zadfcv

53
MINI CASE REPORT NON INFEKSI PKM LOKA KEC.ULUERE LAPORAN KASUS Rheumatoid Arthritis IDENTITAS PASIEN : Nama : Ny. Anti Umur : 36 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Bangsa/suku : Makassar Agama : Islam Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Loka Tanggal Pemeriksaan : Senin, 25 Januari 2016 ANAMNESIS Keluhan Utama: Gatal-gatal di daerah punggung tangan dan kaki,sebelah kanan dan kiri. Anamnesis Terpimpin : Gatal-gatal pada kedua punggung tangan dan kaki ini sudah dialami sejak 1 minggu yang lalu, keluhan gatalnya semakin bertambah terutama pada

Upload: laxusdreyar

Post on 14-Apr-2016

225 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: zadfcv

MINI CASE REPORT NON INFEKSIPKM LOKA KEC.ULUERE

LAPORAN KASUS

Rheumatoid Arthritis

IDENTITAS PASIEN :

Nama : Ny. Anti

Umur : 36 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Bangsa/suku : Makassar

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Loka

Tanggal Pemeriksaan : Senin, 25 Januari 2016

ANAMNESIS

Keluhan Utama:

Gatal-gatal di daerah punggung tangan dan kaki,sebelah kanan dan kiri.

Anamnesis Terpimpin :

Gatal-gatal pada kedua punggung tangan dan kaki ini sudah dialami sejak

1 minggu yang lalu, keluhan gatalnya semakin bertambah terutama pada

malam hari dan sangat menganggu. Hal ini menyebabkan pasien susah

tidur. Gatal-gatal ini menimbulkan bintil-bintil merah, karena sering

digaruk akhirnya menimbulkan luka dan menjadi kering, maka tampak

seperti sisik.

Riwayat Penyakit Sebelumnya : -

Riwayat Penyakit Keluarga : -

Riwayat Obat :

Riwayat pemakaian obat berupa Ketoconazole salep

Page 2: zadfcv

STATUS GIZI

Gizi Cukup

PEMERIKSAAN FISIS:

Tinggi Badan : 168 cm

Berat Badan : 58 kg

Tanda Vital :

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 80x/menit

Pernapasan : 20x/menit

Suhu : 36,5oC

Kepala

Rambut : alopecia (-), rontok (-)

Mata : conjunctiva pucat -/-, sklera ikterik -/-

Hidung : sekret (-/-)

Mulut : hiperemis (-), mukosa buccal basah, erosi (-)

Gigi : karies (-), mikrolesi (-)

Thoraks

Bentuk : normochest, retraksi (-/-)

Abdomen

Datar, lembut, BU (+) Normal

Ekstremitas

Deformitas (-), udem (-)

Status Lokalis

Regio Dorsum Manus Dextra & Sinistra

Tampak makula eritem berbatas jelas, vesikel (-), pustula (-), erosi

(-), eksudasi (-), krusta (+), dan udem (-)

Regio Dorsum Pedis Dextra & Sinsitra

Page 3: zadfcv

Tampak makula eritem berbatas jelas, vesikel (-), pustula (-), erosi

(-), eksudasi (-), krusta (+), dan udem (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak Dilakukan

DIAGNOSIS

Dermatitis Atopi

PENATALAKSANAAN

Pengobatan farmakologi yang diberikan : Betametashone Salep

Gentamicin Salep

Cetrizin 2 dd 1

CTM 3 dd 1

Pengobatan non farmakologi yang dianjurkan kepada pasien antara lain :

Edukasi :

Pemakaian obat yang teratur

Menjaga kebersihan diri dan lingkungan

Menghindari pemakaian bahan-bahan iritan, dan makanan yang dapat

mencetuskan dermatitis atopi

Bila gatal tidak boleh digaruk

Page 4: zadfcv

TINJAUAN PUSTAKA

DERMATITIS ATOPIK

A. Definisi

Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,

disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,

sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi

keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial)

(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

B. Bentuk DA

Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan bentuk utama

(70-80%pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai

dengan peningkatan kadar IgE serum. Bentuk lain adalah bentuk intrinsik

atau non alergik, terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah dan

tanpa sensitisasi terhadap alergen lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa

peningkatan kadar IgE bukan merupakan prasyarat pada patogenesis

dermatitis atopik. Terdapat pula konsep bentuk murni (Pure Type), tanpa

berkaitan dengan penyakit saluran nafas dan bentuk campuran (Mixed Type)

yang terkait dengan sensitisasi terhadap alergen hirup atau alergen makanan

disertai dengan peningkatan kadar IgE(Soebaryo R.W., 2009).

C. Etiologi

Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga

disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor

Page 5: zadfcv

intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit,

disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/

ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi

bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan,

mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009).

Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor

pencetus(Mansjoer A.,dkk., 2001).

faktor pencetus lain diantaranya

Makanan

Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge

(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat

mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi

makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE

spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian

uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa

penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih

diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut

untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W., 2009).Prevalensi reaksi

alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat.

Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur,

gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut(Roesyanto I.D.,

&Mahadi., 2009).

Alergen hirup

Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat

dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat

inhalasi.Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR)

bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4

musim (Judarwanto W., 2009).

Infeksi kulit

Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik

yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis

Page 6: zadfcv

atopik. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA).

Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni

Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpaatopik. Adanya kolonisasi

Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada

penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang

penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan

mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor laindari mikroorganisme yang

dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin

yangdihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan

Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga

dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat

sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan

makrofagyang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin

Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitisatopik dan

memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin

Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul,dkk,

2009.,tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus

aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus.

D. Patogenesis

Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor

genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,

dan faktor lingkungan(Soebaryo R.W., 2009).

a. Genetik

Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran

kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25.

Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada

peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan

bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang

kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%

(Judarwanto W., 2009).

Page 7: zadfcv

Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi

keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila

salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan

mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%

bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi

bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA

yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk

mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.

b. Sawar kulit

Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul

utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap

sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat

menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar

mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan

semakin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi

alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi

ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo R.W.,

2009).

Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset

CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari

darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,

sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan

terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-

4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-

CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil(Judarwanto

W., 2009).

Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit

adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya

untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di

pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset

CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status

Page 8: zadfcv

teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini

mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis.

Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi

oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut

mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes

dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis

keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-

sel T atau yang berada di microenvironment(Judarwanto W., 2009).

c. Lingkungan

Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,

eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara

lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan

binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene

Hypothesis(Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).

Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi

sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan

meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik(Sugito T.L., 2009).

Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum

semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan

rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang

disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang

selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk

diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah

menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi

menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA  dapat dijelaskan

secara imunologik dan nonimunologik(Judarwanto W., 2009).

d. Imnopatogenesis DA

Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan

menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan

produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis.

Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri

Page 9: zadfcv

tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut

menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal

menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas

untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.

Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini

menyebabkan produksi berlebih igE(Mansjoer A.,dkk., 2001).

Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun.

Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer

(interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia

dan peningkatan IgE(Judarwanto W., 2009).

• Reaksi imunologis DA

Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam

keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.

Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar

IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang

moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di

kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan

bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.

• Ekspresi sitokin

Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada

reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut

ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA

yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-

5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12

dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen

lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi

terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons

terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80%

penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik

(CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T

Page 10: zadfcv

helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus,

bakteri, dan jamur meningkat.

Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada

pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin,

leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami

bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering

digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai

saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat

antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009).Trauma mekanik (garukan)

akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya

diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan

bertambah beratnya eksema(Judarwanto W., 2009).

e. Antigen Presenting Cells

Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang

mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE

lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk

mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori

Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di

dalam sirkulasi(Judarwanto W., 2009).

f. Faktor non imunologis

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA

antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).

Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun,

sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan

mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal(Judarwanto W.,

2009).

g. Autoalergen

Page 11: zadfcv

Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung

antibody IgE terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan

protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit

akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis

atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya

antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan

sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas (

Gambar 1. Mekanisme Alergi(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan

pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2

(TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan

allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan

Page 12: zadfcv

aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early

(acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada

EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang

tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed

dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator

tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan

permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin

yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang

menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.

Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,

termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,

eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived

neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5,

IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor.

Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom

alergi(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

Page 13: zadfcv

Gambar 2: Patogenesis DA(Judarwanto W., 2009).

E. Manifestasi klinisManifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase

perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap

anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka

mengalami pola distribusi lesi yang serupa(Zulkarnain I., 2009).

Kulit penderita DA umumnya kering,pucat/redup, kadar lipid

diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.

Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-

rata,sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa

tertekan(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Page 14: zadfcv

Subyektif selalu terdapat pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:

1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).

Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran,

biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi

(Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak

dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas

tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang

menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua

pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor(Mansjoer A.,dkk.,

2001).

Rasa gatalyang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah,

susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil

eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi.

Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat terjadi

eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. (Sularsito

S.A., & Djuanda A., 2005).

Page 15: zadfcv

Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil(Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)

Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan

kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis,

hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,

akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat

predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang

diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga bisa terjadi

dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).

Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah

ekstensor(luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan

lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin

J.M., 2005).

Gambar

4.a

Page 16: zadfcv

Gambar 4.b.

Gambar 4.c.

Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson

E.L., & Hanifin J.M., 2005).

3. Bentuk dewasa(> 12 tahun)

Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase

akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat

disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk

serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.

Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-

gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat

menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et

Page 17: zadfcv

plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul

miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).

Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh

apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang

rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian

menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun,jarang sampai

usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai

tua(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 5.a.

Page 18: zadfcv

Gambar 5.b.

Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

Gambar 6: tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009).

Gambar 7: tempat predileksi DA bentuk anak-anak(Judarwanto W., 2009).

F. Stigmata pada dermatitis atopik

Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:

Page 19: zadfcv

• ‘White dermatographism’

Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam

waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan

garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.

• Reaksi vaskular paradoksal

Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA.

Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan

terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan

dibandingkan dengan orang normal(Judarwanto W., 2009). hal ini

diduga karena adanya pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat

dijaringan sekelilinnya (Zulkarnain I., 2009).

• Lipatan telapak tangan(palmar hiperlinearlity of Palms or soles)

• Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan

pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan

tanda khas untuk DA.(Judarwanto W., 2009).

• Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki banyak garis

palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang

hidup.(Zulkarnain I., 2009).

• Garis Morgan atau Dennie

Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun

dapat ditemukan satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian

bawah.keadaan ini pada saat lahir atau segera sesudah itu dan bertahan

sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata bawah

namun bukan merupakan atonogmomik DA(Zulkarnain I., 2009).

• Sindrom ‘buffed-nail’

Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat

gatal.

• ‘Allergic shiner’

Page 20: zadfcv

Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan

garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan

melanosit dan peningkatan timbunan melanin.

• Hiperpigmentasi

Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.

• Kulit kering

Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan

berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah

kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan

sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.

• ‘Delayed blanch’

Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya

keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan

dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau

peningkatan permeabilitas kapiler.

• Keringat berlebihan

Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus

bertambah.

• Gatal dan garukan berlebihan

Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal

menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA

gatal dapat bertahan selama 45 menit.

• Variasi musim

Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim

belum difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit

penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim

panas berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan

berpengaruh baik pada kulit penderita DA(Judarwanto W., 2009).

hertoge’s Sign

Page 21: zadfcv

Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral alis mata

(Zulkarnain I., 2009).

G. DIAGNOSAPerlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan

gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Rajka

sebagaimana tabel berikut :

  I. Luasnya lesi kulit  

  fase anak/dewasa  

  < 9% luas tubuh = 1

  9-36% luas tubuh = 2

  > 36 % luas tubuh = 3

  fase infantile  

  < 18% luas tubuh = 1

  18-54% luas tubuh= 2

  > 54% luas tubuh = 3

  II. Perjalanan penyakit  

  remisi > 3 bulan/tahun= 1

  remisi < 3 bulan/tahun = 2

  Kambuhan /terus mkenerus = 3

  III. Intensitas penyakit  

  gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1

  gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) =+ 2

  gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) =+ 3

            

Penilaian skor(Zulkarnain I., 2009):

Page 22: zadfcv

 3-4 : ringan

4.5-7.5: sedang

 8-9 : berat

Gambar 8: Panel atas menunjukkan DA dengan intensitas eritem dan vesikel. Panel bawah menunjukkan DA kronik dengan likenifikasi dan scaling

didepan mata kaki(William H.C., 2005).

H. Diagnosis Banding

Page 23: zadfcv

Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada

bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis(Mansjoer A.,dkk., 2001).

Diagnosis Banding lainnya:

Dermatitis Kontak Alergi

Dermatophytosis atau dermatophytids

Sindrom defisiensi imun

 Sindrom Wiskott-Aldrich

Sindrom Hyper-IgE

Penyakit Neoplastik

Langerhans’ cell histiocytosis

 Penyakit Hodgkin

Dermatitis Numularis

Dermatitis Seborrheic

Skabies

Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai

telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan

papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada

telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota

keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari

scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap

pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida.

Dermatitis seboroik infantil  

Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset

invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah

terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan.

Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis

atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik

akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian.

Dermatitis kontak

Page 24: zadfcv

Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada

kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena

sepatu(Judarwanto W., 2009).

I. Terapi

Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan

didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan

pada kontrol jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk

mengatasi kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di

SMF kulit & kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan untuk

menghilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit,

mencari factor pencetus dan mengurangi kekambuhan.secara konvensional

pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:

Menghindari bahan iritan

Mengeliminasi allergen yang telah terbukti

Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)

Pemberian pelembab kulit ( Moisturizing)

Kortikostreroid topikal

Pemberian antibiotik

Pemberian antihistamin

Mengurangi stress

Dan memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga.

(Kariossentono H., 2006).

a. Edukasi:

Menjelaskan bahwa DA merupakan penyakit yang penyebabnya

multifaktorial, cara perawatan kulit yang benar untuk mencegah

bertambahnya kerusakan sawar kulit dan memperbaiki sawar kulit serta

penting juga untuk mencari faktor pencetus serta menghindari atau

menghilangkannya (Sugito T.L., 2009).

a. 1. Mandi dan emolien

Page 25: zadfcv

Jangan mandi dengan air terlalu panas, karena dapat menambah rasa

gatal, jangan memakai handuk dengan menggosok pada kulit melainkan

menepuk-nepuknya, hindari sabun/ pembersih kulit yang mengandung

antiseptik, karena dapat mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi

sekunder.

Penggunaan emolien/ pelembab yang adekuat secara teratur sangat

penting untuk mengatasi kekeringan kulit dan memperbaiki integritas

sawar kulit. Bentuk salap dan krim memberi sawar lebih baik dari pada

lotion.

a. 2. Mengatasi gatal

Gatal dapat diatasi dengan pemberian emolien, kompres basah, anti

inflamasi topikal (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan antihistamin

oral (Sugito T.L., 2009).

Kompres basah bermanfaat dalam menangani eksema yang berat,

sedangkan pembalut yang mengandung obat misalnya pasta zinc dn

iktamol atau zinc oksida dan ter batubara, yang dipakai diatas steroid

topical bermanfaat untuk mengobati eksema pada ekstremitas(Graham

B.R., 2005).

Kortikosteroid topikal dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan

efek samping lokal (atrofi, striae, hipertrikosis, hipopigmentasi,

teleangiektasis, dsb). Maupun sistemik (supresi aksis hipothalamus-

pituitasi- adrenal, gangguan pertumbuhan, sindrom Chusing).

Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum, potensi

kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajad dan luas lesi serta cara

pemakaian.

Prinsip penggunaan:

i. Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang, dapat

dinaikkan bila perlu. Hindari pemakaian dalam jangka waktu lama

ii. Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan permeabilitas

tinggi(muka, interginosa, bayi).

Page 26: zadfcv

iii. Potensi kuat diginakan bila gatal sangat berat dan atau peradangan/

likenifikasi berat.

iv. Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek (≤ 2

minggu untuk potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah teratasi ganti

dengan potensi lebih rendah/ dengan antiinflamasi nonsteroid untuk

terapi pemeliharaan

v. Inhibitor kalsineurin topikal

Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian menggunakan

kortikosteroid topikal, bekerja dengan menghambat transkripsi

sistem inflamasi dalam sel T yang teraktifasi dan sel radang lainnya

sehingga mencegah pelepasan sitokin oleh sel T helper,

sertameghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu salap

takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1% (untuk usia 3

tahun keatas)

b. Untuk DA yang refrakter

i. kortikosteroid sistemik,

Prednisolon lebih dianjurkan karena lebih cepat diekskresi oleh

tubuh.

ii. Fototerapi

Kombinasi UVA dan UVB atau bersama psoralen

(fotokemoterapi) dapat memperbaiki DA dan menyebabkan remisi

panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan dini dan keganasan

kulit pada pengobatan jangka panjang.

iii. Obat lainnya

Siklosporin, Azatioprin, mofetil mikofenolat, metotreksat,

interferon gamma, lain-lain (antagonis leukotrien, timopentin,

imunoterapi alergen dan probiotik) (Sugito T.L., 2009).

Page 27: zadfcv

c. Pengobatan sistemik

i. Kortikosteroid

Hanya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut, dalam jangka

pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling atau diturunkan

perlahan (tapering), segera ganti dengan kortikostreroid topikal).

ii. Antihistamin

Digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang

hebat,terutama malam hari, karena itu antihistamin yang dipakai

mempunyai efek sedatifmisanyal hidroksisin atau difenhidramin.

iii. Anti infeksi

Untuk pengobatan koloni S.aureus yang belum resisten dapat

diberikan eritromisin, asitromisin, atau klaritromisin, sedangkan

untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin atau generasi

pertama sefalosporin.

iv. Interferon

IFN-γ diketahui menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan

proliferasi sel Th2. Pengobatan denganIFN-γ rekombinan

menghasilkan perbaikan klinis,karena dapat menurunkan jumlah

eosinofil total dalam sirkulasi.(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

d. Mengindari faktor pencetus / presdiposisi

Bila eksudasi berat atau stadium akut beri kompres terbuka. Bila

dingin dapat diberikan krim kortikosteroid ringan sedang. Pada lesi kronis

dan likenifikasi dapat diberikan salep kortikosteroid kuat (Mansjoer

A.,dkk., 2001).

Penderita DA yang disertai infeksi harus diberikan kombinasi

antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid topikal (Fauzi N.,

Sawitri, Pohan S.S., 2009).

e. Probiotik dan DA

Page 28: zadfcv

Untuk penggunaan probiotik,beberapa randomized controlled trials

dengan jumlah sampel kecil menunjukkan penurunan derajad keparahan DA

dan dapat mencegah DA sampai derajat tertentui dkk .menurut penelitian

IsaularCFU Lactobacillus GG yang diberikan selama 2-4 minggu sebelum

lahir sampai 6 bulan sesudah lahir menurunkan kejadian DA sampai 50%

pada bayi-bayi dengan risiko tinggi DA (Sugito T.L., 2009).

Alergi merupakan bentuk “Th2-disease” yang upaya perbaikannya

memerlukan pengembalian penderita pada kondisi “Th1-Th2” yang

seimbang. Perkembangan ilmu dan teknologi memungkinkan perubahan

paradigma pencegahan alergi dari paradigma penghindaran factor resiko

menjadi paradigma induksi aktif toleransi imunologik. Konsep probiotik

pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif respon imunologik

menuju keseimbangan “Th1-Th2”. Pada uji klinik, probiotik dibuktikan

dapat menurunkan gejala alergi yang berhubungan dengan dermatitis

atopik dan alergi makanan. Kelemahan uji klinik adalah

ketidakmampuannya dalam menghasilkan informasi mengenai mekanisme

dan hubungan sebab akibat. Ekstrapolasi dan sintesis atas fakta-fakta ilmiah

yang telah dihasilkan oleh uji klinik dan penelitian mekanisme probiotik

pada hewan coba menunjukkan bahwa probiotik dapat menurunkan reaksi

alergi melalui aktivasi TLR2 dan TLR4. Penelitian probiotik pada ibu hamil

menunjukkan bahwa efek dini probiotik pada sistem imun ibu bukanlah

pada supresi Th1 tetapi pada aktivasi Tregulator yang berfungsi menjaga

homeostasis Th1-Th2, sehingga kelangsungan kehamilan tidak terganggu

(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

J. Komplikasi

Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di

kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah

mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,

vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).

Page 29: zadfcv

Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan

disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum

ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela,

baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi

akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada

daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi

penyebaran ke daerah kulit normal.

Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni

Staphylococcus aureus(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

K. Pencegahan

Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI.ASI yang

diberikan secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan memberikan

keuntungan nutrisional dan melindungi anak dari penyakit alergi. ASI

eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk menghindarkan bayi dari

pemberian makanan yang dapat menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi

alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat membantu

melindungi saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi

sebagai alergen dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan

menstimulasi pematangan saluran cerna, sehingga akan lebih siap untuk

menerima antigen, mengatur flora normal saluran cerna dan faktor

imunomodulator.Bayi dengan risiko tinggi atopik yang tidak mendapat ASI

eksklusif mempunyai risiko lebih tinggiuntuk menderita dermatitis

atopik(Budiastuti M., 2007).

L. Prognosis

Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih

buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan

Page 30: zadfcv

spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja,

sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu:

DA luas pada anak

Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial.

Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung

Awitan (onset) DA pada usia muda

Anak tunggal

Kadar IgE serum sangat tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni

Staphylococcus Aureus& IgE spesifik terhadap Enterotoksin

Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik. Departemen / SMF

Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya.

Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk

of atopic dermatitis in high risk infant.Berkala Ilmu Kedokteran,

Volume 39, No. 4, Hal. 192-198.

Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam

Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).

Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51

Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No. 11.

460-65.

Page 31: zadfcv

Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.

Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L.,

Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai

Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51.

Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001.

Dermatitis Atopikdalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II.

Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal.

Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik.

dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S.,

(Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20.

Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja

S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis

Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-55

Endaryanto E., & Harsono A., 2010.Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi

melalui induksi aktif toleransi imunologis. Divisi Alergi

ImunologiBagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr.

Soetomo Surabaya.

Kariossentono H., 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS dan

UNS Press. Surakarta. Hal.8-12.

Graham B.R., 2005. Dermatologi.Edisi VIII. Erlangga.Jakarta.Hal.73-74.

Rheumatoid Arthritis

Pengertian Rheumatoid Arthritis

Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi.

Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi.

Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana

persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga

Page 32: zadfcv

terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan

bagian dalam sendi.

Klasifikasi Rheumatoid Arthritis

Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:

1) Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan

gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6

minggu.

2) Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan

gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6

minggu.

3) Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan

gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6

minggu.

4) Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan

gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3

bulan.

Etiologi

Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun

faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor

metabolik, dan infeksi virus

Patofisiologi

Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama

terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim

dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi

edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus

akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya

Page 33: zadfcv

adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot

akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif

dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot. Lamanya

rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa

serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari

serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil

individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus

menerus dan terjadi vaskulitis yang difus.

Manifestasi Klinis

Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat

peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika

jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara

spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan

atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya

merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali.

Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi,

kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan.

Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga

manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya

mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan,

panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik

untuk rheumatoid arthritis. Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah

capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia.

Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada persendian

kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai persendian,

lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan

temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian

dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari

Page 34: zadfcv

30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah hal yang umum. Jika ditinjau dari

stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :

1. Stadium sinovitis

Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai

hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat,

bengkak dan kekakuan.

2. Stadium destruksi

Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada

jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.

3. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas

dan gangguan fungsi secara menetap.

Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini

sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut

pada sendi-sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak

mudah digerakkan dan pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut

dengan imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan

kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas dapat

disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang tergeser

terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi.

Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada

lanjut usia yaitu sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan

pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari,

mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat,

terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat

menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.

Evaluasi Diagnostik

Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi pada penegakan

diagnosis rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid, inflamasi sendi yang

Page 35: zadfcv

ditemukan pada saat palpasi dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan peninggian laju endap darah dan factor

rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal penyakit faktor ini negatif.

Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C-

reaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil

yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh,

berwarna mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi,

seperti leukosit dan komplemen.

Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan

memantau perjalanan penyakitnya. Foto rongen akan memperlihatkan erosi tulang

yang khas dan penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan penyakit

tersebut.

Penatalaksanaan

Terapi di mulai dengan pendidikan pasien mengenai penyakitnya dan

penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik antara

pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya.

Tanpa hubungan yang baik akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien

untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang lama (Mansjoer, dkk. 2001).

Penanganan medik pemberian salsilat atau NSAID (Non Steriodal Anti-

Inflammatory Drug) dalam dosis terapeutik. Kalau diberikan dalam dosis

terapeutik yang penuh, obat-obat ini akan memberikan efek anti inflamasi maupun

analgesik. Namun pasien perlu diberitahukan untuk menggunakan obat menurut

resep dokter agar kadar obat yang konsisten dalam darah bisa dipertahankan

sehingga keefektifan obat anti-inflamasi tersebut dapat mencapai tingkat yang

optimal.

Kecenderungan yang terdapat dalam penatalaksanaan rheumatoid arthritis menuju

pendekatan farmakologi yang lebih agresif pada stadium penyakit yang lebih dini.

Kesempatan bagi pengendalian gejala dan perbaikan penatalaksanaan penyakit

terdapat dalam dua tahun pertama awitan penyakit tersebut. Menjaga supaya

Page 36: zadfcv

rematik tidak terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari, sebaiknya digunakan air

hangat bila mandi pada pagi hari. Dengan air hangat pergerakan sendi menjadi

lebih mudah bergerak. Selain mengobati, kita juga bisa mencegah datangnya

penyakit ini, seperti: tidak melakukan olahraga secara berlebihan, menjaga berat

badan tetap stabil, menjaga asupan makanan selalu seimbang sesuai dengan

kebutuhan tubuh, terutama banyak memakan ikan laut. Mengkonsumsi suplemen

bisa menjadi pilihan, terutama yang mengandung Omega 3. Didalam omega 3

terdapat zat yang sangat efektif untuk memelihara persendian agar tetap lentur.