trakeostomi pada is akut akibat makassar
TRANSCRIPT
TRAKEOSTOMI PADA LARINGITIS AKUT AKIBAT
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Meilina Wardhani, Sofjan Effendi
Departemen THT, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
Abstrak
Obstruksi jalan napas atas akibat laryngitis akut merupakan salah satu komplikasi
pada lupus eritematosus sistemik (LES). Keterlibatan laring pada LES dapat
bervariasi mulai dari ulkus, paralisis pita suara dan edema hingga vaskulitis nekrotik
dengan obstruksi jalan napas. Trakeostomi merupakan salah satu prosedur
perawatan intensif yang dilakukan untuk mengatasi sumbatan jalan napas. Pada
makalah ini akan dilaporkan satu kasus laringitis akut yang diakibatkan LES yang
diterapi dengan trakeostomi.
Kata Kunci : Laringitis akut, Lupus Eritematosus Sistemik, Trakeostomi.
Abstract
Upper airway obstruction due to acute laryngitis is one of systemic lupus
erythematosus (SLE) complication. Laryngeal involvement in SLE can range from
mild ulcerations, vocal cord paralysis, and edema to necrotizing vasculitis with
airway obstruction. Tracheostomy is one of the most common intensive care unit
procedures to be performed. In this papper will be described a case of acute
laryngitis due to SLE that was treated by tracheostomy
Keywords: Acute Laryngitis, Systemic Lupus Erythematosus, Tracheostomy
1
Pendahuluan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang
penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada
perempuan, terutama pada dekade kedua dan ketiga. Lupus Eritematosus Sistemik
ditandai dengan adanya inflamasi akut dan kronis pada berbagai jaringan tubuh dan
secara klinis sangat heterogen. Penyakit autoimun adalah penyakit yang timbul bila
jaringan tubuh diserang oleh sistem imun tubuh itu sendiri. Sistem imun merupakan
sistem pertahanan terhadap agen infeksius seperti bakteri dan mikroba. Salah satu
cara sistem imun mencegah infeksi adalah dengan memproduksi antibodi yang
mengikat mikroba.1,2
Pasien yang menderita lupus menghasilkan antibodi abnormal dalam darah
yang jaringan targetnya adalah agen infeksius dan jaringan tubuh mereka sendiri.
Antibodi dan sel-sel yang terlibat dalam proses inflamasi menimbulkan efek jaringan
di seluruh tubuh. Lupus menimbulkan efek pada berbagai jaringan tubuh diakibatkan
reaksi antibodi terhadap jaringan.1,2 LES merupakan penyakit multisistem dan pasien
datang dengan berbagai gejala klinis.3,4
Autoantibodi menyerang berbagai jaringan, dan sering terdapat manifestasi
pada kepala dan leher. Lebih dari 40% pasien memiliki lesi mukosa aerodigestif,
termasuk komplikasi laring. Lesi bervariasi, mulai dari ptechie, ulserasi dan lesi
eritem nonulserasi. Infeksi laring pada pasien immunocompromise seringkali
diakibatkan oleh virus (herpes simpleks, herpes zoster, cytomegalovirus, papilloma),
toxoplasma, bakteri, dan jamur.5
Gambaran klinis LES sangat beragam dan melibatkan berbagai jaringan,
termasuk di antaranya adalah laring. Komplikasi laring jarang terjadi pada Lupus
Eritematosus Sistemik (LES). Keterlibatan laring pada LES dapat bervariasi mulai
dari ulkus, paralisis pita suara dan edema hingga vaskulitis nekrotik dengan
obstruksi jalan napas. Pasien LES sangat mudah terkena komplikasi pasca intubasi.
Sebanyak dua dari empat pasien LES yang dirawat intensif di ICU mengalami
obstruksi saluran napas atas 3-48 jam setelah ekstubasi.5
Trakeostomi merupakan salah satu prosedur perawatan intensif yang
dilakukan untuk mengatasi sumbatan jalan napas.5 Pada makalah ini akan
2
dilaporkan satu kasus laringitis akut yang diakibatkan LES yang diterapi dengan
trakeostomi.
Anatomi dan fisiologi
Kerangka laring dibentuk oleh rangkaian kartilago dan tulang yang
memanjang dari dasar tengkorak sampai mandibula. Laring dan pita suara berperan
sebagai saluran pernapasan, katup yang secara fisiologis berperan melindungi jalan
napas saat proses menelan dan alat yang menghasilkan suara. Terdiri dari 9 tulang
rawan, dua sendi synovial, otot ekstrinsik dan intrinsik, ligamen dan membran.
Pergerakan laring adalah akibat gerakan otot intrinsik dan ekstrinsik.6,7
Bagian superior laring terdiri dari epiglottis. Pita suara membentuk tepi atas
aditus laringeus. Pada bagian superior dan lateral pita suara terdapat pita suara
palsu. Aritenoid adalah lipatan yang menempel pada posterior pita suara dan pita
suara palsu. Pembukaan dan penutupan glottis disebabkan pergerakan otot yang
menggerakkan aritenoid.6,7
Mukosa saluran napas atas sebagian besar terdiri dari epitel respiratori
dengan kelenjar mukus. Pada tepi pita suara mukosa beradaptasi menjadi epitel
skuamosa tanpa kelenjar mukus. Lamina propria berfungsi sebagai shock absorber
sehingga epitel dapat bergetar bebas.7,8
Persarafan laring perifer berasal dari cabang superior dan rekuren N. X
(Vagus) yang keluar dari batang otak bagian bawah melalui foramen jugulare.
Cabang nervus laringeus membawa output sensoris dari otot dan selaput membran
laring dan dibawah pita suara dan input motorik dari system saraf pusat ke berbagai
otot intrinsik laring. Sirkuit mekanoreseptor sensoris membentuk sistem monitoring
laring intrinsik. Fungsi utamanya adalah untuk regulasi pernapasan dan reflek
vegetatif dan pergerakan pita suara untuk menghasilkan suara.7
Kekerapan
Lupus Eritematosus Sistemik hampir 10 kali lebih banyak pada wanita
dibandingkan dengan pria.4,5,9,10 Prevalensi LES secara pasti sulit didapat karena
definisi dan metode statistik yang digunakan serta etnisitas sangat bervariasi.
3
Secara keseluruhan, prevalensi LES diperkirakan 1:1000 penduduk. Sebuah studi di
Birmingham, Inggris mendapatkan prevalensi 27,7/100.000 populasi umum, namun
hampir 9x lebih tinggi terdapat pada wanita di Afrika-Karibia.6 Sedangkan data dari
survei kesehatan nasional di Amerika Serikat mendapatkan prevalensi LES sebesar
241/100.000 populasi.11 Keterlibatan laring merupakan manifestasi yang sangat
jarang pada LES. Gejala bervariasi mulai dari suara serak sampai gagal nafas.5
Angka kejadian keterlibatan laring hingga menyebabkan obstruksi jalan napas atas
pada LES bervariasi, berkisar pada angka 0,3-30%.1
Patofisiologi LES
Patogenesis LES terdiri atas beberapa fase seperti terlihat pada tabel 1.
Patogenesis LES bersifat multifaktorial yang melibatkan faktor lingkungan, genetik
dan hormonal. Hilangnya toleransi imun , banyaknya antigen, meningkatnya sel T-
helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th 1 dan Th 2
menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibodi.3,4 Autoantibodi
ada yang digunakan sebagai petanda penyakit dan ada pula yang berperan pada
patogenesis dan kerusakan jaringan. Autoantibodi yang berkaitan dengan
patogenesis dan kerusakan jaringan ini umumnya berkaitan pula dengan manifestasi
klinis.3,9
Individu-individu yang pada akhirnya berkembang menjadi LES sebelumnya
melalui serangkaian proses yang berlangsung secara bertahap. Terdapat periode
panjang dari kecenderungan terhadap autoimunitas, kemudian dalam proporsi yang
lebih kecil disusul pembentukan autoantibodi, yang biasanya mendahului timbulnya
gejala-gejala klinis dalam hitungan bulan sampai tahun. Proporsi individu dengan
autoantibodi berkembang ke masa prodromal dengan gejala-gejala nonspesifik yang
belum memenuhi kriteria untuk klasifikasi LES, dan kemudian sebagian di antaranya
akan berkembang dalam bentuh utuh LES dengan berbagai gejala, autoantibodi dan
abnormalitas laboratorium yang menjadikan diagnosis menjadi jelas. Akhirnya,
individu-individu dengan LES biasanya akan mengalami periode serangan dan
remisi (biasanya tidak komplit) secara intermiten selama bertahun-tahun, serta
menghasilkan berbagai macam kerusakan organ dan komorbiditas yang
berhubungan dengan inflamasi kronik.9,10
4
Tabel 1. Fase-fase lupus eritematosus sistemik
Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4 Fase 5
Predisposisi Autoimunitas Prodromal LES klinis LES dlm terapi,
inflamasi kronik,
kerusakan organ
- Kerentanan gen (+)
- Gen protektif (-)
- Gender wanita
- Stimulus lingkungan
- Autoantibodi (ANA)
- Tanpa gejala
- Autoantibodi
- Malaise
- Fatique
- Autoantibodi
- Gejala dan tanda-
tanda LES
- Autoantibodi
- Aktivitas penyakit
- Efek samping th/
- Sequele akibat
inflamasi kronik dan
kerusakan organ
Patofisiologi SLE sama seperti reaksi hipersensitivitas tipe 3 pada umumnya
dimana diawali dengan adanya faktor genetik dan lingkungan yang mendukung.
Kemudian timbul peningkatan autoantibodi patogen terhadap komponen tubuh
sendiri (autoAg). Antibodi tersebut membentuk kompleks dengan DNA yang berasal
dari degradasi jaringan normal dan mengendap di berbagai tempat, termasuk pada
laring. Kompleks imun tersebut mengaktifkan komplemen dan mengerahkan sel-sel
radang lain misalnya sel mononuclear dan selanjutnya menimbulkan reaksi
inflamasi.12
Gambaran Klinis
Gambaran klinis LES bervariasi, tergantung sistem atau organ yang terlibat.
Gejala umum berupa fatique, penurunan berat badan dan demam yang pada
umumnya tidak memerlukan pengobatan namun berpengaruh pada kualitas hidup
pasien.10,13 Gejala keterlibatan laring dapat bervariasi dari yang ringan sampai
menimbulkan obstruksi jalan napas berat. Gejala-gejala biasanya nonspesifik, sering
ditentukan oleh lokasi terjadinya obstruksi, dapat berupa batuk, sesak napas,
disfagia, hoarseness dan stridor. Pada kondisi yang berat dapat dijumpai ulkus,
paralisis pita suara dan edema mukosa hingga vaskulitis nekrotik dengan obstruksi
jalan napas.14 Pada pasien LES, inflamasi mukosa yang ditandai dengan eritem,
edem dan obstruksi jalan napas merupakan manifestasi yang paling sering
ditemukan.1
5
Diagnosis
Seorang pasien disimpulkan menderita LES bila terdapat > 4 kriteria dari
American College of Rheumatology (ARA), yaitu:9,13
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
6. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gram/hari atau > positif 3, atau
cetakan seluler berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan
7. Kelainan neurologis, yaitu kejang atau psikosis
8. Kelainan hematologi: anemia hemolitik atau leukopenia atau trombositopenia
9. Kelainan imunologis: sel LE (+) atau anti ds-DNA (+)
10. Antibody antinuclear (ANA) +
Derajat sumbatan laring ditentukan berdasarkan kriteria Jackson16 yaitu :
Stadium 1 : Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor inspirasi
dan pasien masih tenang.
Stadium 2 : Cekungan pada waktu inspirasi di suprasternal makin dalam, cekungan
di epigastrium, pasien gelisah dan stridor inspirasi.
Stadium 3 : Cekungan selain di suprasternal, epigastrium, infraklavikula dan
interkostal. Pasien gelisah dan dispnea, stridor terdengar saat inspirasi
maupun ekspirasi
Stadium 4 : Semua cekungan (retraksi) bertambah jelas, pasien sangat gelisah,
ketakutan dan sianosis. Bila berlangsung terus maka pasien akan
6
kehabisan tenaga, paralisis pusat pernapasan akibat hiperkapnea.
Pasien lemah tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia.
Diagnosis Banding
Lupus eritematosus (LE) adalah penyakit autoimun yang dapat
mempengaruhi kulit, sendi, jantung, ginjal dan otak. Drug-induced lupus
erythematosus (DILE) adalah varian dari penyakit autoimun yang membaik dalam
waktu hari – bulan setelah penghentian obat yang mencetuskannya tanpa disertai
kelainan sistem imun. Lupus eritematosus yang dicetuskan obat dapat timbul setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah terpajan obat yang
mencetuskannya. Obat yang paling sering menimbulkan lupus eritematosus adalah
hydralazine, prokainamid, quinidin, isoniazid, diltiazem dan minosiklin9,12.
Perbandingan temuan antara lupus eritematosus yang di cetuskan obat
dengan lupus eritematosus sistemik dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Perbandingan antara LE yang dicetuskan obat dengan LES
Temuan LES Drug-induced LE
Gambaran
klinis
Umur kejadian 20 – 30 tahun
Kulit berwarna lebih sering
Ratio wanita terhadap laki-laki 9 :
1
Rata-rata umur 50 – 70 thn
Kulit putih lebih sering
Ratio laki-laki : perempuan =
1 : 1
Labolatorium Antihistone antibodies pada 50%
Anti Ds-DNA pada 80%
C3/C4 menurun
Kelainan kulit > 75 %
Raynaud phenomenon pada 50%
ANA pada > 95%
Antihistone antibodies > 95%
Anti Ds-DNA jarang ditemui
C3/C4 normal
Kelainan kulit pada ~ 25%
Raynaud phenomenon 25%
ANA pada > 95%
Laringitis merupakan suatu kelainan yang disebabkan adanya peradangan
akut pada laring. Laringitis dapat menyebabkan obstruksi jalan napas atas. Laringitis
7
pada LES jg merupakan akibat reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas disini
mengacu pada respon imun berlebihan terhadap stimulus antigen12.
Keterlibatan laring seringkali muncul saat eksaserbasi akut penyakit sistemik.
Obstruksi jalan napas jarang terjadi. Biopsi menunjukkan adanya infiltrasi sel
mononuklear. Hasil positif pada pemeriksaan antibodi antinuklear sangat penting
untuk diagnosis dan merupakan kunci untuk terpenuhinya kriteria ARA13.
Penatalaksanaan
Terapi pilihan untuk kasus seperti ini adalah kortikosteroid dan obat-obat
simtomatik. Tindakan trakeostomi dilakukan bila didapatkan obstruksi jalan napas
atas yang gagal dengan penanganan konservatif. Antibiotik juga diberikan karena
pasien dengan LES rentan terhadap infeksi bakteri12.
Terapi ditujukan untuk pemeliharaan jalan napas dan menghilangkan
inflamasi serta edema. Bila ditemukan pada stadium yang belum lanjut dapat
diberikan medikamentosa, antara lain antibiotika adekuat dan kortikosteroid. Harus
dipikirkan untuk mengambil tindakan trakeostomi atau intubasi bila ditemukan
dispnu. Yang terpenting bila ada tanda-tanda dispnu harus selekas mungkin
dilakukan trakeostomi karena menurut Potondi17 trakeostomi tidak dapat diharapkan
berhasil dengan baik bila dilakukan pada fase dispnu setelah anoksia yang lama dan
peredaran darah yang insufisien. Menurut Tarkkanan dkk18 yang meneliti 525 kasus
laringitis subglotis selama 4 tahun (1965-1968) di Otolaryngological Hospital
University of Helsinsky, hanya 10 kasus atau 2% yang memerlukan trakeostomi,
sedangkan dari 23 kasus epiglotitis akut dalam jangka waktu yang sama ada 12
kasus atau 48% yang mengalami trakeostomi segera saat masuk rumah sakit.
Prognosis
Prognosis untuk menentukan angka harapan hidup penderita LES ditentukan
dengan SLICC/ACR Damage Index Score yang menilai skor kerusakan organ.
Semakin tinggi skor maka semakin buruk prognosis pasien. Kerusakan jaringan
yang ditunjukkan dengan SLICC/ACR Damage Index Score pada tahun pertama
8
merupakan predictor mortalitas pada LES. Jumlah skor 2 pada SLICC/ACR Damage
Index Score pada 5 tahun pertama merupakan prediksi mortalitas yang tinggi.9 Pada
pasien ini didapatkan kerusakan mata, gangguan neuropsikiatri, adanya operasi
pada mata (eviscerasi), dan kelemahan/atropi otot sehingga SLICC/ACR Damage
Index pasien ini tinggi dan berarti buruknya prognosis.9
Laporan Kasus
Pasien seorang perempuan, umur 26 tahun dengan nomor rekam medis
31.48.47 registrasi 00000537 dikonsulkan dari departemen Penyakit Dalam RSMH
pada tanggal 10 Desember 2009 dengan keluhan sesak napas hebat sejak lebih
kurang 3 jam yang lalu. Keluhan sesak napas sudah dirasakan os sejak 2 hari yang
lalu. Pasien sudah dirawat di departemen Penyakit dalam sejak tanggal 28 Oktober
2009 dengan diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik.
Sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit os mengeluh sering merasa kaku
dan sakit pada sendi tangan dan kaki. Pasien kemudian berobat ke mantri dan diberi
4 macam obat. Setelah makan obat keluhan terasa berkurang. Kemudian timbul
benjolan yang berisi air (kulit seperti melepuh), os diberi 3 macam obat lagi namun
keluhan tidak berkurang dan benjolan berisi air bertambah banyak, pasien mengeluh
suara menjadi parau dan pendengaran terasa kurang, pasien juga merasa kulit
terasa perih, timbul sariawan pada mulut dan jika BAK os merasa nyeri.
Tiga bulan sebelum masuk rumah sakit pasien kembali berobat karena tidak
ada perbaikan pada keluhannya, pasien disarankan berobat ke rumah sakit. Pasien
dirawat di Rumah Sakit Daerah dan selanjutnya dirujuk ke RSMH departemen Kulit
dan Kelamin. Pasien dinyatakan menderita sakit akibat alergi obat, pasien dirawat 3
minggu dan diperbolehkan pulang. Selama dirumah pasien lemah dan tidak mau
makan.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit badan pasien makin lemah, pasien
mengeluh mata kiri sakit dan merah. Pasien kemudian dirawat di departemen
penyakit dalam RSMH pada tanggal 28 Oktober 2009. Pasien dinyatakan menderita
ulkus kornea dan konjungtivitis akut mata kiri oleh bagian Mata RSMH. Pasien
9
mengalami prolaps spontan mata kiri pada tanggal 5 november 2009. Dilakukan
eviscerasi segera pada pada mata kiri pasien dalam narkose.
Pada tanggal 7 Desember 2009 pemberian kortikosteroid (metilprednisolon)
sebagai terapi SLE dihentikan karena dugaan adanya anemia defiesiensi Fe akibat
gastritis erosif dan sudah adanya perbaikan setelah pemberian kortikosteroid secara
tapering off sejak pasien masuk rumah sakit. Pasien dikonsulkan ke bagian THT
pada tanggal 9 Desember 2009 karena suara serak dan sesak napas. Pemeriksaan
laringoskopi indirek menunjukkan adanya edema pada epiglottis, plica arytenoid,
plica vocalis dan plica vestibularis. Tampak penyempitan aditus laryngeus. Pada
jawaban konsul disarankan pemberian kortikosteroid.
Pasien dikonsulkan kembali pada 10 Desember 2009 dengan keluhan sesak
napas yang semakin hebat sejak 1 hari yang lalu, pasien gelisah dan merasa seperti
tercekik.
Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya sesak napas hebat, pernapasan 40
kali permenit, sianosis, pasien terlihat gelisah, merasa lebih enak duduk
dibandingkan berbaring, ada stridor inspirasi dan ekspirasi, ditemukan retraksi
suprasternal, supraklavikula, infraklavikula, epigastrium dan interkostal, akral dingin.
Hasil foto cervical soft tissue menunjukkan penebalan jaringan lunak trakea
dan penyempitan lumen trakea setinggi tulang cervical 5-6. Pasien didiagnosa
dengan obstruksi jalan napas derajat III-IV akibat laringitis akut. Segera dilakukan
tindakan trakeostomi pada pasien ini.
Pasca trakeostomi kedaan pasien membaik, pasien tenang. Pernapasan 22
kali per menit, sianosis menghilang, stridor menghilang, retraksi menghilang.
Diskusi
Kriteria ARA yang ditemukan pada pasien ini adalah ruam malar, ruam
diskoid, fotosensitifitas, ulserasi mukosa mulut dan nasofaring, kelainan neurologis
berupa kejang, ditemukan kelainan imunologis (sel LE dan ds-DNA) dan antibodi
antinuklear(ANA). Dengan didapatkannya 6 dari 11 kriteria penegakan diagnosis
SLE maka diagnosa SLE pada pasien ini dapat ditegakkan. Dengan pemeriksaan
10
imunologik dimana ds-DNA memiliki nilai yang tinggi (1281) hal ini semakin
memastikan diagnosa SLE pada pasien karena spesifisitas yang tinggi dari
pemeriksaan ini terhadap SLE.9
Riwayat penggunaan obat yang pernah dilaporkan mencetuskan SLE pada
pasien tidak didapatkan, meski demikian riwayat ini hanya terbatas pada kurun
waktu 6 bulan sebelum timbulnya gejala pertama kulit melepuh. Pasien ataupun
keluarga pasien tidak dapat mengingat riwayat konsumsi obat sebelumnya.
Penghentian obat telah dilakukan jauh sebelum pasien dirujuk kerumah sakit pada
LE yang dipicu obat perbaikan akan dapat segera terjadi, akan tetapi kondisi pasien
semakin memburuk. Hal ini tidak mendukung kearah suatu LE yang dicetuskan oleh
obat-obatan.
Tidak ada suatu metode pemeriksaan pasti untuk membedakan kondisi SLE
atau LE yang di cetuskan oleh obat-obatan. Beberapa literatur ilmiah menyatakan
pemeriksaan kadar N acetyl transferase dapat memberikan petunjuk kearah
penyebab LE yang di picu obat-obatan. Beberapa penelitian mengungkapkan
ditemukannya kadar N acetyl transferase yang menurun pada pasien dengan LE
yang di picu obat-obatan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di
Indonesia.
Kriteria SLE Temuan pada pasien
Ruam malar Ruam malar
Ruam discoid Tidak ditemukan
Fotosensitivitas Tidak ditemukan
Ulserasi dimulut atau nasofaring Multiple ulserasi pada mulut
Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis Tidak ditemukan
Kelainan ginjal, yaitu proteinuria
persisten >0,5 gram/hari atau > positif 3,
atau cetakan seluler berupa eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau
gabungan
Proteinuria +
Silinder eritrosit (+)
11
Kelainan neurologik, yaitu kejang atau
psikosis
Tidak ditemukan kejang atau psikosis,
ditemukan gangguan depresi
Kelainan hematologik : anemia hemolitik
atau leukopenia atau limfopenia atau
trombositopenia
Anemia hemolitik
Kelainan imunologik Sel LE (+)
Anti ds-DNA 1281
Antibodi antinuclear Positif
SLE Drug induced Temuan pada pasien
Usia 20 – 30 thn Rata-rata umur 50 – 70 thn Usia 24 tahun
Kulit berwarna lebih sering Kulit putih lebih sering Kulit berwarna
Ratio wanita terhadap laki-
laki 9 : 1
Ratio laki-laki : pria = 1 : 1 Wanita
Antihistone antibodies pada
50%
Antihistone antibodies >
95%
--
C3/C4 menurun C3/C4 normal C3/C4 menurun
Anti Ds-DNA pada 80% Anti Ds-DNA jarang ditemui Anti ds-DNA 1281
Kelainan kulit > 75 % Kelainan kulit pada ~ 25% Kelainan kulit (+)
Raynaud phenomenon pada
50%
Raynaud phenomenon
25%
Tidak ditemukan
ANA pada > 95% ANA pada > 95% Positif
Dengan melihat tabel diatas, profil yang ditemukan pada pasien lebih
menunjang kearah suatu SLE dibandingkan dengan LE yang dipicu obat-obatan.
SLE banyak menyerang wanita usia 20-30thn, gambaran ini sesuai dengan profil
pasien bila dibandingkan dengan LE yang diinduksi obat, dimana dominan terjadi
pada usia 50 – 70 tahun.
Laringitis merupakan inflamasi lokal atau difus pada laring yang diakibatkan
respon jaringan terhadap rangsangan mekanik, kimia, alergi maupun infeksi.
12
Gambaran yang sering ditemukan adalah eritem dan edema pada berbagai struktur
laring dan disebut laringitis.14 Gejala yang sering ditemukan adalah suara parau
yang diakibatkan edema pada pita suara. Bila terdapat edema hebat pada pita suara
maka dapat mengakibatkan hilangnya suara. Gejala lainnya adalah nyeri tenggorok,
rasa kering dan gatal di tenggorok, sensasi rasa mengganjal di tenggorok dan sulit
bernapas (jarang).
Diagnosa laringitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik pada laring.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan kaca laring, laringoskopi rigid maupun
laryngeal stroboscopy. Pada pemeriksaan ditemukan tanda-tanda inflamasi pada
laring ataupun lesi lainnya yang berhubungan dengan laringitis8,14. Pada pasien ini
ditemukan tanda-tanda inflamasi pada laring, eritem dan edema hebat meliputi
epiglotis, aritenoid, plica vocalis maupun plica vestibularis.
Ditemukan tanda-tanda sumbatan laring pada pasien ini berupa suara parau,
sesak napas, stridor inspirasi dan ekspirasi, dan cekungan (retraksi) supraternal,
epigastrium,supraklavikula, infraklavikula dan interkostal, gelisah dan sianosis.
Pasien ini didiagnosa dengan obstruksi jalan napas derajat III-IV.
Terdapat perbedaan pendapat dimana sebagian ahli lebih memilih tindakan
intubasi dan sebagian lain lebih menganjurkan trakeostomi18,19,20,21. Keuntungan
intubasi ialah bahwa komplikasi-komplikasi trakeostomi seperti emfisema
mediastinum, pneumotoraks, perdarahan dan sebagainya dapat dihindarkan pada
tindakan intubasi. Namun intubasi harus dilakukan dalam Unit Perawatan Intensif
(ICU) dan memerlukan alat-alat khusus serta tenaga khusus untuk perawatan
penderita pasca intubasi. Pada laringitis akut dimana proses inflamasi dan edem
terjadi di semua struktur laring, bila dilakukan intubasi ada kemungkinan
menyebabkan trauma yang bisa menimbulkan spasme yang dikawatirkan
mempersempit jalan napas.
Kesimpulan
Gambaran klinis LES sangat beragam dan melibatkan berbagai jaringan,
termasuk di antaranya adalah laring. Komplikasi laring jarang terjadi pada Lupus
Eritematosus Sistemik (LES). Keterlibatan laring pada LES dapat bervariasi mulai
13
dari ulkus, paralisis pita suara dan edema hingga vaskulitis nekrotik dengan
obstruksi jalan napas.
Obstruksi jalan napas atas akibat inflamasi akut merupakan bahaya yang
dapat berakibat fatal. Pada kasus ini pasien mengalami sesak napas hebat disertai
gelisah. Pasien pernah diintubasi lebih kurang satu bulan sebelumnya saat
menjalani operasi mata dalam narkose. Pemberian terapi kortikosteroid untuk LES
pada pasien ini telah dihentikan lebih kurang 3 hari sebelumnya karena sudah
menyelesaikan tappering off dan adanya gastritis erosif. Pemeriksaan fisik
menunjukkan bahwa sesak napas oleh edema difus pada laring sehingga aditus
laring menyempit. Dilakukan trakeostomi segera pada pasien ini untuk mengatasi
sumbatan jalan napas. Trakeostomi merupakan salah satu prosedur perawatan
intensif yang dilakukan untuk mengatasi sumbatan jalan napas.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Karim A, Ahmed S, Siddiqui R. Severe upper airway obstruction from cricoarytenoiditis as the sole presenting manifestation of a systemic lupus erythematosus. Chest. 2002; 121:990-3
2. Manson JJ, Rahman A. Systemic lupus erythematosus. Orphanet Encyclopedia. 2005; 1-9.
3. Scarpelli DG, McCoy FW, Scott JK. Acute Lupus Erythematosus with laryngeal involvement. New England Journal of medicine. 1959; 261:691-4
4. Yuriawantini, Suryana K. Aspek imunologi SLE. Jurnal Penyakit Dalam. 2007; 8:232-9
5. Raj R, Murin S, Matthay RA dkk. Systemic Lupus Erithematosus in the intensive care unit. Crit Care Clin. 2002; 18:781-803
6. Raz E, Bursztyn M, Rosenthal T dkk. Severe recurrent Lupus Laryngitis. The American Journal of Medicine. 1992; 92: 109-10
7. Jeri A. Upper digestive tract anatomy and physiology. In: Head ang Neck Surgery-Otolaryngology. Bailey BJ, Johnson JT. Lippincot & Wilkins. Philadelphia. 2006; 4: 685-813
8. Dworkin JP. Laryngitis : types, causes and treatments. Otolaryngol Clin N Am. 2008; 41:419-36
9. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The definition and classification of Systemic Lupus Erythematosus. In Dubois’ Lupus Erythematosus. Wallace DJ, Hahn BH (Eds). Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 2007: 17-20
10.Lehman Thomas JA. Systemic lupus erythematosus in childhood and adolescence. In: Dubois’ Lupus Erythematosus. Wallace D J, Hahn BH (Eds). Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 2007: 848- 64
11.Rus V, Maury EE, Hochberg MC. The epidemiology of systemic lupus erythematosus. In: Dubois’ Lupus Erythematosus. Wallace DJ, Hahn BH (Eds). Lippincot Williams & Wilkins. Philadelpia. 2007; 35-44
12.Hahn BH. Overview of pathogenesis of systemic lupus erythematosus. In: Dubois’ Lupus Eythematosus. Wallace DJ, Hahn BH (Eds). Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 2007; 47-53
13.Wallace DJ. The clinical presentation of systemic lupus erythematosus. In : Dubois’ Lupus Erythematosus. Wallace DJ, Hahn BH (Eds). Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 2007; 639-46
15
14.Toomey JM, Snider GG, Maenza RM. Acute epiglottitis due systemic lupus erithematosus. Farmington conn. 1977; 522-27
15.Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and Physiology of Larynx. In: Ballenger’s Otolrhinolaryngology Head and neck Surgery. Snow JB,Ballenger JB (Eds). 2003; 16th ed:1090-1605
16. Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi EA. Penanggulangan sumbatan laring. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok. Soepardi EA dkk (Eds). Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007; edisi keenam: 243-53
17.Potondi A, Ribari O. Clinical and Medical-Legal aspects of acute epiglottitis. J Laryngol and Otol. 1969; 83:141-45
18.Tarkkanan J, Kohonen A. Tracheotomy in subglottic laryngitis (pseudocrop) and acute epiglottitis. Acta Oto-laryngologica. 1972; 74:283-86
19.Benjamin B. Acute inflammatory airway obstruction in infants and children . The Medical Journal of Australia, presented by Mead Johnson for the Medical Profession in Indonesia, no. 1.
20.Striker TW, Stool S, Downess JJ. Prolonged nasotracheal intubation in infants and children. Arch Otolaryngol. 1967; 85: 210-13
21.Traff B, Tos M : Nasotracheal intubation in acute epiglottitis. Acta Oto-Laryngologica. 1969; 68:363-68
16