tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · simplisia mineral adalah simplisia yang berupa mineral...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Rimpang Kunyit
Kunyit merupakan tanaman obat asli dari Asia Tenggara dan telah
dikembangkan secara luas di Asia Selatan, Cina Selatan, Taiwan, Filipina dan
tumbuh dengan baik di Indonesia. Tanaman kunyit (Gambar 1) tumbuh tegak
mencapai tinggi 1,0-1,5m. Kunyit memiliki batang semu yang dililit oleh pelepah-
pelepah daun. Daun tanaman runcing dan licin dengan panjang sekitar 30cm dan
lebar 8cm. Bunga muncul dari batang semu dengan panjang sekitar 10-15cm.
Warna bunganya putih atau putih bergaris hijau dan terkadang ujung bunga
berwarna merah jambu. Bagian utama dari tanaman adalah rimpang yang berada
di dalam tanah (Gambar 2). Rimpang ini biasanya tumbuh menjalar dan rimpang
induk berbentuk lonjong. Rimpang kunyit (Curcuma domestica rhizoma) terdiri
atas rimpang Curcuma domestica Val dalam keadaan utuh atau dipotong-potong.
Rimpang kunyit mempunyai bau khas aromatik, rasa agak pahit, agak pedas, lama
kelamaan menimbulkan rasa tebal. Kepingan rimpangnya ringan, rapuh, berwarna
kuning jingga, kuning jingga kemerahan sampai kuning jingga kecoklatan (Dirjen
POM 2000).
Kunyit digunakan sebagai zat tambahan makanan (rempah), pengawet, dan
pewarna di sebagian besar negara Asia. Pada pengobatan tradisional bubuk kunyit
digunakan untuk terapi gangguan kelenjar empedu, anoreksia, batuk, luka
diabetes, rematik, sinusitis dan gangguan hati. Di Cina, kunyit biasa digunakan
untuk penyakit yang berkaitan dengan gangguan abdominal (Chattopadhyay et al.
2004).
Gambar 1 Tanaman kunyit.
5
Menurut Linnaeus dalam Chattopadhyay et al. (2004) kunyit dideskripsikan
sebagai Curcuma longa dengan taksonomi sebagai berikut:
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Kommelinida
Ordo : Zingiberales
Keluarga : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma longa
Kunyit yang tumbuh liar sering disebut dengan Curcuma Aromatica
sedangkan kunyit yang dibudidayakan disebut dengan Curcuma Longa (sinonim
Curcuma Domestica Val) (Chattopadhyay et al. 2004; Dirjen POM 2000).
Gambar 2 Rimpang kunyit.
Senyawa kimia utama yang terkandung di dalam rimpang kunyit adalah
minyak atsiri dan kurkuminoid. Minyak atsiri mengandung senyawa α-felandren
(1%), sabinen (0,6%), sineol (1%), borneol (0,5%), seskuiterpen (53%),
zingiberen (25%). Kurkuminoid mengandung senyawa kurkumin (3-4%) dan
turunannya (berwarna kuning) yang meliputi desmetoksikurkumin dan
bidesmetoksikurkumin. Selain itu rimpang kunyit juga mengandung senyawa
lemak (5,1%), protein (6,3%), mineral (3,5%), dan karbohidrat (69,4%)
(Chattopadhyay et al. 2004). Kunyit telah tersedia secara komersial dalam bentuk
salep, krim antiseptik, dan kapsul yang mengandung serbuk, ekstrak, dan tingtur.
Bromelain seringkali ditambahkan dalam formulasi sediaan kunyit, karena
6
bromelain dapat meningkatkan absorpsi dan efek antiinflamasi dari kurkumin
(Ravindran et al. 2007).
Kunyit mempunyai banyak aktivitas farmakologi. Salah satu aktivitas
farmakologi kunyit adalah sebagai antiinflamasi pada hewan percobaan yang
diinduksi karagenan. Efektivitasnya pada tikus dilaporkan sama dengan efektivitas
hidrokortison asetat dan indometasin. Menurut Jain et al. (2007) ekstrak kunyit
mempunyai aktivitas sebagai antialergi melalui penghambatan pelepasan
antihistamin oleh sel mast dan fraksi etil asetat mempunyai potensi yang paling
tinggi dibandingkan dengan fraksi lain. Rimpang kunyit menunjukan aktivitas
hepatoprotektor secara in vitro maupun in vivo pada hewan percobaan yang
diinduksi karbon tetraklorida, aflatoksin B1, parasetamol, besi, dan siklospamid
pada mencit, tikus, dan itik. Ekstrak kunyit pada profil lipid menunjukan, efikasi
kunyit pada penurunan resiko aterosklerosis. Pemberian ekstrak kunyit dapat
menghambat oksidasi LDL dan mempunyai efek hipokolesterolemia pada kelinci
aterosklerosis. Ekstrak kunyit juga mempunyai aktivitas antifertilitas dan
antispermatik yang signifikan pada tikus albino dengan pemberian jangka panjang
(500mg/kg BB/ tikus/hari sampai 60 hari) (Jain et al. 2007).
Serbuk kunyit menurut Pandya (1995), mempunyai aktivitas penyembuhan
luka pada pasien diabetes dan terbukti mempunyai aktivitas antimikroba dan
antifungi yang signifikan. Komponen minyak atsiri, turmeron dan kurlon
mempunyai daya spektrum yang luas dalam membunuh bakteri, seperti Bacillus
cereus, Bacillus coagulans, Bacillus. subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia
coli, dan Pseudomonas aeruginosa dan fungi seperti Candida albicans MTCC-
183 Cryptococcus neoformans MTCC-1347 (Jain et al. 2007). Minyak atsiri
kunyit menunjukan, aktivitas antiinflamasi pada tikus arthritis yang diinduksi
ajuvan, karagenan dan hialuronidase melalui penghambatan enzim tripsin dan
hialuronidase (Dirjen POM 2000).
Kurkumin (Gambar 3) dan turunannya juga mempunyai aktivitas
antiinflamasi, karena kemampuannya mengikat radikal bebas oksigen (Jain et al.
2007; Dirjen POM 2000). Kurkumin mempunyai aktivitas sebagai antioksidan
karena aktivitas dan kemampuannya melindungi lipid, hemoglobin, dan Dioxy
Ribonucleic Acid (DNA) dari degradasi oksidatif. Kurkumin merupakan
7
penghambat yang kuat dari sitokrom P450 pada hati, yang merupakan suatu
isoenzim yang terlibat dengan beberapa toksin (Dirjen POM 2000).
Studi farmakokinetik pada kurkumin menunjukan bahwa kurkumin yang
diberikan peroral atau intraperitonial sebagian besar dibuang melalui feses dan
hanya sebagian kecil melalui urin. Hanya sejumlah kecil kurkumin yang
ditemukan pada darah dari jantung, hati, dan ginjal. Kurkumin setelah
dimetabolisme di hati, akan disekresikan melalui empedu (Chattopadhyay et al.
2004).
Gambar 3 Struktur kimia kurkumin (Chattopadhyay et al. 2004).
Kunyit seperti halnya tanaman obat lain mengandung senyawa aktif yang
mungkin menyebabkan timbulnya efek samping dan interaksi dengan herbal lain,
suplemen, atau obat. Kunyit dan kurkuminoid diketahui aman apabila diberikan
sesuai dengan dosis yang direkomendasikan. Berdasarkan studi evaluasi
keamanan yang dilakukan Chattopadhyay et al. (2004) kunyit tidak memberikan
efek toksik pada dosis tinggi, tetapi pada penggunaan berlebihan kurkumin murni
dapat menyebabkan gangguan lambung dan pada kasus ekstrem dapat
menyebabkan ulkus pada lambung. Pemberian kunyit dapat menimbulkan
kontraindikasi pada pasien dengan batu atau kerusakan saluran empedu, pasien
yang diberikan warfarin, aspirin, antiinflamasi non steroid, obat hipotensif, dan
reserpin. Studi pada tikus, mencit, dan kera bunting menyatakan bahwa pemberian
kunyit atau kurkumin aman pada hewan bunting. Studi tersebut tidak menyertakan
wanita hamil sebagai subyek sehingga belum diketahui keamanan penggunaan
kunyit pada wanita hamil (Dirjen POM 2000).
Pada studi klinis yang telah dilakukan oleh Aggarwal et al. (2003)
menyatakan bahwa pemberian kurkumin pada dosis 10g/hari tidak menimbulkan
efek toksik. Pada studi klinis fase pertama terhadap 25 orang relawan dengan
O O
OH
OMe
OH
OMe
8
pemberian 8g kurkumin perhari selama tiga bulan tidak ditemukan toksisitas
(Cheng et al. 2001). Lima relawan lain diberikan 1,125 sampai 2,5g kurkumin per
hari dan hasilnya tidak ditemukan efek toksik. Ekstrak kunyit aman diberikan
pada pasien kanker sampai dosis 2,2g/hari yang setara dengan 0,18g kurkumin
(Sharma et al. 2001).
Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang telah dikeringkan dan digunakan
sebagai obat, yang belum mengalami pengolahan atau sudah mengalami
pengolahan secara sederhana tetapi belum merupakan zat murni kecuali
dinyatakan lain, dan merupakan bahan yang telah dikeringkan (Dirjen POM
2000).
Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman
(contohnya akar tinggal, herbal, daun) atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman
adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel dengan cara
tertentu dikeluarkan dari selnya atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara
tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni,
contohnya: opium, papainum (Dirjen POM 2000).
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan
atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia
murni, contohnya: adepslanae (Dirjen POM 2000).
Simplisia mineral adalah simplisia yang berupa mineral yang belum diolah
atau sudah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni,
contohnya: vaselinum album, parafinum solidum (Dirjen POM 2000).
Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair (tingtur) dibuat dengan
menyari simplisia menurut cara yang cocok berasal dari tanaman obat atau hewan.
Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Maserasi merupakan salah
satu cara untuk mendapatkan ekstrak di bawah temperatur yang tetap.
Perbandingan antara tanaman obat dan pelarut yang digunakan pada maserasi
9
adalah 1:5 atau 1:10 untuk menjamin kualitas ekstrak yang digunakan (Gaedcke
dan Barbara 2003).
Fraksinasi dengan menggunakan pelarut merupakan salah satu metode
pemisahan yang baik dan populer karena dapat dilakukan untuk tingkat mikro
maupun makro. Fraksinasi terdiri dari dua macam yaitu ekstraksi padat-cair dan
cair-cair. Fraksinasi padat-cair dapat dikerjakan dengan alat sokhlet, pada
fraksinasi ini terjadi keseimbangan di antara fasa padat dan fasa cair (pelarut).
Fraksinasi cair-cair merupakan suatu pemisahan yang didasarkan pada perbedaan
kelarutan komponen dua pelarut yang tidak saling bercampur. Alat yang
digunakan adalah alat yang sederhana yaitu corong pisah. Prinsip fraksinasi
menggunakan pelarut didasarkan pada distribusi zat terlarut dan perbandingan
tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur (Harborne 2006).
Sediaan Gel
Gel atau jeli merupakan bentuk semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat
dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi
oleh suatu cairan. Jika bentuk gel terdiri dari jaringan partikel yang terpisah, gel
digolongkan sebagai sistem dua fase yaitu fase terdispersi dan pendispersi
(misalnya gel alumunium hidroksida). Dalam sistem dua fase jika ukuran partikel
dari fase terdispersi relatif besar, bentuk gel dinyatakan sebagai magma (misalnya
magma bentonit). Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik dan bila
dibiarkan dapat membentuk semipadat dan pada pengocokan menjadi cair. Gel
fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba sama dalam
suatu cairan, sehingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang
terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik
(misalnya karbomer) atau dari gom alam (misalnya tragakan). Gel dapat
digunakan untuk obat yang diberikan secara topikal atau dimasukan melalui anus
atau vagina (Depkes 1995). Gel memiliki banyak keuntungan seperti praktis,
mudah digunakan, tahan lama mudah diaplikasikan (Ansel 1989), dan
memberikan efek dingin (USP NF 2007).
Gel terdiri dari sistem koloid setengah padat yang diperoleh dari mucilago,
bisa mengandung zat berkhasiat atau tidak. Sifat-sifat gel antara lain: transparan,
10
jernih, lunak, lembut, mempunyai daya pelumas yang baik, viskositas setara atau
terikat dengan kenaikan pH. Gel dari bahan alam mempunyai viskositas
bervariasi, sedangkan gel dari sintetis mempunyai viskositas sama (Voight 1995).
Proses stabilisasi gel dapat dilakukan dengan penambahan bahan-bahan kimia
(misalnya zat pengawet, zat pengental, antioksidan), penggunaan panas (proses
termal), atau dengan kombinasi dari kedua cara tersebut (Morsy 1991).
Pemilihan basis gel dalam sediaan farmasi dan kosmetik harus inert, aman
dan tidak bereaksi dengan komponen lain. Penambahan basis gel dalam formula
perlu dipertimbangkan yaitu tahan selama penyimpanan dalam tube dan selama
pemakaian topikal. Beberapa basis gel terutama polisakarida alami peka terhadap
mikroba. Penambahan bahan pengawet perlu untuk mencegah kontaminasi dan
hilangnya karakter gel dalam kaitannya dengan mikrobial (Lieberman 1996).
Berdasarkan komposisinya basis gel dapat dibedakan menjadi basis gel
hidrofobik dan basis gel hidrofilik (Ansel 1989). Basis gel hidrofobik antara lain
petrolatum, alumunium stearat, karbowax sedangkan basis gel hidrofilik antara
lain bentonit, veegum, silika, pektin, tragakan, metil selulosa, karbomer
(Ansel 1989). Basis gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel
anorganik yang tidak dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase
pendispersi. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara
spontan menyebar (Ansel 1989). Basis gel hidrofilik umumnya adalah molekul-
molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul
dari fase pendispersi. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat
dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel 1989). Gel hidrofilik umumnya
mengandung komponen bahan pengembang, air, penahan lembab, dan bahan
pengawet. Keuntungan gel hidrofilik antara lain: daya sebarnya pada kulit baik,
efek dingin yang ditimbulkan akibat lambatnya penguapan air pada kulit,
tidak menghambat fungsi fisiologis kulit khususnya respirasi pada kulit karena
tidak melapisi permukaan kulit secara kedap dan tidak menyumbat pori-pori kulit,
mudah dicuci dengan air dan memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang
berambut serta pelepasan obatnya baik (Voight 1995).
Karbopol termasuk dalam basis gel hidrofilik yang sangat umum digunakan
pada produk kosmetika dan obat karena sifat stabilitas dan kompatibilitasnya
11
tinggi juga mempunyai ketoksikan yang rendah. Pemerian karbopol adalah
berbentuk serbuk halus putih, sedikit berbau khas, higroskopis, memiliki
berat jenis 1,76-2,08 g/cm³ dan titik lebur pada 260ºC selama 30 menit. Karbopol
larut dalam air, etanol dan gliserin. Konsentrasi lazim karbopol sebagai basis gel
yaitu dengan 0,5-2% (Rowe et al. 2009). Menurut Lu dan Jun (1998), karbopol
konsentrasi 2% memiliki nilai difusi paling besar.
Propilen glikol
Propilen glikol sering digunakan sebagai kosolven dalam formulasi sediaan
parenteral dan non parenteral sebagai pengganti gliserin (Jones 2008). Propilen
glikol dapat meningkatkan kelarutan bahan obat sehingga meningkatkan
penetrasinya melalui membran kulit untuk mencapai tempat aksinya. Propilen
glikol sebagai humektan dan kosolven pada kadar 10-24%. Propilen glikol dapat
digunakan sebagai peningkat penetrasi pada konsentrasi 1% sampai 10% (Boylan
1994). Penggunaan propilen glikol untuk sediaan topikal, memiliki efek iritasi
yang kecil, tetapi penggunaan pada membran mukosa dilaporkan dapat
menyebabkan iritasi lokal. Propilen glikol mengalami inkompatibilitas dengan
agen pengoksidasi seperti kalium permanganat (Rowe et al. 2009). Sifat fisik
propilen glikol adalah cairan jernih, tidak berwarna, kental, tidak berbau dan
memiliki rasa manis. Propilen glikol bersifat higroskopis sehingga harus disimpan
dalam wadah tertutup rapat, ditempat dingin dan kering serta terlindung dari
cahaya (USP NF 2007).
Zat Pengawet
Gel merupakan bentuk sediaan non steril, meskipun diproduksi di dalam
ruangan bersih untuk meminimalkan jumlah bakteri dalam sediaan gel. Berbeda
dengan salep dan pasta, gel mengandung lebih banyak air sehingga dibutuhkan
pengawet. Beberapa contoh pengawet yang digunakan dalam sediaan topikal
antara lain:
• Golongan fenolik: fenol (0,2–0,5%), klorokresol (0,075–0,12%)
• Asam benzoat dan garamnya (0,1–0,3%)
• Metilparaben (0,02–0,3%)
12
• Propilparaben (0,02–0,3%)
• Benzil alkohol (3,0%)
• Fenoksietanol (0,5–1,0%)
• Bronopol (0,01–0,1%, biasanya 0.02%)
Kombinasi metilparaben dan propilparaben efektif digunakan pada kisaran
pH yang luas, memiliki aktivitas mikroba dengan spektrum luas dan paling efektif
digunakan pada kapang dan jamur. Kombinasi antara metilparaben dan
propilparaben dengan perbandingan 9:1 atau 10:1, sering digunakan untuk
meningkatkan efektivitas sebagai pengawet (Jones 2008).
Hewan Percobaan
Mencit (Mus musculus), dikarakterisasi mempunyai kemampuan untuk
hidup berdampingan dengan manusia. Faktanya sebagian besar mencit tergantung
pada perlindungan dan aktivitas manusia dan bermigrasi bersama-sama dengan
populasi manusia selama lebih dari 10.000 tahun. Mencit merupakan hewan yang
relatif berbagi dalam suplai makanan. Mencit seperti manusia merupakan
omnivora. Mencit dianggap sebagai hewan model yang baik untuk meneliti
pengaturan asupan makanan dan metabolisme nutrisi pada manusia. Selain itu
sumber informasi dan penelitan yang mengacu pada genetik mencit telah banyak
dilakukan. Informasi tersebut dapat digunakan untuk mempelajari proses biologi
termasuk penyakit pada manusia. Sebagai contoh diabetes melitus tipe 2 yang
secara klinik didefinisikan melalui nilai kadar glukosa, yaitu kadar glukosa puasa
lebih dari 126 mg/dL, kadar glukosa 2 jam setelah makan, lebih dari 200 mg/dL.
Hasil tersebut juga digunakan sebagai dasar kriteria hewan model (mencit)
diabetes melitus tipe 2, meskipun pada mencit nilai baseline glukosa lebih tinggi.
Dalam hal ini mencit sebagai hewan model dibagi menjadi 2 tipe: pertama model
genetik berkembang mengalami gejala diabetes, tidak dipengaruhi perubahan
lingkungan dan kedua mencit yang diberi diet untuk menginduksi obesitas,
sehingga terjadi peningkatan resistensi insulin (Baribault 2010).
Mencit laboratorium (Gambar 4) merupakan strain mencit yang telah
dikembangkan oleh ahli genetik dari peternak mencit peliharaan sejak 100 tahun
silam (Penn 1999). Mencit laboratorium memiliki berat yang relatif sama dengan
13
mencit liar yaitu mencapai 18-20 g pada umur empat minggu dan saat dewasa
dapat mencapai 30-40 g (Smith 1988).
Klasifikasi mencit menurut Linnaeus dalam Ungerer (1985) adalah:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub ordo : Myomorphoa
Familia : Muridae
Sub familia : Murinae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Sub Spesies : Mus musculus albinus
Gambar 4 Mus musculus albinus.
Kulit
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap
pengaruh luar, baik pengaruh fisik maupun pengaruh kimia (Aiache 1993). Kulit
berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya substansi-
substansi penting dari dalam tubuh dan masuknya substansi-substansi asing ke
dalam tubuh. Kulit relatif permiabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun
dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau
bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik baik
14
yang bersifat setempat maupun sistemik (Aiache 1987). Menurut Swarbrick dan
Boylan (1995) pergerakan air melalui lapisan kulit yang tebal tergantung pada
pertahanan lapisan stratum corneum yang berfungsi sebagai rate limiting barrier
pada kulit.
Secara mikroskopik, kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda-
beda, berturut-turut dari luar ke dalam yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis
yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan lapisan
jaringan di bawah kulit yang berlemak atau yang disebut lapisan hipodermis
(Aiache 1993). Struktur kulit yang terdiri dari stratum corneum, lapisan
epidermis, dan dermis ditunjukan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur kulit manusia. a) bagian-bagian kulit b) perbesaran 200µm
(Rosen 2006)
Penetrasi Kulit oleh Obat
Obat dapat mempenetrasi kulit setelah pemakaian topikal melalui dinding
folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar lemak, antara sel-sel dari selaput tanduk
(stratum corneum), dan lapisan epidermis. Absorpsi perkutan obat pada umumnya
disebabkan oleh penetrasi langsung obat melalui stratum corneum. Komponen
15
lemak pada stratum corneum merupakan faktor utama yang mempengaruhi
rendahnya penetrasi obat. Ketika obat dapat melalui stratum corneum, obat akan
diteruskan melalui epidermis dan masuk ke lapisan dermis. Apabila obat
mencapai pembuluh kulit maka obat tersebut siap diabsorpsi ke dalam sirkulasi
umum (Ansel 1989).
Stratum corneum sebagai jaringan keratin bersifat semi permiabel. Molekul
obat mempenetrasi lapisan ini dengan cara difusi pasif. Konsentrasi obat yang
masuk ke lapisan kulit tergantung pada dosis obat, kelarutannya dalam air, dan
koefisien partisi minyak atau airnya. Bahan-bahan yang dapat larut dalam minyak
dan air merupakan bahan yang baik untuk berdifusi melalui lapisan kulit (Ansel
1989).
Streptozotocin
Streptozotocin (STZ) adalah antibiotik yang diproduksi oleh Streptomyces
achromogenes. Streptozotocin (Gambar 6) merupakan analog glukosa dan telah
digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan percobaan. Induksi STZ pada
hewan model rodensia telah diakui sebagai salah satu teknik penggunaan hewan
model untuk mendeteksi efikasi uji pada percobaaan diabetes. Efikasi dari uji
tersebut berdasarkan pada perubahan kadar gula dalam darah dan urin, berat
badan, dan histopatologi dari pankreas. Kerusakan sel β timbul setelah tiga hari
pemberian STZ dan meningkat setelah tiga sampai empat minggu. Pada kasus
studi terapeutik pemberian bahan uji harus dilakukan sedikitnya 21 hari setelah
pemberian STZ (Kim 2006).
Gambar 6 Struktur kimia streptozotocin (Elsner 2000).
16
Pemberian dosis rendah STZ pada mencit dapat menggambarkan fase lanjut
diabetes melitus, sedangkan pemberian dosis tinggi menyebabkan terjadinya
diabetes melitus tipe 1. Pada tikus dengan dosis 25 mg/kgBB dapat menginduksi
diabetes, sedangkan dosis 100 mg/kgBB menyebabkan diabetes fase lanjut. Pada
tikus, nilai LD50
Proses Penyembuhan Luka
sekitar 130 mg/kg. Secara klinik streptozotocin biasa digunakan
untuk terapi kanker dan tumor sel pulau langerhans pankreas (Brenna 2003).
Penyembuhan luka merupakan suatu proses dinamik beragam yang
kompleks dan belum sepenuhnya diketahui. Proses biologik dari penyembuhan
luka meliputi berbagai macam aspek dari mekanisme molekuler dan seluler.
Penyembuhan luka diatur dan dikoordinasikan oleh sekelompok sitokin yang
disebut faktor pertumbuhan, disekresi dari trombosit, makrofag, neutrofil,
limfosit, sel endotelium, dan fibroblas. Banyak sitokin telah diidentifikasi
mempunyai peranan dalam proses penyembuhan luka, seperti platelet-derived
growth factor (PDGF), fibroblast derived growth factor (FGF), epidermal growth
factor (EGF), tumor necrosis factor (TNF), granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF), insulin-like growth factor (IGF), dan transforming
growth factors (TGF) α dan β. Faktor pertumbuhan menginduksi proliferasi
lapisan dalam sel, termasuk fibroblas, sel endotelium, dan sel epitelium. Faktor
pertumbuhan juga menginduksi proses seperti kontraksi luka dan deposisi matriks
ekstraseluler (Shai 2005).
Secara umum proses penyembuhan luka terdiri dari tiga tahap yaitu fase
peradangan, fase pembentukan jaringan, dan fase perbaikan jaringan (Gambar 7).
Fase peradangan
Secara normal fase peradangan berlangsung selama 4-6 hari. Peristiwa yang
mengawali fase inflamasi setelah terjadinya perlukaan adalah vasokonstriksi
pembuluh darah dan limfatik. Vasokonstriksi ini berlangsung hanya beberapa
menit. Agregat trombosit menutupi endotelium pembuluh yang mengalami
kerusakan. Proses luka juga mengaktivasi terjadinya koagulasi. Fibrinogen diubah
menjadi monomer fibrin dengan pembentukan clot. Agregasi trombosit dan
pembentukan clot mencegah keluarnya darah pada pembuluh yang rusak. Clot
yang telah dibentuk akan tersusun membentuk matriks dari fibrin, sejumlah kecil
17
fibronektin, vitronektin, dan trombospondin. Proses tersebut diakhiri dengan
proses fibrinolisis.
Gambar 7 Fase penyembuhan luka yaitu fase peradangan, fase pembentukan
jaringan, dan fase perbaikan jaringan (Shai 2005).
Vasodilatasi pembuluh darah dan kenaikan permeabilitas kapiler akibat
pelepasan prostaglandin dari jaringan yang rusak dan pelepasan histamin dari sel
mast menyebabkan timbulnya gejala peradangan seperti panas, kemerahan, dan
bengkak.
Selama fase inflamasi, trombosit mendorong sekresi faktor pertumbuhan
sehingga terjadi peningkatan jumlah sel darah putih melalui pembuluh darah
menuju tempat luka. Beberapa jam setelah terjadi luka, neutrofil akan muncul di
daerah sekitar luka. Jumlah neutrofil akan mencapai puncak setelah 1 sampai 2
18
hari berikutnya. Jika tidak terjadi infeksi jumlah neutrofil akan menurun pada hari
kedua. Bersamaan dengan munculnya neutrofil terdapat makrofag dan monosit.
Sel-sel yang rusak atau mati segera difagositosis dengan cepat dari tempat luka
(Thomson 1997). Akumulasi makrofag dan sel-sel debris yang merupakan tanda
awal perbaikan jaringan terjadi selama beberapa hari pertama proses
penyembuhan luka (Spector 1980). Jumlah maksimum makrofag dan neutrofil
terjadi setelah 4-5 hari dan merupakan sel yang paling signifikan untuk melakukan
proses fagositosis. Limfosit mencapai jumlah maksimal kira-kira 6 hari setelah
terjadinya luka. Sel darah putih dan makrofag beraksi melawan organisme
patogen, menghasilkan faktor pertumbuhan yang selanjutnya akan mengaktivasi
proses penyembuhan luka (Shai 2005).
Fase pembentukan jaringan
Fase ini merupakan fase terpenting dalam proses penyembuhan luka dan
mulai terjadi 4-5 hari setelah terjadi luka dan berakhir beberapa minggu
sesudahnya pada kasus normal penyembuhan luka. Fase pembentukan jaringan
meliputi angiogenesis dan pembentukan jaringan granulasi, pembentukan matriks
ekstraseluler, re-epitelisasi, dan kontraksi luka. Pada pengamatan patologi anatomi
dalam fase ini, pada luka akan terlihat adanya jaringan granulasi yang ditandai
dengan munculnya keropeng.
a. Angiogenesis dan pembentukan jaringan granulasi
Pelepasan faktor pertumbuhan menginduksi terjadinya migrasi dan
proliferasi sel endotelium. Proliferasi sel endotelium mengakibatkan terjadinya
angiogenesis yaitu pembentukan pembuluh darah baru ke dalam luka. Pembuluh
baru membentuk percabangan dan menggantikan matriks fibrin disekitar luka,
dengan cara demikian terbentuk komplek dan jaringan percabangan pembuluh.
Pembuluh ini manifestasi kliniknya berupa jaringan granulasi baru melindungi
area permukaan luka selama proses penyembuhan luka. Jaringan granulasi terdiri
dari kolagen immatur (tipe III) dan substansi dasar, seperti sel darah putih, sel
endotelium muda, dan fibroblas. Sitokin dari kelompok TGF-β berperan dalam
peningkatan angiogenesis, proliferasi fibroblas, dan diferensiasi myofibroblas dan
menginduksi deposisi matriks ekstraseluler (Shai 2005).
19
b. Pembentukan matriks ekstraseluler
Dua atau tiga hari setelah terjadi luka, fibroblas bermigrasi dan muncul pada
luka, kemudian berproliferasi. Setelah beberapa hari diproduksi kolagen tipe III.
Terbentuknya kolagen merupakan proses awal pemulihan keutuhan kulit (Shai
2005).
c. Re-epitelisasi
Re-epitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi mobilisasi,
migrasi, mitosis dan diferensiasi sel epitel. Tahapan-tahapan ini akan
mengembalikan integritas kulit yang hilang. Mitosis dan migrasi sel epitel akan
berfungsi untuk mengembalikan integritas dari kulit. Pada permukaan kulit, re-
epitelisasi akan terjadi melalui pergerakan sel-sel epitel dari tepi jaringan bebas
menuju jaringan rusak (Kalangi 2004).
d. Kontraksi luka
Kontraksi luka berasal dari miofibroblas yang merupakan sel kontraktil.
Miofibroblas merupakan jumlah terbesar dalam jaringan granulasi pada luka yang
memperantarai kontraksi pada jaringan granulasi yang terlihat seperti otot
(Kalangi 2004).
Fase perbaikan jaringan
Fase ini menunjukan proses penyembuhan yang lambat, berkurangnya
jumlah fibroblas secara berkala dan penurunan jumlah pembuluh-pembuluh
kapiler. Serabut kolagen mengalami pertambahan jumlah dan menyusun diri
sepanjang garis lebar luka. Luka meningkatkan kekuatan integritasnya terhadap
tekanan secara berangsur-angsur. Pada fase ini matriks ekstraseluler sementara
yang telah terbentuk pada fase sebelumnya digantikan oleh matriks kolagen
dermis. Proses ini merupakan isyarat terbentuknya jaringan parut (Gambar 8).
Tahap akhir dari penyembuhan luka ini merupakan tahap yang hampir bersamaan
waktunya dengan tahap granulasi. Komposisi dan struktur matriks ektraseluler
yang terbentuk pada masa jaringan granulasi akan terus menerus berubah.
Perubahan ini akan bergantung pada waktu setelah terjadi perlukaan dan jarak
tepi luka (Shai 2005).
20
Gambar 8 Pembentukan jaringan parut (Shai 2005).
Diabetes melitus
Penyakit Diabetes Melitus (DM) ditandai dengan adanya glukosa dalam urin
(glukosuria). Dalam keadaan tak terkendali penyakit ini ditandai adanya poliuri,
polidipsi, poliphagia. Diabetes melitus secara tradisional dibagi menjadi: DM tipe
1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) dan DM tipe 2 (Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus) (Suryohudoyo 2000).
Diabetes melitus tipe 1 merupakan hasil interaksi antara faktor genetik,
lingkungan, dan imunologi. Interaksi faktor ini menyebabkan kerusakan sel beta
pankreas dan defisiensi insulin. Diabetes melitus tipe 1 merupakan hasil dari
proses autoimun kerusakan sel beta pankreas (Suryohudoyo 2000). Proses
autoimun disebabkan adanya interaksi antara infeksi dan faktor lingkungan
(seperti virus coxsackie dan virus gondongan) (Scobie 2007).
Diabetes Melitus tipe 2 biasanya berawal di usia sekitar 45 tahun, meskipun
demikian DM tipe 2 sering terjadi pada usia yang lebih muda. Seseorang yang
mengidap diabetes sering tidak mengetahui secara dini bahwa penyakit ini telah
ada dalam dirinya karena gejala yang timbul berkembang secara perlahan
(Mutschler 1991). Beberapa gen secara bersama-sama dapat menyebabkan DM
tipe 2. Para ilmuwan percaya bahwa obesitas memiliki peran yang besar dalam
21
menyebabkan penyakit diabetes. Hampir 80% dari pengidap penyakit DM tipe 2
mengalami kelebihan berat badan. Diabetes melitus tipe 2 terjadi ketika pasien
mengalami penyusutan sel beta yang progresif serta penumpukan amiloid di
sekitar sel beta. Sel beta yang tersisa pada umumnya masih aktif tetapi sekresi
insulinnya semakin berkurang. Selain itu kepekaan reseptornya menurun.
Hipofungsi sel beta bersama resistensi insulin ini yang mengakibatkan terjadinya
hiperglikemia (Scobie 2007).
Komplikasi kronik yang sering terjadi pada DM salah satunya adalah
ulkus pada kaki (kaki diabetik). Adanya polineuropati simetris dengan manifestasi
klinis berupa penurunan getaran dan tekanan sensasi kulit dan hilangnya reflek
pada pergelangan kaki, merupakan penyebab kaki diabetik (75-90%). Pada
sebagian besar pasien kaki diabetik dilakukan amputasi. Hal ini terjadi karena
adanya iskemia pada penyakit mikrovaskular dan makrovaskular, infeksi
disebabkan oleh perubahan fungsi neutrofil dan insufisiensi pembuluh, dan
kegagalan proses penyembuhan luka yang penyebabnya tidak diketahui (Scobie
2007).