tingkat difusi-adopsi inovasi biogas oleh...
TRANSCRIPT
TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH
PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG,
KABUPATEN BANDUNG BARAT
NURUL DWI NOVIKARUMSARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Tingkat Difusi-Adopsi
Inovasi Biogas di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Nurul Dwi Novikarumsari
NRP I351120031
RINGKASAN
NURUL DWI NOVIKARUMSARI. 2014. Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas
oleh Peternak Sapi Perah di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Dibimbing oleh SITI AMANAH sebagai Ketua Komisi, dan BASITA GINTING
SUGIHEN sebagai Anggota Komisi.
Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun baru
berkembang setelah adanya Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola oleh Koperasi
Susu Bandung Utara (KPSBU) dan bekerjasama dengan LSM internasional
Human Institute for Development Cooperation (Hivos) dan Foundation of
Netherlands Volunteers (SNV) pada tahun 2010. Saat ini terdapat 4 197 Rumah
Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP) yang berpotensi mengadopsi biogas.
Terdapat beragam penyebab hambatan dalam proses difusi adopsi biogas, baik
dari aspek inovasi biogas tersebut, mau pun dari sisi peternak. Pemanfaatan
limbah sapi perah sebagai bahan dasar biogas dapat memberikan manfaat baik
secara ekonomi mau pun lingkungan. Dengan demikian diperlukan percepatan
difusi biogas dengan semakin banyaknya adopter biogas dari peternak. Penelitian
ini berupaya menjawab pertanyaan tentang tingkat difusi adopsi biogas. Adapun
tujuan penelitian ini meliputi hal berikut: (1) menganalisis persepsi peternak
mengenai sifat inovasi biogas, (2) menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi
biogas di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, dan (3) menganalisis
hubungan antara karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi biogas,
tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat difusi-adopsi
inovasi biogas.
Penelitian dilakukan di Desa Cibodas dan Suntenjaya, Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung Barat. Sampel penelitian adalah seluruh Rumah Tangga
Peternak Sapi Perah (RTPSP) penerap inovasi biogas sebanyak 266 RTPSP.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret hingga April 2014. Data primer
dikumpulkan melalui kuesioner yang terdiri dari 55 pertanyaan meliputi variabel
karakteristik RTPSP meliputi pendidikan formal, lama beternak, jumlah ternak,
tingkat pendapatan, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik), dan luas lahan untuk
biogas. Selanjutnya, variabel penelitian juga mencakup persepsi terhadap sifat
inovasi meliputi tingkat keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat
kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas serta variabel tingkat
akses informasi dan fasilitasi penyuluh meliputi akses terhadap informasi inovasi
biogas, dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas. Pengolahan data
dilakukan secara deskriptif, dan untuk melihat faktor-faktor yang berkorelasi
dengan tingkat difusi dan adopsi biogas, digunakan analisis korelasi rank
Spearman.
Litterer (Asngari 1984) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan
pemahaman atau pandangan manusia tentang obyek di sekitarnya. Sifat inovasi
biogas yang dinilai peternak meliputi tingkat keuntungan relatif, tingkat
kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas.
Penilaian peternak tentang sifat inovasi biogas menjadikan peternak mau
mengadopsi biogas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biogas layak diterapkan menurut
persepsi RTPSP namun jumlah adopter masih di bawah 50 persen. Motivasi,
keuntungan relatif, kompleksitas, kompatibilitas dan observabilitas berkorelasi
nyata dan positif dengan kecepatan adopsi biogas, sedangkan lama beternak,
keuntungan relatif dan triabilitas berkorelasi positif nyata dengan difusi biogas.
Akses informasi inovasi biogas dan frekuensi pertemuan tidak berkorelasi nyata
dengan difusi-adopsi biogas. Dari kedua desa penelitian, sebesar 87.2 persen
kecepatan adopsi peternak termasuk kategori sedang, dan sebesar 51.8 persen
penyebaran biogas oleh peternak termasuk kategori tinggi.
Kata kunci: difusi, adopsi, biogas, persepsi, ciri inovasi
SUMMARY
NURUL DWI NOVIKARUMSARI. 2014. Rate of Biogas Diffusion-Adoption
Biogas Innovation by Dairy Farmers in Lembang Sub District, Bandung Barat
District. Supervised by SITI AMANAH and BASITA GINTING SUGIHEN.
Biogas had been initiating since 2006 in Lembang Subdistrict, but had been
growth in 2010 through Biogas Rumah (BIRU). BIRU is managed by Koperasi
Susu Bandung Utara (KPSBU) which is cooperated with internasional NGO as
Human Institute for Development Cooperation (Hivos) and Foundation of
Netherlands Volunteers (SNV). Nowdays, there are 4 197 dairy farmer household
as prospected biogas adopters in Lembang Subdistrict. The barriers of diffusion
adoption biogas due to the aspect of the biogas innovation, and the dairy farmers.
Dairy waste utilization as the main material of biogas can provide economic
benefits and environment, so that need a research about diffusion-adoption biogas.
This research try to answer questions about the diffusion-adoption of biogas. The
objective of research was analysted dairy farmer perception attributes of biogas
innovation, analyze the household characteristics of dairy farmer (RTPSP),
perception attributes of biogas inovation, the rate of access information and the
frequency of meetings with extension workers with the rate of diffusion-adoption
biogas innovation and analyze the rate of diffusion-adoption biogas innovation in
Lembang Subdistrict, Bandung Barat District.
This research was conducted in Cibodas and Suntenjaya village. All of the
population member (266 households) were the research respondents. The data was
collected from March to April 2014, by through interviewing respondents using
questionnaires that consist of 55 questions covering the household characteristics
of dairy farmer, include formal education, dairy exprience, number of cattle,
income, motivation (intrinsic and extrinsic), and land area for biogas.
Furthermore, the study also includes perception of innovation include relative
advantage, complexity, compatibility, observability and trialability and the rate of
access information and the frequency of meetings with the extension workers.
Secondary data were obtained from various relevant agencies. The data were
processed using rank Spearman. Litterer (Asngari 1984), perception is the understanding or view people
have of things in the world around them. Attribute of innovation are relative
advantage, complexity, compatibility observability and trialability. Dairy farmers
decide to use biogas by understanding the attribute of biogas.
The research results showed biogas feasible to use but rate of adopter
under 50 percent. Motivation, relative advantage, complexity, compatibility,
observability have positive correlation with adoption while relative advantage,
length of dairy farmers experiences, and trialability have positive correlation with
diffusion. The access of biogas information and frequency metting with extention
workers haven’t correlation with rate of diffusion-adoption. From both of village,
87.2 percent adoption of dairy farmer is medium and 51.8 percent biogas diffusion
is high.
Keywords: diffusion, adoption, biogas, perception, attribute of innovation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH
PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG,
KABUPATEN BANDUNG BARAT
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
NURUL DWI NOVIKARUMSARI
Penguji Luar Komisi: Prof Dr H Pang S Asngari, MEd
Judul Tesis : Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat
Nama : Nurul Dwi Novikarumsari
NRP : I351120031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua
Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Prof Dr Ir Sumardjo, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
11 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas karunia dan berkah-Nya,
tesis ini dapat diselesaikan. Tesis menganalisis persepsi peternak mengenai sifat
inovasi biogas, menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat, dan menganalisis hubungan antara
karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi biogas, tingkat akses informasi
dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.
Penyelesaian tesis tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr Ir Siti Amanah, MSc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Basita
Ginting Sugihen, MA sebagai Anggota Komisi Pembimbing, Dr Ir Dwi
Sadono, MSi serta Prof Dr H Pang S Asngari, MEd sebagai penguji luar
komisi.
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan
Beasiswa Unggulan (BU) tahun 2012 dalam menempuh program Magister.
3. Kedua orang tua penulis, Arif Sukarmo, SPd dan Ibu Jumiati, SPd (Alm)
terima kasih atas segala kasih sayang, semangat, doa, dan nasehatnya.
4. Kepala Desa Suntenjaya (Bpk Asep), Kepala Dusun Sukaluyu (Bpk Dase),
Ketua Kelompok Ternak Mekar Saluyu (Bpk Aep Juanda) dan responden
peternak sapi perah di dua desa yang telah memberikan informasi selama
penelitian.
5. Rekan-rekan pada Program Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan
(PPN) Angkatan 2012 atas kerja sama dan diskusi-diskusi selama ini.
6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan biogas di Indonesia.
Bogor, Agustus 2014
Nurul Dwi Novikarumsari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Masalah Penelitian 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 4
Biogas 4
Peternakan Sapi Perah 5
Energi 7
Persepsi 7
Difusi dan Adopsi Inovasi 8
METODE PENELITIAN 18
Rancangan dan Pendekatan Penelitian 15 1 18
Lokasi dan Waktu Penelitian 18
Populasi dan Sampel 18
Jenis dan Pengumpulan Data 18
Uji Validitas dan Reliabilitas 23
Analisis Data 24
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 25
Kondisi Geografi dan Kependudukan di Dua Desa Penelitian 25
Perkembangan Biogas di Kecamatan Lembang 26
HASIL DAN PEMBAHASAN 29
Deskripsi Karakteristik Rumahtangga Peternak Sapi Perah 29
Persepsi tentang Sifat Inovasi 34
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Difusi-Adopsi
Biogas
46
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
52
53
53
59
66
DAFTAR TABEL
1 Potensi produksi gas dari berbagai jenis kotoran 5
2 Nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan umur fisiologis
ternak
7
3 Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa 9
4 Populasi rumah tangga peternak sapi perah (RTPSP) 18
5 Hasil uji instrumen penelitian 22
6 Jumlah penduduk dua desa menurut mata pencaharian 24
7 Populasi ternak di Desa Suntenjaya 26
8 Populasi ternak di Desa Cibodas 27
9 Penyebaran biogas tahun 2006-2012 di Jawa Barat 28
10 Hasil pengembangan biogas di Kabupaten Bandung Barat 29
11 Distribusi sampel berdasarkan karakteristik RTPSP 30
12 Motivasi peternak dalam menerapkan biogas 33
13 Rincian tipe ukuran reaktor 33
14 Persepsi tentang sifat inovasi biogas 34
15 Sumber informasi tentang inovasi biogas 39
16 Akses sumber informasi tentang inovasi biogas 39
17 Frekuensi pertemuan peternak dengan penyuluh biogas 40
18 Difusi RTPSP penerap inovasi biogas di Desa Suntenjaya 41
19 Distribusi sebaran inovasi biogas di Desa Suntenjaya 42
20 Sebaran RTPSP penerap inovasi biogas di Desa Cibodas 43
21 Perkembangan inovasi biogas di Dua Desa Penelitian 43
22 Difusi biogas pada tiap dusun di Desa Cibodas 45
23 Distribusi kategori kecepatan 45
24
25
Distribusi kategori penyebaran
Hubungan variabel karakteristik RTPSP dengan tingkat difusi
inovasi biogas
46
46
26 Hubungan variabel persepsi tentang sifat inovasi biogas dengan
tingkat difusi inovasi biogas
49
27 Hubungan variabel perilaku komunikasi dengan tingkat difusi
inovasi biogas
50
DAFTAR GAMBAR
1 Alur berpikir penelitian 17
2 Kurva penerimaan inovasi biogas di Desa Suntenjaya dan Desa
Cibodas
44
DAFTAR LAMPIRAN
1 Materi penyuluhan biogas dari feces sapi perah 59
2 Dokumentasi Penelitian 64
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Biogas berkembang sejak tahun 1700-an. Pada tahun 1776 hingga tahun
1910 dilakukan penelitian lanjutan tentang biogas. Dari berbagai penelitian biogas
dengan menggunakan kotoran hewan, penemuan oleh Sohngen pada tahun 1910
diakui menjadi dasar penelitian biogas hingga saat ini (Abbasi et al. 2011).
Negara-negara yang memiliki populasi ternak yang tinggi, seperti Amerika
Serikat, India, Taiwan, Korea, Cina telah memanfaatkan kotoran hewan sebagai
bahan baku pembuatan bahan bakar. Di Asia Tenggara, India dan China
merupakan negara pelopor dan pengguna energi biogas. China merupakan negara
dengan program biogas terbesar di dunia. Pada akhir tahun 2005 dibangun 2 492
biogas skala menengah dan skala besar dari peternakan unggas, sedangkan 137
000 digester biogas dibangun untuk pemurnian air limbah rumah tangga.
Indonesia mulai mengadopsi teknologi pembuatan biogas pada awal tahun
1970-an. Biogas di Indonesia mulai berkembang karena adanya dukungan dana
dari Food and Agriculture Organization (FAO). Pada tahun 1981dibangun contoh
instalasi biogas di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Unit biogas yang
dibangun berupa digester fixed dome dengan kapasitas 9 m3. Pada tahun 1982
pemerintah membantu penambahan unit biogas sebanyak 20 unit dengan Program
Bantuan Presiden (BANPRES). Setelah pembangunan intalasi biogas di daerah
Pujon berhasil maka dilanjutkan pengembangan unit biogas di Kediri yang
dilakukan pada tahun 1983. Pembangunan unit biogas di Kediri mengadopsi unit
biogas yang dikembangkan di Pujon dengan program yang sama yaitu Program
BANPRES (Prihandana dan Hendroko 2008). Sekitar tahun 2000 dikembangkan
reaktor biogas skala kecil (rumah tangga) dengan konstruksi sederhana, terbuat
dari plastik siap pasang (knockdown) dan dengan harga yang relatif murah.
Teknologi biogas berkembang kembali sejak tahun 2006 ketika kenaikan harga
bahan bakar minyak. Awalnya, biogas dibangun dalam bentuk demplot oleh
pemerintah dengan reaktor berbentuk kubah terapung yang terbuat dari drum yang
disambung, kemudian sekarang reaktor biogas telah berkembang, di antaranya
terbuat beton, plastik, dan serat kaca (fiber glass) (Wahyuni 2011).
Program pengembangan teknologi biogas kepemilikan kolektif dan
dipelihara secara bersama dimulai pada tahun 2006, seperti yang dicanangkan
oleh Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan
Departemen Pertanian Republik Indonesia melalui Program Pengembangan
Biogas Ternak bersama Masyarakat (BATAMAS). Pada tahun 2008, Direktorat
Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral, Pemerintah Indonesia, meminta Kedutaan Besar Belanda untuk
mempelajari potensi biogas di Indonesia. Kedutaan kemudian menugaskan
Foundation of Netherlands Volunteers (SNV) sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat/LSM Belanda untuk melakukan studi kelayakan. Hasil penelitian
menunjukkan potensi biogas di Indonesia bisa mencapai satu juta unit dan tingkat
pengembalian keuangan menguntungkan untuk peternak. Berdasarkan hal
tersebut, LSM dari Belanda lain yaitu Hivos didukung oleh SNV sejak tahun 2009
memulai program biogas skala rumah tangga pada delapan provinsi di Indonesia,
2
yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Banten, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat (Kementrian ESDM 2014).
Penelitian mengenai pengembangan energi alternatif biogas yang dihasilkan
dari feces ternak babi dilakukan di Bogor, Jawa Barat pada tahun 1984 oleh
D.T.H Sihombing, Simamora dan Sri Wahyuni, peneliti Institut Pertanian Bogor
(Sihombing et al. 1984). Pada tahun 1997 dilakukan pula penelitian pembuatan
biogas dari feces sapi akan tetapi baru diperkenalkan kepada masyarakat pada
tahun 2002 di Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor.
Penelitian dilakukan oleh Suhut Simamora dan Sri Wahyuni, peneliti dari
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut, biogas yang
dikembangkan digunakan sebagai sumber energi untuk memasak, penerangan,
pemanas atau menggerakkan generator (listrik) (Simmamora et al. 2003).
Salah satu kabupaten di Jawa Barat yang juga mengembangkan energi
biogas yang berasal dari feces sapi perah adalah Kecamatan Lembang, Kabupaten
Bandung Barat yang merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah. Dimulai
sejak tahun 2010, biogas di Kecamatan Lembang berkembang dengan adanya
Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola Koperasi Susu Bandung Utara
(KPSBU) bekerjasama dengan Hivos dengan bantuan teknis dari SNV. Melalui
The Indonesia Domestic Biogas Programme (IDBP) maka dibentuklah BIRU
(Biogas Rumah) yang merupakan sebuah program kerjasama antara Humanistic
Institute for Development Cooperation (Hivos) dan SNV yang didanai oleh
pemerintah Kerajaan Belanda dan didukung oleh Kementrian Energi dan
Sumberdaya Mineral Indonesia. Program BIRU mengembangkan pembangunan
reaktor biogas skala rumah tangga yang menghasilkan bahan bakar dari feces sapi
perah. Inovasi biogas kemudian mulai diintroduksikan pada dua desa di
Kecamatan Lembang. Kedua desa tersebut adalah Desa Cibodas dan Desa
Suntenjaya, hingga saat ini sekitar 39.4 persen dari jumlah rumah tangga di dua
desa yang terdapat biogas telah menerapkan. Dari sejumlah peternak yang telah
menerapkan biogas tersebut, lebih lanjut diharapkan biogas dapat juga diterapkan
oleh peternak lain yang belum menerapkan.
Penyuluhan erat kaitannya dengan difusi-adopsi iovasi adalah salah satu
maksud penyuluhan menunjuk pada proses pembelajaran bagi pelaku utama serta
pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan
dirinya dalam mengakses teknologi, serta meningkatkan kesadaran dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Prakteknya, banyak tantangan yang dihadapi
masyarakat pedesaan di Kecamatan Lembang dalam upaya difusi-adopsi biogas.
Bantuan subsidi dana yang tersedia untuk pembiayaan konstruksi dan instalasi
inovasi biogas, hal ini dapat membantu untuk memfasilitasi difusi teknologi, akan
tetapi hal penting yang perlu dilihat pula adakah cara peternak ini mau
menerapkan dan menyebarkan inovasi biogas ini kepada peternak lainnya, karena
terdapat berbagai hal yang melatarbelakangi setiap tindakan yang dilakukan oleh
peternak.
Dalam penelitian Stoddard (2010), bahwa potensi difusi biogas di daerah
Lembang terjadi jika peternak didorong oleh kebutuhan akan energi alternatif
3
sebagai perbandingan dengan energi lain yang digunakan untuk memasak
(minyak tanah, Liquid Petroleum Gas/ LPG dan bahan bakar kayu). Sehubungan
dengan difusi inovasi biogas di Indonesia, khususnya di Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung Barat tersebut, maka penting dilakukan penelitian mengenai
tingkat difusi-adopsi biogas oleh rumatangga peternak sapi perah.
Masalah Penelitian
Berbagai inovasi dalam bidang pertanian semakin berkembang, hal ini
ditunjukkan dengan berbagai inovasi yang diperkenalkan kepada petani. Inovasi
dalam bidang pertanian di antaranya adalah inovasi SRI (System of Rice
Intensification), teknologi traktor tangan, pengendalian hama penyakit,
pemupukan berimbang, yang dapat dilihat secara langsung hasilnya pada saat
panen. Biogas juga merupakan inovasi dari segi pertanian dan energi terbarukan.
Berbeda dengan inovasi lain, biogas berkaitan dengan pengelolaan limbah sapi
perah, karena biogas tidak dapat memberikan hasil secara langsung dari segi
produksi seperti halnya inovasi SRI pada padi yang secara langsung dapat dilihat
dari hasil produktivitas padi yang dipanen. Hal ini menjadi khas, karena walaupun
tidak secara langsung memberikan keuntungan dari produktivitas ternak, tetapi
melalui inovasi biogas, peternak sapi perah juga memperoleh keuntungan dari
feces sapi perah yang biasanya dibuang.
Inovasi biogas di Kecamatan Lembang pada awalnya sebagai upaya
pemanfaatan feces sapi sebagai energi alternatif dan mengurangi pencemaran
lingkungan. Sehubungan dengan itu, muncul masalah yang berhubungan dengan
penerapan biogas di kalangan peternak sapi perah. Menurut teori Rogers (2003),
difusi-adopsi berhubungan dengan cepat lambatnya seorang individu mengadopsi
inovasi lebih dini dibanding anggota sistem sosial lainnya. Sebaran kategori
adopter dibagi ke dalam lima kategori innovator, pelopor (early adopter),
penganut dini (early majority), penganut akhir (late majority), dan kaum kolot
(laggard), masing-masing memiliki karakteristik dan perilaku komunikasi
tertentu. Sebelum diadopsi dan terdifusi, peternak melakukan penilaian tentang
sifat inovasi meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas, kompatibilitas, triabilitas
dan observabilitas (Rogers 2003). Mengingat kemanfaatan biogas baik bagi
pemenuhan energi rumah tangga peternak maupun untuk menjaga lingkungan,
maka diperlukan penelitian tentang difusi-adopsi biogas sebagai inovasi yang
berprospek. Sampai saat ini baru sekitar 39.4 persen rumah tangga peternak sapi
perah (RTPSP) di dua desa lokasi penelitian yang memanfaatkan biogas.
Diharapkan selanjutnya setidaknya terdapat potensi penambahan jumlah RTPSP
yang mengusahakan biogas.
Lebih lanjut kedalaman penelitian juga diukur melalui variabel-variabel
yang diidentifikasi, maka variabel-variabel apa sajakah yang berhubungan dengan
tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan Lembang?
4
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan tujuan penelitian:
1. Menganalisis persepsi peternak sapi perah tentang sifat inovasi biogas.
2. Menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat.
3. Menganalisis hubungan antara karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat
inovasi biogas, tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat
difusi-adopsi inovasi biogas.
Manfaat Penelitian
Penelitian berguna sebagai:
1. Manfaat teoritis yaitu dapat memperkaya ilmu pengetahuan tentang difusi-
adopsi inovasi teknologi.
2. Manfaat praktis, yaitu bahan masukan kepada pihak yang terkait yang selama
ini membantu peternak dalam pemanfaatan limbah ternak yang dapat
memberikan nilai tambah bagi peternak sapi perah dan mengurangi
pencemaran sungai oleh feces ternak sehingga kedepannya dapat menyusun
strategi penyuluhan untuk difusi inovasi teknologi yang sesuai kondisi daerah.
TINJAUAN PUSTAKA
Biogas
Menurut Haryati (2006), biogas merupakan renewable energy yang dapat
dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal
dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam. Proses pembentukan biogas melalui
pencemaan anaerobik merupakan proses bertahap, dengan empat tahap utama
yaitu hidrolisis, acidifikasi, produksi acetic acid dan produksi methan. Tahap
pertama adalah hidrolisis, pada tahap ini bahan-bahan organik seperti karbohidrat,
lipid dan protein didegradasi oleh mikroorganisme hidrolitik menjadi senyawa
terlarut seperti asam karboksilat, asam keton, asam hidroksi keton, alkohol, gula
sederhana, asam-asam amino, H2, dan CO2. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap
acidifikasi senyawa terlarut tersebut diubah menjadi asam-asam lemak rantai
pendek yang umumnya asam asetat dan asam format oleh mikroorganisme
asidogenik. Tahap produksi acetic acid dan produksi methan adalah dimana pada
tahap ini asam-asam lemak rantai pendek diubah menjadi H2, CO2, dan asetat.
Asetat akan mengalami dekarboksilasi dan reduksi CO2, kemudian bersama-
sama dengan H2 dan CO2 menghasilkan produk akhir, yaitu metana(CH4) dan
karbondioksida (CO2) (Wellinger et al. 2013).
Di beberapa negara, biogas membawa keuntungan untuk kesehatan, sosial,
lingkungan dan finansial. Menurut Departemen Pertanian (2009), manfaat energi
biogas adalah sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan
dipergunakan untuk memasak. Dalam skala besar, biogas dapat digunakan sebagai
pembangkit tenaga listrik, disamping itu produksi biogas juga menghasilkan sisa
5
olahan kotoran ternak yang langsung dapat digunakan sebagai pupuk organik pada
tanaman atau budidaya pertanian.
Beberapa hal yang menarik dari teknologi biogas adalah kemampuannya
untuk membentuk biogas dari limbah organik yang jumlahnya berlimpah dan
tersedia secara bebas. Biogas sebagai sumber energi alternatif memberikan
manfaat ganda bagi peternak yaitu manfaat ekonomis dan manfaat lingkungan.
Manfaat ekonomis yaitu dapat menghemat pengeluaran dengan membeli bahan
bakar untuk keperluan sehari-hari, sedangkan manfaat bagi lingkungan yatitu
dapat menjaga kelestarian lingkungan dengan penggunaan yang tepat dari limbah
ternak. Pada beberapa literatur sering menyebutkan nilai energi yang berbeda dari
komposisi bahan yang sama, hal ini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan
setempat dan karakteristik substrat yang tidak selalu sama. Potensi produksi gas
dari berbagai jenis kotoran menurut Plochl dan Heiermann (Tom Bond 2011),
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Potensi Produksi Gas dari Berbagai Jenis Kotoran
No. Asal
kotoran
Produksi
kotoran per
hari (kg)
% DM Biogas yang
dihasilkan (m3/kg
DM)
Biogas yang
dihasilkan
(m3/
hewan/hari)
1 Babi 2 17 3.6-4.8 1.43
2 Sapi 8 16 0.2-0.3 0.32
3 Ayam 0.08 25 0.35-0.8 0.01
4 Manusia 0.5 20 0.35-0.5 0.04
Keterangan: DM = dry material
Jika dibandingkan dengan biogas dari kotoran sapi, ayam dan manusia,
kotoran babi tiap harinya mampu menghasilkan biogas paling banyak yaitu
sebesar 1.43 m3/
hewan/hari. Walaupun sapi menghasilkan 8 kg per harinya, tetapi
memiliki selisih 0.11 m3/
hewan/hari lebih rendah dibandingkan biogas yang
dihasilkan babi yang menghasilkan 2 kg kotoran per harinya.
Berdasarkan penelitian Nurhasanah et al. (2006), wilayah Propinsi Jawa
Barat sangat potensial untuk pengembangan digester yang menghasilkan energi
biogas. Ada beberapa jenis digester biogas diantaranya adalah digester tipe kubah
tetap (fixed-dome), digester tipe terapung (floating drum), digester tipe PTP-ITB,
dan digester balon (Indartono 2006). Keempat jenis digester memiliki kelebihan
masing-masing, dan dari keempat jenis digester biogas yang sering digunakan
adalah tipe kubah tetap (fixed-dome) dan tipe drum terapung (floating drum)
karena perawatannya lebih mudah dan biaya konstruksi lebih murah.
Peternakan Sapi Perah
Peternakan sapi perah di Indonesia dimulai sejak abad ke-17. Sapi perah
juga didatangkan dari Australia dan Eropa dan sapi-sapi tersebut diternakkan di
daerah pegunungan karena kebutuhan susu yang semakin meningkat pada abad
ke-20. Pada tahun 1800-an mulailah peternakan sapi perah rakyat yang
memelihara sapi perah dewasa antara dua hingga tiga ekor per peternak. Peternak
umumnya para petani di daerah dataran tinggi seperti di daerah Boyolali (Jawa
6
Tengah), serta Pujon dan Nongkojajar (Jawa Timur), Pangalengan dan Lembang
(Jawa Barat) (Sudono 2002).
Hingga saat ini, perkembangan sapi perah terus meningkat. Hal ini terbukti
dengan adanya jalur-jalur produsen dan konsumen susu meliputi (1) jalur susu di
Jawa Barat yang meliputi jalur Kuningan-Cirebon dan jalur Pengalengan-
Lembang-Bandung-Cianjur-Sukabumi-Bogor-Jakarta,(2) jalur susu di Jawa Te-
ngah meliputi jalur Boyolali-Solo-Yogyakarta dan jalur Temanggung Magelang-
Ungaran-Semarang, dan (3) jalur susu di Jawa Timur yaitu Pasuruan (Grati)-
Malang-Surabaya.
Fries Holland (FH) atau Holstein merupakan jenis sapi perah yang
umumnya diternakkan di Indonesia, sapi FH memiliki berat standar betina seberat
625 kg dan jantan seberat 900kg, sapi jantan dapat mencapai berat badan lebih
dari 1 ton. Sapi Holstein ini dapat menghasilkan rata-rata susu 6000 liter per
laktasi. Pada tahun 1891-1892 sapi Holstein masuk ke Indonesia, selain betina
didatangkan juga sapi jantan Holstein ke daerah Pasuruan Jawa Timur. Pejantan
tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas sapi-sapi setempat ke arah perah
(grading up).Sejak tahun 1900 di daerah Lembang, Jawa Barat telah terdapat
peternakan sapi perah yang memelihara Holstein. Di Lembang ini kemudian
menyebar ke beberapa wilayah di daerah Jawa Barat (Makin 2011).
Jumlah sapi perah di Indonesia tahun 2012 sebanyak 597 021 ekor. Tahun
2013 terdapat sapi perah sebanyak 611 094 ekor dengan pertumbuhan 2.41%.
Jenis ternak yang diusahakan di wilayah Kabupaten Bandung Barat adalah ternak
besar dan kecil, produksi daging, susu, dan telur. Pada tahun 2009 jumlah ternak
sapi perah mencapai 29 878 ekor dengan rataan produksi susu mencapai 13.384
kg per hari. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat 2013).
Usaha ternak sapi perah di Kecamatan Lembang sebagian besar merupakan
usaha peternakan rakyat berskala kecil serta merupakan usaha yang terintegrasi
dengan usaha tani. Kepemilikan ternak yang masih rendah ini berkaitan dengan
jenis tenaga kerja yang digunakan yakni didominasi oleh penggunaan tenaga kerja
dari dalam keluarga dan skala usahaternak yang masih dalam skala kecil. Pada
usaha sapi perah, jumlah ternak yang dipelihara diukur dalam Satuan Ternak (ST).
Menurut Direktorat Jenderal Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil
Peternakan (Muatib 2008), satuan ternak memiliki arti ganda yaitu ternak itu
sendiri dan ukuran yang digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak
dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Usaha sapi potong jumlah ternak yang
pelihara diukur dalam satuan ternak (ST). Satuan Ternak (ST) adalah ukuran yang
digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak dengan jumlah makanan
ternak yang dimakan. Salmi (2008), ST memiliki arti ganda, yaitu ternak itu
sendiri atau jumlah makanan ternak yang dimakannya. ST digunakan pada
ruminansia untuk mengetahui daya tampung suatu padang rumput terhadap
jumlah ternak yang dapat dipelihara. Satu ekor sapi dewasa lebih dari 2 tahun
akan mengkonsumsi rumput/ dedaunan/ hijauan sebanyak sekitar 35 kg sehari.
Sapi muda (umur 1 hingga 2 tahun) mengkonsumsi rumput/ dedaunan/ hijauan
15-17½ kg dan seekor pedet (umur kurang dari 1 tahun) akan mengkonsumsi
rumput/ dedaunan/ hijauan 7½ - 9 kg dan disebut satu ekor sapi dewasa sama
dengan 1 Satuan Ternak (ST), satu ekor sapi muda sama dengan ½ ST dan 1 ekor
anak sapi sama dengan ¼ ST.
7
Satuan Ternak (ST) atau Animal Unit (AU) merupakan satuan untuk ternak
yang didasarkan atas konsumsi pakan. Setiap satu AU diasumsikan atas dasar
konsumsi seekor sapi perah dewasa non laktasi dengan berat 325 kg atau seekor
kuda dewasa. Secara rinci nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan
umur fisiologis ternak disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan umur fisiologis ternak
No. Jenis Ternak ST per ekor 1 ST setara dengan
Jumlah Ternak
1. Kuda 1.00 1
2. Sapi 1.00 1
3. Sapi Pejantan 1.00 1
4. Sapi muda, umur lebih 1 tahun 0.50 2
5. Pedhet (anak sapi) 0.25 4
6. Anak kuda (colt) 0.50 2
7. Babi induk/pejantan 0.40 2,5
8. Babi seberat 90 kg 0.20 5
9. Domba Induk/pejantan 0.14 7
10. Anak domba 0.07 14
11. Ayam (setiap 100 ekor) 1.00 100
12. Anak ayam (setiap 200 ekor) 1.00 200
Sumber: Ensminger 1989
Berdasarkan nilai konversi ST pada berbagai ternak, diketahui 1 ST sapi
setara dengan 2 ekor babi. 1 ST sapi juga setara dengan 7 ekor domba atau setara
juga dengan 100 ekor ayam. 1 ST sapi sama dengan 2 ekor sapi muda, sama
dengan 5 ekor babi muda, sama dengan 14 ekor domba muda dan juga sama
dengan 200 ekor anak ayam.
Energi
Sumberdaya energi mempunyai peran yang sangat penting bagi
pembangunan ekonomi nasional. Energi diperlukan untuk pertumbuhan kegiatan
industri, jasa, perhubungan dan rumah tangga (Widodo et al. 2005). Energi baru
dan terbarukan adalah energi yang pada umumnya sumber daya nonfosil yang
dapat diperbaharui atau yang bila dikelola dengan baik, maka sumber dayanya
tidak akan habis. Sumber energi yang termasuk dalam energi baru dan terbarukan
antara lain energi panas bumi, energi air, energi surya, energi angin, energi
biomassa/biogas, energi samudra, fuel cell (sel bahan bakar), dan energi nuklir
(Febriono dan Priyanto 2012).
Menurut Hambali et al. (2007), ada beberapa jenis energi yang bisa
dijadikan pengganti bahan bakar fosil seperti tenaga baterai (fuel cells), panas
bumi (geo-thermal), tenaga laut (ocean power), tenaga matahari (solar power),
tenaga angin (wind power), nuklir dan bioenergi, dan di antara jenis energi
alternatif tersebut, bioenergi cocok untuk mengatasi masalah energi karena
beberapa kelebihannya. Bioenergi selain bisa diperbaharui bersifat ramah
lingkungan, dapat terurai, mampu mengeliminasi efek rumak kaca dan
8
kontinyuitas bahan baku cukup terjamin. Bahan baku bioenergi dapat diperoleh
dengan cara sederhana yaitu melalui budidaya tanaman penghasil biofuel dan
memanfaatkan limbah yang ada di sekitar kehidupan manusia (Setiawan 2008).
Energi biogas adalah salah satu dari banyak macam sumber energi
terbarukan, karena energi biogas dapat diperoleh dari air buangan rumah tangga,
kotoran cair dari peternakan ayam, sapi, babi, sampah organik dari pasar, industri
makanan dan limbah buangan lainnya. Produksi biogas memungkinkan pertanian
berkelanjutan dengan sistem proses terbarukan dan ramah lingkungan. Pada
umumnya, biogas terdiri atas gas metana (CH4) sekitar 55-80%, dimana gas
metana diproduksi dari kotoran hewan yang mengandung energi 4 800-6 700
Kcal/m3, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8 900 Kcal/m
3. Sistem
produksi biogas mempunyai beberapa keuntungan seperti: (a) mengurangi
pengaruh gas rumah kaca, (b) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (c)
sebagai pupuk, dan (d) produksi daya dan panas (Soehadji 1992).
Persepsi
Beragam pengertian tentang persepsi dikemukakan oleh para ahli dalam
Asngari (1984), Litterer mengungkapkan bahwa persepsi adalah “the
understanding or view people have of things in the world around them.” Menurut
Allport bahwa, “perception has something to do with awareness of content upon
the impression these object make upon our senses. It is the way things look to us,
or the way they sound, feel, taste or smell. But perception also involves, to some
degree, and understanding awareness, a meaning or a recognition of these
objects,” dan Hillgard (Narso et al. 2012), menyebutkan bahwa “perception is the
process of becoming aware of objects”. Robbins (2008), mengemukakan bahwa
individu yang melihat sebuah obyek dan berusaha untuk menginterpretasikan
obyek tersebut, interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh berbagai karakteristik
pribadi dari pembuat persepsi tersebut, seperti sikap, kepribadian, motif, minat,
pengalaman-pengalaman masa lalu dan harapan-harapan seseorang.
Beberapa variabel yang memengaruhi laju adopsi, yaitu persepsi tentang
sifat inovasi tersebut akan memengaruhi pengambilan keputusan menerapkan
inovasi. Lima karakteristik inovasi meliputi keuntungan relatif (relative
advantage), kompatibilitas (compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan
diuji cobakan (trialability), dan kemampuan diamati (observability). Keunggulan
relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik dari yang pernah
ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi ekonomi,
prestise sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan
relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.
Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan
nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi (Rogers
2003).
9
Difusi dan Adopsi Inovasi
Difusi merupakan suatu proses inovasi dikomunikasikan melalui suatu
saluran dalam jangka waktu tertentu dalam suatu sistem sosial; jadi dalam difusi
terdapat empat unsur penting yaitu inovasi, saluran komunikasi, waktu dan
anggota sistem sosial (Rogers 2003). Dalam proses difusi inovasi, waktu
merupakan elemen penting yang tidak dapat diabaikan, dimana keterlibatan waktu
dalam proses difusi inovasi dalam hal:
(1) Proses pengambilan keputusan inovasi oleh individu atau dapat disebut
tahapan adopsi yaitu sejak mulai pertama kali individu mengetahui adanya
suatu invasi sampai menolak atau mengadopsi inovasi tersebut. Jadi, adopsi
merupakan bagian dari pross difusi. dimana adopsi mengacu pada aksi
inovasi oleh individu sedangkan difusi berhubungan dengan penyebaran
inovasi dalam sebuah komunitas.
(2) Tingkat kecepatan individu dalam mengadopsi atau tingkat keinovativan
individu merupakan kecepatan penerimaan suatu inovasi baru. Adopsi
terhadap teknologi baru tidak terjadi serempak, karena seseorang bisa
menerima lebih cepat atau lebih lambat dari orang lain. Kecepatan diukur
dengan jumlah penerimaan yang pengadopsian suatu ide baru dalam suatu
priode tertentu (Leeuwis 2009).
Berdasarkan waktu dalam mengadopsi inovasi maka Rogers dan Shoemaker
(1971) membagi tingkat keinovativan individu maka sebaran kategori adopter
ke dalam lima kategori: innovator, pelopor (early adopter), penganut dini
(early majority), penganut akhir (late majority), dan kaum kolot (laggard).
Inovator sebesar 2.5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi.
Inovator ini memiliki keberanian mengambil resiko, cerdas, kemampuan
ekonomi tinggi. Early Adopter sebanyak 13.5% yang menjadi para perintis
dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang
yang dihormati, akses di dalam tinggi. Early Majority, sebanyak 34% yang
menjadi para pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal
tinggi. Late Majority sebanyak 34% yang menjadi pengikut akhir dalam
penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan
ekonomi atau tekanan sosial, terlalu hati-hati. Laggard sebanyak 16%
terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi,
wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas. Orang
terlambat adalah yang terakhir di dalam suatu sistem sosial untuk mengadopsi
suatu inovasi.
(3) Jumlah anggota sistem sosial yang mengadopsi dalam kurun waktu tertentu.
Derajat adopsi biasanya diukur dari panjangnya waktu yang diperlukan untuk
mengadopsi suatu inovasi berdasarkan jumlah anggota sistem sosial yang
mengadopsi inovasi tersebut.
Terdapat empat tipe proses pengambilan keputusan inovasi, yaitu opsional,
kolektif, otoritas, dan kontingensi; keempatnya dibedakan berdasarkan unit
pengambil keputusan dan unit adopsi dalam pengambilan keputusan inovasi
tersebut. Pada pengambilan keputusan inovasi opsional, individu merupakan unit
pengambil keputusan dan unit adopsi inovasi, sedangkan pada pengambilan
keputusan kolektif, baik unit pengambil keputusan maupun unit adopsi inovasinya
adalah kelompok atau suatu sistem sosial. Berbeda dengan tipe sebelumnya, pada
10
tipe otoritas, pengambilan keputusan inovasi dilakukan oleh seseorang yang
mempunyai posisi kekuasaan atasan (superordinat) sedangkan unit adopsinya
adalah anggota sistem sosial bawahannya (subordinat). Adapun pada tipe
kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau lebih
keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe lain
yang mendahuluinya. Saluran komunikasi juga merupakan elemen penting, dimana saluran
komunikasi ini meliputi saluran komunikasi interpersonal dan saluran komunikasi
media massa. Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa
ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa
No
.
Karakteristik Saluran
Interpersonal
Media massa
1. Arus komunikasi Cenderung dua arah Cenderung searah
2. Konteks komunikasi Tatap muka Melalui media
3. Tingkat umpan balik Tinggi Rendah
4. Kemampuan mengatasi
tingkat selektivitas *)
Tinggi Rendah
5. Kecepatan jangkauan
terhadap khalayak banyak
Relatif lambat Relatif cepat
6. Efek yang mungkin terjadi Perubahan dan
pembentukan sikap
Perubahan
pengetahuan
Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971)
Keterangan: *) Terutama selektivitas (untuk) terdedah atau selective exposure
Media massa memiliki kecepatan jangkauan yang relatif cepat kepada
khalayak walaupun umpan baliknya rendah misalnya televisi yang memberikan
efek perubahan pengetahuan ketika khalayak menonton acara berita.
Difusi juga erat kaitannya dengan sistem sosial yang diartikan suatu
seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam upaya
mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah. Anggota-
anggota sistem sosial bisa terdiri dari individu, kelompok informal, organisasi,
dan/atau subsistem-subsistem. Sistem sosial memiliki seperangkat batasan di
dalam mana inovasi menyebar oleh karena itu perlu pemahaman mengenai
struktur sosial dalam sistem yang mempengaruhi pola-pola difusi inovasi.
Struktur sosial mempengaruhi difusi inovasi melalui beberapa cara, di
antaranya peranan tokoh pemuka pendapat dan agen perubahan. Pemimpin opini
(opinion leader) adalah seseorang yang melalui pendapatnya dapat memengaruhi
orang lain untuk melakukan tindakan tertentu. Ciri-ciri pemimpin opini adalah (1)
pemimpin opini yang terlibat dalam komunikasi eksternal melalui media massa,
frekuensi keluar yang tinggi, (2) memiliki jaringan interpersonal yang lebih luas
dalam menyabarkan pesan inovasi, (3) memiliki status ekonomi yang lebih tinggi,
dan (4) inovatif, diakui sebagai seorang ahli yang kompeten dan terpercaya.
Dalam konteks peranan opinion leader dimungkinkan adanya individu yang
mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili. Homofili adalah
derajat dimana dua orang atau lebih individu yang berinteraksi memiliki
kesamaan atribut atau karakteristik tertentu, seperti kepercayaan, pendidikan,
11
status sosial, dan lainnya. Adapun heterofili adalah derajat dimana pasangan
individu-individu yang berinteraksi memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut
Rogers dan Shoemaker (1971), komunikasi interpersonal yang homofili dapat
menghambat proses difusi, karena memungkinkan penyebaran inovasi hanya
secara horizontal, baik hanya di kalangan lapisan atas atau hanya di kalangan
lapisan bawah. Para pemimpin opini dalam proses difusi adopsi inovasi
memegang peranan penting baik dalam mempercepat proses difusi adopsi,
maupun dalam proses menghambatnya. Oleh sebab itu, keberadaan para
pemimpin opini memegang peranan peting dalam kegiatan penyuluhan
(Hanan 2005).
Adopsi adalah proses sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru
sampai orang tersebut menolak atau menerima hal baru tersebut. Elemen yang
penting yang perlu diperhatikan dalam proses adopsi inovasi (a) adanya sikap
mental untuk melakukan adopsi inovasi, dan (b) adanya konfirmasi dari keputusan
yang telah diambil, menurut Rogers (2003) adopsi meliputi:
(1) Tahap pengetahuan: dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi
mengenai inovasi baru. Informasi mengenai inovasi tersebut harus
disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui
media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal di antara
masyarakat
(2) Tahap persuasi: tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran
calon adopter. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan diperoleh
jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan
diskusi dengan orang lain, ada kecenderungan untuk mengadopsi atau
menolak inovasi tersebut.
(3) Tahap pengambilan keputusan: dalam tahap ini, seseorang membuat
keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah
inovasi. Setelah melakukan pengambilan keputusan, tidak menutup
kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.
(4) Tahap implementasi: seseorang mulai menggunakan inovasi sambil
mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut.
(5) Tahap konfirmasi: setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan
mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut
diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan
yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian
mengubah keputusan yang tadinya menolak menjadi menerima inovasi
setelah melakukan evaluasi.
Menurut Hasanuddin (2005) bahwa adopsi inovasi merupakan kemampuan
petani dalam menggunakan suatu teknologi untuk kegiatan usaha taninya.
Menurut Subagyo et al. (2005) proses adopsi merupakan proses pelaksanaan suatu
teknologi yang dapat berjalan secara sistematis sehingga memberikan keuntungan
secara ekonomis dan memberikan dorongan untuk msyarakat setempat.
Inovasi memiliki tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau
praktek, dan produk (barang dan jasa) dan ntuk dapat disebut inovasi maka ketiga
komponen tersebut harus mempunyai sifat baru. Sifat tersebut tidak selalu berasal
dari penelitian yang mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu juga dapat disebut
inovasi, apabila diintroduksikan kepada seseorang atau unit masyarakat yang
belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi sifat baru pada suatu inovasi dilihat dari
12
sudut pandang calon pengadopsi atau pengetrap, bukan kapan inovasi tersebut
dihasilkan. Kebaruan dari suatu inovasi tidak didasarkan pada kurun waktu
ditemukannya inovasi, akan tetapi bahwa adanya anggapan sebagai sesatu yang
baru dalam diri adopter (Nasution 1995). Inovasi juga dapat berupa sesuatu yang
benar-benar baru atau sudah lama tetapi masih dianggap baru oleh peternak.
Keputusan menerima inovasi ini merupakan proses mental, yang terjadi sejak
peternak sasaran tersebut mengetahui suatu inovasi sampai menerima atau
menolaknya dan kemudian mengukuhkannya (Ibrahim et al. 2003).
Mengadopsi biogas berlangsung mulai dari peternak tahu adanya teknologi
biogas sampai peternak mau mencoba serta menggunakan teknologi ini terus-
menerus. Adopsi inovasi biogas dapat dilihat dari keinginan peternak
menggunakan biogas dalam kegiatan rumah tangganya, seperti memasak.
Penerapan meliputi kegiatan pemakaian dan pemeliharaan. Cara-cara pemakaian
meliputi: pengisian reaktor, mencuci saluan masuk, penggunaan katup,
pemeriksaan kebocoran gas, menguras air, membersihkan overflow, menggunakan
keran gas, membuat kompos, menggunakan alat pengukur tekanan, menggunakan
kompor (Pedoman Pengguna BIRU 2010).
Beberapa penelitian mengenai difusi-adopsi inovasi di bidang pertanian
yang telah dilakukan, di antaranya:
(a) Humaedah (2007), bahwa kontaktani berperan sebagai pengambil keputusan,
sebagai pemimpin, sebagai agen perubahan dan sebagai dinamisator kelas
belajar.
(b) Roswida (2003) meneliti mengenai tahapan proses keputusan adopsi inovasi
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, karakteristik
internal meliputi tingkat pendidikan formal, pengalaman usahatani, luas lahan
usahatani, kekosmopolitan, keinovativan usahatani, sikap kepemimpinan,
sikap kewirausahaan, keanggotaan dalam kelompoktani, sedangkan
karakteristik eksternal meliputi ketersediaan sumber informasi, intensitas
penyuluhan, ketersediaan sarana, peluang pasar dan intensitas promosi
pestisida.
(c) Menurut Purnaningsih (2006), faktor yang mampu menjelaskan keputusan
petani dalam mengadopsi pola kemitraan agribisnis di empat kabupaten di
Jawa Barat adalah karakteristik individu, kondisi sosial dan fisik,
pengetahuan petani tentang pola kemitraan, persepsi petani tentang ciri
inovasi pola kemitraan dan kinerja petani dalam mengelola usahataninya.
(d) Syafril (2002) dari hasil studinya menemukan bahwa adopsi inovasi
Teknologi Sistem Usaha Pertanian (SUP) Jagung bekorelasi nyata dengan:
(a) karakteristik pribadi, khususnya kekosmopolitan, (b) karakteristik rumah
tangga, khususnya ketersediaan modal, dan (c) kesesuaian stimulan dan
frekuensi pembinaan teknologi SUP jagung, serta (d) jaringan komunikasi.
Selanjutnya bahwa derajat integrasi individu, keterbukaan klik dan
keterbukaan sistem dalam jaringan komunikasi sangat mempengaruhi
penerimaan dan pertukaran informasi di dalam jaringan komunikasi yang
pada akhirnya mempengaruhi tingkat adopsi. Selain itu, opinion leader dalam
sistem sosial juga cukup efektif dalam memengaruhi adopsi inovasi teknologi
sistem usaha pertanian jagung.
13
(e) Mulyadi et al. (2007), bahwa dalam saluran komunikasi berhubungan nyata
dengan keputusan mengadopsi inovasi, saluran komunikasi ini menggunakan
saluran komunikasi vertikal (top-down) dari pemerintah, kepala suku, pendeta
serta menggunakan media massa. Emmann (2013), faktor yang
mempengaruhi penerimaan inovasi biogas antara petani adalah
keinovativan/karakteristik dari petani itu sendiri. Faktor-faktor internal yang
mempengaruhi cepat lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, luas
lahan, tingkat pendapatan, partisipasi dalam kelompok, aktivitas mencari
informasi, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap perubahan, motivasi
berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan dogmatisme (sistem kepercayaan yang
tertutup).
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Difusi-Adopsi
Inovasi Biogas
Penelitian tentang difusi-adopsi di bidang pertanian khususnya tentang
biogas masih terbatas, penelitian tentang biogas di luar negeri seperti penelitian
oleh Sanders (2010) tentang identifikasi dukungan digester dalam bidang
peternakan yang memasukkan variabel keinginan akan tenaga alternatif, umur,
pendidikan, politik, pendapatan, dan penatagunaan lingkungan. Penelitian oleh
Walekhwa (2009) di Uganda, hasil empiris menunjukkan bahwa faktor yang
memengaruhi adopsi teknologi biogas adalah usia kepala rumah tangga,
peningkatan pendapatan rumah tangga, peningkatan jumlah ternak yang dimiliki,
peningkatan ukuran rumah tangga, laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan
meningkatnya biaya bahan bakar tradisional. Sebaliknya, kemungkinan adopsi
menurun dengan meningkatnya lokasi rumah tangga yang terpencil dan
meningkatnya luas lahan rumah tangga.
Hasil penelitian Kabir Humayun (2013) di Bangladesh, menyatakan bahwa
tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah ternak, dan perempuan sebagai
kepala keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan instalasi
pembangkit biogas. Semakin meningkat tingkat pendidikan, pemberdayaan
perempuan, pendapatan tahunan dan jumlah sapi cenderung meningkatkan tingkat
adopsi biogas. Selain itu, manfaat lingkungan, ekonomi, sosial, dan teknologi juga
dipertimbangkan oleh responden dalam adopsi biogas. Penelitian lain yaitu
Wei Qu et al. (2013) di China, menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat
memengaruhi penerapan biogas, antara lain adanya promosi pemerintah tentang
biogas, usia kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga yang tinggal di
rumah, pendapatan rumah tangga dan tingkat persepsi dari tentang inovasi biogas.
Penelitian tentang biogas di Indonesia, salah satunya penelitian oleh
Yusriadi (2011), bahwa faktor yang berhubungan dengan adopsi peternak sapi
perah tentang teknologi biogas di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan yaitu
selang dari tahu sampai menggunakan teknologi biogas, pendidikan, pendapatan,
umur, sikap peternak, motivasi peternak, kontak dengan anggota kelompok, dan
jarak instalasi biogas dari penampung gas ke dapur.
14
Setelah mereview beberapa penelitian maka variabel-variabel penelitian
meliputi:
(1) Tingkat pendidikan formal
Penelitian oleh Sanders (2010) dan penelitian oleh Humayun (2013) di
Bangladesh mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan memegaruhi
penerapan biogas.
(2) Lama beternak
Menurut Roswida (2003), lama berusahatani termasuk karakteristik internal
petani. Pengalaman berusahatani berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan dalam menghadapi pemilihan inovasi teknologi pertanian. Semakin
lama pengalaman seseorang berusahatani, maka akan semakin mudah dalam
memahami suatu inovasi teknologi dan cenderung lebih mudah
menerapkannya (Rogers 2003).
(3) Jumlah ternak sapi perah
Jumlah ternak menunjuk pada banyaknya ternak yang dimiliki oleh peternak.
Peluang sebuah rumah tangga peternak dalam mengadopsi teknologi biogas
dipengaruhi oleh peningkatan jumlah ternak yang dimiliki (Walekhwa 2009).
(4) Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)
Walekhwa (2009), Humayun (2013) dan Wi Qu et al. (2013),mengungkapkan
bahwa tingkat pendapatan rumah tangga berhubungan dengan tingkat adopsi
biogas. Pendapatan merupakan jumlah keseluruhan yang diperoleh dari
pemanfaatan tenaga kerja dan modal lainnya (Penny 1990).
(5) Motivasi (motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik) Menurut Robbins dan Coulter (2010), motivasi mengacu pada suatu
dorongan, arahan pada seseorang untuk mencapai tujuan. Teori Hierarki
kebutuhan Maslow, kebutuhan fisiologis (dapat berupa kebutuhan makan,
minum, tempat berteduh dan kebutuhan lainnya), kebutuhan keamanan
(kebutuhan keamanan dan perlindungan fisik), kebutuhan sosial (kebutuhan
penerimaan dan persahabatan), kebutuhan penghargaan (kebutuhan
penghargaan internal seperti harga diri, dan penghargaan eksternal seperti
status, pengakuan dan perhatian), dan kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan
pencapaian potensi, dan pemenuhan diri). Penelitian ini membatasi pada
motivasi intrinsik untuk kebutuhan fisiologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan
penghargaan.
Teori Motivasi Dua Faktor dari Herzberg (Robbin dan Coulter 2010), teori
ini menyatakan bahwa pada setiap melakukan sesuatu akan terdapat dua
faktor penting yang memengaruhi suatu pekerjaan dilaksanakan dengan baik
atau tidak. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor-faktor
motivasi (intrinsik) meliputi motivasi karena kebutuhan fisiologis, kebutuhan
sosial dan kebutuhan penghargaan. Menurut Asngari (2001), kelayan yang
memiliki motivasi intrinsiknya tinggi akan lebih aktif dibandingkan bagi yang
baru tumbuh motivasi ekstrinsiknya, maka perlu dipacu oleh penyuluh agar
memiliki motivasi intrinsik yang tinggi, sehingga nantinya dia lebih dinamis
membantu diri sendiri. Faktor ekstrinsik diantaranya adalah bantuan kredit
dari KPSBU maupun bantuan dari pemerintah. Sugiyono (2013) menyatakan
pemerintah harus memberikan kredit pembutan instalasi biogas bagi
masyarakat di desa-desa terpencil untuk memotivasi orang-orang di desa-desa
terpencil tersebut
15
(6) Tingkat keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas,
tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas
Rogers (2003) mengungkapkan bahwa difusi inovasi dipengaruhi oleh
persepsi tentang sifat inovasi meliputi persepsi tentang keuntungan relatif,
kompleksitas, kompatibilitas dan observabilitas. Beberapa faktor yang
mempengaruhi adopsi inovasi juga diungkapkan Soekartawi (2005), yaitu (1)
macam dan proses adopsi, (2) apakah memberikan keuntungan atau tidak, (3)
kompatabilitas atau kelanjutan teknologi, (4) kompleksitas/teknologi makin
mudah, (5) triabilitas/kemudahan mencoba, (6) observabilitas/ dapat diamati.
(7) Luas lahan untuk biogas
Lahan ini merupakan lahan yang dimiliki peternak dan digunakan sebagai
kandang dan reaktor. Lahan untuk kandang dan instalasi biogas yang
diperlukan oleh peternak tergantung dari besarnya reaktor. Sebagian peternak
membangun tangki reaktor ukuran 4cm2 dan 6 m
2, kemudian pula diperlukan
ruang terbuka untuk inlet kotoran sapi, dan penampung ampas biogas.
Terdapat dua tipe kandang ternak yang dimiliki peternak yaitu kandang
ternak di dekat rumah dengan luasan lahan yang cukup dan kandang terpisah
dengan rumah. Hasil penelitian Mwirigi et al. (2009), menungkapkan bahwa
dalam adopsi biogas juga dipengaruhi oleh lahan yang dimiliki peternak sapi
perah.
(8) Akses terhadap informasi inovasi biogas
Informasi diperoleh dari beberapa jenis saluran komunikasi, baik saluran
antar pribadi maupun saluran komunikasi media massa. Media yang termasuk
dalam saluran komunikasi massa elektronik adalah radio, televisi dan film
(Nasution 1995). Dampak yang ditimbulkan dari salura komunikasi antar
pribadi tidak hanya sampai pada tahap pengetahuan, namun dapat sampai
tahap perubahan sikap. Akses terhadap informasi merupakan suatu upaya
yang timbul dari diri dalam mencari dan memperoleh informasi yang
berkaitan dengan biogas kemudian dapat mengambil keputusan untuk
menerapkan.
(9) Frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas
Penyuluh yang dimaksudkan adalah penyuluh biogas dari Koperasi Susu
Bandung Utara Lembang (KPSBU), dimana penyuluh ini juga sebagai agen
pembaruan. Seorang penyuluh bertugas menyebarkan informasi yang
bermanfaat, mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan kecakapan sesuai
bidang penyuluhannya, memberikan rekomendasi yang menguntungkan guna
perbaikan kehidupan sasaran penyuluhan, membantu mengusahakan sarana
produksi, fasilitas kerja serta bahan informasi pertanian yang diperlukan oleh
petani, dan mengembangkan swakarya dan swasembada para petani sehingga
taraf kehidupannya lebih meningkat (Kartasapoetra 1994). Intensitas
penyuluhan merupakan kehadiran penyuluh dan peternak dalam
membicarakan inovasi biogas. Semakin banyaknya kehadiran peternak dan
penyuluh membicarakan inovasi biogas, akan membuka wawasan dan cara
berpikir petani sehingga terbuka dalam mengadopsi inovasi biogas.
16
Kerangka Berpikir
Inovasi biogas di Kecamatan Lembang merupakan sumber energi alternatif
untuk keperluan rumah tangga. Biogas dapat dikatakan sebagai suatu inovasi jika
memiliki tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau praktek, dan produk
(barang dan jasa) tersebut harus mempunyai sifat baru. Hasil penelitian yang telah
lalu juga dapat disebut inovasi, apabila diintroduksikan kepada seseorang atau
unit masyarakat yang belum pernah mengenal sebelumnya, sehingga kebaruan
pada suatu inovasi dilihat dari sudut pandang calon adopter atau penerap, bukan
kapan inovasi tersebut dihasilkan. Kebaruan dari suatu inovasi tidak didasarkan
pada kurun waktu ditemukannya inovasi, akan tetapi bahwa adanya anggapan
sebagai sesatu yang baru dalam diri adopter seperti halnya biogas yang dirasakan
sebagai hal baru bagi peternak di Kecamatan Lembang.
Sejak tahun 2010, biogas di Kecamatan Lembang berkembang dengan
adanya Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola Koperasi Susu Bandung Utara
(KPSBU) bekerjasama dengan Hivos dengan bantuan teknis dari SNV. Program
BIRU (Biogas Rumah) yang merupakan sebuah program kerjasama antara
Humanistic Institute for Development Cooperation (Hivos) dan SNV dan
didukung oleh Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral Indonesia, biogas
diharapkan dapat diterapkan oleh peternak yang belum menerapkan. Inovasi
biogas telah lama berkembang, namun pada kenyataannya, belum sepenuhnya
dapat diadopsi oleh peternak. Salah satu syarat diterima teknologi biogas,
kesesuaian teknologi dengan karakteristik masyarakat.
Setelah mereview beberapa penelitian, maka beberapa variabel penelitian
meliputi variabel karakteristik rumah tangga peternak sapi perah (RTPSP) (X1),
persepsi terhadap sifat inovasi biogas (X2) dan variabel tingkat akses informasi
dan fasilitasi penyuluh (X3). Karakteristik peternak yang diduga berhubungan
dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas yaitu tingkat pendidikan formal, lama
beternak, jumlah ternak, tingkat pendapatan, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik),
dan luas lahan untuk biogas. Selanjutnya, variabel dalam penelitian juga
mencakup persepsi terhadap sifat inovasi meliputi tingkat keuntungan relatif,
tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas (kesesuaian), tingkat observabilitas
(dapat diamati) dan tingkat triabilitas (dapat dicoba) serta variabel tingkat akses
informasi dan fasilitasi penyuluh meliputi akses terhadap informasi inovasi
biogas, dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas. Secara lengkap, alur
berpikir disajikan pada Gambar 1.
17
Gambar 1. Alur Berpikir Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak
Sapi Perah di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat
Hipotesis Penelitian
Mengacu pada permasalahan dan kerangka pikir penelitian, hipotesis
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Karakteristik RTPSP (tingkat pendidikan formal, lama beternak, jumlah ternak,
tingkat pendapatan, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik), dan luas lahan untuk
biogas) berhubungan nyata dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.
2. Persepsi terhadap sifat inovasi biogas (tingkat keuntungan relatif, tingkat
kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat
triabilitas) berhubungan nyata dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.
3. Tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh berhubungan nyata dengan
tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.
(X2) Persepsi terhadap Sifat
inovasi biogas :
(X2.1) Tingkat Keuntungan relatif
(X2.2) Tingkat Kompleksitas
(X2.3) Tingkat Kompatibilitas
(kesesuaian)
(X2.4) Tingkat Observabilitas
(dapat diamati)
(X2.5) Tingkat Triabilitas (mudah
dicoba)
(X1) Karakteristik
peternak sapi perah:
(X1.1) Tingkat Pendidikan
Formal
(X1.2) Lama beternak
(X1.3) Jumlah ternak
(X1.4) Tingkat Pendapatan
RTPSP
(X1.5) Motivasi (intrinsik
dan ekstrinsik)
(X1.6) Luas lahan peternak
untuk biogas
(X3) Tingkat Akses Informasi
dan Fasilitasi Penyuluh
(X3.1) Akses terhadap
informasi inovasi biogas
(X3.2) Frekuensi pertemuan
dengan penyuluh biogas
(Y) Tingkat Difusi-
Adopsi inovasi
biogas :
(Y1) Kecepatan (waktu)
(Y2) Penyebaran (jumlah
orang yang
menerapkan)
18
METODE PENELITIAN Rancangan dan Pendekatan Penelitian
Penelitian bersifat deskriptif eksplanatori yang dimaksudkan untuk
menjelaskan, merinci, mendeskripsikan dan menguji hubungan variabel-variabel
yang diamati (Riduwan, 2011). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kuantitatif sebagai tumpuan analisis. Penelitian terdiri variabel bebas yaitu (X1)
adalah karakteristik peternak sapi perah, persepsi terhadap sifat inovasi (X2), dan
tingkat akses informasi dann fasilitasi penyuluh (X3) sedangkan variabel terikat
(Y) adalah tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Pemilihan daerah ini dilakukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan
Lembang dengan mengambil dua desa yaitu Desa Suntenjaya karena alasan
mendasar, yakni kekhasan lokasi ini dibandingkan dengan lokasi lainnya yaitu
(1) Wilayah perkembangan sektor peternakan sapi perah di Jawa Barat, dan (2)
Desa Cibodas merupakan desa percontohan dalam pengembangan inovasi bagi
desa-desa lainnya di Kecamatan Lembang, sedangkan Desa Suntenjaya memiliki
potensi pengembangan biogas, pupuk organik dan batapi (batu bata dari feces
sapi), serta berdasarkan data Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat
(KLH KBB) tahun 2012, kedua desa yang berlokasi di hulu Sungai Cikapundung mengalami pencemaran akibat kotoran dari peternakan sapi. Selanjutnya,
penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga April 2014.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah semua rumah tangga peternak sapi perah
penerap biogas di Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas, Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat. Selanjutnya, seluruh anggota populasi merupakan
sampel penelitian (sensus) yang berjumlah sebanyak 266 rumah tangga peternak
sapi perah. Secara lengkap populasi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Populasi Rumah tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)
No. Desa Populasi RTSP Populasi RTSP penerap biogas
1. Suntenjaya 420 141
2. Cibodas 255 125
Jumlah 675 266
Jenis dan Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui kueisioner yang disebarkan kepada
responden. Selain itu, dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan sejumlah
responden. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen dan pustaka berbagai
sumber yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Sumber-sumber tersebut
19
antara lain adalah dokumen tentang profil kecamatan dan dua desa yang menjadi
lokasi penelitian, dokumen-dokumen dan pustaka yang berasal dari berbagai
sumber yang berhubungan dan menunjang penelitian.
Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari tiga variabel utama yaitu variabel bebas dan
tingkat difusi-adopsi inovasi biogas sebagai variabel terikat. Variabel bebas terdiri
dari tiga sub variabel yaitu karakteristik peternak, persepsi terhadap sifat inovasi
biogas, tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh (X3). Secara variabel
penelitian rinci dijelaskan sebagai berikut:
(A) Variabel bebas (X) terdiri dari:
(1) Karakteristik peternak sapi perah (X1) adalah ciri yang melekat pada
peternak sapi perah, meliputi indikator tingkat pendidikan formal, lama
beternak, tingkat pendapatan RTPSP, jumlah ternak, motivasi dan luas
lahan peternak untuk biogas.
(2) Persepsi terhadap sifat inovasi biogas (X2) adalah pandangan peternak
terhadap inovasi biogas meliputi indikator tingkat keuntungan relatif,
tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat triabilitas dan
tingkat observabilitas.
(3) Tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh (X3) adalah berbagai
macam sumber informasi tentang biogas yang diakses oleh peternak dan
banyaknya frekuensi pertemuan peternak dengan penyuluh biogas.
Secara rinci konsep dan operasionalisasi tiap variabel dan sub variabel
dijelaskan sebagai berikut:
Konsep dan operasionalisasi variabel
(1) Sub-variabel karakteristik peternak (X1) terdiri sebagai berikut:
(a) Tingkat Pendidikan Formal adalah lamanya responden menempuh jenis
pendidikan formal tertinggi dan dihitung dalam tahun. Tingkat pendidikan
diukur dengan skala rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif
dilakukan penggolongan sebagai berikut:
1) Rendah : ≤6 tahun (SD/SR)
2) Sedang : 7-12 tahun (SMP-SMA)
3) Tinggi : ≥13 tahun (Diploma/Perguruan Tinggi)
(b) Lama beternak adalah lamanya responden berusaha di bidang peternakan
sapi perah dan dihitung dalam tahun. Lama beternak diukur dengan skala
rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif penggolongan sebagai
berikut:
1) Rendah : ≤ 5 tahun
2) Sedang : 6-11 tahun
3) Tinggi : ≥12 tahun
(c) Jumlah ternak sapi perah adalah jumlah sapi dewasa, sapi muda dan sapi
anakan yang dimiliki responden dan dihitung dalam satuan ternak. Jumlah
ternak dinyatakan dengan skala rasio dan untuk kepentingan analisis
deskriptif dikategorikan sebagai berikut:
1) Sedikit : ≤ 2.2 ST
2) Sedang : 2.3-4.5 ST
3) Banyak : ≥ 4.6 ST
(d) Tingkat Pendapatan RTPSP adalah besarnya uang yang diterima oleh rumah
tangga petani sebagai hasil dari usahatani-ternak dalam kurun waktu satu
20
tahun dan dihitung dalam Rupiah (Rp). Pendapatan usahatani-ternak
diyatakan dengan skala rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif
dikategorikan sebagai berikut:
1) Rendah : ≤ 9 828 435.31
2) Sedang : 9 828 435.32–81 932 751
3) Tinggi : ≥ 81 932 751.1
(e) Motivasi beternak adalah yaitu kekuatan-kekuatan atau dorongan dari dalam
dan dari luar diri responden untuk menyebarkan inovasi biogas motivasi
terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik
karena kebutuhan fisiologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan.
Motivasi ekstrinsik berupa dorongan yang berasal dari adanya bantuan/
kredit pengadaan reaktor biogas oleh pemerintah daerah maupun pihak
swasta. Motivasi ini diukur dengan menilai jawaban responden atas
pertanyaan yang terkait motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Jumlah pertanyaan
yang diajukan adalah sebanyak tujuh pertanyaan. Responden dapat memilih
salah satu dari tiga jawaban yakni sangat setuju (skor 3), setuju (skor 2),
tidak setuju (skor1) dan untuk kepentingan analisis deskriptif dikategorikan
menjadi tiga yakni:
1) Rendah : jika skor ≤11
2) Sedang : jika skor 12-16
3) Tinggi : jika skor ≥17
(f) Luas lahan peternak untuk biogas adalah luas lahan yang dimiliki oleh
peternak yang digunakan untuk membangun instalasi biogas dan dihitung
dalam m2. Luas lahan diukur dengan skala rasio dan dan untuk analisis
deskriptif dikategorikan sebagai berikut:
1) Sempit : jika luas lahan 4 m2
2) Sedang : jika luas lahan 5 m2
3) Luas : jika luas lahan 6 m2
(2) Sub-variabel persepsi tentang sifat inovasi biogas (X2) meliputi:
a. Tingkat keuntungan relatif adalah derajat dimana inovasi biogas dipandang
memberikan keuntungan pada RTPSP, bahan bakar untuk memasak
dibanding menggunakan LPG, kayu bakar, arang, hemat waktu dan tenaga,
serta prestise (kebanggaan) sosial. Keuntungan relatif diukur menggunakan
skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah
pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak enam pertanyaan. Responden
dapat memilih salah satu dari tiga jawaban yakni sangat setuju (skor 3),
setuju (skor 2), tidak setuju (skor 1) dan untuk analisis deskriptif
dikategorikan menjadi tiga yakni:
1) Rendah : jika skor rata-rata 1.00-1.67
2) Sedang : jika skor rata-rata 1.68-2.34
3) Tinggi : jika skor rata-rata 2.35-3.00
b. Tingkat kompleksitas adalah derajat dimana biogas dianggap relatif tidak
sulit/mudah dapat berupa: kesulitan peternak memahami cara merakit
instalasi biogas, kesulitan peternak menggunakan teknologi untuk memasak
dibanding menggunakan minyak tanah/LPG, kesulitan peternak
memasukkan feces pada tangki pengurai, kesulitan peternak menyediakan
air untuk teknologi biogas, kesulitan peternak mengolah limbah biogas,
kesulitan peternak merawat instalasi biogasnya. Kompleksitas diukur
21
menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas
pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak tiga
pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga jawaban yakni
sangat sulit (skor 3), mudah (skor 2) dan sangat mudah (skor 1). Skor yang
diperoleh kemudian dijumlahkan dan dan untuk analisis deskriptif
dikategorikan menjadi tiga yakni: 1) Sangat rumit : jika skor rata-rata 2.35-3.00
2) Cukup rumit : jika skor rata-rata 1.68-2.34
3) Tidak rumit : jika skor rata-rata 1.00-1.67
c. Tingkat kompatibilitas adalah derajat dimana biogas sesuai dengan nilai
kepercayaan peternak sapi perah, situasi dan kebutuhan peternak sapi
perah. Kompatibilitas diukur menggunakan skala ordinal dengan menilai
jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan
adalah sebanyak tiga pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari
tiga jawaban yakni sangat sesuai (skor 3), sesuai (skor 2) dan tidak sesuai
(skor 1). Skor yang diperoleh kemudian dijumlahkan dan untuk analisis
deskriptif dikategorikan menjadi tiga yakni: 1) Tidak sesuai : jika skor rata-rata 1.00-1.67
2) Cukup sesuai : jika skor rata-rata 1.68-2.34
3) Sangat sesuai : jika skor rata-rata 2.35-3.00
d. Tingkat triabilitas adalah derajat dimana biogas dapat dicoba dalam skala
rumah tangga, meliputi: seberapa sering peternak memasukkan feces ke
tangki pengurai dapat dicoba, sering peternak menggunakan gas biogas
untuk memasak dapat dicoba. Triabilitas diukur menggunakan skala ordinal
dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan
yang diajukan adalah sebanyak tiga pertanyaan. Responden dapat memilih
salah satu dari tiga jawaban yakni sangat mudah (skor 3), mudah (skor 2)
dan tidak mudah (skor 1). Skor yang diperoleh kemudian dijumlahkan dan
untuk analisis deskriptif dikategorikan menjadi tiga yakni:
1) Tidak mudah dicoba : jika skor rata-rata 1.00-1.67
2) Cukup mudah dicoba : jika skor rata-rata 1.68-2.34
3) Sangat mudah dicoba : jika skor rata-rata 2.35-3.00
e. Tingkat observabilitas adalah derajat dimana inovasi biogas dapat diamati,
mencakup: pembentukan gas pada digester dapat diamati oleh peternak,
memasak dengan menggunakan biogas dapat diamati oleh peternak,
keunggulan biogas dibanding bahan bakar lain dan mudah diamati oleh
peternak. Observabilitas diukur menggunakan skala ordinal dengan
menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang
diajukan adalah sebanyak dua pertanyaan. Responden dapat memilih salah
satu dari tiga jawaban yakni sangat mudah (skor 3), cukup mudah (skor 2)
dan tidak mudah (skor 1). Kemudian jumlah skor rata-rata yang diperoleh
kemudian dikategorikan menjadi tiga yakni:
1) Tidak mudah diamati : jika skor rata-rata 1.00-1.67
2) Cukup mudah diamati : jika skor rata-rata 1.68-2.34
3) Sangat mudah diamati : jika skor rata-rata 2.35-3.00
22
(3) Sub-variabel tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh (X3) terdiri sebagai
berikut:
(a) Akses terhadap sumber informasi inovasi biogas adalah frekuensi
mengakses sumber informasi dan jumlah sumber informasi inovasi biogas
bagi individu, yang meliputi saluran komunikasi interpersonal dan media
massa. Akses terhadap sumber informasi diukur menggunakan skala
ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah
pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak dua pertanyaan yang kemudian
jawaban dinilai dengan skor 3, skor 2 dan skor 1 dan dikategorikan menjadi
tiga yakni: 1) Rendah : jika skor ≤2
2) Sedang : jika skor 4-5
3) Tinggi : jika skor ≥6
(b) Frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas adalah total kegiatan
kunjungan (rumah, usahatani) yang dilakukan penyuluh atau agen
pembaruan dalam memperkenalkan biogas sampai mengadopsi inovasi.
Kompleksitas diukur menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban
responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah
sebanyak tiga pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga
jawaban dengan penilaian skor 3, skor 2, dan skor 1. Kemudian jumlah
skor yang diperoleh kemudian dikategorikan menjadi tiga yakni: 1) Rendah : jika skor 3-4
2) Sedang : jika skor 5-6
3) Tinggi : jika skor ≥7
(B) Variabel Tingkat Difusi-Adopsi inovasi biogas (Y) meliputi:
(a) Kecepatan adalah waktu yang dibutuhkan sejak mendengar atau mengenal
inovasi biogas sampai dengan menerapkan. Merujuk kepada fakta bahwa
inovasi biogas telah dikenal peternak Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas,
sejak tahun 2006 atau sekitar 7 tahun yang lalu, ketika salah seorang warga
mempunyai menerapkan biogas tipe plastik untuk pertama kalinya, variabel
ini diukur dengan skala rasio dan dikategorikan menjadi:
(1) Rendah : jika RTSP menerapkani inovasi biogas setelah lebih dari
empat tahun sejak digunakan warga desa yang pertama
kali (2013-sekarang)
(2) Sedang : jika jika RTSP menerapkan inovasi biogas tiga sampai
empat tahun tahun sejak digunakan warga desa yang
pertama kali (2010-2012)
(3) Tinggi : jika jika RTSP menerapkani inovasi biogas dalam dua
tahun pertama tahun sejak digunakan warga desa yang
pertama kali (2006-2009)
(b) Penyebaran adalah jumlah rumah tangga peternak yang mengadopsi
inovasi biogas dalam periode waktu (tahun), sejak masuknya biogas sampai
dengan digunakannya oleh sebagian besar anggota sistem sosial (desa).
Penyebaran dinyatakan oleh skala rasio dalam persentase (%) jumlah orang
masing-masing dusun di Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas. Penyebaran
dikategorikan menjadi tiga yaitu:
23
1) Rendah : ≤ 21.1%
2) Sedang : 21.2%- 47.20%
3) Tinggi : ≥ 47.23%
Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen yang dipakai harus
dilakukan sebelum instrumen diberikan kepada responden, agar data valid dan
reliabel. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk
mengukur apa yang seharusnya diukur, dan reliabel bila terdapat kesamaan data
dalam waktu yang berbeda. Sugiyono (2011) menyebutkan bahwa instrumen yang
valid harus mempunyai validitas internal dan eksternal. Validitas internal
merupakan kesahihan penelitian apabila kriteria dalam instrumen secara teoritis
mencerminkan apa yang akan diukur. Validitas eksternal merupakan kesahihan
penelitian apabila terdapat kesesuaian antara kriteria yang ada pada instrumen
dengan fakta-fakta di lapangan (Sarwono 2006). Pengujian dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut: (a) definisi operasional variabel yang akan
diukur (b) studi literatur/pustaka sebagai referensi, (c) konsultasi dengan
pembimbing sebagai ahli, dan (d) Uji coba instrumen dilakukan pada 10 orang
peternak sapi perah di Desa Suntenjaya Kecamatan Lembang, Kabupaten
Bandung Barat (e) Uji validitas dilakukan dengan rumus korelasi Product Moment
sebagai berikut:
2222 )()()()(
))(()(
YYnXXn
YXXYnrxy
Dimana: rxy = koefisien korelasi suatu butir/item
N = jumlah responden
X = skor suatu butir/item
Y = skor total
(f) Dari rumus korelasi Product Moment kemudian membandingkan angka
korelasi dengan angka kritik pada tabel korelasi nilai r pada taraf tertentu (5%).
Apabila angka korelasi tersebut lebih besar daripada angka pada tabel nilai r=
0.632, maka item pertanyaan tersebut dinyatakan valid.
Uji Reliabilitas adalah tingkat konsistensi suatu alat ukur yang menunjukkan
sejauh mana alat ukur tersebut dapat dipercaya atau diandalkan bila dipakai
berulang-ulang (Suryabrata 2006). Jika nilai koefisien cronbach alpha (α) lebih
besar dari kisaran 0.5–1.0, maka alat ukur dinilai reliabel. Menurut Riduwan
(2013), penilaian reliabilitas sebagai berikut:
(a) Nilai koefisien alpha 0.00 – 0.199 berarti kurang reliabel
(b) Nilai koefisien alpha 0.20 – 0.399 berarti agak reliabel
(c) Nilai koefisien alpha 0.40 – 0.599 berarti cukup reliabel
(d) Nilai koefisien alpha 0.60 – 0.799 berarti reliabel
(e) Nilai koefisien alpha 0.80 – 1.00 berarti sangat reliabel
Hasil uji instrumen penelitian yang telah dilakukan ditampilkan dalam Tabel 5.
24
Tabel 5 Hasil uji instrumen penelitian
No Variabel Uji Reliabilitas Uji Validitas Ket.
1 Motivasi 0.780 (Reliabel) 0.683*-0.854* Valid
2 Keuntungan relatif 0.786 (Reliabel) 0,660**-0,938** Valid
3 Kompleksitas 0.750 (Reliabel) 0,824**-0,911** Valid
4 Kompatibilitas 0.735 (Reliabel) 0,686*-0,908** Valid
5 Triabilitas 0.830 ( Sangat
Reliabel)
0,664*-0,935** Valid
6 Observabilitas 0.848 (Sangat Reliabel) 0,810**-0,836** Valid
7 Frekuensi pertemuan
dengan penyuluh
0.764 (Reliabel) 0.372*-0.954** Valid
Dari hasil uji yang disajikan dalam Tabel 4, dapat diketahui bahwa semua
item dalam instrumen tergolong reliabel dengan nilai 0.753 dan 0.786, serta
sangat reliabel dengan nilai 0.826, 0.848 dan 0.865. Dengan demikian instrumen
dapat dikatakan memiliki konsistensi terhadap respon atau pengukuran pada
fenomena yang sama. Pada uji validitas, diperoleh hasil bahwa pada umumnya
item instrumen valid, hal ini berarti bahwa instrumen dapat mengukur apa yang
akan diukur.
Analisis Data
Data dianalisis secara kuantitatif dengan statistik deskriptif dan inferensial
untuk mendalami faktor-faktor yang memengaruhi tingkat difusi-adopsi dan
memberikan penjelasan kualitatif sebagai pendukung. Data yang diperoleh dari
kuisioner dikelompokkan menurut variabel yang telah ditentukan dengan
mengggunakan skoring dan pengkategorian. Pengkategorian menggunakan skala
Likert, dalam skala ini dijabarkan dalam sub variabel dan indikator. Indikator ini
merupakan dasar dalam penyusunan instrumen dengan Skala Likert jenjang 3
(tinggi=3, sedang=2, rendah=1)
Pengolahan data menggunakan program SPSS (Statistical Package for the
Social Science) dimana data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan
kuantitatif. Analisis data ini bertujuan: (1) untuk mendeskripsikan tingkat difusi-
adopsi inovasi biogas dengan statistik deskriptif dengan menampilkan distribusi
frekuensi, dan persentase, (3) analisis statistik inferensial yang digunakan adalah
analisis korelasi rank Spearman. Rumus korelasi rank Spearman (rs) yaitu:
rs = 1 - NN
diN
i
3
1
26
Keterangan : rs = koefisien korelasi Rank Spearman
N = jumlah sampel
di = selisih setiap pasangan Rank Spearman (Riduwan, 2010).
25
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografi dan Kependudukan di Dua Desa Penelitian
Kecamatan Lembang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan ini berada pada ketinggian
antara 1 312 hingga 2 084 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 17°-
27 °C. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat tahun
2013, jumlah penduduk Kecamatan Lembang adalah 180 526 jiwa. Terdapat
sebanyak 4 149 peternak dengan jumlah populasi sapi perah sebanyak 17 396 ekor
di Kecamatan Lembang.
Lokasi penelitian dipilih secara purposive mengambil dua desa di
Kecamatan lembang yaitu Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas yang merupakan
dua desa yang terletak di Kecamatan Lembang dengan populasi peternak sapi
perah sebanyak 420 (Rumah tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP) di Desa
Suntenjaya dan sebanyak 255 RTSP di Desa Cibodas dan memiliki jumlah
bangunan reaktor biogas terbanyak di Kecamatan Lembang. Lokasi pertama
adalah Desa Suntenjaya memiliki luas lahan sebesar 4 556.56 hektar. Desa ini
berjarak 13.5 kilometer dari ibukota kecamatan. Desa ini tergolong dalam desa
daratan tinggi dengan ketinggian sebesar 1 280 meter dari permukaan laut. Curah
hujan di desa ini adalah 2 027 milimeter dengan suhu rata-rata 20 27 °C per
harinya. Wilayah Desa Suntenjaya berbatasan dengan wilayah lain yaitu, sebelah
utara berbatasan dengan Desa Bukanagara, Kecamatan Cisalak, Suban, kemudian
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan,
Bandung, sebelah timur berbatasan dengan Desa Cipanjalu, Kecamatan
Cilengkrang, Bandung dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibodas,
Kecamatan Lembang, Bandung Barat.
Desa Suntenjaya dibagi menjadi 17 Rukun Warga (RW) dan 47 Rukun
Tetangga (RT). Hampir sebagian besar lahan di desa dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian (63.24 persen) dan kehutanan (17.56 persen). Tingginya persentase
pemanfaatan lahan sebagai lahan pertanian secara umum menunjukkan bahwa
sektor pertanian merupakan sektor utama bagi keberlangsungan hidup masyarakat
Suntenjaya, selain itu juga sektor peternakan menjadi sektor matapencaharian bagi
28.18 persen penduduk Desa Suntenjaya. Jumlah penduduk secara keseluruhan
pada tahun 2011 adalah 7 302 orang, meliputi 3 685 orang laki-laki dan 3 617
orang perempuan. Total keluarga yang tinggal di desa ini adalah 2 234 Kepala
Keluarga (KK). Jumlah keluarga pertanian adalah 1 334 rumah tangga dengan
tingkat kepadatan penduduk di desa adalah sebesar 0.4 per kilometer.
Berbagai sarana di Desa Suntenjaya dibangun untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakatnya. Sarana-sarana tersebut antara lain sarana pendidikan, sarana
peribadatan, sarana kesehatan, serta sarana sosial lainnya. Sarana pendidikan yang
tersedia di Desa Suntenjaya, terdiri dari tiga Sekolah Dasar Negeri, satu SMP
Negeri yang berada di desa tetangga yang jaraknya kurang lebih 8 km, satu
program paket A setara SD atau MI (Madrasah Ibtidaiah), satu PKBM (Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat) yang menyelenggarakan program pendidikan
kesetaraan Paket B dan satu program paket C setara SMP atau MTs. Adapun
potensi yang berasal dari sumber daya alam baik peternakan maupun pertanian
cukup memberikan harapan terutama peternakan sapi perah.
26
Jumlah petani di Desa Suntenjaya sebanyak 1 206 orang, sedangkan di Desa
Cibodas sebanyak 597 orang. PNS 65 rang, 60 orang, TNI 2 orang, 3 orang, bidan
swsta 3, dokter 1 orang,pedagang keliling 116 orang, 53orang seniman 6
orangSecara lebih rinci jumlah penduduk menurut mata pencaharian disajikan
dalam Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk dua desa penelitian menurut mata
pencaharian tahun 2014
No Pekerjaan Desa Suntenjaya Desa Cibodas
n % n %
1 Petani 1 206 40.6 1 685 69.74
3 Buruh migran 424 14.09 11 0.45
4 Pegawai Negeri Sipil 65 2.16 60 2.48
5 Pengrajin industri rumah
tangga
40 1.32 9 0.37
6 Pedagang keliling 116 3.85 53 2.19
7 Peternak 848 28.18 514 21.27
10 Pembantu rumah tangga 59 1.96 25 1.03
11 TNI 2 0.06 3 0.12
12 Pensiunan
PNS/TNI/POLRI
55 1.82 15 0.62
16 Lainnya 179 5.94 41 1.69
Sumber: Diolah dari data Profil Desa Suntenjaya Tahun 2014
Jumlah penduduk Suntenjaya sebanyak 3 009 orang dengan berbagai
macam mata pencaharian. Mayoritas penduduk yaitu sebanyak 848 orang atau
28.18 persen bekerja sebagai peternak dimana sektor peternakan ini diikuti
dengan perkembangan jumlah ternak yang dimiliki seperti disajikan dalam Tabel
7.
Tabel 7 Populasi ternak di Desa Suntenjaya
No. Jenis Ternak Jumlah (ST) Persentase (%)
1. Sapi 2 179 96.28
2. Ayam Kampung 4.2 0.18
3. Domba 78.54 3.48
4. Burung puyuh 0.952 0.04
5. Kelinci 0.594 0.02
Total 2 263.28 100
Sumber: Diolah dari data Profil Desa Suntenjaya Tahun 2014
Sapi diternakkan oleh 28.18 persen penduduk Desa Suntenjaya, selain itu
domba juga banyak diternakkan dengan jumlah 78.54 ST. Sapi yang diternakkan
adalah sapi perah Fries Holland (FH) atau Holstein yang dapat menghasilkan susu
hingga 12 liter per ekor setiap harinya.
Lokasi penelitian kedua adalah Desa Cibodas yang terletak 1 260 meter di
atas permukaan laut di atas ketinggian laut dan memiliki luas wilayah 1 273.4
hektar. Desa ini memiliki batas wilayah yaitu sebelah utara berbatasan dengan
27
Desa Wangunharja, Kecamatan Lembang, sebelah selatan berbatasan dengan
Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, sebelah barat berbatasan dengan Desa
Langensari, Kecamatan Lembang, dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa
Suntenjaya, Kecamatan Lembang. Wilayah Desa Cibodas merupakan daerah
perbukitan dengan kondisi tanahnya secara umum subur, berwarna merah
kehitaman sampai dengan hitam. Lahan di wilayah Desa Cibodas digunakan
untuk berbagai keperluan antara lain untuk pertanian seluas 637.74 Ha/m2, untuk
pemukiman seluas 113.5 Ha/m2, untuk hutan lindung seluas 351 Ha/m
2 , dan
untuk peternakan seluas 15.05 Ha/m2.
Desa Cibodas dibagi menjadi 3 wilayah Dusun, 17 wilayah Rukun Warga
(RW), dan 66 wilayah Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk sebanyak
10 425 jiwa. Kepala Keluarga (KK) sebesar 2 949 KK. Desa Cibodas terdiri dari 3
dusun yaitu:
a) Dusun 1 yang terdiri dari 6 RW, yaitu RW 01, RW 16 (pemekaran RW 01),
RW 02, RW 03, RW 14 (pemekaran RW 03), dan RW 04
b) Dusun 2 yang terdiri dari 5 RW, yaitu RW 05, RW 06, RW 07, RW 08, RW
17 (pemekaran dari RW 06)
c) Dusun 3 yang terdiri dari 6 RW, yaitu RW 9, RW 10, RW 11, RW 13, RW
15.
Mayoritas penduduk desa Cibodas beternak sapi perah, dan beragam hewan
lain yang diternakkan di Desa Cibodas. Secara rinci populasi ternak di Desa
Cibodas disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Populasi ternak di Desa Cibodas
No Jenis Ternak Jumlah (ST) Persentase (%)
1 Sapi 2 710 95.39
2 Ayam Kampung 22.7 0.8
3 Ayam Broiler 77 2.71
4 Domba 10..92 0.37
5 Bebek 0.16 0.01
6 Kuda 20 0.71
7 Kelinci 0.106 0.03
Total 2 840.88 100
Sumber: Diolah dari Profil Desa Cibodas Tahun 2014
Sama halnya Desa Suntenjaya dimana peternakan menjadi mata pencaharian
kedua setelah pertanian, di Desa Cibodas ini sektor peternakan juga menjadi mata
pencaharian kedua setelah pertanian, khususnya peternakan sapi perah yang
menghasilkan produksi peternakan berupa susu sebanyak 2 820 000 kg/tahun,
serta ternak lain sebanyak 77 ST ayam broiler.
Perkembangan Biogas di Kecamatan Lembang
Kabupaten Bandung Barat
Kecamatan Lembang memiliki 4 149 penduduk yang bermata pencaharian
sebagai peternak sapi perah. Hal ini menjadikan potensi bagi pengembangan
biogas dari feces sapi perah yang terus berkembang setiap tahunnya.
Pengembangan biogas dengan berbagai macam tipe seperti tipe plastik, tipe beton,
28
hingga tipe fiber, akan tetapi tipe beton merupakan tipe reaktor biogas yang paling
banyak dibangun di Kecamatan Lembang. Ada dua pihak yang berperan dalam
pengembangan biogas di Jawa Barat yaitu Pemerintah propinsi melalui Dinas
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat dan pihak swasta yaitu
Humanistic Institute for Development Cooperation (Hivos) melalui program
Biogas Rumah (BIRU).
Program BIRU merupakan program pengembangan sektor biogas yang
dimulai pada tahun 2009 dan merupakan kerjasama antara pemerintah Indonesia,
yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Pemerintah Kerajaan
Belanda. Program ini menargetkan 8 000 digester biogas terbangun hingga tahun
2012. Implementasi program ini dilakukan oleh dengan dukungan dari Hivos dan
SNV, keduanya merupakan lembaga non-pemerintah dari Belanda yang telah
berpengalaman mengembangkan biogas.
Pemerintah Jawa Barat melalui Dinas ESDM memulai pengembangan
inovasi biogas sejak tahun 2006. Penyebaran biogas meliputi berberapa daerah
yaitu Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kuningan Tasik, Kabupaten Garut,
Kabupaten Ciamis, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bogor, Kabupaten
Bandung Barat, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten
Subang. Keseluruhan daerah tersebut memperoleh bantuan pengembangan biogas
dari Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral yang berawal dari tahun 2006 hingga
tahun 2013 di Jawa Barat, dan ditampilkan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Penyebaran biogas tahun 2006-2012 di Jawa Barat
No. Kabupaten Jumlah (unit) Persentase (%)
1. Sumedang 384 18.8
2. Kuningan Tasik 10 0.40
3. Garut 240 11.7
4. Ciamis 70 3.40
5. Majalengka 684 33.50
6. Bogor 177 5.70
7. Bandung Barat 102 5.00
8. Cirebon 4 0.10
8. Sukabumi 14 0.60
9. Subang 15 0.70
Jumlah Total 2038 100
Sumber: Diolah dari data Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral 2014
Kabupaten Bandung Barat yang memiliki potensi besar dalam
pengembangan inovasi biogas terdiri dari beberapa desa diantaranya Desa
Jambudipa, Desa Kertawangi, Desa Cihideung, Desa Suntenjaya dan Desa
Cibodas. Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas ini memiliki potensi paling besar
dibanding desa lainnya. Lebih lanjut, hasil pengembangan biogas di Kabupaten
Bandung Barat dapat dilihat dalam Tabel 10.
29
Tabel 10 Hasil pengembangan biogas di Kabupaten Bandung Barat
No. Wilayah Desa Jumlah biogas Tahun
1. Cisarua Jambudipa 20 2010
Kertawangi 20 2010
2. Parongpong Cihideung 10 2011
3. Lembang Suntenjaya 10 2011
4. Lembang Suntenjaya 100 2012
5. Lembang Cibodas 82 2012
Jumlah 242
Sumber: Diolah dari data Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral 2014
Sejumlah 242 bantuan instalasi biogas dibangun di tiga kecamatan
Kabupaten Bandung Barat meliputi Cisarua, Prongpong dan Lembang, namun
Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas memperoleh bantuan terbanyak karena
merupakan daerah untuk percontohan pengembangan biogas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Karakteristik Rumah Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)
Sampel peternak di Desa Suntenjaya terdiri dari laki-laki sebanyak 133
orang atau 94.3 persen dan perempuan sebanyak 8 orang 5.7 persen, sedangkan
peternak di Desa Cibodas terdiri dari 107 laki-laki atau 85.6 persen dan sebanyak
12 orang atau 14.4 persen, baik laki-laki maupun perempuan tidak berbeda dalam
menjalankan usaha ternaknya.
Menurut Lovell (1983) (Basleman dan Mappa, 2011), tahap perkembangan
manusia dibagi menjadi enam kategori, yaitu umur pra awal dewasa (umur 11-16
tahun), umur remaja16-20 tahun, umur awal dewasa 20-25 tahun, umur dewasa
35-40 tahun, umur 40-60 tahun dan umur pra pensiun yaitu 60-65 tahun ke atas.
Umur peternak dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu kurang dari 39 tahun,
peternak berusia 40 sampai dengan 58 tahun dan peternak yang berumur lebih dari
59 tahun. Di Desa Suntenjaya sebanyak 63 peternak yang berumur kurang dari 39
tahun, 64 peternak berumur 40 sampai dengan 58 tahun, dan 14 peternak yang
berumur lebih dari 59 tahun. Di Desa Cibodas sebanyak 55 peternak yang
berumur kurang dari 39 tahun, 6 peternak berumur 40 sampai dengan 58 tahun,
dan 64 peternak yang berumur lebih dari 59 tahun. Di dua lokasi penelitian,
kategori umur peternak sapi perah tergolong dewasayaitu pada interval kurang
dari 39 tahun, dengan presentase tertinggi yaitu sebanyak 44.6 persen di Desa
Suntenjaya dan sebanyak 44 persen di Desa Cibodas. Menurut Badan Pusat
Statistik (2009) umur ini juga digolongkan sebagai umur produktif. Kondisi ini
menunjukkan bahwa peternak secara fisik sangat kuat untuk menjalankan
kegiatan usahanya secara baik. Peternak sudah memiliki kemampuan bekerja dan
berpikir yang lebih tinggi dibanding dengan peternak yang sudah tidak produktif.
Peternak yang lebih muda selalu mempunyai semangat tinggi karena
keingintahuannya sehingga mereka berusaha lebih cepat menerapkan inovasi
(Soekartawi, 2005).
30
Karakteristik RTPSP meliputi tingkat pendidikan formal, jumlah ternak
sapi perah, lama beternak, tingkat pendapatan, motivasi dan luas lahan untuk
biogas. Dari beragam karakteristik tersebut, hanya tingkat pendapatan dan luas
lahan untuk biogas yang berbeda nyata di dua desa penelitian. Berikut adalah
distribusi responden pada berbagai karakteristik yang diamati (Tabel 11).
Tabel 11 Distribusi sampel berdasarkan karakteristik RTPSP
Sub Variabel Desa
Suntenjaya
Desa
Cibodas
Signifikansi
n % n % Uji beda U Mann-
Whitney
1. Tingkat Pendidikan formal (tahun) a. Rendah 131 93 117 93.6
b. Sedang 9 6.3 2 1.6 0.667
c. Tinggi 1 0.7 6 4.8 Total 141 100 125 100 2. Jumlah ternak sapi perah (ST)
a. Sedikit 45 31.9 38 30.4 b. Sedang 62 44 69 55.2 0.069
c. Banyak 34 24.1 18 14.4 Total 141 100 125 100 3. Lama beternak (tahun)
a. Rendah 55 39 29 23.2 b. Sedang 36 25.6 55 44 0.371
c. Tinggi 50 35.4 41 32.8 Total 141 100 125 100
4. Tingkat Pendapatan RTSP (per tahun) a. Rendah 81 57.4 2 1.6 b. Sedang 50 35.4 115 92 0.00
c. Tinggi 10 7.2 8 6.4 Total 141 100 125 100 5. Motivasi
a. Rendah 6 4.3 6 4.8 b. Sedang 86 60.9 51 40.8 0.23
c. Tinggi 49 34.8 68 54.4 Total 141 100 125 100
6. Luas lahan untuk biogas
a. Sempit 98 69.5 41 32.8
b. Sedang 28 19.8 0 0 0.00
c. Luas 15 10.6 84 67.2
Total 141 100 125 100
Keterangan: nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata
nilai signifikansi U Mann Whitney >0.05, tidak berbeda nyata
31
Tingkat Pendidikan Formal
Sebesar 93.4 % tingkat pendidikan formal responden hanya sampai Sekolah Dasar
(SD) yang ditempuh selama 6 tahun, walaupun terdapat 4 peternak atau sebanyak
1.5 persen yang menempuh pendidikan formal kurang dari 5 tahun hanya sampai
kelas 3, kelas 4 dan kelas 5 SD (tidak tamat SD), dan sebanyak 11 responden
berpendidikan SMP yang ditempuh selama 9 tahun serta sebanyak 7 responden
berpendidikan SMA yang ditempuh selama 12 tahun. Pendidikan tertinggi yang
ditempuh oleh peternak adalah Perguruan Tinggi yang ditempuh oleh satu orang
responden di Desa Suntenjaya. Hasil uji beda U Mann-Whitney menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan formal di Desa Suntenjaya dan
Desa Cibodas karena di dua desa tersebut mayoritas 93.2 persen peternak
menempuh pendidikan selama kurang dari enam tahun.
Jumlah Ternak Sapi Perah
Jenis ternak sapi perah di dua desa penelitian adalah sapi Fries Holland
(FH) atau Holstein dan dibedakan menjadi dua kategori yaitu sapi perah yang
dipelihara (berupa ternak milik dan ternak orang lain tetapi dipelihara dengan
sistem maro) dan sapi perah milik pribadi. Sistem maro dilakukan dengan cara
membagi anak yang dilahirkan oleh ternak yang dipelihara sebesar masing-
masing 50 persen untuk pemelihara dan pemilik ternak. Sapi perah yang
dipelihara dibagi menjadi tiga jenis yaitu sapi dewasa/induk (umur >2 tahun), sapi
muda/ dara (umur 1-2 tahun), dan anak sapi/ pedhet (umur <1 tahun), dan dihitung
dalam Satuan Ternak (ST) satu ekor sapi dewasa sama dengan 1 ST, satu ekor
sapi muda sama dengan 0.5 ST dan 1 ekor pedhet sama dengan 0.25 ST.
Selain sapi perah, terdapat pula peternak yang memelihara sapi
jantan/danten. Umur sapi perah yang dapat dikawinkan yaitu setelah berumur 1.5
tahun, dengan siklus birahi 18 sampai 24 hari, kemudian lama sapi tersebut
bunting selama 279 hari hingga 282 hari (Sitepoe 2009).
Di Desa Cibodas terdapat 4 peternak atau sebanyak 3.2 persen yang
memiliki sapi jantan, dan di Desa Suntenjaya terdapat 2 peternak atau sebanyak
1.4 persen yang memiliki sapi jantan. Terdapat 2 orang peternak di Desa
Suntenjaya tidak memiliki sapi perah tetapi menggunakan feces sapi perah milik
tetangganya untuk memproses biogas. Sebesar 43.9 persen atau sebanyak 62
peternak di Desa Suntenjaya dan sebesar 55.2 persen atau sebanyak 69 peternak di
Desa Cibodas yang memiliki jumlah ternak sedang (2.3-4.5 ST) sehingga tidak
terdapat perbedaan antara Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas.
Lama Beternak
Di bidang pertanian, pengalaman berusahatani berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan dalam memilih inovasi teknologi pertanian (Roswida
2003). Di bidang peternakan, penelitian Yusriadi (2011) menytakan bahwa
semakin lama pengalaman seseorang beternak, maka akan semakin mudah dalam
memahami teknologi biogas dan cenderung akan lebih mudah menerapkannya.
Sebanyak 34.2 persen peternak di dua desa penelitian telah beternak selama 6-11
tahun, dan sebanyak 34.2 persen peternak juga telah beternak selama ≥ 12 tahun,
sedangkan 31.6 persen peternak telah beternak selama ≤6 tahun, sehingga
peternak melihat perkembangan reaktor biogas yang semakin berkembang, dari
32
tipe plastik yang lebih rentan rusak hingga sekarang menggunakan reaktor tipe
beton (fixed dome) yang lebih awet dibanding tipe plastik.
Tingkat Pendapatan RTPSP
Pendapatan per tahun mayoritas peternak tergolong kategori sedang yaitu
antara Rp 9 828 435.32 hingga Rp 81 932 751 atau memiliki pendapatan per
bulan antara Rp 819 036.3 hingga Rp 6 827 729.3. Sebanyak 35.2 persen peternak
Desa Suntenjaya berpendapatan per tahun sebesar Rp 6 827 729.2 dan 92 persen
peternak di Desa Cibodas berpendapatan per tahun antara Rp 9 828 435.32 hingga
Rp 81 932 751.
Pendapatan RTPSP diperoleh dari pendapatan dari usaha ternak dan usaha
lain yang dilakukan oleh anggota RTPSP meliputi usaha pertanian, warung,
pensiunan TNI, pegawai perhutani, tukang ojek. Usahatani bunga kol dapat
mencapai panen 3 kali dalam satu tahun dengan harga rata-rata bunga kol per
pohonnya adalah Rp 2 000. Peternak sapi perah dapat menghasilkan susu yang
dilakukan setiap hari yaitu ketika pagi dan sore hari, dengan produksi rata-rata 12
liter per ekor setiap harinya tetapi sapi perah ini tidak selama setahun penuh dapat
menghasilkan susu. Masa produksi sapi perah dibagi dalam beberapa periode
yaitu periode kebuntingan (gestation period) selama kurang lebih 283 hari,
periode kering kandang (dry period), yaitu setelah sapi perah hamil 7 bulan, maka
sapi tersebut tidak dapat diperah selama 3 bulan hingga setelah usai
melahirkan.perdalam setahun sapi perah memiliki lactation period selama 305
hari (Makin 2011).
Harga perahan susu sapi adalah Rp 4 100 per liter. Harga ini telah
ditetapkan secara baku oleh KPSBU dan harga berubah sesuai dengan kualitas
susu yang dihasilkan oleh sapi perah. Kebutuhan pakan rumput ternak sapi perah
dipenuhi dengan sharing rumput dengan Perhutani dengan biaya Rp 75 000 per
tahun dan dibayarkan langsung melalui potongan di KPSBU. Hasil Uji beda U
Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan
antara Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas, hal ini ditunjukkan oleh sebanyak 92
persen responden di Desa Cibodas termasuk kategori tingkat pendapatan per bulan
sebesar Rp 819 036.2 sedangkan di Desa Suntenjaya sebanyak 57.4 persen
peternak berpendapatan Rp 819 036.3 hingga Rp 6 827 729.3.
Motivasi
Teori Herzberg dua faktor yang mendorong individu termotivasi yaitu
faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing
orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri
seseorang, terutama dari lingkungan. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong
oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada perolehan hal-hal yang
diinginkannya dari lingkungan (Sondang 2002). Berdasarkan kondisi di dua
daerah penelitian yaitu Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas, ada berbagai hal yang
mendorong RTPSP untuk menerapkan inovasi biogas yaitu adanya motivasi
intrinsik (menggunakan biogas sebagai energi alternatif karena hemat), dan
motivasi ekstrinsik (anjuran tokoh masyarakat, ikut-ikutan peternak lain, adanya
bantuan biogas gratis dan adanya kredit biogas dari KPSBU). Di Desa Suntenjaya
motivasi responden termasuk dalam kategori sedang untuk menerapkan inovasi
biogas yaitu sebanyak 86 orang atau sebanyak 60.9 persen peternak, sedangkan di
33
Desa Cibodas sebanyak 68 peternak atau sebanyak 54.4 persen termasuk kategori
tinggi. Secara rinci motivasi peternak menerapkan biogas disajikan dalam Tabel
12.
Tabel 12 Motivasi peternak dalam menerapkan inovasibiogas di dua desa
penelitian tahun 2014
No Motivasi Desa Suntenjaya Desa Cibodas
n % n %
1 Menggunakan biogas karena
hemat waktu
2 1.41 2 1.6
2 Menggunakan biogas karena
hemat tenaga
1 0.07 2 1.6
3 Menggunakan biogas karena
hemat waktu dan tenaga
3 2.12 6 4.8
4 Anjuran tokoh masyarakat 6 4.2 2 1.6
5 Ikut-ikutan peternak lain 49 34.7 21 16.8
6 Adanya bantuan biogas gratis 37 26.2 80 64
7 Adanya kredit biogas dari
KPSBU
43 30.4 12 9.6
Total 141 100 125 100
Sebanyak 43.9% peternak termotivasi dalam menerapkan inovasi biogas
adalah karena adanya bantuan biogas gratis dari Dinas Energi dan Sumberdaya
Mineral Jawa Barat, hal ini menyebabkan peternak berminat untuk menerapkan
biogas dibandingkan sebelum adanya bantuan gratis.
Luas Lahan Peternak untuk Biogas
Terdapat tiga jenis luasan reaktor biogas yaitu biogas berukuran 6m3, 5m
3,
4m3. Di Desa Suntenjaya sebanyak 98 peternak memiliki reaktor biogas
berukuran 6m3, sebanyak 28 peternak memiliki reaktor biogas berukuran 5m
3,
sebanyak 15 peternak memiliki reaktor biogas berukuran 4m3 sedangkan di Desa
Cibodas sebanyak 41 peternak memiliki reaktor biogas berukuran 6m3, sebanyak
84 peternak memiliki reaktor biogas berukuran 4m3, dan tidak ada responden yang
memiliki memiliki reaktor biogas berukuran 4m3. Reaktor biogas berukuran 6m
3
membutuhkan luas lahan 6m2, sedangkan untuk reaktor berukuran 5m
3
membutuhkan luas lahan 5m2, serta rektor biogas dengan ukuran 4m
3
membutuhkan luas lahan sekitar 4 m2. Masing-masing ukuran biogas memiliki
kebutuhan jumlah feces sapi dan air disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Rincian Tipe Ukuran Reaktor
Ukuran
reaktor
(m3)
Pengisian
feces
perdana
(kg)
Pengisian
feces
harian
(kg)
Air untuk
dicampur
dengan feces
(liter)
Jumlah Ternak yang
dibutuhkan
(di dalam Kandang)
4 1600 32 32 3-4
6 2400 48 48 5-6
8 3400 64 64 7-8
Sumber : Pedoman Pengguna BIRU (2010)
34
Dari segi luas lahan untuk biogas di dua desa penelitian terlihat berbeda,
perbedaan ukuran reaktor biogas dan luas yang diperlukan untuk membangun
instalasi biogas disesuaikan dengan luas lahan yang dimiliki oleh RTPSP, di
Suntenjaya yang terdapat tiga ukuran reaktor biogas, di Desa Cibodas tidak ada
reponden yang memiliki reaktor biogas dengan ukuran 5m3.
Persepsi Terhadap Sifat Inovasi Biogas
Beragam sifat inovasi meliputi tingkat keuntungan relatif, tingkat
kompatiblitas, tingkat kompleksitas, tingkat triabilitas dan tingkat observabilitas,
akan tetapi hanya tingkat keuntungan relatif dan tingkat triabilitas memiliki
perbedaan signifikan di dua desa penelitian. Secara lengkap persepsi tentang sifat
inovasi disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Persepsi peternak terhadap sifat inovasi biogas di dua desa penelitian
tahun 2014
No
.
Variabel Desa Suntenjaya
(n=141)
Desa Cibodas
(n=125)
Uji beda U
Mann-
Whitney
Signifikansi
1. Tingkat keuntungan
relatif
2.23 2.37 0.006
2. Tingkat kompleksitas 2.50 2.49 0.914
3. Tingkat kompatibilitas 2.35 2.35 0.956
4. Tingkat triabilitas 2.48 2.56 0.014
5. Tingkat observabilitas 2.25 2.20 0.536
6. Sifat inovasi biogas 2.36 2.36
Keterangan: Rentang skor 1.00-3.00
Rendah = Skor 1.00-1.67; Sedang = Skor 1.68-2.34
Tinggi = Skor 2.35-3.00
nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata
nilai signifikansi U Mann Whitney >0.05, tidak berbeda nyata
Persepsi tentang tingkat keuntungan relatif terlihat berbeda di dua di desa
penelitian, peternak Desa Suntenjaya tentang keuntungan relatif termasuk kategori
sedang, sedangkan di persepsi peternak Desa Cibodas tentang keuntungan relatif
termasuk kategori tinggi. Di dua desa penelitian, bioga dinilai tidak rumit/mudah,
begitu juga berdasarkan tingkat kompatibilitas, biogas juga dinilai sangat sesuai
dengan kebutuhan peternak. Persepsi peternak tentang tingkat triabilitas termasuk
kategori tinggi, dan persepsi peternak tentang tingkat observabilitas termasuk
kategori sedang.
Berdasarkan penyataan responden melalui kesioner, mayoritas 56.4 persen
peternak menilai bahwa biogas cukup menguntungkan, 61.6 persen peternak
menilai biogas tidak rumit, 53 persen peternak menilai biogas sangat sesuai
dengan kebutuhan peternak, dan 70.3 persen ketercobaan dinilai sangat mudah
serta 66.3 persen peternak menilai biogas cukup mudah teramati.
35
Tingkat Keuntungan Relatif
Keuntungan relatif adalah tingkatan dimana suatu ide baru dianggap suatu
yang lebih baik dari pada ide-ide yang ada sebelumnya, contohnya jika inovasi
biogas dibandingkan dengan bahan bakar yang dipakai RTPSP untuk memasak
sebelum menerapkan biogas. Biogas hanya memerlukan waktu dan tenaga untuk
memproses gas yang dihasilkan untuk memasak maupun untuk penerangan.
Peternak menilai bahwa biogas cukup memberikan keuntungan. Dalam
melihat keuntungan relatif dari inovasi biogas, peternak menyatakan sangat
setuju dan setuju jika inovasi biogas lebih menguntungkan dibandingkan
menggunakan bahan bakar lainnya seperti LPG, kayu bakar dan minyak tanah.
Lebih menguntungkan juga dilihat dari konsumsi bahan bakar tersebut untuk
memasak, contohnya jika dulu RTPSP membutuhkan 2 tabung gas LPG (3kg)
dengan harga Rp 21 000 per tabung untuk memasak, maka sekarang hanya
menggunakan biogas untuk kebutuhan memasak sehingga lebih hemat. Reaktor
biogas yang berukuran 4m3
dapat menghasilkan biogas yang digunakan untuk
memasak selama 3 jam lamanya, dengan menggunakan bahan baku feces 3 ember
dan 3 ember air, sehingga sehari cukup untuk digunakan satu rumah tangga untuk
memasak. Jika sebulan membutuhkan 2 tabung LPG seharga Rp 21 000 untuk
memasak maka sehari membutuhkan biaya Rp 1 400. Dengan menggunakan
biogas maka peternak bisa menghemat Rp 1 400 per hari, ataupun jika masih
menggunakan 1 tabung LPG maka RTSP juga tetap menghemat Rp 700 per
harinya.
Terdapat perbedaan persepsi tentang keuntungan relatif antara Desa
Suntenjaya dan Desa Cibodas yang ditunjukkan bahwa di dua desa penelitian
terdapat perbedaan. Persepsi peternak di Desa Suntenjata termasuk sedang
sedangkan persepsi peternak di Desa Cibodas termasuk tinggi. Di Desa
Suntenjaya terdapat 88 peternak atau sebesar 62.4 persen yang mengungkapkan
bahwa dengan menggunakan biogas, dapat menghemat waktu dan tenaga. Selain
itu terdapat 18 ataus sebesar 12.7 persen responden yang mengungkapkan dengan
menggunakan biogas hanya dapat menghemat waktu, karena responden dapat
memproses biogas sambil mengurus ternak di kandang dan tidak perlu membeli
gas LPG di warung yang letaknya 2 kilometer dari rumah warga. Seorang
peternak yang mengungkapkan dengan menggunakan biogas hanya dapat
menghemat tenaga karena responden tidak perlu lagi mencari kayu di hutan
untuk memasak. Sebanyak 34 responden atau sebanyak 24.1 persen yang
mengungkapkan dengan menggunakan biogas tidak menghemat waktu dan
tenaga, karena mereka tetap saja menggunakan kayu bakar dan LPG untuk
memasak.
Di Desa Cibodas, 58.4 persen atau sebanyak 73 peternak yang
mengungkapkan bahwa dengan menggunakan biogas, dapat menghemat waktu
dan tenaga. Sebanyak 20.8 persen atau 26 peternak yang mengungkapkan dengan
menggunakan biogas hanya dapat menghemat waktu, karena mereka tidak
memerlukan waktu untuk membeli bahan baka lain ataupun mencari kayu di
hutan dan dapat memproses biogas sambil mengurus ternak sapi perah di kandang
yang letaknya jauh dari rumah. Sebanyak 8 persen atau 10 peternak dengan
menggunakan biogas hanya dapat menghemat tenaga karena peternak tidak perlu
lagi mencari kayu di hutan untuk memasak, serta sebanyak 12.8 persen atau
sebanyak 16 peternak yang mengungkapkan dengan menggunakan biogas tidak
36
menghemat waktu dan tenaga, karena untuk menghasilkan biogas harus
meluangkan waktu untuk megumpulkan feces sapi dan harus pula mengeluarkan
tenaga untuk mengangkut feces tersebut, mengambil air kemudian untuk
memproses biogas. Peternak Desa Cibodas menilai biogas sangat menguntungkan
dibandingkan menggunakan bahan bakar lain seperti kayu bakar dan LPG,
sehingga jumlah penerap di Desa Cibodas sebesar 55.5 persen dari keseluruhan
peternak, hal ini juga terkait dengan peternak yang tergabung dalam kelompok
ternak di Desa Cibodas. Kelompok ternak Desa Cibodas terbagi dalam enam
kelompok (Karya Bersama, Sarongge Indah, Mekar Rahayu, Sumber Hurip,
Mekar Saluyu dan Bakti Saluyu), dua keompok diantaranya yaitu Mekar Saluyu
dan Bakti Saluyu terletak dalam satu lokasi dan mendpat bantuan biogas
percontohan energi alternatif untuk memasak dan untuk penerangan berupa lampu
biogas, sehingga peternak dapat lebih bisa menilai keuntungan biogas dari
percontohan tersebut sebelum menerapkan biogas, selain itu lokasi Desa Cibodas
yang lebih dekat dengan pusat kota (Kecamatan Lembang), sehingga peternak
lebih mudah dalam mengakses informasi baru dibandingkan Desa Suntenjaya
yang letaknya lebih jauh dari pusat kota.
Tingkat Kompleksitas
Tingkat kompleksitas adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif
sulit untuk digunakan atau dengan kata lain mudah untuk digunakan. Taraf
kerumitan pemakaian dan perawatan inovasi biogas menjadi hal yang penting.
Pemakaian biogas dinilai dari taraf kemudahan dalam memproses biogas, dan
bagaimana pula taraf kemudahan dalam merawat instalasi biogas, seperti kompor,
pipa, inlet, pengaduk, kran dan reaktor biogas.
Peternak menilai biogas relatif tidak rumit/cukup mudah untuk digunakan.
Tidak terdapat perbedaan persepsi peternak tentang kompleksitas antara Desa
Suntenjaya dan Desa Cibodas, keduanya termasuk kategori tidak rumit untuk
digunakan. Sebanyak 67,7 persen peternak di dua desa penelitian menilai tidak
rumit untuk mencoba biogas dan untuk menyediakan air untuk memproses biogas,
karena Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas merupakan daerah pegunungan yang
sangat mudah dalam mendapatkan air langsung dari mata air pegunungan untuk
kebutuhan sehari-hari. Taraf kemudahan dalam merawat kompor di Desa Cibodas
juga termasuk rendah karena responden dapat memperbaiki kompor biogas,
bahkan mampu merakit kompor biogas.
Tingkat Kompatibilitas
Tingkat kompatibilitas merupakan tingkatan sejauh mana inovasi dianggap
konsisten dengan nilai-nilai yang ada, dan kebutuhan penerima. Tingkat
kompatibilitas termasuk tinggi dimana 141 peternak atau sebesar 53 persen
peternak menyatakan bahwa mereka sangat setuju bahwa inovasi biogas sesuai
dengan kebutuhan energi alternatif untuk memasak dan sesuai untuk mengurangi
pencemaran lingkungan, walaupun terdapat 7 peternak atau sebesar 4.9 persen
peternak yang menyatakan bahwa biogas justru akan lebih mencemari sungai
Cikapundung karena pemrosesan biogas dengan mencampur feces sapi perah
dengan air dengan perbandingan 1:1, dan menghasilkan slurry yang belum
digunakan sebagai pupuk, hal ini seperti diungkapkan Bapak A (Peternak-petani
hortikultura, 36 tahun):
37
“Kalau untuk kebutuhan memasak, tidak semua peternak memiliki
kandang yang dekat dengan rumah, dan terkadang hanya
digunakan untuk mandi sapi karena letak biogas di kandang,
sedangkan untuk mengurangi pencemaran sungai itu belum cocok
menggunakan biogas, bahkan akan lebih mencemari sungai
karena slurry yang dihasilkan juga lebih banyak dan belum
dimanfaatkan lebih lanjut, seperti dibuat pupuk cacing dengan
lahan 16 m2 yang lebih menguntungkan karena sebulan bisa
menghasilkan 35 karung pupuk cacing yang dijual Rp 17 000 per
karung.”
Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi
tentang tingkat kompatibilitas antara Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas.
Sebanyak 55.3 persen responden di Desa Suntenjaya dan 50.4 persen responden di
Desa Cibodas menyatakan bahwa biogas sesuai dengan kebutuhan sebagai energi
alternatif dan sesuai sebagai upaya mengurangi pencemaran sungai Cikapundung
akibat feces sapi perah.
Tingkat Triabilitas
Tingkat triabilitas adalah adalah suatu tingkat dimana suatu inovasi dapat
dicoba dengan mudah. Sebanyak 187 peternak dapat langsung mencoba
menggunakan biogas ketika pertama kali mencobanya. Setelah instalasi biogas
dibangun, maka setidaknya tujuh hari kemudian, dapat langsung dicoba dan
langsung digunakan. Ada pula responden yang mencoba menggunakan kompor
biogas setelah empat hari sejak pengisian pertama. Hasil uji beda menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan persepsi tentang tingkat triabilitas antara Desa
Suntenjaya dan Desa Cibodas. Hanya terdapat satu peternak di Desa Suntenjaya
yang menyatakan bahwa mereka sangat sulit mencoba memproses biogas,
membutuhkan lebih dari 4 kali mencoba memasukkan feces ke pengaduk dan
lebih dari 4 kali mencoba menyalakan kompor biogas sedangkan di Desa Cibodas
terdapat 6 peternak menyatakan yang sangat sulit mencoba memproses biogas,
membutuhkan lebih dari 4 kali mencoba memasukkan feces ke pengaduk dan
lebih dari 4 kali mencoba menyalakan kompor biogas. Peternak Desa Suntenjaya
terbagi dalam tujuh kelompok ternak yaitu kelompok ternak Mekar Mawar,
Mekar Budaya, Jaya mekar, Pasir Angling, Sawagi, Mekar Saluyu dan Mekar
Asih. Peternak Desa Cibodas terbagi dalam enam kelompok yaitu kelompok
Karya Bersama, Sarongge Indah, Mekar Rahayu, Sumber Hurip, Mekar Saluyu
dan Bakti Saluyu. Tingkat triabilitas di dua desa penelitian terlihat berbeda.
Sebanyak 70.9 persen peternak Desa Suntenjaya menilai pemrosesan sangat
mudah dicoba Peternak Desa Sutenjaya, sedangkan sebanyak 69.6 persen
peternak Desa Cibodas menilai pemrosesan biogas mudah dicoba. Pada awal
penerapan biogas, terdapat biogas percontohan untuk kelompok ternak di dua desa
penelitian sehingga peternak dapat mencoba memproses biogas tanpa perlu
terlebih dulu membangun dalam skala rumah tangga, akan tetapi biogas
percontohan yang dibangun oleh PKPP RISTEK di Desa Suntenjaya hanya dapat
dioperasikan selama enam bulan kemudian rusak dan peternak tidak dapat
memperbaiki instalasi biogas tersebut.
38
Tingkat Observabilitas
Tingkat observabilitas adalah tingkat dimana suatu inovasi dapat dilihat
hasilnya dan dapat dilihat prosesnya. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan persepsi tentang tingkat observabilitas antara Desa Suntenjaya
dan Desa Cibodas. Tingkat observabilitas termasuk kategori sedang dengan 55.6
persen dari keseluruhan peternak menilai cukup mudah mengamati keuntungan
yang diperoleh peternak lain melalui penggunaan biogas dan cukup mudah pula
mengamati pembentukan biogas dalam reaktor. Sebanyak 82 peternak di Desa
Suntenjaya termasuk dalam kategori sedang sedangkan di Desa Cibodas hanya 66
peternak yang termasuk dalam kategori sedang. Peternak tersebut menyatakan
bahwa pembentukan gas cukup mudah diamati dan peternak cukup mudah
mengamati keuntungan ekonomis yang diperoleh peternak lain.
Tingkat Akses Informasi dan Fasilitasi Penyuluh
Tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluhan dilihat dari sumber
informasi tentang biogas yang diakses oleh peternak dan frekuensi pertemuan
penyuluh biogas dengan peternak.
Akses terhadap Informasi Inovasi Biogas
Peternak mengakses sumber informasi untuk mencari informasi terkait
inovasi. Petama kali peternak memperoleh informasi tentang inovasi biogas dari
berbagai macam sumber meliputi ketua kelompok ternak, penyuluh biogas
KPSBU, tetangga, peternak lain dalam satu desa, pendidikan formal (SMK). Dari
sisi difusi biogas di dua desa penelitian tampak bahwa peranan early adopter
sangat penting, early adopter ini memiliki ciri yaitu para teladan (pemuka
pendapat) dan orang yang dihormati. Early adopter di lokasi penelitian adalah
ketua kelompok ternak yang berpengaruh untuk memepercepat difusi biogas di
kalangan peternak. Pada tahun 2010 hingga 2011 di Desa Suntenjaya terdapat 16
responden atau sebanyak 15.4 persen sebagai early adopter, sedangkan di Desa
Cibodas sebanyak terdapat 11 responden atau sebanyak 4.3 persen sebagai early
adopter. Lebih lanjut pada tahun 2012 terjadi penambahan jumlah adopter di Desa
Suntenjaya 117 atau sebanyak 27.8 persen adopter, sedangkan di Desa Cibodas
sebanyak 96 responden atau 37.6 persen dan 78 responden menyatakan
termotivasi karena mengikuti ajakan dari ketua kelompok ternak, tokoh
masyarakat serta peternak lain yang terlebih dahulu menerapkan biogas. Secara
lebih rinci jenis sumber informasi disajikan dalam Tabel 15.
39
Tabel 15 Sumber informasi tentang inovasi biogas di dua desa penelitian tahun
2014
No Sumber informasi Desa Suntenjaya Desa Cibodas
n % n %
1 Penyuluh biogas 6 4.2 34 27.2
2 Ketua kelompok
tani/ternak
100 70.9 82 65.5
3 Peternak lain
(Koordinator wilayah
KPSBU)
1 0.7 4 3.2
4 Tetangga 6 4.2 3 2.4
5 Keluarga 27 19.1 2 1.6
6 Pendidikan formal
(SMK)
1 0.7 0 0
Total 141 100 125 100
Selain sumber informasi yang diakses pertama kali, berbagai macam sumber
informasi lain juga diakses oleh RTPSP kemudian dikategorikan menjadi tiga
kategori yaitu rendah (jika hanya mengakses satu sumber informasi), sedang (jika
mengakses dua sampai tiga sumber iformasi) dan tinggi (jika mengakses lebih
dari tiga sumber informasi). Kategori tersebut secara lengkap disajikan dalam
Tabel 16.
Tabel 16 Akses sumber informasi tentang inovasi biogas di dua desa penelitian
tahun 2014
Kategori akses
terhadap sumber
informasi
Desa Suntenjaya Desa Cibodas Uji beda
Mann-
Whitney U
n % n % Signifikansi
Rendah 50 35.5 4 3.20
0.00 Sedang 57 40.4 42 33.6
Tinggi 34 24.1 79 63.2
Total 141 100 125 100
Keterangan: nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata
Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara Desa
Sutenjaya dan Desa Cibodas (p=0.00), karena terdapat berbagai macam sumber
informasi dan lebih dari satu sumber informasi yang diakses oleh RTPSP penerap
inovasi biogas. Mayoritas sebesar 40.4 persen peternak di Desa Suntenjaya
mengakses sumber informasi bersumber dari ketua kelompok ternak, penyuluh
biogas KPSBU, dan tetangga, sedangkan di Desa Cibodas sebesar 63.2 persen
peternak mengakses informasi dari televisi, ketua kelompok ternak, penyuluh
biogas KPSBU, dan tetangga, serta dari ketua koordinator wilayah KPSBU desa.
40
Frekuensi Pertemuan dengan Penyuluh Biogas
Kebutuhan informasi merupakan kebutuhan yang sangat penting. Schram,
1973 dalam Isniyati (2010), bahwa orang-orang dengan tingkat pendidikan yang
tinggi cenderung lebih ingin mencari informasi dari media cetak. Dari berbagai
penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, mengungkapkan bahwa intensitas
dalam komunikasi dapat menentukan perubahan perilaku. Soekartawi (2005),
mengungkapkan pula bahwa faktor yang memepengaruhi adopsi adalah interaksi
antar individu dengan individu maupun antara individu dengan kelompok
masyarakat.
Penyuluh yang berperan menyampaikan informasi kepada peternak sapi
perah adalah penyuluh yang berasal dari KPSBU, walaupun terdapat penyuluh
dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat untuk wilayah
Kecamatan Lembang sebanyak satu orang penyuluh dan dalam setahun rata-rata
hanya sekitar 2 kali kunjungan ke desa-desa wilayah kerja yaitu Desa Suntenjaya
dan Desa Cibodas.
Pertemuan dengan penyuluh biogas seharusnya dapat dimanfaatkan oleh
peternak untuk mencari informasi lebih lanjut terkait inovasi biogas. Pertemuan
dengan penyuluh biogas seharusnya tidak hanya sebatas pengecekan instalasi
biogas tetapi juga komunikasi antar peternak dan penyuluh biogas agar peternak
mengerti tentang inovasi biogas.
Tabel 17 Frekuensi pertemuan responden dengan penyuluh biogas di dua desa
penelitian tahun 2014
Frekuensi
pertemuan dengan
penyuluh biogas
Desa Suntenjaya Desa Cibodas Uji beda U
Mann-
Whitney
n % n % Signifikansi
Rendah 132 93.6 125 100
0.00 Sedang 8 56.7 0 0
Tinggi 1 0.70 0 0
Total 141 100 125 100
Keterangan: nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata
Hasil uji beda U Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas antara Desa Suntenjaya dan Desa
Cibodas. Sebanyak 257 peternak atau sebesar 96.6 persen menyatakan bahwa
frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas termasuk dalam kategori rendah
yaitu kurang dari satu kali dalam sebulan. Penerap biogas BIRU atau bantuan
kredit bertemu dengan penyuluh biogas hanya ketika dilakukan pengecekan
setelah instalasi biogas secara intensif sekali seminggu pada tiga bulan pertama,
setelah itu responden bisa menghubungi petugas KPSBU jika terjdi kerusakan
instalasi biogas untuk nantinya diperbaiki. Sedangkan, untuk penerap biogas
gratis, setelah instalasi biogs dibangun, maka tidak dilakukan pengecekan/kontrol
dari pihak Dinas ESDM, karena untuk perawatan dan pemeliharaan instalasi
biogas telah menjadi tanggungjawab peternak penerap inovasi biogas tersebut.
41
TINGKAT DIFUSI INOVASI BIOGAS DI DUA DESA PENELITIAN
Inovasi biogas mulai dirintis pada tahun 2006 di dua desa penelitian, akan
tetapi hanya berupa percobaan secara individu dari RTPSP dan Lembaga Swadaya
Masyarakat di luar desa, seperti di Desa Suntenjaya dilakukan oleh bantuan dari
Yayasan Pengembangan Masyarakat Diri Support (PESAT) yang terletak di
Dusun Pasir Angling, sedangkan di Desa Cibodas dilakukan oleh RTPSP dengan
bantuan dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dari tahun 2006 hingga tahun 2009, tidak terjadi perkembangan pengadaan
biogas oleh RTPSP karena berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan tersebut
dilihat bahwa tipe biogas ini rentan terhadap kerusakan. Akan tetapi dengan
adanya program BIRU melalui KPSBU (Koperasi Susu Bandung Utara), maka
mulailah perkembangan penerap biogas. Hingga pada tahun 2011 adanya bantuan
sarana pembuatan biogas dari Dinas ESDM Jawa Barat semakin menambah
RTPSP penerap inovasi biogas. Sampai saat ini Sekitar 12.7 persen atau sebanyak
123 Rumah Tangga peternak Sapi Perah (RTPSP) menggunakan biogas untuk
kebutuhan memasak sehari-hari di dapur dan memasak air untuk memandikan
sapi perah di kandang. Secara rinci difusi RTPSP di Desa Suntenjaya disajikan
dalam Tabel 18.
Tabel 18 Difusi RTPSP penerap inovasi biogas di Desa Suntenjaya tahun 2014
Wilayah Jumlah RTSP Penerap Inovasi Biogas
Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013
Dusun
Sukaluyu
8 11 27 43
Dusun Cibodas 6 16 17 17
Dusun Batu
Loceng
0 12 27 27
Dusun
Cikapundung
1 10 14 13
Dusun Pasir
Angling
3 5 16 19
Dusun Gandok 0 5 6 12
Dusun Dago 5 6 11 10
Total 23 65 117 141
Pada tahun 2013 di Dusun Cikapundung dan Dusun Dago penerap biogas
berkurang karena sebanyak dua unit biogas mengalami kerusakan dan tidak
diperbaiki, keduanya merupakan biogas gratis bantuan dari Dinas Energi dan
Sumberdaya Mineral Propinsi Jawa Barat, sedangkan satu lagi merupakan proyek
percontohan biogas untuk pembangkit generator listrik dari Peningkatan
Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Riset dan Teknologi (PKPP RISTEK), akan
tetapi instalasi biogas tersebut hanya digunakan selama 6 bulan dan rusak
kemudian tidak ada tindak lanjut dari Kepala Desa Suntenjaya untuk memperbaiki
instalsi biogas tersebut. Terkait instalasi biogas bantuan dari Dinas Energi dan
Sumberdaya Mineral Propinsi Jawa Barat mengalami kerusakan, peternak yang
menerapkan biogas ini mengungkapkan bahwa tidak mau beralih kepada kredit
yang ditawarkan Koperasi Susu Bandung Utara (KPSBU) karena harus
42
mengeluarkan biaya untuk perbaikan, seperti yang dikemukakan oleh Ibu EN
(Peternak, 37 tahun):
“Ah...itu kan bantuan teh, kalau rusak ya biarin aja rusak. Nanti
kalau diperbaiki kan harus keluar uang teh, beda kalau yang kredit
itu ada garansinya”.
Terdapat tujuh dusun di Desa Suntenjaya yaitu dusun Sukaluyu/ Asrama,
Dusun Cibodas, Dusun batu Loceng, Dusun Cikapundung, Dusun Pasir Angling,
Dusun Gandok, dan Dusun Dago. Persentase sebaran biogas di tujuh dusun di
Desa Suntenjaya disajikan dalam Tabel 19
.
Tabel 19 Distribusi sebaran inovasi biogas di Desa Suntenjaya tahun 2014
No Dusun RTPSP
penerap biogas
Jumlah
RTPSP
(n)
Persentase (%)
1 Dusun Sukaluyu 43 71 60.5
2 Dusun Cibodas 17 38 44.7
3 Dusun Batu Loceng 27 67 40.3
4 Dusun Cikapundung 13 51 25.4
5 Dusun Pasir Angling 19 99 19.2
6 Dusun Gandok 12 71 16.9
7 Dusun Dago 10 23 43.4
Dusun Sukaluyu menjadi Dusun dengan penerap tertinggi karena peternak
di dusun ini bekerja sebagai peternak yaitu sebanyak 71 rumah tangga dan
mendapat bantuan biogas gratis sebanyak 27 unit sedangkan 16 responden di
Dusun Sukaluyu dengan inisiatif sendiri menggunakan biogas dari BIRU sehingga
pada tahun 2011 dan tahun 2012 mengalami peningkatan penerap biogas. Dusun
lainya seperti Dusun Cibodas mendapatkan bantuan biogas gratis sebanyak 6 unit,
Dusun Batu Loceng sebanyak 28 unit Dusun Cikapundung mendapat 15 unit,
Dusun Pasir Angling mendapat 8 unit, Dusun Gandok mendapat 6 unit, dan
Dusun Dago mendapat 10 unit bantuan biogas gratis.
Biogas yang diterapkan oleh peternak sapi perah di Desa Suntenjaya terbagi
menjadi dua tipe, yaitu biogas dari BIRU (Biogas Rumah) dari Koperasi Susu
bandung Utara (KPSBU) dan biogas bantuan dari Pemerintah Propinsi Jawa
Barat. BIRU merupakan biogas dengan sistem kredit yang ditawarkan kepada
peternak sapi perah, dengan harga Rp 6 000000,- dengan subsidi sebesar
Rp 2 00000 sehingga harganya menjadi Rp 4 000000,- dan dapat dicicil selama 3
tahun 4 bulan sehingga cicilan per bulan sebesar Rp 100 000 dipotong dari setoran
susu kepada KPSBU. Biogas dari BIRU ini memiliki pedoman dalam
penggunaannya agar tetap awet hingga tahun-tahun berikutnya, dimana penerap
harus memperhatikan pengisian reaktor (perdana dan harian), penggunaan katup
gas udara, pemeriksaan kebocoran gas, penggunaan saluran penguras air
(waterdrain), pembersihan saluran peluap (overflow), penggunaan kran gas,
penggunaan kompor gas yang rentan mengalami kerusakan.
Biogas di Desa Cibodas pertama kali dibangun di Kampung Areng RT 01
RW 02 oleh kelompok ternak Bakti Saluyu. Tipe biogas yang dibangun adalah
tipe plastik dan merupakan bantuan dari Dinas Peternakan Kabupaten Bandung
Barat. Namun dalam perkembangannya, biogas ini cenderung mengalami
43
kerusakan karena terbuat dari plastik. Lebih lanjut perkembangan biogas berawal
dari kredit biogas yang ditawarkan oleh KPSBU sejak tahun 2010, dimana
terdapat tiga peternak yang membangun biogas tersebut. Sekitar 99 persen
peternak sapi perah di Desa Cibodas memanfaatkan biogas untuk keperluan
memasak, sedangkan 1 persen menggunakan biogas untuk memasak dan lampu
penerangan. Desa Cibodas mendapatkan 82 unit biogas gratis yang diberikan pada
peternak di Dusun Areng dan sisanya sebanyak 43 unit biogas dari BIRU yang
tersebar di Dusun Cisarongge, Dusun Babakan Gentong, Dusun Cijero Kaso, dan
Dusun Sukamaju. Secara rinci sebaran RTPSP penerap biogas di Desa Cibodas
sisajikan dalam Tabel 20.
Tabel 20 Sebaran RTSP penerap inovasi biogas di Desa Cibodas
No Wilayah Jumlah RTSP Penerap Inovasi Biogas
2010 2011 2012 2013
1 Dusun Areng 3 4 82 104
2 Dusun Cisarongge 0 0 0 4
3 Dusun Babakan Gentong 1 1 2 2
4 Dusun Cijero kaso Wetan 2 3 7 8
5 Dusun Sukamaju 0 3 5 7
Total 6 11 96 125
Pada tahun 2010 hingga tahun 2012 tidak memperlihatkan perbedaan yang
besar antara satu dusun dan dusun lainnya, akan tetapi di tahun 2013
menunjukkan perbedaan yang sangat besar antara jumlah RTPSP penerap biogas
dari jumlah 96 RTSP penerap menjadi 125 RTPSP penerap biogas, dimana Dusun
Areng terdapat paling banyak RTPSP penerap dengan adanya bantuan biogas
gratis.
Secara massal, inovasi biogas diintroduksikan di dua desa penelitian pada
tahun 2010 melalui program BIRU dari KPSBU, sehingga waktu menerapkan
dimulai dari tahun 2010 sampai penelitian berlangsung yaitu memasuki tahun
2014. Secara lengkap perkembangan inovasi biogas di dua desa penelitian
disajikan dalam Tabel 21.
Tabel 21 Perkembangan inovasi biogas di dua desa penelitian
No. Tahun Desa Suntenjaya Desa Cibodas
1 2010 23 6
2 2011 65 11
3 2012 117 96
4 2013 141 125
Sebesar 55.5 persen RTPSP di Desa Cibodas telah menerapkan biogas
sedangkan di Desa Suntenjaya baru sebesar 33.5 persen RTPSP yang menerapkan
biogas. Seluruh RTPSP Desa Cibodas yang bertempat tinggal di Dusun Areng
telah menerapkan biogas, sedangkan selebihnya tersebar di Dusun Cisarongge,
Dusun Cijero Kaso Wetan, Dusun Sukamaju dan Dusun Babakan Gentong.
44
Penerimaan Inovasi Biogas di Dua Desa Penelitian
Penambahan RTPSP yang mengadopsi inovasi biogas terjadi secara lambat
di Desa Suntenjaya yaitu sejak tahun 2010 akan tetapi pada tahun 2011 terjadi
percepatan karena adanya bantuan biogas gratis dari Dinas Energi dan Sumber
Daya Mineral sebanyak 100 reaktor pada tahun 2010, kemudian semakin
berkembang juga tidak hanya karena bantuan gratis akan tetapi adanya kredit
biogas dari KPSBU, selanjutnya peningkatan secara gradual akan menurun oleh
karena hanya tinggal beberapa orang saja yang akhirnya mengadopsi. Kurva-S ini
dinyatakan mengikuti distribusi normal karena dukungan teori kurva belajar
(learning curves) dan disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Kurva penerimaan inovasi biogas di dua desa penelitian
Di Desa Cibodas juga menunjukkan distribusi adopter pada kurva-S
meningkat sangat lambat pada awalnya, yakni ketika hanya beberapa adopter saja
pada titik tertentu. Berdasarkan grafik juga dapat dilihat bahwa pada tahun 2011,
terdapat lebih banyak RTPSP penerap biogas di Desa Suntenjaya dibandingkan di
Desa Cibodas. Kemudian di Desa Cibodas terjadi percepatan peningkatan adopter
sampai maksimum ketika 49.01 persen atau sebanyak 125 RTPSP dalam sistem
sosial telah mengadopsi inovasi karena adanya bantuan biogas gratis sebanyak 82
unit reaktor biogas dari Dinas ESDM Jawa Barat. Selanjutnya peningkatannya
secara gradual akan menurun oleh karena hanya tinggal beberapa orang saja yang
akhirnya mengadopsi pada Tabel 22.
Kurva kategori adopter membentuk (S-shape curve) karena mengikuti suatu
sebaran normal, sehingga sesuai dengan asumsi bahwa jika suatu inovasi
diintroduksikan kepada suatu sistem sosial, maka dengan berjalannya waktu akan
menemukan bahwa orang yang mengadopsi inovasi akan semakin bertambah
banyak. Hal ini karena ada program bantuan pembangunan instalasi biogas dari
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Barat. Secara lengkap
difusi biogas di tiap dusun Desa Cibodas disajikan pada Tabel 22.
45
Tabel 22 Difusi biogas pada tiap dusun di Desa Cibodas tahun 2014
No Dusun RTPSP penerap
biogas
Jumlah
RTPSP (n)
Persentase
(%)
1 Dusun Areng 104 104 100
2 Dusun Cisarongge 4 21 19
3 Dusun Babakan
Gentong
2 47 4.2
4 Dusun Cijero kaso
Wetan
8 39 20.5
5 Dusun Sukamaju 7 44 15.9
Perbedaan adopter biogas antar dusun di Desa Cibodas terlihat jelas, dimana
seluruh peternak Dusun Areng telah menerapkan biogas, sedangkan di dusun
lainnnya hanya dibawah 21 persen yang telah menerapkan biogas.
Tingkat difusi biogas meliputi kecepatan dan penyebaran. Kecepatan ini
diukur berdasarkan fakta bahwa inovasi biogas telah dikenal peternak Desa
Suntenjaya dan Desa Cibodas, sejak tahun 2006 atau sekitar 7 tahun yang lalu,
ketika salah seorang warga mempunyai menerapkan biogas tipe plastik untuk
pertama kalinya. Tidak terdapat perbedaaan kecepatan di dua desa penelitian.
Sebanyak 86.5 persen kecepatan adopsi peternak di Desa Suntenjaya tergolong
kategori sedang dan sebanyak 88 persen kecepatan adopsi di Desa Cibodas juga
tergolong kategori sedang. Dari kedua desa, sebesar 87.2 persen kecepatan adopsi
peternak termasuk kategori sedang. Secara lengkap distribusi kecepatan disajikan
dalam Tabel 23.
Tabel 23 Distribusi kategori kecepatan di dua desa penelitian tahun 2014
Kategori Desa Suntenjaya Desa Cibodas Signifikansi
n % n % Uji beda U
Mann-Whitney
Rendah 15 10.6 13 10.4
0.692 Sedang 122 86.5 110 88
Tinggi 4 2.90 2 1.6
Total 141 100 125 100
Keterangan: nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata
nilai signifikansi U Mann Whitney >0.05, tidak berbeda nyata
Variabel kedua dalam tingkat difusi adalah penyebaran yang diukur
berdasarkan jumlah rumah tangga peternak yang mengadopsi inovasi biogas
dalam periode waktu (tahun), sejak masuknya biogas sampai dengan
digunakannya oleh sebagian besar anggota sistem sosial (desa). Hasil Uji beda U
Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara Desa
Suntenjaya dan Desa Cibodas yang ditunjukkan bahwa Di Desa Cibodas tidak
terdapat penyebaran yang berada dalam kategori sedang, karena penyebaran di
Desa Cibodas berpusat di Dusun Areng yaitu sebanyak 104 peternak atau
keseluruhan peternak di Dusun Areng telah mengadopsi biogas, dan tidak merata
seperti di dusun-dusun di Desa Suntenjaya. Secara rinci dapat dilihat dalam Tabel
24.
46
Tabel 24 Distribusi kategori penyebaran di dua desa penelitian tahun 2014
Kategori Desa Suntenjaya Desa Cibodas Signifikansi
n % n % Uji beda U
Mann-
Whitney
Rendah 25 17.7 28 22.4
0.00 Sedang 75 53.2 0 0
Tinggi 41 29.1 97 77.6
Total 141 100 125 100
Keterangan: nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata
nilai signifikansi U Mann Whitney >0.05, tidak berbeda nyata
Di dua desa penelitian, mayoritas sebesar 51.8 persen penyebaran biogas
oleh peternak termasuk kategori tinggi, namun terdapat perbedaan penyebaran di
dua desa penelitian. Di Desa Suntenjaya sebanyak 33.57 persen peternak yang
mengadopsi biogas, sedangkan di Desa Cibodas sebanyak 55 persen peternak
yang telah mengadopsi biogas.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi
Biogas
Terdapat keberagaman karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi
dan akses terhadap informasi dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas
adopter biogas. Terdapat hubungan signifikan antara lama beternak, tingkat
keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas dan tingkat
observabilitas dengan kecepatan, sedangkan lama beternak, tingkat keuntungan
relatif serta tingkat triabilitas dan dengan penyebaran.
Karakteristik Rumah Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)
Karakteristik RTPSP meliputi tingkat pendidikan formal, lama beternak,
jumlah ternak, tingkat pendapatan RTPSP, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik), dan
luas lahan untuk biogas. lama beternak berkorelasi positif dengan penyebaran,
sedangkan motivasi peternak berkorelasi positif dengan kecepatan. Secara rinci
hubungan variabel karakteristik dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas
disajikan dalam Tabel 25.
Tabel 25 Hubungan variabel karakteristik RTPSP dengan tingkat difusi-adopsi
inovasi biogas
No Variabel Kecepatan Penyebaran
1 Tingkat Pendidikan Formal 0.081 -0.072
2 Lama beternak 0.120 0.249**
3 Jumlah Ternak 0.071 -0.047
4 Tingkat Pendapatan RTPSP 0.069 0.113
5 Motivasi 0.181** -0.044
6 Luas lahan untuk biogas 0.004 0.072
Keterangan:
*Korelasi nyata pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05)
**Korelasi sangat nyata pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0,01)
47
Tingkat pendidikan RTPSP tidak memiliki hubungan nyata dengan
kecepatan dan penyebaran, hal ini berarti bahwa responden yang memiliki tingkat
pendidikan rendah, sedang maupun tinggi tidak berhubungan dengan cepat
lambatnya RTPSP untuk menerapkan biogas dan pernyebaran biogas oleh
peternak yang telah menerapkan biogas di dua desa penelitian.
Sebanyak 34.2 persen peternak di dua desa penelitian telah beternak
selama 6-11 tahun, dan sebanyak 34.2 persen peternak juga telah beternak selama
≥ 12 tahun. Semakin lama beternak, maka semakin lama melihat perkembangan
inovasi biogas yang semakin tahun semakin berkembang dengan adanya biogas
gratis maupun biogas kredit maka akan semakin banyak persentase peternak yang
menerapkan inovasi biogas, sehingga lama beternak memiliki hubungan nyata dan
signifikan dengan penyebaran. Lama beternak memiliki hubungan nyata dan
positif dengan tingkat penyebaran di dua desa penelitian, namun tidak memiliki
hubungan nyata dengan kecepatan mengadopsi. Pada awal penerapan biogas yaitu
tahun 2006, biogas tidak berkembang di dua desa penelitian, dan hanya diadopsi
oleh enam peternak tanpa disebarkan ke peternak lain, namun pada tahun 2011
peternak adopter juga mengajak peternak lain untuk menerapkan biogas, karena
melihat reaktor biogas yang semakin berkembang dari tipe plastik yang lebih
rentan rusak hingga sekarang menggunakan reaktor tipe beton (fixed dome) yang
lebih awet dibanding tipe plastik. Pembangunan biogas tipe plastik dilakukan
pada skala rumah tangga dan tidak dilakukan dalam skala kelompok, sehingga
peternak yang mengerti tentang biogas memutuskan untuk tidak menerapkan
biogas tipe plastik karena pengalaman masa lalu ketidakberhasilan biogas tipe
plastik.
Jumlah ternak tidak memiliki hubungan nyata dengan kecepatan karena
peternak yang memiliki ternak sedikit ≤3 ekor, sedang (4-5 ekor) maupun banyak
(≥6 ekor) tidak berpengaruh pada peternak untuk menerapkan biogas. Terdapat
lima peternak yang tidak memiliki sapi perah akan tetapi tetap menerapkan biogas
dengan menggunakan feces sapi perah milik tetangga maupun saudara. Begitu
pula jumlah ternak tidak memiliki hubungan signifikan dengan penyebaran
biogas, banyak sedikitnya jumlah ternak tidak membuat peternak lebih cepat
mengadopsi biogas dan kemudian menyebarkan atau mengajak peternak lain
untuk mengadopsi biogas tersebut.
Tingkat pendapatan RTPSP tidak memiliki hubungan nyata dengan
kecepatan dan penyebaran biogas. Peternak yang memiliki pendapatan tinggi,
sedang maupun rendah tidak berhubungan dengan cepat lambatnya peternak
memutuskan untuk mengadopsi biogas. Peternak berpendapatan tinggi, sedang
maupun rendah yang telah mengadopsi biogas juga tidak menyebarkan biogas
tersebut untuk diadopsi peternak lain karena penyebaran lebih didorong adanya
bantuan biogas gratis dari Dina ESDM dan kredit biogas dari KPSBU dengan
sistem kredit yang ditawarkan kepada peternak sapi perah, dengan Rp 4 000000,-
dan dapat dicicil selama 3 tahun 4 bulan sehingga cicilan per bulan sebesar
Rp 100 000,- dipotong dari setoran susu kepada KPSBU. Bagi peternak yang
berpendapatan tinggi, sedang maupun rendah juga dapat memperoleh bantuan
biogas gratis dari Dinas ESDM karena peternak penerima bantuan dipilih oleh
ketua kelompok ternak ataupun mengajukan diri agar menerima bantuan biogas
gratis.
48
Motivasi memiliki hubungan sangat nyata dan positif dengan kecepatan
menerapkan inovasi biogas, hal ini dikarenakan motivasi intrinsik maupun
ekstrinsik yang berhubungan dengan kecepatan RTPSP menerapkan inovasi
biogas. Di sisi lain, motivasi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
penyebaran karena peternak yang hanya termotivasi menerapkan biogas tanpa
termotivasi untuk mengajak peternak lain menerapkan biogas. Hal tersebut juga
sesuai dengan hasil penelitian Tondok et al. (2011) yang menemukan bahwa
motivasi berhubungan sangat nyata dengan tingkat penerapan teknologi, semakin
tinggi motivasi petani semakin tinggi tingkat penerapan teknologi. Di sisi lain,
motivasi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan penyebaran karena
peternak yang hanya termotivasi menerapkan biogas tanpa termotivasi untuk
mengajak peternak lain menerapkan biogas.
Di Desa Suntenjaya, sebanyak 86 orang atau sebanyak 60.9 persen peternak
cukup termotivasi untuk menerapkan biogas, sedangkan di Desa Cibodas
sebanyak 68 respoden atau sebanyak 54.4 persen sangat termotivasi menerapkan
biogas. Sebanyak 117 peternak atau sebesar 43.9 persen termotivasi menerapkan
biogas karena adanya biogas gratis menjadikan dorongan yang sangat kuat untuk
menerapkan biogas. Motivasi ini menyebabkan para penerima bantuan sarana
pembuatan biogas gratis menjadi tidak memiliki tanggungjawab dalam perawatan
dan pemeliharaan instalasi biogas, karena walaupun mereka mendapat biogas
dengan gratis akan tetapi mereka tetap tidak bersedia mengeluarkan biaya jika
terjadi kerusakan.
Luas lahan untuk biogas tidak memiliki hubungan signifikan dengan
kecepatan dan penyebaran, karena adanya beberapa tipe ukuran reaktor biogas
menjadi pertimbangan bagi penerima bantuan biogas gratis, sehingga jumlah
RTPSP penerap berbeda di tiap dusun di dua desa penelitian. Bagi peternak yang
memiliki lahan sempit juga dapat membangun satu unit biogas yang digunakan
bersama peternak lain, misalnya di Desa Cibodas terdapat 2 RTPSP yang
membangun instalasi biogas berukuran 6m3 untuk digunakan bersama.
Persepsi tentang Sifat Inovasi Biogas
Persepsi tentang sifat inovasi biogas ini meliputi persepsi terhadap tingkat
keuntungan relatif, tingkat komplekitas, tingkat kompatibilitas, tingkat triabilitas
dan tingkat observabilitas. Tingkat keuntungan relatif, tingkat kempatibilitas,
tingkat kemudahan, dan tingkat observabilitas berkorelasi positif dengan
kecepatan. Tingkat keuntungan reatif dan tingkat triabilitas berkorelasi positif
dengan penyebaran. Secara rinci hubungan variabel persepsi tentang sifat inovasi
biogas dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas dapat dilihat dalam Tabel 26.
Tingkat keuntungan relatif memiliki hubungan nyata dan positif dengan
kecepatan adopsi. Sebanyak 56 persen peternak menilai biogas cukup
menguntungkan. Dalam melihat keuntungan relatif dari inovasi biogas,
responden menyatakan sangat setuju dan setuju jika inovasi biogas lebih
menguntungkan dibandingkan menggunakan bahan bakar lainnya seperti LPG,
kayu bakar dan minyak tanah Dalam melihat keuntungan relatif dari inovasi
biogas, peternak menyatakan sangat setuju dan setuju jika inovasi biogas lebih
menguntungkan dibandingkan menggunakan bahan bakar lainnya, dengan melihat
keuntungan secara ekonomis maka respoden akan lebih cepat pula dalam
memutuskan untuk menerapkan biogas.
49
Tabel 26 Hubungan variabel persepsi tentang sifat inovasi biogas dengan tingkat
difusi-adopsi inovasi biogas
No Variabel Kecepatan Penyebaran
1 Tingkat Keuntungan
Relatif
0.204** 0.151**
2 Tingkat Kompleksitas 0.148* 0.013
3 Tingkat Kompatibilitas 0.132* -0.041
4 Tingkat Triabilitas 0.029 0.133*
5 Tingkat Observabilitas 0.236** -0.058
Keterangan:
*Korelasi nyata pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05)
**Korelasi sangat nyata pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)
Tingkat keuntungan relatif juga memiliki hubungan nyata dan positif
dengan penyebaran, sama halnya keuntungan ekonomis menjadi hal paling
penting yang menjadi alasan semakin bertambahnya responden yang menerapkan
inovasi biogas.
Tingkat kompleksitasatau kemudahan dalam menggunakan instalasi biogas
memiliki hubungan nyata dan positif dengan kecepatan adopsi, pemakaian
instalasi biogas, penyediaan air yang sangat mudah menjadi alasan untuk
responden cepat dalam menerapkan inovasi biogas. Di Desa Suntenjaya sebanyak
82 peternak atau sebesar 58.1 persen menilai biogas tidak rumit dan sebanyak 98
peternak atau sebesar 78.4 persen peternak di Desa Cibodas juga menilai bahwa
biogas tidak rumit. Tingkat kompleksitas tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan penyebaran persentase banyaknya RTPSP penerap di dua desa
penelitian karena peternak hanya menilai untuk diri mereka sendiri biogas bahwa
biogas tersebut tidak tanpa menyebarkan kepada peternak lain untuk
menerapkannya.
Tingkat kompatibilitas memiliki hubungan nyata dan positif dengan
kecepatan adopsi, sebanyak 78.2 persen reponden termasuk dalam kategori
kompatibilitas tinggi karena kesesuaian biogas dengan kebutuhan akan energi
alternatif, bahan bakar untuk memasak menjadikan responden cepat menerapkan
inovasi biogas. Selain sebagai pengganti bahan bakar untuk memasak, slurry
(limbah hasil proses biogas) dapat pula diproses menjadi pupuk sekaligus
mengurangi pembuangan limbah ke sungai. Lebih lanjut tingkat kompatibilitas
tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan persentase banyaknya RTPSP
penerap di dua desa penelitian, jadi peternak hanya menilai untuk diri mereka
sendiri biogas bahwa biogas tersebut tidak tanpa menyebarkan kepada peternak
lain.
Tingkat triabilitas memiliki hubungan nyata dan positif dengan
penyebaran, hal ini karena kemudahan mencoba dan hanya membutuhkan waktu
dua minggu untuk memproses biogas dan menggunakanya untuk memasak. Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanni et al. (2013), bahwa
triabilitas berhubungan dengan difusi inovasi. Di sisi lain, tingkat triabilitas ini
tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kecepatan, karena mudah
tidaknya dicoba tidak memengaruhi pada tahun berapakah pertambahan penerap
50
dari tahun ke tahun, karena di tahun 2011 terdapat bantuan gratis, sehingga
dengan tidak melihat triabilitas biogas, RTPSP akan tetap menerapkan biogas
gratis.
Tingkat observabilitas memiliki hubungan nyata dan positif dengan
kecepatan adopsi, biogas cukup menguntungkan dari segi ekonomi, dan lebih
mudah dalam memperoleh bahan bakar untuk memasak menjadikan responden
cepat menerapkan, hal ini juga didorong karena larangan bagi warga Desa
Cibodas untuk mengambil kayu dan rumput di hutan, sehingga untk pakan ternak
mereka harus sharing rumput dengan Perhutani. Di sisi lain, observabilitas tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan penyebaran. Dapat dikatakan persepsi
peternak tentang sifat inovasi biogas meliputi keuntungan relatif, kompleksitas
dan observabilitas sesuai dengan hasil penelitian Wei Qu et al. (2013) dan
Yusriadi (2011), ditunjukkan oleh (1) keuntungan dari segi ekonomi yang
diperoleh peternak yang menggunakan biogas dibandingkan dengan yang
menggunakan minyak tanah, LPG, kayu bakar untuk memasak, (2) peternak
menerima bahwa inovasi biogas karena sesuai dengan nilai-nilai yang dipercaya
peternak setempat, serta sesuai dengan kegiatan pengolahan limbah peternakan
yang sudah ada sebelumnya.
Persepsi tentang kelima sifat inovasi, hanya tingkat keuntungan relatif dan
tingkat triabilitas yang memiliki hubungan nyata dan positif dengan tingkat
penyebaran, hal ini berarti bahwa individu peternak mengadopsi biogas untuk
dirinya sendiri tanpa meyebarkan kepada peternak lain. Hanya bagi peternak yang
menilai bahwa menggunakan biogas cukup menguntungkan dan mudah mencoba
memproses biogas serta menaggunakan biogas menyebabkan peternak lain ikut
mengadopsi biogas tersebut. Dari segi ketercobaan, tidak semua inovasi dapat
dicoba dalam skala kecil dan hanya mencoba dari mengamati penggunaan oleh
orang lain, seperti handphone yang langsung dibeli dan baru dicoba
penggunaannya, begitupun biogas. Berbagai sifat inovasi di berbagai bidang dari
mulai inovasi di bidang pertanian, kesehatan ternyata berbeda dalam
memengaruhi adopsi individu, tergantung pada inovasi yang didifusikan dalam
situasi dan keadaan lingkungan penerimaan inovasi.
Tingkat Akses Informasi dan Fasilitasi Penyuluh
Tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh meliputi akses terhadap informasi
terkait inovasi biogas dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas. Tingkat
akses informasi dan fasilitasi penyuluh tidak berkorelasi dengan kecepatan dan
penyebaran. Secara rinci hubungan variabel tingkat akses informasi dan fasilitasi
penyuluh dengan tingkat difusi inovasi biogas disajikan dalam Tabel 27.
Tabel 27 Hubungan variabel tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh
dengan tingkat difusi inovasi biogas
No Variabel Kecepatan Penyebaran
1 Akses informasi inovasi biogas 0.068 0.094
2 Frekuensi pertemuan dengan
penyuluh
0.070 0.095
Keterangan:
*Korelasi nyata pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05)
**Korelasi sangat nyata pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)
51
Sebanyak 182 responden atau 68.4 persen informasi yang diperoleh
mengenai inovasi biogas bersumber dari ketua kelompok ternak. Mayoritas
sebesar 40.4 persen peternak di Desa Suntenjaya mengakses sumber informasi
bersumber dari ketua kelompok ternak, penyuluh biogas KPSBU, dan tetangga,
sedangkan di Desa Cibodas sebesar 63.2 persen peternak mengakses informasi
dari televisi, ketua kelompok ternak, penyuluh biogas KPSBU, dan tetangga, serta
dari ketua koordinator wilayah KPSBU. Peran ketua kelompok ternak hanya
sekedar menyampaikan informasi dari KPSBU dan memilih peternak yang
memenuhi kriteria untuk mendapatkan bantuan biogas gratis. Frekuensi
pertemuan dengan penyuluh biogas juga termasuk dalam kategori rendah karena
memang tidak ada pertemuan terjadwal dengan penyuluh biogas, hanya bagi
peternak yang menerapkan biogas kredit dari KPSBU yang akan dipantau
perawatan biogas yang dimilikinya, sedangkan untuk penyuluh dari Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat wilayah Kecamatan
Lembang juga tidak pernah melakukan penyuluhan terkait inovasi. Penyuluh
biogas hanya memantau perkembangan biogas, tanpa menjelaskan cara-cara
perawatan jika terjaid kerusakan sehingga peternak berusaha memperbaiki sendiri
jika terdapat kerusakan pada instalasi biogas.
Selain tidak adanya penyuluhan mengenai inovasi, kondisi di daerah
penelitian menunjukkan hal yang dapat menghambat adopsi peternak terhadap
inovasi biogas karena adanya bantuan pemerintah setempat sehingga banyak
peternak yang tergantung pada proyek pemerintah. Peternak selalu berharap
mendapatkan bantuan teknologi biogas dari pemerintah tanpa mengetahui cara
pemeliharaan dan perawatan dari berbagai bantuan tersebut. Seperti halnya
percontohan biogas yang dibangun oleh PKPP RISTEK (Peningkatan
Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementrian Riset dan Teknologi) di rumah
Kepala Desa Suntenjaya juga hanya berjalan selama enam bulan, karena
kurangnya pemahaman mengenai inovasi biogas tersebut. Ketiadaan pelatihan
khusus untuk biogas sehingga menyebabkan pengetahuan peternak menjadi
terbatas. Hal tersebut menjadi kendala utama bagi peternak dalam mengatasi
kerusakan yang sering terjadi, seperti kebocoran pipa dan kerusakan kompor
biogas. Saat ini terdapat dua instalasi biogas yang rusak dan tidak diperbaiki
karena peternak memang tidak mengetahui cara memperbaiki instalasi biogas
tersebut yang harusnya diinformasikan oleh penyuluh biogas.
Tidak terdapat hubungan nyata antara peternak meliputi akses informasi
inovasi biogas dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas dengan tingkat
difusi-adopsi biogas. Frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas juga termasuk
dalam kategori rendah. Kunjungan penyuluh dari Dinas maupun dari penyuluh
biogas KPSBU kurang dari sekali dalam sebulan, hanya bagi peternak yang
menerapkan biogas kredit dari KPSBU yang akan dikunjungi oleh penyuluh
biogas dari KPSBU dan petugas perbaikan unit biogas. Penyuluh biogas yang
berasal dari KPSBU merupakan program kerjasama antara Hivos dan KPSBU
melalui program BIRU. Penyuluh ini harusnya sebagai fasilitator dalam proses
transformasi perilaku, namun dalam pertemuan dengan penyuluh ini belum dalam
pola penyuluhan dalam konteks transformasi perilaku, dimana penyuluhan tidak
sekedar penerangan atau propaganda akan tetapi dengan menerapkan prinsip dapat
membantu orang lain agar orang tersebut dapat membantu dirinya sendiri (help
52
people to help themselves). Kegiatan penyuluhan juga sangat berkaitan dengan
kegiatan fasilitasi, terutama dalam memfasilitasi petani terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan usahatani yang ditekuni. Berdasarkan hasil wawancara,
penyuluh biogas hendaknya berperan sebagai fasilitator terkait inovasi biogas, dan
telah terbiasa memfasilitasi peternak sehingga mudah berinteraksi dengan
peternak, dan mampu peran dapat dilakukan dengan baik.
Pendekatan dan penawaran pembuatan instalasi biogas dari pihak KPSBU
dapat ditingkatkan dengan peningkatan peran penyuluh biogas dengan lebih
sering berkomunikasi dengan peternak mengenai biogas. Selain itu, luas lahan
yang dimiliki untuk membangun unit biogs juga menjadi pertimbangan,
kedepannya bisa dibangun biogas skala kelompok yang dapat digunakan secara
komunal/bersama. Penyuluh dari Dinas Peternakan Kabupaten Bandung Barat
hanya berjumlah satu orang untuk wilayah Kecamatan Lembang, sedangkan
penyuluh biogas dari KPSBU hanya berjumlah dua orang. Keberadaan penyuluh
yang minim, menjadikan ketua kelompok ternak sebagai opinion leader bisa
menjadi contoh dalam menerapkan inovasi. Pemimpin opini (opinion leader),
ketua kelompok ternak setiap bulan sekali mengikuti pertemuan rutin di kantor
KPSBU, melalui pertemuan rutin ini maka informasi disampaikan kepada kepada
ketua kelompok ternak utuk disebarluaskan kepada anggota kelompok ternak di
dua desa penelitian. Ketua kelompok tenak termasuk kategori early adopter
sehingga dengan adanya penyampai informasi ini sekaligus juga mengajak
peternak lain menerapkan biogas. Kerjasama antara pemerintah dan LSM
internasional (Hivos) serta KPSBU dapat dilaksanakan melalui kerjasama dalam
meningkatkan ketersediaan fasilitator untuk perawatan biogas. Pemerintah sebagai
pemberi bantuan biogas gratis telah membuka jalan bagi keberadaan biogas, maka
dengan adanya dukungan dari LSM melalui KPSBU akan lebih memantapkan
keberadaan biogas ini hingga di tahun-tahun berikutnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
(1) Persepsi peternak tentang sifat inovasi biogas meliputi tingkat keuntungan
relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat triabilitas dan
tingkat observabilitas di dua desa penelitian termasuk kategori tinggi, hal ini
berarti bahwa biogas layak diterapkan menurut perepsi peternak.
(2) Dari kedua desa penelitian, kecepatan adopsi peternak yaitu tiga hingga
empat tahun (tahun 2010 hingga 2012), dan penyebaran biogas oleh peternak
lebih dari limapuluh persen karena biogas menyebar dengan cepat di dua desa
penelitian karena peternak terlibat dalam program biogas yang disponsori
lembaga swadaya internasional.
(3) Motivasi, keuntungan relatif, kompleksitas, kompatibilitas dan observabilitas
berkorelasi nyata dan positif dengan kecepatan adopsi biogas, sedangkan
lama beternak, keuntungan relatif dan triabilitas berkorelasi positif nyata
dengan difusi biogas. Akses informasi inovasi biogas dan frekuensi
pertemuan tidak berkorelasi nyata dengan tingkat difusi-adopsi biogas.
53
Saran
1. Jumlah penyuluh biogas yang minim menyebakan rendahnya tingkat akses
informasi tentang biogas, oleh karena itu diperlukan penambahan jumlah
penyuluh dari Dinas Peternakan Kabupaten Bandung Barat, KPSBU maupun
LSM.
2. Terdapat tiga unit instalasi biogas yang rusak karena karena ketidakpahaman
perawatan biogas, terlebih lagi peternak yang menerapkan biogas bantuan
tidak memiliki kesadaran dalam perawatan biogas sehingga diperlukan
pelatihan perawatan biogas yang dapat dilakukan oleh Dinas terkait mau pun
LSM.
DAFTAR PUSTAKA
Abbasi T, Abbasi SA, Tauseef SM. 2011. Biogas Energy. Spriger: New York.
USA.
Asngari PS. 1984. Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat Karasidenan dan Kepala
Penyuluh Pertanian terhadap Peran dan Fungsi Lembaga Penyuluhan
Pertanian di Negara Bagian Texas Amerika Serikat. Jurnal Media
Peternakan Vol. 9 No. 2 1984. Bogor (ID): Fakultas Peternakan IPB.
Asngari PS. 2001. Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh dalam Usaha
Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola
Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. www.bps.go.id. [diunduh 25
Januari 2014].
Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Daerah Kecamatan Lembang.
www.bps.go.id. [diunduh 25 Januari 2014].
Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi. 2004. Potensi energi
Terbaharukan di Indonesia. [diunduh 25 Januari 2014].
Deptan. 2009. Program Bio Energi Pedesaan. http://www. Deptan.go.id/html.
[diunduh 30 November 2013].
Ensminger . 1989. Feeds and Nutrition (2nd Edition). Ensminger Pub Co.
Emmann CH, Ludwig A, Ludwig T. 2013. Individual Acceptance of The Biogas
Innovation: A Structural Equation Model. Journal Scientdirect: Energy
Policy, Volume 62, November 2013, Pages 372-378 [diunduh 29 November
2013].
Febrianto dan Priyono. 2012. Studi Pemanfaatan Feces (kotoran manusia) sebagai
Bahan Baku Alternatif Energi Terbarukan. Telaah Jurnal Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Volume 30 (1) 2012 : 19-24. [diunduh 12 Januari 2014].
Hanan A, Pulungan I, Lumintang RW. 2005. Beberapa Faktor yang Berhubungan
dengan Diakuinya Seseorang Sebagai Pemimpin Opini Dan Manfaatnya
Untuk Kegiatan Penyuluhan. Jurnal Penyuluhan September 2005, Vol. 1,
No.1 [diunduh 16 September 2013].
54
Hambali, Mujdalifah S, Tambunan AH, Pattiwiru AW.2007. Teknologi Bioenergi.
Jakarta (ID): Agro Media Pusaka.
Haryati. 2006. Biogas : Limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif.
Wartazoa 16(3):167. [diunduh 10 Desember 2013].
Hasanuddin. 2005. Adopsi inovasi dalam kegiatan usaha tani pada beberapa
spesifik sosial budaya petani di Provinsi Lampung. Agrijati 1(1):22.
[diunduh 10 Desember 2013].
Humaedah U. 2007. Peranan Kontaktani dalam Difusi Inovasi (Kasus:
Penyebaran Benih Padi Bersertifikat di UPT BPP Menes Kabupaten
Pandeglang, Banten) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ibrahim, A Sudiyono. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Malang
(ID): UMM Press.
Indartono YS. 2006. Reaktor Biogas Skal Kecil / Menengah. .[diunduh 19 Januari
2014]. Tersedia dalam http:www.indeni.org/content/view/63/48/.
Isniyati H. 2010. Kebutuhan dan Perilaku Pencarian Informasi Petani Gurem
(Kasus Desa Rowo Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung).
[Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Kabir Humayun, Yegbemey RN, Bauer S. 2013. Factors determinant of biogas
adoption in Bangladesh. Journal Renewable and Sustainable Energy
Reviews, Volume 28, December 2013, Pages 881-889.
http://www.sciencedirect.com [diunduh 29 Desember 2013].
Kartasapoetra AG. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Jakarta (ID):
Rineka Cipta.
Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat. 2012. Analisa Sampel
Sungai, Danau dan UMKM. Bandung.
Kementrian ESDM. 2012. Potensi Energi Baru Terbarukan Indonesia Cukup
Untuk 100 Tahun. http://www.esdm.go.id/news-archives/323-energi-baru-
dan-terbarukan/6071-potensi-energi-baru-terbarukan-indonesia-cukup-
untuk-100-tahun-.html. [diunduh 10 Desember 2013].
Kementrian ESDM. 2014. Program BIRU dukung Potensi Energi di Indonesia.
www.kementrian esdm.go.id . [diunduh 12 Januari 2014].
Leeuwis Cess. 2009. Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Makin M. 2011. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Yogyakarta (ID): Graha
Ilmu.
Mappa, A Basleman (2011). Teori Belajar Orang Dewasa. Jakarta (ID):
Depdikbud.
Muatib K. 2008. Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah: Kasus
Peternak Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur dan
Kabupaten Bandung Jawa Barat . [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Mulyadi, Sugihen BS, Asngari PS, Susanto D. 2007. Proses Adopsi Inovasi
Pertanian Suku Pedalaman Arfak di Kabupaten Manokwari. Jurnal
Penyuluhan September 2007 Vol.03 No.02.
Mwirigi, Makenzi PM, Ochola WO. 2009. Socio-Economic Constraints to
Adoption and Sustainability of Biogas Technology by Farmers in Nakuru
Districts, Kenya. Journal Energy Volume 13, Issue 2, June 2009.
[diunduh14 Januari 2014].
55
Narso, Saleh A, Asngari PS, Pudji Muljono. 2012. Persepsi Penyuluh Pertanian
Lapang tentang Perannya dalam Penyuluhan Pertanian Padi di Provinsi
Banten. Jurnal Penyuluhan Maret 2012 Vol. 8 No. 1.
Nasution Z. 1995. Perencanaan Program Komunikasi. Jakarta (ID): Universitas
Terbuka.
Nurhasanah, Bambang. 2006. Perkembangan Digester Biogas di Indonesia (Studi
Kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah). Balai Besar Pengembangan
Mekanisasi Pertanian. [diunduh12 Januari 2014].
Purnaningsih N. 2006. Adopsi Inovasi Kemitraan Agribisnis Sayuran di Propinsi
Jawa Barat.[disertasi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.
Pedoman Pengguna BIRU. 2010. Pedoman Pemakaian dan pemeliharaan BIRU
(Biogas Rumah). Jakarta (ID): BIRU (Biogas Rumah).
Penny DH. 1990. Kemiskinan Peranan Sistem Pasar. Jakarta (ID): UI Press.
Prihandana dan Hendroko. 2008. Energi Hijau. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Riduwan. 2013. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung (ID): Alfabeta.
Robbins, Stephen P dan Timothy AJ . 2008. Perilaku Organisasi Edisi ke-12.
Jakarta (ID) : Salemba Empat.
Robbins Stephens dan Coulter Mary. 2010. Manajeman Jilid 2 edisi kesepuluh.
Jakarta (ID): Erlangga.
Rogers Edan Shoemaker FF. 1971. Communication of Innovations. New York:
The Free Press.
Rogers E. 2003. Diffusion of Innovations Fifth edition. New York: The Free Press.
Roswida R. 2003. Tahapan Proses Keputusan Adopsi Inovasi Pengendalian
Hama dan Penyakit Tanaman dengan Agen hayati (Kasus Petani Sayur di
Kecamatan Banuhampu dan Sungai Puar Kabupaten Agam Sumatera Barat
.[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Salmi N. 2008. Analisis Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong pada Berbagai
Skala Tingkat Kepemilikan di Desa Mattunreng Tellue Kecamatan Sinjai
Tengah Kabupaten Sinjai. Tersedia
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/3323.[Tesis]. Universitas
Hasanudin.
Sanders DJ, Robbin MC, Ernst SC, Thraen CS. 2010. Digesters and
Demographics: Identifying Support for Anaerobic Digesters on Dairy
Farms. Journal of Dairy Science Vol. 93 No. 11. [diunduh 28 Juli 2013].
Sanni, Ademola S, Awang Z, Karim, Abdul NH, Abdullah, Noorhidawati,
Waheed, Mehwish. 2013. Using the Diffusion of Innovation Concept to
Explain the Factors That Contribute to the Adoption Rate. Department of
Library & Information Science, Faculty of Computer Science & Information
Technology, University of Malaya. Journal EBSCO ISSN: 0098-7913
[diunduh 12 April 2014].
Sarwono J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta (ID):
Graha Ilmu.
Sihombing, Simamora, Siagian. 1984. Pendaurulangan dan Penanganan Kotoran
Ternak Babi dan Pembuatan Biogas. Bogor (ID): Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor.
Simamora S, Siagian, Sri Wahyuni. 2003. Peneliti IPB temukan Energi alternatif.
www.sinarharapan.com /. [ diunduh 5 Januari 2014].
Sitepoe M. 2009. Cara Memelihara Sapi Organik. Jakarta (ID): PT. Indeks.
56
Subagyo, Rusidi, dan Sekarningsih R. 2005. Kajian Faktor-faktor Sosial yang
Berpengaruh terhadap Adopsi Inovasi Usaha Perikanan Laut di Desa Pantai
Selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian 18(2):313.
Sudono A. 2002. Ilmu Produksi Ternak Perah. Bogor (ID): Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor.
Sugiyono B, Purwono A, Suyanta, Rahbini. 2013. Biogas Digester as an
Alternative Energy Strategy in The Marginal Villages in Indonesia. Journal
Energy Procedia 32 ( 2013 ). Tersedia di www.sciencedirect.com. [diunduh
12 Januari 2014].
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung (ID): CV
Alfabeta.
Suryabrata S. 2006. Metode penelitian. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada.
Setiawan A I. 2007. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Depok (ID): PT. Penebar
Swadaya.
Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta (ID): UI Press.
Soehadji. 1992. Usaha Peternakan Sekarang dan Masa di Depan. Prosiding Agro
Industri Peternakan di Pedesaan. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak
Bogor.
Stoddard I. 2010. Communal Polyethylene Biogas Systems Experiences from On-
farm Researchin Rural West Java. [Tesis]. Universitas Uppsala. [19 Januari
2014].
Syafril D. 2002. Hubungan Karakteristik Petani dan Jaringan Komunikasi dengan
Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung. (Kasus di
Kecamatan Rambah Hilir, Riau). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Tondok AR, Mappigau P, Kaimuddin. 2011. Pengaruh Motivasi, Modal Sosial
dan Peran Model Terhadap Adopsi Teknologi PTT Cabai di Kabupaten Maros.
Tesis. Makasar (ID): Universitas Hasanudin.
Tom Bond, Michael R Templeton. 2011. History And Future of Domestic Biogas
Plants In The Developing World. Journal Energy for Sustainable
Development Vol. 15 (2011) Pages 347–354. Tersedia di
www.sciencedirect.com. [diunduh 29 Mei 2014].
Wahyuni S. 2008. Biogas. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
. 2011. Menghasilkan Biogas Dari Aneka Limbah. Jakarta (ID): Agro
Media Pustaka.
Walekhwa, Peter N, Mugisha, Johnny, Drake, Lars. Biogas Energy from Family-
Sized Digesters in Uganda: Critical Factors and Policy Implications.
Journal Energy Policy July 2009, Vol. 37. [diunduh 29 November 2013].
Widodo, A Asari, N Ana. 2006. Rekayasa dan Pengujian Reaktor Biogas Skala
Kelompok Tani Ternak. Jurnal Teknik Pertanian Vol.IV No. 1. BPPP dan
BPMEKTAN [diunduh 29 November 2013].
Wei Qu, Qin Tu, Bettina Bluemling. 2013. Which Factors are Effective for
Farmers’ Biogas Use?Evidence from a Large-Scale Survey in China .
Journal Scientdirect: Energy Policy, Volume 63, December 2013, Pages 26-
33. [diunduh 29 November 2013].
57
Wellinger J, Patrick Murphy MD, Baxter D. 2013. The Biogas Handbook:
Science, Production and Applications (Woodhead Publishing Series in
Energy). Cambridge: Woodhead Publishing Series in Energy No. 25.
Yusriadi. 2011. Adopsi Teknologi Biogas oleh Peternak Sapi Perah peternak di
Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
59
Lampiran 1. Materi Penyuluhan Biogas dari Feces Sapi Perah
Pembangunan Instalasi Biogas Tipe Fixed Dome
Salah satu reaktor pengolahan biogas di Indonesia adalah jenis kubah yang
tidak dapat dipindah-pindah dan disemen (fixed dome). Reaktor biogas model
fixed dome berukuran 4m³, 6 m³, 8 m³, 10 m³ dan 12 m³. Informasi dasar
mengenai ukuran-ukuran reaktor biogas dan kuantitas bahan baku yang
dibutuhkan secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Ukuran reaktor biogas dan kuantitas bahan baku yang dibutuhkan
No.
Kapasitas
tempat
pengolahan*
(m³)
Produksi
gas
per hari
(m³)
Feces sapi
perah yang
dibutuhkan
per hari **
(kg)
Air yang
dibutuhkan
setiap hari
(liter)
Jumlah sapi
perah
yang
dibutuhkan
(ekor)
1. 4 0,8-1,6 20-40 20-40 3-4
2. 6 1,6-2,4 40-60 40-60 5-6
3. 8 2,4-3,2 60-80 60-80 7-8
4. 10 3,2-4,2 80-100 80-100 9-10
5. 12 4,2-4,8 100-120 100-120 11-12
* Kapasitas tempat pengolahan artinya adalah volume reaktor biogas dan kubah
penyimpanan gas
** rata-rata waktu penyimpanan feces sapi perah pertama kali sebelum digunakan
untuk memproses biogas adalah 50 hari.
Gambar 1 dan Gambar 2 merupakan instalasi biogas fixed dome yang dapat
digunakan oleh peternak:
Gambar 1 Instalasi biogas Gambar 2 Instalasi biogas
Keterangan
1. Tangki pecampur (inlet) dengan pipa masukan dan penjebak pasir.
2. Digester.
3. Kompensator dan tangki buangan (over flow).
4. Tempat gas (gasholder).
60
5. Pipa gas.
6. Katup gas utama.
7. Digester
8. Pipa outlet.
9. Referensi ketinggian.
10. Buih.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika membangun instalasi biogas,
yaitu memperhatikan pembangunan inlet, reaktor dan penyesuaian saluran pipa
dengan penggunaan kompor biogas.
(1) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membangun reaktor:
1. Pembangunan reaktor
Pembuatan reaktor biogas dimulai dengan menggambar desain. Kegiatan ini
dilakukan untuk menentukan lokasi bangunan di tanah sebelum memulai
proses penggalian. Diawali dengan penancapan patok kecil di tanah, tepat
di tengah titik reaktor.
2. Penggalian lubang (Gambar 3)
Setelah desain tampilan selesai, mulailah menggali lubang. Peralatan seperti
linggis, pencongkel, sekop, pendorong, dan keranjang harus tersedia.
Gambar 3 Penggalian lubang reaktor
3. Pembangunan kubah penampung gas (Gambar 4)
a. Setelah pembangunan reaktor selesai, buatlah bentuk lengkung (kubah)
yang berfungsi sebagai tempat penampungan gas.
b. Pembangunan dilakukan dengan mencampur semen Portland: pasir: kerikil
dengan perbandingan 1:2:3 dibantu cetakan tanah yang disiapkan dari
timbunan tanah di sekitar reaktor.
c. Sebelum membangun kubah, bagian dalam reaktor harus diisi dengan
timbunan tanah yang dipadatkan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka tekanan
tanah dapat menimbulkan retakan pada reaktor. Sebuah pipa harus dipasang
pada sumbu tengah lantai. Ujung pipa ini harus menyembul 2.5 cm dari
cetakan tanah.
d. Setelah penimbunan selesai, pipa tegak bisa dikeluarkan dengan cara
ditarik. Pipa itu diganti dengan pipa yang lebih pendek berdiameter 0.5
inci, dengan panjang kira-kira 1 m. Sekarang, cetakan kubah dapat
digunakan.
e. Bagian atas cetakan tanah harus bersih ketika proses pencetakan dilakukan.
Cetakan itu bisa digunakan untuk memeriksa kepadatan tanah di bagian
61
atas dan di bagian samping. Lebihjauh lagi, bagian cetakan yang mengenai
reaktor harus sesuai dengan keliling dinding itu. Hal ini penting ketika
cetakan tanah selesai dipadatkan. Tekanan tanah ditekan setelah
pengecoran kubah, ditambah beban sendiri dan beban coran, maka akan
menyebabkan keretakan. Tanah yang dipakai untuk cetakan harus lembab
untuk mencegah penyerapan air semen. Ketika bentuk cetakan tanah sudah
menyerupai kubah, pasir halus ditebarkan di permukaan cetakan. Sisa pasir
dan tanah yang berlebih di atas reaktor harus dibuang. Sebelum memulai
mengecor, harus tersedia jumlah pekerja yang cukup.
Gambar 4 Pembangunan kubah penampung gas
4. Memplester kubah penampung gas (Gambar 5)
Kepekatan gas dari penampung adalah hal terpenting untuk mengetahui
keefektifan reaktor biogas. Jika gas yang disimpan dalam penampungan lepas
melalui pori-pori kecil, pengguna tidak akan dapat menggunakan gas itu.
Gambar 5 Proses memplester kubah penampung gas
(2) Setelah pembangunan reaktor dan penampung gas selesai, hal lain yang perlu
diperhatikan yaitu pembangunan inlet (Gambar 6), meliputi:
1. Pipa inlet ditempatkan sejajar dengan posisi tiang pipa gas utama dan
overflow outlet.
2. Permukaan berbentuk lingkaran, tapi pondasinya berbentuk persegi.
3. Setelah dasar bangunan dibangun, bagian bundar dari tangki inlet juga
harus dibangun sebagai tempat percampuran kotoran dan air. Sebelum
memulai pembangunan dinding melingkar inlet, persiapan-persiapan dapat
62
dilakukan pada dasar bangunannya di tempat proses percampuran
berlangsung.
4. Pembangunan tempat percampuran ini sebaiknya tidak hanya
mempertimbangkan kemudahan operasional, tetapi juga untuk
memperbaiki kualitas campuran. Untuk menentukan posisi ketepatan
tempat percampuran, poros harus diletakkan di tengah-tengah lantai inlet.
Kemudian, lantai inlet dibangun. Pada permukaan yang selesai dikerjakan,
buatlah tanda bundar dengan menggunakan benang atau kawat untuk
menentukan bagian dalam tangki.
5. Tinggi dinding saluran masuk harus mencapai 60 cm. Tinggi keseluruhan
termasuk dasar saluran adalah 90 cm. Pada kasus tertentu, ketinggian dari
tanah harus di atas 100 cm.
6. Setelah dinding bundar telah dibangun, biarkan hingga adukan kering
sempurna. Kedua bagian tangki diplaster menggunakan adukan semen (1
bagian semen : 3 bagian pasir).
7. Bagian dasar tangki setidaknya harus 15 cm di atas overflow dinding
outlet.
8. Posisi pipa saluran masuk di lantai harus disesuaikan sehingga tiang dan
batangan pipa dapat masuk tanpa ada menyulitkan penutupan sementara,
jika perlu dilakukan. Apabila posisi pipa saluran masuk tidak benar,
dinding saluran tersebut harus dijebol sedikit untuk memasukkan batangan
atau tiang ke dalamnya.
Gambar 6 Pembuatan inlet
(3) Penyesuaian Saluran Pipa dan Peralatan
Biogas diproduksi di reaktor dan disimpan di penampungan gas, baru
kemudian dialirkan melalui pipa. Apabila lapisan dan siku pipa tidak
dikerjakan dengan benar, gas yang dihasilkan tidak dapat dialirkan dengan
sempurna ke lokasi penggunaan kompor biogas.
63
Gambar 7 Saluran pipa ke kompor biogas
Pemrosesan Biogas dari Feces Sapi Perah dengan Menggunakan Reaktor
Biogas Tipe Fixed Dome
Alat dan bahan serta langkah-langkah memproses biogas dari feces sapi
perah dijelaskan sebagai berikut:
A. Alat terdiri:
(1) Raktor biogas ukuran 4m3
beserta kompor biogas (Gambar 8 dan 9)
(2) Ember dan skop
Gambar 8 Instalasi biogas Gambar 9 kubah reaktor ukuran 4m
3
B. Bahan terdiri : 2 ember air dan 2 ember feces sapi perah (perbandingan 1:1)
C. Langkah-langkah pemrosesan biogas:
(1) Kumpulkan feces sapi perah yang murni dan tidak mengandung jerami
atau bahan lain (Gamber 10)
(2) Pisahkan bahan yang tidak diinginkan seperti sisa-sisa pakan, tanah, batu
dan material lainnya dari feces sapi perah atau pupuk kandang sebelum
mencampurnya dengan air.
(3) Pastikan perbandingan volume antara feces sapi perah dan air adalah 1:1
yaitu 2 ember feces: 2 ember air (Gambar 11) menghasilkan biogas yang
dapat dipakai memasak selama 3 jam. Hindari menggunakan slurry yang
sudah kering atau lama untuk dimasukkan ke dalam reaktor.
(4) Masukkan feces sapi perah ke dalam pengaduk, kemudian masukkan air ke
dalam inlet (Gambar 12), kemudian aduk, dan buka tutup lubang saluran
ke dalam reaktor biogas sehingga hasil adukan tadi masuk ke dalam
reaktor.
(5) Setelah diproses, gas yang dihasilkan akan langsung disalurkan melalui
selang yag terhubung pada kompor biogas (Gambar 13). Gas yang
64
dihasilkan dalam reaktor digunakan untuk pembakaran di kompor biogas.
Keran gas mengatur aliran biogas. Aliran tergantung pada tekanan di
dalam reaktor. Sesuaikan pengatur gas yang ada di kompor hingga api
kompor berwarna biru, mekar dan mengeluarkan suara berdesis ketika
dipakai. Jika api berbentuk kuncup dan panjang, itu berarti efisiensi
kompor akan sangat rendah. Kompor biogas dengan satu tungku
umumnya mengkonsumsi sekitar 350-400 liter gas per jam.
Berikut adalah gambar langah-langkah pemrosesan biogas:
Gambar 11 Gambar 10
Gambar 12 Gambar 13
65
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian
Kegiatan wawancara dengan responden Tempat pembuatan pupuk cacing dari slurry
biogas
Tumpukan pupuk kandang yang siap dijual Sapi perah dewasa
Kompor dari BIRU Kompor Bantuan Dinas ESDM Jawa Barat
66
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 24 November 1988.
Penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara dengan orangtua bernama Arif Sukarmo,
S.Pd dan Jumiati, S.Pd (Almh). Pada tahun 2007, penulis mengikuti ujian SNMPTN
(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan diterima pada Program Studi
Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP) Fakultas Pertanian Universitas Negeri
Sebelas Maret Surakarta (UNS). Selama perkuliahan di UNS, penulis aktif dalam
kegiatan kemahasiswaan pada Gabungan Mahasiswa Penyuluhan dan Komunikasi
Pertanian (GAMAKOMTA). Penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada mata
kuliah Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian.
Pada tahun 2012 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan studi magister
pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan Beasiswa Unggulan DIKTI. Selama kuliah,
penulis menjadi anggota PAPPI (Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan
Indonesia) dan menjadi panitia dalam seminar yang diadakan pada tanggal 28
November 2013 bertema “Transformasi Penyuluhan Pembangunan Memasuki Era
Konektivitas Asia”. Penulis pernah menjadi enumerator dalam penelitian berjudul “
Model Pengelolaan Limbah Domestik Berwawasan Gender di Daerah Aliran Sungai
Cikapundung dalam Merespon Perubahan Iklim” pada periode bulan Juni hingga
Oktober 2013. Penulis juga pernah terlibat dalam workshop internasional di Bandung
pada tanggal 28-29 Januari 2014 bertema “Climate and Water Security through
Sustainable Waste Management: Exploring New Bussiness Opportunities” yang
diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, bekerjasama dengan berbagai pihak yaitu
ADB (Asian Development Bank), IPB, CCROM (Center for Climate Risk and
Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific), AECOM, KADIN
INDONESIA (Kamar Dagang dan Industri), dan Energy for All.
Artikel ilmiah berjudul „Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas di Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat” telah disetujui untuk diterbitkan pada Jurnal
Penyuluhan edisi September 2014 Volume X Nomor 2.