trakeostomi dan suction
DESCRIPTION
healthTRANSCRIPT
A. PENGERTIAN TRAKHEOSTOMI
Trakheostomi adalah tindakan pembedahan dengan
membuat insisi pada trachea untuk memasukkan pipa
trakheostomi (tracheostomy tube), sehingga klien dapat
bernafas melalui pipa tersebut (deWit, 1998:455).
Trakheostomi meerupakan prosedur penyelamatan hidup
(life-saving procedur) yang hanya dikerjakan ketika semua
pilihan penatalaksanaan jalan nafas (airway management) tidak
mungkin dilaksanakan (Black & Jacobs, 1997:1067). Prosedur
ini dilakukan ketika pemasangan pipa endotrakheal
(endotracheal tube) melalui hidung maupun mulut tidak
mungkin atau sulit dilakukan (deWit, 1998:455).
Walaupun demikian trakheostomi tidak hanya dilakukan
sebagai prosedur darurat (emergency procedur). Prosedur ini
juga dapat dilaksanakan secara terencana (elective operation).
B. INDIKASI TRAKHEOSTOMI
Trakheostomi dikerjakan atas indikasi sebagai berikut (Black
& Jacobs, 1997:1067) :
a. Dibutuhkan untuk penggunaan jalan nafas buatan (artificial
airway) yang lama
b. Sumbatan jalan nafas bagian atas
c. Perdarahan jalan nafas bagian atas
d. Penurunan derajat kesadaran dan ketidak mampuan untuk
menjaga jalan nafas bagian bawah
e. Ketidak mampuan untuk membersihkan jalan nafas bagian
bawah
f. Dibutuhkan untuk ventilasi mekanik yang terus menerus
g. Pemasangan pipa endotrakheal yang lam dapat menyebabkan
erosi dan infeksi
h. Fraktur laring atau trachea
i. Luka bakar jalan nafas (airway burns)
C. TUJUAN TRAKHEOSTOMI
Menurut deWit (1998:455) trakheostomi dikerjakan
untuk :
1. Membantu atau mengontrol ventilasi mekanik yang
digunakan dalam waktu yang lama
2. Menyediakan fasilitas penghisapan secret jalan nafas pada
klien yang tidak bisa batuk
3. Mencegah aspirasi substansi mulut dan lambung (oral and
gastric substance) seperti pada klien tidak sadar atau paralysis
4. Membuat jalan pintas (bypass) pada konstriksi atau obstruksi
jalan nafas (sebagai akibat darai ederma laring, adanya benda
asing atau tumor, prosedur pembedahan yang melibatkan leher,
luka bakar yang berat, trauma wajah atau dada)
D. MACAM-MACAM PIPA TRAKHEOSTOMI
Terdapat berbagai macam pipa trakheostomi (tracheostomy
tube). Variasi ini meliputi komposisi bahan pembentuknya,
jumlah bagiannya, bentuknya dan ukurannya (Black & Jacobs,
1997:1067). Menurut bahan pembentuknya pipa trakheostomi
bisa terbuat dare semiflexible plastic, rigid plastic, atau metal.
Berdasarkan jumlah bagiannya pipa trakheostomi ada yang
disebut single cannula karena hanya memiliki satu cannula dan
double cannula karena memiliki dua cannula. Di samping itu
pipa trakheostomi ada yang memiliki balon (cuffed) yang bisa
dikembangkan dan ada yang tidak memiliki balon (uncuffed).
Pipa trakheostomi juga ada yang memiliki lubang di outer
cannula-nya yang disebut fenestrated tracheostomy tube.
Berbagai macam pipa trakheostomi tersebut tersedia dalam
berbagai ukuran dan derajat kelengkungan kurvanya. Sudut
kelengkungannya biasanya antara 50 sampai 90 derajat.
Disamping itu pipa trakheostomi ada yang panjang dan ada
juga yang pendek.
Pemilihan pipa trakheostomi harus disesuaikan dengan kondisi
klien. Diameter pipa trakheostomi harus lebih kecil dibanding
lubang trachea. Diameter pipa trakheostomi yang terlalu besar
akan merusak mukosa dinding trachea dan menyebabkan
nekrosis. Tetapi diameter pipa trakheostomi juga tidak boleh
terlalu kecil, sehingga tidak mudah lepas. Disamping diameter,
panjang pipa trakheostomi juga harus dipertimbangkan. Pipa
yang terlalu pendek akan mudah lepas. Tetapi pipa yang terlalu
panjang akan mengenai karina dan akan merusaknya.
Berdasarkan bentuk dan kegunaannya, macam-macam pipa
trakheostomi dapat dijelaskan sebagai berikut (Black & Jacobs,
1997:1068) :
1. Universal Tracheostomy Tube
Pipa trakheostomi yang paling umum adalah universal
tracheostomy tube yang memiliki tiga bagian, yaitu Outer
cannula with cuff, flange and pilot tube, inner cannula,
obsturator. Ketiga bagian ini digabung menjadi satu unit dan
tidak boleh tertukar dengan unit yang lain.
Outer cannula dimasukkan kedalam stoma trakheostomi agar
tetap terbuka, sehingga udara dapat melalui kanula tersebut.
Outer cannula memiliki flange atau neckplate yang memiliki
lubang untuk tali yang dapat diikatkan pada leher, sehingga
dapat mempertahankan posisi kanula.
Obsturator harus tetap berada di dalam outer cannula sebelum
dimasukkan ke dalam stoma trakheostomi. Ujung obsturator
yang bulat dan halus menghindari trauma pada saat
dimasukkan. Obsturator harus segera dilepas begitu outer
cannula sudah dimasukkan kedalam stoma. Letakkan
obsturator didalam tempatnya dan tempatkan diatas kepala
klien, sehingga mudah dijangkau. Hal ini akan dibutuhkan bila
sewaktu-waktu outer cannula-nya lepas dan harus dimasukkan
lagi.
Begitu obsturator dilepaskan dare outer cannula, inner
cannula harus segera dipasang. Kunci pada tempatnya agar
tidak lepas. Inner cannula menjaga jalan nafas tetap terbuka
karena dapat dibersihkan lebih sering. Inner cannula dapat
diambil dan dibersihkan dengan mudah.
2. Single-Cannula Tracheostomy Tube
Pipa trakheostomi tipe ini lebih ramping dibanding double-
cannula tube. Karena tidak memiliki inner cannula, sehingga
tidak dapat dibersihkan untuk membuang secret. Klien dengan
sibngle-cannula tube harus mendapatkan humidification yang
terus menerus untuk mencegah sumbatan oleh penumpukan
secret. Single-cannula tube yang lebih panjang digunakan
untuk klien dengan leher yang gemuk.
3. Fenestrated Tracheostomy Tube
Dinamakan fenestrated tracheostomy tube karena memiliki
lubang (fenestration) pada dinding outer cannula, tepatnya di
curvatura posterior. Ketika inner cannula dilepas, lubang
(fenestration) akan dilewati udara, sehingga memungkinkan
klien untuk bersuara. Hal ini karena udara yang melalui lubang
tersebut akan menggetarkan pita suara, sehingga dapat
menimbulkan suara. Disamping itu, klien juga dapat batuk
lebih efektif. Prosedur ini digunakan pada :
a. Klien yang sedang berada pada tahap penyapihan dare pipa
trakheostomi
b. Klien yang membutuhkan pipa trakheostomi dalam jangka
waktu yang lama
Menurut Weilitz and Dettenmeier (1994) pemakaian
fenestrated tracheostromy tube tidak direkomendasikan untuk
klien yang beresiko terjadi aspirasi (Taylor, Lilis & LeMone,
1997:1346).
4. Talking Tracheostomy
Untuk kepentingan ini dibutuhkan katub satu arah (one-way
valve) yang diikatkan 15 mm pada ujung akhir inner cannula
pada universal tracheostomy tube. Model ini memungkinkan
klien berbicara tanpa harus melepas pipa trakheostomi. Hal ini
karena selama inspirasi udara dapat memasuki paru melalui
katub satu arah tersebut. Tetapi ketika ekspirasi, katub akan
menutup dan udara akan menggerakkan pita suara, sehingga
dapat digunakan untuk berbicara. Model ini juga
memungkinkan klien untuk batuk lebih efektif.
Talking tracheostomy ini tidak pernah digunakan bila tidak ada
ruangan di sekitar pipa trakheostomi yang memungkinkan
dilewatai udara untuk pernafasan. Sebelum penggunaan talking
tracheostomy ini balon pipa harus selalu dikempiskan.
Pengembangan balon beresiko terjadinya mati lemas
(suffocation).
5. Communitrach Tube
Pipa jenis ini memungkinkan klien untuk berbicara, tetapi
membutuhkan koordinasi. Suatu pipa jalan udara (seperti pipa
kedua) berada diluar communitrach dan hanya membuka di
atas balon. Terdapat sebuah pintu pada akhir dare pipa tersebut.
Ketika pintu tersebut ditutup, maka udara yang tertekan akan
berjalan sepanjang pipa tersebut dan akan menimbulkan
getaran pada pita suara. Dengan demikian klien dapat
berbicara, walaupun tidak dengan suara yang normal.
6. Tracheostomy Button
Tracheostomy button ini kadang-kadang digunakan selama
masa penyapihan. Tracheostomy button ini pendek dan
memiliki sumbat yang bisa dirubah (removable) dengan
penutup satu arah di dalamnya. Sumbat ini hanya
memungkinkan dilalui udara saat inspirasi. Udara ekspirasi
akan melalui saluran nafas bagian atas. Dengan demikian klien
akan dapat berbicara.
7. Permanent Tracheostomy
Pada umumnya klien dengan permanent tracheostomy
menggunakan universal tracheostomy tube yang tidak memiliki
balon (cuffles) atau Olimpic tracheostomy button. Untuk
meminimalkan (mengaburkan) penampilan pipa trakheostomi,
banyak klien yang menggunakan low-profile inner cannula.
8. Metal Tracheostomy Tube
Pipa jenis ini terbuat dare sterling silver atau stainless steel.
Yang paling terkenal dare jenis ini adalah Jackson
tracheostomy tube. Pipa ini tidak memiliki balon (uncuffed).
Pipa metal paling sering digunakan mengikuti permanent
tracheostomy atau laringectomy. Inner cannula terkunci
bersama dengan outer cannula.
E. KOMPLIKASI PEMAKAIAN PIPA
TRAKHEOSTOMI
Pemakaian pipa trakheostomi dapat menimbulkan berbagai
macam masalah, yaitu (Black & Jacobs, 1997:1070):
1. Nekrosis Dinding Trakhea (Tracheal Wall Necrosis)
Nekrosis dapat terjadi antara dinding posterior trachea dan
esophagus. Keadaan ini disebut tracheoesophageal fistula.
Fistula ini memungkinkan udara memasuki lambung dan
menyebabkan distensi. Disamping itu juga dapat merangsang
terjadinya aspirasi cairan lambung (gastric contents). Fistula
ini paling sering terjadi pada pemakaian pipa trakheostomi
yang menggunakan balon dan digunakan bersama dengan pipa
nasogstric (nasogstric tube).
Nekrosis pada dinding anterior trachea dapat menyebabkan
erosi pada arteri. Tetapi kondisi ini jarang terjadi.
2. Dilatasi Trakhea (Tracheal Dilatation)
Pemakaian pipa trakheostomi dalam jangka waktu yang lama
dapat menimbulkan dilatasi trachea. Hal ini terutama pada
penggunaan pipa trakheostomi dengan balon. Dilatasi trachea
biasanya ditandai dengan dibutuhkannya penambahan udara
pada balon untuk memfiksasi pipa atau ditemukannya
pembengkakan pada dinding trachea pada rongten.
3. Stenosis Trakhea (Tracheal Stenosis)
Stenosis trachea berupa suatau penyempitan saluran trachea
yang dapat terjadi antara 1 minggu sampai 2 tahun setelah
intubasi. Kondisi ini merupakan hasil dari bentukan bekas luka
yang mengalami keradangan.
4. Sumbatan Jalan Nafas (Airway Obstruction)
Aliran udara melalui pipa trakheostomi dapat mengalami
penyumbatan oleh berbagai sebab. Mungkin disebabkan oleh
berubahnya posisi pipa atau karena terlalu besarnya
(overinflation) balon, sehingga menekan ujung pipa.
Disamping itu pembersihan kanula yang kurang adekuat dapat
menyebabkan penimbunan secret yang akan menyumbat jalan
nafas.
5. Infeksi (Infection)
Trakheostomi meningkatkan resiko terjadinya infeksi.
Hal ini karena :
a. Pemintasan system pertahanan jalan nafas bagian atas
(seperti penyaringan, penghangatan dan pelembaban udara)
b. Penurunan mucociliary transport dan batuk termasuk
peningkatan tumpukan secret.
Organisme yang sering menimbulkan infeksi adalah
Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya.
6. Dekanulasi (Tube Removal)
Pipa trakheostomi yang tidak terikat dengan baik pada leher
dapat lepas dari stoma. Tetapi tipe pipa trakheostomi yang
standard telah memiliki bagian pengamanan yang sangat baik,
sehingga resiko dekanulasi biasanya sangat rendah. Dekanulasi
mungkin juga terjadi pada saat penggantian tali leher.
Disamping itu manipulasi pipa trakheostomi atau pengisapan
lendir (suctioning) dapat merangsang terjadinya batuk,
sehingga menimbulkan terjadinya dekanulasi. Dekanulasi yang
terjadi sebelum 4 hari akan menutup jalan udara, karena
saluran buatan belum terbentuk.
Emfisema Subkutan (Subcutaneous
Emphysema)
Emfisema subkutan dapat terjadi bila udara dari insisi
trakheostomi memasuki jaringan di bawah kulit dan berkumpul
di sekitar wajah, leher dan dada bagian atas. Pada daerah ini
nampak bengkak (puffy) dan pada penekanan ringan dengan
jari teraba dan terdengar crackless. Tetapi biasanya hal ini
bukan masalah yang serius, karena udara akan diserap oleh
tubuh.
F. PENYAPIHAN DAN PELEPASAN PIPA
TRAKHEOSTOMI
Penyapihan dari pipa trakheostomi
Bagi klien yang tidak membutuhkan ventilasi mekanik
(mechanical ventilation), penyapihan dimulai melalui
pengempisan balon untuk menentukan kemampuan klien
mengelola secret tanpa terjadi aspirasi karenanya. Pipa
trakheostomi yang telah dikempiskan kemudian dipertahankan
untuk beberapa waktu sambil mamantau kemampuan klien
untuk bernafas melalui saluran nafas bagian atas.Lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan kondisi ini
tergantung status pernafasan (respiratory status) dan rasa
percaya diri klien. Tetapi biasanya proses penyapihan ini
membutuhkan waktu 2 –5 hari.
Penyumbatan pipa trakheostomi biasanya dilakukan dengan
memasukkan sumbat trakheostomi (decannulatioan stopper)
kedalam outer cannula. Hal ini akan menutup pipa
trakheostomi dan aliran udara pernafasan akan melalui saluran
nafas yang normal.
Selama proses penyapihan ini, klien harus selalu dikaji untuk
tanda-tanda respiratory distress atau ventilation impairment.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
a. Pola dan frekuensi nafas yang abnormal
b. Digunakannya otot-otot bantu pernafasan
c. Nadi dan tekanan darah abnormal
d. Warna kulit dan membran mukosa abnormal
e. Analisa gas darah abnormal
Bila terdapat tanda-tanda tersebut di atas, segera hentikan
proses penyapihan dan buka kembali pipa trakheostomi.
2. Pelepasan Pipa Trakheostomi (Decannulation)
Pipa trakheostomi dapat dilepas setelah klien sukses menjalani
masa penyapihan. Klien dikatakan sukses bila status dan fungsi
pernafasannya stabil dengan criteria sebagai berikut :
a. Klien mampu bernafas dengan nyaman selama trakheostomi
disumbat (tracheostomy plugged)
b. Hasil analisa gas darah menunjukkan tanda-tanda normal
c. Klien mampu untuk batuk dan mengelola sekretnya
Pelepasan pipa trakheostomi dilakukan bila klien menunjukkan
criteria status dan fungsi pernafasan yang stabil tersebut selama
lebih dari 24 jam. Pernafasan klien harus nyaman dan mantap
selama masa tersebut.
Setelah pipa trakheostomi dilepas, tutup stoma dengan kasa
steril yang kering. Bersihkan kulit sekitar stoma, mucus dengan
hydrogen piroxide, dan bilas dengan normal saline. Kemudian
daerah penyembuhan luka tersebut ditutup dengan kasa steril
yang kering. Kegiatan ini dilakukan setiap 8 jam sekali.
G. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian pada klien post operasi trakheostomi meliputi
(Smith & Duell, 1992:645) :
a. Kemungkinan adanya secret yang kering atau basah di
sekitar kanula atau pada penutup luka (tracheal dressing)
b. Kemungkinan adanya penumpukan secret
c. Perawatan rutin trachea yang adekuat untuk klien
d. Kemampuan klien untuk bernafas melalui saluran nafas yang
normal
e. Status pernafasan klien : suara nafas, frekuensi nafas,
penggunaan otot-otot bantu pernafasan
f. Kesulitan bernafas, pernafasan cuping hidung, retraksi dan
warna kuku
g. Tanda-tanda vital
h. Auskultasi suara paru
i. Suara desisan kemungkinan kebocoran udara
j. Pilot baloon, mengempis atau mengembang
Sementara itu menurut Tucker, et.al.(1992:279) pengkajian
atau temuan pada klien post trakheostomi antara lain :
1. Pada pasien :
a. Posisi trakheostomi
b. Balon : ada, terkembang, kempis
c. Ekspansi dada bilateral
d. Sputum: jumlah, karakter
e. Stoma: nyeri, bengkak, drainase
f. Kecemasan
g. Ketakutan akan mati kehabisan nafas
h. Tidak berdaya
i. Hemoragi: gelisah, takikardi, takipne, pernafasan bising,
mengi, stridor, pucat, sianosis
j. Emfisema subkutan atau mediastina
k. Pneumotoraks
l. Cidera pada tiroid, saraf laringeal
m. Komplikasi trakheostomi: infeksi stoma, hemoragi stoma,
tekanan balon berlebihan
n. Infeksi: peningkatan suhu tubuh, aspirasi purulen
Pada alat :
a. Ukuran pipa trakheostomi
b. Tipe pipa: punya balon atau tidak, fenestrated
suction
A. Pengertian
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk
mempertahankan jalan nafas sehingga memungkinkan
terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara
mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu
mengeluarkannya sendiri. ( Ignativicius, 1999 ).
Sebagian pasien mempunyai permasalahan di
pernafasan yang memerlukan bantuan ventilator mekanik dan
pemasangan ETT (Endo Trakeal Tube), dimana pemasangan
ETT (Endo Trakeal Tube) masuk sampai percabangan bronkus
pada saluran nafas. Pasien yang terpasang ETT (Endo Trakeal
Tube) dan ventilator maka respon tubuh pasien untuk
mengeluarkan benda asing adalah mengeluarkan sekret yang
mana perlu dilakukan tindakan suction
Suction adalah suatu tindakan untuk membersihkan
jalan nafas dengan memakai kateter penghisap melalui
nasotrakeal tube (NTT), orotraceal tube (OTT), traceostomy
tube (TT) pada saluran pernafasa bagian atas. Bertujuan untuk
membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi sputum,
merangsang batuk, mencegah terjadinya infeksi paru. Prosedur
ini dikontraindikasikan pada klien yang mengalami kelainan
yang dapat menimbulkan spasme laring terutama sebagai
akibat penghisapan melalui trakea gangguan perdarahan,
edema laring, varises esophagus, perdarahan gaster, infark
miokard (Elly, 2000).
B. Indikasi penghisapan sekret endotrakeal diperlukan
untuk
1. Menjaga jalan napas tetap bersih (airway maintenence)
a. Pasien tidak mampu batuk efektif
b. Di duga ada aspirasi.
2. Membersihkan jalan napas (branchial toilet) bila ditemukan :
a. Pada auskultasi terdapat suara napas yang kasar, atau ada
suara napas tambahan.
b. Di duga ada sekresi mukus di dalam sal napas.
c. Klinis menunjukkan adanya peningkatan beban kerja sistem
pernapasan.
3. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium.
4. Sebelum dilakukan tindakan radiologis ulang untuk evaluasi.
5. Mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal.
Penerapan prosedur suction diharapkan sesuai dengan
standar prosedur yang sudah ditetapkan dengan menjaga
kesterilan dan kebersihan agar pasien terhindar dari infeksi
tambahan karena prosedur tindakan suction. Adapun standar
yang digunakan di RS dr. Kariadi adalah (Protap RSUP Dr.
Kariadi, 2004)
C. Standar alat
1. Set penghisap sekresi atau suction portable lengkap dan siap
pakai.
2. Kateter penghisap steril dengan ukuran 20 untuk dewasa.
3. Pinset steril atau sarung tangan steril.
4. Cuff inflator atau spuit 10 cc.
5. Arteri klem.
6. Alas dada atau handuk.
7. Kom berisi cairan desinfektan untuk merendam pinset.
8. Kom berisi cairan desinfektan untuk membilas kateter.
9. Cairan desinfektan dalam tempatnya untuk merendam kateter
yang sudah dipakai.
10. Ambubag / air viva dan selang o2.
11. Pelicin / jely
12. Nacl 0,9 %
13. Spuit 5 cc.
D. Standar pasien.
1. Pasien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan
dilakuakan.
2. Posisi pasien diatur sesuai dengan kebutuhan.
E. Prosedur.
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
2. Sebelum dilakukan penghisapan sekresi :
a. Memutar tombol oksigen menjadi 100 %
b. Menggunakan air viva dengan memompa 4–5 kali dengan
kosentrasi oksigen 15 liter.
c. Melepaskan hubungan ventilator dengan ETT.
3. Menghidupkan mesin penghisap sekresi.
4. Menyambung selang suction dengan kateter steril kemudian
perlahan- lahan dimasukakan ke dalam selang pernafasan
melalui ETT.
5. Membuka lubang pada pangkal kateter penghisap pada saat
kateter dimasukkan ke ETT.
6. Menarik kateter penghisap kira–kira 2 cm pada saat ada
rangsangan batuk untuk mencegah trauma pada carina
7. Menutup lubang melipat pangkal, kateter penghisap
kemudian suction kateter ditarik dengan gerakan memutar.
8. Mengobservasi hemodinamik pasien.
9. Memberikan oksigen setelah satu kali penghisapan dengan
cara baging.
10. Bila melakukan suction lagi beri kesempatan klien
untuk bernafas 3-7 kali.
11. Masukkan Nacl 0,9 % sebanyak 3-5 cc untuk
mengencerkan sekresi.
12. Melakukan baging.
13. Mengempiskan cuff pada penghisapan sekresi terahir
saat kateter berada dalam ETT, sehingga sekresi yang lengket
disekitar cufft dapat terhisap.
14. Mengisi kembali cuff dengan udara menggunakan cuff
infaltor setelah ventilator dipasang kembali.
15. Membilas kateter penghisap sampai bersih kemudian
rendam dengan cairan desinfektan dalam tempat yang sudah
disediakan.
16. Mengobservasi dan mencatat
a. Tensi, nadi, dan pernafasan.
b. Hipoksia.
c. Tanda perdarahan, warna, bau, konsentrasi.
d. Disritmia.
F. Komplikasi yang dapat terjadi akibat penghisapan sekret
endotrakeal sebagai berikut( Setianto, 2007):
1. Hipoksia / Hipoksemia
2. Kerusakan mukosa bronkial atau trakeal
3. Cardiac arest
4. Arithmia
5. Atelektasis
6. Bronkokonstriksi / bronkospasme
7. Infeksi (pasien / petugas)
8. Pendarahan dari paru
9. Peningkatan tekanan intra kranial
10. Hipotensi
11. Hipertensi
G. Evaluasi dari hasil yang diharapkan setelah melakukan
tindakan
penghisapan sekret endotrakeal adalah (Setianto, 2007):
1. Meningkatnya suara napas
2. Menurunnya Peak Inspiratory Pressure, menurunnya
ketegangan saluran pernapasan, meningkatnya dinamik
campliance paru, meningkatnya tidal volume.
3. Adanya peningkatan dari nilai arterial blood gas, atau
saturasi oksigen yang bisa dipantau dengan pulse oxymeter
4. Hilangnya sekresi pulmonal.