tinjauan pustaka kepentingan krisan dalam ekspor indonesia · bunga krisan adalah anggota dari...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Kepentingan Krisan dalam Ekspor Indonesia
Tanaman Krisan merupakan tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan
dalam skala komersial terutama sebagai tanaman hias dalam pot maupun bunga
potong. Terdapat lebih dari seribu varietas krisan yang dikenal yang tersebar di
seluruh dunia. Awalnya krisan dibudidayakan di Jepang, bahkan menjadikan
krisan sebagai simbol kekaisaran Jepang dan disebut sebagai Queen of the East,
kemudian menyebar ke Eropa lalu ke seluruh Asia. Tanaman Krisan masuk ke
Indonesia pada abad ke- 17 dan baru dikembangkan pada tahun 1940 di Cianjur,
Lembang, Cisarua, Brastagi dan Bandungan (Rukmana dan Mulyana 1997).
Widyawan dan Prahastuti (1994) menyatakan bahwa jenis bunga potong
yang mempunyai nilai komersial di Indonesia antara lain krisan, anggrek, mawar,
anyelir, anthurium, gladiol, gerbera, sedap malam, aster, dan melati. Peningkatan
nilai estetis dan ekonomis sangat diperlukan untuk menjaga keindahan dan
kesenangan para penyuka bunga potong, sehingga akan dapat meningkatkan
jumlah konsumen dan penyuka bunga potong.
Terdapat empat jenis bunga lokal yang berpotensi diproduksi di Indonesia
untuk keperluan pasar dalam negeri dan ekspor ke pasar internasional, yaitu
anggrek, krisan, mawar dan sedap malam. Pertumbuhan produksi selama tiga
tahun terakhir masing-masing bunga adalah 1.53%, 68.44%, 13.53% dan 10.81%
per tahun. Nilai ekspor anggrek, krisan dan mawar pada tahun 2011 masing-
masing mencapai USD 783 785; USD 1 329 468 dan USD 781 377 (BPS 2012).
Krisan menempati urutan pertama sebagai penghasil devisa pada ekspor tanaman
hias, dari waktu ke waktu permintaan terhadap bunga krisan baik dalam bentuk
bunga potong maupun dalam pot mengalami kenaikan.
Krisan merupakan salah satu jenis bunga potong penting di dunia yang
banyak diminati di beberapa negara (Widiastuti et al. 1999). Bunga krisan kuning
(Chrysanthemum indicum) sebagai bunga potong sangat disenangi konsumen di
Indonesia dan negara lain karena keindahannya. Keragaman bentuk, warna,
kemudahan untuk dirangkai dan memiliki kesegaran bunga yang cukup lama, bisa
bertahan sampai dengan 3 minggu (Harry 1994).
Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2007), pasokan bunga krisan di
dunia saat ini masih dikuasai oleh pelaku usaha yang bersal dari Belanda,
Colombia, dan Italia yang mencapai total ekspor lebih dari 60% dari nilai
perdagangan dunia, sementara negara-negara lain hanya mampu memasok sekitar
10% dari total permintaan dunia.
Usaha produksi krisan di Indonesia dihadapkan pada beberapa kendala,
antara lain ketergantungan terhadap bibit dari luar negeri dan infestasi hama pada
bunga potong sehingga terdapat kesulitan untuk menembus pasar luar negeri.
Salah satunya adalah hama T. parvispinus (Balithi 2000). Kerusakan yang
ditimbulkan oleh thrips pada tanaman bunga krisan di lapangan berkisar 40-55 %
tergantung pada kondisi lingkungan (Prabaningrum dan Moekasan 1997)
Selain itu ketatnya negara tujuan dalam menerapkan aturan untuk
pemasukan tanaman hias ke negaranya menjadi kendala bagi ekspor tanaman hias.
Selain penampilan yang baik, tanaman harus bebas dari tanah dan organisme
5
pengganggu tumbuhan (OPT). Salah satu contoh, ekspor bunga krisan dengan
tujuan negara Jepang dinyatakan terinfestasi oleh thrips sehingga harus diberi
perlakuan dengan penyemprotan insektisida dosis tinggi oleh pemerintah Jepang
untuk melindungi negaranya dari penyebaran OPT, dampaknya hanya 40% bunga
krisan yang dapat bertahan sehingga eksportir mengalami kerugian.
Tanaman Krisan
Klasifikasi Ilmiah
Bunga krisan adalah anggota dari famili Asteraceae yang mencakup
bermacam-macam jenis Chrysanthemum. Klasifikasi Ilmiah dari tanaman bunga
krisan adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Chrysanthemum
Spesies Chrysanthemum sp.
Botani
Menurut Rukmana dan Mulyana (1997), tanaman krisan memiliki batang
dengan bentuk yang tegak, bulat, sedikit bercabang, permukaan kasar dan
berwarna hijau. Daun berbentuk tunggal, berseling, lonjong dengan ujung runcing
dan pangkal yang membulat, panjang 7-13 cm dan lebar 3-6 cm pertulangan
menyirip, tebal, permukaan kasar, hijau. Sementara itu bunga bersifat majemuk,
berbentuk seperti cawan dengan garis tengah 3-5 cm. Buah dari tanaman krisan
berbentuk lonjong, kecil, ditutupi selaput buah, yang masih muda berwarna putih
sementara yang tua berwarna hitam. Biji berbentuk lonjong dengan ukuran kecil
berwarna hitam dan akar tunggang berwarna putih.
Krisan pada umumnya dibudidayakan dan tumbuh baik di dataran medium
sampai tinggi yaitu pada kisaran 650 – 1 200 m dpl. Di habitat aslinya, krisan
merupakan tanaman yang bersifat menyemak dan dapat tumbuh hingga mencapai
tinggi 30 – 200 cm. Berdasarkan siklus hidupnya, krisan dibedakan menjadi 2
tipe, yaitu krisan semusim (hardy annual) dan krisan tahunan (hardy perennial)
(Harry 1994).
Tanaman krisan yang dibudidayakan saat ini merupakan krisan modern
hasil hibridisasi, seleksi dan rekayasa genetik telah dilakukan para pemulia krisan
sejak lama, sehingga kebanyakan krisan modern bersifat poliploid dan secara
genetik sangat heterogen. Perubahan-perubahan yang terjadi pada krisan modern
ini terutama pada karakter ketahanan terhadap stress lingkungan, hama dan
penyakit, atau kualitas bunga seperti warna, bentuk serta tipe bunga.
6
Gambar 1 Tanaman krisan pada pot
Krisan berasal dari daerah subtropis, sehingga suhu yang terlalu tinggi
merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Krisan dapat tumbuh
pada kisaran suhu harian antara 17-30ºC. Pada fase vegetatif, kisaran suhu harian
22-28ºC pada siang hari dan tidak melebihi 26ºC pada malam hari dibutuhkan
untuk pertumbuhan optimal krisan. Suhu ideal pada fase generatif adalah 16-
18ºC. Pada suhu di atas 25ºC, proses inisiasi bunga akan terhambat dan
menyebabkan pembentukan bakal bunga juga terlambat. Suhu yang terlalu tinggi
juga mengakibatkan bunga yang dihasilkan cenderung berwarna kusam, pucat dan
memudar (Hashim dan Reza 1995)
Bunga
Krisan merupakan tanaman bunga hias berupa perdu dengan sebutan lain
Seruni atau bunga emas (Golden Flower) berasal dari dataran Cina. Krisan kuning
berasal dari dataran Cina, dikenal dengan Chrysanthenum indicum (kuning), C.
Morifolium (ungu dan pink) dan C. daisy (bulat, ponpon). Krisan masuk ke
Indonesia pada tahun 1800 dan tahun 1940 krisan dikembangkan secara
komersial. Menurut Sanjaya (1996) jenis dan varietas tanaman krisan di Indonesia
umumnya hibrida berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Krisan yang
ditanam di Indonesia terdiri atas:
a. Krisan lokal (krisan kuno)
Berasal dari luar negri, tetapi telah lama dan beradaptasi di Indoenesia
maka dianggap sebagai krisan lokal. Ciri-cirinya antara lain sifat hidup di
hari netral dan siklus hidup antara 7-12 bulan dalam satu kali penanaman.
Contoh C. Maximum berbunga kuning banyak ditanam di Lembang dan
berbunga putih di Cipanas (Cianjur).
b. Krisan introduksi (krisan modern atau krisan hibrida)
Hidupnya berhari pendek dan bersifat sebagai tanaman annual. Contoh
krisan ini adalah C. indicum hybr, C. indicum hybr. Dolaroid, C. indicum
7
hybr. Indianapolis (berbunga kuning) Cossa, Clingo, Fleyer (berbunga
putih), Alexandra Van Zaal (berbunga merah) dan Pink Pingpong
(berbunga pink).
c. Krisan produk Indonesia
Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas telah melepas varietas krisan
buatan Indonesia yaitu varietas Balithi 27.108, 13.97, 27.177, 28.7 dan
30.13A.
Dari beberapa jenis varietas, krisan berwarna kuning dan hijau adalah yang
paling banyak dicari. Persentasenya bisa mencapai 90%, sementara sisanya
memilih warna-warna lain.
Gambar 2 Bunga potong krisan
Thrips parvispinus Karny
Thrips ditemukan hampir di seluruh dunia dengan jumlah spesies mencapai
6 000 spesies. Dialam bebas, thrips lebih menyukai berada pada gulma sebagai
inangnya, tetapi adanya gangguan pada gulma menyebabkan thrips bermigrasi ke
tanaman ekonomis seperti sayuran, tanaman hias, dan buah-buahan. Beberapa dari
spesies thrips dikenal sebagai penyebab kerusakan tanaman (Reynaud 2010). Di
Indonesia tanaman yang menjadi inang dengan tingkat kerusakan yang cukup
tinggi antara lain adalah cabai, bawang merah, bawang putih, kentang, tomat,
terung, waluh dan mentimun juga beberapa tanaman hias seperti krisan, mawar,
dan sedap malam. Kondisi kadar air tanaman mempengaruhi kepindahan thrips
dalam memilih inang, kadar air yang tinggi akan dipilih dari pada tanaman
dengan kadar air kurang (Dibyantoro 1994).
Serangga ini merusak tanaman dengan cara meraut menghisap (Lewis
1973). Menurut Prabaningrum (2007), kerusakan tanaman dan kehilangan hasil
karena hama trips sekitar 10 - 25% pada musim hujan dan 40 - 55% pada musim
kemarau. Semakin awal terjadi serangan, semakin tinggi pula penurunan hasil
baik secara kualitas maupun kuantitas. T. parvispinus juga berperan sebagai
vektor dari suatu virus yaitu Tobacco streak ilarvirus (TSV) (Klose et al. 1996).
8
Thrips diklasifikasikan kedalam ordo Thysanoptera dan famili Thripidae,
klasifikasi T. parvispinus secara lengkap adalah :
Kingdom : Animalia
Fillum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Thysanoptera
Famili : Thripidae
Genus : Thrips
Spesies : Thrips parvispinus Karny
Gambar 3 Siklus hidup T. parvispinus
(Dreistadt et al. 2004)
Biologi
Pada umumnya thrips dewasa berbentuk langsing, berwarna kuning hingga
coklat kehitaman, berukuran kecil 0.8 – 1.4 mm, ukuran paling besar hingga
mencapai 3 mm (Davidson dan Lyon 1987). Thrips dewasa maupun nimfa
tubuhnya bersegmen-segmen, nimfa berwarna putih atau putih kekuningan dan
tidak bersayap (Lewis 1973). Thrips berkembang biak secara seksual dan
aseksual, perkembangan aseksual thrips disebut dengan parthenogenesis. Imago
betina yang mengalami perkembangbiakan secara aseksual akan menghasilkan
keturunan betina lagi (Kendall dan Capinera 1990). Thrips betina meletakan telur
secara tunggal di dalam jaringan tanaman, di permukaan bawah daun atau pada
kelopak dan mahkota bunga. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina
berkisar antara 30-300 butir tergantung kualitas dan jumlah makanan yang
tersedia dan suhu lingkungan (Davidson dan Lyon 1987). Pada suhu yang tinggi
imago akan mengalihkan energi yang dimilikinya untuk memproduksi telur yang
lebih banyak, sementara pada suhu rendah imago akan menimbun energi yang
dimilikinya untuk membentuk struktur tubuh (Berger et al. 2008)
Thrips mengalami metamorfosis sederhana (setengah sempurna) yaitu mulai
dari telur, nimfa, pupa dan setelah itu menjadi thrips dewasa (gambar 3). Thrips
9
mengalami dua fase instar nimfa dan pupa. Instar pertama dan kedua merupakan
fase aktif, setelah fase nimfa selanjutnya adalah fase prepupa dan pupa merupakan
fase istirahat dan kemudian menjadi imago yang mulai aktif makan lagi. Siklus
hidup thrips sekitar 15.4 hari (Dibyantoro 1994), sementara itu menurut Lu dan
Lee (1987) untuk menyelesaikan satu siklus hidup thrips membutuhkan waktu 35
hari dengan fase telur 4.8 hari, nimfa 5.9 hari, prepupa 1.4 hari dan pupa 2.4 hari
serta dewasa 20.2 hari.
Telur thrips berbentuk oval atau seperti ginjal dan berwarna putih bening.
Telur biasanya diletakkan pada bagian permukaan bawah daun atau di dalam
jaringan tanaman secara terpencar atau ditusukkan ke dalam jaringan tanaman.
Nimfa berwarna putih dan sangat aktif, terdiri atas dua instar, yang diikuti dengan
periode prepupa yaitu nimfa yang menyerupai sifat seperti pupa dan tidak makan,
nimfa yang baru menetas berwarna putih kekuningan. Nimfa instar pertama dan
kedua aktif berada di permukaan daun sedangkan instar selanjutnya tidak aktif.
Nimfa T. parvispinus paling banyak dijumpai pada daun bagian atas (Sutherland
2006).
Pupa biasanya jatuh ke tanah, kemudian menjadi serangga dewasa.
Perkembangan pupa menjadi imago meningkat pada kelembaban relatif rendah
dan suhu relatif tinggi. Pupa terdapat di bawah daun atau permukaan tanah di
sekitar tanaman. Imago yang telah memiliki sayap biasanya belum dapat terbang
tetapi sudah dapat meloncat dan hidup secara berkelompok (Mound et al. 1976).
Imago berukuran sangat kecil, dengan panjang tubuh + 1 mm dan berwarna
kuning pucat sampai coklat kehitaman. Imago yang sudah tua berwarna agak
kehitaman bergaris-garis. Serangga jantan tidak bersayap, sedangkan yang betina
mempunyai dua pasang sayap yang halus dan tidak rata. Umur serangga dewasa
dapat mencapai 20 hari. Imago paling banyak ditemukan pada pucuk daun dan
bagian dalam bunga (Davidson dan Lyon 1987).
Gejala Serangan
Menurut Ananthakhrisnan (1993), kerusakan spesifik karena serangan thrips
pada jaringan tanaman menyebabkan kerusakan langsung yang ditandai dengan
warna keperakan dan gangguan fisiologis pada daun dan bunga. Gejala bercak
keperakan awalnya tampak dekat tulang daun menjalar ke tulang daun hingga
warna keperakan dan akhirnya mengalami perubahan menjadi warna kecoklatan,
disebabkan karena terbentuknya gelembung udara yang terjadi akibat tusukan
mulut thrips pada jaringan epidermis (Anderson et al. 1992). Thrips menyerang
tanaman mulai dari pembibitan sampai tanaman dewasa. Gejala serangan paling
banyak dijumpai pada bagian bawah daun atau bunga. Pada intensitas serangan
yang tinggi, tepi daun menjadi berkerut, menggulung ke dalam dan timbul
benjolan sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan bila
daun dibuka, akan terdapat imago thrips yang berkelompok (Dethier 1982).
Tanaman yang merana tidak akan menghasilkan bunga yang prima. Populasi dan
serangan thrips biasanya tinggi pada musim kemarau dan menurun pada musim
hujan.
10
Fosfin
Fosfin atau hidrogen fosfida (PH3) adalah gas yang dihasilkan oleh fumigan
yang dikenal sebagai metal fosfida yang merupakan salah satu fumigan tertua dan
banyak digunakan dalam pengendalian hama. Fosfin sangat toksik terhadap
serangga termasuk manusia dan hewan. Disamping toksik, fosfin juga
menyebabkan korosi pada logam tertentu dan dapat terbakar secara tiba-tiba di
udara pada konsentrasi yang lebih tinggi dari titik ledak yaitu 1.8% (17 900 ppm).
Sifat-sifat lain dari fosfin adalah berat jenis dan berat molekulnya rendah sehingga
membuat kemampuan penetrasinya dapat tembus ke bagian dalam komoditas
(Wirawan 2006).
Perlakuan dengan Fosfin secara berulang-ulang relatif tidak meninggalkan
residu pada komoditas, sehingga relatif aman terhadap komoditas yang
difumigasi. Berdasarkan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu untuk fosfin
yang diperbolehkan pada biji-bijian belum diolah adalah 0,1mg/kg dan 0,01mg/kg
pada biji-bijian yang telah diolah. Selain itu, penggunaan fosfin banyak
dipersyaratkan oleh negara-negara tertentu karena ion fosfin diketahui sebagai zat
yang tidak menimbulkan kerusakan pada lapisan ozon.
Fumigasi fosfin harus memperhatikan sifat fisik dan sifat kimianya, untuk
itu yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan fumigasi dengan fosfin adalah
ketersedian waktu yang cukup untuk pelaksanaan fumigasi, kandungan air
komoditas yang akan difumigasi, jenis komoditas, dan jenis organisme
pengganggu tumbuhan yang menjadi sasaran fumigasi. Penggunaan fosfin
dihindari apabila suhu berada di bawah 10ºC karena pada suhu tersebut serangga
tidak aktif, pada konsentrasi di atas 1.8% volume di udara atau 25 g/m3 pada
tekanan udara normal mudah meledak, pada temperatur di atas 100°C (212°F)
mudah terbakar dengan sendirinya, komoditas memiliki kandungan air yang tinggi
dan komoditas yang mengandung emas, perak dan tembaga.
Menurut Barantan (2013), fosfin adalah fumigan yang sangat beracun
terhadap manusia, keracunan fosfin dapat berakibat kematian bagi manusia.
Pengaruh dari paparan gas tergantung pada konsentrasi gas, lama waktu papar dan
seringnya terkena paparan. Efek yang langsung membahayakan terhadap manusia
terjadi apabila setelah fosfin terpapar dengan konsentrasi 2.8 g/m3 dapat
mematikan manusia dalam beberapa menit. Apabila fosfin terpapar dengan
konsentrasi lebih dari 0.5g/m3 selama 30-60 menit dapat mengakibatkan efek
yang sama. Akan tetapi, pengaruh tidak langsung dapat berakibat fatal apabila
fosfin dalam konsentrasi rendah terhisap oleh manusia secara terus menerus.
Pemilihan Fosfin sebagai fumigan dalam pelaksanaan fumigasi karena
merupakan senyawa yang sangat toksik dan memiliki penetrasi yang baik serta
seragam, tidak memiliki efek aroma, warna, dan cita rasa terhadap komoditas
yang difumigasi, dan penyerapan oleh produk rendah. Menurut Harein dan Davis
(1992), fosfin adalah senyawa kimia yang pada temperatur dan tekanan tertentu
berbentuk gas, dalam konsentrasi tertentu dapat mematikan serangga dan tidak
ada efek residu yang ditinggalkan setelah fumigasi selesai. Saat ini fosfin telah
dikembangkan dalam dua macam formulasi yaitu fosfin formulasi padat dan
fosfin formulasi cair. Fosfin formulasi padat sudah banyak digunakan dalam
bentuk pellet, tablet, plate, bags dan strips dengan jumlah kandungan fosfin
berbeda-beda dan digunakan berdasarkan pada jumlah komoditas yang akan
11
difumigasi. Namun, penggunaan fosfin padat membutuhkan waktu lebih lama dan
tidak dapat digunakan pada semua komoditas, hal ini karena sifat fosfin yang
sangat mudah terbakar (flammable). Sementara itu, fosfin formulasi cair mulai
dikembangkan untuk menutupi kekurangan dari fosfin formulasi padat agar dapat
digunakan untuk banyak komoditas.
Menurut Barantan (2013), fosfin memiliki sifat fisik dan sifat kimia seperti
yang disajikan pada tabel 1.
Tabel 1 Sifat fisik dan sifat kimia fosfin
No Deskripsi Fosfin
1 Rumus kimia PH3
2 Bau Karbit/bawang putih
3 Titik didih 87.4°C
4 Titik lebur 133.5°C
5 Berat molekul 34.04
6 Gravity khusus
a. Gas (udara = 1)
b. Liquid (air 4°C = 1)
1.214°
0.746-90
7 Panas penguapan 102.6 cal/g
8 Titik ledakan 1.79% diudara
9 Kelarutan dalam air Sangat larut
10 Efek pada serangga
a. Telur
b. Larva
c. Pupa
d. Dewasa
Racun pernapasan dan saraf
Lambat
Cepat
Lambat
Cepat
11 Faktor konversi (g/m3 ke ppm) 730
Aplikasi fumigasi dengan menggunakan fosfin formulasi cair harus
memperhatikan sifat-sifat fisik dan kimia yang dimilikinya. Faktor lain yang harus
diperhatikan adalah keamanan selama berlangsungnya kegiatan fumigasi. Fosfin
formulasi cair umumnya berasal dari senyawa PH3 sebanyak 2% dan CO2
sebanyak 98%. Karbon dioksida adalah gas pembawa (carrier) yang sangat baik
untuk fosfin dan menjamin fosfin formulasi cair tidak mudah terbakar dengan
udara. Suhu minimum untuk fumigasi fosfin formulasi cair untuk tujuan tindakan
karantina dapat dilakukan pada suhu 0°C. Bila suhu di dalam ruang berada di
bawah 0°C, maka fumigasi tidak direkomendasikan untuk dilaksanakan.
Penyerapan fumigan yang berlebih akan menimbulkan resiko keamanan karena
fumigan tersebut akan sulit untuk dihilangkan dari komoditas. Suhu ruangan
merupakan faktor yang penting dalam menentukan konsentrasi fosfin formulasi
cair yang efektif membunuh serangga sasaran. Kondisi optimal untuk pelaksanaan
fumigasi dengan fosfin formulasi cair pada suhu ≥ 26 °C.
12
Strategi Pengendalian T. parvispinus
Pengendalian T. parvispinus di lapangan dapat dilakukan dengan beberapa
teknik pengendalian seperti pengendalian secara kimia dengan menggunakan
insektisida, secara hayati dan pengendalian secara terpadu. Menurut Lewis (1973)
thrips semula cukup rentan terhadap jenis insektisida sintetik namun akibat
penggunaan insektisida yang berlebih membuat thrips menjadi lebih tahan
(resisten). Pengendalian hayati yang telah dilakukan adalah dengan penggunaan
mikroorganisme Beauveria bassiana dan Verticilium lecani (Hadisoeganda 1997),
penggunaan tungau predator Amblyseius cucumeris (Prabaningrum dan
Sastrosiwojo 1997) dan penggunaan predator kumbang Coccinella transversalis
dan Menochilus sexmaculatus yang merupakan predator yang sangat baik
memangsa nimfa dan imago T. parvispinus (Pracaya 2011)
Pengendalian yang dilakukan pada produk pasca panen bunga potong
terhadap thrips adalah melalui karantina untuk mencegah terbawanya thrips ketika
komoditas bunga potong krisan ini akan diperdagangkan antar negara. Tindakan
karantina yang dilakukan adalah dengan memberikan perlakuan terhadap bunga
potong krisan. Perlakuan yang biasa digunakan di antaranya adalah dengan
perlakuan fumigasi. Menurut Barantan (2013) fumigasi merupakan suatu tindakan
atau perlakuan terhadap media pembawa OPT menggunakan fumigan dalam
ruangan kedap udara pada suhu dan waktu tertentu dapat membunuh OPT.
Fumigan yang banyak digunakan saat ini adalah metil bromida (MB), fosfin padat
dan etil format.
Berdasarkan rekomendasi dari International Plant Protection Convention
(IPPC), penggunaan MB pada tahun 2008 harus dikurangi dan pada akhirnya
dihentikan sehingga mengharuskan setiap negara melakukan penelitian untuk
mencari fumigan baru pengganti MB dengan teknik perlakuan lain karena MB
termasuk kedalam Bahan Perusak Ozon (BPO). Selain itu juga aplikasi MB
membutuhkan waktu yang cukup panjang sehingga kurang cocok digunakan
untuk fumigasi terhadap bunga potong krisan (Suparno 2003). Fosfin padat
pengunaannya tidak cocok untuk komoditas yang memiliki kadar air tinggi,
sementara itu penggunaan etil format tidak efisien karena sulit untuk dilakukan
terhadap bunga potong dalam jumlah yang banyak (Desmarchelier 1999).