uncac-review laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

110
LAPORAN PENELITIAN PEMIDANAAN KORPORASI ATAS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh Hifdzil Alim Fariz Fachryan Laras Susanti Zaenur Rohman Oce Madril Hasrul Halili Zainal Arifin Mochtar PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI

Upload: indonesia-anti-corruption-forum

Post on 10-May-2015

577 views

Category:

Law


7 download

DESCRIPTION

Pembicaraan mengenai penelitian pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi dilakukan sejak 2011. Rencana ini mengemuka setelah mencermati pemeriksaan beberapa tindak pidana korupsi yang melibatkan perusahaan. Meski disebut dalam berkas putusan mengenai dugaan keterlibatan perusahaan dalam tindak pidana korupsi, namun aparat penegak hukum belum begitu yakin untuk melakukan penuntutan terhadapnya. Padahal, undang-undang tindak pidana korupsi telah mengatur sedemikian rupa perihal penjeratan terhadap korporasi. Ketidakyakinan aparat penegak hukum dalam menuntut perusahaan, mungkin saja disebabkan oleh terma perusahaan yang tidak disebut sama sekali dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Namun demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi berkembang pesat. Pada tahun 2011, Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis bersalah kepada sebuah perusahaan atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Putusan pada pengadilan tingkat pertama ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan melalui majelis hakim banding. Perusahaan—yang tidak disebut dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi—ternyata dapat dipidana. Majelis hakim menggunakan terma korporasi untuk mengidentifikasi perusahaan tersebut. Dengan adanya putusan pengadilan pada tingkat pertama dan banding, semakin menguatkan bahwa sebenarnya terma perusahaan sesuai dengan terma korporasi seperti yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Atas putusan ini, keinginan untuk mengadakan penelitian mengenai pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi semakin menguat.

TRANSCRIPT

Page 1: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

LAPORAN PENELITIAN

PEMIDANAAN KORPORASI ATAS TINDAK PIDANA KORUPSI

DI INDONESIA

Oleh

Hifdzil AlimFariz FachryanLaras Susanti

Zaenur RohmanOce MadrilHasrul Halili

Zainal Arifin Mochtar

PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSIFAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA

2013

Page 2: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

KATA PENGANTAR

Pembicaraan mengenai penelitian pemidanaan korporasi atas tindak pidana

korupsi dilakukan sejak 2011. Rencana ini mengemuka setelah mencermati

pemeriksaan beberapa tindak pidana korupsi yang melibatkan perusahaan. Meski

disebut dalam berkas putusan mengenai dugaan keterlibatan perusahaan dalam tindak

pidana korupsi, namun aparat penegak hukum belum begitu yakin untuk melakukan

penuntutan terhadapnya. Padahal, undang-undang tindak pidana korupsi telah

mengatur sedemikian rupa perihal penjeratan terhadap korporasi. Ketidakyakinan

aparat penegak hukum dalam menuntut perusahaan, mungkin saja disebabkan oleh

terma perusahaan yang tidak disebut sama sekali dalam undang-undang tindak pidana

korupsi.

Namun demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi berkembang pesat. Pada

tahun 2011, Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis bersalah kepada

sebuah perusahaan atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Putusan pada

pengadilan tingkat pertama ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan

melalui majelis hakim banding. Perusahaan—yang tidak disebut dalam undang-undang

pemberantasan tindak pidana korupsi—ternyata dapat dipidana. Majelis hakim

menggunakan terma korporasi untuk mengidentifikasi perusahaan tersebut.

Dengan adanya putusan pengadilan pada tingkat pertama dan banding, semakin

menguatkan bahwa sebenarnya terma perusahaan sesuai dengan terma korporasi

seperti yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Atas putusan ini, keinginan

untuk mengadakan penelitian mengenai pemidanaan korporasi atas tindak pidana

korupsi semakin menguat.

Keinginan untuk melakukan penelitian ini baru bersambut pada 2013. Komisi

Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) ternyata memiliki keresahan yang

tidak jauh berbeda untuk dapat memidanakan, tidak hanya perusahaan, namun juga

korporasi dalam bentuknya yang lain, yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Kemudian, keinginan penelitian ini mendapat dukungan dari United Nation on Drugs

and Crimes (UNODC). Akhirnya, rencana penelitian yang mengembang sejak 2011

baru dapat dilaksanakan pada pertengahan 2013.

Kegiatan dalam penelitian ini dilaksanakan oleh tim peneliti dari Pusat Kajian

Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta (PUKAT FH UGM), yang terdiri dari

saudara Hifdzil Alim, Fariz Fachryan, Laras Susanti, Zaenur Rohman, Oce Madril,

Page 3: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Hasrul Halili, dan Zainal Arifin Mochtar. Untuk teknis administrasi, tim peneliti dibantu

oleh tim administrasi serta keuangan yang terdiri dari saudara Sriyatun dan Nurvita

Budi Rovani.

Dengan selesainya kegiatan dari penelitian ini, puji syukur dihaturkan kepada

Tuhan Yang Maha Esa atas berkah hidup yang telah diberikan. Kemudian, rasa terima

kasih tak lupa disampaikan kepada tim peneliti dan tim administrasi serta keuangan

PUKAT FH UGM yang telah menyelesaikan penelitian ini. Selanjutnya, rasa terima

kasih juga diucapkan kepada UNODC atas dukungannya dalam penelitian ini.

Sebagai sebuah kajian, hasil penelitian ini tidak menutup kemungkinan untuk

mendapatkan kritik dan tambahan informasi. Dengan harapan penelitian ini dapat

menjadi salah satu bahan bagi aparat penegak hukum agar mulai berani merumuskan

dan menjerat korporasi dalam tindak pidana korupsi.[]

Yogyakarta, 30 September 2013

Ketua

Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM

Page 4: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

DAFTAR ISI

HalamanKATA PENGANTAR ...................................................................................... iDAFTAR ISI ................................................................................................... iiiDAFTAR TABEL ............................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang ................................................................... 1B. Rumusan Masalah .............................................................. 2C. Tujuan Penelitian ................................................................ 2D. Kegunaan Penelitian .......................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. Konsep Korporasi ............................................................... 4B. Konsep Kejahatan Korporasi .............................................. 8C. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ................................ 12D. Konsep Stelsel Pemidanaan .............................................. 19E. Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 25

BAB III METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian .................................................................. 33B. Cara Pengumpulan Data .................................................... 34C. Lokasi Penelitian ................................................................ 35D. Analisis Data ....................................................................... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Pengaturan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam

Undang-Undang ................................................................. 39B. Pengalaman Pemidanaan Korporasi Dalam Tindak

Pidana Korupsi ................................................................... 58C. Rumusan Ideal Pemidanaan Korporasi atas Tindak

Pidana Korupsi ................................................................... 63

BAB V PENUTUPA. Kesimpulan ......................................................................... 70B. Saran .................................................................................. 71

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 73LAMPIRAN ..................................................................................................... 76

Page 5: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

DAFTAR TABEL

HalamanTabel 1 Korporasi dan Ancaman Pidana ................................................... 50Tabel 2 Pengelompokan Penyebutan Korporasi ....................................... 54Tabel 3 Ancaman/Sanksi/Tindakan untuk Korporasi ................................. 57

Page 6: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi di Indonesia merambah banyak sektor serta menjerat

banyak aktor. Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada—

selanjutnya ditulis PUKAT Korupsi—mencatat, pada tengah tahun pertama 2013

(Januari-Juli) misalnya, korupsi ada di sektor penerimaan negara dan/atau daerah;

pertanian, kehutanan, perkebunan, dan/atau perikanan; pekerjaan umum; keolahrgaan

dan pendidikan; penegakan hukum; kesejahteraan sosial; BUMN dan/atau BUMD;

ESDM; departemen luar negeri; komunikasi dan informatika; kesehatan; proyek

pengadaan barang dan jasa; legislatif; perdagangan dan perindustrian; keuangan

dan/atau perbankan; serta keagamaan.1

Dari banyak sektor tersebut, aktor korupsi bermunculan dari banyak kalangan. Ada

pemerintah pusat; pemerintah daerah; legislatif pusat; legislatif daerah; pejabat BUMN;

kalangan swasta; kepala daerah; pegawai sekolah; aparat penegak hukum; pegawai

perguruan tinggi; menteri anggota KPUD; duta besar; unsur partai politik; dan pejabat

negara.2

Dari banyak aktor korupsi yang terjerat tindak pidana korupsi, tampaknya ada satu

aktor yang sementara ini belum banyak dijerat oleh hukum, yakni korporasi. Dalam

beberapa tindak pidana korupsi, dugaan keterlibatan korporasi tak dapat dimungkiri.

Contohnya, dalam kasus korupsi pengadaan vaksin flu burung pada 2008-2011, PT

Anugerah Nusantara diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 692,3 miliar.3

Pada kasus lain, misalnya, tindak pidana korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga

surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008, PT Alfindo

Nuratama Perkasa diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,72 miliar.4 Angka

kerugian tersebut diperoleh dari nilai proyek sebesar Rp 8 miliar yang disubkontrakkan

oleh PT Alfindo Nuratama Perkasa kepada PT Sundaya Indonesia yang hanya

dibayarkan sebesar Rp 5,28 miliar.

Dua contoh kasus di atas mengetengahkan keterlibatan korporasi dalam tindak

pidana korupsi. Akan tetapi, sampai saat ini, belum ada informasi yang mengatakan

rencana pemeriksaan dan pemidanaan terhadap korporasi tersebut. Padahal,

1 Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, 2013, Trend Corruption Report Tengah Tahun Pertama 2013, hlm 4.

2 Ibid., hlm 3.3 Koran Tempo, 19 Juni 2012.4 Suara Merdeka, 20 Oktober 2011.

Page 7: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

korporasi memegang peranan penting dalam terlaksananya sebuah tindak pidana

korupsi.

B. Rumusan Masalah

Tindakan korporasi dalam tindak pidana korupsi semestinya dapat dikenakan

pertanggungjawaban. Namun sebelum mengarah ke pertanggungjawaban korporasi

atas tindak pidana korupsi, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab demi

mendapatkan dasar akademik untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam

tindak pidana korupsi. Adapun pertanyaan tersebut sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab korporasi yang pernah diatur dalam

beberapa peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang di

Indonesia?

2. Bagaimanakah praktik pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana

korupsi di Indonesia?

3. Bagaimanakah rumusan alternatif bagi pertanggungjawaban korporasi atas

tindak pidana korupsi di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian bertema “Pertanggungjawaban Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia” memiliki tujuan untuk:

1. Mengetahui dan memahami pengaturan tanggung jawab korporasi dalam

peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang pernah

diterapkan di Indonesia;

2. Mengetahui dan memahami praktik pertanggungjawaban korporasi atas tindak

pidana yang pernah terjadi di Indonesia; dan

3. Menghasilkan rumusan alternatif mengenai pengaturan dan praktik untuk

meminta pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana korupsi yang

dilakukan di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini diharapkan dapat memberi

hasil guna kepada:

1. Aparat penegak hukum, sebagai bahan dan referensi alternatif untuk

melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, dan eksekusi

Page 8: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

terhadap dugaan keterlibatan korporasi dalam tindak pidana korupsi di

Indonesia; dan

2. Ilmu pengetahuan, sebagai bagian menambah bahan bacaan dan referensi

atas kajian mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana

korupsi di Indonesia.

Page 9: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Korporasi

Ada berbagai jenis pengertian korporasi. Kata korporasi berasal dari Bahasa Latin

corporatus, yang diadopsi ke dalam Bahasa Inggris corporate. Corporate is relating to

a large company or group: airlines are very keen on their corporate identity.  Lebih

lanjut disebutkan kaitannya dengan status hukum, corporate is authorized to act as a

single entity and recognized as such in law: local authorities, like other corporate

bodies, may reduce capital spending the rules set by the corporate organization of or

shared by all the members of a group; the service emphasizes the corporate

responsibility of the congregation.5 Artinya, korporasi adalah subyek hukum yang

sahamnya disebar kepada para anggotanya. Korporasi beroperasi untuk bertanggung

jawab atas tujuan didirikannya korporasi tersebut.

Di Indonesia, tidak jarang orang menyamakan korporasi dengan perusahaan.

Pandangan tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya meski tentu saja terdapat

perbedaan antara keduanya. Korporasi bermakna (i) badan usaha yang sah; badan

hukum; (ii) perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa

perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar.6 Sementara

perusahaan adalah (i) kegiatan (pekerjaan dan sebagainya) yang diselenggarakan

dengan peralatan atau dengan cara teratur dengan tujuan mencari keuntungan

(dengan menghasilkan sesuatu, mengolah atau membuat barang-barang, berdagang,

memberikan jasa, dan sebagainya); (ii) organisasi berbadan hukum yg mengadakan

transaksi atau usaha.7 Dengan arti ini, korporasi dan perusahaan relatif bermakna

sama.

Pengertian korporasi juga dicetuskan oleh beberapa pemikir. Cornel University,

misalnya, dalam sebuah karya ilmiah menyatakan “a corporation is a legal entity

created through the laws of its state of incorporation. Individual states have the power

to promulgate laws relating to the creation, organization and dissolution of

corporations.” Korporasi merupakan subyek hukum yang dibentuk berdasarkan

peraturan perundang-undangan tentang korporasi. Individulah yang memiliki kekuatan

untuk membentuk, mengoperasikan, dan membubarkan sebuah korporasi.

5 Diakses dari laman www.dictionary.com pada 4 Juli 2013.6 Diakses dari laman www.kamusbahasaindonesia.org pada 4 Juli 2013.7 Ibid.

Page 10: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Di Amerika Serikat, Securities Act of 1993 mengatur bahwa korporasi adalah

subyek hukum yang yang bisa beracara di persidangan (dapat menggugat dan

digugat) dan terdapat pemisahan yang jelas antara harta kekayaan perusahaan

dengan pemegang saham. Lebih lanjut, undang-undang tersebut juga

memperbolehkan pemegang saham untuk menggugat korporasinya dan memindahkan

kepemilikan sahamnya. Status sebagai subyek hukum yang dimiliki oleh sebuah

korporasi, membuatnya tidak terpengaruh oleh meninggal dunianya pemegang

saham.8

Penjelasan di atas sebenarnya telah cukup untuk menggambarkan korporasi

dalam kedudukannya sebagai subyek hukum. Namun, seringkali terdapat kebingungan

di masyarakat membedakan antara korporasi dengan badan sejenis. Misalnya apakah

sebuah yayasan merupakan korporasi karena didirikan oleh sekumpulan orang untuk

tujuan tertentu. Ataukah sebuah korporasi hanya berkaitan dengan perusahaan yang

bersifat komersil. Oleh karena itulah, para ahli mencetuskan karakteristik yang bisa

digunakan untuk menentukan apakah suatu badan merupakan korporasi atau bukan.

Karateristik tersebut antara lain: most of which will be easily recognizable to anyone

familiar with business affairs; they are legal personality, limited liability, transferable

shares, delegated management under a board structure, and investor ownership.9

Secara lebih mendalam, karakter legal personality terdiri dari dua komponen yakni

“...there must be rules specifying to third parties the individuals who have authority to

buy and sell assets in the name of the firm, and to enter into contracts that are bonded

by those assets and must be rules specifying the procedures by which both the firm

and its counterparties can bring lawsuits on the contracts entered into in the name of

the firm.”10 Ada aturan yang secara spesifik bagi pihak dalam korporasi yang memiliki

otoritas untuk membeli dan menjual aset dengan atas nama perusahaan dan ikut

dalam kontrak. Selain itu, terdapat pengaturan khusus bahwa baik korporasi maupun

pemegang saham dapat saling mengugat di persidangan.

Sementara mengenai terbatasnya pertanggungjawaban dijelaskan bahwa limited

liability is a (strong) form of the ‘owner shielding’ that is effectively the converse of the

‘entity shielding’ described above as a component of legal personality; entity shielding

protects the assets of the firm from the creditors of the firm’s owners, while limited

liability protects the assets of the firm’s owners from the firm’s creditors. Together, they

8 Corporations: An Overview, diakses di http://www.law.cornell.edu/wex/corporations , pada 24 Juni 2013.

9 John Armour, Henry Hansmann, Reinier Kraakman, 2009, The Essential Elements Of Corporate Law: What Is Corporate Law?, Center for Law,Economics, and Business Harvard University, hlm 2.

10 Ibid., hlm 7-8.

Page 11: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

set up a regime of “asset partitioning” whereby business assets are pledged as security

to business creditors, while the personal assets of the business’s owners are reserved

for the owners’ personal creditors.11 Secara singkat, kalimat di atas menjelaskan

terdapat pemisahan harta kekayaan antara korporasi dan pemegang saham. Aset

perusahaan hanya dapat digugat oleh kreditor. Sementara personal asset/aset individu

para pemegang saham menjadi tanggung jawab pemiliknya.

Karakter selanjutnya adalah delegated management under a board structure atau

terdapat pembagian manajerial kerja di bawah pimpinan korporasi. Ada beberapa

penjelasan untuk karakter ini. First, the board is, at least as a formal matter, separates

from the operational managers of the corporation. In two-tier boards, top corporate

officers occupy the board’s second (managing) tier, but are generally absent from the

first (supervisory) tier, which is at least nominally independent from the firm’s hired

officers (i.e. from the firm’s senior managerial employees). In single-tier boards, in

contrast, hired officers may be members of, and even dominate, the board itself.12

Pertama, pimpinan korporasi dipisahkan dengan manajer operasional. Pimpinan

tertinggi (direksi) membawahi lapis kedua yakni para manajer. Meskipun mereka

bawahan dari direksi, mereka tetap memiliki independensi dibandingkan para pekerja

di bawahnya.

Second, the board of a corporation is elected—at least in substantial part—by the

firm’s shareholders. This requirement of an elected board distinguishes the corporate

form from other legal forms, such as nonprofit corporations or business trusts, that

permit or require a board structure, but do not require election of the board by the firm’s

(beneficial) owners.13 Pemimpin perusahaan dipilih oleh para pemegang saham.

Persyaratannya ditentukan oleh peraturan korporasi. Namun terdapat pengeculian di

beberapa korporasi profit maupun non profit, pemimpin tertinggi adalah pemilik

korporasi atau pemilik mayoritas saham. Pemimpin perusahaan terdiri dari beberapa

anggota yang bertugas untuk memonitor dan mengawasi keputusan-keputusan yang

dibuat. Banyak korporasi memperkenankan business planners untuk memberikan

bantuan. Untuk koporasi kecil, hanya ada satu direktur yang juga berfungsi sebagai

manajer operasional.14

Dengan demikian, untuk melihat dan menilai sebuah korporasi, setidaknya

dibutuhkan tiga batasan. Pertama, legal personality. Ada unsur dalam sebuah

11 By ‘creditors’ we mean here, broadly, all persons who have a contractual claim on the firm, including employees, suppliers, and customers. Ibid., hlm 10.

12 Ibid., hlm 10.13 Ibid., hlm 12.14 Ibid., hlm 13.

Page 12: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

korporasi yang memiliki otoritas mengelola aset atau membuat perjanjian. Kedua,

limited liability. Harus dipisahkan antara aset korporasi dan aset individu dalam

korporasi tersebut. Ketiga, delegated management. Terdapat struktur yang diisi oleh

masing-masing subjek yang memiliki kewenangan masing-masing.

Dalam tertib hukum indonesia, terdapat berbagai undang-undang yang

menjelaskan definisi korporasi. Berkaitan dengan tujuan penelitian ini, contoh paling

relevan adalah definisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Korporasi

adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan

hukum maupun bukan badan hukum. Terdapat karakteristik badan hukum dan bukan

badan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) membagi subyek

hukum menjadi dua yakni manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan badan hukum

(rechtpersoon).

Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan

mungkin pula kumpulan dari badan hukum yang pengaturannya sesuai menurut hukum

yang berlaku, umpamanya badan hukum perseroan terbatas menurut Bab III bagian

Ketiga Buku I KUHDagang (W.v.K.=Wetboek van Koophandel).

Lebih lanjut Kansil menyarikan beberapa pandangan ahli mengenai badan

hukum:15

1. Teori fiksi oleh Friedrich Carl von Savigny, C.W. Opzoomer, dan Houwig.

Badan hukum itu pengaturannya oleh negara dan badan hukum itu sebenarnya

tidak ada, hanya orang-orang yang menghidupkan bayangannya untuk

menerangkan sesuatu dan terjadi karena manusia yang membuat berdasarkan

hukum atau dengan kata lain merupakan orang buatan hukum;

2. Teori harta karena jabatan atau teori Van Het Ambtelijk Vermogen oleh Holder

dan Binder. Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum ialah suatu badan yang

mempunyai harga yang berdiri sendiri, yang dimiliki oleh badan hukum itu tetapi

oleh pengurusnya dan karena jabatannya, ia diserahkan tugas untuk mengurus

harta tersebut;

3. Teori harta bertujuan atau Zweck Vermogen oleh A. Brinz dan E.J.J. ven der

Heyden, yang menjelaskan hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum

dan badan hukum adalah untuk melayani kepentingan tertentu;

15 C.S.T. Kansil dan Cristhine S.T. Kansil, 2010, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm 12.

Page 13: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

4. Teori milik bersama atau Propriate Collective oleh W.L.P.A. Molengraaff dan

Marcel Planiol. Berdasarkan teori ini badan hukum merupakan harta yang tidak

dapat dibagi-bagi dari anggota-anggotanya secara bersama-sama; dan

5. Teori kenyataan atau teori peralatan atau Orgaan Theorie oleh Oto von Gierke,

yang menyatakan bahwa badan hukum bukanlah sesuatu yang fiksi, tetapi

merupakan makhluk yang sungguh-sungguh ada secara abstrak dari konstruksi

yuridis.

B. Konsep Kejahatan Korporasi (Corporate Crime)

Peter Grabosky dan John Braithwaite menyatakan, “corporate crime falls within the

domain of the white collar crime broadly defined as crime committed within the course

of one's occupation by persons of relatively high social status.”16 Kejahatan korporasi

masuk dalam kategori kejahatan kerah putih yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang

yang berstatus sosial tinggi. Sehingga sebelum membahas secara detail mengenai

kejahatan korporasi, perlu dibahas secara mendalam mengenai white-collar crime.

Edwin Sutherland sebagai pelopor studi tentang white-collar crime menyatakan

bahwa kejahatan kerah putih merupakan kejahatan terorganisasi karena mencakup

kegiatan formal17 dan informal18 dengan persekongkolan jahat di berbagai industri dan

profesi.19 Pandangan Sutherland ini mendapatkan tanggapan dari Ellen S. Podgor

yang menyatakan bahwa batasan yang dikemukakan oleh Sutherland konsentrasinya

pada pelaku dengan status sosial individu sehingga tidak termasuk pelanggaran

terhadap hukum pidana. Inilah yang menyebabkan ada banyak pengertian mengenai

white-collar crime.20

Pandangan berbeda dikemukakan oleh Hartung. Ia menggunakan definisi yang

lebih sempit. “a white-collar offense is defined as a violation of law regulating business,

16 Peter Grabosky and John Braithwaite, Australian Institute of Criminology, Trends and Issues in Crime and Criminal Justice Vol. 5: Corporate Crime in Australia, hlm 2.

17 Formal organization is inherent in offenses that are collusive, bribery, price fixing, bid rigging, industry espionage, and physician free splitting are examples of formally or organized illegalities. Such crimes are accomplished through “gentlemen’s agreement, pools..and cartels. Moreover, some others kind of formal organization is controlling legislation, selection of administrators, and restriction of appropriations for the enforcement of laws which may affect themselves. Edwin Sutherland, White Collar Crime, cap. 13 sebagaimana dikutip dalam Gary S. Green, 1993, White-Collar Crime and the Study of Embezzlement, American Academy of Political and Social Science, ANNALS, AAPSS, 525, hlm 98-99.

18 It refers to business moralities that run counter to the law. Ibid.19 Ibid. 20 M. Arief Amrullah, 2006, Kejahatan Korporasi: The Hunt for Mega-Profits and The Attack on

Democracy, Banyumedia, Jawa Timur, hlm 23.

Page 14: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

which is committed for a firm by the firm or its agents in the conduct of it business”.21

Kejahatan kerah putih adalah pelanggaran hukum yang berkaitan dengan bisnis yang

dilakukan oleh korporasi atau agen korporasi yang menyelenggarakan bisnis tersebut.

Meskipun terdapat perbedaan antara beberapa pandangan di atas, dapat ditarik

benang merah bahwa white-collar crime dilakukan oleh orang berstatus sosial tinggi

dengan cara yang terorganisasi di berbagai industri, profesi, maupun lingkup sempit di

dunia bisnis dengan pelaku korporasi atau agen korporasi. Agar sebuah kejahatan

dikategorisasi sebagai kejahatan sebagai white-collar crime, Gottfredson dan Travis

Hirchi menyimpulkan beberapa proposisi sebagai berikut:

1. Kejahatan white-collar merupakan kejahatan yang sebenarnya dan merupakan

pelanggaran terhadap hukum pidana;

2. Kejahatan white-collar berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh

golongan kelas bawah;

3. Teori kriminologi yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi berkaitan dengan

kemiskinan, sakit jiwa, dan kondisi sosial kumuh adalah sudah tidak tepat lagi;

4. Diperlukan sebuah teori perilaku kriminal yang akan menjelaskan kejahatan

white-collar dan kejahatan yang dilakukan oleh kelas bawah; dan

5. Sebuah hipotesis terhadap pandangan ini berkaitan dengan teori differentian

association dan social disorganization.

Giriraj Shah sebagaimana dikutip M. Arief Amrullah berpandangan, white-collar

crime dapat diklasifikasikan dalam kategori sebagai berikut:

1. Kecurangan dalam bidang perdagangan, perbankan, dan asuransi;

2. Pelanggaran terhadap ketentuan ekspor dan impor;

3. Pelanggaran terhadap ketentuan perburuhan dan lingkungan hidup;

4. Menghindari kewajiban pembayaran pajak dan penyelundupan;

5. Pemalsuan obat dan makanan;

6. Penimbunan barang dan pasar gelap; dan

7. Memalsukan mata uang kertas dan mata uang logam.

Sementara Clinard dan Yeager berpandangan bahwa white-collar crime

melingkupi dua jenis kejahatan yaitu occupational crime dan corporate crime.

Occupational crime adalah kejahatan yang berhubungan dengan jabatan dan

pekerjaan, sebagian besar dilakukan oleh individu atau kelompok kecil individu dalam

21 White Collar Crime (New York: Dryden Press, 1949), hlm 9, sebagaimana dikutip oleh Vilhelm Aubert, 1952, White-Collar Crime and Social Structure, Chicago Journals, hlm 265.

Page 15: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan. Kejahatan occupational contohnya

adalah pelanggaran hukum oleh pengusaha, politisi, dan banyak profesi lainnya.22

Sementara secara umum occupational crime is a crime committed by a person

during the course of legal employment. Some examples of occupational crimes are

misuse of an employer's property, theft of employer's property, and misuse of sensitive

information for personal gains.23 Maksudnya, occupational crime adalah kejahatan

yang dilakukan oleh seseorang terkait dengan jabatannya sebagai pegawai yang

legal/resmi, dilakukan untuk kepentingannya sendiri. Contoh dari occupational crime

adalah penyalahgunaan harta pegawai, pencurian harta pegawai dan informasi atas

keuntungan pribadi.

Guna memperjelas pemahaman mengenai occupational crime, Herberth Edelhertz

menyimpulkan empat lingkup occupational crimes terkait dengan motivasi pelakunya:24

1. Crime commited by person or individual basis, e.g., income tax evation,

bankruptcy frauds, credit purchases or taking loans with no intention to pay, and

insurance fraud. Kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorangan, sebagai

contoh penggelapan pajak penghasilan, penipuan kebangkrutan, mengambil

kredit dan pinjaman tanpa niat membayar, dan penipuan asuransi;

2. Crime committed in the course of occupations by those operating in bussines,

government, and other establishments, in violation of their duty of loyalty to their

employer or client, e.g., bribery, kickbacks, embezzlement, and pilfering.

Kejahatan yang berkaitan dengan pengokupasian bisnis, pemerintahan, dan

institusi lain yang dilakukan dengan melanggar kewajiban dan loyalitas

pelakunya kepada atasan atau klien, sebagai contoh, menyogok, penyuapan,

penggelapan, pencurian;

3. Crime incidental to and in furtherance of business operations but not central to

business purposes, e.g., food and drug violations, misrepresentation in

advertising and prescription fraud. Kejahatan yang terjadi pada penggelolaan

bisnis tapi tidak berkaitan dengan tujuan utama perusahaan, sebagai contoh

kejahatan pada bisnis makanan dan obat, penyelewenangan iklan dan

pelanggaran resep; dan

4. Crime as business or the central activity of a business; e.g., medical fraud

schemes, lottery fraud schemes, mutual fund fraud schemes, land and real

22 M. Arief Amrullah, op.cit., hlm 37.23 Diakses dari www.uslegal.com pada 9 Juli 2013.24 Preserve Article, What Are the 5 Main Types of Occupational Crime, diakses dari

www.preservearticles.com pada 9 Juli 2013.

Page 16: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

estate frauds, charity and and music piranting. Kejahatan bisnis yang menjadi

tujuan utama bisnis tersebut, contohnya skema medis penipuan, skema

penipuan undian, skema penipuan reksa dana, penipuan tanah dan real estate,

kegiatan amal dan peranti musik.

Pandangan Edelhertz semakin menguatkan bahwa occupational crime dilakukan

oleh orang perseorangan dengan motif pribadi untuk meraih keuntungan pribadi.

Sedangkan Corporate crime, menurut Clinard dan Yeager, adalah suatu perbuatan

yang dilakukan oleh korporasi, perbuatan yang dapat dikenai hukuman oleh negara,

tanpa memedulikan apakah dikenai sanksi administrasi, hukum perdata, ataukah

hukuman pidana.25

Sehingga berdasarkan pandangan Clinard, Yeager, dan Edelhertz, occupational

dan corporate crime dibedakan oleh pelakunya. Jika occupational crime dilakukan oleh

orang perseorangan sementara corporate crime terjadi jika korporasi yang melakukan

kejahatan. Jika mengacu pada pandangan ilmuwan tersebut, tentu terdapat

pertanyaan bagaimana jika kejahatan dilakukan oleh orang perseorangan sehingga

menimbulkan mafaat bagi korporasi. Lebih lanjut, Sjögren dan Skogh sebagaimana

dikutip oleh Giulia Mugellini, menyatakan bahwa corporate crime adalah “...those

offences committed to gain profit within an otherwise legal business...”26 Yang artinya

kejahatan korporasi adalah perbuatan kejahatan yang dilakukan untuk memperoleh

keuntungan dalam bisnis yang legal.

Atas dasar beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan

korporasi merupakan bentuk dari white-collar crime yang dilakukan oleh korporasi

secara teroganisasi dengan tujuan mengambil keuntungan demi kepentingan korporasi

tersebut.

Lebih lanjut, Reiss dan Biderman menjelaskan tujuan dari kejahatan kerah putih

yakni “white-collar violations are those violations of law…that involve the use of a

violator’s position of significant power, influence, or trust in the legitimate economic or

political institutional order for the purpose of illegal gain, or to commits an illegal act for

personal or organizational gain.”27 Secara ringkas kejahatan kerah putih adalah

25 M. Arief Amrullah, op.cit., hlm 39.26 Giulia Mugellini, 2012, Crime Againts the Private Sector in latin America: Existing Data and

Future Orientations to Analyse the Victimization of Businesses, slide presentation of First International Conference on statistical information on government, public safety, victimization and justice UNODC-INEG.

27 Reiss A.J., Jr., Biderman A.D., 1980, Data sources on white-collar law breaking, Washington D.C, Government Printing Office, sebagaimana dikutip oleh John M. Ivancevich, Thomas N. Duening, Jacqueline A. Gilbert, and Robert Konopaske, 2003, Deterring White-Collar Crime, Academy of

Page 17: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

pelanggaran terhadap hukum yang melibatkan para pemegang kekuasan yang dapat

mempengaruhi sektor ekonomi dan politik untuk memperoleh keuntungan haram atau

memberikan keuntungan bagi organisasi atau individu.

Sebagai sebuah kejahatan terorganisasi, white-collar crime, memberikan dampak

yang amat berbahaya yakni, individual economic losses, societal economic losses,

emotional consequences, physical harm, dan “positive” consequences.28 Pertama,

yang dimaksud dengan individual economic losses ialah kerugian finansial yang

dialami oleh korban (individu). Sutherland menyatakan kerugian yang ditimbulkan oleh

white-collar crime beberapa kali lipat dari kejahatan biasa. Sementara societal

economic losses ialah kerugian finasial yang dialami oleh masyarakat akibat white-

collar crime. Kerugian ini bertambah jika dikalkulasikan dengan kegagalan bisnis dan

biaya pemulihan.29

Lebih lanjut, emotional consequences yang dialami oleh korban kejahatan kerah

putih dan seluruh masyarakat yang terciderai oleh perbuatan jahat tersebut. Bentuk

dari dampak emosional antara lain munculnya stress, hancurnya kepercayaan, dan

kerusakan pada tatanan nilai masyarakat. Physical harm ialah dampak fisik yang

dirasakan oleh korban, misal sakit atau kehilangan nyawa. Sebagai contoh pada

kejahatan korporasi lingkungan masyarakat di sekitar korporasi akan terkena dampak

negatif dari perilaku korporasi tersebut.30

C. Konsep Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana. Tindak

pidana hanya menunjuk pada dilarangnya suatu perbuatan.31 Undang-undang hukum

pidana umumnya hanya menentukan perilaku yang dinyatakan sebagai tindak pidana

dan sanksi pidana yang diancamkan terhadap pembuatnya. Sedangkan masalah

pertanggungjawaban pidana sepertinya kurang mendapat perhatian pembentuk

undang-undang.

Meskipun harus diakui berbagai sinyalemen tentang kesalahan dan

pertanggungjawaan pidana juga tersirat dari berbagai ketentuan perundang-undangan,

tetapi dapat dikatakan masih sangat sedikit. KUHP misalnya, masalah

pertanggungjawaban pidana dihubungkan dengan alasan-alasan penghapus pidana

Management Executive, Vol. 17 No. 2 hlm 11528 Section II, Understanding White-Collar Crime: Definitions, Extends, and Consequences, hlm 47.29 Ibid., hlm 48.30 Ibid., hlm 49.31 Dwidja Priyatno, 2009, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, hlm 30.

Page 18: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51

KUHP. Pasal 183 KUHAP juga mengamanatkan pentingnya kesalahan dalam

penjatuhan pidana terdakwa.32

Adapun mengenai pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan yang

terus berkembang, yaitu aliran monistis dan dualistis. Aliran monistis antara lain

dikemukakan oleh Simon yang berpandangan bahwa strafbar feit meliputi suatu

perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,

dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas

perbuatannya.33

Menurut aliran monisme, unsur strafbar feit meliputi unsur perbuatan atau biasa

disebut unsur objektif dan unsur pembuat atau biasa disebut subjektif. Oleh karena itu,

dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuat dapat disimpulkan bahwa strafbar

feit adalah sama dengan syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap

bahwa kalau terjadi strafbar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.34

Pandangan monistis tentang strafbar feit atau criminal act menentukan unsur-

unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi:

1. Kemampuan bertanggungjawab;

2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan; dan

3. Tidak ada alasan pemaaf. 35

Aliran kedua adalah dualistis yang dikenalkan oleh Herman Kontorowicz pada

tahun 1933. Sarjana Jerman ini menulis buku Tutund Schuld yang menentang

pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang beliau namakan “objektive schuld”, oleh

karena kesalahan dipandang sebagai sifat dari kelakuan. Untuk adanya

strafvoraussetzungen (syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih

dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu

dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.36

Pandangan dualistis ini diperkenalkan Moeljatno dalam pidato Dies Natalis VI

UGM tanggal 19 Desember 1955. Apabila suatu unsur perbuatan melawan hukum

pidana tidak terbukti, maka putusannya bebas. Namun, apabila semua unsur

32 Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm 2-3.

33 Muladi dan Dwija Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm 63.

34 Ibid.35 Ibid., hlm 65.36 Ibid., hlm 66.

Page 19: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

perbuatan tersebut terbukti ditetapkan bahwa telah terjadi delik dan pembuat tak

langsung dapat dijatuhi pidana, sedangkan pelaku, yaitu pembuat yang melakukan

perbuatan tersebut ternyata tidak mampu bertanggungjawab dinyatakan dilepaskan

dari segala tuntutan.37 Pandangan dualistis memudahkan pembedaan kualifikasi mana

saja yang termasuk unsur perbuatan dan mana yang termasuk unsur

pertanggungjawaban.

Pada awalnya di dalam hukum pidana dikenal teori feit materiel yang menentukan

adanya kesalahan dan pertanggungjawaban pidana cukup dengan memastikan

apakah pembuat memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Pembuktian telah

dilakukannya suatu tindak pidana dipandang cukup sebagai dasar

pertanggungjawaban pidana terdakwa. Artinya, seseorang dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatannya telah

memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana yang didakwakan.38

Namun, pandangan ini semakin lama tidak memuaskan sehingga terus terjadi

perubahan seperti tedapat dalam Arrest Hoge Raad 1916 yang dikenal Water en Melk

Arrest. Pada satu sisi, arrest tersebut dapat dipandang memperkenalkan alasan

penghapus kesalahan di luar undang-undang yang disebut dengan tiada kesalahan

sama sekali atau afwezigheid van alle schuld (avas). Terdakwa yang dalam kasus

tersebut didakwa melakukan tindak pidana yang rumusannya tidak memuat unsur

kesengajaan atau kealpaan, dinyatakan tidak bersalah karena tiada kesalahan sama

sekali. Padahal apabila merujuk pada ajaran feit materiel, terdakwa dalam kasus

tersebut sudah dapat dipertanggungjawabkan, karena seluruh isi rumusan tindak

pidana telah dipenuhi.39 Arrest tersebut di atas juga dapat dikatakan mensyaratkan

pertanggungjawaban pidana pada kesalahan, tidak sekedar pada dipenuhinya unsur

pidana. Pada sistem common law doktrin demikian disebut sebagai mens rea yang

berasal dari adagium actus non est reus, nisi mens sit rea. Pada sistem civil law doktrin

ini disebut sebagai geen straf zonder schuld beginsel atau tiada pidana tanpa

kesalahan.

Adapun mengenai kesalahan, terkandung unsur pencelaan terhadap seseorang

yang telah melakukan tindak pidana. Jadi, orang yang bersalah melakukan perbuatan

itu berarti perbuatan itu dapat dicelakan padanya. Pencelaan di sini bukan pencelaan

berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku.40

37 Ibid., hlm. 68.38 Chairul Huda, op.cit., hlm 3-4.39 Ibid.40 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 74.

Page 20: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Pada awalnya kesalahan dilihat dari keadaan psikologis semata. Pertama-tama,

secara sempit kesalahan dipandang sama dengan kealpaan. Dengan kata lain, istilah

kesalahan digunakan sebagai sinonim dari sifat tidak hati-hati. Kemudian pengertian

kesalahan juga dikaitkan dengan alasan penghapus pidana di luar undang-undang.

Dalam hal ini ketiadaan kesalahan sama sekali atau afwezigheid van alle schuld

(avas), dijadikan alasan penghapus pidana selain yang telah ditentukan dalam undang-

undang. Istilah kesalahan juga digunakan sebagai pengumpul kesengajaan dan

kealpaan. Dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pembuat terdapat salah satu dari

dua bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana.41

Begitu berpengaruhnya teori psikologis tentang kesalahan, sehingga tidak

mengherankan jika sampai saat ini pandangan tersebut masih mewarnai pemahaman

para ahli hukum pidana. Namun demikian, teori kesalahan psikologis ini diragukan

orang ketika timbul persoalan dalam praktik hukum yang dipicu oleh ketiadaan unsur

dengan sengaja atau karena kealpaan dalam rumusan tindak pidana. Sekalipun agak

berbeda, persoalan yang sama juga mengemuka dalam common law system. Dalam

tradisi common law system doktrin mens rea sempat diragukan.42

Menurut Smith dan Hogan, pandangan yang berpendirian bahwa mens rea harus

ada pada tiap tindak pidana hanya diikuti sampai akhir abad kesembilan belas. Setelah

masa itu doktrin mens rea tidak lagi berlaku mutlak. Penyimpangan diawali ketika

umumnya tindak pidana yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan

dirumuskan tanpa unsur mental. Dengan demikian, berbeda dengan common law

crime yang umumnya memuat terdiri dari actus reus dan mens rea. Penyimpangan

atas doktrin mens rea semakin kentara ketika diterapkannya strict liability terhadap

tindak pidana.43

Strict liability biasa disebut sebagai prinsip tanggung jawab mutlak atau prinsip

tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain

suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak

relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak. Menurut

doktrin strict liability seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak

pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).44 Strict

liability atau yang sering disebut liability without fault dianggap bertentangan dengan

41 Chairul Huda, op.cit., hlm 74. 42 Ibid., hlm 75-76.43 Ibid.44 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 111.

Page 21: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

doktrin mens rea. Namun, sebenarnya strict liability merupakan pengecualian sebagai

pelengkap dan penyeimbang bagi asas kesalahan.

Menurut L.B. Curson, doktrin strict liability didasarkan pada alasan-alasan sebagai

berikut:

1. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan

penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial;

2. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran

yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu; dan

3. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang

bersangkutan.45

Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya Ted

Honderich. Dikemukakan olehnya bahwa premisse (alasan) yang bisa dikemukakan

untuk strict liability ialah:

1. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu;

2. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk,

menghindari adanya bahaya yang sangat luas; dan

3. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.46

Strict liability dapat menjadi penyeimbang dari asas kesalahan, juga berarti

memperhatikan keseimbangan dua kepentingan yaitu kepentingan masyarakat dan

kepentingan individu. Pandangan demikian disebut monodualistis yang dalam hukum

pidana dikenal istilah daad-dader strafrecht, yaitu hukum pidana yang memperhatikan

segi objektif dari perbuatan (daad) dan juga segi subjektif dari pembuat (daader).47

Pada doktrin strict liability pembuatnya dapat dicela sekalipun terlepas dari

persoalan psikologis pembuat dengan tindak pidananya. Persoalannya hanya tinggal

dalam lapangan pembuktian. Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap

pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya.

Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan.

Menurut teori kesalahan normatif, kesengajaan dan kealpaan hanya dipandang

sebagai pertanda adanya kesalahan dan bukan kesalahan itu sendiri. Kesalahan ada

jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan tetap

dapat dipandang ada, sekalipun tidak ditinjau lebih jauh mengenai kesengajaan atau

45 Ibid., hlm 112.46 Ibid.47 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 50.

Page 22: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

kealpaan pembuat tindak pidana. Sepanjang norma hukum menentukan bahwa

pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana, maka terdapat kesalahan

pada diri pembuatnya. Apabila undang-undang menetapkan suatu tindak pidana

dipertanggungjawabkan secara strict maka pada pembuatnya tetap dipandang memiliki

kesalahan sekalipun tidak ditinjau lebih jauh apakah kesengajaan atau kealpaan yang

meliputi batinnya.48

Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak pidana

yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada,

tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan

membuktikan telah dilakukannya tindak pidana. Dengan demikian, fungsi utama strict

liability adalah berkenaan dengan hukum acara dan bukan hukum pidana meteriil.

Strict liability dalam pertanggungjawaban pidana lebih merupakan persoalan

pembuktian, yaitu kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur delik.49

Termasuk penyimpangan asas kesalahan selain strict liability terdapat doktrin

vicarious liability, yaitu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada sesorang

atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal

perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup

pekerjaan atau jabatan. Jadi pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang

menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya.

Dengan demikian, dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak

melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti

biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan.50

Vicarious liability sebenarnya bukan merupakan konsep asli hukum pidana,

melainkan suatu konsep yang diadopsi dari bidang hukum lain. Doktrin ini juga asing

bagi civil law system, karena awalnya berkembang dari common law system. Para ahli

hukum yang memandang vicarious liability sebagai masalah pertanggungjawaban

pidana, melihat hal tersebut sebagai konsep yang bersifat eksepsional.

Pertanggungjawaban yang demikian ini oleh Ashworth dikatakan hanya dapat terjadi

jika terdapat dua keadaan.51

Pertama, apabila terdapat pendelegasian. Where a statute imposes liability on the

owner, licensee or keeper of premises or other property, the courts will make that

person vicariously liable for conduct of any one to whom management of premises has

48 Chairul Huda, op.cit., hlm 86.49 Ibid., hlm 86-87.50 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 113-114.51 Chairul Huda, op.cit., hlm 43.

Page 23: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

been delegated. Dengan demikian pemilik, pengurus atau orang pemberi perintah

bertanggungjawab atas perbuatan bawahan yang bekerja untuknya atau sebatas pada

perintahnya. Leigh mengatakan, the offence is essentialy that of the servant, liability for

being ascribed to the master. Tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan pada intinya

menjadi tanggung jawab atasannya. Dalam hal tindak pidana korporasi, maka

pertanggungjawaban dapat terjadi baik terhadap individu maupun terhadap korporasi

itu sendiri.

Kedua, dalam hal penafsiran atas perbuatannya, yaitu vicarious liability diterapkan

so long assistant is acting as agent rather than as a private individual. Dengan

demikian, sekalipun tidak ada pendelegasian, tetapi penafsiran atas fakta

perbuatannya menunjukkan bahwa pelaku berbuat bukan dalam kapasitas pribadinya.

Istilah yang populer mengenai hal ini adalah doktrin respondeat superior. Menurut

Alschuler, doktrin ini mulanya merupakan bentuk pertanggungjawaban orang Romawi

terhadap tindak pidana yang dilakukan para budaknya.

Vicarious liability ini berlaku hanya terhadap jenis tindak pidana tertentu menurut

hukum pidana Inggris, yaitu terhadap:

1. Delik yang mensyaratkan kualitas; dan

2. Delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.

Jika dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability maka jelas bahwa

terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan yang tampak bahwa baik strict liability

crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur

kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaannya pada strict liability crimes

pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya,

sedangkan pada vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak

langsung.52

Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi jika pada diri

pembuat terdapat kesalahan, dengan vicarious liability mendapat perkecualian. Apabila

diikuti konstruksi ini, maka dalam vicarious liability seseorang dipandang

bertanggungjawab atas kesalahan orang lain. Dalam vicarious liability dikecualikan

adanya actus reus, tetapi seseorang dipertanggungjawabkan atas actus reus yang

dilakukan orang lain. Pengecualiannya bukan pada kesalahan tetapi pada

perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana tanpa adanya tindak pidana yang

52 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 114.

Page 24: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

dilakukan (orang dipertanggungjawabkan), tetapi tindak pidana yang dilakukan

seseorang dipertanggungjawabkan terhadap orang lain.53

Hukum Inggris menghubungkan vicarious liability dengan pertanggungjawaban

korporasi. Korporasi berbuat dengan peranan orang. Apabila orang ini melanggar

suatu ketentuan undang-undang maka menjadi pertanyaan apakah korporasi yang

dipertanggungjawabkan. Pada tahun 1944 korporasi dimungkinkan bertanggungjawab

dalam hukum pidana, baik sebagai pembuat maupun peserta untuk tiap delik,

meskipun waktu itu disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas

identifikasi. Jadi korporasi dipersamakan dengan orang pribadi berdasarkan asas

identifikasi.

Perkembangan teknologi dan industri membawa resiko besar termasuk bisa

mengakibatkan kerugian yang luas. Terlebih jika yang menjadi korban adalah

masyarakat luas akibat aktivitas dibidang perekonomian dan perdagangan yang

melibatkan badan hukum. Tantangan timbul karena sangat sulit untuk membuktikan

adanya kesalahan pada korporasi, sebab yang mempunyai kesalahan pada umumnya

yang diterima adalah orang. Demi memudahkan sistem pertanggungjawaban pidana

untuk korporasi maka terdapat penyimpangan dari asas kesalahan dengan menganut

doktrin strict liability dan vicarious liability.54

D. Konsep Stelsel Pemidanaan

Pidana memberikan nestapa kepada pembuat delik. Namun, penjatuhan pidana

yang mengakibatkan nestapa bukanlah tujuan utama dari pidana, melainkan masih

terdapat upaya melalui tindakan-tindakan. Fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan

pengenaan penderitaan, sehingga terarah pada upaya memberi pertolongan agar

pelaku berubah. Sedangkan sanksi tindakan bersumber ide dasar perlindungan

masyarakat, pembinaan, dan perawatan bagi terpidana.55

Hukum pidana menentukan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan

hukum pidana dan jenis pidana serta cara penerapannya sehingga kedudukan sanksi

sangatlah penting. Namun, penerapan hukum pidana tidak selalu berakhir dengan

penjatuhan pidana, tetapi dikenal juga asas oportunitas yang disebut pardon,

disamping dikenal juga jenis sanksi yang disebut tindakan, yang dalam hukum pidana

ekonomi sangat luas, ada tindakan tata tertib sementara yang dikenakan oleh jaksa

53 Chairul Huda, op.cit., hlm 45.54 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 118-120.55 Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Kreasi Total Media,

Yogyakarta, hlm 1-2.

Page 25: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

dan ada tindakan tata tertib yang dikenakan oleh hakim, juga ada sistem penundaan

pidana dan pidana bersyarat.56 KUHP menempatkan urutan pidana mulai dari yang

terberat menuju urutan pidana yang lebih ringan. Pasal 10 KUHP menentukan pidana

terdiri dari:

1. Pidana pokok:

a. Pidana mati

b. Pidana penjara

c. Pidana kurungan

d. Pidana denda

2. Pidana tambahan:

1. Pencabutan hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim.

Sampai saat ini, pidana mati masih tercantum dalam KUHP. Berbeda dengan

wetboek van strfafrecht Nederland yang telah menghapus pidana mati sejak 1870.

Selain dalam KUHP pidana mati juga tercantum dalam berbagai undang-undang.

Pemberlakuan pidana mati merupakan perdebatan hampir di seluruh negara di dunia.

Terdapat kelompok yang mendukung pidana mati (retensionis) juga terdapat kelompok

yang menuntut penghapusan pidana mati(abolisionis).

Dalam perkembangannya, semakin banyak negara yang menghapus pidana mati.

Secara umum Roger Hood membagi negara-negara di dunia kaitannya dengan

pemberkaluan pidana mati. Pertama, negara-negara yang menghapus pidana mati

untuk semua kejahatan. Kedua, negara-negara yang menghapus pidana mati untuk

kejahatan biasa. Ketiga, negara-negara yang menghapus pidana mati secara de facto.

Keempat, negara-negara yang mempertahankan pidana mati.57

Perdebatan menganai pidana mati sudah berlangsung sejak zaman abad ke 18.

Sedangkan penerapannya di Hindia Belanda ditujukan untuk mengatasi keadaan

khusus mengingat banyaknya gangguan ketertiban, tentu saja yang mengancam

pemerintahan kolonial. Sebagai negeri jajahan yang memiliki wilayah luas dan

keragaman penduduk, pidana mati dianggap penting untuk menjamin ketertiban

umum. Adapun dipertahankannya pidana mati di Indonesia sampai sekarang banyak

didukung oleh alasan adanya beberapa tindak pidana yang sangat membahayakan

56 Ibid., hlm 2-3.57 Andi Hamzah, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya, Sofmedia,

Jakarta, hlm 247.

Page 26: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

masyarakat luas, sehingga diperlukan ancaman pidana paling berat yaitu pidana mati.

Kelompok yang menuntut penghapusan pidana mati banyak dilatarbelakangi alasan

hak hidup sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun.

Jenis pidana pokok kedua adalah pidana penjara. Pidana penjara sebagai bentuk

pencabutan kemerdekaan sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Tujuan pidana

penjara awalnya menjamin pengamanan narapidana dan memberinya kesempatan

untuk rehabilitasi. Selain itu pidana ini pada masa dahulu juga digunakan sebagai

bentuk pengasingan narapidana dari masyarakat.

Seiring perkembangan zaman pidana penjara terus disesuaikan agar sejalan

dengan perikemanusiaan. Variasi pidana penjara mulai dari pidana sementara minimal

satu hari sampai penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup tercantum di

mana ada ancaman pidana mati. Terhadap pidana penjara seumur hidup muncul

banyak keberatan karena dipandang tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu

memperbaiki terpidana agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik.

Pidana penjara seumur hidup lebih dekat kepada tujuan pemidanaan sebagai

pembalasan.

Menurut Andi Hamzah, pidana penjara disebut pidana hilang kemerdekaan, bukan

saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu

kehilangan hak tertentu, seperti di bawah ini:58

1. Hak memilih dan dipilih;

2. Hak memangku jabatan publik;

3. Sering pula diharuskan bekerja di perusahaan tertentu;

4. Hak mendapatkan perizinan tertentu;

5. Hak mengadakan asuransi hidup;

6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan, karena bisa menjadi alasan untuk

meminta perceraian;

7. Hak kawin, meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani

pidana penjara, itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya formalitas belaka;

dan

8. Dan hak sipil lainnnya.

Banyaknya konsekuensi yang harus ditanggung oleh terpidana yang menjalani

pidana penjara dirasakan tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan untuk merehabilitasi

58 Ibid., hlm 254-255.

Page 27: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

seseorang. Adapun pidana penjara membutuhkan pembiayaan besar melalui anggaran

negara. Sedangkan efektivitasnya dalam merehabilitasi narapaidana juga masih

banyak diragukan. Oleh karena itulah, perkembangan jenis pidana di banyak negara

khususnya pada tindak pidana yang dikategorikan ringan tidak lagi mengutamakan

pidana penjara, tetapi menggantinya dengan jenis pidana lain misalnya denda.

Selanjutnya adalah pidana kurungan. Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai

dua fungsi, pertama sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut

kejahatan kesusilaan. Yaitu delik-delik kulpa dan beberapa delik dolus, seperti

perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana. Sedangkan fungsi kedua sebagai

custodia simplex yaitu perampasan kemerdekaan untuk pelanggaran.59

Pidana kurungan jangka waktunya lebih pendek dari pada pinda penjara sehingga

sering dipahami bahwa pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara. Selain

itu juga terlihat dari urutannya, pidana kurungan di tempatkan di bawah pidana penjara.

Pidana kurungan juga terdapat pekerjaan yang dibebankan pada terpidana, tetapi lebih

ringan dari pada pidana penjara. Pidana kurungan sering dijadikan sebagai pidana

pengganti apabila pidana denda tidak dibayar.

Jenis pidana pokok keempat adalah pidana denda. Pidana denda seringkali

dianggap bertolak belakang dengan pidana penjara. Pemikiran untuk meminimalisasi

pidana penjara sekaligus mengusulkan pidana denda untuk diutamakan. Pidana

penjara dianggap terlalu berat untuk dijalani bagi terpidana, membebani anggaran

negara, dan sering tidak dapat memenuhi tujuan pemidanaan. Sedangkan pidana

denda dianggap dapat menghindari biaya sosial yang dikeluarkan untuk memelihara

penjara, menghindari penahanan yang tidak perlu, dan menghindari penyia-nyiaan

modal manusia yang tidak berguna di dalam penjara.60

Perkembangan pemikiran para ahli pidana dan ahli filsafat pemidanaan mengenai

tujuan yang harus dijadikan pedoman dalam menyelenggarakan pemidanaan

mencerminkan sikap untuk sedapat mungkin membatasi penggunaan pidana penjara.

Pidana penjara telah banyak dijadikan sebagai pangkal tolak pengkajian mengenai

tujuan pemidanaan.61

Pada zaman modern ini pidana denda banyak diterapkan terhadap tindak pidana

ringan maupun pelanggaran. Namun, arah perkembangannya pidana denda juga

banyak diterapkan pada tindak pidana yang dipandang berat, meskipun masih sering

digabungkan secara kumulatif dengan pidana penjara. Pidana denda mempunyai sifat

59 Syaiful Bakhri, op.cit., hlm 96.60 Ibid., hlm 2-3.61 Ibid., hlm 4.

Page 28: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap

orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lian. Perbedaannya ialah

pidana denda dibayarkan kepada negara sedangkan denda dalam perkara perdata

dibayarkan kepada pribadi atau badan hukum.62

Pemikiran untuk semakin meminimalisir pidana penjara dengan memperlunak,

memperbaiki kondisinya, bahkan sejauh mungkin diganti pidana alternatif bertolak

belakang dengan upaya menjadikan pidana denda sebagai pilihan utama, diperberat,

dan ditingkatkan ancamannya. Upaya memaksimalkan pidana denda ditandai dengan

adanaya perkembangan penemuan model-model eksekusi pidana denda. Jika pidana

denda belum dapat dibayar maka harus diangsur dan tidak boleh diganti dengan

pidana kurungan pengganti.63

Pidana denda semakin memiliki arti pada perkembangan pidana dengan

menjadikan korporasi sebagai subjek pidana. Jenis pidana yang paling tepat

diancamkan pada korporasi pelaku tindak pidana adalah denda, karena korporasi

bukanlah manusia yang dapat dipidana penjara.

Selain pidana pokok, stelsel pemidanaan mengenal pidana tambahan. Pidana

tambahan diserahkan pada hakim untuk dijatuhkan atau tidak kepada terpidana.

Seperti namanya, pidana tambahan hanya bersifat tambahan terhadap pidana pokok.

Dengan demikian, pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri tanpa pidana

pokoknya.

Ada tiga jenis pidana tambahan. Pertama, pencabutan hak tertentu. Jenis pidana

ini hanya untuk delik yang tegas ditentukan oleh undang-undang. Hak yang dicabut

seperti tercantum dalam Pasal 35 KUHP ayat (1) sebagai berikut:

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;

2. Hak memasuki angkatan bersenjata;

3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-

aturan umum;

4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak

menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang

yang bukan anak sendiri;

5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan

atas anak sendiri; dan

6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu.

62 Andi Hamzah, op.cit., hlm 264.63 Syaiful Bakhri, op.cit., hlm 15.

Page 29: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Kedua, pidana perampasan. Pidana perampasan merupakan pidana yang

berkaitan dengan harta benda. Terdapat dua macam barang terpidana yang dapat

dirampas, yaitu barang-barang yang diduga merupakan hasil kejahatan dan barang-

barang yang digunakan dalam kejahatan. Lengkapnya pasal 39 KUHP mengatur

tentang pidana perampasan sebagai berikut:

1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang

sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;

2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja

atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan

berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang; dan

3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan

kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Ketiga, pengumuman putusan hakim. Pengumuman putusan hakim hanya

dijatuhkan pada pidana tertentu sesuai ketentuan undang-undang, misalnya kejahatan

penggelapan dan kejahatan curang. Pengumuman putusan hakim merupakan bentuk

pidana tambahan yang bertujuan agar masyarakat memperhatikan atau waspada

terhadap tindak pidana tertentu.

Pengumuman putusan hakim sebagai pidana tambahan mempunyai perbedaan

dengan pengumuman dalam surat-surat kabar. Dalam pengumuman putusan hakim

biaya dibayar oleh terpidana. Sedangkan kesamaannya adalah keduanya sama-sama

merugikan nama baik yang diumumkan.64

E. Tindak Pidana Korupsi

Dilihat dari segi peristilahatan, kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corruptio65

atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan

bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih

tua. Dari Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa di eropa seperti Inggris:

corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie). Dapat

diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi ke

dalam bahasa Indonesia: "korupsi".

64 Andi Hamzah, op.cit., hlm 276.65 Fockemma, S.J. Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen-Djakarta:Bij J.B.

Wolter Uitgeversmaatschappij N.V sebagaimana di kutip Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 7.

Page 30: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,

dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan

yang menghina atau memfitnah. Arti kata korupsi yang telah diterima dalam

perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam

Kamus Umum Bahasa Indonesia: "Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti

penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya."66

Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia tidak

digunakan kata ’korupsi’, melainkan kata peraturan "anti-kerakusan". Sering pula

Malaysia menggunakan istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswah).

Menurut kamus Arab-Indonesia, riswah artinya sama dengan korupsi.67 Dengan

pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa

sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti disimpulkan

dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang bermacam-ragam

artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.

Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi

bermacam-macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati

masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed

Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau

kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi.

Misalnya Alatas, memasukkan nepotisme sebagai kelompok korupsi dalam

klasifikasinya memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa

memenuhi persyaratan untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya

dalam hukum pidana di Indonesia.

Begitu pula Mubyarto menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan

ekonomi yang mengutip pendapat Smith sebagai berikut bahwa secara keseluruhan

korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari pada

ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mana generasi

muda, kaum elite terdidik dan pegawai negeri pada umumnya. Korupsi

mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan

kabupaten.68

Masih dalam perspektif ekonomi, David M. Chalmers menguraikan pengertian

korupsi sebagai tindakan manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang

66 W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 524.67 Andi Hamzah, op.cit., hlm 8.68 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika, Jakarta, hlm

60.

Page 31: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

membahayakan ekonomi dalam pernyataannya, ”financial manipulations and

decision injurious to the economy are often libeled corruption”. 69

Hafidhuddin mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran

Islam. Ia menyatakan bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad atau

perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pengertian fasad sendiri dapat

diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya

kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang membuat

orang takut, membunuh, melukai, dan mengambil atau merampas harta orang

lain.70

Menurut Mahzar, istilah korupsi secara umum berarti ”berbagai tindakan gelap

dan tidak sah untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lalu

menambahkan bahwa dalam perkembangannya, dari beragam pengertian korupsi

terdapat penekanan yang dilakukan sejumlah ahli dalam mendefenisikan korupsi,

yakni penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan

pribadi”. Pengertian ini mengingatkan kita pada ungkapan Lord Acton, ”Power

tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Maknanya, korupsi muncul

bilamana terjadi penyalahgunaan kekuasaan terlebih bila kekuasaan itu bersifat

absolut atau mutlak, maka korupsi akan semakin menggejala.

Berbicara tentang suatu kejahatan dari perspektif kriminologi jauh lebih luas bila

dibandingkan dengan sudut pandang hukum pidana. Kendatipun demikian antara

kriminologi dan hukum pidana ibarat dua sisi dari satu mata uang meskipun berbeda

objek dan tujuan. Ilmu hukum pidana berobjekan aturan-aturan hukum yang berkaitan

dengan pidana dan bertujuan untuk menggunakan dengan sebaik-baiknya dan seadil-

adilnya. Sedangkan kriminologi mempunyai objek orang yang melakukan kejahatan

dan bertujuan memahami mengapa seseorang berbuat kejahatan.71

Selain itu pandangan tentang suatu kejahatan dari ilmu hukum pidana hanyalah

sebatas legal definition of crime, artinya suatu perbuatan yang oleh negara telah diberi

label sebagai suatu kejahatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh W.A. Bonger bahwa

kejahatan adalah perbuatan antisosial yang secara sadar mendapat reaksi negara

berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan

hukum mengenai kejahatan72.

69 Jeremy Pope, 2003, Strategi memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm 6.

70 Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm 33.

71 Moeljatno, 2000, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hlm 13.72 Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusuma, 1981, Kriminologi Suatu

Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 21.

Page 32: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Sedangkan kejahatan dari aspek kriminologi tidak hanya menyangkut legal

definition of crime tetapi juga menyangkut social definition of crime. Artinya, suatu

perbuatan meskipun belum diberi label oleh negara sebagai suatu kejahatan namun

oleh masyarakat telah diberi label sebagai suatu kejahatan apabila perbuatan tersebut

dianggap menyimpang dari norma atau kebiasaan masyarakat setempat.

Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan, ada sembilan tipe korupsi

yaitu:

1. Political bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan

pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh

suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum

sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha

berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang

menguntungkan mereka;

2. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem

kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang

memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak yang

bersangkutan;

3. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan

pemilihan umum;

4. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan

fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang

kekuasaan negara;73

5. Discretionery corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan

dalam menentukan kebijakan;

6. Illegal corruption yakni korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa

hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat

penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim;

7. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionery corruption dan

illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok;

8. Political corruption adalah penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang

dipercayakan kepadanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau

kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan; dan

9. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk

kepentingan pribadi.

73 Ibid., hlm 295-297.

Page 33: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Dalam konteks hukum pidana Indonesia, tidak semua tipe korupsi yang dikenal

dalam kriminologi dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Oleh karena itu,

perbuatan apa saja yang dinyatakan sebagai korupsi mesti merujuk pada undang-

undang pemberantasan korupsi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999

jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Konvensi PBB mengenai antikorupsi tidak terdapat satu pasal pun yang

berkaitan dengan definisi korupsi menurut konvensi tersebut. Namun, dalam Bab III

Konvensi yang terdiri dari 11 pasal (Pasal 15 sampai dengan Pasal 25), mewajibkan

negara-negara yang menandatangani konvensi untuk mengatur sejumlah tindakan

dalam undang-undang nasional masing-masing negara yang dikualifikasikan sebagai

korupsi. Adapun tindakan tersebut sebagai berikut:

1. Bribery of national public officials atau penyuapan pejabat-pejabat publik

nasional. Inti dari tindakan tersebut adalah janji, menawarkan atau

memberikan kepada seorang pejabat publik, secara langsung atau tidak

langsung suatu keuntungan yang layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk

orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri

dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya.

Demikian pula tindakan permohonan atau penerimaan oleh seorang pejabat

publik, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang layak

untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar

pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam

melaksanakan tugas resminya;

2. Bribery of foreign public officials and officials of public international

organizations atau penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-

pejabat dari oraganisasi-organisasi international publik. Tindakan-tindakan

tersebut meliputi dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan

kepada seorang pejabat publik asing atau seorang pejabat dari suatu

organisasi internasional publik, secara langsung atau tidak langsung suatu

keuntungan yang layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau

badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan

suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya, guna memperoleh atau

mempertahankan bisnis atau keuntungan lain yang tidak layak berkaitan

dengan perilaku bisnis internasional. Demikian pula tindakan-ptindakan yang

meliputi sengaja memohon atau menerima oleh seorang pejabat publik asing

Page 34: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

atau seorang pejabat dari suatu organisasi internasional publik, secara

langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang layak untuk pejabat itu

sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak

atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas

resminya;

3. Embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public

official atau penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan

cara lain oleh pejabat publik. Tindakan tersebut adalah menggelapkan,

menyelewengkan atau mengalihkan dengan cara lain oleh pejabat publik

untuk keuntungan dirnya sendiri atau untuk keuntungan orang lain atau badan

lain, kekayaan, dana-dana publik atau perorangan atau sekuritas atau segala

sesuatu yang bernilai yang dipercayakan kepada pejabat publik itu

berdasarkan kedudukannya;

4. Trading in influence atau memperdagangkan pengaruh. Kualifikasi tindakan

tersebut adalah dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan

kepada seorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak

langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik atau

orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan

dengan maksud untuk memperoleh otoritas administrasi atau otoritas publik

dari negara, suatu keuntungan yang tidak semestinya. Demikian pula tindakan

memohon atau menerima dari pejabat publik atau orang lain secara langsung

atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat

publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang

diperkirakan dengan maksud untuk memperoleh otoritas administrasi atau

otoritas publik dari negara, suatu keuntungan yang tidak semestinya;

5. Abuse of function atau penyalahgunaan fungsi. Kualifikasi tindakan tersebut

adalah dengan sengaja menyalahgunakan fungsi atau kedudukan dengan

melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan secara melawan hukum oleh

seorang pejabat publik dalam melaksanakan fungsinya dengan maksud untuk

memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sediri

atau untuk orang lain atau badan lain;

6. Illicit enrichment atau memperkaya secara tidak sah yaitu dengan sengaja

memperkaya secara tidak sah berupa suatu kenaikan yang berarti dari aset-

aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal

berkaitan dengan pendapatannya yang sah;

Page 35: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

7. Bribery in the private sector atau penyuapan di sektor swasta berupa tindakan

yang menjanjikan, menawarkan atau memberikan secara langsung atau tidak

langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya kepada seseorang yang

memimpin atau bekerja dalam suatu kapasitas untuk suatu badan di sektor

swasta, untuk dirinya sendiri atau orang lain, agar ia dengan melanggar tugas-

tugasnya, melakukan sesuatu atau menahan diri dari melakukan suatu

tindakan. Demikian pula tindakan berupa memohon atau menerima secara

langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya yang

dilakukan oleh seseorang yang memimpin atau bekerja dalam suatu kapasitas

apapun untuk suatu badan sektor swasta, untuk dirinya sendiri atau orang

lain, agar ia secara melawan hak, melakukan sesuatu atau menahan diri

untuk melakukan sesuatu;

8. Emblezzement of property in the private sector atau penggelapan kekayaan

dalam sektor swasta yaitu tindakan dengan sengaja dalam menjalankan

kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, menggelapkan oleh

seseorang yang memimpin atau bekerja dalam kapasitas apapun dalam suatu

badan di sektor swasta atas suatu kekayaan, dana-dana pribadi atau

sekuritas atau segala sesuatu yang bernilai yang dipercayakan kepadanya

karena kedudukannya;

9. Laundering of proceeds of crime atau pencucian hasil kejahatan yaitu tindakan

dengan sengaja mengkonversi atau mentransfer kekayaan padahal

diketahuinya bahwa kekayaan tersebut merupakan hasil kejahatan dengan

maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan

itu atau membantu seseorang yang terlibat dalam melakukan kejahatan asal

untuk menghindari akibat hukum dari tindakannya. Penyembunyian atau

penyamaran sifat, sumber, lokasi, kedudukan, pergerakan atau kepemilikan

dari atau hak-hak yang sesungguhnya berkenaan dengan kekayaan,

mengetahui kekayaan tersebut merupakan hasil kejahatan;

10. Concealment atau penyembunyian yaitu tindakan dengan sengaja, setelah

dilakukannya salah satu dari kejahatan-kejahatan yang ditetapkan menurut

konvensi ini, tanpa turut serta dalam kejahatan-kejahatan tersebut; dan

11. Obstruction of justice atau perbuatan menghalang-halangi proses pengadilan

yaitu tindakan dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik, ancaman atau

intimidasi atau janji yang menawarkan atau memberikan suatu keuntungan

yang tidak wajar untuk mendorong diberikannya kesaksian palsu atau untuk

Page 36: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

turut campur dalam pemberian kesaksian atau dalam pengajuan bukti-bukti

dalam suatu persidangan berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang

ditetapkan dalam konvensi ini. Demikian pula tindakan penggunaan kekuatan

fisik, ancaman atau intimidasi untuk turut campur tangan dalam pelaksanaan

tugas-tugas resmi seorang hakim atau seorang pejabat penegak hukum

dalam hubungannya dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam

konvensi ini.

Hukum positif Indonesia sudah mengenal aturan pemberantasan korupsi sejak

tahun 1957. KUHP memang sudah mengategorikan beberapa perbuatan seperti

penggelapan dan kejahatan yang dilakukan penyelenggara negara. Akan tetapi, aturan

hukum yang secara tegas menyatakan korupsi sebagai kejahatan (kriminalisasi

korupsi) dimulai sejak Peraturan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Laut Nomor

Prt/PM/06/1957 tertanggal 9 April 1957. Peraturan tersebut diterbitkan oleh Kepala Staf

Angkatan Darat selaku penguasa militer atas angkatan darat seluruh Indonesia.

Kemudian pada tahun 1960 ditetapkan UU Nomor 24/Prp/1960 tentang

Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; tahun 1971

diterbitkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi; tahun 1999, pasca gerakan reformasi, disahkan Undang-undang

Nomor 31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dua Undang-undang yang

disebutkan terakhir masih berlaku hingga saat ini.

Terhitung sejak tahun 2003, Indonesia telah menandatangani United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC) atau Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Untuk Melawan Korupsi. konvensi tersebut telah diratifikasi melalui UU Nomor 7

Tahun 2006. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pihak memberikan kewajiban

untuk menyesuaikan dan mengimplementasikan norma UNCAC dalam hukum positif

Indonesia. Dengan demikian, beberapa aturan mengenai tindak pidana korupsi yang

pernah terbit menandakan bahwa Indonesia mulai gencar melakukan perlawanan

memberantas korupsi.

Page 37: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian “Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”

ditentukan sebagai penelitian hukum. Penelitian hukum juga menjadi bagian dari

penelitian pada umumnya. Namun demikian, penelitian hukum khusus diterapkan

kepada ilmu hukum saja.74 Ilmu hukum yang dimaksud adalah ilmu hukum dalam

kerangka hukum positif yang terdiri dari tiga bagian, (i) kajian tentang isi ketentuan

hukum positif; (ii) kajian tentang penerapan ketentuan hukum positif; dan (iii) kajian

tentang pembentukan hukum positif.75 Penelitian ini akan mengkaji isi dan penerapan

undang-undang antikorupsi dalam menjerat korporasi.

Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep

baru sebagai preskripsi untuk menyelesaikan masalah, sehingga jawaban yang

diinginkan dalam penelitian hukum bukan benar atau salah (true or false), tetapi tepat

atau tidak tepat (right, appropriate, inappropriate, or wrong).76

Dari segi data yang diperoleh, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji77 membagi

jenis penelitian hukum menjadi dua. Pertama, penelitian yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder disebut penelitian hukum normatif atau

penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian

terhadap asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi (vertikal dan horizontal) hukum,

perbandingan hukum, dan sejarah hukum.

Kedua, penelitian yang dilakukan dengan meneliti data dasar yang diperoleh

langsung dari lapangan (data primer atau data dasar) yang dinamakan dengan

penelitian hukum sosiologis atau penelitian hukum empiris, yang meliputi penelitian

terhadap identifikasi hukum dan efektivitas hukum.78

74 F. Sugeng Istanto, 2007 cetakan ke-1, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta, hlm 29.75 Ibid., hlm 31. Bandingkan dengan Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1983, Penelitian

Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 3-4, yang membagi disiplin hukum dalam tiga bagian, (i) ilmu tentang kaidah hukum “normwissenschaft”, yang membahas tentang masalah perumusan kaidah hukum; (ii) ilmu tentang pengertian pokok dalam hukum “begriffenwissenscahft”, ilmu yang menelaah masyarakat hukum, sbujek hukum, hak dan kewajiban hukum, serta objek hukum; (iii) ilmu tentang kenyataan hukum “tatsachenwissenschaft”, yakni ilmu tentang kenyataan hukum.

76 Peter Mahmud Marzuki, 2010 cetakan ke-6, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm 35.

77 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 13-14.78 Bambang Sunggono, 2011 cetakan ke-12, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hlm 42.

Page 38: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui

isi dan potensi penerapan undang-undang antikorupsi untuk menjerat korporasi yang

diduga melakukan tindak pidana korupsi.

B. Cara Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ditentukan dua jenis data, data sekunder (data normatif atau

kepustakaan) dan data primer (data empiris). Data sekunder dalam penelitian ini

diperoleh dari bahan pustaka.79 Dalam penelitian umumnya, data sekunder disebut

pula dengan data tangan kedua, yakni data yang diperoleh secara tidak langsung dari

subjek yang diteliti. Data sekunder biasanya berwujud dokumentasi atau laporan.80

Maria S.W. Soemarjono mengatakan, data sekunder dalam penelitian hukum dapat

diperoleh dari berbagai instansi, seperti, keputusan pengadilan, berbagai data statistik

yang menunjang analisis topik penelitian, berbagai dokumen resmi serta hasil

penelitian yang berbentuk laporan.81

Sedangkan Soerjono Soekanto membagi data sekunder dalam tata urut sebagai

berikut,82

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, berupa,

1) Norma dasar atau kaidah dasar;

2) Peraturan dasar;

3) Peraturan perundang-undangan;

4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat;

5) Yurisprudensi;

6) Traktat; dan

7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum

primer, seperti,

1) Rancangan undang-undang;

2) Hasil penelitian; dan

3) Hasil karya dari kalangan hukum.

79 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 12.80 Saefuddin Azwar, 2010, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 91.81 Maria S.W. Soemarjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usul Penelitian: Sebuah Panduan Dasar,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 28.82 Lihat, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 13. Bandingkan dengan Burhan

Ashshofa, 1996 cetakan ke-1, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm 103-104. Bambang Sunggono, op.cit., hlm 113-114. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 31-32. Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm 141-144.

Page 39: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

c. Bahan hukum tertier, bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan

terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, misalnya,

1) Kamus;

2) Ensiklopedia; dan

3) Indeks kumulatif.

Cara mencari data yang diperlukan dalam menjawab permasalahan pada

umumnya dibedakan menjadi tiga, yaitu (i) studi pustaka; (ii) studi lapangan; dan (iii)

studi laboratorium. Untuk penelitian hukum, cara mencari data dapat dilakukan dengan

studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka penelitian hukum dilakukan dengan

menelusuri buku dan tulisan yang terkait dengan bidang ilmu hukum.83

Berdasarkan cara pengumpulan data tersebut, pengumpulan data sekunder dalam

penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka atau studi dokumen, yakni dengan

cara mengumpulkan data sekunder—baik yang berupa bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, bahan hukum tersier—yang berkaitan dengan topik permasalahan

yang diteliti dalam penelitian ini. Data sekunder masuk dalam kerangka metode

penelitian hukum normatif.

Bahan hukum primer dalam penelitian ini yang berupa dokumen peraturan

perundang-undangan Indonesia menjadi bahan utama yang ditelaah. Dilanjutkan

dengan bahan hukum sekunder berupa karya buku dari sarjana ilmu hukum serta

karya hukum lainnya termasuk juga hasil penelitian. Selanjutnya, data empiris

didapatkan dengan cara studi lapangan dengan melakukan wawancara dan melalui

diskusi kelompok terfokus (focussed group discussion) kepada narasumber, dalam hal

ini adalah aparat penegak hukum.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian untuk mendapatkan data sekunder adalah perpustakaan atau

instansi yang memuat dokumen serta laporan hasil penelitian yang terkait dengan topik

masalah yang diteliti dalam penelitian. Dalam hal ini, perpustakaan Pusat Kajian

Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, dan perpustakaan elektronik dijadikan sebagai

lokasi penelitian untuk mendapatkan data sekunder (berupa bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier).

Sedangkan data primer diperoleh dengan cara wawancara yang menggunakan

pendekatan petunjuk umum wawancara yang berlokasi di Yogyakarta, Medan, Jakarta,

83 F Sugeng Istanto, op.cit., hlm 57.

Page 40: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

dan Banjarmasin. Yogyakarta dipilih sebagai lokasi untuk mendapatkan data primer

karena di daerah ini diadakan beberapa focus group discussion (FGD) yang dilakukan

di kantor Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM sebagai bagian dari kegiatan

penelitian. Medan diambil sebagai lokasi untuk merepresentasi daerah bisnis.

Sedangkan Jakarta dimasukkan sebagai lokasi penelitian demi memperoleh informasi

dari Kejaksaan Agung dan beberapa pakar mengenai kejahatan korporasi maupun

korupsi korporasi. Terakhir, Banjarmasin ditetapkan sebagai wilayah mendapatkan

data primer sebab putusan yang menjatuhkan pidana korupsi atas korporasi pertama

kali dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin.

Seyogianya, daerah yang ditetapkan sebagai lokasi pengambilan data primer

dapat dilakukan di beberapa daerah lain. Namun, mengingat keterbatasan anggaran

penelitian, sekiranya daerah yang dipilih dalam penelitian ini (Yogyakarta, Medan,

Jakarta, dan Banjarmasin) telah dianggap representatif dalam menggali data dan

informasi terhadap penelitian pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi di

Indonesia.

D. Analisis Data

Cara menganalisis data penelitian hukum sama dengan cara menganalisis data

dalam penelitian pada umumnya.84 Lexy J. Moleong85 dengan mengutip Bogdan dan

Biklen menulis, analisis data kualitatif adalah upaya bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan

apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Analisis data adalah cara bagaimana memanfaatkan data yang terkumpul untuk

memecahkan masalah yang sudah dirumuskan dalam penelitian.86 Dalam kajian ilmu

hukum tentang isi ketentuan hukum positif dan dalam kajian ilmu hukum tentang

penerapan hukum positif, kebenaran yang diperoleh dari analisis data kebanyakan

bersifat kebenaran kualitatif, yakni kebenaran dalam arti kesesuaian dengan

penerapan kualitas tertentu yang harus dipenuhi.87

Dalam penelitian ini, data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka terhadap

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier ditelaah dan

84 F Sugeng Istanto, op.cit., hlm 58.85 Lihat, Lexy J. Moleong, 2011, Metode Penelitan Kualitatif (edisi revisi), Remaja Rosda karya,

Bandung, hlm 248. Moleong mengutip pengertian analisis data kualitatif tersebut dari Robert C. Bogdan dan Sari Knopp Biklen, 1982, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Allyn and Bacon Inc., Boston.

86 Periksa Maria S.W. Soemardjono, op.cit, hlm 38.87 F. Sugeng Istanto, op.cit., hlm 59-60.

Page 41: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

dianalisis dengan seksama untuk mendapatkan asas atau konsep yang tepat

mengenai pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi di Indonesia.

Langkah yang diambil dalam menganalisi data pada penelitian ini dilakukan

dengan,

1. Menelaah dan menuliskan beberapa ketentuan mengenai pengertian

korporasi atau dengan penyebutan lain yang termuat dalam bahan hukum

primer dan sekunder yang terdiri dari,

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

b. UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang;

c. UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;

d. UU Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (sebelum diganti

dengan UU Nomor 20 Tahun 2002);

e. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan

UU Nomor 10 Tahun 1998;

f. UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;

g. UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

h. UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (sebelum diganti dengan UU

35 Tahun 2009);

i. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat;

j. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

k. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001;

l. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas;

m. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (yang menggantikan

UU Nomor 15 Tahun 1985);

n. UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan

UU Nomor 45 Tahun 2009;

o. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup;

p. UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (mengganti UU 22 Tahun 1997);

q. UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos;

r. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang;

Page 42: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

s. UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Pendanaan Tindak Pidana Terorisme;

t. RUU KUHP Tahun 2010; dan

u. RUU KUHAP Tahun 2012.

2. Menelaah dan menuliskan beberapa isi dari karya para sarjana ilmu hukum

dan sarjana ilmu ekonomi yang terangkum dalam buku, hasil penelitian,

maupun dokumen lainnya yang berkaitan dengan bahasan mengenai

korporasi dan/atau tindak pidana atau tindak pidana khusus yang dilakukan

oleh korporasi, sebagai unit analisis terhadap pembacaan undang-undang

yang memuat korporasi atau dengan penyebutan nama lainnya;

3. Menelaah dan menuliskan ketentuan pendukung, seperti kamus, yang

memuat pengertian tertentu untuk mencari pengertian terhadap pengertian

tersebut demi membantu memudahkan analisis terhadap karya dari para

sarjana ilmu hukum dan sarjana ilmu ekonomi yang ditelaah dan ditulis

sebelumnya;

4. Menelaah dan menuliskan hasil wawancara dengan beberapa narasumber

terkait dengan penelitian; dan

5. Menyusun analisis hasil penelitian dari undang-undang serta kajian dari para

sarjana ilmu hukum dan sarjana ilmu ekonomi untuk menjawab rumusan

masalah yang sudah ditentukan dalam penelitian.

Page 43: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Undang-Undang

Korporasi sebagai salah satu subjek hukum dibebani dengan tanggung jawab

hukum. Beberapa undang-undang memuat ketentuan mengenai korporasi.

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana pada dasarnya dapat

digolongkan dalam dua kategori. Pertama, korporasi sebagai subjek tindak pidana.

Akan tetapi, pertanggungjawabannya dibebankan ke anggota atau pengurus

koperasi. Kedua, korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan secara langsung.88

Subjek tindak pidana korupsi tidak diatur dalam hukum pidana umum

(commune strafrecht) atau tidak diatur dalam KUHP. Dengan demikian kebijakan

legislasi yang menyangkut subjek tindak pidana korporasi tidak berlaku sebagai

subjek tindak pidana secara umum, akan tetapi terbatas dan hanya berlaku

terhadap beberapa perundangan-undangan khusus di luar KUHP.89

Kebijakan legislasi yang ditempuh saat ini, tidak memberi peluang pemidanaan

terhadap korporasi, apabila melakukan suatu tindak pidana yang diatur dalam

KUHP.90 Misalnya, dalam Pasal 392 KUHP yang menyatakan, “Seorang

pengusaha, seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil

Indonesia atau koperasi, yang sengaja mengumumkan keadaan atau neraca yang

tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”

Pasal tersebut erat kaitannya dengan tindak pidana yang dapat dilakukan oleh

korporasi, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipidana adalah

pengusaha/pengurus/komisaris dan bukan korporasinya. Dengan demikian,

penetapan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia membawa konsekuensi yuridis dapat tidaknya korporasi

dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.91 Pasal 59 KUHP menguatkan

ketentuan Pasal 392 KUHP. Bagi pengurus lain yang tidak melakukan pidana,

maka tidak dapat dijatuhkan pidana terhadapnya.

88 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 163-165.89 Ibid., hlm 167.90 Ibid.91 Ibid.

Page 44: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Selanjutnya, Pasal 398 KUHP mengatur perbuatan dan ancaman bagi

pengurus korporasi yang melakukan perbuatan tertentu tatkala korporasi dalam

keadaan pailit. Perbuatan yang diancam tersebut, misalnya,

a. membantu atau mengizinkan melakukan tindakan yang bertentangan

dengan anggaran dasar, sehingga seluruh atau sebagian besar dari

kerugian diderita oleh perseroan, maskapai atau perkumpulan;

b. memiliki maksud menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseroan,

maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan peminjaman

uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal diketahuinya tak

dapat dicegah keadaan pailit atau penyelesaiannya;

c. jika yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban yang

diterangkan dalam pasal 6 ayat pertama Kitab Undang-undang Hukum

Dagang dan pasal 27 ayat pertama ordonansi tentang maskapai andil

Indonesia, atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-

catatan dan tulisan-tulisan yang disimpan menurut pasal tadi, tidak dapat di

perlihatkan dalam keadaan tak diubah.

Pasal 398 KUHP tidak membebankan tanggung jawab kepada korporasi,

melainkan kepada pengurusnya. Dalam Pasal 399 KUHP, hal yang sama

ditemukan bahwa pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurusnya,

misalnya,

a. Membuat pengeluaran yang tak ada, maupun tidak membukukan

pendapatan atau menarik barang sesuatu dari budel;

b. Telah melijerkan (eurureemden) barang sesuatu dengan Cuma-Cuma atau

jelas dibawah harganya;

c. Dengan sesuatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang di waktu

kepailitan atau penyelesaian tadi tidak dapat dicegah;

d. Tidak memenuhi kewajiban mengadakan catatan menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang atau Pasal 27 ayat pertama ordonasi tentang

maskapai andil di Indonesia, dan tentang menyimpan dan memperlihatkan

buku-buku, surat-surat dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal itu.

Pendek kata, KUHP masih menentukan bahwa yang dapat bebankan

pertanggungjawaban pidana adalah orang, bukan korporasi. Dan ketentuan ini

masih berlaku hingga saat ini.

Page 45: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

2. UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang

Aturan hukum ini mendefinisikan badan hukum sebagai “tiap perusahaan atau

perseroan, perserikatan atau yayasan, dalam arti yang seluas-luasnya, juga jika

kedudukan sebagai badan hukum itu baik dengan jalan hukum ataupun

berdasarkan kenyataan tidak diberikan kepadanya.92 Ketentuan pembebanan

pidana dapat dijatuhkan kepada tiga elemen. Pertama, badan hukum itu sendiri.

Kedua, pengurus badan hukum. Ketiga, kedua-duanya, badan hukum dan

pengurusnya.93

3. UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi

Penyebutan korporasi diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Darurat Nomor 7

Tahun 1955. “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan atas nama suatu badan

hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan-

pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik

terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap

mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang

bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap

kedua-duanya.”

Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan

berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila

tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun.94

Selain itu, Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak

berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana

ekonomi.95 Serta pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau

penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat

diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan

perusahaannya untuk waktu selama-lamanya dua tahun.96

Tindakan tata tertib, seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah

pengampuan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar

sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa

yang dilalikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan

92 Pasal 1 huruf e UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951.93 Pasal 11 ayat (1) UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951. 94 Pasal 7 ayat (1) sub b UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.95 Pasal 7 ayat (1) sub c jo sub d UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.96 Pasal 7 ayat (1) sub e UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.

Page 46: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas

biaya si terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain.97

Penjatuhan pidana yang dianut dalam UU Tindak Pidana Ekonomi adalah

sistem dua jalur atau double track system. Artinya sanksi berupa pidana dan

tindakan dijatuhkan secara bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata

tertib.98

4. UU Nomor 20 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (sebelum diganti

dengan UU Nomor 20 Tahun 2002)

Definisi korporasi tidak diatur secara eksplisit. Namun dalam undang-undang

ini, pengertian badan usaha dimasukkan dalam Pasal 1 angka 27. Badan Usaha

adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk Badan Usaha Milik Negara,

Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi atau swasta yang didirikan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis usaha bersifat

tetap dan terus menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia.99

Pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada badan usaha atau

pengurusnya.100 Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh badan usaha, maka

pidananya berupa pidana denda dengan ketentuan paling tinggi ditambah

sepertiga.101

5. UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

UU Pasal modal mengatur bahwa pihak adalah orang perseorangan,

perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.102

Sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pihak yang melakukan pelanggaran dalam

ketentuan pasar modal berupa sanksi administratif, yakni:103

a. peringatan tertulis;

b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;

c. pembatasan kegiatan usaha;

d. pembekuan kegiatan usaha;

e. pencabutan izin usaha;

97 Pasal 8 ayat (1) sub a, sub b, sub c, dan sub d UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.98 Muladi dan Priyatno Dwidja, op.cit., hlm 166.99 Pasal 1 ayat (27) UU Nomor 20 Tahun 2002.100 Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002.101 Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2002.102 Pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 1995.103 Pasal 102 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1995.

Page 47: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

f. pembatalan persetujuan; dan

g. pembatalan pendaftaran.104

Definisi “pihak” yang dijelaskan dalam Pasal 102 UU Pasar modal meliputi

Emiten, Perusahaan Publik, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan,

Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Reksa Dana, Perusahaan Efek,

Penasihat Investasi, Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek,

Wakil Manajer Investasi, Biro Administrasi Efek, Kustodian, Wali Amanat, Profesi

Penunjang Pasar Modal, dan Pihak lain yang telah memperoleh izin, persetujuan,

atau pendaftaran dari Bapepam. Ketentuan dalam ayat ini berlaku juga bagi

direktur, komisaris, dan setiap pihak yang memiliki sekurang-kurangnya lima

persen saham Emiten atau perusahaan publik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 87.105

6. UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Aturan hukum ini menyebutkan arti korporasi. Korporasi adalah kumpulan

terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum.106 UU Psikotropika memuat pidana yang dapat

diancamkan ke orang maupun korporasi.

Jika tindak pidana psikotropika dilakukan oleh korporasi, maka disamping

dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi yang bersangkutan dikenakan

pidana denda sebesar dua kali pidana denda yang berlaku. Pidana tambahan juga

dikenakan yakni berupa pencabutan izin usaha.107

7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Pengertian korporasi ditulis dengan jelas bahwa korporasi adalah kumpulan

terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum. Tampaknya ketentuan demikian tidak berbeda

dengan yang diatur dalam UU Psikotropika.

Dalam aturan ini, jika pidana dilakukan oleh korporasi maka ancamannya

adalah pidana denda maksimal Rp 1 miliar, Rp 3 miliar, Rp 4 miliar, dan Rp 7

104 Pasal 102 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1995.105 Penjelasan Pasal 102 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1995.106 Pasal 1 ayat (13) UU Nomor 5 Tahun 1997.107 Pasal 70 UU Nomor 5 Tahun 1997.

Page 48: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

miliar. Besaran ancaman pidana ini tergantung dari masing-masing tindakan

pidana yang dilakukan.

8. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan

UU Nomor 10 Tahun 1998

UU Perbankan tidak mendefinisikan korporasi dengan terang. Hanya, dalam

ketentuan sanksi, kata korporasi muncul. Pasal 46 ayat (2) mengatur, apabila

kejahatan perbankan dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan

terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka tuntutan ditujukan kepada

pemberi perintah, pimpinan, atau pemberi perintah dan pimpinan. Tampaknya UU

Perbankan mengadopsi ketentuan dalam KUHP yang mengenakan

pertanggungjawaban pidana hanya orang (pemberi perintah atau pengurus),

bukan kepada korporasi.

9. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum atau badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan

usaha dalam bidang ekonomi.108 Dengan ketentuan demikian, maka badan usaha

(korporasi) juga dianggap sebagai subjek hukum yang dapat dikenakan

pertanggungjawaban pidana. Sanksi untuk pelaku usaha yang melanggar

peraturan ini adalah sanksi administratif, penjara, atau denda.

10. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Makna pelaku usaha dalam UU Perlindungan konsumen tak jauh berbeda

dengan UU Praktik Monopoli. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan

atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Begitu pun, sanksi yang diterapkan dapat berupa sanksi administrasi, penjara,

atau denda.

108 Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 5 Tahun 1999.

Page 49: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

11. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi

UU Tindak Pidana Korupsi memuat makna menyeluruh atas frase “setiap

orang.” Pasal 1 ayat (3) mengatakan, setiap orang adalah orang perseorangan

atau termasuk korporasi. Korporasi menurut pengertian Undang-Undang Tipikor

adalah adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.109

Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa korporasi dapat dituntut atas kejahatan

tindak pidana korupsi. Ketika tuntutan diajukan ke korporasi, maka penguruslah

yang mewakili. Pengurus juga dapat mewakilkan ke orang lain. Pidana pokok yang

dapat dikenakan kepada korporasi hanyalah pidana dengan ketentuan maksimum

ditambah sepertiga.

12. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas

Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan

jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam

wilayah Indonesia.110 Lebih lanjut diterangkan bahwa pengertian bentuk usaha

tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah

Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Indonesia dan wajib mematuhi

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.111

Dalam hal tindak pidana di sektor minyak dan gas dilakukan oleh atau atas

nama badan usaha atau bentuk usaha tetap, tuntutan dan pidana dikenakan

terhadap badan usaha atau bentuk usaha tetap dan/atau pengurusnya.112 Artinya,

ancaman pidana dapat dikenakan ke badan usaha, pengurus, atau kedua-duanya.

Jika pidana dilakukan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap, maka pidananya

adalah denda, dengan ketentuan paling tinggi ditambah sepertiga.113

13. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan

Badan usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk Badan Usaha

Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi atau swasta, yang didirikan

109 Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001.110 Pasal 1 ayat (17) UU Nomor 20 Tahun 2001.111 Pasal 1 ayat (18) UU Nomor 20 Tahun 2001.112 Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001.113 Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001.

Page 50: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis

usaha bersifat tetap dan terus menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah

Indonesia.114 Lebih lanjut dijelaskan untuk pengertian swasta adalah badan hukum

yang didirikan dan berdasarkan hukum di Indonesia yang berusaha di bidang

ketenagalistrikan.115

Tindak pidana yang diatur dalam UU Ketenagalistrikan apabila dilakukan oleh

korporasi, maka pidananya berupa denda dengan ketentuan paling tinggi

ditambah sepertiga.116 Ancaman pidana dapat dikenakan ke pengurus, badan

usaha itu sendiri, atau kedua-duanya.117

14. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Mirip dengan UU Tindak Pidana Korupsi, UU Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup memasukkan definisi korporasi ke dalam frase setiap orang.

Makna setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.

Dalam undang-undang diatur apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan

oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana

dapat diancamkan kepada:

a. badan usaha; dan/atau

b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau

orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana

tersebut.118

Jika badan usaha yang dituntut, maka badan usaha tersebut diwakili oleh

pengurus yang berwenang mewakili di dalam atau di luar pengadilan. Selain

pidana pokok, pidana tambahan juga dapat dikenakan kepada korporasi, yang

meliputi:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;

c. perbaikan akibat tindak pidana;

d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

114 Pasal 1 ayat (27) UU Nomor 20 Tahun 2002.115 Pasal 1 ayat (31) UU Nomor 20 Tahun 2002.116 Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2002.117 Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002.118 Pasal 116 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009.

Page 51: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)

tahun.119

15. UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (mengganti UU 22 Tahun 1997)

Pengertian korporasi dalam undang-undang ini mirip dengan yang dituangkan

dalam UU 22 Tahun 1997.120 Hanya saja, ketentuan pidana yang diancamkan

kepada korporasi jauh lebih besar. Ancaman pidana pokok maksimal yang diatur

adalah jumlah pidana denda paling tinggi dikalikan tiga.121 Sedangkan pidana

tambahan untuk korporasi berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status

badan hukum yang melekat kepada korporasi.122

16. UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos

Undang-undang ini lebih terang menjelaskan arti orang yang tidak dibedakan

dengan badan hukum. Orang adalah perseorangan ataupun badan hukum.123

Hanya saja kelemahan aturan hukum ini adalah tidak diatur siapa yang

bertanggung jawab jika pidana dilakukan oleh badan hukum. Apakah

pertanggungjawaban dikenakan kepada pengurus, badan hukum, atau kedua-

duanya.

17. UU 45 Tahun 2009 jo UU 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Pengaturan tentang korporasi diatur secara implisit bahwa, setiap orang adalah

orang perseorangan atau korporasi.124 Seterusnya, korporasi dijabarkan sebagai

kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik berbadan hukum atau

tidak berbadan hukum.125 Ancaman pidana bagi korporasi berupa pidana denda

ditambah sepertiga.126

18. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

UU TPPU menulis dengan jelas definisi korporasi sebagai kumpulan orang

dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berbadan hukum atau tidak berbadan

119 Pasal 119 UU Nomor 32 Tahun 2009.120 Pasal 1 angka 21 UU 35 Tahun 2009.121 Pasal 130 ayat (1) UU 35 Tahun 2009.122 Pasal 130 ayat (2) UU 35 Tahun 2009.123 Pasal 1 ayat (13) UU Nomor 38 Tahun 2009.124 Pasal 1 ayat (15) UU Nomor 45 tahun 2009.125 Pasal 1 ayat (16) UU Nomor 45 tahun 2009.126 Pasal 101 UU Nomor 45 Tahun 2009.

Page 52: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

hukum. Di samping definisi korporasi, ada pula definisi personil pengendali

korporasi, yakni setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai

penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan

kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.127

Dalam aturan hukum ini juga diperoleh arti setiap orang dengan orang

perorangan atau korporasi. Untuk menjerat korporasi dalam tindak pidana

pecucian uang, korporasi harus memenuhi tindak pidana asalnya. Ancaman

pidana dapat dikenakan kepada korporasi, pengendali korporasi, atau kedua-

duanya. Ancaman pidana dikenakan apabila pencucian uang:128

a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;

b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;

c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan

d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda

paling banyak Rp 100 miliar.129 Selain itu, dapat dikenakan pula pidana tambahan

berupa:

a. pengumuman putusan hakim;

b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi;

c. pencabutan izin usaha;

d. pembubaran dan/atau pelarangan korporasi;

e. perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau

f. pengambilalihan korporasi oleh negara.130

Jika korporasi tidak mampu membayar denda, maka aset harta kekayaan milik

korporasi atau personil pengendali korporasi yang bernilai sama dengan pidana

yang dijatuhkan dirampas.131 Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik korporasi

yang dirampas masih tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda

dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan

denda yang telah dibayar.132

127 Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 8 Tahun 2010.128 Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2010.129 Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010.130 Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2010.131 Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010.132 Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2010.

Page 53: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

19. UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa setiap orang adalah orang

perseorangan atau korporasi.133 Lebih lanjut dikatakan, korporasi adalah kumpulan

orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum.134 Dan personil pengendali korporasi adalah setiap

orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentuk kebijakan

korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi

tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.135

Ancaman pidana dikenakan kepada korporasi dalam pendanaan tindak pidana

terorisme, apabila:

a. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi;

b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;

c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah

dalam Korporasi; atau

d. dilakukan oleh personel pengendali korporasi dengan maksud memberikan

manfaat bagi Korporasi.136

Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap Korporasi, panggilan untuk

menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus

dan/atau personel pengendali korporasi di tempat tinggal pengurus atau di tempat

pengurus berkantor.137 Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa

pidana denda paling banyak Rp 100 miliar.138 Selain pidana denda, korporasi juga

dapat dikenakan pidana tambahan berupa:

a. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan korporasi;

b. pencabutan izin usaha dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang;

c. pembubaran korporasi;

d. perampasan aset korporasi untuk negara;

e. pengambilalihan korporasi oleh negara; dan/atau

f. pengumuman putusan pengadilan. 139

133 Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 9 Tahun 2013.134 Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 9 Tahun 2013.135 Pasal 1 ayat (13) UU Nomor 9 Tahun 2013.136 Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2013.137 Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 9 Tahun 2013.138 Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 9 Tahun 2013.139 Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 9 Tahun 2013.

Page 54: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Jika korporasi tidak mampu membayar denda, maka pidana denda diganti

dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi dan/atau personel pengendali

korporasi yang nilainya sama dengan pidana denda.140 Apabila harta yang

dirampas tidak cukup untuk membayar pidana denda, maka kurungan pengganti

denda dikenakan kepada personil pengendali korporasi dengan memperhitungkan

denda yang telah dibayar.141

Dari 21 undang-undang yang ditelaah, maka penyebutan nama korporasi serta

pidana yang diancamkan dapat ditulis dalam tabel sebagai berikut,

Tabel 1. Korporasi dan ancaman pidana

No. Undang-Undang Penyebutan KorporasiAncaman Pidana

KorporasiKeterangan

1. UU Darurat 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang

Badan hukum adalah:1. perusahaan,2. perseroan,3. perserikatan,4. yayasan.

Ancaman pidana ke orang, badan hukum, atau orang dan badan hukum.

2. UU Darurat 7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi

Tindak pidana ekonomi dilakukan atas nama 1.badan hukum,2.perseroan,3.perserikatan,4.yayasan

1. Pidana tambahan penutupan seluruh atau sebagian perusahaan;

2. Perampasan barang;3. Tindakan tata tertib

menempatkan perusahaan di bawah pengampuan.

Ancaman pidana dapat dikenakan ke badan hukum, yang memberi perintah, atau badan hukum dan pemberi perintah.

3. UU 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan

Badan usaha adalah:1.BUMN, 2.BUMD, 3.koperasi,4.swasta

Pidana denda (paling tinggi ditambah sepertiga)

Ancaman pidana kepada badan usaha atau pengurusnya.

4. UU 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Pihak adalah:1. perseorangan, 2. perusahaan, 3. usaha bersama, 4. asosiasi, 5. kelompok terorganisasi.

Sanksi administratif yang berupa: 1. peringatan tertulis, 2. denda,3. pembatasan kegiatan

usaha;4. pembekuan kegiatan

usaha;5. pencabutan izin usaha;6. pembatalan persetujuan,7. pembatalan pendaftaran.

Pengertian pihak disebut dalam Pasal 1 (urutan 1-5) dan pasal 102.

5. UU 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Korporasi adalah:1. kumpulan terorganisasi dari

orang berbadan hukum;2. kumpulan terorganisasi dari

kekayaan berbadan hukum;3. kumpulan terorganisasi dari

orang dan kekayaan berbadan hukum,

4. kumpulan terorganisasi dari orang tidak berbadan hukum;

5. kumpulan terorganisasi dari kekayaan tidak berbadan hukum;

Pidana yang dijatuhkan adalah:1. pidana denda sebesar

dua kali pidana yang berlaku,

2. pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

140 Pasal 8 ayat (6) UU Nomor 9 Tahun 2013.141 Pasal 8 ayat (7) UU Nomor 9 Tahun 2013.

Page 55: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

6. kumpulan terorganisasi dari orang dan kekayaan tidak berbadan hukum,

6. UU 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (sebelum diganti dengan UU 35 Tahun 2009)

Korporasi adalah:1.kumpulan terorganisasi dari

orang berbadan hukum;2.kumpulan terorganisasi dari

kekayaan berbadan hukum;3.kumpulan terorganisasi dari

orang dan kekayaan berbadan hukum,

4.kumpulan terorganisasi dari orang tidak berbadan hukum;

5.kumpulan terorganisasi dari kekayaan tidak berbadan hukum,

6.kumpulan terorganisasi dari kekayaan dan orang tidak berbadan hukum.

Ancaman pidana berupa:1. pidana denda paling

banyak Rp 7 miliar

7. UU 7 Tahun 1992 jo UU 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Tidak diatur pengertian korporasi. Meski demikian, dalam ketentuan sanksimenyebut kejahatan yang dilakukan oleh:1. perseroan terbatas;2. perserikatan;3. yayasan,4. koperasi.

Ancaman pidana terhadap korporasi dikenakan kepada:1. pemberi

perintah,2. pimpinan dalam

kejahatan,3. keduanya

(pemberi perintah dan pimpinan kejahatan).

8. UU 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pelaku usaha adalah:1. setiap orang2. badan usaha berbentuk

badan hukum,3. badan usaha tidak

berbentuk badan hukum.

Pidana berupa:1. pidana denda2. pidana tambahan

(pencabutan izin usaha)3. sanksi administratif

9. UU 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pelaku usaha adalah:1. setiap orang2. badan usaha berbentuk

badan hukum,3. badan usaha tidak

berbentuk badan hukum.

Pidana berupa:1. pidana denda paling

banyak Rp 2 miliar2. pidana tambahan (berupa

perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu, kewajiab penarikan barang dari peredaran, dan pencabutan izin usaha.

10. UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Setiap orang adalah:1. orang perorangan2. korporasi.Korporasi adalah:1. kumpulan orang yang

terorganisasi berbadan hukum,

2. kumpulan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,

3. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,

4. kumpulan orang yang terorganisasi tidak berbadan hukum,

5. kumpulan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum,

Pidana berupa:1. pidana pokok denda

dengan ketentuan maksimum ditambah sepertiga

2. pidana tambahan.

Ancaman pidana dapat dikenakan kepada:1. korporasi,2. pengurus

korporasi,3. keduanya

(korporasi dan pengurus korporasi).

Page 56: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

6. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum.

11. UU 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Badan usaha adalah:1. badan hukum yang

menjalankan usaha tetap

Ancaman pidana berupa pidana denda dengan ketentuan paling tinggi ditambah sepertiga. Pidana denda paling tinggi yang diatur adalah Rp 60 miliar.

Ancaman pidana dapat dikenakan kepada:1. badan usaha,2. badan usaha

tetap,3. pengurus badan

usaha,4. pengurus badan

usaha tetap,5. keduanya (badan

dan pengurusnya).

12. UU 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan

Badan usaha adalah:1. badan hukum berbentuk

BUMN,2. badan hukum berbentuk

BUMD,3. badan hukum berbentuk

koperasi,4. badan hukum berbentuk

swasta

Pidana denda dengan ketentuan paling tinggi ditambah sepertiga.

Ancaman pidana dapat dikenakan kepada:1. badan usaha,2. pengurus badan

usaha.

13. UU 31 Tahun 2004 jo UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Setiap orang adalah:1. orang perseorangan2. korporasi.Korporasi adalah:1. kumpulan orang yang

terorganisasi berbadan hukum,

2. kumpulan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,

3. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,

4. kumpulan orang yang terorganisasi tidak berbadan hukum,

5. kumpulan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum,

6. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum.

Pidana denda dengan ketentuan paling tinggi ditambah sepertiga

Ancaman pidana dikenakan kepada pengurusnya.

14. UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Setiap orang adalah:1.orang perorangan2.badan usaha berbadan

hukum,3.badan usaha tidak

berbadan hukum.

Ancaman pidana1. pidana pokok2. sanksi tata tertib

(perampasan keuntungan, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha, perbaikan akibat tindak pidana, kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, penempatan perusahaan di bawah pengampuan).

Ancaman pidana dijatuhkan kepada:1.badan usaha,2.orang yang

memberi perintah;3.pemimpin

kegiatan dalam tindak pidana lingkungan.

15. UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (mengganti UU 22 Tahun 1997)

Korporasi adalah:1.kumpulan terorganisasi dari

orang berbadan hukum;2.kumpulan terorganisasi dari

kekayaan berbadan hukum;3.kumpulan terorganisasi dari

orang dan kekayaan berbadan hukum,

4.kumpulan terorganisasi dari orang tidak berbadan

Ancaman pidana berupa:1.Pidana Pokok berupa

pidana denda dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda yang berlaku; pidana denda paling tinggi yang diatur adalah Rp 10 miliar.

2.Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha

Page 57: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

hukum;5.kumpulan terorganisasi dari

kekayaan tidak berbadan hukum,

6.kumpulan terorganisasi dari kekayaan dan orang tidak berbadan hukum.

dan pencabutan status badan hukum.

16. UU 38 Tahun 2009 tentang Pos

Orang adalah:1. orang perseorangan2. badan hukum.

Pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.

17. UU 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Korporasi adalah1. kumpulan orang yang

terorganisasi berbadan hukum,

2. kumpulan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,

3. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,

4. kumpulan orang yang terorganisasi tidak berbadan hukum,

5. kumpulan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum,

6. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum.

Pidana terhadap korporasi dapat berupa:1. pidana pokok denda

paling banyak Rp 100 miliar,

2. pidana tambahan berupa (pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagai usaha, pencabutan usaha, pembubaran/pelarangan korporasi, perampasan aset korporasi, pengambilalihan korporasi oleh negara).

Terdapat pengertian baru yakni “Personil Pengendali Korporasi” adalah: orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau melakukan kebijakan tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.

18. UU 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Setiap orang adalah:1. orang perorangan2. korporasi.Korporasi adalah:1.kumpulan orang yang

terorganisasi berbadan hukum,

2.kumpulan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,

3.kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,

4.kumpulan orang yang terorganisasi tidak berbadan hukum,

5.kumpulan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum,

6.kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum.

Pidana terhadap korporasi dapat berupa:1. pidana pokok denda

paling banyak Rp 100 miliar,

2. pidana tambahan berupa (pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagai usaha, pencabutan usaha, pembubaran/pelarangan korporasi, perampasan aset korporasi, pengambilalihan korporasi oleh negara).

Terdapat pengertian baru yakni “Personil Pengendali Korporasi” adalah: orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau melakukan kebijakan tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.

Lebih lanjut, dari hasil tabelisasi terhadap 21 undang-undang, hanya tujuh undang-

undang yang memuat dalam bunyi pasalnya ketentuan mengenai pengertian korporasi

secara eksplisit.142 Sedangkan undang-undang selebihnya tidak menyebut secara

eksplisit kata “korporasi” dalam pengaturan yang ada di pasal per pasalnya. Adapun

tujuh undang-undang dimaksud adalah:

142 Undang-undang perubahan, seperti UU 20 Tahun 2001 dan UU 45 Tahun 2009, dihitung sebagai satu undang-undang dengan dasar bahwa undang-undang perubahan itu tidak merubah ketentuan pasal yang mengatur korporasi atau dengan nama yang lain yang semacam.

Page 58: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

1. UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

2. UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (sebelum diganti dengan UU 35

Tahun 2009);

3. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4. UU Nomor 31 Tahun 2004 jo UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan;

5. UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (yang mengganti UU Nomor 22

Tahun 1997);

6. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang;

7. UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pendanaan Terorisme.

Setiap penyebutan korporasi dalam undang-undang dapat dikelompokkan ke

dalam empat kriteria, yakni, sangat sempit; sempit; luas; dan sangat luas. Kriteria

tersebut didasarkan pada jumlah penyebutan pengertian yang diatur dalam setiap

undang-undang.

Undang-undang yang menyebut hanya satu nama masuk ke dalam kategori

sangat sempit. Penyebutan dua sampai tiga nama dikelompokkan ke dalam kriteria

sempit. Selanjutnya, empat sampai lima berkriteria luas. Dan enam nama atau lebih

dikategorikan sangat luas. Adapun masing-masing kriteria dijabarkan dalam tabel

sebagai berikut:

Tabel 2. Pengelompokan Penyebutan Korporasi

No. Pengelompokan Undang-Undang Keterangan

1. Sangat sempit 1. UU Nomor 22 Tahun 2001 Hanya ada satu penyebutan2. Sempit 1. UU 5 Tahun 1999

2. UU 8 Tahun 19993. UU 32 Tahun 20094. UU 38 Tahun 2009

Ada dua sampai tiga penyebutan

3. Luas 1. UU Darurat 17 Tahun 19512. UU Darurat 7 Tahun 19553. UU 15 Tahun 19854. UU 8 Tahun 19955. UU 7 Tahun 1992 jo UU 10 Tahun 19986. UU 20 Tahun 2001

Terdapat empat sampai lima penyebutan

4. Sangat luas 1. UU 5 Tahun 19972. UU 22 Tahun 19973. UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 20014. UU 31 Tahun 2004 jo UU 45 Tahun 20095. UU 35 Tahun 20096. UU 8 Tahun 20107. UU 9 Tahun 2013

Enam atau lebih penyebutan

Page 59: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Dari hasil pengelompokan kriteria mengenai penyebutan nama, terdapat satu

undang-undang yang menyebut nama sebagai pengertian serupa korporasi.

Sedangkan empat undang-undang menyebut dua sampai tiga nama. Enam undang-

undang menyebut empat sampai lima nama, dan terakhir tujuh undang-undang

menyebut enam nama untuk mendefinisikan korporasi.

Secara keseluruhan, pengertian korporasi yang disebut dengan rigit dalam

undang-undang dan pengertian atau penyebutan lain untuk menggambarkan korporasi

atau tidak disebut dengan rigit, berjumlah dua puluh sebagai berikut,

1. Perusahaan;

2. Perseroan;

3. Perserikatan;

4. Yayasan;

5. Badan hukum;

6. BUMN;

7. BUMD;

8. Koperasi;

9. Swasta;

10. Usaha bersama;

11. Asosiasi;

12. Kelompok terorganisasi;

13. Kumpulan orang terorganisasi yang berbadan hukum;

14. Kumpulan kekayaan terorganisasi yang berbadan hukum;

15. Kumpulan orang dan kekayaan terorganisasi yang berbadan hukum;

16. Kumpulan orang terorganisasi yang tidak berbadan hukum;

17. Kumpulan kekayaan terorganisasi yang tidak berbadan hukum;

18. Kumpulan orang dan kekayaan terorganisasi yang tidak berbadan hukum;

19. Badan usaha berbentuk badan hukum; dan

20. Badan usaha tidak berbentuk badan hukum.

Selanjutnya, ancaman pidana dan sanksi untuk korporasi dibagi dalam empat

kelompok. Pertama, pidana pokok. Kedua, pidana tambahan. Ketiga, sanksi

administrasi. Keempat, tindakan tata tertib. Tidak ada yang berbeda dari tiap undang-

undan untuk pemuatan pidana pokok bagi korporasi. Pidana pokok yang diancamkan

adalah pidana denda.

Page 60: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Namun demikian, besaran denda atau jumlah denda maksimal yang diatur dalam

setiap undang-undang berbeda. Ancaman denda yang paling tinggi diatur dalam UU 8

Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU 9 Tahun

2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencegahan Pendanaan Terorisme

sebesar Rp 100 miliar. Di samping itu, pengaturan ancaman pidana pokok untuk

mencapai jumlah maksimal cenderung ditambah sepertiga dari pidana pokok tertinggi.

Pidana tambahan yang sempat diatur dalam masing-masing undang-undang

dapat berupa,

1. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan;

2. Pencabutan izin usaha;

3. Pembekuan sebagian usaha;

4. Pembubaran/pelarangan korporasi;

5. Perampasan aset korporasi;

6. Pengambialihan korporasi oleh negara;

7. Perampasan barang tertentu;

8. Pengumuman keputusan hakim;

9. Pembayaran ganti rugi;

10. Perintah penghentian kegiatan tertentu; dan

11. Kewajiban penarikan barang dari peredaran.

Berikutnya, sanksi administratif yang ditemukan dalam telah undang-undang

dalam penelitian ini hanya ada di UU 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Di undang-

undang lainnya tidak diatur. Sanksi administratif yang diatur untuk korporasi dapat

berupa,

1. Peringatan tertulis;

2. Denda;

3. Pembatasan kegiatan usaha;

4. Pembekuan kegiatan usaha;

5. Pencabutan izin usaha;

6. Pembatalan persetujuan; dan

7. Pembatalan pendaftaran.

Jika dicermati, beberapa ketentuan sanksi administratif yang diatur dalam UU 8

Tahun 1995 tentang Pasar Modal mirip dengan ketentuan yang tercantum dalam

pidana pokok (berupa denda) dan pidana tambahan (pembekuan kegiatan usaha dan

Page 61: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

pencabutan izin usaha) pada undang-undang lainnya. Ini menunjukkan keberbedaan

ancaman pidana untuk korporasi yang muncul dalam pengaturan undang-undang.

Selanjutnya, tindakan/sanksi tata tertib. Undang-undang mengatur tindakan tata

tertib untuk korporasi berupa:

1. Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan;

2. Perampasan keuntungan;

3. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha;

4. Perbaikan akibat tindak pidana; dan

5. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.

Ada satu bentuk tindakan/sanksi tata tertib yang mirip dengan ketentuan dalam

pidana tambahan. Penamaan “perampasan keuntungan” dalam tindakan/sanksi tata

tertib mirip dengan “perampasan aset korporasi” dan “perampasan barang tertentu.”

Tabel 3. Ancaman/Sanksi/Tindakan Untuk Korporasi

No. Pidana Bentuk Keterangan

1. Pokok Denda. Maksimal pengaturan Rp 100 miliar Untuk mendapatkan jumlah dendan maksimal cenderung ditambah sepertiga

2. Tambahan 1. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan;2. Pencabutan izin usaha;3. Pembekuan sebagian usaha;4. Pembubaran/pelarangan korporasi;5. Perampasan aset korporasi;6. Pengambilalihan korporasi oleh negara;7. Perampasan barang tertentu;8. Pengumuman keputusan hakim;9. Pembayaran ganti rugi;10. Perintah penghentian kegiatan tertentu;11. Kewajiban penarikan barang dari peredaran

3. Administratif 1. Peringatan tertulis;2. Denda;3. Pembatasan kegiatan usaha;4. Pembekuan kegiatan usaha;5. Pencabutan izin usaha;6. Pembatalan persetujuan;7. Pembatalan pendaftaran

4. Tata Tertib 1. Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan;2. Perampasan keuntungan;3. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha;4. Perbaikan akibat tindak pidana;5. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.

B. Pengalaman Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi

Meskipun tidak mudah memidanakan korporasi dalam tindak pidana korupsi,

mengingat perangkat hukum formil yang dimiliki kurang memberikan ruang, apresiasi

patut diberikan kepada penegak hukum yang melakukan terobosan. Setidaknya,

Page 62: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

terobosan itu dapat dilihat dalam dua kasus. Pertama, kasus korupsi yang dilakukan

oleh PT Giri Jaladi Wana. Kedua, kasus korupsi yang dilakukan oleh Muhammad

Nazaruddin.

1. Kasus PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW)

Kasus PT GJW diperiksa melalui putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin

Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin

(Kalimantan Selatan) Nomor 04/Pid.Sus/2011/PT.BJM. PT GJW didakwa telah

melakukan beberapa perbuatan tindak pidana korupsi yang berhubungan

sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.

Semua bermula dari pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor

664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha

Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin dan surat

Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 tentang

Penunjukan Pengelolaan Sementara Sentra Antasari kepada PT GJW.

Sebagai pendanaan pembangunan pasar, PT GJW mendapatkan kucuran dana

Kredit Modal Kerja dari PT. Bank Mandiri, Tbk. Dalam hal ini, PT GJW diwakili oleh

Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo Direktur Utama PT GJW dan Drs.

Tjiptomo selaku Direktur PT GJW.

Pada pelaksanaan perjanjian, PT GJW tanpa persetujuan DPRD Kota

Banjarmasin telah membangun 6.045 unit terdiri dari toko, kios, los, lapak dan

warung, sehingga terjadi penambahan 900 unit bangunan. Penambahan 900 unit

tersebut dijual dengan harga sebesar Rp. 16.691.713.166.00. Hasil penjualan

tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin.

PT GJW juga mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin

untuk membayar retribusi sebesar Rp. 500.000.000,00 dan membayar pelunasan

Kredit Inpres Pasar Antasari Rp. 3.750.000.000,00 jumlah keseluruhan yang harus

dibayar Rp. 6.750.000.000,00 tetapi PT GJW hanya membayar sebesar Rp.

1.000.000.000,00 sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp.

5.750.000.000,00 yang seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin.

PT GJW sengaja tidak membayar uang tersebut dengan memberikan

keterangan tidak benar melalui direkturnya dengan menyatakan kepada

Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah pembangunan Pasar Sentra Antasari

belum selesai. Padahal sesuai keterangan Ir. Wahid Udin, MBA. Projek Manajer

Pembangunan Pasar Sentra Antasari dan laporan completion report PT. Satya

Page 63: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Graha Tara (Konsultan Pengawas Proyek Antasari yang diminta Bank Mandiri),

melaporkan per September 2004 pembangunan Pasar Sentra Antasari selesai

100% dan per Oktober 2004 mempunyai surplus Rp. 64.579.000.000,00 dari hasil

penjualan toko, kios dan los serta warung. PT GJW dalam penggunaan fasilitas

kredit modal kerja dari PT. Bank Mandiri juga telah melakukan penyimpangan-

penyimpangan.

Akibat perbuatannya, negara cq Pemerintah Kota Banjarmasin menderita

kerugian sebesar Rp. 7.332.361.516,00 berdasarkan perhitungan BPKP

Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan No. S-1911/PW.16/5/2008 tanggal 19

Mei 2008 dan PT. Bank Mandiri, Tbk. sebesar Rp. 199.536.064.675,65

Dakwaan disusun secara subsidiaritas. Dakwaan primernya melanggar Pasal 2

ayat (1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun

2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan subsidernya melanggar pasal Pasal 3

jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo

Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Putusan PT GJW memberikan informasi bahwa unsur setiap orang yang harus

dibuktikan terlebih dahulu dalam tindak pidana korupsi dapat dipecahkan untuk

korporasi yang tidak berwujud manusia. Pertimbangan majelis hakim mengatakan

sebagai berikut:

a. pengertian “setiap orang” sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 3 UU

Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 mengungkapkan

perorangan termasuk korporasi. Orang perorangan adalah orang secara

individu yang dalam KUHP dirumuskan dengan kata “barang siapa.”

Sedangkan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang

terorganisasi baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum;

b. Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001

mengatakan apabila korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka

tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya;

c. Penuntut umum menghadapkan seorang yang mengaku bernama Stevanus

Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo Direktur Utama PT GJW yang dalam hal ini

bertindak mewakili PT GJW, dan setelah melalui pemeriksaan di tingkat

penyidikan dan pra penuntutan selanjutnya PT GJW dihadapkan ke

persidangan sebagai terdakwa, yang berdasarkan keterangan saksi-saksi

serta bukti-bukti dan serta dari keterangan Stevanus Widagdo bin Suraji

Sastrodiwiryo sendiri, dapat disimpulkan bahwa Stevanus Widagdo bin

Page 64: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Suraji Sastrodiwiryo adalah sah mewakili PT GJW, korporasi yang dimaksud

oleh penuntut umum dengan identitas sesuai dengan identitas terdakwa

sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan;

d. PT GJW merupakan badan hukum sehingga dikategorikan sebagai

korporasi.

Majelis hakim dalam pertimbangannya menggunakan keterangan ahli Prof. Dr.

Sutan Remy Sjahdeni, SH bahwa tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh

personel korporasi dapat dipertanggung jawabkan kepada korporasi, kecuali

apabila perbuatan tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh directing mind dari

korporasi tersebut. Atau dengan kata lain, korporasi dapat dibebani

pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pengurusnya jika dipenuhi syarat

sebagai berikut:

a. tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun omission)

dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi maupun di dalam

struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari

korporasi;

b. tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi;

c. tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah

dalam rangka tugasnya dalam korporasi;

d. tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi

korporasi; dan

e. pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan

pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana.

Majelis hakim menilai tindak pidana yang dilakukan oleh Direktur Utama PT

GJW memiliki posisi directing mind. Bahkan atas perkara ini, secara pribadi

Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo selaku Direktur Utama PT GJW telah

dipidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.

908/Pid.B/2008/PN.Bjm tanggal 18 Desember 2008 jo Putusan Pengadilan Tinggi

Kalimantan Selatan No. 02/PID/SUS/2009/PT.Bjm. tanggal 25 Februari 2009 jo

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 936 K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009.

Meskipun Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo sudah diadili sebagai

pelaku tindak pidana korupsi, tetapi PT GJW diadili dalam perkara yang sama.

Sekilas terlihat nebis in idem karena suatu tindak pidana yang perkaranya sudah

Page 65: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

terdapat putusan pengadilan tetapi diadili lagi. Namun, hal demikian bukanlah

nebis in idem karena dalam tindak pidana korporasi pelaku maupun korporasinya

bisa dijadikan terdakwa. Prof Sutan Remy Sjahdeini menyebut bahwa dalam

tindak pidana korporasi terdapat satu tindak pidana tetapi dengan lebih dari satu

pelaku.143

Selanjutnya, majelis hakim melihat perbuatan berlanjut yang dilakukan oleh PT

GJW dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. Sesuai anggaran

dasar, PT GJW bergerak di bidang usaha, seperti, perdagangan, industri,

agrobisnis, pengadaan barang, pengadaan jasa, transportasi, pembangunan, dan

design Interior. Berdasarkan fakta persidangan, tindak pidana yang dilakukan oleh

pengurus PT GJW masih dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi.

Pada unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

bersifat alternatif, jadi cukup dibuktikan memperkaya diri sendiri, atau oang lain

atau suatu korporasi. Adapun dalam perkara ini, diri pribadi Stevanus Widagdo bin

Suraji Sastrodiwiryo sebagai Direktur PT GJW terbukti memperkaya diri sendiri

bahkan sudah diputus oleh pengadilan.

Selain itu, PT GJW juga memperoleh manfaat dari sengaja tidak membayar

uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari kepada kas daerah Pemerintah Kota

Banjarmasin dan memberikan keterangan yang tidak benar dengan mengatakan

kepada Pemerintah Kota Banjarmasin bahwa seolah olah pengelolaan merugi,

padahal sesuai laporan keuangan pengelolaan pasar Sentra Antasari Banjarmasin

periode Juli 2004 s/d Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp. 7.650.143,645.

Pada unsur merugikan keuangan negara, PT GJW terbukti telah merugikan

keuangan Negara cq Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp. 7.332.361.516,00

dan PT. Bank Mandiri, Tbk. sebesar Rp. 199.536.064.675,65. Sedangkan unsur

perbuatan berlanjut majelis hakim melihat perbuatan terdakwa berlangsung sejak

tahun 1998 dalam rangkaian kontrak pembangunan tempat usaha Pasar Sentral

Antasari.

Vonis yang dijatuhkan kepada PT GJW adalah denda Rp 1,3 miliar dan pidana

tambahan berupa penutupan PT GJW selama 6 bulan. Vonis ini dikuatkan oleh

majelis hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan dengan merubah denda

menjadi Rp 1.317.782.129,00

2. Kasus Muhammad Nazaruddin

143 Sutan Remy Sjahdeini, 2011, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm 194.

Page 66: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Kasus Muhammad Nazaruddin ini berkebalikan dengan PT GJW. Dalam kasus

ini, penegak hukum belum dapat menjerat korporasi, meski dari fakta persidangan

ditemukan adanya keterangan yang berkaitan dengan keterlibatan korporasi.

Berdasarkan hasil penelaahan yang dilakukan terhadap Putusan Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:

69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST. tertanggal 20 April 2012 dan Putusan

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor:

31/PID/TPK/2012/PT.DKI tertanggal 08 Agustus 2012, jaksa penuntut umum

belum atau kurang memiliki pemahaman untuk menjadikan korporasi sebagai

subjek hukum pidana.

Padahal, dengan mencermati keterangan di dalam persidangan sebagaimana

dimasukkan dalam berkas putusan, seharusnya korporasi dapat dipidana. Adapun

keterangan dimaksud adalah:

a. Penuntut umum telah memasukkan fakta hukum dalam dakwaan kesatu,

dakwaan kedua, dan dakwaan ketiga yang menyatakan Nazaruddin

menerima lima lembar cek senilai Rp 4.675.700.000,00. dari PT Duta

Graha Indah, Tbk. (PT DGI) karena telah mengupayakan PT DGI sebagai

pemenang proyek pembangunan wisma atlet Jakabaring Palembang,

Sumatera Selatan;

b. penyerahan cek dilakukan oleh Muhammad El Idris, Manager Marketing PT

DGI, kepada Nazaruddin, bertempat di kantor PT Anak Negeri (anak

perusahaan Permai Group) dan diserahkan melalui saksi Yulianis dan saksi

Oktarina Furi alias Rina (keduanya adalah staf Bagian Keuangan PT Anak

Negeri);

c. Kelima lembar cek tersebut telah dicairkan dan uangnya disimpan di dalam

brankas PT Anak Negeri (Permai Group), dimana brankas tersebut berada di

bawah penguasaan Nazaruddin dan Neneng Sri Wahyuni, istri Nazaruddin,

selaku Direktur Keuangan PT Anak Negeri.

Fakta hukum di atas, yang ternyata terbukti pula di persidangan,

mengindikasikan adanya tindakan korporasi. Penyerahan cek dari PT DGI yang

diwakili oleh manager keuangannya, El Idris, kepada Nazaruddin sebenarnya

sudah cukup dijadikan sangkaan ada tindak pidana suap yang dilakukan oleh

korporasi kepada Nazaruddin sebagai pejabat negara, yang kala itu menjabat

Page 67: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

sebagai anggota DPR. Dengan demikian, PT DGI sebagai korporasi dapat dijerat

dengan undang-undang tindak pidana korupsi.

Di samping itu, dalam putusannya, majelis hakim tingkat pertama dan tingkat

banding sebenarnya memuat kemungkinan memidanakan korporasi (PT DGI dan

PT Anugerah Nusantara/Permai Group). Misalnya, majelis hakim menyatakan,

“dalam kenyataannya (de facto) terdakwa (Nazaruddin) dan isterinya adalah

sebagai pengendali perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai

Group, sehingga terdakwa masih tetap sebagai directing mind and will dari

perusahaan-perusahaan tersebut”.144

Kemudian, majelis hakim juga menekankan salah satu hal yang memberatkan

Nazaruddin, bahwa perbuatan Nazaruddin dilakukan secara sistematis dengan

mendirikan Badan Hukum Perusahaan.145 Seharusnya, dengan fakta ini, rumusan

korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dapat dikenakan.

Nazaruddin—dan istrinya—dapat dianggap sebagai high managerial agent

yang bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan dalam korporasi. High

managerial agent merupakan otak dan syaraf pusat dari korporasi, sedangkan

pejabat senior korporasi disebut sebagai directing mind atau alter ego. Perlu

diingat, directing mind dari korporasi tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang

menduduki jabatan secara yuridis formal, melainkan juga orang-orang yang dalam

kenyataannya melakukan operasionalisasi korporasi. Orang-orang tersebut tidak

memiliki kewenangan apapun secara yuridis formal dalam melakukan pengelolaan

korporasi, namun orang-orang inilah yang sebenarnya melakukan pengendalian

terhadap setiap perbuatan dan keputusan yang diambil oleh orang-orang yang

secara yuridis formal melakukan pengurusan korporasi.

C. Rumusan Ideal Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi

Menjawab kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan

perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana

terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subyek hukum

pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi

mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan,

baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum. Dalam hal

ini, korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate

144 Lihat Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST. tertanggal 20 April 2012, hlm 479.

145 Ibid., hlm 492.

Page 68: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes for

corporation).146

RUU KUHP 2010 mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana.147

Berdasarkan ketentuan ini, korporasi telah diterima sebagai subjek hukum pidana,

dalam arti dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan yang

dilakukan. Lebih lanjut, jika Tindak pidana dilakukan oleh korporasi dilakukan oleh

orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi

korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan

korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam

lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.148

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan

yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk

dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau

ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.149 Mengenai kedudukan

sebagai pembuat tindak pidana dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi

terdapat kemungkinan sebagai berikut:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu

penguruslah yang bertanggung jawab;

2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggung

jawab; atau

3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang

bertanggung jawab.

Oleh karena itu, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu

korporasi maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat

dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau

pengurusnya saja. Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepan-

jang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi

korporasi.150

Ketentuan bahwa kemungkinan pemegang tanggung jawab terhadap tindakan

korporasi dibebankan ke tiga kelompok, pengurus; korporasi; pengurus dan korporasi;

146 BPHN Kemenkumham RI, 2010, Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU KUHP, Jakarta, hlm 109 dan hlm 119.

147 Pasal 47 RUU KUHP Tahun 2010.148 Pasal 48 RUU KUHP Tahun 2010.149 Pasal 50 RUU KUHP Tahun 2010.150 Pasal 51 RUU KUHP Tahun 2010.

Page 69: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

juga dianut oleh beberapa undang-undang.151 Artinya, ketentuan yang masuk ke dalam

RUU KUHP untuk menjerat pengurus korporasi; korporasinya sendiri; atau kedua-

duanya adalah ketentuan yang sejak dulu dianut dalam peraturan perundang-

undangan Indonesia.

Selanjutnya, RUU KUHP menjelaskan tanggung jawab korporasi dalam hukum

pidana telah diterima sebagai suatu prinsip hukum. Namun, korporasi tidak

dapat dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana terhadap semua obyek,

kecuali jika secara khusus telah ditentukan bahwa perbuatan tersebut masuk

dalam lingkungan usahanya. Hal ini harus secara tegas diatur dalam Anggaran

Dasar atau ketentuan lain yang berlaku sebagai Anggaran Dasar dari korporasi

yang bersangkutan.

Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah

bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada

menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.152 Pertimbangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.153 Dalam hukum

pidana, penjatuhan pidana selalu harus dipandang sebagai ultimum remedium.

Oleh karena itu, dalam menuntut korporasi harus dipertimbangkan apakah

bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna

dibandingkan dengan tuntutan pidana dan pemidanaan. Jika memang telah

ada bagian hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih

berguna, maka tuntutan pidana atas korporasi tersebut dapat

dikesampingkan.154

Namun demikian, pengenyampingan tuntutan pidana atas korporasi

tersebut harus didasarkan pada motif atau alasan yang jelas. Alasan pemaaf

atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk

dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan

tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada

korporasi.155

RUU KUHP mengadopsi pidana pokok denda untuk mengancam korporasi.

Secara berjenjang jika denda tidak dibayar, maka aset korporasi dapat dirampas untuk

mengganti jumlah denda yang ditetapkan. Pidana pengganti bagi korporasi dapat

151 Misalnya, UU Darurat 17 Tahun 1951; UU Darurat 7 Tahun 1955; UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001; dan UU 22 Tahun 2001.

152 Pasal 52 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2010.153 Pasal 52 ayat (2) RUU KUHP Tahun 2010.154 Penjelasan Pasal 52 RUU KUHP 2010.155 Pasal 53 RUU KUHP Tahun 2010.

Page 70: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.156 Selain pidana pengganti,

RUU KUHP juga mencantumkan pidana tambahan yang dapat dikenakan kepada

korporasi. Pidana tambahan diatur dalam Pasal 67 RUU KUHP, meliputi:

1. Pencabutan hak tertentu;

2. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

3. Pengumuman putusan hakim;

4. Pembayaran ganti kerugian; dan

5. Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang

hidup dalam masyarakat.157

Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai

pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana

tambahan yang lain.158 Jika terpidana adalah korporasi, maka hak yang dicabut adalah

segala hak yang diperoleh korporasi.159 Ringannya perbuatan, keadaan pribadi

pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian,

dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan

tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.160

Dengan dianutnya paham korporasi adalah subyek tindak pidana, berarti korporasi

baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum dianggap mampu melakukan

tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate

criminal responsibility). Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban

pidana dipikul bersama oleh korporasi dan pengurusnya yang memiliki kedudukan

fungsional dalam korporasi atau hanya pengurusnya saja yang dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

RUU KUHP tahun 2010 merumuskan pertanggungjawaban pidana korporasi

dalam Buku I KUHP. Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang semula hanya

berlaku untuk tindak pidana tertentu di luar KUHP, berlaku juga secara umum untuk

tindak pidana lain baik di dalam maupun di luar KUHP. Sanksi terhadap korporasi

dapat berupa pidana (straf), namun dapat pula berupa tindakan tata tertib

(maatregel).161

156 Pasal 58 RUU KUHP Tahun 2010.157 Pasal 67 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2010.158 Pasal 67 ayat (2) RUU KUHP Tahun 2010.159 Pasal 91 RUU KUHP Tahun 2010.160 Pasal 55 ayat (2) RUU KUHP Tahun 2010.161 Ibid.

Page 71: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Mengenai ketentuan pidana untuk korporasi, dalam beberapa undang-undang

yang sebelumnya juga mengatur ketentuan ancaman pidana untuk korporasi membagi

ancaman/sanksi/tindakan untuk korporasi ke dalam empat kelompok. Pertama, pidana

pokok. Kedua, pidana tambahan. Ketiga, sanksi administratif. Keempat, tindakan tata

tertib. Pengaturan ini berbeda apabila dibandingkan dengan RUU KUHP yang

memasukkan ancaman untuk korporasi dalam dua kelompok, pidana (straf) dan

tindakan tata tertib.

Tampaknya mesti ada satu rumusan yang pasti—untuk menjamin kepastian

hukum dan harmonisasi peraturan perundang-undangan—mengenai ancaman

pidana/sanksi/tindakan untuk korporasi. Ancaman untuk korporasi sebaiknya dibagi

dalam dua kelompok besar. Pertama, pidana pokok. Kedua, pidana tambahan.

Ketentuan sanksi administrasi dan tindakan tata tertib sebaiknya dimasukkan dalam

ketentuan pidana tambahan saja. Dengan demikian, ancaman pidana untuk korporasi

berupa pidana pokok denda dan/atau pidana tambahan.

Kesalahan korporasi dapat diidentifikasikan dari kesalahan pengurus yang

memiliki kedudukan fungsional (mempunyai kewenangan untuk mewakili korporasi,

mengambil keputusan atas nama korporasi dan kewenangan menerapkan

pengawasan terhadap korporasi), yang melakukan tindak pidana dengan

menguntungkan korporasi, baik sebagai pelaku, sebagai orang yang

menyuruhlakukan, sebagai orang yang turut-serta melakukan, sebagai penganjur

maupun sebagai pembantu tindak pidana yang dilakukan bawahannya di dalam

lingkup usaha atau pekerjaan korporasi tersebut.162

Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) tetap merupakan

salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun demikian dalam hal tertentu,

sebagai pengecualian, dimungkinkan penerapan asas strict liability dan asas vicarious

liability. Asas strict liability mengajarkan pelaku pidana dapat dipidana hanya karena

telah dipenuhinya unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Sedangkan vicarious liability

diperluas sampai tindakan bawahannya yang melakukan perbuatan untuknya atau

dalam batas perintahnya.163

Selanjutnya, di RUU KUHP 2010 juga disebutkan, jika tindak pidana dilakukan

oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau

pengurusnya.164 Penjelasan ketentuan tersebut berkata, kedudukan fungsional

diartikan bahwa orang tersebut mempunyai kewenangan mewakili, kewenangan

162 Ibid.163 Ibid.164 Pasal 49 RUU KUHP Tahun 2010.

Page 72: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

mengambil keputusan, dan kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap

korporasi tersebut. Termasuk di sini orang tersebut berkedudukan sebagai orang yang

menyuruhlakukan, turut-serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan tidak pidana

tersebut.

Terkait dengan hukum acara untuk menuntut korporasi, terdapat kesulitan

memidanakan korporasi jika berkaitan dengan Pasal 143 KUHAP. Pasal tersebut

hanya mengakomodasi identitas, misalnya jenis kelamin, orang sebagai tersangka.

Padahal korporasi tidak memiliki hal demikian. Penuntut umum akan kesulitan menulis

surat dakwaan. Undang-undang tidak memberikan jalan keluar sama sekali.165 Untuk

mengatasi kesulitan demikian, RUU KUHAP 2012, dijawab dengan memuat rumusan

Pasal 135, yaitu:

1. Penuntut umum memanggil secara sah kepada terdakwa untuk datang ke

sidang pengadilan melalui alamat tempat tinggalnya;

2. Dalam hal alamat atau tempat tinggal terdakwa tidak diketahui, panggilan

disampaikan di tempat kediaman terakhir terdakwa;

3. Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman

terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa/kelurahan dalam

daerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir;

4. Dalam hal terdakwa ditahan dalam rumah tahanan negara, surat panggilan

disampaikan kepada terdakwa melalui pejabat rumah tahanan negara;

5. Surat panggilan yang diterima oleh terdakwa sendiri atau oleh orang lain atau

melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan;

6. Apabila tempat tinggal ataupun tempat kediaman terakhir tidak diketahui,

surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di gedung pengadilan

tempat terdakwa diadili atau diperiksa;

7. Apabila terdakwa adalah korporasi maka panggilan disampaikan kepada

pengurus ditempat kedudukan korporasi sebagaimana tercantum dalam

anggaran dasar korporasi tersebut; dan

8. Salah seorang pengurus korporasi wajib menghadap di sidang pengadilan

mewakili korporasi.

165 Wawancara dengan Ali Moekartono, penyidik tindak pidana korupsi di Kejaksaan Agung, pada 30 Mei 2013.

Page 73: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari telah 21 undang-undang serta pembahasan mengenai pemidanaan korporasi

atas tindak pidana korupsi, dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, tanggung

jawab korporasi atau dengan nama lainnya—setidaknya terdapat unsur legal

personality, limited liability, dan delegated management—sudah diatur minimal sejak

tahun 1951.

Korporasi yang diduga melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran diancam

dengan pidana pokok, pidana tambahan, sanksi administratif, sampai tindakan tata

tertib. Pidana pokok untuk korporasi berupa denda. Jumlah denda yang terbesar yang

diatur dalam undang-undang untuk korporasi adalah Rp 100 miliar. Untuk

mendapatkan jumlah maksimal pidana denda, kecenderungan beberapa undang-

undan mengatur penambahana sepertiga dari angka denda yang tertinggi. Kemudian,

pidana tambahan, sanksi administratif, dan tindakan tata tertib yang diperuntukkan

bagi korporasi bentuknya bermacam-macam. Terdapat dua puluh bentuk pidana

tambahan, sanksi administratif, dan tindakan tata tertib untuk korporasi.

Kedua, dalam lingkup tindak pidana korupsi, ada satu preseden di mana korporasi

dapati dikenakan pertanggungjawaban pidana. Adalah Pengadilan Tipikor Banjarmasin

yang menjatuhkan putusan bersalah kepada PT GJW sebagai korporasi. Majelis hakim

dalam perkara PT GJW menggunakan teori identifikasi untuk merumuskan korporasi

sebagai subjek tindak pidana korupsi sekaligus pemegang tanggung jawab atas tindak

pidana korupsi.

Sebagaimana diatur dalam beberapa undang-undang, selain undang-undang

pemberantasan tindak pidana korupsi, tanggung jawab atas tindak pidana—bahkan

perdata dan lingkungan—yang berkaitan dengan korporasi dapat dimintakan kepada

pengurus; korporasinya sendiri; atau kedua-duanya (pengurus dan korporasinya).

Dalam pemeriksaan PT GJW, majelis hakim menerapkan pemegang tanggung jawab

atas tindak pidana korupsi kepada pengurus serta kepada korporasinya. Artinya,

sebenarnya kemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam

lingkup tindak pidana korupsi—atau dalam lingkup tindak pidana lainnya—cukup

besar. Mengingat, undang-undang yang mengatur kewajiban bertanggung jawab

kepada pengurus, korporasi, atau pengurus dan korporasi, sudah diatur sejak 1951.

Page 74: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Ketiga, sepertinya penamaan mengenai korporasi perlu disatukan dalam batas

yang disepakati. Sehingga penamaan terhadap korporasi dapat sama dalam setiap

undang-undang. Berdasarkan hasil penelitian, minimal ada dua puluh penyebutan

nama korporasi dari 21 undang-undang. Hal ini berpotensi menyulitkan aparat penegak

hukum dalam mengidentifikasi korporasi. Ada tiga batasan untuk menyimpulkan

sebuah korporasi, yakni (i) legal personality, di mana terdapat unsur yang memiliki

otoritas untuk mengelola aset korporasi—juga membuat kontrak atau perjanjian untuk

korporasi; (ii) limited liability, terdapat pemisahan antara aset korporasi dan aset

individu dalam korporasi; dan (iii) delegated management, ada struktur dalam korporasi

yang disertai dengan distribusi kewenangannya. Tiga hal ini dapat dilihat pada

anggaran dasar atau anggaran rumah tangga—atau yang serupa dengan dua hal ini—

di masing-masing korporasi.

Berikutnya, ancaman pidana untuk korporasi juga bermacam-macam. Dalam 21

undang-undang memuat empat kelompok ancaman penjeraan untuk korporasi, (i)

pidana pokok; (ii) pidana tambahan; (iii) sanksi administratif; dan (iv) tindakan tata-

tertib. Sedangkan RUU KUHP mengatur dua hal, (i) pidana (straaf) dan (ii) tindakan

tata-tertib (maatregels). Untuk memudahkan perumusan ancaman pidana, seyogianya

ancaman penjeraan untuk korporasi dirumuskan dalam dua kelompok saja, yakni

pidana pokok dan pidana tambahan saja.

Pidana pokok untuk korporasi berupa pidana denda. Angka maksimal pidana

denda dapat ditemukan dalam UU 8 Tahun 2010 dan UU 9 Tahun 2013 sebesar Rp

100 miliar. Angka ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan yang diatur dalam

UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001. Perlu ada rekalkulasi untuk menentukan

jumlah angka maksimal denda bagi korporasi dalam lingkup tindak pidana korupsi.

Kemudian, pidana tambahan bagi korporasi dapat dipilih beberapa dari dua puluh

bentuk pidana tambahan, sanksi administratif, dan tindakan tata-tertib yang sempat

diatur dalam undang-undang sebelumnya.

B. Saran

Untuk memudahkan pertanggungjawaban dan penuntutan korporasi atas tindak pidana korupsi, setidaknya perlu dilakukan tiga hal sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, KPK, dan hakim) serta auditor negara (BPK dan BPKP)—akan lebih lengkap dengan keikutsertaan inspektorat di masing-masing lembaga—agar bertemu dan mengambil satu definisi korporasi yang disepakati. Hal ini untuk menghindari penafsiran yang berbeda atas pengertian korporasi. Berdasarkan penelitian ini, aparat penegak hukum minimal dapat menentukan tiga unsur sebuah korporasi,

Page 75: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

yakni unsur legal personality, limited liability, dan delegated management. Dengan tiga unsur ini, Pasal 20 UU 31 Tahun 1999 diharapkan dapat diterapkan dengan maksimal. Selanjutnya, untuk lebih menguatkan penerapan Pasal 20 UU 31 Tahun 1999, maka Pasal 1 angka 1 UU 31 Tahun 1999 seyogianya diubah dengan memasukkan unsur legal personality, limited liability dan delegated management. Oleh karena itu, DPR atau Presiden—sebagai pemegang kekuasaan legislasi—diharapkan dapat memasukkan perihal unsur korporasi dimaksud dalam rancangan undang-undang perubahan UU 31 Tahun 1999;

2. Di tingkat regulasi, harus disatukan beberapa penyebutan korporasi dengan batasan tertentu, sehingga memungkinkan adanya kesamaan penyebutan korporasi serta batasannya dalam semua—tidak terbatas pada satu—peraturan perundang-undangan. artinya, hanya satu kata saja yang dipakai untuk penyebutan nama, yakni “korporasi”. Jika tidak memungkinkan melakukan perubahan atas undang-undang yang terbit sebelum tahun 2013—misalnya karena biaya politik dan biaya pembentukan undang-undang yang mahal—, maka undang-undang yang akan dibentuk pada tahun berikutnya cukup menyebut kata “korporasi” yang unsurnya meliputi legal personality, limited liability, dan delegated management. Perubahan undang-undang ini khususnya ditujukan kepada rencana perubahan undang-undang KUHP166

dan KUHAP; dan3. Perlu dibentuk gradasi ancaman kepada korporasi. Pidana pokok denda

kepada korporasi ditentukan angka minimalnya mesti lebih besar dengan tetap mencantumkan angka maksimal pidana denda.

166 Mengingat Pasal 103 KUHP juga mengenal ketentuan hukum pidana yang diatur di luar KUHP. Lihat, Supriyadi, presentasi berjudul Kebijakan Legislatif Mengenai Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana, disampaikan dalam FGD Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, 2 Mei 2013.

Page 76: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum PidanaUndang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan BarangUndang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana EkonomiUndang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (sebelum

diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002)Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar ModalUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang PsikotropikaUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang NarkotikaUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak SehatUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan KonsumenUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan GasUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (yang

menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985)Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan HidupUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (yang menggantikan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997)Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang PosUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian UangUndang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Pendanaan Tindak Pidana Terorisme

B. Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Amrullah, M. Arief. 2006. Kejahatan Korporasi: The Hunt for Mega Profits and The Attack on Democracy. Banyumedia. Jawa Timur.

Ashshofa, Burhan. 1996. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.Azwar, Saefuddin. 2010. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.Bakhri, Syaeful. 2009. Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia. Kreasi Total

Media. Yogyakarta.Green, Gary S. 1993. White Collar Crime and The Study of Embezzlement.

American Academy of Political and Social Science.Hamzah, Andi. 1984. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.Hamzah, Andi. 2012. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Perkembangannya. Sofmedia. Jakarta.Huda, Chaerul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori

Page 77: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Kencana Prenada Media. Jakarta.

Istanto, F. Sugeng. 2007. Penelitian Hukum. CV Ganda. Yogyakarta.Kansil, C.S.T dan Cristhine S.T. Kansil. 2010. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum

Dagang Indonesia. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media.

Jakarta.Moeljatno. 2000. Azas-azas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta.Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Remaja Rosda

Karya. Bandung.Mubyarto. tt. Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan. Yayasan Agro Ekonomika.

Jakarta.Muladi dan Dwija Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.

Kencana Prenada Media. Jakarta.Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas

Nasional. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.Priyatno, Dwidja. 2009. Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi di Indonesia. CV Utomo. Bandung.Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas

Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1983. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. dkk. 1981. Kriminologi Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soemarjono, Maria S.W. 1997. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian: Sebuah Panduan Dasar. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sunggono, Bambang. 2011. Metodologi Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2011. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.

C. Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin Nomor 04/Pid.Sus/2011/PT.BJMPutusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 31/PID/TPK/2010/PT.DKIPutusan Pengadilan Tipikor Banjarmasin Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJMPutusan Pengadilan Tipikor Jakarta Nomor 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST

D. Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian, Kamus, Koran, dan Internet

Aubert, Vilhelm. 1952. White Collar Crime and Social Culture. Chicago Journals.BPHN Kemenkumham RI. 2010. Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU

KUHP. Jakarta.Grabosky, Peter dan John Braithwaite. Australian Institute of Criminology. Trends

and Issues in Crime and Criminal Justice. Vol. 5: Corporate Crime in Australia.Ivancevich, John M. et.al. 2003. Deterring White Collar Crime. Academy of

Management Executive. Vol. 17. No.2.John Armour, et.al. 2009. The Essential Elements of Corporate Law: What is

Corporate Law? Center for Law, Economics, and Business. Harvard University.Koran Tempo. 19 Juni 2013

Page 78: UNCAC-review Laporan korporasi unodc pukat 30okt2013

i

Mugellini, Giulia. 2012. Crime Againts the Private Sector in Latin America: Existing Data and Future Orientations to Analyse the Victimization of Businesses, slide presentation of first International Conference on Statistical Information of Goverment, Public Safety, Victimization and Justice. UNODC-INEG.

Poerwadarminta, W.J.S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta.Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM. 2013. Trend Corruption Report

Tengah Tahun Pertama 2013. Yogyakarta.Suara Merdeka. 20 Oktober 2011.Supriyadi, presentasi berjudul Kebijakan Legislatif Mengenai Korporasi Sebagai

Pelaku Tindak Pidana Korupsi, disampaikan dalam FGD Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, 2 Mei 2013.

www.dictionary.comwww.kamusbahasaindonesia.orgwww.law.cornell.eduwww.preservearticles.com www.uslegal.com

E. WawancaraWawancara dengan Ali Moekartono, penyidik tindak pidana korupsi di Kejaksaan

Agung Republik Indonesia, Jakarta, 30 Mei 2013.Wawancara dengan Dam Dam Bachtiar, SH., Ketua Pengadilan Tinggi

Banjarmasin, Banjarmasin, 27 Juni 2013.Wawancara dengan Asep Iwan Iriawan, SH., mantan hakim, Jakarta, 1 Juli 2013.Wawancara dengan Abdullah Dahlan, peneliti ICW, Jakarta, 4 Juli 2013.Wawancara dengan AKBP Budiman, SH., MH., bagian penanganan tindak pidana

korupsi Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan, 29 Juli 2013.Wawancara dengan Kurniawan, SH., kepala seksi penyidikan Kejaksaan Tinggi

Sumatera Utara, Medan, 29 Juli 2013.Wawancara dengan Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

Sumatera Utara (BPKP), Medan, 30 Juli 2013.Wawancara dengan Amril, SH., MH., Ketua PN Jakarta Barat, Jakarta, 16 Agustus

2013.