terapi nutrisi pada stroke

21
BAB 1 PENDAHULUAN Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang ditandai dengan defisit neurologis fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam dan berhubungan dengan gangguan pembuluh darah intrakranial atau ekstrakranial. Faktor resiko penyebab stroke berupa hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemia, hiperhomosisteinemia, dan merokok. Hipertensi merupakan faktor resiko utama penyebab stroke, sehingga penanganan yang baik pada hipertensi dapat menurunkan insiden dan angka kematian akibat stroke (Ropper AH et al, 2014). Stroke dapat menyebabkan terjadinya disabilitas jangka panjang. Malnutrisi merupakan keadaan yang sering ditemukan setelah kejadian stroke. Kemampuan untuk mengkonsumsi nutrisi oral yang adekuat dipengaruhi oleh berbagai faktor non nutrisi seperti kekuatan lengan, koordinasi, kesadaran, disfagi, dan depresi. Oleh karena itu, modifikasi faktor resiko nutrisi dalam mencegah stroke dan modifikasi nutrisi untuk disfagia perlu mendapat perhatian (Corrigan M et al, 2011). BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1

Upload: gekwahyu

Post on 28-Sep-2015

82 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Terapi Nutrisi Pada Stroke

TRANSCRIPT

Aspek Nutrisi pada Stroke

BAB 1PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang ditandai dengan defisit neurologis fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam dan berhubungan dengan gangguan pembuluh darah intrakranial atau ekstrakranial. Faktor resiko penyebab stroke berupa hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemia, hiperhomosisteinemia, dan merokok. Hipertensi merupakan faktor resiko utama penyebab stroke, sehingga penanganan yang baik pada hipertensi dapat menurunkan insiden dan angka kematian akibat stroke (Ropper AH et al, 2014).Stroke dapat menyebabkan terjadinya disabilitas jangka panjang. Malnutrisi merupakan keadaan yang sering ditemukan setelah kejadian stroke. Kemampuan untuk mengkonsumsi nutrisi oral yang adekuat dipengaruhi oleh berbagai faktor non nutrisi seperti kekuatan lengan, koordinasi, kesadaran, disfagi, dan depresi. Oleh karena itu, modifikasi faktor resiko nutrisi dalam mencegah stroke dan modifikasi nutrisi untuk disfagia perlu mendapat perhatian (Corrigan M et al, 2011).

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1DefinisiStroke atau cerebral vascular accident merupakan sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara lokal maupun global yang dapat menyebabkan kematian atau kelainan yang menetap yang disebabkan oleh gangguan vaskuler (Ropper AH et al, 2014).2.2Faktor ResikoFaktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinannya untuk dimodifiikasi atau tidak.1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi (Ropper AH et al, 2014) :a) Usiab) Jenis kelaminc) Berat badan lahir rendahd) Ras atau etnise) Genetik 2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi (PERDOSSI, 2011): Hipertensi Paparan asap rokok Diabetes Mellitus Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu Dislipidemia Stenosis arteri karotis Sickle cell disease Terapi hormonal pasca menopause Diet yang buruk Inaktivitas fisik Obesitas Sindroma metabolik Penyalahgunaan alkohol Penggunaan kontrasepsi oral Sleep-disordered breathing Nyeri kepala migren Hiperhomosisteinemia Peningkatan lipoprotein A Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase Hypercoagulability Inflamasi Infeksi 2.3PatofisiologiDua prinsip utama proses patologi stroke adalah tersumbatnya arteri yang menyebabkan iskemi serebri atau infark, dan ruptur arteri yang menyebabkan perdarahan intrakranial. Stroke emboli terjadi ketika plak kolesterol terlepas dari pembuluh darah proksimal kemudian plak tersebut menuju ke otak dan memblok arteri, pada umumnya arteri yang terkena adalah arteri serebri media. Pada pasien dengan disfungsi atrium jantung, bekuan darah dapat lepas dan menyebabkan emboli. Pada stroke trombotik, plak kolesterol lepas saat terjadi ruptur arteri dan platelet secara bertahap bergabung lalu menyebabkan sumbatan pada arteri. Sebagian besar stroke terjadi melalui proses tromboemboli yang bisa diperburuk oleh aterosklerosis, hipertensi, diabetes dan gout (Ropper AH et al, 2014).Stroke hemoragik intrakranial jarang terjadi (15% dari insidensi stroke), namun jenis stroke ini dapat menyebabkan kondisi yang fatal dalam waktu yang singkat. Perdarahan intraparenkim merupakan salah satu tipe perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi. Perdarahan intrakranial paling sering terjadi pada individu dengan hipertensi (Ropper AH et al, 2014).2.4KomplikasiKomplikasi yang umum terjadi adalah edema cerebri yang terjadi pada 24 jam sampai 48 jam pertama setelah stroke. Berbagai komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sebagai berikut (Ropper AH et al, 2014): KejangKejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Kejang pada umumnya dapat memperberat terjadinya defisit neurologik Nyeri kepalaNyeri kepala yang terjadi umunya hebat dan tidak menetap. Penatalaksanaan terhadap kondisi ini membutuhkan analgetik. Emboli pulmonalEmboli pulmonal sering bersifat letal namun dapat juga terjadi tanpa gejala. Pada pasien ini juga sering kali disertai dengan Deep Vein Thrombosis (DVT) Abnormalitas jantung.Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, terjadi secara bersamaan atau dapat merupakan akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita komplikasi gangguan ritme jantung. Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumoniaDengan menggunakan fluoroskopi, diketahui bahwa 64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan. Pneumonia juga dapat disebabkan oleh kondisi lain, seperti imobilitas, hipersekresi, dll. Kelainan metabolik dan nutrisiKondisi kekurangan nutrisi yang berlarut-larut biasanya terjadi pada pasien usia lanjut. Kondisi malnutrisi ini dapat menjadi penyebab menurunnya fungsi neurologis, disfungsi jantung dan gangguan gastrointestinal dan abnormalitas metabolisme tulang. Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia urineKondisi ini dapat terjadi akibat pemasangan dauer kateter, gangguan fungsi kandung kemih atau sfingter uretra eksternum yang merupakan gejala sisa dari stroke. Perdarahan gastrointestinalPerdarahan gastrointestinal umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Kondisi ini dapat merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid jangka panjang pada pasien stroke. Oleh karena itu, penggunaan antagonis H2 dianjurkan pada pasien stroke. DehidrasiPenyebab dehidrasi ini diantaranya meliputi gangguan menelan, imobilitas, gangguan komunikasi, dll. Hiponatremi Kondisi ini diduga karena kehilangan garam yang berlebihan. Hiperglikemia.Pada 50% pasien stroke tanpa diabetes mellitus sebelumnya, dapat terjadi hiperglikemia. Kondisi ini pada umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak baik. Hipoglikemia. Kondisi ini dapat disebabkan karena kurangnya intake makanan dan efek samping dari obat-obatan yang dapat menyebabkan turunnya kadar gula darah2.5Terapi Nutrisi pada Pasien StrokeTujuan utama dari intervensi gizi pada pasien stroke adalah pencegahan dan pengobatan komplikasi akibat malnutrisi yang sesungguhnya dapat dicegah.Perawatan nutrisi pada pasien stroke berbeda-beda, tergantung pada tingkat keparahan stroke tersebut. Misalnya, perawatan nutrisi pada pasien yang menjalani perawatan di ICU berbeda dengan pasien yang hanya mengalami disartria ringan.Asupan gizi yang diperlukan untuk pasien stroke dalam keadaan stabil dan memiliki fungsi ginjal yang normal adalah sebagai berikut (Corrigan M et al, 2011) : asupan protein harian sebesar > 1 g/ kg BB untuk mencapai rasio karbohidrat/ protein < 2.5 asupan energi sebesar 25 kkal/ kgBB untuk pasien non obesitas guna menjaga berat badannya. Pada pasien obesitas, kebutuhan energinya < 25 kkal / kg dan rasio karbohidrat / protein < 2.52.5.1Tipe Diet StrokeDiet stroke terdiri dari diet stroke I, IIa, IIb, dan IIc. Dalam diet stroke ada beberapa makanan yang dianjurkan dan ada juga yang tidak dianjurkan. Diet stroke I diberikan kepada pasien dalam fase akut atau bila ada ganggguan fungsi menelan. Oleh karena itu diet stroke I berupa makanan yang lebih mudah ditelan yaitu makanan diberikan dalam bentuk cair kental atau kombinasi cair jernih dan cair kental yang diberikan peroral atau enteral melalui NGT (Naso Gastic Tube) sesuai dengan keadaan penyakit. Berbeda halnya dengan diet stroke II, diet stroke II diberikan kepada pasien pada fase pemulihan atau sebagai makanan perpindahan dari diet stroke I. bentuk makanan diet stroke II dapat berupa kombinasi cair jernih, cair kental, saring, lunak, dan biasa. Pemberian diet pada pasien stroke disesuaikan dengan penyakit penyertanya. Diet Stroke II dibagi menjadi diet stroke IIa, IIb, dan Iic (Almatsier S, 2009).

Tabel 2.1 Bahan Makanan yang Dianjurkan dan yang Tidak Dianjurkan pada Diet Stroke (Almatsier S, 2009).Golongan Bahan Makanan Dianjurkan Tidak Dianjurkan

Sumber Karbohidrat

Beras, kentang, ubi, singkong, terigu, hunkwe, tapioka, sagu, gula, madu, serta produk olahan yang dibuat tanpa garam dapur, soda/baking powder, seperti makaroni, mie, bihun, roti, biskuat, dan kue kering Produk olahan yang dibuat dengan garam dapur, soda/baking powder, kue-kue yang terlalu manis

Sumber Protein Hewani

Daging sapi dan ayam tidak berlemak, ikan, telur, susu skim, dan susu penuh dalam jumlah terbatas

Daging sapi dan ayam berlemak, jerohan, otak, hati, ikan banyak duri, susu penuh, keju, es krim, dan produk olahan protein hewani yang diawet seperti daging asap dan dendeng

Sumber Protein Nabati Semua kacang-kacangan dan produk olahan yang dibuat dengan garam dapur, dalam jumlah terbatas Semua produk olahan kacang-kacangan yang diawet dengan garam natrium atau digoreng

Sayuran

Sayuran berserat sedang dimasak, seperti bayam, kangkung, kacang panjang, labu siam, tomat, taoge, dan wortel

Sayuran menimbulkan gas (sawi, kol, kembang kol, lobak), sayuran berserat tinggi (daun singkong, katuk, melinjo, dan sayuran mentah

Buah-buahan Buah segar, dibuat jus atau disetup seperti pisang, pepaya, jeruk, mangga, nenas, dan jambu biji (tanpa bahan pengawet) Buah yang menimbulkan gas seperti nangka dan durian, buah yang diawet dengan natrium seperti buah kaleng dan asin

Sumber Lemak

Minyak jagung dan minyak kedelai, margarin dan mentega tanpa garam yang digunakan untuk menumis atau setup, santan encer Minyak kelapa sawit, margarin dan mentega biasa, santan kental, krim, dan produk gorengan

Minuman

Teh, kopi, cokelat dalam jumlah terbatas, encer susu skim dan sirup Teh, kopi, cokelat dalam jumlah terbatas, dan kental minuman bersoda dan alkohol

a. Diet Stroke IDiet stroke I memiliki bahan makanan tersendiri dimana masing-masing bahan makanan pada diet stroke tipe I memiliki nilai gizi tersendiri untuk diberikan pada pasien stroke. Tabel 2.2 Bahan Makanan pada Diet Stroke I (Almatsier S, 2009).Bahan MakananBerat (gram)URT

Maizena 255 sendok makan

Telur ayam 501 butir

Susu penuh bubuk 255 sendok makan

Susu skim bubuk12024 sendok makan

Buah 1202 potong sedang papaya

Minyak jagung 202 sendok makan

Gula pasir 10010 sendok makan

Cairan1500 ml6 gelas

Tabel 2.3 Nilai Gizi pada Bahan Makanan Diet Stroke I (Almatsier S, 2009).Kandungan Zat GiziDiet Stroke I

Energi (kkal)1361

Protein (g)56

Lemak (g)34

Lemak Jenuh (g)8,4

Karbohidrat (g)211

Kalsium (mg)1869

Besi (mg)6,1

Vitamin A (RE)1573

Tiamin (mg)0,6

Vitamin C (mg)166

Kolesterol (mg)213

b. Diet Stroke II Diet stroke II dibagi dalam tiga tahap, yaitu diet stroke II A berupa makanan cair dan bubur saring (1700 kkal), diet stroke II B berupa makanan lunak (1900 kkal) dan diet stroke II C berupa makanan biasa (2100 kkal) (Almatsier S, 2009).Tabel 2.4 Bahan Makanan pada Diet Stroke I (Almatsier S, 2009).Bahan MakananDiet Stroke II A Diet Stroke II B Diet Stroke II C

Berat (g)URTBerat (g)URTBerat (g)URT

Beras Tepung Beras Maizena Telur Ayam Ikan Tempe Sayuran Pepaya Minyak Jagung Gula pasir Gula merah Susu skim bubuk - 125 20 50 75 50 100 300 25 40 25 80

-20 sdm 4 sdm 1 btr 1 ptg bsr 2 ptg bsr 1 gls 3 ptg sdg 2 sdm 4 sdm 2 sdm 16

200- 20 50 100 100 150 200 30 50 - 40 4 gls tim - 4 sdm 1 btr 2 ptg sdg 4 ptg sdg 1 gls2 ptg sdg 3 sdm 5 sdm - 8 sdm

250- 20 50 100 100 200 200 35 30 - 40 3 gls nasi - 4 sdm 1 btr 2 ptg sdg 4 ptg sdg 2 gls 2 ptg 3 sdm 3 sdm - 8 sdm

Kandungan GiziDiet Stroke II ADiet Stroke II BDiet Stroke II C

Energi (kkal) 1718 1917 2102

Protein (g) 69 73 78

Lemak (g) 41 5,8 52 59

Lemak Jenuh (g) 272 7,3 8

Karbohidrat (g) 1296 293 318

Kalsium (mg) 15,9 835 862

Besi (mg) 6705 19,6 20,6

Vitamin A (RE) 0,8 8940 11458

Tiamin (mg) 272 0,8 0,9

Vitamin C (mg) 258 213 232

Kolesterol (mg) 273 273

Tabel 2.5. Nilai Gizi Bahan Makanan untuk Diet Stroke II (Almatsier S, 2009).

2.5.2Terapi Nutrisi pada DisfagiaPada stadium akut stroke 30-50% pasien mengalami disfagia. Pasien dengan disfagia tidak hanya dapat mengalami dehidrasi dan malnutrisi namun juga dapat mengalami pneumonia aspirasi. Oleh karena disfagia memiliki potensi besar dalam meningkatkan morbiditas dan mortalitas diperlukan deteksi dini serta tatalaksana nutrisional untuk pasien stroke. Saat datang ke rumah sakit, pasien dengan stroke akut harus diskrining terhadap fungsi menelan oleh tenaga kesehatan terlatih sebelum memberikan makanan secara oral, cairan, ataupun pengobatan. Penilaian fungsi menelan ini paling tidak telah dilakukan dalam 24 jam pertama dan tidak lebih dari 72 jam (Wirth R et al, 2013).Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan menelan akibat gangguan pada proses menelan. Berdasarkan letak anatomis, disfagia dapat dibagi menjadi orofaringeal dan esophageal. Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi menjadi disfagia mekanik dan disfagia motorik. Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus. Disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuskuler yang berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan (batang otak), kelainan saraf otak N.V, VII, IX, X, XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta gangguan peristaltik esofagus dapat menyebabkan disfagia (Remig VM, 2008). Gangguan fungsi otot dan saraf pada refleks menelan yang disebabkan oleh kerusakan otak pasca stroke dapat menimbulkan disfagia (40%-60%). Penurunan kesadaran, kelemahan fisik, atau gangguan koordinasi pada refleks menelan juga berperan pada terjadinya disfagia. Sebagian besar pasien dengan disfagia mengalami perbaikan fungsi menelan 1 bulan setelah serangan stroke, akan tetapi sebanyak 40% pasien tetap mengalami disfagia selama 1 tahun setelah serangan (Corrigan M et al, 2011).Penatalaksanaan disfagia mencakup pengaturan diet, pengenalan teknik menelan yang baik, dan pemberian nutrisi secara enteral. Terapi nutrisi pada disfagia telah distandardisasi oleh American Dietetic Association melalui National Dysphagia Diet (NDD), dimana sebelum terapi diberikan pasien dianjurkan untuk menjalani evaluasi untuk menentukan derajat disfagia (Corrigan M et al, 2011).The NDD terdiri dari 3 level dari makanan padat (dysphagia pureed, dysphagia mechanically altered, dysphagia anvanced). Level 1 NDD (pureed) dirancang untuk pasien yang menderita disfagi derajat sedang-berat dengan kemampuan oral yang lemah dan menurunnya kemampuan untuk melindungi jalan nafas mereka sendiri. Diet ini terdiri dari bubur, homogen, dan makanan cohesive yang memiliki tekstur seperti puding. Makanan dengan tekstur yang kasar seperti kacang, buah mentah, dan sayuran tidak dianjurkan. Level 2 NDD (mechanically altered) terdiri dari makanan yang sedikit basah dan tekstur yang halus. Diet ini digunakan sebagai transisi dari tekstur yang lunak ke tekstur yang lebih padat. Pasien dengan kemampuan mengunyah yang adekuat dan disfagi orofaringeal derajat ringan-sedang sangat cocok untuk diet ini. Semua makanan dari NDD level 1 bisa dimasukkan pada level ini. Level 3 NDD (dysphagia advanced) adalah transisi ke diet biasa. Level ini terdiri dari makanan yang teksturnya mendekati makanan biasa (regular) kecuali makanan yang sangat keras, renyah, atau makanan yang lengket. Makanan tersebut masih perlu untuk dibasahi dan sebaiknya berukuran kecil agar lebih mudah untuk ditelan. Diet level 3 sesuai untuk pasien dengan disfagi orofaringeal ringan. Setelah pasien menunjukkan kemampuan untuk dapat mentoleransi makanan ini secara aman, diet bisa dilanjutkan ke reguler diet tanpa pembatasan.Terdapat 2 fase transisi pemberian makan pada pasien stroke dan brain injury (transisi dari tube fed menjadi oral feeding). Fase pertama disebut juga preparatory phase. Fase ini berfokus pada stabilitas nutrisi dan kondisi medis, kemampuan menelan, pemberian makan melalui tube feeding secara intermitten. Fase kedua disebut juga the weaning phase. Fase ini dideskripsikan sebagai kemajuan secara bertahap pada oral feeding, dengan penurunan pemberian makan secara tube feeding. Ketika pasien telah memiliki kemampuan untuk mengkonsumsi 75% dari kebutuhan nutrisinya per oral minimal selama 3 hari, semua jenis tube feeding dapat dihentikan. Berat badan, derajat hidrasi, dan kemampuan menelan harus terus dimonitor selama fase ini, dengan fokus utama mencegah terjadinya komplikasi respiratorik. Pada pasien dengan disfagia berat, nutrisi enteral (EN) dengan selang nasogastrik atau melalui Percutaneus Endoscopic Gastrostomy (PEG) merupakan pilihan utama. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dan PEG sangat efektif untuk menunjang nutrisi awal pada pasien stroke. Namun, apabila terdapat kontraindikasi terhadap makanan enteral seperti usus yang tidak dapat berfugsi secara normal dan tidak tercukupinya kebutuhan gizi yang diberikan melalui EN atau adanya kesulitan dalam penempatan pipa nasogastrik dan PEG, nutrisi parenteral merupakan pilihan yang dapat digunakan. Dibandingkan dengan nutrisi parenteral, EN menunjukkan keuntungan fisiologis, lebih murah, dan komplikasi yang lebih sedikit (Corrigan M et al, 2011).Nutrisi EnteralNutrisi Enteral merupakan intervensi terhadap malnutrisi dengan biaya relatif murah, dapat mempertahankan atau meningkatkan status gizi, dan mengurangi komplikasi akibat kekurangan gizi. Pada umumnya, pasien stroke membutuhkan dukungan nutrisi enteral minimal selama 6 minggu dan beberapa pasien stroke membutuhkan dukungan nutrisi enteral sepanjang sisa hidupnya (Corrigan M et al, 2011).Table 2.6 Indikasi pemberian nutrisi enteral pada pasien stroke (Corrigan M et al, 2011).

Indikasi pemberian nutrisi enteral

Disfagia

Asupan nutrisi tidak adekuat karena

(i) Penurunan kesadaran

(ii) Depresi

(iii)Kebersihan oral yang buruk

(iv)Xerostomia

(v) Keterbatasan gerak

(vi) Kelemahan otot wajah dan ekstremitas

(vii) Fatigue

(viii) Gangguan penglihatan, bicara dan bahasa

(xi) Defisit kognitif

Peningkatan kebutuhan metabolic

Risiko aspirasi akibat pemberian nutrisi secara pipa nasogastrik dapat dikurangi dengan follow up yang lebih sering dengan pemantauan volume residu dan menaikkan derajat sandaran kepala pada tempat tidur. Pemasangan pipa nasogastrik mudah untuk dilakukan dan apabila terdapat perbaikan pada reflek menelan, pipa nasogastrik dapat dengan mudah dilepas. Kelebihan lain pemasangan pipa nasogastrik adalah memungkinkannya pengukuran residu lambung dan pipa ini tidak gampang tersumbat. Penempatan pipa nasogastrik yang tepat pada pasien tanpa resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, dapat disetai dengan pemberian makanan oral dalam jumlah terbatas sebagai tahap awal untuk latihan menelan (Corrigan M et al, 2011).Percutaneus Endoscopic Gastrostomy (PEG)PEG digunakan pada pasien yang tidak dapat menelan setelah beberapa minggu serangan stroke. PEG lebih efektif dalam mempertahankan status gizi dibandingkan pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dan berpotensi mengurangi risiko aspirasi penumonia. Namun, pemasangan PEG merupakan prosedur invasif dan waktu yang tepat untuk pemasangan PEG belum jelas. Dalam percobaan FOOD (Feed or Ordinary Diet) trial, pasien stroke akut dengan disfagia yang menggunakan PEG selama 1-2 minggu pertama setelah stroke akut memiliki hasil lebih buruk dibandingkan pasien yang makan melalui pipa nasogastrik (Rofles R et al, 2009).Pengambilan keputusan pemasangan PEG dipengaruhi oleh tingkat keparahan stroke dan kebutuhan perawatan intensif. Pasien dengan skor NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) >16 tanpa pneumonia aspirasi atau pasien dengan skor NIHSS >12 dengan pneumonia aspirasi memerlukan pemasangan PEG lebih awal. Namun, baik pipa nasogastric maupun PEG dapat mengurangi resiko pneumonia aspirasi. Komplikasi dari pemasangan NGT dapat dikurangi dengan pemantauan yang baik, pemilihan formula enteral yang tepat, skrining status klinis dan kebutuhan gizi (Rofles R et al, 2009).

BAB 3PENUTUP3.1KesimpulanStroke merupakan sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara lokal maupun global yang dapat menyebabkan kematian atau kelainan yang menetap yang disebabkan oleh gangguan vaskuler. Peningkatan insidensi stroke pada negara berkembang diperkirakan berasal dari usia lanjut, perubahan gaya hidup dan diet yang meningkatkan resiko terjadinya stroke. Sebagian besar dari faktor resiko yang menyebabkan stroke dipengaruhi oleh diet dan asupan nutrisi. Hubungan pola makan dan stroke sangat kompleks. Stroke dapat menyebabkan terjadinya disabilitas jangka panjang.Stroke dapat mempengaruhi kemampuan makan tergantung dari tipe dan tingkat keparahan stroke. Pasien stroke tidak jarang mengalami disfagia, gangguan pengecapan atau ageusia, gangguan motorik sehingga pasien tidak bisa makan sendiri atau tidak nafsu makan. Semua keadaan ini pada akhirnya berakibat penurunan status gizi. Dibutuhkan diet khusus bagi penderita stroke sehingga dapat memberi manfaat yang maksimal bagi pasien stroke. Selain itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam diet stroke antara lain jumlah dan jenis energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, serat dan cairan harus cukup sesuai dengan kebutuhan pasien stroke.

DAFTAR PUSTAKAAlmatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.Bouziana SD, Tziomalos K. Malnutrion in Patients with Acute Stroke. Journal of Nutrition and Metabolism; 2011, 10.1155:1 7.Available from: http://www.hindawi.com/journals/jnume/2011/167898/ [accessed on April 20, 2015]Corrigan M, Escuro A, Celestin J et al. Nutrition in the stroke patient. American Society for Parenteral and Enteral Nurtrition; 2011, 26(3): 241 252. Available from: http://ncp.sagepub.com/content/26/3/242.full. pdf+html [accessed on April 21, 2015]Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2011. Guideline Stroke Tahun 2011. JakartaRemig VM. Medical Nutrition Therapy for Neurologic Disorders. In: Kathleen Mahan, Sylvia Escott (editors). Krauses Food and Nutrition Therapy, 12th ed. Missouri : Saunders Elsevier ; 2008:1067-1081 Rofles R, Whitney E. Understanding Normal and Clinical Nutrition, 8th ed. USA: wadsworth ; 2009:664 Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. 2014. Adams and Victors Principles of Neurology.10th Edition. USA: McGraw Hill.Wirth R, Smoliner C, Jager M et al. Guideline clinical nutrition in patients with stroke. Experimental & Translational Stroke Medicine 2013; 5:14 Available from: http://www.etsmjournal.com/content/pdf/2040-7378-5-14.pdf [accessed on April 21, 2015]

2