01 kajian konversi lahan pada kawasan sisi jalan kolektor_final.pdf

44
Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya Ir. Mudji Irmawan, MS Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 1 KAJIAN KONVERSI PERUNTUKAN LAHAN PERUMAHAN PADA KAWASAN SISI JALAN KOLEKTOR DAN JALAN PENGHUBUNG UTAMA DUA KOLEKTOR DI KOTA SURABAYA 1. Latar Belakang Kawasan perumahan mempunyai fungsi yang beraneka ragam, disamping sebagai tempat tinggal, juga tersedia sarana pendidikan, perdagangan, kesehatan yang merupakan fungsi pelayanan kawasan perumahan. Di samping itu kawasan perumahan dapat berkembang lebih cepat apabila di dalam kawasan tersebut terdapat akses yang mudah ke pusat-pusat kegiatan perkotaan. Oleh karena itu penduduk perkotaan memanfaatkan tanah untuk perumahan yang mengikuti jalur transportasi kota atau tempat-tempat yang mempunyai kemudahan untuk mencapai jalur utama transportasi dalam kota (Northam, 1975). Keterbatasan lahan dan harga lahan yang tinggi di kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan komersial di pusat kota mengakibatkan terjadinya perambahan (invasi) fungsi komersial ke kawasan perumahan, utamanya yang didorong sebagai dampak peningkatan kelas dan pelayanan jalan. Perubahan pemanfaatan lahan tersebut secara bertahap telah merubah kawasan dari dominasi perumahan menjadi kegiatan komersial sehingga banyak rumah pada perumahan tersebut mengubah pemanfaatan fungsi lahannya menjadi perdagangan dan jasa komersial lainya. Padahal guna lahan yang baru (perdagangan dan jasa komersial) mempunyai implikasi yang berbeda dibandingkan dengan guna lahan sebelumnya (kawasan perumahan). Sedangkan proses perubahan pemanfaatan lahan perumahan menurut Lee dalam Yunus (2000) dipengaruhi oleh enam faktor penting yaitu (i) karakteristik fiskal dari lahan, (ii) banyak sedikitnya utilitas umum, (iii) derajat aksesibilitas lahan, (iv) karakteristik personel pemilik lahan yaitu menyangkut faktor ekonomi, sosial dan budaya pemilik lahan perumahan, (v) peraturan mengenai pemanfaatan lahan yaitu kebijakan pemerintah, dan (vi) inisiatif para pembangun. Kota Surabaya pada saat ini mempunyai pertumbuhan kegiatan yang sangat tinggi, didorong dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi pada saat ini, meningkatnya distribusi regional barang dan jasa, dan permintaan lahan yang sangat tinggi yang diindikasikan dengan pertambahan pembangunan city hotel sebanyak lebih dari 20 lokasi pada tahun 2013 di seluruh wilayah Kota Surabaya. Pertumbuhan luar biasa dalam kurun 5 tahun terakhir juga nampak pada sisi dari ruas-ruas jalan kolektor kota dengan adanya perubahan fungsi dari peruntukan perumahan menjadi pemanfaatan ruang perdagangan dan jasa. Permasalahannya adalah belum ada ketentuan yang dapat diacu untuk terjadinya perubahan penggunaan lahan dari kawasan perumahan menjadi kawasan perdagangan dan jasa pada sisi-sisi ruas jalan-jalan kolektor kota. Kajian tentang

Upload: andon-setyo-wibowo

Post on 09-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 1

    KAJIAN KONVERSI PERUNTUKAN LAHAN PERUMAHAN PADA

    KAWASAN SISI JALAN KOLEKTOR DAN JALAN PENGHUBUNG

    UTAMA DUA KOLEKTOR DI KOTA SURABAYA

    1. Latar Belakang

    Kawasan perumahan mempunyai fungsi yang beraneka ragam, disamping sebagai

    tempat tinggal, juga tersedia sarana pendidikan, perdagangan, kesehatan yang

    merupakan fungsi pelayanan kawasan perumahan. Di samping itu kawasan

    perumahan dapat berkembang lebih cepat apabila di dalam kawasan tersebut

    terdapat akses yang mudah ke pusat-pusat kegiatan perkotaan. Oleh karena itu

    penduduk perkotaan memanfaatkan tanah untuk perumahan yang mengikuti jalur

    transportasi kota atau tempat-tempat yang mempunyai kemudahan untuk mencapai

    jalur utama transportasi dalam kota (Northam, 1975).

    Keterbatasan lahan dan harga lahan yang tinggi di kawasan yang diperuntukkan bagi

    kegiatan komersial di pusat kota mengakibatkan terjadinya perambahan (invasi)

    fungsi komersial ke kawasan perumahan, utamanya yang didorong sebagai dampak

    peningkatan kelas dan pelayanan jalan. Perubahan pemanfaatan lahan tersebut

    secara bertahap telah merubah kawasan dari dominasi perumahan menjadi kegiatan

    komersial sehingga banyak rumah pada perumahan tersebut mengubah pemanfaatan

    fungsi lahannya menjadi perdagangan dan jasa komersial lainya. Padahal guna lahan

    yang baru (perdagangan dan jasa komersial) mempunyai implikasi yang berbeda

    dibandingkan dengan guna lahan sebelumnya (kawasan perumahan).

    Sedangkan proses perubahan pemanfaatan lahan perumahan menurut Lee dalam

    Yunus (2000) dipengaruhi oleh enam faktor penting yaitu (i) karakteristik fiskal dari

    lahan, (ii) banyak sedikitnya utilitas umum, (iii) derajat aksesibilitas lahan, (iv)

    karakteristik personel pemilik lahan yaitu menyangkut faktor ekonomi, sosial dan

    budaya pemilik lahan perumahan, (v) peraturan mengenai pemanfaatan lahan yaitu

    kebijakan pemerintah, dan (vi) inisiatif para pembangun.

    Kota Surabaya pada saat ini mempunyai pertumbuhan kegiatan yang sangat tinggi,

    didorong dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi pada saat ini,

    meningkatnya distribusi regional barang dan jasa, dan permintaan lahan yang sangat

    tinggi yang diindikasikan dengan pertambahan pembangunan city hotel sebanyak

    lebih dari 20 lokasi pada tahun 2013 di seluruh wilayah Kota Surabaya. Pertumbuhan

    luar biasa dalam kurun 5 tahun terakhir juga nampak pada sisi dari ruas-ruas jalan

    kolektor kota dengan adanya perubahan fungsi dari peruntukan perumahan menjadi

    pemanfaatan ruang perdagangan dan jasa.

    Permasalahannya adalah belum ada ketentuan yang dapat diacu untuk terjadinya

    perubahan penggunaan lahan dari kawasan perumahan menjadi kawasan

    perdagangan dan jasa pada sisi-sisi ruas jalan-jalan kolektor kota. Kajian tentang

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 2

    permasalahan ini sangat perlu disusun sebagai bahan pertimbangan untuk

    penyusunan peraturan daerah yang mengatur perubahan fungsi peruntukan lahan ini.

    2. Lingkup Kajian

    Lingkup lokasi Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubungnya adalah sampling lokasi pemanfaatan lahan untuk

    perumahan yang telah berubah fungsi pada jalan-jalan kelas kolektor primer dan

    sekunder di Kota Surabaya dan jalan penghubung utama antara kedua jalan kolektor

    tersebut yang mempunyai kecenderungan berubah pemanfaatannya.

    Sedangkan lingkup materi kajian ini dibatasi pada lingkup jalan kolektor dan jalan

    penghubung utamanya yang mempunyai kecenderungan perubahan peruntukan

    lahan dari kawasan perumahan menjadi fungsi perdagangan dan jasa.

    3. Landasan Hukum

    Landasan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perubahan fungsi lahan pada

    sisi jalan kolektor dan jalan penghubungnya antara lain:

    a) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

    b) Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

    c) Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;

    d) Peraturan Menteri PU Nomor 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan

    Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota;

    e) Peraturan Menteri PU Nomor 6/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana

    Tata Bangunan dan Lingkungan;

    f) Peraturan Menteri PU Nomor 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis

    Kawasan Budidaya;

    g) Peraturan Menteri PU Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis

    Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan

    Rencana Tata Ruang;

    h) Surat Edaran Dirjen Penataan Ruang Nomor..Tahun 2011 tentang Pedoman

    Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota;

    i) SNI 03-1733-2004 Tata cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan.

    4. Eksisting Persebaran Jalan Kolektor di Kota Surabaya

    Persebaran jalan dengan klasifikasi jalan kolektor di Kota Surabaya sampai dengan

    Tahun 2013 menurut inventarisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya

    adalah sebagai berikut :

    Lokasi-lokasi jalan kolektor primer, kolektor sekunder dan jalan penghubung utama

    Antara kedua jalan kolektor di Kota Surabaya dapat ditunjukkan pada peta berikut ini.

    Jumlah keseluruhan ruas-ruas untuk jalan kolektor Kota Surabaya adalah 201 lokasi

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 3

    menurut hasil survey Tahun 2014 terkini, dibandingkan dengan jumlah ruas jalan

    kolektor yang ada pada Tahun 2003 menurut Perda Kota Surabaya Nomor 07 Tahun

    2003 pada halaman Lampiran sejumlah 121 lokasi jalan.

    5. Ketentuan yang Mengatur tentang Jalan Kolektor

    Beberapa ketentuan yang mengatur tentang jalan kolektor antara lain:

    j) Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;

    k) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

    l) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan;

    m) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 14 Tahun 2006 tentang Manajemen

    dan Rekayasa Lalu Lintas di Jalan;

    n) RSNI T- 14 2004 Geometri Jalan Perkotaan; dan

    o) Pd. T-18-2004-B Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Kawasan Perkotaan;

    Definisi jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

    pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata

    sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi (UURI 38/2004). Jalan kolektor primer

    adalah jalan yang menghubungkan secara efisien antar pusat kegiatan wilayah atau

    menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. Jalan

    kolektor sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 4

    dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua

    dengan kawasan sekunder ketiga (RSNI T-14-2004).

    Menurut sistemnya, jaringan jalan dibedakan atas: sistem jaringan jalan primer dan

    sistem jaringan jalan sekunder.(UURI 38/2004). Sistem jaringan jalan primer adalah

    sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk

    pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua

    simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan (kota sebagai simpul).

    Sistem jaringan jalan sekunder yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan

    distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.

    Menurut kelas jalan (UU 22/2009), jalan kolektor dikelompokkan menjadi:

    a) jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor

    dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran

    panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi

    4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh)

    ton;

    b) jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui

    Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima

    ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter,

    ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu

    terberat 8 (delapan) ton;

    c) jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui

    Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus)

    milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran

    paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8

    (delapan) ton; dan

    Kecepatan rencana kendaraan (VR) sesuai klasifikasi jalan di kawasan perkotaan

    diuraikan pada table dibawah ini. Untuk kondisi lingkungan dan/atau medan yang sulit

    kecepatan kendaraan suatu bagian jalan dalam suatu ruas jalan dapat diturunkan,

    dengan syarat penurunannya tidak boleh lebih dari 20 km/h.

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 5

    Bagian-bagian jalan terdiri dari daerah manfaat jalan (damaja), daerah milik jalan

    (damija), daerah pengawasan jalan (dawasja), dan penempatan utilitas. Damaja

    dibatasi oleh:

    a) batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan;

    b) tinggi minimum 5 m di atas permukaan perkerasan pada sumbu jalan; dan

    c) kedalaman minimum 1,5 meter di bawah permukaan perkerasan jalan.

    Damaja diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, separator, bahu jalan, saluran

    tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman dan tidak boleh dimanfaatkan untuk

    prasarana perkotaan lainnya.

    Dawasja diukur dari tepi jalur luar (perkerasan), dengan batasan sebagai berikut :

    a) jalan arteri minimum 20 meter;

    b) jalan kolektor minimum 7 meter;

    c) jalan lokal minimum 4 meter.

    Untuk keselamatan pemakai jalan, Dawasja di daerah tikungan ditentukan oleh jarak

    pandangan pengemudi yang ditetapkan sebagai daerah bebas samping di tikungan.

    Bangunan utilitas dapat ditempatkan di dalam Damaja dengan ketentuan sebagai

    berikut:

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 6

    a) untuk utilitas yang berada di atas muka tanah ditempatkan paling tidak 0,60 m

    dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan jalan;

    b) untuk utilitas yang berada di bawah muka tanah harus ditempatkan paling tidak

    1,50 m dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan jalan.

    Lebar jalur kendaraan ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur serta bahu jalan. Lebar

    jalur minimum adalah 4,5 m, memungkinkan 2 kendaraan dengan lebar maksimum

    2,1 m saling berpapasan. Papasan 2 kendaraan lebar maksimum 2,5 m yang terjadi

    sewaktu-waktu dapat memanfaatkan bahu jalan.

    Separator jalan dibuat untuk memisahkan jalur lambat dengan jalur cepat. Separator

    terdiri atas bangunan fisik yang ditinggikan dengan kereb dan jalur tepian. Lebar

    minimum separator adalah 1,00 m. Median jalan mempunyai fungsi untuk:

    a) memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah;

    b) mencegah kendaraan belok kanan.

    c) lapak tunggu penyeberang jalan;

    d) penempatan fasilitas untuk mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah

    yang berlawanan.

    e) penempatan fasilitas pendukung jalan;

    f) cadangan lajur (jika cukup luas);

    g) tempat prasarana kerja sementara;

    h) dimanfaatkan untuk jalur hijau;

    Untuk jalan dua arah dengan empat lajur atau lebih harus dilengkapi median. Jika

    lebar ruang yang tersedia untuk median < 2,5 m, median harus ditinggikan atau

    dilengkapi dengan pembatas fisik agar tidak dilanggar oleh kendaraan. Lebar

    minimum median, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur, ditetapkan

    sesuai Tabel berikut ini. Dalam hal penggunaan median untuk pemasangan fasilitas

    jalan, agar dipertimbangkan keperluan ruang bebas kendaraan untuk setiap arah.

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 7

    Jalur hijau pada median dibuat dengan mempertimbangkan pengurangan silau cahaya

    lampu kendaraan dari arah yang berlawanan. Selain itu, jalur hijau juga berfungsi

    untuk pelestarian nilai estetis lingkungan dan usaha mereduksi polusi udara. Tanaman

    pada jalur hijau dapat juga berfungsi sebagai penghalang pejalan kaki. Pemilihan jenis

    tanaman dan cara penanamannya pada jalur hijau, agar mengacu kepada Standar

    Penataan Tanaman Untuk Jalan ( Pd. 035/T/BM/1999 ).

    Jalur lalu lintas tidak direncanakan sebagai fasilitas parkir. Dalam keadaan mendesak

    fasilitas parkir sejajar jalur lalu lintas di badan jalan dapat disediakan, jika :

    a) kebutuhan akan parkir tinggi;

    b) fasilitas parkir di luar badan jalan tidak tersedia.

    Untuk memenuhi hal-hal tersebut di atas, perencanaan parkir sejajar jalur lalu lintas

    harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

    a) hanya pada jalan kolektor sekunder dan lokal sekunder;

    b) lebar lajur parkir minimum 3,0 m;

    c) kapasitas jalan yang memadai, dan

    d) mempertimbangkan keselamatan lalu lintas.

    Fasilitas pejalan kaki disediakan untuk pergerakan pejalan kaki. Semua jalan

    perkotaan harus dilengkapi jalur pejalan kaki di satu sisi atau di kedua sisi. Jalur

    pejalan kaki harus mempertimbangkan penyandang cacat, dan dapat berupa :

    a) jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan, tetapi diperkeras permukaannya;

    b) trotoar;

    c) penyeberangan sebidang;

    d) penyeberangan tidak sebidang (jembatan penyeberangan atau terowongan

    penyeberangan);

    e) penyandang cacat

    Jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan, harus ditempatkan di sebelah luar saluran

    samping. Lebar minimum jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan adalah 1,5 m. Lebar

    trotoar harus disesuaikan dengan jumlah pejalan kaki yang menggunakannya.

    Penentuan lebar trotoar yang diperlukan, agar mengacu kepada Spesifikasi Trotoar

    (SNI No. 03-2447-1991). Lebar minimum trotoar ditentukan sesuai Tabel berikut ini.

    Selengkapnya geometri jalan dapat dilihat pada RSNI T- 14 2004.

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 8

    Secara keseluruhan tipikal untuk jalan kolektor adalah sebagai berikut.

    Gambar Tipikal Jalan Kolektor Primer

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 9

    Gambar Tipikal Jalan Kolektor Sekunder

    Tingkat pelayanan ruas jalan menurut KM 14 Tahun 2006 diklasifikasikan atas:

    a) tingkat pelayanan A, dengan kondisi:

    1) arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi;

    2) kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat

    dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan

    maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan;

    3) pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa atau

    dengan sedikit tundaan.

    b) tingkat pelayanan B, dengan kondisi:

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 10

    1) arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai dibatasi oleh

    kondisi lalu lintas;

    2) kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum

    mempengaruhi kecepatan;

    3) pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya dan

    lajur jalan yang digunakan.

    c) tingkat pelayanan C, dengan kondisi:

    1) arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan oleh

    volume lalu lintas yang lebih tinggi;

    2) kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas meningkat;

    3) pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur atau

    mendahului.

    d) tingkat pelayanan D, dengan kondisi:

    1) arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan kecepatan

    masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus;

    2) kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan hambatan

    temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar;

    3) pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan

    kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir untuk

    waktu yang singkat.

    e) tingkat pelayanan E, dengan kondisi:

    1) arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu lintas

    mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah;

    2) kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi;

    3) pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek.

    f) tingkat pelayanan F, dengan kondisi:

    1) arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang;

    2) kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi kemacetan

    untuk durasi yang cukup lama;

    3) dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0.

    Menurut peraturan ini maka tingkat pelayanan untuk jalan kolektor primer sekurang-

    kurangnya B, dan tingkat pelayanan untuk jalan kolektor sekunder sekurang-

    kurangnya C.

    6. Kajian Teori dan Praktek Perubahan Pemanfaatan Lahan Perumahan

    menjadi Perdagangan dan Jasa Komersial

    Proses perubahan pemanfaatan lahan perumahan menurut Lee (dalam Syahrir, 2010)

    dipengaruhi oleh enam faktor penting yaitu :

    i) Karakteristik Fiskal dari lahan.

    Merupakan kondisi ekonomi yang memperhitungkan nilai lahan dan produktifitas

    lahan. Semakin tinggi produktifitas lahan maka akan semakin tinggi nilai lahan.

    Untuk kawasan perkotaan produktifitas lahan dipengaruhi oleh lokasi lahan atau

    jarak lahan dengan pusat kota terutama di daerah komersial, yang pada akhirnya

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 11

    berimbas kepada pemilik lahan yang akan semakin sulit untuk membayar fiskal

    lahan sehingga mereka berusaha untuk meningkatkan penghasilan dengan cara

    pemanfaatan lahan yang semakin efisien. Dalam hal Kota Surabaya telah

    meningkatkan fungsi jalan dari jalan lokal ke jalan kolektor, selalu terjadi

    peningkatan NJOP lahan yang berakibat pada makin beratnya pemilik lahan untuk

    membayar kewajiban pajak bumi dan bangunannya (PBB). Pada tahun 2003 ruas

    jalan kolektor primer Kota Surabaya hanya 4 lokasi jalan saja, pada tahun 2013

    telah menjadi 6 lokasi dengan tambahan pada Jl. A.Yani Wonocolo Korem dan Jl.

    Sememi. Untuk ruas jalan kolektor sekunder pada tahun 2003 terdapat sebanyak

    117 lokasi jalan meningkat pada tahun 2013 menjadi 201 lokasi jalan.

    Jl. Nginden Semolowaru Tahun 2002

    Jl. Nginden Semolowaru Tahun 2012

    Gambar Perubahan nilai lahan.

    ii) Banyak sedikitnya utilitas umum

    Semakin dekat dengan pusat kota maka lahan perumahan akan mempunyai

    utilitas yang semakin lengkap dan memadai. Keadaan ini juga berpengaruh pada

    nilai lahan karena pada dasarnya lahan perumahan pada pusat kota

    membutuhkan utilitas yang lebih lengkap sehingga memerlukan pembiayaan yang

    lebih besar dari lokasi lainnya yang tidak di pusat kota atau di sebut dengan

    central city-suburban fiscal disparities problem (Cox dalam Yunus, 1999).

    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman

    Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di

    Daerah, dan Kementerian PU di dalam dalam SNI 03-1733-2004-Tata Cara

    Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan mendefenisikan utilitas atau

    prasarana dan sarana merupakan bangunan dasar yang sangat diperlukan untuk

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 12

    mendukung kehidupan manusia yang hidup bersama-sama dalam suatu ruang

    yang berbatas agar manusia dapat bermukim dengan nyaman dan dapat bergerak

    dengan mudah dalam segala waktu dan cuaca, sehingga dapat hidup dengan sehat

    dan dapat berinteraksi satu dengan lainnya dalam mempertahankan

    kehidupannya.

    Dalam hal Kota Surabaya, pada jalan-jalan kolektor terjadi peningkatan kualitas

    utilitas pada drainase yang semula kecil dan terbuka ditingkatkan fungsinya

    dengan sistem box culvert, sehingga lebar badan jalan menjadi meningkat dua kali

    lipat. Selain itu pada ruas-ruas jalan kolektor pada saat ini telah tersedia koneksi

    kabel untuk fasilitas komunikasi internet.

    Jl. Menur Pumpungan Tahun 2002

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 13

    Jl. Menur Pumpungan Tahun 2012

    Gambar penambahan utilitas kota dengan pembuatan box culvert penutup

    saluran untuk pelebaran jalan.

    iii) Derajat aksesibilitas lahan.

    Semakin tinggi derajat aksesibilitas semakin tinggi keuntungan, derajat

    aksesibilitas yang di maksudkan untuk menarik pelanggan (Yunus, 1999). Pada

    bagian yang dekat pusat kota maka akan menimbulkan biaya transportasi yang

    murah, sehingga pengaruh ring road dan radial road sangat dominan dalam

    perubahan fungsi lahan perumahan demikian juga perpotongan jalan antar

    keduanya akan menumbuhkan pusat-pusat perdagangan dan jasa komersial yang

    baru (Berry dalam Yunus 1999).

    Dalam hal Kota Surabaya saat ini telah meningkatkan derajat aksesibilitasnya

    dengan memperbanyak ruas-ruas jalan kolektor, sehingga berdampak pada

    meningkatnya jumlah kendaraan per satuan waktu yang melintas pada jalan

    kolektor ini. Masyarakat semakin banyak diberikan alternatif jalan pilihan untuk

    menghindari risiko kemacetan pada jalan-jalan utama kota lainnya.

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 14

    Jl. Pandegiling-Jl. Keputran Tahun 2004

    Jl. Pandegiling-Jl. Keputran Tahun 2014

    Gambar perempatan Jl. Urip Sumoharjo dengan Jl. Pandegiling-Jl. Keputran telah

    dibuka persimpangan perempatannya.

    iv) Karakteristik personel pemilik lahan.

    Perubahan pemanfaatan lahan perumahan bukan hanya berasal dari luar

    perumahan tetapi juga bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri seperti

    pertambahan penduduk dan juga berubahnya struktur masyarakat seperti mata

    pencaharian dari bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil menjadi tidak bekerja alias

    pensiun dan lain-lain. (Koentjaraningrat. 1965). Tingkat pendidikan, mata

    pencaharian, penghasilan, etnis/suku dan agama sangat berkaitan erat dengan

    pemanfaatan lahan yang akan dilakukan oleh pemilik lahan.

    Menurut Mac Iver dalam Yunus (1999) Perubahan-perubahan sosial terjadi apabila

    ada perubahan-perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial

    (social relationship). Perubahan-perubahan sosial tersebut bersifat periodik dan

    non periodik yang terjadi karena perubahan terhadap keseimbangan unsur

    geografis, biologis, ekonomis (penghasilan, pengeluaran dan mata pencaharian),

    sosial (status lahan, lama tinggal, jumlah anggota keluarga, umur) dan kebudayaan

    (agama, adat istiadat dll).

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 15

    v) Peraturan mengenai pemanfaatan lahan.

    Merupakan suatu upaya secara kontinyu dan konsisten dalam mengarahkan

    pemanfaatan, penggunaan, dan pengembangan tanah secarah terarah, efisien dan

    efktif sesuai dengan rencana tata ruang yang telah di tetapkan (Jayadinata, 1999).

    vi) Inisiatif para pembangun.

    Berbicara tentang pemanfaatan lahan tidak lepas land value (nilai lahan), rents

    (sewa) dan costs (biaya) (Richard M. Hurd dalam Yunus, 1999), nampak bahwa

    penggunaan lahan yang mampu menawar lebih tinggilah yang mendapatkan

    tempat yang diinginkan dan itu dapat di lakukan oleh para pembangun (Investor).

    Semakin dekat suatu lahan dengan perkotaan maka semakin tinggilah nilai lahan

    dalam arti faktor ekonomilah sangat dominan dalam perubahan pemanfaatan

    lahan.

    Selain keenam faktor diatas, perubahan pemanfaatan lahan perumahan menjadi

    fungsi lain sebagai akibat dari dorongan keenam faktor tersebut diatas yaitu

    menurunnya tingkat kenyamanan yang diakibatkan dari meningkatnya nilai kebisingan

    yang sangat mengganggu fungsi perumahan. Sebagai acuan standar tingkat kebisingan

    yang diijinkan untuk kawasan perumahan di Indonesia menggunakan:

    a) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 718 Tahun 1987 tentang Kebisingan yang

    Berhubungan dengan Kesehatan;

    b) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku

    Tingkat Kebisingan.

    Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang

    Baku Tingkat Kebisingan ambang nilai kebisingan yang diizinkan adalah sebagai

    berikut:

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 16

    Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 718 Tahun 1987, terdapat

    pembagian wilayah kesehatan menjadi 4 (empat) zona, yaitu:

    i) Zona A adalah zona untuk tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan

    kesehatan atau sosial. Tingkat kebisingan yang diijinkan berkisar 35-45 dB.

    ii) Zona B untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi. Tingkat kebisingan

    yang diijinkan antara 45-55 dB.

    iii) Zona C Antara lain untuk perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar. Tingkat

    kebisingan yang diijinkan antara 50-60 dB.

    iv) Zona D untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api, da terminal bus.

    Tingkat kebisingan yang diijinkan Antara 60-70 dB.

    Menurut Leslie (1993) tingkat kebisingan ruang luar bangunan yang dapat diterima di

    dalam bangunan rumah tinggal untuk kota dekat dengan lalu lintas padat pada ruang

    tidur adalah 35 dB, sedangkan pada ruang keluarga adalah 40 dB, sebagaimana

    ditunjukkan pada table berikut ini:

    Sebagai pembanding, penelitian gangguan kebisingan lalu lintas sebagai referensi

    yang lakukan oleh Arifin Efendi dan tim (2003) pada lokasi perumahan di Kota

    Yogyakarta menunjukkan tingkat kebisingan lalu lintas di lingkungan perumahan tipe

    tertutup adalah Antara 60,7 68,5 dB dan pada perumahan tipe terbuka mencapai

    70,8 74,5 dB. Kedua hasil pengukuran pada tipe yang berbeda menunjukkan bahwa

    kebisingan yang terjadi telah melampaui baku mutu kebisingan yang disyaratkan.

    Gambaran lengkap hasil penelitian kebisingan lalu lintas jalan utama dan jalan

    kolektor pada kawasan perumahan dapat dilihat pada Lampiran.

    A. Perubahan Pemanfaatan Lahan Jalan Kolektor Sekunder di Kota Surabaya

    Pemanfaatan lahan di sisi kiri dan kanan ruas jalan kolektor primer pada Jl.

    Joyoboyo, Jl. Gunungsari, Jl. Raya Menganti, Jl. Mastrip, Jl. A. Yani Wonocolo-

    Korem dan Jl. Sememi telah berubah total pemanfaatan lahannya menjadi lokasi-

    lokasi perdagangan dan jasa, tanpa nampak yang hanya berfungsi rumah tinggal,

    kecuali perumahan TNI Angkatan Darat sebagai rumah dinas yang tidak boleh

    berubah fungsi di Jl. Gunungsari. Untuk perumahan dinas TNI ini mempunyai

    sempadan yang cukup lebar sebagai ruang barrier kebisingan Antara jalan dengan

    bangunan rumah tinggal.

    Untuk jalan kolektor sekunder sebagian besar fungsi perumahan telah bergeser

    menjadi fungsi tempat usaha yang disebabkan terjadinya peningkatan jalan,

    pelebaran badan jalan, mengecilnya sempadan jalan, bangunan tidak

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 17

    dimundurkan pada GSB baru yang ditetapkan, dan tidak nyamannya ruang

    bangunan sebagai tempat tinggal hunian karena jarak bangunan dengan jalan

    hampir tidak ada. Kondisi ini dipengaruhi oleh keenam factor yang telah dijelaskan

    diatas.

    Perubahan fungsi peruntukan lahan ini hingga 20 tahun mendatang perlu

    diantisipasi dengan baik pemanfaatan ruangnya untuk kegiatan perdagangan dan

    jasa, dengan pengaturan-pengaturan sekurang-kurangnya sebagai berikut:

    1) Pengaturan kapling dengan ukuran minimum 75 m2 (untuk komersial) dan

    1.000 m2 (untuk bangunan pemerintahan).

    2) Kepadatan bangunan untuk komersial maksimum 80 unit/ha, dan minimum 7

    unit/ha untuk bangunan pemerintah.

    3) Menyediakan lahan parkir dengan minimum 10 % dari luas kapling atau

    kawasan, pada area sempadan antara pagar dan bangunan, atau pada lantai

    dasar untuk bangunan yang sempadannya menempel pada sempadan pagar.

    4) Menyediakan ruang terbuka hijau minimum 10 % dari luas kawasan.

    5) Menyediakan ruang terbuka non hijau; baik berfungsi untuk kepentingan

    publik maupun kepentingan ekonomi (seperti perdagangan informal).

    6) Menyediakan jalur pejalan kaki dengan lebar minimum 1,5 m.

    7) Menyediakan ruang bagi sektor informal.

    Pada daerah ini khususnya ruas-ruas jalan kolektor di pusat kota ataupun yang

    berada pada kawasan pinggiran kota yang tidak berada pada kawasan industri dan

    pergudangan, tidak dibolehkan untuk fungsi industri dan pergudangan. Kelas

    kendaraan angkutan barang yang melalui jalur jalan ini disesuaikan dengan kelas

    jalannya.

    Untuk fungsi hunian pada lokasi-lokasi ini sebagaimana yang telah disyaratkan

    diatas, akan bergeser di belakang bangunan dengan fungsi perdagangan dan jasa,

    atau bergeser pada lantai dua atau tiga (di atas ruang/tempat kegiatan usaha).

    B. Perubahan Pemanfaatan Lahan Jalan Penghubung antara Jalan Kolektor

    Sebagai contoh konkrit adalah yang terjadi pada jalan penghubung utama Antara

    Jl. Arief Rahman Hakim dengan Jl. Emolowaru yang dihubungkan dengan jalan

    penghubung utama yaitu Jl. Klampis Semolo Timur - Jl. Klampis Harapan.

    Pemanfaatan ruang untuk perumahan telah bergeser menjadi dominasi tempat

    usaha seperti toko bangunan, bengkel mobil, warnet, tempat praktek dokter,

    workshop mebel kayu, dan mini market. Pemanfaatan ruang untuk perumahan

    menjadi minor, tersisa pada ruas Jl. Klampis Semolo Timur sisi timur sebelah utara

    saja.

    Perubahan ini terjadi sejak intensitas penggunaan kendaraan bermotor yang

    melintasi ruas jalan penghubung utama ini menjadi semakin tinggi seiring dengan

    meningkatnya jumlah pengguna kendaraan bermotor, dan sering terjadinya

    kemacetan pada ruas Jl. Arief Rahman Hakim.

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 18

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 19

    7. Kesimpulan dan Rekomendasi

    7.1. Kesimpulan

    Perubahan fungsi lahan yang terjadi di Kota Surabaya yang mayoritas terjadi dengan

    cepat pada ruas-ruas jalan kolektor primer dan kolektor sekunder dari fungsi

    perumahan menjadi fungsi lainnya yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi

    memerlukan kajian teori dan temuan yang diharapkan dapat dipakai sebagai dasar

    penentuan perubahan pemanfaatan lahan. Dari

    Faktor pendorong pertama yang terjadi adalah adanya peningkatan nilai fiskal lahan

    yang disebabkan terjadinya peningkatan kelas jalan, geometri jalan dan fasilitas jalan.

    Pada akhirnya pemilik lahan dihadapkan pada dua alternatif. Yang pertama adalah

    pemilik lahan memerlukan kegiatan ekonomi tambahan untuk dapat

    mempertahankan eksistensinya sehingga dapat memenuhi kewajiban nilai pajak lahan

    dan dasar kegiatan yang sama sekali berbeda karena membutuhkan kegiatan

    ekonomi yang layak untuk dapat meningkatkan ungsi ekonomi mereka.

    Faktor pendorong kedua yaitu semakin meningkatnya kualitas pelayanan utilitas pada

    jalan kolektor sehingga membuka kesempatan bagi kegiatan baru dalam rangka

    memanfaatkan peluang ketersediaan utilitas kota yang makin lengkap. Secara

    otomatis biaya pemanfaatan fasilitas utilitas kota juga akan meningkat dan

    mendorong pemilik lahan untuk meningkatkan kegiatan yang berbasis ekonomi.

    Faktor pendorong ketiga adalah dorongan meningkatnya derajat aksesibilitas lokasi

    lahan. Masyarakat pengguna jalan akan semakin banyak karena jalan kolektor yang

    tersedia makin memungkinkan pengguna untuk semakin sering melalui jalan ini yang

    secara fungsional memberikan banyak fasilitas sosial dan ekonomi. Misalnya

    ketersediaan ruang untuk parkir, pejalan kaki, pengguna kendaraan tidak bermotor,

    dan peluang kemudahan untuk mencari kebutuhan yang berada pada lokasi yang

    lebih dekat. Faktor dorongan kemudahan aksesibilitas ini sangat besar pengaruhnya

    untuk merubah fungsi lahan dari lahan perumahan menjadi fungsi ekonomi.

    Faktor pendorong keempat adalah perubahan status sosial pemilik lahan yang secara

    periodik berubah meningkat, sehingga merubah karakteristik personel pemilik lahan

    menjadi makin perduli pada perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi dapat

    bersifat sosial, ekonomi dan lingkungan, dimana ketiganya kian lama akan mempunyai

    kualitas yang semakin baik apabila terjadi komunikasi sosial yang baik antara pemilik

    lahan dan pemerintah dan antar pemilik lahan satu dengan lainnya yang mempunyai

    dasar rasa kebersamaan membutuhkan kualitas lingkungan yang makin baik.

    Faktor pendorong kelima yaitu makin mantapnya arahan pemanfaatan ruang yang

    makin memberikan kejelasan kepada pemilik lahan terhadap peruntukan lahan yang

    dimilikinya. Dalam hal ini Pemerintah Kota dapat memastikan dalam jangka lebih

    panjang akan fungsi lahan dan rencana pengembangannya kepada para pemilik lahan.

    Pada bagian jalan kolektor tertentu dibutuhkan fleksibilitas ketentuan pemanfaatan

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 20

    lahan, sehingga memberikan pula kemudahan alternative bagi pemilik lahan untuk

    menyesuaikan dengan perubahan ketentuan yang baru.

    Faktor pendorong keenam yaitu inisiatif pemilik lahan dalam membangun pada saat

    ini di Kota Surabaya semakin baik dengan semakin pahamnya masyarakat untuk

    memenuhi perizinan yang secara langsung membimbing masyarakat untuk memenuhi

    ketentuan-ketentuan pembangunan lahan yang telah disyaratkan. Kesadaran

    masyarakat untuk tertib hukum pada saat ini kian meningkat. Hal ini memberikan

    keuntungan kepada Pemerintah Kota untuk menjadikan peluang semakin mudahnya

    mengendalikan arahan pemanfaatan lahan sesuai ketentuan yang ada.

    Pada akhirnya faktor yang terakhir dari aspek kenyamanan pemilik lahan yang paling

    menentukan. Peningkatan kelas jalan dari lokal menjadi kolektor memberikan

    konsekuensi meningkatnya jumlah kendaraan dan kecepatan laju kendaraan, yang

    berdampak pada meningkatnya ambang kebisingan lingkungan. Jalan kolektor pada

    umumnya sebagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai kalangan

    membuktikan bahwa tingkat kebisingan menjadi meningkat rata-rata diatas 55 dB,

    sehingga tidak lagi memenuhi persyaratan kenyamanan kebisingan untuk fungsi

    perumahan. Gangguan lainnya yang terjadi adalah apabila tetangga dekatnya

    mempunyai kegiatan ekonomi yang meningkat yang memicu terjadinya peningkatan

    kebutuhan parkir kendaraan. Dampaknya terjadi gangguan akses keluar masuk pada

    lahan pribadi tetangganya.

    7.2. Rekomendasi

    Dari berbagai faktor diatas dapat direkomendasikan bahwa pada ruas-ruas jalan

    kolektor kota dengan standar pelayanan jalan yang telah ditetapkan di dalam

    peraturan yang berlaku, maka fungsi peruntukan lahan dapat dilegalkan

    perubahannya dari peruntukan perumahan menjadi peruntukan perdagangan, jasa

    ataupun perkantoran dan perhotelan dengan penetapan syarat-syarat sesuai dengan

    kelas jalannya dan keterbatasan pelayanan prasarana dan utilitas umum yang ada.

    Untuk penataan jalan lama alternatif penataan pada saat peningkatan fungsi jalan dan

    perubahan peruntukannya pada jalan kolektor dan penghubung jalan utama pada dua

    kolektor dengan lebar badan jalan minimum 9 meter diilustrasikan pada gambar

    dibawah sebagai berikut:

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 21

    Pada kondisi yang dapat dikecualikan, untuk posisi bangunan

    yang sulit dimundurkan lagi/dibebaskan, dimungkinkan batas

    sempadan bangunan menempel pada daerah Dawasja hingga

    garis Damija atau berbatasan dengan RTH atau pedestrian jalan.

    Untuk penataan jalan baru dengan eksisting dawasja masih

    memungkinkan untuk ruang parkir kendaraan alternatif

    penataan pada saat peningkatan fungsi jalan dan perubahan

    peruntukannya pada jalan kolektor dan penghubung jalan

    utama pada dua kolektor dengan lebar badan jalan minimum 9

    meter diilustrasikan pada gambar dibawah sebagai berikut:

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 22

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 1

    KAJIAN KONVERSI PERUNTUKAN LAHAN PERUMAHAN PADA

    KAWASAN SISI JALAN KOLEKTOR DAN JALAN PENGHUBUNG

    UTAMA DUA KOLEKTOR DI KOTA SURABAYA

    1. Latar Belakang

    Kawasan perumahan mempunyai fungsi yang beraneka ragam, disamping sebagai

    tempat tinggal, juga tersedia sarana pendidikan, perdagangan, kesehatan yang

    merupakan fungsi pelayanan kawasan perumahan. Di samping itu kawasan

    perumahan dapat berkembang lebih cepat apabila di dalam kawasan tersebut

    terdapat akses yang mudah ke pusat-pusat kegiatan perkotaan. Oleh karena itu

    penduduk perkotaan memanfaatkan tanah untuk perumahan yang mengikuti jalur

    transportasi kota atau tempat-tempat yang mempunyai kemudahan untuk mencapai

    jalur utama transportasi dalam kota (Northam, 1975).

    Keterbatasan lahan dan harga lahan yang tinggi di kawasan yang diperuntukkan bagi

    kegiatan komersial di pusat kota mengakibatkan terjadinya perambahan (invasi)

    fungsi komersial ke kawasan perumahan, utamanya yang didorong sebagai dampak

    peningkatan kelas dan pelayanan jalan. Perubahan pemanfaatan lahan tersebut

    secara bertahap telah merubah kawasan dari dominasi perumahan menjadi kegiatan

    komersial sehingga banyak rumah pada perumahan tersebut mengubah pemanfaatan

    fungsi lahannya menjadi perdagangan dan jasa komersial lainya. Padahal guna lahan

    yang baru (perdagangan dan jasa komersial) mempunyai implikasi yang berbeda

    dibandingkan dengan guna lahan sebelumnya (kawasan perumahan).

    Sedangkan proses perubahan pemanfaatan lahan perumahan menurut Lee dalam

    Yunus (2000) dipengaruhi oleh enam faktor penting yaitu (i) karakteristik fiskal dari

    lahan, (ii) banyak sedikitnya utilitas umum, (iii) derajat aksesibilitas lahan, (iv)

    karakteristik personel pemilik lahan yaitu menyangkut faktor ekonomi, sosial dan

    budaya pemilik lahan perumahan, (v) peraturan mengenai pemanfaatan lahan yaitu

    kebijakan pemerintah, dan (vi) inisiatif para pembangun.

    Kota Surabaya pada saat ini mempunyai pertumbuhan kegiatan yang sangat tinggi,

    didorong dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi pada saat ini,

    meningkatnya distribusi regional barang dan jasa, dan permintaan lahan yang sangat

    tinggi yang diindikasikan dengan pertambahan pembangunan city hotel sebanyak

    lebih dari 20 lokasi pada tahun 2013 di seluruh wilayah Kota Surabaya. Pertumbuhan

    luar biasa dalam kurun 5 tahun terakhir juga nampak pada sisi dari ruas-ruas jalan

    kolektor kota dengan adanya perubahan fungsi dari peruntukan perumahan menjadi

    pemanfaatan ruang perdagangan dan jasa.

    Permasalahannya adalah belum ada ketentuan yang dapat diacu untuk terjadinya

    perubahan penggunaan lahan dari kawasan perumahan menjadi kawasan

    perdagangan dan jasa pada sisi-sisi ruas jalan-jalan kolektor kota. Kajian tentang

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 2

    permasalahan ini sangat perlu disusun sebagai bahan pertimbangan untuk

    penyusunan peraturan daerah yang mengatur perubahan fungsi peruntukan lahan ini.

    2. Lingkup Kajian

    Lingkup lokasi Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubungnya adalah sampling lokasi pemanfaatan lahan untuk

    perumahan yang telah berubah fungsi pada jalan-jalan kelas kolektor primer dan

    sekunder di Kota Surabaya dan jalan penghubung utama antara kedua jalan kolektor

    tersebut yang mempunyai kecenderungan berubah pemanfaatannya.

    Sedangkan lingkup materi kajian ini dibatasi pada lingkup jalan kolektor dan jalan

    penghubung utamanya yang mempunyai kecenderungan perubahan peruntukan

    lahan dari kawasan perumahan menjadi fungsi perdagangan dan jasa.

    3. Landasan Hukum

    Landasan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perubahan fungsi lahan pada

    sisi jalan kolektor dan jalan penghubungnya antara lain:

    a) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

    b) Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

    c) Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;

    d) Peraturan Menteri PU Nomor 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan

    Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota;

    e) Peraturan Menteri PU Nomor 6/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana

    Tata Bangunan dan Lingkungan;

    f) Peraturan Menteri PU Nomor 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis

    Kawasan Budidaya;

    g) Peraturan Menteri PU Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis

    Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan

    Rencana Tata Ruang;

    h) Surat Edaran Dirjen Penataan Ruang Nomor..Tahun 2011 tentang Pedoman

    Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota;

    i) SNI 03-1733-2004 Tata cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan.

    4. Eksisting Persebaran Jalan Kolektor di Kota Surabaya

    Persebaran jalan dengan klasifikasi jalan kolektor di Kota Surabaya sampai dengan

    Tahun 2013 menurut inventarisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya

    adalah sebagai berikut :

    Lokasi-lokasi jalan kolektor primer, kolektor sekunder dan jalan penghubung utama

    Antara kedua jalan kolektor di Kota Surabaya dapat ditunjukkan pada peta berikut ini.

    Jumlah keseluruhan ruas-ruas untuk jalan kolektor Kota Surabaya adalah 201 lokasi

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 3

    menurut hasil survey Tahun 2014 terkini, dibandingkan dengan jumlah ruas jalan

    kolektor yang ada pada Tahun 2003 menurut Perda Kota Surabaya Nomor 07 Tahun

    2003 pada halaman Lampiran sejumlah 121 lokasi jalan.

    5. Ketentuan yang Mengatur tentang Jalan Kolektor

    Beberapa ketentuan yang mengatur tentang jalan kolektor antara lain:

    j) Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;

    k) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

    l) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan;

    m) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 14 Tahun 2006 tentang Manajemen

    dan Rekayasa Lalu Lintas di Jalan;

    n) RSNI T- 14 2004 Geometri Jalan Perkotaan; dan

    o) Pd. T-18-2004-B Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Kawasan Perkotaan;

    Definisi jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

    pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata

    sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi (UURI 38/2004). Jalan kolektor primer

    adalah jalan yang menghubungkan secara efisien antar pusat kegiatan wilayah atau

    menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. Jalan

    kolektor sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 4

    dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua

    dengan kawasan sekunder ketiga (RSNI T-14-2004).

    Menurut sistemnya, jaringan jalan dibedakan atas: sistem jaringan jalan primer dan

    sistem jaringan jalan sekunder.(UURI 38/2004). Sistem jaringan jalan primer adalah

    sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk

    pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua

    simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan (kota sebagai simpul).

    Sistem jaringan jalan sekunder yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan

    distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.

    Menurut kelas jalan (UU 22/2009), jalan kolektor dikelompokkan menjadi:

    a) jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor

    dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran

    panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi

    4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh)

    ton;

    b) jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui

    Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima

    ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter,

    ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu

    terberat 8 (delapan) ton;

    c) jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui

    Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus)

    milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran

    paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8

    (delapan) ton; dan

    Kecepatan rencana kendaraan (VR) sesuai klasifikasi jalan di kawasan perkotaan

    diuraikan pada table dibawah ini. Untuk kondisi lingkungan dan/atau medan yang sulit

    kecepatan kendaraan suatu bagian jalan dalam suatu ruas jalan dapat diturunkan,

    dengan syarat penurunannya tidak boleh lebih dari 20 km/h.

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 5

    Bagian-bagian jalan terdiri dari daerah manfaat jalan (damaja), daerah milik jalan

    (damija), daerah pengawasan jalan (dawasja), dan penempatan utilitas. Damaja

    dibatasi oleh:

    a) batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan;

    b) tinggi minimum 5 m di atas permukaan perkerasan pada sumbu jalan; dan

    c) kedalaman minimum 1,5 meter di bawah permukaan perkerasan jalan.

    Damaja diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, separator, bahu jalan, saluran

    tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman dan tidak boleh dimanfaatkan untuk

    prasarana perkotaan lainnya.

    Dawasja diukur dari tepi jalur luar (perkerasan), dengan batasan sebagai berikut :

    a) jalan arteri minimum 20 meter;

    b) jalan kolektor minimum 7 meter;

    c) jalan lokal minimum 4 meter.

    Untuk keselamatan pemakai jalan, Dawasja di daerah tikungan ditentukan oleh jarak

    pandangan pengemudi yang ditetapkan sebagai daerah bebas samping di tikungan.

    Bangunan utilitas dapat ditempatkan di dalam Damaja dengan ketentuan sebagai

    berikut:

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 6

    a) untuk utilitas yang berada di atas muka tanah ditempatkan paling tidak 0,60 m

    dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan jalan;

    b) untuk utilitas yang berada di bawah muka tanah harus ditempatkan paling tidak

    1,50 m dari tepi paling luar bahu jalan atau perkerasan jalan.

    Lebar jalur kendaraan ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur serta bahu jalan. Lebar

    jalur minimum adalah 4,5 m, memungkinkan 2 kendaraan dengan lebar maksimum

    2,1 m saling berpapasan. Papasan 2 kendaraan lebar maksimum 2,5 m yang terjadi

    sewaktu-waktu dapat memanfaatkan bahu jalan.

    Separator jalan dibuat untuk memisahkan jalur lambat dengan jalur cepat. Separator

    terdiri atas bangunan fisik yang ditinggikan dengan kereb dan jalur tepian. Lebar

    minimum separator adalah 1,00 m. Median jalan mempunyai fungsi untuk:

    a) memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah;

    b) mencegah kendaraan belok kanan.

    c) lapak tunggu penyeberang jalan;

    d) penempatan fasilitas untuk mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah

    yang berlawanan.

    e) penempatan fasilitas pendukung jalan;

    f) cadangan lajur (jika cukup luas);

    g) tempat prasarana kerja sementara;

    h) dimanfaatkan untuk jalur hijau;

    Untuk jalan dua arah dengan empat lajur atau lebih harus dilengkapi median. Jika

    lebar ruang yang tersedia untuk median < 2,5 m, median harus ditinggikan atau

    dilengkapi dengan pembatas fisik agar tidak dilanggar oleh kendaraan. Lebar

    minimum median, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur, ditetapkan

    sesuai Tabel berikut ini. Dalam hal penggunaan median untuk pemasangan fasilitas

    jalan, agar dipertimbangkan keperluan ruang bebas kendaraan untuk setiap arah.

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 7

    Jalur hijau pada median dibuat dengan mempertimbangkan pengurangan silau cahaya

    lampu kendaraan dari arah yang berlawanan. Selain itu, jalur hijau juga berfungsi

    untuk pelestarian nilai estetis lingkungan dan usaha mereduksi polusi udara. Tanaman

    pada jalur hijau dapat juga berfungsi sebagai penghalang pejalan kaki. Pemilihan jenis

    tanaman dan cara penanamannya pada jalur hijau, agar mengacu kepada Standar

    Penataan Tanaman Untuk Jalan ( Pd. 035/T/BM/1999 ).

    Jalur lalu lintas tidak direncanakan sebagai fasilitas parkir. Dalam keadaan mendesak

    fasilitas parkir sejajar jalur lalu lintas di badan jalan dapat disediakan, jika :

    a) kebutuhan akan parkir tinggi;

    b) fasilitas parkir di luar badan jalan tidak tersedia.

    Untuk memenuhi hal-hal tersebut di atas, perencanaan parkir sejajar jalur lalu lintas

    harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

    a) hanya pada jalan kolektor sekunder dan lokal sekunder;

    b) lebar lajur parkir minimum 3,0 m;

    c) kapasitas jalan yang memadai, dan

    d) mempertimbangkan keselamatan lalu lintas.

    Fasilitas pejalan kaki disediakan untuk pergerakan pejalan kaki. Semua jalan

    perkotaan harus dilengkapi jalur pejalan kaki di satu sisi atau di kedua sisi. Jalur

    pejalan kaki harus mempertimbangkan penyandang cacat, dan dapat berupa :

    a) jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan, tetapi diperkeras permukaannya;

    b) trotoar;

    c) penyeberangan sebidang;

    d) penyeberangan tidak sebidang (jembatan penyeberangan atau terowongan

    penyeberangan);

    e) penyandang cacat

    Jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan, harus ditempatkan di sebelah luar saluran

    samping. Lebar minimum jalur pejalan kaki yang tidak ditinggikan adalah 1,5 m. Lebar

    trotoar harus disesuaikan dengan jumlah pejalan kaki yang menggunakannya.

    Penentuan lebar trotoar yang diperlukan, agar mengacu kepada Spesifikasi Trotoar

    (SNI No. 03-2447-1991). Lebar minimum trotoar ditentukan sesuai Tabel berikut ini.

    Selengkapnya geometri jalan dapat dilihat pada RSNI T- 14 2004.

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 8

    Secara keseluruhan tipikal untuk jalan kolektor adalah sebagai berikut.

    Gambar Tipikal Jalan Kolektor Primer

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 9

    Gambar Tipikal Jalan Kolektor Sekunder

    Tingkat pelayanan ruas jalan menurut KM 14 Tahun 2006 diklasifikasikan atas:

    a) tingkat pelayanan A, dengan kondisi:

    1) arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi;

    2) kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat

    dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan

    maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan;

    3) pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa atau

    dengan sedikit tundaan.

    b) tingkat pelayanan B, dengan kondisi:

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 10

    1) arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai dibatasi oleh

    kondisi lalu lintas;

    2) kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum

    mempengaruhi kecepatan;

    3) pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya dan

    lajur jalan yang digunakan.

    c) tingkat pelayanan C, dengan kondisi:

    1) arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan oleh

    volume lalu lintas yang lebih tinggi;

    2) kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas meningkat;

    3) pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur atau

    mendahului.

    d) tingkat pelayanan D, dengan kondisi:

    1) arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan kecepatan

    masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus;

    2) kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan hambatan

    temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar;

    3) pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan

    kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir untuk

    waktu yang singkat.

    e) tingkat pelayanan E, dengan kondisi:

    1) arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu lintas

    mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah;

    2) kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi;

    3) pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek.

    f) tingkat pelayanan F, dengan kondisi:

    1) arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang;

    2) kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi kemacetan

    untuk durasi yang cukup lama;

    3) dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0.

    Menurut peraturan ini maka tingkat pelayanan untuk jalan kolektor primer sekurang-

    kurangnya B, dan tingkat pelayanan untuk jalan kolektor sekunder sekurang-

    kurangnya C.

    6. Kajian Teori dan Praktek Perubahan Pemanfaatan Lahan Perumahan

    menjadi Perdagangan dan Jasa Komersial

    Proses perubahan pemanfaatan lahan perumahan menurut Lee (dalam Syahrir, 2010)

    dipengaruhi oleh enam faktor penting yaitu :

    i) Karakteristik Fiskal dari lahan.

    Merupakan kondisi ekonomi yang memperhitungkan nilai lahan dan produktifitas

    lahan. Semakin tinggi produktifitas lahan maka akan semakin tinggi nilai lahan.

    Untuk kawasan perkotaan produktifitas lahan dipengaruhi oleh lokasi lahan atau

    jarak lahan dengan pusat kota terutama di daerah komersial, yang pada akhirnya

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 11

    berimbas kepada pemilik lahan yang akan semakin sulit untuk membayar fiskal

    lahan sehingga mereka berusaha untuk meningkatkan penghasilan dengan cara

    pemanfaatan lahan yang semakin efisien. Dalam hal Kota Surabaya telah

    meningkatkan fungsi jalan dari jalan lokal ke jalan kolektor, selalu terjadi

    peningkatan NJOP lahan yang berakibat pada makin beratnya pemilik lahan untuk

    membayar kewajiban pajak bumi dan bangunannya (PBB). Pada tahun 2003 ruas

    jalan kolektor primer Kota Surabaya hanya 4 lokasi jalan saja, pada tahun 2013

    telah menjadi 6 lokasi dengan tambahan pada Jl. A.Yani Wonocolo Korem dan Jl.

    Sememi. Untuk ruas jalan kolektor sekunder pada tahun 2003 terdapat sebanyak

    117 lokasi jalan meningkat pada tahun 2013 menjadi 201 lokasi jalan.

    Jl. Nginden Semolowaru Tahun 2002

    Jl. Nginden Semolowaru Tahun 2012

    Gambar Perubahan nilai lahan.

    ii) Banyak sedikitnya utilitas umum

    Semakin dekat dengan pusat kota maka lahan perumahan akan mempunyai

    utilitas yang semakin lengkap dan memadai. Keadaan ini juga berpengaruh pada

    nilai lahan karena pada dasarnya lahan perumahan pada pusat kota

    membutuhkan utilitas yang lebih lengkap sehingga memerlukan pembiayaan yang

    lebih besar dari lokasi lainnya yang tidak di pusat kota atau di sebut dengan

    central city-suburban fiscal disparities problem (Cox dalam Yunus, 1999).

    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman

    Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di

    Daerah, dan Kementerian PU di dalam dalam SNI 03-1733-2004-Tata Cara

    Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan mendefenisikan utilitas atau

    prasarana dan sarana merupakan bangunan dasar yang sangat diperlukan untuk

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 12

    mendukung kehidupan manusia yang hidup bersama-sama dalam suatu ruang

    yang berbatas agar manusia dapat bermukim dengan nyaman dan dapat bergerak

    dengan mudah dalam segala waktu dan cuaca, sehingga dapat hidup dengan sehat

    dan dapat berinteraksi satu dengan lainnya dalam mempertahankan

    kehidupannya.

    Dalam hal Kota Surabaya, pada jalan-jalan kolektor terjadi peningkatan kualitas

    utilitas pada drainase yang semula kecil dan terbuka ditingkatkan fungsinya

    dengan sistem box culvert, sehingga lebar badan jalan menjadi meningkat dua kali

    lipat. Selain itu pada ruas-ruas jalan kolektor pada saat ini telah tersedia koneksi

    kabel untuk fasilitas komunikasi internet.

    Jl. Menur Pumpungan Tahun 2002

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 13

    Jl. Menur Pumpungan Tahun 2012

    Gambar penambahan utilitas kota dengan pembuatan box culvert penutup

    saluran untuk pelebaran jalan.

    iii) Derajat aksesibilitas lahan.

    Semakin tinggi derajat aksesibilitas semakin tinggi keuntungan, derajat

    aksesibilitas yang di maksudkan untuk menarik pelanggan (Yunus, 1999). Pada

    bagian yang dekat pusat kota maka akan menimbulkan biaya transportasi yang

    murah, sehingga pengaruh ring road dan radial road sangat dominan dalam

    perubahan fungsi lahan perumahan demikian juga perpotongan jalan antar

    keduanya akan menumbuhkan pusat-pusat perdagangan dan jasa komersial yang

    baru (Berry dalam Yunus 1999).

    Dalam hal Kota Surabaya saat ini telah meningkatkan derajat aksesibilitasnya

    dengan memperbanyak ruas-ruas jalan kolektor, sehingga berdampak pada

    meningkatnya jumlah kendaraan per satuan waktu yang melintas pada jalan

    kolektor ini. Masyarakat semakin banyak diberikan alternatif jalan pilihan untuk

    menghindari risiko kemacetan pada jalan-jalan utama kota lainnya.

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 14

    Jl. Pandegiling-Jl. Keputran Tahun 2004

    Jl. Pandegiling-Jl. Keputran Tahun 2014

    Gambar perempatan Jl. Urip Sumoharjo dengan Jl. Pandegiling-Jl. Keputran telah

    dibuka persimpangan perempatannya.

    iv) Karakteristik personel pemilik lahan.

    Perubahan pemanfaatan lahan perumahan bukan hanya berasal dari luar

    perumahan tetapi juga bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri seperti

    pertambahan penduduk dan juga berubahnya struktur masyarakat seperti mata

    pencaharian dari bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil menjadi tidak bekerja alias

    pensiun dan lain-lain. (Koentjaraningrat. 1965). Tingkat pendidikan, mata

    pencaharian, penghasilan, etnis/suku dan agama sangat berkaitan erat dengan

    pemanfaatan lahan yang akan dilakukan oleh pemilik lahan.

    Menurut Mac Iver dalam Yunus (1999) Perubahan-perubahan sosial terjadi apabila

    ada perubahan-perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial

    (social relationship). Perubahan-perubahan sosial tersebut bersifat periodik dan

    non periodik yang terjadi karena perubahan terhadap keseimbangan unsur

    geografis, biologis, ekonomis (penghasilan, pengeluaran dan mata pencaharian),

    sosial (status lahan, lama tinggal, jumlah anggota keluarga, umur) dan kebudayaan

    (agama, adat istiadat dll).

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 15

    v) Peraturan mengenai pemanfaatan lahan.

    Merupakan suatu upaya secara kontinyu dan konsisten dalam mengarahkan

    pemanfaatan, penggunaan, dan pengembangan tanah secarah terarah, efisien dan

    efktif sesuai dengan rencana tata ruang yang telah di tetapkan (Jayadinata, 1999).

    vi) Inisiatif para pembangun.

    Berbicara tentang pemanfaatan lahan tidak lepas land value (nilai lahan), rents

    (sewa) dan costs (biaya) (Richard M. Hurd dalam Yunus, 1999), nampak bahwa

    penggunaan lahan yang mampu menawar lebih tinggilah yang mendapatkan

    tempat yang diinginkan dan itu dapat di lakukan oleh para pembangun (Investor).

    Semakin dekat suatu lahan dengan perkotaan maka semakin tinggilah nilai lahan

    dalam arti faktor ekonomilah sangat dominan dalam perubahan pemanfaatan

    lahan.

    Selain keenam faktor diatas, perubahan pemanfaatan lahan perumahan menjadi

    fungsi lain sebagai akibat dari dorongan keenam faktor tersebut diatas yaitu

    menurunnya tingkat kenyamanan yang diakibatkan dari meningkatnya nilai kebisingan

    yang sangat mengganggu fungsi perumahan. Sebagai acuan standar tingkat kebisingan

    yang diijinkan untuk kawasan perumahan di Indonesia menggunakan:

    a) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 718 Tahun 1987 tentang Kebisingan yang

    Berhubungan dengan Kesehatan;

    b) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku

    Tingkat Kebisingan.

    Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang

    Baku Tingkat Kebisingan ambang nilai kebisingan yang diizinkan adalah sebagai

    berikut:

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 16

    Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 718 Tahun 1987, terdapat

    pembagian wilayah kesehatan menjadi 4 (empat) zona, yaitu:

    i) Zona A adalah zona untuk tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan

    kesehatan atau sosial. Tingkat kebisingan yang diijinkan berkisar 35-45 dB.

    ii) Zona B untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi. Tingkat kebisingan

    yang diijinkan antara 45-55 dB.

    iii) Zona C Antara lain untuk perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar. Tingkat

    kebisingan yang diijinkan antara 50-60 dB.

    iv) Zona D untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api, da terminal bus.

    Tingkat kebisingan yang diijinkan Antara 60-70 dB.

    Menurut Leslie (1993) tingkat kebisingan ruang luar bangunan yang dapat diterima di

    dalam bangunan rumah tinggal untuk kota dekat dengan lalu lintas padat pada ruang

    tidur adalah 35 dB, sedangkan pada ruang keluarga adalah 40 dB, sebagaimana

    ditunjukkan pada table berikut ini:

    Sebagai pembanding, penelitian gangguan kebisingan lalu lintas sebagai referensi

    yang lakukan oleh Arifin Efendi dan tim (2003) pada lokasi perumahan di Kota

    Yogyakarta menunjukkan tingkat kebisingan lalu lintas di lingkungan perumahan tipe

    tertutup adalah Antara 60,7 68,5 dB dan pada perumahan tipe terbuka mencapai

    70,8 74,5 dB. Kedua hasil pengukuran pada tipe yang berbeda menunjukkan bahwa

    kebisingan yang terjadi telah melampaui baku mutu kebisingan yang disyaratkan.

    Gambaran lengkap hasil penelitian kebisingan lalu lintas jalan utama dan jalan

    kolektor pada kawasan perumahan dapat dilihat pada Lampiran.

    A. Perubahan Pemanfaatan Lahan Jalan Kolektor Sekunder di Kota Surabaya

    Pemanfaatan lahan di sisi kiri dan kanan ruas jalan kolektor primer pada Jl.

    Joyoboyo, Jl. Gunungsari, Jl. Raya Menganti, Jl. Mastrip, Jl. A. Yani Wonocolo-

    Korem dan Jl. Sememi telah berubah total pemanfaatan lahannya menjadi lokasi-

    lokasi perdagangan dan jasa, tanpa nampak yang hanya berfungsi rumah tinggal,

    kecuali perumahan TNI Angkatan Darat sebagai rumah dinas yang tidak boleh

    berubah fungsi di Jl. Gunungsari. Untuk perumahan dinas TNI ini mempunyai

    sempadan yang cukup lebar sebagai ruang barrier kebisingan Antara jalan dengan

    bangunan rumah tinggal.

    Untuk jalan kolektor sekunder sebagian besar fungsi perumahan telah bergeser

    menjadi fungsi tempat usaha yang disebabkan terjadinya peningkatan jalan,

    pelebaran badan jalan, mengecilnya sempadan jalan, bangunan tidak

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 17

    dimundurkan pada GSB baru yang ditetapkan, dan tidak nyamannya ruang

    bangunan sebagai tempat tinggal hunian karena jarak bangunan dengan jalan

    hampir tidak ada. Kondisi ini dipengaruhi oleh keenam factor yang telah dijelaskan

    diatas.

    Perubahan fungsi peruntukan lahan ini hingga 20 tahun mendatang perlu

    diantisipasi dengan baik pemanfaatan ruangnya untuk kegiatan perdagangan dan

    jasa, dengan pengaturan-pengaturan sekurang-kurangnya sebagai berikut:

    1) Pengaturan kapling dengan ukuran minimum 75 m2 (untuk komersial) dan

    1.000 m2 (untuk bangunan pemerintahan).

    2) Kepadatan bangunan untuk komersial maksimum 80 unit/ha, dan minimum 7

    unit/ha untuk bangunan pemerintah.

    3) Menyediakan lahan parkir dengan minimum 10 % dari luas kapling atau

    kawasan, pada area sempadan antara pagar dan bangunan, atau pada lantai

    dasar untuk bangunan yang sempadannya menempel pada sempadan pagar.

    4) Menyediakan ruang terbuka hijau minimum 10 % dari luas kawasan.

    5) Menyediakan ruang terbuka non hijau; baik berfungsi untuk kepentingan

    publik maupun kepentingan ekonomi (seperti perdagangan informal).

    6) Menyediakan jalur pejalan kaki dengan lebar minimum 1,5 m.

    7) Menyediakan ruang bagi sektor informal.

    Pada daerah ini khususnya ruas-ruas jalan kolektor di pusat kota ataupun yang

    berada pada kawasan pinggiran kota yang tidak berada pada kawasan industri dan

    pergudangan, tidak dibolehkan untuk fungsi industri dan pergudangan. Kelas

    kendaraan angkutan barang yang melalui jalur jalan ini disesuaikan dengan kelas

    jalannya.

    Untuk fungsi hunian pada lokasi-lokasi ini sebagaimana yang telah disyaratkan

    diatas, akan bergeser di belakang bangunan dengan fungsi perdagangan dan jasa,

    atau bergeser pada lantai dua atau tiga (di atas ruang/tempat kegiatan usaha).

    B. Perubahan Pemanfaatan Lahan Jalan Penghubung antara Jalan Kolektor

    Sebagai contoh konkrit adalah yang terjadi pada jalan penghubung utama Antara

    Jl. Arief Rahman Hakim dengan Jl. Emolowaru yang dihubungkan dengan jalan

    penghubung utama yaitu Jl. Klampis Semolo Timur - Jl. Klampis Harapan.

    Pemanfaatan ruang untuk perumahan telah bergeser menjadi dominasi tempat

    usaha seperti toko bangunan, bengkel mobil, warnet, tempat praktek dokter,

    workshop mebel kayu, dan mini market. Pemanfaatan ruang untuk perumahan

    menjadi minor, tersisa pada ruas Jl. Klampis Semolo Timur sisi timur sebelah utara

    saja.

    Perubahan ini terjadi sejak intensitas penggunaan kendaraan bermotor yang

    melintasi ruas jalan penghubung utama ini menjadi semakin tinggi seiring dengan

    meningkatnya jumlah pengguna kendaraan bermotor, dan sering terjadinya

    kemacetan pada ruas Jl. Arief Rahman Hakim.

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 18

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 19

    7. Kesimpulan dan Rekomendasi

    7.1. Kesimpulan

    Perubahan fungsi lahan yang terjadi di Kota Surabaya yang mayoritas terjadi dengan

    cepat pada ruas-ruas jalan kolektor primer dan kolektor sekunder dari fungsi

    perumahan menjadi fungsi lainnya yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi

    memerlukan kajian teori dan temuan yang diharapkan dapat dipakai sebagai dasar

    penentuan perubahan pemanfaatan lahan. Dari

    Faktor pendorong pertama yang terjadi adalah adanya peningkatan nilai fiskal lahan

    yang disebabkan terjadinya peningkatan kelas jalan, geometri jalan dan fasilitas jalan.

    Pada akhirnya pemilik lahan dihadapkan pada dua alternatif. Yang pertama adalah

    pemilik lahan memerlukan kegiatan ekonomi tambahan untuk dapat

    mempertahankan eksistensinya sehingga dapat memenuhi kewajiban nilai pajak lahan

    dan dasar kegiatan yang sama sekali berbeda karena membutuhkan kegiatan

    ekonomi yang layak untuk dapat meningkatkan ungsi ekonomi mereka.

    Faktor pendorong kedua yaitu semakin meningkatnya kualitas pelayanan utilitas pada

    jalan kolektor sehingga membuka kesempatan bagi kegiatan baru dalam rangka

    memanfaatkan peluang ketersediaan utilitas kota yang makin lengkap. Secara

    otomatis biaya pemanfaatan fasilitas utilitas kota juga akan meningkat dan

    mendorong pemilik lahan untuk meningkatkan kegiatan yang berbasis ekonomi.

    Faktor pendorong ketiga adalah dorongan meningkatnya derajat aksesibilitas lokasi

    lahan. Masyarakat pengguna jalan akan semakin banyak karena jalan kolektor yang

    tersedia makin memungkinkan pengguna untuk semakin sering melalui jalan ini yang

    secara fungsional memberikan banyak fasilitas sosial dan ekonomi. Misalnya

    ketersediaan ruang untuk parkir, pejalan kaki, pengguna kendaraan tidak bermotor,

    dan peluang kemudahan untuk mencari kebutuhan yang berada pada lokasi yang

    lebih dekat. Faktor dorongan kemudahan aksesibilitas ini sangat besar pengaruhnya

    untuk merubah fungsi lahan dari lahan perumahan menjadi fungsi ekonomi.

    Faktor pendorong keempat adalah perubahan status sosial pemilik lahan yang secara

    periodik berubah meningkat, sehingga merubah karakteristik personel pemilik lahan

    menjadi makin perduli pada perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi dapat

    bersifat sosial, ekonomi dan lingkungan, dimana ketiganya kian lama akan mempunyai

    kualitas yang semakin baik apabila terjadi komunikasi sosial yang baik antara pemilik

    lahan dan pemerintah dan antar pemilik lahan satu dengan lainnya yang mempunyai

    dasar rasa kebersamaan membutuhkan kualitas lingkungan yang makin baik.

    Faktor pendorong kelima yaitu makin mantapnya arahan pemanfaatan ruang yang

    makin memberikan kejelasan kepada pemilik lahan terhadap peruntukan lahan yang

    dimilikinya. Dalam hal ini Pemerintah Kota dapat memastikan dalam jangka lebih

    panjang akan fungsi lahan dan rencana pengembangannya kepada para pemilik lahan.

    Pada bagian jalan kolektor tertentu dibutuhkan fleksibilitas ketentuan pemanfaatan

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 20

    lahan, sehingga memberikan pula kemudahan alternative bagi pemilik lahan untuk

    menyesuaikan dengan perubahan ketentuan yang baru.

    Faktor pendorong keenam yaitu inisiatif pemilik lahan dalam membangun pada saat

    ini di Kota Surabaya semakin baik dengan semakin pahamnya masyarakat untuk

    memenuhi perizinan yang secara langsung membimbing masyarakat untuk memenuhi

    ketentuan-ketentuan pembangunan lahan yang telah disyaratkan. Kesadaran

    masyarakat untuk tertib hukum pada saat ini kian meningkat. Hal ini memberikan

    keuntungan kepada Pemerintah Kota untuk menjadikan peluang semakin mudahnya

    mengendalikan arahan pemanfaatan lahan sesuai ketentuan yang ada.

    Pada akhirnya faktor yang terakhir dari aspek kenyamanan pemilik lahan yang paling

    menentukan. Peningkatan kelas jalan dari lokal menjadi kolektor memberikan

    konsekuensi meningkatnya jumlah kendaraan dan kecepatan laju kendaraan, yang

    berdampak pada meningkatnya ambang kebisingan lingkungan. Jalan kolektor pada

    umumnya sebagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai kalangan

    membuktikan bahwa tingkat kebisingan menjadi meningkat rata-rata diatas 55 dB,

    sehingga tidak lagi memenuhi persyaratan kenyamanan kebisingan untuk fungsi

    perumahan. Gangguan lainnya yang terjadi adalah apabila tetangga dekatnya

    mempunyai kegiatan ekonomi yang meningkat yang memicu terjadinya peningkatan

    kebutuhan parkir kendaraan. Dampaknya terjadi gangguan akses keluar masuk pada

    lahan pribadi tetangganya.

    7.2. Rekomendasi

    Dari berbagai faktor diatas dapat direkomendasikan bahwa pada ruas-ruas jalan

    kolektor kota dengan standar pelayanan jalan yang telah ditetapkan di dalam

    peraturan yang berlaku, maka fungsi peruntukan lahan dapat dilegalkan

    perubahannya dari peruntukan perumahan menjadi peruntukan perdagangan, jasa

    ataupun perkantoran dan perhotelan dengan penetapan syarat-syarat sesuai dengan

    kelas jalannya dan keterbatasan pelayanan prasarana dan utilitas umum yang ada.

    Untuk penataan jalan lama alternatif penataan pada saat peningkatan fungsi jalan dan

    perubahan peruntukannya pada jalan kolektor dan penghubung jalan utama pada dua

    kolektor dengan lebar badan jalan minimum 9 meter diilustrasikan pada gambar

    dibawah sebagai berikut:

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 21

    Pada kondisi yang dapat dikecualikan, untuk posisi bangunan

    yang sulit dimundurkan lagi/dibebaskan, dimungkinkan batas

    sempadan bangunan menempel pada daerah Dawasja hingga

    garis Damija atau berbatasan dengan RTH atau pedestrian jalan.

    Untuk penataan jalan baru dengan eksisting dawasja masih

    memungkinkan untuk ruang parkir kendaraan alternatif

    penataan pada saat peningkatan fungsi jalan dan perubahan

    peruntukannya pada jalan kolektor dan penghubung jalan

    utama pada dua kolektor dengan lebar badan jalan minimum 9

    meter diilustrasikan pada gambar dibawah sebagai berikut:

  • Kajian Konversi Peruntukan Lahan Perumahan pada Kawasan Sisi Jalan

    Kolektor dan Jalan Penghubung Utama Dua Kolektor di Kota Surabaya

    Ir. Mudji Irmawan, MS

    Ir. Andon Setyo Wibowo, MT. 22