wayang sapuh leger
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada kehidupan manusia sehari-hari, utamanya bagi umat Hindu di Bali
tentu dihadapkan pada berbagai ritual upacara, baik yang berskala kecil, sedang
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah di atas, maka timbul beberapa permasalahan yang
perlu dibahas, antara lain :
1. Apa pengertian dari Tumpek Wayang ?
2. Adakah hubungan antara ritual Tumpek Wayang dengan lakon Sapuh
Leger ?
3. Bagaimanakah proses ritual dari Tumpek Wayang ?
4. Apakah makna yang terkandung dari upacara Tumpek Wayang ?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini yang berjudul
“Upacara Tumpek Wayang serta Kaitannya dengan Wayang Sapuh Leger”
antara lain :
1. Untuk mengetahui arti dari Tumpek Wayang.
2. Untuk mengetahui sumber-sumber sastra dari Tumpek Wayang.
1
3. Untuk mengetahui kaitan antara Tumpek Wayang dengan Lakon Sapuh
Leger.
4. Untuk mengetahui upakara dari Tumpek Wayang.
5. Mengetahui makna yang terkandung dari Tumpek Wayang.
1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah :
1. Siswa dapat mengetahui pengertian dari Tumpek Wayang.
2. Orang tua dapat mengetahui sarana-sarana dari Tumpek Wayang dan
membuat sarana upacara tersebut.
3. Orang-orang yang lahir pada wuku Wayang dapat mengetahui dan
melaksanakan ritual tersebut.
4. Seluruh umat Hindu dapat mengetahui makna yang terkandung dari
Tumpek Wayang dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
5. Sebagai pedoman dalam melaksanakan ritual Tumpek Wayang.
1.5. Metode Penulisan
Metode adalah pengetahuan mengenai berbagai macam cara kerja yang
disesuaikan dengan objek studi yang bersangkutan, dimana mutlak diperlukan
dalam pelaksanaan penulisan. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah
ini adalah metode literatur. Metode literatur disebut juga metode pengambilan
data dari berbagai sumber. Artinya penulisan makalah ini mengolah sumber-
sumber yang berhubungan dengan topik melalui literatur, situs-situs internet
serta media lainnya.
2
_____________________
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Tumpek Wayang
Tumpek Wayang berasal dari dua kata yaitu “Tumpek” dan “Wayang”.
Istilah Tumpek lahir saat
bertemunya hitungan
terakhir dari dua wewaran
yaitu “Saniscara” (Akhir
Sapta Wara) dan
“Kliwon” (akhir dari
Panca Wara). Setiap
pertemuan Saniscara dan Kliwon disebutlah “Tumpek” (“Tu” berarti metu atau
lahir dan “Pek” berarti putus/berakhir). Sedangkan kata “wayang” selain
merupakan bagian dari “wuku” juga mengandung arti sebagai “bayang” atau
“bayang-bayang”
Sementara itu kalau dikaji secara filosofis dan ritual pelaksanaan upacara
Tumpek Wayang itu ditujukan kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya
sebagai Dewa Iswara dengan permohonan berupa keselamatan dan atau
kerahayuan umat. Dalam praktiknya, upacara Tumpek Wayang ini
diperuntukkan bagi semua jenis “reringgitan” seperti wayang, termasuk juga
arca, tetabuhan (gong, gender,gambang, genta gendongan). Hakekat lahir-batin
yang ingin dicapai dari rerainan Tumpek Wayang ini adalah ; secara lahir
4
merupakan bentuk permohonan bagi mereka yang menjalani profesi
pewayangan sehingga dapat menjadi Dalang Metaksu yang mampu
menjembatani alam wayang yang abstrak kedalam alam nyata melalui
pementasan tokoh-tokoh pewayangan yang dipertontonkan untuk diambil nilai-
nilai tuntunannya.
Sedangkan secara batin, melalui perayaan Tumpek Wayang kita akan
selalu disadarkan bahwa hidup ini sebenarnya merupakan panggung wayang
dimana keberadaan kita, peranan yang didapat dan dilakukan dan kemana
akhirnya tujuan kita sudah diatur dan ditentukan oleh Sang Dalang Agung yaitu
Hyang Widhi. Karena itu kita diingatkan untuk senantiasa mendekatkan diri
pada Hyang Widhi agar memperoleh jagadhita dan moksa, kesejahtraan lahir
dan kebahagian batin.
2.2. Sumber Sastra yang Memuat Tentang Tumpek Wayang
Dalam lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin
kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku
Wayang (cf. Gedong Kirtya, Va. 645). Atas dasar isi lontar tersebut, maka anak
yang lahir bertepatan dengan hari ini harus melaksanakan kegiatan upacara
pementasan Wayang Sapuh Leger dengan peralatan yang lengkap berikut
sesajennya. Umat Hindu Bali percaya dan meyakini bahwa anak yang lahir pada
Tumpek Wayang memiliki sifat-sifat negatif karena hari itu dianggap memiliki
nilai cemer (kotor) yang membawa sial. Anak tersebut dikhawatirkan dirundung
malapetaka, akibat dikejar-kejar Dewa Kala. Dengan upacara mementaskan
5
Wayang Sapuh Leger ini si anak yang baru lahir tersebut di yakini dapat
terhindar dari kejaran Dewa Kala dan juga dapat memusnahkan sifat-sifat
negatif pada anak tersebut. Menurut cerita dalam Lontar Tatwa Kala, Wayang
Sapu Leger menjadi sarana upacara permohonan ke dewa Kala agar anak yang
lahir pada Sabtu/Saniscara Kajeng Kliwon (sama dengan hari kelahiran dewa
Kala) tidak dimakan dan digantikan dengan banten/sesajen yang sudah
disediakan.
Sementara dalam salah satu naskah Lontar Kala bila di artikan dalam
bahasa Indonesia kira kira berbunyi, setelah dikejar sang Pancakumara oleh
Dewa Kala, sampai menjelang tengah malam ada seorang pria/dalang bernama
Mpu Leger mempertunjukkan wayang pada waktu Tumpek Wayang. Setelah
menghadap di depan kelir segera juru gender membunyikan gamelannya,
suaranya merdu dan nyaring.
2.3. Wayang Sapuh Leger
Wayang Sapuh Leger adalah jenis wayang kulit Bali yang berfungsi
sebagai upacara ritual. Wayang tersebut termasuk sakral karena merupakan
bagian dari upacara yang berada dalam lingkungan siklus kehidupan manusia
(Manusa Yadnya) dan hanya dipertunjukan pada anak yang lahir pada wuku
Wayang, utamanya yang lahir persis pada Saniscara Kliwon wuku Wayang.
Namun kenyataan di lapangan bahwa penyelenggaraannya tidak hanya pada hari
Sabtu saja, tetapi dimulai dari hari Senin sampai Sabtu dalam wuku Wayang,
bahkan ada juga orang Bali yang mengupacarai anaknya sampai tiga kali.
6
Dengan demikian wayang Sapuh Leger bersifat religius, magis dan memiliki
nilai spiritual. Dalam konteks ritual, Wayang Sapuh Leger berfungsi sebagai
pemurnian bagi anak atau orang yang lahir pada hari yang oleh orang Bali
dianggap berbahaya yaitu pada Wuku Wayang, sehingga ia berfungsi untuk
pengukuhan dan pengesahan dari bentuk ritual.
Peristiwa penyelenggaraan Wayang Sapuh Leger, secara periodik
berulang setiap 210 hari (6 bulan pawukon kalender Bali). Wayang Sapuh Leger
yang sering dipentaskan di Bali bersumber pada lontar Kala Purana, Japa/Cepa
Kala, Kidung Sang Empu Leger, Kala Tatwa, Kekawin Sang Hyang Kala, Tutur
Wiswa Karma dan Kidung Sapuh Leger. Lakon Sapuh Leger mengisahkan asal-
usul kelahiran dan perjalanan Batara Kala, dimana ayahnya Dewa Siwa memberi
izin kepadanya untuk memangsa anak/orang yang lahir pada Tumpek Wayang,
kemudian jenis-jenis korbannya, lolosnya korban, tipuan Dewa Siwa tehadap
Kala dengan memberikan teka-teki, peranan dalang sebagai pemenang, meredam
kerakusan Kala. Aspek angkara digambarkan amat kuasa dan kuat, dalam mitos
ini diwujudkan sebagai raksasa besar dan kuat berwujud Batara Kala yang tak
tertandingi oleh para Dewa. Hal ini memberi petunjuk bahwa kuasa keteraturan,
kebaikan, kebijakan, atau aspek positif dari Dewa sebenarnya selalu terancam
oleh kuasa ketidak teraturan, kekacauan, atau aspek negatif dalam diri manusia.
Batara Guru dalam mitos digambarkan hanya dapat melemahkan Kala, tetapi
tidak dapat melenyapkannya sama sekali, karena Kala adalah aspek angkara atau
negatif yang bersumber daripada dirinya juga. Secara simbolis cara melemahkan
potensi angkara atau aspek negatif dalam diri manusia diperagakan melalui
7
pentas dengan membatasi waktu-waktu makannya (siang dan malam hari serta
kelahiran pada Tumpek Wayang), ritual, dan mantram dilakukan oleh Batara
Guru yang menjelma menjadi dalang. Dengan peragaan itu berarti bahwa kuasa
keangkara murkaan dilemahkan atau hanya dibuat lemah oleh aspek kesucian.
Lakon Sapuh Leger mengungkapkan ajaran mistikisme yang masih dipraktikan
dalam kehidupan masyarakat Bali.
2.4. Tata Cara dan Upakara
Beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang Amengku Dalang atau
Dalang Mpu Leger yang
berkewenangan sebagai pemuput
dan dibantu oleh yang lainnya,
adalah sebagai berikut :
1. Dalang seharusnya seorang
Dalang Brahmana yaitu
seorang Pandita sebagai
Dalang dan atau yang berlatar belakang dalang yang disebut Ida Mpu Leger.
2. Beliau adalah seorang Mpu Leger yang mampu dan paham serta menguasai
Ketattwaning / Dharma Pewayangan.
3. Beliau juga tahu dan paham serta menguasai mantram pengelukatan seperti :
Agni Nglayang, Asta Pungku, Dangascharya, Sapuh Leger serta mantram
pengelukatan lainnya.
8
4. Beliau memang benar-benar mampu dan menguasai Gagelaran sebagai
seorang Pandita (Mpu Leger) dan dalam segala tindak tanduk dan tingkah
laku tiada terlepas dari Sesana Kawikon (siwa sesana) antaranya sebagai
Sang Satya Wadi, Sang Apta, Sang Patirthan Dan Sang Penadahan Upadesa
(siwa-sadha siwa-parama siwa).
Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam beberapa lontar penunjang,
khususnya Lelampahan Wayang Sapuh Leger disamping juga atas petunjuk dan
hasil wawancara (baca:Nunasang) kehadapan Ida Pandita Mpu Leger tentang
pelaksanaan Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger, maka dapat disebutkan
bahwa untuk upacaranya sebagi berikut :
1. Ngadegang Sanggar Tuttuan / Tawang (sanggar tawang ).
2. Ring Sor Surya : Caru mancasata.
3. Banten Panebasan san Maweton.
4. Banten Arepan Kelir.
5. Ring Lalujuh Kelir.
6. Banten Sang Dalang Mpu Leger : Bebangkit Asoroh.
7. Genah tirtha Mpu Leger, Sangku Suddhamala.
8. Tebasan Sungsang Sumbel.
9. Tebasan Sapuh Leger.
10. Tebasan Tadah Kala.
11. Tebasan Penolak Bhaya.
12. Tebasan Pangenteg Bayu.
13. Tebasan Pengalang Hati.
9
14. Sesayut Dirghayusa ring Kamanusan.
15. Daksina Panebusan Bhaya.
16. Medudus Luwun setra lan luwun pempatan, luwun pasar, gumpang injin,
gumpang ketan, gumpang padi, rambut Ida Pandita lan menyan.
Sedangkan untuk tirtha pemuputnya adalah sebagai berikut :
1. Tirtha Kelebutan.
2. Tirtha Campuan.
3. Tirtha Segara.
4. Tirtha Melanting.
5. Tirtha Pancuran.
6. Tirtha Tukad Teben Sema/Setra.
7. Tirtha Padmasari.
8. Tirtha Merajan soang-soang.
9. Tirtha Pengelukatan Wayang.
10. Tirtha Jagat Nata.
11. Tirtha Pemuput/Sulinggih.
Disamping upakara secara umum di atas, untuk masing-masing dari
mereka yang dibayuh dibuatkan upakara khusus sesuai hari kelahiran, antaranya
berupa Suci pejati, Peras Pengambean tumpeng 7 asoroh, daksina gede sesuai
urip kelahiran, sesayut pengenteg bayu, merta utama, pageh urip dan di Surya
munggah Suci pejati, Bungkak Nyuh Gading lan pengeresik jangkep dan
dilengkapi sesayut-sesayut sesuai dengan kelahiran :
10
1. Wetu Redite : Sesayut Sweka Kusuma.
2. Wetu Soma : Sesayut Nila Kusuma Jati/Citarengga.
3. Wetu Anggara : Sesayut Jinggawati Kusuma/Caru Kusuma.
4. Wetu Budha : Sesayut Pita Kusuma Jati/Purna Suka.
5. Wetu Wraspati : Sesayut Pawal Kusuma Jati/Gandha Kusuma Jati.
2.5.
Tumpek wayang merupakan cerminan dimana dunia yang diliputi
dengan kegelapan, manusia oleh kebodohan, keangkuhan dan
keangkaramurkaan. Oleh sebab itu Siwa pun mengutus Sang Hyang Samirana
turun ke dunia untuk memberikan kekuatan kepada manusia yang nantinya
sebagai mediator di dalam menjalankan aktifitasnya.
Orang yang menjadi mediator inilah disebut seorang Dalang atau
Samirana, Hyang Iswara juga memberikan kekuatan seorang Dalang sehingga
mampu membangkitkan cita rasa seni dan daya tarik yang mampu memberikan
sugesti kepada orang lain yaitu para penontonnya. Kekuatan inilah yang disebut
dengan taksu maupun raganya, karena didalam pementasan wayang kulit,
seorang Dalang mampu menyampaikan cerita yang penuh dengan filsafat
humor, kritik, saran, serta realita kehidupan sehari-hari sehingga para penonton
membius alam pikirannya sehingga muncullah kekuatan sugesti dari diri masing-
masing. Oleh karena itu kehidupan umat manusia di dunia sesungguhnya tidak
hanya memelihara pisik semata, namun perlu ke seimbangan antara pisik dan
mental spiritual yang mana banyak tercermin di dalam pelaksanaan atau
11
perayaan Tumpek Wayang bagi umat Hindu yang dirayakan setiap enam bulan
(dua ratus sepuluh hari).
Makna dari pada Tumpek Wayang, sebagaimana kita ketahui kehidupan
di dunia selalu diliputi oleh dua kekuatan yang disebut Rwa Bhineda, yang
sudah barang tentu ada pada sisi kehidupan manusia. Dengan bercermin dari
tattwa, filsafat agama mampu membawa kehidupan manusia menjadi lebih
bermartabat.
Karena dari ajaran atau filsafat agama mampu akan memberikan
pencerahan kepada pikiran yang nantinya mampu pula menciptakan moralitas
seseorang menjadi lebih baik dari segi aktifitas agama sehari-hari kita
mendapatkan air cuci ke hidupan melalui tirta pengelukatan yang berfungsi
untuk meruak atau melebur dosa di dalam tubuh manusia, maka dari itu seorang
Dalanglah yang mendapat anugerah untuk melukat diri manusia baik alam
pikirannya maupun raganya.
____________________________
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran-saran
13
DAFTAR PUSTAKA / REFERENSI
http://www.kaskus.us
http://www.wisatadewata.com
http://www.babadbali.com
http://suryadistira.blogspot.com
http://www.iloveblue.com
http://blog.isi-dps.ac.id
14
NAMA KELOMPOK :
Kelompok 3
Nama No. Absen
Agus Hendra Jaya ( 01 )
I. B. Brahmandita Saputra ( 05 )
Made Herwin Rantika Putra ( 16 )
Kadek Widya Gunawan ( 35 )
Kelas : XII IPA 1
15