upaya preventif penghulu dalam mengurangi...
TRANSCRIPT
UPAYA PREVENTIF PENGHULU DALAM
MENGURANGI PELAKU PERKAWINAN DI BAWAH UMUR
(Studi Di Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ADE USWATUL JAMILIYAH
NIM : 108044100030
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H/2011 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini, saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Agustus 2011
Penulis
Ade Uswatul Jamiliyah
ii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Dengan taufik dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini, yang berjudul “UPAYA PREVENTIF PENGHULU DALAM
MENGURANGI PELAKU PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (Studi Di Desa
Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)”.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kewenangan
yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun
skripsi ini.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal Al-
Syakhsiyyah, kemudian Hj. Rosdiana, MA., selaku Sekretaris Jurusan Ahwal
Al-Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Hj. Ummu Hanah Yusuf, Lc, MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
iii
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan yang banyak membantu
penulis memfasilitasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Kepala dan Sekretaris Desa serta seluruh warga Desa Ciwalat yang telah
memberikan izin kepada saya untuk melaksanakan penelitian ini dan banyak
membantu dalam memberikan data sehingga saya dimudahkan dalam
penyusunan skripsi.
6. Direktur dan segenap staf Rumah Sakit Syarif Hidayatullah yang telah
memberikan izin kepada saya dan membantu dalam melengkapi data sehingga
saya dimudahkan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Teristimewa kepada Ayahanda Kasnan Suharya dan ibunda Fathiyah Sadim,
S.Ag, serta seluruh keluarga yang sangat saya cintai dan sayangi. Terima kasih
banyak atas bantuan kalian terutama dari segi keuangan, dan dukungan kalian
yang tidak terlupakan. Terima kasih juga atas doa dan pengorbanan kalian
yang tidak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu sehingga
penulis menyelesaikan belajar di sini dengan selamat dan sempurna. Semoga
Allah SWT menempatkan kalian di tempat orang-orang yang sholeh dan
mulia. Tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan
sebuah kejayaan.
8. Sahabat-sahabat saya: Yossi Febrina yang selalu menemani dalam proses
penyusunan, Hj. Ati Atiyaturohmah yang selalu memberikan masukan dan
motivasi. Muhammad Reza Ramadhan, Maya Nursita, Andini Hafizhotin
iv
Nida, Nurul Hikmah, Sari Eka Lestari Putri, Ramadhani Eka Sri Utami,
Ahmad Fauzan, Rif’ati Imelda Fasya, Defi Uswatun Hasanah, Siti Ummu
Kulsum, Wardhatul Jannah, Restya, Siti Goniah dan Aniah Nasution yang ikut
serta dalam memberi semangat. Dan tidak lupa pula kepada teman-teman
angkatan 2007/2008 jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah, teman-teman KKN 57
Rajawali, terima kasih atas kebersamaan kalian dalam menemani penulis
selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang
positif kepada para pembaca. Penulis amat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi
ini banyak kekurangan, kekhilafan, dan kesalahan. Maka kritik dan saran yang
bersifat konstruktif sangat diharapkan dalam rangka perbaikan, dan kesempurnaan
tulisan ini.
Kepada Allah SWT, penulis memohon dan mendoakan semoga jasa baik yang
telah kalian sumbangkan menjadi ladang amal sholeh dan mendapat balasan yang
setimpal dari Allah SWT, Amin.
Ciputat, 23 Agustus 2011
Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8
D. Metode Penelitian ................................................................................... 10
E. Review Studi Terdahulu ......................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 15
BAB II: LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur ................................................ 16
B. Dasar Hukum Perkawinan ...................................................................... 30
C. Rukun dan Syarat Perkawinan ................................................................ 34
D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ............................................................ 44
E. Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Islam ............................................ 47
BAB III: GAMBARAN UMUM DESA CIWALAT
A. Sejarah Singkat Desa Ciwalat................................................................. 52
B. Letak Geografis Desa Ciwalat ................................................................ 54
C. Pandangan Warga Desa Ciwalat Tentang Perkawinan Di Bawah Umur 60
vi
BAB IV: ANALISIS DATA
A. Faktor - faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan
Di Bawah Umur ..................................................................................... 64
B. Upaya Penghulu Desa Ciwalat dalam Mengurangi
Pelaku Perkawinan di Bawah Umur ................................................. 67
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 73
B. Saran-Saran ............................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 75
LAMPIRAN
1. Wawancara ................................................................................................. 80
2. Surat Observasi Untuk Kepala Desa Ciwalat ............................................. 88
3. Surat Rekomendasi Izin Penelitian Dari Desa Ciwalat .............................. 89
4. Surat Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ............................. 90
5. Surat Wawancara Untuk RS. Syarif Hidayatullah (dr. Kandungan) .......... 91
6. Surat Persetujuan Wawancara Dari RS. Syarif Hidayatullah .................... 92
7. Struktur Organisasi Pemerintah Desa Ciwalat ........................................... 93
8. Foto Wawancara ......................................................................................... 94
vii
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Kepala Desa / Lurah Desa Ciwalat ................................................... 53
2. Tabel 2 Batas Wilayah ................................................................................... 54
3. Tabel 3 Jumlah Penduduk .............................................................................. 55
4. Tabel 4 Tingkat Pendidikan ........................................................................... 57
5. Tabel 5 Sarana Pendidikan ............................................................................. 58
6. Tabel 6 Agama Penduduk .............................................................................. 59
7. Tabel 7 Mata Pencaharian Penduduk ............................................................. 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh manusia sejak zaman
dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang bahkan sampai akhir zaman nanti.
Oleh karena itu, perkawinan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan
oleh masyarakat dan di dalam percaturan hukum. Untuk itu perkawinan begitu
penting guna tercipta suatu rumah tangga yang harmonis, tentu mempunyai
aturan, arti dan hakikat. Semua itu perlu bahkan harus dimengerti dan dipahami
oleh setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.
Perkawinan itu sendiri menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn
Muhammad Al Husainy adalah ungkapan dari sebuah akad yang mencakup
rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu untuk menghalalkan hubungan suami istri.1
Sedangkan menurut Abi Syuja‟ perkawinan merupakan sebuah akad yang
membolehkan hubungan suami istri dengan lafadz nikah “zawwaja”.2 Dengan
akad nikah, suami istri memiliki hak untuk memiliki. Namun, hak milik itu hanya
bersifat milk al-Intifa‟ (hak milik untuk menggunakan), bukan hak milk al-
Muqarabah (hak milik yang bisa dipindah tangankan seperti kepemilikan benda)
dan bukan pula milk al-Manfa‟ah (kepemilikan manfaat yang bisa dipindah
1 Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al-Husainy Al-Husny Al-Damsyiqy Al-
Syafi‟iy, Kifayat Al-Akhyar Fi Halli Ghoyat Al-Ikhtishor, (Beirut: Daar Al-Fikr), juz II, h. 36
2 Abi Syuja‟, Al-Iqna‟, (Semarang: Maktabah Alawiyyah), juz II, h. 115
2
tangankan).3 Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan para ahli fiqh,
diantaranya menurut ulama Hanafiyah mengatakan bahwa nikah adalah akad yang
disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan.4 Sebagaimana Allah telah
menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat menjalin hubungan
satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan serta hidup dalam
kedamaian.5
Ketentraman di sini tidak dimaksudkan dengan ketentraman dorongan
seksual yang membara, justru ketenangan gejolak batin dalam wujud manusia itu
yang dengannya ia merasakan kebahagiaan yang wajib disyukuri, dan juga
merasakan kekurangan yang harus disempurnakan. Inilah yang dimaksud dengan
ketentraman rohani sebagai salah satu syarat terciptanya sebuah kebahagiaan.6
Oleh karena itu, perkawinan merupakan sunnah Nabi saw sebagaimana telah
disebutkan dalam penggalan hadis Nabi saw, yang artinya “dan aku mengawini
wanita-wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka tidak
termasuk umatku”.7 Dalam penggalan arti hadis di atas dimaksudkan agar tidak
3 Abdul Basit Mutawwaly, Muhadarah Fi Al-Fiqh Al-Muqaran, (Mesir: t.p.,t.t.), h. 120
4 Abd Al-Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh Al-Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Daar Al-Fikr,
2002), juz IV, h. 3
5 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet.
Ke-1, h. 1
6 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
PT. Bina Aksara, 1987), cet. Ke-1, h. 2
7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.
Ke-2, h. 43
3
berlebihan dalam beribadah (melebihi Nabi) karena dapat menimbulkan
kekafiran.8
Kemudian dari perkawinan muncul pula hubungan orang tua dengan anak-
anaknya. Serta timbul hubungan kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena
itu, perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat besar, baik dalam hubungan
kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat serta
bernegara pada umumnya. Karena bila dilihat dari segi sosial suatu perkawinan,
dalam masyarakat setiap bangsa ditemui suatu penilaian yang umum, bahwa
orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang
lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.9 Maka hendaklah segenap bangsa
Indonesia mengetahui seluk-beluk berbagai peraturan hukum perkawinan, agar
mereka dapat memahami dan melangsungkan perkawinan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.10
Namun, berbeda halnya dengan sebagian masyarakat Desa Ciwalat
Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi, yang masih banyak melakukan
perkawinan di bawah umur tanpa memperhatikan dampak atau akibat yang akan
muncul serta akan ditimbulkan oleh sebuah perkawinan tersebut. Hal ini
merupakan masalah dalam masyarakat yang perlu dicarikan jalan pemecahannya.
8 Muhammad ibn Ismail Al-San‟any, Subul Al-Salam Syarh Bulug Al-Maram, (Beirut: Daar
Al-Fikr, 1991), juz III, h. 213-214
9 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), cet. Ke-5, h. 48
10
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 6
4
Masyarakat kadang-kadang kurang memperhatikan keberadaan batas
umur, padahal untuk melangsungkan suatu perkawinan batas umur adalah hal
yang sangat penting, hal ini dikarenakan perkawinan tidak saja menghendaki
kematangan biologis tetapi juga kematangan psikologis. Hal tersebut berdasarkan
kekhawatiran para psikolog tentang perkawinan di bawah umur akan menemui
kegagalan karena sangat tergantung pada keadaan jiwa seseorang.11
Kenapa demikian? Karena dari perkawinan timbul suami istri yang
kemudian melahirkan sebuah tanggung jawab yang berupa hak dan kewajiban, hal
inilah yang cukup sulit untuk dilaksanakan, apalagi diantara keduanya atau salah
satunya kurang begitu memahami tentang hakikat serta tujuan dan hikmah dari
sebuah perkawinan, yaitu terbentuknya rumah tangga yang harmonis, sejahtera
dan bahagia.12
Melainkan yang akan terjadi hanyalah perselisihan dan kehidupan
dalam berumah tangga tidak bahagia dan tidak harmonis bahkan bisa berakhir
pada perceraian.
Dari hasil pengamatan dan dari data yang dihasilkan, menunjukkan bahwa
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur
khususnya yang terjadi di Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten
Sukabumi.
11
Musifin As‟ad, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. Ke-
2, h. 30
12
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),
cet. Ke-3, h. 22
5
Bahwa yang melakukan perkawinan di bawah umur itu banyak sekali
mengalami gangguan dalam berumah tangga, diantaranya sebagai berikut:
1. Sering terjadi percekcokan, sehingga dalam mengarungi kehidupan rumah
tangga tidak harmonis.
2. Kebanyakan orang yang melakukan perkawinan di bawah umur menjadi
beban bagi orang tuanya, dikarenakan belum bisa mencari nafkah.
Dan bila dilihat dari sudut kesehatan, bagi orang yang melakukan
perkawinan di bawah umur jika terjadi kehamilan pada seorang perempuan yang
belum dewasa, tubuh dan alat kandungannya belum siap betul untuk
menyelengarakan tugas tersebut. Sehingga beban yang berat oleh yang
bersangkutan dengan kehamilan dan persalinan dapat diperolehnya. Akan tetapi,
dalam keadaan demikian, kemungkinan terjadi gangguan pada kehamilan dan
persalinan tersebut.
Sehubungan dengan masalah perkawinan di bawah umur, maka dalam
penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menurut
prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat.13
13 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. Ke-
1, h. 8
6
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 7
ayat (1) menyatakan: ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”.
Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan: “Apabila pihak pria dan wanita belum
mencapai umur tersebut, maka untuk melangsungkan perkawinan diperlukan
dispensasi dari Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
dari pihak pria maupun pihak wanita”.14
Dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan pada pasal 15 ayat (1) menyatakan: “Untuk kemaslahatan keluarga
dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.15
Untuk mengurangi permasalahan-permasalahan yang muncul, maka harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.
Karena batas umur dalam perkawinan mempunyai makna yang sangat penting,
yaitu agar dapat dicegahnya praktek perkawinan di bawah umur, seperti halnya
yang terjadi di Desa-desa, sehingga menimbulkan banyak dampak atau akibat
yang bersifat negatif.
14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Bandung:
Citra Umbara, 2007), cet. Ke-1, h. 5
15
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), cet. Ke-5,
h. 117
7
Berkenaan dengan hal tersebut, untuk mengurangi lebih banyak lagi
terjadinya perkawinan di bawah umur, maka dalam hal ini penghulu yang
mempunyai fungsi sebagai orang yang ditunjuk oleh masyarakat untuk
melangsungkan perkawinan, harus cermat dan tanggap serta teliti terlebih dahulu
terhadap mereka yang akan melangsungkan perkawinan, terutama sekali dengan
persyaratan-persyaratan yang mereka ajukan, dengan demikian besar harapan
kemungkinan terjadinya kekeliruan dapat dihindari.
Begitu pula upaya yang dilakukan oleh penghulu harus benar-benar
memberikan dampak positif, artinya dampak yang dapat memberikan kesadaran
kepada masyarakat bahwa perkawinan membawa resiko yang sangat besar, lebih-
lebih bila perkawinan itu dilakukan pada usia belum matang untuk melakukan
perkawinan.
Dari latar belakang di atas, penulis mencoba mengungkap masalah-
masalah tersebut dan mudah-mudahan dapat mengatasi permasalahan perkawinan
di bawah umur. Karena dengan terjadinya perkawinan tersebut dapat
menimbulkan banyak dampak terhadap lingkungan sekitar. Sehingga penulis
merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan mencoba mengabadikannya dalam
karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul:
“UPAYA PREVENTIF PENGHULU DALAM MENGURANGI PELAKU
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR” (Studi di Desa Ciwalat, Kecamatan
Pabuaran, Kabupaten Sukabumi).
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Setelah mengungkapkan latar belakang masalah sebagaimana yang
telah diuraikan di atas, maka penulis membatasi permasalahan pembahasan
pada aspek-aspek sebagai berikut:
a. Upaya preventif penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di
bawah umur.
b. Perkawinan di bawah umur di sini adalah perkawinan yang dilaksanakan
sebelum mencapai usia 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis rumuskan
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah
umur dilaksanakan sebagian masyarakat Desa Ciwalat, Kecamatan
Pabuaran, Kabupaten Sukabumi ?
2. Bagaimana upaya penghulu Desa Ciwalat dalam mengurangi pelaku
perkawinan di bawah umur ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai
berikut:
9
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perkawinan di bawah umur dilaksanakan sebagian masyarakat Desa
Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.
2. Untuk mengetahui upaya penghulu Desa Ciwalat dalam mengurangi
pelaku perkawinan di bawah umur.
Selain itu, penulis juga mempunyai tujuan formal yaitu membuat
sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi, yang merupakan salah satu
persyaratan mendapat gelar Sarjana Syariah (S.Sy) yang telah ditentukan oleh
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, bagi mahasiswa
dan mahasiswi yang akan menyelesaikan studinya di Fakultas Syariah dan
Hukum khususnya Konsentrasi Peradilan Agama.
Sedangkan tujuan non formalnya yaitu untuk menambah ilmu
pengetahuan dibidang ilmu agama terutama yang berkaitan dengan masalah
yang sedang dibahas ini, karena dengan membahas masalah ini, penulis
berusaha semaksimal mungkin untuk membaca dan memahami buku-buku
yang berkaitan dengan masalah perkawinan di bawah umur.
Selanjutnya penulis juga mempunyai tujuan untuk memberikan
sumbangsinya terhadap Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten
Sukabumi dalam upaya meminimalisir pelaku perkawinan di bawah umur
dengan cara mensosialisasikan ke masyarakat Desa tersebut dalam bentuk
seminar-seminar tentang pengaruh perkawinan di bawah umur.
10
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu dapat meminimalisir pelaku
perkawinan di bawah umur di Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten
Sukabumi.
D. Metode Penelitian
Untuk memudahkan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis
menggunakan berbagai metode di antaranya sebagai berikut:
1. Metode Pengumpulan Data
a. Field Research (riset lapangan) yaitu penelitian yang dilakukan dalam
kancah kehidupan yang sebenarnya. Langkah pertama dalam penulisan
atau penelitian ini adalah menentukan populasi, dimana yang dijadikan
obyek penelitian adalah kantor Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran,
Kabupaten Sukabumi.
b. Library Research (riset perpustakaan) yaitu penelitian yang bertujuan
untuk mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam-
macam materi yang terdapat di ruang perpustakaan.16
Untuk mengambil dan mendapatkan data serta informasi di lapangan
(tempat penelitian) penulis mempergunakan metode-metode pengumpulan data
sebagai berikut:
16
Kartini Kartono, Pengantar Metode Riset Sosial, (Bandung: Alumni, 1980), cet. Ke-1, h.
28
11
1. Metode Interview
Interview adalah: ”Cara pengumpulan data yang dilakukan dengan bertanya
dan mendengarkan jawaban langsung dari sumber utama data”.17
Dalam
interview ini penulis menggunakan interview terstruktur maksudnya adalah
penulis membawakan kerangka-kerangka pertanyaan untuk disajikan kepada
penghulu, pejabat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan anggota
masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah umur.
2. Metode Observasi
Observasi adalah: ”Pengamatan-pengamatan dan pencatatan-pencatatan
dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki”. Di sini penulis hanya
melakukan pengamatan terhadap obyek yaitu penghulu, pejabat desa, tokoh
masyarakat, tokoh agama dan anggota masyarakat yang melakukan
perkawinan di bawah umur.
3. Metode Penulisan
Dari data-data yang diperoleh di atas, kemudian disusun secara teratur dan
sistematis lalu dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian
dalam karya ilmiah ini adalah penelitian kualitatif.18
Adapun teknik penulisan,
penulis menggunakan buku ”Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.
17
Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Sekolah Tinggi
Managemen), h. 186
18
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. Ke-1, h. 21
12
E. Review Studi Terdahulu
Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penulis tidak
melakukan plagiasi atau duplikasi maka penulis menjabarkan review studi
terdahulu dalam bentuk tabel berikut ini:
No. Identitas Substansi Pembeda
1. Riana Maruti,
104044201479, SJAS,
2009, Pengaruh
Perkawinan di Bawah
Umur terhadap
Pembentukan
Keluarga Sakinah
(Studi pada
Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur).
Dalam skripsinya
ditulis bahwa tidak
setiap laki-laki dan
perempuan yang
melakukan perkawinan
di bawah umur tidak
dapat membentuk
keluarga sakinah
(Perkawinan di Bawah
Umur tidak
Mempengaruhi
Pembentukan Keluarga
Sakinah di Kecamatan
Cakung, Jakarta
Timur).
Dalam skripsi yang
akan saya tulis tidak
membahas tentang
pengaruh perkawinan
di bawah umur,
melainkan lebih
kepada bagaimana
upaya penghulu dalam
mengurangi pelaku
perkawinan di bawah
umur di Desa Ciwalat,
Kecamatan Pabuaran,
Kabupaten Sukabumi.
13
2.
Renny Retno Waty,
205044100578, 2010,
Pengaruh Pernikahan
di Bawah Umur
terhadap
Kesejahteraan Rumah
Tangga (Studi Kasus
pada Masyarakat Desa
Tanjung Sari,
Kecamatan Cijeruk,
Kabupaten Bogor).
Dalam skripsinya
ditulis bahwa
pernikahan di bawah
umur yang terjadi pada
masyarakat Desa
Tanjung Sari,
Kecamatan Cijeruk,
Kabupaten Bogor dapat
mempengaruhi terhadap
kesejahteraan rumah
tangga, Adapun
penyebab banyaknya
pernikahan tersebut
karena faktor ekonomi
yang lemah dan
kebiasaan atau adat-
istiadat masyarakat
setempat.
Dalam skripsi yang
akan saya tulis tidak
membahas tentang
pengaruh pernikahan di
bawah umur,
melainkan lebih
kepada bagaimana
upaya penghulu dalam
mengurangi pelaku
perkawinan di bawah
umur di Desa Ciwalat,
Kecamatan Pabuaran,
Kabupaten Sukabumi.
14
3. Sa‟dah,
106044101372, 2010,
Pelaksanaan Nikah di
Bawah Umur dan
Dispensasi Nikah
pada Masyarakat
Kelurahan
Margahayu, Bekasi
Timur.
Dalam skripsinya
ditulis bahwa di
Kelurahan Margahayu,
Bekasi Timur banyak
masyarakat yang
melakukan nikah di
bawah umur dan tidak
mendapatkan dispensasi
nikah dari Pengadilan
Agama setempat,
dikarenakan kurang
pengetahuan tentang
dispensasi nikah.
Adapun penyebab
banyaknya pernikahan
tersebut karena faktor
ekonomi, dorongan
keluarga, dan
kecelakaan.
Dalam skripsi yang
akan saya tulis tidak
membahas tentang
pelaksanaan nikah di
bawah umur yang tidak
mendapatkan
dispensasi nikah dari
pengadilan, melainkan
lebih kepada
bagaimana upaya
penghulu dalam
mengurangi pelaku
perkawinan di bawah
umur di Desa Ciwalat,
Kecamatan Pabuaran,
Kabupaten Sukabumi.
15
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab Pertama yaitu: Pendahuluan, yang di dalamnya meliputi: Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu
dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua yaitu: Landasan Teori, yang di dalamnya membahas: Pengertian
Perkawinan di Bawah Umur, Dasar Hukum Perkawinan, Rukun
dan Syarat Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan dan
Prinsip-prinsip Perkawinan menurut Islam.
Bab Ketiga yaitu: Gambaran Umum Desa Ciwalat, yang di dalamnya
membahas: Sejarah Singkat Desa Ciwalat, Letak geografis Desa
Ciwalat dan Pandangan warga Desa Ciwalat tentang Perkawinan
di Bawah Umur
Bab Keempat yaitu: Analisis Data, yang di dalamnya membahas: Faktor-faktor
yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur dan
Upaya Penghulu Desa Ciwalat dalam Mengurangi Pelaku
Perkawinan di Bawah Umur.
Bab Kelima yaitu: Penutup, Kesimpulan dan saran-saran.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Perkawinan disebut juga “pernikahan”,
berasal dari kata nikah (nakaha - yankihu - nikaahan) yang menurut bahasa
artinya mengumpulkan (al-Dlammu) atau bersetubuh (al-Wathu).2
Dalam hukum Islam, terdapat beberapa definisi nikah, diantaranya yaitu:
Definisi nikah menurut bahasa
“Nikah menurut bahasa yaitu mengumpulkan dan bersetubuh, atau merupakan
ibarat untuk menghalalkan hubungan suami istri dengan akad secara
keseluruhan”.
Definisi nikah menurut istilah
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005), cet. Ke-3, edisi ketiga, h. 518. 2 Syaikh Zakariyya Al-Anshoriy, Haasyiyat Al-„Allamat Al-Syaikh Sulaiman Al-Jamal „Ala
Syarh Al-Manhaj, (Beirut: Daar al-Fikr), juz IV, h. 115 3 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuh, (Beirut: Daar al-Fikr, 1989), juz VII,
h. 29 4 Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al-Husainy Al-Husny Al-Damsyiqy Al-
Syafi‟iy, Kifayat Al-Akhyar Fi Halli Ghoyat Al-Ikhtishor, h. 36
17
“Nikah menurut syara‟ yaitu ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari
rukun-rukun dan syarat-syarat, yang dengan akad tersebut maka dibolehkan
bersetubuh”.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan kata nikah dengan:
“Nikah menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan
bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan
bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.
Abu Yahya Zakariya al-Anshory mendefinisikan kata nikah dengan:
“Nikah menurut istilah yaitu akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna
dengannya ”.
Di kalangan ulama fikih, berkembang tiga macam pendapat tentang arti
lafaz nikah, yaitu:7
Pertama: Nikah menurut arti aslinya (arti hakikat) adalah bersetubuh, sedangkan
menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal
hubungan kelamin antara pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi.
Kedua: Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal
5 Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh, h. 29
6 Abu Yahya Zakariya Al-Anshory, Fath Al-Wahhab, (Singapura: Sulaiman Mar‟iy), juz II, h.
30
7 Abd Al-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh „Ala Al-Mazahib Al-Arba‟ah, h. 6
18
hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah
bersetubuh; demikian menurut golongan Syafi‟iyah dan Malikiyah. Ketiga:
Nikah, bersyarikat artinya antara akad dan setubuh; demikian menurut Abu al-
Qasim az-Zajjad, Imam Yahya, dan Ibnu Hazm.
Beberapa arti nikah di atas, pada hakikatnya tidak ada perbedaan
kalaupun ada perbedaan hanya pada redaksinya saja. Dalam hal ini, jumhur
ulama sependapat, bahwa nikah merupakan akad yang diatur oleh agama, untuk
memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan
seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.8
Perkawinan adalah perjanjian perikatan antara pihak seorang pria dengan
pihak seorang wanita untuk melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah
tangga, melanjutkan keturunan sesuai ketentuan agama.9
Pernikahan adalah akad yang menimbulkan akibat hukum yaitu
menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong
menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.10
Dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
8 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003),
jilid 1, cet. Ke-1, h. 116
9 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1987), cet. Ke-2, h. 8
10
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), cet. Ke-1, h. 3
19
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.11
Pengertian perkawinan yang tercantum dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berbeda dengan pengertian
perkawinan menurut hukum perdata (B.W.), karena di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (B.W.) disebutkan bahwa
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungannya dengan keperdataan.12
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan
menurut hukum perdata adalah suatu ikatan hukum antara seorang pria dan
seorang wanita yang diakui sah oleh Undang-Undang Hukum Perdata (negara)
dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal.13
Suatu ikatan perkawinan akan dianggap sah oleh negara, apabila
perkawinan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terutama dalam hal batas usia
perkawinan yang tercantum dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan
11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, h. 2
12
Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), (Jakarta: Visimedia, 2008),
cet. Ke-2, h. 8
13
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, h. 4
20
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.14
Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan di atas, maka asumsi penulis adalah yang dimaksud dengan
perkawinan di bawah umur dalam konteks Negara merupakan sebuah
pelanggaran terhadap batas minimal usia menikah yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Perkawinan pasal 7 ayat (1) yaitu pihak laki-laki umur 19
(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.
Kedewasaan seseorang, apabila dilihat dari berbagai ketentuan hukum
yang berlaku sangatlah beragam. Umumnya ketentuan yang berlaku atas
kedewasaan seseorang didasarkan pada status perkawinan yang pernah dilakukan
dan usia. Seseorang dianggap dewasa, selain karena ia sudah menikah juga
didasarkan pada usia yang menurut ketentuan hukum sudah dewasa. Kedewasaan
berdasarkan usia ini merupakan salah satu parameter yang bersangkutan
telah dianggap cakap dan berhak atas apa yang diatur oleh ketentuan hukum.
Dalam hukum, kedewasaan berdasarkan usia merupakan salah satu unsur
terpenting bagi seorang subyek hukum. Meskipun terdapat upaya dispensasi atau
toleransi atas besaran usia yang disahkan oleh pengadilan, namun subyek hukum
dapat dikatakan belum cakap hukum apabila yang bersangkutan belum memiliki
14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, h. 5
21
kecukupan usia. Misalnya dalam hukum perdata kita, salah satu syarat sahnya
perjanjian menurut Pasal 1320 BW adalah adanya pihak-pihaknya yang cakap
(berkemampuan) untuk melakukan perbuatan hukum yang salah satu
parameternya adalah kecukupan usia. Dengan usia yang belum mencukupi
seseorang tidak dapat melakukan perbuatan hukum perdata dengan sendirinya
(kecuali sudah menikah atau disahkan pengadilan).15
Adapun besaran usia dewasa menurut berbagai ketentuan hukum yang
berlaku di Indonesia, yaitu:
1. Menurut konsep Hukum Perdata
Pendewasaan ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan
pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya
harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan
penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk
pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal
421 dan 426 KUHPerdata).16
Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran
atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan
Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya
15
Tim Bedah Hukum, Kedewasaan Seseorang Berdasarkan Besaran Usia Menurut Berbagai
Ketentuan Hukum, (Diakses dari http://bedahukum.blogspot.com/2009/12/kedewasaan-seseorang-
berdasarkan.html), pada tanggal 22 September 2011 pukul 08.40 WIB
16
Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), h. 132-133
22
pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama
dengan status hukum orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan
perkawinan izin orang tua tetap diperlukan.
Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang
dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah
mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan
ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja
sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan
menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan
dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status
hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu. 17
2. Menurut konsep Hukum Pidana
Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang
disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21
tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak
dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun,
yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan
telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup
17
Diakses dari (http://72legalogic.wordpress.com/2009/03/08/dewasa-menurut-hukum-positif-
indonesia/), pada tanggal 22 September 2011 pukul 08.29 WIB
23
umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur
21 tahun dan belum kawin sebelumnya. 18
3. Menurut konsep Peraturan Lalu Lintas
Dalam peraturan Undang-Undang Lalu Lintas (UU No. 22 Tahun
2009) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan usia dewasa adalah usia yang
sudah mencapai 17 tahun. Sebagaimana bunyi Pasal 81 ayat 2: "Syarat usia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai
berikut:
a. Usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin
Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;
b. Usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I, dan
c. Usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.
Sedangkan menurut penganut aliran psikoanalisis, pada hakikatnya alam
perkembangan usia remaja adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu untuk
secara aktif mengatasi stress dan mencari jalan keluar baru dari berbagai
masalah. Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap
perkembangan remaja, yaitu: 19
18
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), (Surabaya: Kesindo, 2008), cet. Ke-2, h. 97-98
19
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), h.
24-25
24
1. Tahap remaja awal (12-15 tahun)
Pada tahap ini, seorang remaja masih terheran-heran akan perubahan-
perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang
menyertai perubahan-perubahan itu. Kepekaan yang berlebih-lebihan
ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan
para remaja sulit untuk mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.
2. Tahap remaja pertengahan (15-18 tahun)
Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau
banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu
mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-
sifat yang sama dengannya.
3. Tahap remaja akhir (19-22 tahun)
Pada tahap ini, merupakan masa konsolidasi menuju periode dewasa dan
ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini:
a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek;
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam
pengalaman-pengalaman baru;
c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi;
d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain;
e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum (the public).
25
Selain itu, perkawinan di bawah umur pun masuk dalam kategori
ekploitasi anak, sepanjang hal itu tidak mengikuti ketentuan dan hukum yang
berlaku. Seorang anak yang masih berada dalam asuhan orang tuanya seharusnya
mendapatkan kesempatan untuk belajar dan kehidupan yang layak. Sedangkan
perkawinan di bawah umur jelas akan merampas semua hak anak di atas.
Seorang anak yang seharusnya mendapatkan kesempatan belajar yang layak
justru harus dipaksa menjalani sebuah perkawinan yang masih belum saatnya dia
pikul. Usia anak-anak adalah usia mendapatkan pendidikan seluas-luasnya,
bukan membawa beban kehidupan.20
Kebijakan pemerintah tersebut, dalam menetapkan batas minimal usia
pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini
dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik,
psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan di bawah umur
mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.
Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan di bawah umur
dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang
masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat
pernikahan di bawah umur dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak
20
Nasaruddin Umar, Refleksi Penerapan Hukum Keluarga di Indonesia, diakses dari
(http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2009/02/refleksi-penerapan hukumkeluarga-
di-indonesia_nasaruddin-umar.pdf ), tanggal 29 Juni 2011 pukul 10.13 WIB
26
dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas
umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.21
Akan tetapi, dalam konteks agama Islam yang dimaksud dengan
perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh salah satu
atau kedua calon mempelai (laki-laki dan perempuan) yang belum mencapai usia
baligh. Dalam menyikapi hal tersebut, terdapat sekelompok ulama (Ibnu
Syubrumah dan Abu Bakr al Ashom) yang melarang perkawinan anak-anak
sebelum mereka sampai pada usia kawin (baligh).22
Mereka beralasan dengan
firman Allah:
۴
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”. (Q.S. An-
Nisa: 4 : 6)
Apabila dilihat dari kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa tidak
ada ketentuan mengenai batas minimal usia menikah baik untuk laki-laki maupun
perempuan, hanya saja yang menjadi ukuran dibolehkannya seseorang menikah
adalah sudah mencapai usia baligh.
21 Yusuf Fatawie, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara, diakses dari
(http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1240:pernikahan
-dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara&catid=2:islam-kontemporer&Itemid=57), tanggal 29 Juni
2011 pukul 09.06 WIB
22
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh, h. 179
27
Adapun bagi laki-laki ditandai dengan mendapat mimpi basah ketika tidur
dan wanita ditandai dengan keluarnya darah haid (menstruasi). Tidak
mengherankan, wacana perkawinan di bawah umur (nikah al-shaghirah) justru
berkonotasi positif, jika hal itu dilakukan atas pertimbangan kemaslahatan moral
dan agama. Hanya saja fuqaha menggarisbawahi, gadis-gadis yang dikawinkan di
usia kanak-kanak itu baru boleh “digauli”, jika mereka telah mengalami
menstruasi (haid).23
Dasarnya adalah hadis perkawinan Nabi Muhammad saw dengan „Aisyah
r.a. yang dinikahi di usia 6 tahun, dan baru “dikumpuli” ketika telah berusia 9
tahun (usia haid), sebagai berikut:
23
Yusuf Hanafi, Perkawinan Anak di Bawah Umur (Nikah al-Shaghirah) dalam Islam: Studi
tentang Kontroversi Hadis Perkawinan „Aisyah, diakses dari (http://eprints.sunan-
ampel.ac.id/83/1/Yusuf_Hanafi.pdf), tanggal 29 Juni 2011 pukul 09.13 WIB
28
“Diriwatkan dari „Aisyah r.a. dia telah berkata: “Rasulullah saw telah
mengawini aku ketika aku berumur enam tahun dan tinggal bersamaku pada
waktu aku berumur sembilan tahun”. Aisyah menyambung lagi: “kami telah
berhijrah ke Madinah dan aku demam panas selama sebulan sehingga rambutku
memanjang sampai bahu. Ketika itu ibu kandungku, Ummu Ruman, datang
menemuiku yang sedang berada di atas buaian bermain bersama teman-
temanku, lalu dia memanggilku dan aku segera menemuinya sedangkan aku
tidak mengetahui apa yang hendak dia lakukan terhadapku. Ibuku memegang
tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumah sehingga dia
memberhentikanku di pintu dan aku melepaskan lelahku sehingga keadaanku
menjadi tenang. Selepas itu ibuku membawa aku masuk ke dalam rumah. Tiba-
tiba seorang wanita Anshor menyambut kami dengan mesra serta mendoakan
untuk pengantin supaya diberi kesenangan dan keberkatan. Ibuku menyerahkan
aku kepada mereka lalu mereka membelai kepalaku dan menghiasi diriku
secantik mungkin. Rasulullah saw tidak menghampiriku secara tiba-tiba tetapi
perempuan-perempuan Anshor menyerahkan diriku kepada beliau ketika waktu
dhuha”. (H.R. Bukhori dan Muslim)
Meskipun hadis di atas menyebutkan bahwa dahulu diantara anak
perempuan usia 9 (sembilan) tahun identik sudah baligh atau dewasa, karena
sudah mendapat haid (menstruasi). Akan tetapi tidak semua perempuan, namun
pada saat ini batas usia dewasa bagi mayoritas anak perempuan lebih cepat
dibandingkan dengan anak perempuan zaman dahulu, bahkan di usia SD kelas 5
atau 6 sudah ada tanda dewasa.
Cepatnya masa puber anak perempuan saat ini diduga karena terkait
obesitas yang memang berhubungan erat dengan perkembangan seksual yang
lebih dini. Menurut Dr. Marcia E. Herman-Giddens, seorang peneliti di
24
Abu Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hijaj Ibnu Muslim Al-Qusyairi Al-Nisaburi, Shahih Al-
Muslim, (Beirut: Daar Al-Jaeyl), juz 4, h. 141
29
University of North Carolina, Chapel Hill menduga bahwa bahan kimia
lingkungan seperti makanan cepat saji (instan) yang menyerupai efek estrogen
dapat mempercepat masa pubertas.25
Di Indonesia, rata-rata usia dewasa anak perempuan dimulai saat berumur
8 (delapan) hingga 10 (sepuluh) tahun. Pada masa ini memang pertumbuhan dan
perkembangan berlangsung dengan cepat. Selain itu, seorang anak akan
menunjukkan tanda-tanda awal dari pubertas, seperti suara yang mulai berubah,
tumbuhnya rambut-rambut pada daerah tertentu dan payudara membesar untuk
seorang gadis. Untuk seorang anak perempuan, tanda-tanda itu biasanya muncul
pada usia 10 tahun ke atas dan pada anak laki-laki, biasanya lebih lambat, yaitu
pada usia 11 tahun ke atas.26
Dari sudut pandang yang berbeda, pakar hukum Islam kontemporer
menghendaki terobosan hukum terkait dengan legalitas perkawinan anak di
bawah umur. Mereka melihat bahwa agama pada dasarnya tidak melarang secara
tegas perkawinan di bawah umur, namun juga tidak pernah menganjurkannya,
terlebih jika dilaksanakan tanpa mengindahkan dimensi-dimensi fisik, mental,
dan hak-hak anak. Adapun perkawinan historis Nabi saw dengan „Aisyah r.a. itu
25
Cincinnati, Anak Perempuan Sekarang Sudah Puber di Usia 7-8 Tahun, diakses dari
(http://faktabukanopini.blogspot.com/2011/01/anak-perempuan-sekarang-sudah-puber-di.html),
tanggal 20 Juli 2011 pukul 06.26 WIB. 26
Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pubertas, tanggal 22 Agustus 2011 pukul 08.06
WIB.
30
diposisikan sebagai suatu eksepsi (pengecualian) dan kekhususan yang
mengusung tujuan dan hikmah tertentu dalam agama.27
B. Dasar Hukum Perkawinan
Al-Qur‟an dan hadits merupakan dua sumber hukum yang menjadi
pedoman agama Islam, termasuk dalam perkawinan kedua sumber hukum ini pun
turut dijadikan sebagai pedoman. Sebagaimana dalam firman-Nya telah
disebutkan, yaitu:
۱)28
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
Kami telah memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan”. (Q.S. ar-Ra‟d
: 13 :38)
Dalam hadits Tirmidzi dari Abu Ayyub, Rasulullah saw pernah bersabda:
29
“Empat perkara yang merupakan sunnah para Nabi: Celak, wangi-wangian,
siwak dan kawin”.
27
Yusuf Hanafi, Perkawinan Anak di Bawah Umur (Nikah al-Shaghirah) dalam Islam: Studi
tentang Kontroversi Hadis Perkawinan „Aisyah, diakses dari (http://eprints.sunan-
ampel.ac.id/83/1/Yusuf_Hanafi.pdf), tanggal 29 Juni 2011 pukul 09.13 WIB 28
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: al-
Hidayah, 1998), h. 376 29
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnat, (Mesir: Daar al-Fath Lil i‟lami al-„Arabiy, 1999), juz II, h.6
31
Dalam fakta kehidupan, terkadang ditemukan orang yang ragu-ragu untuk
melakukan kawin, dengan alasan sangat takut memikul beban berat dan
menghindarkan diri dari kesulitan-kesulitan. Islam memperingatkan bahwa
dengan kawin, Allah akan memberikan kepadanya penghidupan yang
berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberikan kekuatan
yang mampu mengatasi kemiskinan. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam
surat al-Nur ayat 32:
۴۲٣٢
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui. (Q.S. al-Nur : 24: 32)
Dalam hadits Bukhori, Rasulullah saw pernah bersabda:
31
30
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 549
31
Muhammad Ibnu Ismail Abu „Abdillah Al-Bukhori Al-Ja‟fi, Shahih Al-Bukhori, (Beirut:
Daar Ibnu Katsir, 1987), juz 17, h. 89
32
“Dari „Abdullah r.a. berkata: “Pada zaman Rasulullah saw, kami adalah
pemuda-pemuda yang tidak memiliki apa-apa. Rasulullah saw berkata kepada
kami: “Wahai para pemuda! Siapa yang mampu berumah tangga, kawinlah!
Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara kehormatan.
Tetapi siapa yang tidak sanggup kawin, berpuasalah, karena puasa itu
merupakan penawar hawa nafsu”. (H.R. Bukhori)
Hadits di atas menjelaskan bahwa perkawinan itu dianjurkan karena
memiliki manfaat yang tidak hanya untuk sendiri melainkan juga untuk keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Bahwa dengan perkawinan tersebut, seseorang
akan terhindar dari hal-hal negatif yang akan menjerumuskan dirinya. Dan jika
seseorang itu tidak sanggup untuk melakukan perkawinan maka diwajibkan
untuk berpuasa, karena dengan berpuasa akan terhindar berbuat zina.32
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
disebutkan bahwa yang menjadi dasar hukum dibolehkannya suatu perkawinan
tercantum dalam Bab 1 Pasal 2 yang berbunyi: 33
Pasal 2
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
32
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
Khitbah, Nikah dan Talak, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. Ke-1, h. 45
33
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, h. 2
33
Dalam pasal 2 ayat 1 yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya yaitu ketentuan perundang-undangan yang
berlaku bagi agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini.
Di kalangan para ulama, mengenai hukum asal perkawinan terdapat
perbedaan pendapat, yaitu sebagai berikut:
1. Pendapat pertama, memandang bahwa menikah hukumnya adalah wajib.
Pendapat ini dipelopori oleh Daud az-Zahiri dan Ibnu Hazm. Alasan mereka
yaitu bahwa fi‟il amar yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan hadits, terutama
pada surat an-Nisa ayat 3 dan surat an-Nur ayat 32 menunjukkan perintah
wajib. 34
2. Pendapat kedua, memandang bahwa menikah hukumnya adalah sunnah
(dianjurkan). Dalilnya adalah bahwa amar dalam ayat (fankihuu) pada surat
an-Nisa ayat 3 dan hadits Bukhori (falyatazawwaj) adalah bentuk amar yang
disebut amar irsyad, yaitu suatu perintah untuk kemaslahatan umat manusia
demi terciptanya suatu ketenangan dan kedamaian di lingkungan sekitarnya.
Demikian menurut jumhur ulama termasuk Imam Syafi‟i. 35
34
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, h. 133
35
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), cet. Ke-1, h. 25
34
Hukum menikah apabila ditinjau dari kondisi seseorang, ada lima macam
yaitu:36
a. Hukum nikah menjadi wajib, bagi orang yang takut akan terjerumus ke dalam
lembah perzinaan jika ia tidak menikah. Karena dalam kondisi seperti ini,
nikah dapat membantunya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan.
b. Hukum nikah menjadi sunnah, bagi orang yang telah mempunyai kemauan
dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin
tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.
c. Hukum nikah bisa menjadi haram, bagi seorang muslim yang belum mampu
memenuhi nafkah batin dan lahir kepada istrinya serta nafsunya pun tidak
mendesak, maka haramlah ia kawin.
d. Hukum nikah menjadi makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan
untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk
menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina
sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang
kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
e. Hukum nikah menjadi mubah atau dibolehkan, bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan perkawinan, tetapi apabila tidak melakukannya
tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan
menelantarkan istri.
36
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnat, h. 10-12
35
C. Rukun dan Syarat Perkawinan
Dalam upacara pernikahan terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari
hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali dan
sebagainya. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada
ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari
hakikat pernikahan, misalnya kedua calon mempelai, dewasa (baligh), berakal
dan sebagainya. 37
1. Rukun Perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas: 38
a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c. Adanya dua orang saksi.
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
2. Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
37
Imam „Alau al-Din Abi Bakr Ibnu Mas‟ud al-Haasaani al-Hanafi, Badaai‟u al-Shonaai‟I
Fi Tartib al-Syarai‟i, (Beirut: Daar al-Fikr), Juz 2, h. 348
38
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke-3, h. 46
36
Adapun syarat-syarat sahnya dapat diperinci, sebagai berikut: 39
a. Syarat-syarat calon pengantin pria.
1) Calon suami beragama Islam.
Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum Islam laki-laki
merupakan pemimpin dalam rumah tangga dan setiap pemimpin harus
ditaati. Oleh karena itu, karena berlaku hukum kebiasaan istri harus
taat kepada suami. Maka dalam memilih calon suami pun hendaknya
menganut agama yang sama, yaitu Islam. Sebagaimana tercantum
dalam surat Al-Mumtahanah: 10, sebagai berikut:
: ۲ :
“…. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu…”( Q.S.Al-Baqarah: 2: 221)
2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3) Orangnya diketahui dan tertentu.
Calon mempelai laki-laki yang akan dinikahi sudah jelas
orangnya, dan merupakan laki-laki pilihan baik untuk calon mempelai
wanita maupun orang tua calon mempelai wanita.
39
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 50
37
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
5) Calon mempelai laki-laki tahu / kenal dengan calon istri, serta tahu
betul calon istri tersebut halal baginya.
6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram.
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
Calon mempelai laki-laki tidak mempunyai istri yang mempunyai
hubungan kerabat atau persusuan dengan calon mempelai wanita, yang jika
calon mempelai laki-laki itu hendak berpoligami dengan calon mempelai
wanita. Maka hal tersebut diharamkan, sebagaimana dalam firman Allah
disebutkan:
۴:
“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara…” (Q.S.An-Nisa: 4: 23)
Dalam kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa diharamkan kepada
laki-laki yang mengumpulkan dua orang wanita mahram secara bersamaan,
seperti antara wanita dan saudara perempuan bapaknya, atau antara wanita
dan saudara perempuan ibunya. 40
40
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat
(Khitbah, Nikah dan Talak), h. 167
38
Adapun wanita-wanita yang haram untuk dinikahi karena nasab, yaitu
sebagai berikut: 41
a) Ibu;
b) Anak perempuan;
c) Saudara perempuan;
d) Bibi dari pihak ibu;
e) Bibi dari pihak ayah;
f) Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan);
g) Anak perempuan saudara perempuan (keponakan).
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat-syarat calon pengantin wanita.
1) Beragama Islam.
Calon mempelai laki-laki muslim hanya dibolehkan menikah dengan wanita
muslimah. Sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah, sebagai berikut:
:۲: ۲
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Q.S.Al-Baqarah: 2: 221)
41
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai
Syariat), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet. Ke-1, h. 156
39
2) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci).
3) Wanita itu tentu orangnya.
Calon mempelai wanita yang akan dinikahi sudah jelas orangnya, dan
merupakan wanita pilihan baik untuk calon mempelai laki-laki maupun orang
tua calon mempelai laki-laki.
4) Halal bagi calon suami.
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa iddah.
6) Tidak dipaksa / ikhtiyar.
7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umroh.
c. Syarat-syarat ijab qobul.
Mengenai lafaz yang digunakan untuk akad nikah, terdapat perbedaan
pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa lafaz nikah menggunakan nikah
atau tazwij, karena dua lafaz tersebut terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah.
Demikian pendapat Imam Syafi‟i dan Hambali. 42
Adapun dalilnya, sebagai
berikut:
Firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 22 dan Al-Ahzab ayat 37
: ۴ :
42
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 57-58
40
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh
ayahmu…” (Q.S. An-Nisa : 4: 22)
:
٣٣:
“….Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
(menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya…”.(Q.S.Al-Ahzab : 33 : 37)
Hadis Nabi Muhammad saw
“Telah diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Abi „Amr kepada Abi Ibrahim, Yunus,
Hasan, Ma‟qil Ibnu Yasar bahwasannya telah tiba saatnya aku menikahkan
saudara perempuanku kepada seorang laki-laki kemudian ia mentalaknya,
sehingga apabila telah habis masa iddahnya maka ia boleh melamarnya
(mengkhitbah) kembali, maka aku berkata kepadanya aku nikahkan kamu, aku
berikan tempat tinggal untukmu, dan aku muliakan kamu…” (H.R. Bukhori)
43
Muhammad Ibnu Ismail Abu „Abdillah Al-Bukhori Al-Ja‟fi, Shahih Al-Bukhori, h. 188
41
Pendapat kedua, mengatakan bahwa akad nikah itu dianggap telah
terlaksana dengan menggunakan lafaz hibah, sedekah, jual beli dan kepemilikan
(malaka).44
Dengan alasan kata-kata ini adalah majaz (kiasan) yang biasa juga
digunakan dalam bahasa sastra atau bahasa yang artinya perkawinan. Demikian
pendapat Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Abu Dawud dan Abu
Tsaur.45
Adapun dalilnya, sebagai berikut:
Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 50
: ٣٣:
“…Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, apabila
Nabi ingin menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua
orang mukmin...” (Q.S.Al-Ahzab : 33: 50)
44
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai
Syariat), h. 114
45
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnat, h. 24
42
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa yang menjadi kekhususan bukan
pada penggunaan kata hibah pada akad nikah, melainkan pada akad nikah
tanpa mahar, sebagaimana ayat lanjutannya. 46
: ٣٣ :(
“… Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada
mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki
supaya tidak menjadi kesempitan bagimu…” (Q.S. Al-Ahzab: 33: 50)
Pendapat ketiga, mengatakan bahwa secara khusus, shighat akad nikah
mempunyai tiga bentuk, yaitu lafaz nikah (pernikahan), zawaj (perkawinan)
dan hibah (pemberian). Tetapi shighat lafaz hibah wajib dibarengi penyebutan
mahar (maskawin) tertentu. Misalnya, “aku berikan kepada engkau putriku
dengan mahar 1.000 dinar” atau dibarengi dengan penyerahan diri (tafwidh),
misalnya “aku berikan kepada engkau putriku ini dengan penuh penyerahan”.
Tidak sah akad nikah yang menggunakan lafaz hibah tidak dibarengi dengan
penyebutan mahar tertentu atau penyerahan diri. 47
Demikian pendapat Imam
Maliki, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Nabi saw, sebagai berikut:
46
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat
(Khitbah, Nikah dan Talak), h. 65 47
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat
(Khitbah, Nikah dan Talak), h. 66
43
“Nabi saw pernah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan,
dan beliau berkata: Sesungguhnya telah kujadikan ia milikmu dengan
(mahar) hafalan Al-Qur‟an yang ada padamu”. (H.R. Bukhori)
Dari ketiga pendapat di atas, yang rojih (tepat) dan biasa digunakan dalam
akad nikah adalah pendapat pertama, yang menggunakan lafaz nikah atau
tazwij. Karena dalam pelaksanaan akad nikah harus dengan ungkapan yang
shahih dan jelas seperti lafaz: zawwajtukaha (aku nikahkan kamu dengannya)
atau ankahtukaha (aku nikahkan kamu dengannya). Dengan demikian, tujuan
melaksanakan akad nikah pun dapat dipahami jelas oleh para saksi yang hadir.
Sementara dalam pendapat kedua dan ketiga, mereka lebih condong kepada
lafaz hibah dalam melaksanakan akad nikah. Dalam hal ini, penggunaan lafaz
hibah hanya diperuntukkan bagi Rasulullah saw secara khusus.49
Karena lafaz
tersebut sah jika dipergunakan untuk akad selain nikah. Selain itu, karena
lafaz tersebut tidak secara jelas mengungkapkan pernikahan, sehingga tidak
sah digunakan dalam akad nikah. Hal itu karena kesaksian merupakan syarat
dalam nikah dan kinayah itu hanya diketahui melalui niat saja, sedangkan para
48
Muhammad Ibnu Ismail Abu Abdillah Al-Bukhori Al-Ja‟fi, Shahih Bukhori, h. 31
49
Imam „Alau al-Din Abi Bakr Ibnu Mas‟ud al-Haasaani al-Hanafi, Badaai‟u al-Shonaai‟I Fi
Tartib al-Syarai‟i, h. 344
44
saksi tidak mengetahui niat kecuali jika diberitahukan kepada mereka secara
jelas. 50
d. Syarat-syarat Wali.
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau
wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaklah seorang laki-
laki, muslim, baligh, berakal dan adil (tidak fasik).
e. Syarat-syarat Saksi.
1) Beragama Islam.
2) Berakal, bukan orang gila.
3) Baligh, bukan anak-anak.
4) Merdeka, bukan budak.
5) Kedua orang saksi itu mendengar. 51
D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
1. Tujuan Perkawinan
50
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai
Syariat), h. 115
51
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999),
cet. Ke-1, h. 64
45
Pada dasarnya tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih
sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari‟ah. 52
2. Hikmah Perkawinan
Dalam sebuah perkawinan, terdapat hikmah dan pengaruh yang sangat
baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia yang
diantaranya sebagai berikut:
a. Dengan adanya pernikahan maka banyaklah keturunan.
b. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah
tangganya teratur.
c. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan
dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai
macam pekerjaan.
d. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang
dikasihi.
e. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk
menjaga kehormatan dan kemuliannya.
52
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari
Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Anggota IKAPI, 1990), cet. Ke-2, h. 27
46
f. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya.
g. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit.
h. Manusia itu jika mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang
mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun, apabila masih
meninggalkan istri dan anak, mereka akan mendo‟akannya dengan
kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak.53
Selain hikmah-hikmah di atas, Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmah-
hikmah perkawinan yang lain, sebagai berikut: 54
a) Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya
menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat
memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan,
kacau dan menerobos jalan yang jahat. Kawin merupakan jalan alami dan
biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan
naluri seks ini. Dengan kawin, badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata
terpelihara dari melihat yang haram, perasaan tenang menikmati barang yang
halal.
53
Hadi Mulyo dan Sobahus Surur, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Semarang: CV. Asy-
Syifa, 1992), h. 256-258
54
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnat, h. 9-10
47
b) Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara
nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.
c) Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana
hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah,
cinta dan kasih sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang
menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
d) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan
pembawaan seseorang.
e) Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah
tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas
tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya.
f) Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat
hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang.
g) Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian Nasional
terbitan Sabtu 6/6 1959 mengatakan:
“Bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang daripada orang-
orang yang tidak bersuami istri, baik karena menjanda, tercerai atau sengaja
membujang”. Pernyataan itu selanjutnya mengatakan: “Dalam banyak negeri
48
orang-orang kawin pada umur yang masih sangat muda, akan tetapi
bagaimanapun juga umur orang-orang yang bersuami istri umumnya lebih
panjang”.
Itulah perkawinan dengan berbagai hikmahnya, dan perkawinan juga
mempunyai tujuan untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Allah
swt, menyelamatkan umat manusia dari kepunahan untuk kelangsungan hidup
keturunan, pembentukan keluarga bahwa itu adalah organisasi masyarakat, dan
untuk menemukan kerjasama antara anggotanya, selain itu diketahui juga bahwa
pernikahan merupakan kerjasama antara pasangan untuk menanggung beban
kehidupan, cinta dan kolaborasi di antara masyarakat, keluarga dan memperkuat
hubungan, serta penggunaannya adalah kepentingan.55
E. Prinsip-Prinsip Perkawinan menurut Islam
Ada beberapa prinsip hukum perkawinan menurut agama Islam yang
merupakan dasar dari perkawinan. Diantara prinsip tersebut ialah:
1. Sukarela.
Yang dimaksud dengan prinsip sukarela yaitu suatu perkawinan yang
dilakukan atas persetujuan kedua calon suami istri, tanpa ada paksaan dari
pihak manapun. 56
55
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh, h. 6515-6516
56
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2005), h. 174
49
2. Partisipasi Keluarga
Sungguhpun akad nikah itu pada dasarnya merupakan hak individu calon
mempelai suami istri, tapi karena perkawinan merupakan suatu peristiwa
penting yang sangat erat berhubungan dengan orang lain khususnya keluarga,
sangat mudah dimengerti jika sesuai dengan hukum Islam, Undang-Undang
Perkawinan di Dunia Islam tetap mempertahankan asas keterlibatan atau
partisipasi aktif keluarga dalam perkawinan.
3. Perceraian dipersulit.
Sesungguhnya, tidak semua doktrin / paham keagamaan mengakui
apalagi membenarkan adanya perceraian dalam suatu perkawinan. Menurut
agama Katolik Roma, perkawinan itu menjadi sakramen, yaitu suatu lembaga
suci yang diberkati oleh Tuhan, yang mempersatukan suami dan istri seumur
hidup. 57
Menurut penulis, dalam agama Katolik Roma bahwa pernikahan itu
adalah apa yang telah disatukan oleh Tuhan, jadi apa yang telah disatukan
oleh Tuhan tidak boleh dipisahkan atau dinodai dengan melakukan perceraian.
Oleh karena itu, mereka tidak memperbolehkan adanya perceraian, meskipun
kondisi rumah tangganya sudah tidak harmonis. Sebagai contoh, di Negara
Italia penduduk yang beragama Katolik yang hendak bercerai, terpaksa harus
57
Muhammad Amin Suma, h. 176-177
50
pindah selama waktu tertentu ke negeri Eropa yang lain dimana perceraian
dapat disahkan. Misalnya, Negara Swiss atau Inggris.
Sementara dalam Islam, talak atau perceraian merupakan perbuatan yang
halal (boleh) akan tetapi dibenci oleh Allah. Sebagaimana disebutkan dalam
hadis, sebagai berikut:
“Telah diriwayatkan oleh Katsir Ibnu „Ubaid kepada Muhammad Ibnu
Kholid, Mu‟arrif Ibnu Washil, Muharib Ibnu Ditsar Ibnu Umar bahwa Nabi
saw telah bersabda: “Suatu perbuatan yang halal tetapi dibenci oleh Allah
adalah talak”. (H.R. Abu Daud)
Dari kandungan hadis di atas, dapat dipahami bahwa dalam Islam
kemungkinan terjadinya talak atau perceraian itu dibolehkan, tentunya bagi
keluarga yang tidak mungkin dapat untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangganya. Akan tetapi, meskipun dibolehkan tetap ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi bagi mereka yang hendak melakukan perceraian. Dan syarat-
syarat tersebut telah tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1
tahun 1974 pasal 19, sebagai berikut: 59
58
Sulaiman Ibnu Asy‟ats Abu Daud Sujastani Al-Azdi, Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar Al-
Fikr), juz 6, h. 406
59
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, h. 49
51
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Syarat-syarat tersebut dibuat, agar tidak ada pihak yang semena-semena
mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama dan terutama untuk
kemaslahatan umat Islam itu sendiri.
4. Monogami.
Yaitu asas yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai
satu istri. 60
5. Kedewasaan calon mempelai
Yaitu setiap calon suami dan calon istri yang hendak melakukan
perkawinan, harus benar-benar matang secara fisik maupun psikis (rohani),
atau harus sudah siap secara jasmani maupun rohani.
60
Muhammad Amin Suma, h. 178
52
6. Keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri, baik dalam kehidupan
rumah tangga maupun pergaulan masyarakat.
7. Perkawinan harus dicatatkan.
Yaitu untuk mempermudah mengetahui orang-orang yang sudah menikah
atau melakukan ikatan perkawinan.
53
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA CIWALAT
Wilayah Desa Ciwalat merupakan pemekaran dari Desa Pabuaran dan
merupakan Desa induk setelah kemerdekaan yang berdiri sekitar Tahun 1904.
Selain itu, Desa ini pun merupakan salah satu dari 7 (tujuh) Desa di wilayah
Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi, yang mempunyai sejarah singkat
sebagai berikut:
A. Sejarah Singkat Desa Ciwalat
Desa Ciwalat sudah 17 (tujuh belas) kali mengalami pergantian Kepala
Desa/Lurah, masa pergantiannya terbagi menjadi 2 (dua) masa/periode
pemerintahan yaitu Pra kemerdekaan 7 (tujuh) orang dan Pasca Kemerdekaan 10
(sepuluh) orang. Pada tahun 1984 pemekaran Desa menjadi dua, yaitu: Desa
Ciwalat sebagai desa induk dan Desa Sukajaya menjadi desa pemekaran.
Keadaan sarana dan pra sarana masih kurang memadai seperti jalan penghubung
antar Desa yaitu Desa Pabuaran-Desa Lembursawah-Desa Ciwalat-Desa
Sukajaya ke Desa Bojong Kecamatan Kalibunder yang sudah diperkeras sejak
tahun 1982 dan belum diaspal. 1
1 Arsip Desa Ciwalat yang diambil pada tanggal 13 Mei 2011 di Balai Desa Ciwalat
Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi.
54
Selanjutnya perkembangan sejarah Desa Ciwalat dilihat dari segi
pergantian Kepala Desa / Lurah adalah sebagai berikut: 2
Tabel 1
Kepala Desa / Lurah Desa Ciwalat
No Nama Alamat Periode
Tahun
Juru Tulis/
Sekdes Keterangan
1. H. Usman Kp. Citalaga 1904-1912 Haya -
2. O‟i Kp. Ciselut 1912-1920 Haya -
3. H. Sirod Kp. Ciselut 1920-1928 Momo -
4. H. Afandi Kp. Ciselut 1928-1936 Momo -
5. H. Nursalim Kp. Nagrak 1936-1944 Momo -
6. Momo Lengkong 1944-1946 Engkay -
7. Iyob Lengkong 1946-1949 Engkay -
8. H. Jae Kp. Citalaga
1949
(3hari)
Engkay
Terbunuh
Gerombolan
9. H. Abdul Rojak Kp. Nagrak
1949
(2bln)
Engkay
Mengisi
kekosongan
10. H. Dahlan Kp. Ciselut 1950-1971 Sulaeman
dan Dalimi
Pertama
Pemilihan
Kepala
Desa
2 Arsip Desa Ciwalat yang diambil pada tanggal 13 Mei 2011 di Balai Desa Ciwalat
Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi.
55
11. Iyuk Lengkong 1971-1972 Dalimi PJS
12. H. Hawi Arifin Kp. Babakan
1972-1980 Iim -
1980-1985 Pendi PJS
13. Apan Badri Salam Kp. Nagrak 1985-1993 Pendi -
14. Pendi Kp. Babakan 1993-1995 A. Suhanda PJS
15. T. Ibrohim Kp. Babakan 1995-2003 A. Suhanda -
16. Ijam Kp. Talun 2003-2008 Nuryaman -
17. A. Suhanda Kp. Nagrak 2008-skrg Nuryaman Sekdes PNS
B. Letak Geografis Desa Ciwalat
Secara administratif, Desa Ciwalat merupakan salah satu dari 7 (tujuh)
Desa di wilayah Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi yang mempunyai
luas wilayah 1098,622 Ha, dengan batas-batas sebagai berikut: 3
Tabel 2
Batas Wilayah
Batas Desa / Kelurahan Kecamatan
Sebelah Utara Bantarsari Pabuaran
Sebelah Selatan Curug Luhur Sagaranten
Sebelah Timur Lembur Sawah Pabuaran
Sebelah Barat Sukajaya Pabuaran
3 Arsip Desa Ciwalat yang diambil pada tanggal 13 Mei 2011 di Balai Desa Ciwalat Kecamatan
Pabuaran Kabupaten Sukabumi.
56
Kemudian jika dilihat dari segi kepadatan penduduk, maka Desa Ciwalat
merupakan Desa yang mempunyai jumlah penduduk 4.483 jiwa, 1308 KK yang
terbagi kedalam 6 (enam) dusun. Jumlah penduduk laki-laki adalah 2.322 jiwa
dan penduduk perempuan adalah 2.161 jiwa. Dengan rincian sebagai berikut: 4
Tabel 3
Jumlah Penduduk
No. DUSUN RT Kepala Keluarga JML Jumlah Jiwa JML
L P L+P L P L + P
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 CISELUT 1 55 3 58 107 97 204
2 54 5 59 79 85 164
3 26 7 33 44 49 93
4 43 12 55 73 78 151
5 70 8 78 154 119 273
248 35 283 457 428 885
2 BABAKAN 6 45 5 50 103 84 187
7 44 4 48 68 83 151
8 36 2 38 75 72 147
9 37 10 47 94 77 171
162 21 183 340 316 656
4 Arsip Desa Ciwalat yang diambil pada tanggal 13 Mei 2011 di Balai Desa Ciwalat Kecamatan
Pabuaran Kabupaten Sukabumi.
57
3 GADUNG 10 42 11 53 75 73 148
11 67 2 69 137 140 277
109 13 122 212 213 425
4 NAGRAK 12 40 13 53 71 98 169
13 37 7 44 79 72 151
14 48 5 53 197 101 298
15 41 6 47 74 88 162
16 44 11 55 102 105 207
210 42 252 523 464 987
5 CITALAGA 17 55 6 61 88 85 173
18 37 9 46 61 80 141
19 39 7 46 75 70 145
20 46 3 49 85 90 175
21 59 7 66 128 102 230
236 32 268 437 427 864
6 CIASIH 22 61 9 70 124 111 235
23 46 8 54 101 70 171
24 39 5 44 78 75 153
25 28 4 32 50 57 107
174 26 200 353 313 666
JUMLAH 1139 169 1308 2322 2161 4483
58
Perkembangan manusia yang bersosial dan berbudaya akan didasari oleh
tingkat pendidikannya dan pendidikan merupakan salah satu hal yang sangat
penting dalam meningkatkan indek pembangunan manusia untuk menuju tingkat
kesejahteraan. Dengan tingkat pendidikan yang maksimal dan dimanfaatkan maka
akan meningkatkan keterampilan sehingga akan tumbuh kewirausahaan untuk
menciptakan lapangan pekerjaan baru, menghasilkan karya berupa benda maupun
jasa hasil dari budi dan karya. Di bawah ini tabel yang menunjukan tingkat rata-
rata pendidikan warga Desa Ciwalat. 5
Tabel 4
Tingkat Pendidikan
TINGKAT PENDIDIKAN L P JUMLAH
Belum masuk TK/PAUD 207 206 413
Sedang TK/PAUD 38 20 58
Sedang sekolah 423 425 854
Tidak pernah sekolah 5 13 18
Tidak tamat SD 545 396 941
Tamat SD/Sederajat 762 855 1617
Tamat SMP/Sederajat 85 83 168
Tamat SMA/Sederajat 32 18 50
5 Arsip Desa Ciwalat yang diambil pada tanggal 13 Mei 2011 di Balai Desa Ciwalat Kecamatan
Pabuaran Kabupaten Sukabumi.
59
Tamat D-1/Sederajat 2 0 2
Tamat D-2/Sederajat 3 1 4
Tamat D-3/Sederajat 0 0 0
Tamat S-1/Sederajat 15 2 11
Jumlah 2117 2019 4136
Jumlah Total 2293 2190 4483
Dalam hal pendidikan, tidak akan menghasilkan prestasi yang baik tanpa
ditunjang oleh sarana pendidikan yang baik tentunya. Di bawah ini tabel sarana
pendidikan yang ada di Desa Ciwalat. 6
Tabel 5
Sarana Pendidikan
No. Sekolah Jumlah
1. TK/PAUD 9 Buah
2. SD/MI 3 Buah
3. SMP/SLTP 1 Buah
Penduduk Desa Ciwalat mayoritas menganut agama Islam, hal ini terlihat
pada data yang diperoleh dari sensus kependudukan Desa Ciwalat. 7
6 Arsip Desa Ciwalat yang diambil pada tanggal 13 Mei 2011 di Balai Desa Ciwalat Kecamatan
Pabuaran Kabupaten Sukabumi.
7 Arsip Desa Ciwalat yang diambil pada tanggal 13 Mei 2011 di Balai Desa Ciwalat Kecamatan
Pabuaran Kabupaten Sukabumi.
60
Tabel 6
Agama penduduk
Agama Laki-Laki Perempuan Jumlah
Islam 2293 2190 4483
Penduduk Desa Ciwalat umumnya bermata pencaharian sebagai petani
sehingga keadaan ekonomi di Desa Ciwalat lebih di dominasi oleh pertanian.
Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini:8
Tabel 7
Mata Pencaharian Penduduk
Jenis Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Jumlah
Petani 215 250 465
Buruh Tani 683 640 1323
Buruh Migran TKW/TKI 1 41 42
Pegawai Negeri Sipil 15 1 16
Pengrajin Industri Rumah Tangga 5 4 9
Pedagang Keliling 10 5 15
Peternak 48 0 48
Pembantu Rumah Tangga 5 65 70
Pensiunan PNS/TNI/POLRI 7 0 7
8 Arsip Desa Ciwalat yang diambil pada tanggal 13 Mei 2011 di Balai Desa Ciwalat Kecamatan
Pabuaran Kabupaten Sukabumi.
61
Pengusaha Kecil dan Menengah 45 2 47
Dukun Kampung Terlatih 2 3 5
Jasa Pengobatan Alternatif 1 0 1
Karyawan Perusahaan Swasta 5 0 5
Sopir 5 0 5
Tukang Ojeg 53 0 53
Jumlah Total 1100 1011 2111
C. Pandangan Warga Desa Ciwalat tentang Perkawinan di Bawah Umur
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa anggota masyarakat,
didapatkan bahwa alasan utama dilakukannya perkawinan di bawah umur di
Desa Ciwalat adalah karena adanya sistem perjodohan oleh orang tua. Adapun
yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur yaitu perkawinan yang
dilakukan setelah lulus Sekolah Dasar (SD), sekitar usia 12-14 tahun. 9
Perkawinan di bawah umur menurut sebagian orang adalah indah diawal
dan sengsara diakhir. Banyak pendapat mengatakan, bahwa menikah pada usia
muda sudah tidak zaman lagi. Akan tetapi, dalam faktanya masih banyak wanita
yang memilih untuk menikah pada usia muda.10
9 Ade Nuryaman (Sekdes) Desa Ciwalat, Wawancara Pribadi, di Balai Desa Ciwalat pada
tanggal 14 Mei 2011
10
Rasta Meridian, Menikah Muda antara Pro dan Kontra,
(http://www.artikelpernikahan.com/2011/05/menikah-muda-antara-pro-dan-kontra.html), diakses
tanggal 05 Juli 2011 pukul 20.34 WIB
62
Menikah pada usia muda sepertinya bukanlah karena “sudah zaman” atau
“tidak zaman lagi”, namun lebih kepada pilihan seseorang. Karena dalam
menikah pada usia muda, terdapat keuntungan dan kerugian. Seperti halnya yang
dilakukan oleh beberapa pelaku perkawinan di bawah umur yang ada di Desa
Ciwalat.
Diantaranya berpendapat, dengan menikah pada usia muda dapat
terhindar dari gangguan laki-laki yang suka menggoda wanita.11
Selain itu,
keuntungan yang lainnya adalah dapat menunjang kebutuhan ekonomi keluarga
dan merasa ada yang melindungi (suami), dengan begitu hidup bisa lebih tentram
dan bahagia.12
Perkawinan di bawah umur di samping berdampak positif bagi para
pelakunya, tidak dapat dipungkiri akan timbul juga dampak negatif terutama
dalam persoalan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, baik dalam
hubungannya dengan mereka sendiri, terhadap anak-anak, maupun terhadap
keluarga mereka masing-masing, yaitu sebagai berikut:13
11
Lina (Warga) Desa Ciwalat, Wawancara Pribadi, di Kp. Ciselut pada tanggal 14 Mei 2011
12
Lati (Warga) Desa Ciwalat, Wawancara Pribadi, di Kp. Ciselut pada tanggal 14 Mei 2011
13
Fitra Puspitasari, Perkawinan Usia Muda: Faktor-faktor Pendorong dan Dampaknya
Terhadap Pola Asuh Keluarga. (Studi Kasus di Desa Mandala Giri Kecamatan Leuwisari Kabupaten
Tasikmalaya), (http://www.solex-un.net/repository/id/hlth/CR10-Res3-ind.pdf) , diakses tanggal 05
Juli 2011 pukul 21.29 WIB
63
1. Dampak terhadap suami istri
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istrti yang telah
melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak
mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul
dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung
keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi.
2. Dampak terhadap anak-anaknya
Masyarakat yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda atau
di bawah umur akan membawa dampak, terutama dari segi kesehatan istri dan
anak yang dilahirkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan dr. Teti Ernawati,
Sp.OG dijelaskan bahwa bagi wanita yang menikah di bawah usia 20 tahun, jika
hamil maka kemungkinan besar kehamilannya akan mengalami gangguan-
gangguan seperti muntah-muntah yang lebih hebat bahkan kandungannya dapat
juga mengalami pendarahan. Selain itu, kemungkinan bayi yang dilahirkan akan
mengalami prematur atau berat badannya tidak normal sekitar 2 sampai 2,5 kg
dan jika tumbuh hingga dewasa akan mengalami penyakit regeneratif pada usia
lanjut (40 tahunan) seperti penyakit gula dan jantung.14
14
Teti Ernawati (dr. Spesialis Kandungan), Wawancara Pribadi, di Rumah Sakit (RS) Syarif
Hidayatullah pada tanggal 24 Agustus 2011
64
3. Dampak terhadap masing-masing keluarga.
Selain berdampak pada pasangan suami-istri dan anak-anaknya,
perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap masing-masing
keluarganya. Apabila perkawinan diantara anak-anak mereka lancar, maka akan
menguntungkan orang tua masing-masing. Namun sebaliknya, apabila keadaan
rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya terjadi perceraian. Hal ini akan
mengakibatkan bertambahnya biaya hidup mereka, dan yang paling parah lagi
akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua belah-pihak.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam perkawinan di bawah
umur tidak hanya mengandung unsur negatif, akan tetapi ada juga unsur
positifnya. Oleh karena itu, perkawinan di bawah umur ini merupakan sebuah
pilihan seseorang dalam hal menikah.
65
BAB IV
ANALISIS DATA
Setelah penulis menguraikan mulai dari bab satu sampai dengan bab tiga,
maka pada bab empat ini penulis mencoba menganalisa permasalahan-
permasalahan yang sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu:
“UPAYA PREVENTIF PENGHULU DALAM MENGURANGI PELAKU
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR” (Studi di Desa Ciwalat, Kecamatan
Pabuaran, Kabupaten Sukabumi).
A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur
Desa Ciwalat merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan
Pabuaran Kabupaten Sukabumi. Adapun yang menjadi penyebab terjadinya
perkawinan di bawah umur di desa ini berdasarkan data dari lapangan (hasil
wawancara), adalah sebagai berikut:1
1. Faktor rendahnya pengetahuan (pendidikan).
Peranan pendidikan dalam kehidupan sangat penting. Menurut Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
1 Wawancara pribadi dengan beberapa warga Desa Ciwalat, yaitu: I. Mansur, Ade Nuryaman,
Lina, Weti dan Lati.
66
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Demikian pentingnya peranan pendidikan, maka
dalam Undang-Undang Dasar 1945 diamanatkan bahwa tiap-tiap warga negara
berhak untuk mendapat pendidikan, pengajaran dan pemerintah mengusahakan
untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya
diatur dalam undang-undang. 2
Dalam kehidupan rumah tangga, apabila masyarakat menyadari dan
memahami betul tentang arti pentingnya pendidikan atau pengetahuan dalam
kehidupan berumah tangga, besar kemungkinan masyarakat yang akan
melakukan perkawinan di bawah umur akan berpikir lebih panjang dan jauh lagi,
artinya tidak cepat-cepat melakukan perkawinan. Dengan demikian perkawinan
di bawah umur dapat dihindari.
Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki pengetahuan rendah,
mereka akan kurang menyadari tentang pentingnya pengetahuan dalam
kehidupan rumah tangganya, sehingga mereka melaksanakan perkawinan dengan
hanya berbekal ilmu pengetahuan yang minim (rendah) dan umur yang masih
relatif muda. 3
2 http://www.damandiri.or.id/file/yeniabsahunairbab1.pdf, diakses pada tanggal 05 Juli 2011
pukul 11.38 WIB
3 I. Mansur (Penghulu) Desa Ciwalat, Wawancara pribadi, di Kp. Ciselut pada tanggal 14
Mei 2011
67
2. Faktor ekonomi.
Faktor ekonomi merupakan salah satu alasan terjadinya perkawinan di
bawah umur. Hasil wawancara dengan pelaku perkawinan di bawah umur
didapatkan bahwa salah satu hal yang mendorong dilakukannya perkawinan di
bawah umur adalah atas permintaan orang tua karena tidak ada biaya untuk
melanjutkan sekolah, selain itu ekonomi keluarga pun kurang mampu. 4
Berdasarkan wawancara tersebut, didapat bahwa status sosial ekonomi
berperan terhadap dilakukannya perkawinan di bawah umur. Salah satu indikator
status sosial ekonomi adalah kesempatan memperoleh pendidikan. Hal ini terlihat
dari para pelaku perkawinan di bawah umur yang telah diwawancarai, dimana
pendidikan formal yang rendah, daerah pedesaan sebagai tempat tinggal dan
penghasilan orang tua yang rendah mendorong untuk dilakukannya perkawinan
di bawah umur.
3. Faktor adanya sistem perjodohan oleh orang tua.
Dalam kehidupan masyarakat banyak sekali problema-problema hidup
yang harus dihadapi oleh anggota masyarakat. Adakalanya masyarakat itu
mampu mengatasi setiap persoalannya, tetapi ada juga masyarakat yang
mengalami kesulitan dalam menghadapi persoalan hidupnya. Bagi masyarakat
yang mampu mengatasi problema hidupnya, ia akan merasa tentram dan damai
4 Weti (warga) Desa Ciwalat, Wawancara pribadi, di Kp. Ciselut pada tanggal 15 Mei 2011
68
tetapi sebaliknya bagi mereka yang tidak mampu mengatasi problema hidupnya
ia selalu merasa kesusahan.
Diantara sekian banyak problema kehidupan yang menyelimuti
masyarakat khususnya para orang tua, adalah timbulnya rasa malu jika diantara
anaknya atau keluarganya belum menikah. Oleh karena itu, jika ada yang
melamar anaknya, maka lamaran tersebut cenderung akan diterima meskipun
anaknya masih di bawah umur atau belum cukup umur untuk melangsungkan
pernikahan.5
Pemikiran tersebut sudah meresap ke dalam jiwa para orang tua, sehingga
mereka berkeinginan agar anak-anaknya cepat berumah tangga, terlebih lagi
perkawinan di bawah umur tersebut bukan merupakan perbuatan yang dilarang
oleh agama.
B. Upaya Penghulu Desa Ciwalat dalam Mengurangi Pelaku Perkawinan di
Bawah Umur
Dalam mengatasi perkawinan di bawah umur yang terjadi di Desa
Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi, Penghulu desa tersebut
bekerja sama dengan aparat desa yang mempunyai peran penting terutama dalam
masalah perkawinan, untuk melakukan upaya-upaya dalam mengurangi pelaku
perkawinan di bawah umur. Adapun upaya-upaya tersebut, adalah sebagai
berikut:
5 I. Mansur (Penghulu) Desa Ciwalat, Wawancara pribadi, di Kp. Ciselut pada tanggal 14
Mei 2011
69
1. Mengadakan penyuluhan tentang perkawinan kepada remaja.
Dalam upaya ini, penghulu dan pejabat desa harus selalu aktif dalam
mengadakan acara-acara rutin pengajian remaja, kunjungan ke sekolah-sekolah,
pada kesempatan itu pula diadakan penyuluhan tentang perkawinan, yang pada
pembahasannya dianjurkan kepada peserta pengajian apabila hendak
melangsungkan perkawinan, hendaklah selalu memperhatikan tentang
kelanggengan hidup berumah tangga, jangan sampai melakukan perkawinan
dalam usia yang belum matang untuk kawin, karena dampak dari perkawinan
yang belum matang jiwa raganya akan berakibat buruk kepada kondisi rumah
tangganya.6 Meskipun upaya ini tidak dilakukan secara rutin (hanya satu bulan
sekali), akan tetapi besar harapan masyarakat sedikit demi sedikit akan mengerti
tentang perkawinan dan akibat perkawinan di bawah umur.
2. Dalam setiap kesempatan selalu disampaikan nasehat-nasehat keagamaan.
Nasehat-nasehat keagamaan ini biasanya disampaikan pada acara-acara
tertentu seperti: Walimatul ‟Arsy dan Acara pengajian bapak-bapak atau ibu-ibu.
Dalam memberikan nasehat keagamaan selalu diperingatkan agar tidak
melakukan perkawinan di bawah umur, karena akan mengakibatkan kurang
adanya rasa tanggung jawab yang penuh terhadap hak dan kewajiban dari
pasangan suami istri tersebut. Hal ini akan menimbulkan ketidak harmonisan
6 I. Mansur (Penghulu) Desa Ciwalat, Wawancara pribadi, di Kp. Ciselut pada tanggal 14
Mei 2011
70
dalam rumah tangga, yang pada akhirnya tujuan membina rumah tangga yang
kekal dan bahagia itu tidak tercapai.7
Apabila hal ini terjadi pada suatu rumah tangga, maka perhatian orang tua
terhadap anak-anaknya baik dari segi pemeliharaan maupun masalah
pendidikannya akan menurun, yang akhirnya akan muncul anak-anak (generasi-
generasi) yang kurang mendapat perhatian dan pendidikan.
3. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
Dalam upaya ini, selalu diberikan arahan dan bimbingan kepada
masyarakat Desa Ciwalat agar selalu patuh dan tunduk kepada aturan-aturan,
baik yang terdapat dalam agama maupun Undang-Undang Perkawinan, jika
hendak melangsungkan perkawinan. Karena dalam agama dan Undang-Undang
Perkawinan, semua aturan tentang perkawinan sudah termuat di dalamnya.
Dengan adanya penyuluhan ini tidak hanya berlaku untuk masyarakat,
akan tetapi berlaku juga bagi pejabat yang berwenang untuk menikahkan kedua
calon mempelai untuk selalu memberikan nasehat-nasehat perkawinan, yang
mencakup usia perkawinan, larangan-larangan perkawinan serta adanya akibat
hukum, apabila perkawinan itu sah dan dilaksanakan berdasarkan Undang-
Undang Perkawinan yang berlaku.8
7 I. Mansur (Penghulu) Desa Ciwalat, Wawancara pribadi, di Kp. Ciselut pada tanggal 14
Mei 2011 8 Ade Nuryaman (Sekdes) Desa Ciwalat, Wawancara Pribadi, di Balai Desa Ciwalat pada
tanggal 14 Mei 2011
71
4. Mempertegas syarat-syarat pernikahan.
Bagi kedua calon pengantin yang akan melangungkan pernikahan harus
membawa surat-surat sebagai berikut:9
1) Fotokopi KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk kedua calon pengantin
masing-masing 1 (satu) lembar. Surat pernyataan belum pernah menikah
(masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai Rp.6000,- (enam ribu
rupiah) diketahui oleh RT, RW dan Lurah setempat.
2) Surat Pengantar yang dikeluarkan oleh RT dan RW setempat. Surat
keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model (N1, N2, N4),
baik calon suami maupun calon istri.
3) Pas photo calon pengantin ukuran 2 × 3 masing-masing 4 (empat) lembar,
bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Cerai dari
Pengadilan Agama, kalau duda/janda mati harus ada surat kematian dan surat
Model (N6) dari Lurah setempat. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan
Agama bagi:
a. Calon pengantin laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun;
b. Calon pengantin perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun;
c. Izin Orang Tua (Model N5) bagi calon pengantin yang umurnya kurang
dari 21 tahun baik calon pengantin laki-laki/perempuan.
4) Kedua calon pengantin mendaftarkan diri ke KUA tempat akan
dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja dari
9 I. Mansur (Penghulu) Desa Ciwalat, Wawancara pribadi, di Kp. Ciselut pada tanggal 14
Mei 2011
72
waktu melangsungkan pernikahan. Apabila kurang dari 10 (sepuluh) hari
kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat setempat.
5) Apabila semua persyaratan kedua calon pengantin telah terpenuhi, maka KUA
akan memberikan Surat Persetujuan yang diberi tanda dengan model (N7).
Dengan adanya penegasan dari pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan
pernikahan, maka akan dapat mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur dan
pernikahan di bawah tangan (nikah sirri).
Dari upaya-upaya yang telah dilakukan oleh penghulu dan pejabat Desa
Ciwalat, keberhasilan dan manfaatnya memang sudah dapat dirasakan oleh
masyarakat, khususnya oleh masyarakat Desa Ciwalat. Hal ini terbukti dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat dalam setiap pelaksanaan perkawinan selalu
merujuk kepada ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
Masyarakat sedikit demi sedikit mulai menyadari betapa pentingnya
masalah administrasi di dalam perkawinan, seperti: Perlunya Akta Nikah sebagai
bukti otentik yang menunjukkan bahwa ia telah menikah. Kemudian masyarakat
pun memandang bahwa Undang-Undang Perkawinan memberikan kemudahan
dan menjamin sepenuhnya keabsahan dan kelangsungan hidup berumah tangga,
karena di dalamnya memuat aturan tentang hak dan kewajiban suami istri, serta
adanya jaminan hukum. Sebagaimana termuat dalam Bab V Pasal 34 ayat 3
73
Undang-Undang Perkawinan, bahwa: ”Jika suami istri melalaikan kewajibannya,
maka masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan”.10
Selama berjalannya upaya-upaya penghulu tersebut, pada dasarnya telah
memberikan perubahan pola pemahaman kepada masyarakat terhadap
perkawinan, diantaranya:
1. Masyarakat menyadari perlunya mengikuti peraturan-peraturan yang
berkenaan dengan perkawinan.
2. Masyarakat selalu berhati-hati dalam setiap akan melangsungkan perkawinan.
3. Adanya masyarakat yang menunda usia perkawinan (usia belum cukup untuk
kawin), sampai cukup usia untuk menikah.
Hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa upaya-upaya penghulu
tersebut telah memberikan hasil yang lebih baik, meskipun belum sepenuhnya
mengenai target yang diharapkan.
10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, h. 14
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis membahas dan menguraikan data pada bab satu sampai
dengan bab empat, maka pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan,
yaitu sebagai berikut:
1. Faktor utama yang melatar belakangi terjadinya perkawinan di bawah umur di
Desa Ciwalat adalah faktor rendahnya pengetahuan (pendidikan), kemudian
faktor-faktor lainnya seperti faktor ekonomi dan adanya sistem perjodohan
oleh orang tua.
2. Upaya-upaya penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur
adalah dengan cara sebagai berikut:
a. Mengadakan penyuluhan tentang arti pentingnya perkawinan kepada
remaja.
b. Menyampaikan nasehat-nasehat keagamaan dalam setiap kesempatan.
Seperti pada acara walimatul ‟arsy dan pengajian bapak-bapak atau ibu-
ibu.
c. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
d. Mempertegas syarat-syarat pernikahan.
75
B. Saran-saran
Dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis menyarankan khususnya
kepada masyarakat Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi dan
umumnya kepada instansi terkait, apabila hendak melangsungkan perkawinan
agar selalu memperhatikan aturan-aturan yang termuat dalam agama Islam dan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan aturan-aturan lain
yang berkenaan dengan pelaksanaan perkawinan.
76
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo, 2007, cet.
Ke-5.
Abidin, Slamet dan H. Aminuddin. Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999, cet. Ke-1.
Al-Anshoriy, Syaikh Zakariyya. Haasyiyat Al-„Allamat Al-Syaikh Sulaiman Al-Jamal
„Ala Syarh Al-Manhaj. Beirut: Daar Al-Fikr, juz IV.
Al-Anshory, Abu Yahya Zakariya. Fath Al-Wahhab. Singapura: Sulaiman Mar‟iy,
juz II.
Al-Azdi, Sulaiman Ibnu Asy‟ats Abu Daud Sujastani. Sunan Abi Daud. Beirut: Daar
Al-Fikr, juz 6.
Al-Jaziri, Abd Ar-Rahman. Al-Fiqh „Ala Al-Mazahib Al-Arba‟ah. Beirut: Daar Al-
Fikr, juz IV.
Al-Ja‟fi, Muhammad Ibnu Ismail Abu „Abdillah Al-Bukhori. Shahih Al-Bukhori.
Beirut: Daar Ibnu Katsir, 1987, juz 17.
Al-Nisaburi, Abu Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hijaj Ibnu Muslim Al-Qusyairi. Shahih
Al-Muslim, Beirut: Daar Al-Jaeyl, juz 4.
Al-San‟any, Muhammad ibn Ismail. Subul Al-Salam Syarh Bulug Al-Maram. Beirut:
Daar Al-Fikr, 1991, juz III.
Al-Syafi‟iy, Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad al-Husainy al-Husny al-
Damsyiqy Kifayat Al-Akhyar Fi Halli Ghoyat Al-Ikhtishor. Beirut: Daar Al-
Fikr, juz II.
Al-Syarai‟i, Imam „Alau al-Din Abi Bakr Ibnu Mas‟ud al-Haasaani al-Hanafi.
Badaai‟u al-Shonaai‟I Fi Tartib. Beirut: Daar al-Fikr. Juz 2.
Al-Zuhaili, Wahbah . Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh. Beirut: Daar Al-Fikr, 1989,
juz VII.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet.
Ke-1.
77
------------------. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet. Ke-1.
Arsip Desa Ciwalat yang diambil di Balai Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran
Kabupaten Sukabumi pada tanggal 13 Mei 2011.
As‟ad, Musifin. Perkawinan dan Masalahnya. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993, cet.
Ke-2.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah
Sesuai Syariat), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, cet. Ke-1.
Cincinnati, Anak Perempuan Sekarang Sudah Puber di Usia 7-8 Tahun, diakses dari
(http://faktabukanopini.blogspot.com/2011/01/anak-perempuan-sekarang-
sudah-puber-di.html), tanggal 20 Juli 2011 pukul 06.26 WIB.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Surabaya: al-
Hidayah, 1998.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, cet. Ke-3.
Ernawati, Teti. Wawancara Pribadi. di Rumah Sakit (RS) Syarif Hidayatullah pada
tanggal 24 Agustus 2011.
Fatawie, Yusuf. Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara, diakses
dari(http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view
=article&id=1240:pernikahan-dini-dalam-perspektif-agama-dan
negara&catid=2:islam-kontemporer&Itemid=57), tanggal 29 Juni 2011
pukul 09.06 WIB
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008, cet. Ke-3.
Hawwas, Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed. Fiqh
Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak. Jakarta: Amzah, 2009, cet. Ke-1.
Hosen, Ibrahim. Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003, cet. Ke-1.
http://www.damandiri.or.id/file/yeniabsahunairbab1.pdf, diakses pada tanggal 05 Juli
2011 pukul 11.38 WIB.
78
http://72legalogic.wordpress.com/2009/03/08/dewasa-menurut-hukum-positif
indonesia/), diakses pada tanggal 22 September 2011 pukul 08.29 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pubertas, diakses pada tanggal 22 Agustus 2011 pukul
08.06 WIB.
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007, cet. Ke-1.
Kartono, Kartini. Pengantar Metode Riset Sosial. Bandung: Alumni, 1980, cet. Ke-1.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Surabaya: Kesindo, 2008, cet. Ke-2.
Kountur, Ronny. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Sekolah
Tinggi Managemen.
Lina (Warga) Desa Ciwalat. Wawancara Pribadi. di Kp. Ciselut pada tanggal 14 Mei
2011.
Lati (Warga) Desa Ciwalat. Wawancara Pribadi. di Kp. Ciselut pada tanggal 14 Mei
2011.
Mansur, I. (Penghulu) Desa Ciwalat. Wawancara pribadi. di Kp. Ciselut pada
tanggal 14 Mei 2011.
Meridian, Rasta. Menikah Muda antara Pro dan Kontra.
(http://www.artikelpernikahan.com/2011/05/menikah-muda-antara-pro-dan-
kontra.html), diakses tanggal 05 Juli 2011 pukul 20.34 WIB.
Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1987, cet. Ke-2.
Mulyo, Hadi dan Sobahus Surur. Falsafah dan Hikmah Hukum Islam. Semarang: CV.
Asy-Syifa, 1992.
Mutawwaly, Abdul Basit. Muhadarah Fi Al-Fiqh Al-Muqaran. Mesir: t.p.,t.t.
Nuryaman, Ade (Sekdes) Desa Ciwalat. Wawancara Pribadi. di Balai Desa Ciwalat
pada tanggal 14 Mei 2011.
Prakoso, Djoko dan I. Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987, cet. Ke-1.
79
Puspitasari, Fitra. Perkawinan Usia Muda: Faktor-faktor Pendorong dan Dampaknya
Terhadap Pola Asuh Keluarga. (Studi Kasus di Desa Mandala Giri
Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya). (http://www.solex-
un.net/repository/id/hlth/CR10-Res3-ind.pdf), diakses tanggal 05 Juli 2011
pukul 21.29 WIB.
Rahman, Abdur. Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992,
cet. Ke-1.
Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Anggota IKAPI, 1990, cet. Ke-
2.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnat. Mesir: Daar Al-Fath Lil i‟lami al-„Arabiy, 1999, juz
II.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2008.
Solahuddin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Visimedia, 2008, cet.
Ke-2.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2005.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007,
cet. Ke-2.
Syuja‟, Abi. Al-Iqna‟, Semarang: Maktabah Alawiyyah, Juz II.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986, cet. Ke-5.
Tim Bedah Hukum. Kedewasaan Seseorang Berdasarkan Besaran Usia Menurut
Berbagai Ketentuan Hukum. Diakses dari
(http://bedahukum.blogspot.com/2009/12/kedewasaan-seseorang-
berdasarkan.html), pada tanggal 22 September 2011 pukul 08.40 WIB
Umar, Nasaruddin. Refleksi Penerapan Hukum Keluarga di Indonesia. diakses
dari(http://www.komnasperempuan.or.id/wpcontent/uploads/2009/02/refleks
i-penerapanhukumkeluarga-di-indonesia_nasaruddinumar.pdf), tanggal 29
Juni 2011 pukul 10.13 WIB.
80
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bandung: Citra Umbara, 2007, cet. Ke-1.
Weti (warga) Desa Ciwalat. Wawancara pribadi. di Kp. Ciselut pada tanggal 15 Mei
2011.