translate journal faringitis
DESCRIPTION
translate journal faringitisTRANSCRIPT
Journal Reading
Epistaxis
Rodney J. Schlosser, M.D
Oleh :
Diva Yurian Dwika , S.Ked
Getrina Sri Wahyuni , S.Ked
Opyanda Eka Mitra, S.Ked
Norra Purti, S.ked
Patriot Fajri Rakasiwi, S.Ked
Sabella Gustika Vernanda, S.Ked
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU
2015
FARINGITIS STREPTOKOKUS
Michael R. Wessels, M.D.
Fitur jurnal ini dimulai dengan sketsa kasus yang menyoroti masalah klinis umum.
Bukti mendukung bermacam-macam strategi yang kemudian dipaparkan, diikuti dengan
ulasan dari perdoman resmi, ketika ada. Artikel ini diakhiri oleh rekomendasi klinis
dari pengarang.
Seorang anak perempuan usia 10 tahun dengan nyeri tenggorokan dan demam
yang telah berlangsung selama 1 hari. Dia mengalami kemerahan dan tampak
sakit sedang. Pemeriksaan klinis menunjukkan temperatur tubuhnya 39C,
kelenjar getah bening servikal anterior bilateral sebesar 1 hingga 2 cm pada
dimensi terbesar, dan eritema dan eksudat putih kekuningan pada tonsil yang
membesar dan faring bagian posterior. Tes deteksi antigen cepat dari spesimen
hapusan tenggorokan menunjukkan nilai positif untuk streptokokus grup A.
Bagaimana pasien harus dievaluasi dan diterapi?
PROBLEM KLINIS
Nyeri tenggorokan adalah gejala yang sangat umum ditemukan. Faringitis akut
menyumbangkan sebesar 1.3 % dari kunjungan pasien rawat jalan pada layanan
kesehatan di Amerika Serikat, dan diperhitungkan untuk estimasi sebesar 15 juta
kunjungan pasien pada tahun 2006.1 Streptokokus grup A (Streptococcus pyogenes)
bertanggung jawab pada 5 hingga 15 % dari kasus faringitis pada dewasa dan 20 hingga
30 % dari kasus pada anak-anak.2 Faringitis streptokokus ditemukan paling sering pada
anak-anak dengan usia antara 5 sampai 15 tahun. Di daerah beriklim sedang, tingkat
kejadian tertinggi adalah pada saat musim dingin dan awal musim semi. Tanggungan
ekonomi dari faringitis streptokokus pada anak-anak di Amerika Serikat telah diestimasi
yaitu sebesar $224 juta hingga $539 juta per tahun, dengan fraksi besar dari biaya yang
terkait disebabkan oleh hilangnya jam bekerja dari orang tua.3
Infeksi faringeal streptokokus tidak hanya menyebabkan kesakitan akut tetapi
juga dapat memicu sindrom pasca infeksi yaitu misalnya glomerulonefritis pasca
streptokokus dan demam reumatik. Demam reumatik saat ini tidak umum pada sebagian
besar negara berkembang, namun tetap menjadi penyebab utama dari terjadinya
penyakit jantung pada anak di area-area dengan sumber daya yang buruk misalnya
bagian Afrika sub-Sahara , India, dan bagian-bagian Australasia.4
STRATEGI DAN BUKTI
EVALUASI
Permulaan dari gejala pada pasien dengan faringitis streptokokus sering terjadi
tiba-tiba. Sebagai tambahan dari nyeri tenggorokan, gejala dapat meliputi demam,
menggigil, rasa tidak nyaman, nyeri kepala, dan khususnya pada anak-anak yang lebih
muda yaitu nyeri perut, mual, dan muntah.5 Kadang-kadang, faringitis streptokokus
diikuti dengan scarlet fever, yang mana dimanifestasikan sebagai ruam eritematus
papuler halus yang muncul di wajah, dapat menonjol pada lipatan kulit, dan dapat
berdeskuamasi selama stadium konvalesens. Batuk, radang selaput mukosa, dan
konjungtivitis merupakan gejala yang tidak tipikal pada faingitis streptokokus, dan, bila
ditemukan, disarankan penyebab alternatif yang lain misalnya infeksi virus. Nyeri
tenggorokan dapat terjadi dengan parah, dan dapat memburuk di sisi yang lain. Namun,
nyeri unilateral yang parah atau ketidakmampuan untuk menelan harusnya
menimbulkan perhatian tentang komplikasi supuratif lokal seperti misalnya abses
peritonsilar dan retrofaringeal, khususnya apabila gejala-gejala ini muncul atau
berkembang beberapa hari dari penyakit. Pada anak yang berusia kurang dari 3 tahun,
faringitis eksudatif yang disebabkan oleh infeksi streptokokus jarang ditemykan. Dalam
kelompok usia ini, infeksi streptokokus dapat dimanifestasikan sebagai coryza,
ekskoriasi hidung, dan adenopati yang umum. Pada kebanyakan orang, demam terjadi
dalam waktu 3 sampai 5 hari, dan nyeri tenggorokan terjadi dalam waktu 1 minggu,
bahkan tanpa terapi tertentu.
Diagnosis faringitis streptokokus berdasarkan gejala klinis terkenal tidak dapat
dipercaya, gejala dan tanda yang bervariasi, dan tingkat keparahan penyakit beragam
mulai dari radang tenggorokan ringan saja hingga faringitis eksudatif klasik dengan
demam tinggi dan kelelahan baik secara fisik maupun mental. Diagnosis jauh lebih sulit
ditegakkan karena infeksi dapat disebabkan oleh agen penyebab lainnya dan tidak dapat
dibedakan secara klinis dari faringitis streptokokus.
Sistem penilaian klinis telah dibuat untuk memprediksi kemungkinan penyakit
infeksi streptokokus di antara kalangan anak-anak dan orang dewasa yang mengalami
sakit tenggorokan. Sistem ini didasarkan pada gejala klinis yang mendukung: demam,
pembengkakan tonsil atau terdapat eksudat, nyeri bila disentuh dan pembesaran kelenjar
getah bening anterior leher, serta tidak adanya batuk. Kemungkinan hasil positif dari
kultur tenggorokan atau tes rapid antigen-detection berkisar antara 3% atau kurang pada
pasien tanpa kriteria klinis yang mendukung hingga kira-kira 30 sampai 50% pada
mereka yang memiliki kriteria klinis yang mendukung dan hasil positf dari kultur
tenggorokan.
Prediksi klinis berdasarkan kriteria tersebut telah divalidasi pada orang dewasa
dan anak-anak untuk membantu mengidentifikasi pasien yang mana sedang dievaluasi
dengan kultur tenggorokan atau tes rapid antigen-detection. Misalnya, dengan tidak
adanya faktor risiko tertentu, seperti sebagaimana diketahui paparan terhadap seseorang
dengan faringitis streptokokus atau riwayat demam rematik akut atau penyakit jantung
rematik, kultur tenggorokan atau tes rapid antigen-detection tidak akan diindikasikan
pada pasien yang hanya terpapar satu kali dengan faringitis streptokokus atau tidak ada
kriteria yang tercantum di atas. Pertimbangan lain dalam memutuskan apakah akan
melakukan kultur tenggorokan atau tes rapid antigen-detection adalah adanya fakta
bahwa orang-orang tertentu merupakan karier asimptomatik S. pyogenes.
Bakteri ini dapat dikultur dari faring tanpa adanya gejala atau tanda-tanda
infeksi selama musim dingin pada kira-kira 10% dari anak usia sekolah dan lebih jarang
pada orang di kelompok usia lainnya. Karier dapat bertahan selama beberapa minggu
atau bulan dan dihubungkan dengan faringitis streptokokus supuratif risiko yang sangat
rendah atau gejala sisa dari faringitis streptokokus non supuratif atau penyebaran ke
yang lain. Oleh karena itu, dengan tidak adanya temuan klinis yang mendukung, kultur
positif atau tes rapid antigen-detection kemungkinan akan mencerminkan kejadian dari
karier S. pyogenes.
TES LABORATORIUM
Karena gejala klinis nonspesifik, diagnosis faringitis streptokokus harus
berdasarkan hasil tes khusus untuk mendeteksi mikroorganisme: kultur tenggorokan
atau tes rapid antigen-detection dari swap tenggorok. Swab faring posterior dan amandel
dan bukan lidah, bibir, atau mukosa bukal meningkatkan sensitivitas kedua kultur dan
tes rapid antigen-detection. Pengukuran antibodi serum streptolysin O atau DNase B,
meskipun berguna untuk diagnosis retrospektif infeksi streptokokus untuk memberikan
dukungan pada diagnosis demam rematik akut atau poststreptococcal glomerulonefritis,
tidak membantu dalam penanganan faringitis, setelah titer tidak meningkat pada 7-14
hari setelat onset dari infeksi, mencapai puncaknya pada minggu 3-4.
karena hasil dari kultur dari tenggorokan tidak tersedia dalam 1 atau 2 hari, uji
deteksi antigen cepat telah dikembangkan untuk mendeteksi s.pyogenes secara langsung
melalui swap dari tenggorokan, biasanya dalam hitungan menit.16 uji ini didasari pada
ekstrasi asam dari dinding sel karbohidrat antigen dan deteksi antigen dengan
penggunaan antibodi yang spesifik. Sebuah pendekatan alternatif telah menjadi
identifikasi cepat dari rangkaian DNA spesifik S.pyogenes dengan cara hibridisasi
dengan probe DNA atau dengan cara langsung dengan pengujian kadar rantai reaksi
polymerase. Berbagai sensitivitas (umumnya, 70 sampai 90%) telah dilaporkan untuk
saat ini berhasil dideteksi dengan uji cepat deteksi antigen, dan kadar sensitivitas telah
terbukti tergantung pada manifestasi klinis infeksi streptokokus pada populasi yang di
uji.17,18 Nilai spesifitas uji cepat deteksi antigen adalah 95% atau lebih besar, dan dengan
demikian hasil positif dapat dianggap sesuatu yang defenitif dan dapat menghindari
kebutuhan akan kultur. Uji deteksi cepat antigen kurang sensitif daripada kultur,
sehingga sebagian besar pedoman merekomendasikan dilakukannya kultur tenggorokan
jika uji deteksi antigen cepat hasilnya negatif.
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
semenjak faringitis streptokkus menjadi penyakit yang dapat sembuh sendiri dari
sebagian besar kasus, sebuah pertanyaan muncul apakah perlu dilakukan pemberian
antibiotik pada kasus yang terkonfirmasi. Meskipun pada kasus pasca glomerulonefritis
streptokokus tampak tidak bisa dicegah dengan pemberian antibiotik yang sama pada
kasus faringitis streptokokus, beberapa potensi lain yang menguntungkan dapat
dipertimbangkan dalam pemberian obat.
studi yang melibatkan sebagian besar pada rekrutan militer pada tahun 1950-an telah
menunjukkan pemberian antibiotik mengurangi risiko perkembangan dari demam
rematik akut. 7,19-21 Secara umum, percobaan yang melibatkan studi obat yang ditetapkan
berdasarkan perhitungan catatan militer (bukan pengacakan yang tetap) dan kontrol
penggunaan plasebo yang tidak konsisten, atau hasil yang tidak dimengerti. Meskipun
dengan keterbatasan, analisis meta yang mencakup sembilan studi (melibatkan 6702
pasien) menunjukkan bahwa pemberian berbagai regimen dari pemberian antibiotik
intramuskular dapat dikaitkan dengan penurunan 80% dalam kejadian demam rematik
akut, dibandingkan dengan tanpa pemberian antibiotik (resiko relatif, 0.20; 95%
confidence interval [CI], 0.11 sampai 0.36).22
Pemberian antibiotik juga mengurangi resiko komplikasi supuratif infeksi
streptokokus. Ulasan cochrane secara acak dari percobaan kontrol plasebo menunjukkan
pemberian antibiotik secara signifikan menurunkan risiko dari otitis media akut (dalam
11 studi; risiko relatif, 0.30; 95% confidence interval [CI],, 0.15 sampai 0.58) dan abses
peritonsilar (dalam 8 studi; risiko relatif, 0.15; 95% confidence interval [CI], 0.05
sampai 0.47).23
tanpa pengobatan, faringitis streptokokus didapatkan hasil positif yang persisten
dari swap tenggorokan hingga 6 minggu pada 50% pasien.24 Sebaliknya, pengobatan
dengan antibiotik aktif memberikan hasil kultur swap tenggorokan yang negatif dalam
24 jam pada lebih dari 80% pasien.25,26 Hal ini direkomendasikan pada anak yang
mendapatkan pengobatan untuk faringitis streptokokus dalam 24 jam sebelum mereka
kembali ke sekolah karena onset pendek yang dihubungkan dengan tingginya hasil
positif dari kultur.27
Pengobatan dengan antibiotik juga mengurangi durasi dari gejala yang
disebabkan oleh streptokokus. Dalam uji coba didapatkan jumlah demam dan sakit
tenggorokan secara signifikan lebih rendah pada pasien yang diberi antibiotik dalam 24
jam daripada pasien yang hanya menerima plasebo. 6,7,25,26 Antibiotik mungkin kurang
efektif dalam mengurangi munculnya gejala jika pengobatan yang diberikan telat.6
PENDEKATAN UNTUK DIAGNOSA DAN PENGOBATAN
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, alasan digunakannya pengobatan dengan antibiotik
untuk streptokokus faringitis adalah untuk mencegah terjadinya demam reumatik akut.
gitis adalah untuk mencegah demam rematik akut. Meski tetap tinggi di beberapa
daerah di dunia, kejadian demam rematik akut pada negara-negara maju telah menurun
drastis, hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pendekatan secara tradisional dalam
mendiagnosis dan terapi faringitis streptokokus memang tepat.
Dalam konteks ini, beberapa hasil analisis telah membandingkan efektivitas biaya
berbagai strategi untuk diagnosis dan pengobatan. Strategi ini termasuk pengobatan
antibiotik berdasarkan hasil dari kultur tenggorokan, tidak ada pengobatan, perawatan
semua pasien dengan gejala, pengobatan berdasarkan hasil uji cepat deteksi antigen
saja, pengobatan berdasarkan hasil uji cepat deteksi antigen ditambah kultur pada pasien
dengan uji cepat deteksi antigen negatif, dan pengobatan berdasarkan algoritma dari
tanda dan gejala saja atau kombinasi dengan penggunaan kultur selektif, uji cepat
deteksi antigen, atau keduanya. Salah satu analisis dari empat strategi untuk pengelolaan
faringitis pada anak-anak menyimpulkan bahwa uji cepat deteksi antigen ditambah
kultur adalah biaya yang paling efektif termasuk biaya pengelolaan komplikasi infeksi
streptokokus dan pengobatannya. Dalam analisis ini, nilai sensitivitas yang relatif
rendah (55%) ditunjukkan dari uji cepat deteksi antigen, dan manfaat terhadap kultur
menurun dengan meningkatnya sensitivitas uji cepat deteksi antigen. Studi lain yang
melibatkan anak-anak, yang termasuk empat strategi ditambah strategi "tidak
mengobati” dan menggunakan sensitivitas 80% untuk uji cepat deteksi antigen,
menunjukkan bahwa uji cepat deteksi antigen saja adalah pendekatan dengan biaya
terhemat. Sebuah penelitian yang melibatkan orang dewasa yang sama menyimpulkan
bahwa pengobatan empiris semua pasien bergejala adalah strategi paling hemat biaya
dan bahwa empat strategi lain memiliki efektivitas biaya yang sama. Strategi hanya
mengobati pasien dengan kultur yang positif adalah yang paling mahal. Namun, uji
cepat deteksi antigen ditambah kultur akan menjadi strategi yang paling hemat biaya
jika prevalensi faringitis streptokokus lebih besar dari 20%. Sebuah temuan yang
konsisten adalah bahwa pengobatan antibiotik empiris berdasarkan gejala saja adalah
terlalu sering menggunakan antibiotik, peningkatan biaya, dan tingkat peningkatan efek
samping dari antibiotik, dibandingkan dengan strategi lainnya.
Regimen pengobatan
Rejimen pengobatan yang dianjurkan dirangkum pada Tabel 3.
Tindak lanjut setelah Pengobatan
Kultur berulang umumnya tidak dianjurkan setelah pengobatan faringitis streptokokus
tanpa komplikasi. Kultur positif setelah pengobatan yang tepat adalah makna klinis
yang pasti jika gejala dan tanda faringitis telah diselesaikan. Meskipun hasil tersebut
bisa berarti gagal pengobatan, juga dapat berarti bahwa pasien adalah pembawa
streptokokus yang memiliki episode kambuhan faringitis yang disebabkan oleh
organisme lain.
Sebuah uji cepat deteksi antigen, kultur, atau keduanya harus dilakukan jika gejala
faringitis berulang setelah pengobatan; jika hasilnya positif, pengobatan ulang
diindikasikan. Jika kurang patuh terhadap regimen awal, intramuskular benzatin
penisilin mungkin lebih disukai untuk pengobatan ulang. Kekambuhan mungkin juga
hasil reinfeksi dari kontak anggota keluarga yang merupakan pembawa. Meskipun
pembawa bukan merupakan indikasi untuk perawatan di sebagian besar keadaan,
banyak ahli merekomendasikan kultur spesimen usap tenggorokan dari anggota
keluarga dan perawatan semua pembawa jika diduga reinfeksi. Klindamisin dan
sefalosporin tampaknya lebih efektif daripada penisilin dalam memberantas pembawa,
dan salah satu dari agen-agen ini lebih disukai dalam situasi ini. S. pyogenes dapat
bertahan selama berhari-hari pada sikat gigi, tapi perannya dalam infeksi ulang belum
terbukti. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa hewan peliharaan adalah sumber
infeksi streptokokus berulang.
AREA KETIDAKPASTIAN
Beberapa artikel telah menyarankan bahwa tingkat kesembuhan bakteriologis terkait
dengan pengobatan penisilin faringitis streptokokus telah menurun dalam beberapa
dekade terakhir dan bahwa sefalosporin lebih berkhasiat. Sebuah meta-analisis dari 51
studi menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat kegagalan
bakteriologis terkait dengan pengobatan penisilin antara periode 1953-1979 dan periode
1980-1993 (10,5% dan 12%, masing-masing). Sebuah meta-analisis kemudian 35
percobaan perbandingan dari tahun 1970 sampai tahun 1999, yang melibatkan 7125
anak-anak, menunjukkan perbedaan kecil, tetapi tingkat kesembuhan bakteri yang
signifikan lebih menguntungkan sefalosporin dibandingkan penisilin. Namun, seperti
dalam studi sebelumnya, tidak ada perubahan yang signifikan dalam tingkat
kesembuhan.
Tabel.3 regimen penatalaksanaan yang direkomendasikan pada faringitis streptococcus grup ANama obat
Penicilin V
Benzathine Penicilin G
Amoxicillin
Alternatif pada pasien yang alergi penicilin
cephalexin
cefadroxil
Dosis, cara pemberian dan lama pemberian
BB <27 kg : 250 mg Peroral. 2-3x/hari selama 10 hariBB ≥27 kg: 500 mg Peroral. 2-3x/hari selama 10 hari
BB <27 kg : 600.000 U IM dosis tunggalBB ≥27 kg: 1.200.000 U IM dosis tunggal
20 mg/kgBB peroral. 2x/hari. Dosis maksimal 500mg. Selama 10 hari atau 50mg/kgBB. 1x/hari. Dosis maksimal 1g selama 10 hari
Ket
Spektrum sempit, murah, telah banyak dilakukan percobaan klinik
Terbukti paling baik untuk preventif demam rematik akut, tidak berpengaruh terhadap kepatuhan pasien
sediaan oral lebih baik dibanding penicilin. Regimen yang digunakan sekali sehari hanya yang telah disetujui FDA yaitu yang memiliki waktu rilis pada pasien diatas 12 tahun, (moxatag, middlebrook pharmaceuticals), 775 mg peroral 1x/hari selama 10 hari. Meskipun tidak disetujui FDA, formulasi standar amoxicilin 1x/hari telah terbukti berhasil pada anak-anak
Referensi
Clegg et al., 32Lennon et al,33
azithromicin
klindamicin
20 mg/kgBB peroral. 2x/hari. Dosis maksimal 500mg. Selama 10 hari
30 mg/kgBB peroral. 1x/hari. Dosis maksimal 1g. Selama 10 hari
12 mg/kgBB peroral. 1x/hari. Dosis maksimal 500mg. Selama 5 hari
7 mg/kgBB peroral. 3x/hari. Dosis maksimal 300mg. Selama 10 hari
dan dewasa, sama dengan penggunaan amoxicilin 2x/hari atau berbagai regimen penicilin.
Cephalosporin dianggap dapat diterima sebagai alternatif pada pasien yang tidak memiliki riwayat alergi yang muncul segera setelah penggunaan penicilin. Cephalosporin generasi pertama lebih baik karena memiliki spektrum yang lebih sempit dan lebih murah
FDA menyetujui penggunaan selama 5 hari, dosis yang rendah berhubungan dengan tinggginya tingkat kegagalan pada anak-anak, resistensi <8% di sebagian besar wilayah Amerika utara tetapi lebih tinggi pada kalangan tertentu dan >20% pada wilayah Eropa dan Asia
Sediaan oral memilik rasa yang tidak enak. Kemungkinan berhubungan dengan tingginya kejadian Clostridium difficile colitis, resistensi <2% di USA dan Kanada tetapi mencapai 20% pada beberapa daerah
Liu et a.,35 Tamayo et al.,36 Tanz et al., 37
Tamayo et al.,36 Tanz et al., 37 Kim and Yong Lee38
Bagaimanapun, seperti dalam penelitian sebelumnya, tidak terdapat perubahan
yang bermakna pada tingkat kesembuhan berhubungan dengan penisilin yang berasal
dari tahun 1970an hingga 1990an. Pembahasan yang diusulkan untuk perbedaan tingkat
kesembuhan bakteriologik yang berhubungan dengan terapi penisilin merupakan variasi
bagian proporsi karier S. Pyogenes dalam populasi penelitian.44,45 Penisilin kurang
efektif dibandingkan sefalosporin atau klindamisin dalam mengeradikasi karier S.
Pyogenes yang asimptomatik. Oleh karena itu, semakin banyak proporsi karier yang
dilibatkan dalam percobaan, semakin rendah tingkat kesembuhan bakteriologiknya.
Dalam suatu percobaan acak yang membandingkan sefadroksil dengan penisilin pada
anak dengan kultur tenggorokan atau uji cepat deteksi antigen positif, keseluruhan
tingkat kesembuhan bakteriologik sebesar 94% dan 86% secara berturutan (P<0,01).40
Bagaimanapun, diantara pasien yang secara klinis (sebelum analisis hasil bakteriologik)
tergolong kemungkinan besar menderita faringitis streptokokal (misalnya, orang dengan
kelenjar limfadenopati yang lunak pada leher, eksudat tonsiler, atau petekie tonsil dan
tidak batuk, hidung tersumbat, atau diare), tidak ada perbedaan yang bermakna pada
tingkat kesembuhan antara dua regimen terapi. Sebaliknya, diantara pasien-pasien yang
secara klinis tergolong kemungkinan karier, tingkat kesembuhan bakteriologiknya
sebesar 95% untuk golongan sefadroksil dan hanya 73% untuk golongan penilisin.
Beberapa pembahasan telah diusulkan untuk kegagalan pengobatan penisilin yang
terjadi kadang-kadang, tetapi data yang ada untuk mendukungnya kurang.
Kemungkinan mekanisme mencakup degradasi lokal penisilin oleh enzim beta-
laktamase yang diproduksi oleh flora tenggorokan lainnya dan efek inhibisi penisilin
pada flora kompetitor. Bagaimanapun, data untuk mendukung mekanisme lainnya
belum dapat ditentukan.40 Belum ada bukti bahwa S. Pyogenes menjadi lebih resisten
dengan penisilin.
PEDOMANRekomendasi untuk evaluasi dan pengobatan faringitis streptokokal telah
dipublikasi dan disahkan oleh American College of Physicians (ACP), American
Academy of Family Physicians (AAFP), dan Centers for Disease Control and
Prevention (CDC)46,47; Infectious Diseases Society of America (IDSA)48; dan American
Heart Association-American Academy of Pediatrics (AHA).49 Semua pedoman ini
mempertimbangkan bahwa itu masuk akal untuk tidak melakukan kultur tenggorok atau
uji cepat deteksi antigen pada orang tanpa gejala klinis yang mendukung infeksi
streptokokus (demam, limfadenopati yang lunak pada leher, pembesaran atau eksudat
tonsil atau faring dan tanpa batuk). Pedoman ACP, AAFP, dan CDC mendukung bahwa
tiga strategi alternatif untuk dewasa dengan dua atau lebih gejala klinis di atas. Strategi
pertama yaitu mengobati pasien dengan hasil uji cepat deteksi antigen positif. Strategi
kedua adalah mengobati pasien dengan keempat gejala klinis tanpa pemeriksaan lanjut
dan pasien dengan dua atau tiga gejala klinis dan hasil uji cepat deteksi antigen positif.
Strategi ketiga adalah tidak memeriksa seorangpun dan mengobati pasien dengan tiga
atau empat gejala klinis. IDSA dan AHA tidak mendukung strategi kedua dan ketiga
ACP, AAFP, dan CDC karena kedua pendekatan tersebut menyebabkan peningkatan
penggunaan antibiotik yang tidak perlu.
Semua pedoman merekomendasikan penisilin oral atau intramuskular sebagai
terapi utama untuk faringitis streptokokus. Pedoman terbaru AHA yang telah
dimunculkan juga mendukung amoksisilin satu kali sehari sebagai terapi lini pertama.
ACP, AAFP, CDC dan IDSA merekomendasikan penggunaan eritromisin pada pasien
dengan alergi terhadap penisilin. AHA merekomendasikan sefalosporin generasi
pertama pada pasien dengan alergi terhadap penisilin yang tidak memiliki hipersensitif
segera terhadap antibiotik betalaktamase, dengan klindamisin, azitromisin atau
klaritromisin sebagai pilihan terapi alternatif. Pedoman pada beberapa negara Eropa
lebih mengikuti pendekatan tersebut sedangkan pedoman Eropa lainnya menentukan
bahwa faringitis streptokokus merupakan self limited disease yang tidak memerlukan
diagnosis spesifik atau terapi antibiotik kecuali pada pasien risiko tinggi (misalnya
orang dengan riwayat demam rematik akut atau penyakit jantung rematik) atau pasien
sakit berat.28 Sebaliknya, pedoman dari India, dimana insidensi demam rematik akut
masih tinggi, penisilin G benzatin merupakan terapi utama yang direkomendasikan
untuk faringitis streptokokus.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pada pasien dengan tanda dan gejala yang mengarah pada faringitis
streptokokus, misalnya pasien pada skema, diagnosis spesifik harus ditegakkan dengan
melakukan kultur tenggorok atau uji cepat deteksi antigen dengan kultur tenggorok bila
uji cepat deteksi antigen negatif, setidaknya pada anak-anak. Penisilin merupakan terapi
pilihan dan sefalosporin generasi pertama merupakan pilihan alternatif kecuali ada
riwayat hipersensitifitas segera terhadap antibiotik betalaktamase. Pada pasien dalam
skema kasus, hasil uji cepat deteksi antigen positif mendukung diagnosis infeksi
streptokokus. Penulis akan merekomendasikan ibuprofen atau asetaminofen untuk
mengatasi gejala dan akan meresepkan penisilin V oral untuk 10 hari. Jika hasil uji
cepat deteksi antigen positif, kultur tenggorok tidak diperlukan untuk diagnosis,
maupun diperlukan setelah terapi, jika gejala teratasi.