volume2 nomor2

75
Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes EDITORIAL Salam dari Redaksi Syukur Alhamdulillah penerbitan Volume II Nomor 2 ini dapat dilaksanakan tepat pada bulan April 2011. Pada nomor ini diterbitkan hasil penelitian rekan-rekan peneliti dari Magetan, Madiun, Kediri, Jember, Yogyakarta, serta Banda Aceh. Artikel-artikel yang ditampilkan merupakan hasil penelitian dalam bidang kesehatan lingkungan, kesehatan masyarakat, kesehatan anak, keperawatan, kebidanan, serta pendidikan dalam bidang kesehatan. Seperti editorial-editorial terdahulu, kami senantiasa mengajak Para Pembaca untuk mengunjungi jurnal ini dalam versi online di www.suaraforikes.webs.com . Selanjutnya kami ucapkan terimakasih kepada seluruh Pembaca dan selamat berjumpa pada Volume II Nomor 3, Juli 2011. Redaksi

Upload: yulidapanga

Post on 05-Jul-2015

5.533 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

j

TRANSCRIPT

Page 1: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

EDITORIAL Salam dari Redaksi Syukur Alhamdulillah penerbitan Volume II Nomor 2 ini dapat dilaksanakan tepat pada bulan April 2011. Pada nomor ini diterbitkan hasil penelitian rekan-rekan peneliti dari Magetan, Madiun, Kediri, Jember, Yogyakarta, serta Banda Aceh. Artikel-artikel yang ditampilkan merupakan hasil penelitian dalam bidang kesehatan lingkungan, kesehatan masyarakat, kesehatan anak, keperawatan, kebidanan, serta pendidikan dalam bidang kesehatan. Seperti editorial-editorial terdahulu, kami senantiasa mengajak Para Pembaca untuk mengunjungi jurnal ini dalam versi online di www.suaraforikes.webs.com. Selanjutnya kami ucapkan terimakasih kepada seluruh Pembaca dan selamat berjumpa pada Volume II Nomor 3, Juli 2011. Redaksi

Page 2: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes

DAFTAR ISI

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA BANDA ACEH T. Alamsyah

66-74

PENGARUH FAKTOR PETUGAS DIARE PUSKESMAS TERHADAP KUALITAS PENATALAKSANAAN DIARE PADA BALITA DI KABUPATEN MAGETAN Mujiyono

75-81

HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL ORANG TUA DENGAN KEKERASAN FISIK PADA ANAK UMUR 3-6 TAHUN DI KABUPATEN JEMBER Gumiarti

82-90

PERBEDAAN KEJADIAN ABORTUS BERDASARKAN PARITAS DI RSIA AURA SYIFA KABUPATEN KEDIRI Koekoeh Hardjito, Temu Budiarti, Yuni Mada Nurika

91-96

STUDI TENTANG SANITASI RUMAH PENDERITA TB PARU DI WILAYAH PUSKESMAS KARANGREJO KABUPATEN MAGETAN TAHUN 2009

Mujiyono, Tiya Rahmawati

97-104

HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN KEJADIAN KEHAMILAN POST TERM Agung Suharto, Evi Nindyasari, Rahayu Sumaningsih

105-108

STUDI TENTANG SANITASI RUMAH PENDERITA ISPA DI DESA PAKIS BARU KECAMATAN NAWANGAN KABUPATEN PACITAN Mujiyono, Farida Ririn Anggraini

109-115

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG KODE ETIK KEPERAWATAN DAN HUKUM KESEHATAN DENGAN KINERJA PERAWAT DALAM MEMBERIKAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2009 Fitri Arofiati, Wahyuni

116-121

EFEKTIFITAS PELATIHAN KELAS IBU HAMIL UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN, SIKAP, KETERAMPILAN DAN KUNJUNGAN ANTENATAL CARE Puji Sri Hastuti, Heru Santoso Wahito Nugroho, Nana Usnawati

122-134

DESKRIPSI KUALITAS INTERNET KAMPUS SECARA MULTI DIMENSI DI KAMPUS KEBIDANAN MAGETAN POLTEKKES KEMENKES SURABAYA Heru Santoso Wahito Nugroho, Rumpiati

135-138

Page 3: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 66

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA BANDA ACEH

T. Alamsyah*

ABSTRAK

Demam berdarah hingga saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Jangkitan demam berdarah dengue (DBD) mulai menyerang sejumlah daerah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan meluas dan merambah ke daerah endemis baru. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran besarnya masalah KLB DBD di empat kecamatan (Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya, dan Baiturahman).yang menjadi kecamatan endemis dalam Kota Banda Aceh.

Metode penelitian meliputi penentuan wilayah cakupan (4 kecamatan di Kota Banda Aceh), pemastian diagnosis (kriteria diagnosis DBD oleh WHO tahun 1997 dan uji IgM Elisa), pengumpulan data sekunder (rumah sakit, puskesmas, laboratorium, Dinkes Kota, dan data penunjang lain), pengumpulan data primer (kuesioner penjaringan kasus DBD), penelitian kasus, dilanjutkan analisis data (deskriptif retrospektif dengan pengumpulan data secara active case finding yaitu dengan melakukan Surveilans Aktif Rumah Sakit (SARS) untuk mengetahui jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit akibat DBD dan dianalisa menggunakan statistik epidemiologi yaitu Attack Rate dan Case Fatality Rate).

Simpulan penelitian adalah: telah terjadi KLB DBD di Kota Banda Aceh pada bulan November, dengan tipe propagated, Kecamatan Baiturahman memiliki jumlah kasus terbanyak, kasus terbanyak pada umur di atas 15 tahun, dampak gempa dan tsunami merupakan salah satu faktor determinan, dan sistem surveilans oleh Dinkes Kota Banda Aceh dan jajarannya belum optimal. Saran: perlu penyuluhan tentang pencegahan dan penanganan DBD dan berprilaku hidup sehat, Perlu sistem surveilans yang lebih optimal dan terpadu agar penanganan dan pencegahan KLB DBD dapat terdeteksi secara dini, perlu peningkatan kerjasama secara lintas sektoral guna penanganan KLB DBD.

Keyword: Surveilans, Malaria,

* = Politeknik Kesehatan Kemenkes Banda Aceh

PENDAHULUAN

Latar Belakang Demam berdarah hingga saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan

masyarakat di Indonesia. Jumlah penderita cenderung meningkat serta semakin meluas dari waktu ke waktu baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. Jangkitan demam berdarah dengue (DBD) mulai menyerang sejumlah daerah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejak bulan oktober dan terus meluas dan merambah ke daerah endemis baru. Kasus pertama yang diduga sebagai kasus DBD muncul pada 27 september 2005 yang menimpa seorang anak yang masih duduk di kelas II SD yang bernama Muhammad Arif Rifat yang meninggal dunia di RS Harapan Bunda Banda Aceh.

Page 4: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 67

Menurut keterangan dokter yang menangani pasien, pasien datang dengan gejala muntah dengan cairan kehitaman dan dalam kondisi kritis sehingga dokter memperkirakan bahwa anak tersebut mengalami (DBD) namun sebelum pemastian diagnosa dengan uji laboratorium dilakukan, anak tersebut telah meninggal dunia. Korban merupakan penduduk Lorong gelatik Kampung Surabaya Banda Aceh. Berdasarkan laporan tersebut, Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh mulai melakukan respon akan munculnya waban DBD di Kota Banda Aceh. Kasus kasus yang memiliki gejala penyakit DBD di anjurkan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium sehingga penegakan diagnosan dapat dilakukan dengan pasti.

Angka insidensi DBD hingga bulan november 2005 telah mengalami peningkatan yaitu 75 kasus dengan CFR 1,33% bila dibandingkan dengan tahun 2004 maka telah terjadi peningkatan jumlah kasus. Peningkatan kasus paling banyak terjadi pada bulan November yaitu 48 kasus baru di bandingkan pada bulan November tahun lalu 10 kasus maka peningkatan kasus telah 4 kali. Hal ini dapat di kategorikan bahwa untuk bulan November Kota Banda Aceh telah mengalami KLB deman berdarah (DBD) untuk tahun 2005.

Kecamatan yang menjadi daerah endemis di dalam kota Banda Aceh dalam tahun 2005 meliputi Kecamatan Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya dan.Baiturahman. Jumlah desa endemis dalam Kota Banda Aceh untuk tahun 2005 adalah 10 desa. Kesepeluh desa endemis dalam wilayah Kota Banda Aceh antara lain adalah ; Desa Lamlagang, Setui, Sukadamai, Peuniti, Ateuk Pahlawan, Kuta Alam, Kampung Keramat, Banda Baru dan Kampung Pineung.

Tujuan dan Hipotesis Secara umum tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran besarnya masalah KLB

DBD di empat kecamatan endemis DBD (Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya, dan Baiturahman). Sedangkan tujuan secara khusus adalah: 1) memperoleh kepastian terjadinya KLB DBD, 2) memperoleh gambaran deskripsi KLB DBD, 3) menetapkan sumber dan cara penularan KLB DBD, 4) evaluasi program penanggulangan KLB DBD, dan 5) merumuskan saran, cara penanggulangan, dan pengendalian KLB DBD.

Hipotesis penelitian: Telah terjadi KLB DBD di Kota Banda Aceh tahun 2005.

BAHAN DAN METODE PENELTIAN

Batasan Wialayah Pelacakan Wilayah cakupan penelitian ini adalah 4 kecamatan endemis di Kota Banda Aceh yaitu;

Kecamatan Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya, dan Baiturahman.

Pemastian Diagnosis Pemastian diagnosis DBD dilakukan dengan melihat gejala klinis dari pasien serta hasil

uji laboratorium yang dilakukan. Penegakan diagnosis tersebut di dasarkan pada kriteia diagnosis DBD yang dikeluarkan oleh WHO tahun 1997 dan didukung oleh uji IgM Elisa (Mac Elisa). Uji ini bertujuan untuk mengetahui kandungan Igmdalam serum pasien, dimana biasanya pada hari ke 4-5 infeksi virus dengue maka akan timbul IgM dan diikuti oleh IgG.

Pengumpulan Data Sekunder Untuk menetapkan adanya kejadian KLB dan untuk mengetahui pelaksanaan sistem surveilans yang telah berlangsung, dilakukan pengkajian terhadap data sekunder meliputi: 1. Data Rumah Sakit

Page 5: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 68

Berupa data laporan bulanan rumah sakit (RL2a), data laporan kasus rawat inap penderita DBD di rumah sakit, meliputi tanggal masuk dan keluar dari rumah sakit serta keadaan pasien sehat atau meninggal setelah menjalani proses perawatan.

2. Data Puskesmas Berupa data laporan Puskesmas yaitu laporan mingguan (W2), laporan bulanan DBD (W1), data kasus per desa. Di kumpulkan juga data tentang sarana puskesmas dan tenaga kesehatan di Puskesmas. Di Samping itu dilakukan juga wawancara dengan petugas DBD mengenai sistem pencatatan dan pelaporan, tindak lanjut penenmuankasus dan fogging.

3. Data Laboratorium Data Laboratorium diambil dari catatan medik rumah sakit pada lembar hasil pemeriksaan Laboratorium berupa pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan jumlah trombosit.

4. Data Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh Data yang diambil adalah data kasus DBD mingguan, data bulanan selama satu tahun, per desa dalam wilayah pusksesmas di Kota Banda Aceh. Wawancara terhadap petugas P2 DBD tentang oencatatan, pelaporan dan umpan balik laporan rumah sakit dan puskesmas.

5. Data penunjang Lain Data ini mengenai kependudukan, geografi dan demografi.

Pengumpulan Data Primer Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun ditujukan

untuk penjaringan kasus DBD dengan pewawancara dari Puskesmas dan karyasiswa.

Penelitian Kasus 1. Batasan Kasus

Kasus adalah semua penderita yang dirawat dan didiagnosa oleh puskesmas dan rumah sakit sebagai penderita DBD yang ditemukan pada bulan November 2005 sampai dengan awal Desember 2005. Kriteria diagnosis sesuai dengan kriteria WHO 1997 (minimal 2 gejala klinis dan 2 gejala laboratoris), atau suspek bila tanpa disertai gejala laboratorium.

2. Batasan Operasional Kasus DBD adalah semua penderita yang didiagnosis DBD oleh puskesmas dan rumah sakit berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan bertempat tinggal di wilayah kecamatan endemis (Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya dan.Baiturahman) di Kota Banda Aceh.

Cara Analisa Data Penyajian data dilakukan secara diskriptif retrospektif untuk mengetahui pola

epidemiologi KLB DBD di Kecamatan Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya dan Baiturahman dengan pengumpulan data secara active case finding yaitu dengan melakukan Surveilans Aktif Rumah Sakit (SARS) untuk mengetahui jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit akibat DBD dan dianalisa menggunakan statistik epidemiologi (Attack Rate dan Case Fatality Rate).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pemastian Diagnosis Pemastian diagnosis pada KLB DBD didasarkan kepoada gejala klinis yang dialami oleh

kasus dan di pastikan dengan hasil uji laboratorium yang dilakukan di rumah sakit perawatan.

Page 6: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 69

Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan dengan pemeriksaan serologis dengan test Dengue Blot Kit (Teknik Elisa) untuk mendeteksi IgM Dengue. Gejala klinis penderita DBD di 4 kecamatan endemis yang diperoleh dari 30 orang penderita adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Distribusi Gejala Klinis Penderita KLB DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2005

No Gejala Klinis Jumlah Penderita Persentase (n=30)

01. Demam 30 100.0 02. Pusing / Sakit Kepala 23 76.6 03. Sakit Perut 11 36.6 04. Muntah 30 100.0 05 Bercak Merah di Kulit 5 16.6

Gejala klinis utama yang dialami oleh kasus adalah demam, muntah, pusing/sakit kepala, sakit perut dan bercak merah di kulit. Hasil pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan oleh rumah sakit tempat perawatan menunjukkan bahwa seluruh penderita yang dirawat mendukung diagnosa terkena DBD.

Penetapan KLB Penetapan kejadian KLB dilakukan dengan melihat adanya peningkatan kasus yang

terjadi untuk bulan November 2005 di Kota Banda Aceh khususnya di Kecamatan Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya dan Baitussalam. Jika di bandingkan dengan bulan November pada tahun 2004 maka peningkatan kasus sudah mendekati angka 4 kali lipat.

Gambar 1. Jumlah Kasus Penyakit DBD berdasarkan Bulan Kejadian Di

Kota Banda Aceh Tahun 2004-2005

0

10

20

30

40

50

60

Bulan

Ju

mla

h

2004

2005

2004 9 14 18 3 2 1 1 2 6 0 10 7

2005 0 0 1 0 1 3 4 5 6 7 48 5

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Deskripsi Kasus Menurut Orang Jumlah kasus pada KLB DBD di empat kecamatan endemis dalam Kota Banda Aceh untuk priode bulan November 2005 ditemukan 30 kasus berdasarkan umur dan jenis kelamin yang terdistribusi dalam Tabel 5. Tabel ini menunjukkan bahwa golongan umur yang memiliki frekuensi tertinggi menderita DBD adalah ≥ 15 tahun yaitu 21 orang sedangkan golongan umur terendah adalah < 1 tahun yaitu 1 orang. Dari tabel diatas didapat informasi bahwa telah

Page 7: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 70

terjadi transisi golongan umur yang penderita DBD hal ini dimungkinkan bahwa golongan umur ≥ 15 tahun memiliki mobilitas yang relatif tinggi.

Tabel 5. Distribusi Umur dan Jenis Kelamin Penderita KLB DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2005

Umur Jumlah Penderita Total

Laki-Laki Perempuan

0 – 1 Tahun 0 1 1 1 – 4 Tahun 0 2 2 5 – 14 Tahun 4 2 6 ≥ 15 Tahun 10 11 21

Total 14 16 30

Deskripsi Kasus Menurut Tempat Penemuan kasus dilakukan di empat kecamatan endemis, kasus pertama pada bulan

November 2005 ditemukan di kecamatan Syiah Kuala yang menderita sakit pada tanggal 5 November selanjutnya kasus kedua ditemukan di Kecamatan Baiturahman pada tanggal 6 November. Letak kedua Kecamatan tersebut relatif cukup jauh sehingga menimbulkan asumsi bahwa sumber penyebarannya adalah lebih dari satu.

Tabel 6. Distribusi Jumlah Penderita Berdasarkan Kecamatan pada KLB DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2005

Kecamatan Jumlah Persen

Kuta Alam 7 23.3 Syiah Kuala 5 16.7 Banda Raya 7 23.3 Baiturahman 11 36.7

Total 30 100.0

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa persentase penderita terbanyak ditemukan di Kecamatan Baiturahman yaitu 30 (36.7%) orang, sedangkan yang terendah pada kecamatan Syiah Kuala yaitu 5 (16.7%) orang. (spot map terlampir)

Diskripsi Kasus Menurut Waktu Dari laporan W1 Puskesmas menunjukkan bahwa pada bulan November kasus pertama

terjadi pada tanggal 5 November. Untuk bulan November puncak kasus terjadi pada tanggal 7 (minggu ke 1) dan 17 November (minggu ke 3) dengan jumlah kasus 4 orang. Kurva epidemik (Gambar 2) dengan interval satu hari menunjukkkan gambaran kurva type propagated, dimana kurva tersebut memiliki beberapa puncak. Hal ini dapat menggambarkan bahwa sumber penular bukan merupakan vaktor tunggal dangan kata lain bahwa sumber penular lebih dari satu atau dari orang ke orang.

Page 8: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 71

Gambar 2. Kurva Epidemik KLB DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2005

Identifikasi Sumber dan Cara Penularan 1. Sumber Penularan

Sumber penularan diperkirakan tidak hanya satu tetapi ada beberapa sumber. Kasus pertama untuk bulan November ditemukan di Kecamatan Syiah Kuala yaitu pada tanggal 5 November 2005, kasus adalah seorang laki-laki yang berusia 45 tahun, sedangkan kasus kedua ditemukan di Kecamatan Baiturahman yang menimpa anak perempuan berusia 6 tahun. Kedua Kecamatan tersebut merupakan dua kecamatan yang relatif berjauhan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap kasus pertama bahwa sebelum menderita sakit kasus pernah berkunjung ke luar kota yang merupakan daerah endemis berjangkitnya DBD. Kasus ke dua yang terjadi tanggal 6 November pada seorang anak berusia 6 tahun yang berasal dari Kecamatan Baiturahman merupakan sumber penular bagi kasus ke tiga yang merupakan orang tua dari kasus ke dua. Namun hal ini bisa dimungkinkan sebaliknya, karena daya tahan tubuh anak lebih rendah sehingga anak lebih dahulu terserang di bandingkan orang tuanya. Selanjutnya penyebaran kasus dimungkinkan terjadi hal ini dikarenakan keempat kecamatan ini merupakan kecamatan endemis yang ada di dalam Kota Banda Aceh.

2. Faktor Kebiasaan dan Lingkungan Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus dan Vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes Aegypti. Cara penularan diperkirakan melalui gigitan nyamuk yang berada di lingkungan rumah penderita, atau di lingkungan sekitar rumah penderita. Berdasarkan hasil pengamatan, di lingkungan rumah penderita sangat memungkinkan menjadi tempat perindukan nyamuk dimana banyak ditemukan kaleng dan ember bekas di sekitar rumah

Page 9: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 72

yang digenangi air. Di samping itu kondisi lingkungan yang kurang sehat yaitu masih banyak sampah dan ilalang di sekitar rumah merupakan tempat yang disukai nyamuk . Hasil wawancara dengan responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner ditemukan ada beberapa faktor yang mendukung terjadinya peningkatan vektor diantarannya kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut:

Tabel 7. Distribusi Hasil Wawancara dengan Kasus Penderita KLB DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2005

No Wawancara Ya Tidak

01. Apakah tempat penempungan air di kuras tiap minggu ? 22 8 02. Apakah tempat penempungan air diberi Abate ? 0 30 03. Apakah ada timbunan sampah disekitar rumah ? 17 13 04. Apakah ada timbunan kaleng bekas / ban bekas ? 15 15 05. Apakah ada tonggak bambu patah disekitar rumah ? 10 20 06. Apakah disekitar rumah pernah dilakukan pengasapan (fogging)? 0 30

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa pemberian bubuk abate pada tempat penampungan air dan pelaksanaan pengasapan (fogging) tidak pernah dilakukan dilakukan selama 3 (tiga) bulan terakhir khususnya stelah tsunami. Hasil pengamatan terhadap lingkungan tempat tinggal responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner juga ditemukan ada beberapa faktor yang mendukung terjadinya peningkatan vektor diantarannya sebagai berikut :

Tabel 8. Distribusi Hasil Observasi Terhadap Lingkungan Penderita KLB DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2005

No Observasi Ya Tidak

01. ada / tidak baju yang bergantungan 30 0 02. ada / tidak sampah di sekitar rumah 17 13 03. ada / tidak kaleng bekas / ban bekas 15 15 04. ada / tidak tonggak bambu patah 10 20 05. ada / tidak jentik / larva di bak penempungan air (gunakan senter) 18 12

Tabel 8 menunjukkan bahwa kebiasaan menggantung baju terutama di kamar tidur adalah kebiasaan yang sangat sering dilakukan berdasarkan hasil pengamatan 30 (100%) kasus. Hal ini merupakan kebiasaan yang seharusnya tidak dilakukan karenan bisa menjadi tempat perlindungan nyamuk, walaupun saat dilakukan penyemprotan anti nyamuk.

3. Penelusuran Data sekunder Pengamatan penyakit DBD di Puskesmas meliputi kegiatan pencatatan dan pelaporan data. Data laboran mingguan (W2) biasanya tidak dilaporkan tiap minggu. Proses pelaporannya dilakukan setiap satu bulan sekali, ata pada desempatan tertentu bila ada orang puskesmas yang datang ke Dinas Kota. Hasil wawancara dengan petugas surveilans di Dinas Kota menyebutkan bahwa pelacakan kasus DBD umumnya di lakukan di Rumah Sakit perawatan, hasil pelacakan kasus tersebut

Page 10: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 73

baru di konfirmasi kembali ke Puskesmas dan di buatkan Laporan Kasus KLB (W1). Hal ini merupakan suatu kendala yang masih ditemukan di lapangan sehingga proses antisipasi terhadap peningkatan kasus sukar untuk dilakukan. Pelaksanaan pengasapan (fogging) hanya dilakukan pada saat ditemukan kasus, dan dilakukan hanya untuk 40 rumah di lingkungan sekitar rumah ditemukan kasus. Di samping pelaksaaan fogging, Dinas Kesehatan juga melakukan penyuluhan lingkungan dan melaksanakan gotong royong massal di lingkungan sekitar. Hasil wawancara dengan petugas di Dinas Kota Banda Aceh juga mengungkapkan bahwa dalam tahun ini kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) tidak pernah dilakukan. Hal ini merupakan faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya KLB DBD untuk tahun 2005 di Kota Banda Aceh.

Pembahasan Penyelidikan KLB yang dilakukan di Kota Banda Aceh ini masih banyak mempunyai

kelemahan diantaranya adalah tidak dilakukan penelitian dengan menggunakan kasus-kontrol yang bertujuan untuk mengetahui factor resiko penyebab terjadinya KLB-DBD tersebut.

Penegakan diagnosis pada kasus KLB DBD di Kota Banda Aceh dilakukan dengan pemeriksaan serologis (Dengue Blot) untuk mengetahui IgM Dengue. Penggunaan metode ini dengan alasan karena lebih cepat dan mudah dilakukan serta memiliki sensitifitas yang tinggi. Hasil pemeriksaan terhadap semua kasus menunjukkan bahwa semua kasus positif terkena DBD. Hasil uji laboratorium ini merupakan hasis diagnosa pada Rumah sakit tempat pasien mendapatkan perawatan.

Penetapan adanya KLB DBD untuk kota Banda Aceh dilakukan dengan membandingkan data jumlah kasus pada priode bulan November tahu 2004 dengan priode bulan yang sama pada tahun 2005. Dibandingkan jumlah kasus bulan November 2004 dengan bulan November tahun 2005 jumlah adalah 4 kali lipat, peningkatan ini dapat dipakai sebagai indikator terjadinya KLB DBD di Kota Banda Aceh.

Gambaran kurva epidemik dengan interval satu hari menunjukkan kurva yang terbentu adalah type propagated, dimana menunjukkan beberapa puncak kasus dalam satu bulan. Sumber penularan KLB ini diperkirakan berasal lebih dari satu sumber dikarenakan lokasi kejadian kasus pertama dan kedua berada terpisah relatif jauh. Hal ini berarti bahwa penyebaran kasus DBD adalah berasal dari orang ke orang. Hasil wawancara dengan Pelaksana Program DBD (P2DBD) didapat informasi bahwa Kota Banda Aceh merupakan daerah endemis DBD di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dampak musibah gempa dan tsunami 26 Desember 2004 yang lalu menyebabkan rendahnya kualitas lingkungan masyarakat. Hasil investigasi yang dilakukan melalui wawancara dan observasi terhadap lingkungan tempat tinggal kasus menunjukkan bahwa kualitas lingkungan masih rendah. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya sampah yang berserakan di lingkungan sekitar, yang memungkinkan menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes aegypty yang merupakan nyamuk penular DBD. Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kasus DBD dalam masyarakat.

Di samping itu, terbatasnya dana dan sumberdaya untuk melakukan pemantauan jentik, pelaksanaan fogging dan sistem sulveilans yang belum optimal juga menjadi salah satu faktor yang penanganan KLB DBD sukar untuk diatasi.

Page 11: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 74

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 1. Telah terjadi KLB DBD di empat kecamatan endemis (Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya

, dan Baiturahman) dalam Kota Banda Aceh propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Kejadian KLB DBD di Kota Banda Aceh terjadi pada bulan November dengan pola KLB

adalah type propagated, yaitu sumber penularan lebih dari satu. 3. Kecamatan Baiturahman adalah kecamatan yang memiliki jumlah kasus terbanyak yaitu 11

kasus dari 30 kasus yang diinvestigasi. 4. Kasus terbanyak adalah golongan umur diatas 15 tahun yaitu 21 orang. 5. Dampak Gempa dan Tsunami merupakan salah satu factor determinan terjadinya KLB DBD

di Kota Banda Aceh. 6. Sistem surveilans yang dilakukan oleh Dinkes Kota Banda Aceh dan jajarannya masih

belum optimal. Saran 1. Perlunya dilakukan penyuluhan tentang pencegahan dan penanganan DBD serta selalu

menjaga kebersihan lingkungan dan berprilaku hidup sehat. 2. Perlunya dilakukan sistem surveilans yang lebih optimal dan terpadu sehingga proses

penanganan dan pencegahan KLB DBD dapat terditeksi secara dini 3. Perlunya melibatkan dan meningkatkan kerjasama secara lintas sektoral guna penaganan

KLB DBD.

DAFTAR PUSAKA

Badan Pusat Statistik. (2003). Banda Aceh Dalam Angka Angka 2003, Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh.

Berkow. R, 1999, The Merck Manual, Bina Rupa Aksara, Jakarta Chin. J, 2000, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Center for Diseases Control adn

Prevention, Atlanta USA Depkes RI, 2000, Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengus dan Demam

Berdarah Dengue, WHO dan Depkes RI Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. (2003). Profil Kesehatan Kota Banda Aceh Tahun 2003,

Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Djallalluddin, dkk, Gambaran Penderita KLB DBD di Kabupaten Banjar dan Kota Banjar Baru

Tahun 2001. http://dexa-medica.com Rezeki. S, Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Depkes RI, Jakarta

Page 12: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 75

PENGARUH FAKTOR PETUGAS DIARE PUSKESMAS TERHADAP KUALITAS PENATALAKSANAAN DIARE PADA BALITA

DI KABUPATEN MAGETAN Mujiyono*

ABSTRAK

Penyakit diare merupakan salah satu masalah penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Kebijaksanaan teknis dalam pemberantasan diare adalah tatalaksana kasus diare yang tepat dan efektif. Tatalaksana kasus diare yang efektif dan efisien di sarana kesehatan mempunyai potensi besar untuk mempercepat upaya penyembuhan dan mengurangi resiko kematian akibat diare.

Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis kualitas tatalaksana diare pada balita di Puskesmas. Jenis penelitian adalah penelitian penjelasan dan evaluatif karena dalam penelitian ini menekankan hubungan antar variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Magetan dengan sampel sebanyak 21 responden yang di ambil secara total sampling. Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji statistik regresi ganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tatalaksana diare pada balita sebagian besar 13 (62%) kualitas tatalaksanya dalam kategori baik, lama kerja sebagian besar 9 (43%) lama kerja antara 11- 21 tahun, pendidikan responden sebagian besar 12(57%) pendidikannya Sekolah Perawat Kesehatan, sikap terhadap tatalaksana diare pada balita sebagian besar 13 (62%) sikapnya dalam kategori baik, tidak ada hubungan antara lama kerja petugas dengan kualitas tatalaksana diare pada balita di Puskesmas, tidak ada hubungan antara pendidikan petugas dengan kualitas tatalaksana diare pada balita di Puskesmas, tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas dengan kualitas tatalaksana diare pada balita di Puskesmas, tidak ada hubungan sikap petugas dengan kualitas tatalaksana diare pada balita di Puskesmas.

Kata kunci: Pendidikan, Lama kerja, Pengetahuan, Sikap dan Kualitas tatalaksana diare

*= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kampus Madiun PENDAHULUAN

Latar Belakang Diare merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah

masyarakat utama di Indonesia. Ini ditunjukkan dengan tingginya angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh diare, khususnya pada bayi dan anak balita. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT 2004), angka kesakitan diare pada semua golongan umur saat ini adalah 280/1000 penduduk, pada golongan balita episode diare adalah 1,5 kali pertahun. Sedangkan angka kesakitan bila diproyeksikan pada penduduk Indonesia tiap tahunnya terdapat 112.000 kematian pada semua golongan umur (54/1000 penduduk) pada balita terjadi 55.000 kematian (2.5/1000 balita). Hal ini disebabkan antara lain masih

Page 13: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 76

rendahnya penduduk yang memanfaatkan jamban dan air bersih serta tatalaksana diare di rumah tangga dan masyarakat.

Survey Morbiditas dan tatalaksana penderita diare dari 40 Puskesmas di 10 Propinsi Sumatera Utara, Jogjakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara dengan hasil antara lain angka kesakitan diare semua golongan umur meningkat dari 28/100 tahun 1996 menjadi 1,28 kali kali/balita/tahun.

Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian diare di antaranya faktor lingkungan, gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan perilaku masyarakat. Penularan penyakit diare terjadi melalui kontaminasi tangan, alat makan serta melalui makanan oleh kuman penyebab yang terdapat dalam tinja penderita, kebiasaan hidup yang tidak mengikuti kaidah kebersihan akan meningkatkan resiko kejadian penyakit diare. Sedangkan kesehatan lingkungan, penyediaan air bersih dan pemanfaatan jamban keluarga yang tidak saniter dapat berperan mendukung kehidupan dan penyebaran kuman penyebab diare.

Kebijakan teknis dalam pemberantasan penyakit diare adalah tata laksana kasus diare yang tepat dan efektif melalui upaya rehidrasi oral dengan oralit dan cairan rumah tangga, meneruskan makanan sedikit demi sedikit tapi berulang-ulang selama diare dan makanan ekstra sesudah diare. ASI juga diteruskan, cairan intravena hanya untuk dehidrasi berat. Salah satu prioritas utama pemerintah dalam pengembangan pemberantasan penyakit diare adalah meningkatkan efektifitas penatalaksanaan diare pada anak balita, termasuk upaya rehidrasi oral. Kematian akibat diare akut sering disebabkan oleh kehilangan banyak cairan dan garam yang sering disebut dehidrasi. Kebijakan program pemberantasan diare merupakan tatalaksana kasus diare yang efektif dan efisien di sarana kesehatan dan mempunyai potensi besar untuk mempercepat penyembuhan. Oleh karena itu peranan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan terhadap balita penderita diare akut sesuai standar sangat diharapkan.

Berdasarkan urutan sepuluh penyakit terbanyak di Kabupaten Magetan tahun 2006 penyakit diare menduduki peringkat ke-8 dari seluruh jumlah kunjungan puskesmas dan urutan ke-2 untuk penyakit menular dan belum pernah dilukan evaluasi tentang kualitas tatalaksana diare oleh petugas kesehatan

Dengan melihat masih tingginya angka kesakitan diare yang terjadi pada bayi dan balita khususnya di Kabupaten Magetan, perlu dilakukan penelitian tentang penatalaksanaan diare akut yang dilakukan oleh petugas kesehatan Puskesmas di Kabupaten Magetan guna mendapatkan data dasar untuk evaluasi terhadap program pemberantasan diare yang dilaksanakan dan untuk menentukan intervensi program pemberantasan diare selanjutnya.

Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara perilaku

petugas ( Pendidikan, lama kerja, pengetahuan dan sikap ) dengan kualitas tatalaksana diare akut pada balita yang dilakukan oleh petugas kesehatan di Puskesmas di Kabupaten Magetan Propinsi Jawa Timur.

Tujuan Penelitian 1. Menganalisis hubungan tingkat pendidikan petugas dengan kualitas penatalaksanaan

standar diare pada balita di Puskesmas

Page 14: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 77

2. Menganalisis hubungan lama kerja petugas dengan kualitas penatalaksanaan standar diare pada balita di Puskesmas

3. Menganalisis hubungan pengetahuan petugas dengan kualitas penatalaksanaan standar diare pada balita di Puskesmas

4. Menganalisis hubungan sikap petugas dengan kualitas penatalaksanaan standar diare pada balita di Puskesmas

5. Menganalisis kualitas tatalaksana standar diare pada Balita di Puskesmas meliputi ; ketepatan diagnosa, penetapan derajat dehidrasi, cara merawat penderita diare dengan dehidrasi ringan, sedang dan berat serta diare tanpa dehidrasi

METODE PENELITIAN

Sesuai tujuan, jenis penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory) dan evaluatif. Variabel bebas penelitian adalah tingkat pendidikan, lama kerja, pengetahuan, sikap, sedangkan Kualitas penatalaksanaan standar diare akut di Puskesmas merupakan variabel terikat. Populasi penelitian adalah tenaga kesehatan yang bertugas di bagian pengobatan Puskesmas di seluruh wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan sejumlah 21 orang.

Penelitian ini menerapkan analisis univariat berbentuk distribusi frekuensi untuk mendeskripsikan semua variabel. Analisis bivariat digunakan untuk menguji hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Uji statistik yang digunakan adalah uji regresi ganda dengan bantuan SPSS for Window versi 12.00, dengan tujuan untuk menguji hipotesis penelitian. Penerimaan H0 ditentukan jika signifikansi koefisien regresi dari konstanta dan masing-masing variabel dengan uji t lebih besar dari 0,05, sebaliknya penerimaan H1 ditentukan jika signifikansi koefisien regresi dari konstanta dan masing-masing variabel lebih kecil atau sama dengan 0,05 yang berarti kualitas tatalaksana diare pada balita berpengaruh terhadap masing masing variabel yaitu lama kerja, pendidikan, pengetahuan dan sikap.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Skoring terhadap hasil observasi kualitas penatalaksanaan diare menunjukkan bahwa skor tertinggi dan terendah masing-masing 22 dan 10. Sedangkan skor rata-rata adalah 17. Ada 13 (62%) orang dengan skor di atas rata-rata, diklasifikasikan dalam kategori baik dalam melakukan penatalaksanaan diare terhadap balita yang datang ke Puskesmas. Data kualitas penatalaksanaan diare menurut lama kerja, pendidikan, pengetahuan, dan sikap disajikan sebagai berikut.

Tabel 1. Kualitas Tatalaksana Diare Menurut Lama Kerja

No.

Lama kerja

Kualitas Tatalaksana Jumlah

% Baik % Kurang %

1. < 10 Th 4 19 3 14 7 33

2. 11 – 20 Th 6 29 3 14 9 43

3. 21 - 30 Th 3 14 2 10 5 24

Jumlah 13 62 8 38 21 100

Page 15: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 78

Tabel 2. Kualitas Tatalaksana Diare Menurut Pendidikan Petugas

No

Pendidikan

Kualitas Tatalaksana Jml

% Baik % Kurang %

1. SPK 8 38 4 19 12 57

2. Bidan 1 5 3 14 4 19

3. Akper 4 19 1 5 5 24

Jumlah 13 62 8 38 21 100

Tabel 3. Kualitas Tatalaksana Diare Menurut Tingkat Pengetahuan Petugas

No. Pengetahuan Kualitas Tatalaksana Jumlah %

Baik % Kurang %

1. Baik 9 43 2 10 11 53

2. Kurang 4 19 6 28 10 47

Jumlah 13 62 8 38 21 100

Tabel 4. Kualitas Tatalaksana Diare Menurut Sikap Petugas

No Sikap Kualitas Tatalaksana Jumlah %

Baik % Kurang %

1. Tepat 8 38 4 19 12 57

2. Kurang Tepat 5 24 4 19 9 43

Jumlah 13 62 8 38 21 100

Tabel 5. Ringkasan Hasil Uji Regresi Ganda

Indikator Nilai

R R Square Adjusted R Square Standard Error of the Estimate ( SEE ) Hasi uji F ( Anova ) Durbin Watson Koefisien regresi masing-masing prediktor

- Konstanta - X1 = Prediktor I ( Lama kerja ) - X2 = Prediktor II ( Penddikan ) - X3 = Prediktor III ( Pengetahuan ) - X4 = Prediktor IV ( Sikap )

Hasil uji t untuk masing-masing prediktor - Konstanta - X1 = Prediktor I ( Lama kerja ) - X2 = Prediktor II ( Penddikan ) - X3 = Prediktor III ( Pengetahuan ) - X4 = Prediktor IV ( Sikap )

0,657 0,432 0,290 8,42833 3,038 1.781 -5,188( lambang : a ) 0,314 ( lambang : b1) 0,290 ( lambang :b2) 0,659 ( lambang : b3) -0,159 ( lambang : b4) -0,215 ( signifikansi : 0,832 ) 1,390 ( signifikansi : 0,184 ) 1,258 ( signifikansi : 0,226 ) 3,356 ( signifikansi : 0,004 ) -0,779 ( signifikansi : 0,447 )

Page 16: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 79

Hasil uji regresi ganda disajikan pada Tabel 5, dengan interpretasi sebagai berikut :

1) Nilai R = 0,657 berarti sebenarnya ada korelasi antara lama kerja, pendidikan, pengetahuan dan sikap dengan kualitas tatalaksana diare

2) Nilai Adjusted R Square 0,290 menunjukkan bahwa hanya 29% variasi dari kualitas tatalaksana diare disebabkan oleh variasi lama kerja, pendidikan, pengetahuan dan sikap

3) Nilai uji anova adalah 3,038 dengan signifikansi 0,048 (< 0,05) sehingga model regresi dapat digunakan untuk prediksi.

Pembahasan

Pengaruh Lama Kerja Petugas terhadap Kualitas Tatalaksana Diare di Puskesmas Lama kerja seseorang petugas dalam suatu bidang berhubungan dengan tingkat

pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang yang ditangani, lama kerja ikut menentukan hasil kerja seseorang dan juga akan menambah pengalaman seseorang dalam menjalankan pekerjaan sehari hari. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada pengaruh lama kerja terhadap kualitas tatalaksana diare. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara responden yang lama kerjanya lebih dari 10 tahun dengan yang kerjanya kurang dari 10 tahun. Hal ini terjadi karena pada umumnya responden dalam tatalaksana diare menggunakan buku pedoman yang sama dan mendapat pelatihan tatalaksana dengan materi yang sama dan dituntut untuk menangani secara profesional dalam menangani kasus diare karena program tatalaksana diare merupakan program utama Dinas Kesehatan seluruh Indonesia.

Adanya responden yang mempunyai masa kerja lebih dari 20 tahun namun kualitas tatalaksanya dalam kategori kurang, barangkali disebabkan oleh adanya kejenuhan dalam kerja, sehingga mereka bekerja tidak sesuai prosedur yang ada. Untuk itu diperlukan suatu penyegaran agar mereka dapat bekerja lebih baik.

Pengaruh Tingkat Pendidikan Petugas terhadap Kualitas Tatalaksana Diare Latar belakang yang dimiliki seseorang akan berpengaruh terhadap cara berfikir,

merencanakan dan melaksanakan suatu kegiatan serta dalam menghadapi suatu permasalahan, demikian juga halnya dengan latar belakang pendidikan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan diare pada balita di puskesmas. Dapat diasumsikan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu pendukung dalam pelaksanaan tugas dengan baik.

Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada pengaruh pendidikan petugas terhadap kualitas tatalaksana diare. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara responden yang yang berpendidikan SPK, Bidan maupun Akper.

Menurut Ardhana, pengetahuan seseorang yang akan membentuk tindakan dalam suatu kegiatan tidak hanya didapat dari pendidikan formal saja, pengetahuan ini bisa saja didapat dari berbagai sumber seperti media masa, buku petunjuk, media poster atau dari media elektronik. Dengan demikian, responden yang berpendidikan SPK mungkin saja mempunyai pengetahuan yang relatif sama bahkan lebih dengan yang berpendidikan Bidan maupun Akper. Di samping itu, motivasi responden untuk melakukan penanganan yang baik pada penderita diare merupakan keharusan yang dilaksanakan sesuai petunjuk pedoman

Page 17: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 80

tatalaksana diare yang di terbitkan oleh Departemen Kesehatan. Di samping itu, responden juga mendapat pelatihan dalam tatalaksana dengan materi yang sama dan selalu ada supervisi dari Dinas Kesehatan Kabupaten maupun Provinsi untuk mengurangi angka kematian akibat diare.

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Petugas terhadap Kualitas Tatalaksana Diare Pengetahuan merupakan salah satu dari komponen pikiran dan perasaan yang dapat

menetukan apakah seseorang akan bertindak. Pengetahuan merupakan bagian dari faktor predisposing atau faktor dari diri sendiri yang merupakan pemacu motivasi untuk berperilaku dan bertingkah laku.

Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada pengaruh pengetahuan petugas terhadap kualitas tatalaksana diare. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan antara responden yang yang berpengetahuan baik maupun yang berpengetahuan kurang. Hal ini mungkin karena tatalaksana diare merupakan program yang sudah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan, dengan pedoman yang harus diikuti oleh petugas kesehatan dalam penanganan kasus diare dan setiap tahunnya selalu ada pelatihan dan supervisi dari Dinas Kesehatan.

Pengaruh Sikap Petugas terhadap Kualitas Tatalaksana Diare Sikap merupakan respon evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun negatif. Hal ini

berarti bahwa dalam sikap terkandung adanya preferensi atau rasa suka dan tak suka terhadap sesuatu sebagi obyek sikap.

Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada pengaruh sikap petugas terhadap kualitas tatalaksana diare di Puskesmas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara responden yang yang bersikap tepat maupun yang bersikap kurang tepat dalam tatalaksana diare. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Simpulan penelitian adalah:

1. Sebagian besar petugas memiliki kualitas tatalaksana diare dalam kategori baik 2. Sebagian besar petugas memiliki lama kerjanya 11–21 tahun 3. Sebagian besar petugas berpendidikan Sekolah Perawat Kesehatan 4. Sebagian besar petugas memiliki pengetahuan dalam kategori baik 5. Sebagian besar petusa memiliki sikap dalam kategori baik 6. Tidak ada pengaruh lama kerja petugas terhadap kualitas tatalaksana diare 7. Tidak ada pengaruh pendidikan petugas terhadap kualitas tatalaksana diare 8. Ada pengaruh pengetahuan petugas terhadap kualitas tatalaksana diare 9. Tidak ada pengaruh sikap petugas terhadap kualitas tatalaksana diare

Saran 1. Perlu meningkatkan bimbingan teknis, motivasi, pemantauan, dan umpan balik kepada

petugas kesehatan di Puskesmas tentang kualitas tatalaksana diare pada saat pertemuan rutin atau secara tertulis

Page 18: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 81

2. Perlu dilakukan penyegaran kembali atau pelatihan terhadap petugas kesehatan di Puskesmas dalam hal tatalaksana diare

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, J, 1989, Teknik Penyusunan Skala Pengukuran, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Jogjakarta

Badan Pusat Statistik, 2005, Magetan Dalam Angka, BPS Magetan, Magetan Depkes RI, 1993, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare Dalam Pelita V , Ditjen PPM

& PLP, Jakarta Depkes RI, 1989, Kebijaksanaan Teknis Pemberantasan Penyakit Diare Dalam Pelita V ,

Ditjen PPM & PLP, Jakarta Depkes RI, 2000, Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare di Puskesmas, Ditjen PPM

& PLP, Depkes RI, Jakarta Depkes RI, 2001, Survey Morbiditas dan Tatalaksana Penderita Diare, Ditjen PPM &PLP

Depkes RI, Jakarta Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan, 2005, Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan

Tahun 2005, Magetan Dinas Kesehatan Kab. Magetan, 2005, Laporan Tahunan Penyakit Diare Tahun 2005 Gurendro Putro, 2005, Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Ibu dan Penggunaan

Sarana Air Bersih Terhadap Kejadian Diare Pada Balita, Buletin Penelitian RSU Dr. Soetomo Vol 7 no. 2, Bidang Penelitian dan Pengembangan RSU Dr. Soetomo, Surabaya

Gunawan, 2002, Studi Tentang Evaluasi Tatalaksana Diare di Puskesmas Kabupaten Sragen Jawa Tengah, Skripsi, Prodi Kesling Madiun.

Gibson et.all, 1990 Organisasi Jilid I, Erlangga, Jakarta Joko Irianto,dkk, 1996, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Anak Balita,

Buletin Penelitian Kesehatan 24( 2&3) : 92 -95 Karno, 2002, Etika Profesi dan Perilaku, Prodi Kesling Madiun. Mar’at, 1981, Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya, Gholia Indonesia, Bandung Muhammad Nasir, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. Masri Singarimbun dan sofyan Effendi, 1997, Metodologi Penelitian survey, LP3ES, Jakarta Petrus Andrianto, 1992, Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut, Edisi 2 ECG, Jakarta Raharjo Marwati, 1984, Pendidikan dan Masyarakat Pendidikan sebagai Sarana Pendapatan,

CSIS, Jakarta. Santoso Singgih, 2001, Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik, Elex Media Komputindo,

Jakarta Sutanto dan Indriyono, 1993, Strategi dan Pengembangan Pemberantasan Diare di Indonesia,

Medika 6 : 62 – 67, Sukijo Notoatmodjo, 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan,

Andi Offset, Jogjakarta. Sukijo Notoatmodjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Sugiyono, 2000, Statistika Untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung

Page 19: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 82

HUBUNGAN ANTARA STATUS SOSIAL ORANG TUA DENGAN KEKERASAN FISIK PADA ANAK UMUR 3-6 TAHUN DI KABUPATEN JEMBER

The Relationship Between Parents’ Social Status

And Child Abuse Among Children 3-6 Years Of Age In Jember District Gumiarti *

ABSTRACT

Child abuse is defined as any intentional act or series of acts by a parent or other

caregivers that results in harm or threat of harm to a child. Under-three children are prone to receive any form of abuses due to the fact that they are entering periods of temper tantrum and egocentrics. In these periods, children usually gets angry easily and cannot control their emotion as well as pose destructive behavior when what they want cannot be fulfilled by their parents. Consequently, this can become a trigger for parents to do physical abuse to their children. In addition, child abuse brings about hazardous effects such as physical injuries and psycopathology.

This was an observational study with a cross-sectional study design. Samples were 164 persons. The independent variable was parents’ social status, the dependent variable was child physical abuse, and the extraneous variables were age, marital status, history of receiving abuses from parents, and child’s status. Data were collected through questionnaire and in-depth interview towards four mothers. The data were then analyzed with univariate analysis using statistic descriptive test, bivariate analysis using chi-square test, and multivariate analysis using logistic regression.

There was a significant relationship between parents’ education and child physical abuse (RP=1.3 and CI=1.08-1.57), meaning that the prevalence of child abuse was 1.3 greater in parents with lower educational level than with the higher one. Parents’ occupation was also significantly related with child physical abuse (RP=1.61 and CI=1.04-2.48), meaning that the prevalence of child abuse was greater in children who had parents with lower occupational level than with higher one. Meanwhile, there was no significant relationship between parents’ income and child abuse (RP=1.08 CI=0.92-1.27). The extraneous variables having risks toward child abuse were parents’ marital status and history of receiving abuses from parents. Parents’ social statuses that were significantly related with child physical abuse were education and occupation. Forms of abuses received by children were being pinched, being beaten, being hit or being tweaked. Keywords: Parents’ social status, child abuse * = Poltekkes Kemenkes Malang, Jurusan Kebidanan, Kampus Jember PENDAHULUAN

Kekerasan pada anak/ child abuse/ child maltreatment adalah tindakan yang sengaja dilakukan oleh orang tua atau pengasuh anak, bentuk kekerasan pada anak bisa berupa

Page 20: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 83

kekerasan fisik, seksual, emosional, dan penelantaran anak. Setiap orang tua sekali waktu pasti pernah marah dalam menghadapi sikap dan perilaku anak yang menyulitkan tersebut. Banyak orang tua yang lepas kendali sehingga melakukan tindakan kekerasan fisik atau mengatakan sesuatu yang menyakiti serta membahayakan anak tersebut.

Pelaku dan korban child abuse kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah, faktor kemiskinan, tekanan hidup yang meningkat, kemarahan pada pasangan dan ketidak berdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang mengalami stress yang berkepanjangan, menjadi sangat sensitif, mudah marah karena kelelahan fisik, sehingga mudah meluapkan emosinya pada anak-anak.

Di Indonesia belum banyak data yang menggambarkan kekerasan yang terjadi pada anak. Kekerasan pada anak di Jawa Timur, menurut Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur, mengalami peningkatan, pada tahun 2002 terdapat 81 kasus kekerasan seksual, 47 kasus berkaitan dengan hukum dan kenakalan remaja, 38 kasus kekerasan fisik, 11 kasus kekerasa psikis, 4 kasus anak dibuang orang tuanya dan 2 kasus perdagangan perempuan. Data tersebut hanya merupakan puncak dari gunung es, faktanya bisa sepuluh kali bahkan seribu kalinya. Di Kabupaten Jember terjadi peningkatan kejadian, tercatat mulai tahun 2004 sampai tahun 2007 tercatat 170 kasus, dengan berbagai tindak kekerasan pada anak.

Penganiayaan fisik merupakan kategori paling umum yang terjadi di masyarakat, walaupun kebanyakan bukan hal yang serius. Beberapa penelitian menunjukkan adanya dampak negatif terhadap pertumbuhan anak..Penganiayaan fisik secara dini memprediksi permasalahan tingkah laku anak remaja, karena semua tindakan yang diterima anak-anak akan direkam dan terus sepanjang hidupnya. Dampak kekerasan fisik tidak hanya menimbulkan bekas fisik, namun juga psikologis dan sosial, yang disebut post traumatic stress disorder (PTSD). Keparahan dampak yang terjadi tergantung dari mulainya dan lamanya mendapat kekerasan. Semakin kecil usia mulainya, semakin parah dampak yang ditimbulkan.

Studi pendahuluan melalui wawancara di Kecamatan Patrang, menunjukkan bahwa lebih dari 80% ibu-ibu mencubit, memukul dengan tangan kosong bila anak-anak dianggap nakal atau tidak mau menuruti perintah orang tuanya. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan rancangan cross sectional, dilengkapi dengan pendekatan kualitatif untuk mengetahui alasan orang tua melakukan tindakan kekerasan pada anaknya. Populasi penelitian adalah ibu-ibu yang mempunyai anak umur 3-6 tahun di Kecamatan Patrang. Pemilihan subyek penelitian secara purposif, dengan teknik pengambilan sampel incidental sampling.

Variabel bebas penelitian adalah status sosial orang tua pada pendidikan, pekerjaan, penghasilan, variabel luar adalah usia orang tua, status perkawinan orang tua, riwayat mendapat kekerasan pada orang tua, dan status anak dalam keluarga, sedangkan variabel terikat adalah kekerasan fisik pada anak. Analisa data dilakukan secara univariat, bivariat dengan Chi Square Test, dan multivariat dengan Uji Regresi Logistik dengan convidence interval 95% dan tingkat kemaknaan ρ<0,05..

Page 21: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 84

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Analisa secara univariat disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1.Karakteristik Responden

Karakteristik N=164 %

Pendidikan orang tua: - Tinggi - Rendah

Pekerjaan: - Tinggi - Rendah Penghasilan: - 640.000 atau lebih - 640.000 atau lebih Umur ibu: - < 35 th

- ≥ 36 th Status Perkawinan: - Kawin

- Janda/ duda Riwayat mendapat kekerasan: -Tidak -Ya Status anak dalam keluarga: -Kandung -Angkat Anak yang mendapat kekerasan fisik: -Tidak

-Ya

59 105 19

145 65 99 68 96

113 51 46

118 161 3 31

133

35,98 64,02 11,59 88,41 39,63 60,37 41.46 58.54 68.90 31.10 28.05 71.95 98.17 1.83

18,90 81,10

Tabel 2. Jenis Kekerasan Fisik yang Diterima oleh Anak

Jenis kekerasan N=164 %

Dicubit

Tidak Ya

40 124

24.39 75.61

Dipukul dengan tangan kosong

Tidak Ya

52 112

31.71 68.29

Dipukul dengan alat (ikat pinggang,sapu) Tidak Ya

142 22

86.59 13.41

Diguyur/disiram dengan air

Tidak Ya

146 18

89.02 10.98

Dikunci didalam kamar mandi

Tidak Ya

160 4

97.56 2.44

Dijewer

Tidak Ya

75 89

45.73 54.27

Ditampar

Tidak Ya

159 5

96.95 3.05

Ditendang

Tidak Ya

162 2

98.78 1.22

Disundut dengan rokok, benar kena

Tidak Ya

160 4

97.56 2.44

-Sekedar ditakut-takuti

Tidak Ya

156 8

95.12 4.88

Digigit Tidak Ya

160 4

97.56 2.44

Page 22: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 85

Analisis secara bivariat disajikan pada Tabel 3 sampai Tabel 7 (Catatan: Keterangan: RP= rasio prevalensi, CI= interval kepercayaan, dan P= p value, signifikan p<0,05). Tabel 3. Hubungan Antara Status Sosial Orang Tua dengan Kekerasan Fisik Pada Anak

Variabel Kekerasan Pada Anak X2(df) RP CI P

Tidak (%) Ya (%)

Pendidikan -tinggi -rendah

Pekerjaan -tinggi -rendah Penghasilan ->=640.000 -< 640.000.

19 (32,20) 12 (11,43)

9 (47,37)

22 (15,17)

15 (23,08) 16 (16,16)

40 (67,80) 93 (88,57)

10 (52,63)

123 (84,83)

50 (76,92) 83 (83,84)

10,64(1)

11,36(1) 1,22 (1)

1,3 1,61 1,08

1,08-1,57

1,04-2,48

0,92-1,27

0,001

0,000

0,268

Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel status sosial yang berhubungan dengan kekerasan fisik pada anak adalah pendidikan dan pekerjaan.

Tabel 4. Hubungan Antara Usia Orang Tua, Status Perkawinan,

Riwayat Mendapat Kekerasan, dan Status Anak dengan Pendidikan Orang Tua

Variabel Pendidikan Orang Tua X2(df) RP CI P

Tinggi Rendah

Umur -≤35 th -≥36 th

27 (39,71) 32 (33,33)

41 (60,29) 64 (66,67)

0,70(1)

0,10

0,87-1,40

0,40

Status perkawinan orang tua

-Kawin -Janda/duda

40 (35,40) 19(37,25)

73 (64,60) 32 (62,75)

3,31(1)

0,97

0,75-1,24

0,81

Riwayat mendapat kekerasan

-Tidak -Ya

21 (45,65) 38 (32,20)

25 (54,35) 80(67,80)

2,60(1)

1,24

0,93-1,67

0,10

Status anak dalam keluarga

-Kandung -Angkat

57 (35,40) 2 (66,67)

104(64,60) 1(33,33)

1,25(1)

0,51

0,10-2,56

0,26

Tabel 4 menunjukkan bahwa umur ibu, status perkawinan orang tua, riwayat mendapat kekerasan dan status anak dalam keluarga tidak berhubungan dengan pendidikan orang tua.

Page 23: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 86

Tabel 5. Hubungan Antara Usia Orang Tua, Status Perkawinan, Riwayat Mendapat Kekerasan, dan Status Anak dengan Pekerjaan Orang Tua

Variabel Pekerjaan Orang Tua X2(df) RP CI P

Tinggi Rendah

Umur -≤35 th -≥36 th

10 (14,71)

9 (9,38)

58 (85,29) 87 (90,63)

1,10(1)

1,06

0,94-1,19

0,29

Status perkawinan orangtua -Kawin -Janda/duda

14 (12,39)

5(9,80)

99 (87,61) 46 (90.20)

0,23(1)

1,02

0,91-1,15

0,63

Riwayat kekerasan -Tidak -Ya

6 (13,04)

13 (11,02)

40 (86,96) 105(88,98)

0,13(1)

1,02

0,89-1,16

0,71

Status anak dalam keluarga -kandung -angkat

17 (10,56)

2 (66,67)

144 (89,44)

1 (33,33)

9,05(1)

0,37

0,07-1,84

0,20

Tabel 5 menunjukkan bahwa umur, status perkawinan orang tua, riwayat mendapat kekerasan dan status anak dalam keluarga tidak berhubungan dengan pekerjaan orang tua.

Tabel 6. Hubungan Antara Usia Orang Tua, Status Perkawainan, Riwayat Mendapat Kekerasan, dan Status Anak dengan Penghasilan Orang Tua

Variabel Penghasilan Orang Tua X2(df) RP CI P

Tinggi Rendah

Umur -≤35 th -≥36 th

24 (35,29) 41 (42,71)

44 (64,71) 55 (57,29)

0,91(1)

0,88

0,69-1,13

0,33

Status perkawinan orangtua -Kawin -Janda/duda

44 (38,94) 21(41,18)

69 (61,06) 30 (58,82)

0,07(1)

0,96

0,73-1,26

0,78

Riwayat kekerasan -Tidak -Ya

18 (39,13) 47 (39,83)

28 (60,87) 71(60,17)

0,01(1)

0,98

0,75-1,30

0,93

Status anak dalam keluarga -kandung -angkat

63 (39,13) 2 (66,67)

98(60,87) 1(33,33)

0,93(1)

0,54

0,11-2,72

0,33

Tabel 6 menunjukkan bahwa umur, status perkawinan orang tua, riwayat mendapat kekerasan, dan status anak dalam keluarga tidak berhubungan dengan penghasilan orang tua.

Page 24: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 87

Tabel 7. Hubungan Antara Usia Orang Tua, Status Perkawinan, Riwayat Mendapat Kekerasan, dan Status Anak dengan Kekerasan Fisik Pada Anak

Variabel Kekerasan pada Anak X2(df) RP CI P

Ya Tidak

Umur -≤35 th -≥36 th

11(16,18) 20(20,83)

57(83,82) 76(79,17)

0,56(1)

0,94

0,81-1,09

0,45

Status perkawinan -Kawin -Janda/duda

26(23,01)

5(9,80)

87(76,99) 46(90,20)

4,00(1)

1,17

1,02-1,34

0,04

Riwayat kekerasan -Tidak -Ya

15(32,61) 16(13,56)

31(67,39)

102(86,44)

7,83(1)

1,28

1,03-1,58

0,005

Status anak -kandung -angkat

30(18,63) 1(33,33)

131(81,37)

2(66,67)

0,42(1)

0,81

0,36-1,82

0,51

Tabel 7 menunjukkan bahwa status perkawinan orangtua dan riwayat mendapat kekerasan fisik pada orang tua berhubungan secara bermakna dengan kekerasan fisik pada anak.

Analisis multivariat (Tabel 8) memilih model terbaik dalam menentukan hubungan status sosial orang tua dengan kekerasan fisik pada anak dengan memasukkan variabel luar. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa dari keempat model, model yang baik adalah model 4, disebabkan dengan memasukkan seluruh variabel tersebut dapat diketahui perubahan nilai besarnya rasio prevalensi dan nilai R2 tertinggi, sehingga bisa memprediksi dengan tepat seberapa besar pengaruh variabel tersebut terhadap prevalensi kekerasan fisik pada anak.

Tabel 8. Hasil Uji Regresi Logistik Status Sosial Orang Tua dengan Kekerasan Fisik pada Anak, Status Perkawinan Orang Tua, Riwayat Mendapat Kekerasan

Variabel Model 1 RP (95%CI)

Model 2 RP (95%CI)

Model 3 RP (95%CI)

Model 4 RP (95%CI)

Status Sosial OrangTua: Pendidikan 3,3

(1,32-8,27) 3,3

(1,35-8,51) 2,8

(1,13-7,29) 3,0

(1,18-7,71) Pekerjaan Penghasilah Status perkawinan Riwayat kekerasan

4,7 (1,32-16,98)

0,5 (0,17-1,55)

4,4 (1,22-16,44)

0,5 (0,19-1,67)

2,8 (0,98-8,40)

4,9 (1,33-18,20)

0,5 (0,19-1,73)

2,8 (1,20-6,86)

4,6 (1,22-17,30)

0,6 (0,21-1,88)

2,9 (0,96-8,78)

2,8 (1,18-6,88)

R2 0,10 0,12 0,13 0,16 Devian 142,84 138,54 137,23 133,13 N 164 164 164 164

Dalam analisa secara kualitatif, hasil wawancara terhadap 4 ibu dengan status sosial berbeda, alasan melakukan tindakan kekerasan fisik pada anak adalah: ingin agar anak

Page 25: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 88

menuruti kemauan orangtua, lebih disiplin, tidak nakal, tidak mengulangi tindakan yang salah menurut orang tua. Kutipan hasil wawancara tersebut antara lain sebagai berikut :

” Ya gimanalah Bu..., abis nakalnya minta ampun, kalau udah di cubit gitu dia kan ngerti, nanti kalau dia nakal lagi, kalau tangan saya udah kuangkat gini (ibu memperagakan mengangkat tangannya) dia akan ngerti kalau itu tidak boleh dilakukan, biasanya dia bilang gini Bu.. ma.. gak boleh ya ma..., iya adik gak boleh nakal” (Ny.If). ”Anak Saya itu kalau dikasih tahu Bu... mbantah terus, ndak ngerti-ngerti, sekali-kali kalau tindakannya salah, dia nakal ya diberi peringatan yang jelas dan tegas, kalau dipukul kan sakit, biar ndak mengulang lagi, biar disiplin Bu” (Ny.WS).

Kutipan hasil jawaban apa pendapat ibu bila melakukan hal tersebut di atas, sebagai berikut : ” Ya ndak apa-apa kan hanya sekali aja, tapi akhirnya dia ngerti kalau dia ndak boleh nakal” (Ny.If). ” Kan masih dalam batas kewajaran Bu”(Ny.WS).

Pembahasan Analisa bivariat membuktikan bahwa status sosial orang tua khususnya pendidikan

berhubungan secara bermakna dengan kejadian kekerasan fisik pada anak. Prevalensi kekerasan fisik pada anak lebih tinggi pada pendidikan orang tua yang rendah. Orang tua dengan tingkat pendidikan tertentu akan mempengaruhi pola pengasuhan kepada anak-anaknya. Pendidikan orang tua menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menyerap dan memahami pengetahuan tentang pengasuhan anak, pendidikan orang tua juga sangat berpengaruh dalam memberikan kebutuhan psikologis anak-anaknya. Bila pengetahuan orang tua rendah mengenai kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan serta cara pengasuhan yang benar, orang tua akan mudah mengalami mispersepsi dalam menerima masukan atau pengetahuan tentang kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan anak selama masa tumbuh kembangnya, atau akan mudah terjadi miskomunikasi karena keterbatasan pengetahuan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak, sehingga orang tua mudah memperlakukan salah dan menelantarkan anak-anaknya. Hasil di atas hampir sama dengan penelitian Shojaeizadeh (2001), orang tua lebih mudah melakukan tindak kekerasan fisik pada anak atau mengurung anak-anak di dalam rumah, tidak mengijinkan anak bermain diluar rumah bila orang tua sedang marah, tindakan ini disebabkan karena pendidikan orang tua yang rendah.

Pekerjaan orang tua dengan kekerasan fisik pada anak juga berhubungan secara bermakna. Pekerjaan dan penghasilan yang rendah akan memberikan stressor tersendiri bagi orang tua. Orang tua yang sudah bekerja seharian di luar rumah berdampak pada kelelahan fisik, bila harus menghadapi tingkah laku anak-anaknya yang dinilai nakal, orang tua menjadi tidak sabar, mereka tidak lagi menggunakan kata-kata dalam memberi tahu anak-anaknya, mudah meluapkan emosi kepada anak-anaknya dengan langsung menggunakan kekerasan fisik. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Lancford..

Orang tua dengan pekerjaan yang tinggi mengajarkan anak-anaknya bersemangat belajar, mencintai dan terbuka pada orang tua, gembira serta bekerja sama, orang tua lebih memperhatikan dinamika diri si anak, bila anak berbuat kesalahan bukan hukuman fisik yang diberikan oleh orang tuanya. Berbeda dengan orang tua dengan status sosial yang rendah, dalam mendidik anaknya lebih cenderung untuk mematuhi aturan-aturan yang diberikan dari

Page 26: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 89

luar/berdasarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat, orang tua takut kalau anak-anaknya dinilai salah oleh orang lain, bila anak salah orang tua langsung menghukum anak tanpa melihat sebab-sebabnya dan hukuman yang diberikan sering berbentuk hukuman fisik.

Variabel luar yang berhubungan secara bermakna dengan kekerasan fisik pada anak adalah status perkawinan orang tua. Status orang tua tunggal atau anak-anak dirawat oleh ayah atau ibu tiri, mudah memberikan stimulus emosi orang tua yang akan dilampiaskan kepada anak-anaknya. Orang tua tunggal memiliki peluang tinggi untuk melakukan tindakan kekerasan fisik pada anak-anaknya. Keadaan ini sesuai dengan teori Mann et al.

Riwayat mendapat kekerasan pada orang tua juga berhubungan secara bermakna dengan kekerasan fisik pada anak. Orang tua yang mempunyai pengalaman disakiti atau mengalami kekerasan pada masa kecilnya akan tumbuh menjadi seseorang yang mempunyai kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang pernah dilakukan terhadap dirinya kepada orang lain, yaitu anak-anaknya. Semua tindakan kekerasan yang diterima pada masa kanak-kanaknya akan direkam dalam alam bawah sadar dan akan dibawa sampai pada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Anak-anak yang mendapat kekerasan dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif dan ketika menjadi orang tua, akan menjadi orang tua yang kasar pula kepada anak-anaknya. Seperti hasil penelitian Coohey, orang tua dengan riwayat mendapat kekerasan/paparan agresi dari orang tuanya, akan menjadikan pengalaman masalalunya model dalam mendidik anak-anaknya.

Umur ibu tidak berhubungan dengan tindakan kekerasan fisik pada anak. Hasil ini bertolak belakang dengan teori Bethea, bahwa orang tua yang masih muda, belum matang secara emosi, belum mempunyai pengalaman dalam merawat anak, tidak memahami akan kebutuhan tumbuh kembang anaknya dan kemungkinan akan menolak perannya sebagai orang tua, yang berakibat pada penolakan kehadiran anaknya, sehingga menimbulkan tindakan perlakuan salah dan penelantaran anak-anaknya.

Status anak dalam keluarga juga tidak berhubungan secara bermakna dengan kekerasan fisik. Status anak dalam keluarga seperti anak anak angkat atau anak yang tidak ada hubungan secara biologis dengan orang tua, akan cenderung diperlakukan sama dengan anak yang hidup dengan ayah atau ibu tiri. Kondisi ini mudah memicu tindak kekerasan fisik dan psikis. Bila stress, orang tua mudah menghardik, memukul, melecehkan anak. Orang tua akan susah memberikan kehangatan kepada anak dengan sekedar bercanda, memeluk anak pada saat gelisah dan membutuhkan ketentraman batinnya, apalagi jika orang tua berfikir bahwa anak bukan darah dagingnya, sehingga anak menjadi tempat pelampiasan stress.

Hasil wawancara tentang alasan orang tua melakukan tindakan kekerasan fisik pada anaknya adalah agar anak-anaknya lebih disiplin, tidak nakal, menuruti perintah orang tuanya. Orang tua tak menyadari bahwa larangan itu tak hanya membatasi kebebasan anak, tetapi juga berdampak secara psikologis, anak menjadi ragu dan takut untuk melakukan sesuatu, rasa ingin tahunya ditekan karena takut mendapat hukuman fisik. Inisiatif dan kreasinya menjadi tumpul karena harus menunggu persetujuan orang tua bila ingin melakukan sesuatu.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan penelitian adalah: 1) Prevalensi kekerasan fisik pada anak lebih tinggi pada pendidikan dan pekerjaan orang tua yang rendah, 2) Tidak ada hubungan bermakna antara

Page 27: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 90

penghasilan orang tua dengan kekerasan fisik pada anak, 3) Kekerasan fisik yang banyak diterima anak adalah: dicubit, dipukul dengan tangan kosong, dijewer, dipukul dengan alat ada sebagian kecil disundut dengan rokok, 4) Faktor luar yang berhubungan dengan kekerasan fisik pada anak adalah status perkawinan orang tua dan riwayat mendapat kekerasan pada orang tua, 5) Alasan orang tua melakukan tindakan kekerasan fisik pada anak adalah menegakkan disiplin, agar tidak nakal, dan mau menuruti perintah.

Saran berdasarkan hasil penelitian adalah: 1. Bagi Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak agar meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kekerasan fisik pada anak, baik bentuk kekerasan, risiko terhadap kekerasan, dampak dari kekerasan, bisa melalui penyuluhan lewat media cetak, elektronik maupun penyuluhan kelompok, 2) Bagi guru, lembaga pemerhati kesejahteraan dan perlindungan anak, agar peka terhadap tanda-tanda anak mengalami tindak kekerasan fisik, sehingga dapat dicegah sedini mungkin, 3) Bagi Pemerintah Daerah dan Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak lebih menggalakkan sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak, sehingga masyarakat paham bahwa anak mereka terlindungi secara hukum dari bentuk kekerasan apapun dan oleh siapapun.

DAFTAR PUSTAKA

McDonald KC. Child Abuse: Approach and Management, American Academy of Family Physicians. 2007. www.aafp/afp (15 Januari 2007)

Littell JH, Girvin H. Correlate of problem recognition and intentions to change among caregivers of abused and neglected children, Child Abuse & Neglect; 2006; 30:1381-1399.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007) Kekerasan pada Anak Dilakukan Terselubung. 2007. (11 September 2007)

Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak. 2007. Gibbons J, Galagher B, Bell C, Gordon D. Medicine and books Development after Physical

Abuse in Early Childhood. BMJ, 1995;311:1175 . Lanncford JE. A 12-Year Prospective Study of Early Child Physical Maltreatment on

Psychological, Behavioral, and Academic Problem in Adolescence. Arch Pediatric Aolescent Med. 2002; 156:824-830.

Tell SJ, Pavkov T, Hecker L, Fontaine KL. Adult Survivors of Child Abuse: An Application of John gottman’s Sound Marital House Theory, Contemp Fam Ther, 2006;28:225-238.

Su’adah. Sosiologi Keluarga. Malang; 2005. Mann D, Corell AP, Dobson CL, Perry BD. Physical abuse of children, Encyclopedia, Child

Trouma Academy; 2001. Coohey C, Braun N. Toward an Integrated Framework for Understanding Child Physical

Abuse, Child Abuse & Neglect. 1997; 21 (11): 1081-1094. Bethea L. Primary Prevention of Child Abuse. American Family Phisicion. 1999. Shojaeizadeh D. Child Abuse in the Family: An Analytical Study. Dept. of Public Health

Administration, School of Public Health and Institute of Public Healh Researchs, Tehran University of Medical Sciences. 2001

Page 28: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 91

PERBEDAAN KEJADIAN ABORTUS BERDASARKAN PARITAS DI RSIA AURA SYIFA KABUPATEN KEDIRI

Koekoeh Hardjito*, Temu Budiarti*, Yuni Mada Nurika*

ABSTRACT

Mortality and morbidity at pregnant woman and birthing is a big problem in developing countries. Sometime pregnancy end ahead of schedule and sometimes exceed the normal time. Abortus off the cuff is abortus that happened naturally without external intervention (brand) to terminate the pregnancy. There are some the factors of the happening of abortus, for example mother age and parity factor, have the major effect. As for intention of this research is to know difference of occurence abortus pursuant to parity in RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri in January up to December 2009. This research of the survey having the character of analytic (analytical) with retrospective study that trying look backward to. Population is all data record the natural pregnant patient sis abortus in RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri at period of 1 January up to 31 December 2009 counted 177 cases. Sampel is some of data record the natural mother sis abortus in RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri at period of 1 January up to 31 December 2009 equal to 123 cases. And result off natural mother parity abortus at most happened at nullipara, sequence hereinafter primipara, multipara, and grandemultipara. Type Abortus a lot happened at parity zero (nullipara) come up with the parity ≥ 4 (Grandemultipara) are abortus incomplete. With result analyse x2 count bigger than x2 the tables of so that is difference of occurence abortus pursuant to parity.

Keyword: Abortus, Parity

* = Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang, Jurusan Kebidanan, Kampus Kediri PENDAHULUAN

Latar belakang masalah Kematian ibu adalah masalah yang kompleks (Saifudin, dkk. 2002). Menurut WHO, di

negara-negara miskin dan sedang berkembang, kematian ibu antara 750-1.000 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan di negara-negara maju, angka kematian maternal berkisar 5-10 per 100.000 kelahiran hidup (Widyastuti & Dina, 2008). Angka Kematian Ibu di Indonesia masih menempati posisi tertinggi di negara ASEAN. AKI di Indonesia (2002) sebesar 307 per 100.000 kelahiran. Berdasarkan hasil berbagai survei, di Provinsi Jawa Timur, pada tahun 2003 tercatat sekitar 446 kasus kematian maternal dan jumlah ini turun menjadi 326 kasus pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik Jawa Timur 2008). AKI di Indonesia masih di dominasi oleh sebab perdarahan (42%), eklamsi (13%) dan infeksi (10%) (BKKBN 2005).

Masalah abortus dikemukakan kaitannya dengan tingginya angka kematian ibu melahirkan (Supriyanto Khafid, 2007). Menurut data WHO persentase kemungkinan terjadinya abortus cukup tinggi. Sekitar 15–40%, diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif hamil, dan 60–75% abortus terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu (Lestariningsih

Page 29: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 92

2008). Menurut Siswanto, lebih dari 90% abortus di negara-negara sedang berkembang dilakukan tidak aman, sehingga berkontribusi 11-13% terhadap kematian maternal di dunia.

Di Indonesia, diperkirakan 2 – 2,5 % juga mengalami keguguran setiap tahun, sehingga secara nyata dapat menurunkan angka kelahiran menjadi 1,7 pertahunnya (Manuaba, 2001). Menurut Pangkahila, abortus di Indonesia masih cukup tinggi dibanding dengan negara-negara maju di dunia, yakni 2,3 juta abortus per tahun. Sulit untuk mengidentifikasi dengan tepat seberapa sering keguguran terjadi (Henderson, 2005). Hal ini diperkirakan merupakan bagian kecil dari kejadian yang sebenarnya, sebagai akibat ketidakterjangkauan pelayanan kedokteran modern yang ditandai oleh kesenjangan informasi (Widyastuti & Dina, 2008).

Menurut Cunningham (2000) ada beberapa faktor predisposisi terjadinya abortus, misalnya faktor paritas dan usia ibu, mempunyai pengaruh besar. Frekuensi meningkat bersamaan dengan meningkatnya angka graviditas, 6% kehamilan pertama atau kedua berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan ketiga dan seterusnya (Llewellyn-Jones, Derek 2001). Menurut Warburton Frases & Wilson, resiko abortus kelihatannya semakin meningkat dengan bertambahnya paritas disamping dengan semakin lanjutnya usia ibu serta ayah (Cunningham 2005).

Dari studi pendahuluan di RSIA Aura Syifa Kediri tanggal 23 November sampai dengan 12 Desember 2009, terdapat 16 kasus abortus, 6 kasus di antaranya terjadi pada primigravida (37,5%), 7 kasus pada multipara (43,75) dan 3 (18,75%) pada grandemultipara.

Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan kejadian abortus berdasarkan

paritas di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan rancangan studi retrospektif. Penelitian dilaksanakan di RSIA Aura Syifa pada bulan Mei 2010. Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medik pasien ibu hamil yang mengalami abortus di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri pada periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2009 sebanyak 177 kasus, dengan sampel sebesar 123. Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling. Data diperoleh dengan cara studi dokumentasi dari catatan medik. Analisis menggunakan Uji Chi Kuadrat satu sampel untuk mengestimasi atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau menganalisa hasil observasi untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada penelitian yang menggunakan data nominal. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas abortus terjadi pada nullipara. Tabel 2

menyajikan perbedaan kejadian abortus berdasarkan paritas. Hasil Uji Chi Kuadrat menunjukkan X2 hitung 43,14, dengan taraf kesalahan 5% dan dk=3. Nilai tersebut > X2 Tabel (7,815). Dengan demikian Ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan kejadian abortus berdasarkan paritas di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri .

Page 30: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 93

Tabel 1. Distribusi frekuensi kejadian abortus berdasarkan paritas ibu

No. Paritas Frekuensi Persentase

1. Nullipara 50 40,65 2. Primipara 42 34,15 3. Multipara 29 23,56 4. Grandemultipara 2 1,63

Jumlah 123 100

Tabel. 2 Jenis Abortus Berdasarkan Paritas

No

Jenis Abortus

Nullipara Primipara Multipara Grandemultipara

f % f % f % f %

1 Abortus Imminens 12 24 10 23,81 4 13,79 0 0

2 Abortus Insipiens 6 12 2 4,76 1 3,44 1 50

3 Abortus Inkomplit 31 62 29 69,04 23 79,32 1 50

4 Abortus Komplit 0 0 0 0 0 0 0 0

5 Abortus Habitualis 0 0 0 0 0 0 0 0

6 Missed Abortion 1 2 1 2,38 1 3,44 0 0

Jumlah 50 100 42 100 29 100 2 100

Pembahasan Banyaknya kasus abortus yang dirawat di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri sesuai

dengan dengan pernyataan Pangkahila bahwa abortus di Indonesia masih cukup tinggi dibanding dengan negara-negara maju di dunia, yakni mencapai 2,3 juta abortus per tahun (Widyastuti & Dina 2008). Menurut WHO 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus. Komplikasi abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat menyebabkan kematian. Itulah sebabnya mengapa kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis (Azhari, 2002 dalam Nisa, 2009).

Pada Tabel 1 disebutkan frekuensi tertinggi abortus terjadi pada Nullipara (paritas 0) yaitu sebesar 50 kasus (40,65%) dan yang terendah pada Grandemultipara (paritas ≥ 4) sejumlah 2 kasus (1,63%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa risiko abortus semakin besar dengan bertambahnya paritas dan semakin besar dengan bertambahnya usia ibu dan ayah. Menurut Cunningham (2000) ada beberapa faktor yang merupakan predisposisi terjadinya abortus, misalnya faktor paritas dan usia ibu, mempunyai pengaruh besar.

Teori lain menyebutkan bahwa frekuensi abortus meningkat bersamaan dengan meningkatnya angka graviditas, 6% kehamilan pertama atau kedua berakhir dengan abortus, angka ini meningkat menjadi 16% pada kehamilan ketiga dan seterusnya (Llewellyn-Jones, Derek 2001). Menurut Warburton Frases & Wilson, resiko abortus nampaknya semakin meningkat dengan bertambahnya paritas di samping dengan semakin lanjutnya usia ibu dan ayah (Cunningham 2005).

Dalam kenyataan di RSIA Aura Syifa Kediri, frekuensi abortus kecenderungannya paling banyak terjadi pada Nullipara. Faktor paritas memang bukan satu-satunya predisposisi

Page 31: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 94

terjadinya abortus karena abortus disebabkan oleh faktor yang kompleks. Jadi, meskipun seorang wanita hamil berada pada paritas yang menguntungkan atau berada pada kondisi paritas yang baik (resiko rendah), kemungkinan bisa juga terjadi abortus karena faktor lain.

Faktor paritas mungkin tidak begitu berpengaruh sebagai pencetus terjadinya abortus di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri karena dari hasil yang didapat menyatakan bahwa tertinggi insidennya pada Nullipara. Banyaknya Nullipara dibandingkan dengan Grandemultipara, dapat dipahami sebagai fenomena yang bisa kita temui pada zaman sekarang. Pada zaman dulu sering dijumpai banyak ibu-ibu dengan anak banyak, namun pada saat ini kesadaran ibu akan program Keluarga Berencana sudah baik dan prinsip banyak anak banyak rezeki sudah mulai luntur, karena biaya hidup juga semakin tinggi. Maka dari itu, ibu berpikir untuk membatasi jumlah anak sehingga jumlah ibu dengan banyak anak sekarangpun mulai berkurang. Oleh sebab itu, bisa dimengerti jika kejadian abortus tertinggi pada Nullipara karena kuantitas Grandemultipara yang masih produktif untuk hamil pada zaman sekarang ini jarang ditemui.

Menurut hasil penelitian lain, wanita primigravida akan mengalami gugurnya kehamilan sebesar 5,6 % dan wanita yang telah memiliki anak akan terjadi abortus sebesar 2,2% pada kehamilan berikutnya (Darmayanti 2009 dalam Nisa 2009). Dari penelitian tersebut, terdapat kesamaan dengan hasil penelitian di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri yang menyatakan bahwa kejadian abortus paling banyak terjadi pada wanita Nullipara.

Dari Tabel 2 didapatkan hasil yang menyatakan bahwa klasifikasi atau jenis abortus yang frekuensinya paling banyak pada nullipara sampai pada grandemultipara adalah abortus inkomplit (pada grandemultipara seimbang dengan abortus insipiens). Kebanyakan abortus yang terjadi mengarah pada gejala abortus inkomplit dengan salah satu tanda bahwa buah kehamilan tidak dikeluarkan seutuhnya. Jaringan janin di dalam rahim yang tidak keluar sempurna itulah yang membahayakan nyawa ibu karena potensi perdarahannya lebih besar sehingga resiko kematian maternalnya juga lebih besar.

Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin, diikuti dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan akhirnya perdarahan pervaginam. Buah kehamilan terlepas seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah itu, terjadi pendorongan benda asing itu keluar rahim (ekspulsi) (Sastrawinata, 2004).

Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang tertinggal sekedar menempel di kanalis servikalis dan dapat dikeluarkan dari os eksterna yang terpapar dengan forceps cincin atau ovum. Wanita dengan tahap kehamilan lebih lanjut, atau yang mengalami perdarahan besar harus dirawat inap dan jaringan yang tertinggal segera dikeluarkan (Darmayanti, 2009 dalam Nisa, 2009).

Sebelum minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan sebelum minggu ke-10 vili korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua hingga telur mudah terlepas keseluruhannya. Antara minggu ke-10-12 korio tumbuh dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat hingga mulai saat tersebut sering sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal jika terjadi abortus (Sulaiman Sastrawinata 2004). Abortus 80% terjadi pada kehamilan trimester pertama dan insiden menurun sejalan dengan meningkatnya umur kehamilan (Cunningham 2005 dalam Nisa 2009).

Page 32: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 95

Hasil uji Chi Kuadrat satu sampel menunjukkan bahwa ada perbedaan kejadian abortus berdasarkan paritas. Karakteristik yang dimiliki Nullipara (wanita yang pertama kali hamil atau belum pernah melahirkan bayi aterm) umumnya belum memiliki pengalaman yang matang terhadap kehamilannya. Untuk wanita yang baru pertama kali mengandung, pengalaman langsung terhadap kehamilannya sama sekali belum dimiliki karena wanita tersebut baru menjalani kehamilannya yang pertama. Sedangkan wanita yang pernah hamil tetapi ditengah pertumbuhan kehamilannya mengalami gangguan sehingga belum pernah melahirkan bayi aterm, setidaknya telah memiliki satu pengalaman langsung. Akan tetapi, pengalaman kehamilan itu tidak mempunyai manfaat yang berarti jika wanita hamil tidak mempunyai cukup wawasan tentang segala sesuatu terkait dengan kehamilan yang sehat. Sehingga bisa menyebabkan kecerobohan yang merugikan kehamilannya sendiri. Salah satu contoh adalah aktivitas berhubungan seksual ibu hamil yang dilakukan pada Trimester I. Pada saat berhubungan seksual, sel sperma mengandung hormone prostaglandin yang merangsang kontraksi uterus sehingga bisa mengancam gugurnya buah kehamilan. Selain itu, faktor pekerjaan, tempat tinggal dan paparan zat-zat berbahaya juga berpengaruh terhadap terjadinya abortus pada nullipara.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa frekuensi terendah kejadian abortus terjadi pada Grandemultipara dimana secara teori justru paritas ≥ 4 ini mempunyai prognosis buruk terhadap kehamilannya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwanti, Grande multiparitas memiliki risiko kematian ibu maupun janin yang lebih tinggi, sehingga sedapat mungkin angka kejadian grande multiparitas harus ditekan. Karakteristik ibu terutama paritas berpengaruh terhadap pemilihan jenis persalinan dan luaran bayinya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa paritas tinggi meningkatkan kejadian SC sebesar 33%, forseps 27%, dan vakum 22%. Hasil ini diperkuat oleh Oxorn dalam penelitiannya pada tahun 2006 memperoleh bahwa grande multiparitas meningkatkan angka kejadian seksio sesarea sebesar 3,2 kali lipat. Tingginya kejadian grande multiparitas dipengaruhi pula oleh faktor sosial. Asumsi masyarakat atau anggapan masyarakat terhadap banyak anak banyak rezeki akan sangat mempengaruhi terhadap keinginan suami istri mengenai pengaturan jumlah anak, sehingga seringkali kehamilan dianggap hal yang mudah, biasa saja, dan umum, terutama di daerah pedesaan akan dianggap tidak lumrah bila sebuah keluarga memiliki anak sedikit (Armawan. 2008).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan penelitian adalah: 1) Terdapat perbedaan kejadian abortus berdasarkan paritas, 2) Kejadian abortus berdasarkan paritas di RSIA Aura Syifa Kabupaten Kediri frekuensi tertinggi terdapat pada Nullipara (paritas 0), frekuensi tertinggi kedua adalah Primipara, urutan berikutnya Multipara, dan angka kejadian paling rendah Grandemultipara.

Saran yang diajukan adalah: 1) Diharapkan setelah mengetahui fenomena di atas, pihak rumah sakit dapat lebih waspada dan meningkatkan pelayanan kesehatannya terutama terhadap penanganan abortus, mengingat angka kejadian abortus masih tinggi dan banyak faktor yang menjadi penyebabnya, 2) Diharapkan peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian mampu menggunakan variabel lebih luas untuk menjangkau faktor-faktor predisposisi kejadian abortus.

Page 33: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 96

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari Saifudin, dkk. (2006) Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

A. Aziz Alimul Hidayat. (2007) Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Bobak, Lowdermilk, Jensen. (2001) Maternity Nursing, Mari A. Wijayarini & Peter I. Anugerah. (2004) (Alih Bahasa), Jakarta: EGC.

Budiman Chandra. (2008) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC. Cunningham, F. Garry. (2005) Obstetri William (vol2). Jakarta: EGC. Dorland. (2002) Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC. Edwin Armawan. “Gambaran Jenis Persalinan Dan Hasil Luaran Bayi pada Grandemultipara.”

2008. Ema Wahyu Ningrum, dkk. “Hasil Luaran Janin pada Ibu Pasca Abortus di Rumah Sakit dr.

Hasan Sadikin Bandung Tahun 2004“. 24 Januari 2008.

<http://rofiqahmad.wordpress.com> diakses tanggal 7 Pebruari 2010 pukul 14.30 WIB.

Hacker & Moore. (2001) Essentials of Obstetrics and Gynecology, Edy Nugroho. (2001) (Alih Bahasa), Jakarta: Hipokrates.

James, D.K. (2001) High Risk Pregnancy .United Kingdom: W.B.Saunders. LKI FK UB. “Banyak Anak: Musibah atau Anugerah? Multipara Ditinjau dari Segi Kesehatan

dan Agama Islam.” 23 Maret 2008. <http://redtea4u.multiply.com/journal/item/57> diakses tanggal 31 Juni 2010 pukul 18.12 WIB. Llewellyn-Jones, Derek. (2001) Fundamentals of Obstetrics and Gynecology, Hadyanto.

(2001) (Alih Bahasa), Jakarta: Hipokrates. Manuaba. (2001) Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta:

EGC. Nisa. “Gambaran Karakteristik Ibu yang Mengalami Abortus di RSUD Pandan Arang Boyolali”.

26 Juli 2009

<http://nisa.wordpress.com> diakses tanggal 31 Mei 2010 pukul 18.07 WIB. Nursalam. (2008) Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan (Edisi 2).

Jakarta: Salemba Medika. Sarwono Prawirohardjo. (2006) Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka-Sarwono

Prawirohardjo. Soekidjo Notoatmodjo. (2005) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sulaiman Sastrawinata. (2004) Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Jakarta: EGC. Varney, Helen. (2007) Varney’s Midwifery (4th ed.), Laily Mahmudah & Gita Trisetyati. (2001)

(Alih Bahasa), Jakarta: EGC. Walsh, Linda V. (2001) Midwifery Community–Based Care During the Childbearing Year.

United States of America: W.B Saunders Company. Widyastuti & Dina, “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Abortus”. (2008). <http://images.arikbliz.multiply.multiplycontent.com/attachment>, diakses tanggal 07 Februari

2010 pukul 21.00 WIB. Yuni Kusmiyati, dkk. (2008) Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitramaya

Page 34: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 97

STUDI TENTANG SANITASI RUMAH PENDERITA TB PARU DI WILAYAH PUSKESMAS KARANGREJO KABUPATEN MAGETAN TAHUN 2009

Mujiyono*, Tiya Rahmawati*

ABSTRAK

Rumah merupakan sarana untuk bakteri berkembang biak dan sarana penyebaran penyakit, oleh karena itu sanitasi rumah perlu dijaga dengan baik. Sanitasi rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menunjang penyebaran penyakit TB Paru. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keadaan sanitasi rumah penderita TB Paru ditinjau dari parameter fisik di wilayah Puskesmas Karangrejo Kabupaten Magetan.

Penelitian ini merupakan penelitian desktriptif. Metode penelitian adalah total populasi yaitu semua rumah penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Karangrejo sebanyak 26 rumah. Analisa data menggunakan metode scoring dan analisa tabel secara proporsional. Hasil penelitian dibagi menjadi dua kategori yaitu memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat.

Berdasarkan hasil pengukuran pencahayaan sebagian besar tidak memenuhi syarat (77%), sinar matahari yang masuk dalam rumah sebagian besar ada (65%), suhu sebagian besar memenuhi syarat (62%), kelembaban semua memenuhi syarat (100%), kepadatan penghuni rumah sebagian besar memenuhi syarat (73%), kecepatan angin sebagian besar memenuhi syarat (54%), ventilasi sebagian besar tidak memenuhi syarat (69%), dan kebersihan lingkungan rumah sebagian besar tidak memenuhi syarat (85%). Berdasarkan hasil penilaian keadaan sanitasi rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo sebagian besar tidak memenuhi syarat (81%). Berdasarkan hasil penilaian sebaiknya masyarakat Karangrejo melakukan perbaikan sanitasi rumah lebih giat untuk mencegah penyebaran penyakit TB Paru Kata Kunci: TB Paru, sanitasi

*= Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kampus Madiun PENDAHULUAN Latar Belakang

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, bakteri aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan terhadap pelunturan warna (dekolarisasi) asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan bakteri tahan asam atau basil tahan asam. Sebagian besar kuman Tuberculosis menyerang paru, tetapi juga dapat menyerang organ lain di dalam tubuh. Secara khas kuman membentuk granuloma, dalam paru menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan (Achmadi, 2005 : 274).

Sampai dengan saat ini penyakit tuberkulosis masih menjadi masalah prioritas yang harus ditangani dengan serius. Karena penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian

Page 35: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 98

nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. Menurut WHO tahun 1999, di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian sekitar 140.000 orang (Depkes RI, 2002 : 2). Penyakit tuberkulosis sebagian besar menyerang kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Selain itu penyakit tuberkulosis erat kaitannya dengan sanitasi rumah dan lingkungan.

Kondisi sanitasi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan penyakit tuberkulosis. Hasil penelitian yang dilakukan di luar negeri menyatakan bahwa masyarakat yang tinggal di perumahan sub standart angka kesakitan penyakit TB Paru delapan kali lebih tinggi. Dan suatu penelitian di Sulawesi Selatan menunjukkan adanya hubungan erat antara penghawaan atau ventilasi dan kepadatan penghuni rumah dengan angka kesakitan penyakit TB Paru (Depkes RI, 1995).

Kondisi sanitasi rumah yang tidak memenuhi syarat yang berkaitan dengan penyebaran penyakit TB Paru antara lain pencahayaan alami yang kurang memenuhi syarat, maka rumah menjadi gelap dan lembab, oleh sebab itu Mycobacterium tuberculosis akan mudah berkembang biak di dalam rumah. Pencahayaan alami yang kurang memenuhi syarat dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain di rumah tersebut ada jendela tetapi tidak pernah dibuka atau tidak ada jendela sama sekali. Rumah yang lembab selain karena pencahayaan alami yang kurang memenuhi syarat juga dipengaruhi oleh ventilasi dan cahaya atau sinar matahari yang masuk dalam rumah. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat akan mengakibatkan sirkulasi udara di dalam rumah tidak lancar dan sinar matahari tidak dapat masuk dalam rumah sehingga rumah menjadi lembab. Sinar matahari sangat penting karena dapat membunuh bakteri penyebab tuberkulosis. Oleh karena itu kondisi sanitasi rumah sangat berperan penting dalam penularan penyakit TB Paru.

Kecamatan Karangrejo Magetan termasuk wilayah pedesaan dengan cakupan rumah sehat/rumah yang sudah memenuhi persyaratan kesehatan sebanyak 3.865 rumah (64,90%) dari jumlah rumah keseluruhan yaitu 5.955 rumah. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa masih banyak rumah di Kecamatan Karangrejo yang belum memenuhi persyaratan kesehatan atau belum memenuhi kriteria rumah sehat yaitu sekitar 2.090 rumah (sebesar 35,09%).

Berdasarkan data P2M (Pemberantasan Penyakit Menular) TB Paru Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan angka kesakitan TB Paru pada tahun 2008 di wilayah Puskesmas Karangrejo adalah tertinggi di seluruh wilayah Kabupaten Magetan yaitu sebanyak 31 penderita dengan BTA positif. Sedangkan menurut data dari Puskesmas Karangrejo pada tahun 2008 terdapat 20 penderita TB Paru dengan BTA positif dan pada tahun 2009 dari bulan Januari sampai dengan April telah diketahui terdapat 6 kasus baru dengan BTA positif.

Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana keadaan sanitasi rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo Kabupaten Magetan tahun 2009?”

Sedangkan tujuan penelitian adalah menilai keadaan sanitasi rumah penderita TB Paru ditinjau dari parameter fisik yaitu: pencahayaan, sinar matahari yang masuk dalam rumah, suhu, kelembaban, kepadatan penghuni rumah, kecepatan angin, ventilasi, dan kebersihan lingkungan rumah.

Page 36: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 99

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah deskriptif untuk memperoleh gambaran keadaan sanitasi rumah penderita TB Paru ditinjau dari parameter fisik. Variabel penelitian adalah penderita dan keadaan sanitasi rumah ditinjau dari parameter fisik yaitu: sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, suhu, kelembaban, kepadatan penghuni rumah, kecepatan angin, ventilasi, kebersihan lingkungan rumah. Populasi penelitian adalah seluruh rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo Kabupaten Magetan sebanyak 26 rumah, dan seluruhnya diteliti (total populasi). Pengolahan dan analisa data dengan cara scoring, untuk memperoleh hasil penelitian keadaan sanitasi rumah penderita TB Paru dengan menggunakan sistem scoring dengan menentukan : 1. Bobot

Diberikan untuk setiap variabel berdasarkan kritikal point yang dianggap berpengaruh terhadap sanitasi rumah, jumlah bobot yang ditetapkan antara 2 – 3: a) Bobot 2, apabila kurang berpengaruh terhadap kesehatan manusia (penyakit TB Paru)

dan sanitasi rumah. b) Bobot 3, apabila sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia (penyakit TB Paru)

dan sanitasi rumah. 2. Nilai

Nilai didapatkan berdasarkan indikator apabila beberapa item dari indikator tersebut berpengaruh maka mendapat nilai 1, 3, 5: a) Nilai 1 apabila kurang berpengaruh terhadap kesehatan manusia (penyakit TB Paru) dan

sanitasi rumah. b) Nilai 3 apabila cukup berpengaruh terhadap kesehatan manusia (penyakit TB Paru) dan

sanitasi rumah. c) Nilai 5 apabila sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia (penyakit TB Paru) dan

sanitasi rumah. 3. Skor

Diperoleh dari hasil penilaian antara bobot dengan nilai. Skor maksimal = ∑ bobot x ∑ nilai tertinggi Skor minimal = ∑ bobot x ∑ nilai terendah

4. Penentuan kategori Memberikan kriteria memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat. Penentuan kategori penilaian memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

X = 100%xmaxS

S

Keterangan : X= Hasil penilaian, S= Skor yang didapat, S max= Skor tertinggi Kategori : Memenuhi syarat= 80–100%, Tidak memenuhi syarat= < 80%

Page 37: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 100

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian 1. Hasil Pengukuran Parameter Fisik Rumah Penderita TB Paru

Tabel 1 : Hasil Pengukuran Parameter Fisik Rumah Penderita TB Paru

di Wilayah Puskesmas Karangrejo Kabupaten Magetan Tahun 2009

No Parameter Fisik Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat

1 Pencahayaan 6 (23%) 20 (77%) 2 Matahari Masuk Dalam Rumah 17 (65% ) 9 (35%) 3 Suhu 16 (62%) 10 (38%) 4 Kelembaban 26 (100%) - 5 Kepadatan Penghuni 19 (73%) 7(27%) 6 Ventilasi 8(31%) 18(69%) 7 Kecepatan angin 14(54%) 12(46%) 8 Kebersihan dalam rumah 4(15%) 22(85%)

2. Gambaran Keadaan Sanitasi Rumah Penderita TB Paru Ditinjau dari Parameter Fisik

Tabel 2. Hasil Penilaian Keadaan Sanitasi Rumah Penderita TB Paru Ditinjau dari

Parameter Fisik di Wilayah Puskesmas Karangrejo Kabupaten Magetan Tahun 2009

No Parameter Fisik Sanitasi Rumah Penderita TB Paru Hasil Persentase

1. Memenuhi Syarat 5 19%

2. Tidak Memenuhi Syarat 21 81%

Jumlah 26 100%

Pembahasan 1. Hasil Pengukuran Parameter Fisik Rumah Penderita TB Paru di Wilayah Puskesmas

Karangrejo Kabupaten Magetan Tahun 2009 a. Pencahayaan di rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo

sebagian besar tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 20 rumah (77%), karena berdasarkan hasil pengukuran pencahayaan di rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 yaitu > 60 lux. Keadaan tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo yang masih banyak terdapat kebun yang luas dan sebagian besar kebun ditanami dengan pohon-pohon yang besar, sehingga cahaya yang masuk ke dalam rumah terhalang oleh pohon-pohon tersebut. Pencahayaan yang dikategorikan baik adalah keadaan di dalam rumah pada waktu pagi terlihat terang walaupun lampu tidak dinyalakan. Cahaya yang cukup untuk penerangan ruang di dalam rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia. Pencahayan atau penerangan yang baik untuk kesehatan adalah

Page 38: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 101

pencahayaan alami. Pencahayaan alami sangat ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Pencahayaan yang baik adalah cahaya yang tidak menyilaukan. Pencahayaan alami sangat penting bagi kesehatan karena dapat mencegah perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit, khususnya TB Paru.

b. Sinar Matahari yang Masuk Dalam Rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo adalah: ada sinar matahari yang masuk dalam rumah yaitu sebanyak 17 rumah (65%) akan tetapi sinar matahari yang masuk dalam rumah kurang maksimal. Karena rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo sebagian besar tidak ada jendela hanya ada pintu-pintu dan setiap harinya hanya satu pintu yang dibuka yaitu pintu utama. Di rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo sebagian besar sudah terdapat genting kaca sebagai cara lain agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah, akan tetapi jumlah genting kaca yang dipasang tidak sesuai dengan luas rumah sehingga sinar matahari yang masuk rumah tidak maksimal serta banyaknya pohon-pohon di sekitar rumah juga merupakan faktor penghalang masuknya sinar matahari dalam rumah. Untuk mendapatkan sinar matahari yang masuk dalam rumah yang cukup maka perlu memperhatikan letak dan lebar jendela. Sinar matahari yang masuk dalam rumah sangat penting karena sinar matahari berguna selain untuk penerangan juga dapat mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman penyebab penyakit tertentu seperti TBC, Influenza, penyakit mata dan lain-lain (Djasio Sanropie, 1989 : 11). Sinar matahari dapat membunuh kuman penyebab penyakit TB Paru, hal tersebut terbukti dari kurangnya sinar matahari yang masuk didalam rumah berisiko 2,5 kali terkena TB paru-paru dibanding rumah yang mendapat sinar matahari cukup (Achmadi, 2005 : 286).

c. Suhu rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo sebagian besar memenuhi syarat yaitu 16 rumah (62%), karena berdasarkan hasil pengukuran suhu di rumah penderita TB Paru sebagian besar sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/MENKES/SK/VI/1999 yaitu 18oC – 30oC sehingga kondisi udara terasa nyaman dan segar. Suhu udara di rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo terasa nyaman dan segar, karena lingkungan rumah banyak pohon-pohon besar dan pada waktu diadakan pengukuran keadaan banyak angin (angin cukup besar atau kencang), sehingga apabila pintu rumah dibuka maka angin akan banyak masuk ke dalam rumah. Suhu udara yang nyaman dan segar atau suhu udara yang sesuai dengan Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 adalah salah satu syarat rumah sehat. Rumah sehat merupakan faktor pendukung kesehatan dan faktor pencegah terjadinya penyakit, khususnya penyakit TB Paru.

d. Kelembaban di rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo sebagian besar memenuhi syarat yaitu sebanyak 26 rumah (100%), karena berdasarkan hasil pengukuran kelembaban di rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo seluruhnya sesuai dengan Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 yaitu 40% - 70%. Kelembaban di dalam sebaiknya dijaga agar rumah tetap dalam kelembaban yang optimum atau kelembaban yang memenuhi syarat, karena kelembaban merupakan media yang baik untuk bakteri penyebab penyakit

Page 39: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 102

berkembangbiak. Kuman tuberculosis cepat berkembang dalam keadaan lembab dan bertahan hidup di tempat yang gelap dan lembab (Achamdi, 2005 : 272).

e. Kepadatan penghuni rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo sebagian besar memenuhi syarat yaitu sebanyak 19 rumah (73%), karena luas ruangan atau rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo sesuai dengan jumlah penghuni rumah. Menurut Kepmenkes RI No.29/MENKES/SK/VII/1999 kepadatan penghuni rumah yang sesuai atau memenuhi syarat adalah 9 m2/jiwa. Rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo sebagian besar luas-luas dan dihuni oleh kurang lebih 4 sampai 5 anggota keluarga setiap rumah. Dengan kepadatan penghuni rumah yang memenuhi syarat maka kemungkinan terjadinya penularan penyakit khususnya TB paru kecil. Penyakit TB paru dapat menular melalui udara oleh karena itu kepadatan penghuni rumah sangat berperan penting dalam penularan penyakit TB paru karena semakin padat penghuni maka penyakit TB Paru dapat menular semakin cepat dan mudah (Achamdi, 2005 : 285).

f. Kecepatan angin di rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo sebagian besar memenuhi syarat yaitu 14 rumah (54%), karena berdasarkan hasil pengukuran kecepatan angin di rumah penderita TB paru di wilayah Pukesmas Karangrejo sebagian besar sesuai dengan Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/ VII/1999 yaitu 0,05 – 0,20 m/s atau 5 – 20 cm/s. Kecepatan angin diperlukan untuk menjaga sirkulasi udara di dalam rumah tetap ada agar keadaan di dalam rumah tetap segar dan keseimbangannya O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Keadaan sirkulasi udara yan baik di dalam rumah dapat membebaskan udara di rumah dari bakteri-bakteri penyabab penyakit. Apabila tidak ada aliran udara, orang yang tinggal bersama penderita TB Paru tuberculosis, jika penderita batuk-batuk dapat menularkan atau dapat menyebarkan bakeri tuberculosis ke udara. Orang yang menghirup udara yang mengandung bakteri tersebut juga dapat terkena TB paru.

g. Ventilasi di rumah penderita TB paru di wilayah Pukesmas Karangrejo sebagian besar tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 18 rumah (69%), karena sebagian besar rumah penderita TB paru di wilayah Pukesmas Karangrejo memiliki ventilasi yang luasnya kurang dari syarat minimal yang sesuai dengan Kepmenkes RI No.829/MENKES/SK/VII/1999 yaitu 10% dari luas rumah. Ini terkait dengan kebutuhan udara bagi penghuninya karena dengan ventilasi kurang, sirkulasi udara terganggu dan udara dalam rumah menjadi pengap dan tidak nyaman, sehingga dapat menimbulkan penyakit TB paru dan penyakit lain. Selain itu ventilasi sangat penting, karena merupakan salah satu jalan masuknya sinar matahari dalam rumah, sehingga bakteri penyebab penyakit TB paru dapat mati (Achmadi, 2005 : 275).

h. Kebersihan Lingkungan Rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo sebagian besar tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 22 rumah (85%), karena sebagian besar rumah penderita TB Paru di wilayah Puskesmas Karangrejo memiliki lantai yang kedap air, kebersihan di dalam rumah banyak debu tetapi teratur, halaman rumah agak kotor dan kurang teratur, masih ditemukan beberapa binatang pengganggu di dalam rumah, air kotor di buang ke belakang rumah tetapi tidak dibiarkan menggenang, sampah dikumpulkan di belakang rumah kemudian ditimbun,

Page 40: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 103

keadaan dinding kedap air dan tidak kuat, kamar mandi dan WC ada tetapi di luar rumah dan kondisinya kotor serta berbau, tidak mempunyai langit-langit, dapur lantai dari tanah dan kotor, serta terdapat kandang tetapi jarang dibersihkan. Kebersihan lingkungan sangat perlu dijaga karena lingkungan rumah yang bersih merupakan syarat rumah sehat sehingga akan mewujudkan kehidupan yang sehat, bebas dari penyakit khususnya TB Paru. Rumah adalah sarana perberkembangbiakan bakteri dan penyebaran penyakit, maka kebersihan lingkungan rumah harus dijaga.

2. Gambaran Keadaan Sanitasi Rumah Penderita TB Paru Ditinjau dari Parameter Fisik di Wilayah Puskesmas Karangrejo Kabupaten Magetan Tahun 2009 Berdasarkan Tabel 2 keadaan sanitasi rumah penderita TB Paru ditinjau dari parameter fisik di wilayah Puskesmas Karangrejo sebagian besar tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 21 rumah (81%). Sebagian besar rumah penderita TB Paru pada pagi hari dan siang hari kelihatan gelap dan remang-remang karena tidak ada jendela, jendela jarang dibuka, ventilasi tidak memenuhi syarat dan tidak ada genteng kaca sehingga sinar matahari tidak dapat masuk rumah secara maksimal. Karena ventilasi tidak memenuhi syarat maka selain sinar matahari tidak dapat masuk secara maksimal sirkulasi udara di dalam rumah juga tidak lancar. Kebersihan lingkungan rumah penderita TB Paru sebagian besar tidak memenuhi syarat. Keadaan sanitasi rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menunjang penyebaran penyakit TB Paru. Oleh karena itu, sanitasi rumah perlu ditingkatkan guna mencegah penyebaran penyakit TB Paru dan dapat membantu proses penyembuhan penderita TB Paru. Hal tersebut di atas bertujuan agar setiap anggota masyarakat dapat mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan penelitian adalah: Pertama, hasil pengukuran parameter fisik di wilayah Puskesmas Karangrejo Kabupaten Magetan dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Pencahayaan sebagian besar tidak memenuhi syarat sebesar 77%, b) Sinar matahari yang masuk dalam rumah sebagian besar ada sebesar 65%, c) Suhu sebagian besar memenuhi syarat sebesar 62%, d) Kelembaban semuanya memenuhi syarat sebesar 100%, e) Kepadatan penguhi rumah sebagian besar memenuhi syarat sebesar 73%, f) Kecepatan angin sebagian besar memenuhi syarat sebesar 54%, g) Ventilasi sebagian besar tidak memenuhi syarat sebesar 69%, h) Kebersihan lingkungan rumah sebagian besar tidak memenuhi syarat sebesar 85%. Kedua, sanitasi rumah penderita TB Paru ditinjau dari parameter fisik di wilayah Puskesmas Karangrejo Kabupaten Magetan sebagian besar tidak memenuhi syarat (81%).

Saran yang diajukan antara lain: 1. Untuk Penderita TB Paru di Wilayah Puskesmas Karangrejo

a. Membuka jendela setiap pagi hari agar sirkulasi udara di dalam rumah lancar dan menambah genteng kaca agar sinar matahari dapat masuk, sehingga ruangan tidak lembab dengan sendiri kuman Tuberculosis bisa mati.

b. Sebaiknya penderita TB Paru perlu lebih memperhatikan keadaan sanitasi rumah misalnya membersihkan rumah 2 kali sehari (menyapu rumah, mengepel, menata rumah, dll), memperbaiki rumah, mengadakan kerja bakti dll, serta untuk selalu berperilaku hidup bersih dan sehat.

Page 41: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 104

2. Untuk Puskesmas Karangrejo Kabupaten Magetan a. Petugas perlu melaksanakan pengawasan dan pemantaun lingkungan pemukiman

khususnya bagi penderita TB Paru dan masyarakat pada umumnya agar penyakit yang berbasis lingkungan khususnya pada penyakit TB Paru tidak menjadi masalah utama.

b. Petugas perlu memberikan penyuluhan kepada penderita TB Paru dan masyarakat tentang bahaya penyakit TB Paru serta pengetahuan-pengetahuan lain tentang penyakit TB Paru agar penderita maupun masyarakat dapat lebih berhati-hati.

c. Petugas perlu memberikan penyuluhan kepada penderita TB Paru dan masyarakat agar berperilaku dan membiasakan diri untuk selalu hidup bersih dan sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Umar Fahmi, 2005, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta, Buku Kompas

Akademi Kesehatan Lingkungan, 2005, Pedoman Penulisan Karya Tulis, Akademi Kesehatan Lingkungan Madiun

Anonymous, 1992, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan ke 7; Jakarta, Depkes RI

Anonymous, 1992, Undang-Undang RI Nomor : 23 TH 1992 tentang Kesehatan, Jakarta, DepKes RI

Anonymous, 2000, Panduan Pengawas Menelan Obat TBC, Jakarta, Depkes RI Anonymous, 2000, Tiga Belas Keadaan yang Perlu Dikenali dan Diatasi Dalam Keluarga,

Jakarta, DepKes RI Anonymous, 2005, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan ke 9,

Jakarta, DepKes RI Anonymous, 2008, Kecamatan Karangrejo Dalam Angka 2008, Magetan, Kecamatan

Karengrejo Anonymous, Penanganan ISPA dan Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang,

WHO, EGC Anonymous, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang

Persyaratan Kesehatan Perumahan

Anonymous, Rumah Sehat Dalam Lingkungan Sehat, Depkes RI Anonymous, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman DPU Cipta Karya, Rumah Sehat, Magetan Entjang, Indah, 2000, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung, PT. Cipta Aditya Bakti Heru S, Adi, 1995, Kader Kesehatan Masyarakat Kedokteran, WHO Http://Jarumsuntik.com/category/keperawatan/asuhan keperawatan dengan TB Paru, 2009,

Asuhan Keperawatan Dengan TB Paru Http://Masdanang.Co.cc,2009, TB Paru Notoatmodjo, Soekidjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta Sanropie Djasio, dkk, 1989, Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Jakarta,

DepKes RI

Syahrurachman, Agus dkk, 1994, Mikrobiologi Kedokteran, Jakarta, Bina Rupa Aksara.

Page 42: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 105

HUBUNGAN ANTARA PARITAS DENGAN KEJADIAN KEHAMILAN POST TERM Agung Suharto*, Evi Nindyasar**, Rahayu Sumaningsih*

ABSTRAK

Kejadian kehamilan post term kira-kira 10% (3,5-14%). Paritas ibu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian kehamilan post term. Data rekam medik pada tahun 2009 menunjukkan 222 kejadian kehamilan post term dari 790 persalinan (28,1%). Dari tingginya kejadian kehamilan post term dan faktor yang mempengaruhinya serta banyaknya komplikasi pada kehamilan post term baik medis maupun obstetrik, peneliti tertarik meneliti hubungan antara paritas dengan kejadian kehamilan post term di RSUD dr. Harjono Ponorogo.

Populasi penelitian ex post facto ini adalah seluruh ibu bersalin mulai tanggal 1 Januari-31 Desember 2009 berjumlah 790 orang, semua anggota populasi dijadikan subyek penelitian (total populasi). Variabel independent adalah paritas ibu, variabel dependent adalah kejadian kehamilan post term. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah Lembar Observasi, selanjutnya dianalisa dengan uji statistik Chi-Square dengan bantuan komputer.

Hasil uji X2 lebih besar dari X2 tabel yaitu 17,882 dan tingkat kesalahan 0,00 (α=0,05), maka Ho ditolak dan H1 diterima. Dari hasil analisis menggunakan Chi-Square disimpulkan ada hubungan antara paritas dengan kejadian kehamilan post term. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara paritas dengan kejadian kehamilan post term. Sehingga disarankan kepada calon ibu untuk mencatat tanggal saat dia haid setiap bulan agar mengetahui secara dini hari pertama haid terakhir. Ibu hamil diharapkan rutin melakukan pemeriksaan kehamilan sehingga terhindar dari komplikasi yang tidak diharapkan.

Kata Kunci : paritas, kehamilan post term

* = Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan ** = Alumnus Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan

PENDAHULUAN

Latar Belakang Kehamilan yang melewati 294 hari atau lebih dari 42 minggu disebut sebagai post term.

Angka kejadian kehamilan post term kira-kira 10%, bervariasi antara 3,5-14%. Paritas ibu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian kehamilan post term. Berdasarkan rekapitulasi rekam medik pada tahun 2009 didapatkan 222 kejadian kehamilan post term dari 790 persalinan (28,1%). Dari tingginya angka kejadian kehamilan post term dan faktor yang mempengaruhinya serta banyaknya komplikasi pada kehamilan post term baik medis maupun obstetrik, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara paritas dengan kejadian kehamilan post term di RSUD dr. Harjono Ponorogo.

Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Rumusan masalah: “Adakah hubungan antara paritas dengan kejadian kehamilan post

term di RSUD dr. Harjono S Ponorogo?” Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan antara paritas ibu dengan kejadian

kehamilan post term di RSUD dr. Harjono S Ponorogo.

Page 43: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 106

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ex post facto ini mengambil lokasi di RSUD dr. Harjono S Ponorogo, selama Maret sampai Juli tahun 2010. Populasi penelitian adalah data seluruh ibu bersalin mulai tanggal 1 Januari-31 Desember 2009 sejumlah 790 orang, dan semua diteliti (total populasi). Variabel bebas penelitian paritas ibu, dan variabel terikat adalah kejadian kehamilan post term. Paritas ibu adalah jumlah berapa kali wanita melahirkan, dengan kategori primipara (pernah melahirkan anak pertama), multipara(pernah melahirkan anak 2-4) dan grandemultipara (pernah melahirkan anak ≥5). Kehamilan post term adalah usia kehamilan ≥42 minggu dari HPHT, dengan kategori post term (usia kehamilan ≥42 minggu) dan tidak post term (usia kehamilan <42 minggu). Pengumpulan data menggunakan lembar observasi kemudian melakukan editing, coding dan tabulating. Analisa data menggunakan uji Chi-Square.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian Dari 790 persalinan terdapat sejumlah 222 (28,10%) persalinan dengan kehamilan post

term sedangkan sejumlah 568 (71,90%) merupakan persalinan tidak post term. Ibu yang mengalami kehamilan post term dengan paritas primipara yaitu sebanyak 125, sedangkan paritas multipara sebanyak 93 dan paritas grandemultipara sebanyak 4. Ibu yang tidak post term dengan paritas primipara sebanyak 234, sedangkan paritas multipara sebanyak 299 dan paritas grandemultipara sebanyak 35.

Tabel 1. Distribusi Kejadian Kehamilan Post Term Menurut Paritas di RSUD dr. Harjono S Ponorogo tahun 2009

Paritas Post Term Tidak Post Term

Primipara 125 (34,8%) 234 (65,2%) 359 (100%) Multipara 93 (23,7%) 299 (76,3%) 392 (100%) Grandemultipara 4 (10,3%) 35 (89,7%) 39 (100%)

Total 222 (28,1%) 568 (71,9%) 790 (100%)

Hasil perhitungan X2 =17,882 dan X2 tabel =5,991 dengan tingkat kesalahan 0,00 (α=0,05). Karena X2 hitung > X2 tabel, maka Ho ditolak, artinya ada hubungan antara paritas dengan kejadian kehamilan post term. Perhitungan komputer diketahui nilai koefisien kontingensi yaitu 0,149. Interpretasi nilai koefisien kontingensi menurut Sugiyono (2007:231), tingkat hubungan antara 0,000 sampai dengan 0,199 tingkat hubungannya adalah sangat rendah. Sehingga pada penelitian ini dapat disimpulkan ada hubungan antara paritas dengan kejadian kehamilan post term dengan tingkat hubungan sangat rendah.

Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang mengalami kehamilan post term sebanyak

28,10% dari seluruh jumlah persalinan sedangkan sejumlah 71,90% merupakan persalinan tidak post term. Dalam hal ini mayoritas ibu bersalin dengan usia kehamilan kurang dari 42

Page 44: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 107

minggu. Sesuai dengan pendapat Wiknjosastro (2007:317-318), yaitu kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dari hari pertama haid terakhir.

Ibu dengan kehamilan post term paritas primipara sebanyak 125, paritas multipara sebanyak 93 dan paritas grandemultipara sebanyak 4. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mayoritas ibu bersalin dengan kehamilan post term adalah paritas primipara. Hal ini sesuai dengan pendapat Sastrawinata (2004:12) bahwa kehamilan post term lebih sering terjadi pada primigravida muda dan primigravida tua atau pada grandemultiparitas. Menurut Supinah (2009), dari faktor paritas semua ibu hamil baik primigravida/multigravida beresiko post term.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara paritas dengan kejadian kehamilan post term, dengan nilai koefisien kontingensi 0,149. Tingkat hubungan antara paritas dengan kejadian kehamilan post term dengan tingkat hubungan sangat rendah. Hal ini bisa disebabkan ada faktor lain yang mempengaruhi kejadian kehamilan post term.

Menjelang persalinan, ibu hamil aterm mengalami penurunan hormon progesteron, peningkatan oksitosin, dan reseptor oksitosin sehingga otot rahim semakin sensitif terhadap rangsangan. Pada kehamilan post term terjadi sebaliknya, otot rahim tidak sensitif terhadap rangsangan, karena ketegangan psikologis atau kelainan pada rahim. Seorang wanita yang telah mengalami kehamilan sebanyak 5 kali atau lebih, lebih mungkin mengalami kontraksi yang lemah pada saat persalinan atau karena otot rahimnya lemah (Manuaba, 1998:224).

Pada usia kehamilan 40 minggu, wanita mengalami stressor tinggi yang mempengaruhi penurunan hormon prostaglandin sehingga menyebabkan ketidakmatangan serviks dan tidak timbul kontraksi, menyebabkan kehamilan post term. Kematangan serviks berhubungan dengan kesiapan jalan lahir setelah timbul tanda persalinan. Serviks multipara lebih cepat matang dibanding nulipara, dan pemahaman tentang paritas penting dalam menentukan saat yang tepat untuk melakukan pemeriksaan serviks kehamilan post term (Varney, 2006:660).

Pada ibu dengan kehamilan pertama sebanyak 95%, otot polos miometriumnya dibuat tidak responsif terhadap rangsangan alami. Hal ini menyebabkan tidak tejadinya kontraksi untuk mulainya persalinan sehingga persalinan menjadi mundur, yang disebut dengan kehamilan post term. Pada kehamilan post term terjadi penundaan peningkatan reseptor oksitosin di miometrium (Cunningham, 2005:289-290).

SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: ibu bersalin di RSUD dr. Harjono S Ponorogo yang post term yaitu 28,10% dari seluruh jumlah persalinan sedangkan sejumlah 71,90% merupakan persalinan tidak post term, mayoritas ibu bersalin dengan kehamilan post term di RSUD dr. Harjono S Ponorogo adalah paritas primipara dan ada hubungan tingkat sangat rendah antara paritas ibu dengan kejadian kehamilan post term.

Disarankan perlunya peran aktif dari tenaga kesehatan dalam memberikan asuhan kebidanan ibu hamil, utamanya tentang ANC rutin.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Landasan Teori Serotinus,http://www.bayubiru.blogspot.com (diakses 16 Maret 2010).

Page 45: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 108

. 2010. Karakteristik Ibu Bersalin dengan Kehamilan Lewat Waktu (post date) di Puskesmas Sukadamai Kecamatan Natar Lampung Selatan pada tahun 2008. http://askep-askeb.cz.cc/2010/02/karakteristik-ibu-bersalin-dengan_19.html#ixz z0hkHJPsGP (diakses 16 Maret 2010).

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

BKKBN, 2010. Capaian MDGs Terkendala Kasus Kematian Ibu, http://www.prov.bkkbn.go.id (diakses 31 Maret 2010).

Budiarto, Eko. 2002. Biostatistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:EGC. Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif Edisi 1. Jakarta:Prenanda Media. Cunningham, F. Gary. 2005. Obstetri Williams Edisi 21. Jakarta:EGC. Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta:Raja

Grafindo Persada. Husnoto. 2010. Asuhan Kebidanan pada Kehamilan Lewat Waktu.

http://situskebidanan.blogspot.com/2010/02/asuhan-kebidanan-pada-kehamilan-lewat.html (diakses 23 Februari 2010).

Maimunah, Siti. 2005. Kamus Istilah Kebidanan. Jakarta:EGC. Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga

Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta:EGC. Manuaba, Ida Ayu Chandranita. 2008. Gawat-Darurat Obstetri-Ginekologi dan Obstetri-

Ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan. Jakarta:EGC. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:Rineka Cipta. Nursalam dan S. Pariani. 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta:

Rineka Cipta. . 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 1.

Jakarta:Salemba Medika. Saifuddin, Abdul Bari. 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Sastrawinata S,dkk. 2004. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC. Sikhan. 2010. Non Stress Test (Fetal Activity Determination), http://askep.blogspot.com

(diakses tanggal 17 Maret 2010). Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung:CV. Alfabeta. Supinah. 2009. Gambaran Faktor Resiko Penyebab Post Date Pasien yang Dirujuk ke RSD

Nganjuk Tahun 2007. Karya Tulis Ilmiah. Magetan: Prodi Kebidanan Magetan Poltekkes Depkes Surabaya.

Susanto, Cornelius Eko. 2010. Capaian MDGs Terkendala Kasus Kematian Ibu, http://www.mediaindonesia.com (diakses 23 Februari 2010).

Tiran, Denise. 2005. Kamus Saku Bidan Edisi 10. Jakarta:EGC. Varney, Helen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Volume 1 Edisi 4. Jakarta:EGC. Wijono, Wibisono. 2006. Standar Pelayanan Kebidanan. Jakarta: Pengurus Pusat IBI. Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Yenni. 2008. Kehamilan lewat waktu jangan Abaikan!, http://www.tanyadokteranda.com

(diakses 16 Maret 2010).

Page 46: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 109

STUDI TENTANG SANITASI RUMAH PENDERITA ISPA DI DESA PAKIS BARU KECAMATAN NAWANGAN KABUPATEN PACITAN

Mujiyono*, Farida Ririn Anggraini*

ABSTRAK

Rumah sehat adalah salah satu sarana mencapai derajat kesehatan yang optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh tersedianya sarana sanitasi perumahan. Gangguan kondisi rumah dan lingkungan yang kurang memenuhi syarat kesehatan / fisik memungkinkan menyebabkan penyakit ISPA. Seperti halnya yang terjadi di Desa Pakis Baru Kec.Nawangan Kab.Pacitan Tahun 2010, berdasarkan data dari puskesmas diketahui bahwa penyakit ISPA berada diurutan petama. Oleh karena itu, perlu diketahui kondisi sanitasi rumah penderita ISPA di Desa Pakis Baru Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan.

Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif. Metode penelitian deskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 52 responden di Desa Pakis Baru Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan didapatkan hasil bahwa sanitasi rumah penderita ISPA masih kurang. Lubang asap dapur kurang (50%), hunian kamar tidur kurang (55,9%), ventilasi baik (59,6%), suhu memenuhi syarat (100%), sedangkan kelembaban tidak memenuhi syarat (100%). Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan para penderita ISPA dan keluarganya tentang sanitasi rumah yang baik, sehingga kondisi rumah yang baik bagi penderita ISPA kurang diperhatikan. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan oleh kader-kader kesehatan mengenai penyakit ISPA dan kondisi rumah yang baik bagi penderita ISPA.

Kata kunci : Sanitasi Rumah, Penderita ISPA

*=Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Surabaya

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah Rumah sehat adalah salah satu sarana mencapai derajat kesehatan yang optimum.

Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh tersedianya sarana sanitasi perumahan. Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik dimana orang menggunakannya untuk tempat tinggal berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990).

Persyaratan rumah sehat yaitu memenuhi kebutuhan fisiologis (cahaya, ventilasi, gangguan suara, dan cukup tempat bermain anak), memenuhi kebutuhan psikologis (aman dan nyaman bagi penghuni, ruang duduk dapat dipakai sekaligus sebagai ruang makan keluarga, dan sebagainya), mencegah penularan penyakit (penyediaan air, bebas kehidupan serangga dan tikus, pembuangan sampah, pembuangan air limbah, pembuangan tinja, dan bebas pencemaran makanan dan minuman) dan mencegah kecelakaan (Depkes RI, 1989).

Page 47: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 110

Gangguan kondisi rumah dan lingkungan yang kurang memenuhi syarat kesehatan/ fisik memungkinkan menyebabkan ISPA. Mengingat perumahan digunakan sebagai tempat untuk berlindung, bernaung, agar penghuninya merasakan ketenangan, kenyamanan serta dapat untuk menghindar dari gangguan terhadap penderita ISPA yang tentunya mengandung kuman. Lingkungan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan apabila kesehatan lingkungan yang kurang baik akan menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi serta penyebaran sumber penderita-penderita menular sangat luas.

Kualitas udara dipengaruhi oleh bahan polutan di udara. Polutan di dalam rumah kadarnya berbeda dengan bahan polutan di luar rumah. Peningkatan bahan polutan di dalam ruangan dapat berasal dari sumber polutan di dalam ruangan seperti asap rokok, asap dapur, obat nyamuk bakar, pada waktu batuk dan bersin tidak menutup mulut, maka akan mudah sekali menularkan penyakit tersebut. (Mukono, 1997). Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama.

Bagi masyarakat desa ada dua masalah yang timbul dari perumahan sehat, pertama adalah rendahnya pendidikan dan pengetahuan serta ketrampilan masyarakat desa tentang rumah sehat, baik konstruksi rumah, tata ruang, agar rumah tidak mudah menjadi sarang tikus, serangga, dan lain-lain. Masalah kedua adalah adat istiadat dan sosial budaya masyarakat desayang masih kuat sehingga tidak jarang rumah yang dibuat kurang memenuhi syarat kesehatan.( Suharmadi, 1985 ).

ISPA tahun 2009 di Desa Pakis Baru berada di urutan pertama dari 12 penyakit berbasis lingkungan dengan 53 penderita. Urutan penderita terbanyak menderita penyakit berbasis lingkungan di Desa Pakis Baru Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan: ISPA, typhus, diare, TBC, malaria, hepatitis, kulit, mata, DHF, cacing, polio, dan filariasis. Di Puskesmas Pakis Baru sendiri tidak ada data sanitasi rumah yang terutama mencakup ventilasi, kepadatan hunian, dan lubang asap dapur, selain itu belum pernah dilakukan penelitian.

Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang, masalah dapat dirumuskan ”Bagaimana sanitasi rumah

penderita ISPA di Desa Pakis Baru Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan?” Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi masalah lingkungan, 2) menilai fasilitas sanitasi.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan obyek sanitasi rumah penderita ISPA di Desa Pakis Baru. Penilaian perilaku adalah: Jawaban “a” berbobot 3, “b” berbobot 2, dan “c” berbobot 1. Penilaian terhadap identifikasi masalah lingkungan adalah:

R = Nilai yang diperoleh X 100% Nilai maksimal

Kriteria penilaian: Baik (skor yang 75%), Cukup (skor 50-74%), dan Kurang (skor < 50%)

Variabel penelitian ini adalah ventilasi, lubang asap dapur, bahan bakar yang digunakan,

kepadatan penghuni, suhu, kelembaban, sarana sanitasi dasar, kandang, dan pekarangan.

Page 48: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 111

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1. Masalah Lingkungan

Tabel 1. Masalah Lingkungan Rumah Penderita ISPA di Desa Pakis Baru Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan Tahun 2010

No. Variabel ∑ Hasil Survey

Baik % Cukup % Kurang %

1. Luas lubang ventilasi 52 39 75,0% 13 25,0% 0 0 2. Ventilasi berfungsi baik 31 59,6 % 19 36,6 % 2 3,8 % 3. Lubang asap dapur 12 23,1 % 14 26,9 % 26 50,0 % 4. Bahan Bakar 26 50,0 % 3 5,7 % 23 44,3 % 5. Luas rumah per jiwa dan

kepadatan hunian rumah 30 57,6 % 22 42,4 % 0 0

6. Luas kamar tidur 0 0 52 100 % 0 0 7. Jumlah penghuni kamar tidur 7 13,4 % 16 30,7 % 29 55,9 %

Tabel 2. Fasilitas Sanitasi Rumah Penderita ISPA

di Desa Pakis Baru Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan Tahun 2010

Variabel Hasil Survei

M % TM %

A. Sarana Sanitasi Dasar

1. Air bersih

a. Sumber air 52 100% - -

b. Jumlah / Kuantitas 52 100% - -

c. Pengolahan 52 100% - -

2. Pembuangan sampah

a. Pengelolaan sampah 39 75% 13 25%

b. Tempat sampah 11 21,1% 41 78,9%

3. Pembuangan kotoran manusia

a. Pengelolaan pembuangan/ jamban 29 55,8% 23 42,2%

b. Syarat jamban 20 38,4% 32 61,6%

4. Sarana Pembuangan air limbah (SPAL)

a. Aliran pembuangan 7 13,4% 45 86,6%

B. Kandang

a. Letak kandang 41 78,9% 11 21,1%

C. Pekarangan

a. Dimanfaatkan 17 32,7% 35 67,3%

b. Keadaan pekarangan 48 92,3% 4 7,7%

Page 49: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 112

Pembahasan SARANA SANITASI RUMAH a. Luas ventilasi rumah penderita ISPA, 39 (75%) memenuhi syarat yang berarti terdapat

pertukaran udara dalam ruangan, sesuai dengan Kepmenkes RI No. 829/ MenKes/ SK/ VII/ 1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan yaitu luas ventilasi alamiah atau permanen minimal 10% dari luas lantai dan berfungsi dengan baik. Pada penilaian ventilasi secara alami sebagian besar kurang memenuhi syarat. Menurut Djasio Sanropie, udara segar diperlukan untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai, menjaga temperatur, dan kelembaban udara di ruangan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar ventilasi yang ada tidak cross ventilation, luasnya < 10% dari luas lantai serta keberadaannya tidak dapat berfungsi dengan baik. Hal tersebut dikarenakan rumah di daerah Pakis Baru sebagian besar terhalang oleh pepohonan dan tebing sehingga meskipun mempunyai ventilasi tidak dapat berfungsi dengan baik dan keadaan ventilasi kotor/ berdebu. Padahal fungsi dari ventilasi yaitu sebagai sirkulasi udara sehingga udara dalam ruangan menjadi segar dan tidak pengap. Jika udara dalam ruangan dalam keadaani kotor dan pengap maka dapat mengakibatkan terserang penyakit saluran pernafasan seperti ISPA dan TBC.

b. Lubang asap dapur rumah penderita ISPA 26 (50%) yang tidak tersedia. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat di daerah tersebut akan pentingnya lubang asap dapur yang memenuhi syarat. Dimana fungsi dari lubang asap sapur tersebut agar asap dari aktifitas memasak dapat keluar dengan segera sehingga tidak mengganggu pernafasan baik bagi yang memasak maupun anggota keluarga lainnya, khususnya bagi bayi dan penderita ISPA dan TBC. Selain itu dapat memberikan rasa nyaman bagi pengguna dapur dikarenakan ruangan tidak pengab.

c. Bahan Bakar Memasak rumah penderita ISPA 26 (50%) adalah gas, 3 (5,7%) adalah minyak tanah, dan 23 (44,3%) adalah arang atau kayu. Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang takut menggunakan gas dan sulitnya mendapatkan minyak tanah. Selain itu, di Desa Pakis Baru tidak sulit untuk mendapatkan kayu bakar. Akan tetapi kayu bakar dapat menyebabkan timbulnya asap sehingga dapat dengan mudah terserang ISPA.

d. Luas rumah per jiwa dan kepadatan hunian rumah penderita ISPA 30 (57,6%) tidak padat penghuni dan 22 (42,4%) cukup dengan luas rumah 5–10 m² per jiwa. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa kepadatan hunian di wilayah tersebut tidak padat penghuni. Hal tersebut berdasarkan jumlah KK dan jumlah anggota keluarga yang tinggal di dalam rumah tersebut dibandingkan dengan jumlah kamar dan luas rumah. Hampir semua responden rumahnya dalam keadaan tidak padat hunian karena sebagian besar rumah di daerah tersebut sangat luas. Menurut Permenkes RI No. 829/ MenKes/ SK/ VII/ 1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, Luas rumah dibagi jumlah penghuni, bila luas seluruh rumah termasuk kamar mandi dan jamban dibagi jumlah penghuni lebih besar atau sama dengan 10 m² per jiwa maka tidak padat penghuni dan memenuhi syarat. Keadaan rumah yang padat hunian akan mengakibatkan keadaan rumah menjadi tidak nyaman dan penularan penyakit menular lebih mudah terjadi.

Page 50: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 113

e. Luas Kamar Tidur rumah penderita ISPA adalah 52 (100%) cukup dengan luas 4–8 m². Menurut Kepmenkes RI No. 829 /MenKes/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas kamar tidur minimal 8 m². Luas kamar di Desa Pakis Baru terbilang luas, di dalam kamar tak ada barang lain selain lemari baju sehingga kamar tidak pengap.

f. Kepadatan Hunian Kamar Tidur rumah penderita ISPA adalah 29 (55,9%) digunakan 2 orang dan anak umur >2 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan Kepmenkes No. 829/ MenKes/ SK/ VII/ 1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan yaitu luas ruang tidur minimal 8 m² dan tidak dianjurkan digunakan 2 orang dan anak umur > 2 tahun dalam satu kamar, kecuali anak dibawah umur. Hal ini disebabkan anak-anak yang tidak mau tidur sendiri, keterbatasan ruang tidur, dan anak yang ikut tinggal bersama nenek kakeknya karena ditinggal orang tuanya bekerja diluar kota. Padahal dengan kondisi ini akan menyebabkan ruangan menjadi pengap dan sumpek.

Jadi dari hasil penelitian aspek yang mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA dilihat dari

sarana sanitasi rumah adalah lubang asap dapur yaitu 26 (50%) rumah yang tidak memenuhi syarat dan kepadatan hunian kamar dengan jumlah 29 (55,9%) rumah yang tidak memenuhi syarat. Hal ini tidak sesuai dengan KepMenKes No. 829/ MenKes/ SK/ VII/ 1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan yaitu luas ruang tidur minimal 8 m² dan tidak dianjurkan digunakan > 2 orang dalam satu kamar, kecuali anak dibawah umur.

Dari data identifikasi masalah lingkungan secara umum dapat diketahui terdapat 28 (53,8%) rumah yang sudah baik karena memenuhi dari beberapa item dalam Tabel III.10. Dan terdapat 24 (46,2%) rumah yang dikatakan cukup.

SARANA SANITASI DASAR a. Sumber air, jumlah/ kuantitas, pengolahan, sudah memenuhi syarat. Menurut perhitungan

WHO, di negara-negara maju tiap orang memerlukan air 60–120 liter per hari sedangkan di negara-negara berkembang, tiap orang memerlukan 30-60 liter per hari.

b. Pembuangan sampah (pengelolaan dan tempat sampah) sudah memenuhi syarat, sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 829/MenKes/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan yaitu pengumpulan, pengangkutan, pemusnahan, dan pengelolaagn sampah.

c. Pembuangan Kotoran Manusia 1) Terdapat 29 (55,8%) rumah yang memiliki jamban yang memenuhi syarat sesuai

dengan Kepmenkes RI Nomor 829/MenKes/SK/VII/1999, yaitu tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban, tidak mengotori air permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air tanah, tidak dapat di jangkau oleh serangga terutama lalat, kecoa dan binatang-binatang lainnya, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara. Terdapat 23 (42,2%) rumah yang memiliki jamban tetapi tidak memenuhi syarat, karena jamban kotor, bau, dan dapat mengotori air permukaan di sekitarnya.

2) Terdapat 20 (38,4%) rumah yang jambannya memenuhi syarat sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 829/MenKes/SK/VII/1999 yaitu tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban, tidak mengotori air permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air tanah, tidak dapat di jangkau oleh serangga terutama lalat, kecoa dan binatang-binatang lainnya, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara. Terdapat

Page 51: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 114

32 (61,6%) rumah yang jambannya tidak memenuhi syarat. Hal ini dikarenakan lantai pada bangunan jamban tidak kuat, masih ada yang tidak memiliki rumah jamban, tidak tertutup, dan tidak ada bak penampung air atau tissue pembersih.

d. Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) Terdapat 7 (13,4%) rumah yang memiliki SPAL yang memenuhi syarat sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 829/MenKes/SK/VII/1999 yaitu saluran pembuangan tertutup sehingga tidak menimbulkan bau, penutup saluran terbuat dari bahan yang kuat, tidak mencemari sumber air dan lingkungan, Tidak menimbulkan sarang nyamuk. Serta terdapat 45 (86,6%) rumah yang memiliki SPAL. Hal ini disebabkan saluran limbah tidak tertutup, limbah menggenang yang dapat menimbulkan sarang nyamuk, dan dapat mencemari lingkungan.

e. Kandang Terdapat 41 (78,9%) kandang yang memenuhi syarat konstruksi, letak dan arah kandang, lokasi, dan ukuran kandang. Serta terdapat 11 (21,1%) rumah yang kandangnya tidak memenuhi syarat. Hal ini dikarenakan lokasi kandang yang <10 m dari rumah warga.

f. Pekarangan 1) Terdapat 17 (32,7%) rumah dimanfaatkan dengan menanami pekarangan dengan

sayuran dan tanaman hias. Terdapat 35 (67,3%) rumah yang tidak memanfaatkan pekarangannya. Manfaat dari pemanfaatan pekarangan untuk ditanami tanaman adalah selain untuk menyejukan, menyuplai oksigen ke dalam rumah, mengurangi polusi udara yang masuk ke dalam rumah, memperindah pemandangan serta turut serta dalam pemeliharaan lingkungan sehingga penghuni rumah merasa nyaman di dalam rumah.

2) Terdapat 48 (92,3%) pekarangan rumah dibersihkan setiap hari. Terdapat 4 (7,7%) rumah yang keadaan pekarangan atau halamannya kotor dan tidak tertata rapi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan penelitian adalah: 1. Dari hasil survey lubang asap dapur didapatkan hasil bahwa terdapat 26 rumah (50%) yang

tidak memiliki lubang asap dapur. Hal ini dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA. 2. Dari hasil penilaian keadaan rumah dapat disimpulkan bahwa terdapat 31 (59,6%) rumah

yang memiliki ventilasi dan memenuhi syarat. 3. Dari hasil penilaian kepadatan hunian terdapat 30 (57,6%) rumah yang tidak padat

penghuni dan dari hasil penilaian kepadatan hunian kamar tidur terdapat 29 (55,9%) rumah yang kamar tidurnya digunakan > 2 orang dalam hal ini berarti kamar tidur padat hunian.

4. Dari data identifikasi masalah lingkungan secara umum dapat diketahui terdapat 28 (53,8%) rumah yang sudah baik.

5. Dari hasil penilaian sarana sanitasi dasar Memenuhi syarat. 6. Dari pengukuran fisik terdapat 52 (100%) rumah suhunya memenuhi syarat dan terdapat 52

(100%) rumah kelembabannya tidak memenuhi syarat.

Saran yang diajukan antara lain: 1. Bagi Desa Pakis Baru

Bagi para Kader untuk melakukan penyuluhan tentang kesehatan perumahan dan pengawasan sarana sanitasi rumah pada penderita ISPA.

Page 52: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 115

2. Bagi Masyarakat a. Lebih memperhatikan lubang asap dapur, harus diperbaiki dan membuat bagi rumah

yang belum memiliki lubang asap dapur. b. Lebih memperhatikan jumlah hunian kamar tidur, sebaiknya satu kamar tidur tidak

digunakan > 2 orang kecuali anak di bawah umur, agar tidak pengap dan sumpek. c. Harus memperhatikan saluran pembuangan air limbah agar air dapat mengalir dengan

lancar, tidak menimbulkan sarang nyamuk, bau dan tidak mencemari lingkungan sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

(2008).ISPA,PenangananDanPengobatannya. http://www.benih.net/news/ISPA-Infeksi-Saluran-Pernapasan-Akut.(29 Pebruari 2010)

Allafa.(2008).AirBersih. http://www.nesmd.com/shtml/22122.shtml.(4 Maret 2010) Arif Firmansyah, Joniansyah.(2004).CaraPenularanDanGejalaISPA.

http//:majalahtempointeraktif.com/id.(21 Pebruari 2010)

Dirjen PPM & PLP DepKes RI dengan UNICEF Indonesia. 1990. Buku Petunjuk Survei Tentang Perumahan Dan Lingkungannya Serta Penggunaan Kartu Rumah.

Dirjen PPM dan PLP 1990 Kumpulan Perundang-undangan yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan. Depkes RI Jakarta.

El-Shalih.(2010).LembarObservasi. http://www.El-Shalih.blogspot.com/ 2010/ 03/ contoh lembar observasi.(10 April 2010) G.J ebrahim, Prof. 1990. Perawatan anak. Yayasan Essencra Child. Jakarta. http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php.(2 Maret 2010) http://www.one.indoskripsi.com/node/6062.(15 Maret 2010) KepMenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Lubis, Pandapotan, Dr, M.Sc. 1985. Perumahan Sehat. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan

Depkes RI. Jakarta. Mukono H.J (1997). Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran

Penapasan. Surabaya : Airlangga Notoatmodjo, Soekidjo.1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta. PengertianISPA.http//:www.rajawana.com/artikel/kesehatan/ISPA.(26 Desember 2009) Prodi Kesehatan Lingkungan Madiun (2009). Buku Pedoman Penyusunan Proposal dan

Karya Tulis Ilmiah Program Studi Kesehatan Linkungan Madiun. Magetan. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Depkes RI 1985. Menanggulangi Infeksi Saluran

Pernafasan Akut. Depkes RI. Jakarta. Ridwan.(2010).PersyaratanKandang.

http://www.KambingAkikah.com/persyaratan/teknis-kandang.(25 Maret 2010) Sanropie, Djasio. 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta :

Posdiknakes Depkes RI. Surjadi, Charles; Soedarno, Tina R; dan Baare, Anton. 1996. Majalah Kesehatan Perkotaan :

Kepadatan Pemukiman dan Kesehatan, Studi Kualitatif. http://www.pdf-search-engine.com/crowding-%28kesesakan%29-dan-density-%28kepadatan%29-html-library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-hasnida2.html. (14 April 2010)

Page 53: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 116

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG KODE ETIK KEPERAWATAN DAN HUKUM KESEHATAN

DENGAN KINERJA PERAWAT DALAM MEMBERIKAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 2009

Fitri Arofiati*, Wahyuni*

ABSTRACT

The level of knowledge about nursing ethic code and health of law impact to the performance nurses in providing nursing care plan to clients. This research aim to know correlation between level knowledge about nursing ethic code and health law to nurses’ performance in providing nursing care plan in PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hospital.

This research used of descriptive observational study with cross sectional design, on October 2008 - March 2009 used purposive sampling with total sample or respondents are 15 nurses. Data analysis used chi square analysis.

The result of this research showed that nurses level of knowledge about nursing ethic code and health law ( 86,7%) in the good category, and nurse performance in giving nursing care plan ( 73,3%) in the good category. The Correlation between level knowledge and performance have meaning with ( p < 0,05), and result of chi square analysis is p = 0,012

The conclusion of this research showed that there were correlations between level knowledge about nursing ethic code and health law with a nurse performance in giving nursing care plan in PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hospital.

Key Word: Nursing Ethic Code, Health Law, Nursing Care Plan

* = Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ** = Alumni PSIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

PENDAHULUAN

Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul. Pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan keperawatan, dimana nilai-nilai pasien selalu menjadi pertimbangan dan dihormati3.

Profesionalisme keperawatan merupakan kontrak sosial antara profesi keperawatan dengan masyarakat. Masyarakat telah memberikan kepercayaan kepada perawat, maka perawat harus menjawab dengan memberikan standar kompetensi yang tinggi ,dan tanggungjawab moral yang baik. Profesi keperawatan harus selalu berfokus pada klien / pasien (client oriented), dengan selalu mengedepankan sifat mementingkan klien dan merasa lebih bertanggungjawab dalam pelayanan keperawatan. Perawat dalam bekerja tidak hanya untuk mempertahankan eksistensi, hak-hak dan kepentingan kelompok perawat tetapi lebih mengutamakan kepentingan klien.

Profesi perawat memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan pasien selama berada di rumah sakit. Perawat membutuhkan aturan hukum yang lebih tinggi yang mengatur tentang kualitas dan pelayanan, termasuk juga sanksi bagi perawat yang tidak

Page 54: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 117

melaksanakan tugasnya dengan baik4. Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berkewajiban untuk memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar profesi, standar praktek keperawatan, kode etik, dan Standart Operasional Prosedur (SOP) serta kebutuhan klien atau pasien yang ditetapkan oleh organisasi profesi dan merupakan pedoman yang harus diikuti oleh setiap tenaga keperawatan.

Tenaga keperawatan yang merupakan “The caring profession” mempunyai kedudukan penting dalam menghasilkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, karena pelayanan yang diberikannya berdasarkan pendekatan bio-psiko-sosial-spiritual merupakan pelayanan yang unik dilaksanakan selama 24 jam dan berkesinambungan merupakan kelebihan tersendiri dibanding pelayanan lainnya dan wewenang tugas seorang perawat adalah melaksanakan Asuhan Keperawatan5 .

Dari uraian diatas dapat dirumuskan sebuah masalah bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang Kode Etik Keperawatan dan Hukum Kesehatan terhadap kinerja perawat dalam memberikan Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2009. Kontribusi penelitian ini terhadap perkembangan ilmu/praktek keperawatan yaitu sebagai pertimbangan bagi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan Program Studi Ilmu Keperawatan dalam rangka untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang Kode Etik Keperawatan dan Hukum Kesehatan serta untuk meningkatkan kinerja perawat dalam melaksanakan Asuhan keperawatan.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental atau disebut juga studi analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional study. Diperoleh data primer dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh data-data karakteristik responden dan sampel, Besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 15 responden. Kemudian pengambilan sampel dengan menggunakan metode purposive samplin. Variabel independent dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan perawat tentang Kode Etik Keperawatan dan Hukum Kesehatan. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah kinerja perawat dalam melaksanakan Asuhan Keperawatan. Analisa data dilakukan dengan menggunakan analisa chi square, untuk mengetahui hubungan antara dua variabel independent dan variabel dependent yaitu: tingkat pengetahuan tentang kode etik keperawatan dan hukum kesehatan

Penelitian ini dimulai dari penyusunan profosal penelitian beserta kuisioner yang akan digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan, dan untuk mengukur kinerja responden peneliti menggunakan checklist observasi dari buku panduan Nursalam (2003), Sebelum kusioner digunakan, terlebih dahulu kuisioner diuji kevalidatannya sehingga mampu mengukur tingkat pengetahuan responden. Uji valid dan reliabilitas dilakukan di Rumah Sakit Wirosaban pada tanggal 17 Januari 2009. Setelah uji valid dan reliabilitas selesai, kemudian peneliti membagikan kuisioner kepada responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Untuk observasi peneliti meminta bantuan kepada para observer yaitu dari kakak-kakak angkatan yang sedang menjalani kegiatan profesi. Setelah data terkumpul, dilanjutkan dengan tahap pengolahan data atau analisa data. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan komputerisasi dengan menggunakan program SPSS for windows 14.0

Page 55: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 118

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian Gambaran tingkat pengetahuan perawat tentang kode etik keperawatan dan hukum

kesehatan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta disajikan pada Tabel 1, yang menunjukkan bahwa 13 perawat (86,7%) mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang kode etik dan hukum kesehatan.

Tabel 1. Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Kode Etik Keperawatan dan Hukum Kesehatan

No Tingkat Pengetahuan Jumlah Persentase

1. Baik 13 86,7% 2. Cukup baik 2 13,3%

Total 15 100%

Distribusi kinerja perawat yang melaksanakan asuhan keperawatan di Rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta ditampilkan pada Tabel 2. Ada 11 perawat (73,3%) yang mempunyai kinerja baik dalam melaksanakan asuhan keperawatan.

Tabel 2. Kinerja Perawat yang Melaksanakan Asuhan Keperawatan

No Kinerja Perawat Jumlah Persentase

1. Baik 11 73,3% 2. Cukup baik 4 26,7%

Total 15 100%

Melalui Tabel 3 diketahui kecenderungan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan mengenai kode etik dan hukum kesehatan, maka semakin baik juga kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Untuk menjawab hipotesis, digunakan Chi Square Test yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Kinerja Perawat

Tingkat Pengetahuan Kinerja

Total Cukup Baik

Cukup 2 (100%) 0 (0%) 2 (100%)

Baik 2 (15,38%) 11 (84,62) 13 (100%)

Total 4 (26,67%) 11 (73,33) 15 (100%)

Tabel 4. Hasil Chi Square Test

X2 p-value Sig Keterangan

Pengetahuan dan Sikap

6.346 0,012 p< 0,050 Signifikan

Page 56: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 119

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diperolah nilai X2 hitung > X2 tabel (6,346 >3,841), dengan hasil p 0,012, berarti p < 0,050 sehingga Ho ditolak, mempunyai makna bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kode etik keperawatan dan hukum kesehatan dengan kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2009.

Pembahasan Proses untuk memperoleh pengetahuan disebabkan karena perawat pernah

mendapatkan pengetahuan sebelumnya, sehingga perawat tahu dan pengalaman perawat mempengaruhi pengetahuannya. Kemudian dari proses tahu perawat memahami pengetahuannya dan menganalisa serta mengevaluasi pengetahuannya, sehingga berkaitan dengan kemampuan perawat untuk melakukan justifikasi atau memberikan penilaian terhadap suatu materi atau objek mengenai kode etik keperawatan dan hukum kesehatan (Natoatmodjo, 2007).

Upaya perawat untuk meningkatkan profesionalisme berarti perawat dituntut untuk terus meningkatkan ilmu pengetahuannya, mengikuti perkembangan profesi keperawatan dan mengikuti standar profesi dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Dalam penelitian ini kemampuan perawat untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai kode etik keperawatan dan hukum kesehatan adalah dengan cara membaca buku-buku mengenai kode etik keperawatan dan hukum kesehatan, serta melalui teknologi internet, dan melalui teman seprofesi. Peneliti menarik kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan bahwa ada kecenderungan kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan yang dilakukan oleh responden untuk menambah pengetahuannya dengan cara mambaca buku, melalui internet dan melalui teman seprofesi.

Kinerja perawat S1 Ners dalam melaksanakan asuhan keperawatan di penelitian ini relatif baik yaitu (73,3%). Kinerja perawat sangat dipengaruhi oleh faktor balas jasa yang adil dan layak, penempatan yang sesesuai dengan keahliannya, berat ringannya pekerjaan, sifat pekerjaan yang monoton, suasana dan lingkungan pekerjaan, peralatan yang menunjang, serta sikap pimpinan atau supervisor dalam memberikan bimbingan dan pembinaan. Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya, termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul. Pemahaman perawat mengenai etika dan hukum kesehatan menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan keperawatan, ketika nilai-nilai pasien selalu menjadi pertimbangan dan dihormati (Suratun, 2006).

Menurut Mathis dan Jackson (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu: kemampuan, motivasi, dukungan yang diterima, keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan, dan hubungan mereka dengan organisasi. Berdasarkan pengertian di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun kelompok dalam suatu aktifitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi.

Sampai sekarang tenaga keperawatan belum memiliki landasan hukum yang jelas dan pasti dalam memberikan pelayanan kesehatan. Menurut Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, hubungan perawat dan klien merupakan subjek hukum.

Page 57: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 120

Pemahaman perawat mengenai hukum kesehatan memberikan keyakinan kepada perawat dan menjaga klien untuk selalu berada dijalur yang aman dengan mengikuti Standing order yang telah ditetapkan oleh profesi keperawatan dari pihak rumah sakit yang bersangkutan. Standing order adalah pendelegasian kepada tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan/pelayanan kesehatan. Hukum kesehatan untuk tenaga keperawatan mengikuti UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan bahwa “Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan sehingga diberikan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”.

Berdasarkan data hubungan antara pengetahuan dan kinerja, didapatkan 2 responden dari semua responden memiliki pengetahuan yang cukup dengan kinerja yang cukup ini disebabkan oleh pengetahuan dipengaruhi oleh informasi yang didapatkannya. Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan memberikan pengaruh terhadap pemahamanya tentang suatu materi yang sebelumnya pernah didapatkannya (Natoatmodjo, 2007), kemudian kinerja perawat yang cukup dapat dipengaruhi oleh faktor kemampuan. Secara psikologis, kemampuan pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahlihannya. Kinerja juga dapat dipengaruhi oleh faktor motivasi yang terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja dan memiliki sikap mental yang baik, sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal (Mangkunegara, 2000).

Berdasarkan hasil uji hipotesis, disimpulkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan perawat mengenai kode etik keperawatan dan hukum kesehatan dengan kinerja perawat dalam melaksankan asuhan keperawatan. Dengan demikian, pengetahuan yang dimiliki perawat mengenai kode etik dan hukum kesehatan akan mempengaruhi kinerja perawat terhadap pengambilan keputusan dalam melaksanakan asuhan keperawatan, sehingga semakin baik pengetahuan perawat tentang kode etik keperawatan dan hukum kesehatan, maka kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan juga semakin baik. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan signifikan antara pengetahuan perawat tentang kode etik keperawatan

dan hukum kesehatan terhadap kinerja perawat yang melaksanakan asuhan keperawatan. 2. Tingkat pengetahuan perawat tentang kode etik keperawatan dan hukum kesehatan di

Rumah Sakit PKU Muhammadiyah relatif baik. 3. Kinerja yang tunjukan oleh perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan di Rumah

Sakit PKU muhammadiyah Yogyakarta relatif baik. Saran yang dapat diberikan oleh peneliti sehubungan dengan penelitian ini:

1. Bagi praktek keperawatan: Dapat dijadikan sebagai masukan kepada praktek keperawatan dalam memberikan pelayan kesahatan dengan mengutamakan kepentingan klien dari segi etik dan kepastian hukum melalui proses pemberian asuhan keperawatan

Page 58: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 121

2. Bagi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta: Dapat dilakukan pelatihan atau pemberian pendidikan kepada perawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah sehubungan dengan pentingnya pengetahuan tentang kode etik keperawatan dan hukum kesehatan terhadapa kinerja perawat dan sebagai masukkan untuk meningkatkan mutu pelayan yang baik dengan terus mengikuti standar prosedur berdasarkan kode etik keperawatan dan hukum kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan, dan untuk menghindari tingkat kejadian dugaan malpraktek oleh tenaga keperawatan.

3. Bagi penelitian lain: Dijadikan sebagai data dasar penelitian selanjutnya, sebagai masukan dan pertimbangan diharapkan untuk peneliti berikutnya dapat menggali lebih dalam mengenai pengetahuan perawat tentang kode etik keperawatan dan hukum kesehatan, serta dapat menyempurnakan metode dan instrument yang diteliti, sehingga dapat mengembangkan penelitian dengan variable yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

1. -----------. (2005). Perawat juga bisa melakukan malpraktek. Humas Universitas Indonesia. Halaman 24, kolom 1-2 : Jakarta . 26/03/2009/ http://www.pdf-search-engine.com/kurikulum-sekolah-perawat-pdf.html

2. Dahlan, Muhamad Sopiyudin.(2008). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskritif, Bivariat dan Multivarat. Jakarta: Salemba Medika

3. Depkes RI. (1994). Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Keperawatan Dasar di Rumah Sakit. Jakarta. Cetakan Kedua. PPNI.

4. Erlin Natsir, SKM dan Joeharno, SKM. (2008).Thesis. Kineja Perawat Dalam melaksanakan Asuhan Keperawatan di Rumah sakit dan Faktor yang Mempengaruhinya. http:\\blogjoeharno.blogspot.com a.n. Rhano

5. H. Bambang Tutuko, SH., S.Kep., Ns. (2007). Praktek Keperawatan Sebagai Bentuk Pelayanan Kepada Masyarakat, suatu Tinjauan Etik dan Hukum

6. Heru Subekti (2008). Etika dan Moral Dalam Praktek Keperawatan. http://subektiheru.blogspot.com/2008/03/etik-dan-moral-dalam-praktek.html

7. Ismani, Nila, Hj.(2001). Etika Keperawatan: Widya Medika 8. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan;

Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Edisi pertama. Jakarta: Salemba Medica.

9. Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan : konsep, proses, dan praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC

10. Praftianingsih, Sri. (2006). Kedudukan hukum perawat dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. PT Rajagrafindo Persada : Jakarta

11. Suhaimi, Mimin Emi, Hj.(2003). Etika Keperawatan. Jakarta: EGC. 12. Suharsimi, A. (1998). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT.Rineka Cipta. 13. Tammami (2008). Kode Etik Keperawatan. Posted 10 Oktober 2008

http://tammami.wordpress.com/2008/10/10/kode-etik-keperawatan

Page 59: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 122

EFEKTIFITAS PELATIHAN KELAS IBU HAMIL UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN, SIKAP, KETERAMPILAN DAN KUNJUNGAN ANTENATAL CARE

Puji Sri Hastuti*, Heru Santoso Wahito Nugroho**, Nana Usnawati**

ABSTRAK

Masalah utama penelitian ini adalah rendahnya cakupan K4 di Desa Tladan, yaitu 46,2% dari target yang diharapkan sebesar 67,5% pada bulan September 2010, dan hanya 55% di antaranya melakukan kunjungan ANC secara ideal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pelatihan kelas ibu hamil terhadap peningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kunjungan ANC. Jenis penelitian analitik dengan rancangan pra eksperimen berupa One Group Pre-post Test Design, populasi 15 ibu hamil berusia 20-30 minggu, besar sampel 15 menggunakan simple random sampling. Variabel independent kelas ibu hamil, variabel dependent pengetahuan, sikap, keterampilan dan kunjungan ANC.

Uji hipotesis variabel pengetahuan menggunakan Paired Samples T-Test dengan nilai p=0,000<0,05, sikap dan keterampilan menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test masing-masing diperoleh nilai p=0,002<0,05 dan p=0,000<0,05, kunjungan antenatal care menggunakan McNemar Test menghasilkan nilai p=0,008<0,05. Karena uji hipotesis semua variabel menghasilkan nilai probabilitas (p)<0,05 sehingga pengetahuan, sikap, keterampilan, kunjungan antenatal care sesudah pelatihan kelas ibu hamil lebih tinggi secara bermakna dibanding sebelum pelatihan kelas ibu hamil.

Disimpulkan bahwa pelatihan kelas ibu hamil efektif untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kunjungan ANC, sehingga disarankan untuk mengembangkan program kelas ibu hamil khususnya di wilayah Kabupaten Magetan, Jawa Timur sebagai salah satu upaya untuk menekan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi.

Kata kunci: pengetahuan, sikap, keterampilan, antenatal care, kelas ibu hamil

* = Dinas Kesehatan kabupaten Magetan, Puskesmas Tladan ** = Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan, Kampus Magetan PENDAHULUAN

Latar Belakang Antenatal care (ANC) dilakukan untuk mencapai kesehatan fisik dan mental secara

optimal dengan harapan kehamilan, persalinan dan nifas dapat berlangsung dengan aman, laktasi lancar dan kesehatan reproduksi kembali normal, deteksi dini dan penanganan adekuat penyulit/komplikasi, mengenal dan menangani penyakit penyerta serta mendapat petunjuk laktasi dan KB sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun perinatal (Manuaba, 1998: 129).

Hasil studi pendahuluan (September) di Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan menunjukkan bahwa cakupan ANC minimal (K4) baru mencapai 64,40% dan di Puskesmas Tladan mencapai 63,7% dari target yang diharapkan 67,5%. Cakupan terendah di Desa Tladan sejumlah 46,2%. Hasil studi pendahuluan lanjutan (Oktober) di Desa Tladan, dari 24

Page 60: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 123

ibu hamil 83,33% di antaranya melakukan pemeriksaan kehamilan, dan hanya 55% yang melakukan ANC secara ideal.

Idealnya kunjungan ANC dilakukan sedini mungkin ketika terlambat haid 1 bulan, periksa ulang tiap bulan sampai kehamilan 28 minggu, setiap 2 minggu pada kehamilan 28 sampai 36 minggu dan setiap minggu pada akhir kehamilan (Mochtar, 1998: 48).

Rumusan Masalah “Adakah perbedaan pengetahuan, sikap dan keterampilan dan kunjungan antenatal care

antara sebelum dan sesudah pelatihan kelas ibu hamil di Desa Tladan?”

Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi pengetahuan, sikap, keterampilan dan kunjungan antenatal care antara

sebelum dan sesudah pelatihan kelas ibu hamil. 2. Menganalisa perbedaan pengetahuan, sikap, keterampilan dan kunjungan antenatal care

antara sebelum dan sesudah pelatihan kelas ibu hamil.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimental dengan rancangan pre test-post test tanpa kelompok kontrol, di Desa Tladan, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan. Waktu penelitian 6 November 2010 sampai dengan 10 Januari 2011. Populasi penelitian ibu hamil usia kehamilan 20-32 minggu sejumlah 15 orang. Besar sampel 15 ibu hamil yang diambil dengan teknik simple random sampling. Variabel bebas penelitian adalah kelas ibu hamil dan variabel terikat meliputi pengetahuan, sikap, keterampilan dan kunjungan ANC. Pengumpulan data menggunakan instrumen soal pre-post test, kuesioner sikap, check list keterampilan, dan buku KIA. Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif dan metode statistik analitik.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

1. Perbedaan Pengetahuan Ibu Hamil Antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil

Tabel 1. Pengetahuan Ibu Hamil Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil

Unsur Statistik Sebelum Sesudah

N 15 15 Modus 70 76,94 Median 70 81,94 Rerata 68,98 81,96 Nilai maksimum 86,67 96,92 Nilai minimum 45,28 60,83 Rentang 41,39 36,08 Varians 166,58 162,62 Simpangan baku 12,91 12,75

Page 61: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 124

One Sample Kolmogorov-Smirnov Test menunjukkan data terdistribusi normal. Hasil Paired Samples T-Test memperoleh nilai t hitung -8,643 dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05) sehingga Ho ditolak, artinya rerata pengetahuan sesudah pelatihan kelas ibu hamil lebih tinggi secara signifikan dibanding sebelum pelatihan kelas ibu hamil.

2. Perbedaan Sikap Antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil

Gambar 1. Sikap Ibu Hamil Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil

Wilcoxon Signed Rank Test diperoleh nilai z hitung -3,125 dengan nilai signifikansi 0,002 (p<0,05) sehingga Ho ditolak, artinya mean rank sikap sesudah pelatihan kelas ibu hamil lebih tinggi secara bermakna dibanding sebelum pelatihan kelas ibu hamil.

3. Perbedaan Keterampilan Ibu Hamil Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil

Tabel 2. Keterampilan Ibu Hamil Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil

Unsur statistik Sebelum Sesudah

N 15 15 Modus 20 70 Median 20 70 Rerata 22 70 Nilai maksimum 40 80 Nilai minimum 10 60 Rentang 30 20 Varians 74,29 42,86 Simpangan baku 8,62 6,55

One Sample Kolmogorov-Smirnov Test menunjukkan data tidak terdistribusi normal sehingga tak bisa dilakukan T-Test. Wilcoxon Signed Rank Test memperoleh z hitung -3,571 dengan p=0,000 (p<0,05) sehingga Ho ditolak, artinya sesudah pelatihan kelas ibu hamil mean rank keterampilan lebih tinggi secara bermakna dibanding sebelum pelatihan.

4. Perbedaan Kunjungan ANC Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil Hasil McNemar Test diperoleh nilai signifikansi 0,008 (p<0,05) sehingga Ho ditolak,

artinya setelah pelatihan kelas ibu hamil kunjungan antenatal care ideal lebih tinggi secara signifikan dibanding sebelum pelatihan kelas ibu hamil.

Page 62: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 125

Gambar 2. Kunjungan ANC Ibu Hamil Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil

Pembahasan

5.1 Perbedaan Pengetahuan Antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil Secara deskriptif diketahui hasil pemusatan data (rerata, median, dan modus), nilai

minimum dan maksimum sesudah pelatihan kelas ibu hamil jauh lebih tinggi dibanding sebelum pelatihan kelas ibu hamil, sedangkan hasil penyebaran data yaitu rentang, varians dan simpangan baku cenderung menurun. Hasil Paired Samples T-test diketahui rerata pengetahuan sesudah pelatihan kelas ibu hamil secara signifikan lebih tinggi dibanding sebelum pelatihan kelas ibu hamil. Artinya pelatihan kelas ibu hamil di Desa Tladan efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil mengenai perawatan seputar kehamilan, persalinan dan nifas, perawatan bayi baru lahir, KB pasca persalinan, termasuk penyakit menular dan akte kelahiran.

Hal ini terjadi mungkin karena selama mengikuti pelatihan kelas ibu hamil responden telah mendapatkan informasi, saling berinteraksi dan berbagi pengalaman antar peserta (ibu hamil dengan ibu hamil) maupun dengan tutor/bidan tentang kehamilan, perubahan dan keluhan selama kehamilan, perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, KB pasca persalinan, perawatan bayi baru lahir, mitos/kepercayaan/adat istiadat setempat, penyakit menular dan akte kelahiran. Bagi responden yang mendapatkan nilai di bawah rerata kemungkinan disebabkan kurang mendapatkan informasi dan kesalahan dalam mengintepretasikan informasi yang diperolehnya selama mengikuti kelas ibu hamil. Ini sesuai dengan pendapat Nanda (2005) bahwa yang mempengaruhi responden mendapatkan nilai terendah terkait dengan kurangnya pengetahuan (deficient knowledge) terutama disebabkan oleh kurang terpapar informasi dan kesalahan dalam mengintepretasikan informasi, selain faktor lain seperti kurang daya ingat, keterbatasan kognitif, kurang minat untuk belajar dan tidak familiar terhadap sumber informasi.

Peningkatan pengetahuan pada penelitian ini merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan pelatihan kelas ibu hamil, yang di dalamnya terdapat kegiatan belajar mengajar (learning) dari segi kognitif, melalui transformasi informasi yang berurutan pada diri responden. Hal ini sejalan dengan pandangan Winkel (2007) dalam bukunya Psikologi Pengajaran yang menyatakan bahwa proses belajar merupakan suatu rangkaian peristiwa/kejadian di dalam diri subyek yang berlangsung secara berurutan yang dimulai dengan adanya rangsangan/stimulus

Page 63: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 126

dan berakhir dengan umpan balik (dalam hal ini pre-post test). Sedangkan subyek sendiri merasakan efek dari adanya stimulus tersebut berupa prestasi belajar, dengan demikian subyek mendapat konfirmasi bahwa keseluruhan proses belajar telah berjalan dengan tepat dan benar. Atkinson dan Shiffrin dalam Winkel (2007) berpendapat bahwa model pemrosesan informasi dalam diri seseorang secara berurutan dimulai dari adanya receptor, sensory register, short-term memory (STM), long-term memory (LTM), response generator dan effector. Bila dikaitkan dengan pendapat Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2003) berdasarkan ciri-ciri proses terjadinya receptor, sensory register, STM dan LTM identik dengan aspek kognisi, response generator identik dengan aspek afektif, dan effector identik dengan aspek psikomotor yang akan dijelaskan selanjutnya pada bagian lain di pembahasan terkait dengan hasil penelitian ini.

Pada tahap receptor, subyek menerima rangsangan-rangsangan dari lingkungan di sekitarnya lalu ditampung oleh alat-alat indera (receptors) yang mengolah konstelasi rangsangan itu, sehingga menjadi rangsangan neural (Atkinson dan Shiffrin dalam Winkel, 2007). Supaya responden dapat melalui tahap ini dengan sukses, dalam kelas ibu hamil digunakan media pembelajaran untuk mempermudah pemahaman responden, seperti AVA berupa proyektor LCD dan microfon untuk penyampaian materi inti dan keterampilan senam nifas serta latihan pernafasan. Alat bantu yang digunakan di antaranya berupa video CD, leaflet, lembar balik, buku KIA, model berbagai alat kontrasepsi, boneka bayi dan model baju kanguru. Teori dari Atkinson dan Shiffrin ini sejalan dengan penjelasan Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pada tahap sensory register, informasi masuk ke tingkat sensory register (pusat penampung kesan-kesan sensoris) dalam waktu singkat. Di tingkat ini terjadi pengolahan persepsi selektif (attending, selective perception), yaitu hanya kesan-kesan yang membentuk pola yang serasi atau masuk akal serta membentuk kebulatan perseptual yang diambil sedangkan yang tidak relevan akan menghilang dan tidak berpengaruh (Atkinson dan Shiffrin dalam Winkel, 2007). Menurut Winkel (2007: 347) tekanan pada beberapa rangsangan tertentu membantu untuk mengadakan persepsi yang selektif, sehingga dalam proses belajar hanya unsur yang benar-benar relevan saja yang diperhatikan oleh subyek, misalnya kata-kata yang dicetak miring atau dengan huruf tebal menyalurkan sub proses persepsi, demikian penggunaan simbol seperti tanda panah, lingkaran, garis penghubung dan sebagainya. Sejalan dengan pendapat Winkel di atas, mungkin hanya media tertentu saja yang membuat responden lebih cepat merespon informasi yang diperoleh selama mengikuti kelas ibu hamil, artinya tidak semua media pembelajaran menghasilkan persepsi yang sama kuatnya. Di bagian lain Winkel (2007) menyampaikan bahwa rangsangan yang lebih kuat atau tidak terduga, membuat alat-alat indera lebih siap untuk mengamati apa yang terjadi (alertness), misalnya suara yang keras atau warna yang mencolok menarik perhatian orang, lampu yang tiba-tiba dimatikan atau dihidupkan menyiapkan orang untuk mengamati apa yang selanjutnya terjadi, demikian pula suara atau bunyi yang tiba-tiba diperbesar atau diperkecil.

Page 64: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 127

Tahap ketiga adalah ingatan jangka waktu pendek (Short-term memory). Pada tahap ini hasil pengolahan perseptual ditampung dan disimpan, selanjutnya informasi tertentu disimpan lebih lama dan diolah untuk menemukan maknanya. Hasil pengolahan perseptual yang dibentuk pada tahap sebelumnya masuk ke dalam STM selama lebih kurang 20 detik sehingga informasi perseptual menjadi bermakna dalam bentuk berbagai macam organisasi seperti tanggapan, konsep, skema, tabel, grafik, perumusan verbal dan sebagainya.

Tahap selanjutnya adalah ingatan jangka waktu lama (long-term memory) yaitu menampung hasil pengolahan informasi yang berada di STM dan menyimpannya sebagai informasi yang siap pakai pada saat dibutuhkan. Informasi dapat dikembalikan ke STM atau langsung diteruskan ke pusat perencanaan reaksi/jawaban. LTM memiliki daya tampung tak terbatas baik dari segi informasi yang disimpan maupun lama waktu penyimpanan. Penyimpanan informasi dalam LTM disebut storage. Di tahap ini sudah diperoleh hasil belajar dan tersedia untuk digali kembali bila dibutuhkan yang disebut retrieval. Ada kalanya informasi di LTM dikombinasikan dengan informasi baru yang masuk di STM melalui proses belajar yang berkesinambungan yang disebut working memory (pengolahan materi) dan menghasilkan suatu persepsi baru. Berdasarkan mekanisme pemrosesan informasi di tingkat STM dan LTM, mungkin pengetahuan yang diperoleh responden dalam penelitian terutama diawali dari respon akibat rangsang visual dan auditorius, selain respon sentuhan yang terjadi pada diri responden yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti melalui proses pembelajaran sebelum akhirnya masuk ke tahap-tahap berikutnya, yaitu mengingat informasi, memahami informasi dan menginterpretasikannya, mengaplikasikan informasi sesuai dengan pemahaman, menggabungkan antar informasi yang satu dengan yang lainnya, mengembangkan informasi tersebut sesuai dengan informasi yang dipilih dengan cara membaca, diskusi sesama ibu hamil/petugas kesehatan, belajar di rumah dan sebagainya yang menunjukkan akan ketertarikan terhadap sesuatu informasi, yang terakhir adalah keputusan akan informasi yang diperoleh untuk digunakan ataupun tidak sesuai pertimbangan internal dan eksternal pada diri responden. Hal ini senada dengan pendapat Bloom dalam Winkel (2007) yang membagi pengetahuan dalam 6 ranah atau domain, yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Kesimpulannya, baik pendapat Atkinson dan Shiffrin, Bloom, Winkel, Notoatmodjo, dalam aspek kognitif terbukti saling berkaitan dalam membentuk persepsi seseorang terhadap informasi yang diterima sebagai dasar terbentuknya perilaku baru. Hal ini dipertegas oleh Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dibanding perilaku tanpa didasari pengetahuan.

5.2 Perbedaan Sikap Antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil Berdasarkan hasil pre-test dan post-test diketahui bahwa sikap responden dengan

kategori menerima meningkat hampir 5 kali lipat setelah mengikuti kelas ibu hamil jika dibandingkan sebelumnya, sedangkan dari hasil Wilcoxon Signed Rank Test diketahui mean rank sikap positif responden sesudah mengikuti pelatihan kelas ibu hamil secara signifikan lebih tinggi dibanding sebelum mengikuti pelatihan kelas ibu hamil. Hal ini membuktikan bahwa pelatihan kelas ibu hamil efektif untuk meningkatkan sikap positif responden terhadap Kesehatan Ibu dan Anak.

Page 65: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 128

Hal ini sesuai dengan pendapat Azwar (2008: 30-38) bahwa pembentukan sikap terutama terjadi karena pendidikan/pelatihan di samping adanya pengalaman pribadi, pengaruh, kebudayaan, media massa, dan emosional seseorang.

Faktor yang memegang peranan penting dalam perubahan sikap responden pada penelitian ini kemungkinan adalah reaksi/respon terhadap pelatihan kelas ibu hamil, selain karena keterlibatan faktor perasaan dan emosi. Reaksi tersebut terdiri atas suka dan tidak suka terhadap materi yang disampaikan dalam kurikulum kelas ibu hamil. Bila dikaitkan dengan pendapat Atkinson dan Shiffrin dalam Winkel (2007) pada pembahasan sebelumnya, berdasarkan ciri adanya reaksi terhadap stimulus berupa informasi, maka hal ini masuk pada level response generator, yaitu menampung informasi yang tersimpan dalam LTM dan mengubahnya menjadi reaksi atau jawaban dalam bentuk reaksi verbal maupun berbagai gerakan motorik. Jadi intinya pada tahap ini pusat perencana reaksi/jawaban menentukan bentuk dan pola dari reaksi/jawaban yang diberikan, yang kelak dituangkan dalam suatu tindakan atau perbuatan. Hal ini senada batasan sikap menurut Ellis dalam Purwanto (2010) sebagai berikut: “Attitude involve some knowledge of situation. However, the essential aspect of the attitude is found in the fact that some characteristic feeling or emotion is exsperienced, and as we would accordingly exspect, some definite tendency to action is associated” dan dapat diartikan bahwa yang sangat memegang peranan penting di dalam sikap adalah faktor perasaan dan emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon, atau kecenderungan untuk bereaksi. Dalam beberapa hal, sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi, maka sikap selalu berhubungan dengan 2 alternatif, yaitu like (senang) atau dislike (tidak senang), menurut dan melaksanakannya atau menjauhi/menghindari sesuatu. Sedangkan Sukmadinata (2010) menyatakan bahwa kecenderungan sikap manusia terhadap obyek dapat menolak, netral dan menerima. Perbedaan sikap tersebut dipengaruhi oleh komponen-komponen tertentu.

Peningkatan sikap positif/menerima hampir 5 kali lipat setelah mengikuti kelas ibu hamil merupakan respon tertutup dari responden yang menggembirakan terhadap evaluasi pelaksanaan kelas ibu hamil, mengingat program tersebut baru diadakan pertama kalinya di wilayah Puskesmas Tladan. Menurut Notoatmodjo (2003: 124) sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, responden yang memiliki sikap positif/menerima, juga memiliki komponen afeksi, kognisi, dan konasi yang baik dan selaras selama mengikuti kelas ibu hamil. Hal ini selaras dengan 3 komponen pokok dalam terbentuknya sikap yang ditegaskan Alport dalam Notoatmodjo (2003), yaitu perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi). Ketiga komponen ini secara selaras dan konsisten bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Apabila salah satu saja di antara ketiga komponen tersebut tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap seseorang.

Secara teoritis hasil penelitian ini juga sesuai dengan penjelasan Krathwohl, Bloom dkk dalam Winkel (2007), bahwa sikap merupakan bentuk overt behavior dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: receiving (menerima), responding (partisipasi), valuing (penilaian), organization (organisasi), characterization by a value complex (pembentukan pola hidup).

Page 66: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 129

Hasil penelitian menunjukkan peningkatan sikap positif/menerima, hal ini mungkin karena responden sudah memperoleh pengetahuan yang baik maupun cukup setelah mengikuti kelas ibu hamil. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Robinson dalam Marzuki (1992: 28), bahwa salah satu manfaat dari suatu pelatihan adalah untuk memperbaiki sikap individu terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan.

5.3 Perbedaan Keterampilan Antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan Kelas Ibu Hamil Berdasarkan hasil pre-test dan post-test diketahui hasil pemusatan data (rerata, median,

modus), nilai maksimum dan minimum sesudah pelaksanaan kelas ibu hamil jauh meningkat dibanding sebelum mengikuti kelas ibu hamil, sedangkan hasil penyebaran data yaitu rentang, varians dan simpangan baku cenderung menurun. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test menunjukkan mean rank keterampilan responden secara signifikan lebih tinggi dibanding sebelum mengikuti pelatihan kelas ibu hamil. Dengan demikian pelatihan kelas ibu hamil efektif untuk meningkatkan keterampilan ibu hamil.

Meningkatnya keterampilan responden pada penelitian ini kemungkinan sebagai akibat dari adanya pengalaman belajar dalam kelas ibu hamil, sekaligus sebagai tolok ukur pertama evaluasi pelaksanaan program pelatihan kelas ibu hamil, yang selanjutnya diikuti adanya perubahan perilaku berupa kunjungan antenatal care sesuai jadual berdasarkan standar ideal. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh tutor, tampak bahwa hasil belajar dalam kelas ibu hamil dalam bentuk gerakan motorik atau tindakan telah tercapai. Bila dikaitkan dengan proses belajar menurut Atkinson dan Shiffrin dalam Winkel (2007), proses belajar telah sampai pada tahap effector. Pada tahap ini terjadi proses penampungan hasil perencanaan dan pelaksanaan rencana dalam bentuk tindakan atau perbuatan, diberikan prestasi yang menampakkan hasil belajar dan subyek mendapat umpan balik melalui observasi terhadap efek tindakannya atau melalui komentar orang lain.

Peningkatan keterampilan responden setelah mengikuti kelas ibu hamil pada penelitian ini hanya sebatas penilaian yang dilakukan sesaat diakhir pelatihan sebagai bagian dari evalusasi akhir hasil belajar di dalam kelas. Belum diketahui apakah responden benar-benar mau dan mampu mempraktekkan keterampilan yang diperolehnya sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan ibu hamil dan bayi yang dikandungnya dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan yang diharapkan, tentunya responden dapat mempraktekkan keterampilan tersebut secara teratur dengan gerakan yang tepat sesuai video CD yang telah dibagikan oleh peneliti kepada masing-masing responden di akhir pertemuan kelas ibu hamil. Bila dikaitkan dengan tingkatan dari ranah psikomotor menurut Simpson dalam Winkel (2007), hasil belajar keterampilan motorik di dalam kelas berada pada tahap complex response (gerakan kompleks), yaitu kemampuan untuk melaksanakan suatu keterampilan yang terdiri atas beberapa komponen dengan lancar, tepat dan efisien, misalnya rangkaian gerakan senam hamil secara berurutan yang merupakan gabungkan beberapa sub keterampilan menjadi suatu keseluruhan gerakan yang sinergis. Bila dapat mempraktekkan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, berada pada tahap adjustment (penyesuaian pola gerakan), yaitu kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerakan dengan kondisi setempat, misalnya seorang ibu melakukan senam hamil menyesuaikan pola gerakan senam dengan situasi dan kondisi tertentu.

Page 67: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 130

Perubahan yang terjadi pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor pada penelitian ini masih berada pada tahap evaluasi sesaat setelah pelaksanaan kelas ibu hamil yang belum diketahui apakah perubahan pada ketiga aspek tersebut akan berlanjut, sebelum sampai pada tujuan-tujuan akhir dari pelatihan kelas ibu hamil, terutama perubahan perilaku berupa kunjungan antenatal care yang ideal pada diri responden. Kondisi ini didukung oleh pernyataan Hamalik (2007), bahwa keberhasilan suatu proses belajar dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor pada dasarnya baru mencapai tahap terminal performances (perilaku terminal), yang selanjutnya penting untuk mewujudkan behavior objectives (tujuan-tujuan perilaku) dari suatu program pembelajaran.

5.4 Perbedaan Kunjungan ANC Antara Sebelum dan Sesudah Kelas Ibu Hamil. Dari hasil studi dokumentasi menggunakan buku KIA diketahui setelah responden

mengikuti pelatihan kelas ibu hamil kunjungan antenatal care berdasarkan standar ideal meningkat 3 kali dibanding sebelum mengikuti pelatihan kelas ibu hamil, sedangkan hasil McNemar Test menunjukkan setelah responden mengikuti pelatihan kelas ibu hamil kunjungan antenatal care yang mencapai ideal secara signifikan lebih tinggi dibanding sebelum mengikuti pelatihan kelas ibu hamil. Dengan demikian pelatihan kelas ibu hamil di Desa Tladan efektif untuk meningkatkan kunjungan ANC berdasarkan standar ideal.

Jika dikaitkan dengan peningkatan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan responden sesudah pelatihan kelas ibu hamil, yang selanjutnya diikuti adanya peningkatan kunjungan antenatal care setelah 2 bulan pasca pelatihan, tampak bahwa pelatihan kelas ibu hamil telah mencapai keberhasilan secara utuh. Hal di atas relevan dengan uraian yang dikemukakan Siagian (1994) bahwa isi program pelatihan (the training program content) adalah keahlian (keterampilan), pengetahuan dan sikap yang merupakan pengalaman belajar dari suatu pelatihan diharapkan dapat menciptakan perubahan perilaku. Hal senada juga disampaikan oleh Gomes (2003: 204) yang menyatakan bahwa pelaksanaan suatu program pelatihan dikatakan berhasil apabila dalam diri peserta pelatihan terjadi suatu proses transformasi pengalaman belajar, proses transformasi tersebut dinyatakan berlangsung dengan baik apabila terjadi minimal 2 hal, yaitu peningkatan keterampilan dan perubahan perilaku yang tercermin pada sikap, disiplin dan etos kerja.

Evaluasi perubahan kunjungan antenatal care pada penelitian ini dilakukan setelah responden menerima pengetahuan seputar kesehatan ibu dan anak pada kelas ibu hamil, dan diharapkan perubahan yang terjadi tetap dipertahankan hingga akhir kehamilan. Dalam hal ini Notoatmodjo (2003) secara teoritis menyatakan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2003: 115), kunjungan antenatal care merupakan salah satu bentuk perilaku terbuka (overt behavior), yang merupakan suatu manifestasi tingkat lanjut dari sikap atau perilaku tertutup (covert behavior). Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa penilaian terhadap perilaku kesehatan berdasarkan 3 faktor, yaitu knowledge, attitude dan practice.

Berdasarkan pembagian tingkat domain kognitif Bloom dalam Winkel (2007), perilaku yang dinilai pada penelitian ini hanya terbatas pada tingkat aplikasi yang merupakan bentuk konkrit dari penguasaan suatu konsep, teori dan abstraksi lainnya dengan bentangan waktu yang pendek. Pada hasil penelitian ini diketahui tingkat pemahaman responden selama

Page 68: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 131

mengikuti kelas ibu hamil, dan pada akhirnya mempraktekkannya dalam situasi yang konkrit/nyata tentang apa yang diperoleh selama mengikuti kelas ibu hamil dalam bentuk perilaku berupa kunjungan antenatal care secara ideal.

Pada penelitian ini evaluasi hasil pelatihan kelas ibu hamil dari aspek perilaku memerlukan waktu relatif lama dan sulit diperkirakan kapan waktu terjadinya walaupun ada kesempatan. Hal ini sangat tergantung pada faktor internal dan eksternal yang tidak sama pada diri responden, selain memerlukan adanya kriteria yang lebih rumit dan akurat untuk menilai perilaku yang diharapkan. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Kirkpatrick dalam Hary (2010), bahwa evaluasi hasil pelatihan pada jenjang ketiga, yaitu behavior lebih rumit bila dibanding jenjang sebelumnya (reaction dan learning) karena beberapa hal: 1. Peserta pelatihan tidak dapat mengubah perilakunya sampai mereka mendapat

kesempatan untuk mempraktekkan hal yang sudah diajarkan dalam pelatihan. 2. Sulit untuk melakukan prediksi kapan perubahan perilaku akan terjadi. Walaupun mereka

memiliki kesempatan untuk mengaplikasikannya, namun perubahan perilaku belum tentu terjadi secara langsung.

3. Reward untuk melakukan perubahan perilaku sangat berpengaruh dan diperlukan untuk membantu agar terjadi perubahan perilaku ketika peserta selesai mengikuti pelatihan.

4. Untuk dapat mengevaluasi pelatihan harus dibuat keputusan mengenai: kapan, seberapa sering, dan dengan cara apa perubahan perilaku akan diukur.

Dengan pengetahuan, sikap positif, dan keterampilan yang telah diperoleh selama mengikuti kelas ibu hamil, paling tidak pada penelitian ini responden telah mengetahui bagaimana kunjungan antenatal care yang ideal sebagai salah satu bentuk perilaku kesehatan yang merupakan bagian dari kurikulum kelas ibu hamil. Selanjutnya diharapkan responden dapat mengadopsi perilaku antenatal care ideal dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh kesadaran akan kebutuhan dirinya sebagai tahap akhir proses perubahan perilaku. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rogers (1997) dalam Notoatmodjo (2003) mengungkap bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni: awareness, interest, evaluation, trial, dan adaption.

Merril (1971:10) dalam Gafur (1986:22) menjelaskan bahwa pengajaran adalah suatu kegiatan di mana seseorang diubah atau dikontrol, dengan maksud ia dapat bertingkah laku atau bereaksi terhadap kondisi tertentu. Jelaslah bahwa pelatihan sebagai salah satu bentuk dari pembelajaran bertujuan untuk mengubah perilaku peserta. Jika obyek pembelajaran yang digarap adalah pelatihan kelas ibu hamil, maka diharapkan peserta berperilaku menerapkan kunjungan antenatal care secara ideal. Adanya perbedaan kunjungan antenatal care antara sebelum dan sesudah pelatihan menunjukkan bahwa pelatihan efektif untuk mengubah perilaku ibu hamil, sebagaimana disampaikan oleh Gomes (1995) bahwa evaluasi perilaku dilakukan dengan membandingkan perilaku peserta sebelum dan sesudah pelatihan.

Bila dilihat hasil pelatihan secara keseluruhan terhadap evaluasi keempat aspek pada penelitian ini masing-masing individu menunjukkan hasil yang berbeda, mungkin hal ini juga terkait dengan motivasi dari peserta pelatihan kelas ibu hamil yang belum dikupas di dalam penelitian ini, karena proses belajar pada responden, walaupun sama-sama belajar namun ada kemungkinan responden yang satu belajar secara lebih efisien, lebih fleksibel, lebih kreatif dan dengan semangat yang lebih tinggi dibanding dengan responden yang lain. Variasi ini

Page 69: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 132

menurut Winkel (2007: 344) disebabkan yang satu lebih baik dalam persepsi selektif, dalam mengambil makna dari materi pelajaran yang diolah, dalam menemukan bentuk organisasi informasi dan dalam menggali informasi yang tersimpan dalam ingatannya, lebih-lebih di LTM, dan gambaran tentang proses belajar sebagai rangkaian dari subproses belum lengkap, masih ada 2 faktor yang berperan dan merupakan sub proses tersendiri, yaitu proses mengontrol diri dan proses motivasi diri.

Zainul dan Nasution (2005) menjelaskan bahwa perbedaan antara pre test dan post test berhubungan dengan kualitas proses belajar dan mengajar. Jika proses belajar mengajar baik, maka terdapat perbedaan yang besar antara hasil post test dengan hasil pre test. Keberhasilan tes dapat menjadi motivasi mempertahankan dan meningkatkan hasilnya. Di sisi lain Purwanto (2010), menyatakan bahwa faktor internal dan eksternal mempengaruhi selama proses belajar mengajar. Faktor tersebut adalah: 1) faktor lingkungan baik alam maupun sosial, 2) faktor instrumen meliputi kurikulum, tutor, fasilitas dan sarana, serta manajemen, 3) faktor fisiologi yaitu kondisi fisik dan pancaindera dari masing-masing responden, 4) faktor psikologi meliputi minat, kecerdasan, motivasi dan kemampuan kognitif responden.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 1. Setelah mengikuti pelatihan kelas ibu hamil, nilai rerata pengetahuan dan keterampilan,

sikap positif serta kunjungan antenatal care berdasarkan standar ideal meningkat dibanding sebelum mengikuti pelatihan kelas ibu hamil.

2. Setelah mengikuti pelatihan kelas ibu hamil, nilai rerata pengetahuan, mean rank sikap positif dan keterampilan serta kunjungan antenatal care berdasarkan standar ideal secara signifikan lebih tinggi dibanding sebelum mengikuti pelatihan kelas ibu hamil.

Saran 1. Diharapkan pihak pemerintahan desa senantiasa memberikan dukungan, baik secara

material maupun financial pada kegiatan kesehatan yang ada di desa, utamanya kelas ibu hamil dengan dilanjutkan dibukanya kelas ibu balita.

2. Bagi ibu hamil diharapkan berusaha meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang sudah diperoleh melalui kelas ibu hamil dan mempertahankan sikap serta perilaku yang positif, yaitu dengan tetap mengikuti kelas ibu hamil, melakukan kunjungan antenatal care secara teratur sesuai standar ideal, melahirkan ke tenaga kesehatan dan dilanjutkan dengan mengikuti kelas ibu balita setelah melahirkan secara swadana.

3. Diharapkan program kelas ibu hamil tetap dilanjutkan di puskesmas sebagai wadah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan perilaku ibu hamil dan dikembangkan secara lebih luas, tidak hanya di desa Tladan tetapi di desa lain sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian dan kesadaran ibu hamil dan keluarga.

4. Untuk bidan diharapkan dapat melaksanakan dan mengembangkan kelas ibu hamil di desa binaannya masing-masing serta senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat.

5. Diharapkan dilaksanakan penelitian lanjutan tentang kelas ibu hamil yang lebih berkualitas, misalnya dengan menggunakan desain yang lebih baik berupa true exsperiment design,

Page 70: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 133

menggunakan populasi yang lebih luas dan sampel yang lebih representatif, dan faktor-faktor lain yang belum sempat diteliti karena keterbatasan peneliti, mengingat kelas ibu hamil merupakan salah satu program pemerintah terbaru di bidang kesehatan yang terbukti efektif dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan kunjungan antenatal care secara ideal dalam upaya menekan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. 2008. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Salemba Medika. Cunningham. 2005. Obstetri Williams. Jakarta: EGC. Dahlan, M.S. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Seri Evidence Based medicine

1. Jakarta: Salemba Medika. Fuadadman. 2010. Konsep Pelatihan. http://fuadadman.com (diakses 5 Oktober 2010). Gafur A. 1986. Desain Instruksional (Suatu Langkah Sistematis Penyusunan Pola Dasar

Kegiatan Belajar dan Mengajar). Solo: Tiga Serangkai. Gomes, F.C. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset. Hadi dan Haryono. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. Hamalik, O. 2007. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo Hary. 2010 Empat Jenjang Evaluasi Pelatihan Menurut Kirpatrick http://

leapinstitute.com/articles/empat-jenjang-evaluasi-pelatihan (diakses 6 Oktober pukul 22.15).

Manuaba, I.B.G.1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

Marzuki, M.S. 1992. Strategi dan Model Pelatihan. Malang: IKIP Malang. Metode Pelatihan. Kajian Pedesaan secara Partisipatif. www.deliveri.org Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri. Jilid 1. Jakarta: EGC Moekijat. 1990. Pengembangan dan Motivasi. Bandung: Pionir Jaya Nanda. 2005. Nursing diagnoses: definitions and classification 2005-2006. Nanda

International, Philadelpia. Notoatmodjo, S. 2003a. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. ______. 2003b. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. ______. 2005c. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, H.S.W, A.Suharto, dan N.Usnawati. 2009. Evaluasi Pelatihan PAUD dalam

Pemantauan Perkembangan Anak Pra sekolah. Jurnal Penelitian Politeknik Kesehatan. Volume VII, nomor 2: 1693-3753.

Nursalam dan S. Pariani. 2001. Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Info Media. Nursalam. 2001a. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: CV. Inti Media. ______. 2003b. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:

Salemba Medika. Osninelli. 2009. Pengaruh Pendidikan Prenatal Melalui Kelas Ibu Hamil Dengan Persalinan

Tenaga Kesehatan di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Tesis, Program Pasca

Page 71: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 134

Sarjana FK UGM, Yogyakarta http://arc.ugm.ac.id/files/Abst_(3892-H-2007).pdf. (diakses 1 Oktober 2010 pukul 08.25).

Purwanto, H. 1998. Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan. Jakarta : EGC Purwanto, N. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya R.I., Departemen Kesehatan. 2009a. Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil. Jakarta:

Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat dan JICA. ______. 2009b. Pedoman Umum Manajemen Kelas Ibu Hamil. Jakarta: Direktorat Jendral

Bina Kesehatan Masyarakat dan JICA. ______. 2009c. Pegangan Fasilitator Kelas Ibu Hamil. Jakarta: Direktorat Jendral Bina

Kesehatan Masyarakat dan JICA. ______. 2009d. Pelatihan Kelas Ibu Hamil. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan

Masyarakat dan JICA. Saifuddin, A.B. 2006. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Siagian, SP. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Bumi Aksara Simamora, B. 2008. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Jakarta: Gramedia Simamora, H. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Bagian Penerbit STIE. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Sukmadinata, N.S. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sumantri, S. 2000. Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Fakultas

Psikologi Unpad. Suparyanto. 2010. Konsep Kelas Ibu Hamil. http://dr-suparyanto.blogspot.com/

2010/07/konsep-kelas-ibu-hamil.html. (diakses 29 September pukul 18.37). Tjiptono, F dan Diana, A. 1998. Total Quality , Management. Yogyakarta : Andi Offset. Veithzal, Rivai. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. Jakarta: Raja

Grafindo Persada. Widayatun, T.R. 2009. Ilmu Perilaku M.A.104. Jakarta: Sagung Seto Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP. SP. Winkel, W.S. 2007. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi Zainul A dan Nasution N. 2005. Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Page 72: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 135

DESKRIPSI KUALITAS INTERNET KAMPUS SECARA MULTI DIMENSI DI KAMPUS KEBIDANAN MAGETAN POLTEKKES KEMENKES SURABAYA

Heru Santoso Wahito Nugroho*, Rumpiati**

ABSTRAK

Layanan Internet Kampus Kebidanan Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya telah berjalan sejak tahun 2008. Hasil penelitian terakhir mengenai kualitas internet kampus setempat telah dilakukan pada bulan Mei 2010. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa sangat tidak puas terhadap atribut sarana, tempat, kecepatan dan keandalan. Sedangkan kategori tidak puas tertuju pada atribut waktu, keterjangkauan biaya, fungsi informasi, fungsi komunikasi, fungsi hiburan dan kontinuitas internet kampus. Secara keseluruhan, mahasiswa tidak puas terhadap sistem internet kampus. Berdasarkan strategi perbaikan menggunakan Diagram Kartesius, upaya pengembangan atribut kualitas internet kampus menurut urutan proritas adalah: 1) Kuadran I: sarana dan tempat, 2) Kuadran III: kecepatan dan keandalan, 3) Kuadran II: waktu, fungsi sebagai sumber informasi, dan kontinuitas, 4) Kuadran IV: keterjangkauan biaya, fungsi sebagai sarana komunikasi, dan fungsi sebagai sarana hiburan.

Untuk memperkuat keyakinan tentang strategi pengembangan di atas, diperlukan penelitian lanjutan. Untuk itulah penelitian ini dilakukan, berupa studi deskriptif sebagai pembanding, menggunakan data sekunder yang telah diperoleh pada penelitian terdahulu pada Bulan Mei 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh dimensi kualitas masih berada dalam kategori buruk.

Kata Kunci: kualitas, internet kampus

* = Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jurusan Kebidanan Kampus Magetan ** = Akademi Kebidanan Muhammadiyah Madiun PENDAHULUAN

Latar Belakang Proses pendidikan kesehatan di era global sangat ditentukan oleh tingkat penguasaan TI

oleh para peserta didik, sehingga diperlukan pergeseran paradigma pembelajaran, seperti disampaikan oleh Suganda (1997) yaitu dari pembelajaran tradisional menuju pembelajaran era informasi. Untuk itulah Kampus Kebidanan Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya telah menyediakan internet kampus sejak tahun 2008. Hasil penelitian terakhir mengenai kualitas internet kampus setempat telah dilakukan pada bulan Mei 2010. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa sangat tidak puas terhadap atribut sarana, tempat, kecepatan dan keandalan. Sedangkan kategori tidak puas tertuju pada atribut waktu, keterjangkauan biaya, fungsi informasi, fungsi komunikasi, fungsi hiburan dan kontinuitas internet kampus. Secara keseluruhan, mahasiswa tidak puas terhadap sistem internet kampus. Berdasarkan strategi perbaikan menggunakan Diagram Kartesius, upaya pengembangan atribut kualitas internet kampus menurut urutan proritas adalah: 1) Kuadran I: sarana dan tempat, 2) Kuadran III: kecepatan dan keandalan, 3) Kuadran II: waktu, fungsi sebagai sumber informasi, dan

Page 73: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 136

kontinuitas, 4) Kuadran IV: keterjangkauan biaya, fungsi sebagai sarana komunikasi, dan fungsi sebagai sarana hiburan.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan kualitas masing-masing dimensi (waktu, sarana, tempat yang tersedia, keterjangkauan biaya, kecepatan, keandalan, fungsi sebagai sumber informasi, fungsi sebagai sarana komunikasi, fungsi sebagai sarana hiburan, dan kontinuitas sistem) pada sistem internet Kampus Kebidanan Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya.

2. Mendeskripsikan kualitas internet kampus secara keseluruhan pada sistem internet Kampus Kebidanan Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya.

3. Menganalisis korelasi antara kualitas masing-masing dimensi internet kampus dengan kualitas internet kampus secara keseluruhan.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian deskriptif ini dilaksanakan di Kampus Magetan Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Surabaya pada bulan November 2010. Ada 11 variabel penelitian yaitu: 1) kualitas dimensi waktu, 2) kualitas dimensi sarana, 3) kualitas dimensi tempat yang tersedia, 4) kualitas dimensi keterjangkauan biaya, 5) kualitas dimensi kecepatan, 6) kualitas dimensi keandalan, 7) kualitas dimensi fungsi sebagai sumber informasi, 8) kualitas dimensi fungsi sebagai sarana komunikasi, 9) kualitas dimensi fungsi sebagai sarana hiburan, 10) kualitas dimensi kontinuitas sistem pada sistem internet kampus, dan 11) kualitas internet kampus secara keseluruhan.

Kualitas internet kampus diukur dengan selisih kinerja internet kampus dengan tingkat kepentingan internet kampus menurut persepsi pengguna, yakni mahasiswa tingkat I sejumlah 40 orang. Data penelitian adalah data sekunder berupa hasil pengisian kuesioner dari penelitian sebelumnya oleh Tumirah dan Nugroho pada bulan Mei 2010.

Analisis data secara deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kualitas dimensi-dimesi kualitas internet kampus, serta kualitas internet kampus secara keseluruhan, yang disajikan dengan tabel distribusi frekuensi. Kategori kualitas ditentukan sebagai berikut: buruk (-4,00 s/d < 0,00) dan baik (0,00 s/d 4,00).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian Distribusi kualitas internet kampus disajikan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut tampak

bahwa semua dimensi kualitas internet kampus mayoritas dinilai buruk oleh pengguna. Hanya sedikit penilaian kualitas baik pada masing-masing dimensi, bahkan tak seorangpun yang memberikan penilaian baik terhadap kualitas internet kampus secara keseluruhan.

Page 74: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 137

Tabel 1. Kualitas Internet Kampus Kebidanan Magetan pada Bulan November 2010

No

Dimensi

Kualitas

Baik Buruk

Jumlah Persen Jumlah Persen

1 Waktu yang tersedia 9 22,5 31 77,5 2 Sarana yang tersedia 4 10,0 36 90,0 3 Tempat yang tersedia 4 10,0 36 90,0 4 Keterjangkauan biaya 16 40,0 24 60,0 5 Kecepatan 7 17,5 33 82,5 6 Keandalan 4 10,0 36 90,0 7 Fungsi sebagai sumber informasi 9 22,5 31 77,5 8 Fungsi sebagai sarana komunikasi 12 30,0 28 70,0 9 Fungsi sebagai sarana hiburan 12 30,0 28 70,0 10 Kontinuitas 11 27,5 29 72,5 11 Overall (keseluruhan) 0 0,0 40 100,0

Pembahasan

Dari kesepuluh atribut yang ada, secara umum semuanya mendapat penilaian berkualitas buruk oleh mahasiswa Kampus Kebidanan Magetan Poltekkes Kemenkes Surabaya. Bahkan seluruh mahasiswa menilai bahwa kualitas internet kampus secara keseluruhan adalah buruk. Empat dimensi dinilai buruk oleh hampir semua mahasiswa, yaitu dimensi sarana, tempat, kecepatan dan keandalan internet kampus.

Hasil analisis tersebut sesuai dengan hasil analisis penelitian terdahulu oleh Tumirah dan Nugroho (2010) yang menunjukkan dengan jelas bahwa para mahasiswa sebagai pengguna sangat tidak puas terhadap atribut sarana, tempat, kecepatan dan keandalan internet kampus Kebidanan Magetan. Keadaan ini semakin memperjelas bahwa internet kampus belum dapat memenuhi harapan mahasiswa sebagai pelanggan layanan pendidikan. Hal ini didasarkan atas pernyataan Kotler (2008) bahwa puas atau tidak puasnya pembeli setelah melakukan pembelian (termasuk pembelian jasa internet kampus), tergantung kepada kinerja tawaran dalam pemenuhan harapan pembeli. Secara umum, kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan kinerja atau hasil produk yang dipikirkan terhadap kinerja atau hasil yang diharapkan. Jika kinerja berada di bawah harapan, maka pelanggan tidak puas. Jika kinerja melebih harapan, maka pelanggan amat puas atau senang.

Berdasarkan penemuan di atas, perbaikan kualitas sistem internet kampus jelas menjadi kebutuhan dengan nilai urgensi tinggi, karena jika konsumen merasa tidak puas, umumnya mereka akan melampiaskan kekecewaannya dengan cara menceritakan pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan kepada banyak orang. Simamora (2001) menyatakan bahwa konsumen yang puas akan bercerita kepada dua orang lainnya mengenai kepuasannya, sedangkan konsumen yang kecewa akan bercerita kepada sepuluh orang lainnya tentang kekecewaannya. Orang sangat tanggap terhadap kekecewaan orang lain.

Page 75: Volume2 nomor2

Volume II Nomor 2, April 2011 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 138

Pada penelitian terdahulu oleh Tumirah dan Nugroho (2010) telah ditentukan bahwa strategi perbaikan kualitas adalah menggunakan metode Diagram Kartesius Tingkat Kepentingan dan Kinerja, dengan urutan prioritas sebagai berikut: 1) sarana dan tempat, 2) kecepatan dan keandalan, 3) waktu, fungsi sebagai sumber informasi, dan kontinuitas, 4) keterjangkauan biaya, fungsi sebagai sarana komunikasi, dan fungsi sebagai sarana

hiburan.

SIMPULAN DAN SARAN

Secara umum, kualitas internet kampus Kebidanan Magetan masih buruk. Dengan demikian disarankan agar segera dilakukan pembenahan agar dapat berfungsi sebagai media pembelajaran yang betul-betul bermanfaat bagi sivitas akademika. DAFTAR PUSTAKA

Kotler Philip and Keller Kevin Lane. 2008. Manajemen Pemasaran. Jilid 1. Penerjemah: Benyamin Molan. Jakarta: PT Indeks.

Kotler Philip and Keller Kevin Lane. 2008. Manajemen Pemasaran. Jilid 2. Penerjemah: Benyamin Molan. Jakarta: PT Indeks.

Pohan Imbalo S. 2007. Jaminan Mutu Layanan Kesehatan, Dasar-Dasar, Pengertian dan Penerapan. Jakarta: EGC.

Rangkuti Freddy. 2003. Measuring Customer Satisfaction: Gaining Customer Relationship Strategy, Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan Pelanggan dan Analisis Kasus PLN-JP. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Simamora Bilson. 2001. Remarketing For Business Recovery, Sebuah Pendekatan Riset. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Simamora Bilson. 2002. Panduan Riset perilaku Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tjiptono Fandy. 2005. Prinsip-Prinsip Total Quality Service. Yogyakarta: Andi Offset. Tjiptono Fandy. 2006. Manajemen Jasa. Yogyakarta: Andi Offset