tugas belajar pembelajaran
TRANSCRIPT
Nama : A.A Rai Plasa Elizabeth
NIM : 1313041010
Tugas Belajar Pembelajaran
1. Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans)
yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum
mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun
eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak,
berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da
kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1. Mementingkan faktor lingkungan
2. Menekankan pada faktor bagian
3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4. Sifatnya mekanis
5. Mementingkan masa lalu
Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat
yang mendasarinya yaitu:
a. Mementingkan pengaruh lingkungan
b. Mementingkan bagian-bagian
c. Mementingkan peranan reaksi
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
e. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
f. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
g. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran
yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi
ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun
melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana samapi pada
yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu
ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori
behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang
diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat
penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat
mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini
sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyartan tertentu
sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode
ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting
untuk menerapkan kondisi behavioristik.
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya:
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga
dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka
meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau
pujian.
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa
yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih
dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif , perlu motivasi
dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan
dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari
oelh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan
siswa.
2. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial dikenalkan oleh Albert Bandura, yang mana konsep dari teori ini
menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Menurut
Bandura, orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan (mencontoh model).
Orang belajar dari apa yang ia baca, dengar, dan lihat di media, dan juga dari orang lain dan
lingkungannya.
Albert Bandura mengemukakan bahwa seorang individu belajar banyak tentang
perilaku melalui peniruan / modeling, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement)
sekalipun yang diterimanya. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning"
atau pembelajaran melalui pengamatan. Albert Bandura (1971), mengemukakan bahwa teori
pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh
lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang
dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana
perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan
observational opportunity.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran,
yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan
mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain.
Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses pengamatan
atau modeling Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain :
a. Atensi, dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap model dengan
cermat
b. Retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang ditampilkan oleh
model yang diamati maka seseorang perlu memiliki ingatan yang bagus terhadap perilaku
model.
c. Reproduksi, dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian untuk
mengamati dengan cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah ditampilkan oleh
modelnya maka berikutnya adalah mencoba menirukan atau mempraktekkan perilaku yang
dilakukan oleh model.
d. Motivasional, tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki motivasi untuk belajar
dari model.
3. Teori belajar kognitif
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya
mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan
aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat
memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku,
sikap,dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran
behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian
belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat
diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang
dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses
yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53)
bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman,
ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha
yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses
interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan
berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung
termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung
dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut
beberapa pakar teori belajar kognitif:
Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal
dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap
yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu
yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun
tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami
lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan
menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya.
Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui
bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan
menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu
mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan
bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak
dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang
berbeda dengannya.
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya
mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi
yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit
sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra
seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya
kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui
bila membuat kesalahan.
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan.
Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah.
Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah.
Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat
membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan
kognitif anak menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.
Taxonomy SOLO
Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori
pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik melakukan
analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang cukup tajam terhadap teori Piaget
adalah berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh
pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika
seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran
dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat diduga akan
mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan berat sama. Ternyata
bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini tidak sepenuhnya
benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah
terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu.
Dari beberapa hasil pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim
terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah
pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian theories.
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget.
Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori
mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis
(1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum
anak dengan “actual respon” atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah.
Mereka menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa
hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized
cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative
lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak diukur
menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu
tugas tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa
penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya,
hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi
penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada
level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level
formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada topik
yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran”
dalam perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi
yang lebih proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada
analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir
rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk melihat
kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa
dan perubahannya dari waktu ke waktu.
Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang
tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60)menyediakan suatu level
tersendiri yang diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan
penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini
tidak akan menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan.
Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level terakhir adalah
batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan anak, bukan seluruh penampilan
yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara khusus, ketika semakin banyak mode yang
memungkinkan maka multi-modal fungsioning menjadi normanya.
Berikut adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1. Mode Sensorimotor
Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun
kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan lingkungan sekitar.
Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika
diperolehnya tacit knowledge.
2. Mode Iconic
Pada mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan elemen-
elemen yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan sebagai
peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada mode ini antara lain
sering menggunakan strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan senang membuat
gambaran-gambaran mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari
seorang manusia yang berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah
formal ada pada mode concrete symbolic.
3. Mode Concrete Symbolic
Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai
merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan, yaitu sebuah system
symbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di dunia.
Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi
sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem symbol yang
digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode concrete symbolic adalah
mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah. Karena dalam matematika anak
menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang berada di sekitarnya.
4. Mode Formal
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan
mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini
meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh karena itu
kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.
5. Mode Post Formal
Keberadaan mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif dari
pada penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari mode ini
adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari sesuatu hal.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan perkembangan
kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO;
1. Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak saling
berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak
mempunyai makna apapun.
2. Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan
konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa kata kerja yang
dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan
melakukan prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat terpisah
satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif. Beberapa koneksi
sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum tampak pada tahap
ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara
lain; membilang atau mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat
daftar, menggabungkan dan melakukan algoritma.
4. Tahap relational.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan tujuan.
Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu kesatuan
konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan
sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan
kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan
sebab akibat, menggabungkan, menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5. Tahap Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang
sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat generalisasi
serta dapat melakukan sebuah perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-
kerja yang merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori,
membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun suatu
konsep.
Teori Belajar Van Hiele
Dalam belajar pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van
Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam belajar geometri.
Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pegajaran
geometri. Hasil penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan
tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi
pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat
meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahapan berpikir dalam belajar geometri
yaitu :
a.Tahap Pengenalan
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun
belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai
contoh jika kepada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat
atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus itu. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-
sisi yang berupa bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah.
b.Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geomeri yang
diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri
tersebut. Misalnya disaat dia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat
dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini
anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan
benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah persegi
panjang, bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c.Tahap Pengurutan
Pada tahap ini anak telah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan
sebutan berpikir deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang secara penuh. Pada tahap ini
anak telah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mulai mengenali bahwa bujur sangkar
adalah jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. Demikian pula dalam
pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan
keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berbentuk bujursangkar. Pola pikir anak pada tahap
ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama
panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga
yang kongruen.
d.Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Mereka juga telah
mengerti peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang telah
didefinisiskan. Misalnya anak telah mampu memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak telah
mampu menggunakan postulat atau aksioma yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut,
sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat
tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pebuktian dua
segitiga yang sama dan sebangun(kongruen).
e.Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip
dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma
atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi,
rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah
duduk dibangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.
Paparan di atas baru beberapa teori pembelajaran kognitif, selain itu masih banyak teori belajar
konitif yang diungkapkan oleh beberapa pakar seperti Bruner, Bloom, Freudenthal dan lain-lain.
Aplikasi Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif bisa di aplikasikan kedalam konsentrasi belajar apa saja karena
sebenarnya dasar dari teori tersebut ada 3 hal yaitu :
Belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif
peserta didik
Peserta didik hendaknya di beri kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan
obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh
pertanyakan tilikan dari guru
Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada perserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan
Implikasi dalam belajar
Bahasa dan cara berfikir siswa berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir siswa
Siswa – siswa akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan yang
baik. Guru harus membantu siswa agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik
baiknya
Bahan yang harus dipalajari siswa hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing
Berikan peluang agar siswa belajar sesuai bertahap
Di dalam kelas, siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman – temanya
4. Teori belajar konstruktivistik
Menurut Suparno, paham konstruktivistik pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan)
dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pembentukan pengetahuan merupakan proses
kognitif tempat terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan
sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar berarti
membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus. Konstruksi berarti
bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu
upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.
Adapun menurut Tan Vui, konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas
pengalaman-pengalaman sendiri. Sedangkan, teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang
memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar.
Kesimpulannya, teori konstruktivisme memberikan keaktifan terhadap manusia untuk
belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang
diperlukan guna mengembangkan dirinya.
Adapun ciri pembelajaran secara konstruktivisme adalah sebagai berikut:
a. Memberi peluang kepada pembelajar untuk membina pengetahuan baru
b. Mendukung pembelajaran secara koperatif
c. Mendorong dan menerima usaha dan hasil yang diperoleh pembelajar
d. Mendorong pembelajar mau bertanya dan berdialog dengan guru
2. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Konstruktivistik
a. Driver dan Bell
Driver dan Bell mengajukan karakteristik teori belajar konstruktivistik sebagai berikut:
1. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif, tetapi memiliki tujuan
2. Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa
3. Pengetahuan bukab sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal
4. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan mellibatkan pengaturan situasi
kelas
5. Kurikulum bukanlah sekadar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan
sumber
b. J.J Piaget
Tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan konstruktivisme
kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental, yaitu:
1. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan
urutan yang sama.
2. Tahap-tahap tersebut didefenisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual.
3. Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration)
c. Vigotsky
Konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky memiliki pengertian bahwa
belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik.
Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya
seseorang.
d. Tasker
Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut:
1. Peran aktif siswa dalam mengonstruksi pengetahuan secara bermakna
2. Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dan lam pengonstruksian secara bermakna
3. Mengaitkan antara gagasan dan informasi baru yang diterima
e. Wheatley
Wheatley mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar
konstruktivisme, yaitu:
1. Pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif
siswa
2. Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman
nyata yang dimiliki anak
f. Hanbury
Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
1. Siswa mengonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki
2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti
3. Strategi siswa lebih bernilai
4. Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya
Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran terhadap teori belajar konstruktivisme lebih
memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka, bukan
kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
3. Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivisme
Widodo menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang
konstuktivis sebagai berikut:
a. Memerhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
b. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
c. Adanya lingkungan sosial yang kondusif
d. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
e. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah
5. Apek-Aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aspek-aspek pembelajaran konstruktivistik berupa
adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronment), dan
pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut, oleh J.
Piaget mengemukakan adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu
asimilasi dan akomodasi.
a. Proses Asimilasi
Proses asimilasi adalah proses kognitif ketika seseorang mengintegrasikan perspesi, konsep,
ataupun pengalaman baru ke dalm skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
b. Proses Akomodasi
Proses akomodasi dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dimiliki.
Pengalaman yang baru ini bisa saja sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada.
Dalam keadaan demikian, orang akan mengadakan akomodasi.
Menurut Piaget, adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya, terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan
itu, tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau
munculnya struktur yang baru.
6. Teori belajar humanistik
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. \proses
belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa
dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya,
yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia
yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para
ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
1. Proses pemerolehan informasi baru,
2. Personalia informasi ini pada individu.
Implikasi Teori Belajar Humanistik
a. Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini
adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini
merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa guidenes(petunjuk):
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi
kelompok, atau pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di
dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik
isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi
dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok,
dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil
secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya
perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali
dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Siswa
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi,
kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman
belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman
belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya
secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur
dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif
sendiri
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara
mandiri
5. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,
melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai
secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko
perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi
pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan
analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa
merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas,
berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma ,
disiplin atau etika yang berlaku.