tugas ujian snake bite
TRANSCRIPT
TUGAS UJIAN BEDAH PLASTIK
SEORANG LAKI-LAKI 68 TAHUN DENGAN SNAKE BITE
oleh:
Arini Rahmawati
G0007043
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, Sp. B, Sp. BP
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2012
SEORANG LAKI-LAKI 68 TAHUN DENGAN SNAKE BITE
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Umur : 68 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Termas 1/3 Karanggayung Grobogan
Masuk RS : 21 Mei 2012
Pemeriksaan : 7 Juni 2012
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : digigit ular di telapak tangan sebelah kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Mechanism of Injury : + 2 hari SMRS telapak tangan kiri pasien
digigit ular saat pasien sedang bekerja di kebun. Pasien tidak
mengetahui jenis ular yang menggigitnya. Kemudian pasien berobat ke
orang pintar, telapak tangan disayat dan dihisap bisa ularnya. Setelah
itu darah merembes keluar. Karena darah tidak bisa berhenti, pasien
berobat ke RS Panti Rahayu Purwodadi, dilakukan penutupan luka dan
dirawat selama 1 hari. Atas permintaan keluarga, pasien dirujuk ke
RSDM.
Anamnesis pada kasus gigitan ular dapat diperoleh riwayat terjadinya
peristiwa, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, luka pada
bekas gigitan ular, serta riwayat penyakit sebelumnya. Selain itu juga
perlu ditanyakan gejala-gejala yang muncul dalam 30 menit sampai 24
jam setelah kejadian. Apakah terdapat gejala lokal seperti bengkak dan
nyeri pada luka. Apakah terdapat gejala sistemik seperti lemas, otot
1
lemah, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri
kepala, dan pandangan kabur.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat perdarahan sulit berhenti : disangkal
4. Riwayat Trauma
Fraktur zygomatic complex merupakan fraktur yang paling sering
pada trauma maksilofasial. Zygomatic complex bertanggung jawab untuk
kontur wajah bagian tengah dan untuk perlindungan dari isi orbital.
Etiologi fraktur zygomatic complex termasuk kecelakaan lalu lintas,
serangan, jatuh, olahraga. Kontribusi relatif dari faktor-faktor ini
bervariasi dari daerah ke region. Fraktur zygomatic complex muncul
biasanya pada dewasa muda.
Fraktur zygomatic sering dikaitkan dengan cedera maksilofasial
lainnya. Kenaikan angka kekerasan ditambah dengan peningkatan populasi
bermotor telah memberikan kontribusi terhadap cedera rahang atas.
Kecelakaan lalu lintas jalan adalah penyebab utama dari patah tulang.
(Sallam, 2010).
Fraktur zigoma merupakan merupakan fraktur fasial yang paling
sering terjadi. Tingginya insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan
lokasi zigoma yang lebih menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki,
dengan perbandingan 4:1 dengan perempuan. Penyebab dari fraktur
zigoma yang paling sering adalah dikarenakan kecelakaan kendaraan
bermotor. Zigoma mempunyai peran yang penting dalam membentuk
struktur wajah, dan disrupsi dari posisi zigoma dapat mengganggu fungsi
okular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma harus
didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat.
C. PEMERIKSAAN FISIK LENGKAP
2
Gambaran klinis pada patah tulang kompleks zygomatic termasuk
diplopia, enophthalmos, subconjuntiva echymosis, pendataran pipi, tersedak
oleh karena oklusi dan gangguan sensoris (Sallam, 2010).
Keterbatasan gerakan rahang dan pendataran pipi yang disebabkan
karena depresi fraktur dari temporal atau fraktur pada arcus zygomaticus.
Epistaksis unilateral merupakan akibat dari fraktur maxilla atau dasar orbita.
Paresthesia dan anesthesia pada pipi disebabkan oleh fraktur infraorbita.
Perbedaan tinggi pupil disebabkan fraktur pada regio frontalis. Sedangkan
penurunan kekuatan otot eksttraorbita yang bermanifestasi diplopia
disebabkan fraktur tulang-tulang orbita, regio frontal, ataupun dinding orbita.
Zygoma memiliki pusat massa tulang yang terssun atas tiga
penulangan yang dihubungkan dengan sambungan sutural ke os frontal, os
maxilla dan os temporal. Peran mereka dalam membentuk kerangka, tulang
rangka wajah dan fossa temporal, orbita, sinus maksillaris dan kontur pipi
akan berhubungan dengan temuan klinis tertentu. Ketika zygoma mengalami
penekanan dan terdepresi ke dalam, os temporal dapat menekan prosesus
koronoideus mandibula dan tendo muskulus temporalis sehingga pasien
mengalami kesulitan dalam membuka dan mnenutup mulut. Pada keadaan
benturan pada zygoma, tekanan akan diteruskan pada maxilla dan dapat
merusak membran mukosa sinus maksilaris sehingga mengakibatkan
perdarahan yang bermanifestasi epistaksis di sisi yang mengalami fraktur.
Fraktur pada zygoma dapat melibatkan foramen infraorbita dan
menekan nervus infraorbita yang bermanifestasi klinis sebagai parestesia atau
anestesia pada regio yang diinervasi, antara lain pipi, bibir atas, kelopak mata
bawah dan area nasal lateral dari sisi yang terkena. Perubahan posisi frontal
dengan pemisahan sutura zygomaticofrontalis menyebabkan penurunan atau
pengenduran canthus lateral dai kelopak mata dan bola mata. Trauma pada
pipi yang menekan os zygoma ke dalam dapat menekan dan menyebabkan
fraktur dinding lateral dan dasar orbita. Fraktur ini dapat mengakibatkan
diplopia yang disebabkan edema dan hemoragi pada otot ekstraokuler atau
3
disebabkan terjepitnya otot ekstraokuler atau saraf mata diantara fragmen-
fragmen tulang.
Pada pemeriksaan dilakukan pemeriksaan jalan nafas, pernafasan
serta sirkulasi darah. Status lokalis regio yang trauma seperti defek rima
infraorbita, sutura frontozigoma dan penyokong zigoma dapat merupakan
tanda defisiensi malar. Pemeriksaan mata sangat penting dengan menilai
adanya diplopia, kerusakan periorbita atau ekimosis subkonjungtiva. Pada
palpasi didapatkan adanya nyeri di daerah zigoma, parestesia terjadi bila
saraf infraorbita, zigomatikofasial atau zigomatikotemporal terkena trauma
serta krepitasi pada emfisema subkutis (Gerlock, 1977).
D. DIAGNOSIS DAN DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Diagnosis
Diagnosa dari fraktur zigoma didasarkan pada pemeriksaan klinis
dan pemeriksaan penunjang. Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan
informasi kemungkinan adanya fraktur pada kompleks zigomatikus selain
tanda-tanda klinis. Tetapi pemeriksaan klinis seringkali sulit dilakukan
karena adanya penurunan kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak
dari pasien yang dapat mengaburkan pemeriksaan klinis, dan pula tidak
ada indikator yang sensitif terhadap adanya fraktur zigoma. Diagnosis dari
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang radiologis, yaitu:
Anamnesis, dapat dijumpai adanya riwayat trauma pada muka
Gejala klinis
a. Diplopia
b. Anesthesia atau hypoesthesia
Terutama pada daerah pipi anterior, bibir atas, dan hidung bagian
lateral akibat laserasi atau kontusio nervus infraorbitalis.
c. Trismus (sulit membuka mulut)
Apabila terdapat cedera pada lengkungan processus coronoideus.
Pemeriksaan fisik, bisa dijumpai:
Tanda klinis
4
a. Depresi tonjolan tulang pipi atau pendataran malar eminens dapat
terlihat melalui pemeriksaan basilar view.
b. Edema
c. Subconjuctival hemorrhage dan periorbital ecchymosis
d. Pergerakan mandibula terbatas
e. Deformitas dan nyeri daerah fraktur dan sepanjang rima orbita
dengan palpasi.
f. Unilateral epistaksis
g. Gambaran antimongoloid pada fisura palpebra.
Akibat terjadinya pergeseran atau displacement zygoma inferior
yang terletak dibawah sutura zygomaticofrontalis.
h. Enophthalmos
Dapat terjadi akibat naiknya volume bola mata karena os zygoma
meliputi sebagian besar dinding lateral orbita.
i. Dystrophia vertical
Differential Diagnosis
Karena etiologi luka sering ditemui, maka seorang dokter harus
mampu mengidentifikasi bagian mana yang cedera dan sejauh mana
bagian tersebut terganggu. Diagnosis banding terdiri dari semua patah
tulang wajah, lecet jaringan lunak, memar, dan lecet. Pemeriksa harus
berhati-hati untuk tidak berhenti pada evaluasi hanya karena satu patah
tulang atau cedera dicatat. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa
sebanyak 30% dari pasien memiliki dua atau lebih patah tulang atau cedera
(Stewart, 2008).
Fraktur nasoethmoidal
Jika dicurigai fraktur nasal dan bukti-bukti menunjukan keterlibatan
tulang ethmoidal, seperti rhinorea CSF atau pelebaran jembatan hidung
dengan telechantus, pemeriksaan rontgen biasa jarang digunakan. CT
scan koronal tulang wajah adalah pemeriksaan terbaik untuk
5
menentukan tingkat fraktur. Sebuah rekonstuksi 3-D dapat diperlukan
dalam membantu konsultan dalam operasi.
Fraktur Le Fort
Fraktur Le fort I : menunjukan pelebaran fraktur ke horizontal di
mandibula inferior, kadang –kadang termasuk fraktur dari dinding
lateral sinus, memanjang ke tulang palatine dan pterygoid.
Fraktur Le fort II : pemeriksaan radiologis menunjukan gangguan
dari pelek orbital inferior lateral saluran orbital dan patah tulang
dari dinding medial orbital dan tulang nasal. Fraktur memperluas
posterior kedalam piring pterygoid.
Fraktur Le fort III : pemeriksaan radiologis menunjukan patah
tulang pada sutura zygomaticofrontal, zygoma, dinding medial
orbita, dan tulang hidung meluas ke posterior melalui orbita di
sutura pterygomaksilaris ke fossa sphenopalatina (James, 2004).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiographi plan dan CT scan (axial section, coronal sction dan 3d
reconstruksi regio maxillofacial) sangat efektif untuk membantu diagnosis.
Rekonstruksi 3D dapat membantu menggambarkan bentuk ulang sehingga
dapat membantu dalam keakuratan rencana preoperatif. Computed
tomography (CT) adalah teknologi yang dapat memperlihatkan visualisasi dari
jaringan keras dan lunak pada wajah. Dilaporkan bahwa CT dapat mencapai
nilai yang lebih akurat dalam diagnosis fraktur tulangmidfasial. Teknik
alternatif lain adalah pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi mudah dan
cepat untuk dilakukan, selain itu bersifat noninvasif. CT telah
direkomendasikan untuk evaluasi preoperatif pada trauma zygomaticus
sebagai metode diagnostik standar, terutama dalam kasus-kasus rumit dengan
cedera intrakranial cedera atau ketika ada kebutuhan untuk evaluasi saraf
optik, karena kedua hal tersebut tidak dapat secara memadai dilihat oleh
ultrasonografi. Sementara ultrasonografi telah terbukti menjadi alat yang
berharga dalam mendeteksi fraktur tanpa komplikasi di zygomaticofrontal,
6
arcus zygomaticus dan margio infraorbital, tapi hasil untuk dasar orbita dan
dinding medial orbitatetap tidak memuaskan. Selain itu, USG lebih dapat
diandalkan dalam menilai keadaan pascaoperasi, sehingga dapat menurunkan
biaya dan paparan radiasi (Sallam, 2010).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah foto sinus
paranasal posisi Waters untuk mengevaluasi fraktur zigoma dan posisi
Caldwell untuk visualisasi orbita dan prosesus zigoma di atas piramid petrosa.
Pemeriksaan tomografi komputer diperlukan potongan aksial, koronal dan
sagital serta 3 dimensi. Potongan aksial tomografi komputer berguna untuk
melihat regio maksilofasial, potongan koronal 3mm untuk mengevaluasi
dasar orbita dan dasar tengkorak serta potongan sagital untuk evaluasi
trauma. Magnetic resonance imaging (MRI) berguna mengevaluasi orbita
secara detail (Gerlock, 1977).
Foto polos dari anteroposterior (AP)
Foto AP: walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan
membandingkan sisi kontralateral, bisa ditemui diskontinuitas tulang
secara radiologis (Sudjatmiko, 2010).
Waters
Proyeksi Water biasanya menampilkan opaque sinus maxillary,
dengan ketrekaitan fraktur lateral dinding sinus maksilaris yang terlibat
7
CT Scan
CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto
radiologi biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang
muka keseluruhan dan lubang tulang yang patah atau melesak dapat
dikenali dengan lebih jelas, selain itu dapat pula mengevaluasi jaringan
lunak, dikerjakan atas indikasi khusus. Meskipun demikian, gambar 3D
mungkin membantu dalam visualisasi besar kominuta, zygomatico, dan
kompleks fraktur yang melibatkan beberapa rangkaian,khususnya
sehubungan dengan midface. Gambar 3D memberikan informasi hanya
mengenai arsitektur. Untuk jeratan lemak dan otot, encephaloceles,
hematoma, dan cedera terkait harus dinilai radiografi melalui CT Scan 2D
(Saigal et al., 2005).
Pada kebanyakan pasien dengan dampak wajah yang signifikan,
CT scan harus dilakukan. CT scan harus dilakukan dengan potongan aksial
tidak lebih besar dari 3 mm terpisah, dari atas tempurung kepala melalui
bagian bawah mandibula.. Secara umum, CT scan dapat diterima untuk
diagnosis pada semua fraktur wajah, selain mandibula. Meskipun CT scan
pada dasarnya 100% sensitif dan spesifik untuk fraktur, namun tidak
memberikan informasi rinci tentang struktur gigi. Hal ini paling penting di
8
daerah sudut mandibula dengan mengenai kondisi geraham ketiga.
Informasi mengenai kerusakan akar gigi dan posisi relatif terhadap patah
tulang sangat penting dalam perencanaan dan pengobatan patah tulang
sudut (Saigal et al., 2005)
F. RENCANA PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pengobatannya yaitu untuk mengembalikan normal kontur
wajah baik untuk alasan kosmetik ataupun untuk memperbaiki perlindungan
pada daerah mata, yaitu untuk memperbaiki diplopia dan untuk
menghilangkan gangguan pada pergerakan mandibula. Batasan gerakan
9
mandibula biasanya terjadi karena retakan zygomatico yang menimpa
prosesus koronoideus mandibula (Obuekwe, 2005).
Indikasi untuk dilakukan operasi adalah pengembalian estetika
bentuk wajah dan pemulihan defisit fungsi secara dini. Kontraindikasi untuk
dilakukan operasi bila pasien mempunyai kondisi umum sistemik yang parah.
Operasi dapat ditunda selama dua minggu jika fraktur tidak melibatkan
struktur kranial. Evaluasi sebelum operasi meliputi lokasi dan perluasan
fraktur, struktur yang terlibat pada daerah fraktur, jumlah kehilangan jaringan
lunak, termasuk kulit, mukosa dan saraf, kehilangan tulang, adanya nyeri
dentoalveolar. Selain itu diperlukan adanya dokumentasi sebelum kecelakaan
sehingga adanya kelainan seperti telekantus, hipertelorism, apertognatia,
prognathism, retrognathism dan deviasi pyramid hidung dapat diketahui. Bila
ada kerusakan tulang atau kerusakan jaringan lunak dilakukan rekonstruksi
menggunakan jabir atau tandur.
Penanganan awal
Stabilkan Pasien
Primary survey: Airway, breathing, circulation, dan selanjutnya tetap
diawasi. Fraktur mandibula bilateral dan maxilla harus distabilkan agar
tidak mengganggu jalan napas. Apabila ada perdarahan lakukan
penjahitan.
Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus dilakukan
drainase dan dilanjutkan dengan balut tekan/ tamponade hidung.
Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita, telinga,
hidung, wajah bagian tengah (midfacial), mandibula, rongga mulut, dan
oklusi. Adanya cedera kepala (brain injury) dapat menunda timing operasi
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada fraktur tulang muka.
Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi
definituf.
Identifikasi cedera
Memperoleh gambaran imaging yang diperlukan (CT scan 3-dimensi)
10
Konsultasi dengan bagian yang bersangkutan, misalnya bedah saraf, bedah
tulang, jantung, rehabilitasi medik, dan anestesi untuk persiapan operasi).
Konsultasikan penyakit menular atau infeksi
Stabilkan dasar jaringan keras untuk mendukung jaringan lunak dan
mencegah kontraktur bekas luka sebelum rekonstruksi utama.
Lakukan review menyeluruh dan imaging serta tentukan perawaan yang
akan dilakukan.
Penanganan lanjut
Ganti komponen jaringan lunak yang hilang
Lakukan rekonstruksi utama dan manajemen fraktur
Memasukkan agresif fisik / pengobatan dgn memberi pekerjaan
tertentu
Lakukan rekonstruksi sekunder (misalnya, implan, vestibuloplasty)
Lakukan rekonstruksi tersier (misalnya, masalah kosmetik, bekas luka
revisi)
(Powers et al., 2005; Khan et al, 2010)
G. EDUKASI, PENYULUHAN DAN PENCEGAHAN SEKUNDER
Sangat penting untuk mendidik masyarakat mengenai pentingnya
pembatasan dan penggunaan pelindung kepala / penggunaan sabuk pengaman
saat bepergian bermotor (Sallam, 2010).
Salah satu metode pencegahan trauma antara pengguna kendaraan
bermotor di sebagian besar negara di dunia adalah wajib sabuk pengaman.
Penggunaan sistem kerja air bag maupun perlengkapan keselamatan dengan
helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahang bawah juga dapat
menurunkan resiko kejadian luka rahang atas pada pengguna kendaraan
bermotor. Selain itu, lebih dari separuh pasien yang menderita trauma wajah,
akibat kecelakaan lalu lintas adalah setelah penggunaan alkohol dan obat-
obatan yang menyebabkan kantuk. Edukasi untuk tidak menyetir kendaraan
dalam keadaan mengantuk dan mabuk perlu dilakukan sebagai usaha
pencegahan trauma maxillofacial (Malara et al., 2006).
11
DAFTAR PUSTAKA
Chowdhury, Roy, Suresh Menon. 2005. Etiology and Management of
Zygomaticomaxillary Complex Fractures in the Armed Forces. MJAFI,
Volume 61, Nomor 3, pp. 238-240
Fasola, A. O., et al. 2002. Zygomatic Complex Fractures at The University
College Hospital, Ibadan, Nigeria. East African Medical Journal, pp. 137-
139
James, R., Robert A. 2004. How to Simplify The CT Diagnosis of Le Fort
Fractures. AJR, pp. 1700-1705
Khreisat, M. H., 2011. Diplopia in Zygomatic – Complex Fracture. Pakistan Oral
& Dental Journal, Volume 31, Nomor 1, pp. 27-32
Khan, M., Qiamuddin, et al. 2010. Maxillofacial and Associated Fractures of the
Skeleton. Pakistan Oral & Dental Journal, Volume 30, Nomor 2, pp. 313-
316
Malara, P., Malara, B., Drugacz, J. Characteristics of Maxillofacial Injuries
Resulting from Road Trafic Accident- a 5 Year Review of The Case
Records from Department of Maxillofacial Surgery in Katowice, Poland.
2006.Head and Face Medicine, pp. 1-6
Nezafati, S., et al. 2010. Comparison of Ultrasonography with Submentovertex
Films and Computed Tomography Scan in the Diagnosis of Zygomatic
Arch Fractures. Dentomaxillofacial Radiology, pp. 11-16
12
Obuekwe, O. BDS., et al. 2005. Etiology and Pattern of Zygomatic Complex
Fractures: a Retrospective Study. Journal of The National Medical
Association, Volume 97, nomor 7, pp. 992-996
P, Nyachhyon., Shah SAA. 2010. Management Outcomes of Zygomatico-
maxillary Complex Fracture. Journal of Nepal Dental Association,
Volume 11, Nomor 1, pp. 27-31
Paton, Greg J., et al. 2006. Intraocular Pressure Changes Secondary to Reduction
of Orbito-Zygomatic Complex Fractures. American Association of Oral
and Maxillofacial Surgeons, pp. 100-103
Powers, D.B., Will, M.J., Bourgeois, S.L., Hatt, H.D.Maxillofacial Trauma
Treatment Protocol. 2005.Oral and Maxillofacial Surg Clin N Am, pp.
341-355
Rehman, A. U., Shuja, R., et al. 2010. Pakistan Oral & Dental Journal, Volume
30, Nomor 1, pp. 36-40
Saigal, K., Ronald S. Winokur., et al. 2005. Use of Three-Dimensional
Computerized Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma.
Facial Plastic Surgery, Volume 21, Nomor 3, pp. 214-219
Sallam, Maha, Ghada Khalifa, et al. 2010. Ultrasonography vs Computed
Tomography in Imaging of Zygomatic Complex Fractures. Journal of
American Science, pp. 524-533
Stewart, C., Fiechti, J.F., Wolf, S.J. 2008. Maxillofacial Trauma: Challenges in
ED Diagnosis and Management. Emergency Medicine Practice, pp. 1-20
13
Sudjatmiko, G. Fraktur Tulang Muka. 2010. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik
Rekonstruksi Edisi 2. Yayasan Khazanah Kbajikan, Jakarta. pp. 97-106
Yu-hua, Sun., Tang You-sheng, et al. 2006. Establishment of a New Method for
Quantitative Diagnosis of Zygomatic Complex Fractures with Three
Dimensional CT. Journal of Chinese Clinical Medicine, Volume 1, Nomor
5, pp. 257-263
14