repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28...

29

Upload: others

Post on 09-Apr-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)
Page 2: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)
Page 3: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)
Page 4: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)
Page 5: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)
Page 6: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)
Page 7: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKATMENJADI PEMATERI WEBINAR SENAT MAHASISWA UNIVERSITAS KRISTENINDONESIA MALUKU MENGENAI TEMA: “PERCIK PIKIRAN DAN AGENDA TEOLOGIMILENIAL”ONLINE, 28 NOVEMBER 2020Senat Mahasiswa UKIM Maluku mengadakan webinar mengenai percik pikiran danagenda teologi milenial. Saya menjadi pembicara bersama dengan Sekum GerejaProtestan Maluku. Kali ini saya kembali menyampaikan makalah mengenai pentingnyapelayanan yang berbasis pemikiran adaptif dalam menghadapi revolusi industri 4.0.Dalam penyampaian terhadap 200 peserta, saya menjelaskan bahwa kemampuanadaptasi dalam pelayanan terhadap generasi baru di gereja memerlukan kerelaan hatidan kesiapan berinovasi. Peserta tampak antusias, karena mereka banyak mengajukanpertanyaan relevan.Demikian laporan saya sampaikan,Jakarta 29 November 2020Binsar J. Pakpahan, Ph.D

Page 8: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

1

PROSPEK DAN TANTANGA N PELAYANANGEREJA ERA MILENIUM KETIGABinsar Jonathan [email protected] | @binsarjpakpahan

Abstrak:Artikel ini ditulis untuk menjelaskan tantangan yang dibawa oleh era revolusi industri4.0 kepada gereja terutama dalam hal makna kehadiran (presence), serta komunitas(community) dan persekutuan (fellowship), spiritualitas dan religiusitas, sertapenggunaan teknologi dalam ibadah. Kehadiran virtual, yaitu kehadiran yangmelibatkan unsur “melihat” dan “mendengar” namun tidak melibatkan unsur“menyentuh” telah diterima sebagai definisi pertemuan. Sementara, perjumpaan diruang virtual yang melibatkan ide dan tujuan yang sama telah membuat orang-orangmerasa terlibat dalam sebuah komunitas. Makalah juga menggunakan pembahasankomunitas serta persekutuan dari pemahaman World Council of Churches yangmembuka tantangan bahwa pertemuan di ruang virtual akan dirasa cukup untukmembentuk sebuah komunitas. Gereja ditantang untuk mendefinisikan ulang apa ituperjumpaan, spiritualitas dan religiusitas, dan fungsi penggunaan teknologi dalamibadah.Kata-Kata Kunci: virtual, Revolusi industri 4.0, persekutuan, komunitas, pertemuan,religiusitas, spiritualitasPengantarGereja dalam gerakan ekumenis sekarang berada dalam masa yang sangatmenggairahkan karena teknologi informasi memudahkan komunikasi danmemperlancar pertukaran informasi gereja-gereja dari berbagai tempat. Kita denganmudah mengetahui masalah yang dihadapi oleh sebuah gereja dengan bantuan googlesearch engine. Penggunaan multimedia di berbagai gereja membantu mengurangi efekgreen house yang memperparah pemanasan global melalui pengurangan penggunaankertas. Namun, berbagai kemajuan datang dengan berbagai tantangan. Kita diajak untukberpikir mengenai apa makna persekutuan, kehadiran, masalah etika, dan sejauh manateknologi bisa kita gunakan? Kemajuan teknologi juga dimulai dengan perubahanpaham dunia mengenai dirinya dan masuknya filsafat postmodern. Filsafat postmodern

Page 9: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

2

bersama kemajuan teknologi mengantar kita dalam sebuah masa yang membuat kitamempertanyakan segalanya, yaitu masa pascakebenaran.Saya menggunakan istilah Revolusi Industri 4.0 atau I4 untuk mengganti kata“milenial” yang ditugaskan kepada saya. Kata “milenial” memiliki tantangan tersendiri.Pertama, saya tidak terlalu memahami apakah dia diartikan sebagai sebuah generasiyang lahir antara 1980-1996 karena saya yakin para peserta KNMTI di 2020 adalahmereka yang lahir setelah 1996. Kedua, apakah milenial dipahami sebagai sebuahmilenium baru, karena pemahaman ini justru agak membingungkan karena setiapperadaban manusia melewati 1000 tahun, dia memasuki milenium baru. Penggunaanistilah pelayanan di era milenium ketiga mungkin akan memiliki makna yang lebih baikdaripada era milennial.Makalah ini akan mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan filosofipostmodern, efek yang dibawa oleh filsafat postmodern, teknologi yang lahir daripemahaman demikian, dan tantangan-tantangan yang dihadapi gereja masa kini. Diakhir makalah, saya memberikan beberapa panduan untuk gereja-gereja gunakandalam mendesain program pelayanan dan penggunaan teknologi ke depan.Revolusi Industri 4.0 (I4)Perubahan adalah keniscayaan, sama seperti era Revolusi Industri 4.0 (I4) yangsedang berlangsung pada saat ini. Era I4 ditandai dengan berbagai disrupsi yangmenggugat cara-cara bekerja yang dianggap normal serta kemajuan teknologi yangberpusat kepada sistem Artificial Intelligence, pengumpulan Big Data, perubahan fokusdari analog ke digital, kepemilikan aset intangible (jejaring, kekuatan sistem, danpotensi) daripada tangible (aset harta, tanah, bangunan), dan perubahan hard-labourmenjadi operator. Ketika kita masih banyak berkutat di I4, sekarang bahkan sudah adapembicaraan mengenai Revolusi Industri 5.0 – yang merupakan era personalisasi danpenggabungan peran manusia dan mesin. Menurut saya perpindahan tema inimerupakan ciri generasi sekarang yang biasanya belum selesai membahas satu haltetapi sudah pindah ke pembahasan yang lain. Saya tidak melihat Revolusi Industri 5.0sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan pengembangan dari I4 dan Society 5.0.Istilah yang digunakan di Jepang Society 5.0 menunjuk kepada masyarakat yangresilient dalam inovasi yang selalu membongkar kebuntuan dengan penyataan antararuang tiga dimensi dan ruang virtual (Cabinet Office Website 2018).Kata revolusi industri dipinjam dari bidang teknologi untuk menggambarkansistem yang digunakan untuk memproduksi barang. Revolusi industri menjadi penandaperubahan karena setiap aspek kehidupan kemudian dipengaruhi oleh cara manusiamemproduksi barang-barang. Perubahan ini akan mempengaruhi aspek ekonomi,

Page 10: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

3

perputaran informasi dan ide, transportasi, dan penggunaan tenaga mesin yangmenggantikan manusia.Revolusi industri dimulai dengan mekanisasi tenaga air, uap, dan penggunaanmesin untuk menggantikan tugas-tugas manusia di pabrik. Hal ini menimbulkanpergolakan karena banyak orang yang merasa pekerjaannya diambil alih oleh mesin.Revolusi industri kedua dimulai dengan perubahan cara memproduksi pabrik yangmenggunakan assembly line. Perubahan membuat produksi menjadi lebih efisien danmanusia didorong menjadi lebih konsumtif, termasuk ide menggunakan barang sekalipakai dengan materi plastik. Plastik kemudian kita kenal sekarang sebagai musuhutama lingkungan hidup karena ketidakmampuan alam untuk mengurainya. Revolusiindustri ketiga ditandai dengan penggunaan komputer untuk mengerjakan masalah-masalah yang tidak bisa diselesaikan manusia seperti penghitungan, membangun modelsimulasi besar, dan lain sebagainya. Revolusi industri keempat, atau “Industry 4.0” atau“I4” pertama kali digunakan di Hannover Fair pada 2011 yang mempromosikanproduksi berbasis komputer dan kecerdasan buatan (artificial intelligence).Ciri utama dari I4 ada 4:1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar.a) Kekuatan sebuah organisasi atau perusahaan bukan lagi di jumlah produksi yangmereka miliki, melainkan jaringan yang mereka punya.b) Internet mengubah definisi mengenai waktu, jarak, dan teknik komunikasimanusia dengan mesin.2) Terbukanya informasia) Informasi menjadi transparan, tidak ada lagi rahasia, yang pada akhirnyamembawa pertanyaan soal privasi.b) Data yang terbuka ternyata lebih banyak digunakan oleh pihak marketing, yangdengan efektif berhasil mempromosikan produknya kepada konsumen yangdatanya tersimpan secara digital.c) Algoritma otomatis yang diatur oleh AI dalam berbagai mesin pencari dan mediasosial membuat keterpisahan antarkelompok berdasarkan minat.3) Optimisasi produksi.a) Koneksi membuat sebuah perusahaan bisa membuat sebuah produk tanpa perlumembuat semua komponen yang diperlukan untuk produk tersebut. Modedemikian menghasilkan metode outsourcing.b) Logistik menjadi bisnis yang penting daripada produksi, karena semua orangbisa memproduksi. Proses penyimpanan dan penyaluran barang menjadi produkpada dirinya sendiri.

Page 11: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

4

c) Sebuah industri kecil bahkan bisa membuat prototipe dari produknya tanpaperlu berkonsultasi dengan perusahaan besar dengan printer 3D, dan marketbisa ditemukan melalui internet.4) Proses pengambilan keputusan.a) Pertemuan fisik tidak lagi diperlukan, karena “tatap muka” betul-betul hanyamembutuhkan tatap muka via skype, facetime, whatsapp video call, atau googlehangout.b) Artificial Intelligence membantu manusia dalam proses pengambilan keputusan(autonomous car, autopilot, algoritma media sosial).c) Keputusan tidak lagi sentral pada satu pihak melainkan pada beberapa aktorDampak dari era I4 adalah disrupsi, atau perubahan pola kerja, produksi, komunikasi.Untuk menjelaskan beberapa dampak yang mengubah strategi perusahaan atau duniakerja, saya akan menggunakan 4 buku dari dunia manajemen dan bisnis. Keempat bukutersebut terbit pada 2016 dan menunjukkan bagaimana dunia sekarang bekerja.Buku pertama adalah karya Clayton M. Christensen, Competing Against Luck: The

Story of Innovation and Customer Choice (2016). Christensen fokus kepada pertanyaan"Pekerjaan apa yang membuat customer "menyewa" produk saya, yang membuatpekerjaan mereka juga selesai." Christensen menawarkan pendekatan jobs theory dalammenilai sebuah produk. Jobs Theory akan membuat saya memikirkan produk sayabukan sebagai hasil akhir yang konsumen "beli," melainkan sebagai sebuah tool yangmereka sewa untuk membuat pekerjaan mereka selesai atau membuat progress dalamhidup mereka sendiri. Contohnya, di AS mereka membeli milkshake di bawah pkl. 9karena membantu mereka melewati pagi tanpa rasa lapar (karena ketebalanmilkshake), bisa bekerja melewati kebosanan menjalani pekerjaan di pagi hari (karenamemerlukan waktu yang lama untuk menghabiskannya), dan melawan perasaanbersalah (karena tidak sekaya kalori big breakfast milik fast food). Atau, dengan teoriini, kita memahami mengapa Go-Jek lebih berhasil di Go-Food dan produk Go-Paykarena dia membantu customer menyelesaikan pekerjaannya. Dengan memesanmakanan, orang dapat menggunakan waktu bekerja atau bersama keluarga denganmaksimal tanpa dilelahkan dengan pekerjaan memasak. Dengan mengetahui pekerjaanyang diselesaikan oleh produk mereka bagi klien, developer bisa menciptakan marketbaru di luar pasar biasa mereka. Gereja dan sekolahnya diajak untuk berpikir apakahproduk gereja kita atau STT di mana kita belajar akan membantu kliennya (jemaat,gereja, masyarakat, mahasiswa) menyelesaikan pekerjaan mereka, dan mencapaikemajuan dalam pelayanan mereka.Buku kedua adalah The Network Imperative: How to Survive and Grow in The Ageof Digital Business Models (2016). Bary Libert, Megan Weck, dan Jerry Windmenjelaskan pola kepemimpinan yang kuat dalam networking. Aset terkuat dari

Page 12: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

5

seseorang atau sebuah perusahaan bukanlah apa yang dia mampu lakukan seorang diri(tangible - terlihat), tetapi bagaimana dia bisa menggunakan networknya untukmencapai tujuan bersama (intangible). Buku ini menunjukkan beberapa kisahkepemimpinan yang tidak berusaha untuk menarik semua orang menjadi seperti sangpemimpin, melainkan pemimpin yang berusaha menunjukkan sebuah tujuan yang bisamenjadi tujuan bersama dan mengajak yang lain menjadi co-creator, dan mengajakcustomer menjadi contributor. Pola pikir sekali pakai dan buang (seperti penggunaanplastik di era 70an) tidak lagi menjadi pilihan. Kita harus mencari subscriber bukan user.Setiap kesalahan harus dilihat sebagai sumbangan dari subscriber untuk memecahkanmasalah yang ada. Kesuksesan seorang pemimpin adalah ketika sistem berjalan denganbaik meski dia tidak ada.Buku ketiga adalah Whiplash: How to Survive Our Faster Future (2016) bicaramengenai teknologi dan manajemen di era disrupsi. Dua penulis dari MIT, Joi Ito danJeff Howe, bicara soal percepatan teknologi dan prinsip-prinsip yang harus diambil olehperusahaan yang mau bertahan di tengah percepatan teknologi. Satu nasihat yangmenantang adalah kita harus berani mengambil "risiko yang sehat," dan memiliki"relasi yang baik dengan ketidakpastian." Daripada menolak perubahan yang cepat, kitajustru harus menariknya, dengan menghitung risiko, dan lebih menghargai pengalamandari teori. Kemungkinan teori justru tertinggal dari produk baru sangat mungkin terjadidi era disrupsi. Karena itu, yang diperlukan adalah sistem untuk memanage semuanyadengan daya tahan yang baik, mungkin seperti ilmu bambu yang resilient meski tidakterlalu kuat. Daripada roadmap, lebih baik perusahaan kita membuat kompas yangmenunjukkan haluan besar, bukan detail langkah yang akan diambil. Karena itumenyiapkan Rencana Kerja jangka panjang tidak lagi tepat, we have to adapt to changes,take risks, embrace uncertainty, but have a clear compass. Saya akan kembali lagi kediskusi mengenai kompas yang akan kita gunakan dalam merangkul berbagai teknologidan inovasi baru di bagian berikutnya.Buku terakhir mengenai disruptive technology adalah karya Amy Webb, Thesignals are talking: Why today’s fringe is tomorrow mainstream (2016). Bagi Webb, kitaperlu mengenali apa pola yang terjadi di sekitar kita, bagaimanapun kecilnya. Pelajaranterpenting adalah teknik bagaimana mengenali sebuah pola yang menjadi tren. Trenakan berkembang, sementara ada pola baru muncul yang kemudian hanya lewat dantidak menjadi tren. Contohnya, hype sendal crocs yang membuat banyak orang antritidak menyelamatkan crocs dari ancaman kebangkrutan karena orang tidak lagimenggunakannya. Sementara, aplikasi ojek online berkembang ketika dulu banyak yangmeragukannya. Blackberry gagal mengembangkan divisi usahanya ketika iPhone dirilispada 2007 karena dia berpikir orang masih memerlukan keyboard riil di telepon, 4tahun kemudian dia sudah tenggelam. Gereja juga dulu sering mengatakan trenmenggunakan musik band itu akan pergi. Saya ingat perdebatan saya sendiri tentang

Page 13: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

6

bertepuk tangan dan penggunaan full band pada 1995, dan mendapati diri saya menjadidrummer gereja di 2007. Sejak 2012, saya menjumpai banyak gereja mainstream diJakarta mengadopsi instrumen band lengkap sebagai pengiring lagu umat.I4 ANTARA PELUANG DAN TANTANGANRevolusi Industri 4.0 telah membawa beberapa peluang dan tantangan dalamkehidupan gereja. Beberapa hal yang mesti kita hadapi adalah perubahan pola pikir danpemahaman mengenai penggunaan teknologi dalam gereja, dan pola dari generasi yangberubah.Dalam menghadapi perubahan , ada beberapa pesan yang disebut oleh WCCdalam buku Virtual Christianity (2004) telah mencoba melihat berbagai tantangan yangakan muncul dalam zaman internet. Sikap yang harus dimiliki tiap gereja adalahmenerima dengan pragmatis, praktis, juga berhati-hati karena perubahan adalahkeniscayaan (Bazin & Cottin 2004, 4). Gereja juga diminta untuk bisa menemukanpesannya sendiri, dan memberikan warna ideologinya sehingga tidak tenggelam dalampesan dunia maya yang penuh dengan ideologi komersial dan teknologi.Dalam relasi antara agama dan sains, kita bisa menggunakan tipologi IanBarbour (2000). Keempat pola ini adalah: konflik, mandiri, dialog, dan integrasi.Pertama tipologi konflik. Dalam pola pertama ini, Barbour mengatakan bahwaagama tidak bisa disatukan dengan sains. Agama dianggap lebih menggunakan perasaandan sains lebih menggunakan logika. Salah satu contoh konflik ini adalah teoripenciptaan vs teori evolusi. Jika pihak agama menggunakan pembacaan teks yangliterer, dia akan menolak teori evolusi yang diajukan oleh sains. Menurut saya, tipologiini tidak lagi tepat, karena pada saat ini banyak teori sains yang didukung olehpenelitian yang dimulai oleh pihak agama. Dalam bidang IT dan AI, agama masihbersikap hati-hati dan lebih memberikan masukan mengenai bagaimana memandangnilai manusia.Kedua, agama dan sains berdiri masing-masing secara independen. Dalamtipologi ini, agama tidak berurusan dengan sains dan sains tidak perlu mencampuriagama. Kedua bidang memiliki metodologi sendiri dalam bidang keilmuannya. Dalampemahaman ini, agama juga tidak perlu cepat-cepat menyimpulkan bahwa segalasesuatu berasal dari karya Allah, dan bidang sains tidak perlu menjelaskan fenomenaagama. Namun, tipologi ini juga tidak bisa lagi dipertahankan karena di bidang AI dan ITkita sudah diperhadapkan kepada munculnya pertanyaan-pertanyaan eksistensialis,seperti, mungkinkah ciptaan (AI) melampaui penciptanya.

Page 14: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

7

Tipologi ketiga adalah model dialog, sehingga kedua bidang bisa saling bertanyadan melengkapi. Kelemahan dalam tipologi ini, kedua jawaban yang diberi oleh masing-masing pihak pasti datang dari asumsi yang berbeda. Sains akan menjawab bahwakemunculan AI itu adalah perkembangan yang tak terhindarkan, sementara agama akanmengingatkan sains untuk tidak bermain peran Tuhan. Dari data yang sama, sains danagama menggunakan metode yang berbeda untuk menginterpretasinya. Hal ini bisamenjadi positif ketika keduanya berdialog dan mau saling mendengarkan.Tipologi terakhir adalah integrasi, di mana agama akan menggunakan penjelasansains untuk fenomena keilahian. Ada tiga jenis teologi yang berkembang untukmengintegrasikan sains ke dalam pemahaman teologi: teologi natural yang dimulai daripertanyaan tentang Allah dan menjelaskan keberadaan-Nya di dunia, teologi alam yangmemulai dari segala hasil ciptaan dan menyimpulkan kehadiran Allah, dan teologisintesis sistematis yang menggabungkan sains dan agama (Barbour 1990, 23-30).Posisi apa pun yang diambil oleh gereja dalam menghadapi kemunculan AIdalam era Revolusi Industri 4.0 kita tetap harus menghadapi beberapa isu teologis yangmuncul. Beberapa isu yang menjadi pembahasan bisa dilihat dari berbagai pendekatan.Tantangan pertama adalah soal makna kehadiran. Tidak bisa kita pungkiri bahwakehadiran secara fisik menghabiskan uang dan waktu. Biaya perjalanan dan efektivitassebuah pertemuan bisa dipangkas dengan menggunakan teleconference. Di beberapaperguruan tinggi di Indonesia, ruang kelas virtual sudah mendapat pengakuan melaluiproses akreditasi. Seseorang disebut hadir bukan karena kehadiran fisiknya, melainkankarena “presence” atau berada dalam ruang virtual dan engage dengan pembicaraanyang dilakukan di dalamnya. Pemahaman baru mengenai kehadiran menantang gerejauntuk memberi fokus baru kepada arti kehadiran, komunitas, dan persekutuan. Apakahkomunitas dibentuk dari sekadar kehadiran, atau sebuah tagar (hashtag #) sudah cukupmemperlihatkan kesamaan ide? Lebih lanjut, dalam cara apa kita bisa membayangkanAllah hadir bersama kita? Beberapa gereja sekarang sedang bergumul mengenai maknakehadiran dalam pemberkatan nikah, ketika seorang pengantin justru berada di lokasiyang berbeda dengan pasangannya pada hari pernikahannya.Persoalan soal komunitas virtual dan real menjadi tantangan terbesar dikemudian hari. Ketika seseorang merasa nyaman berada di balik komputernya danmasuk ke dalam forum atau kelompok-kelompok di internet, apakah dia sedang beradadalam komunitas? Apa makna komunitas? Dalam level gereja, komunitas juga menjadisemakin tersegmentasi. Orang akan mencari gereja yang sesuai dengan hatinya, dan diaakan pergi ke gereja yang hanya sesuai dengan keinginannya.Beberapa studi yang membicarakan virtual community, dan jugamempertanyakan kekuatan dari perseku¬tuan gereja yang terancam oleh bentuk barutidak memberikan terobosan yang berarti. Salah satu contoh adalah penelitian yang

Page 15: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

8

dilakukan oleh Dyikuk. Baginya, gereja harus mengatasi budaya digital yang baru.Definisi budaya digital adalah,In this study, Digital Culture is understood as the contemporary explosion of Informationand Communication Technologies and how they affect the gathering and processing ofinformation as well as human interactions, worldviews, beliefs and opinions. By placing InterMirifica (Decree on Mass Media) on the front burner at the first session of the SecondVatican Council, the Council Fathers set the Church in motion for embracing the digitalculture (Sanders, 2015). (Dyikuk 2017, 45)Dyikuk kemudian memprediksi bagaimana gereja bergumul menyesuaikan diridengan budaya digital tersebut meski tanpa data lapangan atau analisis. Budaya digitalakan membawa gereja kepada godaan untuk terlibat dalam pelayanan gereja online.Namun, menurut Dyikuk, efek negatif dari gereja online adalah: penurunan kehadiran diGedung gereja, individu menggantikan komunitas, gawai tanpa interaksi manusia,subjektivitas dan relativisme, dan tantangan koneksi internet. Pada akhirnya Dyikuktidak memberikan pandangan teologis yang berarti mengenai bagaimana jemaat harusmerespons perubahan ini dalam level teologis. Dyikuk memberi beberapa saran yangtermasuk menciptakan gereja online dalam bentuk forum yang melengkapi gereja on-site. Yang Dyikuk juga belum antisipasi bahwa akan ada gereja yang sepenuhnyamemberikan pelayanan online tanpa memiliki tempat fisik.Dalam bentuk online, gereja juga dipengaruhi oleh syarat yang berbeda akanpara pelayan penuh waktu dalam pemahaman tradisional. Jika tadinya para pelayanfirman dan mereka yang menjadi teladan adalah mereka yang menempuh pendidikanakademik, professional dan menginspirasi (Olusola 2015, 210), sekarang menjadimereka yang memiliki konten relevan dan memiliki kepribadian menarik. Perubahan inijuga datang dari kebutuhan masyarakat untuk komunikasi dua arah yang dimungkinkandi media sosial dibandingkan satu arah yang sering terjadi dalam ibadah (McIntosh2015, 141).Perlu kita catat juga bahwa pemahaman mengenai komunitas ruang virtual telahmenjadi semakin positif seiring dengan perkembangan teknologi dan semakinseringnya kita menggunakan fasilitas tersebut. Misalnya, Cheryl di 2006 mengatakan,In particular, I argue that cyberspace is a uniquely appropriate medium for the enactment ofreligious ritual, for it returns ritual to its fundamental relationship with the virtual. Byoffering virtual presence from inside a virtual realm, ritual, as enacted symbol in cyberspace,is all the more effective at pointing beyond itself to the divine or the sacred. (Cheryl 2006,76)Dalam tulisannya mengenai kemungkinan pelayanan perjamuan kudus secaraonline, Cheryl sudah melihat bahwa kita perlu memikirkan ulang makna ritus karenasimbol kehadiran di ruang virtual menunjuk ke simbol yang sama dengan ruang fisik.Meski demikian, saya juga berargumen bahwa Cheryl sepertinya melupakan faktorpenting mengenai makna real presence dalam teologi yang menjadi perdebatan panjang

Page 16: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

9

karena berkaitan dengan roti dan anggur dan perubahan setelah konsekrasi. Di sampingkesimpulan yang Cheryl ajukan yang masih memiliki kelemahan, reaksinya yang positifmengenai komunitas online perlu kita catat.Setelah teknologi berkembang, dan komunitas online semakin menjamur, dalamtulisannya di 2011, Campbell berargumen bahwa komunitas virtual adalah sebuahkomunitas yang terbatas pada teknologi yang berbeda dengan komunitas onsite/ruangfisik (Campbell 2011, 57). Baginya, komunitas dunia virtual baru bisa terbentuk Ketikasebelumnya mereka sudah mengalami perjumpaan di dunia fisik. Ruang virtual hanyaberfungsi untuk menguatkan komunitas yang sudah ada. Menurut Campbell, teknologitidak dapat menciptakan komunitas orang percaya, karena Allah yang akanmengumpulkan orang percaya dalam Roh Kudus (Campbell 2011, 59; Wise 2014, 43).Kedua, bagaimana gereja bisa terlibat aktif dalam pekerjaan missio Dei melaluimedia? Setiap gereja sekarang memiliki media sosial dan juga website untukmenyebarkan kabar baik melalui internet. Apakah pekerjaan misi di masa depan adalahmembuat orang percaya melalui internet? Misi membuat orang percaya akan sebuahpesan agama bisa kita lihat buktinya melalui gerakan radikalisasi yang terjadi melaluiinternet. Jika demikian, bagaimana gereja bisa memiliki misi dalam dunia digital? Proseskomunikasi dapat terbantu melalui internet. Dalam sebuah studi oleh Gabel terhadapkomunitas Yahudi di Israel (2006), dia menemukan bahwa baik grup keagamaanmaupun sekuler sama-sama menggunakan media menurut keperluan mereka. Grupreligius cenderung melihat teknologi media sebagai sebuah alat yang harus digunakandengan baik, daripada sebagai sebuah musuh yang jahat (dalam Cohen 2012, 10).Pemahaman misi memang tidak bisa kita pecah dari pesan keseluruhan Injil,terutama bahwa seluruh Alkitab berisi firman Allah dan misi Allah yang memperli-hatkan inisiatif Allah dalam relasinya dengan makhluk ciptaan (Wright 2006). Namun,jika kita mencoba literary interpretation dalam pemahaman pemberitaan di Markus danLukas, penggunaan media sosial membuat pemberitaan ke seluruh dunia menjadiefektif. Meski demikian, kita juga harus mengingat bahwa perintah untuk pergi keseluruh dunia dipahami Yesus sebagai perintah literer secara fisik, pergi ke ujung danbatas dari keyahudian dan menuju bangsa-bangsa di luar Israel. Perintah pergi keseluruh dunia bisa kita terjemahkan entah sebagai pergi secara fisik ke tempat-tempatyang belum mendengar Firman Allah, atau bisa juga dengan memberi kampanya mediasosial yang baik untuk menjangkau mereka yang belum mendengar kabar baik. Meskidemikian, kelemahan dari penggunaan media teknologi untuk mencapai pendengarpertama, karena dia tidak lagi personal, dan sulit untuk diukur karena apa yang disebutsebagai media bubble.1 Lebih sulit lagi, kita sekarang berada dalam genggaman media1 Media bubble adalah “an environment in which one’s exposure to news, entertainment, social

media, etc., represents only one ideological or cultural perspective and excludes or misrepresents other points

Page 17: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

10

sosial yang cenderung menyensor apa yang kita tampilkan berdasarkan aturan yangmereka umumkan (Gillespie 2018, 5-9) dan kepentingan yang ada di balik organisasimereka. Seringkali kepentingan yang mereka miliki dipengaruhi oleh politik merekadalam pemahaman,Rather, politics is understood in more general terms, as ways of world-making—thepractices and capacities entailed in ordering and arranging different ways of being in theworld. Drawing on insights from Science and Technology Studies (STS), politics here is moreabout the making of certain realities than taking reality for granted (Mol, 2002; Moser, 2008;Law, 2002). (Bucher 2019, 3)Dengan pemaparan di atas, kita bisa memahami bahwa media sosial yangdimiliki untuk mengabarkan Kabar Baik akan banyak tergantung kepada jenis media,apa kebijakan media tersebut, dan media bubble para pembacanya. Akibatnya, besarkemungkinan orang yang membaca pemberitaan kabar baik adalah mereka yangmemang terekspos terhadap kata-kata kunci yang berhubungan dengan kekristenan.Dengan kata lain, siapa yang menjadi pembaca/viewer/reader/subscriber/memberadalah mereka yang memang mencarinya.Meski demikian, Paus Benediktus sudah memahami pentingnya jejaring dalampenginjilan, sehingga dengan jejaring kita bisa saling menguatkan.Social networks, as well as being a means of evangelization, can also be a factor in humandevelopment. As an example, in some geographical and cultural contexts where Christiansfeel isolated, social networks can reinforce their sense of real unity with the worldwidecommunity of believers. The networks facilitate the sharing of spiritual and liturgicalresources, helping people to pray with a greater sense of closeness to those who share thesame faith. (Benedictus XVI 2013)Jejaring yang dimaksud Paus Benediktus XVI bisa kita bentuk melalui mediasosial. Karena pemahaman demikian, Egere, melihat media sebagai sebuah “alat” untukmelakukan penginjilan.The Church, therefore, “Sees these media as ‘gifts of Cod’ which, in accordance with Idsprovidential design, unite men in brotherhood and so help them to cooperate with his planof salvation.” This vision of the Church calls for urgent application of the social mediastratagem in the evangelization vista (Egere 2015, 192).Lebih lanjut, Egere juga melihat pentingnya pengembangan model penginjilanberdasarkan strategi pemasaran dengan pendekatan dan teknik psikologis. Egeremelihat media sosial sebagai cara yang sangat efektif untuk berkomunikasi denganof view” (Dictionary.com s.v. “media bubble”). Media bubble membuat kita hanya membaca apa yang kitaingin baca, karena algoritma media sosial atau berita bahkan mesin pencari disesuaikan dengan apa yangmereka [baca: AI dari mesin pencari atau media sosial] pikir sesuai dengan kebutuhan kita berdasarkanterminologi yang kita masukkan di mesin pencari atau media sosial. Bahkan media nasional di Amerika Serikatjuga diduga berdasarkan media bubble mereka sendiri sehingga polaritas antara pendukung Demokrat danRepublikan di Amerika Serikat akan semakin luas. Lihat Jack Shafer and Tucker Doherty, “The Media Bubble IsWorse Than You Think,” Politico, 2017, https://www.politico.com/magazine/story/2017/04/25/media-bubble-real-journalism-jobs-east-coast-215048.

Page 18: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

11

dunia yang semakin terintegrasi dalam web. Menurutnya, gereja harus mereorientasiprogramnya dengan cara terkini untuk menyesuaikan diri dengan metode terbaru(Egere 2015, 203; Olusola 2015, 220-222).Reimann, memandang bahwa kepentingan untuk penginjilan di ruang mediasosial adalah kebutuhan, dan sekarang saatnya untuk bicara mengenai cara untukmenampilkan diri sebagai sebuah gereja (Reimann 2017, 73-74). Beberapa hal yang diakhawatirkan adalah persona online yang tidak sama dengan apa yang adad alam dunianyata, dan aturan yang berbeda yang ditampilkan oleh dunia media sosial. Karenaberbagai tantangan, Reimann membedakan agama online dan agama di ruang onlineReimann 2017, 77). Baginya, agama harus muncul di ruang online namun tidak menjadiagama online (agama yang dipraktikkan murni di ruang online). Kita bisamenyimpulkan bahwa misi di ruang online adalah pelengkap dari pelayanan yanggereja lakukan di ruang tiga dimensi.Umumnya, para tokoh agama memandang teknologi komunikasi melalui internetsebagai hal yang positif dalam pengembangan komunitasnya (Cheong 2013, 79). Meskidemikian, pengetahuan bahwa kompleksitas algoritma pemilihan (masalah potensi danpromosi), kekuatan persona online (masalah otoritas), serta otentisitaspembicara/influencer (masalah originalitas) menjadi tantangan yang perlu dieksplorgereja dalam keterlibatannya untuk melakukan pekerjaan misi (konten misi) di duniamedia sosial.Pertanyaan lain yang muncul adalah soal privasi. Karena keterbukaan data, kitadengan mudah menemukan informasi mengenai orang yang ingin kita cari di Internet.Banyak pihak HRD perusahaan sudah menggunakan teknologi informasi untuk mencaritahu tentang orang yang melamar untuk bekerja di perusahaannya. Orang juga bisadengan mudah mencari informasi mengenai gereja yang akan diikutinya melaluiinternet. Pada akhirnya, kita menjadi lebih khawatir mengenai privasi. Orang Asia danAfrika memiliki tendensi untuk lebih membagi informasi mengenai dirinyadibandingkan orang Eropa Barat dan Amerika Serikat. Over-information juga menjadiciri dari zaman sekarang, ketika orang tahu lebih banyak dari yang dia ingin tahu. Dalamgereja, kita juga bertanya soal privasi perkunjungan ke orang sakit, foto orangmeninggal, pengumuman pasangan yang sedang konseling oleh pendeta di mediasosialnya, berbagi gambar yang dinilai orang tidak pantas untuk dibagi, dsb. Privasi danruang publik menjadi agak sumir. Ketika seseorang berbagi informasi di mediasosialnya, apakah dia sedang berbagi di ruang publik? Para pendeta juga terlihat gagapdalam menggunakan keterbukaan ini, sehingga sebuah pelatihan mengenai penggunaanmedia sosial perlu dilakukan oleh gereja.Di sisi lain, public shaming dan public bullying semakin merajalela. Rakyat bisadengan cepat mempermalukan atau membully seseorang yang dianggapnya melakukan

Page 19: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

12

perbuatan tercela. Anonimitas dan adanya jarak sebenarnya di media sosial membuatseseorang tidak berpikir lagi mengenai konsekuensi tindakannya kepada orang yangdihinanya (Görzig 2013). Mungkin orang gereja juga ada yang ikut melakukan ini dalamberbagai kasus yang ada. Dalam sisi lain, public shaming juga bisa mendorongperubahan sikap dari tokoh publik yang melakukan tindakan memalukan. Di sisi lain,public shaming menambah kehancuran korban tindakan tersebut.Masalah Riil di Gereja dan Respons TeologisSetelah melihat beberapa isu yang harus dihadapi di atas, saya akan mengajakkita untuk fokus kepada tiga hal yang menjadi isu konkret teologis yang harus dihadapioleh gereja-gereja.1) Gereja, Pertemuan, dan Makna PersekutuanDalam beberapa dekade belakangan, makna persekutuan telah diguncang olehtelevangelisasi. Jemaat beribadah di depan televisinya. Kita bisa dengan cepatmengatakan bahwa ibadah seperti itu lebih bersifat egois karena tidak menyertakanpersekutuan di dalamnya. Mereka yang beribadah di depan layer televisinya tidak akanpernah mengenal saudara-saudara dalam persekutuan. Namun, bagaimana jika diamemang mengenal orang-orang yang beribadah dengannya, dan dia juga bisa ikutberinteraksi serta merasa lebih dekat dengan teman-temannya melalui persekutuaninternet daripada persekutuan nyata yang ada di sekitarnya. Kita harus memilikibatasan dan definisi yang jelas mengenai persekutuan. Apakah persekutuan itu adalahsoal kehadiran atau soal perasaan?Pertama, apa arti perjumpaan? Syarat sebuah persekutuan adalah jemaat yangberjumpa dalam sebuah ruang yang sama. Dalam banyak diskusi, makna persekutuanselalu merujuk kepada perkataan Yesus, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpuldalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Dalamperkataan ini ada tiga hal yang perlu kita telaah bersama. Pertama faktor manusia, duapihak atau lebih. Kedua faktor perkumpulan dari para manusia tersebut. Ketiga, faktorkehadiran Kristus, yang kemudian terikat dengan waktu.Kita akan mencoba menjawab pertanyaan pertama mengenai faktor manusia,dua orang atau lebih. Sebuah persekutuan menuntut adanya beberapa orang yangmemiliki kesamaan minat. Dalam hal ini, perkumpulan pengikut Kristus disatukan olehnama Kristus.Kedua adalah soal perkumpulan. Kita memiliki pertanyaan apakah berkumpulselalu mengasosiasikan beberapa pihak tersebut berada dalam ruang yang sama? Tentupertanyaan ini tidak bisa kita samakan dengan konteks Tuhan Yesus, karena mereka

Page 20: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

13

tidak memiliki pertanyaan yang sama dengan kita. Bagi mereka, perkumpulan adalahpertemuan dalam sebuah ruang tiga dimensi. Namun bagi kita, dengan perbedaandefinisi mengenai ruang, ruang cyber, dengan IP (Internet Protocol) address jugamenjadi sebuah “ruang” di mana orang bisa berkumpul dalam suatu forum.Perkumpulan mensyaratkan perjumpaan antarmanusia. Seiring dengankemajuan teknologi, perjumpaan didefinisikan ketika kita melakukan percakapansambil saling “melihat” dan “mendengar.”2 Dengan definisi perjumpaan adalah salingmelihat dan mendengar, tanpa sentuhan fisik, seorang mahasiswa akan dianggap hadirketika dia bisa memperlihatkan diri dan mendengar/bicara dalam ruang belajar virtual.Oleh karena itu, diskusi teologis yang menjadi fokus utama adalah apa maknakehadiran? Dalam Bahasa Indonesia, kehadiran berarti “adanya (seseorang,sekumpulan orang) pada suatu tempat” (KBBI s.v. “kehadiran”). Jika ruang virtualadalah “tempat”, maka kehadiran virtual – dalam bentuk melihat dan mendengar – jugaadalah kehadiran.Dengan pemahaman demikian, persekutuan virtual, selama mereka berkumpuldi satu ruang, dan bisa saling melihat dan mendengar, bisa kita definisikan sebagaipersekutuan yang sepenuhnya. Inilah tantangan bagi gereja nanti. Apakah virtualpresence bisa kita samakan dengan real presence (secara 3 dimensi)?Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan menggunakan pendekatanfilosofis dalam diskusi hiperrealitas dan realitas. Kenyataan masyarakat di abad XXItentu tidak bisa lepas dari budaya virtual reality. Manuel Castells seorang sosiolog danahli kultur urban, melihat kedekatan antara budaya real dan virtual dan mengatakanbahwa,Reality (that is, people’s material / symbolic existence) is entirely captured, fully immersedin a virtual image setting, in the world of make believe, in which appearances are not just onthe screen through which experience is communicated, but they become the experience.(Castells 1996, 373)Definisi Cartells mengenai realitas memperlihatkan bahwa simulasi dan simbolyang tadinya menjadi alat yang menggambarkan dan menjelaskan kenyataan ternyatabergerak untuk menggantikan kenyataan itu sendiri (Bell 2007, 83). Dengan kata lain,sebuah tanda yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan pada akhirnya menjadikenyataan itu sendiri.Satu hal yang menjadi ganjalan juga dalam teori Baudrillard adalah klaim bahwaAllah juga bisa dijelaskan sebagai simulacrum dari keinginan manusia yang tidakterpenuhi, dan akhirnya simbol itu menjadi yang utama. Baudrillard menulis, “...Godnever existed, that only the simulacrum ever existed... If they could have believed that

2 Definisi ini menjadi problematis ketika dihadapkan pada mereka yang buta dan tuli.

Page 21: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

14

these images only obfuscated or masked the Platonic Idea of God, there would havebeen no reason to destroy them.” (Baudrillard 1994, 4-5). Karena itu, pertanyaan kitaadalah apakah betul yang real itu adalah real dan bukan simulacrum dari yang real?Dalam dunia modern, mereka yang mengetahui soal simulacrum kemudianbergerak untuk menguasainya sebagai cara untuk mengubah kenyataan danmengarahkan orang ke persepsi yang ingin ditampilkannya. Beberapa studi yangdilakukan lebih lanjut adalah dalam topik marketing dan desain mal dan supermarket.Desain produk juga bisa membuat seseorang melupakan bahwa produk tersebutsebenarnya sedang merepresentasikan sesuatu, dan pada akhirnya bisa membuatsebuah produk menjadi real pada dirinya sendiri. Misalnya, sebuah boneka jeruk dibuatuntuk menggambarkan produk sunquist yang sebenarnya adalah representasi darijeruk. Yang menjadi masalah adalah ketika orang melihat representasi boneka jeruktersebut dan justru mengingat produk sunquist dan bukan jeruk.Media memiliki kekuatan yang besar dalam masalah representasi yang kitagambarkan di atas (Ritzer dan Smart 2003). Baudrillard melihatnya sebagai sebuahkenyataan yang membawa masalah. Ada beberapa filosof yang melihat simulacrumsebagai kesempatan untuk mengubah persepsi masyarakat akan hal-hal yang nantinyamembawa kebaikan.Tantangan kemudian yang kita hadapi adalah untuk mengetahui apa yang real.Strategi hyperreality adalah nilai yang mengambang sehingga nilai bukan lagitergantung kepada apa yang suatu kenyataan itu tawarkan melainkan bagaimana kitamemersepsikan sesuatu itu, atau lebih buruk lagi, bagaimana pihak yang memilikikekuatan mengendalikan dunia melalui simulacrum yang mereka ciptakan. MenurutBaudrillard, cara melawan hiperrealitas adalah dengan menciptakan hiperrealitas lainyang akan mengalahkannya (Baudrillard 2001, 123). Jika demikian, apakah yang real ituketika persaingan yang muncul adalah antara hyperreal vs hyperreal?Dengan belajar dari pengalaman Baudrillard, Bartholomew & Goheenmenyatakan bahwa konsumerisme yang mendominasi dunia kita memperlihatkanpentingnya kita kembali kepada realitas (Bartholomew & Goheen 2013, 187-188).Tradisi kekristenan memahami arti kehadiran yang melampaui tiga dimensi.Dalam iman, kita bisa mengatakan bahwa Allah adalah omnipresent, dan Kristus selaluhadir dalam Gereja, meski kita tidak bisa melihat-Nya secara fisik. Melalui ikon, simbol,peristiwa liturgis, kita bisa menghayati kehadiran yang sesungguhnya dari Yang Ilahi.Jika demikian, kehadiran kemudian kita definisikan melalui perasaan akan keberadaan,bukan karena kehadiran. Kita menyatakan bahwa Allah benar-benar hadir ketikaperasaan kita, yang diperkuat oleh ibadah, ritus, simbol, dsb., mengatakan bahwa Diahadir. Unsur perasaan, melihat, dan mendengar yang sudah terpenuhi melalui kemajuan

Page 22: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

15

teknologi komunikasi menantang gereja untuk mendefinisikan ulang makna perseku-tuan. Satu hal yang pasti tidak bisa dilaksanakan dalam persekutuan online adalahpelayanan sakramen. Persekutuan yang mewujud dalam bentuk daging (Yoh. 1:14) jugamembuat Allah merasa perlu untuk hadir di tengah manusia dalam Kristus meski diajuga bisa bersama dengan kita dalam Roh. Kehadiran personal dan sentuhan fisikmembedakan kunjungan Yesus ke tengah-tengah orang sakit, miskin, danmembutuhkan, dibandingkan perintah-Nya yang cukup menyembuhkan. Menurut saya,relasi interpersonal yang sesungguhnya bisa dicapai melalui persekutuan yangberjumpa dalam ruang tiga dimensi. Namun, perjumpaan untuk pengajaran kemudianbisa dilakukan dalam ruang virtual. Karena itu, live streaming pengajaran dan ibadahharus dilihat sebagai alternatif bagi gereja untuk menjangkau audiens yang lebih luas(kesaksian), namun bukan dalam rangka menumbuhkan persekutuan.2) Ibadah & TeknologiPenggunaan projector LCD dalam ibadah dimulai oleh gereja pentakostal dankarismatik. Pada mulanya mereka perlu membebaskan tangan mereka dari tugasmemegang teks agar jemaat bertepuk tangan sambil bernyanyi. Ilustrasi dalam bentukvideo dan gambar juga membantu orang lebih fokus kepada pesan yang ingindisampaikan. Meski, tampilan multimedia yang buruk dapat menjadi batu sandunganbagi jemaat yang kritis. Teknologi mempunyai tiga wajah bagi teologi. Pertama,teknologi membantu menyebarluaskan pesan teologi. Kedua, teknologi menggangguteologi. Dan ketiga, teknologi menjadi alat bagi teologi. Monsma pernah memprediksipenggunaan teknologi bagi masa kita,Technology and its results are so much with us that, like the air we breathe, their presenceand effects go unnoticed and unanalyzed. As a result modern technology and all it entails areoften accepted by default, with few questioning what life would be like if humankindperformed tasks and attained goals by other means. (Monsma 1986, 1)

Saya sendiri melihat gereja lebih mudah menerima penggunaan teknologi padatahun 2015-an hingga sekarang daripada sebelumnya. Beberapa gereja bahkan pernahmenolak penggunaan LCD karena dianggap mengganggu konsentrasi orang dari ibadah.Sementara itu, tata ibadah yang diproyeksikan ke multimedia menolong penguranganpenggunaan kertas dalam ibadah. Teknologi multimedia pada akhirnya memangmembantu bagi jemaat yang bisa menggunakannya secara maksimal.Selanjutnya, muncul pertanyaan di mana posisi yang sakral dalam ibadah? Dalamera teknologi, batasan mengenai yang sakral dan profan menjadi hilang. Kekritisan kitaakan kebenaran informasi juga membuat kita mempertanyakan segala hal. Generasi

Page 23: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

16

baru juga tidak lagi melihat barang-barang yang dulu dianggap sakral sebagai hal yangsakral. Contohnya, apakah kita masih melihat Alkitab sebagai buku yang berisi FirmanAllah atau sebagai Firman Allah. Ada sebuah masa di mana Alkitab hanya bisadisebarkan melalui format buku. Namun, di era digital, buku bukan lagi kebutuhankarena kita sudah menemukan berbagai format lain yang memudahkan pembacaankonten (e-book misalnya). Karena Alkitab dulu susah ditemukan, dan buku adalahformat yang memungkinkan kita membaca Alkitab, dia menjadi penting bagi kita. Tidakjarang kita menemui jenazah yang dikuburkan bersama Alkitabnya, meski saya belumpernah melihat orang yang dikubur bersama tabletnya. Bentuk elektronik membawakemudahan tapi memerlukan diskusi lebih lanjut. Pada akhirnya, perubahan formatadalah keniscayaan. Pertanyaannya adalah apakah kita siap ketika semua format akanberubah?Dalam situasi demikian, kita bisa memegang pedoman, ketika semua dilakukanuntuk kemuliaan nama Allah (1Kor. 10:33), dan jemaat menyetujuinya dalam kerangkakesatuan tubuh Kristus (Ef. 4), teknologi bisa membantu pelayanan dalam peribadahan.3) Spiritualitas vs ReligiusitasDi masa perkembangan teknologi, kita membedakan spiritualitas danreligiusitas. Meski berhubungan keduanya tidak otomatis saling membutuhkan. NancyAmmerman dalam Spiritual but not Religious? Beyond Binary Choice in the Study ofReligion mengungkapkan bahwa spiritualitas adalah partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan, etika atau cara hidup, mengalami kehadiran Tuhan, tujuan hidup,kepercayaan kepada Tuhan, dan sesuatu yang berorientasi pada batin seseorang(Ammerman 2013, 263-264; Hardjana 2005). Sementara, religiusitas merujuk kepadaketerikatan kepada sebuah organisasi keagamaan yang memiliki aturan baku, harikeagamaan, aturan/tata peribadahan, dsb.Pada era I.4, istilah spiritualitas lebih disukai daripada religiusitas karenabeberapa hal. Pertama, spiritualitas dipandang sebagai sepertinya lebih bersifatindividual dan religiusitas bersifat komunal (Harvey 2016, 129). Karena bersifatindividu, pengembangan spiritualitas juga bisa dilakukan dalam berbagai model(Pakpahan 2014, 141–43). Karena itu, spiritualitas dilihat sebagai pengembangan dirisendiri yang lebih otentik karena terhubung kepada individu. Ammerman mengatakan,“spirituality as “more authentic” than organized religion because they themselves havecreated it” (Ammerman 2013, 259). Lalu, faktor pengalaman buruk umat beragamaterhadap para pemimpin agama membuat orang lebih memilih spiritualitas yangmembuat seseorang berhubungan langsung kepada Allah daripada pemimpinorganisasi (Fuller 2001, 6).

Page 24: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

17

Sementara itu, spiritualitas tidak bisa lepas dari religiusitas karena tujuan dariagama adalah membangun spiritualitas umat. Graham Harvey menulis istilah SBNR(Spiritual But Not Religious) untuk mencoba memisahkan kedua istilah tersebut.Baginya, spiritualitas tidak harus terikat kepada sebuah organisasi atau unsur agama(Harvey 2016, 164). Spiritualitas tidak melulu terikat kepada apa yang institusi religiusdefinisikan. Media dan budaya kontemporer yang dipopulerkan oleh teknologi turutmembentuk definisi spiritualitas (Ammerman 2006, 71-72).Sebagai lembaga religius, gereja juga ditantang untuk memikirkan ulang definisispiritualitas yang mereka tawarkan, terutama dalam menyebutkan bagaimanaseseorang membangun spiritualitasnya. Dalam kecenderungan kebutuhan gereja dimilenium ketiga mengenai pertumbuhan spiritualitas pribadi, yang otentik, menantanggereja untuk menyediakan persekutuan yang juga memfasilitasi perjumpaan personalantara individu dengan Allah. Gereja harus hati-hati dalam menimbang faktor komunaldan individual bagi spiritualitas jemaat.Panduan untuk Melakukan PelayananBerikut adalah pegangan saya untuk berbagai pelayanan yang saya lakukan yangbisa juga digunakan untuk panduan menyiapkan berbagai model pelayanan kreatif diera yang menarik sekarang.1) Apakah dia berguna? Apakah dia membangun? (1Kor. 10:23)Dalam setiap dilema yang dihadapi, tanyakanlah apakah dia berguna danmembangun? Jika ternyata sisi negatif yang dibawa teknologi lebih besar darimanfaatnya, sebaiknya dia tidak digunakan dulu. Dalam 1 Korintus, Rasul Paulusmenghadapi perdebatan mengenai bolehkah seorang Kristen memakan makananyang telah dipersembahkan kepada berhala. Paulus tidak menjawab secara langsungpertanyaan ini, melainkan memberi sebuah petunjuk bahwa tidak segala sesuatuyang bisa dilakukan itu membangun dan berguna. Kita telah melihat banyakpenemuan yang sama sekali tidak berguna atau membangun. Karena itu, panduanyang digunakan Paulus dalam bagian terakhir dari 1 Korintus 10 adalah untukmenggunakan segala sesuatu bagi kemuliaan Allah.Ketika I4 justru merusak dan tidak berguna untuk kebaikan manusia, sebaiknyagereja dengan tegas menyatakan penolakan terhadap teknologi demikian. Salah satuhal yang perlu dipikirkan gereja dengan tegas adalah rekayasa genetika terutamauntuk pengembangan manusia dan mesin yang masih memiliki banyak pertanyaan.2) Apakah komunitas menjadi persekutuan sesungguhnya? (Yoh. 15:1-17)Kita menemukan tiga poin pemuridan yang otentik dalam Yohanes 15:1-17, yaituuntuk hidup dalam Kristus, untuk mengasihi yang lain, dan bekerja untuk KerajaanAllah bagi sesama. Ketika sebuah persekutuan tidak memiliki satu dari ketiga hal di

Page 25: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

18

atas, sebuah persekutuan harus mengakui bahwa dia tidak lagi menjadi persekutuansesungguhnya. Dalam dunia yang terkoneksi ini, kita menemukan angkaindividualisme dan kesendirian (loneliness) yang cukup tinggi. Manusia ternyatamemerlukan personal touch dan kehadiran virtual belum menjawab kebutuhanmanusia akan sentuhan fisik personal. Dalam penelitian psikologi, seorang bayi yangtidak dipeluk, disentuh, dipegang oleh keluarganya, meski mendapatkan makanandan gizi yang cukup, akan berhenti bertumbuh, dan mati. Manusia memerlukansentuhan fisik, dan karena itu komunitas virtual mungkin belum menjawab isuuntuk hidup dalam Kristus, mengasihi yang lain, dan bekerja bagi sesama. Kasihtidak bisa hanya dilakukan dari tempat yang nyaman dan jauh dari situasisesungguhnya. Itu sebabnya Yesus selalu pergi mengunjungi tempat-tempat di manabanyak orang terpinggirkan tinggal. Komunitas yang sesungguhnya masihmembutuhkan perjumpaan.3) Apakah teknologi menjadi berhala baru? (Mat. 28:16-20)Teknologi harus menjadi alat, bukan tujuan. Ketika seseorang datang kepada sebuahgereja hanya karena musik band rock, sistem pencahayaan yang baik, ataukemudahan untuk mendapatkan berbagai kemudahan, dia sudah menjadi berhalabaru. Teknologi digunakan untuk menyebarkan kabar baik kepada seluruh dunia.Kita harus hati-hati ketika gereja justru menjadikan teknologi sebagai syarat utamamereka dalam menyebarkan kabar baik. Gereja dapat saja memberhalakan teknologidan menjadikan kuasa teknologi sebagai pendukung utama mereka dalammengabarkan Injil. Kekhawatiran pergeseran makna teknologi sebagai pendukungmenjadi yang utama tidak bisa kita pungkiri. Ketika gereja terlalu mengandalkanteknologi, kita harus bertanya apakah karya Roh Kudus masih kita andalkan?4) Apakah teknologi sedang mengurangi esensi kita sebagai makhluk yang segambardengan Allah (Kej. 1:26)?Salah satu kecenderungan penggunaan dan pengembangan teknologi adalahberbagai masalah etis yang muncul kemudian. Kita harus tetap berpikir kritis akanberbagai perkembangan teknologi yang timbul sambil memegang prinsipmemanusiakan manusia. Manusia tidak boleh direduksi menjadi sebuah nama diatas layar, sebuah angka, bahkan sebuah kode. Manusia adalah manusia, danteknologi yang mendehumanisasi manusia harus dijauhi. Beberapa masalah yangmuncul dalam kemajuan teknologi berasal dari bidang etika. Apakah manusia bisadimodifikasi? Apakah manusia bisa dikuantifikasi? Apakah teknologi kontrolpopulasi bisa kita terapkan? Apakah kita bisa menyeleksi manusia tipe apa yang kitainginkan?

Page 26: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

19

Berbagi PengalamanKita telah melihat beberapa tantangan dan peluang bagi gereja untukmenjalankan panggilannya dalam era I4. Saya memandang teologi harus selalu menjadipartner dialog bagi sains, dan dalam hal I4, teologi harus mempersiapkan dirinya untukbertanya kepada sains dan dirinya sendiri mengenai perkembangan yang pasti akanmasuk ke gereja kita, cepat atau lambat.Di bagian ini saya ingin berbagi beberapa contoh pelayanan yang sudah sayakerjakan sebagai pendeta yang banyak melakukan pelayanan lintas generasi, gereja,bahkan negara.1) Jadilah dirimu sendiri.Salah satu tantangan gereja adalah untuk menampilkan model diri yang sempurna,padahal kita semua adalah manusia yang berdosa. Be who you are, and at the sametime, be true to God’s calling.a) Membuka kelompok young professional ministry, bagi para professional mudayang mencari mentor dan penguatan melalui Firman Tuhan.b) Preach with heart. Speak directly to the congregation when you are preaching,and tell them your struggle too.c) Instagram counselling. Engage dengan anak-anak muda melalui media yangmereka pegang. Mereka sedang mencari pegangan dari orang yang merekaanggap dekat dan relatable.2) Dobrak kebiasaan dengan mengetahui apa intinya dan mencari kesempatan untukmemiliki kemasan baru.Pilihlah pertarunganmu, ketahui intinya (pelajari tradisi dan makna teologisnya),diskusikan dengan para stake holders informally, dan bertanggung jawab untukinovasimu.a) Membuka futsal competition bagi pemuda di GKIN Belanda, dan harus mau lelahuntuk mensponsori anak-anak muda.b) Mendukung program praise and worship, dan bertanggung jawab secara teologisuntuk itu.c) Membuka counselling pranikah secara personal ketika merekamembutuhkannya.d) Membebaskan anak-anak muda untuk berkreasi, mendukung mereka untukberbagai peluang yang mereka miliki, dan ada sebagai teman, pendukung, coach,bukan pengawas atau auditor.Saya berharap teman-teman pemuda, mahasiswa berbagai sekolah teologi,mampu memaksimalkan penggunaan teknologi informasi di era millennium ketiga

Page 27: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

20

untuk memuliakan nama Tuhan sebagai kawan sekerja Allah dalam memuliakan namaTuhan.Daftar AcuanAmmerman, Nancy T. 2006. Everyday religion: Observing modern religious lives. NewYork: Oxford University Press______________. 2013. Spiritual but not religious? Beyond binary choice in the study ofreligion. Journal for The Scientific Study of Religion: 258-278.Barbour, Ian G. 1990. Religion in an age of science. London: SCM Press Ltd.Bartholomew, Craig G. & Michael W. Goheen. 2013. Christian philosophy: A systematic

and narrative introduction. Ada Michigan: Baker Academic.Baudrillard, Jean. 2001. Simulacra and simulation. Transl. Sheila Faria Glaser. Ann Arbor,Michigan: The University of Michigan Press.Bazin, Jean-Nicolas & Jérôme Cottin. 2004. Virtual Christianity: Potential and challengefor the churches. Geneva: WCC Publications.Borowik, Claire. 2018. “From radical communalism to virtual community: The digitaltransformation of the Family International.” Nova religio 22, no. 1: 59–86.https://doi.org/10.1525/nr.2018.22.1.59.Campbell, Heidi A. 2011. When religion meets new media. London; New York: Routledge.

Castells, Manuel. 1996. The rise of the network society. Oxford: Blackwell.Cheryl, Casey. 2006. “Virtual ritual, real faith: The revirtualization of religious ritual incyberspace.” Journal of religions on the internet 2, no. 1: 73–90.https://doi.org/10.11588/rel.2006.1.377.Christensen, Clayton M. 2016. Competing against luck: The story of innovation andcustomer choice. New York: Harper Business.Cohen, Yoel. 2012. God, Jews and the media: Religion and Israel’s media. Abingdon, UK:Routledge.Dyikuk, Justine John. 2017. “Christianity and the digital age: Sustaining the onlinechurch.” International journal of journalism and mass communication 3, no. 1: 43–49. http://hdl.handle.net/123456789/2890.Fuller. Robert C. 2001. Spiritual, but not religious: Understanding unchurch America.New York: Oxford University Press.

Page 28: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

21

Görzig, Anke, dan Lara A. Frumkin. 2013. “Cyberbullying experiences on-the-go: Whensocial media can become distressing.” Cyberpsychology: Journal of psychosocialresearch on cyberspace 7, no. 1. https://doi.org/10.5817/CP2013-1-4.Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, agama, dan spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius.Harvey, Graham. 2016. If “spiritual but not religious” people are not religious whatdifference do they make? Journal for the study of spirituality (Oktober): 128-141.Ito, Joi & Jeff Howe. 2016. Whiplash: How to survive our faster future. New York: GrandCentral Publishin.Japan Cabinet Office Website. 2018. Society 5.0.https://www8.cao.go.jp/cstp/english/society5_0/index.html. Diakses 9November 2020.Libert, Bary, Megan Weck, dan Jerry Wind. 2016. The network imperative: How to surviveand grow in the age of digital business models. Boston: Harvard Business ReviewPress.McIntosh, Esther. “Belonging without believing: Church as community in an age ofdigital media.” International journal of public theology 9, no. 2 (2015): 131–55.https://doi.org/10.1163/15697320-12341389.Monsma, Stephen V. 1986. Responsible technology: A Christian perspective. GrandRapids: Williams B. Eerdmans.Olusola, Emmanuel B. 2015. “Digital church and e-culture in the new media age: Thespectrum of Nigeria.” African ecclesial review 57, no. 3 & 4: 206–24.https://www.scribd.com/document/368083171/Inaku-K-Egere-Social-Media-and-Mission-based-Marketing-Approach-for-New-Evangelization-in-the-Digital-Age.Pakpahan, Binsar J. 2014. Menuju model-model ibadah yang membangun: Sebuah telaahrelasi pertumbuhan spiritualitas dan ibadah dalam dunia postmodern. DalamRobinson Butarbutar, ed. Spiritualitas ekologis: Buku pengucapan syukur ulangtahun ke-50 Pdt. Dr. Victor Tinambunan, 127–47. Jakarta: Yayasan DarmaMahardika.Webb, Amy. 2016. The signals are talking: Why today’s fringe is tomorrow mainstream.New York: PublicAffairs.Wise, Justin. 2014. The Social Church a Theology and Digital Communication. Chicago:Moody Publisher.

Page 29: repository.stftjakarta.ac.idrepository.stftjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2021/02/...2020/11/28  · Ciri utama dari I4 ada 4: 1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar. a)

22

Tentang Penulis

Binsar Jonathan Pakpahan adalah pendeta Huria Kristen Batak Protestan yang diutusmenjadi dosen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, menjabat sebagai Wakil Ketua 4Bidang Relasi Publik, pengampu matakuliah Filsafat, Etika, dan Teologi Publik.Memperoleh gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Fakultas Teologi Vrije Universiteit,Amsterdam (2011) dalam bidang Teologi Sistematika. Publikasi utamanya adalah GodRemembers: Towards a Theology of Remembrance as a Basis of Reconciliation inCommunal Conflict (Amsterdam: VU University Press, 2012). Telah menerbitkanberbagai artikel di jurnal internasional dan Indonesia. Sekarang sedang menyelesaikandisertasi habilitasi di Evangelisch-Theologische Fakultät, Westfälische Wilhelms-Universität (WWU) Münster, Jerman (sejak 2016), atas tema peran rasa malu danhormat di komunitas Kristen Indonesia dalam praktik pengampunan dan kontribusinyaterhadap pembentukan norma masyarakat Indonesia.