tradisi uang jemputan

Upload: ririanty-yunita

Post on 12-Jul-2015

1.007 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Tradisi Uang Jemputan, Diskriminasi Terhadap Perempuan MESKI ceritanya sederhana, ternyata sinetron Panggil Aku Cina yang ditayangkan SCTV memperingati Hari Imlek, 12 Februari 2002, sempat menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat. Bahkan banyak orang dari etnis bukan Minang ingin tahu betul apa dan bagaimana cerita soal uang jemputan tersebut. Lebih dari itu, lelaki Minang pun jadi bahan olok-olok: Harus "dibeli" berapa? Dalam film itu dikisahkan tentang lelaki Pariaman, Sumatera Barat, yang hampir menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran (calon Pak Doto). Ia tertarik dengan perempuan etnis Tionghoa. Mereka menjalin cinta. Akan tetapi, ada satu syarat yang nyaris memisahkan mereka, karena keluarga pihak calon pengantin perempuan (keluarga anak daro) harus menyanggupi uang jemputan sebesar Rp 40 juta yang dimintakan keluarga (mamak) lelaki. Kalau tidak, pernikahan batal atau lamaran pihak perempuan ditolak. Soal mempelai lelaki (marapulai) dijemput secara adat dalam suatu perkawinan adalah masalah lumrah dan umum terjadi dalam masyarakat di daerah lain di Minangkabau. Akan tetapi, marapulai dijemput dengan mensyaratkan adanya uang jemputan (japuik) adalah kebiasaan khas masyarakat dan merupakan ciri Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman. Sementara 13 kota/kabupaten lain di Provinsi Sumatera Barat tidak menganut tradisi demikian. Bila kita selami prosesi tradisi pernikahan di Padang Pariaman dan Pariaman, selain uang jemputan ada lagi istilah "uang hilang". Uang jemputan berfungsi sebagai salah satu persyaratan (akad) pernikahan dan bermakna sebagai perwujudan rasa hormat atau penghargaan dari pihak keluarga perempuan kepada laki-laki (calon menantu atau sumando) dan keluarganya. Pada mulanya, yang menjadi orang jemputan adalah orang yang secara sosial dianggap sebagai terhormat, yaitu keturunan bangsawan (bergelar atau mewarisi gelar sidi, bagindo, dan sutan). Uang jemputan berbeda-beda besaran nilainya, bisa juga berupa non-uang seperti mobil, rumah, atau lainnya. Seorang yang bergelar sidi atau yang mewarisi gelar sidi dari bapaknya akan menerima uang jemputan lebih tinggi dibanding yang lain. Sekarang, karena perubahan zaman, muncul "bangsawan" baru sebagai produk pendidikan. Mereka orang-orang terpelajar, berpengetahuan, dan berketerampilan dengan profesi sebagai guru, pamong praja, polisi, tentara, bidan, dokter dan sebagainya. Dalam hal pernikahan kemudian, mereka juga menjadi orang-orang jemputan. Untuk menjemput calon menantu yang mempunyai jaminan hari depan baik, orangtua mulai berkompetisi memberikan uang jemputan untuk suatu pernikahan. Bermula dari perlombaan dan kompetisi inilah kemudian muncul istilah "uang hilang" sebagai pengganti uang jemputan. Awalnya, uang hilang memang untuk pengganti uang jemputan. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, keduaduanya tetap menjadi tradisi sampai sekarang. Uang hilang ini sempat dianggap sebagai gengsi sosial oleh sebagian anggota masyarakat. Artinya, semakin tinggi uang hilang yang diberikan pihak anak daro kepada seorang calon marapulai, berarti secara prestise si laki-laki dianggap lebih

terhormat, dan sebaliknya. Terkadang, lelaki yang sudah bekerja, apalagi berkedudukan dan berjabatan penting (mamacik), semakin tidak merasa segan dan malu memasang tarif tinggi untuk uang hilangnya. *** FENOMENA demikian mencerminkan telah terjadi pergeseran nilai. Dulu, budi dan nilai moral yang dikedepankan. Karena munculnya fenomena uang hilang, nilai bergeser kepada yang bersifat kebendaan, materialistis; uang seakan-akan menentukan segala-agalanya, termasuk bagi orangtua dalam mencarikan jodoh. Jika tidak punya uang untuk membayar uang hilang, besar kemungkinan dia tidak bakal dapat menantu yang diinginkan. Akibat kompetisi dalam mencari menantu, yaitu dengan cara berlomba-lomba memperbesar uang hilang untuk suatu pernikahan, demi harga diri dan untuk sebuah rasa malu, para orangtua tidak segan-segan menggadaikan sawah-ladang untuk menyediakan uang hilang. Untuk orangtua yang mempunyai lebih dari satu anak perempuan, persoalan uang hilang semakin menjadi persoalan berat untuk dipikirkan. Kenyataan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa posisi perempuan di Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman sebagai kelompok yang tersubordinasi laki-laki dan tidak setara dengan laki-laki dalam arena publik. Bagaimanapun tingginya pendidikan perempuan, nilai uang jemput dan uang hilang tetap menjadi tuntutan adat, bahkan harus lebih tinggi lagi. Jika uang jemput dan uang hilang kepada suami rendah nilainya, keluarga perempuan akan dicemooh masyarakat. Dengan adanya tradisi uang jemputan dan uang hilang, anak perempuan dipandang sebagai beban keluarga, bahkan juga menjadi momok masyarakat karena dipandang memelaratkan pihak keluarga anak perempuan. Tradisi uang jemputan dan uang hilang menggambarkan berlangsungnya proses hegemoni ideologi patriarki dalam hubungan-hubungan sosial, yang di dalamnya tersembunyi kepentingan komunitas laki-laki sebagai kelas yang superior, terjadi penindasan hak-hak sosial perempuan sebagai anggota masyarakat. Ini potret terjadinya proses diskriminasi jender. Dalam kasus tradisi uang jemputan dan uang hilang, prestasi setinggi apa pun yang diraih perempuan dan setinggi apa pun kualitas intelektual perempuan tetap saja tidak dapat mengangkat status sosial mereka setara dengan laki-laki. Profesi yang prestisius sekali pun yang digeluti perempuan, tidak mampu mengubah citra masyarakat, termasuk komunitas perempuan sendiri, yaitu "kodrat"-nya sebagai pengurus rumah tangga dan pelayan suami merupakan tugas pokok dalam hidup. Oleh karena itu, ketidakadilan jender ini dan karena tidak dihargainya perempuan sebagai individu yang mandiri dan potensial, sebaiknya tradisi uang jemputan dan uang hilang pada masyarakat Minangkabau di wilayah Padang Pariaman dan Pariaman dihilangkan saja. Bila tidak, percuma saja mengagung-agungkan perempuan Minangkabau sebagai bundo kanduang, perempuan yang diposisikan sebagai yang dihormati, menduduki posisi sentral dan penting. Rozalina SPd, Alumnus Universitas Jambi, pemerhati masalah jender, tinggal di Padang. Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0205/13/DIKBUD/trad34.htm UANG JAPUIK

(Helat Perkawinan Pariaman Tempo Doeloe)

Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya, demikian pula adat perkawinan di banyak nagari Minangkabau ini termasuk Pariaman. Demikian juga kalau hendak membicarakan Uang Japuik (Uang Jemputan) yang amat terkenal pada adat perkawinan di wilayah Pariaman, terlebih dahulu kita harus membahas liku-liku adat perkawinan di daerah tersebut..

Tempo doeloe bila suatu keluarga atau penduduk kota kecil Pariaman mempunyai seorang anak perempuan, baru saja menginjak umur tujuh tahun, ibubapaknya mulai berfikir untuk masa depan sang anak. Mereka mulai bersiap-siap, misalnya menyediakan benang agak setungkal, kain agak secabik. Semenjak itu mereka mulai berhemat mengencangkan ikat pinggang mengumpulkan uang untuk mendirikan sebuah rumah baru atau memperbaiki rumah mereka yang telah coyoh1). Adalah merupakan aib bagi masyarakat Pariaman bila berhelat atau bermenantu di rumah yang coyoh. Karena itu malanglah nasib seorang perawan berorang tua miskin, sebagai dikatakan sebuah ungkapan gadis di bawah rumah yang runtuh. Semenjak itu pula sang ibu-bapak mendidik anaknya mengerjakan apa saja yang bermanfaat yang berkaitan dengan urusan suatu rumah tangga, seperti masak memasak, jahit menjahit dan sebagainya, agar nanti tatkala bersuami tidak canggung lagi. Sekolah Dan Mengaji Ketika Pemerintah Belanda membuka sekolah di kota kecil ini, banyak pula orang tua menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah tersebut. Pagi hari bersekolah di sekolah biasa, lalu pada petang atau malam hari anak-anak itu disuruh pula belajar agama (mengaji) agar kelak menjadi orang yang saleh.

Umumnya seorang gadis di jaman dulu baru dinikahkan ketika berumur sekitar 20 tahun, namun kini (sekitar tahun 1930) bila telah berumur 15 tahun. Setahun atau dua tahun sebelum dipersuamikan, anak perawan itu dipingit. Ia tidak diizinkan ke luar rumah seorang diri lagi. Bila ingin ke luar juga, harus ditemani oleh seorang wanita yang lebih tua dan telah bersuami. Selama masa pingitan tersebut, ia diajar dan disuruh menjahit segala macam keperluan saat menikah kelak, misalnya membuat sarung bantal termasuk untuk kursi, taplak meja, kelambu, hiasan dinding, kain pintu, slof2) kain dan sebagainya. Adalah menjadi kebanggaan dan kemuliaan bagi sang penganten serta ibu dan bapaknya, bila sekalian yang dipakai saat menjadi penganten kelak adalah jerih payah atau hasil usaha keringatnya sendiri, sungguhpun yang dibuatnya itu tidak sebaik yang dijual di toko-toko. Sebaliknya merupakan aib dan menjadi gunjingan anak nagari, bilamana yang dipakai sang penganten pada hari pernikahannya itu dibeli atau diupahkan karena bapaknya mampu atau seorang hartawan. Memilih Calon Menantu Pandang dekat ditukikkan, pandang jauh dilayangkan, demikian kata sebuah peribahasa. Sebenarnya sudah sejak lama seorang yang diinginkan untuk menjadi calon suami si upik menjadi perhatian orang tua sang perawan. Lalu sebulan atau tiga bulan sebelum rencana suatu pernikahan, diadakan pertemuan antar keluarga yang dihadiri seluruh karib bait seperti ibu-bapak, ninik mamak dan lain-lain. Keluarga yang hampir dijemput, yang jauh dengan surat kiriman. Mereka diminta datang bermusyawarah untuk menentukan jodoh sang perawan. Setelah diperoleh kata sepakat, lalu ditetapkan mengutus seseorang ke rumah orang tua sang perjaka untuk menyampaikan maksud tujuan keluarga sang perawan. Beberapa hari kemudian, ibu-bapak, mamak dan keluarga dekat lainnya dengan membawa kampil sirih3) sebagaimana yang dilazimkan oleh adat datang ke rumah orang tua sang perjaka. Sementara itu karib bait sang perjaka telah siap pula menunggu rombongan yang datang tersebut.

Singkat kata dalam pertemuan itu ditanyakan, apakah pihak yang menunggu sudi melepas anak kemenakan mereka menjadi menantu pihak yang datang. Bilamana suka maka dibuatlah perjanjian. Jika anak (sang perjaka) bergelar Sutan, Sidi atau Bagindo, ditanyakan berapa suka mereka menerima uang dari pihak yang datang. Sejumlah uang inilah yang disebut UANG JEMPUTAN. Banyaknya tergantung dari martabat keluarga serta profesi sang perjaka. Jika ia berniaga, makan gaji atau guru agama, tinggi uang jemputannya. Sebaliknya jika anak itu tidak bergelar Sutan, Sidi atau Bagindo, orang yang punya rumah (pihak lelaki) memberi uang kepada pihak yang datang sebagai di atas pula. Namun demikian ada pula pihak yang bergelar Sutan, Sidi maupun Bagindo tidak mau menerima uang tersebut walau sepeser sekali pun. Kadang-kadang malah memberi sejumlah uang kepada pihak yang datang. Tentu saja cara semacam itu dilakukan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak atau tidak sebagaimana yang dilazimkan oleh adat. Habis adat karena kerelaan kata peribahasa. Usai kesepakatan mengenai besar atau jumlah uang jemputan, pihak yang datang menyerahkan sebentuk cincin sebagai tanda sah. Kesepakatan tersebut tidak boleh diungkai lagi. Jika mungkir akan dihukum secara adat. Inilah yang dinamakan bertanda-tandaan. Uang jemputan baru diserahkan pada saat berhelat kelak. Demikian pula cincin yang diserahkan sebagai tanda sah akan dikembalikan lagi saat berhelat. Keterangan Dalam Adatrecht Bundels XXXV Sumatra, Serie H Het Minangkabausche Gebied No. 67, halaman 315 disebutkan, di jaman dahulu Uang Jemputan terdapat di seluruh Minangkabau. Dikatakan Panghulu tarima bahagian uwang japutan laki anak buahnya yang jolong kawin dengan parampuan yang jolong berlaki, ia itu uang japutan itu datang dari kaum parampuan yang mau dikawini laki-laki itu (Penghulu menerima bahagian uang jemputan laki-laki atau anak buah yang mula kawin dengan perempuan yang mula

bersuami, yaitu uang jemputan itu datang dari kaum perempuan yang mau dikawini laki-laki itu). Menentukan Hari - Berkampungan Sebulan sebelum ditetapkan hari pernikahan, kedua belah pihak yang berkepentingan berhimpun bermusyawarah mencari hari yang baik untuk melaksanakan helat tersebut. Musyawarah dihadiri selain ibu-bapak, ninik mamak, orang tua-tua dan lain lain dari kedua belah pihak, juga oleh cerdik pandai dan orang-orang terpandang dalam nagari. Musyawarah inilah yang dinamakan bakampuangan (berkampungan berkumpul-kumpul). Pokok pembicaraan ialah, selain hari, tanggal dan bulan apa helat itu dijadikan (dilangsungkan), juga bentuk atau jenis helat itu sendiri. Apakah akan diadakan helat besar atau helat kecil. Kalau yang dijadikan itu helat besar, bakajo (berkerja) namanya. Lama bakajo ini sekurang-kurangnya tiga hari tiga malam. Didirikan adat secukupnya, disembelih kerbau atau sapi serta diadakan pula permainan anak nagari seperti berebab, pencak silat dan sebagainya. Tidak sembarang orang yang boleh mengadakan helat besar ini. Yang boleh mengadakan hanyalah urang baradat (orang beradat) dan bangsawan saja. Helat kecil tidaklah sebesar helat besar dan tidak mendirikan adat secukupnya, sungguhpun pesta perkawinan itu dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Jaman sekarang (sekitar tahun 1930) boleh dikatakan tidak ada lagi orang mengadakan helat besar, hanya helat kecil saja yang tidak banyak mengeluarkan biaya. Bahkan di jaman maleise (jaman serba sukar) ini sudah menjadi kebiasaan pula berkenduri, yaitu mamanggia (memanggil mengundang) orang sepenuh rumah saja. Helat berkenduri ini biasanya diadakan dua hari dua malam, yaitu pada hari mamanggia (hari memanggil) dan hari baralek (hari berhelat). Setelah disepakati hari, tanggal dan bulan apa helat akan dilangsungkan, ditentukan pula hari batagak pondok (mendirikan pondok) namanya, yaitu mendirikan sebuah bangsal besar yang terbuat dari bambu beratap rumbia tempat orang berkerja seperti masak memasak dsb. Biasanya bertegak pondok ini dilakukan tiga hari sebelum hari pernikahan.

Selesai musyawarah, hidangan pun ditating, maka makanlah orang yang berkampungan tersebut. Menjelang Pernikahan Semenjak itu yakni semenjak usai berkampungan, ibu-bapak serta kaum famili sang perawan berkerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan yang tidak lama lagi akan dilangsungkan. Mulai saat itu pula pihak penganten wanita atau pihak si pangkalan mamanggia berkeliling kampung, yakni menaiki setiap rumah dengan membawa kampia siriah (kampil sirih) sebagaimana yang dilazimkan oleh adat. Demikian pula kaum bapak seperti sang ayah dan para mamak berkeliling seperti di atas pula mamanggia kaum laki-laki di kampung itu. Yang hampir atau yang dekat-dekat dilakukan secara lisan, sedangkan yang jauh dikirimi surat. Tiga hari sebelum helat dilangsungkan, orang-orang di sekitar rumah si pangkalan berdatangan membantu mendirikan pondok, sebagaimana yang disepakati pada hari berkampungan di atas. Biasanya dibuat dua pondok, masing untuk kaum laki-laki dan perempuan. Sedangkan sebelum itu, yaitu kira-kira seminggu sebelum pernikahan, selain famili, kaum ibu atau para tetangga yang berdekatan datang membantu mengerjakan apa saja yang patut mereka lakukan. Ruang sebelah depan yang disebut langkan dihiasi dengan berbagai bunga dan sebagainya. Demikian juga dinding ruang sebelah dalam yang disebut tepi ditutup dengan tabir berwarna putih, kuning dan merah. Dilotengnya dibentangkan selembar langitlangit, yakni semacam tabir panjangnya sekitar dua meter dan lebarnya kira-kira satu meter. Tepi langit-langit itu diberi tirai berjambut, lebarnya kira-kira sejengkal dan lebarnya sekitar tiga jari. Di bawah langit-langit terdapat sebuah tempat tidur berkelambu kain sutra. Kelambu ini dihiasi pula dengan manik-manik dan sebagainya. Demikian juga alas kasur, sarung bantal dan guling, terbuat dari bahan sutra pula. Inilah yang dinamakan katiduran (ketiduran).

Di lantai di depan katiduran dibentangkan sebatang kasur beralaskan kain sutra yang dihiasi jahitan motif bunga serta sesusun bantal bersarung sutra bersulam pula. Di lantai di depan kasur itu dibentangkan pula sehelai permedani dan didepannya lagi tikar-tikar yang bagus. Ruang sebelah ke dalam yang disebut ruang tengah dihiasi pula dengan tabir, langit-langit dan tirai, akan tetapi tidak berkasur seperti di ruang tepi. Di situ didirikan dua rangka kayu setinggi tempat tidur yang letaknya berhadapan dan tidak jauh di seberang ketiduran. Kedua rangka tersebut dihubungkan dengan rangka kayu pula yang semuanya dibalut dengan kain warna-warni. Diatasnya ditempatkan tiga hiasan berangka kayu yang ditutup atau ditempel dengan aneka kertas warna-warni pula. Tinggi hiasan ini sekitar setengah meter, bentuknya seperti menara dan bundar (gobah mesjid). Inilah yang dinamakan cermin-cermin. Di bawah cermin-cermin ini ditempatkan dua kursi beralaskan kain sutra untuk penganten duduk bersanding. Jika yang berhelat itu urang patuik (orang patut orang terkemuka), dibuat pula bantal gadang namanya yang ditempatkan di sebelah kanan tempat tidur di ruang tepi. Bantal gadang ini terbuat dari rangka kayu, tingginya sekitar satu meter, panjang dan lebarnya sekitar setengah meter, dibalut dengan kain berwarna dan bagian sebelah depannya bersulam benang emas. Bagian atas bantal gadang ini ada yang dibuat runcing seperti piramida dan ada pula berbentuk atap rumah gadang Minangkabau. Kamar anak daro (mempelai wanita) dihiasi seindah mungkin, lengkap dengan tempat tidur besi atau koi buatan Surabaya atau Inggris, berkelambu sutra indah, meja kursi, almari pakaian pakai cermin serta hiasan dinding. Helat Perkawinan Sehari sebelum berhelat kesibukan di rumah calon penganten wanita itu meningkat tajam dari hari-hari sebelumnya.

Semenjak pagi hari kaum ibu sibuk membantu mengerjakan apa saja yang berguna atau yang diperlukan untuk hari itu dan keesokan harinya. Demikian juga kaum bapak pihak si pangkalan. Sedangkan malam sebelumnya diadakan permainan anak negeri. Yang biasa digelar ialah berebab dan pencak silat. Karena itu penuh sesaklah halaman si empunya hajat. Usai pergelaran, dihidangkan minuman. Keesokan hari pada hari berhelat, berdatanganlah orang-orang yang dipanggil, baik yang jauh maupun dekat. Tamu atau orang-orang yang datang itu menyumbang uang, kain baju, pecah belah dsb. Semua pemberian itu diserahkan kepada yang punya hajat. Inilah yang dinamakan panggilan. Sekalian mereka yang datang itu diberi makan minum secukupnya. Hari itu pula anak daro (penganten wanita) didandani seelok-eloknya secara adat. Padanya dipakaikan baju sutra hijau locuan atau merah bersulam bermotif bunga dengan benang makau, berkain songket bersulam benang emas. Berselempang kain sutra warna merah berhiaskan motif kembang dari benang emas yang disebut tokah. Pada kedua lengan dan jari tangan sang penganten dipakaikan gelang serta cincin berpermata. Lehernya dihiasi beberapa untaian kalung atau dokoh. Demikian juga dikeningnya seuntai dokoh berpermata pula. Sedangkan di kepala atau sanggul sang penganten tersusun tiga baris tusuk kundai. Tusuk kundai atau sunting ini ada yang terbuat dari emas dan ada pula dari perak. Usai memakai, anak daro dituntun ke ruang tengah dan didudukan di kursi yang telah tersedia. Ia dihadapi oleh beberapa pasumandan (pesemandan pengiring penganten) yaitu wanita-wanita muda yang telah bersuami yang berpakaian dan berdandan mirip penganten. Tak obahnya bagaikan ratu di mahligai kencana dengan dayang-dayangnya. Induak bako yaitu sekalian famili pihak ayah sang penganten datang bersamasama berarak-arak dengan membawa berbagai macam hadiah (kado) seperti cawan pinggan, gelas minum, tembala atau tempat cuci tangan, kain baju, slof (sandal) dan sebagainya untuk anak pisangnya (sang penganten terhadap sekalian famili ayahnya). Inilah yang dinamakan bainduak bako.

Biasanya hari perhelatan itu diramaikan pula dengan musik tradisionil atau pun musik cara barat. Namun demikian ada pula yang tidak melakukannya. Peredaran zaman membawa pula berbagai perubahan. Misalnya, belakangan ini muncul pula pakaian penganten model baru, yaitu pakaian penganten model Arab yang lebih sederhana dan tidak banyak pula mengeluarkan biaya. Model pakaian Arab ini diprakasai oleh Bundo Siti Maryam, seorang guru mengaji terkemuka di kota kecil ini. Penganten wanitanya berseluar (celana panjang) dan bagian kaki seluar sebelah bawah dihias dengan sulaman benang makau (benang sulaman emas). Bajunya model pakaian wanita bangsa Turki yang berhiaskan sulaman benang makau. Bagian kepala ditutup penuh dan dihiasi pula dengan dokoh permata. Selain gelang, cincin, kalung, penganten mengenakan sepatu. Jadi tidak bersandal (selop) dengan biasanya. Malam hari datang kaum laki-laki memenuhi panggilan yang punya hajat. Mereka menyumbang uang saja dan tidak makan minum. Besar sumbangan atau pemberian itu berkisar antara dua puluh lima sen dan adakalanya sampai sepuluh rupiah, tergantung hubungan mereka dengan yang punya hajat. Singkat kata semua biaya perhelatan dilunasi oleh kaum laki-laki yang datang itu. Berhubung serangan malaise (sekitar tahun 1930), sumbangan semacam itu tidak seperti jaman dahulu lagi. Malam itu di ruang tepi berlangsung pula zikir rebana yang diikuti sekitar 15 hingga 20 orang. Menjemput Penganten Pria Malam itu pula ayah serta mamak sang penganten mengutus dua atau tiga orang laki-laki ke rumah orang tua calon marapulai (penganten pria). Mereka membawa pakaian selengkapnya termasuk sepasang sepatu, sapu tangan sutra, kampil rokok, kampil sirih serta uang jemputan. Mereka juga membawa tungketan yaitu beberapa bentuk cincin yang diikat kain kuning. Banyak cincin tungketan tergantung tinggi rendahnya martabat kaum

tersebut. Kalau orang keturunan atau bangsawan, tungketannya lima sampai tujuh bentuk cincin. Akan tetapi kalau orang biasa satu hingga tiga bentuk cincin saja. Di rumah marapulai tidak diadakan helat seperti di rumah anak daro, hanya berkenduri saja memanggil orang sepenuh rumah dan memintakan doa selamat. Demikian pula rumah marapulai tidak dihias seperti rumah anak daro, hanya ruang tengah saja didandani. Di ruangan ini dibentangkan tabir, langit-langit, tempat tidur dan didepannya digelar tikar dan dua kursi. Ketika utusan itu sampai di rumah ibu mempelai pria, mereka disambut oleh segenap famili fihak yang menunggu. Sembari menyerahkan sekalian bawaan, disampaikan pula bahwa mereka diutus oleh mamak dan bapak anak daro menjemput marapulai untuk dipersandingkan. Pihak atau keluarga marapulai mengatakan persetujuannya. Lalu menyuruh si buyung yang akan menikah memakai dan berhias, yakni bersarung kain berhias benang makau, berbaju jas dan bersepatu seperti biasa. Tidak ketingalan pula sebuah arloji berantai emas dan sebentuk cincin permata. Namun demikian ada pula marapulai memakai baju arab lengkap dengan serban atau pun pakaian jenis lainnya. Rombongan marapulai yang diiringi sekitar dua puluh pasumandan serta pengiring lainnya berarak-arak berjalan kaki ke rumah anak daro. Biasanya arak-arak ini diramaikan pula musik rebana atau musik gendang melayu yang disebut tumgadumbak oleh masyarakat Pariaman. Sampai di rumah penganten wanita, rombongan besar ini disongsong oleh seorang wanita yang membawa cerana berisi sirih pinang selengkapnya. Setelah sampai di depan tangga rumah, marapulai ditaburi dengan beras rendang dan ujung sepatunya dibasuh pula dengan air dari sebuah gelas khusus. Kemudian marapulai didudukkan di kasur yang terbentang di ruang tepi. Sementara itu pesemandan pengiring marapulai duduk di ruang tengah berhadapan dengan penganten wanita (anak daro). Tidak lama setelah itu nikahpun dilangsungkan oleh ayah anak daro yang disaksikan oleh pegawai mesjid berikut famili kedua belah pihak serta orang banyak.

Selesai nikah orang berzikir rebana, lalu berdiri membaca asyrakal yaitu memuji kelahiran Yang Mulia Nabi Besar Saidina Muhamad SAW dan diikuti pula oleh yang hadir termasuk marapulai. Sementara itu muncul dua orang laki-laki yang seorang membawa minyak wangi dan yang seorang lagi membawa bunga dalam sebuah nampan. Minyak wangi dipercikan kepada sekalian yang hadir dan bunga dalam nampan dibagi-bagi. Kemudian marapulai dibawa ke (ruang) tengah didudukan di sebuah kursi sebelah kanan penganten wanita atau yang lazim disebut dipersandingkan. Tidak lama setelah dipersandingkan marapulai dibawa kembali ke (ruang) tepi. Setelah itu makanan pun dihidangkan. Setelah makan minum marapulai dan rombongan pulang kembali ke rumah mereka. Keesokan hari sekitar pukul lima petang, datang pula utusan menjemput marapulai untuk dibawa ke rumah anak daro. Menjemput kali ini tidak seperti kemarin lagi, cukup dengan beberapa remaja saja. Ketika penganten pria sampai di rumah anak daro, tampak menunggu di halaman dan di jalan raya di depan rumah itu berderet-deret auto (mobil) dan dos (sado, bendi). Mempelai disungguhkan makan di ruang tepi juga. Sementara sang penganten makan, mobil dan sado yang disediakan mulai dipenuhi oleh pesemandan dan mereka-mereka yang ikut mengantarkan rombongan anak daro dan marapulai berarak-arak berkeliling kota menuju rumah orang tua sang marapulai. Pai manjalang (pergi menjelang) kata orang Pariaman. Tentu saja beberapa nampan atau baki penuh berisi kueh-kueh seperti kueh lapis, kueh ruok, kueh bolu, agar-agar dan sebagainya dibawa pula. Selain nampan-nampan di atas, ada lagi dua baki talam loyang yang ditutup dengan sejenis tudung saji yang disungkup dengan dalamak (delamak). Baki atau nampan pertama berisi kueh gatas, kueh sapik, kueh ripit dan lain-lain, sedangkan nampan yang kedua berisi makanan tradisi yaitu nasi kunyit singgang ayam. Ketika sampai di rumah orang marapulai, rombongan arak-arakan itu disongsong dengan sebuah cerana yang berisi sirih pinang selengkapnya, ditaburi dengan beras rendang dan dibasuh pula anak jenjang yang akan diinjaknya dengan air dari dalam sebuah galeta yang semula terletak di atas sebuah talam.

Anak daro didudukkan di atas sebuah kursi di depan tempat tidur, sedangkan pesemandan yang banyak itu duduk bersimpuh menghadap ke arah penganten itu. Makanpun disajikan, maka makanlah orang banyak itu. Selesai makan minum, kedua mempelai dipersandingkan sekali lagi. Setelah itu anak daro bersalaman dengan mertua serta kaum famili sang marapulai. Setiap yang bersalaman dengan sang penganten menyelipkan uang paling kurang sebanyak serupiah. Disamping itu ibu mertua memberi pula perhiasan emas serta kain baju yang dibeli dari uang penjemput anaknya. Misalnya jika uang penjemput anak f 60., dibelikan barang sekitar f 40. atau f 50. Sisanya untuk penanti tamu yang datang tersebut. Sambil berpegangan tangan kedua penganten itu bersama pengiringnya pulang kembali ke rumah orang tua anak daro. Sampai di rumah papan coki atau catur sudah dipersiapkan orang pula. Maka main caturlah kedua penganten baru ini ditontoni orang banyak. Manakala dalam permainan itu sang marapulai dapat merebut cincin di jari anak daro, orang banyak yang menonton bersorak dan bertepuk tangan. Maka permainan pun usailah. Malam itulah marapulai menginap buat pertama kalinya di rumah anak daro. Pulang beriring-iring dan main catur itu menurut kesukaan pihak mempelai saja. Yang tidak suka tidak diadakan acara iring-iringan dan juga main coki tersebut. Ketika almarhum Syekh Muhammad Jamil Al-Khalidi mempersuamikan anaknya, beliau mencoba menyederhanakan helat pernikahan tersebut, demi ongkos dan situasi malaise yang terjadi masa itu. Pukul tujuh malam marapulai dijemput. Pai Manjalang dilakukan dengan arakarakan tanpa memakai kendaraan. Pada arak-arakan itu mengiring pula sejumlah laki-laki sembari menyanyikan lagu-lagu khasidah. Ada pula beliau mengarak marapulai saja berkeliling kota dengan mobil yang diiringi beberapa sado. Namun pai manjalang dilakukan dengan berjalan kaki dengan pesemandan yang banyak.

Memakaikan Adat Selengkapnya Sekalian yang disebutkan di atas, yakni semenjak malam memanggil sampai pergi menjelang itulah kebanyakan yang dilakukan orang dan belum memakaikan adat secukupnya. Berikut disampaikan bagaimana perhelatan itu dilakukan dengan memakaikan adat selengkapnya. Pada malam memanggil itu, lima atau tujuh pesemandan dari pihak anak dara pergi ke rumah calon mempelai membawa inai (suatu perarakan dan perjamuan waktu mempelai berinai). Ketika rombongan itu sampai di rumah mempelai pria, marapulai pun duduk di kursi dan sudah memakai Roki (sejenis baju laki-laki langgam Eropah), yaitu berseluar beludru bertabur warna emas dan perak, lengan dan lehernya memakai renda dari benang makaf, memakai ikat pinggang perak. Tersisip pula dipinggangnya keris Minangkabau bersarung perak. Dikepalanya bertengger sebuah saluak. Di atas saluak itu bertengger pula sebuah hiasan terbuat dari kayu bergelung berpalut warna emas dan pada kayu bergelung ini beruntaian pula bunga melati. Pesemandan yang datang membawa inai disambut sepatutnya oleh pihak yang punya rumah. Setelah duduk, salah seorang pesemandan itu mengabarkan, bahwa kedatangan mereka ialah hendak menginai mempelai. Melekatkan inai yaitu di kuku kaki mempelai diserahkan sepenuhnya kepada kaum famili mempelai. Setelah inai dilekatkan, makanan dan minuman disajikan orang. Usai makan minum rombongan pesemandan itu kembali pulang. Pesemandan marapulai sebanyak lima atau tujuh orang pergi pula ke rumah anak daro. Sementara itu anak daro sudah siap pula memakai-makai (berhias) dan duduk di kursi. Rombongan yang datang itu mengabarkan bahwa kedatangan mereka ialah hendak menginai anak daro. Maka anak daro diinailah. Padahal sebelum inai dilekatkan, anak daro sudah berinai juga, yaitu kuku tangan dan ditengah-tengah telapak tangan juga kuku kaki dan sekeliling tepi kakinya. Setelah inai dilekatkan oleh pesemandan tadi, hidangan pun disajikan orang pula.

Kebanyakan pada malam perhelatan, marapulai belum dijemput, barulah keesokan hari sesudah waktu Lohor dan sekalian menjelang. Sekitar pukul dua siang marapulai turun dan dinaungi payung gadang yang diselimuti dengan kain sitiga warna, yaitu putih, kuning dan merah serta dilengkapi pula dengan adat kebesaran seperti pedang, bedil, bendera kuning, tombak jangguik janggi, tongkat dan gong yang dibunyikan sepanjang jalan yang dilalui serta musik yang mengiringi. Pada arak-arakan itu marapulai diiringi tidak kurang sepuluh orang pesemandan. Arak-arakan ke rumah anak daro ini dilakukan dengan berjalan kaki saja dan tidak berkendaraan. Tatkala sampai di rumah penganten wanita, mereka disongsong dengan cerana dan ditaburi pula dengan beras rendang dan ujung sepatunya dicuci pula dengan air yang disediakan khusus untuk itu. Sementara itu anak daro yang telah didandani didudukan di kursi di depan tempat tidur yang dihadapi pula oleh para pesemandan. Marapulai didudukan pula di kursi di sebelah kanan anak daro. Sedangkan di depan pasangan yang bersanding ini dihadapi pula oleh semua pesemandan. Tidak lama setelah itu dua talam loyang beralaskan daun pisang diletakkan di tengah-tengah di depan kedua penganten itu. Kedua penganten itu dituntun berdiri ke dalam masing-masing talam. Lalu seorang ibu-ibu yang membawa air dalam galeta memercikan sedikit air ke kening kedua penganten. Inilah yang dinamakan Memandikan Penganten. Selesai memercikan air, secara bergantian kedua penganten dilecut lambat-lambat sekujur tubuhnya dengan lidi kelapa berkarang. Yang mula-mula dilecut ialah anak daro, setelah itu marapulai. Selesai upacara tersebut, makanan pun disajikan orang. Sementara itu sado dan mobil bersiap-siap pula di halaman dan di jalan raya di depan rumah penganten itu. Selesai bersantap, penganten naik ke mobil yang disediakan seperti disebutkan di atas. Sebuah payung besar diikatkan pada mobil itu dengan maksud melindungi kedua penganten tersebut. Demikian juga para pesemandan serta rombongan lainnya naik

pula ke dalam kendaraan yang disediakan untuk mereka. Mereka berarak-arak berkeliling kota menuju rumah ibu penganten pria. Tiba di rumah yang dituju, mereka bersanding lagi dan seterusnya makan minum pula. Selesai makan minum, sembari berbimbingan tangan anak daro dan marapulai naik kembali ke mobil pulang ke rumah anak daro untuk bermain coki seperti yang telah diuraikan di atas. Famili marapulai meminta agar anak daro berkunjung pula ke rumah mereka. Inilah yang dinamakan Mendua dan terus Meniga Hari namanya. Keesokan hari dengan diiringi lima sampai tujuh pesemandan serta pengiring lain, pasangan itu berkunjung ke rumah ibu marapulai. Jika dekat dengan berjalan kaki saja, kalau jauh dengan kendaraan. Pada kunjungan ini pihak anak daro membawa sedulang nasi kunyit singgang ayam serta kueh wajik saja. Demikian pula bawaan untuk setiap rumah keluarga marapulai yang dijelang. Setiap manjalang atau berkunjung ke rumah famili penganten pria, pihak yang punya rumah telah bersiap pula dengan makanan dan minuman penanti penganten baru tersebut, termasuk pula oleh-oleh berupa kain baju maupun uang kepada sang anak daro. Berturut-turut selama sepekan sang suami pulang siang ke rumah isterinya untuk makan siang dan sholat lohor. Ditukari sarung yang dipakainya dengan kain sarung yang disediakan di rumah istrinya itu. Demikian pula anak daro yang baru menikah ini, dalam minggu pertama masa bulan madu ini senantiasa berpakaian yang indah-indah. Ketika bulan Ramadhan atau bulan puasa, sehari sebelum mulai puasa telah datang kiriman dari rumah anak daro ke rumah marapulai sebuah nampan penuh berisi bunga-bunga dengan air asahan yang harum dalam sebuah gelas khusus serta sabun mandi bermerek Capitol atau Kolederma untuk dipakai oleh marapulai baru tersebut. Inilah yang dinamakan Mengantar Limau Puasa. Tanggal enam belas Ramadhan ke bawah, ibu si perempuan yang baru menikah telah siap pula mengantar kueh-kueh sebanyak lima tempat. Selain itu ada pula sebotol minyak wangi yang diletakkan dalam wadah beras. Antaran ini dilengkapi

dengan alat kebesaran seperti payung gadang, pedang, tombak, bedil, tongkat janggut janggi dan gong. Orang yang memakai adat ini ialah para bangsawan seperti Sidi, Sutan dan Bagindo. Akan tetapi jika mereka tidak bergelar Sidi, Sutan dan Bagindo, tidak memakai payung gadang, hanya memakai payung biasa yang ditutup dengan kain dan bukan kain tiga warna seperti dikatakan di atas dan juga tidak memakaikan adat secukupnya, kecuali gong. Hal ini dinamakan berfitrah. Berfitrah dan mengantarkan limau ini bukan setiap bulan Ramadhan, hanya sekali saja. Di awal bulan Syawal, yaitu pada Hari Raya Idulfitri, sejak usai Sembahyang Hari Raya, sang penganten baru membawa teman-temannya makan-makan ke rumah istrinya. Malam harinya kedua orang yang baru menikah itu berkunjung berlebaran ke rumah famili suaminya yang pernah dijelangnya ketika baru menikah dulu, yaitu ketika mendua dan meniga. Famili mempelai yang dikunjungi membekalinya dengan uang atau kain baru. Jika ada keluarga dari pihak suaminya yang sakit, maka sang istri menjenguknya dengan membawa berbagai makanan. Demikian pula setiap bulan Ramadhan wajib pula ibu sang istri mengantarkan pebukaan ke rumah mertua anaknya, akan tetapi ke rumah famili menantunya yang lain, tidak. Cara ini dinamakan mengantar pebukaan. Kalau yang bersuami itu seorang janda, maka perkawinan itu tidak dengan perhelatan besar, melainkan cukup dengan kenduri saja dengan mengundang orang sepenuh rumah dan membacakan doa selamat. Tetapi harus manjalang dan mengantarkan fitrah dan pebukaan ke rumah mertuanya. Keterangan. 1) Coyoh lapuk. 2) Slof sandal. 3) Kampil sirih tempat atau tas sirih yang terbuat dari mensiang. 4) Sebagai meter kubik berbentuk balok.

Riwajat Kota Pariaman door : Bagindo Said Zakaria Pariaman, 1932. Disalin dan disadur dari Mikrofilm No. 1157/PN, Oleh: Anas Nafis.

Riwayat Tradisi Uang JemputanPengantar : Karena sudah menjadi polemik di kalangan masyarakat minangkabau seputar tradisi uang jemputan, maka ~ padusi ~ mencoba meluruskan tradisi itu dalam suatu kebiasaan masyarakat yang lebih elegant, dengan mengangkat suatu pandangan seorang pria Minangkabau yang berasal dari Pariaman tentang asal usul tradisi ini. Padusi mengedit pandangan beliau dari sebuah milis orang minangkabau menjadi sebuah artikel yang berjudul Riwayat Tradisi Uang Jemputan. Meskipun demikian, mengingat praktek tradisi ini tidak semua berlaku di wilayah Ranah Minangkabau, maka sebagai tradisi, pemberian uang jemputan itu tetaplah dikatakan sebagai bukan adat. Untuk lebih jelasnya pahamilah pemikiran penulisnya. Riwayat Tradisi Uang Jemputan Oleh : Arman Bahar Malin Bandaro Bedakah masing-masing UANG JEMPUTAN UANG HILANG ? Umumnya masyarakat yang awam tentang kedua istilah ini menyamakan saja antara Uang Jemputan dengan Uang Hilang. Padahal tidak semua orang Pariaman mengerti tentang masalah ini. Di milist RantauNet justru Mak Syamsir Alam yang bukan Ughang Piaman lah yang telah menjelaskan dengan tepat dan lugas bahwa tradisi uang jemputan yang hangat di diskusikan di milist itu sebenarnya malah bukan pada lingkup uang jemputan tetapi sebenarnya adalah masuk kedalam ranah Uang Hilang dan Uang Dapua atau Uang Asok . Uang ini benar benar hilang atau tidak akan dikembalikan kepada fihak keluarga anak daro. Pada awalnya uang jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan, Bagindo dan Sidi dimana ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah atau patriachat. Dengan demikian di Pariaman berlaku 2 macam gelar, yaitu - yang satu gelar dari ayah - yang satu lagi gelar dari mamak,

hanya saja gelar dari Mamak, terpakai adalah gelar Datuak dan gelar Malin saja, misalnya dapat kita contohkan pada seorang tokoh minang yang berasal dari Pariaman, yaitu Bapak Harun Zein (Mantan Mentri Agraria dan Gubernur Sumbar). Beliau mendapat gelar Sidi dari ayahnya dan mendapat gelar Datuak Sinaro dari Ninik Mamaknya. Sehingga lengkaplah nama beliau berikut gelarnya Prof. Drs. Sidi Harun Alrasyid Zein Datuak Sinaro (dari persukuan Piliang) . Lantas siapakah mereka pemegang gelar yang 3 itu? Gelar Sutan dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada petinggi atau bangsawan Istano Pagaruyuang yang ditugaskan sebagai wakil raja di Rantau Pasisia Piaman Laweh. Ingat konsep luhak ba-panghulu Rantau ba Rajo, seperti : - Rajo Nan Tongga di Kampuang Gadang Pariaman, - Rajo Rangkayo Basa 211 6 Lingkuang di Pakandangan, - Rajo Sutan Sailan VII Koto Sungai Sariak di Ampalu, - Rajo Rangkayo Ganto Suaro Kampuang Dalam, - Rajo Tiku di Tiku dll Gelar Bagindo dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada para Petinggi Aceh yang bertugas didaerah Pariaman. Ingatlah bahwa wilayah Pariaman Tiku pernah dikuasai oleh kerajaan Aceh dizaman kejayaan Sultan Iskandar Muda. Gelar Sidi diberikan kepada mereka2 yang bernasab kepada kaum ulama (syayyid), yaitu penyebar agama Islam didaerah Pariaman Pemakaian gelar tunggal ini langsung di-ikuti dengan nama-nama, misalnya Sutan Arman Bahar atau Bagindo Arman Bahar atau Sidi Arman Bahar. Sedangkan gelar dari Mamak yang bukan gelar Datuak akan ditaruh dibelakang nama, seperti : Sutan Sinaro, Sutan Batuah, Sutan Sati tidak lazim dipakai di Pariaman kecuali gelar Malin. Seperti Arman Bahar Malin Bandaro ada juga terpakai Seperti yang dikatakan Mamak mamak juga ; tabu manih ka-pucuak , artinya banyak adat Minangkabau yang dipegang teguh di di Pariaman. Sementara di Luhak nan 3 tidak menjadi fokus lagi , seperti diantaranya : adat yang manyatakan rumah gadang ka-tirisan, gadih gadang indak balaki dan maik tabujua ditangah rumah. Indak kayu janjang dikapiang. indak ameh bungkah diasah, maka yang sering menonjol di Pariaman adalah issue Gadih Gadang Indak Balaki . Sehingga para Ninik Mamak orang Pariaman sangat concern untuk menyelesaikan masalah yang satu ini.

Seperti saya yang berbako ka-Luhak Agam , banyak saya jumpai kasus gadih gadang indak balaki (perawan tua). Pada hal mereka mempunyai Ninik Mamak secara lengkap hal mana yang tidak akan kita jumpai di Pariaman Saking pedulinya para Ninik Mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve (kurva permintaan) menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai anak bujang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium (titik keseimbangan) dan memunculkan kolusi ( dalam artian persaingan yang positif). Artinya pihak keluarga anak gadis siap sedia memberikan kompensasi berapapun nilainya asal anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami. Dari sinilah munculnya Uang Hilang yang dalam prakteknya sama- dijalankan dengan uang jemputan. Pengertian uang jemputan adalah Nilai tertentu yang akan dikembalikan kemduian kepada keluarga pengantin wanita pada saat setelah dilakukan acara pernikahan. Pihak Pengantin Pria akan mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya setara dengan nilai yang diberikan oleh keluarga Pihak Pengantin Wanita sebelumnya kepada keluarga Pengantin Pria. Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (Anak Daro) berkunjung atau Batandang ka rumah Mintuo. Bahkan pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak Marapulai sebelumnya karena ini menyangkut menyangkut gensi keluarga marapulai itu sendiri. Karena dalam prakteknya uang hilang dan uang jemputan dilakukan sejalan / bersamaan, maka yang ke sohor adalah UANG JEMPUTAN . Padahal yang dipermasalahkan dan keberatan pihak keluarga pengantian wanita adalah munculnya UANG HILANG atau UANG DAPUR atau uang asok. Uang Jemputan ini sebenarnya adalah uang kontribusi dan uang distribusi. Artinya bagi yang menerima uang jemputan semestinya ia harus mengembalikan kepada pihak pengantin wanita/anak daro. Sementara UANG HILANG atau UANG DAPUR merupakan uang kompensasi sesuai dengan kesepakatan kedua keluarga. Semuanya jika tidak ada permusyawarahan antara para ninik mamak dan kesepakatan diantara dua keluarga. Keboleh jadian bahwa perkawinan tidak akan berlangsung bila pihak keluarga wanita tidak menyetujui. Kesimpulannya uang jemputan tidak sama dengan uang hilang. Uang jemputan memiliki kewajiban dari keluarga marapulai untuk mengembalikan kepada anak daro dalam bentuk perhiasan atau pemberian lainnya pada saat dilangsungkan acara Manjalan Karumah Mintuo Soal ada yang menyatakan pemberian uang jemputan berasal tradisi ini berasal India, sebenarnya tidak demikian. Pernyataan ini sangat meragukan karena tidak ada jejak sejarah yang tersebut bahwa bangsa India mendiami pesisir pantai

Pariaman dan Tiku. Kita tahu bahwa bangsa India pun beraneka suku seperti : orang-orang Hindustan, atau orang Keling. Yang pernah ada di Pariaman adalah orang Benggala alias Orang Keling karena terdapat jejak peninggalan mereka dalam wujud Kampuang Kaliang disamping itu ada pula Kampuang Cino. Walaupun sudah tidak adalagi orang Chinanya, karena takut sesudah peristiwa huru hara di Kampuang Cino kota Pariaman zaman doeloe. Selain itu adapula kampuang Jao walau tidak adalagi orang Jawa-nya disana. Hal yang wajar bila ada kekhawatiran kaum ibu orang Pariaman, jika anak lelakinya yang diharapkan akan menjadi tulang punggung keluarga ibunya kemudian setelah menikah lupa dengan NASIB DAN PARASAIAN ibu dan adikadiknya. Banyak kasus yang terdengar walau tidak tercatat ketika telah menjadi orang Sumando dikeluarga isterinya telah lalai untuk tetap berbakti kepada orang tua dan saudara kandungnya. Ketika sang Bunda masih belum puas menikmati rezeki yang diperoleh anak lelakinya itu menjadikan para kaum ibu di Pariaman keberatan melepas anak lelakinya segera menikah. Dikawatirkan bila anak lelakinya itu cepat menikah, maka pupus harapannya menikmati hasil jerih payahnya dalam membesarkan anak lelakinya itu. Lagi pula para kaum ibu itupun sadar bahwa tanggung jawab anak lelakinya yang sudah menikah, akan beralih kepada isteri dan anaknya. Ketika datang desakan dari pihak gadis dan tiap sebentar datang maresek marisiak sesuai tradisi yang berlaku di daerah itu, maka posisi anak bujang itu menjadi begitu berarti. Bahkan agak terkesan memaksakan kehendak jika tidak dikatakan merongrong dari berbagai fihak keluarga gadis yang ingin bemenantukan anaknya. Hal yang lumrah pula bila suatu keluarga menginginkan anak gadis mereka cepat menikah sebelum datang tudingan perawan tua bagi seorang anak gadis. Sebaliknya seorang Ibu yang mempunyai anak bujang yang sudah mapan kehidupannya tentu ia akan meneriman tawaran menggiurkan berupa UANG HILANG atau apapun istilahnya dari fihak keluarga gadis. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ketika orang yang datang maresek marisiak , maka ketika itu sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan terjadilah tawar menawar. Bargaining power akan lebih kuat bila sang ibu pihak lelaki mempunyai anak yang mapan seperti dokter, saudagar sukses, insinyur chevron bahkan bergelar Sidi pula lagi Keluarga mana yang tidak ingin anak gadisnya akan hidup tenang dengan calon suami yang keren mapan begitu. Jadilah pepatah yang berbunyi indak ameh bungkah di-asah, indak kayu janjang dikapiang asal anak gadisnya mendapatkan anak bujang yang sudah mapan hidupnya. Para Gadis tentunya akan senang bersuamikan dokter atau insinyur chevron yang gajinya besar itu Disini kita lihat betapa pedulinya Para Mamak orang Pariaman untuk masalah yang satu ini, dalam rangka menghindari Gadih Gadang Indak Balaki alias perawan tua.

Mohon maaf kalau tidak sepenuhnya benar, wasalam Arman Samudra-57

Tradisi Uang Jemputan Bukanlah Adat di MinangkabauOleh : Hifni H.NizhamulPada awalnya, pemberian uang jemputan dari pihak keluarga perempuan kepada pihak laki-laki (calon menantu atau sumando), dilakukan terhadap calon menantu dari lingkungan sosial masyarakat yang dianggap terhormat, misalnya: gelar keturunan. Yaitu Sidi, Bagindo, dan Sutan. Setelah itu berlanjut menjadi persyaratan dalam proses peminangan atau tercapainya kesepakatan untuk menjodohkan seorang anak perempuan dengan lelaki pilihannya. Pemberian uang jemputan ini lagi lagi dipersyaratkan oleh pihak keluarga laki-laki. Uang jemputan itu, berbeda-beda besaran nilainya, bisa juga berupa non-uang seperti mobil, rumah, atau lainnya. Dahulu laki-laki yang bergelar Sidi di daerah Pariaman akan menerima uang jemputan lebih tinggi dibanding yang lain. Sekarang, yang menjadi ukuran adalah para kaum terpelajar, berpendidikan, dan memiliki profesi tertentu, sebagai dokter, sarjana teknik, sarjana ekonomi serta kaum professional lainnya akan menjadi orang-orang jemputan. Ada juga orangtua pihak laki-laki, tidak mau menerima uang jemputan untuk suatu pernikahan. Mereka merasa malu dan sadar bahwa tradisi uang jemputan menimbulkan beban moril bagi hubungan kekerabatan selanjutnya, Kemudian muncul istilah uang hilang sebagai pengganti uang jemputan. Awalnya, uang hilang benar-benar digunakan untuk penyelengaraan acara di rumah pihak pengantin laki-laki, seperti penyelenggaraan acara menjalang mintuo (berkunjung kerumah mertua), dll, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, kedua-duanya tetap menjadi tradisi dalam pra perkawinan. Pemberian uang jemputan atau uang hilang ini kadang dianggap sebagai gengsi social, baik bagi pihak keluarga laki-laki maupun pihak perempuan sendiri. Artinya, semakin tinggi uang hilang yang diberikan pihak perempuan kepada pihak laki-laki, berarti secara prestise si laki-laki dianggap lebih dihargai status sosialnya dan sebaliknya bagi pihak perempuan (yang memberi), mereka pun dianggap memiliki kemampuan memberikan uang jemputan uang hilang itu. Pada dasarnya uang jemputan atau uang hilang itu benar-benar dimafaatkan untuk kepentingan pihak calon pengantin laki-laki, misalnya mempersiapkan seperangkat kebutuhan nya , seperti baju, dll serta penyelenggaraan acara dirumah pihak laki-laki. Konon pemberian uang juga dapat menaikkan derajat kedua keluarga baik yang memberi atau yang menerima. Sepanjang pihak keluarga perempuan menyanggupinya tradisi ini, karena tanggung jawab dalam mengisi tradisi uang jemputan ini berada pada tanggung jawab Ninik Mamak pihak perempuan, maka diyakini tidak ada konflik internal yang terjadi dalam praktek tradisi itu. Akan tetapi bagaimana sekiranya pihak keluarga pihak perempuan tidak

menyanggupinya ?. Bukan saja karena tidak sanggup secara materi, namun mengganggap tradisi ini menyalahi eksistensi perempuan muda yang sama-sama memiliki kesempatan dalam berkarya dan bekerja. Banyak perempuan perempuan Minang yang cerdas yang memperoleh peluang didunia kerja. Mereka mulai menganggap bahwa tradisi uang jemputan uang hilang ini, tidak layak lagi ditradisikan. Lagi pula tradisi uang jemputan memberikan image seakan lelaki minang itu pada umumnya bisa dibeli oleh perempuannya. Kami tidak menyatakan bahwa adanya emansipasi wanita/perempuan yang dikumandang oleh kelompok feminism yang meng-agungkan kesetaraan gender, yang menjadikan tradisi tidak layak ditradisikan lagi. Akan tetapi adalah bagaimana menjaga image terhadap lelaki minang itu sendiri sendiri bahwa ia dibeli oleh pihak perempuan. Lagi pula gadis minang terkesan menjadi kelompok subordinasi lelaki minang. Sebab bagaimanapun tingginya pendidikan perempuan, bila nilai uang jemput dan uang hilang tetap menjadi tuntutan, bahkan harus lebih tinggi lagi, maka ini memang memprihatinkan.

Tradisi uang jemputan atau uang hilang bukanlah pelaksanaan adat atau mengisi adat dan lembaga, melainkan semata budaya yang berlaku diwilayah tertentu saja. Hal ini wajib dikesampingkan dan dikikis, apabila tidak sesuai dengan norma-norma agama dan etika bermasyarakat dan berbangsa. Sementara itu jika uang jemputan dan uang hilang diberikan kepada keluarga mempelai pria rendah nilai rupiahnya, maka keluarga perempuan akan dicemooh orang- orang sekitarnya. Untuk masa sekarang, pengikisan tradisi pemberian uang jemputan dan uang hilang hendaknya dilakukan oleh kaum lelaki minang sendiri. Kaum lelaki minang harus sadar, bahwa keberlangsungan rumah tangga yang berada di pundaknya jangan terusik oleh hegemoni seorang lelaki, yang dianggap harus lunas untuk memenuhi persyaratan perkawinannya melalui tradisi uang jemputan ini.

Tradisi Uang Jemputan berbeda dengan Menjemput Pengantin Pria (manjapuik marapulai) : Menjemput mempelai pria(marapulai) secara adat, dalam prosesi perkawinan adalah bagian dari adat perkawinan di Minangkabau. Tata cara perkawinan ini berlaku diseluruh lapisan masyarakat di Minangkabau. Ini adalah wujud dari penghargaan terhadap lelaki minang. Mengapa demikian ? Karena ia akan menjadi Semenda (sumando) dikeluarga isterinya. Minangkabau menganut system kekerabatan eksogami, dimana garis keturunan diambil dari garis ibu. Kedudukan seorang suami ayah, didalam sebuah Rumah Gadang adalah bagaikan seorang tamu yang selalu disanjung dan dilayani sepanjang hidupnya dikeluarga isterinya nanti. Karena ia menjadi seorang Semenda urang Sumando didalam keluarga isterinya, maka sebab itulah ia dijemput menurut tatacara adat perkawinan itu.

Sesungguhnya penjemputan pengantin pria (marapulai), yang dijemput dengan mensyaratkan adanya uang jemputan atau uang hilang bukanlah adat perkawinan. Pemberian uang jemputan uang uang hilang hanya merupakan kebiasaan tradisi sepihak yang hanya ada di Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman. Sementara 13 kota/kabupaten lain di Provinsi Sumatera Barat tidak menganut tradisi demikian. Bagaimana cara menghapus tradisi itu ? Bisakah ? Mari kita kembalikan kepada hati nurani kaum prianya. Apakah kebahagian rumah tangganya nanti dapat terpenuhi dengan diperoleh dengan uang jemputan ? Menggambarkan pelaksanaan tradisi itu sama halnya menggambarkan tengah berlangsungnya proses hegemoni kaum laki-laki dalam hubungan-hubungan sosial, yang di dalamnya tersembunyi kepentingan komunitas laki-laki sebagai kelas yang superior. Juga, terjadi penindasan hak-hak sosial perempuan sebagai anggota masyarakat. Ini gambaran terjadinya proses diskriminasi antara pria dan wanita. Bisa terjadi, setinggi apa pun prestasi intelektual yang diraih perempuan tetap saja tidak memperlihatkan kesetaraan gadis minang dan lelaki minang. Pada pasca reformasi dimana perempuan diberi kesempatan untuk menduduki parlemen sebesar 30 % apabila masih melaksanakan tradisi uang jemputan itu rasanya kok sudah ketinggalan zaman. Sebaliknya, ditengah kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan untuk berkiprah di parlemen itu, tentu seorang perempuan tidak harus mengubah kodratnya untuk mengurus rumah tangga dan melayani suaminya. Ingatlah , ada rambu-rambu yang diberikan agama Islam bahwa ia mendapat predikat wanita sholehah apabila ia mampu melaksananakan tugas pokok dalam kehidupan rumah tangga dan menjadi makhluk social. Inilah hakikat sebuah perkawinan dimata agama dan budaya. Oleh karena itu, adanya kesempatan yang sama bagi kaum wanita dan pria dalam berkarya mengabdikan diri kepada masyarakat serta memperoleh imbalan yang sama atas buah dan hasil karyanya itu, maka adanya ketidak adilan yang disebabkan adanya tradisi uang jemputan atau uang hilang, hendaknya dikikis habis oleh : lelaki muda minang itu sendiri. Termasuk kesadaran para orang tua si lelaki serta ninik mamak yang ikut meminta dan menginginkan pelaksanaan tradisi ini. Perempuan adalah makhluk individu yang mandiri dan potensial, Di Minangkabau kaum perempuan sangat diagungkan sebagai bundo kanduang. Bundokanduang adalah, perempuan yang diposisikan sebagai yang dihormati, menduduki posisi sentral dan penting dalam keluarga. Dalam rangka menciptakan keharminisan rumah tangga kelak dikemudian hari, maka sebaiknya tradisi uang jemputan dan uang hilang pada masyarakat Minangkabau, khususnya di wilayah Padang Pariaman dan Pariaman dihilangkan saja. Saat ini tidak ada lagi istilahnya lelaki minang lebih unggul dari gadis minang karena status sosialnya. Penggunaan gelar turunan semakin tidak berguna lagi bila dibanding kualitas intelektual seseorang. Baik lelaki muda minang dan gadis minang saat ini memperoleh kesempatan yang sama memperoleh kualitas intelektual itu. Yang ditunjukkan dari gelar Perguruan Tinggi yang diperolehnya.

36 Responses to Tradisi Uang Jemputan Bukanlah Adat di MinangkabauFeed for this Entry Trackback Address 1. 1 Desty WidiantyJanuary 26, 2009 at 9:14 pm

Saya sangat miris mengetahui adat yang diADATkan tersebut. Sebagai perempuan saya merasa tidak adil jika harus memberi berpuluh2 juta rupiah untuk menikah dengan seorang laki-laki pariaman. Saya bukan orang minang, tentu merasa heran dengan adat yang seperti ini. Saya rasa adat ini masih bertahan karena keluarga turun-temurun tidak mau dirugikan karena dahulu mereka menikah juga harus menggunakan uang jemputan. Saya dengan cerita bahwa ada perempuan betawi dihamili oleh laki-laki pariaman, tentu laki-laki tersebut harus bertanggung jawab. Tapi yang terjadi malah sang nenek tidak mau melepas cucu laki-lakinya kalau perempuan itu tidak memberi uang jemputan sebesar 15 juta. Menurut saya itu keadaan yang tidak adil. Saya pesimis ada laki-laki pariaman yang bersedia menghapus adat tersebut. Tentu karena sebelum mereka pacaran sudah diwanti-wanti utk mendapatkan gadis minang agar uang jemputan gampang ditagihkan, karena sudah saling mengerti adat tersebut. Pacar saya orang Pariaman, dan ibunya tidak setuju dia nikah dengan saya, karena saya orang jawa. Saya juga memilih mundur karena menurut saya adat tersebut memberatkan dan tidak sesuai dengan ajaran agama islam, setau saya di islam diharamkan mahar yang memberatkan sang laki-laki. Kok ini malah perempuan yang diberatkan, harus bayar puluhan juta? no way.. Apakah perempuan luar minang akan bisa memperlakukan sang suami bukan seperti barang belian??? Maaf jika ada pihak yang tersinggung. Reply 2. 2 RizkyJanuary 26, 2009 at 9:39 pm

ambo sebagai urang minang ,tapi dak baitu manggarati bana baa nan sabana nyo spesifikasi adat miangkabau ko. batui juo tuh apobilo urang nan dari lua pariaman (gadih)nikah jo bujangpariaman apolagi inyo sarjana (doktorandus) ondeh sabana tabik aia

na gadih untuak manyiapkan dana jemputan. kalau awak caliak karajo si doktorandus tadi hanyo duduak di lapau minum kopi sampai jalang kopi tuh (tambah aia taruih he he he),tapi jemputan dak bagarah gadangnyo doh. ambo dak satuju ado uang dapua,uang hilang ,uang jemputan untuak marapula khusus urang piaman. tapi karano adat piaman co itu lo mako dak banyak urang minang nan mamprotes sistim adat nan ciek ko 3. 3 monyFebruary 7, 2009 at 7:51 am ihhhhh memalukan sekali ada laki laki di beli kayak nggak punya harga diri itu adat yang harus di hapuskan saya dari pada beli laki laki ( beli suami) lebih saya nggak menikah.. seumur hidup.. lebih Baik uangnya saya sumbangakan buat anak yatim piatu dan orang tidak mampu, saya juga orang minang kabau, ibu saya sukunya djambak, abak saya sukunya tanjung, kedua orang tua saya berasal dari pesisir selatan tepatnya tarusan,tapi nggak ada adat beli suami atau uang jemputan. menurut saya itu memalukan orang minang saja, saya tingal di jakarta, setiap saya mengaku orang minang / padang orang selalu mencemo-oh saya dengan mengatakan orang minang / orang padang suami nya di beli dengan nada sarkasme, hal itu membuat saya malu, dan harus saya jelaskan itu cuma orang pariaman saja, tapi gara-gara adat pariaman semua orang minang dianggap kalau perempuannya mau menikah, harus beli laki laki hal yang memalukan sekali, adat seperti itu harus dihaaaaaaaapuskan. Reply 4. 4 ~padusi~February 7, 2009 at 9:41 am

Betul sekali mony.. tentu kita kembalikan pada sikap keluarga besarnya. Terkadang pria tidak ingin dijemput karena diapun malu tapi apa daya. Harus patuh sama keluarga ninik mamaknya Itulah realita yang tidak bisa dihindari oleh pria minang itu.. bukan??? Salam, padusi Reply 5. 5 Ir. SukardimanFebruary 12, 2009 at 4:32 am

Saya asli orang pariaman, amak dari karanaur dengan suku piliang, abak dari Kuraitaji suku koto, ketika saya akan menikah seluruh ninik mamak hadir di bandung, dan menanyakan tentang uang jemputan, saya sarjana tenik mesin dan istri saya sarjana ekonomi dari suku mandailing di kampung surau yang nota bene pariaman juga, waktu itu saya harus berdebat cukup alot dengan mamak-mamak saya tentang penolakan saya akan permintaan beliau-beliau berapa uang japui yang akan diminta ke pihak keluarga perempuan, bahkan saya sempat indak ditanyo untuk beberapa lama. Waktu itu saya hanya beragumen dengan nalar saya saja tanpa dikaitkaitkan dengan ketentuan adat yang diadatkan, saya sampaikan bahwa dahulu uang japui mungkin tidak terlalu memberatkan karena yang mengusahakan adalah urang nagari dan dunsana sapasukuan, lagian hasil dari tanah pusako dan pancarian masih melimpah tidak dikenal dengan kesulitan ekonomi seperti yang kita alami sekarang ini, saya hidup dan besar di bandung dan yang saya tahu orang tua kami banting tulang siang malam agar anaknya menjadi urang dan dapat mentas dengan bekal yang cukup baik dari segi pendidikan maupun modal usaha atau bekerja untuk kelangsungan hidupnya kelak di kemudian hari, dan dapat membela dan menyantuni mereka jika sudah tua dan tak berdaya lagi, begitu juga keluarga istri saya. Dari kasus saya ini trauma menimpa adik-adik dan kamanakan saya yang lahir dan besar di bandung, juga bako-bako saya, serta keluarga istri saya yang hampir sebagian besar ketakutan untuk menjalin hubungan dengan orang padang secara keseluruhan(di bandung orang minang dari manapun nagarinya disebut orang padang), keluarga kami setelah era saya rata rata berkeluarga dari suku non minang, ada yang dengan orang sunda, jawa, ambon, cina,jerman, dan hanya beberapa saja yang kawin dengan orang padang itupun dengan perjanjian ngak pake uang jemputan, kecuali yang hidup dan besar dan menikah dikampung masih memakai tradisi tersebut walaupun dengan kompromi dan tidak terlalu memberatkan pihak perempuan, sebagai syarat formalitas saja agar tidak di kucilkan atau di lecehkan oleh lingkungan sekelilingnya. Akan tetapi tradisi badantam untuk mengumpulkan uang masih kami jalani sampai saat ini baik untuk dunsanak di kampung maupun di bandung, dengan mengadakan perkumpulan yang bermaksud untuk melestarikan adat gotong royong meringankan baban barek baik menikahkan, melahirkan, dan menyantuni keluarga yang ditinggalkan olh kerabatnya terus kami pelihara sampai saat ini, sehingga hampir dipastikan tidak ada alek yang terlantar, kalaupun tidak balabo, pulang pokokpun sudah membuat kami gembira. Lagian uang japui tersebut ternyata bukan diperuntukan bagi bekal mempelai untuk memulai hidup baru tapi malah menjadi milik orang tua laki-laki untuk menambah pundit-pundi kekayaannya, terus kalau ada perempuan miskin dan dikehendaki oleh laki-laki berpangkat bagaimana jalan keluarnya (apakah dengan sembunyi-sembunyi memberikan uang ke keluarga perempuan untuk uang japui dirinya sendiri), ini sungguh absurd, kalau memang keduanya keluarga kaya dan uang japui diberikan sebagai

modal hidup mereka yang baru mulai menempuh hidup baru, mungkin masih dapat diterima oleh akal sehat. Saya menulis ini tidak berpretensi untuk menyudutkan siapapun, hanya sekedar urun rembuk, kalaupun harus dihujat oleh yang tidak setuju ya saya terima saja, namanya juga Negara demokrasi dan perbedaan pendapat tidak harus menimbulkan permusuhan, walaupun bagaimana saya tetap bangga menjadi urang minang sampai kapanpun. Contoh kasus yang masih hangat, bulan nopember 2007 saya pulang kampung, kebetulan di undang oleh kenalan yang mengawinkan anaknya, dari informasi yang saya dapat dia mengeluarkan 200 juta untuk uang japui calon menentunya yang lulusan Akabri, berpangkat kapten, tapi apa yang terjadi setelah berumah tangga selama dua tahun keluarga tersebut hancur lebur karena suaminya berselingkuh dan kelakuannya membuat malu keluarga perempuan, yang akhirnya malapeh hao, so apa jaminan nya kalau kita memberikan uang japui yang ngak kira-kira tersebut, tak ada tak ada tak ada kata si jaim al-rasyid 6. 6 ~padusi~February 13, 2009 at 6:35 pm

Assalamualaikum, wr wb Sanak sukardiman, Sikap dan tindakan Sanak dalam menolak tradisi uang jemputan ini selayaknya diikuti pula oleh kaum pria lainnya yang memasuki jenjang rumah tangga. Sungguh banyak yang terjadi hal hal negatif akibat dilakukan praktek yang tidak layak lagi dipertahankan sebagai tradisi. Semoga muncul kaum pria lainnya yang mengikuti jejak sanak Terima kasih telah berbagi informasi. Wassalam, padusi 7. 7 Yuliardi, SHFebruary 16, 2009 at 7:00 pm

Saya anak nagari pariaman juga. Kita tidak perlu kita menghujat adat istiadat negeri sendiri. Saya termasuk yang tidak setuju dengan uang japuik tadi. Biarkanlah dia akan hilang sendiri ditelan masa. Dengan banyaknya lelaki pariaman yang alah tabukak matonyo di rantau, kebiasaan buruk dalam adat itu akan hapus. kasihan kita dengan ortu yang harus tidak dapat tidur kalau punya anak gadis banyak. bravo

8. 8 rahmadFebruary 28, 2009 at 8:37 am

Bagai mana jika penghapusan Uang jemputan diikuti dengan pemberian kompensasi? saya setuju saya Uang jemputan di hapuskan, asalkan aada kompensasi adat bagi laki-laki minang dan yang paling tepat adalah dalam bentuk : 1. Anak laki-laki mendapatkan kembali hak waris atas harta pusako atau harta pencarian jika tidak bisa seperti hukum islam, minimal sama dengan apa yang diperoleh anak perempuan 2. Dipulihkan kembali kedudukan AYAH sebagai pemimpin dalam keluarga minang yang selama ini dianggap rendah. terutama hak untuk menikahkan anak-anaknya, jangan lagi mamak tungganai campur tangan dalam keluarga batih Bagaimana? orang2 macam kalian (tipikal feminis) selalu bisanya menghujat laki-laki dan tak konsisten. kalau laki2 jawa meminang perempuan dihujat bahwa perempuan itu dibeli oleh laki-laki dan direndahkan karena adat patriakatnya. tapi giliran laki-laki minang yang dibeli oleh perempuan kalian anggap tak tahu diri dan mencari untung. kenapa kalian tak berfikir bahwa ia (laki-laki minang) juga direndahkan oleh sistim adat matriakat? asal tau saja laki-laki minang juga tak nyaman berada dalam adat minang dan banyak hak-hak asazi mereka yang hilang karena adat matriakat. mungkin itu salah satu penyebab laki-laki minang banyak merantau dan menikah dengan gadis sunda atau jawa. 9. 9 Ir. SukardimanMarch 2, 2009 at 1:56 am

Statemen Sdr. Ahmad Sangat amat logis, secara sosiologis memang agak sulit untuk merombak tatanan yang sudah berakar ratusan tahun,tapi jangan mendikotomikan apakah kami yang bersebrangan sebagai kaum feminis, karena kenyataan yang ada bahwa kamanakan dari mamakmamak kita sekarang sudah tidak lagi dibiayai oleh selain orang tua batihnya, baik itu di rantau maupun di ranah minang sendiri, karena perkembangan Zaman fungsi mamak sudah tergerus untuk mengendalikan sanak kamanakannya, solusi yang paling logis menurut saya adalah sebagia berikut, kalau memang berkenan :

1. Harato pusako biarlah dulu menjadi milik kaum perempuan yang dikelola dan di atur oleh mamak-mamaknya dengan demikian sitem adat matrilinial tidak hapus diranah minang, sebab kalau harta pusako diwariskan dan dibagi, maka sistem kekerabatan tentunya secara otomatis akan hapus juga, karena laki-laki minang maupun perempuannya tergoda untuk menjual harato pusako tersebut, sehingga tidak ada lagi cikal bakal dan asal muasal kita dari mana (evident bahwa kita orang nagari tertentu), dan saya prediksi pada turunan ketiga dari kaum tersebut akan dianggap punah. 2. Harato pencaharian tentunya karena hasil jerih payah orang tua yang bersangkutan dibagi berdasarkan hukum waris yang berlaku di indonesia, dan atau kompromi antara saudara dari keluarga batih untuk tidak memunculkan persengketaan. 3. Kuatkan budaya gotong royong yang sudah mengakar untuk saling membantu dunsanak sakampung sapasukuan dalam hal baban barek yang ditanggung apakah itu baralek, membangun rumah,kematian, dan kemalangan lainnya dengan tradisi badantam, yang semua dunsanak saling membantu baik dengan harato, caro-caro atau tanago agar tali silaturahmi tetap terjaga sampai akhir kehidupan. 4. Ketulusan dan kegigihan dalam membantu dunsanak yang menjadi ciri khas masyarakat minang sehingga dapat exist dan unggul dimanapun mereka berada dibudayakan dengan kesungguhan, sehingga spririt kekeluargaan tetap dapat di maintain tidak lekang oleh paneh dan tidak susut kehujanan, prinsif ini sangan penting dalam menjalani kehidupan di jaman yang serba hedonis dan matrealistis sekarang ini. Sungguh postingan ini menyadarkan saya bahwa merubah budaya tidaklah semudah yang kita pikirkan, banyak jalin menjalinnya dengan aspek yang lain, dan jika tidak hati-hati maka akan menimbulkan pertengkaran hebat diantara kita sendiri Demikian sekedar sharing dari saya, semoga diskusi ini bisa ditindak lanjuti oleh fungsi-fungsi yang lebih berkompetent di ranah minang, sehingga keharmonisan dapat tetap terjaga, karena kehidupan sosial sangat dinamis kalau kita tidak dapat mengadaptasi nilai-nilai yang menguntungkan untuk tetap bertahannya budaya minang, maka kita akan tergerus oleh perkembangan zaman, jika kita tidak keras untuk merobah kekurangan kita maka kehipanlah yang akan keras merubah kita dengan tanpa belas kasihan. Reply 10. 10 ~padusi~March 2, 2009 at 1:18 pm

Salam sanak-sanak yang sudi berdiskusi di web blog ini. Dalam menyikapi adat dan tradisi kita memang harus berpikir jernih. Artinya tentu kita mencari tahu lebih dahulu bagaimana riwayat lahirnya tradisi dan apa yang membedakan dengan adat. Keunikan adat istiadat minangkabau adalah karena sistem matriarkal yang hanya segelintir saja bangsa- bangsa didunia ini yang menganut sistem Matriarkal ini.Untuk minangkabau munculnya sistem matriarkal telah saya kupas didalam artikel tersendiri yang berjudl Histori Matriarkal didalam blog bundokanduang ini. silahkan telusuri. Bahwa tradisi jemputan ini memang masih ada tidak bisa dipungkiri, seperti di pariaman dan pesisir pantai barat sumbar. Akan tetapi tradisi ini bukanlah adat. Bagi sanak-sanak yang ingin berdiskusi seputar adat yang terkait dengan dunia wanita, silahkan bergabung di milist bundokanduang, caranya dengan mendaftarkan diri ke alamat ; [email protected]. mudah kan.!!! Reply 11. 11 adityajasonApril 4, 2009 at 9:03 am

Saya pariaman tulen. Perlu saya luruskan yang menjadi permasalahan adalah uang ilang bukan japutan. Setahu saya uang japutan sudah ada sejak pariaman ada. tapi uyang menjadi perdebatan adalah Uang Ilang. Bagi saya Uang Ilang itu sah-sah saja. Memang kalau anda bukan orang pariaman sulit menerimanya. Namun Coba tanya kepada orang yang asli pariaman. pasti setiap orang tua yang menginginkan bermenantu laki-laki pariaman pasti sudah jauh-jauh hari mengumpulkan dana untuk itu. Lainnya hal jika orang itu tidak tulen pariaman alias sudah tidak menghiraukan budaya Pariaman tentunya mereka juga tidak menutup kemungkinan bercampur dengan suku lain. bahkan mereka memasang tarif yang fantastis buat putri mereka dalam bentuk Mahar. Artinya sama saja dalam hal jemputan/Mahar tadi. Namun bila orang pariaman asli akan sangat faham mengapa sampai harus ada Uang Ilang atau paling tidak saya pernah mendengar cerita dari ortu saya asal muasal Uang Ilang itu. Masih di jaman 1900 an, dahulu di pariaman tidak ada istilah uang ilang. Sampai suatu hari ada keluarga di pariaman yang menginginkan si A sebagai calon suami untuk putrinya. Namun sayang Putrinya ini (maaf) cacat pada salah bagian tubuhnya.

Pada saat Keluarga ini mendatangi keluarga si A untuk menanyakan kesediaan Si A untuk putrinya, maka Si A menyanggupi dengan satu syarat yaitu minta dibelikan kereta Angin (sepeda). Untuk keperluan usahanya. Kemudian Pulanglah Utusan tadi dan menceritakan permintaan Si A tadi kepada Keluarga dan putrinya.Keluarga waktu banyak yang kesal dan kecewa. namun sang putri tadi berkata kepada keluarganya : Mamak, Apo salahnyo diusahakan, Kan Ambo Juo nan Mamakai nanti. Mendengar Perkataan itu maka sepakatlah para mamak (paman garis ibu) untuk mencarikan dana pembeli Sepeda tadi. Jadi Apa yang akan kita berikan kepada menantu tentunya anak kita juga yang memakai nanti. lagian Memang nampaknya budaya ini tidak cocok untuk cowok pariaman di era zaman sekarang yang kebanyakan tidak mengerti adat istiadat, etika seorang laki-laki minang sejati. Jika Laki-laki minang sejati akan bertanggung jawab kepada kelaurganya dan bila terjadi perceraian tidak akan mengharapkan harta benda seluruh harta bendanya akan ditinggalkan bagi anak dan istrinya kecuali baju di badan. Di samping itu bagi Keluarga pariaman yang memiliki anak laki tidak begitu saja menerima uang ilang tadi, melainkan menantunya pun di isi dengan harta benda seperti, perhiasan emas dan kain songket bersulam emas. Jadi Pepatah Minang Cakak nan Lamak Kalau Babaleh berlaku di sini. Contohnya saya, setelah saya renungkan apa yang diberikan mertua saya dulu kepada saya sebagai uang ilang ternyata tidak sebanding dengan apa yang saya berikan kepada istri saya; Putri mereka. Karena Minang matrilineal maka seluruh harta pencarian saya sudah barang tentu untuk istri saya dan keluarga. Apabila saya meninggal maka tidak serupiah pun menjadi hak keluarga saya, akan tetapi 100% menjadi hak istri dan anak saya. Padahal Orang tua saya menghidupkan saya sampai ke bangku sarjana tidak sedikit mengeluarkan dana sampai saya bekerja. namun setelah menikah semua jerih payah ibu banyaklah istri yang merasakan. Artinya sejak lahir sampai 25 tahun, amak dan abak bersusah payah, namun setelah menikah di umur 28 sampai akhir hayat istri dan anaklah yang merasakan manfaatnya.

Jadi janganlah Orang yang tidak mengerti adat pariaman mencela, hanya karena uang sekian juta atau puluh juta saja. Saya bangga dengan adat minang khususnya pariaman, dan saya bangga menjadi orang pariaman. Dan kalau pariaman terasa berat, itu disebabkan rasa orang itu tidak pariaman tulen lagi alias bercampur. Reply 12. 12 ~padusi~April 6, 2009 at 6:43 am

[R@ntau-Net] Re: Tradisi uang jemputan bukanlah adat minangkabau. Sunday, April 5, 2009 7:14 PM From: Sjamsir Alam To:[email protected] Sato mak Sati snek maota ttg uang japutan di ranah Padang Pariaman. Partamo urang rumah ambo dari daerah iko. Nan kaduo, sangkek jadi bujang salamaik saisuak, hampia 20 tahun ambo manjojoan ilmu supayo sadoalahe sikola mulai mambuka perpustakaan sikolanyo, dan dalam kegiatan nan biasonyo 3 hari, ambo bamalam di lokasi, acok di rumah sikola dima kegiatan tu diadokan. Tantu se ambo dikawani dek guru, kapalo sikola dan penilik SD, kadang2 juo SMP dan SMA. Nah, saaik2 saroman ko sambuah ota nan kalua, dan di daerah Padang Pariaman tantu sajo antaro lain masalah uang japutan ko. Ko saripati ota tu ha. Ado 3 macam uang ko nan dimintak pihak calon marapulai dari calon anak daro, japutan, uang hilang dan uang dapua. Japutan ko biasonya dalam bantuak ameh, diantakan ka rumah rang gaek calon marapulai sabalun alek. Namun, jan salah sangko, saaik marapulai pulang ka rumah anak daro, marapulai WAJIB mambao perhiasan ameh untuak anak daro dalam jumlah nan LABIAH BANYAK dari ameh japutan. Jadi pihak anak daro indak rugi bagai doh, malah balabo. Nan parah tu adolah uang hilang, bisa dalam bantuak pitih atau barang, sampai mobil baru bagai. Makin tinggi status sosial marapulai makin tinggi tuntutannyo. Kalau saisuak, nan bagala SIDI adolah pemilik status sosial nan paliang tinggi dan uang hilangnyo makin gadang, apo lai kok Sidi ko kayo, pagawai bapangkaik, urang tapandang, dsb.

Biasonyo disampiang itu, anak daro dimintak pulo mambalikan stelan baju jas sapatagak. Di bawahnyo nan bagala BAGINDO dan dibawah itu SUTAN. Nan indak bagala salah satu nan 3 ko, biasonyo asa ado sajo, malah acok perai. Uang hilang ko asanyo saisuak dianggap sebagai bantuan pihak anak daro untuak pasangan baru ko mamulai hidup baru dalam rumah tangga mereka. Sasuai jo namonyo, marapulai indak mambao pangganti ka rumah anak daro, jadi pitih atau barang ko sabana hilang. Uang dapua adolah juo uang hilang, tapi untuak mambantu alek marapulai.Banyaknyo tagantuang kasepakatan. Sajak pacaran lah bisa ditarimo dek masarakaik Piaman, acok sagalo pitih ko semacam formalitas sajo. Sagalo pitih ko dikumpuakan dek pasangan ko baduo, atau kalau si bujang lai basaku taba dan sangaik ngebet mancintai si gadih, sadonyo barasa dari si bujang. Jauah sabalun acara prosesi sagalo persiapan ko lah ado ditangan si gadih dan pado saaiknyo, japutan dan uang hilang ko, dibao ka rumah calon marapulai. Mungkin ado variasi dari kampuang ka kampuang, sabab adaik kan salingka nagari. mak Sati (L. 72+1+4) Tabiang Reply 13. 13 ~padusi~April 6, 2009 at 7:02 am

[R@ntau-Net] Re: Tradisi uang jemputan bukanlah adat minangkabau. Waalaikumsalam w.w. Sanak Adha Jamil dan para sanak sa palanta, Sajak dari Anduang ambo Siti Fathimah manantang adaik bajapuik itu di kampuang halaman baliau di Lagan, Kampuang Dalam, Pariaman, pado awal abad ka 20, keluarga kami konsekuen manantang adaik India tu (dowry), walau kami baasa dari Pariaman. Sampai kini insya Allah indak ado tipak kami nan laki-laki nan mamintak atau manarimo uang jamputan tu. Lai ka mungkin nan padusi pulo nan ka mambayia ka nan laki-laki ? Indak masuak aka.

Wassalam, Saafroedin Bahar (L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo; Lagan, Kampuang Dalam, Pariaman.) Basuku ka Ibu; banasab ka Bapak; basako ka Mamak Alternate e-mail address: saaf10leo@; saafroedin.bahar@ Reply 14. 14 ~padusi~April 7, 2009 at 2:19 am

Komentar dari RANTAUNET [R@ntau-Net] Re: Tradisi uang jemputan bukanlah adat minangkabau. Sunday, April 5, 2009 10:34 PM From:Dewi Mutiara To:[email protected] Ass.Wr.Wb. Saya bukan seorang penulis yang baik, tapi ada yang ingin saya sampaikan sehubungan dengan UANG JEMPUTAN yang masih dipakai dalam tata cara adat perkawinan di Minangkabau khususnya Pariaman , saya rasa sulit dihilangkan dan memang tidak perlu dihilangkan. Kenapa? Uang jemputan selama itu masih logis ,tidak berlebihan dan dapat diterima kenapa tidak. Sebagai orang minang yang memakai tatacara dari garis ibu ,yang kita harus akui tanpa sadar diikuti oleh suku2 yang mengikuti garis bapak atau parental, justru orang minang lebih jujur menjalaninya. Setiap anak perempuan apabila baru berumahtangga selalu ingin dekat dengan ibunya ,dalam mengarungi bahtera rumahtangga selalu lebih suka bertanya kepada ibu , beda dengan anak laki-laki yang keluar dari rumah menjadi kepala keluarga ,cendrung mengikuti istri. Anak laki-laki keluar dari rumahnya untuk mengarungi rumahtangga sebagai kepala keluarga dan menjaga keharmonisan keluarga khususnya antara ibu dan istrinya. Saya tidak katakan kita membeli anak laki-lakinya, setiap orang tua sangat ikhlas membesarkan anak-anaknya. Kita hanya menghargai orangtua laki-laki yang sudah sukses membesarkan anaknya dan mengizinkan untuk menjadi pelindung bagi anak gadis kita dan keluarganya kelak. Jadi dengan berpikir positif kita bisa menerima adanya UANG

JEMPUTAN. Jujur sewaktu saya yang menjalaninya, saya sangat menolak ,,saya merasa sejajar kok sama-sama sarjana dan sebagainya. Tetapi berkat penerangan yang jelas dan sangat baik dari IBU saya,saya bisa menerimanya dengan ikhlas semua tatacara adat perkawinan di Minangkabau khususnya PARIAMAN. Untuk penjelasan yang jelas mengenai UANG JEMPUTAN saya bukan ahlinya. Maaf kalau penyampaian saya kurang berkenan. Wassalam. Dewi Mutiara, suku Sikumbang. Reply 15. 15 ~padusi~April 7, 2009 at 2:57 am

Komentar dari RANTAU NET From: adha jamil Subject: [R@ntau-Net] Re: Tradisi uang jemputan bukanlah adat minangkabau. To: [email protected] Date: Monday, April 6, 2009, 9:15 AM Assallamualaikum Wr Wb..dunsanak di palanta nan Mulie ..manyimak ulasan/komentar testimoni dunsanak2 di palanta, ambo raso lai ado informasi nan berimbang satantang adat uang jemputan di Ranah Piaman. Satiok pribadi buliah2 sajo ba komentar sasuai jo kondisi liau msg2, dan kito tetap menghargai. Sasuai pulo jo konteks diskusi di ateh, ado ungkapan dalam mamakai adaik abih adaik dek bakarila an . Katiko duo keluarga basuo di titik abih adaik dek bakarila an tu, otomatis uang japutan tidak ada sama sekali. Dan kasus ini banyak juo terjadi. Nilai positif dari tradisi uang japutan manuruik ambo 1. Kental nya tradisi gotong royong (malam badoncek di rumah anak daro) 2. Kamanakan Ba rajo Ka Mamak & Anak di pangku Kamanakan di bimbiang dalam situasi ini sangat terasa 3. Kalau manuruik ambo, sapancaliaik an hinggo kini bahwasanya di ranah pariaman persentase anak gadih nan jadi perawan tua sangat sedikit. rila jo maaf di pinta jiko ado nan kurang ba bileh nyo.

Wassallam..Ajo Manih di Lapau Suduik Reply 16. 16 siakbrainzApril 17, 2009 at 4:16 pm

ass ehm coment dikit yamungkin saya tidak banyak mengerti tentang adat minangtetapi bagi saya yang telah ada ,jadi adat itu perlu dilestarikan..terlepas dari memberatkan atau tidak itu tergantung kita apakah kita mau adat itu tetap adajika memang kita mau adat itu tetap ada, janganlah samapi adat itu memberatkankarna saya yakin adat yang dibuat oleh nenek moyang kita dahulu tujuannya untuk anak cucunya juga.jadi tidak ada yang salh dengan adat.yang selalu salh itu kita yang menjalankannya..bagi yang mo diskusi kunjungi blog saya Reply 17. 17 TataMay 5, 2009 at 1:05 pm

Jika perempuan memberikan uang kepada laki-laki maka tidak lain dan tidak bukan perempuanlah yang melamar laki-laki (sama seperti di India) Sangat menyelisihi dengan Islam. Dalam Islam laki-lakilah yang melamar perempuan. Dan jika tradisi uang jemputan/uang hilang tetap dilestarikan maka pernikahannya jauh dari rahmat Alloh/tidak diberkahi Alloh taala Dan juga orang hindu dan yahudi bernasab/berketurunan ke Ibu. Islam melalui Rosululloh mensyariatkan bahwa muslim bernasab/berketurunan ke Bapaknya Setiap yang menyelisihi Islam akan berdampak buruk, cepat ataupun lambat kecuali orang-orang yang bertobat Hanya Alloh yang memberi petunjuk. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rosululloh, keluarganya, seluruh sahabatnya dan pengikut sunnahnya hingga hari kiamat Reply 18. 18 NajamuddinJune 11, 2009 at 2:54 am

Saya sendiri tidak suka mengapalah seorang laki laki dianggap rendah di dalam adat dan keseharian di Pariaman. laki laki itu adalah khalifah didalam islam. saya merasa kasian melihat seorang ayah diperlakukan tidak adil didalam keluarga, kadang dibentak, kadang tidak diperdulikan. Padahal didalam Hukum Islam seorang anak harus bersikap adil pada orang tua. saya menyarankan hargailah orang tua agar mereka tenang dihari tua. dan saya berpesan. bagaimana sikap kita kepada Ayah Ibu, akan seperti itulah yang kita dapatkan dari anak anak kita nanti. jangan harapkan kita akan dihormati, disayangi anak anak kelak, apa bila kita tak hormat pada Kedua Orang Tua. kalau kita tak adil pada orang tua. Reply 19. 19 adityajasonJune 13, 2009 at 3:59 am

adat berilmu menghukum, adat bodoh menurut. bagi kawan TATA dan najamudin yang suka menentangkan adat minang/pariaman dengan agama islam nampaknya bolehlah belajar lagi ke gurunya. atau jangan-jangan guru kawan-kawan ini sebuah buku. Jadi yang mengajarnya adalah buku yang tuli, bisu, dan buta dan jauh sekali dari yang namanya rasa. tapi nampaknya saya perlu sampaikan lagi komentar rekan di atas : Diminang : suku berdasar ibu, nasab berdasarkan ayah, pusaka bedasarkan paman garis ibu(mamak). Jadi jelas nasab tetap ke Bapak dan bersesuaian dengan hukum islam. Mengenai komentar laki-laki pariaman hina. manusia di lahirkan dalam bentuk yang kompleks sekali, dan itu juga berlaku untuk setiap manusia di pariaman sebagai bagian dari koloni manusia yang ada di dunia ini. Jadi mungkin yang anda temukan dalam pengalaman anda adalah Laki-laki pariaman yang pandie, laki-laki nan indak tau di ampek. tidak ada seorang ayah di pariaman yang diam saja dibentak oleh anak atau orang yang lebih muda usia, kecuali itu Ayah sudah tele sabananyo. Dan tidak ada pula anak di pariaman atau yang lebih muda berani membentak ayahnya atau yang lebih tua dari nya kecuali anak itu pandie atau tele. Dan jauh sebelum anda lahir bahkan sebelum islam masuk ke Pulau andalas ini, Adat budaya dan beretika sudah ada di minang. tapi saya kalau boleh mengkritik, di jawa sudah sangat jelas adatnya bertentangan dengan hukum islam, yakni cara berpakaian yang

bertelanjang dada bagi wanitanya. kenapa kawan-kawan yang pandai hukum islam tidak mengkritik di sana. saya rasa kritikan itu lebih pantas dibebankan ke sana. Semakin saya mendalami adat minang, semakin saya kagum dengan leluhur saya. karena adat yang diturunkan bersesuaian dengan hukum logika. apalagi setelah masuknya islam, disesuaikan pula dengan hukum_hukum islam. Dan bagi kawan-kawan pariaman yang sudah maju berfikirnya, cobalah untuk sedikit berfikir jernih, banyak bertanya kepada orang tua yang berfaham. jangan gara-gara anda cinta kepada pacar anda, kemudian anda melawan kehendak orang tua bahkan menyalahkan adat budaya. Coba anda renungkan ini; Ada seorang bapak (keturunan lampung), pada saat saya akan menikah, saya bekonsultasi dengan beliau, beliau memberi wejangan kepada saya katanya apabila laki-laki dihadapkan ke dalam du pilihan antara rasa cinta dan kemauan orang tua terutama ibu, maka ketahuilah ibu hanya satu dan wanita itu banyak. menyakiti hati ibu berarti kita menyakiti satu-satunya orang di dunia ini yang menyayangi anda lebih dari siapapun. tapi bila anda meyakiti hati pacar anda, anda hanya menyakiti 1 orang dari sekian juta wanita yang ada di dunia ini yang rasanya sayangnya jauh sekali dibawah sayang ibu kepada anda. bila anda orang pariaman asli, bukankah ada budi putra minang/pariaman kepada ibunya yang mengatakan, menantang pinto mandeh sarupo manantang matohari. Kalau anda tidak berprinsip seperti ini jelaslah kalau anda bukan putra minang/pariaman tulen. adat basandi syara`, syara` basandi kitabullaah. Bukankah islam mengajarkan syurga itu di bawah telapak kaki ibu? dan suami adalah junjungan bagi istri? Kalau ada laki-laki yang sanggup menyakiti hati ibu, laki-laki itulah yang hina sebenarnya. Di sini saya juga ingin membahas masalah gender, kepada para kaum wanita muslim umumnya dan wanita pariaman khususnya dalam islam tidak ada yang namanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di dunia ini. yang ada itu setiap jiwa itu sam haknya di sisi ALLAAH SWT. boleh jadi istri lebih mulia di sisi ALLAAH dari pada suaminya. tapi di dunia ini ALLAAH sudah menciptakan karakteristik manusia dengan jenis yang berbeda dan dengan fungsi pokok yang berbeda pula. kalaulah sama kenapa tidak dibuat sama saja. wahai kaum wanita, renungkanlah!

Hak suami memimpin, hak wanita dipimpin dalam rumah tangga. Hak tinggi menjatuhkan, hak rendah menerima. Hak api membakar, hak air membasahi. dan lain-lain hukum alam. bukankah salah satu prinsip orang minang :alam takambang jadi guru ? Suami sebagai pemimpin bukanlah hak untuk menzalimi. dan istri sebagai yang dipimpin bukanlah hak untuk dizalimi. tidak ada suami pada saat ijab kabul yang bercita-cita menzalimi istrinya, kecuali GILA. Kalaulah ada suami (apalagi orang minang/pariaman) memukul istri tanpa sebab, mungkin si suami dari pada dilaporkan ke polisi mending masukan ke rumah sakit jiwa. bagi yang kurang jelas Silahkah kunjungi saya di http://www.sutan-pariman.blogspot.com Reply 20. 20 inaJune 19, 2009 at 5:17 pm

selamat malam menurut ambo budaya uang jemputan dan uang hilang sekarang sudah mulai terkikis di pariaman contohnyo,adik sepupu ambo yang menikahi wanita asal lintau,keluarga kami malah tidak menerapkan uang jemputan dan uang hilang. malah pesta dilaksanakan di rumah kami istilahnyo balapeh-lapeh sajo menurut ambo,uang jemput dan uang hilang dalam zaman yang sudah modern saat iko,memang tergantung komunikasi kedua belah pihak khususnya calon pengantin yang hendak menikah Reply 21. 21 Ir. SukardimanJune 24, 2009 at 2:04 am

Sanak Adityajason yang saya hormati, Emak saya sangat sayang pada saya dan anak-anaknya yang lain, bahkan pada kamanakan dan urang kampuang beliau selalu mampatenggangkan, tidak sedikit urang sakampuang yang beliau bantu untuk mentas dan menempuh hidup yang lebih baik daripada ketika mereka hidup di ranah, apalagi perjuangan

beliau untuk memberikan kehidupan yang lebih baik buat anak anaknya, dengan bersimabah peluh dan beruarai air mata tanpa banyak cingcong beliau mengentaskan anak-anaknya untuk menjadi urang dengan segala pengorbanan dan jerih payah yang tidak beliau hitung dengan pamrih, tapi anak-anaknya sangat hormat kepada beliau, begitu juga orang-orang yang telah beliau bantu selalu datang mengunjungi emaku baik dalam keadaan suka maupun duka. Pada saat menikahkan anaknya beliau tidak menuntut uang japui, uang ilang, uang dapua, atau uang-uang lain yang dipersyaratkan oleh adat yang diadatkan seperti yang berlaku di kampung kami karanaur pariaman, beliau hanya berpesan jika kalian sudah menikah binalah rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah, dan kalau kalian berezeki bantulah dunsanak baik kakak, adik, kamanakan, bahkan urang kampung baik sapasukuan atau tidak yang mengalami kesulitan hidup di rantau bandung ini, dan kebetulan beliau membina dua perkumpulan minang asal pariaman yaitu Syukur (Sunur-Kuraitaji)kampung asal Abak kami dan Perkumpulan As-sakinah (Damai) yang terdiri dari komunitas minang yang berasal dari Karanaur, Taluk, Binasi, Cimparuah, dan beberapa dari sungai sariek. Memang kalau dunsanak yang menikah di kampuang beliau masih mampatenggangkan adat yang diadatkan itu ditolerir tapi dengan kompromi agar seluruh dunsanak melaksanakan badantam menyumbang sesuai kemampuannya untuk meringankan baban barek yang ditanggung oleh induk parusi yang manjapui marapulai,tapi tentu saja dengan besaran yang masuk akal dan mampu ditanggung oleh seluruh dunsanak urang sapangka dan alakadarnya dari urang nagari pada malam setelah pernikahan untuk berkumpul mancari pitih guna membayar uang japui tersebut, so tidak sepenuhnya menjadi beban yang punya hajat karena preseden buruk sudah banyak terjadi dek maajan tuah cirik tapanca, sampai berhutang dan menggadai terjadi pada beberapa kaum untuk memenuhi uang japui yang dipesyaratkan oleh keluarga mempelai lakilaki, tetunya ini perlu ada koreksi dari kita kalau memang punya prinsif alam takambang jadi guru, dan alam sudah memperingatkan dikarenakan populasi manusia minang semakin berkembang pesat dan tanah pusako beserta hasilnya tidak sanggup lagi menanggung beban ekonomi yang dipersyaratkan adat yang diadatkan tersebut maka tentunya kita harus perpikir ulang dan menganalisa apakah hal-hal yang menimbulkan mudharat tersebut harus tetap dipertahankan dengan segala risiko dan ekses negatif yang menyertainya, itu tentu terpulang kepada pribadi masing-masing seperti banyak komentar yang disampaikan di postingan diatas salam , dan mohon maaf jika ada yang tak berkenan dihati sanak Reply 22. 22 IndraJune 24, 2009 at 4:29 pm

Assalamualakum wr.wb Maaf ko dunsanak sadonyo kok tasingguang banyak urang awak Piaman apo lai nan urang awak bukan Piaman nan ndak mangarati/baru mangarati jo adaik awak surang. Ambo lahir jo gadang dirantau, gaek kaduonya asli urang awak Piaman. Ambo lahia di Palembang gadang di Palembang. Kok adaik Minang (khususnyo adaik awak Piaman) jauah bana beda jo adaik urang Palembang. Kok di Palembang banyak anak gadih nan manjadi gadih tuo. Baa bisa tajadi, dek urang Palembang dulunyo maminta mahar anak gadihnyo talampau tinggi. Sadangkan alun tantu laki-laki urang Palembang tu bapitih sadonyo. Sadangkan nan tajadi di Pariaman sabaliaknyo banyak nan balaki daripado nan jadi gadih tuo. Nan ambo tanyo kini adaik urang awak Piaman ko nan salah apo adaik urang Palembang tu nan salah (nan memberlakukan laki laki melamar padusi/mungkin hampia sadonyo adaik suku lain memperlakukan hal mode tu)? Itu saja pertanyaan saya, sekarang saya ingin memberikan sedikit pendapat pribadi saya sebagai oran Minang yang di lahirkan di besarkan dengan adat istiadat yang berbeda jauh dengan adat y