tugas mandiri ahmad syarkani uveitis

19
TUGAS MANDIRI MAKALAH UVEITIS Oleh : Ahmad Syarkani : I1B112231 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU

Upload: akbarian-noor

Post on 27-Nov-2015

11 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

TUGAS MANDIRI

MAKALAH UVEITIS

Oleh :

Ahmad Syarkani : I1B112231

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARBARU

2014

Page 2: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling

bersinergi untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ

yang berperan penting dalam melaksanakan fisiologis dari penglihatan ini

adalah suatu lapisan vaskular pada mata yang dilindungi oleh kornea dan

sklera disebut uvea (Ilyas, 2005; Vaughan et all, 2000).

Uvea terdiri atas 3 struktur; iris, badan siliar, dan koroid. Iris merupakan

bagian yang paling depan dari lapisan uvea. Iris disusun oleh jaringan ikat

longgar yang mengandung pigmen dan kaya akan pembuluh darah.

Korpus siliaris (badan siliaris) adalah struktur melingkar yang menonjol

ke dalam mata terletak di antara ora serrata dan limbus. Struktur ini

merupakan perluasan lapisan khoroid ke arah depan. Khoroid adalah

segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Khoroid merupakan

lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah dan sel-sel pigmen

sehingga tampak berwarna hitam (Jusuf, 2003).

Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua

bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea

merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh

darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan

pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea,

retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya. Sehingga

kadang gejala yang dikeluhkan pasien mirip dengan penyakit mata yang

lain. Adapun gejala yang sering dikeluhkan pasien uveitis secara umum

yaitu mata merah (hiperemis konjungtiva), mata nyeri, fotofobia,

pandangan mata menurun dan kabur, dan epifora (Ilyas, 2005; Jusuf,

2003; Vaughan et all, 2000).

Page 3: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

1.2 Tujuan

Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui secara umum

mengenai definisi, klasifikasi, manifestasi klinis, etiologi, patofisiologi

dan, manajemen medis uveitis.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Uveitis adalah peradangan pada uvea yang terdiri dari 3 struktur yaitu iris,

badan siliar, karoid. Uveitis adalah invlamasi salah satu struktur traktus

uvea (iris, badan siliar dan karoid). Karena uvea mengandung banyak

pembuluh darah yang memberikan nutrisi pada mata maka jika terjadi

peradangan pada lapisan ini dapat mengakibatkan gangguan penglihatan.

(Brunner dan Suddarth, 2002)

2.2Klasifikasi

Ada empat tipe-tipe dari uveitis:

1. Iritis adalah bentuk uveitis yang paling umum. Ia mempengaruhi iris

dan seringkali dihubungkan dengan kelainan-kelainan autoimun seperti

rheumatoid arthritis. Iritis mungkin berkembang tiba-tiba dan mungkin

berlangsung sampai delapan minggu, bahkan dengan perawatan.

2. Cyclitis adalah suatu peradangan dari bagian tengah mata dan mungkin

mempengaruhi otot yang mengfokuskan lensa. Ini juga dapet berkembang

tiba-tiba dan berlangsung beberapa bulan.

3. Retinitis mempengaruhi belakang mata. Ia mungkin maju secara cepat,

membuatnya sulit untuk dirawat. Retinitis mungkin disebabkan oleh viris-

virus seperti shingles atau herpes dan infeksi-infeksibakteri seperti

syphilis atau toxoplasmosis.

4. Choroiditis adalah suatu peradangan dari lapisan dibawah retina. Ia

mungkin juga disebabkan oleh suatu infeksi seperti tuberculosis.

Page 4: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

2.3 Manifestasi Klinis

Gejala awal uveitis bisa ringan atau berat, tergantung dari bagian uvea yang terkena dan beratnya peradangan yang terjadi.

Uveitis anterior memiliki gejala-gejala yang paling mengganggu. Biasanya muncul nyeri yang hebat pada mata, konjungtiva menjadi merah, nyeri jika terpapar cahaya terang, dan penglihatan sedikit menurun. Uveitis intermediate biasanya tidak nyeri. Penglihatan dapat menurun, dan penderita mungkin melihat bintik-bintik hitam yang melayang-layang (floaters). Uveitis posterior menyebabkan penglihatan menurun dan muncul floaters. Selain itu retina juga dapat terlepas. Gejala-gejala awal dari lepasnya retina dapat berupa hilangnya penglihatan pada daerah tepi dan penglihatan menjadi buram. Saraf optikus dapat meradang, sehingga terjadi hilangnya penglihatan yang bervariasi dari adanya titik buta kecil (blind spot) sampai buta total. Panuveitis dapat menyebabkan kombinasi dari gejala-gejala tersebut.

2.4 Etiologi

1) Alergen

2) Bakteri

3) Jamur

4) Virus

5) Bahan kimia

6) Trauma

7) Penyakit sistemik seperti sarkoidosis, kolitis, ulserativa, spondilitis,

ankilosis, sindroma reiter, pars planitis, toksoplasmosis, infeksi

sitomegalovirus, nekrosis retina akut, toksokariasis, histoplamosis,

tuberkulosis, sifilis, sindroma behcel, oflamia simpatetik, sindroma vogt-

hoyanagi-harada, sarkoma/limfoma.

Page 5: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

2.5 Patofisiologi

Uveitis diawali dengan adanya inflamasi dari berbagai factor diantaranya

eksogen dan endogen. Dari factor eksogen, diantaranya terdiri

dari virus (CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, HIV,

virus Epstein-Barr, virus coxsackie, Nekrosis retina

akut), bakteri (Myobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan

endemis, Nocardia, Neisseria meningitides, Myobacterium avium-

inntrasellulare, Yersinia, dan Borrelia (penyebab penyakit

Lyme), fungus (Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus),

dan parasite (Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca).

Benturan dan trauma di area mata serta terpaparnya mata oleh cairan asam

dan bersifat alkali juga dapat mengakibatkan timbulnya radang.

      Invasi berbagai macam mikroba aktif ini kemudian masuk melalui

pembuluh darah dan ikut beredar di dalamnya. Akibat dari banyaknya

pembuluh darah pada mata, mengakibatkan cepatnya mikroba menginvasi

area mata, terutama area traktus uvealis. Pembuluh-pembuluh besar pada

mata yang menyuplai darah ke mata melalui traktus uvealis diantaranya

arteri centralis retinae, arteri ciliaris posterior longa, arteri ciliaris anterior

(cabang dari a. ophthalmica), arteri episcleralis, aa. ciliares posterior

breves, arteri conjunctivalis anterior, arteri ophthalmica (percabangan dari

a. carotis interna), arteri lacrimalis, vena centralis retinae, vena

episcleralis, vena ciliaris anterior, vena conjunctivalis anterior, vena

magna cerebri (vena pada cerebri yang bercabang membentuk pembuluh-

pembuluh vena ke mata).

       Faktor endogen sendiri juga memiliki peran besar terhadap

terinfeksinya traktus uvealis, diantaranya karena 1) proses autoimun,

seperti penyakit Artritis Rheumatoid Juvenilis, Spondylitis Ankilosa,

Sindrom Reiter, Colitis Ulserativa, Uveitis Terinduksi-Lensa, Sarkoidosis,

Penyakit Crohn, Psoriasis, Penyakit Behcet, Sindrom Vogt-Koyanagi-

Harada, Poliarteritis nodosa, Ofthlmia simpatis, dan Vaskulitis retina, 2)

proses infeksi seperti Sifilis, Tuberculosis, Lepra (Morbus Hansen),

Herpes Zoster, Herpes Simpleks, Onkoserkiasis, dan Adenovirus, 3)

proses keganasan seperti Sindrom Masquerade, Retinoblastoma,

Leukemia, Limfoma, dan Melanoma Maligna.

Page 6: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

       Adapun factor idiopatik dari uveitis sendiri diantaranya

Sarkiodosis, Koroiditis geografik, Epiteliopati pigmen plakoid multifocal

akut, Retinopati “birdshot”, Epiteliopati pigmen retina, Uveitis

Traumatika, termasuk Cedera Menembus Ablasio Retinae, Iridosiklitis

Heterokronik Fuchs, Gout, dan Krisis Glaukomatosiklitik.

      Proses infeksi akan mengakibatkan dilatasi pembuluh darah yang

akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau

pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini akan

menyebabkan eksudasi ke dalam akuos humor, sehingga terjadi

peningkatan konsentrasi protein dalam akuos humor.

Dalam proses autoimun, bahan yang bisa merangsang respon imunitas

disebut antigen. Antigen adalah molekul yang mungkin terdapat dalam sel

atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel kanker).

Biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan

asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen dari orang yang memiliki

jaringan sendiri. Tetapi, sistem imunitas kadang-kadang rusak,

menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antibodi asing (disebut

autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan

tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut

menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin

merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan

jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak

terjadi.

Reaksi autoimun pada uveitis dicetuskan oleh senyawa yang ada di badan

yang normalnya dibatasi di area tertentu (dan demikian disembunyikan

dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah. Misalnya,

pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam

aliran darah. Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali

mata sebagai benda asing dan menyerangnya.

Page 7: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

2.6 Manajemen Medis

Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat

dan bagi setting penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera

melakukan rujukan kepada ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata

merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah pada

kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan

kepada pasien.

Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi

nyeri dan peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas

kortikosteroid topikal atau sistemik dan sering diberikan sikloplegik. Obat

yang dapat dipakai adalah:

1. Pemberian Obat Anti Radang

a.      Kortikosteroid

Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan

yaitu dengan cara:

-          Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran

asam arakidonat dari fosfolipid, menghambat transkripsi dan

mengaktifkan sitokin, dan membatasi aktifitas sel B dan sel T.

Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan yang bukan

disebabkan karena infeksi.

-          Mengurangi permeabilitas pembuluh darah

-          Mengurangi pembentukan jarangan parut

Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik. Pemberian dosis

juga sangat bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian

dalam jumlah minimal untuk mengontrol inflamasi harus diberikan untuk

menurunkan peluang terjadinya komplikasi. Initial dose yang digunakan

untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg

setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid

diberhentikan. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek

dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol

mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang

maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari

kortikosteroid  level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal

Page 8: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari

sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal.

Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4

minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk

mencari dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal.

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:

-          Menurunkan daya reaksi jaringan

-          Mengaktifkan proliferasi bakteri

-          Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain

-          Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak

-          Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama

-          Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata

-          Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus

-          Menambah kemungkinan infeksi jamur

-          Menambah berat radang akibat infeksi bakteri

Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis

tinggi dan pemberian jangka panjang, agen imunosupresif biasanya

digunakan untuk uveitis kronik atau uveitis yang mengancam penglihatan

(menyebabkan kebutaan).

Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:

Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid

topikal tetes. Tergantung dari keparahan peradangan yang akan

dipulihkan, frekuensi pemberian bervariasi. Prednisolon asetat 1%

merupakan obat yang paling disukai namun karena persediaan berbentuk

precipitate, sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol sebelum

digunakan. Kadang-kadang steroid dapat menyebabkan hipertensi okular;

sehingga pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu dimonitor.

Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior

terkena atau ketika mulai dirasakan gejala yang mengarah komplikasi.

Pemberian terpai inisial selam 3-4 minggu sebelum pemberian steroid

jangka panjang dapat membantu mengidentifikasi pasien yang responsive

terhadap kortikosteroid. Beberapa bukti menunjukan bahwa injeksi dalam

transeptal menyebabkan lebih sedikit hipertensi ocular dibandingkan

Page 9: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

dengan pemberian sub-tenon. Namun pemberian injeksi ini tidak

digunakan pada pasien dengan uveitis yang infeksius atau skleritis karena

penebalan sclera dan kemungkinan terjadi perforasi.

Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:

Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko

menyebabkan kebutaan.

b.      Obat anti inflamasi nonsteroid

Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga

berfungsi untuk menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila

pasien memiliki kondisi kontra. Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri

dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada kontraindikasi absolut,

kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang

sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin

dan preparat intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid

dapat diberikan dengan alasan sebagai life saving drugs. Kortikosteroid

diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada keadaan hipertensi,

tuberkulosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive

purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic,

katarak, osteoporosis, kehamilan. Termasuk ke dalam golongan

antiinflamasi yang bersifat antilimfosit seperti fenilbutazon, indometasin,

salisilat, natrium diklofenak, dan golongan Non-Steroid Anti-Infamasi

Drugs (NSAIDs) .

2.      Obat sikloplegia

Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi

dilatasi pupil, selain juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga

melumpuhkan akomodasi. Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri

dan fotofobia yang terjadi.

Contoh obat sikloplegia:

-       Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat

midriatik. Efek maksimal dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi

kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali 2 minggu setelah

Page 10: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

obat dihentikan. Atropin memberikan efek samping seperti nadi cepat,

demam, merah, dan mulut kering.

-       Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) à menyebabkan efek sikloplegia 25-

75 menit dan midriasis setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan

selama 1 jam. Namun efek ini dapat menurun pada kondisi parah.

Sehingga homatropin lebih sering digunakan pada uveitis dibandingkan

siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol dan

kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak boleh

digunakan pada pasien yang mengalami glaukoma sudut tertutup dan

pasien yang hipersensitif dengan siklopentolate. Dosis yang digunakan

yaitu cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).

-       Homatropine 2-5% (isopto) à menyebabkan efek sikloplegia 30-90

menit dan midriasis setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan

selama 10-48 jam untuk sikloplegia dan 6 jam - 4 hari untuk midriasis.

Homatropine merupakan agent of choice yang sering digunakan pada

uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan

kolinesterase inhibitor. Selain itu homatropine juga tidak boleh digunakan

pada pasien yang mengalami glaucoma sudut tertutup dan pasien yang

hipersensitif dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt 3dd

(dewasa).

Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk

target spesifik yaitu mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun

medikasi ini telah dipelajari dan diteliti pada pasien dengan rheumatoid

arthritis dan crohn disease, persamaan pada patogenesis penyakit ini yang

menstimulasi untuk dilakukan obat yang sama untuk penanganan peyakit

inflamasi ocular yang bervariasi. Adapun obat yang digunakan sebagai

pemblok mediator spesifik pada sistem imunitas yang sering ditemukan

pada penderita uveitis yaitu antara lain; pemblok TNF (Tumor Necrosis

Factor alpha) contoh adalimumab, dan infliximab; dan pemblok reseptor

interleukin-2 contoh daclizumab.

Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi

intraocular melalui injeksi intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa

laporan kasus melaporkan adanya manfaat dalam penggunaan

Page 11: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

triamkinolone injeksi (biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk manajeman

refraksi pada edema makular kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral

ini memiliki waktu paruh yang pendek sehingga injeksi akan dilakukan

berulang kali (multipel). Sehingga resiko terjadi pembentukan katarak dan

peningkatan tekanan intraokular, serta beresiko untuk terjadinya

endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar 0,1%.

Selain terapi medikamentosa, terdapat terapi pembedahan yang

diindikasikan dalam manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi

penglihatan, biopsa untuk diagnosis ketika menemukan perubahan dalam

rencana pengobatan, dan mengambil media yang menagalami opasitas

untuk memonitor segmen posterior mata. Walaupun manfaat dalam terapi

inflamasi dan immunomodulatori, namun kadang didapatkan perubahan

struktural yang dapat terjadi pada mata misalnya pembentukan katarak,

glaukoma sekunder, ablasio retina).

BAB III

Page 12: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

PENUTUP

KESIMPULAN

Uveitis adalah proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari

uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan lapisan

vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat

memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat

mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan

beberapa elemen mata penting lainnya.

Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui sehingga patofisiologi yang

pasti dari uveitis juga belum diketahui. Secara umum, uveitis dapat

disebabkan oleh reaksi imunitas. Uveitis sering dihubungkan dengan

infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun, postulate reaksi

imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen yang dapat

melukai sel dan pembuluh darah uvea.

Uveitis diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter. Adapun parameter

yang digunakan antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan;

durasi, onset, dan perjalanan penyakit; karakter dari peradangan yang

terjadi; dan penyebab dari inflamasi. Klasifikasi dan standarisasi dari

uveitis sangat penting dalam diagnosis dan penanganan penyakit.

Sehingga penanganan yang cost-efective dapat terlaksana.

Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat

dan bagi setting penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera

melakukan rujukan kepada ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata

merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah pada

kamera okuli anterior, antibiotic tidak diindikasikan untuk diberikan

kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: Tugas Mandiri Ahmad Syarkani Uveitis

Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah .

Vol 1-3. Alih bahasa: Monica Ester, et al. EGC: Jakarta

Guyton, Arthur. C., Hall, John. E.. (1997). Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran. Edisi 9. EGC: Jakarta.

Ilyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia: Jakarta