uncac-review laporan korporasi unodc pukat 30okt2013
DESCRIPTION
Pembicaraan mengenai penelitian pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi dilakukan sejak 2011. Rencana ini mengemuka setelah mencermati pemeriksaan beberapa tindak pidana korupsi yang melibatkan perusahaan. Meski disebut dalam berkas putusan mengenai dugaan keterlibatan perusahaan dalam tindak pidana korupsi, namun aparat penegak hukum belum begitu yakin untuk melakukan penuntutan terhadapnya. Padahal, undang-undang tindak pidana korupsi telah mengatur sedemikian rupa perihal penjeratan terhadap korporasi. Ketidakyakinan aparat penegak hukum dalam menuntut perusahaan, mungkin saja disebabkan oleh terma perusahaan yang tidak disebut sama sekali dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Namun demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi berkembang pesat. Pada tahun 2011, Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis bersalah kepada sebuah perusahaan atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Putusan pada pengadilan tingkat pertama ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan melalui majelis hakim banding. Perusahaan—yang tidak disebut dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi—ternyata dapat dipidana. Majelis hakim menggunakan terma korporasi untuk mengidentifikasi perusahaan tersebut. Dengan adanya putusan pengadilan pada tingkat pertama dan banding, semakin menguatkan bahwa sebenarnya terma perusahaan sesuai dengan terma korporasi seperti yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Atas putusan ini, keinginan untuk mengadakan penelitian mengenai pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi semakin menguat.TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
PEMIDANAAN KORPORASI ATAS TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
Oleh
Hifdzil AlimFariz FachryanLaras Susanti
Zaenur RohmanOce MadrilHasrul Halili
Zainal Arifin Mochtar
PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSIFAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
2013
i
KATA PENGANTAR
Pembicaraan mengenai penelitian pemidanaan korporasi atas tindak pidana
korupsi dilakukan sejak 2011. Rencana ini mengemuka setelah mencermati
pemeriksaan beberapa tindak pidana korupsi yang melibatkan perusahaan. Meski
disebut dalam berkas putusan mengenai dugaan keterlibatan perusahaan dalam tindak
pidana korupsi, namun aparat penegak hukum belum begitu yakin untuk melakukan
penuntutan terhadapnya. Padahal, undang-undang tindak pidana korupsi telah
mengatur sedemikian rupa perihal penjeratan terhadap korporasi. Ketidakyakinan
aparat penegak hukum dalam menuntut perusahaan, mungkin saja disebabkan oleh
terma perusahaan yang tidak disebut sama sekali dalam undang-undang tindak pidana
korupsi.
Namun demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi berkembang pesat. Pada
tahun 2011, Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis bersalah kepada
sebuah perusahaan atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Putusan pada
pengadilan tingkat pertama ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan
melalui majelis hakim banding. Perusahaan—yang tidak disebut dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi—ternyata dapat dipidana. Majelis hakim
menggunakan terma korporasi untuk mengidentifikasi perusahaan tersebut.
Dengan adanya putusan pengadilan pada tingkat pertama dan banding, semakin
menguatkan bahwa sebenarnya terma perusahaan sesuai dengan terma korporasi
seperti yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Atas putusan ini, keinginan
untuk mengadakan penelitian mengenai pemidanaan korporasi atas tindak pidana
korupsi semakin menguat.
Keinginan untuk melakukan penelitian ini baru bersambut pada 2013. Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) ternyata memiliki keresahan yang
tidak jauh berbeda untuk dapat memidanakan, tidak hanya perusahaan, namun juga
korporasi dalam bentuknya yang lain, yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Kemudian, keinginan penelitian ini mendapat dukungan dari United Nation on Drugs
and Crimes (UNODC). Akhirnya, rencana penelitian yang mengembang sejak 2011
baru dapat dilaksanakan pada pertengahan 2013.
Kegiatan dalam penelitian ini dilaksanakan oleh tim peneliti dari Pusat Kajian
Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta (PUKAT FH UGM), yang terdiri dari
saudara Hifdzil Alim, Fariz Fachryan, Laras Susanti, Zaenur Rohman, Oce Madril,
i
Hasrul Halili, dan Zainal Arifin Mochtar. Untuk teknis administrasi, tim peneliti dibantu
oleh tim administrasi serta keuangan yang terdiri dari saudara Sriyatun dan Nurvita
Budi Rovani.
Dengan selesainya kegiatan dari penelitian ini, puji syukur dihaturkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas berkah hidup yang telah diberikan. Kemudian, rasa terima
kasih tak lupa disampaikan kepada tim peneliti dan tim administrasi serta keuangan
PUKAT FH UGM yang telah menyelesaikan penelitian ini. Selanjutnya, rasa terima
kasih juga diucapkan kepada UNODC atas dukungannya dalam penelitian ini.
Sebagai sebuah kajian, hasil penelitian ini tidak menutup kemungkinan untuk
mendapatkan kritik dan tambahan informasi. Dengan harapan penelitian ini dapat
menjadi salah satu bahan bagi aparat penegak hukum agar mulai berani merumuskan
dan menjerat korporasi dalam tindak pidana korupsi.[]
Yogyakarta, 30 September 2013
Ketua
Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
i
DAFTAR ISI
HalamanKATA PENGANTAR ...................................................................................... iDAFTAR ISI ................................................................................................... iiiDAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang ................................................................... 1B. Rumusan Masalah .............................................................. 2C. Tujuan Penelitian ................................................................ 2D. Kegunaan Penelitian .......................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. Konsep Korporasi ............................................................... 4B. Konsep Kejahatan Korporasi .............................................. 8C. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ................................ 12D. Konsep Stelsel Pemidanaan .............................................. 19E. Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 25
BAB III METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian .................................................................. 33B. Cara Pengumpulan Data .................................................... 34C. Lokasi Penelitian ................................................................ 35D. Analisis Data ....................................................................... 36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Pengaturan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Undang-Undang ................................................................. 39B. Pengalaman Pemidanaan Korporasi Dalam Tindak
Pidana Korupsi ................................................................... 58C. Rumusan Ideal Pemidanaan Korporasi atas Tindak
Pidana Korupsi ................................................................... 63
BAB V PENUTUPA. Kesimpulan ......................................................................... 70B. Saran .................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 73LAMPIRAN ..................................................................................................... 76
i
DAFTAR TABEL
HalamanTabel 1 Korporasi dan Ancaman Pidana ................................................... 50Tabel 2 Pengelompokan Penyebutan Korporasi ....................................... 54Tabel 3 Ancaman/Sanksi/Tindakan untuk Korporasi ................................. 57
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi di Indonesia merambah banyak sektor serta menjerat
banyak aktor. Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada—
selanjutnya ditulis PUKAT Korupsi—mencatat, pada tengah tahun pertama 2013
(Januari-Juli) misalnya, korupsi ada di sektor penerimaan negara dan/atau daerah;
pertanian, kehutanan, perkebunan, dan/atau perikanan; pekerjaan umum; keolahrgaan
dan pendidikan; penegakan hukum; kesejahteraan sosial; BUMN dan/atau BUMD;
ESDM; departemen luar negeri; komunikasi dan informatika; kesehatan; proyek
pengadaan barang dan jasa; legislatif; perdagangan dan perindustrian; keuangan
dan/atau perbankan; serta keagamaan.1
Dari banyak sektor tersebut, aktor korupsi bermunculan dari banyak kalangan. Ada
pemerintah pusat; pemerintah daerah; legislatif pusat; legislatif daerah; pejabat BUMN;
kalangan swasta; kepala daerah; pegawai sekolah; aparat penegak hukum; pegawai
perguruan tinggi; menteri anggota KPUD; duta besar; unsur partai politik; dan pejabat
negara.2
Dari banyak aktor korupsi yang terjerat tindak pidana korupsi, tampaknya ada satu
aktor yang sementara ini belum banyak dijerat oleh hukum, yakni korporasi. Dalam
beberapa tindak pidana korupsi, dugaan keterlibatan korporasi tak dapat dimungkiri.
Contohnya, dalam kasus korupsi pengadaan vaksin flu burung pada 2008-2011, PT
Anugerah Nusantara diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 692,3 miliar.3
Pada kasus lain, misalnya, tindak pidana korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga
surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008, PT Alfindo
Nuratama Perkasa diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,72 miliar.4 Angka
kerugian tersebut diperoleh dari nilai proyek sebesar Rp 8 miliar yang disubkontrakkan
oleh PT Alfindo Nuratama Perkasa kepada PT Sundaya Indonesia yang hanya
dibayarkan sebesar Rp 5,28 miliar.
Dua contoh kasus di atas mengetengahkan keterlibatan korporasi dalam tindak
pidana korupsi. Akan tetapi, sampai saat ini, belum ada informasi yang mengatakan
rencana pemeriksaan dan pemidanaan terhadap korporasi tersebut. Padahal,
1 Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, 2013, Trend Corruption Report Tengah Tahun Pertama 2013, hlm 4.
2 Ibid., hlm 3.3 Koran Tempo, 19 Juni 2012.4 Suara Merdeka, 20 Oktober 2011.
i
korporasi memegang peranan penting dalam terlaksananya sebuah tindak pidana
korupsi.
B. Rumusan Masalah
Tindakan korporasi dalam tindak pidana korupsi semestinya dapat dikenakan
pertanggungjawaban. Namun sebelum mengarah ke pertanggungjawaban korporasi
atas tindak pidana korupsi, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab demi
mendapatkan dasar akademik untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam
tindak pidana korupsi. Adapun pertanyaan tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab korporasi yang pernah diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang di
Indonesia?
2. Bagaimanakah praktik pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana
korupsi di Indonesia?
3. Bagaimanakah rumusan alternatif bagi pertanggungjawaban korporasi atas
tindak pidana korupsi di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian bertema “Pertanggungjawaban Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia” memiliki tujuan untuk:
1. Mengetahui dan memahami pengaturan tanggung jawab korporasi dalam
peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang pernah
diterapkan di Indonesia;
2. Mengetahui dan memahami praktik pertanggungjawaban korporasi atas tindak
pidana yang pernah terjadi di Indonesia; dan
3. Menghasilkan rumusan alternatif mengenai pengaturan dan praktik untuk
meminta pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana korupsi yang
dilakukan di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini diharapkan dapat memberi
hasil guna kepada:
1. Aparat penegak hukum, sebagai bahan dan referensi alternatif untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, dan eksekusi
i
terhadap dugaan keterlibatan korporasi dalam tindak pidana korupsi di
Indonesia; dan
2. Ilmu pengetahuan, sebagai bagian menambah bahan bacaan dan referensi
atas kajian mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana
korupsi di Indonesia.
i
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Korporasi
Ada berbagai jenis pengertian korporasi. Kata korporasi berasal dari Bahasa Latin
corporatus, yang diadopsi ke dalam Bahasa Inggris corporate. Corporate is relating to
a large company or group: airlines are very keen on their corporate identity. Lebih
lanjut disebutkan kaitannya dengan status hukum, corporate is authorized to act as a
single entity and recognized as such in law: local authorities, like other corporate
bodies, may reduce capital spending the rules set by the corporate organization of or
shared by all the members of a group; the service emphasizes the corporate
responsibility of the congregation.5 Artinya, korporasi adalah subyek hukum yang
sahamnya disebar kepada para anggotanya. Korporasi beroperasi untuk bertanggung
jawab atas tujuan didirikannya korporasi tersebut.
Di Indonesia, tidak jarang orang menyamakan korporasi dengan perusahaan.
Pandangan tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya meski tentu saja terdapat
perbedaan antara keduanya. Korporasi bermakna (i) badan usaha yang sah; badan
hukum; (ii) perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa
perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar.6 Sementara
perusahaan adalah (i) kegiatan (pekerjaan dan sebagainya) yang diselenggarakan
dengan peralatan atau dengan cara teratur dengan tujuan mencari keuntungan
(dengan menghasilkan sesuatu, mengolah atau membuat barang-barang, berdagang,
memberikan jasa, dan sebagainya); (ii) organisasi berbadan hukum yg mengadakan
transaksi atau usaha.7 Dengan arti ini, korporasi dan perusahaan relatif bermakna
sama.
Pengertian korporasi juga dicetuskan oleh beberapa pemikir. Cornel University,
misalnya, dalam sebuah karya ilmiah menyatakan “a corporation is a legal entity
created through the laws of its state of incorporation. Individual states have the power
to promulgate laws relating to the creation, organization and dissolution of
corporations.” Korporasi merupakan subyek hukum yang dibentuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan tentang korporasi. Individulah yang memiliki kekuatan
untuk membentuk, mengoperasikan, dan membubarkan sebuah korporasi.
5 Diakses dari laman www.dictionary.com pada 4 Juli 2013.6 Diakses dari laman www.kamusbahasaindonesia.org pada 4 Juli 2013.7 Ibid.
i
Di Amerika Serikat, Securities Act of 1993 mengatur bahwa korporasi adalah
subyek hukum yang yang bisa beracara di persidangan (dapat menggugat dan
digugat) dan terdapat pemisahan yang jelas antara harta kekayaan perusahaan
dengan pemegang saham. Lebih lanjut, undang-undang tersebut juga
memperbolehkan pemegang saham untuk menggugat korporasinya dan memindahkan
kepemilikan sahamnya. Status sebagai subyek hukum yang dimiliki oleh sebuah
korporasi, membuatnya tidak terpengaruh oleh meninggal dunianya pemegang
saham.8
Penjelasan di atas sebenarnya telah cukup untuk menggambarkan korporasi
dalam kedudukannya sebagai subyek hukum. Namun, seringkali terdapat kebingungan
di masyarakat membedakan antara korporasi dengan badan sejenis. Misalnya apakah
sebuah yayasan merupakan korporasi karena didirikan oleh sekumpulan orang untuk
tujuan tertentu. Ataukah sebuah korporasi hanya berkaitan dengan perusahaan yang
bersifat komersil. Oleh karena itulah, para ahli mencetuskan karakteristik yang bisa
digunakan untuk menentukan apakah suatu badan merupakan korporasi atau bukan.
Karateristik tersebut antara lain: most of which will be easily recognizable to anyone
familiar with business affairs; they are legal personality, limited liability, transferable
shares, delegated management under a board structure, and investor ownership.9
Secara lebih mendalam, karakter legal personality terdiri dari dua komponen yakni
“...there must be rules specifying to third parties the individuals who have authority to
buy and sell assets in the name of the firm, and to enter into contracts that are bonded
by those assets and must be rules specifying the procedures by which both the firm
and its counterparties can bring lawsuits on the contracts entered into in the name of
the firm.”10 Ada aturan yang secara spesifik bagi pihak dalam korporasi yang memiliki
otoritas untuk membeli dan menjual aset dengan atas nama perusahaan dan ikut
dalam kontrak. Selain itu, terdapat pengaturan khusus bahwa baik korporasi maupun
pemegang saham dapat saling mengugat di persidangan.
Sementara mengenai terbatasnya pertanggungjawaban dijelaskan bahwa limited
liability is a (strong) form of the ‘owner shielding’ that is effectively the converse of the
‘entity shielding’ described above as a component of legal personality; entity shielding
protects the assets of the firm from the creditors of the firm’s owners, while limited
liability protects the assets of the firm’s owners from the firm’s creditors. Together, they
8 Corporations: An Overview, diakses di http://www.law.cornell.edu/wex/corporations , pada 24 Juni 2013.
9 John Armour, Henry Hansmann, Reinier Kraakman, 2009, The Essential Elements Of Corporate Law: What Is Corporate Law?, Center for Law,Economics, and Business Harvard University, hlm 2.
10 Ibid., hlm 7-8.
i
set up a regime of “asset partitioning” whereby business assets are pledged as security
to business creditors, while the personal assets of the business’s owners are reserved
for the owners’ personal creditors.11 Secara singkat, kalimat di atas menjelaskan
terdapat pemisahan harta kekayaan antara korporasi dan pemegang saham. Aset
perusahaan hanya dapat digugat oleh kreditor. Sementara personal asset/aset individu
para pemegang saham menjadi tanggung jawab pemiliknya.
Karakter selanjutnya adalah delegated management under a board structure atau
terdapat pembagian manajerial kerja di bawah pimpinan korporasi. Ada beberapa
penjelasan untuk karakter ini. First, the board is, at least as a formal matter, separates
from the operational managers of the corporation. In two-tier boards, top corporate
officers occupy the board’s second (managing) tier, but are generally absent from the
first (supervisory) tier, which is at least nominally independent from the firm’s hired
officers (i.e. from the firm’s senior managerial employees). In single-tier boards, in
contrast, hired officers may be members of, and even dominate, the board itself.12
Pertama, pimpinan korporasi dipisahkan dengan manajer operasional. Pimpinan
tertinggi (direksi) membawahi lapis kedua yakni para manajer. Meskipun mereka
bawahan dari direksi, mereka tetap memiliki independensi dibandingkan para pekerja
di bawahnya.
Second, the board of a corporation is elected—at least in substantial part—by the
firm’s shareholders. This requirement of an elected board distinguishes the corporate
form from other legal forms, such as nonprofit corporations or business trusts, that
permit or require a board structure, but do not require election of the board by the firm’s
(beneficial) owners.13 Pemimpin perusahaan dipilih oleh para pemegang saham.
Persyaratannya ditentukan oleh peraturan korporasi. Namun terdapat pengeculian di
beberapa korporasi profit maupun non profit, pemimpin tertinggi adalah pemilik
korporasi atau pemilik mayoritas saham. Pemimpin perusahaan terdiri dari beberapa
anggota yang bertugas untuk memonitor dan mengawasi keputusan-keputusan yang
dibuat. Banyak korporasi memperkenankan business planners untuk memberikan
bantuan. Untuk koporasi kecil, hanya ada satu direktur yang juga berfungsi sebagai
manajer operasional.14
Dengan demikian, untuk melihat dan menilai sebuah korporasi, setidaknya
dibutuhkan tiga batasan. Pertama, legal personality. Ada unsur dalam sebuah
11 By ‘creditors’ we mean here, broadly, all persons who have a contractual claim on the firm, including employees, suppliers, and customers. Ibid., hlm 10.
12 Ibid., hlm 10.13 Ibid., hlm 12.14 Ibid., hlm 13.
i
korporasi yang memiliki otoritas mengelola aset atau membuat perjanjian. Kedua,
limited liability. Harus dipisahkan antara aset korporasi dan aset individu dalam
korporasi tersebut. Ketiga, delegated management. Terdapat struktur yang diisi oleh
masing-masing subjek yang memiliki kewenangan masing-masing.
Dalam tertib hukum indonesia, terdapat berbagai undang-undang yang
menjelaskan definisi korporasi. Berkaitan dengan tujuan penelitian ini, contoh paling
relevan adalah definisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Korporasi
adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum. Terdapat karakteristik badan hukum dan bukan
badan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) membagi subyek
hukum menjadi dua yakni manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan badan hukum
(rechtpersoon).
Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi (natuurlijke persoon) dan
mungkin pula kumpulan dari badan hukum yang pengaturannya sesuai menurut hukum
yang berlaku, umpamanya badan hukum perseroan terbatas menurut Bab III bagian
Ketiga Buku I KUHDagang (W.v.K.=Wetboek van Koophandel).
Lebih lanjut Kansil menyarikan beberapa pandangan ahli mengenai badan
hukum:15
1. Teori fiksi oleh Friedrich Carl von Savigny, C.W. Opzoomer, dan Houwig.
Badan hukum itu pengaturannya oleh negara dan badan hukum itu sebenarnya
tidak ada, hanya orang-orang yang menghidupkan bayangannya untuk
menerangkan sesuatu dan terjadi karena manusia yang membuat berdasarkan
hukum atau dengan kata lain merupakan orang buatan hukum;
2. Teori harta karena jabatan atau teori Van Het Ambtelijk Vermogen oleh Holder
dan Binder. Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum ialah suatu badan yang
mempunyai harga yang berdiri sendiri, yang dimiliki oleh badan hukum itu tetapi
oleh pengurusnya dan karena jabatannya, ia diserahkan tugas untuk mengurus
harta tersebut;
3. Teori harta bertujuan atau Zweck Vermogen oleh A. Brinz dan E.J.J. ven der
Heyden, yang menjelaskan hanya manusia yang dapat menjadi subyek hukum
dan badan hukum adalah untuk melayani kepentingan tertentu;
15 C.S.T. Kansil dan Cristhine S.T. Kansil, 2010, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm 12.
i
4. Teori milik bersama atau Propriate Collective oleh W.L.P.A. Molengraaff dan
Marcel Planiol. Berdasarkan teori ini badan hukum merupakan harta yang tidak
dapat dibagi-bagi dari anggota-anggotanya secara bersama-sama; dan
5. Teori kenyataan atau teori peralatan atau Orgaan Theorie oleh Oto von Gierke,
yang menyatakan bahwa badan hukum bukanlah sesuatu yang fiksi, tetapi
merupakan makhluk yang sungguh-sungguh ada secara abstrak dari konstruksi
yuridis.
B. Konsep Kejahatan Korporasi (Corporate Crime)
Peter Grabosky dan John Braithwaite menyatakan, “corporate crime falls within the
domain of the white collar crime broadly defined as crime committed within the course
of one's occupation by persons of relatively high social status.”16 Kejahatan korporasi
masuk dalam kategori kejahatan kerah putih yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang
yang berstatus sosial tinggi. Sehingga sebelum membahas secara detail mengenai
kejahatan korporasi, perlu dibahas secara mendalam mengenai white-collar crime.
Edwin Sutherland sebagai pelopor studi tentang white-collar crime menyatakan
bahwa kejahatan kerah putih merupakan kejahatan terorganisasi karena mencakup
kegiatan formal17 dan informal18 dengan persekongkolan jahat di berbagai industri dan
profesi.19 Pandangan Sutherland ini mendapatkan tanggapan dari Ellen S. Podgor
yang menyatakan bahwa batasan yang dikemukakan oleh Sutherland konsentrasinya
pada pelaku dengan status sosial individu sehingga tidak termasuk pelanggaran
terhadap hukum pidana. Inilah yang menyebabkan ada banyak pengertian mengenai
white-collar crime.20
Pandangan berbeda dikemukakan oleh Hartung. Ia menggunakan definisi yang
lebih sempit. “a white-collar offense is defined as a violation of law regulating business,
16 Peter Grabosky and John Braithwaite, Australian Institute of Criminology, Trends and Issues in Crime and Criminal Justice Vol. 5: Corporate Crime in Australia, hlm 2.
17 Formal organization is inherent in offenses that are collusive, bribery, price fixing, bid rigging, industry espionage, and physician free splitting are examples of formally or organized illegalities. Such crimes are accomplished through “gentlemen’s agreement, pools..and cartels. Moreover, some others kind of formal organization is controlling legislation, selection of administrators, and restriction of appropriations for the enforcement of laws which may affect themselves. Edwin Sutherland, White Collar Crime, cap. 13 sebagaimana dikutip dalam Gary S. Green, 1993, White-Collar Crime and the Study of Embezzlement, American Academy of Political and Social Science, ANNALS, AAPSS, 525, hlm 98-99.
18 It refers to business moralities that run counter to the law. Ibid.19 Ibid. 20 M. Arief Amrullah, 2006, Kejahatan Korporasi: The Hunt for Mega-Profits and The Attack on
Democracy, Banyumedia, Jawa Timur, hlm 23.
i
which is committed for a firm by the firm or its agents in the conduct of it business”.21
Kejahatan kerah putih adalah pelanggaran hukum yang berkaitan dengan bisnis yang
dilakukan oleh korporasi atau agen korporasi yang menyelenggarakan bisnis tersebut.
Meskipun terdapat perbedaan antara beberapa pandangan di atas, dapat ditarik
benang merah bahwa white-collar crime dilakukan oleh orang berstatus sosial tinggi
dengan cara yang terorganisasi di berbagai industri, profesi, maupun lingkup sempit di
dunia bisnis dengan pelaku korporasi atau agen korporasi. Agar sebuah kejahatan
dikategorisasi sebagai kejahatan sebagai white-collar crime, Gottfredson dan Travis
Hirchi menyimpulkan beberapa proposisi sebagai berikut:
1. Kejahatan white-collar merupakan kejahatan yang sebenarnya dan merupakan
pelanggaran terhadap hukum pidana;
2. Kejahatan white-collar berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh
golongan kelas bawah;
3. Teori kriminologi yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi berkaitan dengan
kemiskinan, sakit jiwa, dan kondisi sosial kumuh adalah sudah tidak tepat lagi;
4. Diperlukan sebuah teori perilaku kriminal yang akan menjelaskan kejahatan
white-collar dan kejahatan yang dilakukan oleh kelas bawah; dan
5. Sebuah hipotesis terhadap pandangan ini berkaitan dengan teori differentian
association dan social disorganization.
Giriraj Shah sebagaimana dikutip M. Arief Amrullah berpandangan, white-collar
crime dapat diklasifikasikan dalam kategori sebagai berikut:
1. Kecurangan dalam bidang perdagangan, perbankan, dan asuransi;
2. Pelanggaran terhadap ketentuan ekspor dan impor;
3. Pelanggaran terhadap ketentuan perburuhan dan lingkungan hidup;
4. Menghindari kewajiban pembayaran pajak dan penyelundupan;
5. Pemalsuan obat dan makanan;
6. Penimbunan barang dan pasar gelap; dan
7. Memalsukan mata uang kertas dan mata uang logam.
Sementara Clinard dan Yeager berpandangan bahwa white-collar crime
melingkupi dua jenis kejahatan yaitu occupational crime dan corporate crime.
Occupational crime adalah kejahatan yang berhubungan dengan jabatan dan
pekerjaan, sebagian besar dilakukan oleh individu atau kelompok kecil individu dalam
21 White Collar Crime (New York: Dryden Press, 1949), hlm 9, sebagaimana dikutip oleh Vilhelm Aubert, 1952, White-Collar Crime and Social Structure, Chicago Journals, hlm 265.
i
hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan. Kejahatan occupational contohnya
adalah pelanggaran hukum oleh pengusaha, politisi, dan banyak profesi lainnya.22
Sementara secara umum occupational crime is a crime committed by a person
during the course of legal employment. Some examples of occupational crimes are
misuse of an employer's property, theft of employer's property, and misuse of sensitive
information for personal gains.23 Maksudnya, occupational crime adalah kejahatan
yang dilakukan oleh seseorang terkait dengan jabatannya sebagai pegawai yang
legal/resmi, dilakukan untuk kepentingannya sendiri. Contoh dari occupational crime
adalah penyalahgunaan harta pegawai, pencurian harta pegawai dan informasi atas
keuntungan pribadi.
Guna memperjelas pemahaman mengenai occupational crime, Herberth Edelhertz
menyimpulkan empat lingkup occupational crimes terkait dengan motivasi pelakunya:24
1. Crime commited by person or individual basis, e.g., income tax evation,
bankruptcy frauds, credit purchases or taking loans with no intention to pay, and
insurance fraud. Kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorangan, sebagai
contoh penggelapan pajak penghasilan, penipuan kebangkrutan, mengambil
kredit dan pinjaman tanpa niat membayar, dan penipuan asuransi;
2. Crime committed in the course of occupations by those operating in bussines,
government, and other establishments, in violation of their duty of loyalty to their
employer or client, e.g., bribery, kickbacks, embezzlement, and pilfering.
Kejahatan yang berkaitan dengan pengokupasian bisnis, pemerintahan, dan
institusi lain yang dilakukan dengan melanggar kewajiban dan loyalitas
pelakunya kepada atasan atau klien, sebagai contoh, menyogok, penyuapan,
penggelapan, pencurian;
3. Crime incidental to and in furtherance of business operations but not central to
business purposes, e.g., food and drug violations, misrepresentation in
advertising and prescription fraud. Kejahatan yang terjadi pada penggelolaan
bisnis tapi tidak berkaitan dengan tujuan utama perusahaan, sebagai contoh
kejahatan pada bisnis makanan dan obat, penyelewenangan iklan dan
pelanggaran resep; dan
4. Crime as business or the central activity of a business; e.g., medical fraud
schemes, lottery fraud schemes, mutual fund fraud schemes, land and real
22 M. Arief Amrullah, op.cit., hlm 37.23 Diakses dari www.uslegal.com pada 9 Juli 2013.24 Preserve Article, What Are the 5 Main Types of Occupational Crime, diakses dari
www.preservearticles.com pada 9 Juli 2013.
i
estate frauds, charity and and music piranting. Kejahatan bisnis yang menjadi
tujuan utama bisnis tersebut, contohnya skema medis penipuan, skema
penipuan undian, skema penipuan reksa dana, penipuan tanah dan real estate,
kegiatan amal dan peranti musik.
Pandangan Edelhertz semakin menguatkan bahwa occupational crime dilakukan
oleh orang perseorangan dengan motif pribadi untuk meraih keuntungan pribadi.
Sedangkan Corporate crime, menurut Clinard dan Yeager, adalah suatu perbuatan
yang dilakukan oleh korporasi, perbuatan yang dapat dikenai hukuman oleh negara,
tanpa memedulikan apakah dikenai sanksi administrasi, hukum perdata, ataukah
hukuman pidana.25
Sehingga berdasarkan pandangan Clinard, Yeager, dan Edelhertz, occupational
dan corporate crime dibedakan oleh pelakunya. Jika occupational crime dilakukan oleh
orang perseorangan sementara corporate crime terjadi jika korporasi yang melakukan
kejahatan. Jika mengacu pada pandangan ilmuwan tersebut, tentu terdapat
pertanyaan bagaimana jika kejahatan dilakukan oleh orang perseorangan sehingga
menimbulkan mafaat bagi korporasi. Lebih lanjut, Sjögren dan Skogh sebagaimana
dikutip oleh Giulia Mugellini, menyatakan bahwa corporate crime adalah “...those
offences committed to gain profit within an otherwise legal business...”26 Yang artinya
kejahatan korporasi adalah perbuatan kejahatan yang dilakukan untuk memperoleh
keuntungan dalam bisnis yang legal.
Atas dasar beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan
korporasi merupakan bentuk dari white-collar crime yang dilakukan oleh korporasi
secara teroganisasi dengan tujuan mengambil keuntungan demi kepentingan korporasi
tersebut.
Lebih lanjut, Reiss dan Biderman menjelaskan tujuan dari kejahatan kerah putih
yakni “white-collar violations are those violations of law…that involve the use of a
violator’s position of significant power, influence, or trust in the legitimate economic or
political institutional order for the purpose of illegal gain, or to commits an illegal act for
personal or organizational gain.”27 Secara ringkas kejahatan kerah putih adalah
25 M. Arief Amrullah, op.cit., hlm 39.26 Giulia Mugellini, 2012, Crime Againts the Private Sector in latin America: Existing Data and
Future Orientations to Analyse the Victimization of Businesses, slide presentation of First International Conference on statistical information on government, public safety, victimization and justice UNODC-INEG.
27 Reiss A.J., Jr., Biderman A.D., 1980, Data sources on white-collar law breaking, Washington D.C, Government Printing Office, sebagaimana dikutip oleh John M. Ivancevich, Thomas N. Duening, Jacqueline A. Gilbert, and Robert Konopaske, 2003, Deterring White-Collar Crime, Academy of
i
pelanggaran terhadap hukum yang melibatkan para pemegang kekuasan yang dapat
mempengaruhi sektor ekonomi dan politik untuk memperoleh keuntungan haram atau
memberikan keuntungan bagi organisasi atau individu.
Sebagai sebuah kejahatan terorganisasi, white-collar crime, memberikan dampak
yang amat berbahaya yakni, individual economic losses, societal economic losses,
emotional consequences, physical harm, dan “positive” consequences.28 Pertama,
yang dimaksud dengan individual economic losses ialah kerugian finansial yang
dialami oleh korban (individu). Sutherland menyatakan kerugian yang ditimbulkan oleh
white-collar crime beberapa kali lipat dari kejahatan biasa. Sementara societal
economic losses ialah kerugian finasial yang dialami oleh masyarakat akibat white-
collar crime. Kerugian ini bertambah jika dikalkulasikan dengan kegagalan bisnis dan
biaya pemulihan.29
Lebih lanjut, emotional consequences yang dialami oleh korban kejahatan kerah
putih dan seluruh masyarakat yang terciderai oleh perbuatan jahat tersebut. Bentuk
dari dampak emosional antara lain munculnya stress, hancurnya kepercayaan, dan
kerusakan pada tatanan nilai masyarakat. Physical harm ialah dampak fisik yang
dirasakan oleh korban, misal sakit atau kehilangan nyawa. Sebagai contoh pada
kejahatan korporasi lingkungan masyarakat di sekitar korporasi akan terkena dampak
negatif dari perilaku korporasi tersebut.30
C. Konsep Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana. Tindak
pidana hanya menunjuk pada dilarangnya suatu perbuatan.31 Undang-undang hukum
pidana umumnya hanya menentukan perilaku yang dinyatakan sebagai tindak pidana
dan sanksi pidana yang diancamkan terhadap pembuatnya. Sedangkan masalah
pertanggungjawaban pidana sepertinya kurang mendapat perhatian pembentuk
undang-undang.
Meskipun harus diakui berbagai sinyalemen tentang kesalahan dan
pertanggungjawaan pidana juga tersirat dari berbagai ketentuan perundang-undangan,
tetapi dapat dikatakan masih sangat sedikit. KUHP misalnya, masalah
pertanggungjawaban pidana dihubungkan dengan alasan-alasan penghapus pidana
Management Executive, Vol. 17 No. 2 hlm 11528 Section II, Understanding White-Collar Crime: Definitions, Extends, and Consequences, hlm 47.29 Ibid., hlm 48.30 Ibid., hlm 49.31 Dwidja Priyatno, 2009, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, CV Utomo, Bandung, hlm 30.
i
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51
KUHP. Pasal 183 KUHAP juga mengamanatkan pentingnya kesalahan dalam
penjatuhan pidana terdakwa.32
Adapun mengenai pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan yang
terus berkembang, yaitu aliran monistis dan dualistis. Aliran monistis antara lain
dikemukakan oleh Simon yang berpandangan bahwa strafbar feit meliputi suatu
perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,
dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas
perbuatannya.33
Menurut aliran monisme, unsur strafbar feit meliputi unsur perbuatan atau biasa
disebut unsur objektif dan unsur pembuat atau biasa disebut subjektif. Oleh karena itu,
dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuat dapat disimpulkan bahwa strafbar
feit adalah sama dengan syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap
bahwa kalau terjadi strafbar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.34
Pandangan monistis tentang strafbar feit atau criminal act menentukan unsur-
unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi:
1. Kemampuan bertanggungjawab;
2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan; dan
3. Tidak ada alasan pemaaf. 35
Aliran kedua adalah dualistis yang dikenalkan oleh Herman Kontorowicz pada
tahun 1933. Sarjana Jerman ini menulis buku Tutund Schuld yang menentang
pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang beliau namakan “objektive schuld”, oleh
karena kesalahan dipandang sebagai sifat dari kelakuan. Untuk adanya
strafvoraussetzungen (syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih
dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu
dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.36
Pandangan dualistis ini diperkenalkan Moeljatno dalam pidato Dies Natalis VI
UGM tanggal 19 Desember 1955. Apabila suatu unsur perbuatan melawan hukum
pidana tidak terbukti, maka putusannya bebas. Namun, apabila semua unsur
32 Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm 2-3.
33 Muladi dan Dwija Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm 63.
34 Ibid.35 Ibid., hlm 65.36 Ibid., hlm 66.
i
perbuatan tersebut terbukti ditetapkan bahwa telah terjadi delik dan pembuat tak
langsung dapat dijatuhi pidana, sedangkan pelaku, yaitu pembuat yang melakukan
perbuatan tersebut ternyata tidak mampu bertanggungjawab dinyatakan dilepaskan
dari segala tuntutan.37 Pandangan dualistis memudahkan pembedaan kualifikasi mana
saja yang termasuk unsur perbuatan dan mana yang termasuk unsur
pertanggungjawaban.
Pada awalnya di dalam hukum pidana dikenal teori feit materiel yang menentukan
adanya kesalahan dan pertanggungjawaban pidana cukup dengan memastikan
apakah pembuat memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Pembuktian telah
dilakukannya suatu tindak pidana dipandang cukup sebagai dasar
pertanggungjawaban pidana terdakwa. Artinya, seseorang dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatannya telah
memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana yang didakwakan.38
Namun, pandangan ini semakin lama tidak memuaskan sehingga terus terjadi
perubahan seperti tedapat dalam Arrest Hoge Raad 1916 yang dikenal Water en Melk
Arrest. Pada satu sisi, arrest tersebut dapat dipandang memperkenalkan alasan
penghapus kesalahan di luar undang-undang yang disebut dengan tiada kesalahan
sama sekali atau afwezigheid van alle schuld (avas). Terdakwa yang dalam kasus
tersebut didakwa melakukan tindak pidana yang rumusannya tidak memuat unsur
kesengajaan atau kealpaan, dinyatakan tidak bersalah karena tiada kesalahan sama
sekali. Padahal apabila merujuk pada ajaran feit materiel, terdakwa dalam kasus
tersebut sudah dapat dipertanggungjawabkan, karena seluruh isi rumusan tindak
pidana telah dipenuhi.39 Arrest tersebut di atas juga dapat dikatakan mensyaratkan
pertanggungjawaban pidana pada kesalahan, tidak sekedar pada dipenuhinya unsur
pidana. Pada sistem common law doktrin demikian disebut sebagai mens rea yang
berasal dari adagium actus non est reus, nisi mens sit rea. Pada sistem civil law doktrin
ini disebut sebagai geen straf zonder schuld beginsel atau tiada pidana tanpa
kesalahan.
Adapun mengenai kesalahan, terkandung unsur pencelaan terhadap seseorang
yang telah melakukan tindak pidana. Jadi, orang yang bersalah melakukan perbuatan
itu berarti perbuatan itu dapat dicelakan padanya. Pencelaan di sini bukan pencelaan
berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku.40
37 Ibid., hlm. 68.38 Chairul Huda, op.cit., hlm 3-4.39 Ibid.40 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 74.
i
Pada awalnya kesalahan dilihat dari keadaan psikologis semata. Pertama-tama,
secara sempit kesalahan dipandang sama dengan kealpaan. Dengan kata lain, istilah
kesalahan digunakan sebagai sinonim dari sifat tidak hati-hati. Kemudian pengertian
kesalahan juga dikaitkan dengan alasan penghapus pidana di luar undang-undang.
Dalam hal ini ketiadaan kesalahan sama sekali atau afwezigheid van alle schuld
(avas), dijadikan alasan penghapus pidana selain yang telah ditentukan dalam undang-
undang. Istilah kesalahan juga digunakan sebagai pengumpul kesengajaan dan
kealpaan. Dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pembuat terdapat salah satu dari
dua bentuk kesalahan ketika melakukan tindak pidana.41
Begitu berpengaruhnya teori psikologis tentang kesalahan, sehingga tidak
mengherankan jika sampai saat ini pandangan tersebut masih mewarnai pemahaman
para ahli hukum pidana. Namun demikian, teori kesalahan psikologis ini diragukan
orang ketika timbul persoalan dalam praktik hukum yang dipicu oleh ketiadaan unsur
dengan sengaja atau karena kealpaan dalam rumusan tindak pidana. Sekalipun agak
berbeda, persoalan yang sama juga mengemuka dalam common law system. Dalam
tradisi common law system doktrin mens rea sempat diragukan.42
Menurut Smith dan Hogan, pandangan yang berpendirian bahwa mens rea harus
ada pada tiap tindak pidana hanya diikuti sampai akhir abad kesembilan belas. Setelah
masa itu doktrin mens rea tidak lagi berlaku mutlak. Penyimpangan diawali ketika
umumnya tindak pidana yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan
dirumuskan tanpa unsur mental. Dengan demikian, berbeda dengan common law
crime yang umumnya memuat terdiri dari actus reus dan mens rea. Penyimpangan
atas doktrin mens rea semakin kentara ketika diterapkannya strict liability terhadap
tindak pidana.43
Strict liability biasa disebut sebagai prinsip tanggung jawab mutlak atau prinsip
tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain
suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak
relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak. Menurut
doktrin strict liability seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak
pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).44 Strict
liability atau yang sering disebut liability without fault dianggap bertentangan dengan
41 Chairul Huda, op.cit., hlm 74. 42 Ibid., hlm 75-76.43 Ibid.44 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 111.
i
doktrin mens rea. Namun, sebenarnya strict liability merupakan pengecualian sebagai
pelengkap dan penyeimbang bagi asas kesalahan.
Menurut L.B. Curson, doktrin strict liability didasarkan pada alasan-alasan sebagai
berikut:
1. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan
penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial;
2. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran
yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu; dan
3. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang
bersangkutan.45
Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya Ted
Honderich. Dikemukakan olehnya bahwa premisse (alasan) yang bisa dikemukakan
untuk strict liability ialah:
1. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu;
2. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk,
menghindari adanya bahaya yang sangat luas; dan
3. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.46
Strict liability dapat menjadi penyeimbang dari asas kesalahan, juga berarti
memperhatikan keseimbangan dua kepentingan yaitu kepentingan masyarakat dan
kepentingan individu. Pandangan demikian disebut monodualistis yang dalam hukum
pidana dikenal istilah daad-dader strafrecht, yaitu hukum pidana yang memperhatikan
segi objektif dari perbuatan (daad) dan juga segi subjektif dari pembuat (daader).47
Pada doktrin strict liability pembuatnya dapat dicela sekalipun terlepas dari
persoalan psikologis pembuat dengan tindak pidananya. Persoalannya hanya tinggal
dalam lapangan pembuktian. Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap
pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya.
Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan.
Menurut teori kesalahan normatif, kesengajaan dan kealpaan hanya dipandang
sebagai pertanda adanya kesalahan dan bukan kesalahan itu sendiri. Kesalahan ada
jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan tetap
dapat dipandang ada, sekalipun tidak ditinjau lebih jauh mengenai kesengajaan atau
45 Ibid., hlm 112.46 Ibid.47 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 50.
i
kealpaan pembuat tindak pidana. Sepanjang norma hukum menentukan bahwa
pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana, maka terdapat kesalahan
pada diri pembuatnya. Apabila undang-undang menetapkan suatu tindak pidana
dipertanggungjawabkan secara strict maka pada pembuatnya tetap dipandang memiliki
kesalahan sekalipun tidak ditinjau lebih jauh apakah kesengajaan atau kealpaan yang
meliputi batinnya.48
Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak pidana
yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada,
tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan
membuktikan telah dilakukannya tindak pidana. Dengan demikian, fungsi utama strict
liability adalah berkenaan dengan hukum acara dan bukan hukum pidana meteriil.
Strict liability dalam pertanggungjawaban pidana lebih merupakan persoalan
pembuktian, yaitu kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur delik.49
Termasuk penyimpangan asas kesalahan selain strict liability terdapat doktrin
vicarious liability, yaitu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada sesorang
atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup
pekerjaan atau jabatan. Jadi pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang
menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya.
Dengan demikian, dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak
melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti
biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan.50
Vicarious liability sebenarnya bukan merupakan konsep asli hukum pidana,
melainkan suatu konsep yang diadopsi dari bidang hukum lain. Doktrin ini juga asing
bagi civil law system, karena awalnya berkembang dari common law system. Para ahli
hukum yang memandang vicarious liability sebagai masalah pertanggungjawaban
pidana, melihat hal tersebut sebagai konsep yang bersifat eksepsional.
Pertanggungjawaban yang demikian ini oleh Ashworth dikatakan hanya dapat terjadi
jika terdapat dua keadaan.51
Pertama, apabila terdapat pendelegasian. Where a statute imposes liability on the
owner, licensee or keeper of premises or other property, the courts will make that
person vicariously liable for conduct of any one to whom management of premises has
48 Chairul Huda, op.cit., hlm 86.49 Ibid., hlm 86-87.50 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 113-114.51 Chairul Huda, op.cit., hlm 43.
i
been delegated. Dengan demikian pemilik, pengurus atau orang pemberi perintah
bertanggungjawab atas perbuatan bawahan yang bekerja untuknya atau sebatas pada
perintahnya. Leigh mengatakan, the offence is essentialy that of the servant, liability for
being ascribed to the master. Tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan pada intinya
menjadi tanggung jawab atasannya. Dalam hal tindak pidana korporasi, maka
pertanggungjawaban dapat terjadi baik terhadap individu maupun terhadap korporasi
itu sendiri.
Kedua, dalam hal penafsiran atas perbuatannya, yaitu vicarious liability diterapkan
so long assistant is acting as agent rather than as a private individual. Dengan
demikian, sekalipun tidak ada pendelegasian, tetapi penafsiran atas fakta
perbuatannya menunjukkan bahwa pelaku berbuat bukan dalam kapasitas pribadinya.
Istilah yang populer mengenai hal ini adalah doktrin respondeat superior. Menurut
Alschuler, doktrin ini mulanya merupakan bentuk pertanggungjawaban orang Romawi
terhadap tindak pidana yang dilakukan para budaknya.
Vicarious liability ini berlaku hanya terhadap jenis tindak pidana tertentu menurut
hukum pidana Inggris, yaitu terhadap:
1. Delik yang mensyaratkan kualitas; dan
2. Delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.
Jika dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability maka jelas bahwa
terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan yang tampak bahwa baik strict liability
crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur
kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaannya pada strict liability crimes
pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya,
sedangkan pada vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak
langsung.52
Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi jika pada diri
pembuat terdapat kesalahan, dengan vicarious liability mendapat perkecualian. Apabila
diikuti konstruksi ini, maka dalam vicarious liability seseorang dipandang
bertanggungjawab atas kesalahan orang lain. Dalam vicarious liability dikecualikan
adanya actus reus, tetapi seseorang dipertanggungjawabkan atas actus reus yang
dilakukan orang lain. Pengecualiannya bukan pada kesalahan tetapi pada
perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana tanpa adanya tindak pidana yang
52 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 114.
i
dilakukan (orang dipertanggungjawabkan), tetapi tindak pidana yang dilakukan
seseorang dipertanggungjawabkan terhadap orang lain.53
Hukum Inggris menghubungkan vicarious liability dengan pertanggungjawaban
korporasi. Korporasi berbuat dengan peranan orang. Apabila orang ini melanggar
suatu ketentuan undang-undang maka menjadi pertanyaan apakah korporasi yang
dipertanggungjawabkan. Pada tahun 1944 korporasi dimungkinkan bertanggungjawab
dalam hukum pidana, baik sebagai pembuat maupun peserta untuk tiap delik,
meskipun waktu itu disyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas
identifikasi. Jadi korporasi dipersamakan dengan orang pribadi berdasarkan asas
identifikasi.
Perkembangan teknologi dan industri membawa resiko besar termasuk bisa
mengakibatkan kerugian yang luas. Terlebih jika yang menjadi korban adalah
masyarakat luas akibat aktivitas dibidang perekonomian dan perdagangan yang
melibatkan badan hukum. Tantangan timbul karena sangat sulit untuk membuktikan
adanya kesalahan pada korporasi, sebab yang mempunyai kesalahan pada umumnya
yang diterima adalah orang. Demi memudahkan sistem pertanggungjawaban pidana
untuk korporasi maka terdapat penyimpangan dari asas kesalahan dengan menganut
doktrin strict liability dan vicarious liability.54
D. Konsep Stelsel Pemidanaan
Pidana memberikan nestapa kepada pembuat delik. Namun, penjatuhan pidana
yang mengakibatkan nestapa bukanlah tujuan utama dari pidana, melainkan masih
terdapat upaya melalui tindakan-tindakan. Fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan
pengenaan penderitaan, sehingga terarah pada upaya memberi pertolongan agar
pelaku berubah. Sedangkan sanksi tindakan bersumber ide dasar perlindungan
masyarakat, pembinaan, dan perawatan bagi terpidana.55
Hukum pidana menentukan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan
hukum pidana dan jenis pidana serta cara penerapannya sehingga kedudukan sanksi
sangatlah penting. Namun, penerapan hukum pidana tidak selalu berakhir dengan
penjatuhan pidana, tetapi dikenal juga asas oportunitas yang disebut pardon,
disamping dikenal juga jenis sanksi yang disebut tindakan, yang dalam hukum pidana
ekonomi sangat luas, ada tindakan tata tertib sementara yang dikenakan oleh jaksa
53 Chairul Huda, op.cit., hlm 45.54 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 118-120.55 Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Kreasi Total Media,
Yogyakarta, hlm 1-2.
i
dan ada tindakan tata tertib yang dikenakan oleh hakim, juga ada sistem penundaan
pidana dan pidana bersyarat.56 KUHP menempatkan urutan pidana mulai dari yang
terberat menuju urutan pidana yang lebih ringan. Pasal 10 KUHP menentukan pidana
terdiri dari:
1. Pidana pokok:
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
2. Pidana tambahan:
1. Pencabutan hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
Sampai saat ini, pidana mati masih tercantum dalam KUHP. Berbeda dengan
wetboek van strfafrecht Nederland yang telah menghapus pidana mati sejak 1870.
Selain dalam KUHP pidana mati juga tercantum dalam berbagai undang-undang.
Pemberlakuan pidana mati merupakan perdebatan hampir di seluruh negara di dunia.
Terdapat kelompok yang mendukung pidana mati (retensionis) juga terdapat kelompok
yang menuntut penghapusan pidana mati(abolisionis).
Dalam perkembangannya, semakin banyak negara yang menghapus pidana mati.
Secara umum Roger Hood membagi negara-negara di dunia kaitannya dengan
pemberkaluan pidana mati. Pertama, negara-negara yang menghapus pidana mati
untuk semua kejahatan. Kedua, negara-negara yang menghapus pidana mati untuk
kejahatan biasa. Ketiga, negara-negara yang menghapus pidana mati secara de facto.
Keempat, negara-negara yang mempertahankan pidana mati.57
Perdebatan menganai pidana mati sudah berlangsung sejak zaman abad ke 18.
Sedangkan penerapannya di Hindia Belanda ditujukan untuk mengatasi keadaan
khusus mengingat banyaknya gangguan ketertiban, tentu saja yang mengancam
pemerintahan kolonial. Sebagai negeri jajahan yang memiliki wilayah luas dan
keragaman penduduk, pidana mati dianggap penting untuk menjamin ketertiban
umum. Adapun dipertahankannya pidana mati di Indonesia sampai sekarang banyak
didukung oleh alasan adanya beberapa tindak pidana yang sangat membahayakan
56 Ibid., hlm 2-3.57 Andi Hamzah, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya, Sofmedia,
Jakarta, hlm 247.
i
masyarakat luas, sehingga diperlukan ancaman pidana paling berat yaitu pidana mati.
Kelompok yang menuntut penghapusan pidana mati banyak dilatarbelakangi alasan
hak hidup sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.
Jenis pidana pokok kedua adalah pidana penjara. Pidana penjara sebagai bentuk
pencabutan kemerdekaan sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Tujuan pidana
penjara awalnya menjamin pengamanan narapidana dan memberinya kesempatan
untuk rehabilitasi. Selain itu pidana ini pada masa dahulu juga digunakan sebagai
bentuk pengasingan narapidana dari masyarakat.
Seiring perkembangan zaman pidana penjara terus disesuaikan agar sejalan
dengan perikemanusiaan. Variasi pidana penjara mulai dari pidana sementara minimal
satu hari sampai penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup tercantum di
mana ada ancaman pidana mati. Terhadap pidana penjara seumur hidup muncul
banyak keberatan karena dipandang tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu
memperbaiki terpidana agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik.
Pidana penjara seumur hidup lebih dekat kepada tujuan pemidanaan sebagai
pembalasan.
Menurut Andi Hamzah, pidana penjara disebut pidana hilang kemerdekaan, bukan
saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu
kehilangan hak tertentu, seperti di bawah ini:58
1. Hak memilih dan dipilih;
2. Hak memangku jabatan publik;
3. Sering pula diharuskan bekerja di perusahaan tertentu;
4. Hak mendapatkan perizinan tertentu;
5. Hak mengadakan asuransi hidup;
6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan, karena bisa menjadi alasan untuk
meminta perceraian;
7. Hak kawin, meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani
pidana penjara, itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya formalitas belaka;
dan
8. Dan hak sipil lainnnya.
Banyaknya konsekuensi yang harus ditanggung oleh terpidana yang menjalani
pidana penjara dirasakan tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan untuk merehabilitasi
58 Ibid., hlm 254-255.
i
seseorang. Adapun pidana penjara membutuhkan pembiayaan besar melalui anggaran
negara. Sedangkan efektivitasnya dalam merehabilitasi narapaidana juga masih
banyak diragukan. Oleh karena itulah, perkembangan jenis pidana di banyak negara
khususnya pada tindak pidana yang dikategorikan ringan tidak lagi mengutamakan
pidana penjara, tetapi menggantinya dengan jenis pidana lain misalnya denda.
Selanjutnya adalah pidana kurungan. Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai
dua fungsi, pertama sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut
kejahatan kesusilaan. Yaitu delik-delik kulpa dan beberapa delik dolus, seperti
perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana. Sedangkan fungsi kedua sebagai
custodia simplex yaitu perampasan kemerdekaan untuk pelanggaran.59
Pidana kurungan jangka waktunya lebih pendek dari pada pinda penjara sehingga
sering dipahami bahwa pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara. Selain
itu juga terlihat dari urutannya, pidana kurungan di tempatkan di bawah pidana penjara.
Pidana kurungan juga terdapat pekerjaan yang dibebankan pada terpidana, tetapi lebih
ringan dari pada pidana penjara. Pidana kurungan sering dijadikan sebagai pidana
pengganti apabila pidana denda tidak dibayar.
Jenis pidana pokok keempat adalah pidana denda. Pidana denda seringkali
dianggap bertolak belakang dengan pidana penjara. Pemikiran untuk meminimalisasi
pidana penjara sekaligus mengusulkan pidana denda untuk diutamakan. Pidana
penjara dianggap terlalu berat untuk dijalani bagi terpidana, membebani anggaran
negara, dan sering tidak dapat memenuhi tujuan pemidanaan. Sedangkan pidana
denda dianggap dapat menghindari biaya sosial yang dikeluarkan untuk memelihara
penjara, menghindari penahanan yang tidak perlu, dan menghindari penyia-nyiaan
modal manusia yang tidak berguna di dalam penjara.60
Perkembangan pemikiran para ahli pidana dan ahli filsafat pemidanaan mengenai
tujuan yang harus dijadikan pedoman dalam menyelenggarakan pemidanaan
mencerminkan sikap untuk sedapat mungkin membatasi penggunaan pidana penjara.
Pidana penjara telah banyak dijadikan sebagai pangkal tolak pengkajian mengenai
tujuan pemidanaan.61
Pada zaman modern ini pidana denda banyak diterapkan terhadap tindak pidana
ringan maupun pelanggaran. Namun, arah perkembangannya pidana denda juga
banyak diterapkan pada tindak pidana yang dipandang berat, meskipun masih sering
digabungkan secara kumulatif dengan pidana penjara. Pidana denda mempunyai sifat
59 Syaiful Bakhri, op.cit., hlm 96.60 Ibid., hlm 2-3.61 Ibid., hlm 4.
i
perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap
orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lian. Perbedaannya ialah
pidana denda dibayarkan kepada negara sedangkan denda dalam perkara perdata
dibayarkan kepada pribadi atau badan hukum.62
Pemikiran untuk semakin meminimalisir pidana penjara dengan memperlunak,
memperbaiki kondisinya, bahkan sejauh mungkin diganti pidana alternatif bertolak
belakang dengan upaya menjadikan pidana denda sebagai pilihan utama, diperberat,
dan ditingkatkan ancamannya. Upaya memaksimalkan pidana denda ditandai dengan
adanaya perkembangan penemuan model-model eksekusi pidana denda. Jika pidana
denda belum dapat dibayar maka harus diangsur dan tidak boleh diganti dengan
pidana kurungan pengganti.63
Pidana denda semakin memiliki arti pada perkembangan pidana dengan
menjadikan korporasi sebagai subjek pidana. Jenis pidana yang paling tepat
diancamkan pada korporasi pelaku tindak pidana adalah denda, karena korporasi
bukanlah manusia yang dapat dipidana penjara.
Selain pidana pokok, stelsel pemidanaan mengenal pidana tambahan. Pidana
tambahan diserahkan pada hakim untuk dijatuhkan atau tidak kepada terpidana.
Seperti namanya, pidana tambahan hanya bersifat tambahan terhadap pidana pokok.
Dengan demikian, pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri tanpa pidana
pokoknya.
Ada tiga jenis pidana tambahan. Pertama, pencabutan hak tertentu. Jenis pidana
ini hanya untuk delik yang tegas ditentukan oleh undang-undang. Hak yang dicabut
seperti tercantum dalam Pasal 35 KUHP ayat (1) sebagai berikut:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. Hak memasuki angkatan bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-
aturan umum;
4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak
menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang
yang bukan anak sendiri;
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan
atas anak sendiri; dan
6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
62 Andi Hamzah, op.cit., hlm 264.63 Syaiful Bakhri, op.cit., hlm 15.
i
Kedua, pidana perampasan. Pidana perampasan merupakan pidana yang
berkaitan dengan harta benda. Terdapat dua macam barang terpidana yang dapat
dirampas, yaitu barang-barang yang diduga merupakan hasil kejahatan dan barang-
barang yang digunakan dalam kejahatan. Lengkapnya pasal 39 KUHP mengatur
tentang pidana perampasan sebagai berikut:
1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang
sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja
atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan
berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang; dan
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan
kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Ketiga, pengumuman putusan hakim. Pengumuman putusan hakim hanya
dijatuhkan pada pidana tertentu sesuai ketentuan undang-undang, misalnya kejahatan
penggelapan dan kejahatan curang. Pengumuman putusan hakim merupakan bentuk
pidana tambahan yang bertujuan agar masyarakat memperhatikan atau waspada
terhadap tindak pidana tertentu.
Pengumuman putusan hakim sebagai pidana tambahan mempunyai perbedaan
dengan pengumuman dalam surat-surat kabar. Dalam pengumuman putusan hakim
biaya dibayar oleh terpidana. Sedangkan kesamaannya adalah keduanya sama-sama
merugikan nama baik yang diumumkan.64
E. Tindak Pidana Korupsi
Dilihat dari segi peristilahatan, kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corruptio65
atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan
bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih
tua. Dari Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa di eropa seperti Inggris:
corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie). Dapat
diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi ke
dalam bahasa Indonesia: "korupsi".
64 Andi Hamzah, op.cit., hlm 276.65 Fockemma, S.J. Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen-Djakarta:Bij J.B.
Wolter Uitgeversmaatschappij N.V sebagaimana di kutip Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 7.
i
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan
yang menghina atau memfitnah. Arti kata korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia: "Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya."66
Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia tidak
digunakan kata ’korupsi’, melainkan kata peraturan "anti-kerakusan". Sering pula
Malaysia menggunakan istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswah).
Menurut kamus Arab-Indonesia, riswah artinya sama dengan korupsi.67 Dengan
pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa
sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti disimpulkan
dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang bermacam-ragam
artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi
bermacam-macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati
masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed
Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau
kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi.
Misalnya Alatas, memasukkan nepotisme sebagai kelompok korupsi dalam
klasifikasinya memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa
memenuhi persyaratan untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya
dalam hukum pidana di Indonesia.
Begitu pula Mubyarto menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan
ekonomi yang mengutip pendapat Smith sebagai berikut bahwa secara keseluruhan
korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari pada
ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mana generasi
muda, kaum elite terdidik dan pegawai negeri pada umumnya. Korupsi
mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan
kabupaten.68
Masih dalam perspektif ekonomi, David M. Chalmers menguraikan pengertian
korupsi sebagai tindakan manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang
66 W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm 524.67 Andi Hamzah, op.cit., hlm 8.68 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika, Jakarta, hlm
60.
i
membahayakan ekonomi dalam pernyataannya, ”financial manipulations and
decision injurious to the economy are often libeled corruption”. 69
Hafidhuddin mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran
Islam. Ia menyatakan bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad atau
perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pengertian fasad sendiri dapat
diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya
kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang membuat
orang takut, membunuh, melukai, dan mengambil atau merampas harta orang
lain.70
Menurut Mahzar, istilah korupsi secara umum berarti ”berbagai tindakan gelap
dan tidak sah untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lalu
menambahkan bahwa dalam perkembangannya, dari beragam pengertian korupsi
terdapat penekanan yang dilakukan sejumlah ahli dalam mendefenisikan korupsi,
yakni penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan
pribadi”. Pengertian ini mengingatkan kita pada ungkapan Lord Acton, ”Power
tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Maknanya, korupsi muncul
bilamana terjadi penyalahgunaan kekuasaan terlebih bila kekuasaan itu bersifat
absolut atau mutlak, maka korupsi akan semakin menggejala.
Berbicara tentang suatu kejahatan dari perspektif kriminologi jauh lebih luas bila
dibandingkan dengan sudut pandang hukum pidana. Kendatipun demikian antara
kriminologi dan hukum pidana ibarat dua sisi dari satu mata uang meskipun berbeda
objek dan tujuan. Ilmu hukum pidana berobjekan aturan-aturan hukum yang berkaitan
dengan pidana dan bertujuan untuk menggunakan dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya. Sedangkan kriminologi mempunyai objek orang yang melakukan kejahatan
dan bertujuan memahami mengapa seseorang berbuat kejahatan.71
Selain itu pandangan tentang suatu kejahatan dari ilmu hukum pidana hanyalah
sebatas legal definition of crime, artinya suatu perbuatan yang oleh negara telah diberi
label sebagai suatu kejahatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh W.A. Bonger bahwa
kejahatan adalah perbuatan antisosial yang secara sadar mendapat reaksi negara
berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan
hukum mengenai kejahatan72.
69 Jeremy Pope, 2003, Strategi memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm 6.
70 Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm 33.
71 Moeljatno, 2000, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hlm 13.72 Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W. Kusuma, 1981, Kriminologi Suatu
Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 21.
i
Sedangkan kejahatan dari aspek kriminologi tidak hanya menyangkut legal
definition of crime tetapi juga menyangkut social definition of crime. Artinya, suatu
perbuatan meskipun belum diberi label oleh negara sebagai suatu kejahatan namun
oleh masyarakat telah diberi label sebagai suatu kejahatan apabila perbuatan tersebut
dianggap menyimpang dari norma atau kebiasaan masyarakat setempat.
Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan, ada sembilan tipe korupsi
yaitu:
1. Political bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan
pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh
suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum
sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha
berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang
menguntungkan mereka;
2. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem
kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang
memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak yang
bersangkutan;
3. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan
pemilihan umum;
4. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan
fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang
kekuasaan negara;73
5. Discretionery corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan
dalam menentukan kebijakan;
6. Illegal corruption yakni korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa
hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat
penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim;
7. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionery corruption dan
illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok;
8. Political corruption adalah penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang
dipercayakan kepadanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau
kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan; dan
9. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk
kepentingan pribadi.
73 Ibid., hlm 295-297.
i
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, tidak semua tipe korupsi yang dikenal
dalam kriminologi dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Oleh karena itu,
perbuatan apa saja yang dinyatakan sebagai korupsi mesti merujuk pada undang-
undang pemberantasan korupsi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999
jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Konvensi PBB mengenai antikorupsi tidak terdapat satu pasal pun yang
berkaitan dengan definisi korupsi menurut konvensi tersebut. Namun, dalam Bab III
Konvensi yang terdiri dari 11 pasal (Pasal 15 sampai dengan Pasal 25), mewajibkan
negara-negara yang menandatangani konvensi untuk mengatur sejumlah tindakan
dalam undang-undang nasional masing-masing negara yang dikualifikasikan sebagai
korupsi. Adapun tindakan tersebut sebagai berikut:
1. Bribery of national public officials atau penyuapan pejabat-pejabat publik
nasional. Inti dari tindakan tersebut adalah janji, menawarkan atau
memberikan kepada seorang pejabat publik, secara langsung atau tidak
langsung suatu keuntungan yang layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk
orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri
dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya.
Demikian pula tindakan permohonan atau penerimaan oleh seorang pejabat
publik, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang layak
untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar
pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam
melaksanakan tugas resminya;
2. Bribery of foreign public officials and officials of public international
organizations atau penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-
pejabat dari oraganisasi-organisasi international publik. Tindakan-tindakan
tersebut meliputi dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan
kepada seorang pejabat publik asing atau seorang pejabat dari suatu
organisasi internasional publik, secara langsung atau tidak langsung suatu
keuntungan yang layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau
badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan
suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya, guna memperoleh atau
mempertahankan bisnis atau keuntungan lain yang tidak layak berkaitan
dengan perilaku bisnis internasional. Demikian pula tindakan-ptindakan yang
meliputi sengaja memohon atau menerima oleh seorang pejabat publik asing
i
atau seorang pejabat dari suatu organisasi internasional publik, secara
langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang layak untuk pejabat itu
sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak
atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas
resminya;
3. Embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public
official atau penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan
cara lain oleh pejabat publik. Tindakan tersebut adalah menggelapkan,
menyelewengkan atau mengalihkan dengan cara lain oleh pejabat publik
untuk keuntungan dirnya sendiri atau untuk keuntungan orang lain atau badan
lain, kekayaan, dana-dana publik atau perorangan atau sekuritas atau segala
sesuatu yang bernilai yang dipercayakan kepada pejabat publik itu
berdasarkan kedudukannya;
4. Trading in influence atau memperdagangkan pengaruh. Kualifikasi tindakan
tersebut adalah dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan
kepada seorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak
langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik atau
orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan
dengan maksud untuk memperoleh otoritas administrasi atau otoritas publik
dari negara, suatu keuntungan yang tidak semestinya. Demikian pula tindakan
memohon atau menerima dari pejabat publik atau orang lain secara langsung
atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat
publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang
diperkirakan dengan maksud untuk memperoleh otoritas administrasi atau
otoritas publik dari negara, suatu keuntungan yang tidak semestinya;
5. Abuse of function atau penyalahgunaan fungsi. Kualifikasi tindakan tersebut
adalah dengan sengaja menyalahgunakan fungsi atau kedudukan dengan
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan secara melawan hukum oleh
seorang pejabat publik dalam melaksanakan fungsinya dengan maksud untuk
memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sediri
atau untuk orang lain atau badan lain;
6. Illicit enrichment atau memperkaya secara tidak sah yaitu dengan sengaja
memperkaya secara tidak sah berupa suatu kenaikan yang berarti dari aset-
aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal
berkaitan dengan pendapatannya yang sah;
i
7. Bribery in the private sector atau penyuapan di sektor swasta berupa tindakan
yang menjanjikan, menawarkan atau memberikan secara langsung atau tidak
langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya kepada seseorang yang
memimpin atau bekerja dalam suatu kapasitas untuk suatu badan di sektor
swasta, untuk dirinya sendiri atau orang lain, agar ia dengan melanggar tugas-
tugasnya, melakukan sesuatu atau menahan diri dari melakukan suatu
tindakan. Demikian pula tindakan berupa memohon atau menerima secara
langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya yang
dilakukan oleh seseorang yang memimpin atau bekerja dalam suatu kapasitas
apapun untuk suatu badan sektor swasta, untuk dirinya sendiri atau orang
lain, agar ia secara melawan hak, melakukan sesuatu atau menahan diri
untuk melakukan sesuatu;
8. Emblezzement of property in the private sector atau penggelapan kekayaan
dalam sektor swasta yaitu tindakan dengan sengaja dalam menjalankan
kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, menggelapkan oleh
seseorang yang memimpin atau bekerja dalam kapasitas apapun dalam suatu
badan di sektor swasta atas suatu kekayaan, dana-dana pribadi atau
sekuritas atau segala sesuatu yang bernilai yang dipercayakan kepadanya
karena kedudukannya;
9. Laundering of proceeds of crime atau pencucian hasil kejahatan yaitu tindakan
dengan sengaja mengkonversi atau mentransfer kekayaan padahal
diketahuinya bahwa kekayaan tersebut merupakan hasil kejahatan dengan
maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan
itu atau membantu seseorang yang terlibat dalam melakukan kejahatan asal
untuk menghindari akibat hukum dari tindakannya. Penyembunyian atau
penyamaran sifat, sumber, lokasi, kedudukan, pergerakan atau kepemilikan
dari atau hak-hak yang sesungguhnya berkenaan dengan kekayaan,
mengetahui kekayaan tersebut merupakan hasil kejahatan;
10. Concealment atau penyembunyian yaitu tindakan dengan sengaja, setelah
dilakukannya salah satu dari kejahatan-kejahatan yang ditetapkan menurut
konvensi ini, tanpa turut serta dalam kejahatan-kejahatan tersebut; dan
11. Obstruction of justice atau perbuatan menghalang-halangi proses pengadilan
yaitu tindakan dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik, ancaman atau
intimidasi atau janji yang menawarkan atau memberikan suatu keuntungan
yang tidak wajar untuk mendorong diberikannya kesaksian palsu atau untuk
i
turut campur dalam pemberian kesaksian atau dalam pengajuan bukti-bukti
dalam suatu persidangan berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang
ditetapkan dalam konvensi ini. Demikian pula tindakan penggunaan kekuatan
fisik, ancaman atau intimidasi untuk turut campur tangan dalam pelaksanaan
tugas-tugas resmi seorang hakim atau seorang pejabat penegak hukum
dalam hubungannya dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam
konvensi ini.
Hukum positif Indonesia sudah mengenal aturan pemberantasan korupsi sejak
tahun 1957. KUHP memang sudah mengategorikan beberapa perbuatan seperti
penggelapan dan kejahatan yang dilakukan penyelenggara negara. Akan tetapi, aturan
hukum yang secara tegas menyatakan korupsi sebagai kejahatan (kriminalisasi
korupsi) dimulai sejak Peraturan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Laut Nomor
Prt/PM/06/1957 tertanggal 9 April 1957. Peraturan tersebut diterbitkan oleh Kepala Staf
Angkatan Darat selaku penguasa militer atas angkatan darat seluruh Indonesia.
Kemudian pada tahun 1960 ditetapkan UU Nomor 24/Prp/1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; tahun 1971
diterbitkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi; tahun 1999, pasca gerakan reformasi, disahkan Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dua Undang-undang yang
disebutkan terakhir masih berlaku hingga saat ini.
Terhitung sejak tahun 2003, Indonesia telah menandatangani United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) atau Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Untuk Melawan Korupsi. konvensi tersebut telah diratifikasi melalui UU Nomor 7
Tahun 2006. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pihak memberikan kewajiban
untuk menyesuaikan dan mengimplementasikan norma UNCAC dalam hukum positif
Indonesia. Dengan demikian, beberapa aturan mengenai tindak pidana korupsi yang
pernah terbit menandakan bahwa Indonesia mulai gencar melakukan perlawanan
memberantas korupsi.
i
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian “Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”
ditentukan sebagai penelitian hukum. Penelitian hukum juga menjadi bagian dari
penelitian pada umumnya. Namun demikian, penelitian hukum khusus diterapkan
kepada ilmu hukum saja.74 Ilmu hukum yang dimaksud adalah ilmu hukum dalam
kerangka hukum positif yang terdiri dari tiga bagian, (i) kajian tentang isi ketentuan
hukum positif; (ii) kajian tentang penerapan ketentuan hukum positif; dan (iii) kajian
tentang pembentukan hukum positif.75 Penelitian ini akan mengkaji isi dan penerapan
undang-undang antikorupsi dalam menjerat korporasi.
Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep
baru sebagai preskripsi untuk menyelesaikan masalah, sehingga jawaban yang
diinginkan dalam penelitian hukum bukan benar atau salah (true or false), tetapi tepat
atau tidak tepat (right, appropriate, inappropriate, or wrong).76
Dari segi data yang diperoleh, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji77 membagi
jenis penelitian hukum menjadi dua. Pertama, penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder disebut penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian
terhadap asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi (vertikal dan horizontal) hukum,
perbandingan hukum, dan sejarah hukum.
Kedua, penelitian yang dilakukan dengan meneliti data dasar yang diperoleh
langsung dari lapangan (data primer atau data dasar) yang dinamakan dengan
penelitian hukum sosiologis atau penelitian hukum empiris, yang meliputi penelitian
terhadap identifikasi hukum dan efektivitas hukum.78
74 F. Sugeng Istanto, 2007 cetakan ke-1, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta, hlm 29.75 Ibid., hlm 31. Bandingkan dengan Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1983, Penelitian
Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 3-4, yang membagi disiplin hukum dalam tiga bagian, (i) ilmu tentang kaidah hukum “normwissenschaft”, yang membahas tentang masalah perumusan kaidah hukum; (ii) ilmu tentang pengertian pokok dalam hukum “begriffenwissenscahft”, ilmu yang menelaah masyarakat hukum, sbujek hukum, hak dan kewajiban hukum, serta objek hukum; (iii) ilmu tentang kenyataan hukum “tatsachenwissenschaft”, yakni ilmu tentang kenyataan hukum.
76 Peter Mahmud Marzuki, 2010 cetakan ke-6, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm 35.
77 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 13-14.78 Bambang Sunggono, 2011 cetakan ke-12, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm 42.
i
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui
isi dan potensi penerapan undang-undang antikorupsi untuk menjerat korporasi yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi.
B. Cara Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini ditentukan dua jenis data, data sekunder (data normatif atau
kepustakaan) dan data primer (data empiris). Data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dari bahan pustaka.79 Dalam penelitian umumnya, data sekunder disebut
pula dengan data tangan kedua, yakni data yang diperoleh secara tidak langsung dari
subjek yang diteliti. Data sekunder biasanya berwujud dokumentasi atau laporan.80
Maria S.W. Soemarjono mengatakan, data sekunder dalam penelitian hukum dapat
diperoleh dari berbagai instansi, seperti, keputusan pengadilan, berbagai data statistik
yang menunjang analisis topik penelitian, berbagai dokumen resmi serta hasil
penelitian yang berbentuk laporan.81
Sedangkan Soerjono Soekanto membagi data sekunder dalam tata urut sebagai
berikut,82
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, berupa,
1) Norma dasar atau kaidah dasar;
2) Peraturan dasar;
3) Peraturan perundang-undangan;
4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat;
5) Yurisprudensi;
6) Traktat; dan
7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum
primer, seperti,
1) Rancangan undang-undang;
2) Hasil penelitian; dan
3) Hasil karya dari kalangan hukum.
79 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 12.80 Saefuddin Azwar, 2010, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 91.81 Maria S.W. Soemarjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usul Penelitian: Sebuah Panduan Dasar,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 28.82 Lihat, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm 13. Bandingkan dengan Burhan
Ashshofa, 1996 cetakan ke-1, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm 103-104. Bambang Sunggono, op.cit., hlm 113-114. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 31-32. Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm 141-144.
i
c. Bahan hukum tertier, bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan
terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, misalnya,
1) Kamus;
2) Ensiklopedia; dan
3) Indeks kumulatif.
Cara mencari data yang diperlukan dalam menjawab permasalahan pada
umumnya dibedakan menjadi tiga, yaitu (i) studi pustaka; (ii) studi lapangan; dan (iii)
studi laboratorium. Untuk penelitian hukum, cara mencari data dapat dilakukan dengan
studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka penelitian hukum dilakukan dengan
menelusuri buku dan tulisan yang terkait dengan bidang ilmu hukum.83
Berdasarkan cara pengumpulan data tersebut, pengumpulan data sekunder dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka atau studi dokumen, yakni dengan
cara mengumpulkan data sekunder—baik yang berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, bahan hukum tersier—yang berkaitan dengan topik permasalahan
yang diteliti dalam penelitian ini. Data sekunder masuk dalam kerangka metode
penelitian hukum normatif.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini yang berupa dokumen peraturan
perundang-undangan Indonesia menjadi bahan utama yang ditelaah. Dilanjutkan
dengan bahan hukum sekunder berupa karya buku dari sarjana ilmu hukum serta
karya hukum lainnya termasuk juga hasil penelitian. Selanjutnya, data empiris
didapatkan dengan cara studi lapangan dengan melakukan wawancara dan melalui
diskusi kelompok terfokus (focussed group discussion) kepada narasumber, dalam hal
ini adalah aparat penegak hukum.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian untuk mendapatkan data sekunder adalah perpustakaan atau
instansi yang memuat dokumen serta laporan hasil penelitian yang terkait dengan topik
masalah yang diteliti dalam penelitian. Dalam hal ini, perpustakaan Pusat Kajian
Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, dan perpustakaan elektronik dijadikan sebagai
lokasi penelitian untuk mendapatkan data sekunder (berupa bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier).
Sedangkan data primer diperoleh dengan cara wawancara yang menggunakan
pendekatan petunjuk umum wawancara yang berlokasi di Yogyakarta, Medan, Jakarta,
83 F Sugeng Istanto, op.cit., hlm 57.
i
dan Banjarmasin. Yogyakarta dipilih sebagai lokasi untuk mendapatkan data primer
karena di daerah ini diadakan beberapa focus group discussion (FGD) yang dilakukan
di kantor Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM sebagai bagian dari kegiatan
penelitian. Medan diambil sebagai lokasi untuk merepresentasi daerah bisnis.
Sedangkan Jakarta dimasukkan sebagai lokasi penelitian demi memperoleh informasi
dari Kejaksaan Agung dan beberapa pakar mengenai kejahatan korporasi maupun
korupsi korporasi. Terakhir, Banjarmasin ditetapkan sebagai wilayah mendapatkan
data primer sebab putusan yang menjatuhkan pidana korupsi atas korporasi pertama
kali dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin.
Seyogianya, daerah yang ditetapkan sebagai lokasi pengambilan data primer
dapat dilakukan di beberapa daerah lain. Namun, mengingat keterbatasan anggaran
penelitian, sekiranya daerah yang dipilih dalam penelitian ini (Yogyakarta, Medan,
Jakarta, dan Banjarmasin) telah dianggap representatif dalam menggali data dan
informasi terhadap penelitian pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi di
Indonesia.
D. Analisis Data
Cara menganalisis data penelitian hukum sama dengan cara menganalisis data
dalam penelitian pada umumnya.84 Lexy J. Moleong85 dengan mengutip Bogdan dan
Biklen menulis, analisis data kualitatif adalah upaya bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Analisis data adalah cara bagaimana memanfaatkan data yang terkumpul untuk
memecahkan masalah yang sudah dirumuskan dalam penelitian.86 Dalam kajian ilmu
hukum tentang isi ketentuan hukum positif dan dalam kajian ilmu hukum tentang
penerapan hukum positif, kebenaran yang diperoleh dari analisis data kebanyakan
bersifat kebenaran kualitatif, yakni kebenaran dalam arti kesesuaian dengan
penerapan kualitas tertentu yang harus dipenuhi.87
Dalam penelitian ini, data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka terhadap
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier ditelaah dan
84 F Sugeng Istanto, op.cit., hlm 58.85 Lihat, Lexy J. Moleong, 2011, Metode Penelitan Kualitatif (edisi revisi), Remaja Rosda karya,
Bandung, hlm 248. Moleong mengutip pengertian analisis data kualitatif tersebut dari Robert C. Bogdan dan Sari Knopp Biklen, 1982, Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Allyn and Bacon Inc., Boston.
86 Periksa Maria S.W. Soemardjono, op.cit, hlm 38.87 F. Sugeng Istanto, op.cit., hlm 59-60.
i
dianalisis dengan seksama untuk mendapatkan asas atau konsep yang tepat
mengenai pemidanaan korporasi atas tindak pidana korupsi di Indonesia.
Langkah yang diambil dalam menganalisi data pada penelitian ini dilakukan
dengan,
1. Menelaah dan menuliskan beberapa ketentuan mengenai pengertian
korporasi atau dengan penyebutan lain yang termuat dalam bahan hukum
primer dan sekunder yang terdiri dari,
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
b. UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang;
c. UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
d. UU Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (sebelum diganti
dengan UU Nomor 20 Tahun 2002);
e. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan
UU Nomor 10 Tahun 1998;
f. UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
g. UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
h. UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (sebelum diganti dengan UU
35 Tahun 2009);
i. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat;
j. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
k. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001;
l. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas;
m. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (yang menggantikan
UU Nomor 15 Tahun 1985);
n. UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan
UU Nomor 45 Tahun 2009;
o. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
p. UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (mengganti UU 22 Tahun 1997);
q. UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos;
r. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang;
i
s. UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pendanaan Tindak Pidana Terorisme;
t. RUU KUHP Tahun 2010; dan
u. RUU KUHAP Tahun 2012.
2. Menelaah dan menuliskan beberapa isi dari karya para sarjana ilmu hukum
dan sarjana ilmu ekonomi yang terangkum dalam buku, hasil penelitian,
maupun dokumen lainnya yang berkaitan dengan bahasan mengenai
korporasi dan/atau tindak pidana atau tindak pidana khusus yang dilakukan
oleh korporasi, sebagai unit analisis terhadap pembacaan undang-undang
yang memuat korporasi atau dengan penyebutan nama lainnya;
3. Menelaah dan menuliskan ketentuan pendukung, seperti kamus, yang
memuat pengertian tertentu untuk mencari pengertian terhadap pengertian
tersebut demi membantu memudahkan analisis terhadap karya dari para
sarjana ilmu hukum dan sarjana ilmu ekonomi yang ditelaah dan ditulis
sebelumnya;
4. Menelaah dan menuliskan hasil wawancara dengan beberapa narasumber
terkait dengan penelitian; dan
5. Menyusun analisis hasil penelitian dari undang-undang serta kajian dari para
sarjana ilmu hukum dan sarjana ilmu ekonomi untuk menjawab rumusan
masalah yang sudah ditentukan dalam penelitian.
i
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Undang-Undang
Korporasi sebagai salah satu subjek hukum dibebani dengan tanggung jawab
hukum. Beberapa undang-undang memuat ketentuan mengenai korporasi.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana pada dasarnya dapat
digolongkan dalam dua kategori. Pertama, korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Akan tetapi, pertanggungjawabannya dibebankan ke anggota atau pengurus
koperasi. Kedua, korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan secara langsung.88
Subjek tindak pidana korupsi tidak diatur dalam hukum pidana umum
(commune strafrecht) atau tidak diatur dalam KUHP. Dengan demikian kebijakan
legislasi yang menyangkut subjek tindak pidana korporasi tidak berlaku sebagai
subjek tindak pidana secara umum, akan tetapi terbatas dan hanya berlaku
terhadap beberapa perundangan-undangan khusus di luar KUHP.89
Kebijakan legislasi yang ditempuh saat ini, tidak memberi peluang pemidanaan
terhadap korporasi, apabila melakukan suatu tindak pidana yang diatur dalam
KUHP.90 Misalnya, dalam Pasal 392 KUHP yang menyatakan, “Seorang
pengusaha, seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil
Indonesia atau koperasi, yang sengaja mengumumkan keadaan atau neraca yang
tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”
Pasal tersebut erat kaitannya dengan tindak pidana yang dapat dilakukan oleh
korporasi, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipidana adalah
pengusaha/pengurus/komisaris dan bukan korporasinya. Dengan demikian,
penetapan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia membawa konsekuensi yuridis dapat tidaknya korporasi
dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.91 Pasal 59 KUHP menguatkan
ketentuan Pasal 392 KUHP. Bagi pengurus lain yang tidak melakukan pidana,
maka tidak dapat dijatuhkan pidana terhadapnya.
88 Dwidja Priyatno, op.cit., hlm 163-165.89 Ibid., hlm 167.90 Ibid.91 Ibid.
i
Selanjutnya, Pasal 398 KUHP mengatur perbuatan dan ancaman bagi
pengurus korporasi yang melakukan perbuatan tertentu tatkala korporasi dalam
keadaan pailit. Perbuatan yang diancam tersebut, misalnya,
a. membantu atau mengizinkan melakukan tindakan yang bertentangan
dengan anggaran dasar, sehingga seluruh atau sebagian besar dari
kerugian diderita oleh perseroan, maskapai atau perkumpulan;
b. memiliki maksud menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseroan,
maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan peminjaman
uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal diketahuinya tak
dapat dicegah keadaan pailit atau penyelesaiannya;
c. jika yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban yang
diterangkan dalam pasal 6 ayat pertama Kitab Undang-undang Hukum
Dagang dan pasal 27 ayat pertama ordonansi tentang maskapai andil
Indonesia, atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-
catatan dan tulisan-tulisan yang disimpan menurut pasal tadi, tidak dapat di
perlihatkan dalam keadaan tak diubah.
Pasal 398 KUHP tidak membebankan tanggung jawab kepada korporasi,
melainkan kepada pengurusnya. Dalam Pasal 399 KUHP, hal yang sama
ditemukan bahwa pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurusnya,
misalnya,
a. Membuat pengeluaran yang tak ada, maupun tidak membukukan
pendapatan atau menarik barang sesuatu dari budel;
b. Telah melijerkan (eurureemden) barang sesuatu dengan Cuma-Cuma atau
jelas dibawah harganya;
c. Dengan sesuatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang di waktu
kepailitan atau penyelesaian tadi tidak dapat dicegah;
d. Tidak memenuhi kewajiban mengadakan catatan menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang atau Pasal 27 ayat pertama ordonasi tentang
maskapai andil di Indonesia, dan tentang menyimpan dan memperlihatkan
buku-buku, surat-surat dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal itu.
Pendek kata, KUHP masih menentukan bahwa yang dapat bebankan
pertanggungjawaban pidana adalah orang, bukan korporasi. Dan ketentuan ini
masih berlaku hingga saat ini.
i
2. UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang
Aturan hukum ini mendefinisikan badan hukum sebagai “tiap perusahaan atau
perseroan, perserikatan atau yayasan, dalam arti yang seluas-luasnya, juga jika
kedudukan sebagai badan hukum itu baik dengan jalan hukum ataupun
berdasarkan kenyataan tidak diberikan kepadanya.92 Ketentuan pembebanan
pidana dapat dijatuhkan kepada tiga elemen. Pertama, badan hukum itu sendiri.
Kedua, pengurus badan hukum. Ketiga, kedua-duanya, badan hukum dan
pengurusnya.93
3. UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
Penyebutan korporasi diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Darurat Nomor 7
Tahun 1955. “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan atas nama suatu badan
hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan-
pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap
mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap
kedua-duanya.”
Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan
berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila
tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun.94
Selain itu, Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak
berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana
ekonomi.95 Serta pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan
perusahaannya untuk waktu selama-lamanya dua tahun.96
Tindakan tata tertib, seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah
pengampuan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar
sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa
yang dilalikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan
92 Pasal 1 huruf e UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951.93 Pasal 11 ayat (1) UU Darurat Nomor 17 Tahun 1951. 94 Pasal 7 ayat (1) sub b UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.95 Pasal 7 ayat (1) sub c jo sub d UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.96 Pasal 7 ayat (1) sub e UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.
i
melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas
biaya si terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain.97
Penjatuhan pidana yang dianut dalam UU Tindak Pidana Ekonomi adalah
sistem dua jalur atau double track system. Artinya sanksi berupa pidana dan
tindakan dijatuhkan secara bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata
tertib.98
4. UU Nomor 20 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (sebelum diganti
dengan UU Nomor 20 Tahun 2002)
Definisi korporasi tidak diatur secara eksplisit. Namun dalam undang-undang
ini, pengertian badan usaha dimasukkan dalam Pasal 1 angka 27. Badan Usaha
adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi atau swasta yang didirikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis usaha bersifat
tetap dan terus menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.99
Pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada badan usaha atau
pengurusnya.100 Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh badan usaha, maka
pidananya berupa pidana denda dengan ketentuan paling tinggi ditambah
sepertiga.101
5. UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
UU Pasal modal mengatur bahwa pihak adalah orang perseorangan,
perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.102
Sanksi yang dapat dijatuhkan bagi pihak yang melakukan pelanggaran dalam
ketentuan pasar modal berupa sanksi administratif, yakni:103
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
97 Pasal 8 ayat (1) sub a, sub b, sub c, dan sub d UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955.98 Muladi dan Priyatno Dwidja, op.cit., hlm 166.99 Pasal 1 ayat (27) UU Nomor 20 Tahun 2002.100 Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002.101 Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2002.102 Pasal 1 UU Nomor 8 Tahun 1995.103 Pasal 102 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1995.
i
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.104
Definisi “pihak” yang dijelaskan dalam Pasal 102 UU Pasar modal meliputi
Emiten, Perusahaan Publik, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Reksa Dana, Perusahaan Efek,
Penasihat Investasi, Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek,
Wakil Manajer Investasi, Biro Administrasi Efek, Kustodian, Wali Amanat, Profesi
Penunjang Pasar Modal, dan Pihak lain yang telah memperoleh izin, persetujuan,
atau pendaftaran dari Bapepam. Ketentuan dalam ayat ini berlaku juga bagi
direktur, komisaris, dan setiap pihak yang memiliki sekurang-kurangnya lima
persen saham Emiten atau perusahaan publik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87.105
6. UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Aturan hukum ini menyebutkan arti korporasi. Korporasi adalah kumpulan
terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.106 UU Psikotropika memuat pidana yang dapat
diancamkan ke orang maupun korporasi.
Jika tindak pidana psikotropika dilakukan oleh korporasi, maka disamping
dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi yang bersangkutan dikenakan
pidana denda sebesar dua kali pidana denda yang berlaku. Pidana tambahan juga
dikenakan yakni berupa pencabutan izin usaha.107
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
Pengertian korporasi ditulis dengan jelas bahwa korporasi adalah kumpulan
terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum. Tampaknya ketentuan demikian tidak berbeda
dengan yang diatur dalam UU Psikotropika.
Dalam aturan ini, jika pidana dilakukan oleh korporasi maka ancamannya
adalah pidana denda maksimal Rp 1 miliar, Rp 3 miliar, Rp 4 miliar, dan Rp 7
104 Pasal 102 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1995.105 Penjelasan Pasal 102 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1995.106 Pasal 1 ayat (13) UU Nomor 5 Tahun 1997.107 Pasal 70 UU Nomor 5 Tahun 1997.
i
miliar. Besaran ancaman pidana ini tergantung dari masing-masing tindakan
pidana yang dilakukan.
8. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan
UU Nomor 10 Tahun 1998
UU Perbankan tidak mendefinisikan korporasi dengan terang. Hanya, dalam
ketentuan sanksi, kata korporasi muncul. Pasal 46 ayat (2) mengatur, apabila
kejahatan perbankan dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka tuntutan ditujukan kepada
pemberi perintah, pimpinan, atau pemberi perintah dan pimpinan. Tampaknya UU
Perbankan mengadopsi ketentuan dalam KUHP yang mengenakan
pertanggungjawaban pidana hanya orang (pemberi perintah atau pengurus),
bukan kepada korporasi.
9. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan
usaha dalam bidang ekonomi.108 Dengan ketentuan demikian, maka badan usaha
(korporasi) juga dianggap sebagai subjek hukum yang dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana. Sanksi untuk pelaku usaha yang melanggar
peraturan ini adalah sanksi administratif, penjara, atau denda.
10. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Makna pelaku usaha dalam UU Perlindungan konsumen tak jauh berbeda
dengan UU Praktik Monopoli. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Begitu pun, sanksi yang diterapkan dapat berupa sanksi administrasi, penjara,
atau denda.
108 Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 5 Tahun 1999.
i
11. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi
UU Tindak Pidana Korupsi memuat makna menyeluruh atas frase “setiap
orang.” Pasal 1 ayat (3) mengatakan, setiap orang adalah orang perseorangan
atau termasuk korporasi. Korporasi menurut pengertian Undang-Undang Tipikor
adalah adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.109
Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa korporasi dapat dituntut atas kejahatan
tindak pidana korupsi. Ketika tuntutan diajukan ke korporasi, maka penguruslah
yang mewakili. Pengurus juga dapat mewakilkan ke orang lain. Pidana pokok yang
dapat dikenakan kepada korporasi hanyalah pidana dengan ketentuan maksimum
ditambah sepertiga.
12. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas
Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan
jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam
wilayah Indonesia.110 Lebih lanjut diterangkan bahwa pengertian bentuk usaha
tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah
Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Indonesia dan wajib mematuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.111
Dalam hal tindak pidana di sektor minyak dan gas dilakukan oleh atau atas
nama badan usaha atau bentuk usaha tetap, tuntutan dan pidana dikenakan
terhadap badan usaha atau bentuk usaha tetap dan/atau pengurusnya.112 Artinya,
ancaman pidana dapat dikenakan ke badan usaha, pengurus, atau kedua-duanya.
Jika pidana dilakukan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap, maka pidananya
adalah denda, dengan ketentuan paling tinggi ditambah sepertiga.113
13. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Badan usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi atau swasta, yang didirikan
109 Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001.110 Pasal 1 ayat (17) UU Nomor 20 Tahun 2001.111 Pasal 1 ayat (18) UU Nomor 20 Tahun 2001.112 Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001.113 Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001.
i
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis
usaha bersifat tetap dan terus menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah
Indonesia.114 Lebih lanjut dijelaskan untuk pengertian swasta adalah badan hukum
yang didirikan dan berdasarkan hukum di Indonesia yang berusaha di bidang
ketenagalistrikan.115
Tindak pidana yang diatur dalam UU Ketenagalistrikan apabila dilakukan oleh
korporasi, maka pidananya berupa denda dengan ketentuan paling tinggi
ditambah sepertiga.116 Ancaman pidana dapat dikenakan ke pengurus, badan
usaha itu sendiri, atau kedua-duanya.117
14. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Mirip dengan UU Tindak Pidana Korupsi, UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup memasukkan definisi korporasi ke dalam frase setiap orang.
Makna setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.
Dalam undang-undang diatur apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan
oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana
dapat diancamkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut.118
Jika badan usaha yang dituntut, maka badan usaha tersebut diwakili oleh
pengurus yang berwenang mewakili di dalam atau di luar pengadilan. Selain
pidana pokok, pidana tambahan juga dapat dikenakan kepada korporasi, yang
meliputi:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
114 Pasal 1 ayat (27) UU Nomor 20 Tahun 2002.115 Pasal 1 ayat (31) UU Nomor 20 Tahun 2002.116 Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2002.117 Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2002.118 Pasal 116 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009.
i
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun.119
15. UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (mengganti UU 22 Tahun 1997)
Pengertian korporasi dalam undang-undang ini mirip dengan yang dituangkan
dalam UU 22 Tahun 1997.120 Hanya saja, ketentuan pidana yang diancamkan
kepada korporasi jauh lebih besar. Ancaman pidana pokok maksimal yang diatur
adalah jumlah pidana denda paling tinggi dikalikan tiga.121 Sedangkan pidana
tambahan untuk korporasi berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status
badan hukum yang melekat kepada korporasi.122
16. UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos
Undang-undang ini lebih terang menjelaskan arti orang yang tidak dibedakan
dengan badan hukum. Orang adalah perseorangan ataupun badan hukum.123
Hanya saja kelemahan aturan hukum ini adalah tidak diatur siapa yang
bertanggung jawab jika pidana dilakukan oleh badan hukum. Apakah
pertanggungjawaban dikenakan kepada pengurus, badan hukum, atau kedua-
duanya.
17. UU 45 Tahun 2009 jo UU 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Pengaturan tentang korporasi diatur secara implisit bahwa, setiap orang adalah
orang perseorangan atau korporasi.124 Seterusnya, korporasi dijabarkan sebagai
kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik berbadan hukum atau
tidak berbadan hukum.125 Ancaman pidana bagi korporasi berupa pidana denda
ditambah sepertiga.126
18. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
UU TPPU menulis dengan jelas definisi korporasi sebagai kumpulan orang
dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berbadan hukum atau tidak berbadan
119 Pasal 119 UU Nomor 32 Tahun 2009.120 Pasal 1 angka 21 UU 35 Tahun 2009.121 Pasal 130 ayat (1) UU 35 Tahun 2009.122 Pasal 130 ayat (2) UU 35 Tahun 2009.123 Pasal 1 ayat (13) UU Nomor 38 Tahun 2009.124 Pasal 1 ayat (15) UU Nomor 45 tahun 2009.125 Pasal 1 ayat (16) UU Nomor 45 tahun 2009.126 Pasal 101 UU Nomor 45 Tahun 2009.
i
hukum. Di samping definisi korporasi, ada pula definisi personil pengendali
korporasi, yakni setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai
penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan
kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.127
Dalam aturan hukum ini juga diperoleh arti setiap orang dengan orang
perorangan atau korporasi. Untuk menjerat korporasi dalam tindak pidana
pecucian uang, korporasi harus memenuhi tindak pidana asalnya. Ancaman
pidana dapat dikenakan kepada korporasi, pengendali korporasi, atau kedua-
duanya. Ancaman pidana dikenakan apabila pencucian uang:128
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda
paling banyak Rp 100 miliar.129 Selain itu, dapat dikenakan pula pidana tambahan
berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan korporasi;
e. perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan korporasi oleh negara.130
Jika korporasi tidak mampu membayar denda, maka aset harta kekayaan milik
korporasi atau personil pengendali korporasi yang bernilai sama dengan pidana
yang dijatuhkan dirampas.131 Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik korporasi
yang dirampas masih tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda
dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan
denda yang telah dibayar.132
127 Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 8 Tahun 2010.128 Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2010.129 Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010.130 Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2010.131 Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010.132 Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2010.
i
19. UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa setiap orang adalah orang
perseorangan atau korporasi.133 Lebih lanjut dikatakan, korporasi adalah kumpulan
orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.134 Dan personil pengendali korporasi adalah setiap
orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentuk kebijakan
korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi
tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.135
Ancaman pidana dikenakan kepada korporasi dalam pendanaan tindak pidana
terorisme, apabila:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah
dalam Korporasi; atau
d. dilakukan oleh personel pengendali korporasi dengan maksud memberikan
manfaat bagi Korporasi.136
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap Korporasi, panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus
dan/atau personel pengendali korporasi di tempat tinggal pengurus atau di tempat
pengurus berkantor.137 Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda paling banyak Rp 100 miliar.138 Selain pidana denda, korporasi juga
dapat dikenakan pidana tambahan berupa:
a. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan korporasi;
b. pencabutan izin usaha dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang;
c. pembubaran korporasi;
d. perampasan aset korporasi untuk negara;
e. pengambilalihan korporasi oleh negara; dan/atau
f. pengumuman putusan pengadilan. 139
133 Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 9 Tahun 2013.134 Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 9 Tahun 2013.135 Pasal 1 ayat (13) UU Nomor 9 Tahun 2013.136 Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2013.137 Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 9 Tahun 2013.138 Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 9 Tahun 2013.139 Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 9 Tahun 2013.
i
Jika korporasi tidak mampu membayar denda, maka pidana denda diganti
dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi dan/atau personel pengendali
korporasi yang nilainya sama dengan pidana denda.140 Apabila harta yang
dirampas tidak cukup untuk membayar pidana denda, maka kurungan pengganti
denda dikenakan kepada personil pengendali korporasi dengan memperhitungkan
denda yang telah dibayar.141
Dari 21 undang-undang yang ditelaah, maka penyebutan nama korporasi serta
pidana yang diancamkan dapat ditulis dalam tabel sebagai berikut,
Tabel 1. Korporasi dan ancaman pidana
No. Undang-Undang Penyebutan KorporasiAncaman Pidana
KorporasiKeterangan
1. UU Darurat 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang
Badan hukum adalah:1. perusahaan,2. perseroan,3. perserikatan,4. yayasan.
Ancaman pidana ke orang, badan hukum, atau orang dan badan hukum.
2. UU Darurat 7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
Tindak pidana ekonomi dilakukan atas nama 1.badan hukum,2.perseroan,3.perserikatan,4.yayasan
1. Pidana tambahan penutupan seluruh atau sebagian perusahaan;
2. Perampasan barang;3. Tindakan tata tertib
menempatkan perusahaan di bawah pengampuan.
Ancaman pidana dapat dikenakan ke badan hukum, yang memberi perintah, atau badan hukum dan pemberi perintah.
3. UU 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
Badan usaha adalah:1.BUMN, 2.BUMD, 3.koperasi,4.swasta
Pidana denda (paling tinggi ditambah sepertiga)
Ancaman pidana kepada badan usaha atau pengurusnya.
4. UU 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Pihak adalah:1. perseorangan, 2. perusahaan, 3. usaha bersama, 4. asosiasi, 5. kelompok terorganisasi.
Sanksi administratif yang berupa: 1. peringatan tertulis, 2. denda,3. pembatasan kegiatan
usaha;4. pembekuan kegiatan
usaha;5. pencabutan izin usaha;6. pembatalan persetujuan,7. pembatalan pendaftaran.
Pengertian pihak disebut dalam Pasal 1 (urutan 1-5) dan pasal 102.
5. UU 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Korporasi adalah:1. kumpulan terorganisasi dari
orang berbadan hukum;2. kumpulan terorganisasi dari
kekayaan berbadan hukum;3. kumpulan terorganisasi dari
orang dan kekayaan berbadan hukum,
4. kumpulan terorganisasi dari orang tidak berbadan hukum;
5. kumpulan terorganisasi dari kekayaan tidak berbadan hukum;
Pidana yang dijatuhkan adalah:1. pidana denda sebesar
dua kali pidana yang berlaku,
2. pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
140 Pasal 8 ayat (6) UU Nomor 9 Tahun 2013.141 Pasal 8 ayat (7) UU Nomor 9 Tahun 2013.
i
6. kumpulan terorganisasi dari orang dan kekayaan tidak berbadan hukum,
6. UU 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (sebelum diganti dengan UU 35 Tahun 2009)
Korporasi adalah:1.kumpulan terorganisasi dari
orang berbadan hukum;2.kumpulan terorganisasi dari
kekayaan berbadan hukum;3.kumpulan terorganisasi dari
orang dan kekayaan berbadan hukum,
4.kumpulan terorganisasi dari orang tidak berbadan hukum;
5.kumpulan terorganisasi dari kekayaan tidak berbadan hukum,
6.kumpulan terorganisasi dari kekayaan dan orang tidak berbadan hukum.
Ancaman pidana berupa:1. pidana denda paling
banyak Rp 7 miliar
7. UU 7 Tahun 1992 jo UU 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Tidak diatur pengertian korporasi. Meski demikian, dalam ketentuan sanksimenyebut kejahatan yang dilakukan oleh:1. perseroan terbatas;2. perserikatan;3. yayasan,4. koperasi.
Ancaman pidana terhadap korporasi dikenakan kepada:1. pemberi
perintah,2. pimpinan dalam
kejahatan,3. keduanya
(pemberi perintah dan pimpinan kejahatan).
8. UU 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pelaku usaha adalah:1. setiap orang2. badan usaha berbentuk
badan hukum,3. badan usaha tidak
berbentuk badan hukum.
Pidana berupa:1. pidana denda2. pidana tambahan
(pencabutan izin usaha)3. sanksi administratif
9. UU 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pelaku usaha adalah:1. setiap orang2. badan usaha berbentuk
badan hukum,3. badan usaha tidak
berbentuk badan hukum.
Pidana berupa:1. pidana denda paling
banyak Rp 2 miliar2. pidana tambahan (berupa
perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu, kewajiab penarikan barang dari peredaran, dan pencabutan izin usaha.
10. UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Setiap orang adalah:1. orang perorangan2. korporasi.Korporasi adalah:1. kumpulan orang yang
terorganisasi berbadan hukum,
2. kumpulan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,
3. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,
4. kumpulan orang yang terorganisasi tidak berbadan hukum,
5. kumpulan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum,
Pidana berupa:1. pidana pokok denda
dengan ketentuan maksimum ditambah sepertiga
2. pidana tambahan.
Ancaman pidana dapat dikenakan kepada:1. korporasi,2. pengurus
korporasi,3. keduanya
(korporasi dan pengurus korporasi).
i
6. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum.
11. UU 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Badan usaha adalah:1. badan hukum yang
menjalankan usaha tetap
Ancaman pidana berupa pidana denda dengan ketentuan paling tinggi ditambah sepertiga. Pidana denda paling tinggi yang diatur adalah Rp 60 miliar.
Ancaman pidana dapat dikenakan kepada:1. badan usaha,2. badan usaha
tetap,3. pengurus badan
usaha,4. pengurus badan
usaha tetap,5. keduanya (badan
dan pengurusnya).
12. UU 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Badan usaha adalah:1. badan hukum berbentuk
BUMN,2. badan hukum berbentuk
BUMD,3. badan hukum berbentuk
koperasi,4. badan hukum berbentuk
swasta
Pidana denda dengan ketentuan paling tinggi ditambah sepertiga.
Ancaman pidana dapat dikenakan kepada:1. badan usaha,2. pengurus badan
usaha.
13. UU 31 Tahun 2004 jo UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
Setiap orang adalah:1. orang perseorangan2. korporasi.Korporasi adalah:1. kumpulan orang yang
terorganisasi berbadan hukum,
2. kumpulan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,
3. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,
4. kumpulan orang yang terorganisasi tidak berbadan hukum,
5. kumpulan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum,
6. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum.
Pidana denda dengan ketentuan paling tinggi ditambah sepertiga
Ancaman pidana dikenakan kepada pengurusnya.
14. UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Setiap orang adalah:1.orang perorangan2.badan usaha berbadan
hukum,3.badan usaha tidak
berbadan hukum.
Ancaman pidana1. pidana pokok2. sanksi tata tertib
(perampasan keuntungan, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha, perbaikan akibat tindak pidana, kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, penempatan perusahaan di bawah pengampuan).
Ancaman pidana dijatuhkan kepada:1.badan usaha,2.orang yang
memberi perintah;3.pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana lingkungan.
15. UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (mengganti UU 22 Tahun 1997)
Korporasi adalah:1.kumpulan terorganisasi dari
orang berbadan hukum;2.kumpulan terorganisasi dari
kekayaan berbadan hukum;3.kumpulan terorganisasi dari
orang dan kekayaan berbadan hukum,
4.kumpulan terorganisasi dari orang tidak berbadan
Ancaman pidana berupa:1.Pidana Pokok berupa
pidana denda dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda yang berlaku; pidana denda paling tinggi yang diatur adalah Rp 10 miliar.
2.Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha
i
hukum;5.kumpulan terorganisasi dari
kekayaan tidak berbadan hukum,
6.kumpulan terorganisasi dari kekayaan dan orang tidak berbadan hukum.
dan pencabutan status badan hukum.
16. UU 38 Tahun 2009 tentang Pos
Orang adalah:1. orang perseorangan2. badan hukum.
Pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.
17. UU 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Korporasi adalah1. kumpulan orang yang
terorganisasi berbadan hukum,
2. kumpulan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,
3. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,
4. kumpulan orang yang terorganisasi tidak berbadan hukum,
5. kumpulan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum,
6. kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum.
Pidana terhadap korporasi dapat berupa:1. pidana pokok denda
paling banyak Rp 100 miliar,
2. pidana tambahan berupa (pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagai usaha, pencabutan usaha, pembubaran/pelarangan korporasi, perampasan aset korporasi, pengambilalihan korporasi oleh negara).
Terdapat pengertian baru yakni “Personil Pengendali Korporasi” adalah: orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau melakukan kebijakan tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
18. UU 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
Setiap orang adalah:1. orang perorangan2. korporasi.Korporasi adalah:1.kumpulan orang yang
terorganisasi berbadan hukum,
2.kumpulan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,
3.kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi berbadan hukum,
4.kumpulan orang yang terorganisasi tidak berbadan hukum,
5.kumpulan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum,
6.kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi tidak berbadan hukum.
Pidana terhadap korporasi dapat berupa:1. pidana pokok denda
paling banyak Rp 100 miliar,
2. pidana tambahan berupa (pengumuman putusan hakim, pembekuan sebagai usaha, pencabutan usaha, pembubaran/pelarangan korporasi, perampasan aset korporasi, pengambilalihan korporasi oleh negara).
Terdapat pengertian baru yakni “Personil Pengendali Korporasi” adalah: orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau melakukan kebijakan tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
Lebih lanjut, dari hasil tabelisasi terhadap 21 undang-undang, hanya tujuh undang-
undang yang memuat dalam bunyi pasalnya ketentuan mengenai pengertian korporasi
secara eksplisit.142 Sedangkan undang-undang selebihnya tidak menyebut secara
eksplisit kata “korporasi” dalam pengaturan yang ada di pasal per pasalnya. Adapun
tujuh undang-undang dimaksud adalah:
142 Undang-undang perubahan, seperti UU 20 Tahun 2001 dan UU 45 Tahun 2009, dihitung sebagai satu undang-undang dengan dasar bahwa undang-undang perubahan itu tidak merubah ketentuan pasal yang mengatur korporasi atau dengan nama yang lain yang semacam.
i
1. UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
2. UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (sebelum diganti dengan UU 35
Tahun 2009);
3. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4. UU Nomor 31 Tahun 2004 jo UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan;
5. UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (yang mengganti UU Nomor 22
Tahun 1997);
6. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang;
7. UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme.
Setiap penyebutan korporasi dalam undang-undang dapat dikelompokkan ke
dalam empat kriteria, yakni, sangat sempit; sempit; luas; dan sangat luas. Kriteria
tersebut didasarkan pada jumlah penyebutan pengertian yang diatur dalam setiap
undang-undang.
Undang-undang yang menyebut hanya satu nama masuk ke dalam kategori
sangat sempit. Penyebutan dua sampai tiga nama dikelompokkan ke dalam kriteria
sempit. Selanjutnya, empat sampai lima berkriteria luas. Dan enam nama atau lebih
dikategorikan sangat luas. Adapun masing-masing kriteria dijabarkan dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel 2. Pengelompokan Penyebutan Korporasi
No. Pengelompokan Undang-Undang Keterangan
1. Sangat sempit 1. UU Nomor 22 Tahun 2001 Hanya ada satu penyebutan2. Sempit 1. UU 5 Tahun 1999
2. UU 8 Tahun 19993. UU 32 Tahun 20094. UU 38 Tahun 2009
Ada dua sampai tiga penyebutan
3. Luas 1. UU Darurat 17 Tahun 19512. UU Darurat 7 Tahun 19553. UU 15 Tahun 19854. UU 8 Tahun 19955. UU 7 Tahun 1992 jo UU 10 Tahun 19986. UU 20 Tahun 2001
Terdapat empat sampai lima penyebutan
4. Sangat luas 1. UU 5 Tahun 19972. UU 22 Tahun 19973. UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 20014. UU 31 Tahun 2004 jo UU 45 Tahun 20095. UU 35 Tahun 20096. UU 8 Tahun 20107. UU 9 Tahun 2013
Enam atau lebih penyebutan
i
Dari hasil pengelompokan kriteria mengenai penyebutan nama, terdapat satu
undang-undang yang menyebut nama sebagai pengertian serupa korporasi.
Sedangkan empat undang-undang menyebut dua sampai tiga nama. Enam undang-
undang menyebut empat sampai lima nama, dan terakhir tujuh undang-undang
menyebut enam nama untuk mendefinisikan korporasi.
Secara keseluruhan, pengertian korporasi yang disebut dengan rigit dalam
undang-undang dan pengertian atau penyebutan lain untuk menggambarkan korporasi
atau tidak disebut dengan rigit, berjumlah dua puluh sebagai berikut,
1. Perusahaan;
2. Perseroan;
3. Perserikatan;
4. Yayasan;
5. Badan hukum;
6. BUMN;
7. BUMD;
8. Koperasi;
9. Swasta;
10. Usaha bersama;
11. Asosiasi;
12. Kelompok terorganisasi;
13. Kumpulan orang terorganisasi yang berbadan hukum;
14. Kumpulan kekayaan terorganisasi yang berbadan hukum;
15. Kumpulan orang dan kekayaan terorganisasi yang berbadan hukum;
16. Kumpulan orang terorganisasi yang tidak berbadan hukum;
17. Kumpulan kekayaan terorganisasi yang tidak berbadan hukum;
18. Kumpulan orang dan kekayaan terorganisasi yang tidak berbadan hukum;
19. Badan usaha berbentuk badan hukum; dan
20. Badan usaha tidak berbentuk badan hukum.
Selanjutnya, ancaman pidana dan sanksi untuk korporasi dibagi dalam empat
kelompok. Pertama, pidana pokok. Kedua, pidana tambahan. Ketiga, sanksi
administrasi. Keempat, tindakan tata tertib. Tidak ada yang berbeda dari tiap undang-
undan untuk pemuatan pidana pokok bagi korporasi. Pidana pokok yang diancamkan
adalah pidana denda.
i
Namun demikian, besaran denda atau jumlah denda maksimal yang diatur dalam
setiap undang-undang berbeda. Ancaman denda yang paling tinggi diatur dalam UU 8
Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU 9 Tahun
2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencegahan Pendanaan Terorisme
sebesar Rp 100 miliar. Di samping itu, pengaturan ancaman pidana pokok untuk
mencapai jumlah maksimal cenderung ditambah sepertiga dari pidana pokok tertinggi.
Pidana tambahan yang sempat diatur dalam masing-masing undang-undang
dapat berupa,
1. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan;
2. Pencabutan izin usaha;
3. Pembekuan sebagian usaha;
4. Pembubaran/pelarangan korporasi;
5. Perampasan aset korporasi;
6. Pengambialihan korporasi oleh negara;
7. Perampasan barang tertentu;
8. Pengumuman keputusan hakim;
9. Pembayaran ganti rugi;
10. Perintah penghentian kegiatan tertentu; dan
11. Kewajiban penarikan barang dari peredaran.
Berikutnya, sanksi administratif yang ditemukan dalam telah undang-undang
dalam penelitian ini hanya ada di UU 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Di undang-
undang lainnya tidak diatur. Sanksi administratif yang diatur untuk korporasi dapat
berupa,
1. Peringatan tertulis;
2. Denda;
3. Pembatasan kegiatan usaha;
4. Pembekuan kegiatan usaha;
5. Pencabutan izin usaha;
6. Pembatalan persetujuan; dan
7. Pembatalan pendaftaran.
Jika dicermati, beberapa ketentuan sanksi administratif yang diatur dalam UU 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal mirip dengan ketentuan yang tercantum dalam
pidana pokok (berupa denda) dan pidana tambahan (pembekuan kegiatan usaha dan
i
pencabutan izin usaha) pada undang-undang lainnya. Ini menunjukkan keberbedaan
ancaman pidana untuk korporasi yang muncul dalam pengaturan undang-undang.
Selanjutnya, tindakan/sanksi tata tertib. Undang-undang mengatur tindakan tata
tertib untuk korporasi berupa:
1. Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan;
2. Perampasan keuntungan;
3. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha;
4. Perbaikan akibat tindak pidana; dan
5. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.
Ada satu bentuk tindakan/sanksi tata tertib yang mirip dengan ketentuan dalam
pidana tambahan. Penamaan “perampasan keuntungan” dalam tindakan/sanksi tata
tertib mirip dengan “perampasan aset korporasi” dan “perampasan barang tertentu.”
Tabel 3. Ancaman/Sanksi/Tindakan Untuk Korporasi
No. Pidana Bentuk Keterangan
1. Pokok Denda. Maksimal pengaturan Rp 100 miliar Untuk mendapatkan jumlah dendan maksimal cenderung ditambah sepertiga
2. Tambahan 1. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan;2. Pencabutan izin usaha;3. Pembekuan sebagian usaha;4. Pembubaran/pelarangan korporasi;5. Perampasan aset korporasi;6. Pengambilalihan korporasi oleh negara;7. Perampasan barang tertentu;8. Pengumuman keputusan hakim;9. Pembayaran ganti rugi;10. Perintah penghentian kegiatan tertentu;11. Kewajiban penarikan barang dari peredaran
3. Administratif 1. Peringatan tertulis;2. Denda;3. Pembatasan kegiatan usaha;4. Pembekuan kegiatan usaha;5. Pencabutan izin usaha;6. Pembatalan persetujuan;7. Pembatalan pendaftaran
4. Tata Tertib 1. Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan;2. Perampasan keuntungan;3. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha;4. Perbaikan akibat tindak pidana;5. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.
B. Pengalaman Pemidanaan Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi
Meskipun tidak mudah memidanakan korporasi dalam tindak pidana korupsi,
mengingat perangkat hukum formil yang dimiliki kurang memberikan ruang, apresiasi
patut diberikan kepada penegak hukum yang melakukan terobosan. Setidaknya,
i
terobosan itu dapat dilihat dalam dua kasus. Pertama, kasus korupsi yang dilakukan
oleh PT Giri Jaladi Wana. Kedua, kasus korupsi yang dilakukan oleh Muhammad
Nazaruddin.
1. Kasus PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW)
Kasus PT GJW diperiksa melalui putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin
Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin
(Kalimantan Selatan) Nomor 04/Pid.Sus/2011/PT.BJM. PT GJW didakwa telah
melakukan beberapa perbuatan tindak pidana korupsi yang berhubungan
sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
Semua bermula dari pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor
664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha
Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin dan surat
Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 tentang
Penunjukan Pengelolaan Sementara Sentra Antasari kepada PT GJW.
Sebagai pendanaan pembangunan pasar, PT GJW mendapatkan kucuran dana
Kredit Modal Kerja dari PT. Bank Mandiri, Tbk. Dalam hal ini, PT GJW diwakili oleh
Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo Direktur Utama PT GJW dan Drs.
Tjiptomo selaku Direktur PT GJW.
Pada pelaksanaan perjanjian, PT GJW tanpa persetujuan DPRD Kota
Banjarmasin telah membangun 6.045 unit terdiri dari toko, kios, los, lapak dan
warung, sehingga terjadi penambahan 900 unit bangunan. Penambahan 900 unit
tersebut dijual dengan harga sebesar Rp. 16.691.713.166.00. Hasil penjualan
tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin.
PT GJW juga mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin
untuk membayar retribusi sebesar Rp. 500.000.000,00 dan membayar pelunasan
Kredit Inpres Pasar Antasari Rp. 3.750.000.000,00 jumlah keseluruhan yang harus
dibayar Rp. 6.750.000.000,00 tetapi PT GJW hanya membayar sebesar Rp.
1.000.000.000,00 sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp.
5.750.000.000,00 yang seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin.
PT GJW sengaja tidak membayar uang tersebut dengan memberikan
keterangan tidak benar melalui direkturnya dengan menyatakan kepada
Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah pembangunan Pasar Sentra Antasari
belum selesai. Padahal sesuai keterangan Ir. Wahid Udin, MBA. Projek Manajer
Pembangunan Pasar Sentra Antasari dan laporan completion report PT. Satya
i
Graha Tara (Konsultan Pengawas Proyek Antasari yang diminta Bank Mandiri),
melaporkan per September 2004 pembangunan Pasar Sentra Antasari selesai
100% dan per Oktober 2004 mempunyai surplus Rp. 64.579.000.000,00 dari hasil
penjualan toko, kios dan los serta warung. PT GJW dalam penggunaan fasilitas
kredit modal kerja dari PT. Bank Mandiri juga telah melakukan penyimpangan-
penyimpangan.
Akibat perbuatannya, negara cq Pemerintah Kota Banjarmasin menderita
kerugian sebesar Rp. 7.332.361.516,00 berdasarkan perhitungan BPKP
Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan No. S-1911/PW.16/5/2008 tanggal 19
Mei 2008 dan PT. Bank Mandiri, Tbk. sebesar Rp. 199.536.064.675,65
Dakwaan disusun secara subsidiaritas. Dakwaan primernya melanggar Pasal 2
ayat (1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan subsidernya melanggar pasal Pasal 3
jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Putusan PT GJW memberikan informasi bahwa unsur setiap orang yang harus
dibuktikan terlebih dahulu dalam tindak pidana korupsi dapat dipecahkan untuk
korporasi yang tidak berwujud manusia. Pertimbangan majelis hakim mengatakan
sebagai berikut:
a. pengertian “setiap orang” sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 3 UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 mengungkapkan
perorangan termasuk korporasi. Orang perorangan adalah orang secara
individu yang dalam KUHP dirumuskan dengan kata “barang siapa.”
Sedangkan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum;
b. Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
mengatakan apabila korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka
tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya;
c. Penuntut umum menghadapkan seorang yang mengaku bernama Stevanus
Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo Direktur Utama PT GJW yang dalam hal ini
bertindak mewakili PT GJW, dan setelah melalui pemeriksaan di tingkat
penyidikan dan pra penuntutan selanjutnya PT GJW dihadapkan ke
persidangan sebagai terdakwa, yang berdasarkan keterangan saksi-saksi
serta bukti-bukti dan serta dari keterangan Stevanus Widagdo bin Suraji
Sastrodiwiryo sendiri, dapat disimpulkan bahwa Stevanus Widagdo bin
i
Suraji Sastrodiwiryo adalah sah mewakili PT GJW, korporasi yang dimaksud
oleh penuntut umum dengan identitas sesuai dengan identitas terdakwa
sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan;
d. PT GJW merupakan badan hukum sehingga dikategorikan sebagai
korporasi.
Majelis hakim dalam pertimbangannya menggunakan keterangan ahli Prof. Dr.
Sutan Remy Sjahdeni, SH bahwa tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh
personel korporasi dapat dipertanggung jawabkan kepada korporasi, kecuali
apabila perbuatan tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh directing mind dari
korporasi tersebut. Atau dengan kata lain, korporasi dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pengurusnya jika dipenuhi syarat
sebagai berikut:
a. tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun omission)
dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi maupun di dalam
struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari
korporasi;
b. tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi;
c. tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah
dalam rangka tugasnya dalam korporasi;
d. tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
korporasi; dan
e. pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan
pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana.
Majelis hakim menilai tindak pidana yang dilakukan oleh Direktur Utama PT
GJW memiliki posisi directing mind. Bahkan atas perkara ini, secara pribadi
Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo selaku Direktur Utama PT GJW telah
dipidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.
908/Pid.B/2008/PN.Bjm tanggal 18 Desember 2008 jo Putusan Pengadilan Tinggi
Kalimantan Selatan No. 02/PID/SUS/2009/PT.Bjm. tanggal 25 Februari 2009 jo
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 936 K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009.
Meskipun Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo sudah diadili sebagai
pelaku tindak pidana korupsi, tetapi PT GJW diadili dalam perkara yang sama.
Sekilas terlihat nebis in idem karena suatu tindak pidana yang perkaranya sudah
i
terdapat putusan pengadilan tetapi diadili lagi. Namun, hal demikian bukanlah
nebis in idem karena dalam tindak pidana korporasi pelaku maupun korporasinya
bisa dijadikan terdakwa. Prof Sutan Remy Sjahdeini menyebut bahwa dalam
tindak pidana korporasi terdapat satu tindak pidana tetapi dengan lebih dari satu
pelaku.143
Selanjutnya, majelis hakim melihat perbuatan berlanjut yang dilakukan oleh PT
GJW dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. Sesuai anggaran
dasar, PT GJW bergerak di bidang usaha, seperti, perdagangan, industri,
agrobisnis, pengadaan barang, pengadaan jasa, transportasi, pembangunan, dan
design Interior. Berdasarkan fakta persidangan, tindak pidana yang dilakukan oleh
pengurus PT GJW masih dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi.
Pada unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
bersifat alternatif, jadi cukup dibuktikan memperkaya diri sendiri, atau oang lain
atau suatu korporasi. Adapun dalam perkara ini, diri pribadi Stevanus Widagdo bin
Suraji Sastrodiwiryo sebagai Direktur PT GJW terbukti memperkaya diri sendiri
bahkan sudah diputus oleh pengadilan.
Selain itu, PT GJW juga memperoleh manfaat dari sengaja tidak membayar
uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari kepada kas daerah Pemerintah Kota
Banjarmasin dan memberikan keterangan yang tidak benar dengan mengatakan
kepada Pemerintah Kota Banjarmasin bahwa seolah olah pengelolaan merugi,
padahal sesuai laporan keuangan pengelolaan pasar Sentra Antasari Banjarmasin
periode Juli 2004 s/d Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp. 7.650.143,645.
Pada unsur merugikan keuangan negara, PT GJW terbukti telah merugikan
keuangan Negara cq Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp. 7.332.361.516,00
dan PT. Bank Mandiri, Tbk. sebesar Rp. 199.536.064.675,65. Sedangkan unsur
perbuatan berlanjut majelis hakim melihat perbuatan terdakwa berlangsung sejak
tahun 1998 dalam rangkaian kontrak pembangunan tempat usaha Pasar Sentral
Antasari.
Vonis yang dijatuhkan kepada PT GJW adalah denda Rp 1,3 miliar dan pidana
tambahan berupa penutupan PT GJW selama 6 bulan. Vonis ini dikuatkan oleh
majelis hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan dengan merubah denda
menjadi Rp 1.317.782.129,00
2. Kasus Muhammad Nazaruddin
143 Sutan Remy Sjahdeini, 2011, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm 194.
i
Kasus Muhammad Nazaruddin ini berkebalikan dengan PT GJW. Dalam kasus
ini, penegak hukum belum dapat menjerat korporasi, meski dari fakta persidangan
ditemukan adanya keterangan yang berkaitan dengan keterlibatan korporasi.
Berdasarkan hasil penelaahan yang dilakukan terhadap Putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:
69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST. tertanggal 20 April 2012 dan Putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor:
31/PID/TPK/2012/PT.DKI tertanggal 08 Agustus 2012, jaksa penuntut umum
belum atau kurang memiliki pemahaman untuk menjadikan korporasi sebagai
subjek hukum pidana.
Padahal, dengan mencermati keterangan di dalam persidangan sebagaimana
dimasukkan dalam berkas putusan, seharusnya korporasi dapat dipidana. Adapun
keterangan dimaksud adalah:
a. Penuntut umum telah memasukkan fakta hukum dalam dakwaan kesatu,
dakwaan kedua, dan dakwaan ketiga yang menyatakan Nazaruddin
menerima lima lembar cek senilai Rp 4.675.700.000,00. dari PT Duta
Graha Indah, Tbk. (PT DGI) karena telah mengupayakan PT DGI sebagai
pemenang proyek pembangunan wisma atlet Jakabaring Palembang,
Sumatera Selatan;
b. penyerahan cek dilakukan oleh Muhammad El Idris, Manager Marketing PT
DGI, kepada Nazaruddin, bertempat di kantor PT Anak Negeri (anak
perusahaan Permai Group) dan diserahkan melalui saksi Yulianis dan saksi
Oktarina Furi alias Rina (keduanya adalah staf Bagian Keuangan PT Anak
Negeri);
c. Kelima lembar cek tersebut telah dicairkan dan uangnya disimpan di dalam
brankas PT Anak Negeri (Permai Group), dimana brankas tersebut berada di
bawah penguasaan Nazaruddin dan Neneng Sri Wahyuni, istri Nazaruddin,
selaku Direktur Keuangan PT Anak Negeri.
Fakta hukum di atas, yang ternyata terbukti pula di persidangan,
mengindikasikan adanya tindakan korporasi. Penyerahan cek dari PT DGI yang
diwakili oleh manager keuangannya, El Idris, kepada Nazaruddin sebenarnya
sudah cukup dijadikan sangkaan ada tindak pidana suap yang dilakukan oleh
korporasi kepada Nazaruddin sebagai pejabat negara, yang kala itu menjabat
i
sebagai anggota DPR. Dengan demikian, PT DGI sebagai korporasi dapat dijerat
dengan undang-undang tindak pidana korupsi.
Di samping itu, dalam putusannya, majelis hakim tingkat pertama dan tingkat
banding sebenarnya memuat kemungkinan memidanakan korporasi (PT DGI dan
PT Anugerah Nusantara/Permai Group). Misalnya, majelis hakim menyatakan,
“dalam kenyataannya (de facto) terdakwa (Nazaruddin) dan isterinya adalah
sebagai pengendali perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai
Group, sehingga terdakwa masih tetap sebagai directing mind and will dari
perusahaan-perusahaan tersebut”.144
Kemudian, majelis hakim juga menekankan salah satu hal yang memberatkan
Nazaruddin, bahwa perbuatan Nazaruddin dilakukan secara sistematis dengan
mendirikan Badan Hukum Perusahaan.145 Seharusnya, dengan fakta ini, rumusan
korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dapat dikenakan.
Nazaruddin—dan istrinya—dapat dianggap sebagai high managerial agent
yang bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan dalam korporasi. High
managerial agent merupakan otak dan syaraf pusat dari korporasi, sedangkan
pejabat senior korporasi disebut sebagai directing mind atau alter ego. Perlu
diingat, directing mind dari korporasi tidak hanya dimiliki oleh orang-orang yang
menduduki jabatan secara yuridis formal, melainkan juga orang-orang yang dalam
kenyataannya melakukan operasionalisasi korporasi. Orang-orang tersebut tidak
memiliki kewenangan apapun secara yuridis formal dalam melakukan pengelolaan
korporasi, namun orang-orang inilah yang sebenarnya melakukan pengendalian
terhadap setiap perbuatan dan keputusan yang diambil oleh orang-orang yang
secara yuridis formal melakukan pengurusan korporasi.
C. Rumusan Ideal Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi
Menjawab kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan
perdagangan, lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana
terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subyek hukum
pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi
mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan,
baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum. Dalam hal
ini, korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate
144 Lihat Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST. tertanggal 20 April 2012, hlm 479.
145 Ibid., hlm 492.
i
criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes for
corporation).146
RUU KUHP 2010 mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana.147
Berdasarkan ketentuan ini, korporasi telah diterima sebagai subjek hukum pidana,
dalam arti dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan yang
dilakukan. Lebih lanjut, jika Tindak pidana dilakukan oleh korporasi dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi
korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan
korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam
lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.148
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan
yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk
dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau
ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.149 Mengenai kedudukan
sebagai pembuat tindak pidana dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi
terdapat kemungkinan sebagai berikut:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu
penguruslah yang bertanggung jawab;
2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggung
jawab; atau
3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang
bertanggung jawab.
Oleh karena itu, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu
korporasi maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat
dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau
pengurusnya saja. Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepan-
jang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi
korporasi.150
Ketentuan bahwa kemungkinan pemegang tanggung jawab terhadap tindakan
korporasi dibebankan ke tiga kelompok, pengurus; korporasi; pengurus dan korporasi;
146 BPHN Kemenkumham RI, 2010, Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU KUHP, Jakarta, hlm 109 dan hlm 119.
147 Pasal 47 RUU KUHP Tahun 2010.148 Pasal 48 RUU KUHP Tahun 2010.149 Pasal 50 RUU KUHP Tahun 2010.150 Pasal 51 RUU KUHP Tahun 2010.
i
juga dianut oleh beberapa undang-undang.151 Artinya, ketentuan yang masuk ke dalam
RUU KUHP untuk menjerat pengurus korporasi; korporasinya sendiri; atau kedua-
duanya adalah ketentuan yang sejak dulu dianut dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia.
Selanjutnya, RUU KUHP menjelaskan tanggung jawab korporasi dalam hukum
pidana telah diterima sebagai suatu prinsip hukum. Namun, korporasi tidak
dapat dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana terhadap semua obyek,
kecuali jika secara khusus telah ditentukan bahwa perbuatan tersebut masuk
dalam lingkungan usahanya. Hal ini harus secara tegas diatur dalam Anggaran
Dasar atau ketentuan lain yang berlaku sebagai Anggaran Dasar dari korporasi
yang bersangkutan.
Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah
bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada
menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.152 Pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.153 Dalam hukum
pidana, penjatuhan pidana selalu harus dipandang sebagai ultimum remedium.
Oleh karena itu, dalam menuntut korporasi harus dipertimbangkan apakah
bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna
dibandingkan dengan tuntutan pidana dan pemidanaan. Jika memang telah
ada bagian hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih
berguna, maka tuntutan pidana atas korporasi tersebut dapat
dikesampingkan.154
Namun demikian, pengenyampingan tuntutan pidana atas korporasi
tersebut harus didasarkan pada motif atau alasan yang jelas. Alasan pemaaf
atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk
dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan
tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada
korporasi.155
RUU KUHP mengadopsi pidana pokok denda untuk mengancam korporasi.
Secara berjenjang jika denda tidak dibayar, maka aset korporasi dapat dirampas untuk
mengganti jumlah denda yang ditetapkan. Pidana pengganti bagi korporasi dapat
151 Misalnya, UU Darurat 17 Tahun 1951; UU Darurat 7 Tahun 1955; UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001; dan UU 22 Tahun 2001.
152 Pasal 52 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2010.153 Pasal 52 ayat (2) RUU KUHP Tahun 2010.154 Penjelasan Pasal 52 RUU KUHP 2010.155 Pasal 53 RUU KUHP Tahun 2010.
i
berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.156 Selain pidana pengganti,
RUU KUHP juga mencantumkan pidana tambahan yang dapat dikenakan kepada
korporasi. Pidana tambahan diatur dalam Pasal 67 RUU KUHP, meliputi:
1. Pencabutan hak tertentu;
2. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
3. Pengumuman putusan hakim;
4. Pembayaran ganti kerugian; dan
5. Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang
hidup dalam masyarakat.157
Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai
pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
tambahan yang lain.158 Jika terpidana adalah korporasi, maka hak yang dicabut adalah
segala hak yang diperoleh korporasi.159 Ringannya perbuatan, keadaan pribadi
pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian,
dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.160
Dengan dianutnya paham korporasi adalah subyek tindak pidana, berarti korporasi
baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum dianggap mampu melakukan
tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate
criminal responsibility). Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban
pidana dipikul bersama oleh korporasi dan pengurusnya yang memiliki kedudukan
fungsional dalam korporasi atau hanya pengurusnya saja yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
RUU KUHP tahun 2010 merumuskan pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam Buku I KUHP. Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang semula hanya
berlaku untuk tindak pidana tertentu di luar KUHP, berlaku juga secara umum untuk
tindak pidana lain baik di dalam maupun di luar KUHP. Sanksi terhadap korporasi
dapat berupa pidana (straf), namun dapat pula berupa tindakan tata tertib
(maatregel).161
156 Pasal 58 RUU KUHP Tahun 2010.157 Pasal 67 ayat (1) RUU KUHP Tahun 2010.158 Pasal 67 ayat (2) RUU KUHP Tahun 2010.159 Pasal 91 RUU KUHP Tahun 2010.160 Pasal 55 ayat (2) RUU KUHP Tahun 2010.161 Ibid.
i
Mengenai ketentuan pidana untuk korporasi, dalam beberapa undang-undang
yang sebelumnya juga mengatur ketentuan ancaman pidana untuk korporasi membagi
ancaman/sanksi/tindakan untuk korporasi ke dalam empat kelompok. Pertama, pidana
pokok. Kedua, pidana tambahan. Ketiga, sanksi administratif. Keempat, tindakan tata
tertib. Pengaturan ini berbeda apabila dibandingkan dengan RUU KUHP yang
memasukkan ancaman untuk korporasi dalam dua kelompok, pidana (straf) dan
tindakan tata tertib.
Tampaknya mesti ada satu rumusan yang pasti—untuk menjamin kepastian
hukum dan harmonisasi peraturan perundang-undangan—mengenai ancaman
pidana/sanksi/tindakan untuk korporasi. Ancaman untuk korporasi sebaiknya dibagi
dalam dua kelompok besar. Pertama, pidana pokok. Kedua, pidana tambahan.
Ketentuan sanksi administrasi dan tindakan tata tertib sebaiknya dimasukkan dalam
ketentuan pidana tambahan saja. Dengan demikian, ancaman pidana untuk korporasi
berupa pidana pokok denda dan/atau pidana tambahan.
Kesalahan korporasi dapat diidentifikasikan dari kesalahan pengurus yang
memiliki kedudukan fungsional (mempunyai kewenangan untuk mewakili korporasi,
mengambil keputusan atas nama korporasi dan kewenangan menerapkan
pengawasan terhadap korporasi), yang melakukan tindak pidana dengan
menguntungkan korporasi, baik sebagai pelaku, sebagai orang yang
menyuruhlakukan, sebagai orang yang turut-serta melakukan, sebagai penganjur
maupun sebagai pembantu tindak pidana yang dilakukan bawahannya di dalam
lingkup usaha atau pekerjaan korporasi tersebut.162
Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) tetap merupakan
salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun demikian dalam hal tertentu,
sebagai pengecualian, dimungkinkan penerapan asas strict liability dan asas vicarious
liability. Asas strict liability mengajarkan pelaku pidana dapat dipidana hanya karena
telah dipenuhinya unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Sedangkan vicarious liability
diperluas sampai tindakan bawahannya yang melakukan perbuatan untuknya atau
dalam batas perintahnya.163
Selanjutnya, di RUU KUHP 2010 juga disebutkan, jika tindak pidana dilakukan
oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.164 Penjelasan ketentuan tersebut berkata, kedudukan fungsional
diartikan bahwa orang tersebut mempunyai kewenangan mewakili, kewenangan
162 Ibid.163 Ibid.164 Pasal 49 RUU KUHP Tahun 2010.
i
mengambil keputusan, dan kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap
korporasi tersebut. Termasuk di sini orang tersebut berkedudukan sebagai orang yang
menyuruhlakukan, turut-serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan tidak pidana
tersebut.
Terkait dengan hukum acara untuk menuntut korporasi, terdapat kesulitan
memidanakan korporasi jika berkaitan dengan Pasal 143 KUHAP. Pasal tersebut
hanya mengakomodasi identitas, misalnya jenis kelamin, orang sebagai tersangka.
Padahal korporasi tidak memiliki hal demikian. Penuntut umum akan kesulitan menulis
surat dakwaan. Undang-undang tidak memberikan jalan keluar sama sekali.165 Untuk
mengatasi kesulitan demikian, RUU KUHAP 2012, dijawab dengan memuat rumusan
Pasal 135, yaitu:
1. Penuntut umum memanggil secara sah kepada terdakwa untuk datang ke
sidang pengadilan melalui alamat tempat tinggalnya;
2. Dalam hal alamat atau tempat tinggal terdakwa tidak diketahui, panggilan
disampaikan di tempat kediaman terakhir terdakwa;
3. Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman
terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa/kelurahan dalam
daerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir;
4. Dalam hal terdakwa ditahan dalam rumah tahanan negara, surat panggilan
disampaikan kepada terdakwa melalui pejabat rumah tahanan negara;
5. Surat panggilan yang diterima oleh terdakwa sendiri atau oleh orang lain atau
melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan;
6. Apabila tempat tinggal ataupun tempat kediaman terakhir tidak diketahui,
surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di gedung pengadilan
tempat terdakwa diadili atau diperiksa;
7. Apabila terdakwa adalah korporasi maka panggilan disampaikan kepada
pengurus ditempat kedudukan korporasi sebagaimana tercantum dalam
anggaran dasar korporasi tersebut; dan
8. Salah seorang pengurus korporasi wajib menghadap di sidang pengadilan
mewakili korporasi.
165 Wawancara dengan Ali Moekartono, penyidik tindak pidana korupsi di Kejaksaan Agung, pada 30 Mei 2013.
i
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari telah 21 undang-undang serta pembahasan mengenai pemidanaan korporasi
atas tindak pidana korupsi, dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, tanggung
jawab korporasi atau dengan nama lainnya—setidaknya terdapat unsur legal
personality, limited liability, dan delegated management—sudah diatur minimal sejak
tahun 1951.
Korporasi yang diduga melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran diancam
dengan pidana pokok, pidana tambahan, sanksi administratif, sampai tindakan tata
tertib. Pidana pokok untuk korporasi berupa denda. Jumlah denda yang terbesar yang
diatur dalam undang-undang untuk korporasi adalah Rp 100 miliar. Untuk
mendapatkan jumlah maksimal pidana denda, kecenderungan beberapa undang-
undan mengatur penambahana sepertiga dari angka denda yang tertinggi. Kemudian,
pidana tambahan, sanksi administratif, dan tindakan tata tertib yang diperuntukkan
bagi korporasi bentuknya bermacam-macam. Terdapat dua puluh bentuk pidana
tambahan, sanksi administratif, dan tindakan tata tertib untuk korporasi.
Kedua, dalam lingkup tindak pidana korupsi, ada satu preseden di mana korporasi
dapati dikenakan pertanggungjawaban pidana. Adalah Pengadilan Tipikor Banjarmasin
yang menjatuhkan putusan bersalah kepada PT GJW sebagai korporasi. Majelis hakim
dalam perkara PT GJW menggunakan teori identifikasi untuk merumuskan korporasi
sebagai subjek tindak pidana korupsi sekaligus pemegang tanggung jawab atas tindak
pidana korupsi.
Sebagaimana diatur dalam beberapa undang-undang, selain undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi, tanggung jawab atas tindak pidana—bahkan
perdata dan lingkungan—yang berkaitan dengan korporasi dapat dimintakan kepada
pengurus; korporasinya sendiri; atau kedua-duanya (pengurus dan korporasinya).
Dalam pemeriksaan PT GJW, majelis hakim menerapkan pemegang tanggung jawab
atas tindak pidana korupsi kepada pengurus serta kepada korporasinya. Artinya,
sebenarnya kemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dalam
lingkup tindak pidana korupsi—atau dalam lingkup tindak pidana lainnya—cukup
besar. Mengingat, undang-undang yang mengatur kewajiban bertanggung jawab
kepada pengurus, korporasi, atau pengurus dan korporasi, sudah diatur sejak 1951.
i
Ketiga, sepertinya penamaan mengenai korporasi perlu disatukan dalam batas
yang disepakati. Sehingga penamaan terhadap korporasi dapat sama dalam setiap
undang-undang. Berdasarkan hasil penelitian, minimal ada dua puluh penyebutan
nama korporasi dari 21 undang-undang. Hal ini berpotensi menyulitkan aparat penegak
hukum dalam mengidentifikasi korporasi. Ada tiga batasan untuk menyimpulkan
sebuah korporasi, yakni (i) legal personality, di mana terdapat unsur yang memiliki
otoritas untuk mengelola aset korporasi—juga membuat kontrak atau perjanjian untuk
korporasi; (ii) limited liability, terdapat pemisahan antara aset korporasi dan aset
individu dalam korporasi; dan (iii) delegated management, ada struktur dalam korporasi
yang disertai dengan distribusi kewenangannya. Tiga hal ini dapat dilihat pada
anggaran dasar atau anggaran rumah tangga—atau yang serupa dengan dua hal ini—
di masing-masing korporasi.
Berikutnya, ancaman pidana untuk korporasi juga bermacam-macam. Dalam 21
undang-undang memuat empat kelompok ancaman penjeraan untuk korporasi, (i)
pidana pokok; (ii) pidana tambahan; (iii) sanksi administratif; dan (iv) tindakan tata-
tertib. Sedangkan RUU KUHP mengatur dua hal, (i) pidana (straaf) dan (ii) tindakan
tata-tertib (maatregels). Untuk memudahkan perumusan ancaman pidana, seyogianya
ancaman penjeraan untuk korporasi dirumuskan dalam dua kelompok saja, yakni
pidana pokok dan pidana tambahan saja.
Pidana pokok untuk korporasi berupa pidana denda. Angka maksimal pidana
denda dapat ditemukan dalam UU 8 Tahun 2010 dan UU 9 Tahun 2013 sebesar Rp
100 miliar. Angka ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan yang diatur dalam
UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001. Perlu ada rekalkulasi untuk menentukan
jumlah angka maksimal denda bagi korporasi dalam lingkup tindak pidana korupsi.
Kemudian, pidana tambahan bagi korporasi dapat dipilih beberapa dari dua puluh
bentuk pidana tambahan, sanksi administratif, dan tindakan tata-tertib yang sempat
diatur dalam undang-undang sebelumnya.
B. Saran
Untuk memudahkan pertanggungjawaban dan penuntutan korporasi atas tindak pidana korupsi, setidaknya perlu dilakukan tiga hal sebagai berikut:
1. Aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, KPK, dan hakim) serta auditor negara (BPK dan BPKP)—akan lebih lengkap dengan keikutsertaan inspektorat di masing-masing lembaga—agar bertemu dan mengambil satu definisi korporasi yang disepakati. Hal ini untuk menghindari penafsiran yang berbeda atas pengertian korporasi. Berdasarkan penelitian ini, aparat penegak hukum minimal dapat menentukan tiga unsur sebuah korporasi,
i
yakni unsur legal personality, limited liability, dan delegated management. Dengan tiga unsur ini, Pasal 20 UU 31 Tahun 1999 diharapkan dapat diterapkan dengan maksimal. Selanjutnya, untuk lebih menguatkan penerapan Pasal 20 UU 31 Tahun 1999, maka Pasal 1 angka 1 UU 31 Tahun 1999 seyogianya diubah dengan memasukkan unsur legal personality, limited liability dan delegated management. Oleh karena itu, DPR atau Presiden—sebagai pemegang kekuasaan legislasi—diharapkan dapat memasukkan perihal unsur korporasi dimaksud dalam rancangan undang-undang perubahan UU 31 Tahun 1999;
2. Di tingkat regulasi, harus disatukan beberapa penyebutan korporasi dengan batasan tertentu, sehingga memungkinkan adanya kesamaan penyebutan korporasi serta batasannya dalam semua—tidak terbatas pada satu—peraturan perundang-undangan. artinya, hanya satu kata saja yang dipakai untuk penyebutan nama, yakni “korporasi”. Jika tidak memungkinkan melakukan perubahan atas undang-undang yang terbit sebelum tahun 2013—misalnya karena biaya politik dan biaya pembentukan undang-undang yang mahal—, maka undang-undang yang akan dibentuk pada tahun berikutnya cukup menyebut kata “korporasi” yang unsurnya meliputi legal personality, limited liability, dan delegated management. Perubahan undang-undang ini khususnya ditujukan kepada rencana perubahan undang-undang KUHP166
dan KUHAP; dan3. Perlu dibentuk gradasi ancaman kepada korporasi. Pidana pokok denda
kepada korporasi ditentukan angka minimalnya mesti lebih besar dengan tetap mencantumkan angka maksimal pidana denda.
166 Mengingat Pasal 103 KUHP juga mengenal ketentuan hukum pidana yang diatur di luar KUHP. Lihat, Supriyadi, presentasi berjudul Kebijakan Legislatif Mengenai Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana, disampaikan dalam FGD Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, 2 Mei 2013.
i
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum PidanaUndang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan BarangUndang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana EkonomiUndang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (sebelum
diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002)Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar ModalUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang PsikotropikaUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang NarkotikaUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak SehatUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan KonsumenUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan GasUndang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985)Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan HidupUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997)Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang PosUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian UangUndang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Pendanaan Tindak Pidana Terorisme
B. Buku
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Amrullah, M. Arief. 2006. Kejahatan Korporasi: The Hunt for Mega Profits and The Attack on Democracy. Banyumedia. Jawa Timur.
Ashshofa, Burhan. 1996. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.Azwar, Saefuddin. 2010. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.Bakhri, Syaeful. 2009. Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia. Kreasi Total
Media. Yogyakarta.Green, Gary S. 1993. White Collar Crime and The Study of Embezzlement.
American Academy of Political and Social Science.Hamzah, Andi. 1984. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.Hamzah, Andi. 2012. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Perkembangannya. Sofmedia. Jakarta.Huda, Chaerul. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori
i
Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Kencana Prenada Media. Jakarta.
Istanto, F. Sugeng. 2007. Penelitian Hukum. CV Ganda. Yogyakarta.Kansil, C.S.T dan Cristhine S.T. Kansil. 2010. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum
Dagang Indonesia. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media.
Jakarta.Moeljatno. 2000. Azas-azas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta.Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Remaja Rosda
Karya. Bandung.Mubyarto. tt. Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan. Yayasan Agro Ekonomika.
Jakarta.Muladi dan Dwija Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Kencana Prenada Media. Jakarta.Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas
Nasional. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.Priyatno, Dwidja. 2009. Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia. CV Utomo. Bandung.Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas
Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1983. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. dkk. 1981. Kriminologi Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Soemarjono, Maria S.W. 1997. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian: Sebuah Panduan Dasar. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sunggono, Bambang. 2011. Metodologi Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sjahdeini, Sutan Remy. 2011. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.
C. Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin Nomor 04/Pid.Sus/2011/PT.BJMPutusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 31/PID/TPK/2010/PT.DKIPutusan Pengadilan Tipikor Banjarmasin Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJMPutusan Pengadilan Tipikor Jakarta Nomor 69/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST
D. Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian, Kamus, Koran, dan Internet
Aubert, Vilhelm. 1952. White Collar Crime and Social Culture. Chicago Journals.BPHN Kemenkumham RI. 2010. Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU
KUHP. Jakarta.Grabosky, Peter dan John Braithwaite. Australian Institute of Criminology. Trends
and Issues in Crime and Criminal Justice. Vol. 5: Corporate Crime in Australia.Ivancevich, John M. et.al. 2003. Deterring White Collar Crime. Academy of
Management Executive. Vol. 17. No.2.John Armour, et.al. 2009. The Essential Elements of Corporate Law: What is
Corporate Law? Center for Law, Economics, and Business. Harvard University.Koran Tempo. 19 Juni 2013
i
Mugellini, Giulia. 2012. Crime Againts the Private Sector in Latin America: Existing Data and Future Orientations to Analyse the Victimization of Businesses, slide presentation of first International Conference on Statistical Information of Goverment, Public Safety, Victimization and Justice. UNODC-INEG.
Poerwadarminta, W.J.S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta.Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM. 2013. Trend Corruption Report
Tengah Tahun Pertama 2013. Yogyakarta.Suara Merdeka. 20 Oktober 2011.Supriyadi, presentasi berjudul Kebijakan Legislatif Mengenai Korporasi Sebagai
Pelaku Tindak Pidana Korupsi, disampaikan dalam FGD Pemidanaan Korporasi atas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, 2 Mei 2013.
www.dictionary.comwww.kamusbahasaindonesia.orgwww.law.cornell.eduwww.preservearticles.com www.uslegal.com
E. WawancaraWawancara dengan Ali Moekartono, penyidik tindak pidana korupsi di Kejaksaan
Agung Republik Indonesia, Jakarta, 30 Mei 2013.Wawancara dengan Dam Dam Bachtiar, SH., Ketua Pengadilan Tinggi
Banjarmasin, Banjarmasin, 27 Juni 2013.Wawancara dengan Asep Iwan Iriawan, SH., mantan hakim, Jakarta, 1 Juli 2013.Wawancara dengan Abdullah Dahlan, peneliti ICW, Jakarta, 4 Juli 2013.Wawancara dengan AKBP Budiman, SH., MH., bagian penanganan tindak pidana
korupsi Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan, 29 Juli 2013.Wawancara dengan Kurniawan, SH., kepala seksi penyidikan Kejaksaan Tinggi
Sumatera Utara, Medan, 29 Juli 2013.Wawancara dengan Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
Sumatera Utara (BPKP), Medan, 30 Juli 2013.Wawancara dengan Amril, SH., MH., Ketua PN Jakarta Barat, Jakarta, 16 Agustus
2013.