wacana dan kebudayaan mulyadi, m.hum. fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf ·...

21
2001 digitalized by USU digital libary WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara 1. Pengantar Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak hanya berbicara dengan bahasa dan dialek yang berbeda, tetapi cara berbicaranya juga berbeda. Dalam beberapa masyarakat percakapan yang normal berisi perdebatan, suara yang meninggi, dan emosi yang menonjol. Dalam masyarakat yang lain orang justru menghindari perdebatan, berbicara dengan suara yang lembut dan menjaga perilakunya. Pada beberapa negara di dunia berbicara pada saat orang lain sedang berbicara dianggap tidak sopan, sedangkan pada beberapa negara lainnya hal ini malah dianggap sebagai bagian dari kepandaian berbicara. Refleksi dari perbedaan cara berbicara di antara dua masyarakat yang berbeda ini secara lebih eksplisit dikemukakan oleh Ho-min Sohn, sebagaimana dikutip oleh Wierzbicka (1994:1). Ia mengatakan bahwa orang Amerika memperlakukan setiap orang sama dalam berkomunikasi sementara orang Korea berperilaku sopan pada sebagian orang, tetapi tidak dengan yang lain. Orang Amerika yang marah cenderung mengeraskan nada sapaan, seperti menyebut ’John’ untuk ‘Bapak John Smith’ sewaktu menyapa orang yang menjadi sasaran kemarahannya, sedangkan orang Korea justru melembutkannya. Berbeda dengan orang Amerika, orang Korea tidak menggunakan pronomina persona kedua bila menyapa pemimpin masyarakatnya. Kemudian, orang Amerika dewasa umumnya menggunakan nama kecil seperti ‘Bob’ dan ’Liz’, sedangkan orang Korea dewasa sering menggunakan gaya bahasa yang sopan dalam interaksi sosial sehari-hari. Menggambarkan dan menjelaskan cara berbicara dalam kebudayaan khusus seperti itu merupakan tugas kajian wacana dan kebudayaan. Tugas ini bisa diancangi dari berbagai arah yang berbeda dan dengan menggunakan berbagai metode yang berbeda. Namun, para ahli umumnya sepakat bahwa terlalu sulit jika pola berbicara dijelaskan dengan istilah yang berhubungan dengan perilaku seseorang. Masalahnya, ada hubungan antara cara berbicara khusus dan budaya masyarakatnya. Untuk itu, harus ditentukan lebih dahulu nilai-nilai dan prioritas budaya dari pola berbicaranya. Buktinya bisa diperoleh dari berbagai sumber, seperti survei atau wawancara, mengamati kebiasaan anak-anak, melalui pepatah-pepatah, ungkapan- ungkapan umum kebudayaan, analisis makna terhadap kata kunci kebudayaan, dan analisis kebudayaan secara lebih luas. Jelasnya, kajian terhadap perbedaan pola komunikasi dari budaya yang berbeda memerlukan sebuah kerangka kerja yang tepat, sebuah jaringan universal yang diharapkan dapat mendeskripsikan pola komunikasi yang alamiah dan memudahkan perbandingan pola komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi nilai yang berbeda, tetapi orientasi nilai itu sendiri merupakan kondisi yang diperlukan. Mengacu pada kemajuan yang dicapai dalam memahami lintas budaya pada dekade terakhir ini, (khususnya budaya Jepang dan Amerika), Edward Hall (1983:91), dikutip oleh Wierzbicka (1994:2), menulis berikut ini : “... there is one element lacking in the cross-cultural field, and that is the existence of adequate models to enable us to gain more insight into the processes going on inside people while they are thinking and communicating. We need to know more about how people think is different cultures...”, ‘ada satu elemen yang kurang dalam bidang lintas budaya, dan elemen itu adalah mengenai keberadaan model-model yang memadai untuk memudahkan kita memperoleh wawasan yang lebih baik tentang proses dalam diri manusia ketika sedang berpikir dan berkomunikasi. Kita perlu mengetahui lebih jauh bagaimana orang-orang berpikir dalam kebudayaan yang berbeda’.

Upload: dominh

Post on 07-Feb-2018

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

WACANA DAN KEBUDAYAAN

Mulyadi, M.Hum. Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

1. Pengantar Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak hanya berbicara dengan bahasa dan dialek yang berbeda, tetapi cara berbicaranya juga berbeda. Dalam beberapa masyarakat percakapan yang normal berisi perdebatan, suara yang meninggi, dan emosi yang menonjol. Dalam masyarakat yang lain orang justru menghindari perdebatan, berbicara dengan suara yang lembut dan menjaga perilakunya. Pada beberapa negara di dunia berbicara pada saat orang lain sedang berbicara dianggap tidak sopan, sedangkan pada beberapa negara lainnya hal ini malah dianggap sebagai bagian dari kepandaian berbicara. Refleksi dari perbedaan cara berbicara di antara dua masyarakat yang berbeda ini secara lebih eksplisit dikemukakan oleh Ho-min Sohn, sebagaimana dikutip oleh Wierzbicka (1994:1). Ia mengatakan bahwa orang Amerika memperlakukan setiap orang sama dalam berkomunikasi sementara orang Korea berperilaku sopan pada sebagian orang, tetapi tidak dengan yang lain. Orang Amerika yang marah cenderung mengeraskan nada sapaan, seperti menyebut ’John’ untuk ‘Bapak John Smith’ sewaktu menyapa orang yang menjadi sasaran kemarahannya, sedangkan orang Korea justru melembutkannya. Berbeda dengan orang Amerika, orang Korea tidak menggunakan pronomina persona kedua bila menyapa pemimpin masyarakatnya. Kemudian, orang Amerika dewasa umumnya menggunakan nama kecil seperti ‘Bob’ dan ’Liz’, sedangkan orang Korea dewasa sering menggunakan gaya bahasa yang sopan dalam interaksi sosial sehari-hari. Menggambarkan dan menjelaskan cara berbicara dalam kebudayaan khusus seperti itu merupakan tugas kajian wacana dan kebudayaan. Tugas ini bisa diancangi dari berbagai arah yang berbeda dan dengan menggunakan berbagai metode yang berbeda. Namun, para ahli umumnya sepakat bahwa terlalu sulit jika pola berbicara dijelaskan dengan istilah yang berhubungan dengan perilaku seseorang. Masalahnya, ada hubungan antara cara berbicara khusus dan budaya masyarakatnya. Untuk itu, harus ditentukan lebih dahulu nilai-nilai dan prioritas budaya dari pola berbicaranya. Buktinya bisa diperoleh dari berbagai sumber, seperti survei atau wawancara, mengamati kebiasaan anak-anak, melalui pepatah-pepatah, ungkapan-ungkapan umum kebudayaan, analisis makna terhadap kata kunci kebudayaan, dan analisis kebudayaan secara lebih luas. Jelasnya, kajian terhadap perbedaan pola komunikasi dari budaya yang berbeda memerlukan sebuah kerangka kerja yang tepat, sebuah jaringan universal yang diharapkan dapat mendeskripsikan pola komunikasi yang alamiah dan memudahkan perbandingan pola komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi nilai yang berbeda, tetapi orientasi nilai itu sendiri merupakan kondisi yang diperlukan. Mengacu pada kemajuan yang dicapai dalam memahami lintas budaya pada dekade terakhir ini, (khususnya budaya Jepang dan Amerika), Edward Hall (1983:91), dikutip oleh Wierzbicka (1994:2), menulis berikut ini :

“... there is one element lacking in the cross-cultural field, and that is the existence of adequate models to enable us to gain more insight into the processes going on inside people while they are thinking and communicating. We need to know more about how people think is different cultures...”, ‘ada satu elemen yang kurang dalam bidang lintas budaya, dan elemen itu adalah mengenai keberadaan model-model yang memadai untuk memudahkan kita memperoleh wawasan yang lebih baik tentang proses dalam diri manusia ketika sedang berpikir dan berkomunikasi. Kita perlu mengetahui lebih jauh bagaimana orang-orang berpikir dalam kebudayaan yang berbeda’.

Page 2: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Dalam semua penelitian lintas budaya, masalah metode yang dikesampingkan adalah bias etnosentris, yaitu memahami praktik wacana kebudayaan lain melalui prisma kebudayaan sendiri. Ada kebutuhan untuk menemukan perspektif universal dari bahasa yang mandiri pada struktur wacana dan nilai-nilai kebudayaannya. Dalam bab ini akan diselidiki berbagai ancangan yang berbeda dalam kajian wacana dan kebudayaan kemudian diungkapkan aspek wacana budaya dari lima kebudayaan yang berbeda (Jepang, Melayu, Polandia, Yankunytjatjara, dan Ewe). Dengan cara ini akan digambarkan beberapa dimensi utama perbedaan lintas budaya dalam wacana. 1.2. Beberapa Ancangan Wacana dan Kebudayaan 1.2.1 Etnografi Komunikasi Ancangan yang paling berpengaruh mengenai kajian wacana dan kebudayaan dikenal sebagai etnografi komunikasi. Ancangan ini ditemukan Dell Hymes (1962) dan dikembangkan lebih jauh oleh John Gumperz dan para ahli lainnya pada tahun 1970-an. Ketika itu teori linguistik didominasi oleh konsep gramatika dan kompetensi bahasa Chomsky, yang gagasannya berfokus pada struktur bahasa daripada penggunaan bahasa. Hymes menekankan bahwa untuk menjadi pembicara yang berkompeten diperlukan lebih dari sekadar pengetahuan gramatika. Ini berarti pengetahuan tentang bagaimana berbicara dengan cara yang tepat secara kultural pada orang yang berbeda, topik yang berbeda, dan latar yang berbeda. Diterapkannya istilah kompetensi komunikatif (communicatie competentece) untuk membahas semua ini bersama dengan pengetahuan struktur bahasa. Dalam mengkaji kompetensi komunikatif, Hymes menyatakan bahwa penelitiannya berfokus pada peristiwa ujaran dalam kebudayaan yang berbeda. Secara kultural dikenal beberapa aktivitas yang melibatkan ujaran; misalnya, bahasa gosip, khotbah, wawancara pekerjaan, atau penilaian sidang di pengadilan. Aktivitas ini sebenarnya tidak hanya berbicara, semua itu terbentuk melalui berbicara dengan cara dan latar yang tepat pada orang-orang tertentu. Hymes menerangkan bahwa bagian dari pembicara yang berkompeten adalah pemahamannya terhadap peristiwa ujaran dalam kebudayaannya. Dia menempatkan sebuah kerangka dimensi peristiwa komunikatif yang disebut SPEAKING karena huruf-huruf di dalam kata-kata itu bisa digunakan untuk menghapal, tetapi komponen-komponennya tidak mengikuti urutan yang penting.

S : setting and scene, latar dan situasi (di mana dan kapan hal itu terjadi) P : participants, peserta (siapa yang mengambil bagian) E : ends, akhir (apa yang ingin dicapai peserta) A : act, tindakan (apa yang dikatakan dan dilakukan) K : key, kunci (apakah berupa nada emosional; misalnya, serius, sedih, gembira ?) I : instrumentalities, instrumen (apa jalur yang digunakan; misalnya, lisan, tertulis, dan kode,

seperti bahasa, gaya-gaya ujaran ?) N : norms of interaction and interpretation, norma interaksi dan interpretasi (mengapa orang

harus bertindak seperti ini ?) G : genre (apa tipe peristiwa komunikatifnya ?) Ahli etnografi komunikasi telah membuktikan pola-pola peristiwa ujaran dalam ranah budaya yang luas. Metode pengumpulan datanya yang paling baik adalah mengamati peserta dan mewawancarai penutur asli. Mereka sering menemukan perbedaan yang mencolok dari norma-norma budaya Eropa. Misalnya, bagi orang Wolof di Afrika Barat, bertukar salam merupakan aktivitas rutin yang berstruktur. Dalam salam pembuka, pujian kepada Tuhan, tanya jawab tentang kesehatan anggota keluarga, ada asumsi budaya yang kompleks tentang tingkat sosial dan perilaku yang tepat di antara perilaku yang berbeda. Orang luar tentunya tidak menyadari hal itu, tetapi setiap ucapan salam menentukan tingkatan-tingkatan relatif peserta. Seperti dalam ungkapan Wolof, 'jika dua orang saling memberi salam, yang satu akan merasa malu dan yang lain merasa bangga'.

Page 3: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Bagi orang Apache, memberi salam memerlukan bentuk perilaku yang berbeda. Bentuk yang umum adalah diam dalam waktu yang lama. Perilaku ini merupakan contoh terbaik dari fakta bahwa bentuk verbal yang sama mungkin memiliki fungsi yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Perilaku ini tampaknya sama dalam setiap bahasa, tetapi interpretasinya berbeda secara luas. Contoh lain, di Jepang ada kepercayaan bahwa jika sebuah pengalaman diungkapkan dengan kata-kata, maka makna riilnya akan hilang. Jadi, kapan pun emosi seseorang mencapai puncaknya, apakah karena kematian orang tuanya, atau kabar gembira tentang anaknya yang lulus ujian masuk perguruan tinggi, atau pemandangan yang sangat indah, maka hal-hal yang demikian tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Perlu dicatat bahwa walaupun karya Hymes telah banyak mengilhami studi wacana dan kebudayaan, sebenarnya hanya beberapa kerangka SPEAKING yang digunakan untuk mengorganisasi penjelasannya. Apa yang coba dilakukan oleh Hymes ialah menempatkan sebuah kerangka kerja dalam mengumpulkan data pada peristiwa ujaran secara lintas budaya (disebut kerangka etis). Untuk menjelaskan fenomena wacana dalam kebudayaan, komponen terpenting adalah komponen norma . Faktanya, sebagian besar studi etnografi komunikasi menghabiskan sebagian waktunya untuk menjelaskan hal ini. Norma interaksi mengacu pada aturan bagaimana orang-orang diharapkan berbicara dalam peristiwa ujaran tertentu; sering terjadi ketidaksadaran dan hanya dapat diliput oleh makna tidak langsung, misalnya, dengan mengamati reaksi bila mereka terganggu. Semua pengetahuan dari budaya yang lain diperlukan untuk memahami peristiwa komunikatif yang terjadi berdasarkan norma-norma interpretasi. Kesulitan utama dalam menggunakan ancangan etnografi komunikasi adalah keterbatasan metode dalam menjelaskan norma-norma budaya; dalam praktiknya, setiap ahli etnografi kembali pada caranya masing-masing. 1. 2.2 Pragmatik Kontrastif Di bawah judul ini bisa diidentifikasi beberapa tradisi penelitian untuk memahami pola-pola percakapan dalam beragam budaya. Sebuah tradisi diusulkan oleh filosof H.P. Grice (1975) yang mengatakan bahwa semua komunikasi manusia dijembatani oleh prinsip-prinsip universal yang dikenal sebagai maksim percakapan; misalnya, berani, informatif, relevan, dan jelas. Ide dasarnya adalah mengubah informasi menjadi fungsi percakapan secara prototipe. Namun, maksim Grice tidak berlaku pada semua kebudayaan. Pada masyarakat desa di Malagasi, misalnya, orang tidak diharapkan memuaskan kebutuhan informasi pendengar karena, pertama, kekurangan informasi menunjukkan tingkat status dan kedua, ada ketakutan membela pendapat tertentu karena akan menyebabkan tsiny ('rasa bersalah') pada seseorang dan keluarganya. Yang lainnya ialah tulisan Brown dan Levinson (1978) tentang kesopanan universal (beberapa aplikasinya lihat Gunarwan, 1992, 1994, 1999) Mereka menyatakan semua kebudayaan memberikan pembicara dua tipe strategi yang luas untuk mengimbangi gangguan dalam tindak komunikatif : strategi kesopanan positif menarik identitas dan perhatian umum bersama, sedangkan strategi kesopanan negatif menekankan otonomi dan kemandirian pembicara dan lawan bicara. Jelas bahwa setiap strategi keuniversalan kesopanan harus dikaitkan dengan kebudayaan. Dalam penelitian yang berorientasi universal terdapat pragmatik kontrastif yang terpusat pada realisasi kebudayaan dari tindak ujar. Salah satu studi terbesarnya adalah Proyek Realisasi Tindak Ujar Lintas Budaya (Cross Cultural Speech Act Realisation Project), yang membedakan cara meminta dan memaafkan dalam bahasa Argentina, Spanyol, Australia, Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, dan Ibrani Israel (Blum-Kulka, House dan Kaspar, 1989). Sejumlah studi penting dalam masalah ini telah diuji secara pragmatik antarbahasa, yaitu wacana bukan penutur asli pada bahasa kedua dan beberapa studi lain mengkaji orang-orang dari latar budaya dan bahasa berbeda yang berinteraksi dalam sebuah bahasa pengantar.

Page 4: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Penelitian pragmatik kontrastif menggunakan metode yang berbeda dibandingkan dengan etnografi komunikasi, seperti kuesioner, survei, dan komplesi wacana. Teknik elisitasi data memberi kemungkinan untuk analisis statistik walaupun yang direpresentasikan ujaran asli yang spontan. 1.2.3 Kajian Kebudayaan Dua ancangan yang lebih mendalam untuk mempelajari aspek kebudayaan dalam wacana adalah linguistik antropologi dan studi komunikasi antarbudaya. Linguistik antropologi mengarah pada disiplin antropologi. Studi ini bertujuan memahami penggunaan bahasa yang tepat dan mengangkatnya dalam kebudayaan yang lebih luas. Studi ini sering tampak pada praktik kebudayaan yang mendetail. Studi antarkebudayaan biasanya berfokus pada masyarakat tingkat nasional, seperti Jepang atau Cina, dengan membandingkannya dengan kebudayaan Anglo-Amerika. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesalahpahaman dalam bisnis atau relasi internasional. Yang terbaik dari studi ini adalah adanya wawasan yang penting pada kajian wacana dan kebudayaan, yang sering dijumpai dalam bentuk anekdot. 1.2.4 Wacana Kebudayaan Meskipun ancangan yang digambarkan sejauh ini membuktikan pentingnya hubungan wacana-kebudayaan, bidang tersebut secara menyeluruh berlanjut pada beberapa masalah yang rumit, seperti bagaimana aturan kebudayaan (norma, strategi, dll.) dalam wacana seharusnya dikemukakan. Biasanya digunakan label teknis (atau semiteknis), seperti langsung lawan tak langsung, formal lawan informal, sebagaimana metabahasa deskriptif, tetapi istilah ini digunakan dengan makna berbeda oleh penulis yang berbeda. Misalnya, kalau pola ujaran bahasa Jepang dipertentangkan dengan pola ujaran bahasa Inggris, maka pola ujaran bahasa Jepang digambarkan tak langsung, sedangkan pola ujaran bahasa Inggris langsung. Namun, jika bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Ibrani, maka pola ujaran bahasa Inggris menjadi tak langsung dan bahasa Ibrani menjadi langsung. Perbedaan ini tidak bersifat kuantitatif, tetapi kualitatif. Kebudayaannya berbeda dengan apa yang disebut tak langsung, bagaimana menjadi tak langsung, dan yang terpenting, mengapa menjadi tak langsung. Masalah yang lain ialah jika metabahasa untuk perbandingan lintas budaya terdiri atas istilah, seperti kelangsungan, penghormatan, wajah, kesopanan, hierarki, dan sebagainya, analisis yang dilakukan dengan mudah memasukkan etnosentris karena konsep yang relevan tidak ditemukan dalam kebudayaan yang digambarkan dan bahkan biasanya tidak dapat diterjemahkan dengan mudah ke dalam bahasa yang bersangkutan. Studi etnografi berupaya mengatasi hal ini dengan memasukkan istilah asli (mis. tsiny dalam bahasa Malagasi, enryo 'pengekangan' dalam bahasa Jepang, kunta 'malu' dalam bahasa Yankunytjatjara) dalam deskripsinya. Namun, kesulitan dalam terjemahan muncul. Tanpa metode analisis semantik leksikal, ahli etnografi jarang berhasil menjelaskan kandungan konseptual dalam istilah asli. Masalah ini ternyata dapat diatasi dengan menggunakan makna alamiah metabahasa (Natural Semantic Metalanguage, NSM), yang dikembangkan oleh Anna Wierzbicka dan rekan-rekannya selama bertahun-tahun dalam penelitian semantik lintas bahasa. Metabahasa ini terdiri atas sekelompok kecil makna sederhana yang terbukti dapat diungkapkan dengan kata-kata atau kelompok morfem dalam semua bahasa. Misalnya, ORANG, SESEORANG, SESUATU, INI, MENGATAKAN, MEMIKIRKAN, INGIN, MENGETAHUI, BAIK, BURUK, TIDAK. Kata-kata ini merupakan leksikon universal; maknanya dapat diterjemahkan dengan tepat pada semua bahasa. Kata-kata itu bergabung sesuai dengan kelompok kecil pola gramatika universal, terdiri atas bahasa mini yang merupakan alat yang ideal untuk semantik lintas bahasa. Bagian terbesar dari penelitian semantik empiris dirancang dengan ancangan NSM, yang banyak berfokus pada kata kunci kebudayaan, tindak ujar, dan partikel wacana--semua elemen bahasa yang berkaitan dengan wacana dan kebudayaan. Metabahasa leksikon universal digunakan tidak hanya untuk analisis makna, tetapi juga merumuskan aturan kebudayaan dalam berbicara yang dikenal sebagai wacana

Page 5: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

kebudayaan (cultural script). Wacana itu meliputi sikap budaya tertentu, asumsi-asumsi, dan norma-norma yang tepat dalam istilah kebudayaan yang mandiri. Ambil sebuah contoh sederhana. Wacana di bawah ini meliputi norma khusus budaya Jepang.

jika sesuatu yang buruk terjadi pada seseorang karena saya saya akan mengatakan sesuatu seperti ini pada orang ini : saya merasakan sesuatu yang buruk karena ini Contoh ini menggambarkan kecenderungan yang terkenal dalam bahasa Jepang untuk apologise 'minta maaf' dalam ranah situasi yang luas, tetapi apologise tidak diandalkan sebagai verba tindak ujar dalam bahasa Inggris. Jika digunakan, akan menjadi etnosentris dan menyesatkan. Konsep ikatan budaya seperti apology kurang tepat sebagai alat deskriptif dan analitis dalam lintas budaya. Istilah bahasa Inggris juga menyesatkan dalam komponen makna, seperti ‘Saya melakukan sesuatu yang buruk pada Anda’. Yang disebut dengan apology bahasa Jepang tidak mensyaratkan komponen itu. Orang diharapkan melakukan hal itu jika tindakannya menyebabkan orang lain menderita atau merasa tidak enak meskipun tindakannya dilakukan secara tak langsung. Oleh karenanya, wacana di atas lebih akurat bila diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Jelaslah bahwa ancangan wacana kebudayaan melengkapi tradisi lain dalam studi wacana dan kebudayaan dengan menyediakan metode yang lebih baik untuk menerangkan aturan berbicara (rules of speaking). Ancangan ini sangat cocok untuk penelitian strategi wacana (pragmatik kontrastif) dan kebudayaan khusus (etnografi komunikasi dan studi antarbudaya). Ancangan ini juga sesuai dengan teknik pengumpulan data dalam berbagai tipe.

WACANA DALAM KEBUDAYAAN 2.1 Pengantar Pada bagian ini akan ditelaah lima fenomena wacana yang terdapat dalam masyarakat, budaya, dan geografi yang berbeda. Di antara fenomena wacana tersebut akan diperlihatkan pilihan kata yang berbeda dalam hubungannya dengan keinginan, pendapat, dan perasaan, konvensi yang berbeda sewaktu berpartisipasi dalam percakapan, gaya ujaran khusus, kebiasaan dan genre budaya-khusus. Berdasarkan tekstur bahasa, perbedaan yang selalu ada mencakup frekuensi imperatif dan pertanyaan, bentuk panggilan dan vokatif, bentuk-bentuk khusus untuk mengacu pada diri sendiri, keberterimaan negasi yang jelas, eksklamasi dan partikel wacana, dan penggunaan kosakata yang bermarkah dalam berbagai cara. 2.2 Gaya Wacana : Jepang, Melayu, dan Polandia Pada beberapa tingkatan dimungkinkan berbicara tentang gaya wacana (discourse style) yang lebih disukai dari sebuah kebudayaan, paling tidak jika dibatasi pada bidang yang umum, yaitu situasi di mana para peserta tidak mengenal satu sama lain dengan baik dan kemudian diamati peserta lainnya ketika mereka sedang berbicara. Umumnya dalam literatur ditemukan istilah, seperti ketaklangsungan (inderectiness) dan pengendalian (restraint) yang diterapkan pada seluruh kebudayaan. Pada bagian ini akan dibandingkan dua kebudayaan yang tidak berhubungan (Jepang dan Melayu). Bagaimanakah persamaan kedua kebudayaan itu ? Adakah logika kebudayaan dalam pilihan wacananya ? Setelah itu, akan ditunjukkan kebudayaan Polandia yang secara aktif mendorong kelangsungan ekspresi, setidak-tidaknya dalam hal-hal tertentu. 2.2.1 Bahasa Jepang Kebudayaan Jepang sering dicirikan dengan penindasan atau tidak percaya dengan kata-kata. Contohnya, Doi (1988:33) mencatat bahwa tradisi Barat menekankan pentingnya kata-kata. Di Jepang tradisi ini tidak ada. Saya tidak bermaksud memberi kesan bahwa

Page 6: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

budaya Jepang meremehkan kata-kata, tetapi terdapat kesadaran tentang kata-kata yang tidak terungkap. Penulis lainnya menunjukkan bahwa penganut Budha menekankan inutility dari komunikasi bahasa dan pilihan budaya Jepang untuk komunikasi nonverbal dalam pendidikan tradisional dan dalam interaksi antara ibu dan anaknya. Salah satu sumber budaya penting pengendalian verbal adalah budaya enryo, yang biasanya diterjemahkan dengan restraint ‘pengendalian’ atau reserve ‘sikap hati-hati’. Enryo menghalangi pembicara Jepang untuk menyampaikan keinginannya secara langsung. Juga, secara kultural dianggap kurang sopan meminta langsung pada orang lain apa yang diinginkan. Mitzutani dan Mitzutani (1987:49) menjelaskan bahwa "kecuali dengan keluarga dan teman dekat, pada orang lain akan tidak sopan jika dikatakan *Nani-o-tabetai-desu-ka 'Apakah Anda ingin makan ?' dan *Nani-ga-hosii-desu-ka 'Apa yang ingin Anda miliki ?' Seorang tamu di Jepang tidak terus-menerus ditawarkan pilihan oleh tuan rumah yang penuh perhatian, seperti di Amerika Serikat. Tuan rumah bertanggung jawab dalam mengantisipasi apa yang menyenangkan tamunya dan secara sederhana menyajikan makanan dan minuman, kemudian mendesak mereka untuk memakannya; dalam frase standar, 'tanpa enryo'. Kendala budaya yang sama mencegah orang-orang di Jepang untuk menyatakan pilihan dengan jelas, bahkan dalam menanggapi pertanyaan langsung. Orang Jepang, ketika ditanya hal-hal yang menyenangkan, menghindari jawaban dengan ungkapan, seperti (1a). Fenomena yang terkait adalah sengaja menggunakan ungkapan numerikal yang tidak tepat. Misalnya, ketika ingin membeli tiga buah apel, orang Jepang akan lebih menyukai ungkapan about three ‘sekitar tiga’, seperti (1b). Ketika memberi saran, ungkapan open-ended, seperti demo dan nado lebih disukai, seperti (1c).

1. a. Itsu-demo kekkoo-desu. 'Kapan pun akan dilakukan' Doko-demo kamaimasen. 'Di mana pun baik untuk saya'. Nan-demo kamaimasen. 'Apa pun akan cocok untuk saya'. b. Mitsu-hodo/gurai/bakari kudasai. 'Tolong, berikan saya tiga'. c. Eiga-demo mimashoo-ka ? 'Bagaimana kalau menonton bioskop atau yang lain ?' Seperti halnya keinginan seseorang, demikian pula pikiran dan perasaannya. Bukan hanya pertanyaan kapan mengekspresikannya, tetapi apakah orang harus mengekspresikan semuanya, sebuah kenyataan yang menyebabkan beberapa pengamat menggambarkan orang-orang Jepang sebagai pengawal dirinya sendiri (guarded self). Perbedaan yang sangat mencolok antara orang Jepang dan orang Amerika tidak hanya menyangkut ranah topik yang mereka siapkan untuk dibicarakan, tetapi juga ranah orang, yaitu kepada siapa mereka berbicara untuk menyampaikan pikiran dan maksudnya. Jika seseorang berbicara, maka dihindari menyatakan sesuatu yang dapat menyakiti atau menghina seseorang atau memalukan pembicara sendiri. Semua pengamatan ini mengisyaratkan wacana kebudayaan Jepang. 2. sering tidak baik mengatakan apa pun pada orang lain 3. tidak baik mengatakan sesuatu seperti ini pada orang lain : "Saya ingin ini", "Saya tidak ingin ini" "Saya kira ini", "Saya kira bukan ini" jika saya mengatakan sesuatu seperti ini, seseorang akan merasakan sesuatu yang buruk 4. sebelum saya mengatakan sesuatu pada seseorang adalah baik memikirkan sesuatu seperti ini : saya tidak dapat mengatakan semua yang saya pikirkan jika saya lakukan, seseorang akan merasakan sesuatu yang buruk Budaya Jepang lain yang relevan dengan pilihan wacananya adalah omoiyari, yang diperkenalkan oleh beberapa penanggap kebudayaan sebagai salah satu kunci sifat orang Jepang. Lebra (1976:38) menggambarkannya seperti di bawah ini.

“Omoiyari refers to the ability and willingness to feel what others are feeling, to vicariously experience the pleasure or pain that they are undergoing, and to help them

Page 7: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

satisy their wishes ... without being told verbally”, ‘omoiyari mengacu pada kemampuan dan kesediaan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, seolah-olah mengalami sendiri kesenangan atau kesedihan yang mereka alami dan membantu mereka memenuhi keinginannya ... tanpa disampaikan secara verbal.’

Tentu saja tidak sulit menemukan bukti untuk mendukung gambaran Lebra tentang kebudayaan Jepang, seperti budaya omoiyari. Misalnya, pada kolom pembaca di surat kabar Shikoku Shimbun, tempat pembaca menempatkan foto anak-anaknya dan menyatakan harapan dan keinginan mereka, salah satu yang paling umum adalah Omoiyari no aru hitoni nattene 'Silakan menjadi orang bersama omoiyari'. Pada buku pedoman pendidikan untuk guru, yang pertama adalah Omoiyari no kokoro o taisetsuni shimashoo 'Marilah memperkaya pikiran/hati dengan omoiyari'. Dalam hubungan sempai/koohai 'senior/junior' di perusahan-perusahaan Jepang, omoiyari berperan penting : sempai diharapkan bisa mengantisipasi kebutuhan koohai dan memuaskannya, kepadanya akan diberi kesetiaan yang mutlak. Orang Jepang bersikap tegas dalam mengungkapkan perasaan. Orang Jepang yang tidak bisa mengendalikan emosinya dianggap belum dewasa. Ini tidak hanya diterapkan pada emosi negatif, seperti marah, takut, muak, dan sedih, tetapi juga pada ekspresi gembira. Sikap saling mengimbangi ini tampak pada wacana di bawah. Pada (5a) dan (5b), sikap budaya Jepang menghindari orang dalam menyatakan perasaannya, tetapi pada saat yang sama mendorong kepekaan emosi melalui orang lain. Wacana terakhir melarang pembicara Jepang menghindari perselisihan yang terbuka dan mengekspresikan persetujuan yang positif. 5. a. jika saya merasakan sesuatu tidak baik mengatakan sesuatu tentang hal itu pada orang lain jika saya lakukan, orang ini dapat merasakan sesuatu yang buruk saya tidak dapat mengatakan apa yang saya rasakan b. rasanya baik jika saya dapat mengetahui apa yang dirasakan orang lain orang ini tidak mengatakan sesuatu pada saya 6. jika seseorang mengatakan sesuatu pada saya tentang sesuatu saya tidak dapat mengatakan sesuatu seperti ini : "Saya pikir tidak sama" rasanya baik mengatakan sesuatu seperti ini : "Saya akan mengatakan hal yang sama" Aspek lain dari gaya wacana bahasa Jepang juga dapat dimengerti dari wacana kebudayaan ini. Misalnya, ganti bicara (turn-taking) mengikuti pola yang berbeda dari masyarakat Anglo-Amerika. Percakapan bahasa Jepang diharapkan menjadi suatu karya kolektif dari interlokutor dan ketergantungan pada kata-kata balasan yang dalam bahasa Jepang disebut aizuchi. Istilah ini dapat dijelaskan sebagai berikut : ai bermakna 'melakukan sesuatu bersama-sama dan tsuchi bermakna 'sebuah palu'. Jadi, dua orang yang sedang berbicara dan saling bertukar kata-kata disamakan dengan dua palu di atas mata pisau. Penutur bahasa Jepang selalu membiarkan kalimatnya belum lengkap supaya pendengar dapat melengkapinya : 'melengkapi kalimat seseorang terkesan seperti orang yang menolak partisipasi orang lain (Mizutani dan Mizutani, 1987:27). Akhirnya, ada peranti, seperti partikel ne, yang menurut Cook (1992) mengundang teman bicara menjadi pembicara yang aktif dan bersemangat. Misalnya, ne muncul empat kali dalam pesan singkat berikut, kadang-kadang di tengah kalimat berkombinasi dengan bentuk verba nonfinit -te. Penutur ini sedang membicarakan pengalamannya pada keluarganya sewaktu bepergian ke Amerika Serikat. 7. Boku wa sono inu o ne. Eeto nan dakke ? I, that dog NE Well, what (am I) talking about ? Omae shigoto suru katte kikarete ne. Nan no shigoto ka wakannai to omotte ne (I) was asked if I would work and NE (I) thought (I) would not know what work it would be

and NE so-soto ittara ne Sono inu no sooji ya ara- when (I) went out-outside NE cleaning of that dog and wash-

Page 8: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Makna harfiah ne bisa direpresentasikan sebagai "Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama". Diusulkan parafrase berikut. ne-I think you would say the same. 'Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama'. Perhatikan contoh lain dari penggunaan partikel ne. 8. Oishii keeki desu ne. enak kue kopula (sopan) PT ‘Kue ini enak (bukan) ?’ 9. Mainichi yoku furimasu ne. setiap hari banyak hujan PT ‘Setiap hari hujan sering turun (bukan) ?’ Kalimat tentang kue dan hujan di atas bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai berikut. 10. a. This cake is delicious; I think you would say the same. 'Kue ini enak; Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama'. b. It rains a lot everyday; I think you would say the same. ‘Setiap hari hujan sering turun; Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama'. Untuk memahami pesan "Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama" pada konteks lain, terutama perannya di tengah kalimat, orang bisa melihat ne dalam konteks struktur khusus percakapan bahasa Jepang secara umum dan dengan memahami konsep aizuchi secara khusus. Jelasnya, pesan ‘Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama’ yang direalisasikan pada partikel ne berguna dalam percakapan tempaan menurut norma budaya tersebut. Itulah sebabnya ne tidak hanya meluas dalam percakapan bahasa Jepang, tetapi secara praktis sangat diperlukan. Penyelidikan jenis ini dengan kuat mengisyaratkan kehadiran norma budaya Jepang yang dapat dinyatakan sebagai berikut. 11. Jika saya mengatakan sesuatu pada seseorang, Rasanya baik mengatakan sesuatu seperti ini pada waktu yang sama : “Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama”. Cook (1992) mengatakan bahwa “ne sebagai pemarkah dari sikap yang bersahabat ... karena sikap yang bersahabat dapat ditunjukkan dengan memperlihatkan perasaan bersama" dan "ne secara langsung menunjukkan perasaan bersama". Tentu saja tidak seorang pun bisa membantah pernyataan bahwa "pemahaman terhadap perasaan bersama merupakan hal mendasar bagi anggota masyarakat Jepang" dan banyak aspek dalam bahasa Jepang merefleksikan hal ini (seperti butir leksikal omoiyari atau yasashii). Namun, tidak ada bukti yang mendukung adanya perasaan dalam makna ne. Secara alamiah pengulangan pesan yang konstan pada ”Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama” memang bisa menciptakan ikatan khusus di antara interlokutor dan ini bisa diartikan sikap yang bersahabat dan sikap simpati, tetapi tidak ada yang memaksa kita untuk berasumsi bahwa makna ne yang sebenarnya menunjukkan perasaan tersebut. Lebih jauh, banyak konteks ne yang bisa digu-nakan secara tepat menjadi bertentangan dengan asumsi itu. Misalnya, pertimbangkan percakapan antara guru dan muridnya berikut ini. 12. Guru : Shukudai o shimashita ne ? (You) did the homework, ne ? 'Kamu sudah mengerjakan PR bukan ?' Murid : Hai, shimashita. Yes, (I) did. 'Ya, saya sudah kerjakan'.

Page 9: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Jadi, makna ne adalah “Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama” dan bukan kombinasi dari ”Saya kira Anda akan mengatakan hal yang sama” dan “Saya kira Anda merasakan hal yang sama (seperti saya)”. Dalam hal ini, perasaan benar-benar tidak relevan (tidak sama dengan kata-kata seperti omoiyari atau yasashii). Selain itu, penggunaan partikel ne sebagai refleksi dari perbedaan antara gaya percakapan orang Jepang dan orang Barat tidak hanya menyangkut masalah tingkatan, tetapi perbedaan itu mengungkapkan perbedaan norma-norma budaya yang mendasar. 2.2.2 Bahasa Melayu Kebudayaan tradisional orang Melayu menaruh perhatian pada tingkah laku yang sopan, dan bagian integralnya ialah berbicara dengan cara yang sopan. Norma ujaran yang halus dalam bahasa Melayu agak mirip dengan bahasa Jepang, tetapi jika diamati lebih mendalam persamaan itu menjadi dangkal. Para peneliti umumnya menggambarkan budaya Melayu dengan nilai-nilai pengendalian yang halus dan ramah-tamah. Orang Melayu digambarkan sebagai orang yang sopan, lembut, dan luwes. Secara tradisional mereka adalah orang desa, sumber penghidupannya bergantung pada perikanan, perkebunan, dan pertanian. Orang Melayu sudah lama menjadi muslim meskipun tradisi (adat)-nya sangat menuansai kegiatan Islam mereka. Kebudayaannya kaya dengan kata-kata, peribahasa, pantun, dan syair. Pentingnya bahasa dalam kebudayaan Melayu dibuktikan dengan kenyataan bahwa bahasa mempunyai makna kedua, yaitu 'rasa hormat' dan 'tata krama'. Satu konsep dasar dalam pergaulan orang Melayu adalah rasa malu. Walaupun jenis perasaan ini selalu diterjemahkan dengan ashamed, shy, atau embarrassed, terjemahannya tidak menyampaikan fakta bahwa orang Melayu menganggap kemampuan untuk merasa malu sebagai suatu kebaikan sosial, sama dengan rasa sopan. Keinginan menghindari rasa malu merupakan kekuatan utama dalam hubungan sosial orang Melayu. Dua konsep sosial yang berhubungan ialah maruah dan harga diri (self-esteem), yang keduanya terancam oleh kemungkinan tidak disetujui konsep lain, yaitu rasa malu. Vreeland (1977:117) menekankan pentingnya konsep ini bagi perilaku orang Melayu pada umumnya.

“The social value system is predicated on the dignity of the individual and ideally all social behaviour is regulated in such a way as to preserve one’s own amour propre and to avoid disturbing the same feelings of dignity and self-esteem in others”, ‘sistem nilai sosial didasarkan pada martabat pribadi dan idealnya semua perilaku sosial diatur dengan cara tersebut selama dipertahankan harga diri mereka dan dihindari menyinggung gengsi dan harga diri satu sama lain’.

Seperti di Jepang, orang mengira masyarakat Melayu berpikir sebelum berbicara. Ada ungkapan yang menyebutkan "Kalau cakap pikirlah sedikit dulu" (‘Jika kamu akan berbicara berpikirlah lebih dahulu'). Namun, sikap budaya yang mendasar sedikit berbeda dengan di Jepang. Seperti keinginan menghindari teman bicara merasakan sesuatu yang buruk (dengan mengatakan "jaga hati orang" ('jagalah perasaan orang lain'), dalam bahasa Melayu peringatan ini dimotivasi oleh keinginan menghindari teman bicara memikirkan sesuatu yang buruk tentang seseorang. 13. sebelum saya mengatakan sesuatu pada seseorang, rasanya baik berpikir : saya tidak ingin orang ini merasakan sesuatu yang buruk saya tidak ingin orang ini memikirkan sesuatu yang buruk tentang saya Perbedaan lain adalah bahwa nilai budaya Melayu ditentukan oleh kemampuan berbicara. Cara berbicaranya yang halus sangat dikagumi yang membawa kebanggaan pada dirinya dan pendidikannya. Cara berbicara ini adalah keterampilan yang dipelajari di rumah dan sama sekali tidak berhubungan dengan kekayaan, keturunan, atau pendidikan formal.

Page 10: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Seorang petani yang hanya mendapat pendidikan dasar mungkin saja berbicara lebih sopan daripada seorang pegawai di kantor pemerintah atau swasra. Ujaran yang halus akan bernilai dalam situasi formal atau ketika berbicara dengan orang lain yang berada di luar lingkungan keluarganya. Orang Melayu selalu merasa orang lain menjaga dan menyampaikan pendapatnya, siap menghinanya tanpa kecakapan berbicara, seperti kurang ajar, tidak tahu aturan. Cara yang sopan akan mendapat kebanggaan. Sikap budaya ini digambarkan sebagai berikut. 14. jika orang mendengar seseorang mengatakan sesuatu : kadang-kadang mereka memikirkan sesuatu seperti ini : ‘orang ini tahu bagaimana mengatakan sesuatu dengan baik pada orang lain, ini baik’ kadang-kadang mereka memikirkan sesuatu seperti ini : ‘orang ini tidak tahu bagaimana mengatakan sesuatu dengan baik pada orang lain : ini buruk’ Ciri ujaran yang halus termasuk penggunaan frase yang bernilai tinggi sebagai pengganti kosakata yang biasa, perhatian yang besar untuk membentuk acuan pribadi (misalnya, menghindari teman bicara dan mengacu pada diri sendiri); dan untuk inventaris yang besar dari peribahasa untuk menyinggung hal-hal yang paling sensitif. Nada yang lembut (lunak) juga penting. Perilaku ini tidak hanya diterapkan dalam berbicara, tetapi juga pada ranah perilaku nonverbal; misalnya, melepas sepatu sebelum masuk ke rumah, memakan sedikit makanan yang ditawarkan, bersikap khusus ketika melewati orang yang sedang duduk, menggunakan tangan kanan ketika makan atau memberikan sesuatu, menghindari sentuhan fisik dengan anggota yang berbeda jenis kelamin, menunjuk dan memberi isyarat dengan cara tertentu. Budaya Melayu menghindari orang mengekspresikan perasaannya. Berbeda dengan situasi di Jepang yang menyatakan perasaan dengan ekspresi yang berhubungan dengan muka dan tindakan orang lain, ada asumsi yang mendasar bahwa orang dipercaya menjadi sensitif pada manifestasi nonverbal. Wacananya seperti di bawah ini. 15. jika saya merasakan sesuatu tidak baik mengatakan sesuatu seperti ini pada orang lain : 'saya merasakan seperti ini' jika orang lain dapat melihat saya, mereka akan tahu apa yang saya rasakan Pandangan yang bermakna merupakan strategi nonverbal yang tepat. Misalnya, verba bertenung menggambarkan pandangan yang digunakan untuk menyampaikan kejengkelan terhadap perilaku orang lain, misalnya, anak yang berkelakuan tidak sopan atau seseorang di dalam sebuah ruangan yang membunyikan bolpoin dengan cara menjengkelkan. Mata terbeliak menyampaikan celaan; merendahkan mata dan sengaja menoleh tanpa berbicara menandakan orang itu muak pada seseorang; mengatupkan kedua bibir dan menjuihkannya menandakan kejengkelan.Ekspresi nonverbal merupakan kritik untuk teman dekat; dalam bahasa Inggris disebut angry, yang tidak dikaitkan dengan suasana dari 'kata-kata marah' (didukung wacana kebudayaan Anglo tentang kebebasan berekspresi), tetapi dengan wajah yang sedih dan cemberut yang dalam bahasa Melayu disebut merajuk. 2.2.3 Bahasa Polandia Pusat utama keramahan dan kasih sayang dalam kebudayaan Polandia (seperti terdapat dalam kebudayaan Slavia umumnya) direalisasikan dengan berbagai cara dalam bahasa Polandia. Istilah-istilah yang menunjukkan kasih sayang digunakan secara luas dalam ujaran sehari-hari, terutama pada anak-anak; misalnya, ptaszku 'burung kesayangan', kotku 'kucing kesayangan', sloneczko 'matahari kesayangan', skarbie 'harta', zlotko 'emas kesayangan', dan sebagainya. Nama-nama pribadi mempunyai sepuluh bentuk derivasi yang berbeda, masing-masing mengimplikasikan sedikit perbedaan sikap emosional dan keadaan emosional. Contohnya, semua bentuk ini umumnya digunakan pada orang yang sama : Maria

Page 11: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

menjadi Marysia, Marysienka, Maryska, Marysiuchna, Marychna, Marys, Marysiuika, Marvcha, dan Marysiatko. Keramahtamahan dalam membuat penawaran diekspresikan dengan menggunakan diminutatif dan imperatif secara bersama-sama. Demikian pula, seorang tuan rumah yang baik akan mendesak tamunya pada saat berpisah supaya tinggal di rumahnya lebih lama, dengan menyatakan 'kamu harus' dan dengan diminutatif. Permintaan di antara orang-orang yang intim, seperti suami dan istri atau permintaan langsung pada anak-anak secara tipikal juga menggunakan diminutatif dan imperatif. Misalnya, 16. a. Wez jeszcze sledzika ! Koniecznie ! Take some more dear-little-hearing (DIM). You must ! 'Tambah lagi ikan keringnya ! Kamu harus ! b. Ale jeszcze troszeczke ! Ale koniecznie ! But [stay] a liitle (DIM) more ! But you must ! 'Tinggallah lebih lama lagi ! Tetapi kamu harus ! c. Jureczku, daj mi papierosa ! George-DIM-DIM, give me a cigarette ! 'George, beri aku rokok ! d. Monisienko, jedz zupke ! Monica-DIM-DIM, eat your soup-DIM ! 'Monika, makan supmu ! Nilai budaya Polandia tidak menghalangi ekspresi perasaan baik dan buruk dan menyepakati nilai khusus dalam menyampaikan perasaan baik dan buruk melalui lawan bicara. 17. a. saya ingin orang mengetahui apa yang saya rasakan jika saya merasakan sesuatu yang baik saya ingin mengatakan sesuatu jika saya merasakan sesuatu yang buruk saya ingin mengatakan sesuatu b. jika saya merasakan sesuatu yang baik ketika saya memikirkan Anda, saya ingin Anda

mengetahuinya Kekompleksan yang sama dalam bersikap menyangkut kebebasan mengemukakan pendapat, menyokong keterbukaan dalam perbedaan, "dengan mengatakan apa yang dipikirkan orang lain secara tepat", bahkan dalam mengemukakan kebenaran yang menyakitkan. 18. a. saya ingin orang mengetahui apa yang saya pikirkan jika saya berpikir bahwa seseorang memikirkan sesuatu yang buruk, saya ingin

mengatakannya pada orang ini b. jika saya berpikir bahwa Anda memikirkan sesuatu yang buruk, saya ingin

mengatakannya pada Anda saya tidak ingin Anda memikirkan sesuatu yang buruk Norma-norma komunikasi itu berbeda dengan masyarakat Inggris-Amerika, yang mendorong keseimbangan ekspresi dari pandangan dan kerja sama dan menghalangi emosi kecuali dalam lingkungan yang luar biasa. Tanggapan berikut berasal dari Eva Hoffman, penulis Amerika yang pindah bersama keluarganya dari Polandia dan menetap di Amerika Utara ketika ia masih remaja. Remaja Polandia ini menemukan hal tertentu (Hoffman, 1989:146).

“Saya mempelajari bahwa jenis-jenis kebenaran tertentu tidak sopan. Seseorang tidak boleh mengkritik orang lain secara langsung. Anda tidak boleh berkata 'Kamu salah', tetapi Anda boleh mengatakan 'hal itu perlu dipertimbangkan'. Anda tidak boleh berkata, 'Ini tidak bagus untukmu', tetapi Anda boleh mengatakan 'Aku lebih suka kamu memakai baju itu'."

Page 12: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Sejalan dengan nilai budayanya, bahasa Polandia mengandung sejumlah partikel wacana (seperti alez, skadze, dan przeciez) dan frase eksklamatori (seperti alez skadze, skadze znowu, dan coi znowu) yang mengekspresikan ketidaksetujuan, kemarahan, dan ketidaksabaran terhadap pendapat yang dikemukakan oleh lawan bicara. Misalnya, alez bermakna ketidaksetujuan yang keras dan sering digunakan berkombinasi dengan nama orang untuk menunjukkan kemarahan dan kebodohan lawan bicara. Partikel skadze berarti 'Dari mana kamu mendapatkan ide itu ? Kamu salah !' Keduanya sering digabungkan untuk memperkuat pesan lebih jauh. Parafrase pada (19) memberikan beberapa gagasan tentang akibatnya. Perhatikan kehadiran komponen : 'Saya merasakan sesuatu yang buruk ketika saya mendengar Anda mengatakan ini'. 19. Alez skadze but-EMPH where-from-EMPH But (how can you say that) ‘Tetapi (bagaimana Anda bisa berkata begitu) !’ Where did you get such an idea from ? ‘Darimana Anda mendapatkan ide itu ?’ You are wrong ‘Kamu salah’ I feel something bad when I hear you say that ‘Saya merasakan sesuatu yang buruk ketika saya mendengar Anda mengatakan itu’ Terbukti dari perbandingan antara bahasa Jepang, bahasa Melayu, dan bahasa Polandia adanya pilihan wacana yang bervariasi dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Sebuah gaya yang biasa dalam satu kebudayaan mungkin terlihat sedikit mengejutkan dan menghina, atau membosankan dan menjengkelkan dari sudut pandang kebudayaan yang lain. Untuk memahami variasi kebudayaan itu penting kiranya diamati pola ujaran tanpa memperhatikan nilai dan norma-norma yang menjelaskannya. Perlu diingat pula bahwa pola ujaran yang kelihatannya mirip (misalnya, pilihan untuk pengendalian verbal) mungkin berasal dari nilai kebudayaan yang berbeda dan dihubungkan dengan makna sosial yang berbeda dalam latar kebudayaan yang berbeda. Untuk memperjelas hal ini dan bahkan untuk mendeskripsikan pola ujaran itu tanpa distorsi etnosentris, dibutuhkan perhatian khusus pada metabahasa dari deskripsi dan analisis. 2.3 Gaya Ujaran pada Masyarakat Yankunytjatjara Pada bagian ini kita melihat dua gaya ujaran khusus dan berbeda, yang secara tradisional digunakan oleh orang Yankunytjatjara di Australia Tengah. Sebuah gaya oblik tjalpawangkanyi (wangkanyi 'berbicara') dipakai oleh orang-orang yang hubungannya terlalu berjarak sementara gaya boisterous 'berkelakar' digunakan oleh orang-orang yang hubungan kekeluargaannya saling dapat menerima dan mengandalkan hubungan kekuasaan. Bahasa Yankunytjatjara adalah bahasa Aborigin Australia yang kawasannya meliputi Uluru (Ayers Rock) dan daerahnya terletak di bagian selatan dari simbol Australia yang terkenal. Bahasa ini merupakan salah satu dari banyak dialek bahasa Gurun Pasir Barat yang digunakan di dataran yang luas di wilayah Barat Australia. Mata pencaharian tradisional penduduknya adalah berburu dan mengumpulkan makanan, dengan jumlah penduduk yang sedikit dengan kawasan yang sangat luas. Seperti orang Aborigin Australia lainnya, orang Yankunytjatjara memiliki pengetahuan yang mendalam tentang alam dan keagamaan. Masyarakatnya tergolong kecil dan didasarkan pada hubungan kekerabatan. Dalam kehidupannya yang tradisional, mereka jarang menjumpai orang asing. Setiap orang dianggap mempunyai beberapa hubungan waltja (kekerabatan) dengan orang lain melalui sistem yang diterapkan dalam keluarga yang dekat (seperti mama 'ayah', ngunytju 'ibu', katja 'anak laki-laki', untal 'anak perempuan', kami 'nenek', tjamu 'kakek'). Marilah kita lihat beberapa contoh ujaran orang Yankunytjatjara dalam situasi santai di antara orang-orang yang saling mengenal dengan baik. Jika seseorang datang ke tempat orang lain untuk meminta sesuatu yang dapat dimakan, permintaannya mungkin dibuat seperti

Page 13: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

(20a). Jika dua orang pergi ke luar daerahnya dan salah seorang di antaranya ingin agar yang lainnya berhenti mengumpulkan kayu bakar, ujarannya dapat dinyatakan seperti (20b). Jika seseorang datang ke tempat orang lain untuk mencari seseorang yang tinggal di sana, informasinya dinyatakan pada (20c). 20. a. Mai nyuntumpa ngarinyi ? Ngayulu mai wiya. food yours lie-PRES I food NEG Any food of yours lying around ? I don't any food. 'Banyak makanan di sekitar Anda ? Saya tidak mempunyai makanan'. b. Ngaluyu waru wiya. Nyinatjura ka-na waru urara. utijura I wood NEG stop-IMP and-I wood gather-SERIAL load-IMP I haven't got any firewood. Stop and I'll load some on. 'Saya tidak mendapatkan kayu bakar. Berhentilah dan saya akan memuat beberapa'. c. Tjilpinya nyinanyi. old man-NAME sit-PRES Is the old man around ? 'Adakah orang tua itu di sini ?' Gaya ujaran tjalpawangkanyi diperlihatkan pada (21). Ada perbedaan penyampaian vokal (lebih lembut, lebih lambat, dan lebih tinggi dari biasanya) dan peningkatan intonasi sehingga pembicara terkesan menyuarakan pemikirannya dengan keras. 21. a. Aya, anymatjara kuta-na mai-nti wampa ngarinyi ? oh hungry really-I food-maybe don't know lie-PRES Oh, I am so hungry. I wonder if there might be any food around. 'Oh, saya juga lapar, saya ingin tahu apakah ada makanan di sini ? b. Munta, waru-mpa-I. Nguwan-ampa-na mana-nyi. Oh wood-INTEREST-I see almost-INTEREST-I get-PRES Oh, some firewood, I see. I'd rather like to get some. 'Oh, beberapa kayu bakar, saya tahu. Saya lebih baik mengambilnya beberapa'. c. Munta, panya paluru-nti nyanga-kutu ? oh that one DEF-maybe this-towards Oh, could that one be around here somewhere ? 'Oh, bisakah orang itu kemari ?' Acuan langsung pada lawan bicara dihindari dalam tjalpawangkanyi, seperti imperatif dan vokatif. Ekspresi yang jelas dari penyangkalan, penolakan, atau pernyataan tidak setuju juga dengan cermat dihindari. Partikel -nti 'mungkin', munta 'oh maaf', wampa 'tidak tahu', dan wanyu 'biarkan saja' tersebar di dalam kalimat untuk mengekspresikan hal yang tidak tentu, ragu-ragu, dan terbatas. Yang juga umum adalah partikel -mpa yang mempunyai arti seperti "orang dapat mengatakan lebih tentang hal ini". Partikel tersebut berfungsi sebagai pemarkah linguistis dari sindiran atau implikasi. Ciri lainnya, gaya ujaran untuk menghormati di berbagai tempat lain : pembicara menghindari penggunaan bentuk khusus yang taksa untuk menunjukkan orang, tempat atau benda, lebih disukai lokusi yang samar-samar, seperti panya paluru 'orang itu' dan nyangakutu 'di sekitar sini', seperti (16c). Untuk memahami arti sosial tjalpawangkanyi diperlukan pengetahuan kebudayaan Yankunyatjatjara, khususnya konsep sosio-emosional dari kunta. Ini biasanya diterjemahkan ke dalam kosakata bilingual sebagai rasa malu (shame), keadaan memalukan (embarrassment), atau rasa hormat (respect), tetapi kunta tidak berhubungan dengan konsep bahasa Inggris ini. Secara esensial hal ini menyangkut perbedaan makna sosial, ketidaksenangan hadirnya orang lain, dan keinginan menghindari tindakan yang mungkin menyebabkan orang lain memikirkan apa pun yang tidak menyenangkan tentang seseorang. Kunta yang paling kuat ditimbulkan umari ('penghindaran'), yakni hubungan seseorang dengan mertuanya. Umari merupakan hubungan penghormatan yang tertinggi dan orang yang terlibat harus menghindari kontak pribadi. Orang tidak boleh berbicara dengan

Page 14: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

seorang umari, menyentuhnya, duduk berdekatan, atau melihatnya langsung. Kunta yang lebih lunak dirasakan pada saudara kandung atau sepupu umari. Pada hubungan lain, kesopanan dianggap penting; misalnya, antara inkani 'kakak ipar wanita dan pria', inkilyi 'besan', dan nyarumpa 'sepupu yang belum kawin dari jenis kelamin yang berbeda'. Ada hubungan tjalpawangkanyi yang tepat. Tjalpawangkanyi bisa dilihat sebagai penghindaran sebagian dan cara pemberian pengaruh pada kunta. Dengan gaya tjalpawangkanyi, pembicara mengekspresikan pesan sosial dalam (22a). Perlu dicatat bahwa pesan ini disusun pada "orang ketiga" sesuai dengan perspektif tjalpawangkanyi. Pada (22b) disimpulkan beberapa aturan stilistis pembicara. 22. a. orang ini bukan seseorang seperti saya saya tidak ingin orang ini memikirkan apa pun yang buruk tentang saya saya tidak ingin mendekati orang ini saya tidak ingin mengatakan apa pun pada orang ini jika saya harus mengatakan sesuatu, saya harus berpikir bagaimana mengatakannya. b. tidak baik mengatakan sesuatu seperti ini pada orang seperti ini : "orang ini", "tempat ini", "benda ini" "Saya tidak menginginkan ini", "Saya tidak memikirkan hal yang sama" "Saya ingin Anda melakukan sesuatu", "Saya ingin Anda mengatakan sesuatu" Pada akhir spektrum tjalpawangkanyi yang lain adalah inkainkangku wangkanyi, 'membicarakan kesenangan' (talking in fun), wangkara inkanyi 'bercanda terus' (joking around), wangkara inkajingani 'kata sindiran' (teasing talk), dan warkira inkatjingani 'sumpah sindiran' (teasing swearing). Gaya senda gurau ini sebagian besar dicadangkan untuk sanak famili, yang hubungannya secara geneologis sudah jauh, menghindari konvensi interaksi normal, atau dalam kasus ekstrem, memamerkan, bahkan mengejeknya. Orang Yankunytjatjara menemukan sumber hiburan yang kaya. Dalam ranah tulisan yang bernada lucu (fun-talk), semua bentuk bahasa dikeluarkan dari tjalpawangkanyi, termasuk bentuk imperatif, vokatif, kontradiksi, eksklamasi, dan butir kosakata yang sensitif. Contoh (23a) mengilustrasikan pendekatan senda gurau dalam meminjam gula; bagaimana orang menunjukkan keinginan pribadinya. Dalam hal ini, dengan contoh (23b) ada permusuhan yang pura-pura. Senda gurau seperti ini mungkin berlanjut selama beberapa waktu sebelum orang itu mendapatkan gula jika dia pernah melakukannya. 23. a. A : Awai ! Tjukaku-na ngalya-yanu. Tjuka-tja ngalya-yuwa ! hey sugar-PURP-I this way-came sugar-me this way-give-IMP Hey ! I came here for sugar. Give me some sugar ! Hai, saya datang ke sini untuk gula. Berilah saya gula. b. B : Tjuka wanyu nyuntu yaalara payamilara nyangangka tjunu sugar just let you when buy-SERIAL here put-PAST Just when did you ever buy any sugar and bring (put) it here ? Kapan kamu pernah membeli gula dan membawanya ke sini ? Dengan gaya melucu partisipan senang membuat pertukaran untuk menentang, menantang, atau merendahkan satu sama lain. Pertukaran pada (24) menjelaskan sindiran inkatjingani yang alamiah di mana keluarga yang lebih tua mencaci atau menghina yang lebih muda. Pembicara pertama adalah seorang paman yang setuju meminjamkan sesuatu pada kemanakannya. 24. a. A : Uwa, kati, punytjulwiyangku kati ! yes take-IMP blunt-NEG-ERG take-IMP OK take it, but don't blunt it ! Baiklah, ambil kapak itu, tetapi jangan ditumpulkan. b. B : Wati, nyaaku-na tjijingku palku punytjanma ? Yuwa-ni ka-na kati ! man why-I childERG not really bluntPOT giveIMP-me and-I takeIMP

Page 15: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Man, why would I blunt it as if I were a child ? Give (it to) me, and I’ll be off with it. Tuan, bagaimana kalau saya tumpulkan kapak itu seolah-olah saya anak-anak ? Berikan kapak itu pada saya dan saya akan pergi dengan kapak itu. Contoh (25) adalah pertukaran yang rutin di antara sepasang sepupu laki-laki yang jauh (adik dan abang, kuta dan malany) yang dapat menjadi inkankara 'teman yang lucu'. Senda gurau yang sama terjadi di antara sepupu wanita jauh. Sindiran dan tanggapan yang agak cabul secara sadar 'diperankan' sesuai dengan aturan keluarga. Biasanya kakak laki-laki dan perempuan yang lebih tua diharapkan memantau dan mengatur perilaku yang menyimpang dari saudara yang lebih muda. 25. a. A : Wati, nyangangi-na-nta ! Wati, nyaa manti-n yanu man seePAST IMP-I-you man what probably-you goPAST Kulakula-mpa, kungka-kutu-mpa. randy-INTEREST woman-towards-INTREST Man, I've been watching you. Man, what would you've been after ? Randy was itu

? Off to see a woman, was it ? Tuan, saya telah melihat kamu. Apa yang kamu lakukan ? Randy di sana ? Salahkah

melihat wanita itu ? b. B : Wiya, wati ngayulu kungka wiya ! Wantinyi-na ngayulu palu no man I woman NEG leave alonePRES-I I but of course nyuntu panya-nku watjanma, kuta, wati panya kurangku ANAPH-REFL sayPOT senior brother man ANAPH badERG No man, I don't have any woman ! I leave them alone, I do. But of course you could

be talking to yourself, big brother, (you) bad one. Tidak Tuan, saya tidak mempunyai teman wanita. Saya meninggalkannya sendirian.

Tetapi, kamu pasti akan mengatakan pada dirimu sendiri, saudara tua, kamu jelek.

Senda gurau dapat pula meliputi makian yang pura-pura dengan julukan yang jelas secara seksual; misalnya, mamu ‘raksasa’ dan kalutjanu ‘dickhead’ (berhubungan dengan kalu ‘tusukan’). Namun, kalau bahasa menjadi cabul secara mencolok, orang yang mendengarnya tidak akan tersinggung. Mereka justru akan tertawa. Hubungan senda gurau dalam masyarakat Aborigin Australia biasanya mewujudkan 'solidaritas', 'keakraban', atau semacam itu, tetapi makna sosialnya yang kaya tidak bisa dirangkum dalam beberapa kata. Pada (26a) dan (26b) diterangkan asumsi-asumsi sosial dan konvensi stilistis dari ujaran yang riang dalam bahasa Yankunytjatjara. 26. a. saya tahu Anda tidak akan memikirkan apa pun yang buruk tentang saya saya tidak memikirkan bagaimana mengatakan hal itu pada Anda b. saya dapat mengatakan seperti ini pada Anda : "Saya tidak ingin ini", "Saya kira tidak sama" saya dapat mengatakan hal itu seperti ini tentang Anda : "Anda jelek", "Anda melakukan sesuatu yang buruk" Anda dapat mengatakan hal yang sama pada saya

jika kita mengatakan hal seperti ini pada setiap orang, kita merasakan sesuatu yang baik

Bentuk tjalpawangkanyi dalam bahasa Yankunytjatjara berperan sosial sebagai 'kosakata penghindaran' khusus, yang ditemukan dalam bahasa Aborigin Australia, seperti bahasa Dyirbal, bahasa Guugu-Yimidhirr. Deskripsi yang baik mengenai gaya ujaran pada masyarakat yang lain bisa ditemukan pada bahasa Lakota, bahasa Burundi dan bahasa Malagasi.

Page 16: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

2.4 Rutinitas dan Genre Sejauh ini telah diperlihatkan adanya perbedaan kebudayaan dalam wacana pada tingkatan deskripsi yang luas. Dalam bagian ini akan dijelaskan dua fenomena wacana yang lebih khusus lingkupnya, yakni rutinitas berbahasa dan genre ujaran. 2.4.1 Rutinitas Berbahasa dalam bahasa Ewe Rutinitas berbahasa (linguistic routines) adalah rumusan ujaran tertentu atau rangkaian ujaran yang digunakan dalam situasi komunikasi yang standar. Misalnya, ucapan salam dan perpisahan, ucapan terima kasih, meminta maaf, ucapan belasungkawa, pujian, senda gurau, kutukan, percakapan singkat (smal-talk), dan lain-lain. Ujaran-ujaran tersebut mungkin bergeser dalam ukuran, yaitu dari sebuah kata tunggal menjadi kata-kata yang panjang. Secara keseluruhan makna rutinitas berbahasa sukar 'dipahami' (read off) dari makna harfiah kata-kata individu yang terlibat : dengan menggunakan contoh yang sudah lazim. Misalnya, ujaran "Apa kabar ?" bukanlah sebuah pertanyaan tentang kesehatan. Pada umumnya rutinitas merupakan kebudayaan khusus yang sangat tinggi, baik bentuk maupun cara, yang berhubungan dengan konteks sosiokultural. Berikut ini akan dibandingkan beberapa ungkapan tertentu dalam bahasa Inggris dan bahasa Ewe, sebuah bahasa yang digunakan oleh penduduk di Ghana dan di Togo, Afrika Selatan. Dalam beberapa masyarakat, bila seseorang mengucapkan sesuatu yang baik yang terjadi pada orang lain, biasanya dikatakan sesuatu yang mengungkapkan perasaan baik orang itu pada ucapan tersebut. Dalam bahasa Inggris, misalnya, orang diharapkan mengatakan 'Selamat !' (Congratulation !) pada seseorang yang baru memperoleh bayi dan Well done ! pada seseorang yang telah memenangkan pertandingan yang penting dan sulit. Kedua ungkapan itu mengimplikasikan bahwa lawan bicara bertanggung jawab pada beberapa tingkatan untuk peristiwa yang menyenangkan itu. Dalam bahasa Ewe, situasi yang tepat tampak pada (27a) dan (27b). 27. a. Mawu se nu ! T gbewo se nu ! nuwo nuwo se nu Good is strong Ancestors are strong ! Beings around you are strong ! 'Tuhan maha kuat. Leluhur yang kuat ! Di sekitar Anda kuat !' b. Mawu w d ! T gbewo w d ! nuwo nuwo w d ! God has worked ! Ancestors have worked Beings around you have worked ! 'Tuhan maha pencipta ! Leluhur yang mencipta. Di sekitar Anda yang mencipta !' Ekspresi ini merefleksikan sistem kepercayaan keagamaan orang Ewe (dan banyak orang Afrika lainnya) yang menganggap setiap aspek alam semesta dipengaruhi oleh Mawu ‘Tuhan’ sebagai kekuatan tertinggi dan kekuatan supernatural lainnya. Seperti dikatakan oleh Ameka (1987:308), "bagi orang Ewe, apa pun yang terjadi pada Anda merupakan perbuatan Tuhan secara langsung yang dilakukan dalam bermacam-macam cara melalui leluhur atau roh lain dan dewa. Nilai kebudayaan Ewe menjelaskan mengapa rumusan pengetahuan tentang peristiwa yang baik secara eksplisit difokuskan pada pribadi yang terlibat. Meskipun demikian, seperti ekspresi dalam bahasa Inggris, fungsi interpersonalnya adalah untuk menyatakan asumsi bahwa Anda merasa senang dengan apa yang telah terjadi dan memperlihatkan kegembiraan dengan hasilnya. Demikian pula, kata-kata tertentu yang digunakan terdiri atas perangkat ujaran yang tepat pada saat tertentu. Dengan mengetahui hal ini, makna ekspresi Mawu se nu 'Tuhan maha kuat' dalam bahas Ewe diformulasikan sebagai berikut (diadaptasi dari Ameka, 1987). 28. Mawu se nu ! Saya sekarang mengetahui ini : sesuatu yang baik terjadi pada Anda Saya kira Anda merasakan sesuatu yang baik karena sesuatu telah terjadi Saya merasakan sesuatu yang baik karena ini Saya ingin Anda mengetahui ini

Page 17: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Setiap orang mengetahui hal seperti ini tidak terjadi pada orang jika yang lainnya tidak melakukan sesuatu karena semua ini saya berkata : "Tuhan maha kuat" (= Tuhan dapat melakukan apa saja, orang tidak dapat melakukan hal

ini) Setiap orang mengetahui ini baik jika orang mengatakan kata-kata ini ketika sesuatu

yang baik terjadi Formula ini konsisten dengan ranah situasi yang ekspresinya dalam bahasa Ewe sangat tepat. Misalnya, ekspresi itu tidak dipakai pada pernikahan sebab pernikahan tidak dianggap oleh orang Ewe sebagai sesuatu yang baik yang terjadi pada seseorang, tetapi sebagai awal dari sebuah proses yang ditujukan pada sesuatu yang lain, yakni prokreasi 'menjadi ayah' (procreation). Di sisi lain, ungkapan itu akan cocok untuk seseorang yang telah melewati situasi berbahaya, seperti orang yang keluar dari rumah sakit. Dimensi budaya penting lainnya timbul ketika kita memikirkan tanggapan yang tepat. Tanggapan bahasa Inggris yang diharapkan untuk keberhasilan adalah Terima kasih !, yang berfokus pada apa yang terjadi antara pembicara dan lawan bicara. Sebaliknya, tanggapan dalam bahasa Ewe pada (29) menggambarkan komunalitas dari peristiwa yang menyenangkan. 29. Yoo, miawoe do gbe da ! Yoo, miat wo ha ! OK, you all have prayed ! OK, yours (pl.) too ! 'Baiklah kalian semua berdoa !' 'Baiklah, Anda juga !' Tanggapan tersebut menyatakan penghargaan pembicara terhadap upaya keagamaan lawan bicara dan seluruh komunitasnya. Contoh rutinitas berbahasa lainnya yang hanya bisa dimengerti dalam istilah kebudayaan adalah pertukaran bahasa Ewe pada (30). 30. A: Mia (lo) ! B : Asie ! The left hand ! It is hand ! ‘Tangan kiri !’ ‘Itu tangan !’ Dasar rutinitas ini adalah larangan sosial yang keras untuk menggunakan tangan kiri dalam interaksi sosial. Pada masyarakat Ewe, seperti masyarakat Afrika lainnya, orang tidak boleh memberikan sesuatu pada orang lain dengan tangan kiri; juga, tidak boleh menunjuk atau melambai pada orang lain dengan tangan ini. Alasannya, tangan ini semata-mata dicadangkan untuk perbuatan pembersihan. Menggunakan tangan yang 'kotor' ini dalam pergaulan sosial biasanya mengimplikasikan penghinaan. Meskipun begitu, diakui bahwa pada waktu tertentu atau waktu lainnya, orang mungkin tidak bisa menggunakan tangan kanan untuk melakukan segalanya. Dalam situasi seperti ini, diperbolehkan memakai tangan kiri, tetapi setelah memberitahukan teman bicara dan begitu berbicara akan diperoleh ganti rugi untuk pelanggaran norma itu, seperti (30). Dijelaskan bahwa kesederhanaan yang terlihat dari rutinitas berbahasa bersifat memperdayakan. Pemahaman komunikatif yang tepat dari rutinitas berbahasa tidak hanya meliputi pengetahuan kata-kata, tetapi asumsi kebudayaan yang bekerja pada pergaulan sehari-hari. Karena sifat dasar dan tingginya frekuensi rutinitas berbahasa, rutinitas merupakan tempat yang baik untuk memulai suatu kajian aspek kebudayaan dari wacana. 2.4.2 Genre Ujaran dalam Bahasa Polandia Bakhtin (1986:81) membatasi genre ujaran sebagai "bentuk ujaran yang relatif tetap dan normatif" dan menekankan reportoar genre yang tersedia pada perubahan komunitas ujaran menurut kondisi sosial dan budaya. Butir pentingnya bisa dijelaskan pada genre kawal dan podanie dalam bahasa Polandia. Kawal (pluralnya kawaly) secara garis besar membicarakan jenis "conspiratorial joke". Kebanyakannya bersifat politis, yang mengekspresikan solidaritas nasional melawan

Page 18: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

kekuatan asing : pendudukan Nazi selama Perang Dunia ke-2, rezim komunis Soviet pada perang Polandia, dan pemisahan kekuatan negara-negara asing pada Abad ke-19. Kawaly beredar luas dari kebudayaan lisan dan penciptanya tidak dikenal (anonim). Orang tidak menilai kawaly untuk kepintaran atau pengalaman dalam soal duniawi (seperti dowcipy 'pelawak'), tetapi untuk perasaan itu diberikan rasa memiliki dalam satu kelompok. Implikasinya adalah : Saya dapat memberitahukan pada Anda, tetapi ada orang yang tidak dapat saya beritahukan. Seperti halnya lelucon dalam bahasa Inggris, kawaly dimaksudkan untuk mengusahakan kesenangan secara bersama-sama, yaitu mereka yang bermaksud membuat pembicara dan lawan bicara merasa senang bersama. Biasanya sebuah kawal memerlukan beberapa jenis pendahuluan (‘Apakah Anda mengetahui kawal ini ?’) yang merefleksikan asumsi bahwa karena tersebar begitu luas kawaly mungkin sudah dikenal oleh lawan bicara. Contoh (31) berasal dari periode 1981 sewaktu keadaan perang telah ditentukan dalam suatu usaha menahan pergerakan solidaritas. Setiap demonstrasi yang baru, pemogokan, atau protes dianggap berasal dari "ekstrimis solidaritas". Seperti contoh ini, kawal selalu mempunyai butir yang lengkap dan lucu yang harus dipahami lawan bicara. 31. 'Kamus TV' 2 orang Polandia : kumpulan orang yang ilegal 8 orang Polandia : demonstrasi yang ilegal 10 juta orang Polandia : ekstrimis yang sukar diurus Analisis semantis dari kawal akan mencakup komponen berikut ini, beberapa genre joke bahasa Inggris dan yang lain tidak. 32. Saya ingin mengatakan sesuatu pada Anda bahwa banyak orang berbicara satu sama lain Saya mengatakan ini karena saya ingin Anda tertawa Jika saya mengatakan ini, saya ingin Anda berpikir tentang sesuatu bahwa saya tidak berbicara Jika Anda berpikir karena ini, Anda akan tertawa Kita berdua akan merasakan sesuatu yang baik karena ini Saya dapat mengatakan ini pada Anda karena kita memikirkan hal yang sama tentang hal seperti ini Contoh genre bahasa Polandia yang kedua ialah Podanie, genre tulisan utama Polandia. Khususnya, komunikasi tertulis antara orang biasa dan 'penguasa'. Genre ini mencerminkan dominansi birokrasi komunis yang terkenal karena kesewenang-wenangan keputusannya terhadap orang biasa. Semua aspek kehidupan orang komunis di Polandia, bagaimanapun sepelenya, hampir tidak bisa dipimpin tanpa menulis Podanie dan menunggu tanggapannya, dengan mengharapkan hal ini penuh kebaikan. Misalnya, seorang mahasiswa memohon perpanjangan waktu untuk penyerahan tesis atau seorang karyawan meminta izin untuk mengambil cuti tahunan pada waktu tertentu. Keduanya harus menyerahkan Podanie. Dalam masyarakat Anglo-Saxon, maksud ini mungkin diikuti dengan cara menulis surat atau menulis lamaran (application). Namun, padanan yang paling dekat dalam bahasa Polandia untuk kata surat, yaitut list, tidak pernah bisa digunakan untuk mengacu pada surat permohonan pada sebuah lembaga. Tidak ada kata yang sama dalam bahasa Polandia untuk kata 'surat lamaran' dalam bahasa Inggris, yang mensyaratkan situasi standar tertentu dengan pedoman yang jelas untuk diikuti oleh lembaga dan pelamar. Secara tipikal Podanie diawali frase seperti Uprzejmie Prosze ... ('Saya mohon') atau Niniejszym zwaracam sie z uprzejma prosba ... ('Dengan ini saya mohon kemurahan hati Anda'), yang benar-benar menjadi di luar bagian dari sebuah 'surat lamaran'. Aspek pemohon dari Podanie bahasa Polandia dicakup dalam formula semantis berikut ini. 33. Podanie Saya berkata : Saya menginginkan sesuatu terjadi pada saya

Page 19: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Saya tahu bahwa hal ini tidak dapat terjadi jika Anda tidak berkata bahwa Anda menginginkan itu terjadi Saya mengatakan ini karena saya ingin Anda berkata bahwa Anda menginginkan itu terjadi Saya tidak tahu apakah Anda akan mengatakannya Saya tahu banyak orang mengatakan hal seperti ini pada Anda Saya tahu Anda tidak harus melakukan apa yang orang ingin Anda lakukan Jelaslah bahwa kawal dan Podanie merupakan bentuk wacana yang baik untuk kondisi budaya dan sosial tertentu dari orang komunis Polandia. SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan Dari lima kebudayaan yang tidak berhubungan (Jepang, Melayu, Polandia, Yankunytjatjara, dan Ewe) dapat ditarik beberapa simpulan tentang dimensi utama perbedaan gaya wacana, yang membantu dalam membentuk sikap dan nilai kebudayaan yang relevan dan kesukaran metode yang terlibat dalam penelitian ini. Berkenaan dengan sikap pada jumlah kata yang terbatas, mungkin ada pilihan untuk berbicara secara bertele-tele yang bertentangan dengan bentuk ekspresi yang pendek dan tepat atau bahkan pilihan untuk ekspresi nonverbal. Makna kebudayaan dari diam berbeda-beda secara luas. Orang-orang di mana pun akan menyesuaikan ujarannya berdasarkan cara mereka memandang lawan bicaranya. Walaupun beberapa dimensi identitas sosial (seperti jenis kelamin dan umur) berhubungan erat secara universal, analisis sosial di dalamnya amat beragam. Dalam beberapa masyarakat, seperti Yankunytjatjara, hubungan keagamaan dan kekeluargaan sangat penting. Di Jepang dimensi sosial utama yang menentukan gaya wacana adalah "di dalam kelompok" atau "di luar kelompok" dan perbedaan status di antara interlokutor. Pada masyarakat Melayu, dimensi yang penting adalah apakah individu-individu itu termasuk dalam garis rumah tangga yang sama. Di tempat lain, warga, suku, kasta, dan pangkat menentukan perbedaan gaya wacana. Dalam tingkatan wacana yang fungsional atau ilokusioner, parameter penting dari perbedaan itu mencakup seberapa sering dan dengan cara bagaimana pembicara mengekspresikan keinginan, pikiran, perasaannya; sejauhmana usaha pembicara mempengaruhi keinginan, pikiran, dan perasaan lawan bicara, apakah dengan tepat digambarkan perbedaan di antara pembicara dan lawan bicara. Kebudayaan juga amat berbeda konvensinya; bagaimana orang ikut serta dalam percakapan, misalnya, ganti bicara (turn-taking), berbicara secara berlebihan, atau bahkan menggabungkan kontruksi kalimat-kalimat dalam ranah rutinitas berbahasa mereka. Satu generalisasi yang terkemuka adalah bahwa hampir selalu terdapat hubungan antara pola perilaku verbal dan nonverbal. Jadi, bila ada pilihan budaya yang luas atau kebiasaan berbicara dengan gaya khas dalam mengekspresikan emosi antarpribadi, kita bisa berharap orang yang saling berbicara tetap 'menjaga jarak' satu sama lain. Misalnya, saling menahan diri untuk bersentuhan atau melihat satu sama lain secara langsung. Sebaliknya, jika ada sedikit bahkan tidak ada etika verbal dalam pekerjaan, perilaku fisik yang lebih intim dan gembira dapat diterima. Kita telah melihat beragam fakta yang berbeda dapat digunakan untuk membuktikan bahwa sikap dan nilai kebudayaan dapat membantu dalam memahami fenomena wacana. Ini mencakup analisis semantis mengenai 'kata-kata kunci' kebudayaan, pepatah-pepatah, dan perwujudan lain dari kebiasaan utama suatu budaya, kebiasaan sehari-hari dalam masyarakat, pemerolehan secara langsung atau tak langsung sikap pembicara, bahkan sikap bijaksana dalam karya sastra.

Page 20: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Masalah metode yang utama dalam kajian wacana dan kebudayaan adalah perlunya menemukan sebuah kerangka kerja untuk membandingkan pilihan wacana dan nilai kebudayaan dengan tepat. Kebiasaan umum dalam penggunaan label seperti "ketaklangsungan", "kesopanan", "penghormatan", dan "solidaritas" sebagai metabahasa informal dalam perbandingan lintas budaya tidak bisa dipertemukan untuk keperluan tersebut. Ancangan menjanjikan yang telah dijelaskan dalam tulisan ini ialah penggunaan wacana kebudayaan yang ditulis dalam leksikon universal. Leksikon ini menyediakan sebuah kerangka kerja berdasarkan penemuan linguistik antropologi, pragmatik kontrastif, dan kajian kebudayaan yang dapat digabungkan dan disatukan. Pada saat yang sama, dasar semantis dari ancangan wacana ini memungkinkan penggambaran hubungan antara latihan berbicara pada satu sisi dan nilai serta emosi budaya pada sisi lain. Cara ini akan memudahkan pengembangan pragmatik lintas budaya yang benar-benar alamiah. 3.2 Saran Sebagaimana dijelaskan, ada sejumlah perbedaan gaya wacana dari tiap kelompok masyarakat yang mencerminkan nilai kebudayaannya. Budaya yang berbeda diasumsikan mempunyai gaya wacana yang berbeda pula. Penelitian semacam ini tentunya sangat menarik dilakukan pada sejumlah etnis di Sumatera. Hal ini makin diperkuat oleh kenyataan bahwa setakat ini belum pernah terungkap bagaimana gaya wacana masyarakat Toba, Karo, Mandailing, Nias, Melayu, dan sebagainya. Dari bukti bahasa seperti pepatah-petitih, pantun, syair, dan kebiasaan ujaran sehari-hari mungkin saja ditemukan persamaan di samping perbedaannya. Banyak aspek bahasa yang dapat dieksplorasi untuk menunjukkan nilai kebudayaan suatu kelompok masyarakat; misalnya, tentang konsep emosi, hubungan kekerabatan, warna, dan sebagainya. Yang jelas, ranah penelitiannya tidak semata-mata bertumpu pada linguistik, tetapi hasil integrasi sejumlah disiplin lain, seperti psikologi, sosiologi, dan antropologi.

DAFTAR PUSTAKA

Ameka, F.1987. A Comparative Analysis of Linguistic Routines in Two Languages : English and

Ewe. Journal of Pragmatics 11, 299--326. Bakhtin, M. 1986. “The Problem of Speech Genres”. Dalam C. Emerson dan M. Holquist (Ed.),

Speech Genres and Other Later Essays, 60--112. Texas : University of Texas Press. Blum-Kulka, House J., dan Kaspar G. 1989. Cross-Cultural Pragmatics. Norwood : Ablex. Brown, P. dan Levinson, S. 1978. Politeness : Some Universals of Language Use. Cambridge

University Press. Cook, H.M. 1992. Meanings of Non-referential Indexes : A Case Study of the Japanese

Sentence-Final Particle Ne. Teks 12, 507--539. Doi, T. 1988. The Anatomy of Self. Tokyo : Kodansha. Goddard, C. 1986. Yankunytjatjara Grammar. Alice Springs : Institute for Aboriginal

Development. Goddard, C. dan Wierzbicka, A. (Ed.). 1994. Semantic and Lexical Universals. Amsterdam : John

Benjamins. Goddard, C. dan Wierzbicka, A. 1996. “Discource and Culture”. Dalam A. Wierzbicka

(Convenor), Cross-Cultural Communication. Canberra : Australian National University. Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”. Dalam P. Cole dan J.L. Morgan (Ed.), Speech Acts,

41--58. New York : Academic Press. Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara

Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta”. Dalam B.K. Purwo (Penyunting), Bahasa, Budaya, 179--205. Yogyakarta : Kanisius.

Page 21: WACANA DAN KEBUDAYAAN Mulyadi, M.Hum. Fakultas …library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf · komunikasi secara lintas budaya. Perbedaan ini mestilah dikaitkan dengan orientasi

2001 digitalized by USU digital libary

Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta”. Dalam B.K. Purwo (Penyunting), Analisis Klausa, Pragmatik Wacana, Pengkomputeran Bahasa, 81--111. Yogyakarta : Kanisius.

Gunarwan, Asim. 1999. “Tindak Tutur Melarang di Kalangan Dua Kelompok Etnis Indonesia : Ke Arah Kajian Sosiopragmatik”. Makalah dalam Pelbba 13. Jakarta : Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya.

Hoffman, E. 1989. Lost in Translation. New York : Dutton. Hymes, D.H. 1962. “The Etnography of Speaking”. Dalam Joshua Fishman (Ed.). 1968. Reading

on the Sociology of Language, 99--138. The Hague : Mouton. Lebra, T. S. 1976. Japanese Patterns of Behaviour. Honolulu : University of Hawaii Press. Mizutani, O. dan Mizutani, N. 1987. How to be Polite in Japanese. Tokyo : Japan Times. Wierzbicka, A. 1991. Cross-Cultural Pragmatics : The Semantics of Human Interaction. Berlin :

Mouton de Gruyter. Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. Oxford : Oxford University Press. Wierzbicka, A. 1996. “‘Cultural Scripts’ : A New Approach to the Study of Cross-Cultural

Communication”. Dalam A. Wierzbicka (Convenor). Cross-Cultural Communication. Canberra : Australian National University.

Wierzbicka, A. 1996. Semantics, Primes, and Universals. Oxford : Oxford University Press. Vreeland, N. (et al.). 1977. Area Handbook for Malaysia. Edisi ke-3. Glen Rock NJ : Microfilming

Corporation of America.