zadfcv
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
MINI CASE REPORT NON INFEKSIPKM LOKA KEC.ULUERE
LAPORAN KASUS
Rheumatoid Arthritis
IDENTITAS PASIEN :
Nama : Ny. Anti
Umur : 36 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa/suku : Makassar
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Loka
Tanggal Pemeriksaan : Senin, 25 Januari 2016
ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Gatal-gatal di daerah punggung tangan dan kaki,sebelah kanan dan kiri.
Anamnesis Terpimpin :
Gatal-gatal pada kedua punggung tangan dan kaki ini sudah dialami sejak
1 minggu yang lalu, keluhan gatalnya semakin bertambah terutama pada
malam hari dan sangat menganggu. Hal ini menyebabkan pasien susah
tidur. Gatal-gatal ini menimbulkan bintil-bintil merah, karena sering
digaruk akhirnya menimbulkan luka dan menjadi kering, maka tampak
seperti sisik.
Riwayat Penyakit Sebelumnya : -
Riwayat Penyakit Keluarga : -
Riwayat Obat :
Riwayat pemakaian obat berupa Ketoconazole salep
STATUS GIZI
Gizi Cukup
PEMERIKSAAN FISIS:
Tinggi Badan : 168 cm
Berat Badan : 58 kg
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,5oC
Kepala
Rambut : alopecia (-), rontok (-)
Mata : conjunctiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : sekret (-/-)
Mulut : hiperemis (-), mukosa buccal basah, erosi (-)
Gigi : karies (-), mikrolesi (-)
Thoraks
Bentuk : normochest, retraksi (-/-)
Abdomen
Datar, lembut, BU (+) Normal
Ekstremitas
Deformitas (-), udem (-)
Status Lokalis
Regio Dorsum Manus Dextra & Sinistra
Tampak makula eritem berbatas jelas, vesikel (-), pustula (-), erosi
(-), eksudasi (-), krusta (+), dan udem (-)
Regio Dorsum Pedis Dextra & Sinsitra
Tampak makula eritem berbatas jelas, vesikel (-), pustula (-), erosi
(-), eksudasi (-), krusta (+), dan udem (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak Dilakukan
DIAGNOSIS
Dermatitis Atopi
PENATALAKSANAAN
Pengobatan farmakologi yang diberikan : Betametashone Salep
Gentamicin Salep
Cetrizin 2 dd 1
CTM 3 dd 1
Pengobatan non farmakologi yang dianjurkan kepada pasien antara lain :
Edukasi :
Pemakaian obat yang teratur
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
Menghindari pemakaian bahan-bahan iritan, dan makanan yang dapat
mencetuskan dermatitis atopi
Bila gatal tidak boleh digaruk
TINJAUAN PUSTAKA
DERMATITIS ATOPIK
A. Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak,
sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi
keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial)
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
B. Bentuk DA
Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan bentuk utama
(70-80%pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai
dengan peningkatan kadar IgE serum. Bentuk lain adalah bentuk intrinsik
atau non alergik, terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah dan
tanpa sensitisasi terhadap alergen lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kadar IgE bukan merupakan prasyarat pada patogenesis
dermatitis atopik. Terdapat pula konsep bentuk murni (Pure Type), tanpa
berkaitan dengan penyakit saluran nafas dan bentuk campuran (Mixed Type)
yang terkait dengan sensitisasi terhadap alergen hirup atau alergen makanan
disertai dengan peningkatan kadar IgE(Soebaryo R.W., 2009).
C. Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga
disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor
intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit,
disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi
bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan,
mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009).
Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor
pencetus(Mansjoer A.,dkk., 2001).
faktor pencetus lain diantaranya
Makanan
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge
(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat
mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi
makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE
spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian
uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa
penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih
diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut
untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W., 2009).Prevalensi reaksi
alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat.
Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur,
gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut(Roesyanto I.D.,
&Mahadi., 2009).
Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat
dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat
inhalasi.Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR)
bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4
musim (Judarwanto W., 2009).
Infeksi kulit
Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik
yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis
atopik. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA).
Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni
Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpaatopik. Adanya kolonisasi
Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada
penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang
penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan
mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor laindari mikroorganisme yang
dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin
yangdihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan
Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga
dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat
sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan
makrofagyang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin
Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitisatopik dan
memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul,dkk,
2009.,tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus
aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus.
D. Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor
genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,
dan faktor lingkungan(Soebaryo R.W., 2009).
a. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran
kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25.
Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada
peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan
bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang
kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%
(Judarwanto W., 2009).
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi
keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila
salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan
mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi
bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA
yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk
mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
b. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul
utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap
sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat
menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar
mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan
semakin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi
alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi
ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo R.W.,
2009).
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset
CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari
darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,
sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan
terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-
4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-
CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil(Judarwanto
W., 2009).
Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit
adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya
untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di
pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset
CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status
teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini
mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis.
Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi
oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut
mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes
dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis
keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-
sel T atau yang berada di microenvironment(Judarwanto W., 2009).
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,
eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara
lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan
binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene
Hypothesis(Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi
sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik(Sugito T.L., 2009).
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan
rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang
disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang
selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan
secara imunologik dan nonimunologik(Judarwanto W., 2009).
d. Imnopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan
produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis.
Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri
tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut
menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal
menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas
untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini
menyebabkan produksi berlebih igE(Mansjoer A.,dkk., 2001).
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun.
Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer
(interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia
dan peningkatan IgE(Judarwanto W., 2009).
• Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.
Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar
IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang
moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di
kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan
bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.
• Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada
reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut
ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA
yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-
5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12
dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen
lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi
terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80%
penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik
(CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T
helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus,
bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada
pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin,
leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami
bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering
digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai
saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat
antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009).Trauma mekanik (garukan)
akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya
diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan
bertambah beratnya eksema(Judarwanto W., 2009).
e. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE
lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk
mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori
Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di
dalam sirkulasi(Judarwanto W., 2009).
f. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA
antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).
Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun,
sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan
mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal(Judarwanto W.,
2009).
g. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung
antibody IgE terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan
protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit
akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis
atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya
antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan
sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas (
Gambar 1. Mekanisme Alergi(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).
Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan
pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2
(TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan
allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan
aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early
(acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada
EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang
tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed
dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator
tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan
permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin
yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang
menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.
Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,
termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,
eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived
neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5,
IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor.
Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom
alergi(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).
Gambar 2: Patogenesis DA(Judarwanto W., 2009).
E. Manifestasi klinisManifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase
perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap
anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka
mengalami pola distribusi lesi yang serupa(Zulkarnain I., 2009).
Kulit penderita DA umumnya kering,pucat/redup, kadar lipid
diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.
Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-
rata,sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa
tertekan(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
Subyektif selalu terdapat pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:
1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran,
biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi
(Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak
dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas
tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang
menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua
pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor(Mansjoer A.,dkk.,
2001).
Rasa gatalyang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah,
susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil
eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi.
Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat terjadi
eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. (Sularsito
S.A., & Djuanda A., 2005).
Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil(Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)
Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan
kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,
akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat
predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang
diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga bisa terjadi
dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).
Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah
ekstensor(luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan
lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin
J.M., 2005).
Gambar
4.a
Gambar 4.b.
Gambar 4.c.
Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson
E.L., & Hanifin J.M., 2005).
3. Bentuk dewasa(> 12 tahun)
Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase
akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat
disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk
serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-
gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat
menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et
plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul
miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh
apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang
rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian
menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun,jarang sampai
usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai
tua(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
Gambar 5.a.
Gambar 5.b.
Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
Gambar 6: tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009).
Gambar 7: tempat predileksi DA bentuk anak-anak(Judarwanto W., 2009).
F. Stigmata pada dermatitis atopik
Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:
• ‘White dermatographism’
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam
waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan
garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.
• Reaksi vaskular paradoksal
Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA.
Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan
terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan
dibandingkan dengan orang normal(Judarwanto W., 2009). hal ini
diduga karena adanya pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat
dijaringan sekelilinnya (Zulkarnain I., 2009).
• Lipatan telapak tangan(palmar hiperlinearlity of Palms or soles)
• Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan
pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan
tanda khas untuk DA.(Judarwanto W., 2009).
• Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki banyak garis
palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang
hidup.(Zulkarnain I., 2009).
• Garis Morgan atau Dennie
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun
dapat ditemukan satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian
bawah.keadaan ini pada saat lahir atau segera sesudah itu dan bertahan
sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata bawah
namun bukan merupakan atonogmomik DA(Zulkarnain I., 2009).
• Sindrom ‘buffed-nail’
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat
gatal.
• ‘Allergic shiner’
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan
garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan
melanosit dan peningkatan timbunan melanin.
• Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.
• Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan
berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah
kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan
sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.
• ‘Delayed blanch’
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya
keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan
dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau
peningkatan permeabilitas kapiler.
• Keringat berlebihan
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus
bertambah.
• Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal
menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA
gatal dapat bertahan selama 45 menit.
• Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim
belum difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit
penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim
panas berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan
berpengaruh baik pada kulit penderita DA(Judarwanto W., 2009).
hertoge’s Sign
Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral alis mata
(Zulkarnain I., 2009).
G. DIAGNOSAPerlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan
gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Rajka
sebagaimana tabel berikut :
I. Luasnya lesi kulit
fase anak/dewasa
< 9% luas tubuh = 1
9-36% luas tubuh = 2
> 36 % luas tubuh = 3
fase infantile
< 18% luas tubuh = 1
18-54% luas tubuh= 2
> 54% luas tubuh = 3
II. Perjalanan penyakit
remisi > 3 bulan/tahun= 1
remisi < 3 bulan/tahun = 2
Kambuhan /terus mkenerus = 3
III. Intensitas penyakit
gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1
gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) =+ 2
gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) =+ 3
Penilaian skor(Zulkarnain I., 2009):
3-4 : ringan
4.5-7.5: sedang
8-9 : berat
Gambar 8: Panel atas menunjukkan DA dengan intensitas eritem dan vesikel. Panel bawah menunjukkan DA kronik dengan likenifikasi dan scaling
didepan mata kaki(William H.C., 2005).
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada
bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis(Mansjoer A.,dkk., 2001).
Diagnosis Banding lainnya:
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatophytosis atau dermatophytids
Sindrom defisiensi imun
Sindrom Wiskott-Aldrich
Sindrom Hyper-IgE
Penyakit Neoplastik
Langerhans’ cell histiocytosis
Penyakit Hodgkin
Dermatitis Numularis
Dermatitis Seborrheic
Skabies
Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai
telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan
papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada
telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota
keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari
scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap
pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida.
Dermatitis seboroik infantil
Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset
invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah
terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan.
Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis
atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik
akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian.
Dermatitis kontak
Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada
kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena
sepatu(Judarwanto W., 2009).
I. Terapi
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan
didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan
pada kontrol jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk
mengatasi kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di
SMF kulit & kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan untuk
menghilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit,
mencari factor pencetus dan mengurangi kekambuhan.secara konvensional
pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
Menghindari bahan iritan
Mengeliminasi allergen yang telah terbukti
Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Pemberian pelembab kulit ( Moisturizing)
Kortikostreroid topikal
Pemberian antibiotik
Pemberian antihistamin
Mengurangi stress
Dan memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga.
(Kariossentono H., 2006).
a. Edukasi:
Menjelaskan bahwa DA merupakan penyakit yang penyebabnya
multifaktorial, cara perawatan kulit yang benar untuk mencegah
bertambahnya kerusakan sawar kulit dan memperbaiki sawar kulit serta
penting juga untuk mencari faktor pencetus serta menghindari atau
menghilangkannya (Sugito T.L., 2009).
a. 1. Mandi dan emolien
Jangan mandi dengan air terlalu panas, karena dapat menambah rasa
gatal, jangan memakai handuk dengan menggosok pada kulit melainkan
menepuk-nepuknya, hindari sabun/ pembersih kulit yang mengandung
antiseptik, karena dapat mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi
sekunder.
Penggunaan emolien/ pelembab yang adekuat secara teratur sangat
penting untuk mengatasi kekeringan kulit dan memperbaiki integritas
sawar kulit. Bentuk salap dan krim memberi sawar lebih baik dari pada
lotion.
a. 2. Mengatasi gatal
Gatal dapat diatasi dengan pemberian emolien, kompres basah, anti
inflamasi topikal (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan antihistamin
oral (Sugito T.L., 2009).
Kompres basah bermanfaat dalam menangani eksema yang berat,
sedangkan pembalut yang mengandung obat misalnya pasta zinc dn
iktamol atau zinc oksida dan ter batubara, yang dipakai diatas steroid
topical bermanfaat untuk mengobati eksema pada ekstremitas(Graham
B.R., 2005).
Kortikosteroid topikal dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
efek samping lokal (atrofi, striae, hipertrikosis, hipopigmentasi,
teleangiektasis, dsb). Maupun sistemik (supresi aksis hipothalamus-
pituitasi- adrenal, gangguan pertumbuhan, sindrom Chusing).
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum, potensi
kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajad dan luas lesi serta cara
pemakaian.
Prinsip penggunaan:
i. Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang, dapat
dinaikkan bila perlu. Hindari pemakaian dalam jangka waktu lama
ii. Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan permeabilitas
tinggi(muka, interginosa, bayi).
iii. Potensi kuat diginakan bila gatal sangat berat dan atau peradangan/
likenifikasi berat.
iv. Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek (≤ 2
minggu untuk potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah teratasi ganti
dengan potensi lebih rendah/ dengan antiinflamasi nonsteroid untuk
terapi pemeliharaan
v. Inhibitor kalsineurin topikal
Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian menggunakan
kortikosteroid topikal, bekerja dengan menghambat transkripsi
sistem inflamasi dalam sel T yang teraktifasi dan sel radang lainnya
sehingga mencegah pelepasan sitokin oleh sel T helper,
sertameghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu salap
takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1% (untuk usia 3
tahun keatas)
b. Untuk DA yang refrakter
i. kortikosteroid sistemik,
Prednisolon lebih dianjurkan karena lebih cepat diekskresi oleh
tubuh.
ii. Fototerapi
Kombinasi UVA dan UVB atau bersama psoralen
(fotokemoterapi) dapat memperbaiki DA dan menyebabkan remisi
panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan dini dan keganasan
kulit pada pengobatan jangka panjang.
iii. Obat lainnya
Siklosporin, Azatioprin, mofetil mikofenolat, metotreksat,
interferon gamma, lain-lain (antagonis leukotrien, timopentin,
imunoterapi alergen dan probiotik) (Sugito T.L., 2009).
c. Pengobatan sistemik
i. Kortikosteroid
Hanya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut, dalam jangka
pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling atau diturunkan
perlahan (tapering), segera ganti dengan kortikostreroid topikal).
ii. Antihistamin
Digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang
hebat,terutama malam hari, karena itu antihistamin yang dipakai
mempunyai efek sedatifmisanyal hidroksisin atau difenhidramin.
iii. Anti infeksi
Untuk pengobatan koloni S.aureus yang belum resisten dapat
diberikan eritromisin, asitromisin, atau klaritromisin, sedangkan
untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin atau generasi
pertama sefalosporin.
iv. Interferon
IFN-γ diketahui menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan
proliferasi sel Th2. Pengobatan denganIFN-γ rekombinan
menghasilkan perbaikan klinis,karena dapat menurunkan jumlah
eosinofil total dalam sirkulasi.(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
d. Mengindari faktor pencetus / presdiposisi
Bila eksudasi berat atau stadium akut beri kompres terbuka. Bila
dingin dapat diberikan krim kortikosteroid ringan sedang. Pada lesi kronis
dan likenifikasi dapat diberikan salep kortikosteroid kuat (Mansjoer
A.,dkk., 2001).
Penderita DA yang disertai infeksi harus diberikan kombinasi
antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid topikal (Fauzi N.,
Sawitri, Pohan S.S., 2009).
e. Probiotik dan DA
Untuk penggunaan probiotik,beberapa randomized controlled trials
dengan jumlah sampel kecil menunjukkan penurunan derajad keparahan DA
dan dapat mencegah DA sampai derajat tertentui dkk .menurut penelitian
IsaularCFU Lactobacillus GG yang diberikan selama 2-4 minggu sebelum
lahir sampai 6 bulan sesudah lahir menurunkan kejadian DA sampai 50%
pada bayi-bayi dengan risiko tinggi DA (Sugito T.L., 2009).
Alergi merupakan bentuk “Th2-disease” yang upaya perbaikannya
memerlukan pengembalian penderita pada kondisi “Th1-Th2” yang
seimbang. Perkembangan ilmu dan teknologi memungkinkan perubahan
paradigma pencegahan alergi dari paradigma penghindaran factor resiko
menjadi paradigma induksi aktif toleransi imunologik. Konsep probiotik
pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif respon imunologik
menuju keseimbangan “Th1-Th2”. Pada uji klinik, probiotik dibuktikan
dapat menurunkan gejala alergi yang berhubungan dengan dermatitis
atopik dan alergi makanan. Kelemahan uji klinik adalah
ketidakmampuannya dalam menghasilkan informasi mengenai mekanisme
dan hubungan sebab akibat. Ekstrapolasi dan sintesis atas fakta-fakta ilmiah
yang telah dihasilkan oleh uji klinik dan penelitian mekanisme probiotik
pada hewan coba menunjukkan bahwa probiotik dapat menurunkan reaksi
alergi melalui aktivasi TLR2 dan TLR4. Penelitian probiotik pada ibu hamil
menunjukkan bahwa efek dini probiotik pada sistem imun ibu bukanlah
pada supresi Th1 tetapi pada aktivasi Tregulator yang berfungsi menjaga
homeostasis Th1-Th2, sehingga kelangsungan kehamilan tidak terganggu
(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).
J. Komplikasi
Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di
kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah
mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,
vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan
disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum
ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela,
baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi
akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada
daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi
penyebaran ke daerah kulit normal.
Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni
Staphylococcus aureus(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
K. Pencegahan
Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI.ASI yang
diberikan secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan memberikan
keuntungan nutrisional dan melindungi anak dari penyakit alergi. ASI
eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk menghindarkan bayi dari
pemberian makanan yang dapat menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi
alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat membantu
melindungi saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi
sebagai alergen dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan
menstimulasi pematangan saluran cerna, sehingga akan lebih siap untuk
menerima antigen, mengatur flora normal saluran cerna dan faktor
imunomodulator.Bayi dengan risiko tinggi atopik yang tidak mendapat ASI
eksklusif mempunyai risiko lebih tinggiuntuk menderita dermatitis
atopik(Budiastuti M., 2007).
L. Prognosis
Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih
buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan
spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja,
sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu:
DA luas pada anak
Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial.
Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung
Awitan (onset) DA pada usia muda
Anak tunggal
Kadar IgE serum sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni
Staphylococcus Aureus& IgE spesifik terhadap Enterotoksin
Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik. Departemen / SMF
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya.
Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk
of atopic dermatitis in high risk infant.Berkala Ilmu Kedokteran,
Volume 39, No. 4, Hal. 192-198.
Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).
Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51
Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No. 11.
460-65.
Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.
Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L.,
Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai
Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51.
Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001.
Dermatitis Atopikdalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II.
Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal.
Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik.
dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S.,
(Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20.
Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja
S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis
Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-55
Endaryanto E., & Harsono A., 2010.Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi
melalui induksi aktif toleransi imunologis. Divisi Alergi
ImunologiBagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr.
Soetomo Surabaya.
Kariossentono H., 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS dan
UNS Press. Surakarta. Hal.8-12.
Graham B.R., 2005. Dermatologi.Edisi VIII. Erlangga.Jakarta.Hal.73-74.
Rheumatoid Arthritis
Pengertian Rheumatoid Arthritis
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi.
Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi.
Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga
terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi.
Klasifikasi Rheumatoid Arthritis
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
1) Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
2) Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
3) Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
4) Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3
bulan.
Etiologi
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun
faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor
metabolik, dan infeksi virus
Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim
dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus
akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya
adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot
akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif
dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot. Lamanya
rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa
serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari
serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil
individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus
menerus dan terjadi vaskulitis yang difus.
Manifestasi Klinis
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat
peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika
jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara
spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan
atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya
merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali.
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi,
kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan.
Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga
manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya
mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan,
panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik
untuk rheumatoid arthritis. Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah
capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia.
Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada persendian
kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai persendian,
lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan
temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian
dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari
30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah hal yang umum. Jika ditinjau dari
stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai
hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat,
bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada
jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas
dan gangguan fungsi secara menetap.
Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini
sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut
pada sendi-sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak
mudah digerakkan dan pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut
dengan imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan
kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas dapat
disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang tergeser
terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi.
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada
lanjut usia yaitu sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan
pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari,
mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat,
terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat
menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.
Evaluasi Diagnostik
Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi pada penegakan
diagnosis rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid, inflamasi sendi yang
ditemukan pada saat palpasi dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan peninggian laju endap darah dan factor
rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal penyakit faktor ini negatif.
Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun. Pemeriksaan C-
reaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil
yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh,
berwarna mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi,
seperti leukosit dan komplemen.
Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan
memantau perjalanan penyakitnya. Foto rongen akan memperlihatkan erosi tulang
yang khas dan penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan penyakit
tersebut.
Penatalaksanaan
Terapi di mulai dengan pendidikan pasien mengenai penyakitnya dan
penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik antara
pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya.
Tanpa hubungan yang baik akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien
untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang lama (Mansjoer, dkk. 2001).
Penanganan medik pemberian salsilat atau NSAID (Non Steriodal Anti-
Inflammatory Drug) dalam dosis terapeutik. Kalau diberikan dalam dosis
terapeutik yang penuh, obat-obat ini akan memberikan efek anti inflamasi maupun
analgesik. Namun pasien perlu diberitahukan untuk menggunakan obat menurut
resep dokter agar kadar obat yang konsisten dalam darah bisa dipertahankan
sehingga keefektifan obat anti-inflamasi tersebut dapat mencapai tingkat yang
optimal.
Kecenderungan yang terdapat dalam penatalaksanaan rheumatoid arthritis menuju
pendekatan farmakologi yang lebih agresif pada stadium penyakit yang lebih dini.
Kesempatan bagi pengendalian gejala dan perbaikan penatalaksanaan penyakit
terdapat dalam dua tahun pertama awitan penyakit tersebut. Menjaga supaya
rematik tidak terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari, sebaiknya digunakan air
hangat bila mandi pada pagi hari. Dengan air hangat pergerakan sendi menjadi
lebih mudah bergerak. Selain mengobati, kita juga bisa mencegah datangnya
penyakit ini, seperti: tidak melakukan olahraga secara berlebihan, menjaga berat
badan tetap stabil, menjaga asupan makanan selalu seimbang sesuai dengan
kebutuhan tubuh, terutama banyak memakan ikan laut. Mengkonsumsi suplemen
bisa menjadi pilihan, terutama yang mengandung Omega 3. Didalam omega 3
terdapat zat yang sangat efektif untuk memelihara persendian agar tetap lentur.