tugas kejahatan ekonomi

Upload: cool182

Post on 30-May-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/9/2019 TUGAS KEJAHATAN EKONOMI

    1/8

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA

    Pembahasan Masalah

    Globalisasi ekonomi yang esensinya adalah liberalisasi perdagangan

    mengakibatkan semakin terbuka lebarnya pasar domestik suatu negara bagi produk

    dan perusahaan (investor) asing, yang tidak jarang justru malah menyebabkan

    tersingkirnya produk/investor negara sendiri.

    Globalisasi apabila ditelusuri ke belakang, mulai bergulir secara cepat sejak

    awal 1990-an, yang bermula dari situasi dan kondisi perekonomian dunia pasca

    Perang Dunia II Tahun 1945. Amerika Serikat dengan negara sekutunya sebagai

    kekuatan ekonomi dan politik pada waktu itu memprakarsai Konfrensi Bretton Woods

    yang menghasilkan seperangkat aturan hukum ekonomi internasional berikut

    organisasi pelaksananya yang merupakan cikal bakal terbentuknya sistem

    perekonomian dunia melalui WTO (World Trade Organisation).

    Sebagai lembaga international yang mengatur perdagangan antar negara,

    WTO merupakan kelanjutan dari persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan

    (General Agreement on Tariffs and Trade / GATT) yang terbentuk tahun 1947,

    hasil dari perundingan internasional yang diprakarsai oleh AS dan Inggris pasca

    Perang Dunia II di Bretton Woods,AS. Kemudian GATT dijadikan landasan hukum

    internasional bagi perdagangan barang antar negara.

    Pada awal terbentuknya, tidak banyak negara berkembang yang turut serta

    dalam persetujuan GATT, karena pada saat itu banyak negara-negara berkembang

    masih berstatus sebagai negara jajahan. Mereka terikat pada GATT melalui

    keikutsertaan negara-negara bekas penjajahnya sebagai peserta GATT. Hal inilah

    yang menyebabkan sehingga substansi GATT pada awalnya sangat tidak berorientasi

    pada kepentingan negara berkembang.

    Posisi negara berkembang pada saat itu memang terjepit, bila tidak ikut serta

    dalam GATT, maka mereka akan terpinggirkan dari perdagangan antar negara, namun

    bila ikut serta di dalamnya terasa tidak adil sebab mereka harus tunduk pada aturan

    dimana mereka tidak punya suara dalam proses pembentukannya. Sehinga, negara-

    negara berkembang , melalui PBB, pada tahun 1964 memprakarsai pembentukan

    United Nations Conferences on Trade and Development (UNCTAD) yang

    dimaksudkan sebagai sarana untuk mengedepankan posisi dan kepentingan mereka

    dalam perundingan dagang multilateral dalam konteks memperbaiki substansi dan

    sistem GATT agar lebih mengakomodasi kepentingan negara berkembang. Upaya ini

    berhasil ketika di Putaran Tokyo 1973, negara-negara peserta GATT menerima

    Oleh: Richard Abrian Bayu Kusuma/2070206/Kelas A

    1

  • 8/9/2019 TUGAS KEJAHATAN EKONOMI

    2/8

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA

    dimasukkannya klausula yang mengaitkan pentingnya peranan perdagangan bagi

    pembangunan khususnya di negara berkembang. Berdasarkan klausula ini (dikenal

    sebagai the enabling clause) GATT pada prinsipnya memberikan differential and

    more favourable treatment bagi negara berkembang yang karena secara ekonomi dansosial posisinya memang tidak setara dengan negara industri maju.

    Perundingan dagang multilateral dalam konteks GATT mengalami perubahan

    radikal ketika Putaran Uruguay yang diadakan pada tahun 1986, yang dimotori oleh

    AS, Uni Eropa dan Jepang, menginginkan perluasan wewenang GATT untuk juga

    mengatur persoalan HAKI, investasi, dan perdagangan sektor jasa. Ide ini pada

    awalnya sangat ditolak oleh negara berkembang yang ingin mempertahankan agar

    GATT hanya mengatur perdagangan barang saja. Negara-negara berkembang

    menganggap bahwa GATT hanya akan menguntungkan negara maju dan

    memberatkan negara berkembang, sebab jelas sekali bahwa pengembangan-

    pengembangan dibidang HAKI dan perdagangan disektor jasa, didominasi oleh

    perusahaan-perusahaan dari negara maju saja. Namun karena kekuatan lobi negara

    maju, pada Putaran Uruguay ketiga, ketiga topik di atas, meskipun tidak utuh, berhasil

    dimasukkan ke dalam GATT.

    Pada Putaran Uruguay terakhir tahun 1994, GATT berhasil dilembagakan

    menjadi World Trade Organisation (WTO) dengan seperangkat

    perjanjian perdaganagn yang meliputi sektor kepemilikan intelektual (HAKI), jasa

    dan investasi, serta masalah penyelesaian sengketa diantara anggota, yang

    kesemuanya diperlakukan sebagai satu kesatuan atau as a single undertaking di

    bawah wewenang WTO. Dengan berfungsinya WTO maka secara formal prosedural

    GATT menjadi tidak berfungsi lagi, namun secara substansial prinsip-prinsipnya telah

    diadopsi oleh WTO yang memungkinkan diterapkannya cross sectoral retaliation.

    Apabila misalnya Negara A melakukan pelanggaran perjanjian mengenai dumping

    yang merugikan Negara B, maka B dapat mengambil tindakan balasan terhadap A

    dengan misalnya membatalkan komitmennya di sektor jasa, pertanian, atau sektor

    lainnya yang bukan tentang dumping.

    Perjanjian WTO sebagai as a single undertaking, berarti bahwa semua negara

    angota WTO yang menandatangani perjanjian WTO sebagai satu kesatuan meliputi

    pula ketiga hal baru, yaitu TRIPs (HAKI),TRIMS (Investasi), dan GATS

    (Perdagangan dibidang jasa). Negara peserta tidak dapat memilih-milih

    Oleh: Richard Abrian Bayu Kusuma/2070206/Kelas A

    2

  • 8/9/2019 TUGAS KEJAHATAN EKONOMI

    3/8

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA

    perjanjian mana saja yang akan diikutinya. Hal ini memberikan keuntungan sekaligus

    kerugian bagi negara berkembang. Keuntunganya, dengan prinsip ini perjanjian

    dibidang tekstil dan pertanian, dua hal yang sangat penting bagi negara berkembang,

    yang dahulunya terlepas dari paket GATT kini menjadi satu bagian dalam WTOsehinga semua negara termasuk negara maju menjadi terikat pada perjanjian ini.

    Kerugiannya, bahwa negara berkembang menjadi terikat juga pada perjanjian-

    perjanjian yang sejak awal dirasakan akan lebih banyak membebani mereka, yakni

    perjanjian tentang TRIPs, TRIMS dan GATS.

    Melihat hal tersebut di atas, ada beberapa hal yang patut dicermati berkaitan

    dengan ratifikasi TRIPs oleh negara anggota WTO, terutama negara-negara

    berkembang, Pertama, pemberlakuan TRIPs mengubah perlindungan HAKI dari

    masalah dalam negeri menjadi persoalan global melalui upaya penyeragaman sistem

    perlindungan HAKI bagi semua negara anggota WTO. Padahal kondisi ekonomi,

    politik, budaya, dan hukum negara berkembang yang belum banyak mengenal

    peraturan perlindungan HAKI. Hal ini berpotensi dapat menimbulkan konflik dalam

    pelaksanaan di dalam negeri karena sistem perlindungannya yang lebih ketat serta

    secara substansi masih dianggap baru.

    Kedua, aspek yang disepakati dalam TRIPs sangat luas dan mencakup

    perlindungan HAKI terkait dengan perdagangan internasional. Sehingga peraturan

    apapun dibidang perlindungan HAKI akan selalu dikaitkan dampaknya dengan

    perdagangan internasional dan mitra dagang. Seperti misalnya pembajakan kaset,

    video, dan film asing di suatu negara dapat mempengaruhi kebijakan di bidang

    perdagangan lain yang tidak berkaitan sama sekali dengan kaset atau video. Artinya

    TRIPs membuat penegakan HAKI menjadi sangat kompleks karena berkaitan dengan

    lalu lintas barang dan jasa internasional yang tidak terbatas jenis dan jumlahnya.

    Terakhir, walaupun nampaknya TRIPs mengandung peraturan yang ketat dan

    sulit dilaksanakan terutama di negara berkembang, ada beberapa pasal dan ketentuan

    yang sebenarnya merupakan pengaman atau sering disebut sebagai safeguard.

    Artinya ada peluang bagi setiap negara untuk mengadakan perlindungan HAKI yang

    sesuai dengan kebutuhan nasional, tetapi tidak bertentangan dengan TRIPs. Hanya

    saja,seringkali ketentuan tersebut diartikan berbeda oleh negara maju dan negara

    berkembang sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Pada dasarnya ada beberapa

    Oleh: Richard Abrian Bayu Kusuma/2070206/Kelas A

    3

  • 8/9/2019 TUGAS KEJAHATAN EKONOMI

    4/8

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA

    alasan sehingga Negara-negara maju berupaya mengkaitkan perlindungan HaKI

    dengan perdagangan internasional, yakni (Correa,1998):

    1. Teknologi telah menjadi salah satu faktor penting dalam produksi barang dan

    jasa. Hal itu terlihat dari meningkatnya anggaran yang dikeluarkan untuk penelitian,pengembangan dan penemuan produk-produk baru. Karena itu dirasakan perlu adanya

    perlindungan yang semakin ketat untuk menghindari pemalsuan sehingga modal yang

    dikeluarkan untuk biaya riset dapat kembali dengan cepat.

    2. Perusahaan manufaktur dari negara maju yang selama ini memimpin pasar

    mulai tersaingi dengan kehadiran produk-produk sejenis dari negara-negara industri

    baru di Asia dan Jepang. Produk sejenis yang membanjiri pasar tampil dengan

    kualitas tidak berbeda jauh dan dengan harga yang lebih kompetitif, mencakup

    misalnya obat-obatan, elektronik, komputer, semikonduktor, dan jasa konstruksi.

    Menurunnya supremasi perusahaan dari negara maju terutama AS diyakini terjadi

    akibat banyaknya pembajakan, pemalsuan, dan pencurian inovasi perusahaan AS.

    Meningkatnya defisit perdagangan AS semakin menguatkan pendapat bahwa

    perelindungan HaKI perlu diperkuat di tingkat internasional.

    3. Negara-negara maju berkepentingan untuk tetap mengukuhkan posisinya

    sebagai pemimpin pasar. Penguatan perlindungan HaKI yang dikaitkan dengan

    perdagangan akan membantu mempertahankan posisi tersebut dan memperlambat

    negara-negara lain untuk mengejar ketertinggalannya dalam bidang teknologi.

    4. Monopoli teknologi melalui penguatan perlindungan HaKI memberikan

    peluang bagi perusahaan multinasional (Multinational Corporation/ MNC)untuk

    memperluas pasar di negara-negara berkembang. Karena perlindungan atas teknologi

    untuk memproduksi suatu produk akan menghambat negara importer atau negara

    tujuan untuk menjiplak atau memproduksi barang yang sama. Apabila negara

    pengimpor mampu memproduksi barang yang sama, maka kesempatan MNC untuk

    mengekspor langsung hasil produksinya ke negara bersangkutan semakin berkurang.

    5. Bagi negara maju, seperti AS, HaKI sudah menjadi komoditi perdagangan

    internasional. Berdasarkan survei yang dilakukan National Science Foundation,

    Science and Engineering Indicators, 1991, penerimaan total AS dari perdagangan

    HaKI mencapai hampir $US 18 milyar (Priapantja,1999). Oleh karenanya, pemerintah

    dan perusahaan AS berupaya keras menginternasionalisasi hukum nasional di bidang

    perlindungan HaKI melalui berbagai forum internasional.

    Oleh: Richard Abrian Bayu Kusuma/2070206/Kelas A

    4

  • 8/9/2019 TUGAS KEJAHATAN EKONOMI

    5/8

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA

    Di Indonesia secara nasional, sistem HaKI modern dimulai dengan

    diratifikasinya Konvensi WTO/ Persetujuan TRIPs dengan UU No.7/1974. Ratifikasi

    ini diikuti dengan berbagai langkah penyesuaian. Salah satu langkah strategis dalam

    rangka penyesuaian yaitu dalam hal legislasi dan konvensi Internasional. Indonesiasebagai salah satu negara anggota WTO harus merevisi atau mengubah peraturan

    perundang-undangan yang telah ada di bidang HaKI dan mempersiapkan peraturan

    perundang-undangan baru untuk bidang HaKI, dan juga mempersiapkan penyertaan

    Indonesia dalam konvensi-konvensi internasional. Berkaitan dengan hal tersebut di

    atas, sejak tahun 1997 Pemerintah Indonesia menetapkan empat buah UU di bidang

    HAKI yang merupakan perubahan dari UU HAKI sebelumnya, dan selanjutnya pada

    akhir tahun 2000 Pemerintah telah mengesahkan tiga UU baru di bidang HAKI. Ke

    tujuh UU di bidang HaKI tersebut adalah sebagai berikut:

    1. UU No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Yang merupakan perubahan dari

    UU No.12 Tahun 1997 Tentang Perubahan UU No.6 Tahun 1982 Tentang

    Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan UU No.7 Tahun 1987;

    2. UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten. Yang merupakan perubahan dari UU

    No.13 Tahun 1997 Tentang Perubahan UU No.6 Tahun 1989 Tentang Paten;

    3. UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek. Yang merupakan perubahan dari UU

    No.14 Tahun 1997 Tentang Perubahan UU No.19 Tahun 1992 Tentang

    Merek;

    4. UU No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;

    5. UU No.31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri;

    6. UU No.32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkit Terpadu

    7. UU No.29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman

    Salah satu karakteristik dari HAKI adalah adanya hak eksklusif bagi

    pemegang HAKI. Hak tersebut merupakan hak monopoli yang diberikan negara

    kepada seorang penemu atau pencipta terhadap penggunaan suatu penemuan atau

    ciptaan bagi seorang penemu atau pencipta. Bentuk-bentuk Hak eksklusif atas

    HAKI, dapat dilihat pada beberapa aturan yang mengatur HAKI, sebagai berikut:

    Hak eksklusif bagi pemegang Paten diatur dalam Pasal 16 UU No.14

    Tahun 2001 Tentang Paten, yaitu:

    Pemegang paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yg

    dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:

    Oleh: Richard Abrian Bayu Kusuma/2070206/Kelas A

    5

  • 8/9/2019 TUGAS KEJAHATAN EKONOMI

    6/8

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA

    a. dalam hal paten produk: membuat, menggunakan menjual, mengimpor

    menyewakan, menyerahkan atau menyediakan untuk dijual atau disewakan

    atau diserahkan produk yg diberi paten;

    b.dalam hal paten proses: menggunakan proses produksi yang diberi

    paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud

    dalam huruf a.

    c. dalam hal paten proses: melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya

    melakukan impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan

    paten proses.

    Selanjunya dalam Pasal 19 dikatakan bahwa:

    1) Dalam hal suatu produk impor ke Indonesia dan proses untuk

    membuat produk yang bersangkutan telah dilindungi paten yang

    berdasarkan UU ini, pemegang paten proses yang bersangkutan berhak

    atas dasar ketentuan dalam Pasal 16 ayat (2) melakukan upaya hukum

    terhadap produk yang di impor apabila produk tersebut telah dibuat di

    Indonesia dengan menggunakan proses yang dilindungi paten. Hak

    eksklusif bagi pemegang Merek diatur dalam Pasal 3 UU No.1 Tahun

    2001 Tentang Merek, yaitu Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang

    diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar

    Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri

    Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk

    menggunakannya.

    2) Hak eksklusif bagi pemegang hak cipta diatur dalam Pasal 2 ayat 1

    UU No.19 Tahun 3003 tentang Hak Cipta, yaitu: Hak Cipta merupakan

    hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk

    mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara

    otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan

    menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Selain itu, UU Cipta, UU Paten dan UU Merek juga mengatur mengenai lisensi.

    Pengaturan lisensi Paten seperti yang diatur dalam Pasal 69 hingga Pasal 73 dan

    mengenai Lisensi Wajib diatur dalam Pasal 74 sampai Pasal 87 UU No.14 Tahun

    2001. Rumusan yang diberikan dalam Pasal 69 mengenai lisensi Paten,

    menyatakan bahwa:

    Oleh: Richard Abrian Bayu Kusuma/2070206/Kelas A

    6

  • 8/9/2019 TUGAS KEJAHATAN EKONOMI

    7/8

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA

    1. Pemegang paten berhak memberi lisensi kepada orang lain berdasarkan

    surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana yang

    dimaksud dalam Pasal 16.

    2. Kecuali jika diperjanjikan lain, maka lingkup lisensi sebagaimanayang dimaksud dalam ayat 1 meliputi semua perbuatan sebagaimana dalam

    Pasal 16.

    Apabila menyimak secara seksama terhadap hak eksklusif paten, khususnya

    lisensi paten yang merupakan lingkup perlindungan paten di atas, dan

    menganalisis dari perspektif kebijakan Hukum Anti Monopoli dan Persaingan

    Usaha, maka hal tersebut menimbulkan beberapa masalah.

    Secara umum prinsip-prinsip Hukum Persaingan Usaha adalah, pertama,

    efisiensi ekonomi. Dalam suatu ekonomi yang efisien akan lahir inovasi, produktivitas

    dan kreativitas, karena pada pasar yang bersaing yang bisa bertahan adalah mereka

    yang efisien. Kedua, fairness atau kelayakan. Semua pengusaha boleh mengejar laba

    dan menjadi besar tetapi dengan cara-cara yang sehat, bukan dengan cara memangsa

    pelaku usaha lain yang prosesnya tidak wajar atau tidak mengikuti persaingan yang

    baik. Ketiga adalah demokrasi ekonomi. Dalam rangka mencapai kesempatan yang

    sama diantara semua pelaku ekonomi, serta terdapat equal access pada semua sumber

    daya ekonomi Hadirnya barang impor pada gilirannya akan mengontrol harga jual

    produk paten melalui mekanisme persaingan terbuka. Dengan begitu, pemegang paten

    tidak dapat secara sewenang-wenang menentukan harga jual produknya atas dasar

    otoritas monopoli yang dimilikinya. Berapapun harga yang ditentukan, bila jauh

    melampaui harga barang yang sama yang masuk melalui importasi, harga serta merta

    akan terkoreksi. Ini berarti harga jual menjadi lebih rasional. Bila ini dapat

    berlangsung dengan efektif, maka pasar dapat benar-benar aman dari distorsi

    monopoli, sebagaimana yang dicita-citakan dalam UU Anti Monopoli dan Persaingan

    Usaha,yakni: menyediakan barang dan jasa dengan harga yang lebih rendah, mutu

    yang lebih baik dan dengan pilihan yang lebih banyak. Dalam Pasal 50 huruf b UU

    No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

    Sehat, mengecualikan perjanjian yang berkaitan dengan HaKI, temasuk lisensi.

    Namun hal tersebut di atas masih tetap meninggalakan permasalahan, yang perlu

    dikaji secara seksama. Perjanjian tersebut perlu penyempurnaan. Pasal 50 hrf b harus

    diinterpretasikan secara restriktif dengan mengambil pembanding UU persaingan

    Oleh: Richard Abrian Bayu Kusuma/2070206/Kelas A

    7

  • 8/9/2019 TUGAS KEJAHATAN EKONOMI

    8/8

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA

    internasional. Bahwa Kerangka dasar Hak eksklusif HAKI khususnya Paten dan

    Merek kaitannya dengan kegiatan impor paralel, serta pengaturan pemberian lisensi

    yang bersifat eksklusif, dapat menimbulkan hambatan dalam persaingan ekonomi

    terbuka. Mengingat permasalahan tersebut dilatarbelakangi oleh dua peraturan yangsangat urgen mengatur perekonomian yakni peraturan di bidang HaKI dan UU

    Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat.

    Penutup

    1. Implikasi hak eksklusif HAKI adalah munculnya hak yang berlebihan pada

    pemegang lisensi yang berakibat pada penguasaan pasar (monopoli) yang tentu

    saja berujung pada persaingan usaha yang tidak sehat (unfair competition). Di

    samping itu, juga dapat menghambat kegiatan paralel impor yang seharusnya

    kegiatan paralel impor tersebut justru dapat menciptakan kondisi persaingan usaha

    yang sehat ( fair competition) yang sejalan dengan prinsip-prinsip persaingan

    usaha, seperti prinsip keadilan, fairness, dan lain-lain.

    2. Pelaksanaan kewenangan pemegang lisensi HAKI belum optimal. Hal itu

    disebabkan disatu sisitidak adanya mekanisme yang jelas dan lembaga yang

    representatif menangani komplein atau pengaduan HAKI. Di sisi lain, pemegang

    lisensi tidak dapat membendung masuknya barang-barang impor yang sama

    dengan produk yang telah memperoleh perlindungan HAKI di Indonesia

    Oleh: Richard Abrian Bayu Kusuma/2070206/Kelas A

    8