediator penting adalah amin histamin yang bertanggung jawab

untuk kebanyakan reaksi alergi (bronchokonstriksi, pengembangan

mukosa, pruritus) dan nyeri. Bradikinin adalah polipeptida (rangkaian

asam amino) yang dibentuk dari protein plasma. Prostaglandin mirip

strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arachidonat.

Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) di mana nyeri

dirasakan untuk pertama kalinya. Untuk setiap orang ambang nyerinya

adalah konstan.

2.3 Perubahan Persepsi Nyeri Berhubungan dengan Usia

Pada lansia terjadi perubahan pada serat saraf A (delta) yang

berfungsi untuk menghantarkan transmisi epikritik, nyeri yang terlokalisir

dan berlangsung cepat, sedangkan serat saraf C yang berfungsi untuk

transmisi protopatik, nyeri yang sulit dilokalisir dan berlangsung lambat,

relatif tidak begitu terganggu. Respon otak terhadap stimuli nyeri juga

melambat. Perubahan-perubahan ini dapat menerangkan terjadinya

kesulitan pada orang tua untuk mendiskripsikan dan melokalisir nyeri.

Berkurangnya kemampuan untuk memodulasi nyeri dan inhibisi desenden

menyebabkan tingginya prevalensi dan beratnya nyeri pada lansia (Eko,

2013).

2.4 Penanganan Rasa Nyeri

Menurut Tjay (2007;313), berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri

dapat diatasi dengan beberapa cara yaitu.

1. Analgetika perifer, yang merintangi terbentuknya rangsangan pada

reseptor nyeri perifer.

2. Anestetika lokal, yang merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf

sensoris.

3. Analgetika sentral (narkotika), yang memblokir pusat nyeri di sistem

saraf pusat dengan anestesi umum.

4. Antidepresiva trisiklis, yang digunakan pada nyeri kanker dan saraf,

mekanisme kerjanya belum diketahui, misalnya amitriptilin.

5

Page 6: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

5. Antiepileptika, yang meningkatkan jumlah neurotransmitter di ruang

sinaps pada nyeri, misalnya pregabalin, karbamazepin, okskarbazepin,

fenitoin, valproat, dll.

Pada pengobatan nyeri dengan analgetika, faktor-faktor psikis turut

memegang peranan. Obat-obat di bawah ini dapat digunakan sesuai

dengan nyeri.

1. Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer seperti

parasetamol, asetosal, mefenaminat, propifenazon atau

aminofenazon, begitu pula nyeri dengan demam.

2. Nyeri sedang dapat ditambahkan dengan kafein atau kodein. Nyeri

yang disertai pembengkakkan atau akibat trauma sebaiknya diobati

dengan analgetikum antiradang, seperti aminofenazon dan NSAID

(ibuprofen, mefenaminat, dan lain-lain).

3. Nyeri hebat perlu ditanggulangi dengan morfin atau opiat lainnya

(tramadol).

4. Nyeri pada kanker umunya diobati menurut suatu skema bertingkat

empat yaitu.

a. Obat perifer per oral atau rektal : parasetamol dan asetosal.

b. Obat perifer bersama kodein atau tramadol.

c. Obat sentral (opioid) per oral atau rektal.

d. Obat opioid parenteral.

5. Polyneuropati merupakan suatu gangguan saraf perifer dengan

perasaan seperti ditusuk-tusuk, kelemahan otot, hilang refleks yang

diawali dari jari-jari, kemudian menimbulkan kelumpuhan pada

kedua kaki dan tangan. Nyeri ini sukar diatasi dengan analgetika

klasik (parasetamol, NSAIDs dan opioid) karena tidak bersifat

nociceptif. Yang efektif adalah antidepresiva trisiklis dan

antiepileptika, tunggal atau juga sebagai tambahan pada zat opioid

seperti tramadol dan fentanil.

6. Neuralgia postherpetis (setelah sembuh dari herpes zoster) di sekitar

bagian atas tubuh dan neuralgia trigeminus di wajah juga

6

Page 7: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

merupakan gangguan saraf perifer terkenal. Untuk pengobatan

umumnya digunakan amitriptilin, karbamazepin, atau juga

gabpentin, fenitoin dan valproat.

2.5 Penggolongan Analgetika

Menurut Tjay (2007;313), berdasarkan kerja farmakologisnya,

analgetika dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu.

1. Analgetika perifer (non-narkotik)

a. Penggolongan

Secara kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi ke dalam

beberapa kelompok yaitu.

1) Parasetamol

2) Salisilat : asetosal, slisilamida, dan benorilat.

3) Penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll.

4) Derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin.

5) Derivat-pirazolinon : propifenazon, isopropilaminofenazon dan

metamizol.

6) Lainnya : Benzidamin (Tantum).

b. Penggunaan

Obat-obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa

nyeri tanpa memengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga

tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya

antipiretis dan/atau antiradang. Oleh karena itu, tidak hanya

digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga pada demam

(infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan peradangan seperti rema

dan encok. Obat-obat ini banyak diberikan untuk nyeri ringan

sampai sedang, yang penyebabnya beraneka ragam, misalnya nyeri

kepala, gigi, otot atau sendi (rema, encok), perut, nyeri haid

(dysmenorre), nyeri akibat benturan atau kecelakaan (trauma).

7

Page 8: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

c. Efek samping

Yang paling umum adalah gangguan lambung-usus, kerusakan

darah, kerusakan hati dan ginjal, dan juga reaksi alergi kulit.

Untuk ibu hamildan menyusui, hanya parasetamol yang

dianggap aman. Asetosal dan salisilat, NSAIDs dan metamizol dapat

mengganggu perkembangan janin, sehingga sebaiknya dihindari.

d. Zat-zat tersendiri

1) Aminofenazon: aminopyrin (F.I) amidopyrin, pyramidon.

Derivat-pirazolinon ini (1887) berkhasiat analgenis,

antipiretis dan antiradang. Resopsinya di usus cepat, mulai

kerjanya sesudah 30-45 menit, plasma-t ½-nya 2-7 jam. Karena

efek sampingnya terhadap darah (agranulositosis, leukopenia)

sering fatal, obat ini sudah sejak tahun 1980-an dilarang

peredarannya di banyak negara. Bila timbul borok-borok kecil di

mulut, nyeri tenggorok atau demam (tanda-tanda

agranulositosis), pengobatan harus segera di hentikan.

Kehamilan dan laktasi. Semua obat dari kelompok

pirazolinon tidak boleh digunakan selama kehamilan dan laktasi.

Dosis: 3 dd 300-600 mg, maksimal 3 g/hari.

2) Asam asetisalitasilat (F.I): asetosal, aspirin, cefanol, naspro.

Asetosal adalah obat anti-nyeri tertua (1899), yang sampai

kini paling banyak digunakan di seluruh dunia. Zat ini juga

berkhasiat anti-demam kuat dan pada dosis rendah sekali (80 mg)

berdaya menghambat agregasi trombosit. Efek antitrombotis ini

tidak reversible dan berdasarkan blokade enzim cyclo-oxyigenase

(COX-1) yang bertahan selama hidupnya trombosit. Dengan

demikian sintesa tromboksan A2 (TxA2) – yang bersifat

trombotis dan vasokonstriktif-dihindarkan. Pada dosis lebih besar

dari normal (diatas 5 g sehari) obat ini juga berkhasiat antiradang

akibat gagalnya sintesa prostaglandin-E (PgE2).

8

Page 9: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

Penggunaan. Selain merupakan analgetikum asetosal dewasa

ini banyak digunakan sebagai alternatif dari antikoagulasia untuk

obat pencegah infrak kedua setelah terjadi serangan. Hal ini

berkat daya antitrombotisnya. Obat ini juga efektif untuk

profilaksis serangan stroke kedua setelah menderita TIA

(transient ischaenic attack serangan kekurangan darah sementara

di otak), terutama pada pria.

Resorpsinya cepat dan praktis lengkap, terutama di bagian

pertama duodenum. Namun, karena bersifat asam, sebagian zat

diserap juga di lambung. BA-nya lebih rendah akibat FPE dan

hidrolisa selama resorpsi. Mulai efek analgetis dan antipiretisnya

cepat, yakni selama 30 menit dan bertahan 3-6 jam,

kerjaantiradangnya baru nampak setelah 3-6 jam, kerja

antiradangnya baru nampak setelah 1-4 hari. Reserpsi dan rectum

lambat dan tidak menentu, sehingga dosisnya perlu digandakan.

Dalam hati zat ini segera dihdrolisa menjadi asam salisilat

dengand aya antinyeri lebih ringan. PP-nya 90-95%, plasma-t ½

naya 15-20 menit masa paruh asam salisilat adalah 2-3 jam pada

dosis 1-3 g/hari.

Efek samping yang paling sering terjadi berupa iritasi

mukosa lambung dengan resiko tukak lambung dan perdarahan

samar (occult). Penyebabnya adalah sifat asam dari asetosal,

yang dapat dikurangi melalui kombinasi dengan suatu antasidum

(MgO aluminiumhidroksida, CaCO3) atau digunakan garam

kalsiumnya (carbasalat). Pada dosis besar faktor lain memegang

peranan, yakni hilangnya efek pelindung dari prostacyclin (PgI2)

terhadap mukosa lambung yang sintesanya turun dihalangi akibat

blokade cyclo-oxygenase.

Selain itu asetosal menimbulkan efek spesifik, seperti reaksi

alergi kulit dan tinnitus (telinga berdengung) pada dosis lebih

tinggi efek yang lebih serius adalah kejang0kejang bronchi hebat,

yang pada pasien asma dapat menimbulkan serangan, walaupun

9

Page 10: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

dalam dosis rendah. Anak-anak kecil yang menderita cacar air

atau flu/selesma sebaiknya jarang diberikan asetosal (melainkan

paresetamol) karena beresiko terkena sindrom rye yang

berbahaya. Syindrom bercirikan muntah berat, termanggu-

manggu, gangguan pernapasan, konvulsi dan adakalanya koma.

Dosis : pada nyeri dan demam oral 4 dd 0,5-1 g p.c maks 4 g

sehari, anak-anak sampai 1 tahun 10 mg/kg 3-4 kali sehari, 1-12

thn 4-6 dd, diatas 12 thn 4 dd 320-500 mg, maks 2 g/hari. Rektal

dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak sampai 2 thn 2 dd 20 mg/kg, di

atas 2 thn 3 dd 20 mg/kg p.c. pada rema oral dan rektal 6 dd 1 g,

maks 6 g/hari, pada serangan migrain single dose dari 1 g, 15-30

menit sesudah minum domperidon atau metoklopramida.

3) Metilsalisilat (Wintegreen oil, sloant’s liniment) adalah cairan

dengan bau khas yang diperoleh dari daun dan akar tumbuhan

akar wangi (Gaultheria procumbens). Zat ini juga di buat

sintetis. Khasiat analgetisnya pada penggunaan likal sama

dengan senyawa salisilat lainnya. Metilsaisilat diresopsi baik

oleh kulit dan banyak digunakan dalam obat gosok dan krem (3-

10%) untuk nyeri otot, sendi, dll penggunaan oras sebanyak 30

ml sudah bisa fatal, terutama sama anak-anak yang sangat peka

untuk.

2. Analgetik narkotik

a. Definisi

Analgetik narkotik (opioid) adalah obat-obat yang daya kerjanya

meniru opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi dari

reseptor-reseptor opioid. Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor opioid

khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon semosional terhadap

nyeri berubah.

10

Page 11: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

b. Mekanisme kerja

Endorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor

nyeri di SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetik

opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa

reseptor nyeri yang belum ditempati endorfin. Tetapi bila analgetik

tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor

baru distimulasi dan produksi endorfin di ujung saraf otak dirintangi.

Akibatnya terjadilah efek ketagihan.

c. Efek samping umum

1) Sipresi SSP, misalnya sedasi, menekan pernapasan dan batuk,

miosis, hipotermia, dan perubahan suasana jiwa (mood).

2) Saluran napas, bronchokonstriksi, pernapasan menjadi lebih

dangjal dan frekuensinya menurun.

3) Sistem sirkulasi, vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi hipotensi

dan bardikardia.

4) Saluran cerna, motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter

kandung empedu (kolik batu empedu), sekresi pankreas, usus

dan empedu berkurang.

5) Saluan urogenital, retensi urine (karena naiknya tonus dari

sfingter kandung kemih), motilitas uterus berkurang (wakttu

persalinan diperpanjang).

6) Histamin-liberator, urtikaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi

pelepasan histamin.

7) Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama. Bila

terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensi.

d. Zat-zat tersendiri

1) Morfin (F.I): MTS continus, MS Contin, Kapanol

Candu atau opium adalah getah yan dikerinkan dan diperoleh

dari tubuh-tumbuhan Papaver somniferum (Lat. menyebabkan

tidur). Morfin mengandung dua kelompok alkaloida yan secara

11

Page 12: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

kimiawi sanat berlainan. kelompok fenantren meliputi morfin,

kodein dan tebain, kelompok kedua adalah kelompo isokinolin

denan struktur kimiawi dan khasiat amat berlainan (a.l non-

narkotik) dan narsein. morfin berkhasiat analgetis sanat kuat, lai

pula memiliki banyak jenis kerja pusat lainnya, a.l sedatif dan

hipnotis, menimbulakan euforia, menakan pernapasan dan

menhilangkan refleks batuk yang semuanya berdasarkan supresi

susunan saraf puasat (SPP). morfin yan jua menimbulkan efek

stimulasi SPP mis. miosis (penciuta pupil mata), eksitasi dan

konvulsi. daya stimulasinya pada CTZ mengakibatkan mual dan

mentah-muntah. efek perifernya yang pentin adalah obstipasi,

retensi kemih dan pelepasan histamin yang mengakibatkan

vasodilatasi pembuluh kulit dan gatal-gatal (urtikaria).

Penggunaanya khusus pada nyeri hebat akut dan kronis,

seperti pasca edah dan setelah infark jantung, juga pada fase

terminal dari kanker. banyak digunakan sebagai tablet retard

untuk memperpanjang kerjanya.

Resorpsinya di usus baik, tetapi BA-nya hanya k.l 25% akibat

FBE besar. mulai kerjanya setelah setelah 1-2 jam dan

bertambah sapai 7 jam. resorpsi dan suppositoria umumnya

sedikit lebih baik, secara s.c / i.m baik sekali. PP-nya 35%

dalam hati 70% dari morfin dimetaboisasi melalui senyawa

konyugasi dengan asam glukuronat menjadi morfin-3-

glukuronida yang tidak aktif dan hanya sebagian kecil (3%) dari

julah ini terbentuk morfin 6-glukuroninda dengan daya

analgesik lebih kuat dari morfin sendiri. ekskresinya melalui

kemih, empedu dengan siklus enterohepatis dan tinja.

2) Kodein (F.I): metilmorfin Codipront

Alkoholida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan

induknya, tetapi lebih lemah, misalnya efek analgetiknya 6-7 x

kurang kuat. efek samping dan resiko adiksinya lebih ringan,

12

Page 13: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

sehingga sering digunakan sebagai obat batuk, obat anti diare

dan obat anti nyeri, yang diperkuat melalui kombinasi dengan

parasetamol / asetosal. obstipasi dan mual dapat terjadi terutama

pada dosis lebih tinggi (diatas 3 dd 20 mg). Resorpsi oral dan

rektal baik, di dalam hati zat ini dimentilasi menjadi norkodein

dan morfin (10%) yang memberikan sifat analgetiknya.

Eksresinya lewat kemih sebagai glikuronida dan 10% secara

utuh.

3) Metadon

Zat ini adalah salah satu campuran resemis, yang memiiki

daya analgetik 2x lebih kuat daripada morfin dan hanya

berkhasiat anastetik lokal. resorpsinya din usus baik, PP-nya

90%, plamanya-t1/2 nya rata-rata 25 jam dan efeknya dapat

bertahan sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi para

pecandu. umumnya metadon tidak memimbulkan euforia,

sehingga banyak digunanakan untuk menghindari gejala

abstinensi setelah penghentian penggunaan opioida lain. khusus

digunakan pada para pecandu sebagai obat pengganti heroin dan

morfin pada terapi substitusi.

Efek samping kurang hebat dari morfin, terutama efek

hipnotis dan euforiaya lemah, tetapi bertahan lebih lama.

penggunaan lama juga menimbulkan adiksi yang lebih mudah

disembuhkan. Efek obstipasinya agak ringan, tetapi

penggunaannya selama persalinan harus dengan berhati-hati

karena dapat menakan pernapasan.

2.6 Penatalaksanaan Farmakologis (Anonim, 2010)

2.6.1 Analgesik Non-Opioid

Asetaminofen (Tylenol) dan aspirin adalah dua jenis analgesik non-

opioid (non-narkotik) yang paling sering digunakan. Obat-obat ini bekerja

terutama pada tingkat perifer untuk mengurangi nyeri. Efek analgesik dari

13

Page 14: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

obat-obat tersebut sama (1000 mg/dosis adalah optimal) tetapi efek anti

inflamasinya bervariasi. Obat ini biasanya tidak bisa membantu menangani

nyeri inflamasi seperti arthritis rheumatoid atau osteoarthritis karena

asetaminofen memiliki sedikit efek antiinflamasi.

Walaupun asetaminofen secara umum aman, dan mudah dibeli, obat

ini memiliki efek samping utama, yaitu hepatotoksik. Perawat harus

memantau dosis harian asetaminofen untuk memastikan dosisnya kurang

dari 4000 mg/hari.

Aspirin adalah salah satu obat antiinflamasi nonsteroid (Non-Steroid

Anti-Inflamatory Drugs [NSAID]). Penghilang nyeri yang bernilai untuk

banyak tipe nyeri, NSAID bekerja dengan menghambat sintesis

prostaglandin, mediator penting dalam nyeri dan inflamasi. Obat-obat

NSAID sangat efektif dalam menurunkan nyeri dan inflamasi pada banyak

kondisi yang umum terjadi pada lansia seperti arthritis rheumatoid,

osteoarthritis, nyeri punggung dan leher, nyeri pascaoperasi, sakit gigi, dan

nyeri yang bermetastasis pada tulang.

NSAID bukannya tanpa efek samping, yang paling sering adalah

gangguan pada gastrointestinal. Kemungkinan efek samping lain termasuk

perdarahan gastrointestinal (dua pertiganya asimptomatik sebelum terjadi

perdarahan), retensi cairan dan komplikasi ginjal. Beberapa NSAID

dianjurkan untuk lansia karena obat-obat tersebut kurang menyebabkan

iritasi GI yaitu Salsalat (Disalcid), Kolin Magnesium Trisalisilat

(Trisilate), Diflunisal (Dolobid), Dan Nabumeton (Relafen). Jika terjadi

masalah GI, Misoprostol (Cytotex) dapat diberikan untuk melawan efek

samping NSAID pada gastrointestinal.

Piroksikam (Feldene) adalah NSAID dengan waktu paruh panjang

yang dapat menimbulkan akumulasi masalah, terutama pada orang yang

mengakami disfungsi hepar atau ginjal. Indometasin (Indocin) adalah

NSAID lain yang tampaknya memiliki peningkatan efek pada ginjal.

Kedua NSAID ini tidak dianjurkan untuk lansia.

Ketika memulai pengobatan pada lansia dengan NSAID, dokter

sering meresepkan setengah sampai dua pertiga dari dosis yang dianjurkan.

14

Page 15: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

Dosis kemudian ditingkatkan secara perlahan-lahan (setiap minggu)

sampai tercapai dosis yang dianjurkan.

2.6.2 Analgesik Opioid

Analgesik opioid (narkotik) bekerja dengan cara melekatkan diri

pada reseptor-reseptor nyeri spesifik di dalam SSP. Opioid

direkomendasikan untuk nyeri sedang sampai berat. Terdapat dua jenis

opioid : analgesik agonis murni (jenis morfin) dan campuran agonis-

antagonis Pentazocin (Talwin), Nalbufin (Nubain), Dan Butorfanol

(Stadol).

Agonis murni memiliki tempat yang penting dalam meredakan nyeri.

Obat-obat ini berbeda terutama dalam potensi, durasi kerja, dan efek

sampingnya pada lansia. Agonis murni memiliki keuntungan dengan

tersedianya dalam berbagai rute dan variasi, dan efek analgesiknya tidak

memiliki batas atas.

Morfin adalah analgesik opioid standar di antara jenis lain yang

dibandingkan. Morfin, oksikodon (Oxycontin), dan hidromorfon

(Dilaudid) dianjurkan diberikan secara oral untuk lansia yang sedang

dalam keadaan nyeri berat. Fenatanil (koyo Duragesik) sangat berguna

untuk pasien rawat inap yang memiliki penyakit berat atau kronis yang

tidak dapat menelan. Kodein dan Oksikodon (Percodan, Tylox) dianjurkan

untuk nyeri ringan sampai sedang. Dolofin (Methadone) dan Levorfanol

(Levodromoran) harus dihindari untuk lansia karena obat-obat ini memiliki

waktu paruh yang panjang dan dapat berakumulasi dan menyebabkan

sedasi berlebihan dan masalah-masalah SSP yang lain.

Konstipasi dan mual atau muntah adalah dua efek samping opioid

yang sering terjadi. Motilitas GI dapat berkurang, yang mengakibatkan

konstipasi. Mual adalah efek samping opioid yang salah dianggap sebagai

reaksi alergi. Untuk pemberian opioid yang terjadwal secara teratur

sepanjang waktu, terutama dengan nyeri kanker atau nyeri kronis yang

lain, obat antiemetic harus diberikan sampai mual berkurang. Sedasi

adalah kemungkinan efek samping yang lain.

15

Page 16: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

Depresi pernafasan adalah efek samping opioid yang umumnya

ditakuti. Namun, depresi pernafasan jarang terlihat pada pasien yang

menggunakan opioid dalam waktu lama karena nyeri atau stress (atau

keduanya) merupakan stimulus untuk bernafas. Pasien tidaka akan

mengalami depresi pernafasan pada saat terjaga.

Lansia lebih sensistif terhadap aksi dan efek samping obat, terutama

hipnotik dan opioid. Ukuran tubuh dan volume tubuh total telah berkurang.

Sebagai akibat dari berkurangnya klirens hepatic dan renal, durasi aksi

obat menjadi lebih lama, sehingga memberikan kesempatan kadar toksik

terakumulasi di dalam tubuh. Dehidrasi dan hemokonsentrasi yang

menyertainya, yang umum terjadi pada lansia, semakin memperberat

masalah ini. Selain itu, kadar albumin serum menurun, yang memengaruhi

pengikatan protein terhadap berbagai jenis obat, termasuk narkotika.

Secara umum dosis obat-obat yang berikatan dengan protein harus

dikurangi pada awalnya dan dititrasi sampai pengurangan rasa nyeri dapat

dicapai dengan aman.

2.6.3 Adjuvan

Adjuvan adalah obat yang bukan analgesik tetapi masih memiliki

peran penting dalam mengurangi nyeri. Obat ini dapat digunakan sendiri

atau dikombinasikan dengan analgesik lain. Obat-obat ini dianjurkan

terutama untuk nyeri kronis.

Menurut Meridean (2011;627), antidepresi, antikonvulsan, agen

sedatif/antiansietas, steroid, relaksan otot, dan amfetamin sering kali

digunakan sebagai analgesik adjuvan.

Antidepresan trisiklik telah ditemukan efektif untuk nyeri

neuropati, yang disebabkan oleh kerusakan saraf pada SSP. Contoh dari

nyeri neuropati adalah nyeri fantom pada tungkai, neuropati diabetik,

neuralgia trigeminal, kausalgia, dan nyeri pasca stroke. Tipe nyeri

neuropati lain yang sering terjadi pada lansia adalah neuralgia pasca

herpatik atau herpes zoster. Nyeri neuropati dapat menjadi salah satu tipe

nyeri yang sulit untuk ditangani. Pasien-pasien menggambarkan nyeri ini

16

Page 17: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

sangat kuat dan membakar. Obat anti konvulsan, karbamazepin (Tegretol)

telah diketahui efektif dalam menangani nyeri neuropati.

Antidepresan trisiklik harus diberikan sekali sehari pada jam-jam

tidur karena sedasi adalah efek samping yang sering terjadi. Dosis awal

harus sangat rendah (10 mg). dosis untuk mengurangi nyeri lebih rendah

daripada dosis yang dibutuhkan untuk mengurangi depresi. Efek samping

lain dari antikolinergik yang dapat terjadi adalah pandangan kabur, mulut

kering, retensi urin, dan hipotensi. Kewaspadaan yang sangat tinggi harus

dilakukan ketika obat-obatan ini harus diberikan kepada pasien yang

mengalami glaukoma sudut sempit, atau retensi urin. Nortripsepin

(Pamelor) menyebabkan sedikit sedasi dan Doksepin (Sinequan) memiliki

lebih sedikit efek antikolinergis daripada trisiklik, sehingga kedua obat

antidepresan ini direkomendasikan untuk lansia.

Lansia yang mengalami nyeri harus menghindari penggunaan obat-

obatan sedative hipnotik karena obat-obat ini tidak membantu untuk

mengurangi nyeri. Obat-obat ini dapat mendepresi SSP, yang dapat

mempengaruhi keamanan klien, terutama jika ia menggunakan analgesik

opioid.

2.7 Penetapan Dosis

Menurut Maas (2011;628), penetapan dosis analgetik bagi lansia

harus dilakukan dengan cara titrasi dan disesuaikan dengan masing-masing

individu untuk mencapai kendali nyeri yang maksimal. Rekomendasi yang

aman terhadap pemberian dosis pada lansia adalah menurunkan dosis awal

yaitu sebanyak 25%-50% dosis dewasa yang biasa digunakan dan

menjumlahkan dosisnya lebih tinggi atau lebih rendah berdasarkan respon

individual.

Pemberian analgesik secara kontinu merupakan standar perawatan

yang dianjurkan karena dapat mempertahankan kadar analgesik dalam

darah tetap stabil dan mencegah nyeri menjadi tidak terkendali. Cara ini

juga memberikan individu perasaan aman bahwa nyerinya telah

diselesaikan melalui rencana yang terjadwal.

17

Page 18: TERAPI MEDIK NYERI PADA LANSIA

BAB 3

PENUTUP

3.1 Simpulan

Menurut Tjay (2007;312), nyeri adalah perasaan sensoris dan

emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri

merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri

berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan,

yakni pada 44-45 0C.

Pada lansia terjadi perubahan pada serat saraf A (delta) yang

berfungsi untuk menghantarkan transmisi epikritik, nyeri yang terlokalisir

dan berlangsung cepat, sedangkan serat saraf C yang berfungsi untuk

transmisi protopatik, nyeri yang sulit dilokalisir dan berlangsung lambat,

relatif tidak begitu terganggu. Respon otak terhadap stimuli nyeri juga

melambat. Perubahan-perubahan ini dapat menerangkan terjadinya

kesulitan pada orang tua untuk mendiskripsikan dan melokalisir nyeri.

Berkurangnya kemampuan untuk memodulasi nyeri dan inhibisi desenden

menyebabkan tingginya prevalensi dan beratnya nyeri pada lansia (Eko,

2013).

Menurut Tjay (2007;313), berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri

dapat diatasi dengan beberapa cara yaitu analgetika perifer, anestetika

lokal, analgetika sentral (narkotika), antidepresiva trisiklis, antiepileptika.

Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan berupa analgesik non-

opioid, opioid, dan adjuvan.

3.2 Saran

Diharapkan kita dapat memberikan terapi medik yang sesuai dengan

kondisi dan keadaaan klien dengan pemberian dosis yang tepat.

18