volume 4 issue 1 may 2020

69

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020
Page 2: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

ISSN 2599-2449 (Print)

ISSN 2599-1280 (Online)

EDITORIAL TEAM

Editor in Chief : Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM)

Managing Editor : dr. I Made Dharmadi, MPH., PKK

Associate Editor : Nyoman Trisna Aryanata, S.Psi., M.A.

Editorial Boards : Prof. dr. I Dewa Putu Sutjana, PFK., M.Erg.

dr. I Gusti Ngurah Mayun, Sp.Hk

dr. I Gusti Lanang Rudiartha, MHA

Assistant Editors : I Putu Prisa Jaya, S.Pd., M.Fis.

dr. IB Amertha

Layout Editor : Agus Dedi Santosa S.Kom.

Marketing Manager : I Wayan Karyawan, S.Si, M.Si.

Reviewers : Prof. Dr. Ir. IB Putra Manuaba (Udayana University)

Prof Dr. dr. Mulyanto, Sp.PD (Udayana University)

Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD (KHOM) (Udayana

University)

Prof. dr. Putu Sutisna, DTM&H., Sp.ParK

(Warmadewa University)

Prof. Dr. dr. Ngurah Mahardika (Udayana University)

Prof. Dr. I Made Sutajaya, M.Kes (Ganesha

University of Education)

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS(K) (Udayana

University)

Publisher : Department of Research and Community Services, Bali

International University (Lembaga Penelitian dan

Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Bali

Internasional).

Publisher’s Address : Jl. Seroja Gang Jeruk No. 9A, Kel. Tonja, Kec.

Denpasar Utara, Denpasar – Bali, Indonesia 80239

Phone: +62 (0361) 474 7770.

Email: [email protected]

Web: http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ

Bali Health Journal (BHJ) is an

official journal published by

Department of Research and Community Services of Bali

International University (Lembaga

Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat Universitas Bali Internasional). BHJ aims to provide

an information space for

researchers, educators, students,

health practitioners, and the general public who have an interest in health

sciences. We accept research papers

and literature reviews of various

topics in Health Sciences. The fields in health sciences covered by BHJ

are biochemistry, biotechnology,

biomedics, engineering,

epidemiology, genetics, nursing, pharmacology, pharmacy, public

health, health management,

psychology, physical therapy, and

medicine.

All accepted manuscripts will be

reviewed by independent reviewers

from various universities with relevant expertise, followed by an

editor's endorsement before being

published.

Bali Health Journal is published

twice a year, in May and November.

Page 3: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

i

ISSN 2599-2449 (Print)

ISSN 2599-1280 (Online)

TABLE OF CONTENT

VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Efektivitas Penggunaan Infuse Pump Terhadap Keselamatan Pasien

di Rumah Sakit Prima Medika

I Made Aditya Nugraha, Putu Aries Ridhana Arimbawa .................................................................... 1

Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja

Puskesmas Sidorejo Lor Kota Salatiga

Kristiawan P.A. Nugroho, Fiane De Fretes, Midy Riana Puspitawati ................................................. 6

Peningkatan Keseimbangan Dinamis Pada Anak Down Syndrome Melalui Pemberian

Dynamic Neuromuscular Stabilization (DNS)

Ni Luh Putu Gita Karunia Saraswati, Merinda Ulfa ............................................................................ 19

Kemampuan Mahasiswa Dalam Berpikir Kritis Pada Pembelajaran Keperawatan

Gawat Darurat Yang Dilihat Dari Faktor Metakognisi dan Motivasi Intrinsik

I Nyoman Asdiwinata, A.A. Istri Dalem Hana Yundari, Ni Luh Putu Dewi Puspawati ..................... 25

Analisis Sistem Manajemen Program Pemberian Asi Eksklusif

di Puskesmas Kediri I Kabupaten Tabanan

Dewi Wahyuni Gangga, Ni luh Gede Ari Natalia Yudha, Ni Ketut Martini ....................................... 33

Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Stres Kerja Pada Pegawai Administrasi

I Gusti Ngurah Made Yudhi, I Gusti Lanang Made Rudiartha ............................................................ 39

Pengaruh Pelayanan Prima dan Customer Relationship Management (CRM) Terhadap

Loyalitas Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar

I Gede Suasnawa .................................................................................................................................. 45

Manuscript Guidelines ......................................................................................................................... 48

Pedoman Penulisan Naskah ................................................................................................................. 54

Subscription Guidelines (Petunjuk Berlangganan) .............................................................................. 60

LP2M UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

Page 4: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

BHJ 4(1) Mei 2020

BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN INFUSE PUMP TERHADAP

KESELAMATAN PASIEN

DI RUMAH SAKIT PRIMA MEDIKA DENPASAR

I Made Aditya Nugraha1, Putu Aries Ridhana Arimbawa2

1Mekanisasi Perikanan, Politeknik Kelautan dan Perikanan Kupang 2Program Studi Teknologi Rekayasa Elektromedis, Universitas Bali Internasional

ABSTRAK

Latar Belakang: Pada Rumah Sakit Prima Medika pasien rawat inap mendapatkan terapi intravena. Pemberian cairan

intravena dimaksudkan untuk memasukkan cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infuse set. Penggunaan alat ini bertujuan untuk pengontrolan cairan yang masuk pada pasien

dan memastikan ketepatan dosis sehingga tidak terjadi overdosis. Penggunaan dan kondisi alat infuse pump yang sesuai akan

memberikan dampak terhadap keselamatan pasien itu sendiri. Hal ini disebabkan karena keselamatan pasien di rumah sakit

merupakan sistem rumah sakit dalam memberikan rasa aman kepada pasien. Tujuan: Penelitian ini dibahas mengenai efektivitas penggunaan infuse pump terhadap keselamatan pasien selama perawatan. Metode: Responden dipilih sebanyak 30

orang dengan cara purposive sampling, yaitu pasien yang menerima perawatan dengan penggunaan infuse pump. Responden

diberikan pertanyaan meliputi bunyi dari alarm ketika infuse pump mengalami macet, terdapat gelembung udara, botol infuse

telah kosong, dan baterai infuse pump telah habis. Hasil: Berdasarkan hasil analisis nilai rerata untuk alarm saat infuse pump mengalami kemacetan sebesar 2,8. Nilai rerata untuk alarm ketika terdapat gelembung pada infuse pump sebesar 2,7. Nilai

rerata untuk alarm ketika botol infuse pump telah kosong sebesar 2,8. Nilai rerata untuk alarm ketika baterai infuse pump telah

habis sebesar 2,8. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, untuk keselamatan pasien di Rumah Sakit

Prima Medika berjalan dengan efektif, disebabkan karena indikator pada infuse pump berfungsi dengan baik dengan ketepatan dosis yang harus dimasukan dalam tubuh pasien. Hasil nilai rerata untuk efektivitas penggunaan infuse pump terhadap

keselamatan pasien sebesar 2,73.

Kata kunci: Infuse pump, efektivitas, patient safety

ABSTRACT

Background: Patients in Prima Medika Hospital receive intravenous therapy. Intravenous fluids is intended to insert fluids or drugs directly into the veins in certain amounts and times by using an infusion set. This tool aims to control the entry fluid in

to the patient and ensure the accuracy of the dose. The appropriate use and condition of the infusion pump device will have an

impact on the patient's own safety. This is because patient safety in the hospital is a hospital system in providing a sense of

security to patients. Purpose: This study discussed about effectiveness of infuse pump usage to patient safety during treatment. Method: Respondents were selected as many as 30 people by purposive sampling, ie patients receiving treatment with the use

of infuse pump. Respondents were asked questions include the sound of an alarm when the infuse pump was jammed, air

bubbles, infuse bottles were empty, and the infuse pump battery had run out. Result: Based on the average value analysis for the alarm when the infuse pump has congestion is 2.8. The mean value for the alarm when there is a bubble on the infusw

pump is 2.7. The average value for alarm when the infuse pump bottle is empty is 2.8. The average value for alarm when the

infuse pump battery has been exhausted is 2.8. Conclusion: Based on the results of research that has been done, for patient's

safety in Prima Medika Hospital runs effectively, because the indicator on the infuse pump works well with the accuracy of dose. The result of mean value for effectivity of infuse pump usage on patient safety is 2,73.

Keywords: Infuse pump, effectiveness,patient Safety

Korespondensi:

I Made Aditya Nugraha

Email: [email protected]

Riwayat Artikel:

Diterima 18 September 2019

Disetujui 31 Januari 2020

Dipublikasikan 20 Mei 2020

Page 5: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Efektivitas Penggunaan Infuse Pump

2

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

PENDAHULUAN

Rumah sakit merupakan suatu organisasi

pelayanan sosial kemanusiaan. Secara aktual

pelayanan rumah sakit telah berkembang menjadi

suatu industri yang berbasis pada prinsip–prinsip

ekonomi. Di era globalisasi yang penuh dengan

persaingan ini, manajemen rumah sakit harus

mampu untuk mengakomodasikan setiap perubahan

serta menciptakan pelayanan yang aman dan

nyaman bagi setiap pasien maupun pengguna jasa

kesehatan lainnya[1, 2, 3].

Rumah Sakit Prima Medika merupakan rumah

sakit swasta yang sedang berkembang di Bali.

Rumah sakit ini didirikan pada tahun 2002 dan

terletak di Jalan Pulau Serangan No. 9X, Desa Dauh

Puri Klod, Kota Denpasar, Bali dengan 115 tempat

tidur. Rumah Sakit Prima Medika memiliki visi dan

moto yaitu untuk menjadi rumah sakit terbaik yang

berdaya saing global dan Care With Quality and

Hospitality. Dalam menunjang hasil pemeriksaan

yang lebih akurat dan diakui standar kedokteran

dunia, rumah sakit ini dilengkapi dengan X-Ray,

USG, CT Scan, peralatan anastesi, Ambulance 118,

Laboratorium, Fisioterapi dan peralatan lainnya[4].

Pada Rumah Sakit Prima Medika pasien rawat

inap mendapatkan terapi intravena. Pemberian

cairan intravena dimaksudkan untuk memasukkan

cairan atau obat langsung ke dalam pembuluh darah

vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan

menggunakan infuse set[1]. Untuk pengontrolan

cairan yang masuk pada pasien dan memastikan

ketepatan dosis sehingga tidak terjadi overdosis

pada pasien maka digunakan infuse pump. Infuse

pump merupakan salah satu alat penunjang medis

yang biasa digunakan di dalam ruang gawat darurat,

ruang rawat inap, ruang rawat intensif dan ruang

khusus lainnya. Infuse pump merupakan salah satu

alat kesehatan yang berfungsi untuk memasukan

cairan infus ke dalam tubuh pasien secara otomatis.

Infuse pump digunakan untuk memastikan

ketepatan dosis sehingga tidak terjadi overdosis

pada pasien. Alat ini memiliki fungsi yang penting

dalam pelayanan medis khususnya dalam perawatan

pasien yang kritis, karena cairan yang dimasukkan

dengan menggunakan alat ini langsung melalui

pembuluh darah dan memastikan ketepatan dosis

sehingga tidak terjadi overdosis pada pasien[5].

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan,

didapatkan penggunaan infuse pump di Rumah

Sakit Prima Medika terhadap kenyaman pasien

tidak efektif. Hasil analisis dari penelitian yang

telah dilakukan disimpulkan penggunaan infuse

pump di Rumah Sakit Prima Medika terhadap

kenyaman pasien tidak efektif. Hal tersebut

dibuktikan dengan nilai rerata deskipsi jawaban

responden sebesar 2,43 yang dikatagorikan tidak

nyaman[6]. Selain pengaruh kenyamanan

penggunaan infuse pump, keselamatan pasien dalam

penggunaan infuse pump juga merupakan hal yang

penting.

Gambar 1. Infuse Pump di Rumah Sakit Prima

Medika (Sumber: dokumentasi pribadi)

Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu

sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien

lebih aman yang meliputi assesment risiko,

identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan

dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis

insiden. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak

lanjut serta implementasi solusi untuk

meminimalkan timbulnya risiko dan pencegahan

terjadiya cidera yang disebabkan oleh kesalahan

akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak

mengambil tindakan yang seharusnya diambil juga

termasuk dalam bagian keselamatan pasien di

rumah sakit[7, 8]. Penggunaan infuse pump sebagai

peralatan life support di rumah sakit juga

merupakan bagian dari keselamatan pasien. Alat ini

digunakan untuk mengatur ketepatan dosis cairan

yang masuk ke dalam tubuh manusia yaitu pasien.

Untuk mengetahui adanya gangguan pada sistem

kerja infuse pump, alat ini dilengkapai dengan

alarm. Alarm pada infuse pump akan berbunyi jika

terdapat udara pada selang infus, botol infus telah

kosong, aliran infus tersumbat, terjadi kesenjangan

antara pengaturan titrasi pada infuse pump dengan

aliran infus yang masuk ke pasien, dan baterai infuse

pump hampir habis[5].

Berdasarkan permasalahan di atas maka dalam

penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai

efektivitas penggunaan infuse pump terhadap

keselamatan pasien rawat inap di rumah sakit Prima

Medika Denpasar.

METODE

Penelitian ini dilakukan selama satu bulan,

yaitu dari tanggal 16 Desember 2017 – 16 Januari

2018 di Rumah Sakit Prima Medika, Jalan Pulau

Serangan No. 9X, Desa Dauh Puri Klod, Kota

Denpasar, Bali. Pemilihan lokasi ini dengan

pertimbangan belum adanya penelitian dan

informasi mengenai penggunaan infuse pump di

rumah sakit daerah Bali.

Page 6: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Nugraha & Arimbawa

3

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

Pengambilan sampel dalam penelitian ini

dilakukan dengan dengan teknik Non Probability

Sampling, yaitu purposive sampling. Sampel

diambil adalah para pasien yang menjalani rawat

inap di Rumah Sakit Prima Medika dengan

perawatan menggunakan infuse pump sebanyak 30

responden.

Berdasarkan pokok permasalahan yang

diajukan, variabel-variabel dalam penelitian ini

dapat diidentifikasikan secara garis besar menjadi

beberapa faktor. Penjabaran dari faktor-faktor

tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Indikator Patien Safety Pengunaan Infuse

Pump

Indikator Keterangan

Alarm Infuse pump macet

Terdapat gelembung udara pada

infuse pump

botol infuse telah kosong

baterai infuse pump telah habis

Penelitian ini menggunakan skala rating scale,

dari 1-4. Hal ini dilakukan berdasarkan kesesuaian

dengan penelitan yang dilakukan. Penggunaan skala

ini akan memperbesar variasi jawaban responden,

dibandingkan dua atau tiga tingkatan. Sehingga

terlihat kecenderungan pemilihan jawaban

responden terhadap variabel yang ada, dan

mengurangi kecenderungan responden memberikan

jawaban pada kategori tengah, yang menyebabkan

informasi yang diperoleh menjadi tidak pasti. Skala

rating scale yang digunakan dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Skala Pengukuran Penelitan

Skor Jawaban Kenyamanan Pasien

4 Sangat Nyaman

3 Nyaman

2 Tidak Nyaman

1 Sangat Tidak Nyaman

Hasil scoring data kemudian dihitung dan

dianalisis berdasarkan variabel-varibalenya dan

dimasukan sebagai input pada program SPSS dan

Exel.

Untuk penentuan kategori pada tingkat

kenyamanan digunakan rumus di bawah ini.

𝑃 =𝑅𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔

𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠 ...................... 1

HASIL

Hasil Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Uji validitas dilakukan secara kuantitatif

dengan perhitungan statistik. Perhitungan bertujuan

untuk mendapatkan intem-item yang fungsi

ukurnya sesuai dengan fungsi ukur test. Hasil uji

validitas yang didapat sesuai dengan Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian

No Indikator r hit r tabel Keputusan

1 Q1 0.569 0.361 valid

2 Q2 0.589 0.361 valid

3 Q3 0.732 0.361 valid

4 Q4 0.569 0.361 valid

Nilai hasil uji reliabilitas instrumen penelitian

dengan menggunakan Cronbach’s Alpha yang

didapat adalah sebesar 0,825. Nilai yang didapat ini

lebih besar dari 0,6 sehingga hasil uji reliabilitas

instrumen penelitian ini reliabel [8].

Statistika Deskriptif Distribusi Frekuensi Jawaban

Responden

Perhitungan statistika deskriptif distribusi

freskuensi jawaban dari responden bertujuan untuk

mendapatkan nilai mean atau nilai rerata dari

masing-masing indikator. Untuk penentuan

kefektivitasan penggunaan infuse pump terhadap

keselamatan pasien digunakan rumus 1.

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut didapatkan

untuk nilai P = 1,00 – 1,75 jawaban responden

dikatagorikan Sangat Tidak Efektif, untuk nilai P =

1,76 – 2,50 jawaban responden dikatagorikan Tidak

Efektif, untuk nilai P = 2,51 – 3,25 jawaban

responden dikatagorikan Efektif dan untuk nilai P =

3,26 – 4,00 jawaban responden dikatagorikan

Sangat Efektif. Dari hasil perhitungan nilai P

tersebut dapat kita deskripsikan nilai dari jawaban

responden. Hasil perhitungan statistika deskriptif

distribusi freskuensi jawaban responden yang

didapat sesuai dengan Tabel 4.

Berdasarkan tabel statistika deskriptif distribusi

freskuensi jawaban responden di atas didapatkan

beberapa nilai untuk semua indikator. Nilai mean

untuk alarm saat infuse pump mengalami

kemacetan (Q1) sebesar 2,8. Nilai mean untuk alarm

ketika terdapat gelembung pada infuse pump (Q2)

sebesar 2,7. Nilai mean untuk alarm ketika botol

infuse pump telah kosong (Q3) sebesar 2,8. Nilai

mean untuk alarm ketika baterai infuse pump telah

habis (Q4) sebesar 2,8.

Tabel 4. Statistika Deskriptif Distribusi Freskuensi

Jawaban Responden

Indikator Jawaban

Rerata Katagori 1 2 3 4

Alarm

Q1 - 5 25 - 2,8 Efektif

Q2 5 24 1 2,7 Efektif

Q3 - 7 23 - 2,8 Efektif

Q4 - 5 25 - 2,8 Efektif

Total 2,8 Efektif

Page 7: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Efektivitas Penggunaan Infuse Pump

4

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

PEMBAHASAN

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1691 tahun 2011,

keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu

sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien

lebih aman yang meliputi assesment risiko,

identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan

dengan risiko pasien pelaporan dan analisis insiden.

Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjut

serta implementasi solusi untuk meminimalkan

timbulnya risiko dan pencegahan terjadiya cidera

yang disebabkan oleh kesalahan akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil

tindakan yang seharusnya diambil[6].

Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya

disebut insiden merupakan setiap kejadian yang

tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan

atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat

dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian tidak

diharapkan, kejadian nyaris cedera, kejadian tidak

cedera dan kejadian potensial cedera.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1691 tahun 2011,

sasaran keselamatan pasien mendorong perbaikan

spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran

menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam

pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta

solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian

atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem

yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan

pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi.

Sasaran ini secara umum difokuskan pada solusi-

solusi yang menyeluruh. Penyusunan sasaran ini

mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety

Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang

digunakan juga oleh komite Keselamatan Pasien

Rumah Sakit PERSI (KKPRSI), dan Joint

Commission International (JCI). Adapun enam

sasaran keselamatan pasien yaitu[6]:

1) Ketepatan identifikasi pasien

Rumah sakit mengembangkan pendekatan

untuk memperbaiki atau meningkatkan

ketelitian identifikasi pasien.

2) Peningkatan komunikasi yang efektif.

Rumah sakit mengembangkan pendekatan

untuk meningkatkan efektivitas komunikasi

antar para pemberi layanan.

3) Peningkatan keamanan obat yang perlu

diwaspadai.

Rumah sakit mengembangkan suatu

pendekatan untuk memperbaiki keamanan

obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert)

4) Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-

pasien operasi.

Rumah sakit mengembangkan suatu

pendekatan untuk memastikan tepat lokasi,

tepat prosedur, dan tepat pasien.

5) Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan

kesehatan.

Rumah sakit mengembangkan suatu

pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi

yang terkait pelayanan kesehatan.

6) Pengurangan risiko pasien jatuh.

Rumah sakit mengembangkan suatu

pendekatan untuk mengurangi risiko pasien

dari cedera karena jatuh.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan, untuk keselamatan pasien di Rumah

Sakit Prima Medika dapat terjaga karena indikator

pada infuse pump berfungsi dengan baik dilihat dari

efektivitas penggunaan infuse pump pada pasien

sangat efektif dengan ketepatan dosis yang harus

dimasukan dalam tubuh pasien. Hasil ini diperoleh

dari ada Tabel 4, dimana nilai rerata untuk

efektivitas penggunaan infuse pump terhadap

keselamatan pasien sebesar 2,73.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1691 Tahun 2011, sasaran

keselamatan pasien sudah dapat dipenuhi. Point

yang dipenuhi yaitu pada poin ketiga, peningkatan

keamanan obat yang perlu diwaspadai. Dalam hal

ini rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan

untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu

diwaspadai dan ketepatan dosis yang masuk dalam

tubuh pasien.

KESIMPULAN

Pada Rumah Sakit Prima Medika untuk

keselamatan pasien dapat terjaga karena indikator

pada infuse pump berfungsi dengan baik. Hal ini

dapat dilihat dari efektivitas penggunaan infuse

pump pada pasien sangat efektif dengan ketepatan

dosis yang harus dimasukan dalam tubuh pasien.

SARAN

Seiring dengan perkembangan teknologi

peralatan-peralatan kesehatan maka diperlukan

adanya pelatihan dan SOP dalam penggunaan

peralatan tersebut, tidak terkecuali infuse pump.

Pengunaan infuse pump yang baik sesuai dengan

manual book dan SOP akan lebih berdaya guna dan

umur penggunaan alat yang lebih lama.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih untuk semua pihak yang telah

membantu dalam penelitian ini, antara lain para

sahabat di Rumah Sakit Prima Medika. Semoga

para sahabat dalam keadaan baik. Dumogi Rahayu

Page 8: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Nugraha & Arimbawa

5

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

DAFTAR RUJUKAN

1. Departemen Kesehatan RI. Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 129/Menkes/SK/II/2008, tentang

Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2008.

2. Departemen Kesehatan RI. Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009,

tentang Rumah Sakit, Jakarta: Departemen

Kesehatan RI. 2009.

3. Departemen Kesehatan RI. Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 340/MENKES/PER/III/2010,

tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Jakarta:

Departemen Kesehatan R. 2010.

4. Primamedika.com. [Homepage in Internet].

Indonesia: Rumah Sakit Prima Medika

[update 2017; cited 27 Juni 2019] avaible

from

http://www.primamedika.com/aboutus.htm

5. Wadianto dan Zhafira Fihayah. Simulasi

Sensor Tetesan Cairan, Pada Infus

Konvensional. Jurnal Kesehatan, Volume

VII, Nomor 3, November 2016,hlm 394-

401. 2016.

6. Arimbawa PAR, Nugraha IMA. Efektivitas

Penggunaan Infuse Pump Terhadap

Kenyamanan Pasien di Rumah Sakit Prima

Medika Denpasar. Bali Health Journal,

Volume 2, No 2, November 2018, Halaman

62-69. 2018

7. Departemen Kesehatan RI. Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011,

tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit,

Jakarta: Departemen Kesehatan RI ; 2011.

8. Kolcaba, Katherine. Comfort Theory And

Practice: A Vision For Holistic Health Care

And Research. New York: Spinger

Publishing Company; 2003.

9. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif,

Kualitatif dan R&D. Bandung: Afabeta;

2011.

Page 9: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

BHJ 4(1) Mei 2020

BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ

UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN TUBERKULOSIS PARU

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIDOREJO LOR

KOTA SALATIGA

Kristiawan P.A. Nugroho1, Fiane De Fretes2, Midy Riana Puspitasari3

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK

Latar belakang: Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang dapat menyerang paru – paru sebagai tempat infeksi

primer. Penularan bakteri Tb berlangsung dengan cepat melalui droplet nuklei. Pengobatan Tb paru dilakukan dengan

mengkonsumsi obat secara teratur selama sekitar 6 – 8 bulan dan rutin melakukan pemeriksaan medis ke layanan kesehatan

terdekat untuk memastikan proses kesembuhan penyakit. Upaya pencegahan Tb paru berkaitan erat dengan perilaku penderita,

serta lingkup keluarga dan masyarakat terhadap pencegahan Tb Paru. Tujuan: Mengetahui gambaran upaya pencegahan dan

penularan Tb paru dalam lingkup masyarakat. Metode: Menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan pendekatan studi

kasus. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah responden yang sudah dinyatakan sembuh secara medis lebih dari enam bulan,

keluarga dan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan penderita Tb Paru, berumur di atas 17 tahun dan bertempat tinggal

di wilayah Kota Salatiga. Data diperoleh melalui kuesioner dan wawancara untuk mendapatkan data pendukung dari

responden, keluarga, dan masyarakat terdekat. Hasil: Responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik dalam melakukan

upaya pencegahan penularan Tb Paru. Kesimpulan: Pengetahuan yang dimiliki masyarakat dan keluarga di Wilayah Kerja

Puskesmas Sidorejo Lor, Kota Salatiga dapat dikategorikan baik dalam pencegahan Tb Paru. Lingkup keluarga dan masyarakat

turut berperan terhadap upaya pencegahan penularan penyakit Tb paru.

Kata Kunci: Tuberkulosis Paru, upaya pencegahan, penularan Tb paru

ABSTRACT

Background: Mycobacterium tuberculosis is a bacterium that can infected the lungs as a place of primary infection. Transmission of TB bacteria takes place rapidly through droplet nuclei. Treatment of pulmonary TB is done by taking

medication regularly for about 6-8 months and routinely conducting medical examinations to the nearest health service to

ensure the process of healing the disease. The efforts to prevent pulmonary TB are related closely with behavior of patients,

families and the community to prevent transmission of Pulmonary Tuberculosis. Purpose: this study purposed to understand the action to prevent transmission of pulmonary TB in community with tubercular patients. Method: This research uses

descriptive quantitative method with a case study approach. Inclusion criteria in this study were respondents who had been

declared medically cured for more than six months, families and communities who lived close to patients with Tb Lung, aged

over 17 years and residing in the Salatiga City area, using questionnaires and interviews to get supporting data from respondents, family, and the nearest community. Results: the results of interviews and questionnaires given, that respondents

have a good level of knowledge in conducting prevention efforts. Conclusion: that the knowledge possessed by the community

and family in the Work Area of the Sidorejo Lor Health Center in Salatiga City can be categorized as good in the prevention

of Tb Lung. The role of the family and community against patients with pulmonary tuberculosis are able to prevent the transmission of pulmonary TB disease.

Keywords: Pulmonary tuberculosis, prevention efforts, transmission of pulmonary Tb

Korespondensi:

Midy Riana Puspitasari Email: [email protected]

Riwayat Artikel:

Diterima 23 Agustus 2019

Disetujui 31 Januari 2020 Dipublikasikan 20 Mei 2020

Page 10: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Nugroho, Fretes & Puspitasari

7

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

PENDAHULUAN

Robert Koch menemukan

Mycobacterium tuberculosis sebagai

penyebab infeksi paru pada tahun 1882.

Bakteri yang berbentuk basil ini bersifat

tahan asam sehingga dikenal juga sebagai

Basil Tahan Asam (BTA)[1]. proses

penularan bakteri Tuberkulosis (Tb)

berlangsung dengan cepat melalui droplet

nuklei yang dibatukkan oleh penderita Tb

Paru[2]. Penularan yang cepat menyebabkan

penyebaran dan prevalensi Tb paru

meningkat di masyakarat.

Angka kejadian Tb Paru di Indonesia

dalam 4 tahun terakhir mengalami

fluktuasi. Sejak tahun 2014 – 2017,

kejadian TB Paru mengalami peningkatan

secara berkala, namun terjadi penurunan

drastis pada tahun 2018. Berikut ini adalah

data kejadian Tb di Jawa Tengah sebagai

salah satu provinsi dengan kasus Tb

terbanyak di Indonesia. Data ini

dibandingkan dengan prevalensi Tb Secara

Nasional.

Gambar 1. Angkat kejadian Tb Paru di

Indonesia dan Provinsi Jawa Tengah pada

tahun 2014 – 2018

Menurut Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia[2,3], Dinas Kesehatan

Provinsi Jawa Tengah 2016 – 2018[3-6],

data di atas menunjukan bahwa kasus Tb

Paru di Jawa Tengah dari tahun 2015 –

2017 mengalami peningkatan. Pada tahun

2018[6], penemuan penderita Tb Paru dari

perkiraan kasus sebanyak 103.840

penderita, yang terlaporkan baru 44,33%

atau 48.751 penderita (Gambar 2).

55

240254 252

266

226

194

36

166155

210 218

174 165

0

50

100

150

200

250

300

2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Diobati Sembuh

Gambar 2. Jumlah Penderita Tb diobati dan Jumlah Penderita Tb yang Sembuh Kota Salatiga Tahun 2011 –

2017

Kasus Tb Paru, juga merupakan hal

yang serius bagi Kota Salatiga yang

merupakan bagian dari wilayah Jawa

Tengah. Permasalahan kesehatan yang

terjadi, khususnya penyakit menular seperti

Tb Paru menjadi masalah yang sangat

serius untuk segera ditangani lebih lanjut.

Menurut Dinas Kesehatan Kota Salatiga,

jumlah penderita Tb Paru BTA (+) yang

diobati dan sembuh dari tahun 2011 – 2015

secara berturut – turut adalah 63,64%,

69,17%, 76,73%, 71,42%, dan 81,95%.[7]

Pada tahun 2015, Cure Rate atau angka

kesembuhan ditargetkan mencapai 90%.

Page 11: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru

8

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

Pencegahan Tb Paru tidak hanya

dilakukan oleh pasien tetapi juga oleh

keluarga dan masyarakat. Peran keluarga

dan masyarakat berawal dari pengetahuan

ataupun pemahaman yang baik mengenai

upaya pencegahan Tb Paru dalam rangka

membentuk karakter perilaku masyarakat

yang sehat, bersih, dan terhindar dari

penyakit termasuk Tb Paru[8] Kemampuan

keluarga dan masyarakat untuk menangani

pasien dengan Tb Paru secara dini dan tepat

akan membawa dampak jangka pendek dan

jangka panjang terhadap kualitas

kehidupan pasien Tb Paru. Kualitas

kehidupan meliputi kesehatan fisik,

pertumbuhan dan perkembangan, aktivitas

sosia, serta kepercayaan diri diduga

berpeluang menurunkan risiko komplikasi

primer atau komplikasi penyebaran

hematogen dan limfogen.[8]

Dalam penanganan penyakit seperti Tb

Paru, keluarga mempunyai peranan yang

sangat penting. Anggota keluarga dapat

memberikan informasi mengenai penyakit,

memberi dukungan moril, dan mencegah

penularan penyakit tersebut. Lingkup

keluarga memiliki risiko penularan Tb Paru

melalui droplet nuklei yang mudah dihirup

oleh orang terdekat terutama pada balita

dan lansia yang memiliki daya tahan tubuh

lebih rendah dan tidak menggunakan alat

pelindung diri seperti masker. Aspek

kebersihan lingkungan di dalam rumah

juga harus diperhatikan agar

perkembangan bakteri Tb Paru tidak

semakin bertambah.[9] Dalam lingkup

masyarakat, perlu adanya pemberian

komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

tentang upaya pencegahan Tb Paru pada

masyarakat agar terjadi peningkatan

pengetahuan dan keterampilan dalam upaya pencegahan penyakit Tb.[10]

Berdasarkan fenomena tersebut,

penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

bagaimana upaya pencegahan Tb Paru oleh

keluarga dan masyarakat yang tinggal

berdekatan dengan pasien Tb Paru.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode

kuantitatif deskriptif. Teknik analisa data

menggunakan deskriptif univariat dengan

tabel frekuensi. Dalam pengambilan

sampel, digunakan teknik purposive

sampling dengan kriteria inklusi adalah

responden post Tb Paru yang dinyatakan

sembuh secara medis minimal lebih dari

enam bulan, dan responden keluarga dan

masyarakat yang tinggal di sekitar pasien

post Tb Paru, dan seluruh responden yang

bersedia berusia di atas 17 tahun dan

bertempat tinggal di wilayah Kota Salatiga.

Kriteria ekslusi adalah calon responden

atau orang terdekatnya yang tidak bersedia

untuk terlibat dalam penelitian. Penelitian

ini dilakukan di Puskesmas Sidorejo Lor

dan tempat tinggal responden, dari bulan

Januari – April 2019 dengan studi

observasi pada bulan November –

Desember 2018.

Instrumen pengambilan data berupa

kuesioner dan wawancara tidak terstruktur.

Kuesioner berisi pertanyaan – pertanyaan

seputar pengetahuan responden yang

diberikan kepada keluarga dan masyarakat

yang dekat dengan pasien post Tb Paru,

mengenai Tb Paru. Wawanara tidak

tersrtuktur diberikan kepada responden

post Tb Paru. Kategori dari hasil penelitian

kuesioner berdasarkan pengetahuan

responden dibagi menjadi tiga kategori

yaitu baik, cukup, dan kurang. Wawancara

semi terstruktur dilakukan kepada pasien

post Tb Paru sebagai informasi penunjang

hasil kuesioner.

HASIL

Karakteristik Responden Keluarga /

Masyarakat Sekitar

Berdasarkan hasil pengumpulan

data terhadap 20 responden keluarga /

masyarakat sekitar pasien post Tb,

diperoleh data karakteristik responden

(Tabel 1) berdasarkan umur < 30 tahun

sebanyak 5 (25%) dan > 30 tahun sebanyak

15 (75%), jenis kelamin pria sebanyak 8

Page 12: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Nugroho, Fretes & Puspitasari

9

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

(40%) dan wanita sebanyak 12 (60%),

pendidikan terakhir SD sebanyak 7 (35%),

SMP sebanyak 6 (30%), SMA sebanyak 6

(30%) dan S1 hanya 1 (5%), lama

mengenal responden Tb Paru < 6 bulan

sebanyak 9 (45%) dan > 6 bulan sebanyak

11 (55%).

Tabel 1. Karakteristik Responden Keluarga /

Masyarakat Sekitar

Variabel Jumlah Presentase

(%)

Umur :

< 30

Tahun

> 30

Tahun

5

15

25

75

Jenis

Kelamin :

Pria

Wanita

8

12

40

60

Pendidikan

Terakhir :

SD

SMP

SMA

S1

7

6

6

1

35

30

30

5

Lama

mengenal

responden

Tb Paru :

< 6 bulan

> 6 bulan

9

11

45

55

Pengetahuan Keluarga Dan Masyarakat

Tentang Penyakit Tb Paru

Pengetahuan responden mengenai

Tb Paru, didasarkan pada beberapa aspek

yakni penularan penyakit, isolasi sosial

terhadap pasien Tb Paru, kesembuhan

penyakit, serta gejala penyakit (contohnya

batuk).

1. Penyakit Tb Paru merupakan penyakit

yang bersifat menular

TB adalah penyakit menular

langsung yang disebabkan oleh kuman

TB (Mycobacterium Tuberculosis),

kuman ini menyerang beberapa organ

termasuk paru – paru.

Gambar 3. Penyakit Tb paru merupakan

penyakit yang bersifat menular

Gambar 3 menyatakan bahwa

sebanyak 70% responden menjawab

setuju bahwa penyakit Tb Paru yang

bersifat menular, sedangkan 30%

responden menjawab tidak setuju.

2. Isolasi Sosial pada Pasien Tb Paru.

Menjauhi pasien Tb Paru adalah

salah salah satu stigma yang biasanya

ditunjukan oleh masyarakat terhadap

pasien. Hasil pada Grafik4 menunjukan

bahwa hanya 10% menjawab setuju

bahwa pasien Tb Paru perlu dijauhi

karena berpotensi untuk menularkan

penyakitnya, sedangkan 90% responden

menjawab tidak setuju.

Gambar 4. Isolasi Sosial pada Pasien Tb

Paru.

70

30

Setuju Tidak setuju

10

90

Setuju Tidak setuju

Page 13: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru

10

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

3. Pasien Tb Paru dapat disembuhkan

Penyakit Tb Paru dapat

disembuhkan jika pasien mampu

memenuhi peraturan pengobatan

penyakit Tb Paru. Sebanyak 95%

responden menjawab setuju bahwa pasien

Tb paru dapat disembuhkan, 5%

responden menjawab tidak setuju.

Gambar 5. pasien Tb paru dapat disembuhkan

4. Rujukan untuk melakukan

pemeriksaan medis.

Rujukan untuk melakukan

pemeriksaan, merupakan salah satu

langkah awal untuk mencegah

penyebaran lebih lanjut dan penanganan

kasus sedini mungkin. Sebanyak 95%

responden menjawab setuju bila

seseorang yang menderita batuk selama

lebih dari tiga minggu berturut – turut

perlu dirujuk untuk melakukan

pemeriksaan medis, dan hanya 5%

responden menjawab tidak setuju.

Gambar 6. Rujukan untuk pemeriksaan

Upaya Keluarga dan Masyarakat dalam

Pencegahan Tb Paru

Berikut ini adalah upaya keluarga

dan masyarkat tentang pencegahan

penularan TB Paru. Beberapa upaya yang

dilakukan adalah edukasi kepada pasien Tb

Paru untuk tidak membuang dahak

sembarangan serta cara batuk yang baik

dan benar.

1. Tidak Membuang Dahak Sembarangan

Walaupun bakteri Mycobacterium

Tuberculosis memang akan mati dalam

beberapa detik saat terpapar udara, namun

membuang dahak sembarangan terutama di

depan publik, tentu memiliki resiko

penularan. Berdasarkan Gambar 7, Semua

responden atau 100 % responden

menjawab setuju bahwa pasien Tb paru

tidak diperbolehkan membuang dahak

sembarangan.

Gambar 7. Pasien Tb Paru tidak diperbolehkan

membuang dahak sembarangan.

2. Menutup mulut dengan tisu / sarung

tangan saat batuk

Menutup mulut saat batuk

merupakan metode penegahan penularan

yang selalu diinformasikan oleh petugas

kesehatan kepada pasien Tb Paru.

Berdasarkan Gambar 8, semua atau 100%

responden keluarga dan masyarakat

menjawab setuju bahwa penderita Tb Paru

perlu menutup mulut dengan tisu / sarung

tangan saat batuk.

Gambar 8. Pasien Tb Paru harus menutup mulut

dengan tisu / sarung tangan saat batuk

3. Penggunaan masker saat Pasien

berinteraksi

Penggunaan masker dinilai sebagai

barrier yang efektif untuk mencegah

penularan. Hasil penelitian pada Gambar 9

menunjukan bahwa 70% responden

95

5

Setuju Tidak setuju

95

5

Setuju Tidak setuju

100

-

Setuju Tidak setuju

100

-

Setuju Tidak setuju

Page 14: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Nugroho, Fretes & Puspitasari

11

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

menjawab setuju bahwa pasien Tb Paru

perlu menggunakan masker saat

berinteraksi (berkomunikasi) dengan orang

lain, 30% responden menjawab tidak

setuju.

Gambar 9. Penggunaan masker saat berinteraksi

4. Pemisahan alat makan dengan orang

lain yang sehat

Pemisahan alat makan dengan

orang lain dianggap sebagai cara lain yang

dilakukan oleh keluarga ataupun

masyarakat untuk mencegah penularan.

Sebanyak 80% responden menjawab setuju

bahwa pasien Tb Paru perlu memiliki alat

makan tersendiri, 20% responden

menjawab tidak setuju.

Gambar 10. Pemisahan alat makan

5. Isolasi lingkungan selama proses

perawatan dan pemulihan di rumah.

Isolasi merupakan pembatasan

terhadap ruang gerak pasien Tb Paru pasca

hospitalisasi. Sebanyak 55% responden

menjawab setuju bahwa pasien Tb Paru

perlu diisolasi di ruangan terpisah saat

melakukan perawatan dan pemulihan di

rumah, 45% responden menjawab tidak

setuju.

Gambar 11. Isolasi lingkungan selama proses

perawatan dan pemulihan.

6. Pembatasan interaksi sosial antara anak

– anak dan Pasien Tb Paru

Anak – anak terutama balita,

memiliki tingkat kerentanan yang tinggi

untuk mengalami penularan. Dari hasil

yang didapatkan 85% responden menjawab

setuju bahwa interaksi antara anak – anak

dengan pasien Tb Paru perlu dibatasi, 15%

responden menjawab tidak setuju.

Gambar 12. Pembatasan interaksi antara anak –

anak dan Pasien Tb Paru

7. Pengaturan Lingkungan

Memodifikasi lingkungan rumah

merupakan suatu cara untuk mencegah

terjadinya penularan Tb Paru. Salah satu

upaya yang dilakukan adalah membuka

jendela rumah dan membiarkan matahari

masuk kedalam rumah dan serta

memberikan ventilasi udara.

Gambar 13. Pengaturan Lingkungan melalui jendela

dan ventilasi udara

Hasil penelitian menunjukan bahwa

95% responden menjawab setuju bahwa

membuka jendela rumah merupakan salah

satu upaya yang dapat dilakukan untuk

mencegah penularan Tb Paru, 5%

responden menjawab tidak setuju.

8. Konsumsi makanan bergizi

Mengkonsumsi makanan bergizi

seperti sayur – sayuran, buah – buahan dan

makanan tinggi protein, sangat penting

bagi kesehatan tubuh, sehingga mampu

untuk menjaga sistem imun dan kekebalan

penyakit. Semua responden menjawab

70

30

Setuju Tidak setuju

80

20

Setuju Tidak setuju

55 45

Setuju Tidak setuju

85

15

Setuju Tidak setuju

95

5

Setuju Tidak setuju

Page 15: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru

12

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

setuju bahwa konsumsi makanan bergizi

merupakan salah satu cara untuk menjaga

kesehatan tubuh dan mencegah penularan

penyakit Tb Paru.

Gambar 14. Konsumsi makanan bergizi

9. Imunisasi BCG (Bacillus Calmette

Guerin)

Memberikan Imunisasi BCG

(Bacillus Calmette Guerin) wajib diberikan

karena dapat meningkatkan kekebalan

tubuh dari penyakit dan diberikan kepada

bayi yang baru lahir hingga berusia dua

bulan. Orang dewasa juga diperbolehkan

menerima vaksin BCG jika belum

diberikan semasa anak-anak. Semua

responden menjawab setuju bahwa

imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)

merupakan salah satu cara yang dapat

digunakan untuk meningkatkan kekebalan

tubuh dari penyakit, salah satunya Tb Paru.

Gambar 15. Imunisasi BCG (Bacillus Calmette

Guerin)

Respon Keluarga Dan Masyarakat

Terhadap Penderita Tb Paru

Dari hasil kuesioner yang diberikan

peran dan respon keluarga akan

menentukan cara keluarga ataupun

masyarakat untuk mencegah terjadinya

penularan Tb Paru terhadap anggota

keluarga dan masyarakat terdekat. Respon

pasien saat berhadapan dengan pasien Tb

Paru ditunjukan pada Gambar 16.

Sebagian atau 50% responden menjawab

memiliki rasa takut / khawatir terhadap

penularan penyakit saat berhadapan

ataupun berkomunikasi dengan pasien Tb

Paru, sedangkan 50% responden

menjawab tidak takut ataupun kuatir.

Gambar 16. Perasaan takut dan kuatir

Kesimpulan Tingkat Pengetahuan

keluarga terhadap pencegahan Tb Paru

Berikut ini adalah kesimpulan

untuk upaya keluarga dan masyarakat

tentang pencegahan penularan TB Paru.

Beberapa upaya yang dilakukan adalah

Gambar 17. Tingkat pengetahuan responden

keluarga / masyarakat terhadap upaya pencegahan

penularan TB Paru

Berdasarkan data di atas, tingkat

pengetahuan responden berada dalam

kategori “baik” sebanyak 95% responden

sedangkan hanya 5% responden yang

memiliki tingkat pengetahuan “cukup”.

Pengetahuan tentang Tb Paru yang baik

didasarkan pada pemahaman mengenai

penyakit tersebut yaitu, bagaimana cara

pasien dalam mencegah penularan Tb

Paru, konsumsi makanan bergizi, serta

pemberian Imunisasi BCG (Bacillus

Calmette Guerin). Responden dengan

kategori “cukup” memiliki pengetahuan

tentang Tb Paru yang terbatas misalnya

penyakit Tb tidak dapat menular juga tidak

dapat disembuhkan dan tidak perlu

menutup mulut saat penderita berinteraksi

dengan orang lain.

100

-

Setuju Tidak setuju

100

-

Setuju Tidak setuju

50 50

Setuju Tidak setuju

18

2Baik

Cukup

Page 16: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Nugroho, Fretes & Puspitasari

13

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

PEMBAHASAN

Pengetahuan Keluarga dan Masyarakat

Tentang Penyakit Tb Paru

Berdasarkan hasil penelitian

menunjukan bahwa tidak semua

masyarakat paham mengenai cara

penularan Tb Paru. Sebanyak 70%

responden menyatakan bahwa Tb Paru

menular dan hanya 30% yang menyatakan

bahwa penyakit ini tidak menular.

Pemahaman terhadap penularan dapat

membantu responden untuk melakukan

berbagai upaya pencegahan terhadap

penularan penyakit ini. Sebaliknya,

beberapa pasien Tb Paru juga menyatakan

bahwa responden tidak membatasi

interaksi dengan para pasien selama proses

pengobatan. Menurut Suharyo[11], saat

pasien Tb Paru berbicara ataupun batuk

saat berhadapan dengan orang lain, bakteri

dapat ditularkan dengan cepat. Namun,

kebanyakan masyarakat memiliki

pengetahuan yang kurang tentang

informasi mengenai penyakit Tb Paru serta

penularannya, sehingga mereka

menganggap penyakit Tb Paru merupakan

penyakit yang tidak menular[12].

Pengetahuan responden mengenai

penyakit juga didasarkan pada pemahaman

mereka mengenai gejala penyakit. Hampir

seluruh responden 95% responden paham

dengan gejala penyakit Tb Paru.

Pemahaman yang baik akan meningkatkan

sensitifitas masyarakat untuk melakukan

deteksi awal dan rujukan sedini mungkin

untuk mengatasi penyebaran bakteri.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa masih

ada sebagian kecil responden yang tidak

setuju untuk melakukan pemeriksaan

ataupun rujukan saat muncul gejala. Padahal, beberapa pasien Tb Paru

menyatakan bahwa gejala awal yang

timbul bukan hanya batuk berdahak namun

hingga berdarah.

Pada saat muncul gejala Tb Paru,

langkah awal yang harus dilakukan oleh

keluarga dan masyarakat adalah melakukan

rujukan ke pusat pelayanan kesehatan

terdekat. Pemeriksaan awal Tb Paru adalah

dengan tes sputum dan dilanjutkan dengan

pemeriksaan rontgen thorax. Kurangnya

inisiatif keluarga ataupun masyarakat

untuk mengambil keputusan awal untuk

pemeriksaan disebabkan ada keluarga yang

merasa malu dan takut dengan kenyataan

bahwa ada anggota keluarga mereka yang

mengalami penyakit Tb Paru. Selain itu,

persepsi sebagian keluarga serta

masyarakat yang tidak peka terhadap gejala

penyakit Tb Paru disebabkan kurangnya

kepedulian dari keluarga dan masyarakat

terhadap risiko penularan yang dapat

ditimbulkan oleh penyakit tersebut.[13]

Sikap isolasi sosial terhadap pasien

dengan Tb juga dipengaruhi oleh

pengetahuan responden terhadap penyakit.

Sebanyak 95% punya pengetahuan yang

baik tentang penyakit Tb Paru. Oleh karena

itu, hanya 10% responden bersetuju untuk

menjauhi pasien dengan Tb Paru karena

berisiko menularkan penyakit. Penularan

yang cepat, namun proses penyembuhan

yang lama hingga risiko relaps

menyebabkan banyak orang dengan minim

informasi lantas mengambil sikap untuk

menjauhi pasien dengan Tb Paru. Sebanyak

90% responden yang tidak setuju untuk

menjauhi pasien berpendapat bahwa sikap

menjauhi dapat menimbulkan perasaan

tersingkir dari lingkungan sosial.

Responden Tb Paru juga membutuhkan

dukungan sosial untuk meningkatkan rasa

percaya diri dan perasaan aman selama

menjalani pengobatan.

Dukungan sosial, dapat

meningkatkan kepercayaan diri pasien

untuk patuh dalam pengobatan dengan

jangka waktu yang lama. Menurut

Nitari[14], penelitian ini menunjukan bahwa

pasien dengan kasus kronis memiliki risiko mengalami depresi apabila tidak

mendapatkan motivasi dari keluarga. Pada

pasien Tb Paru, risiko ini dapat

menyebabkan pasien tidak mau minum

obat, sehingga terjadi relaps penyakit Tb

Paru di kemudian hari. Kejadian tersebut

dapat menyebabkan pasien mengalami

resistensi terhadap obat anti Tuberkulosis

Page 17: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru

14

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

(OAT) dengan tipe obat tertentu atau

dikenal dengan penyakit TB-MDR

(Tuberculosis multidrugs resistant). Oleh

karena itu, penting bagi pasien untuk

mengonsumsi obat secara teratur sebagai

bagian utama dalam proses kesembuhan.

Proses kesembuhan penyakit

merupakan aspek lain yang berkaitan

dengan pengetahuan responden. Sebanyak

95% responden menjawab setuju bahwa

penderita Tb Paru dapat disembuhkan.

Pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga

dan masyarakat terkait penyembuhan

penyakit Tb paru adalah bahwa

penderitanya dapat disembuhkan dengan

minum obat secara teratur sesuai dengan

indikasi yang diberikan oleh dokter kepada

pasien Tb Paru.

Menurut I Dewa Ayu[15],

menyimpulkan bahwa prinsip pengobatan

Tb Paru diberikan melalui dua tahapan,

yaitu fase intensif (tahapan awal) dan fase

lanjutan. Pada fase intensif (tahapan awal)

penderita mendapatkan obat selama dua

bulan dan diminum setiap hari dan diawasi

secara langsung untuk mencegah terjadinya

resisten obat. Fase lanjutan pasien Tb Paru

mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lama. Fase ini

sangat penting untuk membunuh kuman

persister sehingga dapat mencegah

terjadinya kekambuhan pada pasein Tb

Paru. Hal ini didukung pernyataan verbal

dari lima orang pasien post Tb Paru yang

menyatakan bahwa prinsip pengobatan

penyakit Tb Paru yang benar dan tepat

yaitu minum obat secara teratur dan rutin

selama enam bulan. Namun, Sebanyak 5%

responden menyatakan bahwa penderita Tb

paru tidak dapat disembuhkan. Hal tersebut

dipengaruhi oleh masa pengobatan yang

sangat lama, sehingga pasien seringkali putus obat hingga terjadi kasus resitensi

obat (TB-MDR) yang diberikan selama

enam bulan. Dampak dari putus obat

adalah pasien harus melakukan

pemeriksaan ulang dan mendapatkan

pengobatan yang lebih spesifik karena

bakteri Tb yang resisten pada golongan dan

dosis antibiotik tertentu. Pasien TB-MDR

menularkan bakteri yang resisten pada

antibiotik golongan tertentu dengan masa

inkubasi yang lebih cepat.

Upaya Pencegahan Tb Paru oleh Keluarga

dan Masyarakat

Upaya pencegahan Tb Paru oleh

responden terbagi atas beberapa aspek

yakni:

1. Pencegahan Penularan dengan cara

membuang dahak yang benar dan

menutup mulut saat batuk

Sebanyak 100% responden

menjawab setuju bahwa pasien Tb

Paru tidak diperbolehkan membuang

dahak sembarangan. Informasi

mengenai hal tersebut diperoleh

responden dari dokter maupun perawat

yang menyampaikan informasi

mengenai cara pembuangan dahak

yang benar. Sependapat dengan

Suharyo[11], dalam penelitiannya

tentang sumber penularan penyakit Tb

Paru adalah penderita tuberkulosis

BTA positif. Penderita menyebarkan

kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percikan dahak). Hal yang menjadi

kebiasan buruk pasien Tb Paru yaitu

membuang dahak sembarangan.

Meskipun terdapat sebanyak 30%

responden yang menyatakan Tb Paru

tidak menular, namun upaya yang

dilakukan dengan membuang dahak di

kamar mandi (kloset) atau tidak

dibuang secara sembarangan

merupakan upaya yang dapat

dilakukan dalam mencegah rantai

penularan Tb Paru. Sebanyak 70%

responden menjawab setuju bahwa

pasien Tb Paru perlu menggunakan

masker saat berinteraksi

(berkomunikasi) dengan orang lain, pendapat keluarga dan masyarakat

selalu waspada saat berinteraksi

dengan pasien Tb Paru.

Hasil wawancara tidak

terstruktur dengan pasien post Tb Paru

juga menyatakan bahwa Tb Paru

merupakan penyakit yang menular

dengan cara jika penderita membuang

Page 18: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Nugroho, Fretes & Puspitasari

15

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

dahak sembarangan, tempat makan

dan minum yang sama dengan pasien

Tb Paru, dan bila tidak menutup mulut

saat batuk. Pasien Tb Paru menyatakan

bahwa edukasi kesehatan bahkan

dilakukan oleh petugas Balai

Pengobatan Paru – Paru (BP4) melalui

kunjungan rumah dan edukasi saat

awal pengobatan di puskemas.

Informasi yang diterima adalah

kepatuhan minum obat dan pelayanan

Komunikasi Infromasi Edukasi (KIE)

tentang upaya pencegahan Tb Paru.

Pernyataan keluarga dan

masyarakat bahwa responden

menjawab setuju bahwa pasien Tb

Paru perlu menutup mulut dengan tisu

/ sarung tangan saat batuk. Upaya

tersebut dapat mengurangi proses

penularan melalui udara. Terkait hal

tersebut, menurut Kementerian

Indonesia,[16] pencegahan penyakit Tb

Paru dapat dilakukan dengan cara

penerapan etika batuk dengan cara

menutup mulut / hidung dengan tisu,

jika tidak memiliki tisu maka mulut

dan hidung ditutup dengan tangan atau

pangkal lengan. Sesudah batuk, tangan

dibersikan dan tisu dibuang pada

tempat sampah yang dikhususkan

untuk pasien Tb Paru.

2. Konsumsi makanan bergizi

Seluruh responden 100%,

menyatakan bahwa konsumsi

makanan bergizi merupakan salah satu

cara untuk menjaga kesehatan tubuh

dan mencegah penularan penyakit Tb

Paru. Para responden berpendapat

bahwa dengan menjaga pola hidup

sehat dengan makan – makanan

bergizi hal ini mampu meningkatkan sistem imun, sehingga sangat minim

untuk terjadi penularan terhadap

anggota keluarga dengan pasien TB

paru. Hal ini didukung oleh hasil

wawancara tidak terstruktur dengan

lima pasien post Tb Paru yang

mengatakan bahwa peningkatan

imunitas tubuh sangat penting untuk

mencegah penularan. Kekebalan tubuh

yang baik adalah kunci dalam

mencegah Tb Paru dengan cara

mengonsumsi banyak makanan yang

mengandung antioksidan serta dengan

mengkonsumsi makanan yang bergizi

dan tinggi protein seperti ikan,

sayuran, dan buah.

3. Penggunaan Alat makan yang terpisah

Sebanyak 80% responden

menjawab setuju bahwa pasien Tb

Paru perlu memiliki alat makan

tersendiri. Kebiasaan memiliki alat

makan sendiri, akan mengurangi risiko

penularan tehadap keluarga yang

tinggal bersama pasien Tb Paru.

Pernyataan ini didukung oleh hasil

wawancara empat pasien post Tb Paru

menyatakan bahwa tidak

menggunakan alat makan seperti gelas

dan piring secara bergantian dengan

anggota keluarga dalam rumah.

Menurut Mujahidin,[17] mencuci

peralatan makan dan minum yang

telah pasien Tb Paru dengan sabun

cuci saja tidak cukup untuk membunuh

bakteri Mycobacterium tuberculosis.

Upaya lain yang dapat dilakukan

adalah dengan merebus peralatan

makan. Sebanyak 20% responden

tidak setuju untuk memisahkan

peralatan makan pasien dengan

keluarga karena menganggap bahwa

proses penularan tidak terjadi melalui

penggunaan alat makan secara

bergantian, melainkan apabila

keluarga terkena percikan dahak saat

pasien Tb Paru batuk.

4. Isolasi ruangan terpisah antara

keluarga dan penderita Tb paru Sebanyak 55% responden

menjawab setuju bahwa penderita Tb

Paru perlu diisolasi di ruangan terpisah

saat melakukan perawatan dan

pemulihan di rumah. Keluarga

berpendapat bahwa dengan cara

dilakukan isolasi di ruangan terpisah

dapat mencegah terjadinya proses

Page 19: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru

16

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

penularan dalam masa pemulihan dari

penyakit Tb Paru. Pernyataan ini

sependapat dengan Rahayu[18] yang

menyimpulkan bahwa cara pemisahan

ruangan atau isolasi ruangan untuk

pasien Tb Paru dengan anggota

keluarga dilakukan jika ruangan

tersebut kurang dari 10 m2/ orang.

Apabila lebih dari ukuran tersbeut,

maka ruangan hanya bisa dihuni oleh

dua orang saja dan tidak lebih, selain

itu pelru menjaga jarak saat berada di

dalam satu ruangan dengan pasien.

Akan tetapi, 45% responden

menjawab tidak setuju karena keluarga

berpendapat jika dilakukan isolasi

ruangan, maka pasien Tb Paru akan

merasa tersingkirkan oleh keluarga,

dan keluarga berpendapat bahwa

keuarga akan menerima pasien Tb

Paru jika pasien Tb Paru juga ikut

dalam satu ruangan dengan anggota

keluarga lainnya.

5. Jarak antara Keluarga dan Penderita

Tb paru

Sebanyak 85% responden

menjawab setuju bahwa interaksi

antara anak – anak dengan pasien Tb

Paru perlu dibatasi, keluarga dan

masyarakat terdekat pasien Tb Paru

berpendapat bahwa pasien Tb Paru

perlu dibatasi dalam berinteraksi

dengan anak – anak karena sistem

imun yang dimiliki anak – anak cukup

lemah sehingga sangat rentan untuk

tertular penyakit Tb Paru. Keluarga

harus membiasakan anak untuk selalu

berperilaku hidup bersih dan sehat

dengan cara menjaga kebersihan tubuh

dan mengkonsumsi makanan yaang

bergizi, sehingga daya tahan tubuh anak dapat terjaga dengan baik dan

tidak mudah terpapar penyakit.[19]

Seluruh responden keluarga

dan masyarakat menjawab setuju

bahwa pemberian imunisasi BCG

sebagai upaya pencegahan penyakit Tb

Paru. Pemberian imunisasi sangat

diperlukan untuk memberikan

perlindungan, pencegahan, sekaligus

membangun kekebalan tubuh terhadap

berbagai penyakit menular. Vaksin

BCG ini diutamakan untuk anak –

anak kecil yang diberikan sebelum

usia tiga bulan (0 – 3 bulan) dan

optimalnya usia dua bulan. Sebanyak

15 % responden menjawab tidak setuju

karena pihak keluarga tidak mau

membatasi anak – anak untuk

berinteraksi dengan pasien Tb Paru,

karena keluarga berpendapat bahwa

penderita Tb paru juga membutuhkan

interaksi pada anak – anak, sehingga

tidak ada batasan dalam berinteraksi.

6. Modifikasi lingkungan rumah

Sebanyak 95% responden

menjawab setuju bahwa membuka

jendela rumah merupakan salah satu

upaya yang dilakukan oleh keluarga

untuk mencegah terjadinya penularan

dengan cara memodifikasi rumah.

Ketika anggota keluarga menemani

pasien Tb Paru berobat di layanan

kesehatan, keluarga mengaku bahwa

dengan membuka jendela dan pintu

rumah pada pagi hari bersamaan

dengan masuknya sinar matahari pagi

dapat membunuh bakteri Tb yang

berada di dalam rumah. Informasi

tersebut disampaikan oleh dokter saat

berobat ke Puskesmas. Kondisi

lembab akibat kurangnya pencahayaan

sinar matahari dan kurang optimalnya

pergantian udara di dalam lingkungan

rumah menunjukkan bahwa keadaan

rumah tersebut belum memenuhi

syarat, sehingga berisiko terjadinya

proses penularan Tb Paru. Upaya-

upaya tersebut dapat membantu

mengurangi perkembangbiakan bakteri Tb di dalam rumah.[11]

Sebanyak 5 % responden menjawab

tidak setuju karena dengan berjemur di

bawah sinar matahari pagi dianggap

sudah cukup bagi pasien Tb Paru

dalam proses pemulihannya tanpa

perlu membuka jendela dan pintu di

pagi hari.

Page 20: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Nugroho, Fretes & Puspitasari

17

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

Respon Keluarga Dan Masyarakat

Terhadap Penderita Tb Paru

Sebagian responden (50%)

menyatakan setuju bahwa keluarga dan

masyarakat terdekat pasien memiliki rasa

takut atau kekhawatiran akan tertular saat

berhadapan dengan pasien Tb Paru.

Penelitian ini serupa dengan penelitian

Yosephina yang menyatakan bahwa

perasaan yang dialami oleh keluarga dan

masyarakat adalah adanya perasaan takut

atau khawatir karena takut tertular saat

melakukan tindakan pencegahan Tb Paru

dan perasaan malu saat melakukan

pencegahan penularan Tb Paru.[12] Namun,

sebanyak 50% responden menjawab tidak

setuju karena keluarga dan masyarakat

berpendapat bahwa berhadapan langsung

dengan pasien Tb paru tidak akan langsung

tertular.

Terkait peran keluarga / masyarakat

untuk pencegahan Tb paru, seluruh

responden menyatakan setuju bahwa

keluarga / masyarakat memiliki peran /

andil untuk mencegah penularan Tb Paru.

Kesadaran serta kepedulian keluarga dan

masyarakat tentang penularan dan

pencegahan Tb Paru perlu ditingkatkan

karena pasien Tb Paru berada disekitar

anggota keluarga. Nur Lailatul M yang

menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa

keluarga merupakan salah satu cara yang

dapat mencegah terjadinya penularan

penyakit Tb Paru agar tidak terjadi

penularan ke anggota keluarga lainnya /

masyarakat terdekat, karena keluarga

mampu memberikan perhatian lebih

kepada pasien Tb Paru dalam hal

pengobatan maupun pencegahan.[9]

Terkait pencegahan Tb Paru yang

dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, seluruh responden menjawab setuju bahwa

keluarga / masyarakat perlu mengingatkan

pasien Tb Paru harus menutup mulut saat

batuk. Kepedulian yang dimiliki keluarga

dan masyarakat kepada pasien Tb Paru

merupakan hal yang sangat penting karena

dengan cara mengingatkan pasien Tb Paru

dapat mengurangi rIsiko penularan Tb Paru

pada anggota keluarga atau masyarakat

terdekat.

SIMPULAN

Pengetahuan tentang pencegahan

penularan penyakit Tb Paru yang dimiliki

keluarga dan masyarakat di wilayah kerja

Puskesmas Sidorejo Lor kota Salatiga

dapat dikategorikan baik dalam upaya

pencegahan Tb Paru. Peran keluarga dan

masyarakat dalam usaha pencegahan

penularan penyakit Tb Paru terhadap

pasien Tb Paru dengan cara mengingatkan

pasien Tb Paru untuk minum obat secara

teratur, menjaga pola hidup sehat, serta

cara pencegahan penularan Tb Paru. Jadi,

peran keluarga sangat berpengaruh bagi

pasien Tb Paru dalam fase pengobatan

maupun fase kesembuhan dengan cara

pencegahan Tb paru agar mencegah

kekambuhan penyakit Tb Paru.

SARAN

Perlu ditingkatkan lagi kerjasama

antara pasien Tb Paru yang pernah sakit,

keluarga serta masyarakat terdekat pasien

Tb Paru dengan tenaga kesehatan melalui

pendekatan, motivasi serta peningkatan

pengetahuan dan motivasi dari tenaga

layanan kesehatan maupun masyarakat

terhadap tindakan upaya pencegahan

penularan penyakit Tb Paru di Puskesmas

Sidorejo Lor, kota Salatiga.

DAFTAR RUJUKAN

1. Darliana D, Keilmuan B, Medikal K.

Manajemen Pasien Tuberculosis Paru.

2011;II:27–31.

2. Izzati S, Basyar M, Nazar J. Faktor

Risiko yang Berhubungan dengan

Kejadian Tuberkulosis Paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Andalas

Tahun 2013. 2015;4(1):262–8.

Page 21: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru

18

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

3. Kementrian Kesehatan Republik

Indoneisa. Profil Kesehatan Indoneisa.

2015.

4. Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia.

2016.

5. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa

Tengah. Profil Kesehatan Jawa

Tengah. Vol. 3511351. Semarang;

2016. 16–18 p.

6. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa

Tengah. Profil Kesehatan Jawa

Tengah. 2018.

7. Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan

Kota Salatiga. 2015. 15 p.

8. Enok Nurliawati D. IBM Pencegahan

Penularan Tuberkulosis. 2016;2:65–

71.

9. Nur Lailatul M, Rohmah S AY. Upaya

keluarga untuk mencegah penularan

dalam perawatan anggota keluarga

dengan tb paru. 2015;108–16.

10. Rahman, dkk F. Pengetahuan Dan

Sikap Masyarakat Tentang Upaya

Pencegahan Tuberkulosis.

2017;13(2):183–9.

11. Suharyo. 2834-6205-1-Sm. Determ

Penyakit Tuberkulosis Di Drh

Pedesaan. 2013;9(5):85–91.

12. Yosephina E. Pencegahan Penularan

Tb Di Kelurahan Kabupaten Sumba

Timur. 2016;

13. Rizana N, Tahlil T. Pengetahuan ,

Sikap Dan Perilaku Keluarga Dalam

Pencegahan Penularan Tuberkulosis

Paru. J Ilmu Keperawatan.

2016;4(2):57–69.

14. Nitari R, Irvan M, Ifdelia S. Hubungan

Tingkat Kepatuhan Penderita

Tuberkulosis Paru dengan Perilaku

Kesehatan, Efek Samping OAT dan

Peran PMO pada Pengobatan Fase Intensif di Puskesmas Seberang

Padang September 2012 - Januari

2013. J Kesehat Andalas.

2017;6(2):345–50.

15. Ayu I dewa. Resiko Fase Pengobatan

Tb dan Pengetahuan tentang MDR Tb

dengan Kepatuhan Pengobatan

PPasien Tb. 2015;(January 2017):338–

48.

16. Kementerian Kesehatan. Pedoman

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Tuberkulosis Di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan. 2012. 1–62 p.

17. Mujahidin D, N HA, Ernawati.

Gambaran Praktik Pencegahan

Penularan TB Paru di Keluarga di

Wilayah Kerja Puskesmas

Kedungwuni I Kabupaten Pekalongan.

Keperawatan Fikkes UNIMUS,

Semarang. 2013;1–10.

18. Rahayu S, Sodik MA. Pengaruh

Lingkungan Fisik Terhadap Kejadian

Tb Paru. 2014;

19. Noviyani E. Upaya Pencegahan

Penularan TB dari Dewasa terhadap

Anak. J Keperawatan Padjadjaran.

2017;v3(n2):97–103.

Page 22: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

BHJ 4(1) Mei 2020

BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ

PENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS PADA ANAK DOWN

SYNDROME MELALUI PEMBERIAN

DYNAMIC NEUROMUSCULAR STABILIZATION (DNS)

Ni Luh Putu Gita Karunia Saraswati1, Merinda Ulfa2

1Program Studi Sarjana Fisioterapi dan Profesi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana 2Program Studi Fisioterapi, STIKES Telogorejo Semarang

ABSTRAK

Latar belakang: Anak down syndrome mengalami berbagai problematika fisik motorik secara konginetal terkait dengan

keadaan tubuhnya seperti hipotonus, hypermobile sendi, dan keterlambatan neurodevelopmental. Problematika ini jika kurang diperhatikan dengan stimulasi yang tepat, maka akan menimbulkan problematika perkembangan fisik motorik seperti

gangguan keseimbangan dinamis dimana anak down syndrome kesulitan dalam mempertahankan postur tubuh saat

melakukan berbagai aktifitas fungsional. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak latihan dynamic

neuromuscular stabilization terhadap peningkatkan keseimbangan dinamis pada anak down syndrome usia 7-15 tahun. Metode: Metode penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan one group pre-test dan post-test design. Latihan

dilakukan 3 kali seminggu selama 6 minggu. Sample penelitian berjumlah 12 orang. Alat ukur keseimbangan dinamis dengan

sixteen balance test. Analisis data diperoleh dengan analisis deskriptif dan uji normalitas dengan shapiro wilk test, kelompok

perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan diuji dengan paired sample t-test. Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa latihan dynamic neuromuscular stabilization meningkatkan keseimbangan dinamis sebesar 33,33% dari rerata sebelum

48,5±5,428 menjadi 72,75±4,413 (p<0,05). Simpulan: Simpulan penelitian adalah dynamic neuromuscular stabilization

dapat meningkatkan keseimbangan dinamis pada anak down syndrome usia 7-15 tahun.

Kata kunci: Dynamic neuromuscular stabilization, keseimbangan dinamis, down syndrome.

ABSTRACT

Background: Children with Down syndrome experience various physical motor problems related to conditions such as hypotonus, joint hypermobile, and neurodevelopmental delays. This problem if not considering proper stimulation, it will

cause motor physical development problems such as dynamic balance disorders while children with Down Syndrome have

difficulty maintaining posture when performing various functional activities. Purpose: This study aims to look at the effects

of dynamic neuromuscular stabilization exercises on improving dynamic balance in children with Down syndrome aged 7-15 years. Method: This research method is experimental with one group pre-test and post-test design. The exercise is done 3

times a week for 6 weeks. The research sample consisted of 12 people. Dynamic balance measuring instrument with a

sixteen balance test. Data analysis was obtained by descriptive analysis and normality test with Shapiro Wilk test, treatment

groups before and after treatment were tested with paired sample t-test. Result: The analysis showed that dynamic

neuromuscular stabilization exercises improved dynamic balance by 33.33% from the mean before 48.5 ± 5.428 to 72.75 ±

4.413 (p <0.05). Conclusion: The analysis showed that dynamic neuromuscular stabilization exercises improved dynamic

balance by 33.33% from the mean before 48.5 ± 5.428 to 72.75 ± 4.413 (p <0.05)

Keyword: Dynamic neuromuscular stabilization(DNS), dinamic balance, down syndrome.

Korespondensi: Ni Luh Putu Gita Karunia Saraswati

Email: [email protected]

Riwayat Artikel:

Diterima 25 September 2019 Disetujui 4 Februari 2020

Dipublikasikan 20 Mei 2020

Page 23: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Saraswati & Ulfa

20

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

PENDAHULUAN

Proses tumbuh kembang

merupakan fase yang pasti dilalui oleh

setiap anak, proses tumbuh kembang

dimulai sejak dari dalam kandungan,

bayi, dan balita. Setiap tahapan proses

tumbuh kembang anak mempunyai ciri

khas tersendiri disetiap fasenya, sehingga

jika terjadi masalah pada salah satu

tahapan tumbuh kembang tersebut, maka

akan berdampak pada tahapan

pertumbuhan dan perkembangan

selanjutnya. Tidak semua anak

mengalami proses tumbuh kembang

secara normal, pada beberapa kondisi

misalnya anak berkebutuhan khusus

proses tumbuh kembang anak mengalami

gangguan sehingga diperlukan

penanganan secara khusus. Problematika

kesehatan pada anak berkebutuhan

khusus ada yang dibawa sejak lahir atau

kongenital contohnya pada kasus down

syndrome.

Anak down syndrome mengalami

berbagai problematika fisik motorik

secara konginetal terkait dengan keadaan

tubuhnya seperti hipotonus, hypermobile

sendi, dan keterlambatan

neurodevelopmental. Problematika ini

jika kurang diperhatikan dengan stimulasi

yang tepat, maka akan menimbulkan

permasalahan perkembangan motorik

selanjutnya misalnya keseimbangan

tubuh. Down syndrome merupakan

bentuk genetik dan gangguan

perkembangan intelektual yang paling

sering diidentifikasi dengan kelainan

kromosom 21. Kromosom tersebut

terbentuk akibat kegagalan sepasang

kromosom ketika saling memisahkan diri

pada saat terjadi pembelahan. Sebagian

besar anak dengan down syndrome telah

mengalami penurunan kekuatan dan

tonus otot (hypotone), mobilitas sendi

berlebihan atau hypermobile pada

persendian dan kekurangan

neurodevelopmental, motorik, dan

kognitif. Permasalahan yang terjadi pada

anak down syndrome salah satunya

gangguan keseimbangan yang

menghambat perkembangan kognitif,

persepsi gerakan dan proprioseptif.

Dalam hal ini sangat membatasi dan

mempengaruhi kualitas hidup down

syndrome yang menyebabkan

terhambatnya banyak aktivitas hidup

sehari-hari, memberikan keterbatasan

dalam melakukan pekerjaan fisik dan

peningkatan ketergantungan pada orang

lain.[1]

Prevalensi angka kejadian down

syndrome di seluruh dunia diperkirakan

mencapai 8 juta jiwa dengan frekuensi

tinggi terjadi pada anak down syndrome

yang lahir dari ibu usia tua.[2]

Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan

Dasar (RIKESDAS) tahun 2013

menyatakan bahwa penderita down

syndrome di Indonesia mengalami

peningkatan sebanyak 1%, dari semula

berjumlah 0,12% pada tahun 2010

menjadi 0,13% pada tahun 2013.

Sedangkan di Amerika berdasarkan data

dari pusat pencegahan dan kontrol

penyakit menaksir 1 dari 700 kelahiran

hidup di Amerika menderita down

syndrome.[3]

Pada penelitian Miftah[4]

mengatakan bahwa 73% dari anak-anak

down syndrome baru mampu berdiri pada

usia 24 bulan, dan 40% bisa berjalan

pada usia 24 bulan. Pada penelitian

Ulrich et al.[5] mengemukakan bayi

dengan down syndrome mulai berdiri

rata-rata sekitar 1 tahun dibandingkan

bayi yang normal. Permasalahan yang

terjadi pada anak down syndrome salah

satunya gangguan keseimbangan yang

menghambat perkembangan kognitif,

persepsi gerakan dan propioseptif. Pada

anak yang berusia 7-15 tahun cenderung

memiliki proses tingkat kematangan

dalam kemampuan motorik yang

melibatkan keseimbangan, koordinasi

dan kelincahan yang baik. Oleh karena

itu, keseimbangan dinamis sangat

dibutuhkan pada usia 7-15 tahun untuk

menunjang kematangan pada otak

melalui proses perkembangan aktivitas

Page 24: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Peningkatan Keseimbangan Dinamis

21

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

gerak dalam mempertahankan gerakan

yang dinamis.[6]

Keseimbangan diperlukan

manusia untuk melakukan tindakan yang

dibutuhkan pada saat bergerak.

Berdasarkan penelitian terdahulu hampir

semua anak down syndrome yang

mengalami gangguan keseimbangan

dikarenakan kelainan konginetal yang

mereka miliki. Keseimbangan yang tidak

baik yang terjadi pada awal

perkembangan akan mengakibatkan

keterlambatan dalam perkembangan

kemampuan motorik. Permasalahan

perkembangan motorik selanjutnya akan

timbul jika dibiarkan.[6]

Peran fisioterapi sedini mungkin

dan fokus pada keseimbangan, kontrol

gerakan dan koordinasi untuk mencapai

tahap perkembangan. Untuk

memaksimalkan gerak yang ada guna

meningkatkan kualitas hidup dan

mengurangi permasalahan yang terjadi

pada down syndrome dengan tingkat

stabilisasi yang baik maka pemberian

penanganan fisioterapis bisa dilakukan

dalam bentuk latihan dynamic

neuromuscular stabilization (DNS). DNS

bertujuan untuk mengaktifkan integrated

spinal stabilizing system dan

mengembalikan regulasi intraabdominal

pressure (IAP) yang ideal untuk

mengoptimalkan efisiensi gerakan dan

untuk mencegah beban sendi yang

berlebihan. Latihan yang digunakan

adalah posisi perkembangan bayi usia 3-

12 bulan pada tingkatan kontrol motorik

subkortikal pada central nervous system,

di mana pada tingkat ini terjadi proses

kematangan stabilitas postural.[7]

Latihan DNS yang digunakan

adalah posisi perkembangan bayi usia 3-

12 bulan pada tingkatan kontrol motorik

subkortikal pada central nervous system,

dimana pada tingkat ini terjadi proses

kematangan stabilitas postural.[8] Pada

penelitian terdahulu, pemberian latiha

stabilitas postural dengan core

stabilitization training selama 6 minggu

dapat meningkatkan keseimbangan

dinamis pada siswa dengan retardasi

mental.[9]

METODE

Rancangan penelitian yang

dilakukan pada penelitian ini adalah

penelitian eksperimental dengan

rancangan penelitian pre dan post test

control group design, dengan terdapat 1

kelompok perlakuan, yaitu kelompok

perlakuan dengan dynamic

neuromuscular stabilization (DNS).

Keseimbangan dinamis pada penelitian

ini diukur dengan sixteen balance test.

Penelitian dilaksanakan di

Yayasan Pradnyagama Denpasar.

Pelaksanaan waktu penelitian di bulan

Januari-Februari 2018. Intervensi

diberikan tiga kali seminggu selama

enam minggu. Populasi penelitian yaitu

semua anak down syndrome di Yayasan

Pradnyagama Denpasar yang berusia 7-

15 tahun yang telah memenuhi kriteria

inklusi dan ekslusi Jumlah sampel yang

masuk kriteria inklusi sebanyak 12

sampel dengan teknik simple random

sampling.

Sampel pada penelitian dilakukan

dengan menggunakan teknik

pengambilan sampel simple random

sampling. Sampel yang dipilih adalah

sample yang telah memenuhi kriteria

inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi

sampel pada penelitian in adalah anak

down syndrome berusia 7-15 tahun, anak

memiliki IMT normal, mampu mengikuti

instruksi dari peneliti dan orang tua

secara sukarela mengijinkan anaknya

menjadi subjek penelitian dengan

menandatangani informed consent

Alat-alat yang digunakan untuk

pengambilan data dalam penelitian ini

adalah timbangan dengan merk ozon dan

saturmeter untuk memperoleh data

Indeks Massa Tubuh (IMT), Efamatch

ukuran besar, stopwatch,Lembar

pemeriksaan sample, kamera untuk

mendokumentasikan hasil penelitian, dan

Page 25: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Saraswati & Ulfa

22

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

perangkat lunak komputer untuk

menyimpan dan mengolah data.

Tahapan yang dilakukan dalam

menganalisa data yaitu Statistik

Deskriptif Statistik deskriptif untuk

menganalisis umur, jenis kelamin, Uji

normalitas dengan Saphiro Wilk test, Uji

Homogenitas dengan Levene’s test, dan

Uji Hipotesis menggunakan Paired t-test.

Kedua uji ini adalah test parametric

karena data berdistribusi normal.

HASIL

Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah anak

down syndrome yang terbagi menjadi dua

kelompok yang terdiri dari 12 anak pada

masing-masing kelompok. Deskripsi

data berupa karakteristik subjek

penelitian yaitu jenis kelamin, umur dan

nilai IMT.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Kategori Frekuensi Presentase

(%)

Jenis

Kelamin

Laki-Laki 3 25% Perempuan 9 75%

Total 12 100%

Umur (Th)

7-10 8 67%

11-15 4 33%

Total 12 100%

IMT (Kg/M2) Normal 12 100%

Total 12 100%

Pada Tabel 1 diatas menunjukkan

bahwa pada Kelompok 1 memiliki

jumlah laki-laki 3 anak (25%) dan

perempuan 9 anak (75%). Distribusi

umur menunjukkan jumlah sampel yang

memiliki rentang usia 7-10 tahun

berjumlah 8 anak (67%) dan rentang usia

11-15 tahun terdiri dari 4 anak (33%).

Populasi penelitian ini adalah anak down

syndrome di Yayasan Pradnyagama

Denpasar yang berusia 7-15 tahun.

Penelitian dilakukan di ruang kelas terapi

pada bulan Januari 2018 sampai bulan

Februari 2018. Hasil penelitian

didapatkan 12 responden yang memenuhi

persyaratan dan bersedia sebagai subjek

penelitian.

Uji Beda Keseimbangan Dinamis

Skor rerata peningkatan

keseimbangan dinamis antara sebelum

perlakuan 19,3±3,49 dan sesudah

perlakuan 32,9±2,90 dan nilai p pada

kedua kelompok adalah 0,001 (p<0,05).

Tabel 2. Hasil Uji Beda Keseimbangan Dinamis

Kelompok

Data

Rerata

Sebelum

Pelatihan

Rerata

Sesudah

Pelatihan

Nilai p

Rerata±SB Nilai P Rerata±SB

DNS 19,3±3,49 0,636 32,9±2,90

PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan pada anak

down syndrome yang memiliki umur 7-

15 tahun, karena usia tersebut pada anak-

anak down syndrome angka kejadian

terjadinya defisit respon postural

mengakibatkan kontrol keseimbangan

yang lambat paling banyak terjadi pada

usia 7-15 tahun. Masalah keseimbangan

ini terjadi bukan karena hipotonia tetapi

dari gangguan dalam mekanisme postural

tingkat yang lebih tinggi. Pada penelitian

lain yang dilakukan pada anak down

syndrome menyatakan bahwa

kemampuan motorik berada pada

kategori sedang, dengan kemampuan

yang diteliti meliputi kelincahan,

koordinasi mata dan tangan,

keseimbangan dan kecepatan.[10]

Pemberian latihan dengan pendekatan

DNS dapat meningkatkan keseimbangan

dinamis pada anak-anak. Latihan ini

bertujuan untuk mengajarkan anak-anak

dalam mengintegrasikan pola pernapasan

dan stabilitas yang optimal pada aktivitas

sehari-hari dan kegiatan olahraga.

Stabilitas yang optimal memungkinkan

antisipasi penyesuain postural untuk

mempertahankan center of gravity (COG

) tetap berada pada base of support

(BOS) selama melakukan tugas dinamis.

Program pelatihan stabilitas inti

mengarahkan untuk sikuensis aktivitas

Page 26: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Peningkatan Keseimbangan Dinamis

23

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

antisipasi penyesuaian postural dan

mengurangi gangguan awal dari COG.

Kontraksi dari core stability muscle

sebelum permulaan gerakan adalah reaksi

postural awal dari sistem neuromuskuler.

Gerakan yang disengaja pada

ektremitas atas didahului oleh terjadinya

gerakan postural di ekstremitas bawah

(pelvic, hip dan trunk) yang berkontribusi

untuk keseluruhan pengaturan dinamis

dari keseimbangan dan menghambat

terjadinya gangguan postural.[9] Aktivasi

yang proporsional pada otot-otot

stabilisator sendi selama melakukan

gerakan sangatlah penting karena aktivasi

yang tidak proporsional dapat

mengakibatkan gangguan dalam tubuh

yang bisa mempengaruhi postur dan

gerakan yang dihasilkan oleh

ektremitas.[7] Jika hal ini terjadi secara

terus menerus, dapat mengakibatkan

gerakan motorik menjadi tidak optimal

dan menetap pada susunan saraf pusat

sehingga respon motorik yang dihasilkan

untuk mempertahankan keseimbangan

dinamis menjadi terganggu. Pada

penelitian Ahmadi et al.[9] bahwa

pemberian latihan stabilitas postural

dengan core stability exercise selama 6

minggu pada pelajar yang mengalami

retardasi mental telah terbukti dapat

meningkatkan keseimbangan dinamis

sebesar 11,88%.

Efek latihan DNS untuk

mengaktifkan Integrated Spinal

Stabilizing System (ISSS) dan

mengembalikan regulasi Intra Abdominal

Pressure (IAP) yang ideal untuk

mengoptimalkan efisiensi gerakan dan

untuk mencegah overloading sendi.

Selain itu teraktivasinya otot core yang

berfungsi sebagai otot stabilisator akan

membuat global muscle menjadi rileks,

dengan demikian didapatkan pula

stabilitas dan posisi yang baik dalam

keadaan netral). Target utama dari

metode DNS ini adalah otak yang mana

harus diberikan stimulasi yang tepat dan

dikondisikan agar dapat secara otomatis

mengaktifkan pola gerak optimal yang

dibutuhkan untuk koaktivasi stabilisator.

Latihan DNS mengacu pada

kemampuan untuk melibatkan pola gerak

yang ideal atau mendekati ideal dari

nervous system yang berdasarkan pada

kode genetik. Tujuan untuk mencapai

koordinasi otot yang optimal dengan

menempatkan anak pada beberapa posisi

perkembangan dengan menyediakan

dukungan pada sendi dan segmen dalam

posisi terpusat. Dengan demikian dapat

meningkatkan fungsi stabilitas dan

respirasi dengan mengajarkan bagaimana

cara mengintegrasikan pola pernapasan

dan stabilitas yang optimal dalam

meningkatkan keseimbangan pada

aktivitas sehari-hari.

SIMPULAN

Problematika fisik yang dibawa

anak down syndrome secara konginetal

mengakibatkan anak down syndrome

mengalami beberapa keterlambatan

tumbuh kembang salah satunya adalah

keseimbangan dinamis tubuh. Gangguan

keseimbangan dinamis harus ditangani

sedini mungkin karena keseimbangan

dinamis sangat diperlukan dalam

melakukan berbagai aktifitas fungsional

sehari-hari. Salah satu pendekatan

intervensi fisioterapi yang dapat

diterapkan adalah dynamic

neuromuscular stabilization (DNS).

Latihan ini bertujuan untuk mengajarkan

anak-anak dalam mengintegrasikan pola

pernapasan dan stabilitas yang optimal

pada aktivitas sehari-hari dan kegiatan

olahraga. Stabilitas yang optimal

memungkinkan antisipasi penyesuain

postural untuk mempertahankan COG

tetap berada pada BOS selama

melakukan tugas dinamis. Dengan

penelitian yang dilakukan sebanyak 3 kali

seminggu selama 6 minggu ini

didapatkan hasil yang dapat

membuktikan bahwa latihan DNS dapat

meningkatkan keseimbangan dinamis

pada anak down syndrome. SARAN

Page 27: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Saraswati & Ulfa

24

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

Dynamic neuromuscular

stabilization (DNS) dapat dijadikan

alternative latihan pada anak-anak down

syndrome karena mudah dilakukan

dengan peralatan yang minim. Tidak

hanya pada anak down syndrome, latihan

DNS juga dapat diterapkan pada

masyarakat umum. Jenis-jenis

getakannya dapat disesuikan dengan

kondisi masing-masing. Selain

pemeriksaan yang telah dilakukan,

sebaiknya peneliti yang akan datang juga

melakukan pemeriksaan yang spesifik

pada kondisi kualitas stabilitas sampel

penelitian dan menghindari bias pada

penelitian.

DAFTAR RUJUKAN

1. Masgutova, S., Sadowska, L.,

Kowalewska, J., Masgutov, D.,

Akhmatova, N., Filipowski, H. 2015. Use of a Neurosensorimotor Reflex

Integration Program to Improve

Reflex Patterns of Children with

Down Syndrome. Journal of

Neurology and Neuroscience. 6 (4) :

59

2. Wang, S., Qiao, F., Feng, L. 2008.

Polymorphisms in genes involved in

folate metabolism as maternal risk

factors for Down syndrome in China.

Journal China: Zhejiang University

Science.

3. Sherman S.L., Allen E.G., Bean

L.H., Freeman S.B., 2007.

Epidemiology of Down Syndrome.

Mental retardation and

developmental disabilities research

reviews. 13 (3).

4. Miftah. 2013. Hasil Observasi

Kondisi dan Perkembangan Anak

Down Syndrome. Templete Awesome

Inc. Available from:

URL:http://mismif28.blogspot.com/

2013/02/hasil-observasikondisi-

dan.html

5. Ulrich, A.D., Ulrich, B.D., Angulo,

K. M.R., Yun, J. 2001. Treadmill

Training of

Infants With Down Syndrome:

Evidence-Based Developmental

Outcomes. Journal American

Academy of Pediatrics.

6. Cronin, G.W., Rine, R.M. 2010.

Pediatric Vestibular Disorders

Recognition, Evaluation and

Treatment. Vestibular Disorders

Association. Available from:

www.vestibular.org

7. Frank, C., Kobesova, A. and Kolar, P. 2013. Dynamic Neuromuscular

Stabilization & Sports

Rehabilization. The International

Journal of Sports Physical Therapy,

8.

8. Huston, M. and Ward, A. 2015.

Oxford Textbook of Musculoskeletal

Medicine. Second Edition. United

State: Oxford University Press.

9. Ahmadi, R., Hasan, D., dan Hosin,

B.A. 2012. The effect of 6 weeks

core stabilization training program

on the balance in mentally retarded

students. International Journal of

Sport Studies. 2 (10), 496-501.

10. Christianthi, P.R.M. 2017. Latihan

Berjalan Di Atas Papan Titian

Meningkatkan Keseimbangan

Berdiri Pada Anak Down Syndrome

Di Yayasan Mentari Fajar Jimbaran

Badung. Universitas Dhyana Pura

11. Kisner, C., Colby, L. A. 2011.

Therapeutic Exercise 6th

Foundations and Techniques. Ohio :

School of Allied Medical Professions

Ohio State University.

12. Faigenbum, A.D., Bagley, J., Boise,

S., Farrel, A., Bates, N. and Myer,

G.D.

2015. Dynamic Balance in Children:

Performance Comparison Between

Two Testing Devices. Athletic

Training & Sport Health Care, 7 (4).

Page 28: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

BHJ 4(1) Mei 2020

BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ

KEMAMPUAN MAHASISWA DALAM BERIKIR KRITIS

PADA PEMBELAJARAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

YANG DILIHAT DARI FAKTOR METAKOGNISI

DAN MOTIVASI INTRINSIK

I Nyoman Asdiwinata1, A.A. Istri Dalem Hana Yundari2, Ni Luh Putu Dewi

Puspawati3

1,2,3 STIKes Wira Medika Bali

Abstrak

Latar belakang: Memiliki pemikiran kritis bagi siswa akan memberikan kesadaran untuk mengatasi setiap masalah pada

perkuliahan dengan meninjau semua aspek terkait dan individu berusaha agar selalu berpikir di luar kotak yang dapat mendukung setiap perkuliahan tersebut, terutama dalam mata kuliah keperawatan gawat darurat. Fenomenanya, banyak

mahasiswa yang mengabaikan tugasnya dan tidak fokus dengan materi yang telah diberikan oleh dosen. Siswa yang mampu

menerapkan metode pembelajaran metakognitif akan sangat membantu mereka untuk menjadi pembelajar mandiri. Tujuan:

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara kemampuan metakognisi dan motivasi intrinsik siswa dengan keterampilan berpikir kritis dalam proses pembelajaran perawatan darurat. Metode: Penelitian ini menggunakan Cross

Sectional Design dengan teknik pengumpulan data total sampling. Semua kuesioner telah diuji menggunakan Model Rasch

untuk melihat reliabilitas dan validitas dan hasil logit adalah 0,81. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas

responden adalah perempuan (84%). Berdasarkan skor logit dari metakognisi hanya dua responden yang mencapai skor tertinggi. Di sisi lain, skor motivasi intrinsik responden, hanya satu responden yang memiliki skor tertinggi. Berdasarkan

analisis rank spearman, hanya motivasi intrinsik yang berhubungan dan memiliki hubungan kuat dengan keterampilan berpikir

kritis siswa dalam pembelajaran keperawatan darurat dengan nilai koefisien korelasi adalah 0,009 <0,05. Kesimpulan:

metakognisi dan motivasi intrinsik telah diyakini dapat meningkatkan kualitas keterampilan berpikir kritis siswa untuk tugas dan perkuliahan yang kompleks, tetapi penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, hanya motivasi intrinsik yang

berkorelasi dengan keterampilan berpikir kritis.

Kata kunci: Metakognisi, Motivasi Instrinsik, Keterampilan Berpikir Kritis

Abstract

Background: Critical thinking for students will provide awareness to overcome every lecture problem by reviewing all related aspects and striving for individuals to always think out of the box that can support each lecture, especially in emergency

nursing. Somehow, lot of students ignoring their task and not focus by the material that has been given by the lecturer. Students

who are able to apply learning methods that are metacognitive will greatly help them to become self-regulated learners.

Objective: The purpose of this study is to explore the relationship between metacognition abilities and students' intrinsic motivation with critical thinking skills in the learning process of emergency care. Methods: This study uses Cross Sectional

Design with total sampling data collection techniques. All questionnaire has been tested using Rasch Model for seeing

reliability and validity and result of logits were 0,81. Result: The results of this study show that the majority of respondents were female (84%). Based on logit score of metacognitions only two respondents achieve the highest score. On the other hand,

score of intrinsic motivation of respondent, only one respondent has highest score. Based on spearman rank analysis, only

intrinsic motivation has strong relationship to critical thinking skills of students in learning emergency nursing with coefficient

correlation score is 0,009 < 0,05. Conclusion: metacognition and intrinsic motivation has been believed to improve quality of critical thinking skills of student for complex task and lecture, but this research shows different result, only intrinsic motivation

has correlation with critical thinking skills.

Keywords: Metacognition, Instrinsic Motivation, Critical Thinking Skills

Korespondensi:

I Nyoman Asdiwinata Email: [email protected]

Riwayat Artikel:

Diterima 5 Desember 2019

Disetujui 24 Februari 2020 Dipublikasikan 20 Mei 2020

Page 29: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Kemampuan Mahasiswa Dalam Berpikir Kritis

26

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

PENDAHULUAN

Proses pembelajaran yang

ditempuh mahasiwa Ners merupakan

proses berkesinambungan dari tahap

akademik dan Profesi. Dalam tahapan

Profesi mahasiswa diharapkan mampu

mencapai target kompetensi di sembilan

departemen, yaitu keperawatan dasar,

keperawatan medikal bedah, anak,

maternitas, jiwa, manajemen

keperawatan, keperawatan komunitas

dan keluarga, keperawatan gerontik dan

keperawatan gawat darurat dan kritis[1].

Kondisi kritis dan mengancam kehidupan

ini memerlukan penanganan cepat tepat

dan akurat karena time saving berarti life

saving.

Upaya pencapaian kompetensi

tersebut memerlukan kemampuan

berpikir kritis dan strategi pembelajaran

yang tepat. Berpikir kritis bagi

mahasiswa akan memberikan kesadaran

untuk mengatasi setiap masalah

perkuliahan dengan meninjau seluruh

aspek terkait dan mengupayakan

individu untuk selalu berpikir out of the

box yang dapat menunjang setiap

perkuliahan dan memahami setiap esensi

perkuliahan khususnya keperawatan

gawat darurat. Pada dasarnya berpikir

kritis merupakan sebuah kemampuan

yang dimiliki setiap orang untuk

menganalisis ide atau gagasan ke arah

yang lebih spesifik untuk mengejar

pengetahuan yang relevan tentang dunia

yang berdasarkan bukti[2].

Hunt dan Ellis memaparkan

bahwa mahasiswa akan dapat menyerap

pelajaran dengan baik apabila mereka

menggunakan metode pembelajaran yang

mereka atur sendiri[3]. Pembelajaran yang mereka atur sendiri mencakup

strategi pembelajaran yang bersifat

metakognisi. Mahasiswa yang mampu

menerapkan metode belajar bersifat

metakognisi akan sangat membantu

mereka untuk menjadi self-regulated

learner. Seseorang akan lebih memahami

proses belajar jika mengikutsertakan

proses kognitif di dalamnya[4].

Metakognisi mencakup

pemahaman dan keyakinan seseorang

yang menjalani proses belajar yang

berkaitan erat dengan proses kognitifnya

sendiri, serta usaha sadarnya untuk

terlibat dalam proses berprilaku dan

berpikir sehingga meningkatkan proses

belajar dan memori. Setiap mahasiswa

diharapkan menempatkan keterampilan

metakognisi yang tinggi, apabila

mahasiswa memiliki keterampilan

metakognisi yang tinggi, maka proses

meregulasi kegiatan belajarnya dan hasil

yang didapatkan akan semakin optimal[5].

Hasil penelitian Khairani tahun 2016

menunjukkan bahwa secara umum siswa

yang proses pembelajarannya

menggunakan pendekatan metakognitif

memiliki kemampuan komunikasi

matematis yang lebih baik daripada siswa

yang proses pembelajarannya secara

konvensional[6].

Selain kemampuan metakognisi

yang dimiliki mahasiswa, motivasi

intrinsik juga memiliki peranan yang

baik bagi mahasiswa. Penggunaan

motivasi intrinsik bagi mahasiswa juga

memerlukan stimulus dari luar, karena

pada dasarnya setiap mahasiswa sudah

memiliki keinginan untuk melakukan

sesuatu7. Berdasarkan hasil evaluasi hasil

pembelajaran terdahulu, banyak

mahasiswa yang menyatakan tidak

pernah ada persiapan belajar sebelum

perkuliahan dimulai, banyak dari

mahasiswa juga yang pada saat sebelum

ujian baru sempat membaca. Hal ini

menunjukkan bahwa manajemen dari

proses belajar yang baik dan kemauan

untuk memahami sesuatu dari proses pembelajaran masih sangat kurang.

Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengeksplorasi keterkaitan antara

kemampuan metakognisi dan motivasi

intrinsik mahasiswa dengan kemampuan

berpikir kritis dalam proses pembelajaran

keperawatan gawat darurat pada

mahasiswa tingkat akhir di STIKes Wira

Page 30: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Asdiwinata, Yundari & Puspawati

27

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

Medika Bali. Keberhasilan suatu proses

pembelajaran diukur dari hasil capaian

sesuai dengan standar kompetensi yang

ditetapkan. Alat ukur yang digunakan

sebagai parameter nasional untuk

kompetensi Ners adalah Uji Kompetensi

Ners Indonesia. Hasil ini menjadi bahan

evaluasi pelaksanaan proses

pembelajaran khususnya saat praktik

profesi dan perkuliahan Keperawatan

Gawat Darurat.

Hipotesis dalam penelitian ini

adalah adanya hubungan kemampuan

metakognisi dan motivasi intrinsik

mahasiswa dengan kemampuan berpikir

kritis dalam proses pembelajaran

keperawatan gawat darurat pada

mahasiswa tingkat akhir di STIKes Wira

Medika Bali.

METODE

Penelitian ini menggunakan Cross

Sectional Design dengan tehnik

pengambilan data secara total sampling

dengan sampel yaitu mahasiswa tingkat

akhir di STIKes Wira Medika Bali

dengan kriteria inklusi mahasiswa tingkat

akhir yang telah mengikuti dan lulus mata

kuliah gawat darurat dan kritis penelitian

ini dilakukan di STIKes Wira Medika Bali

pada bulan Mei – Agustus 2019 dengan

variabel independen adalah metakognisi

dan motivasi intrinsik mahasiswa

sedangkan variabel dependen adalah

kemampuan berpikir kritis dalam proses

pembelajaran keperawatan gawat darurat

pada mahasiswa.

Pengumpulan data dilakukan

dengan mengumpulkan data primer yang

diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh responden yang merupakan mahasiswa

tingkat akhir STIKes Wira Medika.

Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah analisis deskriptif

dengan menyajikan data kedalam tabel

distribusi frekuensi dan kemudian

diberikan interpretasi data untuk

mengetahui gambaran kemampuan

metakognisi dan motivasi intrinsik

mahasiswa dengan kemampuan berpikir

kritis.

HASIL

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat

bahwa responden yang terbanyak adalah

perempuan. Penelitian ini tidak

memberikan gambaran terkait dengan

karakteristik responden seperti usia karena

seluruh responden memiliki rentang usia

yang sama.

Tabel 1. Demografi Responden

Frequency Percent

Laki-laki 24 16,0

Perempuan 126 84,0

Total 150 100,0

Kedua variabel bebas dianalisis

menggunakan Rasch Model untuk

memperjelas rentang nilai yang dimiliki

oleh masing-masing responden.

Berdasarkan hasil distribusi frekuensi dari

ketiga variabel yaitu metakognisi, motivasi

intrinsik dan nilai keperawatan gawat

darurat pada mahasiswa keperawatan dapat

dilihat pada tabel 2 dan 3 yang tersajikan di

halaman berikutnya.

Tabel 2 memperlihatkan nilai logit

metakognisi dari mahasiswa yang

menempuh perkuliahan keperawatan

terbanyak berada pada nilai 0.76 yaitu 17

orang (11,3%). Dua orang memiliki nilai

logit metakognisi tertinggi dengan nilai

3.11 sedangkan yang terendah dimiliki oleh

satu orang dengan nilai logit metakognisi -

1.26.

Tabel 3 dapat dilihat nilai logit

motivasi intrinsik mahasiswa yang

mengikuti perkuliahan keperawatan gawat

darurat terbanyak berada pada nilai 2.99

yaitu sebanyak sembilan orang (6%). Nilai

logit motivasi intrinsic tertinggi dimiliki

oleh satu orang dengan nilai 5.21

sedangkan yang terendah dimiliki oleh dua

orang dengan nilai -2.32.

Page 31: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Kemampuan Mahasiswa Dalam Berpikir Kritis

28

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

Tabel 2. Nilai Logit Metakognisi Mahasiswa

Tabel 3. Nilai Logit Motivasi Intrinsik Mahasiswa

Nilai Frequency Percent

-2.32 2 1,3

-1.51 1 0,7

-1.30 1 0,7

-1.09 4 2,7

-1.07 1 0,7

-.98 2 1,3

-.87 3 2,0

-.75 2 1,3

-.64 1 0,7

-.60 1 0,7

-.52 4 2,7

-.40 3 2,0

-.30 1 0,7

-.29 1 0,7

-.27 5 3,3

-.14 4 2,7

.00 2 1,3

.14 1 0,7

.15 3 2,0

.27 2 1,3

.30 2 1,3

.32 1 0,7

.35 1 0,7

.38 1 0,7

.40 1 0,7

.41 3 2,0

.42 1 0,7

.43 1 0,7

.46 7 4,7

.52 1 0,7

.63 4 2,7

.80 3 2,0

.87 1 0,7

.99 4 2,7

1.19 4 2,7

1.39 3 2,0

1.60 24 16,0

1.81 8 5,3

2.02 4 2,7

2.23 4 2,7

2.43 6 4,0

2.81 4 2,7

2.99 9 6,0

Nilai Frequency Percent

-1.26 1 0,7

-.89 4 2,7

-.77 2 1,3

-.64 3 2,0

-.51 9 6,0

-.38 3 2,0

-.35 1 0,7

-.25 8 5,3

-.11 8 5,3

.03 6 4,0

.17 11 7,3

.31 5 3,3

.46 4 2,7

.55 1 0,7

.61 6 4,0

.76 17 11,3

.92 4 2,7

1.02 1 0,7

1.08 14 9,3

1.24 10 6,7

1.40 10 6,7

1.57 3 2,0

1.73 3 2,0

1.90 1 0,7

2.24 7 4,7

2.41 3 2,0

2.58 1 0,7

2.93 2 1,3

3.11 2 1,3

Total 150 100,0

Page 32: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Asdiwinata, Yundari & Puspawati

29

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

3.16 1 0,7

3.33 1 0,7

3.66 3 2,0

3.98 1 0,7

4.47 1 0,7

4.64 1 0,7

5.21 1 0,7

Total 150 100,0

Berdasarkan table 3 dapat dilihat

nilai logit motivasi intrinsic mahasiswa

yang mengikuti perkuliahan keperawatan

gawat darurat terbanyak berada pada nilai

2.99 yaitu sebanyak sembilan orang (6%).

Nilai logit motivasi intrinsic tertinggi

dimiliki oleh satu orang dengan nilai 5.21

sedangkan yang terendah dimiliki oleh dua

orang dengan nilai -2.32.

Berdasarkan tabel 4 dapat

disebutkan bahwa sebaran nilai dari

keperawatan gawat darurat yang ditempuh

oleh mahasiswa sebagai cerminan

kemampuan berpikir kritisnya yang

terbanyak berada pada nilai 69 dan 71 yaitu

sebanyak 22 orang (14.8%).

Tabel 4. Nilai Gadar

Nilai Frequency Percent

45 1 0,7

66 8 5,4

67 9 5,9

68 12 7,9

69 22 14,8

70 16 10,8

71 22 14,8

72 8 5,4

73 8 5,4

74 5 3,3

75 7 4,8

76 2 1,2

77 16 10,6

78 9 5,9

79 4 2,5

80 1 0,7

Total 150 100,0

Tabel 5. Uji Normalitas

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig.

Metakognisi 0,079 150 0,022

Motivasi

intrinsik

0,100 150 0,001

Nilai Gawat

darurat

0,110 150 0,000

Hasil uji normalitas data pada tabel

5 diatas menunjukkan bahwa data tidak

berdistribusi normal. Nilai signifikansi

pada kedua variabel bebas < 0.05. maka

dari itu Uji statistik yang digunakan berupa

non parametrik tes yaitu uji Spearman

Rank.

Tabel 6. Uji Korelasi Metakognisi

Nilai Gawat Darurat

Metakognisi r = 0,014

p = 0,867

n = 150

Hasil uji korelasi antara metakognisi

dan nilai keperawatan gawat darurat

didapatkan nilai siginifikansi sebesar 0.867

yang berarti bahwa nilai tersebut > 0,05.

Hal ini bermakna bahwa tidak terdapat

hubungan antara metakognisi dengan nilai

keperawatan gawat darurat.

Tabel 7. Uji Korelasi Motivasi Instrinsik

Nilai Gawat Darurat

Motivasi Intrinsik r = 0,213

p = 0,009

n = 150

Hasil uji korelasi antara motivasi

intrinsic pada tabel 7 dengan nilai

keperawatan gawat darurat didapatkan nilai

signifikansi sebesar 0.009 yang berarti

bahwa nilai tersebut <0,05. Hal ini

bermakna bahwa terdapat hubungan antara

motivasi intrinsic dengan nilai keperawatan

gawat darurat.

PEMBAHASAN

Hasil uji Spearman Rank pada hasil

nilai variabel metakognisi dan kemampuan

Page 33: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Kemampuan Mahasiswa Dalam Berpikir Kritis

30

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

berpikir kritis yang dilihat dari nilai

keperawatan gawat darurat mahasiswa

didapatkan bahwa nilai signifikansi sebesar

0.867 dan nilai tersebut lebih besar dari

0.05. Hal ini bermakna bahwa metakognisi

tidak memiliki hubungan bermakna

terhadap kemampuan berpikir kritis yang

dilihat dari nilai keperawatan gawat

darurat.

Metakognisi pada mahasiswa

tingkat akhir yang menjalani proses

pembelajaran keperawatan gawat darurat

mayoritas berada pada tingkat yang sedang.

Hal ini bermakna kemampuan untuk

mengelola diri dalam proses pembelajaran

masih belum mencapai batas yang optimal.

Seseorang yang memiliki kemampuan

metakognisi yang baik akan mampu

mencapai kemampuan mengorganisir

belajar dan mendapatkan keterampilan

untuk memecahkan masalah[21].

Beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa seseorang yang

memiliki kemampuan metakognisi yang

baik akan mampu menyesuaikan diri

dengan perubahan lingkungan, mampu

mengelola tehnik pembelajaran pribadi dan

mampu menerapkan cara-cara belajar

praktis agar mampu memahami konteks

pelajaran yang optimal[10,15,20]. Namun, hal

berbeda yang ditemukan pada penelitian

ini, metakognisi yang dimiliki oleh

mahasiswa tidak mampu mencerminkan

kemampuan berpikir kritis yang dilihat

berdasarkan nilai keperawatan gawat

darurat.

Perbedaan ini wajar ditemukan,

karena metakgonisi merupakan sebuah

kemampuan yang didapat berdasarkan

banyak faktor. Beberapa faktor yang dapat

mempengaruhinya adalah kemampuan

psikologis, dukungan lingkungan sekitar, ketersediaan fasilitas pendukung dan peran

serta orang tua didalamnya[15]. Dalam

penelitian ini, faktor tersebut tidak dikaji

untuk melihat seberapa besar dampak yang

ditimbulkan terhadap kemampuan

metakognisi yang dimiliki oleh mahasiswa.

Kemampuan berpikir kritis yang

dimiliki seseorang tidak hanya juga

dipengaruhi oleh satu factor saja seperti

metakognisi. Apabila seseorang memiliki

kemampuan berpikir kritis yang baik,

mereka mampu untuk menyesuaikan

situasi dan juga mampu mengambil

keputusan yang tepat dalam setiap kegiatan

yang dilakukannya. Dalam hal ini,

mahasiswa diharapkan mampu memiliki

kemampuan belajar dan mengorganisir

proses belajar sehingga nantinya

kemampuan berpikir kritis akan muncul[16].

Hasil uji Spearman Rank pada hasil

nilai untuk variabel motivasi intrinsik dan

kemampuan berpikiri kritis yang dilihat

dari nilai keperawatan gawat darurat

didapatkan bahwa nilai signifikansi sebesar

0.009 dan nilai tersebut lebih kecil daripada

0.05. Hal ini bermakna bahwa motivasi

intrinsik memiliki hubungan bermakna

terhadap kemampuan berpikir kritis yang

dilihat dari nilai keperawatan gawat

darurat.

Nilai koefisiensi pada hasil uji

Spearman Rank menunjukkan nilai yang

positif yaitu 0.213 yang artinya hubungan

antara motivasi intrinsik dan kemampuan

berpikir kritis yang dilihat dari nilai

keperawatan gawat darurat searah dengan

kekuatan cukup. Apabila nilai dari motivasi

intrinsik mengalami penurunan maka

kemampuan berpikir kritis mahasiswa akan

mengalami penurunan juga. Kekuatan

hubungan motivasi intrinsik dengan

kemampuan berpikir kritis menunjukkan

bahwa motivasi intrinsik tidak menjadi

satu-satunya faktor yang berhubungan

dengan kemampuan berpikir kritis

mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran

keperawatan gawat darurat.

Motivasi intrinsik yang dimiliki

oleh mahasiswa tingkat akhir yang

menjalani proses pembelajaran keperawatan gawat darurat berada pada

tingkat sedang. Hal ini bermakna bahwa

kemauan untuk melakukan proses

pembelajaran keperawatan gawat darurat

tidak terlalu besar. Hal ini berdampak pada

keinginan dari dalam diri untuk mencapai

sesuatu yang dalam hal ini memperoleh

Page 34: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Asdiwinata, Yundari & Puspawati

31

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

nilai baik pada pembelajaran keperawatan

gawat darurat.

Motivasi intrinsik merupakan

sebuah dorongan yang hadir dari dalam diri

sendiri. Motivasi intrinsik yang tinggi akan

membantu seseorang menyelesaikan tugas-

tugas yang berat tanpa pengaruh dari luar17.

Seseorang dengan motivasi intrinsik yang

tinggi juga memiliki kepercayaan terhadap

setiap kegiatan yang dilakukannya. Hal

tersebut akan mendorong mereka untuk

selalu berupaya memperbaiki diri sendiri.

Motivasi yang tinggi dari dalam diri juga

akan memberikan kemampuan bagi

seseorang berupaya untuk menyelesaikan

masalahnya dengan cara yang lebih

efektif[18].

Ketika kemampuan dalam diri

berada dalam tingkat yang maksimal maka

kepercayaan diri dalam menyelesaikan

masalah, mengambil keputusan akan

semakin mudah. Beberapa penelitian

terkait menyebutkan bahwa motivasi

intrinsik yang tinggi pada seseorang akan

memberikan dampak pada kemampuan

mengelola masalah dan berpikir secara

lebih tenang[19].

KESIMPULAN

1. Tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara metakognisi dengan

kemampuan berpikir kritis yang dilihat

pada nilai keperawatan gawat darurat.

2. Terdapat hubungan yang bermakna

antara motivasi intrinsik dengan

kemampuan berpikir kritis yang dilihat

pada nilai keperawatan gawat darurat.

SARAN

1. Untuk peneliti selanjutya agar

mengkaji faktor-faktor yang

mempengaruhi metakognisi dalam

peningkatan kemampuan berpikir

kritis mahasiswa tingkat akhir

2. Untuk mahasiswa diharapkan mampu

mengetahui kemampuan mengelola

proses pembelajaran yang baik guna

meningkatkan kemampuan berpikir

kritis, tidak hanya dalam aspek

perkuliahan atau pembelajaran namun

juga aspek lainnya.

DAFTAR RUJUKAN

1. AIPNI. 2016. Kurikulum Inti

Pendidikan Ners 2016. Jakarta: AIPNI

2. Filsaime, D. K.2008. Menguak Rahasia

Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta :

Prestasi Pustaka

3. Hunt, R R,. & Ellis, C.H. 2003.

Fundamentals of Cognitive Psychology.

NewYork : Mc Graw Hill

4. Ormrod, Jeane Ellis. 2009. Psikologi

Pendidikan. Jakarta : Erlangga

5. Maulana. 2008. Pendekatan

Metakognitif Sebagai Alternatif

Pembelajaran Matematika Untuk

MeningkatkanKemampuan Berpikir

Kritis Mahasiswa PGSD. Jurnal

Pendidikan Dasar. Vol 1. No 10.

6. Khairani,M. 2016. Pendekatan

Metakognitif Untuk Meningkatkan

Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa Kelas X Sman 3 Payakumbuh.

Jurnal Ipteks Terapan, Research of

Applied Science and Education V9.i4

(253-260).

http://dx.doi.org/10.22216/jit.2015.v9i4

.391

7. Sardiman. 2011. Interaksi & Motivasi

belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

8. DeLaune, S.C. & Ladner, P.K. 2011.

Fundamentals of Nursing: Standard &

Practice, 4th ed. New York: Delmar

Cengage Learning.

9. Topan, M., Abdurrahman, & Viyanti

2013. Pengaruh Metakognisi Terhadap Motivasi dan Penguasaan Konsep

Melalui Model PBL. Jurnal

Pembelajaran Fisika. Vol 1. No.7

10. Vrugt, A. & Oort, F.J. 2008.

Metacognition, achievement goals,

study strategies and academic

achievement: pathways to achievement.

Metacognition Learning Vol. 3, Issue 2,

Page 35: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Kemampuan Mahasiswa Dalam Berpikir Kritis

32

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

123–146.

https://doi.org/10.1007/s11409-008-

9022-4.

11. Guay, F., Chanal, J., Ratelle, C. F.,

Marsh, H. W., Larose, S., & Boivin, M.

2010. Intrinsic, identified, and

controlled types of motivation for

school subjects in young elementary

school children. British Journal of

Educational Psychology, 80(4), 711–

735. doi: 10.1348/000709910X499084.

12. Jamaris, Martini. 2013. Orientasi Baru

dalam Psikologi Pendidikan.Bogor:

Ghalia Indonesia

13. Wood, G.L. & Haber, J. 2014. Nursing

research; methods and critical appraisal

for evidence-based practice, 8th ed. St.

Louis: Elsevier Mosby

14. Dahlan, S. 2014. Langkah-langkah

membuat proposal penelitian di bidang

kedokteran dan kesehatan (edisi 2).

Jakarta: CV Sagung Seto

15. Alias, M., & Sulaiman, N. L. 2017.

Development of metacognition in

higher education: Concepts and

strategies. Metacognition and

Successful Learning Strategies in

Higher Education.

https://doi.org/10.4018/978-1-5225-

2218- 8.ch002

16. Aizikovitsh-udi, E., & Cheng, D. 2015.

Developing Critical Thinking Skills

from Dispositions to Abilities:

Mathematics Education from Early

Childhood to High. Creative Education.

https://doi.org/10.4236/ce.2015.64045

17. Alves, P. F. 2014. Vygotsky and Piaget:

Scientific concepts. Psychology in

Russia: State of the Art.

https://doi.org/10.11621/pir.2014.0303

18. Anderson, J. R., & Fincham, J. M. 2014.

Extending problem-solving procedures through reflection. Cognitive

Psychology.

https://doi.org/10.1016/j.cogpsych.2014

.06.002

19. Beaumont, J. 2010. A Sequence of

Critical Thinking Tasks. TESOL

Journal, 1(4), 427–448.

https://doi.org/10.5054/tj.2010.234763

20. Brick, N. E., MacIntyre, T. E., &

Campbell, M. J. 2016. Thinking and

action: A cognitive perspective on self-

regulation during endurance

performance. Frontiers in Physiology.

https://doi.org/10.3389/fphys.2016.001

59

21. Zhao, N., Wardeska, J. G., McGuire, S.

Y., & Cook, E. 2014. Metacognition: An

Effective Tool to Promote Success in

College Science Learning. Journal of

College Science Teaching, 43(4), 48–

54. Retrieved from

http://login.ezproxy.library.ualberta.ca/l

ogin?url=http://search.ebscohost.com/l

o

gin.aspx?direct=true&db=ehh&AN=94

637291&site=ehost-live&scope=site

Page 36: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

BHJ 4(1) Mei 2020

BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ

ANALISIS SISTEM MANAJEMEN PROGRAM PEMBERIAN

ASI EKSKLUSIF DI PUSKESMAS KEDIRI I

KABUPATEN TABANAN

Dewi Wahyuni Gangga1, Ni Luh Gede Ari Natalia Yudha2, Ni Ketut Martini3

1,2,3Fakultas Ilmu Kesehatan dan Teknologi, Universitas Dhyana Pura

Abstrak

Latar Belakang: Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk bayi yang mengandung protein dan zat kekebalan

yang cocok untuk bayi. Puskesmas Kediri I merupakan salah satu puskesmas yang cakupan ASI eksklusifnya masih rendah yaitu 44,73%. Manajemen sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan suatu organisasi. Pelaksanaan program dengan

menerapkan fungsi manajemen yang baik diharapkan dapat meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif di Puskesmas

Kediri I. Tujuan: penelitian untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem manajemen program pemberian ASI eksklusif di

Puskesmas Kediri I Kabupaten Tabanan. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi. informan penelitian ini berjumlah sembilan orang yang terdiri dari kepala puskesmas, pemegang

program ASI, tenaga promkes, bidan dan kader yang dipilih melalui metode purposive sampling. Analisis data yang digunakan

yaitu content analysis. Hasil: rencana pelaksanaan kegiatan ASI eksklusif setiap tahunnya sama tanpa adanya perubahan dan

program ASI eksklusif tidak memiliki anggaran dana khusus. Pengorganisasian program ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I menunjukkan bahwa belum adanya pembentukkan tim khusus berupa surat keputusan dari kepala puskesmas dalam

melaksanakan program. Penggerakan program ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I menunjukkan bahwa belum rutin

dilaksanakannya pelatihan khusus yang berkaitan dengan ASI eksklusif untuk meningkatkan kompetensi petugas dan terbatas

hanya kepada petugas gizi. Pengawasan program ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan melalui kontrol pelaporan saja, tidak ada reward atau sanksi khusus terhadap pencapaian program ASI

eksklusif. Simpulan: Manajemen program pemberian ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I belum berjalan dengan baik

Kata kunci: Manajemen, ASI Eksklusif, Puskesmas

Abstract

Background: Exclusive breastfeeding is the best food for babies that contains protein and immune substances that are suitable

for babies. Kediri I Health Center is one of the health centers whose exclusive breastfeeding coverage is still low at 44.73%.

Management is needed in achieving the goals of an organization. The implementation of the program by implementing a good

management function is expected to increase the coverage of exclusive breastfeeding at Kediri I health centers. Purpose: The purpose of the study was to find out how the exclusive breastfeeding program management system was implemented in Kediri

I Health Center Tabanan Regency. Method: This is qualitative research. Data collection is carried out through interview and

observation guidelines. The research informants were nine people consisting of the head of the health center, breastfeeding

program holders, health workers, midwives and cadres selected through the purposive sampling method. Analysis of the data used is content analysis. Result: the plan to implement exclusive breastfeeding activities every year without changes and the

exclusive breastfeeding program does not have a special funding budget. The organization of exclusive breastfeeding programs

at the Kediri I Health Center shows that there has been no formation of a special team in the form of a decree from the head of the Health Center in implementing the program. The promotion of exclusive breastfeeding programs at the Kediri I Health

Center shows that special training related to exclusive breastfeeding has not been routinely held to improve staff competency

and is limited to nutrition workers. Supervision of exclusive breastfeeding programs at the Kediri I Health Center is carried

out by the Tabanan District Health Office through reporting controls only, there is no reward or special sanctions on achieving exclusive breastfeeding programs. Conclusion: The management of exclusive breastfeeding programs at the Kediri I Health

Center has not gone well.

Keywords: Management, Exclusive ASI, Health Center

Korespondensi:

Ni Luh Gede Ari Natalia Yudha Email: [email protected]

Riwayat Artikel:

Diterima 27 Agustus 2019

Disetujui 23 Februari 2019 Dipublikasikan 20 Mei 2020

Page 37: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Analisis Sistem Manajemen Program Pemberian ASI

34

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

PENDAHULUAN

Pemberian ASI eksklusif dapat

mencegah 30.000 kematian bayi di

Indonesia dan 10 juta kematian balita di

dunia setiap tahunnya. Bayi yang lahir

diseluruh dunia sebanyak 136,7 juta,

namun hanya 32,6% yang mendapatkan

ASI secara eksklusif selama 6 bulan

pertama. Angka kematian bayi yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif di negara

industri lebih banyak dibandingkan dengan

bayi yang mendapatkan ASI eksklusif,

sementara bayi yang diberikan ASI

eksklusif di negara berkembang hanya

39%[1].

Menyusui tidak memerlukan biaya

dibandingkan dengan makanan tambahan

lain sehingga tidak menambah pengeluaran

keluarga. Menyusui bertujuan untuk

mengurangi angka kematian anak.

Pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi

13% angka kematian anak. Kematian anak

dibawah usia 5 tahun sekitar 50-60%

disebabkan oleh malnutrisi dan menyusui

yang kurang optimal. Pencapaian ASI

eksklusif di Indonesia belum mencapai

angka yang diharapkan yaitu sebesar

35,73% [2].

Berdasarkan Profil Kesehatan

Dinkes Provinsi Bali tahun 2018

menunjukkan AKB di provinsi Bali dari

tahun 2013 sampai tahun 2018

menunjukkan trend yang tidak stabil dan

sudah lebih rendah dari angka kematian

bayi secara nasional, namun perlu

mendapatkan perhatian. Tahun 2018 terjadi

penurunan angka kematian bayi sebesar 4,8

per 1.000 kelahiran hidup dari target

Renstra Dinkes Provinsi Bali yaitu 10 per

1.000 kelahiran hidup dan target SDG’s

berusaha menurunkan Angka Kematian

Neonatal setidaknya hingga 12 per 1.000

kelahiran hidup [3].

Berdasarkan laporan rekapitulasi

pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6

bulan Dinas Kesehatan Kabupaten

Tabanan tahun 2018 menunjukkan

Puskesmas Kediri I di wilayah kerja Dinas

Kesehatan Kabupaten Tabanan dengan

cakupan pemberian ASI eksklusif tahun

2018 masih dibawah target (44,73%) dari

target kabupaten yang telah ditetapkan

yaitu (68,5%)[4].

Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani

(2017) di Puskesmas Jeuram Kabupaten

Nagan Raya menyatakan bahwa

pelaksanaan program ASI Eksklusif belum

berjalan maksimal, belum ada rencana

yang jelas, belum maksimalnya

pengorganisasian baik berupa penanggung

maupun kerjasama lintas sektor, dari segi

penggerakan atasan belum mendukung

sepenuhnya, serta kurangnya pengawasan

dalam pelaksanaan program ASI

eksklusif[5].

Berdasarkan wawancara

pendahuluan yang peneliti lakukan

terhadap pemegang program ASI di

puskesmas Kediri I menyatakan bahwa

informasi penyuluhan tentang program ASI

eksklusif dilakukan di beberapa tempat

yaitu posyandu, ketika ibu mengikuti

senam hamil dan saat kunjungan nifas.

Selama ini tidak ada reward atau sanksi

khusus terhadap pencapaian cakupan ASI

eksklusif, yang penting rutin melaporkan

data cakupan ASI eksklusif, hal tersebut

sangat mempengaruhi angka keberhasilan

program ASI eksklusif. Selain itu, kurang

optimalnya suatu proses pelaksanaan

program ASI Eksklusif yang dilakukan

karena terbatasnya anggaran dana untuk

program khusus ASI Eksklusif, kurangnya

SDM yang dibutuhkan, serta kurangnya

pengawasan dalam pelaksanaan program

ASI eksklusif.

Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui bagaimana penerapan

sistem manajemen program pemberian ASI

eksklusif di Puskesmas Kediri I Kabupaten

Tabanan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

upaya perencanaan program pemberian

ASI eksklusif, mengetahui upaya

pengorganisasian program pemberian ASI

eksklusif, mengetahui upaya penggerakan

program pemberian ASI eksklusif,

mengetahui upaya pengawasan program

pemberian ASI eksklusif.

Page 38: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Gangga, Yudha & Martini

35

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif dengan teknik wawancara

mendalam (indepth interview)[6]. Penelitian

dilakukan pada bulan April 2019 di

Puskesmas Kediri I. Obyek yang diteliti

dalam penelitian ini adalah sistem

manajemen program pemberian ASI

eksklusif yang dihat dari perencanaan,

pengorganisasian, penggerakan dan

pengawasan program pemberian ASI

eksklusif di Puskesmas Kediri I. Informan

dalam penelitian ini yaitu satu orang kepala

puskesmas, satu orang pemegang program

ASI, dua orang tenaga promkes, dua orang

bidan, dan tiga orang kader.

Penentuan informan dalam

penelitian ini dengan menggunakan metode

purposive sampling, yaitu teknik

pengambilan sumber data dengan

pertimbangan tertentu. Teknik analisa data

dalam penelitian ini yaitu content analysis,

dengan membandingkan seluruh hasil

wawancara mendalam dengan hasil

observasi, telaah dokumen dan teori yang

ada. Uji validitas data dalam penelitian

kualitatif ini disebut triangulasi.

Triangulasi dalam penelitian ini yaitu

triangulasi sumber dan triangulasi teknik[7].

HASIL

Aspek Perencanaan

Proses perencanaan yang dilakukan

di Puskesmas Kediri I selama ini belum

berjalan dengan baik. Puskesmas Kediri I

belum memiliki tim khusus sebagai tim

penyusun rencana program ASI eksklusif.

Puskesmas Kediri I tidak memiliki dana khusus untuk melaksanakan program ASI

eksklusif dan sumber dana kegiatan berasal

dari anggaran APBD serta dana Bantuan

Operasional Kesehatan (BOK). Sarana

prasarana untuk program ASI eksklusif di

Puskesmas Kediri I sudah lengkap dan

sudah memenuhi kebutuhan, seperti sudah

tersedianya KIT untuk menyusui, satu set

pompa elektrik dan pojok laktasi.

Aspek Pengorganisasian

Puskesmas Kediri I belum melakukan

pembentukan tim sebagai unsur pelaksana

program. Selama ini dalam melaksanakan

program dilakukan secara bersama-sama

antara petugas gizi, KIA, tenaga promkes

dan kader. Pengorganisasian yang

dilakukan yaitu kerjasama lintas sektoral

antara bagian gizi, KIA dan promkes.

Aspek Penggerakan

Jumlah SDM yang terlibat dalam

program ASI eksklusif di Puskesmas

Kediri I belum memenuhi kebutuhan,

namun harus dicukupkan karena program

harus berjalan. Kompetensi yang dimiliki

oleh tenaga kesehatan di Puskesmas Kediri

I sudah sesuai dalam melaksanakan

program ASI eksklusif. Pelatihan khusus

yang didapatkan hanya kepada pemegang

programnya dan pelatihan yang pernah

didapatkan hanya satu kali. Pelatihan yang

dilaksanakan untuk meningkatkan

kemampuan dan keterampilan kader masih

jarang dilakukan dan pelatihannya bukan

khusus untuk ASI saja, selain itu tidak

semua kader hadir untuk mengikuti

pelatihan tersebut.

Penyuluhan yang dilaksanakan di

puskesmas Kediri I tidak rutin

dilaksanakan dan belum memiliki konselor

ASI, namun sudah ada pembentukan KP-

ASI. Puskesmas Kediri I sudah

melaksanakan koordinasi/kerjasama

dengan bidan swasta di wilayah kerja

puskesmas, namun belum melakukan

koordinasi/ kerjasama dengan klinik

swasta. Hal ini dianggap kurang efektif

karena sekarang banyak bidan yang bekerjasama dengan produsen susu

formula.

Aspek Pengawasan

Proses pengawasan terhadap

program ASI eksklusif di Puskesmas

Kediri I dilakukan melalui pelaporan

kepada Dinas Kesehatan Kabupaten

Page 39: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Analisis Sistem Manajemen Program Pemberian ASI

36

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

Tabanan setiap bulannya. Pengawasan

pemberian ASI eksklusif di Puskesmas

Kediri I oleh kader didapatkan hasil bahwa

kader rutin melakukan pencatatan dan

pelaporan dan laporannya diserahkan

kepada bidan desa, namun belum ada

pengawasan yang dilakukan oleh kader

terhadap ibu-ibu yang memiliki bayi usia

kurang dari 6 bulan dalam memberikan

ASI.

PEMBAHASAN

Perencanaan program ASI

eksklusif di Puskesmas Kediri I

menunjukkan bahwa perencanaan kegiatan

selama ini belum diterapkan sesuai dengan

pelaksanaan manajemen tingkat

puskesmas, dimana perencanaan ini berasal

dari Dinas Kesehatan dan perencanaan

setiap tahunnya sama tanpa adanya

perubahan. Penyusunan perencanaan

seharusnya melibatkan pemegang program

ASI eksklusif, karena pemegang program

yang mengetahui hambatan pelaksanaan

program di tahun-tahun sebelumnya

sehingga perencanaan yang dibuat untuk

tahun ini sesuai dan cakupan ASI eksklusif

di Puskesmas Kediri I dapat meningkat.

Pembentukkan tim khusus untuk

perencanaan program ASI eksklusif juga

tidak ada, sehingga tidak ada yang

bertanggung jawab dalam membuat

perencanaan program.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Alifah pada

2012[8], mengemukakan bahwa

perencanaan manajemen program ASI

eksklusif sebaiknya selalu diawali dengan

pembentukkan tim khusus, termasuk

penerapannya di Puskesmas Candilama

Semarang, serta tidak dibuatnya rencana usulan kegiatan program ASI eksklusif di

puskesmas ini [8].

Puskesmas Kediri I memiliki

sumber dana dari anggaran APBD dan

BOK (Bantuan Operasional Kesehatan),

namun dana ini tidak sepenuhnya

digunakan khusus untuk program ASI

eksklusif, melainkan untuk seluruh

program kesehatan yang ada di Puskesmas.

Sarana prasarana untuk program ASI

eksklusif ini sudah lengkap. Tidak terdapat

kendala yang dihadapi terkait dengan

sarana prasarana untuk program ASI

eksklusif di Puskesmas Kediri I.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Paramita[9]

mengatakan bahwa tidak ada dana khusus

untuk kegiatan promosi kesehatan ASI

eksklusif dan sumber biayanya diperoleh

dari anggaran APBD serta Bantuan

Operasional Kesehatan (BOK) [9].

Pengorganisasian program ASI

eksklusif di Puskesmas Kediri I

menunjukkan bahwa belum adanya tim

khusus untuk program ASI eksklusif ini.

Selama ini dalam melaksanakan program

pemberian ASI eksklusif dilakukan secara

bersama-sama berdasarkan fungsi dari

masing-masing petugas antara petugas gizi,

KIA, tenaga promkes dan kader, namun

kader dalam menjalankan tugasnya masih

kurang bertanggung jawab, sehingga akan

timbul saling tuduh dalam melaksanakan

pekerjaan tersebut.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian Alifah yang menyatakan bahwa

di dalam fungsi organisasi program

pemberian ASI eksklusif tidak dilakukan

pembentukkan tim sebagai unsur pelaksana

program, tidak ada pembagian tugas yang

jelas dalam pelaksanaannya, namun

apabila ada permasalahan maka hal

tersebut diselesaikan secara bersama-

sama[8].

Penggerakan program ASI

eksklusif di Puskesmas Kediri I

menunjukkan bahwa SDM yang terlibat

dalam program ASI belum memenuhi

kebutuhan, namun harus dicukupkan

karena program harus berjalan. Tenaga kesehatan yang terkait dalam program ASI

Eksklusif harus dibekali dengan

keterampilan dan kompetensi yang baik

agar tujuan dapat tercapai. Kompetensi

yang dimiliki oleh tenaga kesehatan sudah

memadai untuk melaksanakan program

ASI eksklusif. Pelatihan khusus terkait

dengan ASI eksklusif hanya diberikan

Page 40: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Gangga, Yudha & Martini

37

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

kepada pemegang program yaitu petugas

gizi dan pelaksanaan pelatihan tidak

dilaksanakan dengan rutin. Pelatihan untuk

meningkatkan kemampuan dan

keterampilan kader juga masih jarang

dilaksanakan. Pelatihan yang diterima oleh

kader berupa pelatihan kader posyandu.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Utami dkk,

bahwa ketersediaan tenaga gizi belum

mencukupi dan belum seluruhnya

mendapatkan pelatihan khusus konseling

ASI, tetapi telah mendapatkan sosialisasi

dari tenaga gizi dan KIA yang sebelumnya

telah mengikuti pelatihan konseling ASI

eksklusif. Pelatihan konseling ASI untuk

kader juga belum ada[10].

Penyuluhan ASI eksklusif yang

dilaksanakan di Puskesmas Kediri I belum

rutin dilaksanakan, selain itu belum adanya

konselor ASI di puskesmas Kediri I, namun

sudah ada pembentukkan Kelompok

Pendukung ASI (KP-ASI). Puskesmas

Kediri I sudah melakukan koordinasi/

kerjasama dengan bidan swasta di wilayah

kerja puskesmas, namun koordinasi dengan

klinik swasta belum dilakukan karena

keterbatasan waktu dan tenaga.

Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Putri

Apelinda di tahun 2018, bahwa koordinasi

yang dilakukan dengan bidan dan klinik

swasta yang ada di wilayah puskesmas desa

Binjai sudah ada tetapi koordinasi yang

dilaksanakan belum maksimal karena baru

berupa pertemuan yang dilaksanakan di

kantor lurah dan belum ada peraturan yang

tegas yang bisa diberikan untuk membuat

bidan dan klinik swasta bisa mematuhi

peraturan yang sudah puskesmas

sosialisasikan kepada mereka[11].

Pengawasan program ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I menunjukkan bahwa

proses pengawasan dilakukan oleh Dinas

Kesehatan Kabupaten Tabanan melalui

pengumpulan laporan ASI eksklusif setiap

bulannya. Kader rutin melakukan

pencatatan pelaporan dan laporannya

diserahkan kepada bidan desa, namun

belum ada pengawasan yang dilakukan

oleh kader terhadap ibu-ibu yang memiliki

bayi < 6 bulan dalam memberikan ASI.

Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas

Kesehatan masih kurang, hanya melalui

kontrol pelaporan saja, tidak ada reward

atau sanksi khusus terhadap pencapaian

program ASI eksklusif, hanya laporan

cakupan ASI eksklusif yang diberikan

tanpa tahu kendala yang terjadi di

lapangan, sehingga pengawasan yang

dilakukan belum maksimal.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai

berikut: Perencanaan program ASI

eksklusif di Puskesmas Kediri I

menunjukkan bahwa rencana pelaksanaan

kegiatan ASI eksklusif setiap tahunnya

sama tanpa adanya perubahan dan program

ASI eksklusif ini tidak memiliki anggaran

dana khusus.

Pengorganisasian program ASI

eksklusif di Puskesmas Kediri I

menunjukkan bahwa belum adanya

pembentukkan tim khusus berupa SK

(surat keputusan) dari kepala puskesmas

dalam melaksanakan program.

Penggerakan program ASI

eksklusif di Puskesmas Kediri I

menunjukkan bahwa belum rutin

dilaksanakannya pelatihan khusus yang

berkaitan dengan ASI eksklusif untuk

meningkatkan kompetensi petugas dan

terbatas hanya kepada petugas gizi.

Pengawasan program ASI eksklusif

di Puskesmas Kediri I dilakukan oleh Dinas

Kesehatan Kabupaten Tabanan melalui

kontrol pelaporan saja, tidak ada reward

atau sanksi khusus terhadap pencapaian program ASI eksklusif.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan penelitian

dapat disampaikan saran-saran sebagai

berikut: Puskesmas Kediri I agar membuat

Page 41: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Analisis Sistem Manajemen Program Pemberian ASI

38

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

perubahan atau inovasi terhadap rencana

pelaksanaan kegiatan ASI eksklusif dan

menyusun anggaran dana khusus untuk

kegiatan ASI eksklusif agar program

tersebut dapat berjalan dengan baik.

Untuk Kepala Puskesmas Kediri I

agar membuat SK (surat keputusan) kepada

pegawainya tentang penanggung jawab

pelayanan dan program di Puskesmas

Kediri I.

Untuk Petugas gizi agar

memberikan pelatihan tentang ASI

eksklusif lebih rutin untuk tenaga

kesehatan dan kader lainnya sebagai bekal

dalam melaksanakan peningkatan cakupan

ASI eksklusif di Puskesmas Kediri I, lebih

memberdayakan pembentukan KP-ASI di

wilayah kerja Puskesmas Kediri I dan

mengusulkan kepada Dinas Kesehatan

Kabupaten Tabanan agar dibentuk konselor

ASI di Puskesmas Kediri I.

Untuk Dinas kesehatan Kabupaten

Tabanan, petugas kesehatan Puskemas

Kediri I serta kader agar rutin memantau

pelaksanaan kegiatan program ASI

eksklusif di Puskesmas Kediri I.

DAFTAR RUJUKAN

1. UNICEF. 2012. Indonesia Laporan

Tahunan. Geneva : UNICEF

2. Kemenkes RI. 2017. Profil Kesehatan

Indonesia 2016. Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

3. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2018.

Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun

2017. Bali : Badan Penerbit Dinas

Kesehatan Provinsi Bali

4. Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan.

2018. Profil Kesehatan Kabupaten

Tabanan Tahun 2017. Bali : Badan Penerbit Dinas Kesehatan Kabupaten

Tabana

5. Fitriani. 2017. Fungsi Manajemen

dalam Pelaksanaan Program ASI

Eksklusif di Puskesmas Jeuram

Kabupaten Nagan Raya. [online].

http://eprints.uad.ac.id/5422.pdf

[diakses 9 November 2018]

6. Ariani, A.P. 2014. Aplikasi Metodologi

Penelitian Kebidanan dan Kesehatan

Reproduksi, Yogyakarta : NuhaMedika

7. Sugiyono. 2017. Metode Penelitian

Kualitatif. Bandung : Alfabeta CV

8. Alifah, Nur. 2012. Analisis Sistem

Manajemen Program Pemberian ASI

Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas

Candilama Kota Semarang. [online].

http://ejournals1.undip.ac.id/handle.pdf

[diakses 12 Juni 2019]

9. Paramita, dkk. 2015. Pelaksanaan

Program Promosi ASI Eksklusif Tahun

2013 di Puskesmas Kota Probolinggo.

Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.

18(03) : 267-276

10. Utami, dkk. 2013. Analisis Faktor

Internal dan Eksternal Program

Peningkatan Pemberian ASI Eksklusif

Puskesmas Pariaman Kota Padang.

Jurnal Kesehatan Masyarakat. 07 (02) :

67-74

11. Putri, Apelinda. 2018. Analisis

Manajemen Program ASI Eksklusif di

Wilayah Kerja Puskesmas Desa Binjai.

[online].

http://repositori.usu.ac.id/handle.pdf

[diakses 12 Juni 2019]

Page 42: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

BHJ 4(1) Mei 2020

BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ

PENGARUH WORK FAMILY CONFICT TERHADAP STRES

KERJA PADA PEGAWAI ADMINISTRASI

I Gusti Ngurah Made Yudhi Saputra1, I Gusti Lanang Made Rudiartha2

1Program Studi Administrasi Rumah Sakit, Universitas Bali Internasional

Abstrak

Latar Belakang: Work family conflict menjadi salah satu indicator tingginya stress kerja. Tujuan: Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui pengaruh work family conflict terhadap stres kerja pegawai administrasi BRSU Tabanan. Metode:

Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanatory research. Subyek penelitian adalah seluruh pegawai administrasi BRSU Tabanan yang merupakan pegawai tetap (PNS) dan kontrak. Teknik pengambilan sampel yang digunakan

adalah sampel jenuh dimana seluruh anggota populasi digunakan sebagai sampel. Penelitian ini menggunakan instrumen yang

terlebih dahulu divalidasi. Teknik analisis data menggunakan teknik analisa kuantitatif dengan menggunakan teknik regresi.

Hasil: terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara work family conflict terhadap stres kerja pegawai administrasi BRSU Tabanan. Simpulan: pihak manajemen selayaknya mengoptimalkan penggunaan SDM dengan memperhatikan rencana

kerja yang tepat serta job description dan SOP yang jelas Pihak manajemen dapat memberikan pengarahan secara periodic

dalam menjelaskan rencana kerja baik jangka pendek, menengah, maupun panjang, sehingga pemberian beban kerja terhadap

paegawai bisa sesuai dengan kapasitas serta waktu kerja yang telah ditentukan. Pimpinan juga dapat mewajibkan pegawai untuk bekerja secara optimal tanpa menunda-nunda pekerjaan di kantor yang dapat menyebabkan pegawai lembur atau

membawanya pulang kerumah sehingga mengganggu tanggung jawabnya dirumah.

Kata kunci : work family conflict, stres kerja.

Abstract

Background: Work family conflict can be an indicator of job stress. Purpose: This study aims to determine the effect of work

family conflict on job stress of administrative staff of BRSU Tabanan. Method: The research design used is eksplanatory

research. The subjects were all administrative staff of BRSU Tabanan who were permanent employees (PNS) and contracts.

The sampling technique used is a saturated sample in which all members of the population are used as samples. This study

uses the instrument that was first validated. Data analysis technique using quantitative analysis technique by using regression

technique. Result: The result of this research is positive and significant influence between work family conflict to work stress

of administrative staff of BRSU Tabanan. Conclusion: the management should optimize the use of human resources by taking

into account the right work plan and clear job description and SOP The management can provide periodic briefing in explaining the short, medium and long term work plan so that the workload to the employee can be in accordance with the capacity and

work time that has been determined. Leaders may also require employees to work optimally without delaying work in the

office that may cause employees to work overtime or bring home home so as to disrupt their responsibilities at home

Keywords: work family conflict, job stress.

Korespondensi:

I Gusti Ngurah Made Yudhi Saputra Email: [email protected]

Riwayat Artikel:

Diterima 12 Agustus 2019 Disetujui 24 Maret 2020

Dipublikasikan 20 Mei 2020

Page 43: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Stres Kerja

40

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

PENDAHULUAN

Layanan bidang kesehatan

merupakan salah satu urusan otonomi yang

memiliki banyak ruang inovasi karena

tantangan layanan kesehatan bersifat

sangat kompleks. Kompleksitas itulah yang

selalu menghasilkan berbagai ide selain

mengedepankan skala prioritas. Dalam

bidang kesehatan, hampir semua masalah

yang dihadapi merupakan prioritas yang

sulit ditunda penyelesaiannya. Masalah-

masalah tersebut mulai dari ketidak

tercukupan SDM, sarana prasarana,

aksesibilitas layanan, sampai manajemen

layanan dan perlindungan kesehatan

masyarakat. Kondisi di berbagai daerah

ternyata semua isu strategis itu merupakan

prioritas masalah kesehatan yang harus

segera ditangani tanpa mengabaikan salah

satu di antara yang lainnya.Masalah di

bidang kesehatan inilah yang bila

diabaikan selalu memunculkan masalah

baru dimana dalam indikator evaluasinya,

senantiasa memunculkan beberapa isu

strategis yang bersifat klasik, seperti

pengadaan SDM baru dan pengembangan

sarana-prasarana yang tentu saja

menghabiskan banyak anggaran[1].

Sebagai salah satu instansi

pelayanan publik BRSU Tabanan bertugas

sebagai pemberi pelayanan dibidang

kesehatan bagi masyarakat Tabanan yang

memerlukan pelayanan kesehatan di daerah

tersebut. Dalam melayani masyarakat dan

instansi lain, tentunya berbagai keluhan

pasti sangat banyak karena menyangkut

kepentingan orang banyak. Oleh karena itu

diperlukan manajemen sumber daya

manusia yang baik, sehingga pelayanan

menjadi lebih cepat, efisien dan transparan.

Dari beberapa hal yang telah diuraikan diatas, maka muncul sebuah

pertanyaan: Bagaimana pegawai

Adminitrasi BRSU Tabanan tidak dapat

merasa stres dengan pekerjaannya jika

mereka merasakan beberapa konflit dalam

keluarganya?, mengingat dari pengkajian

awal di temukan data bahwa sebagian besar

tenaga administrasi di BRSU Tabanan

berstatus kawin dan di dominasi oleh jenis

kelamin perempuan yang sudah tentu

memiliki tanggung jawab berat dalam

mengurus rumah tangga. Integrasi diantara

beberapa hal tersebut merupakan landasan

mengapa penelitian ini dilakukan.

Sehingga diharapkan nantinya penelitian

akan mampu menjawab mengapa pegawai

Administrasi BRSU Tabanan merasa stres

atau tidak dalam pekerjaannya dikaitkan

dengan work family conflict.

Berdasarkan uraian di atas,

fenomena yang telah diuraikan mengenai

Pegawai Administrasi Rumah Sakit di

BRSU Tabanan mendorong untuk perlunya

dilakukan penelitian terhadap variabel

yang berpengaruh terhadap stres kerja

pegawai. Untuk itu perlu dilakukan

penelitian tentang pengaruh work family

conflict terhadap stres kerja pegawai

Administrasi Rumah Sakit di BRSU

Tabanan Berdasarkan uraian pendahuluan

tersebut diatas, maka penelitian ini

mengambil judul tentang Pengaruh Work

Family Confict Terhadap Stres Kerja Pada

Pegawai Administrasi Rumah Sakit BRSU

Tabanan.

Berdasarkan beberapa teori dan

penelitian terdahulu maka hipotesis yang

diajukan dalam penelitian ini adalah:

H1: Work family conflict mempunyai

hubungan yang positif dan signifikan

terhadap Stres Kerja Pegawai.

METODE

Penelitian yang akan dilakukan

merupakan penelitian eksplanatori

(explanatory research) yang bertujuan

untuk menjelaskan hubungan kausal antar

variabel dengan pendekatan cross sectional. Analisa data dilakukan dengan

mempergunakan teknik analisa kuantitatif

dengan menggunakan teknik regresi. Hasil

analisa selanjutnya disajikan serta

diinterpretasikan dan kemudian langkah

terakhir diberikan kesimpulan dan saran.

Populasi target dalam penelitian ini

adalah seluruh pegawai administrasi rumah

Page 44: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Saputra & Rudiartha

41

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

sakit BRSU Tabanan yang merupakan

pegawai tetap (PNS) dan kontrak. Populasi

terjangkau dalam penelitian ini adalah

pegawai administrasi rumah sakit BRSU

Tabanan yang merupakan pegawai tetap

(PNS) dan kontrak dan bersedia menjadi

responden. Teknik pengambilan sampel

yang digunakan adalah sampel jenuh (total

sampling) dimana seluruh anggota populasi

yang bersedia menjadi responden

digunakan sebagai sampel.

Dalam penelitian ini variabel-

variabel dalam model konseptual

didefinisikan sebagai berikut.

1. Variabel Work Family Conflict (X)

Definisi operasional work family

conflict (WFC) adalah tekanan atau

ketidakseimbangan peran antara peran

dipekerjaan dengan peran didalam

keluarga. Penelitian ini dalam mengukur

variabel work family conflict menggunakan

skala pengukuran[4]. Kuesioner ini

menggunakan skala lima point dan diukur

dengan indikator-indikator sebagai berikut:

a. Sesuai dengan tugas dan tanggung

jawab yang dijalankan pada

pekerjaan yang diemban, saya

harus mengubah rencana saya

dalam melakukan aktivitas

dengan keluarga.

b. Karena banyaknya waktu yang

tersita dalam menjalankan tugas

dan tanggung jawab pada

pekerjaan yang diemban membuat

saya sulit untuk memenuhi

tanggungjawab keluarga.

c. Kebutuhan di dunia pekerjaan

membuat saya mengabaikan

kehidupan rumah tangga saya.

2. Stres kerja (Y)

Stres kerja adalah sesuatu kondisi

ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang

mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan

kondisi seorang karyawan[2]. Indikator

stres kerja yaitu sebagai berikut:

a. Pekerjaan saya cenderung

mempengaruhi kesehatan saya

b. Setiap akhir hari, pekerjaan saya

membuat saya merasa stress

c. Masalah yang berhubungan dengan

pekerjaan membuat saya terjaga

tengah malam

d. Saya merasa kawatir / cemas karena

pekerjaan saya

Pengujian asumsi klasik dilakukan

sebelum menggunakan model regresi linier

berganda dalam menguji hipotesis.

Pengujian asumsi klasik dimaksudkan agar

regresi yang diperoleh dari metode kuadrat

terkecil nantinya menghasilkan penaksiran

bias linear terbaik sehingga hasil

perhitungan dapat diinterpretasikan dengan

efisiensi dan akurat.

HASIL

Data karakteristik responden

merupakan data responden yang

dikumpulkan untuk mengetahui profil

responden. Responden dalam penelitian ini

adalah pegawai administrasi BRSU

Tabanan, dengan jumlah 97 orang.

Karakteristik responden yang dibahas pada

penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, dan masa kerja yang

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik Responden

Karakteristik Frekuensi Persen-

tase

Umur

20-30 tahun 16 16.49

31-40 tahun 65 67.01

41-50 tahun 15 15.46

> 50 thn. 1 1.03

Total 97 100,0

Jenis

Kela-

min

Laki-laki 12 12.37

Perempu-an 85 87.63

Total 97 100,0

Pendi-

dikan

SMA 7 7.22

Diploma 22 22.68

S1 68 70.10

Total 97 100,0

Masa

Kerja

1-5 thn. 44 45.36

6-10 tahun 20 20.62

11-15 tahun 12 12.37

> 15 tahun 21 21.65

Total 97 100,0

Sumber: Data diolah

Bagian pertama menjelaskan

karakteristik responden berdasarkan umur.

Responden dalam penelitian ini sebagian

Page 45: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Stres Kerja

42

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

besar memiliki umur berkisar antara 31-40

tahun yaitu sebesar 67,01 persen dan hanya

1,03 persen yang berumur di atas 50 tahun.

Bagian kedua, menunjukkan jumlah

responden perempuan lebih banyak

dibandingkan responden laki-laki. Hal ini

ditunjukan dari jumlah responden laki-laki

sebesar 12,37 persen, sedangkan jumlah

responden perempuan sebesar 87,63

persen.

Bagian kelima mengenai

pendidikan terakhir. Sebagian besar

responden mengenyam pendidikan

responden di tingkat sarjana sebesar 70,10

persen dan hanya 7,22 persen yang masih

SMA. Bagian yang terakhir dibahas masa

kerja responden. Responden dalam

penelitian ini hampir merata di setiap

golongan masa kerja, namun masa kerja 1-

5 tahun memiliki persentase terbesar

sebesar 45,36 persen.

Hasil Penelitian Analisis Regresi

Sederhana

Dalam penelitian ini, untuk

menganalisis data digunakan metode

analisis regresi sederhana. Analisis regresi

sederhana digunakan untuk mengetahui

dan menunjukkan arah serta besarnya

pengaruh work family conflict terhadap

stres kerja Pegawai administrasi rumah

sakit BRSU Tabanan

Dalam model analisis pada penelitian

ini, yang digunakan sebagai variabel bebas

adalah adalah work family conflict.

Sedangkan yang digunakan sebagai

variabel terikat pada penelitian ini adalah

stres kerja (Y). Analisis ini menggunakan

bantuan SPSS Statistics 21.0 dalam

pengolahan.

Tabel 2 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda

Model Unstandardiz

ed

Coefficients

Standardi

zed

Coefficien

ts

t Si

g.

B Std.

Erro

r

Beta

1

(Consta

nt)

84.559 1.89

7

44.58

1

.00

0

WFC 2.135 .169 .791 12.61

5

.00

0

F hitung

:

159,13

Signifikansi F : 0,000

R Square : 0,626

Adjusted R Square :

0,622

Sumber: Data diolah

Berdasarkan hasil analisis yang

disajikan pada Tabel 2, maka dapat disusun

persamaan regresi sebagai berikut:

Ŷ = 84,66 + 2,135X1 + e

Berdasarkan model yang telah

dianalisis, dilakukan pengujian secara

bersama-sama dengan uji F (F-test),

berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui Fhitung

sebesar 159,13, signifikansi (p-value)

sebesar 0,000 dan Adjusted R Square

sebesar 0,622 atau 62,2 persen.

Berdasarkan nilai toleransi yang diberikan

yaitu α = 5 persen dengan nilai signifikansi

0,000 < α (0,05) maka Ho ditolak dan Hi

diterima. Ini berarti bahwa variabel WFC

berpengaruh signifikan terhadap Stres

Kerja Pegawai administrasi rumah sakit

BRSU Tabanan. Secara bersama-sama,

WFC berpengaruh sebesar 0,622 atau

62,2%, sedangkan sisanya sebesar 37,8%

dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak

masuk dalam model.

Untuk membuktikan pengaruh

variabel tersebut nilai ttabel dibandingkan

dengan thitung, atau dengan cara melihat

besarnya nilai koefisien beta pada variabel

bebas, maka secara pengaruh variabel

bebas tersebut terhadap Stres kerja dapat

diketahui. Berdasarkan Tabel 2 koefisien

WFC (b1) sebesar 2,135 dengan nilai

signifikansi 0,000 lebih kecil dari α

Page 46: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Saputra & Rudiartha

43

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

(0,000<0,05). Hasil ini menunjukkan

bahwa WFC secara berpengaruh positif

dan sisgnifikan terhadap Stres kerja pada

Pegawai administrasi rumah sakit BRSUD

Kabupaten Tabanan. Hal ini juga dapat

dibuktikan dari thitung sebesar -12,615 lebih

besar dari ttabel sebesar t(0,05;96) = 2,02 (thitung

= 12,615 > ttabel = 2,02). Nilai yang

diperoleh menandakan arah hubungan yang

positif, dengan demikian dapat dijelaskan

bahwa semakin rendah WFC maka Stres

kerja akan semakin baik, dan sebaliknya

semakin tinggi WFC maka akan

berdampak pada penurunan Stres kerja.

PEMBAHASAN

Hasil uji yang ditunjukkan oleh tabel

2 menunjukkan WFC berpengaruh secara

positif dan signifikan terhadap stres kerja

yang berarti hipotesis diterima. Hasil ini

ditunjukkan dengan WFC (b1) sebesar

2,135 dengan nilai signifikansi 0,000 lebih

kecil dari α (0,000<0,05). Hasil ini

menunjukkan bahwa WFC secara

berpengaruh positif dan sisgnifikan

terhadap Stres kerja pada Pegawai

administrasi rumah sakit BRSUD

Kabupaten Tabanan. Hal ini juga dapat

dibuktikan dari thitung sebesar 12,615 lebih

besar dari ttabel sebesar t(0,05;96) = 2,02 (thitung

= 12,615 > ttabel = 2,02). Ini berarti bila

WFC dari pegawai meningkat maka akan

terjadi peningkatan stres kerja pada

pegawai BRSUD Kabupaten Tabanan.

Kontribusi pengaruh dari WFC

terhadap stres kerja adalah sebesar 79,1

persen. Hasil ini diperkuat oleh teori dari

Greenhaus dan Beutell (1985) adalah salah

satu dari bentuk interrole conflict yaitu

tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran dipekerjaan dengan peran

didalam keluarga. Jam kerja yang panjang

dan beban kerja yang berat merupakan

pertanda langsung akan terjadinya konflik

pekerjaan-keluarga (WFC), dikarenakan

waktu dan upaya yang berlebihan dipakai

untuk bekerja mengakibatkan kurangnya

waktu dan energi yang bisa digunakan

untuk melakukan aktivitas-aktivitas

keluarga[4]. Menurut teori peran, WFC

berkepanjangan dapat mendorong

terjadinya ketidakpuasan kerja, mengikis

rasa percaya diri, dan menghambat kinerja

pekerjaan. Hasil ini juga didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Yu et al

tahun 2016 bahwa WFC berpengaruh

signifkan terhadap stres kerja pekerja dan

supervisor[5]. Semakin tinggi WFC

semakin rendah stres kerja pekerja.

KESIMPULAN

Simpulan yang dapat diberikan

berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan pada Pegawai BRSU Kabupaten

Tabanan adalah WFC berpengaruh positif

dan signifikan terhadap stres kerja Pegawai

BRSU Kabupaten Tabanan.

SARAN

1. Pernyataan “Sesuai dengan tugas dan

tanggung jawab yang dijalankan pada

pekerjaan yang diemban, saya harus

mengubah rencana saya dalam

melakukan aktivitas dengan keluarga”,

merupakan item dengan nilai rata-rata

paling kecil, sedangkan pernyataan

“Karena banyaknya waktu yang tersita

dalam menjalankan tugas dan tanggung

jawab pada pekerjaan yang diemban

membuat saya sulit untuk memenuhi

tanggungjawab keluarga” merupakan

item dengan nilai rata-rata paling besar.

2. Pernyataan “Setiap akhir hari, pekerjaan

saya saya merasa stress”, merupakan

item dengan nilai rata-rata paling besar,

sedangkan pernyataan “Pekerjaan saya cenderung mempengaruhi kesehatan

saya” merupakan item dengan nilai rata-

rata paling kecil.

3. Dari pernyataan di atas maka kami

sarankan pimpinan dan pihak

manajemen dapat mengoptimalkan

penggunaan SDM dengan

memperhatikan rencana kerja yang tepat

Page 47: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Stres Kerja

44

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

serta job description dan SOP yang jelas

Pihak manajemen dapat memberikan

pengarahan secara periodic dalam

menjelaskan rencana kerja baik jangka

pendek, menengah, maupun panjang,

sehingga pemberian beban kerja

terhadap paegawai bisa sesuai dengan

kapasitas serta waktu kerja yang telah

ditentukan. Pimpinan juga dapat

mewajibkan pegawai untuk bekerja

secara optimal tanpa menunda-nunda

pekerjaan di kantor yang dapat

menyebabkan pegawai lembur atau

membawa kerjaannya pulang kerumah

sehingga mengganggu tanggung

jawabnya dirumah

DAFTAR RUJUKAN

1. Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan

Nasional. Jakarta.

2. Rivai, Veithzal dan Basri M.F.A 2005,

Perfomance Appraisal, Sistem

Penilaian Kinerja Karyawan dan

Meningkatkan Daya Saing Perusahaan,

Penerbit: Raja Grafindo Persada

Jakarta.

3. Robbins, Stephen. 2008.

Organizational Behavior, Teth Edition

(Perilaku Organisasi edisi ke Sepuluh).

Salemba Empat. Jakarta.

4. Greenhaus, J., & Beutell, N. (1985).

Sources of conflict between work and

family roles. Academy of Management

Review, 10, 76-88. 5. Yu, Xiaobo et al. 2015. The Effect of Work

Stress on Job Burnout Among Teachers:

The Mediating Role of Self-efficacy.

Social Indicators Research. July

2015, Volume 122, Issue 3, pp 701–708

Page 48: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

BHJ 4(1) Mei 2020

BALI HEALTH JOURNAL ISSN 2599-1280 (Online); ISSN 2599-2449 (Print)

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ

PENGARUH PELAYANAN PRIMA DAN CUSTOMER RELATIONSHIP

MANAGEMENT (CRM) TERHADAP LOYALITAS PASIEN

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA DENPASAR

I Gede Suasnawa

Program Studi Administrasi Rumah Sakit, Universitas Bali Internasional

Abstrak

Latar Belakang: Loyalitas pasien merupakan komitmen dan kesetian yang dipegang secara mendalam untuk

memakai kembali jasa pelayanan kesehatan rumah sakit. Keuntungan loyalitas bersifat jangka panjang dan

kumulatif, yaitu meningkatkan sumber pendapatan atau keuntungan, retensi pegawai yang lebih tinggi, dan basis

keuangan yang lebih stabil. Peningkatan loyalitas pasien bisa dipengaruhi oleh pelayanan prima dan customer

relationship managemen (CRM). Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pelayanan prima dan

CRM terhadap loyalitas pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar. Metode: Penelitian ini

termasuk jenis penelitian kausal karena penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan sebab akibat antara variabel

pelayanan prima, CRM dan loyalitas pasien. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling dengan

kriteria pasien berkunjung ke rumah sakit lebih dari dua kali dengan usia 17 - 65 tahun dan jumlah sampel yang

diambil sebesar 100 responden. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi

linier berganda. Hasil: pelayanan prima berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pasein (p < 0,05).

Variabel CRM berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pasien (p < 0,05). Kesimpulan: Variabel

pelayanan prima merupakan faktor yang dominan mempengaruhi loyalitas pasien yaitu dengan koefisien regresi

sebesar 0,537 dan koefisien regresi CRM adalah 0,478.

Kata kunci : Pelayanan prima, CRM, Loyalitas

Abstract

Background: Patient loyalty is a commitment and loyalty that is held deeply to reuse hospital health services.

The benefits of loyalty are long-term and cumulative, namely increasing sources of income or profits, higher

employee retention, and a more stable financial base. Increased patient loyalty can be influenced by excellent

service and customer relationship management (CRM). Objective: This study aims to examine the effect of

excellent service and CRM on patient loyalty in the Wangaya District General Hospital, Denpasar. Method: This

study is a causal study because this study aims to determine the causal relationship between excellent service

variables, CRM and patient loyalty. The sampling technique used was incidental sampling with the criteria of

patients visiting the hospital more than twice with ages 17 - 65 years and the number of samples taken was 100

respondents. The data analysis technique used in this study is multiple linear regression analysis. Results:

excellent service has a positive and significant effect on patient loyalty (p <0.05). CRM variable has a positive

and significant effect on patient loyalty (p <0.05). Conclusion: Excellent service variable is a dominant factor

affecting patient loyalty with a regression coefficient of 0.537 and a CRM regression coefficient of 0.478.

Keywords: Excellent service, CRM, Loyalty

Korespondensi:

I Gede Suasnawa

Email: [email protected]

Riwayat Artikel: Diterima 12 Agustus 2019

Disetujui 25 Februari 2020

Dipublikasikan 20 Mei 2020

Page 49: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Pengaruh Pelayanan Prima dan Customer Relationship

46

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

PENDAHULUAN

Rumah sakit adalah bagian integral

dari suatu organisasi sosial dan kesehatan

dengan fungsi menyediakan pelayanan

paripurna (komprehensif), penyembuhan

penyakit (kuratif) dan pencegahan

penyakit (preventif) kepada masyarakat.

Rumah sakit juga merupakan pusat

pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat

penelitian medik. [1] Rumah sakit adalah

institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat

jalan, dan gawat darurat.[2] Tolak ukur

keberhasilan suatu rumah sakit adalah

salah satunya bergantung pada tingkat

kunjungan kembali untuk menggunakan

jasa pelayanan rumah sakit. Rumah sakit

dalam meningkatkan tingkat kunjungan

kembali harus mampu membuat setrategi

agar mampu meningkatkan loyalitas pasien

terhadap rumah sakit.

Loyalitas adalah komitmen yang

dipegang secara mendalam untuk membeli

atau mendukung kembali produk atau jasa

yang disukai dimasa depan meski pengaruh

situasi dan usaha pemasaran berpotensi

menyebabkan pelanggan beralih. [3] Ciri

khas dari sikap dan sifat loyalitas pasien di

rumah sakit didasarkan pada keterikatan

pasien atas jasa yang disediakan rumah

sakit yang dihubungkan secara silang

menyilang dengan pola penggunaan jasa

secara berulang. Pasien yang mempunyai

sikap dan sifat loyal adalah mereka yang

tidak hanya bersedia menggunakan jasa

ketika pasien tersebut sakit, tetapi juga

kesediaannya untuk menyarankan produk

atau jasa tersebut kepada orang lain, teman,

saudara, dan anggota keluarga serta kolega

mereka. Keuntungan loyalitas bersifat

jangka panjang dan kumulatif, yaitu

meningkatnya loyalitas pasien dapat

menyebabkan sumber pendapatan atau

keuntungan yang lebih meningkat, retensi

pegawai yang lebih tinggi, dan basis

keuangan yang lebih stabil.

Pasien yang loyal timbul dari rasa

puas dengan mutu pelayanan yang

diberikan. Mutu pelayanan merupakan

bentuk penilaian konsumen terhadap

tingkat pelayanan yang diterima (perceived

services) dengan tingkat pelayanan yang

diharapkan (expected services).[4]

Pelayanan yang mampu meningkatkan

keunggulan bersaing dan mutu pelayanan

rumah sakit adalah salah satunya dengan

memberikan sebuah pelayan prima.

Pelayanan prima adalah pelayanan dengan

standar kualitas yang tinggi dan selalu

mengikuti perkembangan kebutuhan

pelanggan setiap saat, secara konsisten dan

akurat, sehingga mampu bertahan dalam

iklim persaingan yang ketat.[5] Pelayanan

yang memenuhi standar kualitas adalah

suatu pelayanan yang sesuai dengan

harapan dan kepuasan pelanggan/pasien.[6]

Penelitian terkait dengan pelayanan prima

terhadap loyalitas menunjukkan bahwa

peningkatan layanan prima mampu

meningkatkan loyalitas pelanggan Internet

Service Provider (ISP).[7] Beberapa

peneliti lain juga menyatakan bahwa

pelayanan prima berpengaruh positif dan

signifikan terhadap loyalitas.[8][9][10]

Rumah sakit dalam meningkatkan

loyalitas pasien diperlukan manajemen

menjaga hubungan manajemen hubungan

pelanggan (customer relationship

management) atau CRM . CRM Menurut

adalah strategi inti dalam bisnis yang

mengintegrasikan proses - proses dan

fungsi - fungsi internal dengan semua

jaringan eksternal untuk menciptakan serta

mewujudkan nilai bagi para konsumen

sasaran secara menguntungkan.[11] Hasil

penelitian terkait dengan CRM terhadap

loyalitas didapatkan bahwa CRM berpengaruh positif dan signifikan

terhadap loyalitas pasien di Rumah Sakit

Bali Royal.[10] penelitian dengan judul

“Pengaruh CRM Terhadap Loyalitas

Pelanggan Tivoli Club House Sidoarjo

dengan Kepuasan Pelanggan Sebagai

Variabel Perantara” juga menunjukan

bahwa variabel loyalitas pelanggan

Page 50: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Suasnawa

47

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

dipengaruhi CRM dan loyalitas pelanggan

sebesar 67,8%. Berbeda dengan kedua

penelitian tersebut yang menyatakan

bahwa pengaruh variabel CRM terhadap

loyalitas pasien RS tingkat II Tentara

Nasional Indonesia adalah tidak

signifikan.[13] Hal ini menunjukkan bahwa

variabel CRM secara statistik memiliki

pengaruh yang tidak signifikan terhadap

Loyalitas pasien RS tingkat II Tentara

Nasional Indonesia. Berdasarkan uraian

latar belakang di atas, peneliti tertarik

untuk meneliti Pengaruh Pelayanan Prima

dan Customer Relationship Management

(CRM) Terhadap Loyalitas Pasien di

Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya

Denpasar.

Penelitian diharapkan memiliki

manfaat secara teoritis dan praktis.

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah

memberi tambahan bukti empiris tentang

hubungan antara pelayanan prima, CRM,

dan loyalitas pasien yang dapat

diaplikasikan di rumah sakit, yang

diharapkan dapat menjadi dasar penelitian

lebih lanjut. Manfaat praktis yang

diinginkan adalah 1) memberi tambahan

informasi bagi pihak manajemen Rumah

Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar

mengenai hubungan antara pelayanan

prima, CRM, dan loyalitas pasien di rumah

sakit ; 2) menjadi pertimbangan dan

masukan bagi pihak manajemen Rumah

Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar

untuk memperbaiki dan meningkatkan

pelayanan prima, CRM serta menentukan

kebijakan yang berkaitan dengan

pelayanan prima dan CRM demi

terciptanya loyalitas pasien; 3)

memberikan gambaran bagi peneliti

selanjutnya untuk mengembangkan

penelitian ini dengan menghubungkan

variabel - variabel baru yang berperan

dalam meningkatkan loyalitas pasien di

Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya

Denpasar.

METODE

Penelitian ini termasuk jenis

penelitian kausal karena penelitian ini

bertujuan mengetahui hubungan sebab

akibat antara variabel pelayanan prima dan

CRM terhadap loyalitas pasien Variabel

dalam penelitian ini adalah loyalitas pasien

sebagai variabel terikat atau dependent

variable dan variabel bebas atau

independent variable adalah pelayanan

prima dan CRM. Subjek penelitiannya

adalah pasien rawat jalan RSUD Wangaya

Denpasar yang berkunjung lebih dari dua

kali sejumlah 100 orang. Instrumen

penelitian yang dipakai untuk

pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan kuesioner.

Kuesioner tersebut berupa daftar

pernyataan yang secara langsung diberikan

kepada para responden. Pernyataan -

pernyataan dalam kuesioner dibuat dengan

menggunakan skala likert 1 – 5. Jawaban

setiap item instrument yang menggunakan

skala Likert mempunyai gradasi dari sangat

negatif sampai positif yang dapat berupa

kata-kata antara lain: sangat tidak setuju

(skor 1); tidak setuju (skor 2); netral (skor

3); setuju (skor 4) dan sangat setuju (skor

5). Analisis yang digunakan adalah analisis

regresi linier berganda dimana data diolah

dengan bantuan program computer yaitu

SPSS (software statistics product for the

social science).

HASIL

Hasil penelitian didapatkan dengan

melakukan pengujian hipotesis yang

menggunakan uji t. Uji t digunakan untuk

mengetahui pengaruh variabel bebas, yaitu

pelayanan prima (X1) dan CRM (X2

terhadap loyalitas pasien (Y1) di RSUD

Wangaya Denpasar. Uji t dilakukan dengan

membandingkan nilai thitung dengan ttabel

pada taraf signifikansi 0,05 dengan

pengujian α = 0,05; df = n-k = 100-3 = 97,

sehingga ttabel (0,05:31) adalah sebesar

1,984723. Hasil analisis uji t dapat dilihat

pada tabel 1.

Page 51: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Pengaruh Pelayanan Prima dan Customer Relationship

48

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

Tabel 1. Hasil analisis uji t Pengaruh Pelayanan Prima Dan CRM Terhadap Loyalitas

Pasien

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) .295 .142 2.072 .041 x1 .537 .072 .567 7.428 .000 .149 6.711

x2 .478 .089 .409 5.362 .000 .149 6.711

Sumber: Olah data tahun 2017

Berdasarkan tabel 1. hasil uji t pada

penelitian ini menujukan hasil sebagai

berikut:

1. Pengujian t hitung pada pelayanan

prima (X1)

Hipotesis 1 menyatakan bahwa

pelayanan prima berpengaruh positif

terhadap loyalitas pasien RSUD

Wangaya Denpasar. Tabel 1.

menunjukkan nilai dengan tingkat

signifikansi 95% (α =0,05) memiliki

angka signifikansi (P Value) pada

variabel pelayanan prima 0,000<0,05,

maka H0 ditolak dan pada tabel 1. nilai

thitung=7,428 lebih besar dari

ttabel=1,984723 maka H0 ditolak, ini

berarti pelayanan prima berpengaruh

positif dan signifikan terhadap loyalitas

pasien di RSUD Wangaya Denpasar.

Hal ini berarti hipotesis yang diajukan

oleh peneliti diterima.

2. Pengujian t hitung pada Customer

Relationship Management (X2)

Customer Relationship

Management berpengaruh positif

terhadap loyalitas pasien RSUD

Wangaya Denpasar. Tabel 1.

menunjukkan nilai dengan tingkat

signifikansi 95% (α =0,05) memiliki

angka signifikansi (P Value) pada variabel CRM 0,000<0,05, maka H0

ditolak dan pada tabel 1. nilai

thitung=5.362 lebih besar dari

ttabel=1,984723 maka H0 ditolak, ini

berarti CRM berpengaruh positif dan

signifikan terhadap loyalitas pasien

RSUD Wangaya Denpasar. Hal ini

berarti hipotesis yang diajukan oleh

peneliti diterima.

PEMBAHASAN

Penelitian ini difokuskan untuk

menguji pengaruh pelayanan prima dan

customer relationship management

terhadap loyalitas pasien RSUD Wangaya

Denpasar. Pembahasan tentang hasil

penelitian sesui dengan hasil analisis

diuraikan berikut ini:

1. Pengaruh Pelayanan Prima Terhadap

Loyalitas Pasien

Hasil penelitian diperoleh bahwa

ada pengaruh positif pelayanan prima

terhadap loyalitas pasien RSUD

Wangaya Denpasar. Koefisien regresi

X1 sebesar 0,537 menyatakan bahwa

setiap kenaikan pelayanan prima

sebesar satu satuan akan meningkatkan

loyalitas pasien sebesar 0,537 satuan.

Nilai probabilitas dengan tingkat

signifikansi 95% (α =0,05) memiliki

angka signifikansi (P Value) pada

variabel pelayanan prima 0,000<0,05,

maka H0 ditolak dan nilai thitung=7,428

lebih besar dari ttabel=1,984723 maka

H0 ditolak, ini berarti pelayanan prima

berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pasien. Hal ini berarti

hipotesis yang diajukan oleh peneliti

diterima.

Hasil penelitian lain menunjukan

bahwa peningkatan layanan prima

mampu meningkatkan loyalitas

pelanggan Internet Service Provider

Page 52: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Suasnawa

49

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

(ISP).[7] Pelayanan prima juga

berpengaruh signifikan terhadap

loyalitas pada industri perawatan

rambut.[8] Pelayanan prima merupakan

sebuah kepedulian oleh perusahaan

terhadap para pelanggan dengan

berusaha memberikan pelayanan sebaik

mungkin dalam memenuhi harapan dan

kebutuhan pelanggan, berdasarkan

standard dan prosedur pelayanan untuk

mewujudkan kepercayaan pelanggan

agar mereka selalu puas, sehingga

mewujudkan pelanggan yang memiliki

loyalitas tinggi.[14] Beberapa peneliti

lain mengungkapkan bahwa pelayanan

prima juga berpengaruh positif dan

signifikan terhadap loyalitas.[10][15]

2. Pengaruh CRM Terhadap Loyalitas

Pasien

Penenlitian ini menunjukan hasil

bahwa ada pengaruh positif CRM

terhadap loyalitas pasien. Koefisien

regresi X2 sebesar 0,478 menyatakan

bahwa setiap kenaikan CRM sebesar

satu satuan akan meningkatkan loyalitas

pasien sebesar 0,478 satuan. Nilai

probabilitas dengan tingkat signifikansi

95% (α =0,05) memiliki angka

signifikansi (P Value) pada variabel

CRM 0,000<0,05, maka H0 ditolak dan

nilai thitung=5,362 lebih besar dari

ttabel=1,984723 maka H0 ditolak, ini

berarti CRM berpengaruh positif dan

signifikan terhadap loyalitas pasien

RSUD Wangaya Denpasar. Hal ini

berarti hipotesis yang diajukan oleh

peneliti diterima.

Penelitian terkait dengan CRM

terhadap loyalitas yang diungkapkan

oleh peneliti lain menyatakan bahwa

CRM berpengaruh terhadap kepuasan dan Loyalitas pelanggan.[16] Sejalan

dengan penelitian beberapa peneliti

lainnya yang menunjukan bahwa

adanya pengaruh yang signifikan antara

CRM dengan loyalitas melalui kepuasan

dan kpercayaan pelanggan.[17]

Penelitian dengan judul “Pengaruh

CRM Terhadap Loyalitas Pelanggan

Tivoli Club House Sidoarjo dengan

Kepuasan Pelanggan Sebagai Variabel

Perantara” menunjukan bahwa variabel

loyalitas pelanggan dipengaruhi CRM

dan loyalitas pelanggan sebesar

67,8%.[12] Penelitian dengan judul

Analysis of Customer Loyalty through

Total Quality Service, Customer

Relationship Management and

Customer Satisfaction menunjukan

bahwa CRM berpengaruh signifikan

terhadap loyalitas.[18] Beberapa peneliti

lain juga mengungkapkan hal yang sama

dimana CRM berpengaruh positif dan

signifikan terhadap loyalitas.[10][19][20][21]

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis serta hasil

pembahasan yang telah dilalakukan

sebelumnya maka dari penelitian ini dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Variabel pelayanan prima berpengaruh

positif dan signifikan terhadap loyalitas

pasien RSUD Wangaya Denpasar

dengan koefisien regresi sebesar 0,537

maka menyatakan bahwa setiap

kenaikan pelayanan prima satu satuan

akan meningkatkan loyalitas sebesar

0,537 satuan.

2. Variabel CRM berpengaruh positif dan

signifikan terhadap loyalitas pasien

RSUD Wangaya Denpasar dengan

koefisien sebesar 0,478 maka

menyatakan bahwa setiap kenaikan

CRM sebesar satu satuan akan

meningkatkan Loyalitas sebesar 0,478

satuan.

SARAN

Berdasarkan hasil analisis penelitian

yang telah dilakukan, maka untuk

kepentingan manajemen rumah sakit,

maupun ilmu pengetahuan, selanjutnya

disampaikan beberapa saran sebagai

berikut:

1. Kepada Manajemen Rumah Sakit

Page 53: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Pengaruh Pelayanan Prima dan Customer Relationship

50

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

Manajemen Rumah sakit harus

lebih mengoptimalkan peran dari

manajemen dalam hal pengawasan

operasional rumah sakit untuk

membantu mengawasi setiap karyawan

agar selalu memberikan pelayanan

prima untuk menciptakan loyalitas

pasien. Program CRM juga harus

diperhatikan, karena untuk membuat

pasien loyal perlu hubungan yang baik

antara Rumah sakit dengan pasien.

2. Kepada Peneliti Selanjutnya

Hasil temuan penelitian ini dapat

memberikan masukan dan menjadi

bahan pertimbangan untuk

mengembangkan penelitian selanjutnya,

sehingga pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya ilmu perilaku

konsumen rumah sakit dan strategi

pemasaran jasa rumah sakit berkembang

sesuai dengan perkembangan waktu dan

zaman. Kepada peneliti lain disarankan

untuk meneliti lebih jauh faktor - faktor

yang mempengaruhi loyalitas pasien

dengan variabel dan indikator -

indikator yang berbeda yang tidak

terdapat didalam penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

1. World Health Organization (WHO)

2. Undang - Undang Republik Indonesia

Nomor 44 Tahun 2009 Tentang

Rumah Sakit.

3. Kotler dan Keller. Manajemen

Pemasaran. Jilid I. Edisi ke 13. Jakarta:

Erlangga ;2009.

4. Kotler, Philip dan Gery Armstrong.

Dasar-dasar Pemasaran. Edisi

kesembilan Jilid satu. Jakarta : PT.

Indeks kelompok Gramedia; 2003.

5. Rahmayanty. N. Manajemen

Pelayanan Prima. Yogyakarta: Graha

Ilmu; 2013.

6. Maddy, Khairul. Hakikat dan

Pengertian Pelayanan Prima. Jakarta:

Chama Digit; 2009.

7. Paramaporn Thaichon , Antonio Lobo

, Ann Mitsis. Achieving customer

loyalty through service excellence in

internet industry. International Journal

of Quality and Service Sciences.

[serial on the internet]. 2014[cited

2017 january].6(4), pp.274 – 289.

http://www.emeraldinsight.com/doi/a

bs/10.1108/IJQSS-03-2014-0024

8. Myria Ioannou and Yioula

Melanthiou. The Effect of Interaction

Quality on Trust, Loyalty and Cross-

Selling. International Economics

Letters .2015; 4(1), 1–14.

9. Erna Wahyuningsih, Chatarina Endah

Winarti, Dita Prihandini. Analisis

Pengaruh Pelayanan Prima,

Kepercayaan, Dan Kepuasan

Terhadap Loyalitas Nasabah

Tabungan Pt. Bank Mandiri (Persero)

Tbk. Di Jakarta Pusat.[serial on the

internet] 2013 [Cited 2016 desember].

https://repository.perbanas.id/xmlui/bi

tstream/handle/123456789/1351/(208

207832)%20Proceeding%20Seminar

%20FMI%20Pontianak(1).pdf?sequen

ce=1

10. Suasnawa, I Gede dan Gorda dan

A.A.N. Eddy Supriyadinata. Pengaruh

Pelayanan Prima dan Customer

Relationship Management terhadap

Loyalitas Pasien yang dimediasi oleh

Kepuasan dan Kepercayaan. Jurnal

Manajemen dan Bisnis.2017;14(1):56-

74.

11. Buttle, Francis. Custumer Relationship

Management (Manajemen Hububgan

Pelanggan). Jakarta: Bayumedia;

2007.

12. Ryan Felix, dkk. Pengaruh Customer

Relationship Management Terhadap

Loyalitas Pelanggan Tivoli Club

House Sidoarjo Dengan Kepuasan

Pelanggan Sebagai Variabel Perantara.Surabaya: Manajemen

Perhotelan, Universitas Kristen Petra,

Indonesia; 2016.

13. Sutrisno. The Influence of Service

Quality, and Customer Relationship

Management (CRM) Of Patient

Satisfaction, Brand Image, Trust, and

Patient Loyalty on Indonesian

Page 54: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

Suasnawa

51

Bali Health Journal

4(1) Mei 2020

National Army Level II Hospitals.

International Journal of Business and

Management Invention. 2016; 5(5):

30-44.

14. Atep Adya Barata. Dasar- Dasar

Pelayanan Prima. Jakarta: Elex Media

Kompetindo; 2003.

15. Erna Wahyuningsih, Chatarina Endah

Winarti, Dita Prihandini. Analisis

Pengaruh Pelayanan Prima,

Kepercayaan, Dan Kepuasan

Terhadap Loyalitas Nasabah

Tabungan Pt. Bank Mandiri (Persero)

Tbk. Di Jakarta Pusat[serial on the

internet]. 2013)[citet 2016 desember].

https://repository.perbanas.id/xmlui/bi

tstream/handle/123456789/1351/(208

207832)%20Proceeding%20Seminar

%20FMI%20Pontianak(1).pdf?sequen

ce=1

16. Imasari Kartika, Muzahid Akbar M.

dan Parvez Noorjahan. Service

Quality, Trust, And Customer

Satisfaction Engender Customer

Loyalty. ABAC Journal.

2009;29(1):24-38.

17. Hesti Kartika Sari. Efektifitas Loyalty

Program Dalam Customer

Relationship Management Terhadap

Kepuasan Dan Loyalitas Pelanggan

(Studi Kegiatan Divisi Retensi Dalam

Pelaksanaan Loyalty Program

“Im3@School Community” Pada PT

Indosat Tbk. Kantor Cabang

Malang.Jurnal Ilmu

Komunikasi.2009;6(2):117-206.

18. Feliks Anggia B.K.P, Hotman

Panjaitan. Analysis of Customer

Loyalty through Total Quality Service,

Customer Relationship Management

and Customer Satisfaction.

International Journal of Evaluation and Research in Education

(IJERE).2014;3(3):2252-8822.

19. Mornay Roberts-Lombard and Leon

du Plessis. Customer relationship

management (CRM) in a South African

service environment: An exploratory

study. African Journal of Marketing

Management.2012;4(4):152-165.

20. Siddig Balal Ibrahim, Abdelsalam

Adam Hamid, Badreldien Babiker, Ali

Yassin Sheikh Ali. Customer

Relationship Management Quality and

Customer Loyalty: Evidence from

Sudanese Bank Customers. Academic

Research International.2015;6(1):259-

269.

21. KOÇOĞLU, Prof. Dr. Duygu.

Customer Relationship Management

And Customer Loyalty; A Survey In

The Sector Of Bankin. International

Journal of Business and Social Science

[serial on the internet.2012[cited

September 2016];3(3).

http://search.proquest.com/openview/

1637efe14de59164431a2285795165f

b/1?pq-

origsite=gscholar&cbl=646295

Page 55: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

52

MANUSCRIPT GUIDELINES

ABSTRACT FORMAT

1. File & Font Format

The authors must use Microsoft Word version 2003 or higher (file format is .doc or

.docx) for abstract preparation. For fonts, please use Times New Roman with font size of

12 point, for title please us Times New Roman with font size of 14 point.

2. Typing Area

The authors must use A4 size with top, bottom, and right margins of 2.5 cm and left

margin of 3 cm.

3. Organization of Abstract

a. Title

Please type title and bold letters, capitalize only the first letter of the first word, and

center on the width of the typing area and single-spaced if more than one line is

required. The title should be brief, descriptive and have all words spelled out.

b. Authors

Please list the author(s) name(s), single-spaced if more than one line is required.

Underline for the name of the presenter. Put asterisk sign “*” after the name of

corresponding author.

c. Author’s Affiliation

Please indicate institutional affiliation followed by city and country. In case that

authors are from different institutions, please use number typed in superscript for each

institution and author accordingly.

d. Abstract body

Objective: the purpose of the study

Methods: how the study was performed and statistical tests used

Results: the main findings

Conclusions: brief summary and potential implications

e. Keywords

Please list up to 5 keywords that best match the core content of the abstract.

Page 56: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

53

Page 57: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

54

ABSTRACT EXAMPLE

THE COMPARATION EFFECTIVENESS OF AMITRIPTYLINE

VERSUS GABAPENTIN AND EVALUATION THEIR SIDE EFFECT AS

NEUROPHATIC PAIN THERAPY IN ELDERLY WITH TYPE II

DIABETES MELLITUS

Made Krisna Adi Jaya1, Tuty Kuswardhani2, Fauna Herawati1, I.B.N Maharjana3

1Department of Clinical Pharmacy, Institute Health Science Medika Persada Bali, Bali-

Indonesia. 2Geriatric Department, Sanglah General Hospital, Bali-Indonesia. 3Department of Clinical Pharmacy, Udayana University Hospital, Bali-Indonesia.

Background: Neuropathy in diabetes mellitus is a disorder that occurs in the peripheral

nervous system. The incidence of diabetic neuropathy was found more prevalent in elderly

(44%) compared to adult (24%). Amitriptyline and Gabapentin are widely used on treatment

of neuropathic pain. There were variations in the results of the studies that have been done

related to effectiveness and safety between both drugs, causes the need further research,

especially on geriatrics. Objective: The aim of this study was to compare the effectiveness of

Amitriptyline versus Gabapentin and evaluation there side effects to treat diabetic

neuropathic pain in geriatric. Methods: A prospective cohort study involving 70 elderly were

observed during 4 weeks. The outcome targets were neuropathy pain reduction (≥ 2 unit) and

incidence of side effect. Non-parametric Wilcoxon, Mann Whitney, and Chi-Square test were

used to analyze the outcome. Result: The whole subjects who got Amitriptyline or

Gabapentin decreased pain scale ≥ 2 units compared to baseline. Comparison head to head at

low doses, Amitriptyline showed reduce pain intensity greater than Gabapentin (p < 0.05),

while on therapeutic doses show there was no difference in efficacy between two drugs (p >

0.05). The adverse events on low doses showed Amitriptyline has significantly greater (p <

0.05) compared into Gabapentin, but there was no statisticaly difference on therapeutic doses

in both groups (p > 0.05). Conclusion: Amitriptyline was found better in reducing diabetic

neuropathic pain intensity compared to Gabapentin, but the side effect was higer than

Gabapentin.

Keywords: Diabetes Neuropatic Pain, Effectiveness, Side Effect, Amitrptyline, Gabapentin.

Page 58: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

55

FULL PAPER FORMAT

The text of articles amounting to up to 3000 words (excluding Abstract, references and

Tables) should be divided into sections with the headings Abstract (structured), Keywords,

Introduction, Methods, Results, Discussion, Conclusion, References, Tables and Figure

legends.

1. Abstract

Abstract preparation can be seen in the abstract preparation manual.

2. Introduction

State the purpose and summarize the rationale for the study or observation.

3. Methods

It should include ethics approval (for human being and animal used as subjects) and study

design and setting of the study, the characteristics of participants or description of

materials a clear description of all processes, interventions and comparisons. Generic

drug names should generally be used. When proprietary brands are used in research,

include the brand names in parentheses the type of statistical analysis used, including a

power calculation if appropriate.

4. Results

Present your results in a logical sequence in the text, tables, and illustrations, giving the

main or most important findings first. Do not repeat in the text all the data in the tables or

illustrations; emphasize or summarize only important observations. Restrict tables and

figures to those needed to explain the argument of the paper and to assess its support. Use

graphs as an alternative to tables with many entries; do not duplicate data in graphs and

tables.

5. Discussion

Include summary of key findings (primary outcome measures, secondary outcome

measures, results as they relate to a prior hypothesis); Strengths and limitations of the

study. Interpretation and implications in the context of the totality of evidence (what this

study adds to the available evidence, any new possible mechanisms etc); Controversies

raised by this study; and Future research directions (for this particular research

collaboration, underlying mechanisms, clinical research etc). Do not repeat in detail data

or other material given in the Introduction or the Results section. In particular,

contributors should avoid making statements on economic benefits and costs unless their

manuscript includes economic data and analyses. Avoid claiming priority and alluding to

work that has not been completed. New hypotheses may be stated if needed, however

they should be clearly labeled as such. About 30 references can be included.

6. Conclusion:

This should state clearly the main conclusions and provide an explanation of the

importance and relevance of the study reported.

7. References:

References should be numbered consecutively in the order in which they are first

mentioned in the text (not in alphabetic order). Identify references in text, tables, and

legends by Arabic numerals in square bracket after the punctuation marks.

Page 59: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

56

a. Articles in Journals

• Standard journal article (for up to six authors):

Gupta H, Aqil M, Khar RK, Ali A, Sharma A, Chander P. Development and

Validation of Stability Indicating RP-UPLC method for the Quantitative analysis

of Sparfloxacin. J Chromatogr Sci. 2010; 48 (1): 1-6.

• Standard journal article (for more than six authors):

List the first six contributors followed by et al. Nozari Y, Hashemlu A, Hatmi ZN,

Sheikhvatan M, Iravani A, Bazdar A, et al. Outcome of coronary artery bypass

grafting in patients without major risk factors and patients with at least one major

risk factor for coronary artery disease. Indian J Med Sci 2007;61:547-54

• Volume with supplement:

Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational

lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl 1:275-82.

• Issue with supplement:

Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women's psychological reactions to breast

cancer. Semin Oncol 1996; 23(1, Suppl 2):89-97.

b. Books and Other Monographs

• Personal author(s):

Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed.

Albany (NY): Delmar Publishers; 1996.

• Editor(s), compiler(s) as author:

Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York:

Churchill Livingstone; 1996.

• Chapter in a book:

Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM,

editors. Hypertension: pathophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New

York: Raven Press; 1995. pp. 465-78.

c. Electronic Sources as reference

• Journal article on the Internet

Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the ANA acts in an

advisory role. Am J Nurs [serial on the Internet]. 2002 Jun [cited 2002 Aug

12];102(6):[about 3 p.]. Available from: http://www.nursingworld.org/AJN/

2002/june/ Wawatch.htm

• Monograph on the Internet

Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph

on the Internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9].

Available from: http://www.nap.edu/books/0309074029/html/.

• Homepage/Web site

Cancer-Pain.org [homepage on the Internet]. New York: Association of Cancer

Online Resources, Inc.; c2000-01 [updated 2002 May 16; cited 2002 Jul 9].

Available from: http://www.cancer-pain.org/.

• Part of a homepage/Web site

American Medical Association [homepage on the Internet]. Chicago: The

Association; c1995-2002 [updated 2001 Aug 23; cited 2002 Aug 12]. AMA

Office of Group Practice Liaison; [about 2 screens]. Available from:

http://www.amaassn.org/ama/pub/category/1736.htm

Page 60: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

57

8. Illustrations And Figures (If Any)

a. Figures should be numbered consecutively according to the order in which they have

been first cited in the text.

b. Labels, numbers, and symbols should be clear and of uniform size. The lettering for

figures should be large enough to be legible after reduction to fit the width of a

printed column.

c. Symbols, arrows, or letters used in photomicrographs should contrast with the

background and should be marked neatly with transfer type or by tissue overlay and

not by pen.

d. Titles and detailed explanations belong in the legends for illustrations not on the

illustrations themselves.

e. When graphs, scatter-grams or histograms are submitted the numerical data on which

they are based should also be supplied.

f. The photographs and figures should be trimmed to remove all the unwanted areas.

g. If photographs of individuals are used, their pictures must be accompanied by written

permission to use the photograph.

h. If a figure has been published elsewhere, acknowledge the original source and submit

written permission from the copyright holder to reproduce the material. A credit line

should appear in the legend for such figures.

i. Legends for illustrations: Type or print out legends (maximum 40 words, excluding

the credit line) for illustrations using double spacing, with Arabic numerals

corresponding to the illustrations. When symbols, arrows, numbers, or letters are used

to identify parts of the illustrations, identify and explain each one in the legend.

Explain the internal scale (magnification) and identify the method of staining in

photomicrographs.

j. Final figures for print production: If the images uploaded are not printable quality, the

publisher office may request for higher resolution images which can be sent at the

time of aceptance of the manuscript. Send sharp, glossy, un-mounted, color

photographic prints, with height of 4 inches and width of 6 inches at the time of

submitting the revised manuscript. Print outs of digital photographs are not

acceptable. If digital images are the only source of images, ensure that the image has

minimum resolution of 300 dpi or 1800 x 1600 pixels in TIFF format. Send the

images on a CD. Each figure should have a label pasted (avoid use of liquid gum for

pasting) on its back indicating the number of the figure, the running title, top of the

figure and the legends of the figure. Do not write the contributor/s' name/s. Do not

write on the back of figures, scratch, or mark them by using paper clips.

9. Tables And Captions

a. Tables should be self-explanatory and should not duplicate textual material.

b. Tables with more than 10 columns and 25 rows should be avoided.

c. Number tables, in Arabic numerals, consecutively in the order of their first citation in

the text and supply a brief title for each.

d. Place explanatory matter in footnotes, not in the heading.

e. Explain in footnotes all non-standard abbreviations that are used in each table.

f. Obtain permission for all fully borrowed, adapted, and modified tables and provide a

credit line in the footnote.

g. For footnotes use the following symbols, in this sequence: *, †, ‡, §, ||,¶ , **, ††, ‡‡

h. Tables with their legends should be provided at the end of the text after the references.

i. The tables along with their number should be cited at the relevant place in the text

Page 61: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

58

10. Declaration

a. List of abbreviations

If abbreviations are used in the text they should be defined in the text at first use, and

a list of abbreviations should be provided.

b. Ethics approval and consent to participate

Manuscripts reporting studies involving human participants, human data or human

tissue must:

1. include a statement on ethics approval and consent (even where the need for

approval was waived)

2. include the name of the ethics committee that approved the study and the

committee’s reference number if appropriate

c. Funding

All sources of funding for the research reported should be declared. The role of the

funding body in the design of the study and collection, analysis, and interpretation of

data and in writing the manuscript should be declared.

d. Acknowledgements

Please acknowledge anyone who contributed towards the article who does not meet

the criteria for authorship including anyone who provided professional writing

services or materials.

Page 62: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

59

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

FORMAT ABSTRAK

1. Format Berkas (File) dan Font

Dalam penyusunan abstrak, penulis diwajibkan menggunakan format file Microsoft Word

Versi 2003 atau lebih tinggi (format file .doc atau .docx). Untuk font style penulis

diharapkan menggunakan tipe “Times New Roman” dengan ukuran 12 pt, dan gunakan

ukuran 14 pt untuk judul abstrak.

2. Format Margin Penulisan

Penulis diwajibkan untuk menggunakan ukuran kertas A4 (8,3 x 11,7 inch) dengan batas

tepi atas, kanan, dan bawah sebesar 2,5 cm, sedangkan batas tepi kiri sebesar 3 cm.

3. Konten Yang Wajib Terdapat Dalam Abstrak

b. Judul Abstrak

Judul Abstrak disusun dengan huruf bercetak tebal (bold), kapital, dan diatur berada

di tengah-tengah (center), dengan spasi 1 pt (single space). Judul abstrak disusun

dengan singkat, padat, dan jelas.

c. Nama Penulis utama dan penulis lainnya (first and co-author)

Nama penulis ditulis lengkap dan disertakan dengan nomor di blakang penulis.

Diawali dari penulis utama dan dilanjutkan dengan penulis tambahan. Tambahkan

tanda “*” pada nama penulis yang akan menjadi penulis koresponding.

d. Afiliasi penulis

Afiliasi penilis disusun berdasarkan asal institusi yang dilengkapi dengan informasi

kota dan negara institusi. Gunakan nomor yang terdapat pada nama author untuk

menunjukkan afiliasi penulis tersebut.

e. Konten di dalam abstrak

Penulisan abstrak direkomendasikan mengandung Latar Belakang (Objective),

Metode (Method), Hasil (Result), dan Kesimpulan (Conclusion). Abstrak ditulis

dengan satu spasi, tidak diperkenankan mengandung tabel atau gambar, dan tidak

diperkenankan mengandung lebih dari 250 kata.

• Objective : Mengandung masalah dan tujuan studi.

• Methods : Mengandung bagaimana studi dilakukan lengkap dengan

metode analisisnya.

• Result : Paparan hasil penelitian dan temuan-temuan yang didapatkan

dalam studi yang telah dilakukan

• Conclusions : Rangkuman singkat dari hasil studi dan implikasi

potensialnya yang dapat dimanfaatkan oleh kehidupan manusia.

f. Kata Kunci (keywords)

Kata kunci harus memiliki 3-5 kata. Pilih kata kunci yang berkaitan dengan konten

studi yang dilakukan.

Page 63: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

60

CONTOH ABSTRAK

PENDEKATAN ANALISIS FAKTOR KONFIRMATORI

PADA MOTIVASI PEGAWAI ADMINISTRASI RUMAH SAKIT

Gde Palguna Reganata1, Anak Ayu Sri Sarawati2

1,2Program Studi Administrasi Rumah Sakit, Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada Bali

Latar Belakang: Statistika merupakan suatu ilmu yang mempelajari karakteristik data.

Sebagai salah satu alat analisis, penggunaan analisis faktor baik konfirmatori maupun

eksploratori di bidang manajemen banyak dilakukan. Salah satu indikator dalam manajemen

adalah motivasi kerja. Penelitian ini akan dilakukan di RS Bros Kota Denpasar. Tujuan:

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah dimensi-dimensi yang membentuk motivasi

seseorang. Metode: Pengambilan sampel ini menggunakan teknik total sampling. Teknik

analisis data yang digunakan adalah analisis faktor. Hasil: Hasil penelitian dengan

menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) diperoleh 52 indikator yang

tersebar pada lima faktor yang dipertimbangkan pegawai ARS dalam motivasi bekerja pada

BROS. Kelima faktor ini mampu menjelaskan semua varian yang ada dalam data. Faktor

yang paling berpengaruh adalah faktor Physiological Needs, faktor ini memiliki eigen value

sebesar 8,755 dan memiliki variance sebesar 62,535 persen. Kesimpulan: Harga diri atau

kebutuhan atas status merupakan faktor dominan yang mempengaruhi motivasi. Saran kepada

pihak rumah sakit perusahaan dapat memberikan apresiasi dalam bentuk langsung

menyatakan keberhasilan ditempat pekerjaannya, lebih baik dilakukan sewaktu ada orang

lain, memberikan surat penghargaan, memberi hadiah berupa uang tunai, memberikan

medali, memberikan kenaikan gaji dan promosi, dan pekerjaan itu sendiri (the job itself).

Kata Kunci: motivasi, administrasi rumah sakit, analisis faktor

Page 64: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

61

FORMAT PENULISAN JURNAL (FULL TEXT)

Artikel yang akan dipublikasi diharapkan mengandung tidak lebih dari 3000 kata, tidak

termasuk abstrak, daftar rujukan, dan tabel. Artikel harus mengandung konten berupa

abatrak, kata kunci, pendahuluan, metode, hasil, pembahasan, kesimpulan, daftar rujukan,

tabel, gambar, dan deklarasi penulis. Konten-konten tersbut akan dijelaskan lebih rinci

sebagai berikut:

1. Abstrak

Penyusunan abstrak dapat dilihat pada petunjuk penyusunan abstrak.

2. Pendahuluan

Pada bagian ini, penulis diharapkan memaparkan latar belakang dan tujuan studi yang

relevan sesuai dengan permasalahan yang ditemukan.

3. Metode

Pada bagian metode, diharapkan menjelaskan dengan singkat dan jelas terkait desain

studi, rancangan penelitian, karakteristik subjek penelitian atau deskripsi bahan-bahan

dan material yang digunakan dalam penelitian beserta seluruh langkah-langkah kerja

yang dilakukan, jika penelitian klinis harus jelas klasifikasi kelompok penelitian

(kelompok intervensi/kontrol). Jika terdapat nama bahan berupa brand, diharapkan

menyebutkan nama generik setiap bahan atau obat yang digunakan. Setiap penelitian

yang melibatkan subjek manusia atau hewan, harus melampirkan persetujuan etik.

4. Hasil

Susun hasil penelitian secara sistematis, baik dalam bentuk tabel, gambar, maupun

ilustrasi. Paparkan temuan yang paling penting atau dominan terlebih dahulu. Jangan

membahasakan kembali data yang telah terpapar pada tabel, gambar, maupun

ilustrasi. Penekanan hasil dan rangkuman singkat diperbolehkan jika hasil tersebut

sangat penting dan diperlukan. Gunakan grafik / kurva untuk menghindari data dalam

tabel yang terlalu banyak. Jangan mengulang kembali data yang telah terpapar pada

tabel dan grafik/kurva.

5. Pembahasan

Bahas hasil penting yang telah dipaparkan dalam hasil seperti outcome primer,

sekunder, paparan hasil-hasil penelitian serupa dengan hipotesis yang sama, kekuatan

dan kelemahan penelitian. Jabarkan Implikasi dan interpretasi dari hasil penelitian

yang dikaitkan dengan evidence-evidence yang kuat. Jika diperlukan paparkan

kontroversi yang terjadi antara hasil penelitian dengan teori, dan rekomendasi untuk

arah penelitian selanjutnya. Jangan mengulangi kembali langkah kerja, bahan/material

penelitian, dan hasil yang telah terjabarkan dalam metode dan hasil penelitian secara

detail. Penulis disarankan untuk tidak memberikan pembahasan terkait keuntungan

ekonomis, kecuali konten dari studi mencakup penelitian analisis ekonomi. Hindari

penyampaian keterbatasan penelitian berupa kerjaan yang belum tuntas diselesaikan

oleh peneliti. Penyataan hipotesis baru dapat dilakukan, dengan catatan hipotesis baru

tersebut harus didukung minimal oleh 30 sumber terpercaya yang valid dan kredibel. 6. Kesimpulan

Pada bagian kesimpulan, harus menyatakan dengan jelas kesimpulan utama dan

penjelasan akan pentingnya penelitian yang dilaporkan serta relevansinya di lapangan.

Page 65: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

62

7. Daftar Rujukan

a. Catatan Kaki

Catatan kaki dicantumkan dengen memberi nomor refrensi rujukan secara

berurutan sesuai dengan urutan yang pertama kali disebutkan di dalam teks (tidak

dalam susunan alfabetis). Identifikasi refrensi dilakukan dengan penomoran arab

dengan tanda kurung bracket format superscript setelah tanda baca.

Contoh catatan kaki:

low irritation, adequate bioavailability, and compatibility with ocular tissues,

should be sought for every suspended drug.[13, 14]

b. Daftar Rujukan:

Daftar rujukan disusun dengan format vancouver style dengan contoh

penyuntungan refrensi yang dijabarkan sebagai berikut:

1. Menyunting Artikel dalam Jurnal

• Artikel jurnal umum (tulis nama autor hingga penulis ke enam, jika lebih

dari 6 author, setelah penulis ke enam dilanjutkan dengan et al). Contoh:

a. Gupta H, Aqil M, Khar RK, Ali A, Sharma A, Chander P.

Development and Validation of Stability Indicating RP-UPLC method

for the Quantitative analysis of Sparfloxacin. J Chromatogr Sci. 2010;

48 (1): 1-6.

b. Nozari Y, Hashemlu A, Hatmi ZN, Sheikhvatan M, Iravani A, Bazdar

A, et al. Outcome of coronary artery bypass grafting in patients

without major risk factors and patients with at least one major risk

factor for coronary artery disease. Indian J Med Sci 2007;61:547-54

• Volume jurnal dengan data tambahan “supplement data”:

Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and

occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102 Suppl

1:275-82.

• Issue jurnal dengan data tambahan “supplement data”:

Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women's psychological reactions to

breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1, Suppl 2):89-97.

2. Menyunting Buku dan Daftar Monografi

• Penulis perorangan (contoh) :

Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd

ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996.

• Editor, penyusun sebagai penulis (contoh) :

Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people.

New York: Churchill Livingstone; 1996.

• Bab dalam sebuah buku (contoh):

Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH,

Brenner BM, editors. Hypertension: pathophysiology, diagnosis, and

management. 2nd ed. New York: Raven Press; 1995. pp. 465-78.

3. Menyunting informasi dari media elektronik

• Artikel jurnal di internet (contoh) :

Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the ANA acts

in an advisory role. Am J Nurs [serial on the Internet]. 2002 Jun [cited

2002 Aug 12];102(6):[about 3p.]. Available from:

http://www.nursingworld.org/ AJN/2002/june/Wawatch.htm

• Data Monografi di Internet (contoh) :

Page 66: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

63

Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer

[monograph on the Internet]. Washington: National Academy Press; 2001

[cited 2002 Jul 9]. Available from:

http://www.nap.edu/books/0309074029/ html/.

• Suatu beranda dalam website / Homepage-Web site (contoh) :

Cancer-Pain.org [homepage on the Internet]. New York: Association of

Cancer Online Resources, Inc.; c2000-01 [updated 2002 May 16; cited

2002 Jul 9]. Available from: http://www.cancer-pain.org/

• Sub bagian dari suatu beranda website / Part of a homepage-Web site

(contoh) :

American Medical Association [homepage on the Internet]. Chicago: The

Association; c1995-2002 [updated 2001 Aug 23; cited 2002 Aug 12].

AMA Office of Group Practice Liaison; [about 2 screens]. Available

from: http://www.amaassn.org/ama/pub/category/1736.htm

8. Format Ilustrasi Dan Gambar

a. Gambar harus diberi nomor sesuai dengan kemunculannya di dalam jurnal.

b. Judul, nomor, dan simbol dalam gambar harus jelas, seragam, dan konsisten.

Tulisan dalan gambar harus proporsional untuk dapat dilihat dengan nyaman.

c. Simbol, tanda panagh, atau huruf dalam sebuah gambar harus memiliki latar

belakang yang kontras, menghindari tidak jelas terbacanya gambar tersebut.

d. Judul dan penjelasan detail gambar, tidak dimuat di dalam gambar, tetapi

disusun diluar gambar.

e. Jika terdapat grafik, diagram, atau histogram yang penting untuk dimasukkan

ke dalam jurnal, maka data tersebut harus dilampirkan secara terpisah dengan

file data tambahan / supplementary data

f. Foto dan gambar disusun rapi, dengan membuang bagian – bagian pada area

yang tidak diperlukan.

g. Jika foto yang disertakan dalam jurnal, bukan merupakan milik penulis, maka

diwajibkan untuk menyertakan kepemilikan / nyunting pemilik gambar pada

jurnal.

h. Jika gambar yang akan dilampirkan telah terpublikasi sebelumnya,

penggunaan gambar tersebut harus mendapatkan persetujuan penulis dalam

jurnal yang terpublish tersebut.

i. Keterangan gambar: Ketik keterangan (maksimal 40 kata) menggunakan spasi

ganda, dengan angka Arab. Bila simbol, panah, angka, atau huruf digunakan

untuk mengidentifikasi bagian ilustrasi, identifikasi dan jelaskan masing-

masing gambar dengan jelas.

j. Gambar akhir untuk pencetakan: Jika gambar yang diupload tidak tercetak

kualitasnya, kantor penerbit dapat meminta gambar beresolusi lebih tinggi

yang dapat dikirim pada saat pengambilan manuskrip. Kirimkan cetakan foto

berwarna tajam, glossy, un-mounted, dengan tinggi 4 inci dan lebar 6 inci

pada saat mengirimkan manuskrip yang telah direvisi. Jika gambar digital

adalah satu-satunya sumber gambar, pastikan gambar memiliki resolusi

minimal 300 dpi atau 1800 x 1600 piksel dalam format TIFF.

9. Format Tabel Dan Tanda

a. Tabel harus cukup jelas dan tidak boleh menduplikat materi teks.

b. Tabel dengan lebih dari 10 kolom dan 25 baris harus dihindari.

Page 67: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

64

c. Nomor tabel, dalam angka Arab, berturut-turut sesuai urutan kutipan pertama

mereka dalam teks dan berikan judul singkat untuk masing-masing.

d. Tempatkan materi penjelasan dalam catatan kaki, bukan di judul.

e. Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan non-standar yang digunakan di

setiap tabel.

f. Untuk catatan kaki gunakan simbol berikut, dalam urutan ini: *, †, ‡, §, ||, ¶,

**, ††, ‡‡

g. Tabel bersama dengan nomor mereka harus dikutip di tempat yang relevan

dalam teks

10. Deklarasi Penulis

a. Daftar Singkatan

Jika singkatan digunakan dalam teks mereka harus didefinisikan dalam teks pada

penggunaan pertama, dan daftar singkatan harus disediakan.

b. Persetujuan Etik

Manuskrip yang melibatkan peserta manusia, data manusia atau jaringan

manusia harus:

1. Menyertakan sebuah pernyataan mengenai persetujuan dan persetujuan

etika

2. Sertakan nama komite etika yang menyetujui studi dan nomor referensi

panitia.

c. Pendanaan

Semua sumber pendanaan untuk penelitian yang dilaporkan harus diumumkan.

Peran lembaga pendanaan dalam perancangan studi dan pengumpulan, analisis,

dan interpretasi data dan penulisan manuskrip harus dideklarasikan.

d. Ucapan Terima Kasih

Sebutkan siapa saja yang berkontribusi terhadap artikel yang tidak memenuhi

kriteria kepengarangan termasuk siapa saja yang memberikan jasa menulis

profesional atau

Page 68: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020

65

SUBSCRIPTION GUIDE

(PETUNJUK BERLANGGANAN)

English

Bali Health Journal (BHJ) is published through printed (ISSN 2599-2449) and online media

(ISSN 2599-1280). All BHJ issues are available online on our website:

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ

If you are interested in subscribing to our printed media, please email us to

[email protected] with information of your name or your institution’s name,

mailing address, and telephone number. We will contact you soon thereafter with payment

instruction and other additional information.

-----------------------------------------------------------------------

Bahasa Indonesia

Bali Health Journal (BHJ) terpublikasikan melalui media cetak (ISSN 2599-2449) dan media

online (ISSN 2599-1280). Anda dapat mengakses setiap edisi Bali Health Journal secara

online melalui tautan:

http://ejournal.unbi.ac.id/index.php/BHJ

Bila Anda berminat untuk berlangganan media cetak Bali Health Journal, Anda dapat

mengirimkan surel kepada kami ([email protected]) dengan memberikan

informasi nama penerima (sertakan nama organisasi / institusi bila diperlukan), alamat

lengkap, dan nomor telepon. Kami akan menghubungi Anda setelahnya dengan

menginformasikan mekanisme pembayaran maupun informasi tambahan lainnya.

Page 69: VOLUME 4 ISSUE 1 MAY 2020