tinjauan akademis tentang asuransi kesehatan...
TRANSCRIPT
Laporan Studi
Tinjauan Akademis Tentang Asuransi Kesehatan Nasional
Hasbullah Thabrany Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan, Universitas Indonesia
Juni 2003
Asuransi Kesehatan Nasional 1
Bab I Pendahuluan
Status kesehatan penduduk Indonesia selama 30 tahun pembangunan kesehatan,
mengalami kemajuan yang cukup pesat. Namun demikian, status kesehatan Indonesia
yang diukur dengan indikator kesehatan tradisional seperti angka kematian bayi dan
angka kematian ibu masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan status kesehatan
penduduk negara-negara tetangga. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia, World Health
Organization (WHO) tahun 2000 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia
pada tahun 1998 masih 48 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi tersebut jauh
lebih tinggi dari angka kematian bayi di Muangtai (29), Filipina (36), Srilanka (18) dan
Malaysia (11)1. Berbagai studi, termasuk yang dilaporkan dalam World Health Report
2000, menunjukkan bahwa rendahnya angka kematian bayi dan kinerja sistem kesehatan
lainnya mempunyai korelasi yang kuat dengan pembiayaan kesehatan. Laporan WHO
tersebut menempatkan kinerja sistem kesehatan Indonesia pada urutan ke-92, yang jauh
lebih rendah dari kinerja sistem kesehatan negara tetangga seperti Malaysia (urutan ke
49), Muangtai (urutan ke 47) dan Filipina (urutan ke 60). Secara rata-rata, laporan
tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan Indonesia menurut nilai tukar yang
berlaku pada tahun 1997 adalah US$ 18 per kapita per tahun. Sementara negara-negara
tetangga seperti Filipina, Malaysia dan Muangtai sudah menghabiskan berturut-turut
sebesar US$ 40, US$ 110, dan US$ 133.
Pengeluaran kesehatan perkapita Indonesia tidak sampai separuh dari yang
dikeluarkan masyarakat Filipina tahun 1997, sedangkan pendapatan per kapita Filipina
tahun 2001 sebesar US$ 1.069 tidak lebih dari dua kali lipat dari PDB per kapita
Indonesia yaitu US$ 670.2 Hal ini menunjukkan bahwa tingkat investasi Indonesia
memang jauh lebih rendah dari tingkat investasi negara tetangga tersebut, sehingga dapat
dimaklumi jika tingkat kesehatan Indonesia juga jauh di bawah. Pengeluaran kesehatan
Indonesia yang rendah tersebut, baik yang bersumber dari masyarakat maupun yang
bersumber dari pemerintah, diduga tidak mengalami kenaikan berarti selama dua puluh
tahun terakhir. Banyak laporan menyampaikan bahwa pemerintah mempunyai kontribusi
Asuransi Kesehatan Nasional 2
sebesar 20-30% dari pembiayaan kesehatan secara keseluruhan (Gani, 3; Malik, ).4
Sementara pembiayaan kesehatan oleh sektor swasta, yang pada umumnya merupakan
pengeluaran yang dibayarkan langsung dari kantong sebdiri (out of pocket, OOP) kepada
pemberi pelayanan kesehatan (PPK) mencapai 60%-70% (Depkes, 2002)5. Tingginya
pengeluaran OOP ini bersifat regresif, yakni semakin berat dirasakan oleh mereka yang
berpendapatan rendah dibandingkan dengan mereka yang berpendapatan tinggi. Sistem
pembiayaan yang regresif ini dikenal sebagai sistem pembiayaan yang tidak adil (unfair)
dalam konsep equity egalitarian karena justru memberatkan penduduk golongan bawah.
Penelitian yang dilakukan Thabrany dan Pujiyanto (2000)6 menunjukkan bahwa
penduduk 10% terkaya mempunyai akses rawat inap di rumah sakit yang 12 kali lebih
besar dari penduduk 10% termiskin. Keadaan ini sudah berlangsung lebih dari satu
dekade dan tanpa upaya yang sistematik dan serius, kesenjangan tersebut akan terus
berlangsung. Untuk melihat tingkat keadilan pembiayaan ini, WHO mengembangkan
indeks keadilan pembiayaan kesehatan (fairness in health care financing). Dalam indeks
inilah Indonesia berada jauh di bawah negara-negara tetangga yang memang telah
memiliki infrastruktur pembiayaan kesehatan yang jauh lebih baik. Berbagai Penelitian
menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan (inequity) dapat diperkecil dengan
memperbesar porsi pembiayaan publik atau asuransi kesehatan publik. Sayangnya,
cakupan asuransi kesehatan yang sustainable di Indonesia masih rendah yaitu berkisar
pada 16% penduduk (Thabrany, 2002)7.
Setelah terjadinya krisis nilai tukar rupiah yang berkepanjangan, masalah
pembiayaan kesehatan di Indonesia semakin mendapat perhatian yang besar dari berbagai
pihak, baik pemerintah Indonesia, organisasi donor bilateral maupun multilateral dan
masyarakat sendiri. Terjadinya krisis telah mengundang banyak pihak memikirkan jalan
keluar pembiayaan kesehatan dan memelihara pencapaian akses dan status kesehatan
yang ada, misalnya melalui Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK)
yang dibiayai Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia.8 Namun demikian program
JPSBK bersifat sementara dan didanai dari uang pinjaman yang tidak sustainable.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan peta dan tren pembiayaan kesehatan di
Indonesia untuk kemudian mencari solusi sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin
ekuitas dan efisiensi yang sustainable sehingga tujuan pembangunan kesehatan dapat
Asuransi Kesehatan Nasional 3
lebih cepat tercapai. Tim peneliti telah melakukan telaah berbagai literatur yang ada dan
menganalisis data Susesas 2001 untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap
tentang pembiayaan kesehatan dan akses pelayanan kesehatan di Indonesia. Hasil
Penelitian tersebut disajikan dalam laporan ini.
Asuransi Kesehatan Nasional 4
Bab II Kebutuhan Asuransi Kesehatan
Asuransi kesehatan merupakan suatu instrumen sosial untuk menjamin bahwa
seseorang (anggota) dapat memenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatan tanpa
mempertimbangkan keadaan ekonomi orang tersebut pada waktu terjadinya kebutuhan
pelayanan kesehatan. Pada negara-negara yang mampu menyediakan pelayanan
kesehatan bagi seluruh penduduknya, asuransi kesehatan sama sekali tidak dibutuhkan.
Asuransi kesehatan dibutuhkan jika negara tidak menyediakan pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan penduduknya atau negara hanya mampu menyediakan sebagian dari
kebutuhan pelayanan kesehatan tersebut. Indonesia termasuk negara berkembang yang
tidak menyediakan pemenuhan seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan, akan tetapi juga
tidak sama sekali menyerahkan kepada masyarakat. Pembangunan Puskesmas dan rumah
sakit di seluruh Indonesia dimaksudkan untuk menjamin bahwa penduduk yang miskin
atau tidak mampu dapat memenuhi kebutuhan kesehatannya. Sejauh mana pemerintah
telah bekerja untuk menjamin terselenggaranya pemerataan pelayanan kebutuhan
kesehatan dan apakah tujuan yang ditetapkan pemerintah tersebut telah tercapai, akan
dibahas dalam bab ini. Dari bahasan bab ini akan tergambarkan, dimana dan sejauh mana
kebutuhan asuransi kesehatan di Indonesia diperlukan.
Sarana dan Status Kesehatan Yang Telah Dicapai Ada pertanyaan mendasar yang patut direnungkan ketika melihat situasi
pembangunan kesehatan yang dilakukan selama ini. Pertanyaan itu adalah “apa hasil
yang telah dicapai dari pembangunan kesehatan yang dilakukan selama ini?” Cukupkah
hasil-hasil yang dicapai tersebut untuk menjawab tantangan kesehatan yang dihadapi
selama ini? Usaha menjamin penduduk memperoleh pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan telah dilakukan pemerintah dengan membangun Puskesmas untuk tiap 30.000
penduduk. Kini di setiap kecamatan telah terdapat paling sedikit satu Puskesmas. Untuk
menjangkau masyarakat yang masih belum tercakup dengan Puskesmas, pemerintah juga
telah membangun Puskesmas pembantu untuk tiap 10.000 penduduk. Selain itu, di tiap
kabupaten dibangun rumah sakit umum tipe D atau C guna memenuhi kebutuhan
Asuransi Kesehatan Nasional 5
penduduk akan pelayanan kesehatan. Perlu disadari bahwa fasilitas yang telah dibangun
tersebut tidak sepenuhnya bisa dibiayai pemerintah, pusat maupun daerah, dalam
penyelenggaraan pelayanan sehari-hari. Retribusi ditetapkan oleh pemerintah daerah
masing-masing guna menjamin kesinambungan pelayanan. Namun demikian, retribusi
dapat menjadi hambatan finansial bagi penduduk di dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan. Jika hambatan finansial tidak ada, sebenarnya tidak
diperlukan asuransi kesehatan, baik dalam bentuk JPKM maupun dalam bentuk asuransi
kesehatan tradisional.
Dari sisi input, pembangunan sektor kesehatan yang dilakukan selama ini
memang menunjukkan banyak hasil yang telah dicapai. Hal itu antara lain dapat dilihat
dari meningkatnya jumlah fasilitas kesehatan yang telah dibangun baik berupa rumah
sakit, Puskesmas, Puskesmas pembantu, Polindes, dan sebagainya, maupun jumlah
tenaga kesehatan. Tetapi bagaimana jika dilihat dari sisi output dilihat dari tingkat
pemanfaatan sarana tersebut? Atau dari sisi dampak (outcome) morbiditas maupun
mortalitas? Apakah pembangunan kesehatan yang telah dilakukan selama ini sudah
cukup menjamin penduduk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya atau justru
menemui tantangan yang makin besar?
Tabel 2.1. Perkembangan Jumlah Fasilitas Kesehatan di Indonesia
Fasilitas 1996 1997 1998 1999 2000 Puskesmas 7.110 7.175 7.181 7.195 7.237 Puskesmas Pembantu
20.765 20.889 21.503 21.417 21.267
RSU Pemerintah 523 522 525 517 520 RSU Swasta 329 335 351 363 370 Jumlah Total RSU 851 857 876 880 890 Jumlah Total TT 100.388 102.042 103.886 105.787 107.537
Sumber: Departemen Kesehatan, Profil Kesehatan Indonesia 2000
Hasil yang dicapai dari sisi input (baik berupa perkembangan fasilitas kesehatan
maupun tenaga kesehatan) dapat dilihat pada Tabel 2.1. yang memperlihatkan
perkembangan jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di Indonesia. Dari tabel
tersebut tampak bahwa dalam kurun waktu lima tahun (1996-2000) jumlah rumah sakit
Asuransi Kesehatan Nasional 6
umum bertambah dengan 39 buah (dari 851 rumah sakit menjadi 890 rumah sakit) atau
sekitar 18 rumah sakit per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, jumlah tempat tidur di
rumah sakit umum juga meningkat sebesar 7.149 tempat tidur (dari 100.388 pada tahun
1996 menjadi 107.537 tempat tidur pada tahun 2000). Demikian juga dengan jumlah
Puskesmas dan Puskesmas pembantu yang dalam kurun waktu enam tahun meningkat
secara signifikan. Selama kurun waktu lima tahun jumlah Puskesmas meningkat hanya
127 buah (dari 7.110 Puskesmas pada tahun 1996 menjadi 7.237 Puskesmas pada tahun
2000). Selama kurun waktu yang sama jumlah Puskesmas pembantu meningkat 502
buah.
Peningkatan jumlah fasilitas kesehatan tersebut diikuti dengan makin
menurunnya angka kematian penduduk. Angka kematian kasar (crude death rate)
menurun secara signifikan dari sekitar 18,7 kematian per 1.000 penduduk pada tahun
1971 menjadi sekitar 7,5 kematian per 1.000 penduduk dalam kurun waktu 1990-1995.
Angka Kematian Balita juga mengalami penurunan secara berarti dari 111 per 1.000
kelahiran hidup pada ahun 1981 menjadi 81 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1993.
Angka kematian bayi (infant mortality rate) juga mengalami penurunan tajam dari 145
per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1967 (SP, 1971) menjadi sekitar 54 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 1996. Angka harapan hidup (life expectancy at birth)
penduduk Indonesia juga mengalami peningkatan secara berarti yang pada tahun 2000-
2005 diperkirakan akan mencapai 68,23 tahun (Depkes, 1997).
Kemajuan yang dicapai tersebut tidak terlepas dari makin meningkatnya anggaran
pembangunan sektor kesehatan, khususnya anggaran Departemen Kesehatan. Dalam
kurun waktu lima tahun (1994/1995-1999/2000) anggaran Departemen Kesehatan (baik
anggaran pembangunan maupun anggaran rutin) meningkat secara signifikan dari Rp 1,6
trilyun pada tahun anggaran 1994/1995 menjadi Rp 2,7 trilyun pada tahun 1999/2000
(Depkes, 1998 dan 1999).
Meskipun secara absolut jumlah anggaran Departemen Kesehatan meningkat
tajam, tetapi jumlah peningkatan tersebut masih relatif kecil jika dibandingkan dengan
tantangan yang harus dihadapi baik pada saat ini maupun pada masa mendatang.
Pergeseran demografis yang tercermin dalam jumlah maupun komposisi penduduk
mencerminkan makin besarnya tantangan yang dihadapi.
Asuransi Kesehatan Nasional 7
Meskipun dari sisi dampak, tingkat mortalitas penduduk Indonesia mengalami
penurunan namun tetap perlu dicatat bahwa penurunan tingkat mortalitas tersebut tidak
semata-mata dicapai karena pembangunan kesehatan melainkan merupakan interaksi dari
berbagai faktor (multi factorial). Perlu dicatat, bahwa penurunan tingkat mortalitas
tersebut masih belum cukup mengingat tingkat mortalitas penduduk Indonesia masih
relatif lebih tinggi dibandingkankan dengan tingkat mortalitas beberapa negara lain di
Asia.
Meskipun angka kematian bayi (IMR) Indonesia sebagaimana dikemukakan di
atas sudah mengalami penurunan secara berarti sehingga pada tahun 1996 IMR Indonesia
54 per 1.000 kelahiran hidup, tetapi angka tersebut masih relatif tinggi jika
dibandingkankan dengan beberapa negara lain seperti Myanmar (49), Vietnam (38),
Filipina (34), Thailand (32), apalagi jika dibandingkan dengan IMR Malaysia dan
Singapura yang masing-masing pada tahun yang sama adalah 11 dan 4 per 1.000
kelahiran hidup. Demikian juga dengan angka kematian Balita Indonesia yang pada tahun
1993 sebesar 81 per 1.000 kelahiran hidup masih relatif tinggi jika dibandingkankan
dengan negara-negara lain seperti Filipina (59), Cina (43), Thailand (33), Srilangka (19),
apalagi dibandingkankan dengan Malaysia (17) dan Singapura (6). Yang menjadi
masalah besar adalah angka kematian ibu (maternal mortality rate, MMR). MMR
Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan MMR beberapa negara lain di kawasan
ASEAN. Dalam kurun waktu 1980-1992 MMR Indonesia diperkirakan 390 per 100.000
kelahiran, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara seperti Vietnam (120),
Filipina (100), Cina (95), Srilangka (80), Malaysia (59), Thailand (50) dan Singapura
(10) (Depkes, 1997).
Dalam hal pola penyakit, Indonesia juga menanggung beban ganda (double
burden) dimana penyakit-penyakit infeksi belum sepenuhnya dapat diatasi tetapi sudah
muncul penyakit-penyakit degeneratif yang menjadi penyebab utama kematian
penduduk. Dalam hal kualitas pelayanan kesehatan, tantangan juga makin besar dengan
meningkatnya aspirasi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu.
Meningkatnya tingkat pendidikan penduduk dan makin menyebarnya informasi diduga
berkaitan dengan makin meningkatnya tuntutan penduduk terhadap pelayanan kesehatan
yang berkualitas.
Asuransi Kesehatan Nasional 8
Tantangan lain yang juga amat penting untuk diatasi adalah dalam hal
pembiayaan kesehatan. Dari aspek pembiayaan kesehatan, terdapat tantangan yang cukup
besar dimana masih banyak penduduk yang mengalami kesulitan untuk membiayai
kesehatannya. Terbatasnya dana pembangunan kesehatan relatif jika dibandingkankan
dengan tantangan yang dihadapi mendorong untuk diciptakannya sistem pembiayaan
kesehatan yang efisien. Dalam kaitan itu, amat penting untuk mewujudkan sistem
pembiayaan kesehatan yang memungkinkan terjaminnya seluruh penduduk, yang antara
lain dilakukan melalui pengembangan sistem jaminan/asuransi kesehatan. Sayangnya,
cakupan jaminan kesehatan di Indonesia masih rendah.
Beberapa studi mengungkapkan bahwa total cakupan jaminan kesehatan di
Indonesia masih rendah. Thabrany (1999) mengestimasi jumlah penduduk yang tercakup
dalam jaminan kesehatan di Indonesia baru sekitar 15 persen atau sekitar 27-30 juta jiwa.
Jumlah cakupan jaminan kesehatan sebesar itu sudah termasuk pegawai negeri dan
keluarganya, pensiunan ABRI, karyawan swasta dan keluarganya yang sudah menjadi
peserta Jamsostek dan sebagian kecil dalam bentuk asuransi kesehatan konvensional
(Thabrany, H., 1999). Hasil pengolahan data IFLS I (Indonesia Family Life Survey 1993)
juga menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang memiliki jaminan kesehatan adalah
sekitar 13 persen (Mundiharno, 1999).
Masih sedikitnya jumlah penduduk yang tercakup dalam jaminan kesehatan
merupakan suatu tantangan serius dalam pembiayaan kesehatan penduduk di Indonesia
mengingat: Pertama, diduga akan banyak penduduk yang mengalami kesulitan dalam
pembiayaan kesehatan dengan pola pembiayaan tunai (out of pocket). Kedua, akibat
kesulitan dalam pembiayaan kesehatan maka derajat kesehatan penduduk juga menjadi
rendah. Uraian berikut akan menunjukkan perbedaan status kesehatan antara penduduk
yang memiliki jaminan kesehatan dengan penduduk yang tidak memiliki jaminan
kesehatan.
Analisis Data Susenas
Status Kesehatan Penduduk Gambaran tentang status kesehatan penduduk Indonesia dalam analisis ini dilihat
dari probabilitas (predicted probability) penduduk yang mengalami gangguan kesehatan
Asuransi Kesehatan Nasional 9
selama satu bulan terakhir sebelum survai. Analisis probabilitas tersebut dikelompokkan
antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, penduduk yang memiliki dana/kartu
sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan menurut karakteristik sosial
demografi.
Yang dimaksud dengan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dalam
analisis ini adalah penduduk yang memiliki asuransi kesehatan, Astek/Jamsostek,
memperoleh bantuan biaya kesehatan dari perusahaan, atau yang memiliki bentuk
asuransi lainnya. Sayangnya, pertanyaan tentang kepemilikan jaminan
pembiayaan/asuransi kesehatan yang terdapat pada data Susenas 1998 berbeda dengan
yang terdapat pada data Susenas 1995. Pada Susenas 1998, ada pertanyaan khusus yang
menanyakan kepemilikan jaminan pembiayaan/asuransi kesehatan oleh responden.
Sedangkan pada Susenas 1995, tidak ada pertanyaan yang secara khusus menanyakan hal
tersebut. Oleh karena itu, pengelompokkan penduduk yang memiliki jaminan didekati
dari (a) jenis pekerjaan (pegawai negeri atau bukan pegawai negeri), dan atau (b) sumber
pembiayaan rawat jalan/rawat inap mereka; apakah sumber pembiayaannya berasal dari
Askes, Astek/Jamsostek, perusahaan, atau asuransi lainnya.
Susenas (baik Susenas 1995 dan 1998) menanyakan tentang “apakah responden
dalam satu bulan terakhir mempunyai keluhan kesehatan?” Ada sejumlah keluhan
kesehatan yang ditanyakan yaitu panas, batuk, pilek, asma, sesak napas, diare, campak,
telinga berair, sakit kuning, sakit kepala, kejang-kejang, lumpuh, pikun, kecelakaan, sakit
gigi, dan lainnya. Jika responden mengalami salah satu atau lebih dari berbagai keluhan
kesehatan tersebut maka dikategorikan mengalami “gangguan kesehatan”.
Secara keseluruhan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan mempunyai
probabilitas mengalami gangguan kesehatan (selama sebulan terakhir) lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan. Hal itu terlihat baik
untuk tahun 1995 maupun 1998. Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, 272
dari 1.000 orang (tahun 1998) mengalami gangguan kesehatan, sementara pada penduduk
yang tidak mempunyai jaminan kesehatan jumlah tersebut lebih besar yaitu 281 per 1.000
orang.
Temuan ini konsisten dengan berbagai hasil penelitian lain yang menyatakan
bahwa status kesehatan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan pada umumnya lebih
Asuransi Kesehatan Nasional 10
baik dibandingkan status kesehatan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
Temuan ini memperkuat argumen tentang perlunya upaya pengembangan jaminan
kesehatan ke masyarakat yang lebih luas. Makin luas cakupan jaminan kesehatan akan
makin meningkatkan status kesehatan penduduk.
Namun jika dibandingkan antara penduduk yang memiliki dana/kartu sehat
dengan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, kondisinya justru terbalik.
Pada penduduk yang memiliki dana/kartu sehat, jumlah orang yang mengalami gangguan
kesehatan, yaitu 283 per 1.000 orang, sedikit lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
memiliki jaminan kesehatan (281 per 1.000 orang). Hal ini bisa dimengerti karena pada
umumnya penduduk yang memiliki kartu sehat adalah penduduk miskin.
Jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan menurun, baik pada yang
memiliki jaminan kesehatan maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada
penduduk yang mempunyai jaminan kesehatan, jumlah yang mempunyai gangguan
kesehatan mengalami penurunan dari 278 per 1.000 orang pada tahun 1995 menjadi 272
per 1.000 orang pada tahun 1998. Sedangkan pada penduduk yang tidak memiliki
jaminan kesehatan, jumlah yang mempunyai gangguan kesehatan menurun dari 287 per
1.000 orang pada tahun 1995 menjadi 281 per 1.000 orang pada tahun 1998.
Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga Pengeluaran rumah-tangga ini dapat dijadikan sebagai proksi terhadap
penghasilan rumah-tangga atau status ekonomi rumah-tangga. Makin tinggi pengeluaran
diduga makin tinggi pula penghasilan rumah-tangga, yang berarti makin tinggi status
ekonomi rumah-tangga. Makin tinggi penghasilan rumah-tangga makin baik status
kesehatan mereka. Hal itu konsisten baik pada penduduk yang memiliki jaminan
kesehatan maupun pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada
penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, jumlah yang mengalami gangguan
kesehatan pada kelompok pengeluaran terendah (decile 1) adalah 293 per 1.000 orang,
jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok penghasilan tertinggi (decile 10) yaitu
259 per 1.000 orang. Dengan demikian perbedaan yang mengalami gangguan kesehatan
antara kelompok pengeluaran terendah (decile 1) dan kelompok pengeluaran tertinggi
(decile 10) sebanyak 34 per 1.000 orang (atau 3,4 persen). Besarnya perbedaan tersebut
Asuransi Kesehatan Nasional 11
sama, baik pada penduduk yang memiliki dana/kartu sehat (298 per 1.000 orang pada
kelompok decile 1 dan 264 per 1.000 orang pada kelompok decile 10) maupun pada
penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan (297 per 1.000 orang pada kelompok
decile 1 dan 263 per 1.000 orang pada kelompok decile 10)
Temuan ini sesuai dengan berbagai hasil penelitian lain yang juga menunjukkan
bahwa makin tinggi status ekonomi penduduk makin baik status kesehatan mereka. Hal
ini bisa dipahami mengingat penduduk yang memiliki status ekonomi tinggi juga
memiliki status gizi yang baik dan mampu memelihara kesehatannya.
Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan Untuk keperluan analisis ini pekerjaan penduduk dikelompokkan menjadi (a)
pegawai negeri; (b) pegawai swasta; (c) petani; (d) pedagang, dan (e) lainnya.
Pengelompokkan jenis pekerjaan sebagaimana disebutkan di atas dimaksudkan untuk
melihat perbedaan status kesehatan antara penduduk yang terorganisir (pegawai negeri
dan pegawai swasta) dan penduduk yang relatif tidak terorganisir (petani, pedagang, dan
lainnya).
Perbedaan status kesehatan menurut jenis pekerjaan tidak begitu mencolok.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang lain, petani merupakan
kelompok penduduk yang memiliki status kesehatan terjelek. Sementara pegawai negeri
memiliki status kesehatan terbaik. Penduduk yang memiliki jaminan kesehatan (pada
tahun 1998), 281 dari 1.000 petani mengalami gangguan kesehatan selama sebulan lalu.
Sementara pada pegawai negeri probabilitas yang mengalami gangguan kesehatan jauh
lebih rendah, yaitu 271 per 1.000 orang. Demikian juga halnya pada penduduk yang
memiliki dana sehat dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, petani juga
merupakan kelompok yang paling rentan mengalami gangguan kesehatan.
Perbedaan Antar Wilayah Perkiraan jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan per 1.000 penduduk
menurut wilayah tempat tinggal responden menunjukkan bahwa status kesehatan
penduduk Jabar/DKI Jakarta merupakan yang terbaik dibandingkan penduduk yang
tinggal di wilayah lainnya. Sementara penduduk di Pulau Jawa (kecuali Jabar/DKI
Asuransi Kesehatan Nasional 12
Jakarta), Bali, dan Nusa Tenggara mengalami gangguan kesehatan relatif hampir sama
dengan penduduk di luar pulau Jawa.
Perbedaan Antar Desa-Kota Banyak studi menyatakan bahwa status kesehatan penduduk yang tinggal di
perkotaan pada umumnya lebih baik dibandingkan penduduk yang tinggal di perdesaan.
Analisis data Susenas 1995 dan 1998 yang dilakukan dalam studi ini juga menunjukkan
hal serupa. Jumlah penduduk perkotaan yang mengalami gangguan kesehatan lebih
rendah dibandingkan dengan penduduk perdesaan, baik mereka memiliki jaminan
kesehatan, dana/kartu sehat, maupun tidak memiliki jaminan kesehatan.
Pada penduduk perkotaan yang memiliki jaminan kesehatan, dari setiap 1.000
orang terdapat 270 orang yang mengalami gangguan kesehatan. Sedangkan di pedesaan
jumlahnya lebih besar lagi, yaitu 277 per 1.000 orang. Sementara itu, dari setiap 1.000
penduduk perkotaan yang tidak memiliki jaminan kesehatan terdapat 275 orang yang
mengalami gangguan kesehatan. Sedangkan di pedesaaan jumlahnya mencapai 284
orang.
Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan Dalam banyak analisis, pendidikan seringkali berpengaruh terhadap status
kesehatan. Makin tinggi pendidikan seseorang cenderung makin baik status
kesehatannya. Temuan analisis dalam studi ini juga menunjukkkan hal serupa. Jumlah
penduduk berpendidikan lebih tinggi yang mengalami gangguan kesehatan lebih sedikit
dibandingkan dengan pada penduduk yang berpendidikan lebih rendah, baik pada yang
memiliki maupun tidak memiliki jaminan kesehatan.
Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, kelompok penduduk
berpendidikan tinggi (D1-S3) yang mengalami gangguan kesehatan sebanyak 267 per
1.000 orang. Sementara pada penduduk yang tidak sekolah/tidak tamat SD, jumlah yang
mengalami gangguan kesehatan lebih besar, yaitu 275 per 1.000 orang.
Perbedaan gangguan sakit antar kelompok pendidikan pada penduduk yang tidak
memiliki jaminan kesehatan juga hampir serupa. Jumlah penduduk berpendidikan tinggi
(D1-S3) yang mengalami gangguan kesehatan adalah 269 per 1.000 orang, sementara
Asuransi Kesehatan Nasional 13
pada penduduk yang tidak sekolah/tidak tamat SD jumlahnya lebih besar, yaitu 284 per
1.000 orang.
Akses Pelayanan Kesehatan Masalah akses masyarakat pada pelayanan kesehatan juga merupakan satu hal
penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan upaya pemerataan (equity) pelayanan
kesehatan. Analisis akses pelayanan kesehatan dalam studi ini didekati dari tidak
terpenuhinya kebutuhan pelayanan kesehatan yang diperlukan oleh penduduk yang
mengalami gangguan kesehatan (unmet need). Disamping itu, juga dilihat probabiitas
penduduk yang menggunakan pelayanan rawat jalan dan rawat inap.
Probabilitas Terjadi Unmet Need Analisis unmet need diperlukan untuk memperkirakan seberapa besar jumlah
orang yang mengalami kesulitan berobat ketika dirinya mengalami gangguan sakit.
Unmet need dalam analisis ini didefinisikan sebagai orang yang mengalami keluhan
kesehatan sampai mengganggu pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, tetapi tidak
melakukan berobat jalan selama satu bulan terakhir. Jadi kalau seseorang mengalami
keluhan kesehatan tetapi tidak sampai mengganggu kegiatan sehari-hari, tidak
dikategorikan sebagai unmet need meskipun orang tersebut tidak berobat jalan dalam satu
bulan terakhir. Dengan demikian unmet need dalam analisis ini berlaku untuk gangguan
kesehatan yang sifatnya akut.
Analisis unmet need ini dapat dijadikan sebagai proksi dalam melihat akses
masyarakat pada pelayanan kesehatan. Makin sedikit penduduk yang mengalami unmet
need berarti makin baik akses penduduk pada pelayanan kesehatan.
Secara keseluruhan probabilitas terjadinya unmet need mengalami penurunan
antara kondisi tahun 1995 dengan kondisi tahun 1998, baik pada penduduk yang
memiliki jaminan kesehatan maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada
penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, unmet need pada tahun 1995 dialami oleh
67 per 1.000 penduduk, sedangkan pada tahun 1998 jumlahnya menurun menjadi 62 per
1.000 penduduk. Hal ini mengindikasikan terjadinya perbaikan akses masyarakat pada
pelayanan kesehatan. Probabilitas orang yang mengalami unmet need pada penduduk
yang memiliki jaminan kesehatan lebih rendah dibandingkan dengan penduduk yang
Asuransi Kesehatan Nasional 14
tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000 orang yang memiliki jaminan
kesehatan, 62 orang di antaranya mengalami unmet need. Sementara pada penduduk yang
tidak memiliki jaminan kesehatan, jumlah orang yang mengalami unmet need lebih besar
lagi, yaitu 69 per 1.000 penduduk (tahun 1998).
Gambar 2.1. Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang , Susenas 1995 dan 1998
Temuan ini memperkuat lagi argumen tentang pentingnya jaminan kesehatan
dalam memelihara kesehatan penduduk, khususnya untuk mengatasi masalah unmet need
yang dihadapi penduduk.
Hal lain yang menarik adalah, ternyata probabilitas unmet need yang terbesar
justru terjadi pada kelompok penduduk yang memiliki dana/kartu sehat. Tampaknya
pemilikan kartu sehat (yang umumnya dimiliki penduduk miskin) bukan satu-satunya
cara dalam memperbaiki akses pelayanan kesehatan. Hal ini diduga karena bagi
penduduk miskin persoalan biaya kesehatan tidak saja terbatas pada biaya
pelayanan/pemeriksaan kesehatan saja, tetapi juga berkaitan dengan biaya transportasi
dan biaya obat. Sementara biaya transportasi tidak dicakup dalam pelayanan kartu sehat.
Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga Probabilitas penduduk yang mengalami unmet need menurut kelompok
67
62
75
69
55
60
65
70
75
80
1995 1998
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 15
pengeluaran rumah-tangga. Sebagaimana disampaikan di muka, pengeluaran rumah-
tangga ini dapat dijadikan sebagai proksi terhadap penghasilan rumah-tangga atau status
ekonomi rumah-tangga. Makin tinggi pengeluaran diduga makin tinggi pula penghasilan
rumah-tangga, yang berarti makin tinggi status ekonomi rumah-tangga. Semakin tinggi
penghasilan rumah-tangga makin kecil kemungkinannya mengalami unmet need, baik
pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan maupun yang tidak memiliki jaminan
kesehatan. Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, probabilitas unmet need
kelompok pengeluaran decile 1 jauh lebih besar (80 per 1.000 orang) dibandingkan
dengan unmet need kelompok decile 10 (53 per 1.000 orang).
Gambar 2.2.
Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
Lebih tingginya probabilitas unmet need pada kelompok penghasilan rendah
dibandingkan dengan kelompok penghasilan tinggi juga terjadi pada penduduk yang
memiliki dana/kartu sehat dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada
penduduk yang memiliki dana/kartu sehat, perbedaan unmet need antara kelompok
pengeluaran terendah (decile 1) dengan kelompok pengeluaran tertinggi (decile 10)
adalah sebanyak 28 per 1.000 orang. Perbedaan yang sama juga terjadi pada penduduk
yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
Temuan ini sesuai dengan berbagai hasil penelitian lain yang juga menunjukkan
80
7471
6866 65
6361
58
53
83
7774
71 7068
6664
61
56
45
50
55
60
65
70
75
80
85
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 16
bahwa makin tinggi status ekonomi penduduk makin baik akses mereka pada pelayanan
kesehatan. Hal ini bisa dipahami mengingat penduduk yang memiliki status ekonomi
tinggi memiliki kemampuan membayar pelayanan kesehatan lebih besar.
Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan Perbedaan probabilitas unmet need menurut jenis pekerjaan penduduk tidak
begitu mencolok. Dibandingkan jenis pekerjaan yang lain, petani merupakan kelompok
penduduk yang memiliki probabilitas tertinggi mengalami unmet need. Sementara
pegawai negeri dan pedagang merupakan jenis pekerjaan yang memiliki probabilitas
unmet need terendah. Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan (tahun 1998), 69
per 1.000 petani mengalami unmet need. Sementara pada pegawai negeri, probabilitas
unmet need-nya lebih rendah, yaitu 61 per 1.000 orang. Pada penduduk yang memiliki
dana sehat dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, petani juga merupakan
jenis pekerjaan yang paling rentan mengalami unmet need. Banyaknya petani yang
mengalami unmet need relatif dibandingkan jenis pekerjaan lain diduga terkait dengan
rendahnya tingkat kesejahteraan mereka.
Asuransi Kesehatan Nasional 17
Gambar 2.3.
Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
Perbedaan Antar Wilayah Perkiraan jumlah orang yang mengalami unmet need per seribu penduduk
menurut wilayah tempat tinggal responden. Dari data tersebut tampak bahwa jumlah
penduduk “Jawa Barat dan DKI Jakarta” yang mengalami unmet need merupakan yang
terendah dibandingkan dengan penduduk di wilayah/propinsi lain. Sementara yang paling
banyak mengalami unmet need adalah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa (kecuali
Jabar/DKI Jakarta), Bali, dan Nusa Tenggara.
Hal lain yang menarik adalah, ternyata penduduk yang tinggal di Papua/Maluku,
Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi justru mengalami unmet need lebih sedikit
dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di Pulau Jawa.
Perbedaan Antar Desa-Kota Penduduk yang mengalami unmet need diduga berbeda menurut tempat tinggal
mereka (desa-kota). Penduduk yang tinggal di perdesaan lebih besar kemungkinannya
mengalami unmet need dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di perkotaan.
Perbedaan tersebut antara lain terkait dengan ketersediaan fasilitas kesehatan.
Ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan di daerah perkotaan pada umumnya
lebih baik dibandingkan dengan di daerah perdesaan.
6163
69
61 62
6972
6668
50
55
60
65
70
75
PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lain-lain
Jaminan Non-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 18
Jumlah penduduk perkotaan yang mengalami unmet need lebih rendah
dibandingkan penduduk yang tinggal di perdesaan, baik pada mereka yang memiliki
jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
Pada penduduk perkotaan yang memiliki jaminan kesehatan, dari setiap 1.000 penduduk
terdapat 61 orang yang mengalami unmet need, sedangkan di perdesaan jumlahnya lebih
besar lagi, yaitu 66 per 1.000 orang. Sementara itu, dari setiap 1.000 penduduk perkotaan
yang tidak memiliki jaminan kesehatan terdapat 65 orang yang mengalami unmet need,
sedangkan di pedesaaan yang mengalami unmet need mencapai 72 per 1.000 orang.
Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan Bagaimana pengaruh pendidikan terhadap probabilitas terjadinya unmet need?.
Apakah makin tinggi pendidikan makin kecil mengalami unmet need?. Gambar 2.4.
menunjukkan bahwa probabilitas penduduk mengalami unmet need berbanding terbalik
(hubungan negatif) dengan tingkat pendidikan penduduk, baik pada mereka yang
memiliki maupun tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah penduduk berpendidikan
tinggi yang mengalami unmet need lebih kecil dibandingkan dengan yang berpendidikan
rendah.
Gambar 2.4.
Perbedaan Hambatan Akses/Unmet Need Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998
6563 62 62
59
7270
6664
60
50
55
60
65
70
75
TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 19
Pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, kelompok penduduk
berpendidikan tinggi (D1-S3) yang mengalami unmet need sebanyak 59 per 1.000 orang.
Sementara pada penduduk tidak sekolah/tidak tamat SD yang mengalami unmet need
jumlahnya lebih besar, yaitu 65 per 1.000 orang.
Perbedaan unmet need antar kelompok pendidikan pada penduduk yang tidak
memiliki jaminan kesehatan juga hampir serupa. Penduduk berpendidikan tinggi (D1-S3)
yang mengalami unmet need sebanyak 60 per 1.000 orang, sementara pada penduduk
yang tidak sekolah/tidak tamat SD jumlahnya lebih besar, yaitu 72 per 1.000 orang.
Probabilitas Berobat Jalan Analisis probabilitas berobat jalan dalam studi ini dilakukan antara lain untuk
melihat seberapa besar perbedaan konsumsi rawat jalan antara penduduk yang memiliki
jaminan kesehatan dan tidak memiliki jaminan kesehatan ke masing-masing fasilitas
kesehatan. Berapa besar perbedaan probabilitas berobat jalan ke RS Pemerintah, RS
swasta, praktek dokter, Puskesmas/Pustu, poliklinik, dan praktek petugas kesehatan
antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang
tidak memiliki jaminan kesehatan.
Secara keseluruhan besarnya angka rawat jalan ke RS Pemerintah pada penduduk
yang memiliki jaminan kesehatan lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang
memiliki dana/kartu sehat atau yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah
kunjungan rawat jalan ke RS Pemerintah per 1.000 penduduk yang memiliki jaminan
kesehatan sebesar 19 kunjungan. Sementara pada penduduk yang memiliki dana/kartu
sehat maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan hanya 14 kunjungan.
Asuransi Kesehatan Nasional 20
Gambar 2.5.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998
Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, pada Gambar 2.6.
tampak bahwa RS Pemerintah lebih banyak digunakan (untuk berobat jalan) oleh
penduduk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan yang berpendapatan rendah.
Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke
RS Pemerintah, apakah dia memiliki jaminan kesehatan maupun tidak. Jumlah kunjungan
rawat jalan ke RS Pemerintah pada penduduk berpenghasilan tertinggi sekitar 2,5 kali
lebih besar dibandingkan dengan yang berpenghasilan terendah.
Dengan temuan ini dapat diartikan bahwa subsidi terhadap pelayanan rawat jalan
RS Pemerintah sebenarnya lebih banyak dinikmati oleh penduduk yang berpenghasilan
tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu,
subsidi terhadap pelayanan di RS Pemerintah sebaiknya tidak diberikan melalui fasilitas
kesehatan melainkan diberikan langsung kepada penduduk miskin yang menjadi
kelompok sasaran.
16
19
1214
0
5
10
15
20
1995 1998
Jaminan Non-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 21
Gambar 2.6. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang
Menurut Penghasilan, Susenas 1998
Gambar 2.7. Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang
Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
Gambar 2.7. memperlihatkan perbedaan besarnya jumlah kunjungan rawat jalan
1012 13 14 15
17 18 1921
27
911 12 13 14 15 16 17
19
24
0
5
10
15
20
25
30
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
JaminanNon-jaminan
20 19
15
20 19
1513
17 16
0
5
10
15
20
25
PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya
Jaminan Non-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 22
ke RS Pemerintah per seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut
tampak bahwa penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat jalan RS
Pemerintah adalah mereka yang berprofesi sebagai petani. Sementara penduduk yang
bekerja sebagai “pegawai negeri dan pedagang” justru yang paling banyak menggunakan
pelayanan rawat jalan RS Pemerintah.
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan yang terbanyak menggunakan
pelayanan rawat jalan RS Pemerintah. Sementara yang paling sedikit menggunakan
pelayanan rawat jalan RS Pemerintah adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah,
DIY, dan Jawa Timur. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat
jalan RS Pemerintah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti
antara lain karena akses penduduk perkotaan pada RS Pemerintah lebih mudah
dibandingkan dengan penduduk perdesaan, sebab RS Pemerintah umumnya terletak di
daerah perkotaan. Pelayanan rawat jalan RS Pemerintah lebih banyak digunakan oleh
penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk,
makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat jalan RS Pemerintah.
Gambar 2.8. tampak bahwa secara keseluruhan besarnya kunjungan rawat jalan
ke RS Swasta pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan 1,5 kali lebih besar
dibandingkan dengan penduduk yang memiliki dana/kartu sehat atau yang tidak memiliki
jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000 penduduk yang memiliki jaminan kesehatan,
terdapat 12 kunjungan rawat jalan ke RS Swasta. Sedangkan pada penduduk yang tidak
memiliki jaminan kesehatan atau yang memiliki dana/kartu sehat hanya 8 per 1.000
orang.
Asuransi Kesehatan Nasional 23
Gambar 2.8.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998
Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, pada Gambar 2.9.
tampak bahwa pelayanan rawat jalan RS Swasta lebih banyak digunakan oleh penduduk
yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpendapatan rendah.
Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke
RS Swasta, apakah dia memiliki maupun tidak memiliki jaminan kesehatan. Pada
penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, jumlah kunjungan rawat jalan penduduk
berpenghasilan tertinggi (18 kunjungan per 1.000 penduduk) tiga kali lipat dibandingkan
dengan penduduk yang berpenghasilan terendah (5 kunjungan per 1.000 penduduk).
Sementara pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan, perbandingannya
mencapai empat kali lipat.
Temuan ini bisa dipahami mengingat biaya pelayanan di RS Swasta umumnya
memang tinggi. Oleh karena itu, penduduk yang berpenghasilan tinggilah yang lebih
mungkin berobat ke RS Swasta.
9
12
6
8
0
2
4
6
8
10
12
14
1995 1998
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 24
Gambar 2.9.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
Gambar 2.10. memperlihatkan perbedaan besarnya jumlah kunjungan rawat jalan
ke RS Swasta per seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut
tampak bahwa petani adalah penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan
rawat jalan RS Swasta, baik pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu
sehat, maupun yang tidak memiliki kesehatan. Sementara penduduk yang paling banyak
menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta adalah mereka yang bekerja sebagai
pedagang/pengusaha.
56
78
910
1112
14
18
46 6
78 8
910
12
16
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
Jaminan
Non
Asuransi Kesehatan Nasional 25
Gambar 2.10.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan
pelayanan rawat jalan RS Swasta. Dari panel keempat tampak bahwa penduduk
perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta dibandingkan
dengan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses penduduk
perkotaan terhadap RS Swasta lebih mudah dibandingkan dengan penduduk perdesaan.
Sebab disamping RS Swasta umumnya terletak di daerah perkotaan, juga karena
penduduk perkotaan umumnya lebih tinggi pendapatannya dibandingkan dengan
penduduk pedesaaan.
Gambar 2.11. menunjukkan perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan RS Swasta
menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan,
dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari panel
tersebut tampak bahwa pelayanan rawat jalan RS Swasta lebih banyak dimanfaatkan oleh
penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk,
makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat jalan RS Swasta. Jumlah
12 12
8
1312
9
7
109
0
2
4
6
8
10
12
14
PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya
Jaminan Non-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 26
kunjungan rawat jalan ke RS Swasta pada rumah-tangga yang kepala rumah-tangganya
berpendidikan D1-S3 sekitar dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
sekolah/tidak tamat SD.
Gambar 2.11.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut
Pendidikan, Susenas 1998
Jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter per seribu penduduk menurut
karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan kesehatan. Gambar 2.12. tampak
bahwa secara keseluruhan jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter lebih besar
pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dibandingkan dengan penduduk yang
memiliki dana/kartu sehat maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap
1.000 penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, terdapat 78 kunjungan rawat jalan ke
Praktek Dokter. Sementara pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan hanya
56 kunjungan per 1.000 orang. Probabilitas berobat jalan ke Praktek Dokter pada
penduduk yang memiliki dana/kartu sehat lebih rendah lagi, yaitu 52 kunjungan per 1.000
penduduk.
79
1112
14
68
911
13
0
5
10
15
TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT
Jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 27
Gambar 2.11.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang, Susenas 1995 dan 1998
Seperti halnya dengan RS Swasta, Gambar 2.12. juga menunjukkan bahwa
Praktek Dokter lebih banyak digunakan (untuk berobat jalan) oleh penduduk yang
berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan yang berpendapatan rendah. Makin tinggi
pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Dokter,
baik pada mereka yang memiliki jaminan kesehatan, lebih-lebih pada mereka yang tidak
memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan ke Praktek Dokter pada penduduk
berpenghasilan tertinggi (decile10) adalah 3-3,5 kali penduduk berpenghasilan terendah
(decile 1). Temuan ini bisa dipahami mengingat seperti halnya dengan RS Swasta, biaya
pelayanan di Praktek Dokter umumnya juga tinggi. Oleh karena itu, penduduk yang
berpenghasilan tinggilah yang lebih mungkin berobat ke Praktek Dokter.
62
78
44
56
0
20
40
60
80
1995 1998
Jaminan Non-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 28
Gambar 2.12.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
Gambar 2.13. memperlihatkan perbedaan jumlah kunjungan ke Praktek Dokter
menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut tampak bahwa petani adalah penduduk
yang paling sedikit memanfaatkan pelayanan rawat jalan Praktek Dokter, baik pada
mereka yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki
jaminan kesehatan. Sebaliknya, pedagang/pengusaha dan pegawai negeri adalah yang
paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan praktek dokter.
3544
50 5561 66 71
7990
3039 44 48 52 57 62
6879
108
0
40
80
120
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 29
Gambar 2.13.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan yang paling banyak berobat
jalan ke Praktek Dokter. Sementara yang paling sedikit berobat jalan ke Praktek Dokter
adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Tingginya
penduduk DKI Jakarta yang berobat jalan ke Praktek Dokter (relatif jika dibandingkan
penduduk di wilayah lain) bisa dipahami mengingat rasio dokter dengan penduduk di
DKI Jakarta memang tinggi, sehingga memungkinkan penduduk lebih mudah menjumpai
Praktek Dokter di DKI Jakarta dibandingkan dengan di wilayah lainnya.
Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Praktek
Dokter dibandingkan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena
akses penduduk perkotaan pada Praktek Dokter dan fasilitas kesehatan lainnya lebih
mudah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Sebab seperti halnya fasilitas
kesehatan modern lainnya, pada umumnya Praktek Dokter juga terletak di daerah
perkotaan.
Gambar 2.14. menunjukkan perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek
Dokter menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan
kesehatan, dana/kartu sehat, dan yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari panel
tersebut tampak bahwa pelayanan rawat jalan Praktek Dokter lebih banyak dimanfaatkan
82 79
57
8781
5949
67 62
0
20
40
60
80
100
PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya
Jaminan Non-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 30
oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan
penduduk, makin besar kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Dokter. Jumlah
kunjungan ke Praktek Dokter oleh penduduk yang kepala rumah-tangganya
berpendidikan D3-S1 sekitar dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
sekolah/tidak tamat SD.
Gambar 2.13.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Praktek Dokter Per 1.000 orang Menurut Pendidikan,
Susenas 1998
Kunjungan ke Puskesmas/Puskesmas Pembantu per seribu penduduk menurut
karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan kesehatan. Secara keseluruhan
jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu lebih banyak dilakukan oleh penduduk yang tidak
memiliki jaminan kesehatan dan yang memiliki dana/kartu sehat dibandingkan dengan
yang memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu pada
penduduk yang memiliki dana/kartu sehat sebesar 73 kunjungan per 1.000 orang.
Sementara pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan hanya 56 kunjungan per
1.000 orang. Hal ini berbeda dengan karakteristik penduduk yang berobat ke Praktek
Dokter, RS Swasta, dan RS Pemerintah. Kunjungan rawat jalan ke Praktek Dokter, RS
47
6370
78
94
4352
6271
91
0102030405060708090
100
TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 31
Swasta, dan RS Pemerintah justru lebih banyak dilakukan oleh penduduk yang memiliki
jaminan kesehatan dibandingkan dengan yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
Berbeda dengan pemanfaatan pelayanan rawat jalan Praktek Dokter, RS Swasta,
dan RS Pemerintah, seperti tampak pada Gambar 2.14, penduduk yang berobat ke
Puskesmas/Pustu lebih banyak yang berpenghasilan rendah dibandingkan dengan yang
berpendapatan tinggi. Makin rendah pendapatan rumah-tangga makin banyak yang
berobat jalan ke Puskesmas/Puskesmas Pembantu, apakah dia memiliki jaminan
kesehatan, lebih-lebih yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Temuan ini bisa dipahami
mengingat biaya pelayanan di Puskesmas/Pustu umumnya rendah, relatif jika
dibandingkankan dengan Praktek Dokter dan RS Swasta. Oleh karena itu, penduduk yang
berpenghasilan rendahlah yang lebih mungkin berobat ke Puskesmas/Pustu.
Gambar 2.14.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Puskesmas/Pustu Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
Gambar 2.15. memperlihatkan perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan ke
Puskesmas/Pustu per seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel tersebut
tampak bahwa penduduk yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat jalan
Puskesmas/Pustu adalah mereka yang bekerja sebagai petani, baik yang memiliki
jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
92
7871 67 63 60 57 53 49
41
99
8478
73 69 66 62 5853
45
0
20
40
60
80
100
120
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
Jaminan
Non-
Asuransi Kesehatan Nasional 32
Gambar 2.15.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Puskesmas/Pustu Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan,
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan yang paling sedikit
menggunakan pelayanan rawat jalan Puskesmas/ Pustu. Sementara yang paling banyak
menggunakan pelayanan rawat jalan Puskesmas/Pustu adalah penduduk yang tinggal di
Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Relatif rendahnya penduduk DKI Jakarta yang
berobat jalan ke Puskesmas/Pustu bisa dipahami mengingat banyaknya pilihan tempat
berobat yang dapat dikunjungi penduduk DKI Jakarta. Sebagaimana dikemukakan di
muka, rasio dokter dengan penduduk di DKI Jakarta memang tinggi dan fasilitas
kesehatan modern lain juga lebih banyak dijumpai di DKI Jakarta.
Penduduk perdesaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan
Puskesmas/Pustu dibandingkan penduduk perkotaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain
jika dikaitkan dengan: Pertama, alternatif fasilitas kesehatan selain Puskesmas/Pustu
lebih banyak tersedia di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah perdesaan.
Kedua, biaya pelayanan kesehatan di Puskesmas/Pustu pada umumnya lebih rendah
dibandingkan dengan fasilitas kesehatan modern lainnya, sementara kemampuan
membayar penduduk di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan penduduk
perkotaan.
Gambar 2.16. menunjukkan perbedaan jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu
55 57
69
5457
68
75
6368
40
50
60
70
80
PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 33
menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan,
dana/kartu sehat, dan yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari gambar tampak
bahwa pelayanan rawat jalan di Puskesmas/Pustu lebih banyak dimanfaatkan oleh
penduduk yang berpendidikan rendah. Makin tinggi tingkat pendidikan penduduk, makin
kecil kemungkinannya berobat jalan ke Puskesmas/Pustu.
Gambar 2.16.
Perbedaan Angka Rawat Jalan Puskesmas/Pustu Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998
Dari uraian di atas tampak bahwa pengguna Puskesmas/Pustu umumnya adalah
yang berpenghasilan kecil, berpendidikan rendah, dan yang tinggal di perdesaan. Temuan
ini mengisyaratkan bahwa subsidi pembiayaan kesehatan lebih tepat diberikan kepada
Puskesmas/Pustu dibandingkan dengan jika diberikan kepada RS Pemerintah ataupun
fasilitas kesehatan lainnya.
Jumlah kunjungan ke Poliklinik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
kunjungan ke fasiltas kesehatan modern lainnya, seperti Puskesmas/Pustu, praktek
dokter, RS Swasta, dan RS Pemerintah. Dari setiap 1.000 penduduk diperkirakan hanya
ada sekitar 6 sampai 7 kunjungan rawat jalan ke poliklinik. Bandingkan misalnya dengan
jumlah kunjungan ke Puskesmas/Pustu, praktek dokter, dan RS Pemerintah yang jauh
5957
55 55
50
76
71
6460
53
40
50
60
70
80
TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT
Jaminan
Non-
Asuransi Kesehatan Nasional 34
lebih besar.
Secara keseluruhan jumlah kunjungan ke Poliklinik sedikit lebih besar pada
penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dibandingkan dengan yang memiliki
dana/kartu sehat atau yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari setiap 1.000
penduduk yang memiliki jaminan kesehatan terdapat 7 kunjungan rawat jalan ke
Poliklinik. Sementara pada yang tidak memiliki jaminan kesehatan hanya 6 kunjungan
per 1.000 orang.
Seperti halnya dengan RS Swasta dan Praktek Dokter, penduduk yang berobat ke
poliklinik umumnya adalah yang berpenghasilan tinggi. Makin tinggi pendapatan rumah-
tangga makin besar kemungkinannya berobat jalan ke poliklinik, apakah dia memiliki
jaminan kesehatan, lebih-lebih jika tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan
ke poliklinik pada penduduk berpenghasilan tertinggi (8-9 kunjungan per 1.000 orang)
hampir dua kali lipat dibandingkan dengan penduduk yang berpenghasilan terendah (5
kunjungan per 1.000 penduduk). Temuan ini bisa dipahami mengingat seperti halnya
Praktek Dokter, biaya pelayanan di Poliklinik umumnya juga tinggi. Oleh karena itu,
penduduk yang berpenghasilan tinggilah yang lebih mungkin berobat ke Poliklinik.
Perbedaan jumlah kunjungan rawat jalan ke Poliklinik menurut kelompok
pekerjaan. Dari panel tersebut tampak bahwa penduduk yang paling sedikit menggunakan
pelayanan rawat jalan Poliklinik adalah mereka yang berprofesi sebagai petani, baik pada
yang memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, maupun yang tidak memiliki jaminan
kesehatan.
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan
pelayanan rawat jalan Poliklinik. Perbedaan pola pemanfaatan pelayanan antar wilayah
ini hampir serupa dengan pola pemanfaatan pelayanan rawat jalan praktek dokter dan RS
Pemerintah.
Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Poliklinik
dibandingkan penduduk perdesaan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses
penduduk perkotaan pada Poliklinik dan fasilitas kesehatan lainnya lebih mudah
dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Sebab seperti halnya fasilitas kesehatan
modern lainnya, Poliklinik umumnya juga terletak di daerah perkotaan. Kekeculian
terjadi pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, dimana probabilitas penduduk
Asuransi Kesehatan Nasional 35
perkotaan dan perdesaan yang berobat jalan ke poliklinik sama saja.
Jumlah kunjungan rawat jalan ke Poliklinik menurut kelompok pendidikan. Dari
panel tersebut tampak bahwa pelayanan rawat jalan Poliklinik lebih banyak digunakan
oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat pendidikan
penduduk, makin besar kemungkinannya berobat jalan ke Poliklinik.
Jumlah kunjungan ke Praktek Petugas Kesehatan per seribu penduduk menurut
karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan kesehatan. Yang tercakup dalam
kategori petugas kesehatan disini termasuk mantri kesehatan, perawat kesehatan, bidan,
dan sebagainya. Dokter tidak termasuk dalam kategori ini, sebab sudah dikategorikan
secara tersendiri. Secara keseluruhan jumlah kunjungan rawat jalan ke Praktek Petugas
Kesehatan lebih besar pada penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan dan yang
memiliki dana/kartu sehat dibandingkan dengan yang memiliki jaminan kesehatan. Dari
setiap 1.000 penduduk yang memiliki dana/kartu sehat terdapat 70 kunjungan rawat jalan
ke Praktek Petugas Kesehatan. Sementara pada yang memiliki jaminan kesehatan hanya
terdapat 53 kunjungan. Probabilitas ini hampir serupa dengan pola pemanfaatan rawat
jalan ke Puskesmas, dimana probabilitas penduduk yang tidak memiliki jaminan
kesehatan lebih banyak berobat jalan ke Puskesmas dibandingkan dengan penduduk yang
memiliki jaminan kesehatan.
Sama halnya dengan Puskesmas/Pustu, penduduk yang berobat ke Praktek
Petugas Kesehatan lebih banyak yang berpenghasilan rendah dibandingkan dengan yang
berpendapatan tinggi. Makin rendah pendapatan rumah-tangga makin besar
kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan, apakah dia memiliki
jaminan kesehatan, lebih-lebih jika tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah kunjungan
rawat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan menurut kelompok pekerjaan. Dari panel
tersebut tampak bahwa petani merupakan penduduk yang paling banyak berobat jalan ke
Praktek Petugas Kesehatan.
Jika dilihat perbedaan antar wilayah tampak bahwa penduduk DKI Jakarta dan
Jawa Barat merupakan yang paling sedikit berobat jalan ke Praktek Petugas kesehatan.
Sementara yang paling banyak berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan adalah
penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Relatif rendahnya
Asuransi Kesehatan Nasional 36
penduduk DKI Jakarta yang berobat jalan ke Praktek Petugas Kesehatan bisa dipahami
mengingat banyaknya pilihan tempat berobat yang dapat dikunjungi oleh penduduk DKI
Jakarta. Sebagaimana dikemukakan di muka, rasio dokter dengan penduduk di DKI
Jakarta memang tinggi dan fasilitas kesehatan modern lain juga lebih banyak dijumpai di
DKI Jakarta.
Penduduk perdesaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat jalan Praktek
Petugas Kesehatan dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Hal ini bisa dimengerti
antara lain karena praktek petugas kesehatan (selain dokter) memang lebih banyak
dijumpai di daerah perdesaan dibandingkan di daerah perkotaan. Probabilitas berobat
jalan ke Praktek Petugas Kesehatan menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang
memiliki jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki
jaminan kesehatan. Seperti halnya dengan pemanfaatan rawat jalan Puskesmas/Pustu,
panel tersebut juga memperlihatkan bahwa pelayanan Praktek Petugas Kesehatan lebih
banyak digunakan oleh penduduk yang berpendidikan rendah. Makin tinggi tingkat
pendidikan penduduk, makin kecil kemungkinannya berobat jalan ke Praktek Petugas
Kesehatan.
Dari uraian di atas tampak bahwa karakteristik pengguna Praktek Petugas
Kesehatan hampir sama dengan karakteristik pengguna Puskesmas/Pustu. Pada umumnya
mereka berpenghasilan kecil, berpendidikan rendah, dan tinggal di perdesaan.
Probabilitas Mengalami Rawat Inap Analisis probabilitas rawat inap dalam studi ini dilakukan antara lain untuk
melihat seberapa besar konsumsi rawat inap penduduk yang memiliki dan tidak memiliki
jaminan kesehatan di masing-masing fasilitas kesehatan. Berapa besar perbedaan
probabilitas rawat inap ke RS Pemerintah dan RS swasta antara penduduk yang memiliki
jaminan kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan
kesehatan.
Probabilitas penduduk yang mengalami rawat inap di RS Pemerintah 48% lebih
besar pada penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dibandingkan dengan penduduk
yang yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Setiap 1.000 penduduk yang memiliki
jaminan kesehatan mengkonsumsi 299 hari rawat di RS Pemerintah. Sementara penduduk
Asuransi Kesehatan Nasional 37
yang tidak memiliki jaminan kesehatan mengkonsumsi 202 hari rawat. Jumlah hari rawat
RS Pemerintah penduduk yang memiliki dana/kartu sehat lebih kecil lagi, yaitu 183 hari
rawat per 1.000 orang.
Gambar 2.17.
Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang,
Susenas 1995 dan 1998
Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, Gambar 2.18. tampak
bahwa pelayanan rawat inap RS Pemerintah lebih banyak digunakan oleh penduduk yang
berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpendapatan rendah.
Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar kemungkinannya rawat inap di RS
Pemerintah, apakah dia memiliki jaminan kesehatan maupun tidak. Jumlah hari rawat di
RS Pemerintah penduduk terkaya sekitar 5,7 kali lipat dari penduduk berpenghasilan
terendah. Setiap 1.000 penduduk terkaya (decile 10) yang memiliki jaminan kesehatan
menggunakan rawat inap sebanyak 496 hari rawat di RS Pemerintah selama satu tahun,
sementara pada penduduk termiskin (decile 1) hanya menggunakan rawat inap sekitar 89
hari rawat.
179
303
152199
0
100
200
300
1995 1998
Jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 38
Gambar 2.18.
Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
Temuan ini menunjukkan bahwa subsidi pada pelayanan rawat inap RS
Pemerintah sebenarnya lebih banyak dinikmati oleh penduduk yang berpenghasilan
tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu,
subsidi pelayanan kesehatan sebaiknya tidak diberikan melalui fasilitas kesehatan
melainkan diberikan langsung kepada penduduk miskin yang menjadi kelompok sasaran.
Gambar 2.19. memperlihatkan perbedaan jumlah hari rawat inap per 1.000
penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari panel dan gambar tersebut tampak bahwa
petani merupakan penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat inap RS
Pemerintah. Sementara penduduk yang berstatus sebagai majikan dan pegawai swasta
justru yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Pemerintah. Dalam
satu tahun, konsumsi rawat inap petani adalah 196 hari rawat per 1.000 orang, sementara
konsumsi pegawai negeri mencapai 1,5 kalinya (309 hari rawat). Perbedaan antar
kelompok pekerjaan ini konsisten dengan perbedaan antar kelompok penghasilan dimana
petani pada umumnya adalah yang berpendapatan rendah dan yang paling sedikit
menggunakan pelayanan rawat inap.
90135
166191
218240
266302
352
494
73112
137159
179200
224254
299
422
050
100150200250300350400450500
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 39
Gambar 2.19.
Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan
pelayanan rawat inap RS Pemerintah. Sementara yang paling sedikit menggunakan
pelayanan rawat inap RS Pemerintah adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah,
DIY, dan Jawa Timur. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat
inap RS Pemerintah dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Untuk kelompok yang
memiliki jaminan kesehatan, jumlah hari rawat penduduk perkotaan (327 hari rawat per
1.000 penduduk) adalah sekitar 40% lebih besar dibandingkan dengan jumlah hari rawat
penduduk perdesaan (232 hari rawat per 1.000 penduduk). Sementara untuk penduduk
yang tidak memiliki jaminan kesehatan, perbedaannya mencapai 60% dimana jumlah hari
rawat inap penduduk perdesaan adalah 165 hari rawat dan penduduk perkotaan adalah
262 hari rawat per 1.000 orang. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena akses penduduk
perkotaan terhadap RS Pemerintah lebih mudah dibandingkan penduduk perdesaan,
sebab RS Pemerintah umumnya terletak di daerah perkotaan.
Gambar 2. 20. menunjukkan perbedaan jumlah hari rawat per 1.000 penduduk
menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan kesehatan,
dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari panel dan
309 297
196
333306
208
161
242220
100
150
200
250
300
350
PNS Peg Swasta Petani Pedagang Lainnya
Jaminan Non-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 40
gambar tersebut tampak bahwa pelayanan rawat inap RS Pemerintah lebih banyak
dimanfaatkan oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat
pendidikan penduduk, makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat inap
RS Pemerintah.
Gambar 2.20.
Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Pemerintah Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998
Konsumsi rawat inap di RS Swasta lebih kecil dibandingkan dengan rawat inap di
RS Pemerintah. Pada penduduk yang memiliki jaminan misalnya, jumlah konsumsi hari
rawat di RS Pemerintah per 1.000 penduduk adalah 303 hari rawat, sedangkan di RS
Swasta lebih kecil, yaitu hanya 225 hari rawat. Perbedaan tersebut lebih besar lagi pada
penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Jumlah hari rawat di RS Swasta yang
digunakan penduduk menurut karakteristik sosial demografi dan kepemilikan jaminan
kesehatan.
Gambar 2.21. tampak bahwa secara keseluruhan konsumsi rawat inap RS Swasta
oleh penduduk yang memiliki jaminan kesehatan 80% lebih banyak dibandingkan dengan
penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Konsumsi rawat inap RS Swasta dari
setiap 1.000 penduduk adalah 225 hari rawat, sedangkan pada penduduk yang tidak
memiliki jaminan kesehatan hanya mengkonsumsi 119 hari rawat. Konsumsi hari rawat
di RS Swasta dari penduduk yang memiliki dana/kartu sehat lebih kecil lagi, yaitu 102
hari rawat per 1.000 orang.
270 287 304 311
372
171 189232
268
355
100
200
300
400
TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 41
Gambar 2.21.
Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang,
Susenas 1995 dan 1998
Jika dilihat menurut kelompok pengeluaran rumah-tangga, pada Gambar 2.22.
tampak bahwa pelayanan rawat inap di RS Swasta lebih banyak digunakan oleh
penduduk yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan penduduk yang
berpendapatan rendah. Makin tinggi pendapatan rumah-tangga makin besar
kemungkinannya rawat inap di RS Swasta, apakah dia memiliki jaminan kesehatan
maupun tidak. Konsumsi hari rawat RS Swasta dari penduduk terkaya adalah 15-16 kali
penduduk yang berpenghasilan terendah. Konsumsi rawat inap penduduk terkaya (decile
10) yang memiliki jaminan kesehatan selama satu tahun adalah sebanyak 482 hari rawat
per 1.000 orang, sementara pada penduduk termiskin (decile 1) hanya sekitar 30 hari
rawat.
108
225
86119
0
50
100
150
200
250
1995 1998
Jaminan
Non
Asuransi Kesehatan Nasional 42
Gambar 2.22.
Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
Gambar 2.23. memperlihatkan perbedaan jumlah hari rawat inap RS Swasta per
seribu penduduk menurut kelompok pekerjaan. Dari gambar tersebut tampak bahwa
penduduk yang paling sedikit menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta adalah
mereka yang bekerja sebagai petani. Sementara penduduk yang bekerja sebagai pegawai
negeri adalah yang paling banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta.
Konsumsi rawat inap RS Swasta oleh petani adalah 112 hari rawat per 1.000 orang,
sementara konsumsi pegawai negeri mencapai dua kali lipatnya (202 hari rawat).
30 52 75 94 117 137163
201261
479
24 38 55 70 86 103 124153
201
373
0
100
200
300
400
500
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 43
Gambar 2.23.
Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
Penduduk DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah yang paling banyak menggunakan
pelayanan rawat inap RS Swasta. Sementara yang paling sedikit menggunakan pelayanan
rawat inap RS Swasta adalah penduduk yang tinggal di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa
Timur. Penduduk perkotaan lebih banyak menggunakan pelayanan rawat inap RS Swasta
dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Untuk penduduk yang memiliki jaminan
kesehatan, jumlah hari rawat RS Swasta penduduk perkotaan (253 hari rawat per 1.000
orang) adalah 78% lebih besar dibandingkan dengan penduduk perdesaan (142 hari
rawat per 1.000 orang). Sementara untuk penduduk yang tidak memiliki jaminan
kesehatan, perbedaannya mencapai dua kali lipat dimana konsumsi rawat inap penduduk
perdesaan hanya sebesar 85 hari rawat per 1.000 orang, sementara konsumsi penduduk
perkotaan sebesar 181 hari rawat per 1.000 orang. Dengan demikian, penduduk perdesaan
mengkonsumsi rawat inap RS Swasta lebih kecil dan lebih kecil lagi jika mereka tidak
memiliki jamiman kesehatan.
Gambar 2.24. menunjukkan perbedaan jumlah hari rawat RS Swasta per seribu
penduduk menurut kelompok pendidikan antara penduduk yang memiliki jaminan
kesehatan, dana/kartu sehat, dan penduduk yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Dari
228 221
112
267237
127
81
159142
50
100
150
200
250
300
PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 44
panel tersebut tampak bahwa pelayanan rawat inap RS Swasta lebih banyak
dimanfaatkan oleh penduduk yang berpendidikan lebih tinggi. Makin tinggi tingkat
pendidikan penduduk, makin besar kemungkinannya menggunakan pelayanan rawat inap
RS Swasta. Untuk kelompok yang memiliki jaminan kesehatan, jumlah konsumsi rawat
inap RS Swasta penduduk yang kepala rumah-tangganya tamat D1-S3 (316 hari rawat)
adalah 1,7 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak sekolah/tidak tamat SD (182
hari rawat). Perbedaan tersebut lebih besar lagi pada penduduk yang tidak memiliki
jaminan kesehatan, dimana konsumsi rawat inap penduduk yang kepala rumah-tangganya
berpendidikan D1-S3 (318 hari rawat) adalah sekitar tiga kali lipat dibandingkan dengan
penduduk yang kepala rumah-tangganya tidak sekolah/tidak tamat SD.
Gambar 2.24.
Perbedaan Angka Hari Rawat Rumah Sakit Swasta Per 1.000 orang Menurut Pendidikan, Susenas 1998
Masalah Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan merupakan isu yang paling kritis berkaitan dengan upaya
pengembangan asuransi kesehatan. Oleh karena itu, perlu dilihat seberapa besar
sebenarnya beban biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh rumah-tangga jika ada
anggota rumah-tangganya yang mengalami sakit (rawat jalan ataupun rawat inap).
186 205 222 231
319
94 107147
188
313
0
100
200
300
400
TS/TT-SD SD SLTP SLTA PT
JaminanNon-jaminan
Asuransi Kesehatan Nasional 45
Apakah beban biaya rawat jalan dan rawat inap yang harus ditanggung masih dapat
ditutup dengan oleh penghasilan rumah-tangga atau beban biaya tersebut lebih besar dari
penghasilan rumah-tangga selama satu bulan. Studi ini mencoba menjawab pertanyaan
tersebut dengan membandingkan rata-rata biaya rawat jalan dan rawat inap yang harus
ditanggung oleh rumah-tangga jika ada anggotanya yang mengalami sakit dengan rata-
rata penghasilan rumah-tangga satu bulan.
Isu lain yang juga menarik berkaitan dengan pembiayaan kesehatan adalah
seberapa besar kemampuan membayar (ability to pay) masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan. Dari gambaran ability to pay tersebut dapat diperkirakan besarnya premi
asuransi kesehatan yang secara potensial dapat dikenakan pada masyarakat menurut
karakteristik sosial-demografi penduduk.
Beban Biaya Kesehatan Rumah-tangga Analisis tentang beban biaya kesehatan penting dilakukan untuk melihat besarnya
beban biaya kesehatan (rawat jalan dan rawat inap) yang harus ditanggung oleh rumah-
tangga jika ada anggota rumah-tangganya yang sakit. Apakah beban biaya kesehatan
tersebut masih terpikul oleh penghasilan rumah-tangga. Selanjutnya dapat dianalisis
pelayanan mana (rawat jalan atau rawat inap) yang dari sisi risiko biayanya perlu dicakup
dalam paket asuransi.
Beban biaya kesehatan rawat jalan disini dihitung dari rata-rata (median) biaya
rawat jalan yang dikeluarkan oleh rumah-tangga yang selama sebulan lalu ada anggota
keluarganya yang berobat jalan. Sedang beban biaya rawat inap dihitung dari rata-rata
(median) biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga yang selama satu tahun
terakhir ada anggota keluarganya yang dirawat inap. Besarnya biaya rawat jalan dan
rawat inap yang dikeluarkan oleh rumah-tangga menurut karakteristik sosial-demografi.
Gambar 2.25. tampak bahwa secara keseluruhan (total) rata-rata pengeluaran
rumah-tangga mengalami peningkatan, dari Rp 233.000,- pada tahun 1995 menjadi Rp
335.000,- pada tahun 1998. Sementara rata-rata biaya rawat jalan yang dikeluarkan
menurun tajam dari Rp 30.000,- pada tahun 1995 menjadi sekitar separuhnya Rp
16.000,- Tetapi rata-rata biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga meningkat
tajam dari Rp 345.000,- pada tahun 1995 menjadi Rp 573.000,- pada tahun 1998.
Besarnya biaya rawat jalan yang dikeluarkan rumah-tangga (Rp 16.000,-) hanya
Asuransi Kesehatan Nasional 46
sekitar 4,8 persen dari rata-rata penghasilan rumah-tangga (Rp 335.000,-). Dengan
demikian beban biaya rawat jalan terhadap penghasilan rumah-tangga tidak terlalu besar.
Artinya, risiko finansial akibat rawat jalan secara umum masih bisa diatasi dari
penghasilan rumah-tangga.
Sebaliknya, besarnya biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga (Rp 573
.000,-) sekitar 1,7 kali lebih besar dari rata-rata penghasilan rumah-tangga (Rp 335.000).
Besarnya biaya rawat inap tersebut menggambarkan bahwa biaya rawat inap jauh lebih
besar jika dibandingkan dengan rata-rata penghasilan rumah-tangga. Jika ada anggota
rumah-tangga yang harus dirawat inap, beban biayanya tidak bisa dicukupi dari
penghasilan rumah-tangga sebulan.
Gambar 2.25.
Beban Biaya Kesehatan Rumah Tangga (% Pengeluaran RT), Susenas 1995 dan 1998
Temuan ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk memilih pelayanan mana (rawat
inap atau rawat jalan) yang secara finansial mendesak untuk dicakup dalam paket
pelayanan asuransi. Besarnya beban biaya rawat inap dibandingkan dengan penghasilan
rumah-tangga mengindikasikan tentang perlunya memprioritaskan jaminan pelayanan
rawat inap dibandingkan dengan jaminan pelayanan rawat jalan. Untuk biaya pelayanan
rawat jalan data di atas menunjukkan bahwa rumah-tangga masih mampu membiayainya
dari penghasilannya sendiri, sedangkan biaya rawat inap tidak dapat dicukupi dengan
233189
334912
30270 16203
344954
572574
0
200000
400000
600000
1995 1998
Pengeluaran RTBiaya RajalBiaya Ranap
15%
170%
Asuransi Kesehatan Nasional 47
penghasilan rumah-tangganya.
Jika dilihat menurut kelompok penghasilan, pada Gambar 2.26. tampak bahwa
beban biaya rawat jalan dan rawat inap yang harus ditaggung rumah-tangga miskin lebih
besar/berat dibandingkan dengan rumah-tangga kaya. Meskipun rata-rata biaya rawat
jalan rumah-tangga termiskin (decile 1) secara absolut adalah yang paling kecil (Rp
8.000,-), namun karena penghasilannya juga kecil maka beban biaya rawat jalan terhadap
penghasilan rumah-tangga tersebut menjadi besar. Beban biaya rawat jalan pada
kelompok penghasilan terendah (decile 1) adalah sekitar 6,5 persen dari penghasilan
rumah-tangga. Sebaliknya pada rumah-tangga terkaya (decile 10), meskipun nilai absolut
biaya rawat jalannya adalah yang terbesar (Rp 31.000,-), tetapi karena penghasilan
rumah-tanggaya juga besar (Rp 937.000,-) maka beban biaya rawat jalan dibandingkan
dengan penghasilan rumah-tangga mereka menjadi kecil. Pada kelompok penghasilan
terbesar (decile 10) besarnya biaya rawat jalan hanya sekitar 3,4 persen dari penghasilan
rumah-tangga.
Gambar 2.26.
Beban Biaya Kesehatan Rumah Tangga Menurut Kelompok Penghasilan, Susenas 1998
Berbeda dengan beban biaya rawat jalan terhadap penghasilan rumah-tangga
yang relatif kecil, beban biaya rawat inap jauh lebih besar dibandingkan penghasilan
6.5 5.67 5.54 5.11 4.99 5.12 4.35 4.22 4.34 3.35
230
133 135 125 135120
107131
45
138
0
50
100
150
200
250
Desil 1 Desil 2 Desil 3 Desil 4 Desil 5 Desil 6 Desil 7 Desil 8 Desil 9 Desil 10
% Biaya Rajal
% Biaya Ranap
Penghasilan RT
Asuransi Kesehatan Nasional 48
rumah-tangga. Beban biaya rawat inap rumah-tangga miskin lebih besar/berat
dibandingkan dengan rumah-tangga kaya. Beban biaya rawat inap kelompok penghasilan
termiskin (decile 1) adalah sekitar 2,3 kali penghasilan rumah-tangga, sementara pada
rumah-tangga terkaya (decile 10) besarnya biaya rawat inap tersebut hanya 1,4 kali dari
penghasilan rumah-tangga, padahal secara absolut biaya rawat inapnya yang terbesar
(Rp 1.300.000,-).
Gambar 2.27. memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan antara
pengeluaran rumah-tangga petani dengan jenis pekerjaan lainnya. Dibandingkan dengan
pengeluaran rumah-tangga pegawai negeri (Rp 533.471,- per bulan) misalnya,
pengeluaran rumah-tangga petani (Rp 240.131,- per bulan) kurang dari setengahnya.
Perbedaan besarnya pengeluaran rumah-tangga tersebut diduga berpengaruh pula pada
perbedaan biaya rawat jalan dan rawat inap yang dikeluarkan. Biaya rawat jalan yang
dikeluarkan rumah-tangga pegawai negeri (Rp 26.642,-) sekitar 2,7 kali lipat biaya rawat
jalan yang dikeluarkan rumah-tangga petani (Rp 9,723). Sementara biaya rawat inap yang
dikeluarkan rumah-tangga pegawai negeri (Rp 714.271,-) sekitar 1,7 kali lipat
dibandingkan biaya rawat inap yang dikeluarkan rumah-tangga petani (Rp 413.305,-).
Namun demikian beban biaya rawat inap rumah-tangga petani (sekitar 1,7 kali
penghasilan per bulan) lebih besar dibandingkan beban biaya rawat inap yang ditanggung
rumah-tangga pegawai negeri (hanya sekitar 1,3 kali penghasilan per bulan).
Asuransi Kesehatan Nasional 49
Gambar 2.27.
Beban Biaya Kesehatan Rumah Tangga Menurut Pekerjaan, Susenas 1998
Perbedaan besarnya beban biaya rawat jalan dan rawat inap menurut wilayah.
Tampak bahwa rata-rata penghasilan rumah-tangga di DKI Jakarta/Jawa Barat
merupakan yang tertinggi (Rp 450.000,-), namun karena besarnya biaya rawat jalan dan
rawat inap di DKI Jakarta/Jawa barat juga besar, maka beban biaya rawat jalan dan rawat
inap terhadap penghasilan rumah-tangga di Jawa Barat/DKI Jakarta juga lebih besar
dibandingkan dengan beban yang dialami penduduk propinsi lainnya. Rata-rata biaya
rawat jalan rumah-tangga di DKI Jakarta/Jawa Barat adalah sekitar 5,5 persen
penghasilan rumah-tangga sebulan. Sedangkan biaya rawat inap yang harus ditanggung
rumah-tangga DKI Jakarta/Jawa Barat adalah sekitar 2,4 kali rata-rata penghasilan
rumah-tangga mereka. Sementara di propinsi yang lain, meskipun rata-rata penghasilan
rumah-tangganya kecil tetapi karena rata-rata biaya rawat jalan dan rawat inapnya juga
lebih kecil maka beban biaya kesehatan yang ditanggung rumah-tangga juga kecil. Beban
biaya rawat inap yang ditanggung penduduk di Sulawesi, Papua, Maluku, Bali, NTB, dan
NTT adalah yang terkecil dibandingkan dengan propinsi lainnya, khususnya propinsi-
propinsi di Pulau Jawa, yaitu antara 1-1,2 kali penghasilan rumah-tangga mereka sebulan.
Perbedaan beban biaya rawat jalan dan rawat inap menurut daerah perdesaan dan
533471
357050
240131
384753347317
26642 16371 9723 18558 18975
714271
491533
413305
570690
672503
0
200000
400000
600000
800000
PNS Peg. Swasta Petani Pedagang Lainnya
Penghasilan Biaya Rajal Biaya Ranap
Asuransi Kesehatan Nasional 50
perkotaan. Dari tabel tersebut tampak bahwa rata-rata biaya rawat jalan dan rawat inap di
daerah perkotaan (masing-masing Rp 23.000,- dan Rp 678.000,-) lebih besar
dibandingkan dengan biaya rawat jalan dan rawat inap di daerah perdesaan (masing-
masing Rp 11.000,- dan Rp 448.000,-). Demikian halnya dengan penghasilan rumah-
tangga di daerah perkotaan (Rp 454.000,-) jauh lebih besar dibandingkan rata-rata
penghasilan rumah-tangga di daerah perdesaan (Rp 252.000,-). Adanya perbedaan biaya
rawat jalan dan rawat inap yang ditanggung rumah-tangga dan perbedaan penghasilan
rumah-tangga antara daerah perdesaan dan perkotaan tersebut berakibat pada perbedaan
beban biaya rawat jalan dan rawat inap antara rumah-tangga di perdesaan dan di
perkotaan. Untuk biaya rawat jalan, rumah-tangga perkotaan menanggung beban lebih
besar/berat (5,1 persen dari penghasilan rumah-tangga sebulan) dibandingkan dengan
rumah-tangga perdesaan (4,4 persen dari pendapatan rumah-tangga sebulan). Sedangkan
untuk biaya rawat inap, rumah-tangga perdesaan menanggung beban yang lebih besar
(1,8 kali penghasilan rumah-tangga) dibandingkan dengan rumah-tangga perkotaan (1,5
kali penghasilan rumah-tangga).
Perbedaan beban biaya rawat jalan dan rawat inap menurut pendidikan kepala
rumah-tangga. Beban biaya rawat inap yang harus dipikul oleh rumah-tangga yang
pendidikan kepala rumah-tangganya rendah adalah lebih besar/berat dibandingkan
dengan yang pendidikan kepala rumah-tangganya tinggi. Beban biaya rawat inap rumah-
tangga yang berpendidikan SD adalah sekitar 2,2 kali penghasilan rumah-tangga sebulan,
sementara pada yang berpendidikan tinggi (D1-S3) hanya 1,7 kali penghasilan rumah-
tangga sebulan.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa beban biaya kesehatan lebih tinggi pada
kelompok penduduk yang berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah, dan tinggal di
perdesaan. Dengan demikian, dari sisi risiko finansial merekalah yang sebenarnya amat
membutuhkan asuransi/jaminan kesehatan.
Kemampuan Membayar Pelayanan Kesehatan
Di satu sisi beban biaya kesehatan lebih banyak dirasakan oleh kelompok
penduduk yang berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah, dan tinggal di perdesaan
Asuransi Kesehatan Nasional 51
sehingga merekalah yang sebenarnya membutuhkan asuransi/jaminan kesehatan. Namun
di sisi lain, kemampuan membayar kelompok tersebut juga rendah sehingga sulit untuk
mampu membayar premi asuransi. Oleh karena itu, kelompok tersebut perlu memperoleh
subsidi. Tapi benarkah kelompok tersebut memiliki kemampuan membayar rendah?
Tabel 2.13a. memperlihatkan perbedaan kemampuan membayar masyarakat menurut
karekteristik sosial demografi rumah-tangga.
Secara keseluruhan besarnya ATP masyarakat adalah Rp 41.000,- (atau sekitar
12,2 persen dari total pengeluaran rumah-tangga). ATP masyarakat sebesar Rp 41.000,-
tersebut termasuk tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata biaya rawat jalan yang harus
dikeluarkan jika ada anggota rumah-tangga yang berobat jalan. Kemampuan masyarakat
tersebut sekitar 2,5 kali rata-rata biaya rawat jalan. Namun jika dibandingkan dengan
biaya rawat inap, ATP tersebut hanya setara 7,2 persen dari rata-rata biaya rawat inap.
Temuan ini memperkuat argumen lebih mendesaknya mencakup pelayanan rawat
inap dalam paket asuransi kesehatan dibandingkan dengan pelayanan rawat jalan.
Artinya, risiko finansial yang harus ditanggung oleh rumah-tangga jika ada anggotanya
yang dirawat inap adalah jauh lebih besar dibandingkan dengan jika hanya berobat jalan.
Karena risiko finansial rawat inap lebih besar maka jaminan pelayanan rawat inap lebih
mendesak untuk dicakup dalam paket asuransi, sebab pada hakekatnya asuransi
merupakan mekanisme pembagian risiko (risk sharing), yaitu risiko yang besar jika
ditanggung individu akan menjadi kecil jika ditanggung bersama-sama (kelompok).
Kemampuan membayar masyarakat (ATP) di sini didefinisikan sebagai
pengeluaran kesehatan ditambah pengeluaran non-essensial (pesta/upacara, alkohol, dan
tembakau/sirih). Namun perlu pula dicatat bahwa konsep ATP seperti itu mengasumsikan
bahwa masyarakat dengan mudah dapat mengubah (switch) alokasi pegeluaran non-
esensial (alkohol, tembakau, pesta) untuk biaya kesehatan. Dalam pratek, ada saja
masyarakat yang sulit mengurangi biaya pesta atau tembakau untuk biaya kesehatan,
meskipun disadari bahwa pengeluaran untuk kesehatan jauh lebih penting dibandingkan
dengan pengeluaran untuk pesta, tembakau, apalagi untuk alkohol.
Rata-rata pengeluaran untuk membeli rokok (tembakau/sirih, yaitu Rp 17.349,-)
lebih besar dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran kesehatan (Rp 14.664,-).
Sementara rata-rata pengeluaran untuk pesta/ upacara sekitar 58 persen dari pengeluaran
Asuransi Kesehatan Nasional 52
kesehatan. Dengan demikian, jika gaya hidup masyarakat dapat dibuat menjadi lebih
rasional dengan lebih mementingkan aspek kesehatan maka sebenarnya masyarakat
memiliki potensi besar untuk membiaya kesehatannya.
Jika dilihat dari perbedaan menurut kelompok penghasilan tampak bahwa
besarnya ATP berkaitan dengan besarnya penghasilan rumah-tangga. Makin tinggi
penghasilan rumah-tangga makin besar pula ATP-nya. Secara absolut nilai ATP
kelompok rumah-tangga berpenghasilan tertinggi (decile 10) adalah Rp 118.341,- atau
8,8 kali nilai ATP kelompok rumah-tangga berpenghasilan terendah (decile 1) yang
sebesar Rp 13.444,-.
Perbedaan ATP menurut jenis pekerjaan penduduk menunjukkan bahwa rumah-
tangga petani memiliki ATP yang paling rendah dibandingkan dengan rumah-tangga
pegawai negeri, pegawai swasta, pedagang, dan lainnya. ATP rumah-tangga petani (Rp
30.769,-) hanya sekitar separuh ATP rumah-tangga pegawai negeri (Rp 58.782,-).
Perbedaan ATP menurut wilayah/propinsi. ATP tertinggi dijumpai pada rumah-tangga di
DKI Jakarta/Jawa Barat (Rp 49.427,-) dan Kalimantan (Rp 47.012,-). Sedangkan ATP
terendah terdapat pada rumah-tangga di Jawa Tengah/DIY (Rp 32.641,-) dan Jawa
Timur (Rp 33.458,-). Kemampuan membayar penduduk perkotaan (Rp 52.565,-) sekitar
1,6 kali ATP penduduk perdesaan (Rp 32.965,-). Meskipun secara absolut ATP penduduk
perdesaan lebih kecil dibandingkan ATP penduduk perkotaan, namun jika dilihat
persentasenya terhadap pengeluaran rumah-tangga, persentase ATP terhadap pengeluaran
peduduk perdesaan (13,1 persen) lebih besar dibandingkan dengan persentase serupa
pada penduduk perkotaan (11,6 persen).
Jika dilihat dari pendidikan kepala rumah-tangga, ATP tertinggi ada pada rumah-
tangga yang pendidikan kepala rumah-tangganya D3-S1 (Rp 65.964,-). Sedangkan yang
ATP-nya terendah adalah yang kepala rumah-tangganya tidak sekolah/tidak tamat SD
(Rp 25.389,-). Makin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah-tangga makin besar
pengeluaran rumah-tangganya dan makin besar pula ATP-nya.
Jika diasumsikan bahwa besarnya ATP ini sama dengan besarnya potensi
penduduk membayar premi asuransi kesehatan, maka penduduk yang berpotensi
membayar premi tinggi adalah penduduk yang tinggal di perkotaan, yang tinggal di DKI
Asuransi Kesehatan Nasional 53
Jakarta/Jawa Barat, dan Kalimantan, yang pendidikan kepala rumah-tangganya tinggi,
dan yang berpenghasilan tinggi. Sementara penduduk yang memiliki risiko finansial
besar dalam menanggung biaya kesehatan adalah penduduk yang tinggal di perdesaan,
yang pendidikan kepala rumah-tangganya rendah, dan yang berpenghasilan rendah.
Gambaran ini memperkuat perlunya cakupan asuransi yang bersifat universal dan wajib,
yang memungkinkan terjadinya subsidi silang (cross subsidy) antara mereka yang mampu
(dan karenanya risiko finansialnya kecil) terhadap mereka yang kurang mampu (sehingga
risiko finansialnya besar).
Kemauan Membayar Pelayanan Kesehatan Kemauan membayar (Willingness to pay = WTP) disini diartikan maximum
actual payment yaitu jumlah tertinggi yang secara nyata telah dibayarkan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan (rawat jalan dan rawat inap) yang mereka peroleh. Secara
keseluruhan besarnya WTP masyarakat untuk pelayanan rawat jalan menurut Susenas
1998 adalah Rp 324.000,-. Sedangkan WTP untuk pelayanan rawat inap adalah sebesar
60 juta rupiah. WTP sebesar Rp 324.000,- untuk rawat jalan dan 60 juta rupiah untuk
rawat inap tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata ATP mereka.
Jika dilihat dari perbedaan menurut kelompok penghasilan tampak bahwa
besarnya WTP tidak berkaitan secara konsisten dengan besarnya pendapatan rumah-
tangga. Rumah-tangga yang berpenghasilan besar tidak selalu memiliki WTP lebih besar.
Misalnya, WTP rumah-tangga kelompok pendapatan decile 5 lebih besar dibandingkan
dengan kelompok decile 6, decile 7, dan decile 8.
Tidak konsistennya hubungan WTP dengan penghasilan rumah-tangga tersebut
sejalan dengan sifat inelastis dari komoditas kesehatan. Pada komoditas yang bersifat
inelastis, persentase perubahan harga lebih besar dibandingkan dengan persentase
perubahan jumlah barang yang diminta. Sifat pelayanan kesehatan yang dapat
dikategorikan sebagai barang primer (essential goods) memungkinkan seseorang untuk
terus-menerus berusaha memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatannya, berapapun biaya
yang harus dikeluarkan. Dalam dunia kesehatan ada fenomena yang dikenal sebagai the
law of medical money, dimana upaya mencari pelayanan kesehatan akan terus dilakukan
sampai dana yang tersedia habis. Jika biaya kesehatan tidak dapat ditutupi oleh
Asuransi Kesehatan Nasional 54
penghasilan sebulan, maka kekurangannya akan ditutup dari tabungan. Jika dana
tabungan masih juga kurang, maka mereka akan berusaha menjual aset-aset yang dimiliki
atau mencari pinjaman dari kerabat/orang lain. Dalam kaitan itulah, maka bisa dipahami
jika WTP pelayanan kesehatan lebih besar dibandingkan dengan kemampuan membayar
(ATP).
Perbedaan WTP menurut jenis pekerjaan penduduk. Dari tabel tersebut tampak
bahwa pegawai negeri memiliki WTP tertinggi, baik untuk rawat jalan maupun rawat
inap. Sedangkan kelompok yang memiliki WTP paling rendah adalah petani, baik untuk
rawat jalan maupun rawat inap. Perbedaan WTP rumah-tangga menurut wilayah/propinsi.
WTP untuk pelayanan rawat inap tertinggi adalah di wilayah DKI Jakarta/Jawa Barat (60
juta rupiah), sedangkan yang terendah adalah di wilayah Maluku dan Irian Jaya.
Demikian halnya dengan WTP untuk rawat jalan terendah juga terdapat di Maluku dan
Irian Jaya. Sementara, WTP terendah baik untuk pelayanan rawat jalan maupun rawat
inap, jika dilihat dari pendidikan kepala rumah-tangga adalah yang tidak sekolah atau
tidak tamat SD.
Target Peserta Jaminan Kesehatan Salah satu hal yang juga amat penting untuk diperhatikan dalam upaya
pengembangan jaminan kesehatan adalah berkaitan dengan jumlah dan karakteristik
peserta yang akan dijadikan sebagai sasaran. Berapkah jumlah penduduk yang hendak
dicakup dalam sistem jaminan kesehatan dan dimana mereka berada? Bagaimana
karakteristik mereka, seberapa besar di antara mereka yang termasuk dalam kelompok
terorganisir dan berapa yang termasuk dalam kelompok tidak terorganisir? Pertanyaan
tersebut penting artinya karena terorganisir-tidaknya masyarakat akan berpengaruh pada
mudah-tidaknya pencapaian target pengembangan jaminan kesehatan.
Jumlah target peserta jaminan kesehatan menurut data Susenas 1995 dan 1998.
Berdasarkan Susenas 1998 jumlah penduduk yang dapat dijadikan sebagai target peserta
jaminan kesehatan sebanyak 202,6 juta. Jika dilihat dari jenis pekerjaan mereka, dari
jumlah tersebut hanya sekitar sepertiga (31,8 persen) yang merupakan kelompok
Asuransi Kesehatan Nasional 55
terorganisir1. Jangkauan kepesertaan jaminan kesehatan kepada mereka (yang bekerja
sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta) relatif lebih mudah dibandingkan dengan
jangkauan kepesertaan kepada kelompok masyarakat lainnya. Sebagian besar target
peserta (68,2 persen) merupakan kelompok tidak terorganisir dimana mereka bekerja
sebagai petani (30,1 persen), pedagang (11,3 persen), dan jenis pekerjaan lainnya (26
persen). Besarnya kelompok masyarakat yang tidak terorganisir ini menunjukkan
besarnya tantangan yang dihadapi dalam upaya pengembangan jaminan kesehatan.
Tantangan tersebut terutama berkaitan dengan cara pengumpulan premi (iuran).
Pengumpulan iuran dari kelompok yang tidak terorganisir lebih sulit dibandingkan
dengan pengumpulan iuran dari kelompok terorganisir.
Dimanakah target peserta berada? Sebagaimana distribusi penduduk Indonesia,
target peserta jaminan kesehatan juga sebagian besar tersebar di Pulau Jawa (58,7 persen)
dan Sumatera (21,1 persen). Sebagian besar (64,3 persen) dari mereka juga tinggal di
perdesaan dan sebagian besar (76 persen) berpendidikan SD ke bawah. Banyaknya
penduduk yang tinggal di daerah perdesaan dan berpendidikan rendah tersebut
merupakan tantangan lain yang dihadapi dalam upaya pengembangan jaminan kesehatan
di Indonesia.
1Penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta diasumsikan sebagai kelompok terorganisir, sebab mereka bekerja pada sebuah unit usaha yang memiliki bentuk organisasi yang jelas.
Asuransi Kesehatan Nasional 56
Bab III Masalah Asuransi Kesehatan Indonesia
Untuk dapat menilai keadaan sekarang tentang penyelenggaraan jaminan
kesehatan, baik berbentuk JPKM maupun asuransi kesehatan pada umumnya, berbagai
analisis dan telaah literatur perlu dibahas secara komprehensif. Di dalam bab ini akan
disajikan suatu rangkuman analisis yang menelaah kondisi kebutuhan jaminan, berbagai
skema jaminan kesehatan di Indonesia, tujuan dan keinginan berbagai pihak terkait
(stakeholders), berbagai pengalaman negara lain, pelajaran yang dapat dipetik dari negara
lain, dan keselarasan antara tujuan dan keinginan yang hendak dicapai dalam bidang
kesehatan dengan sistem asuransi kesehatan yang ada. Departemen kesehatan dalam
dokumen Indonesia Sehat 2010 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah memberikan
jaminan kesehatan kepada seluruh lapisan penduduk secara adil dan merata.9 Cakupan
terhadap seluruh penduduk atau yang dikenal sebagai cakupan Universal memang
merupakan tujuan pembiayaan kesehatan semua negara di dunia. Organisasi Kesehatan
Dunia dalam World Health Report 2000 bahkan sudah mencantumkan proporsi penduduk
yang dicakup asuransi kesehatan yang disebut prepaid system ke dalam salah satu
indikator untuk menilai kinerja sistem kesehatan negara-negara anggotanya.10 Oleh
karenanya, pada bab ini akan dibahas skenario apakah tujuan cakupan universal tersebut
dapat dicapai jika kondisi sekarang akan terus berlangsung.
Kebutuhan asuransi kesehatan Kebutuhan akan jaminan kesehatan sangat jelas terlihat dari data angka
pemanfaatan (utilisasi) pelayanan kesehatan di fasilitas publik (seperti puskesmas dan
rumah sakit umum pemerintah) maupun swasta baik dari data Susenas 1995 maupun dari
data Susenas 1998. Golongan berpendapatan rendah, baik yang bekerja pada sektor
formal maupun informal, memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang jauh lebih
rendah dibandingkan dengan akses golongan berpendapatan tinggi. Kesenjangan tersebut
lebih terasa lagi pada akses rawat inap. Akses terhadap rawat inap penduduk termiskin
adalah hanya 15-20% dibandingkan dengan akses rawat inap penduduk 10% terkaya. Hal
Asuransi Kesehatan Nasional 57
ini menunjukkan bahwa hambatan finansial masih sangat besar peranannya. Ada yang
berpendapat bahwa hal itu sebenarnya tidak terjadi karena pemerintah telah memberikan
subsidi kepada rumah sakit umum daerah maupun pusat, khususnya untuk perawatan
kelas III. Akan tetapi fakta yang dapat diperoleh dari berbagai survei nasional maupun
lokal menunjukkan terdapat kesenjangan akses yang konsisten yang menunjukkan
besarnya hambatan finansial. Subsidi pemerintah ke rumah sakit tidak membebaskan
orang miskin dari seluruh biaya perawatan termasuk biaya obat dan tindakan lainnya.
Program JPSBK yang memberikan dana pengaman sosial melalui subsidi bantuan dana
operasional rumah sakit (OPRS) yang dapat digunakan untuk membantu pasien yang
tidak mampu, belum memadai untuk menjamin mereka yang tidak mampu dapat terbebas
dari biaya rawat inap yang mencekik. Lagi pula, program JPSBK merupakan program
temporer yang belum jelas kesinambungannya.
Beban biaya rawat inap terasa sangat besar, tidak bagi pada kelompok penduduk
termiskin, akan tetapi bagi penduduk yang relatif mampu sekalipun. Jika suatu penyakit
menimpa salah seroang anggota keluara, sebuah keluarga harus mengeluarkan biaya
rawat inap yang lebih besar dari seluruh pengeluaran/ pendapatan rumah tangga sebulan.
Beban biaya rawat inap yang diukur dengan besarnya rata-rata biaya per kali rawat inap
dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran rumah tangga (sebagai proksi terhadap
pendapatan) dapat dilihat pada gambar 3.1 di bawah ini. Dari gambar tersebut tampak
bahwa pada semua golongan penghasilan, pengeluaran rutin rumah tangga sebulan tidak
memadai untuk membayar rawat inap jika salah seorang anggota keluarganya harus
menjalani rawat inap. Rumah tangga akan menghabiskan tabungannya, menjual harta
benda, meminjam, atau harus mencari bantuan orang lain. Pada kelompok desil I (10%
termiskin) beban tersebut jauh lebih besar (2,3 kali belanja rutin rumah tangga sebulan)
dibandingkan dengan beban biaya rawat inap bagi kelompok lainnya yang rata-rata hanya
sedikit lebih tinggi dari belanja sebulan.
Kesenjangan akses dan konsumsi pelayanan rawat jalan memang masih terjadi
antara yang kaya dan yang miskin dan antara berbagai golongan pekerjaan penduduk.
Namun demikian perbedaan akses dan konsumsi rawat jalan tidaklah sebesar perbedaan
akses dan konsumsi rawat inap. Hal ini dapat terjadi karena pelayanan kesehatan di
puskesmas dan puskesmas pembantu telah disediakan dengan harga subsidi dan dengan
Asuransi Kesehatan Nasional 58
obat yang cuma-cuma (obat inpres) yang mudah diakses penduduk kota dan desa. Lagi
pula, biaya rawat jalan di praktek dokter atau klinik swasta sekalipun relatif masih bisa
dijangkau oleh penduduk miskin atau marjinal. Jika mereka tidak mampu membayar jasa
dokter dan obat di fasilitas swasta, fasilitas puskesmas pembantu dan puskesmas dapat
menyediakan pelayanan substitusi dengan harga sangat terjangkau. Besarnya rata-rata
biaya rawat jalan dibandingkan dengan biaya rutin rumah tangga relatif kecil, hanya
berkisar antara 5-7% dari pengeluaran total rumah tangga sebulan. Apabila terjadi
kebutuhan rawat jalan, rumah tangga masih mampu membiayainya tanpa merusak
ekonomi atau belanja rutin rumah tangga. Hal ini tidak terjadi pada pelayanan rawat inap,
dimana obat inpres hampir tidak tersedia dan berbagai pemeriksaan penunjang medis
masih harus dibayar sendiri oleh penduduk miskin sekalipun. Data dari Susenas
menunjukkan bahwa jika terjadi kebutuhan rawat inap, rata-rata rumah tangga Indonesia
harus mengelurkan 100-230% dari pengeluaran rutin sebulan. Hal ini berarti, jika tidak
ada bantuan dana dari pihak lain, sebuah rumah tangga akan kehilangan uang untuk
belanja makan dan belanja rutin lainnya untuk seluruh anggota keluarga selama satu
sampai dua bulan. Keadaan ini dapat menghancurkan kehidupan sebuah rumah tangga,
jika tidak segera diselenggarakan sistem asuransi kesehatan yang memadai.
Gambar 3.1
Beban biaya rawat inap terhadap Pengeluaran rumah tangga Sebulan, 1998
0
0,5
1
1,5
2
2,5
Kal
i
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Kelompok Pendapatan dalam Desil
Asuransi Kesehatan Nasional 59
Beratnya beban rawat inap ini tidak hanya tampak dari data kuantitatif akan tetapi
sudah sangat dirasakan oleh penduduk. Hal ini tercermin dari ungkapan sebagian besar
peserta diskusi kelompok terarah yang memperkuat bahwa seharusnya asuransi kesehatan
atau bantuan sosial diprioritaskan pada rawat inap dan berbagai pengobatan atau tindakan
medis mahal (major medical, catastrophic illnesses, atau dread diseases). Hal ini
memang sesuai dengan teori asuransi atau teori utilitas dimana kemauan masyarakat
untuk berkontribusi dalam suatu skema asuransi dapat terjadi pada kejadian yang
memiliki resiko finansial besar. Sedangkan kejadian yang memiliki resiko finansial kecil
tidak layak untuk dimobilisir dalam bentuk asuransi sosial maupun komersial.
Cakupan Asuransi Kesehatan Cakupan asuransi kesehatan di Indonesia, dalam berbagai bentuk masih sangat
kecil yaitu berkisar 15% dari seluruh penduduk. Hasil studi Thabrany dan Pujianto
dengan menggunakan data Susenas menunjukkan bahwa hanya 14,05% penduduk yang
memiliki jaminan di tahun 1998. Jumlah inipun sebenarnya boleh dikatakan lebih banyak
dari yang sebenarnya jika diperhatikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak seluruhnya
menanggung risiko berat penduduk. Mereka yang mempunyai jaminan melalui dana
sehat misalnya tidak mendapat jaminan yang memadai. Bahkan jaminan Askes yang
diberikan PT Askes masih mengharuskan pesertanya membayar cukup besar. Sementara
pelayanan yang disedikan pemerintah melalui puskesmas dan rumah sakit umum juga
masih membebani masyarakat. Oleh karenanya tantangan di depan sangat besar bagi
Indonesia. Negara tetangga kita seperti Filipina dan Muangtai telah mencapai cakupan 60
dan 70% penduduknya dengan jaminan yang lebih baik.
Asuransi Kesehatan Nasional 60
Tabel 3.2.
Cakupan Asuransi Kesehatan menurut data Susenas 1998.
Punya asuransi
(%)
Dana/ Kartu Sehat (%)
Tidak punya asuransi (%)
Total (%)
JENDER Laki-laki 12,74 1,85 85,41 100,00Perempuan 11,65 1,87 86,48 100,00UMUR 0-4 9,46 2,02 88,53 100,005 -18 10,45 2,05 87,50 100,0019-54 14,52 1,61 83,87 100,0055+ 9,14 2,32 88,54 100,00PENDIDIKAN AYAH
SD 5,09 1,96 92,95 100,00SLTP 18,75 1,53 79,72 100,00SLTA 43,49 1,39 55,12 100,00D1-S3 69,85 0,83 29,32 100,00PENDAPATAN Desile-1 3,60 2,36 94,04 100,00Desile-2 5,59 1,68 92,73 100,00Desile-3 6,26 1,77 91,98 100,00Desile-4 8,72 1,78 89,50 100,00Desile-5 10,81 1,72 87,46 100,00Desile-6 12,92 1,95 85,14 100,00Desile-7 15,92 1,69 82,39 100,00Desile-8 17,52 1,95 80,53 100,00Desile-9 22,62 1,79 75,59 100,00Desile-10 29,20 1,84 68,96 100,00TEMPAT TINGGAL
Kota 21,73 1,42 76,85 100,00Desa 6,32
2,14 1,54 100,00
NASIONAL 12,19 1,86 85,95 100,00Sumber: Thabrany H dan Pujianto, MKI 2000
Asuransi Kesehatan Nasional 61
Kesenjangan akses karena faktor finansial Jika diperhatikan akses rawat inap di berbagai golongan pendapatan, maka sangat
jelas bahwa terdapat kesenjangan besar terhadap angka/akses rawat inap. Penduduk
miskin memiliki akses rawat inap di rumah sakit umum maupun di rumah sakit swasta
jauh lebih kecil dibandingkan dengan akses rawat inap bagi golongan mampu. Angka
rawat inap (jumlah orang dirawat per 1000 penduduk) dan angka hari rawat (jumlah hari
rawat per 1000 penduduk) menunjukkan bahwa meskipun subsidi pemerintah telah
diberikan kepada RSUD dan RSUP hambatan finansial masih menjadi faktor utama
dalam pemenuhan kebutuhan medis golongan ekonomi rendah. Fakta ini sekaligus
membantah sinyalemen seorang konsultan Amerika11 yang menyatakan bahwa saat ini
Indonesia sudah memiliki asuransi kesehatan nasional sedangkan tarif retribusi yang
dibayar penduduk merupakan copayment dalam model HMO. Copayment merupakan
pembayaran biaya yang kecil dan tetap yang sangat ringan tanpa melihat beban biaya
seluruhnya. Di Indonesia, penduduk harus membayar beban biaya yang amat besar jika ia
sakit. Hal ini menunjukkan tidak adanya jaminan kesehatan yang melindungi penduduk
terhadap pengeluaran biaya besar untuk pengobatan penyakitnya. Beban biaya penduduk
pada waktu memerlukan pengobatan dan perawatan, khususnya rawat inap dan kasus-
kasus mahal masih sangat besar.
Kesenjangan tersebut masih tetap ada akan tetapi semakin kecil pada kelompok
yang memiliki asuransi kesehatan seperti kelompok pegawai negeri dan pegawai swasta
yang mendapat jaminan kesehatan, baik melalui perusahaan asuransi maupun melalui PT
Jamsostek. Hal ini telah dibuktikan melalui berbagai studi yang dilakukan oleh Thabrany
(1995)12, Getler et al (1994)13, Melnick et al (1996)14, Suwondo (1997)15, dan Thabrany
dan Pujianto (2000) yang menunjukkan bahwa akses terhadap rawat jalan dan rawat inap
bagi yang memiliki asuransi kesehatan lebih tinggi dari yang tidak memiliki. Memang
hambatan finansial bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi akses dan
konsumsi rawat jalan dan rawat inap, namun perannya sangat besar di dalam sistem
kesehatan Indonesia.
Oleh karena saat ini masalah utama yang dihadapi penduduk Indonesia adalah
Asuransi Kesehatan Nasional 62
hambatan finansial, maka harus diupayakan suatu sitem pembiayaan yang dapat
menghilangkan hambatan tersebut. Kebutuhan akan sistem pembiayaan yang egaliter,
sudah dirasakan sejak lama di lingkungan kesehatan maupun di luar kesehatan. Di
lingkungan kesehatan, dapat kita baca berbagai publikasi Departemen Kesehatan dari
mulai Sistem Kesehatan Nasional di awal tahun 1980an sampai dokumen Indonesia Sehat
2010 (Depkes, 2000)16. Dengan keterbatasan dana pemerintah dan keinginan agar setiap
penduduk mengambil peran dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, maka hanya sistem
asuransilah yang dapat mengurangi kesenjangan diatas. Kebutuhan asuransi kesehatan
dirasakan pada semua kelompok pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan. Sesuai dengan
ideologi bangsa yang menginginkan adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dan kemanusiaan yang adil dan beradab, sistem asuransi yang tepat untuk
mengurangi atau menghilangkan kesenjangan tersebut adalah sistem asuransi sosial
kesehatan.
Kebutuhan akan asuransi kesehatan tidak selalu diiringi oleh permintaan asuransi
kesehatan, meskipun secara potensial untuk penyakit yang memiliki resiko finansial besar
permintaan akan asuransi kesehatan dapat tumbuh. Dalam prakteknya, negara-negara
maju yang telah menyelenggarakan asuransi kesehatan secara luas tidak mengandalkan
pada permintaan (demand) akan tetapi lebih melihat pada kebutuhan (needs). Itulah
sebabnya bentuk asuransi kesehatan yang dilaksanakan di semua negara maju (kecuali
Amerika) adalah asuransi kesehatan sosial. Karena besarnya kesenjangan informasi,
maka biasanya permintaan asuransi kesehatan jauh lebih kecil dari kebutuhan. Oleh sebab
itu, apabila suatu negara mengandalkan tumbuhnya permintaan yang dapat dipenuhi
melalui penawaran asuransi kesehatan secara sukarela (komersial), maka asuransi
kesehatan hanya akan menjangkau sebagian kecil masyarakat.
Di Indonesia kini terdapat berbagai bentuk asuransi kesehatan yang masing-
masing mempunyai keunggulan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan masing-
masing sistem jaminan tersebut, ditinjau dari aspek pemerataan keadilan (equity),
efisiensi, mutu, dan sustainabilitas dapat dilihat dari matriks berikut ini.
Asuransi Kesehatan Nasional 63
Matriks Evaluasi berbagai bentuk asuransi kesehatan di Indonesia
No Elemen JPKM pola sekarang (komersial) dan asuransi kesehatan komersial lainnya
JPK PNS JPK Jamsostek
1 Apakah equity dapat tercpai jika sistem terkait berkembang dan mendominasi asuransi kesehatan di Indonesia?
Tidak dapat tercapai ∗ Untuk paket yang sama, beban premi bagi
yang lebih miskin lebih berat karena besarnya premi sama bagi yang miskin maupun yang kaya yang dihitung berdasarkan resiko di dalam paket (risk based premium).
∗ Kepesertaan yang sukarela secara otomatis mengeluarkan (exclude) golongan ekonomi bawah dari kepesertaan, karena golongan ekonomi bawah tidak mampu membeli premi untuk suatu paket yang komprehensif.
Dapat tercapai tetapi kurang optimal ∗ Secara teoritis telah terdapat
elemen equity karena besarnya premi proporsional terhadap gaji pokok. Akan tetapi karena porsi gaji pokok untuk premi terhadap pendapatan (take home pay) jauh lebih kecil pada golongan III dan IV dibandingkan dengan golongan I dan II, maka beban premi terhadap pendapatan lebih besar pada golongan I dan II.
∗ Dari sisi rancang bangun, sudah lebih baik dan dapat memfasilitasi equity.
Dapat tercapai, kurang optimal ∗ Secara struktural elemen
equity telah masuk disini dengan premi proporsional terhadap upah (bukan gaji pokok). Namun karena adanya ceiling pendapatan Rp 1 juta dan opsi tidak ikut JPK, maka terjadi adverse selection yang membatasi subsidi silang pada kelompok bawah (gaji di bawah Rp 1 juta); sementara perusahaan yang membayar gaji rata-rata diatas Rp 1 juta memilih opt out dengan membeli askes komersial yang tidak bisa memberikan equity egaliter
2 Apakah rancangan paket jaminan dapat memenuhi kebutuhan kesehatan penduduk yang merupakan hak asasi penduduk?
∗ Secara teori paket JPKM harus komprehensif, tetapi dalam prakteknya pengertian komprehensif hanya basa-basi. Tidak ada produk JPKM yang benar-benar komprehensif
∗ Paket yang ditawarkan oleh para bapel berijin adalah paket yang memiliki limit pelayanan/biaya rendah atau banyak eksklusi. Tidak banyak beda dengan paket Askes tradisional, kecuali bahwa disini digunakan sisem locked in. Biaya medis besar justeru tidak ditanggung sehingga tidak memungkinan peserta mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya, justeru pada saat mereka tidak mampu membiayai sendiri.
∗ Paket yang diberikan jauh lebih komprehensif dari yang lain, meskipun dalam prakteknya pelayanan promotif dan preventif masih minimal.
∗ Kini mulai diterapkan iur biaya (cost sharing) yang dapat diterima untuk efisiensi, tetapi dapat memberatkan peserta karena tidak ada maksimum iur biaya
∗ Karena pelayanan dengan sistem locked in/closed panel, anggota yang tinggal di pedalaman tidak mendapatkan akses yang sama dengan yang tinggal di kota,
∗ Paket yang diberikan lebih terbatas dibandingkan dengan paket JPK PNS. Hal ini menimbulkan inequity ketika anggota menderita, misalnya, gagal ginjal atau kanker, maka beban biaya anggota tersebut menjadi besar sekali karena harus membayar dari kantong sendiri.
∗ Sistem closed panel juga menghambat anggota yang tinggal di tempat terpencil untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan medisnya, meskipun mereka membayar premi yang sama.
Asuransi Kesehatan Nasional 64
∗ Paket asuransi kesehatan tradisional umumnya terbatas sesuai dengan permintaan pasar, yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis
meskipun mereka membayar premi yang sama.
No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya
JPK PNS JPK Jamsostek
3 Pembatasan paket
∗ Dalam teori tidak boleh ada. Dalam praktek, batasannya sangat bervariasi dari yang sangat rendah sampai cukup tinggi. Dalam Permenkes 527, justeru paket jaminan rawat inap disebutkan 5 hari.
∗ Paket askes tradisional memang tidak harus komprehensif, akan tetapi ada yang menjual paket komprehensif dengan berbagai limitasi. Sering batas maksimum ditetapkan sebagai besar biaya yang ditanggung
∗ Ada masalah batasan anak kedua dan usia anak yang ditanggung tanpa klausul pengecualian. Jika anggota keluarga pada saat itu sedang membutuhkan pelayanan medik yang mahal, misalnya menderita gagal ginjal atau mengalami persalinan patologis, beban biaya menjadi sangat berat untuk peserta.
∗ Di era otonomi daerah, RS dibernarkan menarik selisih biaya yang ditanggung dan yang ditagih RS. Jumlah biaya sendiri bisa menjadi lebih besar dari yang ditanggung
∗ Pembatasan lebih banyak dibangingkan dengan paket Askes: batas rawat inap 60 hari, tidak menanggung hemodialisis dan pengobatan kanker.
∗ Usia pensiun tidak ditanggung justeru pada saat tenaga kerja tidak sanggup menanggung sendiri biaya pengobatan karena telah pensiunan.
∗ Sama dengan Askes, ada batasan anak 3 dan usia anak yang ditanggng tanpa pengecualian
4 Apakah terdapat akses merata pada anggota untuk mendapatkan pelayanan di fasilitas PPK yang memadai kualitas dan jenis pelayanannya
∗ Umumnya yang dijual bapel berijin berada di kota besar (mengambil perushaan yang opt-out JPK Jamsostek). Jadi akses relatif sama bagi semua anggota.
∗ Asuransi kesehatan tradisional pada umumnya juga memfokuskan pada pasar di kota besar. Selain itu, biasanya asuransi kesehatan tradisional tidak memberikan batasan PPK, karena peserta bebas memilih PPK yang disukai/kehendaki
∗ Terdapat perbedaan akses yang besar antara mereka yang tinggal di perkotaan/kota besar dan yang tinggal di kota kecil karena tidak meratanya fasilitas di seluruh wilayah.
∗ Akses relatif tidak merata karena sebaran fasilitas yang tidak merata. Namun karena kebanyakan perusahaan berada di daerah perkotaan maka perbedaan akses relatif tidak sebesar perbedaan akses bagi peserta JPK PNS
Asuransi Kesehatan Nasional 65
No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya
JPK PNS JPK Jamsostek
5 Efisiensi makro/alokatif. Jika sistem ini berkembang, apakah secara nasional kita dapat mengendalikan biaya kesehatan?
∗ Model ini tidak akan menghasilkan efisiensi makro.
∗ Bapel JPKM dan asuradur yang banyak dan for profit akan berkompetisi merancang dan menjual produk yang paling menguntungkan. Biaya riset, pemasaran, dan tuntutan laba menyebabkan biaya premi akan mahal.
∗ Pooling yang relatif kecil (karena produk yang bervariasi dan hasil jual yang kecil) menyebabkan biaya profit margin dan contigency margin menjadi besar.17
∗ Secara Nasional pola ini dapat menciptakan efisiensi makro. Kepesertaan wajib meniadakan biaya rancang produk dan pemasaran.
∗ Pooling yang besar (13,8 juta anggota) sehingga porsi biaya administrasi berpotensi relatif kecil.
∗ Pool yang besar memungkinkan (jika pola ini diterapkan secara regional dengan pangsa yang besar) bapel menjadi price leader yang dapat menekan harga.
∗ Secara Nasional pola ini dapat menciptakan efisiensi makro. Kepesertaan wajib meniadakan biaya rancang produk dan pemasaran.
∗ Pooling yang besar (potensi 100 juta anggota) sehingga porsi biaya administrasi berpotensi relatif kecil.
∗ Pool yang besar memungkinkan (jika pola ini diterapkan secara regional dengan pangsa yang besar) bapel menjadi price leader yang dapat menekan harga.
Efisiensi mikro/teknis
Model pembayaran kapitasi pada JPKM secara potensial dapat meningkatkan efisiensi mikro dibandingkan dengan pembayaran per pelayanan (fee for service) tanpa regulasi tarif. Namun dibandingkan dengan sistem asuransi sosial efisiensi ini tidak lebih tinggi18 karena tidak kuatnya efek price leader
Model pembayaran kapitasi secara potensial dapat meningkatkan efisiensi mikro dibandingkan dengan pembayaran per pelayanan (fee for service) tanpa regulasi tarif. Ditambah dengan regulasi tarif dan bentuk asuransi sosial, model ini sangat menjanjikan efisiensi tertinggi akan tetapi perlu berbagai perbaikan. Ini adalah model managed social health insurance/ social managed care
Model pembayaran kapitasi secara potensial dapat meningkatkan efisiensi mikro dibandingkan dengan pembayaran per pelayanan (fee for service) tanpa regulasi tarif. Dengan kombinasi sifat asuransi sosial, model ini menjanjikan efisiensi tertinggi. Seperti juga JPK PNS model ini adalah model managed social health insurance/social managed care.
Efisiensi alokatif dalam bapel/asuradur
Secara teori JPKM menekankan pada aspek promotif dan preventif, yang sifatnya personal sehingga meningkatkan efisiensi alokatif. Tantangannya adalah prilaku masyarakat yang
Secara teori menekankan pada aspek promotif dan preventif, yang sifatnya personal sehingga meningkatkan efisiensi alokatif. Dalam praktek, hal
Secara teori menekankan pada aspek promotif dan preventif, yang sifatnya personal sehingga meningkatkan efisiensi alokatif. Dalam praktek, hal
Asuransi Kesehatan Nasional 66
belum sadar pencegahan dalam hal ini dan keperluan mendesak jaminan pengobatan
ini belum dilaksanakan secara terstruktur. Tantangannya adalah prilaku masyarakat yang belum sadar pencegahan
ini belum dilaksanakan secara terstruktur. Tantangannya adalah prilaku masyarakat yang belum sadar pencegahan
No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya
JPK PNS JPK Jamsostek
Kualitas Secara teori, pelayanan yang diberikan JPKM haruslah berkualitas. Dalam praktek, khususnya dalam bapel percontohan, menggunakan puskesmas dan RSU yang oleh masyarakat menengah dinilai inferior. Akibatnya, JPKM menimbulkan stigma sistem pelayanan kelas rendah (inferior goods) dan karenanya tidak menarik kelas menengah keatas19. Bapel JPKM swasta menggunakan dokter partikelir dan rumah sakit yang cukup memadai mutunya. Demikian juga dengan askes tradisional
Keharusan menggunakan puskesmas sebagai gate keeper menimbulkan rendahnya pemanfaatan rawat jalan, kecuali untuk minta rujukan. Kini sedang diuji coba penggunaan dokter partikelir yang dapat meningkatkan persepsi terhadap mutu. Akan tetapi hal ini akan meningkatkan biaya, relatif terhadap biaya puskesmas. Secara umum mutu pelayanan medis dipersepsi masih belum memuaskan.20
Tidak ada keharusan menggunakan puskesmas dan tidak ada standar tarif. Akan tetapi karena rendahnya besaran premi yang dikumpulkan, besaran kapitasi yang kecil lebih banyak menarik dokter yunior. Dengan demikian PPK I JPK ini lebih bermutu dibandingkan dengan JPK PNS dan percontohan JPKM. Namun secara umum, masih dipersepsi belum memenuhi standar kelas menengah (kepesertaan masih sangat terbatas)21.
Sustainabilitas bapel
Sustainabilitas sangat beragam. Sustainabilitas dapat dinilai dari paket yang memenuhi kebutuhan, pembayaran PPK yang wajar, kualifikasi tenaga, permodalan, dan cara pengumpulan premi otomatis dari pekerjaan yang sinambung. JPKM di daerah, atau yang diusahakan JPSBK, tidak sustainabel. JPKM swasta relatif lebih sustainabel, tetapi sulit untuk jangka panjang karena modal mereka umumnya relatif kecil.
Sustainabilitas tinggi karena dijamin/dimiliki pemerintah. Akan tetapi bentuk PT Persero tidak sesuai dengan misi dan tujuan asuransi sosial. Perlu perombakan menjadi bapel nirlaba.
Sustainabilitas sedang karena adanya ancaman adverse selection tetapi dimiliki pemerintah. Seperti juga pada PT Askes, bentuk PT Persero tidak sesuai dengan tujuan dan misi asuransi sosial yang diemban PT Jamsostek.
` Sustainabilitas, paket
Bervariasi dari yang sangat inferior (tidak sustainabel) ke yang relatif baik. Askes tradisional cukup memenuhi kebutuhan
Memenuhi kebutuhan medis. Sustainabel, tetapi kualitas pelayanan perlu ditingkatkan.
Memenuhi kebutuhan medis menengah, cukup sustainabel, tetapi mutu perlu ditingkatkan
Asuransi Kesehatan Nasional 67
No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya
JPK PNS JPK Jamsostek
Sustainabilitas pembayaran PPK
Bervariasi dari yang tidak sustainabel (puskesmas) di desa, sampai yang relatif baik (di kota). Pembayaran yang kecil menyebabkan pelayanan tidak optimal dan pada akhirnya akan menurunkan persistensi. Askes tradisional cukup sustainbel karena mampu membayar PPK pada tarif pasar yang berlaku
Pembayaran kepada PPK pemerintah, khususnya, RS swadana yang sering dikeluhkan jauh di bawah cost, mengancam pelayanan yang bermutu. Meskipun untuk daerah kecil, pembayaran rumah sakit dapat lebih besar dari tarif Perda, kekecewaan RS swadana dapat membawa dampak lebih besar karena mereka lebih vokal. Sejauh privatisasi RSU tidak meluas dan tidak ada degradasi skema, sustainabilitas masih baik
Pembayaran PPK relatif lebih baik daripada JPK PNS. Namun demikian, JPK ini tidak mempunyai buying power yang sama kuat dengan JPK PNS. Sejauh kenaikan biaya PPK, baik dalam bentuk kapitasi atau FFS, sejalan dengan kenaikan upah, sustainabilitas masih cukup baik.
Sustainabilitas premi
Sistem sukarela yang dijual kepada perusahaan sebagai opsi JPK Jamsostek menjanjikan sustainbalitas yang mantap. Sistem sukarela yang dikembangkan sebagai uji coba, termasuk JPKM JPSBK tanpa target penduduk yang jelas, tidak sustainabel. Askes tradisional juga mengambil pasar tenaga kerja yang cukup sustainabel.
Pengmpulan premi otomatis oleh Departemen Keuangan menjanjikan sustainabilitas yang tinggi. Namun besarnya premi dan persepsi paket dan prosedur dapat mengancam sustainabilitas ini. Dengan kontribusi pemerintah, sesuai .
Pengumpulan premi melalui perusahaan menjanjikan sustainabilitas yang memadai. Namun biaya operasional pengumpulan premi ini relatif lebih tinggi dari JPK PNS. Paket dan prosedur yang belum memenuhi kebutuhan banyak tenaga kerja juga mengancam sustainabilitas
Asuransi Kesehatan Nasional 68
No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya
JPK PNS JPK Jamsostek
Sustainabilitas tenaga
Hanya beberapa bapel JPKM yang telah memiliki tenaga yang pernah mengikuti pendidikan managed care HIAA. Sisanya ada yang memiliki tenaga lulusan D3 asuransi kesehatan FKMUI. Sebagian besar tidak memiliki tenaga yang mendapat pendidikan managed care yang memadai. Pelatihan yang diberikan oleh Depkes, tidak memadai untuk membekali pengelola dengan baik.
Banyak tenaga profesional yang telah mendapat pelatihan asuransi kesehatan komersial maupun sosial di dalam dan di luar negeri. Banyak di antara mereka yang telah memperoleh sertifikat Managed Healthcare Professional dari HIAA. Sistem ini paling sustainabel ditinjau dari kesiapan tenaga profesionalnya.
Sebagian tenaga profesi telah mendapatkan pelatihan atau pendidikan sistem jaminan sosial. Masih sangat sedikit yang memiliki pengetahuan khusus managed care. Namun demikian, perhatian perusahaan terhadap pengelolaan JPK tidak sebesar perhatiannya terhadap pengelolaan JHT. Sustainabilitas program ini cukup baik, tetapi kurang baik dibandingkan dengan JPK PNS.
Modal/aset/solvabilitas
Pada umumnya bapel-bapel berijin tidak memiliki modal dan aset yang memadai. Berbagai perusahaan asuransi yang menjual produk JPKM atau askes tradisional memiliki modal dan solvabilitas yang memadai.
Memiliki aset, modal, dan solvabilitas yang memadai. Sustainabilitas tinggi.
Memiliki aset, modal, dan solvabilitas yang memadai. Sustainabilitas tinggi.
Penjamin/reasuradur
Tidak ada reasuradur pada bapel JPKM. Hal in lebih mengancam sustainabilitas. Askes tradisional telah memiliki reasuradur yang memadai
Pemerintah sebagai penjamin. Akan tetapi tidak secara spesifik bersifat sebagai reasuradur. Karena volume besar, tanpa asuradur sebenarnya JPK PNS cukup memadai
Pemerintah. Tetapi pemerintah tidak secara spesifik sebagai reasuradur. Sustainabilitas tidak sebaik JPK PNS karena volume anggota yang masih kecil
Asuransi Kesehatan Nasional 69
No Elemen JPKM, pola sekarang (sukarela) dan Askes komersial lainnya
JPK PNS JPK Jamsostek
Portabilitas Tidak ada sama sekali. Hal ini memberatkan peserta yang pindah tempat atau pindah kerja
Ada. Hanya memerlukan prosedur administrasi tertentu
Tidak tentu. Jika anggota pindah kerja dan majikan baru mendaftarkannya pada Jamsostek, ada portabilitas. Jika tidak, jaminan terputus.
Asuransi Kesehatan Nasional 70
Prediksi ke depan Sustainabilitas Sustainabilitas penyelenggaraan JPKM yang sekarang telah berlangsung, sangat
bervariasi karena variasi modal dan paket yang ditawarkan. Pada berbagai percontohan
bapel JPKM, seperti proyek Klaten dan Magetan, paket yang ditawarkan terlalu
sederhana dan tidak memenuhi kebutuhan kesehatan penduduk sehingga menjadi produk
inferior dan tidak menarik masyarakat. Bahkan berbagai proyek percontohan tersebut
melaksanakan JPKM tidak sesuai dengan Permenkes sehingga menurunkan citra JPKM
itu sendiri. Konsep paket komprehensif yang dijadikan patokan perbedaan dengan askes
tradisional sama sekali tidak tampak. Yang ada justeru paket di bawah standar yang
hanya menanggung rawat jalan di puskesmas dan bantuan biaya perawatan yang sifatnya
indemniti. Penerapan proyek seperti ini justeru mengancam sustainabilitas proyek dan
program JPKM itu sendiri.
Berbagai bapel JPKM berijin, khususnya yang beroperasi di kota besar seperti
Jakarta mampu membuat produk yang lebih realistis dan memenuhi kebutuhan
masyarakat pengusaha. Akan tetapi pasar yang diambil adalah pasar JPK Jamsostek.
Tanpa adanya UU Jamsostek, bapel inipun mungkin akan sulit berkembang. Apabila PP
tentang Jamsostek diubah dan kesempatan opt out ditiadakan, maka para bapel JPKM
terancam runtuh karena tidak ada pangsa pasar lagi.
Volume anggota yang kecil yang disebabkan karena tidak fahamnya pengelola
akan pasar asuransi kesehatan, tidak satupun bapel mampu membayar PPK hanya dengan
kapitasi sebagaimana disyaratkan oleh Permenkes. Sehingga sampai saat ini konsep
managed care dengan pembayaran kapitasi yang secara teoritis menjanjikan efisiensi,
belum bisa dibuktikan oleh penyelenggaraan JPKM yang sekarang berlangsung. Hal ini
menimbulkan skeptisisme tentang kesinambungan konsep JPKM. Lagi pula pembayaran
kapitasi model managed care Amerika tidak banyak dilakukan di Amerika, karena
memang tidak disukai peserta dan PPK. Dalam rancangan UU JPKM yang baru,
penyelenggaraan JPKM akan berubah besar. Hal ini akan dibahas kemudian.
Pada umumnya dalam menetapkan premi para bapel tidak ditetapkannya secara
cermat dan berdasarkan perhitungan aktuarial yang memadai. Kesepatakan harga premi,
Asuransi Kesehatan Nasional 71
tidak bisa dilakukan berdasarkan tarif komunitas, akan tetapi lebih merupakan hasil
negosiasi kepada perusahaan, seperti halnya penyelenggaraan askes tradisional.
Hambatan utamanya adalah tiadanya data yang terkumpul berdasarkan pengalaman
individual bapel maupun gabungan bapel secara kolektif. Meskipun data kolektif dapat
dikumpulkan, ketidak-sebandingan paket menyebabkan penggabungan data pengalaman
tidak ada artinya bagi perhitungan premi. Pada berbagai percontohan dan program yang
diklaim sebagai JPKM, meskipun sebenarnya merupakan program dana sehat, premi
ditetapkan terlalu kecil berdasarkan pendapat ‘politis’. Penggunaan pendapat ‘politis’
untuk suatu program yang berbasis ekonomi tentu saja tidak tepat dan menimbulkan
kekacauan manajemen. Oleh karenanya, program-program tersebut kemudian tidak
mampu melaksanakan kewajibannya. Bahkan kini sebuah bapel berijin di Jakarta sedang
menghadai tuntutan hukum karena tidak mampu membayar kewajibannya kepada rumah
sakit. Kegagalan semacam ini mengancam sustainabilitas bapel bahkan sustainabilitas
program JPKM secara keseluruhan.
Modal yang dimiliki para bapel pada umumnya sangat kecil sehingga tidak
mampu menghadapi pasang surut pasar dan utilisasi. Dari 20 bapel yang berijin dana
deposito yang disetor sebagai jaminan hanya sebesar Rp 1,14 milyar.xxii Dengan mengacu
standar Permenkes yang mengharuskan menyetor dana 25% kebutuhan operasional
setahun dan dana pembayaran PPK selama 3 bulan, berarti bahwa rata-rata tiap bapel
hanya memiliki anggaran operasional sekitar Rp 200 juta setahun. Dengan jumlah pesera
pada awalnya permohonan ijin yang hanya 140 ribuan, berarti tiap bapel rata-rata hanya
memiliki 7.000 anggota, suatu jumlah yang sangat kecil untuk bertahan dalam bisnis
jaminan kesehatan. Bahkan menurut data Profil Kesehatan 1999 yang diterbitkan Depkes
terdapat bapel yang hanya memiliki 400 anggota. Kecilnya modal dan sedikitnya peserta
sangat tidak menjamin sustainabilitas bapel JPKM.
Kemampuan menjangkau seluruh penduduk Kemampuan menjangkau seluruh penduduk dengan model JPK sukarela dan
dengan premi yang ditetapkan berdasarkan paket (risk based premium) tidak akan
mampu mencapai cakupan universal. Sifat kesukarelaan itu sendiri menyebabkan hanya
mereka yang memiliki resiko tinggi yang akan membeli. Kondisi ini dikenal dengan
istilah anti seleksi atau adverse selection. Anti seleksi ini akan mengancam sustainabilitas
Asuransi Kesehatan Nasional 72
JPK, dan hal itu sudah dibuktikan dalam proyek JPKM Klaten ronde pertama. Efek anti
seleksi ini telah dikenal lama di berbagai negara maju sejak puluhan tahun yang lalu dan
telah banyak dibahas dalam literatur asuransi dan ekonomi kesehatan. Kesukarelaan juga
telah dibuktikan tidak akan mampu menarik peserta dalam jumlah yang cukup memadai
kecuali ada insentif lain seperti premi yang bersifat tax deductible. Jika model Amerika
yang mau dicontoh, sukarela memilih HMO atau askes tradisional, maka bukti-bukti
telah nyata bahwa di Amerika kini ada 43 juta penduduk yang tidak memiliki asuransi
kesehatan, meskipun biaya kesehatan per kapita telah melewati batas tertinggi di dunia
yang melebihi US$ 4.000 per kapita per tahun dan AS telah menghabiskan hampir 15%
PDBnya untuk belanja kesehatan. Tanpa insentif pajak, pangsa pasar sukarela ini akan
jauh lebih kecil dan kemungkinan besar bisa menyebabkan 200 juta penduduk Amerika
tanpa asuransi kesehatan sama sekali.
Di lain pihak, JPK PNS yang bersifat wajib telah mampu mengumpulkan premi
dari seluruh pegawai negeri secara kontinyu selama lebih dari 30 tahun. Meskipun
banyak pegawai negeri, khususnya golongan atas, merasa kecewa dan tidak
menggunakan haknya, akan tetapi mereka yang pernah menderita sakit berat sudah
merasakan manfaatnya. Para pensiunan PNS banyak sekali yang menggunakan fasilitas
Askes. Bahkan golongan pensiunan ini dapat mengancam solvabilitas PT Askes karena
utilisasi yang tinggi. Jika kita amati pasien di pusat-pusat hemodialisa, sekitar 70%
pasiennya adalah pasien Askes (bandingkan dengan proporsi peserta Askes terhadap total
penduduk yang hanya mencapai 7% saja). Sementara yang tidak memiliki Askes telah
lama meninggal sehingga prosentasenya sangat kecil. Ini berarti bahwa peserta Askes
memiliki akses hemodialisa 10 kali lebih besar dibandingkan dengan masyarakat umum.
Hal ini menunjukkan manfaat besar yang dapat diterima PNS dari penyelenggaraan JPK
PNS. Seluruh PNS dapat dijamin atau sudah otomatis menjadi peserta.
Tenaga profesional Tenaga yang mengelola bapel JPKM berijin pada umumnya tidak menguasai
bisnis asuransi kesehatan atau managed care. Kebanyakan mereka adalah orang-orang
amatiran yang mengira ada peluang besar dalam bisnis jaminan untuk mendapatkan
untung, namun mereka tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai.
Beberapa bapel telah memiliki tenaga yang mempunyai kualifikasi pendidikan khusus,
Asuransi Kesehatan Nasional 73
meskipun tidak dalam setting Indonesia. Bebarapa bapel juga mempunyai misi sosial
yang kuat, akan tetapi bukan bapel asuransi sosial kesehatan. Banyak tenaga bapel yang
memiliki pengalaman di rumah sakit atau di institusi kesehatan lainnya, seperti Dinas
Kesehatan, namun bisnis jaminan sangat berbeda dengan bisnis pelayanan kesehatan.
oleh karenanya, pengalaman mengelola pelayanan kesehatan tidak memadai untuk
mengelola bapel JPKM.
Di perusahaan asuransi, tenaga-tenaga yang mengelola pada umumnya sudah jauh
lebih baik dibandingkan dengan di perusahaan bapel. Hal ini terkait dengan keharusan
memiliki tenaga profesional, yang umumnya memiliki gelar profesi dari AMAI, PAI,
atau lembaga pendidikan asuransi luar negeri, yang telah diatur dalam peraturan asuransi
di Indonesia. Keharusan modal yang besar untuk membuka asuransi menyebabkan
investor tidak akan secara ceroboh merekrut tenaga yang tidak memenuhi syarat.
Dibandingkan dengan perusahaan asuransi patungan atau asing, memang perusahaan
asuransi domestik masih kurang profesional. Namun dibandingkan dengan bapel JPKM
mereka jauh lebih profesional. Profesionalitas tenaga, yang antara lain ditunjukkan dari
gelar profesi dan pengalaman, sangat menentukan sustainabilitas penyelenggaraan
asuransi kesehatan.
Penyelenggaraan JPKM sesungguhnya merupakan manajemen resiko sakit dan
karenanya harus diatur dan dikelola sebagaimana layaknya usaha asuransi. Hal ini
terutama sangat penting karena tingginya tingkat informasi asimetri pada produk JPKM
maupun asuransi kesehatan tradisional. Kerena itu, ancaman terhadap perlindungan
konsumen/peserta yang tidak mengerti berbagai seluk beluk produk, khususnya pada
pengelolaan secara komersial atau semi komersial, harus diatur ketat. Salah satu
pengaturan penting adalah persyaratan ketenagaan. Seperti halnya perushaan asuransi
yang harus memiliki tenaga dengaan kualifikasi khusus, yang diperoleh melalui program
pendidikan profesi, penyelenggaraan JPKM yang sukarela seharusnya juga memiliki
persyaratan serupa. Namun hal ini belum tertampung dalam JPKM.
PT Askes Indonesia telah lama (sejak 1993) mempersiapkan tenaganya untuk
mampu mengelola program yang ada dan bersaing dengan perusahaan asuransi. Dengan
jumlah tenaga berpendidikan sarjana dan magister yang mencapai hampir 35% dari
sekitar 1.800 karyawannya PT Askes telah mendapatkan sertifikat ISO 9002. Banyak
Asuransi Kesehatan Nasional 74
tenaga profesionalnya yang dilatih khusus asuransi kesehatan, managed care, atau
asuransi sosial di berbagai negara dan di tanah air. Ke-profesionalan ini telah dibuktikan
dengan mendapatkan kepercayaan mengelola produk komersial (disebut sukarela oleh PT
Askes) dengan jumlah mencapai hampir 750.000 orang dari sekitar 1.800 perusahaan.
Dari segi tenaga profesional, PT Askes merupakan satu-satunya perusahaan asuransi
kesehatan yang memiliki kemampuan memadai untuk mempertahankan sustainabilitas
penyelenggaraan jaminan kesehatan saat ini.
Asuransi sesehatan tradisional sebagai ancaman Sampai dengan tahun 2000 ini, khususnya setelah terjadi krisis ekonomi yang
meningkatkan resiko sakit bagi perorangan dan perusahaan, asuransi kesehatan
tradisional yang dijual oleh perusahaan asuransi tumbuh dengan pesat. Sebagai contoh,
Lippo General telah melakukan kontrak dengan hanya 30 perusahaan di tahun 1993,
meningkat menjadi 70 perusahaan di tahun 1995 dan di tahun 1999 telah melakukan
kontrak dengan 228 perusahaan. Dari segi penerimaan premi, perusahaan ini telah
mampu mengumpulkan premi 35% dari total pendapatannya, nomor dua setelah asuransi
kebakaran. Jumlah penduduk yang menjadi tanggung perusahaan ini saja telah mencapai
lebih dari 70.000 orang di tahun 1999.xxiii
Pada tahun 1998, sebanyak 56 perusahaan asuransi kerugian dan jiwa telah
menawarkan asuransi kesehatan dan kecelakaan diri dengan total premi bruto mencapai
Rp 501,5 milyar. Jika kita perhatikan klaim seluruh perusahaan tersebut pada tahun itu
telah mencapai Rp 286 milyar.xxiv Dengan demikian, rasio klaim asuransi kesehatan
mencapai 57%. Lippo General mampu mempertahankan rasio klaim pada tingkat 50%.
Pada tahun 1999 dimana data peserta asuransi kesehatan (umumnya menawarkan paket
rawat inap) dipisahkan dengan peserta asuransi kecelakaan diri, telah menunjukkan
jumlah peserta yang diperkirakan mencapai 1,5 juta orang. Dibandingkan dengan jumlah
peserta komersial PT Askes dan bapel-bapel lainnya, yang diperkirakan secara total tidak
mencapai satu juta orang, maka di pasar komersial telah terjadi dominasi asuransi
kesehatan tradisional.
Jika asuransi kesehatan tradisional ini terus mendominasi asuransi kesehatan di
Indonesia, maka dapat dipastikan bahwa biaya kesehatan secara makro akan naik pesat
Asuransi Kesehatan Nasional 75
dan tidak efisien di kemudian hari. Paling tidak kita bisa melihat dari data diatas bahwa
konsumen pada akhirnya membayar pooling resiko hampir sama banyaknya dengan
biaya kesehatan jika ia bayar sendiri (rasio klaim 57%). Artinya, jika biaya pelayanan
rawat inap yang harus dibayar oleh seseorang sebesar Rp 1 juta, maka untuk
mendapatkan jaminan (kepastian) melalui perusahaan asuransi konsumen harus
membayar Rp 1,75 juta. Jelas hal ini akan mengancam tujuan efisiensi makro.
Pertumbuhan asuransi kesehatan komersial tradisional akan meningkatkan
utilisasi dan biaya kesehatan seperti yang telah dialami Amerika. Pertumbuhan yang
pesat ini yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan yang pesat asuransi kesehatan
terkendali (managed care) akan menambah sulitnya kendali biaya di masa datang. Jika
tidak ada suatu skema jaminan sosial yang melindungi penduduk berpendapatan rendah
(tidak harus miskin), maka kecendrungan ini dapat menjadi beban berat bagi masyarakat
dan pemerintah di kemudian hari. Apalagi penyelenggaraan asuransi kesehatan
tradisional sama sekali belum diatur mengenai paket dan berbagai aspek kontrak asuransi
lainnya seperti yang kita amati di Amerika. Kekurangan peraturan ini akan sangat mudah
merugikan masyarakat banyak. Peraturan rinci tentang paket jaminan, kontrak asuransi,
klaim, dan berbagai masalah lainnya tidak perlu secara ketat dilakukan pemerintah jika
jaminan sosial bidang kesehatan telah tersedia secara memadai bagi seluruh masyarakat.
Tujuan dan keinginan Hasil diskusi kelompok terarah (DKT, atau focus group discussion) menunjukkan
kesamaan pola pikir dan pemahaman pada hampir semua kelompok. Secara umum
sebagian besar peserta DKT belum memiliki pemahaman konsep asuransi dan konsep
barang publik (publi goods) atau barang swasta (private goods). Pemahaman tentang
asuransi sangat bias terhadap apa yang dialami sekarang yang mereka amati dalam
program dana sehat, proyek JPKM, Askes, Jamsostek, dan Askes tradisional tanpa
pengertian yang memadai tentang berbagai konsep dan kendala penyelenggaraan asuransi
tersebut. Pemahaman tentang paket dan cara pembayaran juga umumnya masih belum
memadai sehingga yang keluar adalah pernyataan slogan yang sudah melekat pada
konsep JPKM yang sangat dipengaruhi konsep HMO Amerika. Pemahaman tentang
monopoli dan orientasi pasar, juga sangat dipengaruhi oleh berita-berita umum pasar
bebas tanpa pemahaman yang memadai. Meskipun sejarahnya pendahulu kita telah
Asuransi Kesehatan Nasional 76
membedakan pelayanan kesehatan dari pelayanan jasa lain yang dapat dilepaskan pada
mekanisme pasar, kecendrungan baru yang didorong oleh orientasi pasar yang dipahami
secara bias telah juga merasuk tenaga kesehatan dan kelompok lain.
Memang benar beberapa komponen pelayanan kesehatan memiliki karakter yang
tidak banyak berbeda dengan jasa lain dan karenanya pantas dilepas pada mekanisme
pasar. Akan tetapi sebagian besar tidak. Karena kekurang-fahaman tentang mekanisme
pasar sendiri dan ciri pelayanan kesehatan, banyak tenaga kesehatan yang di dalam
bereaksi terhadap dorongan pasar dan swastanisasi tidak lagi melihat perbedaan tersebut.
Hal ini akan sangat berbahaya karena setelah waktu satu atau dua dekade ke depan,
akibat kesalah-fahamanan ini baru akan tampak. Pembenahan pada masa itu, akan sangat
sulit. Setelah diskusi mendalam dan berbagai pancingan dilontarkan, pada umumnya
peserta DKT akhirnya menyadari ketidak-cocokan pelayanan kesehatan sebagai
komoditas privat yang dapat dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Hal serupa
juga tampak pada waktu diskusi tentang asuransi kesehatan komersial dan sosial.
Pada diskusi lebih mendalam, tampak bahwa pemahaman asuransi sosial
umumnya masih dinilai sebagai asuransi untuk golongan ekonomi lemah atau pelayanan
derma dengan kinerja manajemen yang buruk. Stigma ini memang tidak lepas dari apa
yang mereka amati atau alami dengan pelayanan Askes dan pelayanan Jamsostek pada
masa lalu, yang keduanya sebenarnya tidak mendapat dana yang memadai. Kedua
program tersebut merupakan asuransi sosial yang terdistorsi oleh kesalah-fahaman masa
lalu. Tidak sedikit dari peserta DKT yang berbicara dengan memberikan kesan bahwa
JPKM adalah program untuk rakyat miskin. JPKM dinilai sebagai suatu asuransi yang
bertujuan sosial yaitu memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat golongan bawah.
Padahal konsep JPKM merupakan adopsi konsep HMO yang merupakan integrasi
asuransi kesehatan dan pengendalian biaya melalui kontrak dengan PPK. Sama sekali
konsep itu tidak terkait dengan pemberian jaminan atau bantuan bagi masyarakat miskin.
Pemahaman tentang nirlaba (not for profit) juga umumnya dinilai sebagai suatu
bentuk kerja sukarela yang pengelolanya diberi gaji kecil. Segala yang dikelola secara
nirlaba seolah tidak bisa memenuhi harapan golongan menengah keatas atau tidak
mampu bersaing untuk memberikan pelayanan yang bermutu. Bahwa suatu asuransi atau
jaminan sosial harus dikelola secara nirlaba sama sekali tidak terpikirkan oleh
Asuransi Kesehatan Nasional 77
kebanyakan peserta. Yang tampak di mata kebanyakan peserta adalah bahwa manajemen
perusahaan profesional, seperti hotel Hilton atau Grand Hyaat, mampu memberikan
kepuasan tinggi bagi pelanggannya. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa pelayanan
profesional dan komersial seperti itu hanya mampu melayani sebagian kecil konsumen
yang berkantong tebal. Sementara asuransi sosial lebih mengutamakan pemerataan yang
adil. Setelah diskusi mendalam dan pemahaman terbentuk, hampir seluruh kelompok
sepakat bahwa pengelolaan asuransi sosial harus dikelola secara nirlaba. Lebih dari
separuh kelompok bahkan berpendapat bahwa pemerintahlah yang harus mengelolanya.
Begitu juga pemahaman tentang adil dan merata sangat bervariasi sehingga
meskipun kata-kata itu telah tercantum di dalam dokumen Indonesia Sehat 2010 dan di
berbagai dokumen umum lain seperti bahan ajar Pancasila. Masing-masing orang
mempunyai pandangan yang berbeda. Dalam diskusi awal, kebanyakan peserta tidak bisa
memberikan defisini yang tepat apa yang dimaksud dengan adil dan merata. Dengan
pemberian bantuan/clue, pada umumnya peserta sepakat bahwa untuk paket standar, yang
memenuhi kepentingan publik, konsep adil dan merata yang dapat diterima adalah dalam
artian equity yang egaliter, yang sesuai dengan jiwa dan budaya gotong royong penduduk
nusantara ini. Setelah mereka memahami apa arti egaliter dan liberter, hampir seluruh
kelompok sepakat bahwa untuk paket standar harus dikelola guna terselenggaranya
asuransi kesehatan yang egaliter.
Pengertian paket dasar pada umumnya dikaitkan dengan biaya yang relatif
murah/kecil atau pelayanan tertentu yang dibutuhkan banyak orang, bukan dinilai atas
dasar kebutuhan dasar (basic needs). Tidak jarang pemahaman tersebut bertambah rancu
dengan konsep pelayanan dasar di puskesmas. Setelah diskusi mendalam, pada umumnya
peserta menyadari bahwa perawatan mahal, perawatan intensif untuk mempertahankan
kehidupan, atau mempertahankan produktifitas sebenarnya merupakan kebutuhan yang
lebih mendasar yang seringkali tidak sanggup dipenuhi sendiri oleh penduduk ketimbang
kebutuhan rawat jalan. Konsep berat sama dipikul ini pada akhirnya dapat dipahami dan
disetujui sebagai paket dasar atau standar. Sebagian peserta mengakui bahwa kebutuhan
jaminan untuk rawat inap dan tindakan medis mahal lebih mendesak daripada jaminan
komprehensif. Akan tetapi topik ini merupakan topik yang paling kontroversial karena
sebagian peserta sudah sangat melekat dengan konsep pencegahan rawat inap, sehingga
Asuransi Kesehatan Nasional 78
berpendapat lebih baik rawat jalan yang dijamin dulu agar penduduk tidak perlu dirawat
inap. Dalam situasi tertentu hal ini benar, namun demikian tidak semua rawat inap dapat
dicegah dengan pemberian rawat jalan yang baik. Setelah diskusi yang panjang, pada
umumnya sebagian besar peserta setuju untuk mendahulukan jaminan rawat inap, jika
sumber daya yang tersedia belum memadai untuk memberikan jaminan komprehensif.
Jaminan komprehensif merupakan jaminan yang dikehendaki semua pihak.
Dalam diskusi lebih mendalam dan dengan bahasa awam dapat diketahui bahwa
hampir seluruh peserta DKT menyetujui bahwa suatu ketika cakupan universal harus
dicapai. Memang cakupan universal diakui tidak berarti semua orang akan mendapatkan
pelayanan yang sama banyaknya dan sama kualitasnya (equality). Hampir seluruh peserta
setuju bahwa untuk paket standar tertentu, yang mencakup kebutuhan medis yang sangat
mendasar (bukan yang murah) harus mampu disediakan untuk seluruh penduduk.
Penduduk yang kaya dapat memperoleh kenikmatan yang lebih (aspek private goods)
dengan membayar ekstra. Artinya seluruh peserta sepakat perlunya cakupan universal
untuk paket standar. Sebagian besar peserta setuju bahwa sistem yang dikembangkan
harus berlandaskan keadilan yang egaliter untuk paket standar medik dan liberter untuk
paket di atas itu atau untuk paket kenyamanan.
Bahkan sebagian besar peserta mempunyai visi bahwa pelayanan standar tersebut
harus dikelola secara nirlaba dalam bentuk asuransi sosial dan dikelola pemerintah.
Meskipun demikian, peran swasta tetap harus mendapat tempat. Apabila swasta mampu
mengelola, pemerintah diharapkan dapat melepas kepada swasta asal prinsip-prinsip
dasar terpenuhi. Pemerintah dalam hal itu berfungsi hanya sebagai regulator saja.
Mengenai jumlah penyelenggara, hampir seluruh peserta sepakat untuk sedapat mungkin
tidak diselenggarakan hanya oleh satu badan untuk seluruh Indonesia.
Dari diskusi terarah juga terungkap bahwa budaya bangsa Indonesia, seperti juga
bangsa lain pada suatu waktu, belum mengenal belanja resiko dan konsep asuransi.
Masyarakat masih tetap menginginkan bahwa jika ia membayar premi dan mereka tidak
pernah menggunakan pelayanan, maka pada akhir periode mereka harus menerima
uangnya kembali. Atas dasar budaya ini, perusahaan asuransi komersial selalu
menawarkan bonus tidak menggunakan atau pengembalian premi (no claim bonus).
Sebenarnya yang dikembalikan adalah bagian tabungan yang memang diperhitungkan
Asuransi Kesehatan Nasional 79
pada waktu perusahaan menghitung premi. Hal ini sangat perlu diperhatikan di dalam
merancang JPK.
Pengalaman negara lain Semua negara maju menyediakan jaminan kesehatan bagi penduduknya, baik
dalam bentuk jaminan sosial yang bersifat asuransi dan non asuransi. Penyelenggaraan
jaminan sosial berdasarkan mekanisme asuransi merupakan cara yang dianut oleh hampir
seluruh negara maju. Seperti halnya sistem pajak, tidak ada satupun negara maju yang
tidak menyelenggarakan asuransi sosial untuk kesehatan. Amerika yang paling liberal
dan sangat berorientasi pasar tetap masih belum berniat meninggalkan asuransi sosial
kesehatan (Medicare), meskipun memang berbagai reformasi perlu dilakukan. Bahkan
ada kecendrungan Amerika untuk meninggalkan sistemnya yang ada sekarang. Lihat saja
bagaimana Clinton berusaha melakukan reformasi total sistem kesehatannya, karena tidak
baiknya sistem pasar. Sebaliknya, belum ada satupun negara yang menyelenggarakan
asuransi sosial kesehatan yang hendak melakukan reformasi total sistemnya.
Penyelenggaraan asuransi kesehatan di berbagai negara memiliki variasi yang
sangat luas dalam hal kepesertaan, penyelenggara, paket dan cara paket jaminan
diberikan, serta cara pembayaran kepada PPK. Dalam hal kepesertaan, asuransi dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu asuransi kesehatan komersial dan
asuransi kesehatan sosialxxv. Dalam prakteknya, kedua bentuk pokok asuransi tersebut
didapatkan di banyak negara akan tetapi terdapat perbedaan pokok. Di Negara Amerika,
bentuk dominan yang diatur oleh negara bagi masyarakat resiko normal adalah bentuk
asuransi kesehatan komersial yang dapat berbentuk asuransi kesehatan tradisional
ataupun managed care. Namun demikian, untuk golongan resiko tinggi yaitu pensiunan
dan mereka yang menderita penyakit terminal, pemerintah menjadi pengemban atau
badan penyelenggara (bapel) melalui asuransi sosial Medicare. Jadi model Amerika
adalah dominasi asuransi kesehatan komersial dengan penyanggah/pengaman asuransi
sosial kesehatan. Di negara-negara maju lainnya bentuk dominan adalah asuransi sosial
kesehatan yang dapat dilengkapi dengan asuransi kesehatan komersial. Negara seperti
Taiwan sama sekali tidak mengundang asuransi kesehatan komersial, karena sistem
asuransi kesehatan nasionalnya (berbasis konsep asuransi sosial kesehatan) telah
memadai untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Akan tetapi Kanada yang juga memiliki
Asuransi Kesehatan Nasional 80
sistem asuransi kesehatan nasional tetap memberi kesempatan kepada swasta untuk
menjual produk private goods, sebagai asuransi suplemen.
Kegagalan pasar Perbedaan utama dari kebijakan makro pelayanan kesehatan adalah visi
dasar/fundamental tentang pelayanan kesehatan sebagai public goods atau private goods
dan pengakuan pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia. Kebijakan publik makro
tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu dengan menggunakan mekanisme pasar dan
regulasi.
Suatu mekanisme pasar dapat dikatakan sebagai suatu mekanisme alamiah
dimana pelaku ekonomi, pembeli dan penjual, dapat bebas bergerak sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing. Disini terjadi persaingan dinamik yang pada akhirnya
memberikan manfaat terbesar pada penduduk terbanyak/mayoritas. Peningkatan kapasitas
pembeli (demand) tanpa adanya peningkatan kapasitas penjual (supply) menyebabkan
harga naik untuk mutu yang sama. Sebaliknya peningkatan suplai barang tanpa adanya
peningkatan demand akan menyebabkan harga barang turun. Mekanisme tersebut adalah
mekanisme yang sangat lazim terjadi pada pasar. Hasil (outcome) dari mekanisme ini
adalah tercapainya efisiensi. Semakin tinggi tingkat persaingan, peningkatan suplai,
semakin rendah harga suatu barang dan jasa, dan sebaliknya. Jadi konsumen sebagai
penduduk mayoritas akan diuntungkan. Akan tetapi di dalam pelayanan kesehatan,xxvi
keluaran persaingan yang menghasilkan efisiensi tinggi ini selalu dipertanyakan. Apakah
benar dengan mekanisme pasar, pelayanan kesehatan akan lebih murah dan lebih
berkualitas? Suatu barang atau jasa pelayanan kesehatan dapat saja tidak lebih murah
akan tetapi kualitasnya lebih baik, dus terjadi efisiensi juga. Untuk mencapai efisiensi
tersebut harus ada prasyarat pasar yaitu informasi simetri (perfect information). Dokter
sebagai tenaga kunci/utama dalam pelayanan kesehatan berfungsi sebagai agen ganda
(double agent) yang berfungsi sebagai konsultan pasien dan sekaligus penjual jasa
kepada pasien tersebut. Dengan demikian, demand terhadap pelayanan kesehatan bukan
ditentukan oleh pasien/konsumen, akan tetapi oleh produsen. Disinilah mekanisme pasar
gagal di dalam pelayanan kesehatan, karena adanya informasi asimetri yang sangat besar.
Selain efisiensi yang merupakan keluaran umum yang diharapkan dari suatu
Asuransi Kesehatan Nasional 81
mekanisme pasar, di dalam pelayanan kesehatan yang diakui dunia sebagai hak asasi
perlu dipertimbangkan aspek equity (pemerataan) dari mekanisme pasar. Aspek equity
sangat terkait dengan golongan ekonomi lemah atau distribusi pendapatan golongan
ekonomi lemah. Dalam sektor jasa, salon kecantikan misalnya, para ahli ekonomi dan
kebijakan publik tidak perlu mengkhawatirkan aspek pemerataan. Jika ada orang miskin
tidak sanggup ke salon, tidak perduli apakah pasar jasa salon kecantikan itu efisien atau
tidak, publik tidak akan mempersoalkan. Pemerintah tidak pernah ikut campur untuk
menurunkan atau mengatur tarif salon kecantikan. Biarlah mekanisme pasar yang
bekerja. Tentu saja hal ini terjadi karena jasa pelayanan kecantikan merupakan private
goods dan bukan hak bagi semua penduduk. Akan tetapi dalam pasar bahan makanan
pokok (barang esensial) misalnya beras, para ahli tentu sangat peduli jika harga beras
terlalu tinggi sehingga golongan tidak mampu mungkin dapat menjadi kelaparan. Beras
atau makanan pokok sebagai barang esensial harus tersedia dan terjangkau bagi semua
orang. Oleh karenanya pemerintah negara manapun melakukan intervensi dengan
menjual barang kebutuhan pokok di bawah harga pasar atau memberikan subsidi khusus
kepada orang miskin. Mekanisme pasar masih dapat digunakan karena dalam produk
makanan pokok ini terdapat informasi seimbang. Akan tetapi di dalam pelayanan
kesehatan, aspek equity menjadi pertimbangan mutlak karena adanya informasi asimetri,
hak asasi, dan kemanusiaan (humanity). Negara-negara yang berbudaya tidak bisa
menerima jika ada penduduknya yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang
dapat diberikan di negeri itu.
Di dalam mekanisme pasar ada dua aspek penting yang menentukan tercapainya
efisiensi dan equity. Pertama adalah aspek pendanaan (health care financing) yang terkait
dengan kemampuan keuangan konsumen/penduduk. Yang kedua adalah ketersediaan
barang atau jasa, yang didalam pelayanan kesehatan dikenal dengan penyediaan jasa
pelayanan (health care delivery). Dalam kebijakan publiknya, negara maju seperti
Kanada, Taiwan, dan Jepang paling sedikit menjadikan salah satunya dikelola secara
publik. Umumnya pendanaan pelayanan kesehatan yang dikelola secara publik,
sementara penyediaan pelayanan diserahkan kepada swasta (publicly financed, privately
delivered) . Amerika dan Inggris merupakan dua negara maju yang sangat berbeda di
dalam kebijakan publiknya. Amerika menyerahkan pendanaan dan penyediaan kepada
Asuransi Kesehatan Nasional 82
mekanisme pasar, kecuali untuk kelompok resiko tinggi yang dikelola publik yang pada
akhirnya membebani negara dan pembayar pajak. Sementara Inggris menjadikan
keduanya, pendanaan dan penyediaan, dikelola publik yang dikenal dengan nama
National Health Service. Kebijakan kesehatan negara maju, secara umum dapat dilihat
dari matriks berikut:
Gambar-3.3.
Matriks Model Pembiaayan dan Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan
Penyediaan
Pelayanan
Pembiayaan Publik Swasta
Publik Inggris Indonesia dan negara berkembang lainnya
Swasta Kanada, Jerman, Jepang dan Taiwan
Amerika
Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan
kepada sektor swasta, akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah,
sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not for profit).
Apabila pembiayaan diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau
nirlaba, maka terdapat dua pilihan utama yaitu pembiyaan dari penerimaan pajak (general
tax revenue) seperti yang dilakukan Inggris dan pembiayaan melalui asuransi sosial
seperti yang dilakukan Kanada, Taiwan, Jepang dan Jerman. Kanada dan Taiwan
memberlakukan sistem monopoli Propinsi dan Negara dengan hanya menggunakan satu
badan penyelenggara, yang sering dikenal Asuransi Kesehatan Nasional. Sementara
Jerman dan Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi sosial kesehatan dengan
banyak penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba.
Asuransi kesehatan komersial Di Amerika kadang kali dibedakan pengertian asuransi komersial dan tidak
komersial atas dasar badan penyelenggaranya. Asuransi kesehatan yang dijual oleh
prusahaan asuransi sudah pasti digolongkan sebagai asuransi komersial. Akan tetapi
asuransi kesehatan yang dijual oleh Blue Cross-Blue Shield, HMO, PPO, dan POS tidak
Asuransi Kesehatan Nasional 83
digolongkan asuransi komersial tetapi juga tidak digolongkan asuransi sosial.
Perbedaannya hanyalah pada bentuk badan penyelenggaranya yang bukan perusahaan
asuransi komersial. Blue Cross-Blue Shield adalah suatu organisasi nirlaba, yang dulunya
tidak dikenakan pajak penghasilan badan. Akan tetapi karena belakangan diketahui
adanya pembagian dividen, maka pengelola ini tidak lagi digolongkan sebagai organisasi
nirlaba, akan tetapi tidak juga digolongkan sebagai perusahaan asuransi. Sementara HMO
adalah suatu entitas legal yang diberi ijin menjual produk HMO, yang sangat mirip
dengan produk JPKM, akan tetapi badan penyelenggaranya bisa perusahaan asuransi bisa
juga bukan, bahkan dapat saja perorangan. Sifat HMO ini dapat sebagai pencari laba
(46% dari seluruh HMO, HIAA 1996) dan bisa bersifat nirlaba (pada awal diperkenalkan
HMO, 96% HMO bersifat nirlaba. Kaiser Foundation Health Plan merupakan salah satu
contoh HMO nirlaba yang mampu berkembang sangat pesat dengan anggota melebihi 9
juta jiwa dan penerimaan premi di tahun 1998 melebihi US$ 15 milyar. Namun demikian
produk yang dijual Kaiser bukanlah asuransi sosial. Satu-satunya asuransi sosial
kesehatan yang ada di Amerika adalah Medicare part A.
Asuransi kesehatan sosial Asuransi sosial adalah asuransi yang diselenggarakan atau diatur oleh pemerintah
yang melindungi golongan ekonomi lemah dan menjamin keadilan yang merata (equity).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka suatu asuransi sosial haruslah didasari pada suatu
undang-undang dengan pembayaran premi dan paket jaminan yang memungkinkan
terjadinya pemerataan. Dalam penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri
(a) kepesertaan wajib bagi sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran premi
ditetapkan oleh undang-undang, umumnya proporsional terhadap pendapatan/gaji, dan (c)
paketnya ditetapkan sama untuk semua golongan pendapatan, yang biasanya sesuai
dengan kebutuhan medis (Thabrany, 1999)xxvii. Dengan mekanisme ini, maka
dimungkinkan tercapainya keadilan sosial yang egaliter bahkan dapat dilakukan tanpa
harus ada anggaran pemerintah. Penyelenggaraan asuransi sosial kesehatan di Jerman
merupakan suatu contoh dimana anggaran pemerintah untuk sektor kesehatan sangat
minimal, karena masyarakat membiayai hampir seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan
melalui asuransi sosial tersebut. Memang diakui bahwa perkembangan asuransi sosial ini
Asuransi Kesehatan Nasional 84
dimulai di Jerman pada tahun 1883.
Dari segi pembiayaan, asuransi sosial mempunyai keunggulan dalam mencapai
efisiensi makro karena tidak memerlukan biaya perancangan produk, pemasaran, dan
pencapaian skala ekonomi yang optimal. Selain itu asuransi sosial mempunyai
kemampuan untuk mewujudkan pemerataan dan kedilan (equity). Taiwan misalnya hanya
menghabiskan kurang dari 3% premi untuk biaya administrasi (Depkes Taiwan,
1997)xxviii. Seluruh penduduk Taiwan memiliki asuransi kesehatan. Program Medicare di
Amerika hanya menghabiskan biaya administrasi sebesar 3-4% sementra asuransi
komersial swasta di Amerika menghabiskan rata-rata 12% (Shalala dan Reinhardt,
1999)xxix Seluruh pensiunan di Amerika memiliki asuransi kesehatan Medicare. Jadi
asuransi sosial kesehatan adalah satu-satunya penyelenggaraan asuransi yang mampu
mencapai dua tujuan kebijakan yaitu efisiensi dan equity yang egaliter.
Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB pasal 22 dan 25
tentang hak asasi manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak
asasi penduduk (fundamental human right). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar
ini pemerintah negara-negara maju mengusahakan suatu sistem kesehatan yang mampu
mencakup seluruh penduduk (universal) secara adil dan merata (equity yang egaliter).
Negara-negara maju pada umumnya mewujudkan peran serta masyarakat dalam
pendanaan/pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik yang diatur oleh suatu undang-
undang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh negara atau oleh
sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh undang-undang. Penyelenggara
pembiayaan publik dapat suatu badan pemerintah dapat pula badan swasta yang nirlaba.
Penyediaan kesehatan publik adalah penyediaan rumah sakit, klinik, pusat kesehatan, dan
sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat diselenggarakan secara otonom
(terlepas dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak otonom.
Dengan menempatkan salah satu atau kedua faktor pembiayaan dan atau
penyediaan oleh publik (public not for profit enterprise) dimungkinkan terselenggaranya
cakupan universal dan pemerataan yang adil. Penempatan kesehatan sebagai hak asasi
tidak selalu berarti bahwa pemerintah harus menyediakan seluruh pelayanan dengan
cuma-cuma. Di Indonesia, banyak orang mengkhawatirkan penempatan kesehatan
sebagai hak asasi akan menyebabkan beban pemerintah menjadi sangat berat. Pada
Asuransi Kesehatan Nasional 85
hakikatnya, pembiayaan maupun penyediaan pelayanan dapat dilakukan oleh pemerintah
bersama swasta.
Kinerja asuransi kesehatan sosial dan komersial Kinerja asuransi sosial kesehatan dengan memperhatikan efisiensi makro dan
equity dapat dilihat dari tabel dan gambar dan di bawah ini. Dapat dilihat dari tabel
ringkasan di bawah ini bahwa negara-negara yang menjadikan asuransi sosial kesehatan
sebagai bentuk asuransi dominan mampu mencapai cakupan universal dengan biaya
kesehatan per kapita atau per hari rawat yang jauh lebih murah. Bukan hanya itu,
indikator status kesehatan di negara-negara tersebut juga tidak lebih jelek, bahkan dalam
beberapa negara justeru lebih baik, dari Amerika—satu-satunya negara yang menerapkan
asuransi kesehatan komersial sebagai model asuransi dominan. Sudah barang tentu
indikator ini tidak hanya dipengaruhi sistem dan besarnya biaya. Besarnya biaya
kesehatan tersebut tetapi lebih murah di negara-negara yang menerapkan asuransi sosial
kesehatan meskipun biaya tersebut disesuaikan dengan indeks biaya hidup.
Besarnya biaya kesehatan per kapita dapat bervariasi di berbagai negara yang
menyelenggarakan kebijakan asuransi sosial kesehatan sebagai bentuk dominan. Gambar
di bawah ini dengan jelas dapat menujukkan kinerja biaya tersebut dikaitkan dengan
angka kematian bayi (AKB) dan umur harapan hidup (UHH). Yang jelas, di semua
negara yang menjadikan ASK dominan, indikator kesehatan yang diukur oleh AKB dan
UHH menunjukkan status yang tinggi, bahkan tidak jarang lebih baik dari indikator yang
sama di AS (dominasi asuransi komersial). Perbedaan biaya kesehatan dan biaya per hari
rawat inap di berbagai negara tersebut disebabkan karena perbedaan sistem pembayaran
kepada PPK dan struktur penduduk dan sistem kesehatannya.
Kinerja efisiensi makro dari ASK tidak saja ditunjukkan dari data lintang waktu
seperti pada gambar tersebut, akan tetapi juga ditunjukkan oleh lebih rendahnya produk
domestik bruto suatu negara yang dihabiskan untuk membiayai pelayanan kesehatan.
Perkembangan persentase biaya kesehatan terhadap PDB di enam negara OECD, 1970-
1997 telah dilakukan oleh Ikegami dan Campbell (1999)xxx. Hasil penelitian tersebut
disajikan pada Gambar-2. Efisiensi makro ini dapat dilihat pada Gambar .. dari gambar
tersebut tampak bahwa mekanisme pasar tidak mampu menciptakan efisiensi makro
Asuransi Kesehatan Nasional 86
seperti ditunjukkan pada kasus Amerika.
Gambar-3.4
Perkembangan Biaya Kesehatan (% PDB) di Enam Negara Maju, 1970-1997
0
4
8
12
16
1970 1975 1980 1985 1990 1997
Tahun
Amerika JermanKanada PerancisJepang Inggris
Asuransi Kesehatan Nasional 87
Tabel 3.2
Perbandingan model asuransi, cakupan, biaya dan status kesehatan di berbagai
negara maju.
Negara Jenis
askes dominan
% Pendu
duk denga
n Askes Sosial
% Penduduk yang memili
ki askes
Biaya rawat
inap per hari
(US$, 1997)
Total biaya
kesehatan per kapita
(US$, 1997)
Angka
kematian bayi /100
0
Usia harapan hidup (wanita/ pria)
Amerika Komer-sial
33,3 83 1.128 3.925 7,8 79,4/72,7
Australia Sosial 100 100 242 1.805 5,8 81,1/75,2 Austria Sosial 99 99 109 1.793 5,1 80,2/73,9 Belanda Sosial 72 99 225 1.838 5,2 80,4/74,7 Belgia Sosial 99 100 263 1.747 6,0 81,0/74,3 Ceko Sosial 100 100 75 904 6,0 77,2/70,5 Denmark Sosial 100 100 632 1.848 5,2 78,0/72,8 Finlandia Sosial 100 100 168 1.447 4,0 80,5/73,0 Inggris Negara,
NHS 100 100 320 1.347 6,1 79,3/74,4
Islandia Sosial 100 100 192 2.005 5,5 80,6/76,2 Itali Sosial 100 100 339 1.589 5,8 81,3/74,9 Jepang Sosial 100 100 83 1.741 3,8 83,6/77,0 Jerman Sosial 92,2 99,9 228 2.339 5,0 79,9/73,6 Kanada Nasio-
nal 100 100 489 2.095 6,0 81,5/75,4
Korea Sosial 100 100 110 587 9,0 77,4/69,5 Luksemberg Sosial 100 100 180 2.340 4,9 80,0/73,0 Norwegia Sosial 100 100 123 1.814 4,0 81,1/75,4 Perancis Sosial 99,5 99,5 284 2.051 4,9 82,0/74,1 Portugal Sosial 100 100 249 1.125 6,9 78,5/71,2 Selandia Baru Nasio-
nal 100 100 254 1.352 7,4 79,8/74,3
Spanyol Sosial 99,8 99,8 343 1.168 5,0 81,6/74,4 Turki Sosial 66 66 73 260 42,2 70,5/65,9 Yunani Sosial 100 100 144 974 7,3 80,4/75,1
Asuransi Kesehatan Nasional 88
Gambar 3.5
Hubungan antara Angak Kematian Bayi, Biaya Kesehatan, dan Sistem
Asuransi Kesehatan di Berbagai Negara Maju
0
10
20
30
40
50
0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000Biaya Kesehatan per Kapita (US$)/th
Ang
ka K
emat
ian
Bay
i
Askes Sosial Askes komersial
Asuransi Kesehatan Nasional 89
Gambar 3.6
Hubungan antara Biaya Rawat Inap per Hari, Usia Harapan Hidup, dan Sistem
Asuransi Kesehatan di Berbagai Negara Maju
68
72
76
80
84
88
0 200 400 600 800 1,000 1,200Biaya Rawat Inap per Hari
Usi
a H
arap
an H
idup
Askes sosial Askes komersial
Asuransi Kesehatan Nasional 90
Paket dasar: biaya atau need? Paket dasar dan komprehensif yang dikehendaki dalam pengaturan JPKM
memang mengacu pada teori hulu yang dapat menurunkan biaya di hilir. Namun
demikian, hal itu dapat terjadi dengan baik jika masalah hilir dapat diselesaikan dengan
baik dan jika dana cukup memadai. Dalam praktek, pengertian komprehensif sangat
dibatasi pada pengertian adanya pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
meskipun masing-masing komponen jumlahnya sedikit-sedikit. Jadi pengertian
komrehensif dalam RUU JPKM masih sangat terbatas, bukan komprehensif dalam artian
memenuhi kebutuhan medis peserta. Dalam beberapa pasal memang disebutkan sesuai
dengan kebutuhan medis, akan tetapi kemudian ada klausul paket dasar. Paket dasar ini
belum dielaborasi dengan jelas, apa yang dimaksud paket dasar. Dalam hal ini ada
beberapa opsi, yaitu:
Paket dasar dapat diartikan sebagai paket yang biayanya relatif kecil. Konsep ini
misalnya digunakan dalam JPK Jamsostek, dimana paket rawat inap ditanggung hanya
sampai 60 hari, rawat inap intensif 20 hari, dan pengobatan kanker serta hemodialisa
tidak ditanggung. Dalam konsep ini pengertian dasar adalah pengertian kemampuan
pembiayaan, bukan pengertian kebutuhan medis. Sebab orang yang secara medis
membutuhkan pengobatan kanker atau hemodialisa, tidak bisa dipenuhi dari paket
tersebut.
Di dalam Permenkes 527/93 paket dasar hanya mencakup 5 hari perawatan. Jika
seorang peserta perlu dirawat lama, karena penyakitnya yang cukup berat, maka jika
sebuah bapel menjual hanya paket dasar dapat dipastikan seorang peserta akan
menanggung beban biaya yang berat. Dalam praktek bapel di daerah, bahkan rawat inap
hanya ditanggung dengan penggantian biaya yang relatif kecil, misalnya di proyek
percontohan JPKM Klaten hanya memberikan maksimum Rp 250.000 (Natal, 1997).
Disinipun, pengertian dasar yang digunakan adalah konsep pendanaan yang terjangkau
oleh bapel atau dana yang terkumpul. Tentu saja hal ini tidak menyelesaikan masalah
kemanusiaan.
Dalam program Askes, paket dasar pada prinsipnya sesuai dengan kebutuhan
Asuransi Kesehatan Nasional 91
medis seseorang. Tidak ada pengecualian atau pembatasan, kecuali anggota mencapai
usia tertentu atau persalinan anak ketiga atau lebih. Hanya saja pelayanan yang diberikan
adalah pada kelas murah (perawatan kelas II untuk golongan I dan II dan rawat jalan di
puskesmas). Obat yang ditanggung juga terbatas pada daftar obat yang ditetapkan PT
Askes. Jadi paket dasar disini komprehensif dalam artian kebutuhan medis, akan tetapi
paket ini tidak mempertimbangkan selera atau kenyamanan. Penetapan paket ini
menyebabkan sekitar separuh anggota Askes tidak menggunakan hak rawat jalannya dan
sepertiga anggota tidak menggunakan hak rawat inap. Kecilnya pembayaran oleh PT
Askes kepada rumah sakit, menyebabkan banyak rumah sakit membebani anggota
dengan biaya tambahan, baik itu untuk pelayanan medis dan kenikmatan. Seorang
anggota yang memerlukan tindakan jantung di RS Jantung Harapan Kita dapat dipastikan
harus membayar lebih dari separuh biaya yang dibutuhkan, karena Rumah Sakit tidak
perduli dengan besaran tarif yang ditetapkan Menteri Kesehatan.
Beberapa negara maju dan berkembang, seperti Filipina, menerapkan paket dasar
dengan mempertimbangkan kebutuhan medis dan kemampuan penduduk membiayainya.
Kanada dan Filipina memulai jaminan rawat inap dan tindakan medis mahal lainnya yang
menjadi paket dasar yang ditanggung oleh asuransi sosial kesehatan. Prinsipnya
sederhana, yang ringan biayanya dimana penduduk mampu membiayai sendiri diserahkan
kepada penduduk. Biaya yang besar yang penduduk tidak mampu membiayainya dipikul
bersama melalui skema asuransi (berat sama dipikul). Model penetapan paket seperti ini
secara ekonomis dan kebijakan publik yang adil adalah lebih rasional. Para oponen
penerapan konsep ini berargumen bahwa dengan menanggung perawatan yang mahal
saja, akan mendorong biaya besar dan tidak mendidik penduduk untuk melakukan
aktifitas promotif/preventif. Akibatnya nanti biaya kesehatan akan menjadi mahal. Bukti-
bukti makro pembiayaan kesehatan tidak terbukti bahwa pada akhirnya beban biaya
kesehatan menjadi mahal, apabila hal itu dilakukan melalui mekanisme asuransi sosial
kesehatan. Para pendukung model ini berargumen bahwa di dalam pelayanan kesehatan,
kita tidak mungkin melepaskan diri dari kewajiban sosial/komunitas untuk tidak
membantu sesama manusia yang membutuhkan pelayanan medis mahal akan tetapi
kemampuan ekonominya tidak memungkinkan ia mendapatkannya. Hal ini sangat sejalan
dengan sila kemenusiaan yang adil dan beradab. Bahwa promotif dan preventif
Asuransi Kesehatan Nasional 92
diperlukan, dapat diterima akan tetapi prioritas tetap pada penangana keadaan yang
menyentuh aspek kemanusiaan. Dalam kondisi dana yang memadai, kosep komprehensif
memang ideal sekali. Akan tetapi dalam kondisi dana terbatas, maka prioritas utama
adalah membantu mereka yang sangat membutuhkan akan tetapi secara ekonomis tidak
mampu membiayai sendiri.
Pemisahan promotif/preventif antara program kesehatan masyarakat dan
pelayanan rumah sakit tampak tercermin dalam konsep JPKM. Ada persepsi bahwa
pelayanan promotif dan preventif tidak diberikan apabila paket yang dicakup, misalnya
perawatan dan tindakan medis saja. Hal ini sebenarnya tidak benar. Sebab pelayanan
promotif dan preventif dapat diberikan pada setiap kondisi, pada orang sehat dan pada
orang sakit. Pada orang yang sudah jatuh sakit, pelayanan promotif dan preventif
diberikan secara perorangan untuk mencegah berulangnya kejadian sakit dan terjadinya
kondisi yang lebih parah. Para dokter klinik sudah sangat terbiasa dengan istilah primary
preventian bagi mereka yang memiliki faktor resiko tertentu, misalnya kadar kolestrol
tinggi terhadap penyakit jantung, akan tetapi belum terkena serangan. Mereka juga
mengenl secondary prevention untuk pasien yang pernah menderita serangan, misalnya
gangguan jantung, yang telah diobati. Untuk mencegah serangan berulang atau tambah
berat, para klinisi memberikan berbagai pelayanan promotif dan preventif.
Apabila semua penduduk sudah mendapatkan akses rawat inap dan masyarakat
telah merasakan manfaat mengikuti program JPK/asuransi, maka paket pelayanan dapat
ditingkatkan hingga mencakup paket komprehensif. Karena selama pemberlakukan paket
rawat inap, secara bertahap biaya rawat jalan di rumah sakit umum dan puskesmas
dinaikkan mendekati tarif dokter di rumah sakit swasta atau praktek pribadi, maka
perlahan-lahan masyarakat akan belajar bahwa resiko finansial untuk berobat jalanpun
mulai berat. Maka perluasan paket wajib dapat dilakukan. Alternatif lain adalah
membiarkan masyarakat membeli asuransi komersial untuk paket rawat jalan dan paket
peningkatan (upgrade) paket rawat inap. Sejauh kebutuhan medis rawat inap sudah
dijamin, maka kita tidak menghadapi masalah dilema prikemanusiaan. Tidak ada lagi
orang yang menderita sakit berat yang dapat diobati yang tidak mendapatkan perawatan.
Mengatur jaminan bukan “bisnis jaminan” Dalam rancangan UU JPKM, belum tampak dengan jelas bahwa UU tersebut
Asuransi Kesehatan Nasional 93
akan mengatur jaminan sehingga di suatu saat seluruh penduduk memiliki jaminan yang
adil dan merata. Meskipun dalam RUU tersebut sudah disebutkan setiap penduduk wajib
menjadi peserta JPKM, tidak secara jelas pentahapannya. Hal ini dapat menimbulkan
kesulitan di lapangan, dimana misalnya seorang bupati akan memaksakan seluruh
penduduknya mendaftarkan diri sementara sarana belum memadai. Apabila premi dari
penduduk yang bekerja pada sektor informal, seperti petani dan pedagang kecil, akan
dikumpulkan dari rumah ke rumah maka biaya pengumpulannya akan jauh lebih mahal.
Pengumpulan melalui pajak penghasilan atau pajak bumi dan bangunan juga tidak mudah
dilakukan. Penduduk seperti itu umumnya belum mempunyai NPWP dan tidak
membayar pajak secara reguler. Jika premi akan ditarik melalui PBB yang setahun sekali,
jumlah premi yang akan ditarik bisa jadi jauh lebih besar dari PBBnya. Selain itu, banyak
masyrakat yang tidak memiliki tanah dan bangunan yang tidak ikut membayar premi.
Suatu rancangan UU harus secara spesifik dan bertahap mewajibkan kelompok
masyarakat untuk menjadi peserta JPKM. Persyaratan pertama adalah adanya instrumen
pengumpulan premi yang jelas, mudah, dan memiliki penghasilan rutin. Hanya kelompok
pekerja formal dan anggota koperasi mandiri (bukan koperasi simpan pinjam) dimana
anggotanya mendapatkan penghasilan rutin dari koperasi tersebut yang memenuhi
persyaratan ini. Yang kedua, kelompok masyarakat tersebut haruslah berada pada
jangkauan PPK yang mutunya dapat diterima. Pengertian mutu yang selama ini
dikumandangkan dalam JPKM baru merupakan slogan-slogan kosong, yang di dalam
prakteknya sama sekali belum terbukti. Hal ini tidak boleh terjadi. Sebab, jika pelayanan
PPK tidak dapat diterima oleh peserta, maka insentif peserta untuk terus melanjutkan
kepesertaan akan hilang. Ketiga, paket yang diberikan harus cukup signifikan sehingga
peserta merasakan benar manfaatnya menjadi anggota JPKM. Apabila peserta ternyata
masih harus mengeluarkan biaya sendiri yang cukup besar (relatif terhadap
pendapatannya), maka tidak ada insentif bagi mereka untuk terus membayar premi.
Pengaturan tarif PPK dan standar pelayanan medis Selama ini pengaturan tarif kapitasi maupun rumah sakit dilakukan oleh bapel
dengan PPK yang secara sendiri-sendiri dihubungi oleh bapel. Keterbukaan dalam
negosiasi tarif, baik dengan bapel JPKM maupun dengan JPK Jamsostek, tidak tampak.
Asuransi Kesehatan Nasional 94
Akibatnya tidak timbul saling kepercayaan antara dokter dengan bapel. Jika dokter
merasa bahwa tarif kapitasi kurang memadai, maka dokter tidak akan memberikan
pelayanan prima. Bukti-bukti empirik tentang hal sudah dapat kita lihat di tanah air.
Dengan logika bisnis akan sangat mudah kita mengerti bahwa hal itu terjadi.
Meskipun sejak lama tarif dokter tidak pernah ditetapkan oleh pemerintah atau
profesi, apabila JPKM diharapkan berjalan dengan baik, tarif dokter harus ditetapkan
dengan wajar dengan melibatkan organisasi profesi setempat. Besaran tarif dokter umum
dan spesialis yang pantas, harus ditetapkan bersama secara terbuka dan adil. Hal ini
mungkin akan membuka paradigma baru, dimana untuk waktu yang lama tarif tidak
pernah ditetapkan karena alasan hubungan dokter pasien yang sifatnya hubungan pribadi.
Dengan bapel JPKM, apalagi jika bapel tersebut bersifat pencari laba, maka besaran tarif
kapitasi atau konsultasi dokter spesialis harus ditetapkan. Disini hubungan dokter dengan
pasien anggota JPKM sudah menjadi hubungan bisnis antara dokter dengan bapel, bukan
lagi hubungan pribadi antara pasien dengan dokternya.
Berbagai program JPKM percontohan dan penyelenggaraan JPK Jamsostek
menggunakan dokter puskesmas dengan tarif yang jauh di bawah tarif dokter pada
praktek pribadi. Kontrak semacam ini sebenarnya tidak cukup sehat bagi kedua belah
pihak. Bagi bapel kontrak dengan puskesmas menimbulkan persepsi tidak baiknya mutu
pelayanan, dan karenanya akan menurunkan minat sekelompok orang untuk ikut JPKM.
Bagi puskesmas yang sebagian besar biaya operasionalnya mendapat subsidi pemerintah
daerah, kontrak semacam itu memuluskan salah subsidi. Para karyawan yang ikut atau
diikut JPKM oleh majikannya adalah kelompok yang seharusnya tidak perlu
mendapatkan subsidi pemerintah lagi. Mereka seharusnya membayar dengan biaya
penuh. Distrosi penyelenggaraan ini harus diubah sehingga, jika puskesmas akan
digunakan maka tarif yang disepakati seharusnya tarif yang tidak mendapatkan subsidi.
Sebagai konsekuensinya, puskesmas harus membuka pelayanan dari pagi hingga sore dan
harus memberikan pelayanan sebagaimana layaknya praktek dokter partikelir. Hal ini
membutuhkan perubahan struktural puskesmas, agar puskesmas cukup lentur melakukan
kontrak dan menggunakan dana yang terkumpul untuk insentif tenaga medis dan
paramedis. Perubahan struktural ini memerlukan otonomi puskesmas, yang saat ini belum
pernah terjadi. Suatu proyek percontohan dapat ditempuh di kota besar seperti Jakarta.
Asuransi Kesehatan Nasional 95
Pengaturan UU JPKM yang tidak mengatur mekanisme pembayaran dan
pelayanan oleh PPK, baik itu dokter praktek perorangan atau rumah sakit, tidak dapat
memberikan dorongan berkembangnya program JPKM ini. Apabila program JPKM ini
diharapkan bernegosiasi dengan PPK atas dasar mekanisme pasar, maka diperlukan
waktu 20-30 tahun untuk mencapai efek kendali biaya.
Prioritas kelompok yang dapat dikelola (manageable) Data cakupan PT Jamsostek dan data cakupan bapel serta perusahaan asuransi
komersial menunjukkan bahwa di tahun 1998, besarnya cakupan asuransi kesehatan
adalah sekitar 28 jtua penduduk. Jika kita bandingkan dengan populasi tenaga kerja di
sektor formal, pekerja swasta dan negeri, yang mempunyai potensi mencakup lebih dari
80 juta penduduk, maka cakupan dari UU Jamsostek masih sangat rendah. Padahal
kelompok yang wajib menurut UU Jamsostek masih besar sekali. Terlepas dari
kepentingan sektoral, perluasan dari sektor ini merupakan pilihan yang cukup viable
untuk dilakukan, dengan berbagai modifikasi atau penyempurnaan.
Kunci keberhasilan Masalah terbesar di dalam pembangunan kesehatan sekarang ini adalah
kurangnya komitmen berbagai sektor terhadap pembangunan kesehatan. Di kalangan
pemerintahan, pembangunan kesehatan dilihat hanya sebagai kepentingan atau urusan
Departemen Kesehatan. Departemen lain belum menempatkan kesehatan sebagai bidang
yang penting. Dalam dengar pendapat dengan Komisi VII DPR misalnya, para anggota
Dewan mengakui bahwa sulit sekali menggoalkan revisi undang-undang dasar untuk
memasukkan kesehatan sebagai salah satu hak penduduk. Berbagai anggota partai politik
maupun pemerintah kebutuhan pengaturan kesehatan belum mendesak. Saat ini hal-hal
yang perlu dibenahi atau diprioritaskan adalah masalah politik, ekonomi, hukum, dan
pemerintahan.
Faktor lain yang amat penting dalam keberhasilan sistem JPK di Indonesia adalah
komitmen dan Kesadaran Pemerintah dari berbagai sektor untuk memiliki program
jaminan yang baik untuk seluruh penduduk. Komitmen ini bukan hanya komitmen
Depkes, Depkeu, atau Depnaker saja, akan tetapi komitmen berbagai perangkat
Asuransi Kesehatan Nasional 96
pemerintah pusat dan daerah. Selain itu paket jaminan yang layak dan sesuai dengan
kemampuan keuangan merupakan faktor lain yang juga esensial. Besaran premi yang
apabila dikumpulkan dapat mencukupi kebutuhan biaya medis dan biaya operasional.
Selanjutnya pengelolaan yang profesional merupakan syarat mutlak agar sistem ini
sustainabel. Sejalan dengan profesionalisme tersebut, keterbukaan manajemen menjadi
kunci penting lain.
Manfaat eksternal Perlu disadari bahwa perluasan JPK tidak hanya sekedar bermanfaat melindungi
penduduk dari kesulitan biaya dan kesulitan pemenuhan kebutuhan kesehatannya, akan
tetapi sistem jaminan yang baik akan meningkatan produktifitas penduduk yang pada
akhirnya akan memberi manfaat besar bagi negara dan masyarakat itu sendiri. Dana yang
terkumpul dan belum digunakan dapat menjadi sumber dana pembangunan yang tidak
sedikit jumlahnya. Selain itu penyerapan tanaga kerja, khususnya tenaga medis dan
tenaga kesehatan lainnya akan sangat besar peranannya dalam menurunkan angka
pengangguran di tanah air ini. Lebih lanjut, sistem yang baik juga akan mampu
meluruskan dan mengurangi beban negara dalam membiaya pelayanan kesehatan bagi
penduduk. Rancang bangun JPK yang baik, akan mampu mengendalikan biaya yang
dapat membantu pemerintah memusatkan perhatian pada pembangunan lain. Sistem JPK
yang baik juga akan eningkatkan solidaritas sosial masyarakat Indonesia.
Untuk itulah, alternatif sistem JPK diajukan pada bab berikutnya. Menjadi
kewajiban kita bersama untuk memilih sistem yang paling baik bagi masyarakat, bukan
bagi pemerintah, pengusaha, atau kepentingan lain.
Asuransi Kesehatan Nasional 97
Bab IV Alternatif Sistem Asuransi Kesehatan Indonesia
Sebagai alternatif sistem penyelenggaraan dengan pilihan kombinasi antara paket
dan penyelenggara dapat dilihat pada matriks di bawah ini
Paket jaminan dimulai dengan Penyelenggara
Opsi I. Rawat Inap dan biaya mahal
Opsi II. Komprehensif dengan cost sharing
Opsi III. Komprehensif tanpa cost sharing
Single payer di Propinsi. Perubahan UU
Efisien, egaliter, manajemen paling mudah, sustaina-bilitas tinggi
Efisien, egaliter, manajemen lebih kompleks, sustain-abilitas tinggi
Kurang efisien, ega-liter, manajemen kompleks, sustaina- bilitas tinggi
Oligo payer di Propinsi /Pusat.Penambahan / per ubahan UU
Efisien, egaliterdalam kelompok, manajemen paling mudah, sustaina-bilitas tinggi
Efisien, egaliter dalam kelompok, manajemen lebih kompleks, sustainabilitas tinggi
Kurang efisien, ega liter dalam kelom pok, manajemen kompleks, sustaina bilitas tinggi
Multi payer 1 di prop/ pusat Penambahan/ perubahan UU
Kurang efisien, egaliter dalam kelom pok, manajemen mu dah, risk pool mung kin masalah, sustaina bilitas mungkin masalah
Kurang efisien,egaliter dalam kelom pok, manajemen mudah, risk pool mungkin masalah, sustainabilitas mungkin masalah
Lebih kurang efi sien, egaliter dalam kelom pok, manaje men mudah, risk pool mungkin ma salah, sustainabilitas mungkin masalah
Multi payer 2 di Kab-kota/ Propinsi/ Pusat. Penambahan/Perubahan UU
Kurang efisien, egaliter dalam kelompok, manajemen mudah, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas
Kurang efisien, egaliter dalam kelompok, manajemen kompleks, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas
Paling tidak efisien, egaliter makin terbatas, manajemen sukar, risk pool masalah besar, ancaman sustainabilitas
Multi payer 3, dengan BAKN. Penambahan/Perubahan UU
Lebih kurang efisien, egaliter dalam kelompok, manajemen sukar, risk pool masalah, sustainabilitas masalah
Kurang efisien, egaliter dalam kelompok,manajemen kompleks, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas
Paling tidak efisien, egaliter makin terbatas, manajemen sukar, risk pool masalah besar, ancaman sustainabilitas
Asuransi Kesehatan Nasional 98
Setelah didiskusikan bersama oleh berbagai unsur, alternatif badan penyelenggara
selaku payer mempunyai kelebihan dan kekurangan seperti dapat disajikan dari hasil
rumusan sebagai berikut.
Unsur Single payer Nasional
Single payer Propinsi
Oligo payer Nasional
Single collector, multi payer
Multi payer district I
Multi payer district II
Efisiensi +++++ ++++ +++ ++ ++ +/- Kualitas, responsif
+
++
++
++++
++++
++++
Kualitas, Pelayanan
++++
+++
+++
+++
+
+/-
Keterjangkauan +++++ ++++ +++ ++ ++ +/- Keberlanjutan +++++ +++++ +++++ +++ ++ +/- Subsidi silang +++++ ++++ ++++ ++++ + +/- Equity +++++ ++++ +++ ++++ ++ +/- Portabilitas +++++ ++++ ++++ +++ ++ +/- Desentralisasi +/- +++ +/- ++ ++++ ++++
Di dalam pengambilan keputusan bentuk apa pun yang paling pas untuk
Indonesia, berbagai bentuk di atas bukanlah merupakan yang eksklusif. Kombinasi beberapa bentuk dapat dilakukan. Yang paling penting untuk diingat ialah bahwa salah satu bentuk mungkin pas untuk saat ini kemudian pada masa yang akan datang dapat berubah menjadi bentuk yang lain. Misalnya, untuk satu badan asuransi Nasional meskipun banyak memiliki kelebihan sulit dilakukan saat ini karena situasi politik yang belum memungkinkan. Bentuk desentralisasi sampai tingkat propinsi merupakan bentuk yang dinilai oleh tim paling baik, ditinjau dari berbagai aspek tersebut diatas.
Badan Penyelenggara Status
Oleh karena bentuk pemberian JPK ini merupakan suatu bentuk asuransi sosial
yang bertujuan memenuhi kebutuhan bersama (gotong royong), maka Badan
Penyelenggara haruslah bersifat nirlaba. Badan ini akan dibentuk oleh Pemerintah
Propinsi dengan modal yang disisihkan dari kekayaan propinsi. Tidak tertutup
kemungkinan modal dari swasta, apabila ada swasta yang berminat memberikan
hibah/donasi kemanusiaan yang berkesinambungan (amal jariah). Bentuk yang ideal
Asuransi Kesehatan Nasional 99
adalah suatu badan hukum, yang bukan perusahaan dan bukan BUMN/BUMD. Bentuk
usaha mutual (usaha bersama) merupakan alternatif yang mendekati bentuk ideal. Tidak
ada pendiri atau pemegang saham yang mempunyai hak veto atau suara mayoritas.
Dengan status nirlaba berarti bahwa apabila Badan Penyelenggara memperoleh surplus,
surplus tersebut tidak dikenakan pajak penghasilan badan dan tidak dibagikan kepada
pemegang saham. Sebagian surplus dapat digunakan untuk membayar insentif kepada
pengelola. Sisa surplus merupakan hak seluruh anggota, yang karenanya dapat
dikembalikan dalam bentuk pengembalian premi, peningkatan fasilitas atau mutu
pelayanan, atau pengurangan premi periode berikutnya. Perlu diperhatikan, bentuk badan
nirlaba seperti ini belum lazim di Indonesia, akan tetapi preseden badan semacam ini
sudah ada, yaitu berdasarkan PP No. 61/1999 tentang universitas sebagai badan hukum.
Yayasan yang diatur dalam undang-undang Yayasan yang baru mungkin dapat
mengakomodir badan seperti ini dan dapat berfungsi sementara.
Bentuk yang ideal dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ini adalah
sebagai suatu badan hukum tersendiri yang diatur dalam UU JPK. Bentuk badan hukum
seperti ini memungkinkan penyelenggaraan asuransi yang bertujuan sosial secara taat
asas dengan pengelolaan yang otonom, tanpa campur tangan birokrasi. Satu-satunya
kekuasaan yang mengatur diatasnya adalah Undang-undang tentang JPK ini.
Bapel-bapel yang sekarang ada atau pra bapel yang sebelumnya mengelola JPKM
JPSBK dapat mengkonversi diri menjadi bapel yang mempunyai wewenang mengelola
JPK ini apabila memenuhi syarat dan bersedia mematuhi peraturan yang ditetapkan
dalam Undang-undang ini. Apabila bapel-bapel tersebut tidak memenuhi syarat atau tidak
berkenan, maka mereka dapat menjadi perusahaan asuransi komersial atau menjadi grup
PPK yang melakukan kontrak dengan bapel, atau menjadi lembaga manajemen mutu dan
utilisasi yang independen.
Struktur organisasi
Di tiap propinsi hanya dapat dibentuk maksimum satu Badan Penyelenggara
otonom/independen untuk satu program. Misalnya di Jawa Barat, hanya boleh ada satu
badan penyelenggara Jamkeskop yang independen mengelola 95% dana premi yang
terkumpul. Sisa dana premi yang 5% akan dipool ditingkat nasional untuk membiayai
Asuransi Kesehatan Nasional 100
pelayanan yang sangat mahal, yang tidak mampu ditanggung oleh bapel di tingkat
propinsi. besarnya batas bapel nasional menanggung biaya tersebut akan dirumuskan oleh
Asosiasi Komite Penetapan Premi yang merupakan organisasi anggota Komite di tingkat
Nasional. Pengaturan ini sangat penting untuk menjamin kecukupan pool resiko. Di tiap
kabupaten/kota dapat dibentuk kantor cabang sebagai perpanjangan tangan bapel di
tingkat propinsi akan tetapi tidak independen.
Tujuan badan penyelenggara ini adalah meningkatkan derajat kesehatan dan
produktifitas kerja para anggotanya secara adil dan merata.
Misi badan penyelenggara adalah menjamin bahwa kebutuhan medis setiap
anggotanya dapat terpenuhi tanpa harus memperhatikan kemampuan ekonomi anggota
tersebut.
Struktur organisasi Badan Penyelenggara paling sedikit terdiri atas:
Wali Amanat/Dewan Asuransi. Wali amanat paling sedikit terdiri atas wakil
peserta, wakil PPK, wakil pemerintah dan direktur utama bapel. Anggota Wali Amanat di
luar Direktur Utama dipilih oleh masyarakat setiap lima tahun sekali, bersamaan
waktunya dengan Pemilihan Umum.
Komite Penetapan Premi. Anggota komite terdiri atas beberapa orang aktuaris,
wakil peserta, wakil PPK, wakil organisasi profesi dan sorang direksi bapel. Anggota
Komite Penetapan Premi diangkat dan diberhentikan oleh Wali Amanat.
Komite Penetapan Tarif PPK. Komite ini terdiri atas wakil peserta, wakil PPK,
wakil organisasi profesi dan seorang direksi bapel. Anggota Komite Penetapan Tarif
diangkat dan diberhentikan oleh Wali Amanat.
Komite Penyelesaian Perselisihan. Komite ini terdiri atas wakil peserta, wakil
pemerintah, arbitrator, wakil PPK, wakil organisasi profesi dan seorang direksi. Anggota
Komite Penyelesaian Perselisihan diangkat dan diberhentikan oleh Wali Amanat.
Direksi. Direksi terdiri atas seorang direktur utama dan tiga orang direktur.
Direksi dipilih dan diangkat oleh Wali Amanat atas dasar seleksi yang mencakup
pengetahuan dan kemampuan teknis, kejujuran, kepemimpinan dan komitmen.
Beberapa Divisi (Kepesertaan, Keuangan, Pelayanan, Pengendalian Mutu dan
Divisi Umum). Kepala Divisi diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama.
Beberapa Kepala Cabang. Di tingkat Kabupaten/kota dapat dibentuk sebuah
Asuransi Kesehatan Nasional 101
cabang yang dipimpin oleh kepala cabang. Kepala cabang diangkat dan diberhentikan
oleh Direktur Utama.
Susunan organisasi tersebut akan dilengkapi dengan unit-unit di bawahnya sesuai
dengan kebutuhan
Persyaratan
Badan penyelenggara idealnya didirikan pemerintah dengan modal awal yang
memadai sebagai hibah pemerintah. Pihak swasta yang ingin menghibahkan kekayaannya
juga dimungkinkan. Modal yang dihibahkan ini akan menjadi milik seluruh peserta.
Alternatif lain adalah setiap peserta dipungut iuran modal. Besarnya modal yang
diperlukan untuk sebuah bapel propinsi yang independen diperkirakan minimal sebesar
Rp. 25 milyar rupiah atau 3% dari premi yang diterima, mana yang lebih besar. Besarnya
modal tersebut diperlukan untuk menjamin bahwa bapel akan tetap solven dan mampu
mengelola resiko yang besar (risk based capital).
Pengurus pada tingkat pengambil keputusan dan manajerial badan penyelenggara
(seperti direktur, kepala divisi dan kepala cabang) harus memiliki pendidikan formal atau
profesional khusus asuransi kesehatan, untuk menjamin terselenggaranya JPK sesuai
dengan tujuan dan misi utamanya.
Tugas pokok
Wali Amanat. Wali amanat adalah lembaga perwakilan stakeholders yang
bertangung jawab memastikan bahwa badan penyelenggara selalu melakukan kegiatan
sesuai dengan tujuan dan misinya. Kedudukannya setara dengan pemegang saham.
Wali amanat bertugas melakukan seleksi dan menyetujui pengangkatan ketua dan
anggota komite.
Wali amanat bertugas melakukan seleksi dan menyetujui pengangkatan seluruh
direktur.
Wali amanat bertugas memeriksa dan menyetujui anggaran penerimaan, anggaran
pengeluaran dan pengembalian premi (premium refund) jika perlu.
Komite Penetapan Premi. Komite Penetapan Premi merupakan badan
kelengkapan Badan Penyelenggara yang berfungsi meyakinkan terkumpulnya dana yang
memadai dari para anggota secara adil (egaliter). Komite ini meninjau besaran premi
Asuransi Kesehatan Nasional 102
yang diterima dari waktu ke waktu, menghitung besarnya premi komunitas untuk peserta
sukarela, menghitung besarnya dana cadangan yang diperlukan dan menghitung besarnya
pengembalian premi kepada peserta.
Komite Penetapan Tarif PPK. Komite ini melakukan pemantauan tarif PPK,
melakukan perhitungan tarif prospektif (paket, per diagnosis, per diem) dan menetapkan
perubahan tarif PPK.
Komite Penyelesaian Perselisihan. Komite ini bertugas menyelesaikan di luar
pengadilan, berbagai perselisihan yang timbul antara badan penyelenggara dengan
kelompok peserta, peserta perorangan, PPK dan konflik internal di dalam organisasi
badan penyelenggara.
Direksi. Direksi berfungsi melaksanakan berbagai keputusan Wali Amanat dan
Komite serta menjamin tercapainya tujuan dan misi program JPK. Direksi juga
mempertanggung jawabkan segala pengeluaran keuangan dan menjamin transparansi.
Direksi bertanggung jawab agar bapel selalu memenuhi tingkat solvabilitas tertentu.
Laporan kegiatan dan keuangan yang telah diaudit harus dapat diakses (melalui situs
Web) oleh para anggota. Direksi dibantu oleh beberapa divisi seperti berikut:
Divisi Kepesertaan. Membantu direksi dalam bidangnya.
Divisi Keuangan. Membantu direksi dalam bidangnya.
Divisi Pelayanan. Membantu direksi dalam bidangnya.
Divisi Pengendalian Mutu dan Utilisasi. Membantu direksi dalam bidangnya.
Divisi Umum. Membantu direksi dalam bidangnya.
Biaya manajemen/administrasi
Biaya manajemen/administrasi badan penyelenggara harus ditekan se-efisien
mungkin dan tidak boleh melebihi 10% dari total biaya penyelenggaraan dan pembiayaan
biaya pelayanan kesehatan.
Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) Untuk 10 tahun pertama dimana paket jaminan lebih diutamakan dengan berbagai
pelayanan medis yang mahal, maka PPK yang dikontrak adalah rumah sakit dan rumah
Asuransi Kesehatan Nasional 103
sakit bersalin. Dokter keluarga pada periode 10 tahun pertama akan dipusatkan untuk melayani program yang sudah berjalan, yaitu JPK PNS dan JPK Jamsostek yang sudah memjamin pelayanan komprehensif. Sementara untuk program JPK baru yang dimulai dengan pelayanan rawat inap dan tindakan/terapi medis mahal, peran dokter keluarga tidak sebesar perannya pada kedua program diatas. Untuk menjamin pelayanan terstruktur dapat terselenggara dengan memuaskan, PPK yang dikontrak tersebut harus memiliki dokter keluarga binaan dimana PPK tersebut akan mendapatkan rujukan. Rujukan dari dokter keluarga harus diberikan umpan balik oleh PPK agar dokter keluarga dapat mengikuti perkembangan penyakit pasien yang dirujuknya. Rujukan yang kurang tepat harus diperbaiki agar tidak terulang kembali. Untuk periode 10 tahun pertama, dokter keluarga mendapat imbalan tunai dari anggota (karena belum dijamin). Setelah paket jaminan ditingkatkan menjadi paket komprehensif, dokter keluarga ini akan menjadi dokter primer yang berfungsi sebagai gatekeeper. Masa transisi 10 tahun tersebut diharapkan dapat membina hubungan dokter keluarga dengan anggota sehingga pada waktu ia menjadi gatekeeper, kepercayaan anggota dan pemahaman tentang pelayanan telah tumbuh dengan baik. Pada propinsi yang cukup mampu, paket jaminan dapat ditingkatkan menjadi paket komprehensif. Apabila hal ini sudah dapat dijalankan, maka bapel harus melakukan kontrak kumpulan dengan grup dokter.
Tugas pokok
Adapun tugas pokok PPK rumah sakit dan RSB adalah sebagai berikut:
Memeriksa kelayakan pengobatan anggota pada tingkat institusi. Pasien rujukan
yang tidak memerlukan perawatan tidak diperkenankan dirawat inap.
Memberikan pelayanan kesehatan, termasuk promotif-preventif terhadap pasien,
sesuai dengan kebutuhan medis peserta.
Mematuhi aturan manajemen utilisasi dan manajemen mutu.
Mengisi basis data laporan utilisasi dan menyerahkan disket laporan atau
mengirimkannya melalui email setiap tanggal 10 untuk utilisasi bulan sebelumnya.
Melakukan pembinaan dan jika mungkin memberikan kesempatan kepada dokter
primer untuk berinteraksi aktif dengan dokter spesialis yang merawat seorang anggota
dalam rangka memantau derajat kesehatan anggota yang menjadi tanggungannya.
Merujuk ke Dinas Kesehatan setiap orang sakit yang belum memiliki JPK tetapi
tidak mampu membayar biaya perawatan/pengobatan yang dibutuhkannya untuk
Asuransi Kesehatan Nasional 104
mendapatkan subsidi pemerintah daerah.
Hak PPK
PPK mempunyai hak untuk:
1) Dilibatkan dalam melakukan kontrak dengan bapel apabila PPK setuju dengan tarif yang telah ditetapkan Komite Tarif dan setuju dengan persyaratan lain seperti manajemen mutu dan manajemen utilisasi.
2) Menerima pembayaran tepat waktu sesuai dengan tarif prospektif yang disepakati. 3) Secara bersama-sama dalam suatu propinsi, PPK berhak mengajukan permohonan
peninjauan tarif atau cara pembayaran. 4) Mengatur cara pembayaran dokter spesialis yang bertugas atau berpraktek di PPK
tersebut. 5) Mengambil keputusan medis atas pasien yang dirawat sesuai dengan standar
pelayanan medis yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi terkait yang tertinggi, yang dapat diberikan di PPK tersebut.
6) Ikut serta dalam komite penetapan premi, penetapan tarif dan penyelesaian perselisihan.
7) Mendapatkan informasi tentang kinerja bapel, peraturan-peraturan operasional yang terkait dengan pelayanan dan informasi tentang data demografik peserta.
Asuransi Kesehatan Nasional 105
Bab V Pilihan untuk Indonesia
Pengantar
Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa Bangsa telah
menempatkan kesehatan sebagai salah satu hak asasi dan menyebutkan bahwa setiap
penduduk berhak atas jaminan manakala ia sakit. Deklarasi ini telah diikuti oleh
Konvensi International Labor Organization No 52 tahun 1948 yang memberikan hak
tenaga kerja atas sembilan macam jaminan termasuk diantaranya Jaminan Kesehatan.
Indonesia sebagai negara yang juga berpihak (yang telah meratifikasi) pada konvensi
tersebut secara bertahap wajib mewujudkan terselenggaranya jaminan kesehatan bagi
semua, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan negara. Untuk Pegawai Negeri dan
keluarganya, Indonesia telah mewujudkan jaminan kesehatan mereka sejak tahun 1968.
Di tahun 1992 Indonesia telah mengeluarkan UU Jamsostek yang cakupan serta
manfaatnya masih sangat terbatas. Namun demikian, kedua jaminan tersebut tidak
mengalami perbaikan untuk masa yang cukup lama, sementara standar kebutuhan hidup
dan kebutuhan kesehatan telah berubah cukup banyak. Cakupan kedua program di atas,
yang dapat digolongkan sebagai program jaminan sosial, juga belum cukup memadai.
Program pensiun untuk pegawai swasta masih belum terwujud sama sekali. Jumlah dana
jaminan sosial yang terkumpul oleh dua program jaminan hari tua dan pensiun (PT
Jamsostek dan PT Taspen) sampai saat ini masih kecil sekali, sekitar Rp 28 triliun, atau
kurang dari 2% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah tersebut tentu belum mempunyai
daya ungkit yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Untuk merealisir komitmen Global Indonesia dalam bidang jaminan sosial, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat di tahun 2000 dan 2002 telah mengamendir UUD dengan mencantumkan pasal 28H dan pasal 34 yang menugaskan pemerintah untuk mengembangkan Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat. Secara universal jaminan sosial
Asuransi Kesehatan Nasional 106
mencakup jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kesehatan termasuk jaminan persalinan (maternity benefits). Dengan amendemen UUD tersebut, maka landasan hukum untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat dengan mengembangkan dan memperluas jaminan sosial sudah sangat kuat.
Untuk melaksanakan amanat pengembangan jaminan sosial tersebut, Presiden telah mengeluarkan Kepres No. 20 tahun 2002 yang membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diketuai oleh Prof. Yaumil Agus Achir, Kepala BKKBN. Sebelum dikeluarkan Kepres tersebut, Tim sudah dibentuk dibawah SK Menko Kesra di bawah koordinasi Wakil Presiden yang pada waktu itu masih dijabat oleh Ibu Megawati. Dalam rapat-rapat Tim telah menyepakati bahwa sebuah jaminan sosial berdiri atas tiga pilar yaitu:
1. Pilar pertama yang tebawah adalah pilar Bantuan Sosial bagi mereka yang tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
2. Pilar kedua adalah pilah Asuransi Sosial yang merupakan suatu sistem asuransi yang wajib diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai penghasilan dengan membayar iuran yang proporsional terhadap penghasilannya.
3. Pilar ketiga adalah pilar tambahan atau suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan yang lebih besar dari kebutuhan standar hidup yang layak dan mampu menyediakan jaminan tersebut. Pilar ini dapat diisi dengan asuransi komersial, tabungan sendiri, atau program-program lain yang dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok.
Tim telah menyepakati untuk mengembangkan (memperluas dan memperbaiki
sistem jaminan sosial yang ada) substansi jaminan sosial yang meliputi jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan pemutusan hubungan kerja, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Dalam hal penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional di Indonesia, Tim telah mempersiapkan naskah akademik dan telah menyepakati bahwa secara kelembagaan Jaminan Sosial Nasional akan terdiri atas tiga lembaga yaitu Lembaga Jaminan Sosial Nasional yang merupakan suatu Majelis Wali Amanat yang berfungsi sebagai pengambil kebijakan dan pengawasan yang tidak
Asuransi Kesehatan Nasional 107
operasional, satu Badan Penyelenggara Jaminan yang bersifat jangka panjang (jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan pemutusan hubungan kerja) dan satu Badan Penyelenggara Jaminan yang bersifat jangka pendek (jaminan kecelakaan kerja dan jaminan pemeliharaan kesehatan). Tim juga telah menyepakati untuk memperluas jaminan mulai dengan sektor formal (sektor yang menerima upah/gaji) yang merupakan sektor yang paling mudah dikelola dan penduduk miskin yang iurannya dibayar oleh pemerintah pusat dan daerah. Secara bertahap jaminan akan diperluas kepada sektor informal yang tidak miskin sehingga suatu saat seluruh rakyat mendapat jaminan untuk bisa hidup sehat, layak, dan produktif.
Landasan Hukum yang kini tersedia dalam atau melandasi sistem jaminan sosial
di sektor kesehatan adalah: 1. UUD 45 amendemen pasal 28H ayat 1, bahwa setiap penduduk berhak atas
pelayanan kesehatan
2. UUD 45 amendemen pasal 34 ayat 2, bahwa negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat
3. UUD 45 amendemen pasal 34 ayat 3, bahwa negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas kesehatan yang layak
4. UU No 3/92 tentang Jamsostek
5. PP 69/91 tentang JPK PNS
6. UU No 23/92 tentang Kesehatan, khususnya pasal 66
7. UU 43/99 tentang pegawai negeri sipil dan PP 28/2003 tentang iuran
pemerintah untuk asuransi kesehatan pegawai negeri sipil
Dalam dokumen ini hanya akan dibahas subsitem jaminan yang bersifat jangka
pendek yang jaminannya diberikan dalam bentuk pelayanan, bukan uang, yaitu yang mencakup sub sitem jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja. Sebelum pokok-pokok pengaturan yang dapat diambil untuk pasal-pasal dalam RUU JSN atau RUU JKN, maka disajikan ringkasan sub sistem di bawah ini.
Asuransi Kesehatan Nasional 108
Ringkasan untuk sub sistem JKN Menurut Susenas 2001, sekitar 40 juta penduduk Indonesia (20,2%) memiliki
jaminan kesehatan dengan manfaat yang bervariasi. Namun demikian, 6,8% atau sekitar
13,2 juta penduduk tersebut memiliki jaminan dalam bentuk Kartu Sehat atau jaminan
sementara yang merupakan program Jaring Pengaman Sosial yang pada akhir tahun 2002
ini akan berakhir. Dengan demikian, hanya sekitar 27 juta penduduk (hampir 14%) saja
yang memiliki jaminan yang berkesinambungan. Padahal, data-data survei angkatan kerja
maupun data Susenas menunjukkan bahwa antara 24 – 30 juta penduduk selama kurun
waktu lima tahun terakhir melakukan hubungan kerja formal. Jika rata-rata setiap pekerja
memiliki dua tanggungan saja, maka antara 75-90 juta jiwa seharusnya sudah memiliki
jaminan kesehatan. Selain itu, jaminan yang dimiliki oleh 14% penduduk itupun tidak
seragam dan tidak selalu memenuhi kebutuhan medik penduduk karena masih ada cost
sharing yang cukup besar pada askes pegawai negeri dan tidak dijaminnya pengobatan
mahal seperti kanker, hemodialisa dan operasi jantung pada program JPK Jamsostek.
Selain itu, mereka yang membeli (dibelikan oleh majikan) asuransi kesehatan atau JPKM
juga mempunyai manfaat yang bervariasi yang tidak selalu memenuhi kebutuhan medik
penduduk. Rendahnya cakupan penduduk dan kurang memadainya jaminan disebabkan
karena perundang-undangan yang ada sekarang ini telah lama tidak disesuaikan dengan
kebutuhan yang berubah. Oleh karenanya, perubahan perundangan untuk memperluas
cakupan penduduk dan memperbaiki manfaat jaminan sudah tidak dapat ditunda lagi.
Tujuan dan Manfaat.
Perluasan program JKN bertujuan untuk memperluas cakupan penduduk yang
memiliki jaminan kesehatan yang memadai sehingga mereka memiliki kepastian
untuk dapat memenuhi kebutuhan mediknya, terlepas dari kondisi ekonomi mereka.
Manfaat bagi penduduk adalah bahwa mereka akan dengan tenang melakukan
kegiatan produksinya setiap hari sehingga pada akhirnya hal tersebut akan
meningkatkan pendapatan negara melalui pajak penghasilan atau pajak penjualan
hasil produksi penduduk tersebut.
Asuransi Kesehatan Nasional 109
Prinsip dasar
Dari sub sistem JKN adalah penyelenggaraan asuransi sosial yang menjamin solidaritas luas diantara berbagai penduduk, penyelenggaraan yang efisien dengan menerapkan teknik-teknik kendali biaya (managed care), menjamin portabilitas dan penyelenggaraan yang akuntabel, transparan, dan responsif. Untuk menjamin semua penduduk turut serta, maka pada tahap awal seluruh pemberi kerja diwajibkan mendaftarkan tenaga kerja dan anggota keluarganya ke JKN dan sekaligus membayar iuran secara rutin ke rekening JKN. Besarnya iuran adalah antara 5-6% dari gaji (ada usulan 3% untuk tenaga kerja lajang, tapi administrasi menjadi sulit) yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja. Penduduk miskin akan didaftarkan oleh Dinas Kesehatan setempat yang preminya akan diperhitungkan sebesar rata-rata premi pekerja formal di daerah tersebut. Anggota yang telah terdaftar akan mendapatkan kartu anggota untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang komprehensif di jaringan pemberi pelayanan kesehatan (PPK) yang telah mengikat kontrak dan sepakat memberikan pelayanan dengan standar mutu yang ditetapkan JKN. Untuk mengendalikan moral hazard, setiap kali anggota memerlukan pelayanan, maka anggota harus membayar iur biaya (cost sharing) yang tidak besar tetapi cukup mengendalikan pelayanan dan biaya. Besarnya iur biaya bervariasi antara 10-30% tergantung jenis pelayanan. Untuk menghindari beban berat bagi peserta, maka iur biaya dibatasi sampai maksimum sebesar satu bulan UMP. Dana iur biaya merupakan hak PPK yang jumlahnya telah diperhitungkan dalam kalkukasi pembayaran prospektif. Untuk mengurangi moral hazard dari sisi PPK, maka JKN akan melakukan telaah utilisasi (utilization review) guna menjamin ketepatan penggunaan dan kualitas pelayanan yang dapat diterima oleh anggota.
Strategi pengembangan
Karena pada saat ini jumlah penduduk di sektor formal yang pasti lebih mudah
diorganisir masih banyak yang belum memiliki jaminan, maka pada 5-10 tahun
pertama perluasan kepesertaan akan dipusatkan pada kelompok sektor formal,
khususnya yang berada di perkotaan, dan penduduk miskin sebagai pengganti
JPSBK. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan dan kesiapan PPK untuk melayani
jumlah anggota yang besar. Sasaran perluasan terutama ditujukan kepada tenaga
Asuransi Kesehatan Nasional 110
kerja yang saat ini sama sekali belum memiliki jaminan. Pada saat yang bersamaan,
penduduk miskin yang tidak mampu membiayai pelayanan medik yang
dibutuhkannya akan mendapatkan jaminan dengan premi yang dibayarkan oleh
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Cakupan bagi penduduk sektor informal
akan dilakukan pada tahap berikutnya. Untuk menjamin bahwa penduduk sektor
informal dapat memenuhi kebutuhan mediknya, maka pelayanan kesehatan di
fasilitas pemerintah masih harus mendapatkan subisi yang ditujukan bagi mereka
yang bukan anggota JKN.
Kelembagaan.
Secara prinsip, Tim SJSN telah sepakat bahwa badan penyelenggara haruslah
bersifat nirlaba (prinsip Trust Fund atau Public Corporation). Ada berbagai pilihan
kelembagaan dari yang terpusat sampai yang tersebar (desentralisasi). Semakin
terpusat, penyelenggaraan semakin efisien dan semakin portabel tetapi juga kurang
responsif terhadap perubahan kebutuhan anggota. Sebaliknya semakin banyak
penyelenggara maka semakin tidak efisien dan tidak portabel akan tetapi semakin
responsif terhadap perubahan kebutuhan anggota. Agar penyelenggaraan benar-benar
memihak kepada anggota, maka biaya administrasi dibatasi sampai maksimum 5%
dari seluruh iuran yang diterima. Pilihan kelembagaan didasarkan pada manfaat
terbesar bagi anggota/rakyat.
Key Success Factor:
Penyelenggaran JKN maupun JKK akan berhasil apabila:
1. Mendapat dukungan dari pemberi kerja dan organisasi tenaga kerja yang
memahami bahwa program tersebut pada akhirnya akan bermanfaat untuk
meningkatkan produktifitas mereka.
2. Manfaat yang diberikan cukup layak dan memadai jumlah dan mutunya.
Oleh karenanya pelayanan medik yang mahal harus dijamin, sementara
pelayanan yang murah dapat dikurangi. Besarnya manfaat harus secara reguler,
dalam periode yang wajar, disesuaikan dengan kebutuhan.
Asuransi Kesehatan Nasional 111
3. Jumlah iuran harus cukup memadai untuk membiayai manfaat yang
diberikan. Jumlah iuran yang melebihi manfaat yang diberikan akan lebih baik
karena kelebihan dana akan diakumulasi. Akan tetapi jumlah iuran yang terlalu
besar dapat memberatkan sektor usaha dan karenanya dapat menurunkan angka
partisipasi.
4. Penyelenggaraan dilakukan dengan profesional, transparan, bersih, dan
bertanggung-jawab. Oleh karenya seluruh peserta harus bisa memperoleh
informasi akurat tentang penyelenggaraan.
5. Adanya kestabilan politik dan ekonomi yang memungkinkan dunia
usaha berkembang dengan inflasi yang terkendali dan prediktabel
6. Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak
memenuhi kewajibannya
Prinsip Dasar:
• Prinsip solidaritas sosial. Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan
Jaminan/Asuransi Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan berdasarkan
prinsip asuransi sosial yang wajib untuk menuju cakupan universal (universal
coverage) yang akan dicapai secara bertahap, sehingga tercipta subsidi silang
antara yang kaya kepada yang miskin, antara yang muda kepada yang tua, dan
antara yang sehat kepada yang sakit.
• Prinsip efisiensi. Jaminan terutama diberikan dalam bentuk pelayanan yang
terkendali utilisasi dan biayanya dan dalam bentuk santunan uang untuk
kondisi tertentu yang akan ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Dalam
efisiensi sistem (pengendalian biaya), peserta diwajibkan membayar iur biaya
(co-insurance) setiap kali peserta memanfaatkan pelayanan. Iur biaya program
JKK ditanggung oleh pemberi kerja.
• Prinsip ekuitas. Program JKN diselenggarakan berdasarkan prinsip keadilan
dimana setiap penduduk, tanpa memandang suku, bangsa, agama, aliran
politik, dan status ekonominya, harus memperoleh pelayanan kesehatan sesuai
Asuransi Kesehatan Nasional 112
dengan kebutuhan medisnya dan membayar iuran sesuai dengan kemampuan
ekonominya.
• Prinsip komprehensif. Jaminan program JKN bersifat komprehensif sesuai
dengan kebutuhan medik.
• Prinsip portabilitas. Seorang peserta tidak boleh kehilangan
perlindungan/jaminan bagi dirinya apabila ia pindah tempat tinggal, pindah
kerja, atau sementara tidak bekerja.
• Prinsip nirlaba (not for profit). Pengelolaan program JKN diselenggarakan atas
dasar nirlaba. Badan penyelenggara dibebaskan dari kewajiban membayar
pajak penghasilan badan atas anggaran atau sisa hasil usaha. Karena badan
penyelenggara adalah milik anggota, badan penyelenggara tidak membayarkan
dividen atas sisa anggaran atau sisa hasil usaha
• Prinsip responsif. Penyelenggaraan JKN harus responsif dengan tuntutan
anggota sesuai dengan perubahan standar hidup para anggota
• Prinsip koordinasi manfaat. Dalam pemberian jaminan, tidak boleh terjadi
duplikasi jaminan atau pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan, baik
antar program di dalam JKN maupun antara program JKN dengan program
asuransi atau jaminan lain seperti jaminan kecelakaan lalu lintas yang diterima
oleh anggota
Ketentuan Umum
1.3. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu Sistem perlindungan sosial guna
menjamin seluruh rakyat Indonesia mencukupi kebutuhan hidup minimal yang
layak sesuai dengan amanat UUD 45 pasal 28H(3) dan Pasal 34(3).
1.4. Lembaga Jaminan Sosial Nasional adalah Suatu Lembaga di tingkat nasional
yang dibentuk Presiden atas dasar Undang-undang Jaminan Sosial Nasional
(JSN) yang bertugas menerbitkan Nomor Jaminan Sosial, menerima dan
Asuransi Kesehatan Nasional 113
menyalurkan dana JSN kepada Badan Penyelenggara (Dana Jaminan Sosial, DJS
dan Jaminan Kesehatan Nasional, JKN) membuat kebijakan umum JSN yang
perlu diatur yang belum diatur oleh UU atau peraturan pemerintah, dan
mengawasi DJS dan JKN.
1.5. Badan Penyelenggara DJS adalah badan di tingkat Nasional yang bertugas
mengelola dana iuran dan pemberian jaminan hari tua, pensiun, kematian, dan
pemutusan hubungan kerja. Badan ini hanya satu, yaitu di tingkat nasional saja.
1.6. Badan Penyelenggara JKN (National Health Insurance) adalah badan di tingkat
Nasional yang bertugas mengelola dana iuran jaminan Kecelakaan kerja, jaminan
kesehatan dan pelayanan kesehatan bagi seluruh anggotanya
1.7. Peserta adalah mereka yang membayar iuran yaitu tenaga kerja yang menjalin
hubungan kerja dengan pemberi kerja, penerima pensiun, kepala keluarga pekerja
swakarya yang memiliki penghasilan, dan kepala keluarga miskin telah
didaftarkan atau mendaftarkan diri ke LJSN atau JKN
1.8. Anggota adalah yang berhak menerima manfaat yaitu istri, suami, anak yang sah,
orang tua kandung, dan mertua dari peserta yang belum terdaftar oleh peserta
lainnya.
1.9. Pemberi kerja adalah badan hukum usaha, pemerintah pusat, pemerintah daerah,
atau perseorangan yang menjalin hubungan kerja, baik melalui hubungan kerja
sama tertulis maupun tidak tertulis, dengan memberi upah atau berpenghasilan
tetap atau tidak tetap
1.10. Tenaga kerja adalah setiap orang yang berusia diatas 14 tahun (sesuai
dengan UU ketenaga-kerjaan yang berlaku) yang mampu berproduksi secara
ekonomis, baik melalui hubungan kerja maupun melalui usaha sendiri
(swakarya)
1.11. Pensiunan adalah tenaga kerja yang telah menyelesaikan aktifitas kerja
untuk memperoleh penghasilan, dengan memperoleh uang pensiun, dari dana
Asuransi Kesehatan Nasional 114
pensiun yang ada pada waktu jaminan sosial ini diundangkan dan atau dari
Bapel JSN
1.12. Upah adalah kompensasi yang berupa uang yang menjadi hak tenaga kerja
atas pekerjaan/jasa yang dilakukan/diberikan
1.13. Uang pensiun adalah hak pensiun bulanan yang diterima pensiunan dari
DJS dan atau dana pensiun pemberi kerja atau dana pensiun lembaga keuangan
1.14. Iuran adalah sejumlah dana yang wajib dibayarkan oleh peserta dan
pemberi kerja atau oleh pemerintah untuk penyelenggaraan JKN dan DJS yang
besarnya ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan
1.15. Paling lambat pada akhir tahun 2030 setiap penduduk Indonesia harus
telah menjadi anggota JKN
Penyelenggaraan JKN
2.1. Untuk menindak-lanjuti amanat rakyat seperti yang telah dicantumkan dalam
UUD 45 hasil amendemen II, III, dan IV, maka dibentuk Badan Penyelenggara
JKN untuk jaminan kecelakaan kerja dan kesehatan yang penyelenggaraannya
dikoordinir oleh Lembaga Jaminan Sosial Nasional
2.2. Untuk memberikan perlindungan kepada penduduk Indonesia atas kebutuhan
pemeliharaan kesehatan dan jaminan/santunan kecelakaan kerja maka
diselenggarakan jaminan kesehatan nasional
2.3. Untuk memberikan perlindungan dalam bidang kesehatan dan kecelakaan kerja,
negara mendirikan Badan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bidang jaminan kecelakaan kerja dan
jaminan kesehatan
2.4. Agar setiap penduduk dapat menerima jaminan setiap saat terjadinya kebutuhan
sosial, maka Lembaga Jaminan Sosial Nasional menyusun NOMOR JAMINAN
Asuransi Kesehatan Nasional 115
SOSIAL NASIONAL (SOCIAL SECURITY NUMBER) yang unik yang berlaku
seumur hidup yang merupakan nomor identitas penduduk dimanapun ia bekerja,
tinggal, atau mendapatkan jaminan sosial
2.5. Untuk memenuhi hak-hak penduduk dan memenuhi kecukupan dana untuk itu
setiap pemberi kerja wajib mendaftarkan tenaga kerja yang dipekerjakannya
atau keluarga miskin yang menjadi tanggung jawabnya dan anggota keluarga
mereka paling lambat satu bulan sejak hubungan kerja, baik disepakati secara
tertulis maupun tidak tertulis.
Badan Penyelenggara dan kewenangan badan penyelenggara
3.1. Di tingkat Nasional dibentuk Lembaga Jaminan Sosial Nasional, Badan Jaminan
Sosial Nasional, dan Badan Jaminan Kesehatan Nasional
3.2. Lembaga JSN, Badan JSN, dan Badan JKN dibentuk oleh Presiden Republik
Indonesia atas dasar UU Jaminan Sosial Nasional
3.3. Lembaga JSN (LJSN) mempunyai kewenangan:
3.3.1. Melakukan koordinasi penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat
3.3.2. Melakukan pengawasan kepada badan penyelenggara untuk menjamin
bahwa segala sesuatu yang diatur oleh UU JSN dapat dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundangan
3.3.3. Menerbitkan Nomor Penduduk
3.3.4. Memberikan sangsi administratif dan atau mengusulkan tindakan hukum
kepada pengelola DJS dan JKN yang menyalah gunakan kewenangannya
3.4. Badan Jaminan Sosial Nasional mempunyai tugas dan wewenang
3.4.1. Mematuhi segala segala sesuatu yang diatur dalam peraturan perundangan
JSN
Asuransi Kesehatan Nasional 116
3.4.2. Mengelola iuran peserta dengan melakukan investasi jangka panjang dan
jangka pendek yang optimal
3.4.3. Membayarkan jaminan yang menjadi hak peserta dan atau ahli warisnya
3.4.4. Melaksanakan segala peraturan lain yang diatur oleh lembaga yang
berwenang atau pemerintah
3.5. Badan Jaminan Kesehatan Nasional mempunyai tugas dan wewenang
3.5.1. Mematuhi segala sesuatu yang diatur dalam peraturan perundangan JSN
3.5.2. Mengelola iuran peserta dengan melakukan investasi jangka panjang dan
jangka pendek yang optimal
3.5.3. Melakukan kontrak dengan pemberi pelayanan kesehatan (PPK),
menjamin anggota mendapatkan pelayanan yang bermutu dan sesuai
dengan kebutuhan medis dari PPK tersebut dan membayarkan jaminan
yang menjadi hak peserta dan atau ahli warisnya
3.5.4. Melaksanakan segala peraturan lain yang diatur oleh lembaga yang
berwenang atau pemerintah
3.6. Di tingkat propinsi dapat dibentuk kantor cabang DJS dan JKN yang mempunyai
otonomi dalam penyelenggaraan dan pelayanan kepada anggota
3.7. Bentuk dan struktur Lembaga dan Badan Penyelenggara
3.7.1. Lembaga LJSN, DJS, dan JKN merupakan Badan Public (Public
Corporation/Trust Fund) yang dibentuk khusus dengan undang-undang ini
yang bersifat otonom dan TIDAK MENCARI UNTUNG
3.7.2. Lembaga JSN merupakan sebuah majelis yang terdiri atas 21 orang ahli
atau tokoh masyarakat yang mempunyai integritas nasional tinggi, jujur,
tidak pernah terlibat pelanggaran hukum, dan berkompeten melaksanakan
tugasnya. Lembaga LJSN dikepalai oleh seorang Kepala
Asuransi Kesehatan Nasional 117
3.7.3. Badan DJS dan BJKN terdiri atas Majelis Wali Amanat (Board of
Trustees), Badan Eksekutif, Komite Aktuaria dan investasi, Komite
Perselisihan, dan Komite Pelayanan
3.7.4. Majelis Wali Amanat adalah lembaga kebijakan tertinggi di dalam
LJSN/JKN yang mempunyai kewenangan menetapkan berbagai kebijakan
dalam penyelenggaraan LJSN/BJKN
3.7.5. Dalam menetapkan kebijakannya MAW mendapatkan masukan dan
rekomendasi dari Komite terkait
3.7.6. Anggota MWA terdiri atas 11 orang dengan komposisi sebagai berikut:
wakil pemerintah (2 orang), wakil peserta/serikat pekerja (4 orang), wakil
pemberi kerja (3 orang), dan wakil ahli/pakar bidang asuransi
kesehatan/kecelakaan kerja (2 orang)
3.7.7. Menteri Kesehatan atau Menteri yang bertanggung jawab atas kesehatan
atau orang yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan merupakan anggota tetap
MWA yang mewakili pemerintah di dalam JKN
3.7.8. Di tingkat Nasional, Anggota LJSN, anggota Majelis Wali Amanat dan
Direktur Utama beserta Direktur Executif JSN/JKN dipilih melalui seleksi
kompetensi (fit and proper test) oleh tim yang dibentuk oleh Kepala
Negara berdasarkan usulan calon dari organisasi masyarakat terkait
3.7.9. Calon anggota MWA diusulkan oleh organisasi terkait dan sekurang-
kurangnya mendapatkan dukungan tertulis dari paling sedikit 10 organisasi
sejenis ditingkat nasional ataupun propinsi sesuai dengan tingkat
perwakilan MWA yang diwakilinya
3.7.10. Komite Aktuaria dan Investasi, Komite Perselisihan, dan Komite
Pelayanan terdiri atas sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang ketua dan
anggota yang merupakan para ahli di bidanganya
Asuransi Kesehatan Nasional 118
3.7.11. Komite Aktuaria dan Investasi melakukan penilaian tentang kelayakan
premi dan perumusan investasi
3.7.12. Komite perselisihan memantau dan menyelesaikan secara internal
berbagai perselisihan yang menyangkut pembayaran iuran, pembayaran
kepada PPK, dan perselisihan lain yang melibatkan badan, anggota,
pemberi kerja, dan atau PPK
3.7.13. Komite pelayanan melakukan penilaian tentang mutu pelayanan PPK,
persyaratan mutu pelayanan, dan melakukan telaah (review) terhadap
pelayanan yang diberikan kepada anggota
3.7.14. Anggota Komite dipilih dan ditetapkan oleh MWA
3.7.15. Masa bakti anggota MWA dan Komite adalah 5 (lima) tahun.
3.7.16. Tiap anggota MWA dan Komite dapat dipilih/diangkat kembali untuk
paling banyak satu periode masa bakti berikutnya
3.7.17. Untuk menjamin kesinambungan kebijakan, penggantian anggota MWA
dan Komite dilakukan tiap tengah periode untuk memilih separuh (separuh
ditambah satu) anggota, sedangkan separuh (separuh ditambah satu)
anggota lainnya diganti pada akhir periode.
3.7.18. MWA mempunyai kewenangan untuk menyusun struktur organisasi
Badan Eksekutif yang efisien, mengawasi Badan Eksekutif dan membuat
kebijakan umum tentang premi, investasi, pemberian jaminan, dan hal-hal
lain yang belum diatur oleh UU JSN atau peraturan pemerintah
3.8. Badan penyelenggara jaminan sosial yang ada pada saat UU JSN ini
diundangkan (PT Jamsostek dan PT Taspen) dan aset-aset yang dimilikinya
secara bertahap akan dilebur menjadi DJS dalam waktu 5 (lima) tahun sejak UU
ini diundangkan dalam lembaran negara
Asuransi Kesehatan Nasional 119
3.9. Badan penyelenggara PT Asuransi Kesehatan Indonesia dan Progam JPK
Jamsostek dan aset-aset yang dimilikinya secara bertahap dilebur menjadi BJKN
dalam waktu 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan dalam
lembaran negara
3.10. Pengelolaan Keuangan
3.10.1. Iuran yang dibayarkan oleh pemberi kerja atau peserta ke LJSN secara
otomatis dipisahkan untuk akun DJS dan JKN oleh bank penerima iuran
3.10.2. Badan pengelola JKN hanya dapat menggunakan maksimum 15% iuran
yang diterima pada 5 tahun pertama, maksimum 10% pada tahun ke 6-10,
dan 5% pada tahun ke 11 dan seterusnya untuk biaya administrasi.
3.10.3. Dana iuran yang terkumpul dalam rekening JKN dan dana cadangan yang
belum digunakan dapat diinvestasikan dengan ketentuan sebagai berikut:
3.10.3.1. Paling sedikit 70% dana harus ditanamkan di propinsi/kota/ kabupaten
di mana iuran terkumpul
3.10.3.2. Sebanyak-banyaknya 5 (lima) persen dana yang tersedia dapat di-
tanamkan sebagai penyertaan saham di perusahaan negara atau swasta
3.10.3.3. Sebanyak-banyaknya 5 (lima) persen dana yang tersedia dapat
ditanamkan dalam bentuk investasi properti
3.10.3.4. Sedikit-dikitnya 90% dana tersedia harus ditanamkan dalam instrumen
deposito di bank pemerintah atau dalam obligasi dana pemerintah pusat
maupun daerah
3.10.4. Badan JKN dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penghasilan
badan atas sisa lebih anggaran pada akhir tahun anggaran
Asuransi Kesehatan Nasional 120
3.10.5. Sisa anggaran lebih pada tahun anggaran disimpan atas nama badan
sebagai dana cadangan akumulasi dan dikelola oleh Badan Pengelola
untuk kepentingan seluruh anggota
3.10.6. Akuntabilitas keuangan JKN diperiksa secara reguler oleh Badan
Pemeriksa Keuangan dan diumumkan kepada publik
3.10.7. Dalam hal tertentu, akuntan publik dapat dimintakan jasanya untuk
melakukan pemeriksaan keuangan tambahan
3.11. Paling sedikit 60% Direktur dan manajer pengelola badan penyelenggara harus
mempunyai latar belakang pendidikan akademis dan atau profesi yang terkait
dengan asuransi kesehatan dan atau jaminan sosial
Kewajiban Pemberi Kerja
3.12. Setiap pemberi kerja, baik swasta maupun pemerintah, yang
mempekerjakan satu orang tenaga kerja atau lebih wajib, tanpa kecuali,
mendaftarkan tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja dengannya dan
seluruh anggota keluarga tenaga kerja yang sah kepada LJSN atau JKN
3.13. DJS atau dana pensiun wajib mendaftarkan seluruh pesertanya yang belum
pernah terdaftar pada LJSN atau JKN paling lambat satu bulan setelah peserta
berhak menerima pensiun
3.14. Koperasi usaha yang melakukan kegiatan usaha yang merupakan sumber
penghasilan utama para anggotanya diperlakukan sebagai pemberi kerja dan
wajib mendaftarkan anggota koperasi beserta anggota keluarganya ke LJSN atau
JKN terdekat
3.15. Dinas Kesehatan pemerintah kota/kabupaten wajib mendaftarkan seluruh
anggota keluarga miskin, anak terlantar, dan penduduk berusia 65 tahun atau
Asuransi Kesehatan Nasional 121
lebih (lanjut usia) kepada JKN paling lambat pada akhir tahun ke 10 setelah UU
ini dicantumkan dalam lembaran negara
3.16. Penegakan hukum pelaksanaan kewajiban pemberi kerja dilakukan secara
bertahap dengan urutan mulai.
3.16.1. Seluruh pemberi kerja yang mempekerjakan 10 orang atau lebih harus
sudah mendaftarkan seluruh tenaga kerja dan anggota keluarganya kepada
LJSN atau JKN paling lambat pada akhir tahun ke lima setelah UU ini
dicantumkan dalam lembaran negara
3.16.2. Seluruh pemberi kerja yang mempekerjakan 5-9 orang harus sudah
mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya dan anggotanya kepada LJSN atau
JKN paling lambat pada akhir tahun ke delapan setelah UU ini
dicantumkan dalam lembaran negara
3.16.3. Seluruh pemberi kerja yang mepekerjakan 1-4 orang tenaga kerja wajib
mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya dan anggota keluarganya kepada
LJSN atau JKN paling lambat pada akhir tahun ke 10 setelah UU ini
dicantumkan dalam lembaran negara
3.16.4. DJS atau dana pensiun wajib mendaftarkan seluruh pesertanya paling
lambat pada akhir tahun ke-10 setelah UU JSN diundangkan
3.16.5. Badan hukum koperasi usaha yang mempunyai usaha yang merupakan
sumber penghasilan utama anggota koperasi harus telah mendaftarkan
anggotanya paling lambat pada akhir tahun ke 15 setelah UU JSN
diundangkan
3.16.6. Kepada Dinas Kesehatan Kota/Propinsi harus telah mendaftarkan seluruh
keluarga miskin dan penduduk lanjut usia yang belum pernah terdaftar
dalam LJSN atau JKN paling lambat pada akhir tahun ke 15 setelah UU
JSN ini diundangkan
Asuransi Kesehatan Nasional 122
3.16.7. Penduduk swakarya harus dapat mendaftarkan setiap saat dan paling
lambat pada akhir tahun 2030 seluruh penduduk swakarya harus sudah
mendaftarkan diri ke LJSN/JKN
3.17. Paling lambat satu bulan sejak terjadinya perubahan status anggota
keluarga tenaga kerja, baik karena hubungan pernikahan atau karena kelahiran,
pemberi kerja wajib menyampaikan perubahan tersebut kepada LJSN dengan
tembusan kepada JKN
Pembayaran iuran
5.1. Paling lambat tanggal 10 tiap-tiap bulan, pemberi kerja, koperasi usaha, dan Dinas Kesehatan wajib menyetorkan iuran peserta ke rekening LJSN dan rekening JKN pada bank pemerintah yang ditunjuk untuk itu.
5.2. Besarnya iuran adalah sebagai berikut
5.2.1. Pemberi kerja wajib mengiur program JHT sebesar 2% dari upah dan tenaga kerja wajib mengiur 1% dari upah
5.2.2. Pemberi kerja wajib mengiur program pensiun sebesar 4% dari upah dan tenaga kerja wajib mengiur 4% dari upah
5.2.3. Pemberi kerja wajib mengiur sebesar 1% dari upah untuk program jaminan kematian
5.2.4. Pemberi kerja wajib mengiur sebesar 3% dari upah untuk program jaminan pemutusan hubungan kerja
5.2.5. Pemberi kerja wajib mengiur 0,2-1,7% dari upah sesuai dengan tabel kelompok jenis usaha yang ditetapkan oleh surat keputusan presiden untuk iuran progam jaminan kecelakaan kerja
5.2.6. Pemberi kerja wajib membayarkan 6% dari upah tenaga kerja bulanan yang diambil 3% dari upah tenaga kerja dan 3% sisanya merupakan kewajiban pemberi kerja untuk iuran JKN.
Asuransi Kesehatan Nasional 123
5.2.7. DJS dan Dana Pensiun membayarkan 3% uang pensiun utama yang diambil dari uang pensiun yang harus dibayarkan kepada pensiunan. DJS dan Dana Pensiun tidak wajib memberikan kontribusi untuk JKN
5.2.8. Dinas Kesehatan, koperasi, dan pekerja swakarya membayarkan iuran sebesar 110% rata-rata biaya pelayanan per keluarga tahun sebelumnya di suatu kota/kabupaten sesuai dengan tabel biaya pelayanan tahunan yang diterbitkan Komisi aktuaria.
5.3. Besarnya upah dimaksud adalah upah tenaga kerja sebelum dipotong pajak penghasilan dengan jumlah maksimum upah untuk perhitungan iuran asuransi kesehatan pada awal berlakukan JSN ini adalah Rp 5 (10) juta per bulan.
5.4. Iuran JKN yang dibayarkan oleh pemberi kerja dapat diperhitungkan sebagai biaya produksi pemberi kerja
5.5. Tenaga kerja yang mempunyai upah atau penghasilan diatas Rp 50 juta sebulan
pada saat JSN ini diundangkan, yang dibuktikan dengan melampirkan surat
pemberitahun pajak tahun sebelumnya yang telah dilegalisasi oleh kantor pajak
setempat, dapat mengajukan permohonan kepada LJSN atau JKN untuk
dibebaskan dari pembayaran iuran JKN akan tetapi yang bersangkutan wajib
membeli asuransi kesehatan dari perusahaan swasta dan tidak dapat mengikuti
JKN pada masa hidup selanjutnya. (alternatif: Mereka yang memiliki jaminan
kesehatan komersial tetap membayar iuran jaminan kesehatan wajib dengan
diskon 30%).
5.6. Besarnya upah maksimum untuk perhitungan iuran JKN dan jujmlah upah
minimum penduduk yang dibebaskan dari iuran JKN ditetapkan setiap tahun
oleh MWA
5.7. Paling lambat tanggal 10 tiap-tiap bulan, pemberi kerja, koperasi, dan Dinas
Kesehatan menyampaikan rincian daftar iuran peserta disertai dengan nomor
penduduk yang untuk siapa iuran telah disetorkan ke kantor LJSN atau JKN
terdekat
Asuransi Kesehatan Nasional 124
5.8. Daftar peserta yang iurannya telah dibayarkan disampaikan oleh pemberi kerja
kepada kantor LJSN atau JKN terdekat paling paling lambat tanggal 10 tiap-tiap
bulan
5.9. Tenaga kerja swakarya harus menyetorkan iuran paling lambat tanggal 10 tiap-
tiap bulan secara tunai ke bank yang ditunjuk atau melalui debet otomatis atas
rekening tenaga kerja swakarya
Kewajiban JKN
6.1. JKN wajib memberikan jaminan kepada seluruh anggota sesuai dengan ketentuan
yang diatur oleh UU JSN dan yang diatur oleh peraturan pemerintah, Keputusan
Presiden, atau MWA
6.2. Dalam hal di suatu daerah terdapat jumlah anggota yang cukup besar namun
tidak/belum tersedia fasilitas kesehatan yang memadai, JKN wajib menyediakan
tenaga (baik dari dalam maupun luar negeri) dan atau fasilitas kesehatan guna
memenuhi kebutuhan kesehatan para anggotanya sesuai dengan kemampuan
keuangan JKN.
6.3. Komite pelayanan wajib melakukan penilaian tentang akses yang wajar kepada
fasilitas kesehatan bagi para anggotanya dan penilaian kepuasan anggota secara
berkala minimal sekali dalam dua tahun
6.4. Penilaian tentang akses dan kepuasan anggota tersebut dilaksanakan baik oleh
pengelola maupun oleh lembaga independen dengan pendanaan dari pengelola
yang sifatnya tidak mengikat
6.5. JKN wajib mengumumkan kinerja keuangan dan kinerja pelayanan yang telah
dicapai pada suatu tahun takwim di paling sedikit 10 media masa nasional paling
lambat tanggal 31 Juni tahun takwin berikutnya.
Asuransi Kesehatan Nasional 125
6.6. JKN wajib menerbitkan buku saku yang berisi hak-dan kewajiban anggota, tata
cara memperoleh pelayanan, paket yang ditanggung, dan paket yang tidak
ditanggung kepada seluruh peserta/kepala keluarga. JKN wajib menerbitkan
revisi buku saku setiap terjadi perubahan kebijakan iuran, paket, maupun
prosedur pelayanan
6.7. JKN wajib melakukan berbagai upaya untuk menjamin bahwa setiap anggota
akan mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik menurut standar
profesi dan kemampuan tenaga dan keuangan suatu daerah
6.8. Paling lambat akhir tahun takwin ke-lima setelah JSN diundangkan, LJSN wajib
menyampaikan laporan rekening tahunan setiap peserta ke alamat rumah masing-
masing peserta dan mencantumkan status pembayaran iuran tiap peserta dan
dalam website LJSN yang dapat diakses oleh setiap peserta dengan mengisi
nomor penduduk peserta.
Hak anggota
7.1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
7.1.1. Setiap peserta berhak atas JKK apabila peserta mengalami kecelakaan di
dalam menjalankan pekerjaannya atau di dalam perjalanan menuju dan
pulang dari tempat kerja
7.1.2. Tenaga kerja yang sedang melakukan magang di perusahaan, murid
sekolah atau mahasiswa yang sedang berpraktek kerja di perusahaan atau
di laboratorium, perseorangan yang memborong pekerjaan, dan narapidana
yang dipekerjakan di perusahaan dimasukan dalam kategori peserta
7.1.3. Setiap peserta berhak atas JKK apabila peserta menderita penyakit akibat
atau yang terkait dengan pekerjaan peserta
Asuransi Kesehatan Nasional 126
7.1.4. Apabila diperlukan perawatan di rumah sakit, maka hak kelas perawatan
peserta adalah di ruang perawatan kelas I
7.1.5. Daftar penyakit akibat atau terkait dengan pekerjaan (occupational
diseases) ditetapkan oleh Keputusan Presiden setiap tiga tahun sekali
7.1.6. Jaminan kecelakaan kerja diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan
yang mencakup biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan
pemulihan di fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta yang menjalin
kerja sama dengan JKN
7.1.7. Dalam hal diperlukan perawatan di rumah sakit, peserta yang menderita
kecelakaan kerja berhak mendapat perawatan di ruang kelas I beserta
segala biaya aneka (laboratorium, radiologi, obat yang diperlukan sesuai
dengan daftar obat yang dijamin JKN, dan bahan medis lainnya) sejauh
dibutuhkan menurut pendapat profesional dokter)
7.1.8. Pemberi kerja wajib mengiur biaya (cost sharing) sebesar 30% dari biaya
pelayanan kesehatan tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja dengan
pemberi kerja yang mengalami kecelakaan kerja
7.1.9. Apabila kecelakaan kerja menyebabkan terjadinya kecacatan sementara
atau tetap, maka peserta berhak mendapatkan kompensasi uang tunai yang
jumlahnya ditetapkan oleh MWA setiap dua tahun sekali
7.1.10. Kompensasi uang tunai yang menjadi hak peserta meliputi:
7.1.10.1. Biaya pengangkutan ke dan dari fasilitas kesehatan
7.1.10.2. Santunan sementara tidak mampu berkerja sebagai pengganti upah
yang hilang
7.1.10.3. Santunan cacat sebagian anggota badan untuk selama-lamanya
Asuransi Kesehatan Nasional 127
7.1.10.4. Santuan cacat total untuk selama-lamanya, baik cacat fisik maupun
mental
7.1.10.5. Santunan (disamping pensiun dari JSN) kematian akibat kecelakaan
kerja
7.2. Jaminan Kesehatan
7.2.1. Setiap anggota berhak atas jaminan kesehatan manakala ia sakit dan
berhak atas pelayanan pencegahan yang jenis dan jumlahnya ditetapkan
oleh MWA setiap tiga tahun sekali
7.2.2. Pelayanan pencegahan yang menjadi hak peserta meliputi
7.2.2.1. Pelayanan keluarga berencana
7.2.2.2. Pelayanan kehamilan dan pemeriksaan darah rutin selama kehamilan
7.2.2.3. Pemeriksaan medik rutin untuk deteksi dini penyakit-penyakit kurang
gizi dan penyakit infeksi kronis pada anak berusia di bawah lima tahun
7.2.2.4. Pemeriksaan medik berkala sederhana yang rinciannya ditetapkan
MWA tiap tiga tahun sekali bagi anggota yang berusia 50 tahun atau
lebih
7.2.3. Jaminan kesehatan diberikan di fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta
yang menjalin kerja sama dengan JKN
7.2.4. Setiap anggota berhak atas jaminan paling sedikit berupa pelayanan
pengobatan kasus-kasus rawat jalan mahal di rumah sakit dan pelayanan
perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta yang mencakup biaya
pemeriksaan dokter umum dan spesialis, biaya perawatan, pemeriksaan
penunjang, obat-obatan, bahan medis lainnya sejauh secara medik
diperlukan menurut standar profesi medik yang secara ilmiah telah
dibuktikan efektifitasnya
Asuransi Kesehatan Nasional 128
7.2.5. Dalam hal kemampuan propinsi memadai untuk memberikan pelayanan
komprehensif, maka pelayanan kesehatan diberikan secara berjenjang
melalui dokter keluarga yang dipilih oleh anggota setiap enam bulan
sekali.
7.2.6. Anggota dapat memilih pelayanan di rumah sakit yang dikehendaki tetapi
harus mendapatkan rujukan dari dokter keluarga yang dipilihnya
7.2.7. Jaminan yang tidak termasuk dalam JKN (eksklusi):
7.2.7.1. Pelayanan kesehatan yang bersifat kosmetik, baik berupa pemeriksaan,
pengobatan, maupun pembedahan
7.2.7.2. Pelayanan kesehatan yang timbul atau yang merupakan akibat dari
pemakaian obat terlarang dan penggunaan minuman keras
7.2.7.3. Penyakit yang timbul akibat hubungan seksual
7.2.7.4. Pengguguran dan komplikasi dari pengguguran kandungan, kecuali
upaya pengguguran kehamilan dalam rangka menyelamatkan nyawa
seorang ibu
7.2.7.5. Pelayanan kesehatan yang timbul akibat upaya bunuh diri
7.2.8. Hak perawatan anggota di rumah sakit adalah standar perawatan kelas II
(dua)
7.2.9. Untuk setiap perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta, anggota
berkewajiban membayar iur biaya sebesar 10% dari biaya-biaya
pemeriksaan dokter, perawatan, dan biaya pemeriksaan penunjang dan iur
biaya sebesar 20% dari biaya obat dan bahan habis pakai
7.2.10. Besarnya iur biaya untuk rawat inap dan untuk pengobatan rawat jalan
mahal maksimum sebesar satu bulan UMP dalam satu tahun takwim
Asuransi Kesehatan Nasional 129
7.2.11. Untuk pengobatan rawat jalan setiap anggota wajib membayar iur biaya
sebesar 30% dari biaya pemeriksaan, pemeriksanaan penunjang medik,
biaya obat, dan tindakan rehabilitasi untuk setiap kali kunjungan yang
tarifnya telah ditetapkan dengan iur biaya maksium sebesar satu bulan
UMP untuk satu tahun takwim
7.2.12. Anggota dapat meminta pelayanan di kelas yang lebih tinggi dengan
membayar sendiri atau melalui asuransi kesehatan komersial selisih biaya
perawatan yang ditanggung JKN dengan biaya yang timbul akibat
peningkatan kelas perawatan.
Kontrak dan pembayaran provider (Pemberi Pelayanan Kesehatan).
8.1. Untuk efisiensi sistem JKN, pelayanan kesehatan diberikan melalui jaringan PPK
yang telah memenuhi syarat perijinan, fasilitas, dan kualitas pelayananan yang
akan ditetapkan oleh MWA
8.2. Yang dimaksud dengan PPK adalah dokter keluarga, dokter spesialis, klinik
praktek bersama, klinik 24 jam, rumah bersalin, RS pemerintah, RS swasta,
Apotik, Laboratorium klinik, laboratorium radiologi, dan fasilitas lain yang akan
ditetapkan oleh MWA (puskesmas dan ruang perawatan kelas III RS pemerintah
yang memberikan pelayanan dengan tarif subsidi tidak dimasukan dalam
kelompok PPK dalam JKN karena fasilitas tersebut akan diarahkan untuk
memberikan pelayanan kepada penduduk bukan anggota JKN, sampai seluruh
penduduk menjadi JKN).
8.3. JKN membayar PPK dengan tarif prospektif yang diarahkan pada tarif paket
seperti tarif kapitasi, tarif paket rawat jalan, paket prosedur, paket per hari rawat,
atau paket kelompok diagnosis
Asuransi Kesehatan Nasional 130
8.4. Sistem pembayaran kepada PPK dibahas dan disepekati dalam suatu musyawarah
antara JKN, Dinas Kesehatan setempat, dan asosiasi profesi atau fasilitas
kesehatan setempat
8.5. Besarnya biaya pengobatan dan perawatan yang ditanggung oleh JKN ditetapkan
bersama oleh MWA, Dinas Kesehatan Propinsi, dan Asosiasi Fasilitas
Kesehatan setempat dengan mempertimbangkan pemenuhan biaya produksi
operasional PPK
8.6. Dinas Kesehatan setempat berfungsi sebagai lembaga pengawas mutu pelayanan
kepada para anggota JKN
Penegakan hukum
8.7. Badan penyelenggara mempunyai kewenangan untuk melakukan inspeksi kepada
perusahaan dan melaporkan setiap pelanggaran perusahaan dalam memenuhi
kewajibannya membayar iuran atau melaporkan besaran iuran yang tidak sesuai
dengan ketentutan UU
8.8. Perusahaan yang terlambat membayarkan iurannya dikenakan denda sebesar 3
(tiga) persen dari jumlah iuran yang harus dibayarkan untuk tiap bulan
keterlambatan. Pembayaran iuran dalam hitungan hari dikenakan denda rata-rata
harian atas dasar besarnya denda bulanan
8.9. Perusahaan yang terlambat membayar iuran berturut-turut lebih dari tiga kali
dalam setahun dapat dikenakan denda tambahan sebesar 5% dari iuran yang
harus dibayarkan ditambah denda bulanan 3% dari jumlah iuran terhutang
8.10. Perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban membayarkan iuran pada
waktu yang ditetapkan atau membayarkan iuran tidak sesuai dengan peraturan
perundangan dikenakan denda minimal lima kali besarnya iuran setahun.
Asuransi Kesehatan Nasional 131
8.11. Pimpinan perusahaan yang bertanggungjawab yang melanggar
peraturan yang berlaku dikenakan hukuman kurungan sekurang-kurangnya satu
tahun penjara dan selama-lamanya 15 tahun penjara
8.12. Apabila perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya dan pernah
dikenakan denda tiga kali berturut-turut dalam kurun waktu lima tahun diancam
hukuman pencabutan ijin usaha untuk selama-lamanya
8.13. Dalam hal terjadi kelalaian pada pihak JKN, maka pihak JKN wajib
membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan sebesar 300% dari besarnya
kerugian yang diderita oleh perusahaan
Penyelesaian perselisihan
8.14. Apabila terjadi perselisihan mengenai jumlah tenaga kerja, besaran iuran yang
disetorkan, atau besarnya denda, maka perusahaan dapat memilih penyelesaian
melalui arbitrase atau pengadilan tinggi setempat
Ketentuan Peralihan
8.15. Dalam waktu dua tahun sejak UU JSN dicantumkan dalam lembaran negara,
penyelenggara jaminan sosial yang ada sekarang (PT Askes, PT Jamsostek, PT
Taspen, dan PT Asabri) harus mempersiapkan diri dan mempersiapkan tenaga-
tenaga manajerial dan staf untuk berhasilnya penyelenggaraan JSN/JKN yang
diatur dalam UU ini
Asuransi Kesehatan Nasional 132
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan ............................................................................................................ 1 Bab II Kebutuhan Asuransi Kesehatan ............................................................................. 4
Sarana dan Status Kesehatan Yang Telah Dicapai ........................................................ 4 Analisis Data Susenas .................................................................................................... 8
Status Kesehatan Penduduk ....................................................................................... 8 Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga ........................................ 10 Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan .................................................................... 11 Perbedaan Antar Wilayah ........................................................................................ 11 Perbedaan Antar Desa-Kota ..................................................................................... 12 Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan .................................................................. 12
Akses Pelayanan Kesehatan ......................................................................................... 13 Probabilitas Terjadi Unmet Need ............................................................................. 13
Perbedaan Antar Kelompok Pengeluaran Rumah-tangga .................................... 14 Perbedaan Antar Kelompok Pekerjaan ................................................................ 16 Perbedaan Antar Wilayah .................................................................................... 17 Perbedaan Antar Desa-Kota ................................................................................. 17 Perbedaan Antar Kelompok Pendidikan .............................................................. 18
Probabilitas Berobat Jalan ........................................................................................ 19 Probabilitas Mengalami Rawat Inap ........................................................................ 36 Masalah Pembiayaan Kesehatan .............................................................................. 44
Beban Biaya Kesehatan Rumah-tangga ............................................................... 45 Kemampuan Membayar Pelayanan Kesehatan .................................................... 50 Kemauan Membayar Pelayanan Kesehatan ......................................................... 53
Target Peserta Jaminan Kesehatan ........................................................................... 54 Bab III Masalah Asuransi Kesehatan Kita ...................................................................... 56
Kebutuhan asuransi kesehatan ..................................................................................... 56 Cakupan Asuransi Kesehatan .................................................................................. 59 Kesenjangan akses karena faktor finansial .............................................................. 61 Matriks Evaluasi berbagai bentuk asuransi kesehatan di Indonesia ........................ 63 Tidak dapat tercapai ................................................................................................... 63
Prediksi ke depan ......................................................................................................... 70 Sustainabilitas .......................................................................................................... 70 Kemampuan menjangkau seluruh penduduk ........................................................... 71 Tenaga profesional ................................................................................................... 72 Asuransi sesehatan tradisional sebagai ancaman ..................................................... 74
Tujuan dan keinginan ................................................................................................... 75 Pengalaman negara lain ............................................................................................... 79
Kegagalan pasar ....................................................................................................... 80 Asuransi kesehatan komersial .................................................................................. 82 Asuransi kesehatan sosial ........................................................................................ 83 Kinerja asuransi kesehatan sosial dan komersial ..................................................... 85 Paket dasar: biaya atau need? .................................................................................. 90 Mengatur jaminan bukan “bisnis jaminan”.............................................................. 92 Pengaturan tarif PPK dan standar pelayanan medis ................................................ 93
Asuransi Kesehatan Nasional 133
Prioritas kelompok yang dapat dikelola (manageable) ............................................ 95 Kunci keberhasilan ................................................................................................... 95 Manfaat eksternal ..................................................................................................... 96
Bab IV Alternatif Sistem Asuransi Kesehatan Indonesia ............................................... 97 Badan Penyelenggara ................................................................................................... 98
Status ....................................................................................................................... 98 Struktur organisasi ................................................................................................ 99 Persyaratan ........................................................................................................... 101 Tugas pokok ......................................................................................................... 101 Biaya manajemen/administrasi .......................................................................... 102
Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) ....................................................................... 102 Tugas pokok ......................................................................................................... 103 Hak PPK ............................................................................................................... 104
Bab V Pilihan untuk Indonesia ..................................................................................... 105 Ringkasan untuk sub sistem JKN .......................................................................... 108
Tujuan dan Manfaat. .......................................................................................... 108 Prinsip dasar ....................................................................................................... 109 Strategi pengembangan ...................................................................................... 109 Kelembagaan. ..................................................................................................... 110
Key Success Factor: ............................................................................................... 110 Prinsip Dasar: ..................................................................................................... 111
Ketentuan Umum ................................................................................................... 112 Penyelenggaraan JKN ............................................................................................ 114 Badan Penyelenggara dan kewenangan badan penyelenggara .............................. 115 Kewajiban Pemberi Kerja ...................................................................................... 120 Pembayaran iuran ................................................................................................... 122 Kewajiban JKN ...................................................................................................... 124 Hak anggota ........................................................................................................... 125 Kontrak dan pembayaran provider (Pemberi Pelayanan Kesehatan). ................... 129 Penegakan hukum .................................................................................................. 130 Penyelesaian perselisihan ....................................................................................... 131 Ketentuan Peralihan ............................................................................................... 131
Asuransi Kesehatan Nasional 134
Daftar Pustaka
1 WHO. WHR2000 2 Newsweek, 2001 3 Gani, A. Cari tulisan AG 4 Malik, cari 5 Cari laporan NHA pak Cholik dkk, minta dari Waluyo. 6 Thabrany, H dan Pujianto. MKI, lengkapi 7 Thabrany, 2002. Current health insurance coverage in Indonesia. Paper presented in the Asia-Pacific Summit on Health Insurance and Managed Care, Jakarta May 22-26, 2002. 8 Ambil laporan JPSBK, tanya Mahlil 9 Indonesia Sehat 2010. Depkes RI, Jakarta 1999 10 World Health Report 2000. WHO, Geneva, 2000 11 Pernyataan James Marzof, konsultan USAID pada rapat penyusunan RUU JPKM di Depkes tahun 1999. 12 Thabrany, H. Health Insurance and the Demand for Medical Care in Indonesia. Disertation. University of Californita at Berkeley, USA. 1995 13 Getler, P. et. al., Report on the Indonesian Resource Mobilization Study. Rand Corporation, Santa Monica, USA. 1994 14 Melnick, G.; Molynoux, J.; and IFLS 15 Suwondo, P. Disertation, University of California at Los Angeles, Los Angeles, 1997 16 Indonesia Sehat 2010. Depkes RI, Jakarta, 2000 17 Shalala. D. .. Health Affairs, June/July 1999 18 .. Sistem Asuransi Taiwan. 19 .. Buntu, N. Studi.., Thesis. .. Evaluasi JPKM proyek Klaten, AIM. 20 ..(dari PT Askes) laporan studi kepuasan peserta. Thabrany, H. dkk. Evaluasi Pemanfaatan Pelayanan PT Askes, 92, 95, 98 21 Thabrany, H. dkk. Penatapan Cadangan Teknis JPK Jamsostek, FKMUI, Jakarta 1997. xxii Depkes. Konsep dan pelaksanaan JPKM: Masukan bagi pengembangan Sistem Jaminan Sosial Nasional, Jakarta September 2000. xxiii Wahyudin. Laporan Magang Mahasiswa. Program DIII Asuransi Kesehatan. FKMUI, Depok, 2000 xxiv Dewan Asuransi Indonesia. Laporan Kegiatan Usaha Asuransi Tahun 1998. Jakarta, 1999. xxv) Istilah asuransi kesehatan sosial dan asuransi sosial kesehatan digunakan untuk
maksud yang sama. xxvi Pelayanan kesehatan disini mencakup berbagai lingkup pelayanan kesehatan
mulai dari promotif sampai rehabilitatif, termasuk obat dan alat medis. Istilah ini digunakan juga untuk pemeliharaan kesehatan.
xxvii Thabrany, H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, 1999.
xxviii Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997 xxix Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview: Viewing the US Health Care System from
Within: Candid Talk from HHS. Health Affairs 18(3): 47-55, 1999
Asuransi Kesehatan Nasional 135
xxx Ikegami, N dan Campbell, JC. Health Care Reform in Japan: The Virtue of Muddling
Trhough. Health Affairs 18(3):56-75.