94127423 2 makalah konservasi lahan basah rahma
TRANSCRIPT
0
KONSERVASI LAHAN BASAH
(WETLAND ECOSYSTEM)
RESUME
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Ekologi Lanjut
yang dibina oleh Dr. H. Istamar Syamsuri, M.Pd,
Dr. Fatchur Rohman, M.Si dan Dr. Ibrohim, M.Si.
Oleh
Rahmawati D.
NIM 110341509284
Kelas A
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
Februari, 2012
1
KONSERVASI LAHAN BASAH
(WETLAND ECOSYSTEM)
A. Pengertian Konservasi
Konservasi adalah upaya pelestarian lingkungan, tetapi tetap
memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh pada saat itu dengan tetap
mempertahankan keberadaan setiap komponen lingkungan untuk pemanfaatannya
di masa depan. Menurut UU No. 4 Tahun 1982, konservasi sumber daya alam
adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara
bijaksana dan bagi sumber daya terbarui menjamin kesinambungan untuk
persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragaman.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konservasi adalah pemeliharaan
dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan
kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian; proses
menyaput bagian dalam badan mobil, kapal, dsb untuk mencegah karat.
Sedangkan menurut ilmu lingkungan, konservasi adalah :
1. Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi
yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan
jasa yang sama tingkatannya.
2. Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan
sumber daya alam
3. Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kimia
atau transformasi fisik.
4. Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan.
Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana
konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam
untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi
sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam
beberapa batasan, sebagai berikut:
2
1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan
manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama (American
Dictionary).
2. Konservasi adalah alokasi sumber daya alam antar waktu (generasi) yang
optimal secara sosial (Randall, 1982 dalam Laodesyamri).
3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme
hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia
yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian,
administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968
dalam Laodesyamri).
4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga
dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat
diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980 dalam
Laodesyamri).
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati (KSDAH) ataupun konservasi
biologi pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu dasar dan ilmu terapan yang
berasaskan pada pelestarian kemampuan dan pemanfaatannya secara serasi dan
seimbang. Adapun tujuan dari KSDAH adalah untuk terwujudnya kelestarian
sumber daya alam hayati serta kesinambungan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia.
Kawasan konservasi mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1. Karakteristik, keaslian atau keunikan ekosistem (hutan hujan tropis/tropical
rain forest yang meliputi pegunungan, dataran rendah, rawa gambut, pantai).
2. Habitat penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna)
khusus: endemik (hanya terdapat di suatu tempat di seluruh muka bumi),
langka, atau terancam punah (seperti harimau, orangutan, badak, gajah,
beberapa jenis burung seperti elang garuda/elang jawa, serta beberapa jenis
tumbuhan seperti ramin). Jenis-jenis ini biasanya dilindungi oleh peraturan
perundang-undangan.
3. Tempat yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami.
4. Lansekap (bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientik.
3
5. Fungsi perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global.
6. Pengusahaan wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar
yang menarik).
Di Indonesia, kebijakan konservasi diatur ketentuannya dalam UU 5/90
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini
memiliki beberpa turunan Peraturan Pemerintah (PP), diantaranya:
1. PP 68/1998 terkait pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan
Pelestarian Alam (KPA).
2. PP 7/1999 terkait pengawetan/perlindungan tumbuhan dan satwa.
3. PP 8/1999 terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar/TSL.
4. PP 36/2010 terkait pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa (SM),
taman nasional (TN), taman hutan raya (Tahura) dan taman wisata alam
(TWA).
B. Ekosistem Lahan Basah (Wetland Ecosystem)
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh
antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem
merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi
timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju
kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara
organisme dan anorganisme.
Lahan basah mencakup ekosistem yang lebih luas daripada yang dipahami
oleh masyarakat umum. Pasal 1.1 dari Konvensi Ramsar menetapkan bahwa lahan
basah adalah “daerah paya, rawa, lahan gambut atau perairan, baik alami maupun
buatan, permanen atau sementara, dengan air yang diam atau mengalir, segar,
payau atau asin, termasuk daerah perairan laut dengan kedalaman pada saat surut
tidak melebihi enam meter” (Ramsar, 2008).
Lahan basah adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air,
baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian
atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
4
Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk
rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat
tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin.
Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman
hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan
basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti
hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain.
Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang
khas lahan basah seperti buaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan
pelbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia, termasuk pula
harimau dan gajah.
Berikut ini dijelaskan secara ringkas beberapa vegetasi dari lahan basah.
1. Ekosistem Hutan Gambut
Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi
air dalam keadaan asam dengan pH 3,5-4,0 (Arief, 1994). Hal itu tentunya
menjadikan tanah sangat miskin hara. Menurut Indriyanto (2005), hutan gambut
didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah daerah
yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan didalamnya terdapat
penumpukan bahan-bahan tanaman yang telah mati.
Ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang
cukup unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah.
Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik
dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga menciptakan
bagian-bagian cekungan tergenang air tawar.
Arief (1994) mengemukakan bahwa gambut itu terjadi pada hutan-hutan
yang pohonnya tumbang dan tenggelam dalam lumpur yang hanya mengandung
sedikit oksigen, sehingga jasad renik tanah sebagai pelaku pembusukan tidak
mampu melakukan tugasnya secara baik. Akhirnya bahan-bahan organik dari
pepohonan yang telah mati dan tumbang tertumpuk dan lambat laun berubah
menjadi gambut yang tebalnya bisa mencapai 20 m.
Menurut Irwan (1992), gambut adalah suatu tipe tanah yang terbentuk dari
sisa-sisa tumbuhan (akar, batang, cabang, ranting, daun dan lainnya) dan
5
mempunyai kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Permukaan gambut
tampak seperti kerak yang berserabut, kemudian bagian dalam yang lembab berisi
tumpukan sisa-sisa tumbuhan, baik itu potongan-potongan kayu besar maupun
sisa-sisa tumbuhan lainnya. Anwar dkk, (1984 dalam Irwan, 1992)
mengemukakan bahwa gambut dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu
gambut ombrogen dan gambut topogen.
a. Gambut ombrogen
Bentuk gambut ini umum dijumpai dan banyak ditemukan di daerah dekat
pantai dengan kedalaman gambut mencapai 20 m. Air gambut itu sangat asam
dan sangat miskin hara (oligotrofik) terutama kalsium karena tidak ada zat
hara yang masuk dari sumber lain, sehingga tumbuhan yang hidup pada tanah
gambut ombrogen menggunakan zat hara dari gambut dan dari air hujan.
b. Gambut topogen
Bentuk gambut seperti ini tidak sering dijumpai, biasanya terbentuk pada
lekukan-lekukan tanah di pantai-pantai (dibalik bukit pasir) dan di daerah
pedalaman yang drainasenya terhambat. Air gambut ini bersifat agak asam
dan mengandung zat hara agak banyak (mesotrofik). Tumbuhan-tumbuhan
yang hidup pada tanah gambut topogen masih mendapatkan zat hara dari
tanah mineral, air sungai, sisa-sisa tumbuhan dan air hujan.
Tipe ekosistem hutan gambut ini berada pada daerah yang mempunyai tipe
iklim A dan B (tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson), pada tanah
organosol yang memiliki lapisan gambut setebal lebih dari 50 cm (Santoso, 1996;
Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Hutan gambut itu pada umumnya terletak
di antara hutan rawa dan hutan hujan.
Vegetasi yang menyusun ekosistem hutan gambut merupakan spesies-
spesies tumbuhan yang selalu hijau (evergreen). Spesies-spesies pohon yang
banyak dijumpai di dalam ekosistem hutan gambut antara lain Alstonia spp.,
Dyera spp., Durio carinatus, Palaquium spp., Tristania spp., Eugenia spp.,
cratoxylon arborescents, Tetramerista glabra, Dactylocladus spp., Xylopia spp.
Pada umumnya spesies-spesies tumbuhan yang ada di dalam ekosistem hutan
rawa cenderung berkelompok membentuk komunitas tumbuhan yang miskin
spesies. Dengan kata lain, penyebaran spesies tumbuhan yang ada di ekosistem
6
hutan rawa itu tidak merata. Bahkan menurut Irwan (1992), ada beberapa daerah
berawa yang hanya ditumbuhi rumput, ada pula yang hanya didominasi oleh
pandan dan palem. Meskipun demikian ada juga yang menyerupai hutan hujan
tropis dataran rendah dengan pohon-pohon berakar tunjang, berbagai spesies
palem dan terdapat spesies-spesies tumbuhan epifit, tetapi kekayaan jenis dan
kepadatannya tentu lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan hujan
tropis (Ewusie, 1990).
2. Ekosistem Hutan Payau (Mangrove)
Ekosistem hutan payau (ekosistem hutan mangrove) adalah tipe ekosistem
yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi air laut atau
dipengaruhi oleh pasang surut air laut, daerah pantai dengan kondisi tanah
berlumpur, berpasir atau lumpur berpasir. Ekosistem tersebut merupakan
ekosistem yang khas untuk daerah tropis, terdapat di daerah pantai yang
berlumpur dan airnya tenang (gelombang laut tidak besar). Ekosistem hutan itu
disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di daerah payau (estuarin), yaitu
daerah perairan dengan kadar garam/salinitas antara 0,5 ‰ dan 30 ‰ disebut juga
ekosistem hutan pasang surut karena terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh
pasang surut air laut.
Ekosistem hutan payau termasuk tipe ekosistem hutan yang tidak
terpengaruh oleh iklim, tetapi faktor lingkungan yang sangat dominan dalam
pembentukan ekosistem itu adalah faktor edafis. Salah satu faktor lingkungan
lainnya yang sangat menentukan perkembangan hutan payau adalah salinitas atau
kadar garam (Kusmana, 1997).
Vegetasi yang terdapat dalam ekosistem hutan payau didominasi hutan
payau didominasi oleh tetumbuhan yang mempunyai akar napas yang atau
pneumatofora (Ewusie, 1990). Disamping itu, spesies tumbuhan yang hidup
dalam ekosistem hutan payau adalah spesies tumbuhan yang memiliki
kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap salinitas payau dan harus hidup pada
kondisi lingkungan demikian, sehingga spesies tumbuhannya disebut tumbuhan
halophytes obligat (Vickery, 1984). Tetumbuhan itu pada umumnya merupaksn
spesies pohon yang dapat mencapai ketinggian 50 m dan hanya membentuk satu
7
stratum tajuk, sehingga umumnya dikatakan bahwa pada hutan payau tidak ada
stratifikasi tajuk secara lengkap seperti pada tipe-tipe ekosistem hutan lainnya.
Tetumbuhan yang ada atau dijumpai pada ekosistem hutan payau terdiri atas 12
genus tumbuhan berbunga antara lain genus Avicennia, Sonneratia, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aigiceras, Aegiatilis,
Snaeda dan Conocarpus.
Ekosistem hutan payau di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies
tumbuhan yang tinggi dengan jumlah spesies tercatat sebanyak lebih kurang 202
spesies yang terdiri atas 89 spesies pohon, 5 spesies palem, 19 spesies liana, 44
spesies epifit dan satu spesies siksa (Bengen, 1999). Spesies-spesies pohon utama
di daerah payau pada umumnya membentuk tegakan murni dan merupakan ciri
khas komunitas tumbuhannya. Spesies-spesies pohon utama ini antara lain
Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., dan Bruguiera spp. Spesies-
spesies pohon yang dapat menjadi pionir menuju ke arah laut adalah Avicennia
spp., Sonneratia spp., dan Rhizophora spp., tetapi bergantung kepada kedalaman
pantai dan ombaknya.
Adapun spesies-spesies tumbuhan payau tersebut dapat digolongkan ke
dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya terhadap kadar
garam dan fluktuasi permukaan air laut di pantai dan jalur seperti itu disebut juga
zonasi vegetasi. Jalur-jalur atau zonasi vegetasi hutan payau masing-masing
disebut secara berurutan dari yang paling dekat dengan laut ke arah darat sebagai
berikut.
a. Jalur pedada yang berbentuk oleh spesies tumbuhan Avicennia spp. Dan
Sonneratia spp.
b. Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Rhizophora spp. dan
kadang-kadang juga dijumpai Bruguiera spp., Ceriops spp., dan Xylocarpus
spp.
c. Jalur tancang yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Bruguiera spp. dan
kadang-kadang juga dijumpai Xylocarpus spp., Kandelia spp., dan Aegiceras
spp.
d. Jalur transisi antara hutan payau dengan hutan dataran rendah yang umumnya
adalah hutan nipah dengan spesies Nypa fraticans.
8
Dari segi ekologi, ekosistem hutan payau merupakan habitat unik dan
paling khas yang dalam banyak hal berbeda dengan habitat-habitat lainnya.
Contoh tipe ekosistem hutan payau ini dapat dilihat pada Gambar 1. Di habitat ini
memungkinkan terjalinnya perpaduan yang unik antara organisme laut dan darat,
serta antara organisme air asin dan air tawar.
Gambar 1. Ekosistem Hutan Payau di Pantai Timur Lampung (foto diambil
Indriyanto pada bulan Juni 2004)
Ekosistem hutan payau tersebut memiliki fungsi yang sangat kompleks,
antara lain sebagai peredam gelombang laut dan angin badai, pelindung pantai
dari proses abrasi dan erosi, penahan lumpur dan penjerat sedimen, penghasil
detritus, sebagai tempat berlindung dan mencari makan serta tempat berpijak
berbagai spesies biota perairan payau, sebagai tempat rekreasi dan penghasil kayu
(Bengen, 1999). Di samping itu, ekosistem hutan payau juga sebagai
tempat/habitat berbagai satwa liar, terutama spesies burung/aves dan mamalia
(Hamilton dan Snedaker, 1984), sehingga kelestarian hutan payau akan berperan
dalam melestarikan berbagai satwa liar tersebut.
Dari segi peran ekosistem hutan payau terhadap pelestarian lingkungan di
sekitarnya terbukti sangat besar, sebagaimana dapat dilihat Gambar 2 bahwa lahan
tambak di daerah pantai ternyata dapat dimanfaatkan secara optimal untuk usaha
perikanan tambak. Hal tersebut dapat terjadi karena kekuatan air pasang dapat
dikendalikan oleh keberadaan ekosistem hutan payau, sehingga lahan-lahan di
daerah pantai dapat dimanfaatkan secara baik untuk tambak.t ambak di daerah
pantai yang kondisi ekosistem hutan payaunya baik akan menjadi subur karena
pengaruh kualitas perairan payau yang kaya sumber nutrisi dari detritus yang
9
berasal dari ekosistem hutan payau, hal itu tentu akan meningkatkan produktivitas
tambak itu sendiri (Indriyanto, Kustanti, Duryat dan Riniarti, 2004).
Gambar 2. Salah satu areal tambak yang berbatasan langsung dengan hutan payau
di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur (Indriyanto dkk.,
2004)
3. Ekosistem Hutan Pantai
Tipe ekosistem hutan pantai terdapat di daerah-daerah kering tepi pantai
dengan kondisi tanah berpasir atau berbatu dan terletak di atas garis pasang
tertinggi. Di daerah seperti itu pada umumnya jarang tergenang oleh air laut,
namun sering terjadi atau terkena angin kencang dengan embusan garam (Arief,
1994).
Spesies-spesies pohon yang pada umumnya terdapat dalam ekosistem
hutan pantai antara lain Barringtonia speciosa, Terminalia catappa, Calophyllum
inophyllum, Hibiscus tiliaceus, Thespesia populnea, Casuarina equisetifolia dan
Pisonia grandis (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976; Santoso, 1996). Selain
spesies-spesies pohon tersebut, ternyata kadang-kadang terdapat juga spesies
pohon Hernandia peltata, Manilkara kauki dan Sterculia foetida (Arief, 1994).
a. Formasi Pescaprae
Formasi ini terdapat pada tumbukan-tumpukan pasir yang mengalami proses
peninggian di sepanjang pantai dan hampir terdapat di seluruh pantai
Indonesia. Komposisi spesies tumbuhan pada formasi pescaprae dimana saja
hampir sama karena spesies tumbuhannya didominasi oleh Ipomoea
pescaprae (kaki kambing) salah satu spesies tumbuhan menjalar, herba rendah
yang akarnya mampu mengikat pasir. Sebetulnya nama formasi pecaprae
10
diambil dari nama spesies tumbuhan yang dominan itu. Akan tetapi, ada
spesies-spesies tumbuhan lainnya yang umumnya terdapat pada formasi
pecaprae antara cyperus penduculatus, cyperus stoloniferus, Thuarea
linvoluta, Spinifex littoralis, vitex trifolia, Ishaemum muticum, Euphorbia
atoto, Launaca sarmontasa, Fimbristylis sericea, Canavalia abtusiofilia,
triumfetta repens, Vigna marina, Ipomoea carnosa, Ipomoea denticulate dan
Ipomoea littoralis.
b. Formasi Barringtonia
Formasi ini terdapat di atas formasi pescaprae yaitu pada daerah pantai persis
di belakang formasi pescaprae yang telah memungkinkan untuk ditumbuhi
berbagai spesies pohon khas hutan pantai.
Disebut formasi Barringtonia karena spesies tumbuhan yang dominan di
daerah ini adalah spesies pohon Barringtonia asiatica. Sesungguhnya yang
dimaksud ekosistem hutan pantai adalah formasi Barringtonia ini. Beberapa
spesies pohon yang tumbuh di pantai dan menyusun ekosistem hutan pantai
antara lain Barringtonia asiatica, Casuarina equisetifolia, Terminalia
catappa, Hibuscus tiliaceus, Calophyllum inophyllum, Hernandia peltata,
Sterculia foetida, Manilkara kauki, Morinda citrifolia, Ochrocarpus
ovalifolius, Tacca leontopetaloides, Thespesia populnea, Tournefortia
argentea, wdelia biflora, Ximenia Americana, Pisonia grandis, Pluchea
indica, Pongamia pinnata, Premna Corymbosa, Premna obtusifolia, Pemphis
acidula, Planchonella abovata, Scaevola taccada, Scaevola frutescens,
Desmodium umbellatum, dodonaea viscesa, Sophora tomentosa, Erythrina
variegate, Guettarda speciosa, Pandanus bidur, Pandanus tectorius dan
Nephrolepis biserrata.
C. Konservasi Lahan Basah
Lahan basah menyediakan pangan, menyimpan karbon, mengatur arah
aliran air, menyimpan energi dan sangat penting bagi keanekaragaman hayati.
Manfaatnya bagi manusia sangatlah penting untuk kelangsungan hidup manusia di
11
masa depan. Perlindungan dan pemanfaatan lahan basah secara bijak sangatlah
penting bagi manusia, terutama untuk masyarakat tak mampu (Ramsar, 2008).
Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman
hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan
basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti
hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain.
Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang
khas lahan basah seperti buaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan
perbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia, termasuk pula
harimau dan gajah.
Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan
yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan, dan dikonversi menjadi lahan-
lahan pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasi pertambakan, maupun di
Indonesia sebagai wilayah transmigrasi. Kerusakan pada ekosistem lahan basah
ini semakin lama semakin meningkat dengan menurunnya kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya lahan basah.
Gambar 3. Kerusakan Ekosistem Lahan Basah
Padahal, di negara-negara lain, mengingat nilai dari lahan basah yang
sangat tinggi terhadap kehidupan manusia, di banyak negara lahan-lahan basah ini
diawasi dengan ketat penggunaannya serta dimasukkan ke dalam program-
program konservasi dan rancangan pelestarian keanekaragaman hayati seperti
Biodiversity Action Plan di USA.
12
Gambar 4. Lahan Basah di Indiana Amerika Serikat yang Dikonservasi
Kesejahteraan manusia bergantung kepada manfaat yang diberikan oleh
ekosistem kepada manusia, sebagian di antaranya berasal dari lahan basah yang
subur. Pembuatan kebijakan, perencanaan, pengambilan keputusan dan
pengaturan oleh berbagai macam sektor, di setiap tingkatan dari internasional
hingga lokal, dapat memperoleh manfaat dari masukan konsensus global yang
diberikan oleh Ramsar Convention. Hal ini termasuk identifikasi dari perlunya
lahan basah, perlunya melindungi dan menggunakan lahan basah dengan bijak,
dan menjamin keamanan dari manfaat yang diberikan oleh lahan basah dalam
bentuk air, penyimpanan karbon, bahan makanan, energi, keanekaragaman hayati
dan mata pencaharian. Termasuk juga di dalamnya pengetahuan teknis, petunjuk,
model-model dan jaringan pendukung untuk membantu mengimplementasikan
pengetahuan tersebut (Ramsar, 2008). Oleh sebab itu, sangat diperlukan kesadaran
yang tinggi terhadap upaya konservasi lahan basah ini dari semua kalangan
masyarakat.
Salah satu upaya internasional dalam konservasi lahan basah ini adalah
adanya Ramsar Convention. Ramsar Convention atau nama lengkapnya The
Convention on Wetlands of International Importance, especially as Waterfowl
Habitat, adalah kesepakatan internasional tentang perlindungan wilayah-wilayah
lahan basah yang penting, terutama yang memiliki arti penting sebagai tempat
13
tinggal burung air. Tujuan perjanjian itu adalah untuk mendaftar lahan-lahan
basah yang memiliki nilai penting di aras internasional, menganjurkan
pemanfaatannya secara bijaksana, serta mencegah kerusakan yang semakin
menggerogoti nilai-nilai tinggi dalam segi ekonomi, budaya, ilmiah dan sebagai
sumber wisata; dengan tujuan akhir untuk melestarikan kawasan-kawasan lahan
basah dunia.
Negara yang menjadi anggota dalam Perjanjian Ramsar itu harus
mendaftarkan sekurangnya satu lokasi lahan basah di dalam wilayahnya ke dalam
"daftar lahan basah yang penting secara internasional", yang biasanya disebut
"Daftar Ramsar". Negara anggota memiliki kewajiban bukan hanya terhadap
perlindungan lokasi lahan basah yang terdaftar, melainkan juga harus membangun
dan melaksanakan rencana tingkat pemerintah untuk menggunakan lahan basah di
wilayahnya secara bijaksana.
D. Aplikasi Konservasi Lahan Basah
1. Kerusakan Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove sebagai ekosistem peralihan antara darat dan laut
telah diketahui mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai penghasil bahan
organik, tempat berlindung berbagai jenis binatang, tempat memijah berbagai
jenis ikan dan udang,sebagai pelindung pantai, mempercepat pembentukan lahan
baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar, kayu arang, dan tanin (Soedjarwo,
1979). Masing-masing kawasan pantai dan ekosistem mangrove memiliki historis
perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan keadaan kawasan pantai dan
ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor alamiah dan faktor campur
tangan manusia.
Secara ekologis hutan mangrove dapat menjadi penahan abrasi atau erosi,
gelombang atau angin kencang, pengendali intrusi air laut dan tempat habitat
berbagai jenis fauna. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara
bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang, berperan penting
dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis.
Mangrove dapat menyediakan makanan dan tempat berkembang biak berbagai
jenis ikan dan udang.
14
Lebih lanjut, Bengen (2000) menyatakan bahwa ekosistem mangrove
memiliki fungsi antara lain: (1) sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak,
arus dan angin, (2) sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan
daerah asuhan berbagai jenis biota (3) sebagai penghasil bahan organik yang
sangat produktif (detritus), (4) sebagai sumber bahan baku industri bahan bakar,
(5) pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya, serta (6) tempat pariwisata.
Secara fisik ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung
yang mempengaruhi pengaliran massa air di dalam tanah. Sistem perakaran yang
khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus air dan ombak, sehingga
menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Keadaan
ekosistem mangrove yang relatif lebih tenang dan terlindung dan sangat subur
juga aman bagi biota laut pada umumnya.
Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang
merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem mangrove.
Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikro organisme
diuraikan menjadi partikel-partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan
makanan bagi hewan pemakan detritus seperti: cacing, mysidaceae (udang-udang
kecil/rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan,
udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan tersebut menjadi
makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan begitu seterusnya untuk
menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang
berguna bagi kepentingan manusia.
Gambar 5. Ekosistem Mangrove
15
Ekosistem mangrove yang tumbuh di sepanjang garis pantai atau di
pinggiran sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut perpaduan antara air sungai
dan air laut. Terdapat tiga syarat utama yang mendukung berkembangnya
ekosistem mangrove di wilayah pantai yaitu air payau, tenang dan endapan
lumpur yang relatif datar. Sedangkan lebar hutan mangrove sangat bervariasi yang
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut serta jangkauan air pasang di
kawasan pantai tersebut. Pada dasarnya kawasan pantai merupakan wilayah
peralihan antara daratan dan perairan laut. Garis pantai dicirikan oleh suatu garis
batas pertemuan antara daratan dengan air laut. Oleh karena itu posisi garis pantai
bersifat tidak tetap dan dapat berpindah (walking land atau walking vegetation)
sesuai dengan pasang surut air laut dan abrasi serta pengendapan lumpur
(Waryono, 1999). Secara umum dapat dimengerti bahwa bentuk dan tipe kawasan
pantai, jenis vegetasi, luas dan penyebaran ekosistem mangrove tergantung
kepada karakteristik biogeografi dan hidrodinamika setempat. Berdasarkan
kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk
mempengaruhi (assimilative capacity), serta kesesuaian penggunaannya.
Kawasan pantai dan ekosistem mangrove menjadi sasaran kegiatan
eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan
pembangunan yang masih cenderung menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin
banyak manfaat dan keuntungan ekonomis yang diperoleh, maka semakin berat
pula beban kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Sebaliknya makin sedikit
manfaat dan keuntungan ekonomis, makin ringan pula kerusakan lingkungan yang
ditimbulkannya. Dampak-dampak lingkungan tersebut dapat diidentifikasi dengan
adanya degradasi kawasan pantai dan semakin berkurangnya luas ekosistem
mangrove.
Pratikto (2002), mengatakan, ekosistem mangrove juga dapat menjadi
pelindung secara alami dari bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di
Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan, dengan adanya
ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan
perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635,26 joule. Dari segi ekonomi, di
sekitar lokasi hutan mangrove bisa digunakan untuk tambak udang dan budidaya
air payau. Di Indonesia diperkirakan terdapat 1.211.309 hektar lahan yang bisa
16
dijadikan sebagai lahan tambak. Pembukaan lahan baru dengan mengorbankan
hutan mangrove itu banyak terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
dan Kalimantan Timur. Di Indonesia, nilai pemanfaatan hutan mangrove masih
bernilai rendah karena masih sebatas eksploitatif. Minimnya perhatian terhadap
pelestarian kawasan hutan itu dari berbagai pihak menjadikan pembukaan lahan
hutan semakin menjadi-jadi dalam skala besar dan waktu yang cepat.
Kerusakan kawasan hutan mangrove yang paling parah terutama di sekitar
delta Mahakam, Kalimantan Timur. Kawasan hutan yang didominasi pohon nipah
itu hanya terjadi pembukaan lahan tambak udang sekitar 15.000 hektar pada tahun
1997. Namun, dalam tujuh tahun terakhir, hutan mangrove yang dibuka sudah
sekitar 74.000 hingga 80.000 hektare, dan sisanya pun rusak cukup parah. Di
wilayah Cilacap, Jawa Tengah, terjadi penyusutan hutan mangrove sejak tahun
1998. Sejumlah warga di beberapa desa yang berada di sekitar Teluk Segara
Anakan mengalami penurunan perolehan ikan. Mereka akhirnya berubah profesi
menjadi perajin gula kelapa. Dalam proses pembuatan gula kelapa itu dibutuhkan
kayu-kayu untuk pembakaran. Warga pun menggunakan kayu mangrove untuk
kayu bakar sehingga terjadi penyusutan 0,872-1,079 m3 per hari.
Secara fisik kerusakan-kerusakan lingkungan yang diakibatkannya berupa
abrasi, intrusi air laut, hilangnya sempadan pantai serta menurunnya
keanekaragaman hayati dan musnahnya habitat dari jenis flora dan fauna tertentu.
Kerusakan kawasan pantai mempunyai pengaruh kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang hidup di dalam atau di sekitarnya. Kemunduran ekologis
mangrove dapat mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan ikan dan
berkurangnya pendapatan para nelayan kecil di kawasan pantai tersebut.
Eksploitasi dan degradasi kawasan mangrove mengakibatkan perubahan
ekosistem kawasan pantai seperti tidak terkendalinya pengelolaan terumbu
karang, keanekaragaman ikan, hutan mangrove, abrasi pantai, intrusi air laut dan
punahnya berbagai jenis flora dan fauna langka, barulah muncul kesadaran
pentingnya peran ekosistem mangrove dalam menjaga keseimbangan ekosistem
kawasan pantai. Adanya pertambahan penduduk yang terus meningkat, memacu
berbagai jenis kebutuhan yang pada akhirnya bertumpu pada sumberdaya alam
17
yang ada. Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang
tidak terlepas dari tekanan tersebut. Pada saat ini telah terjadi konversi ekosistem
mangrove menjadi lahan pertanian, perikanan (pertambakan), dan pemukiman
yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Padahal kekayaan flora dan faunanya
belum diketahui secara pasti, begitu pula dengan berbagai hal yang terkait dengan
keberadaan ekosistem mangrove tersebut. Untuk itu perlu diambil langkah-
langkah penanganan konservasi ekosistem mangrove.
2. Strategi Konservasi Ekosistem Mangrove
Sumberdaya alam yang merupakan perwujudan dari keserasian ekosistem
dan keserasian unsur-unsur pembentuknya perlu dijaga dan dilestarikan sebagai
upaya menjamin keseimbangan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya
yang sejahtera secara berkesinambungan. Kebijaksanaan ini dituangkan dalam
strategi konservasi, yaitu :
a. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, dengan menjamin
terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan
ekosistemnya;
b. Pengawetan keanekaragaman sumberdaya plasma nutfah, yaitu menjamin
terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat
manusia;
c. Pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistemnya, yaitu dengan mengatur dan
mengendalikan cara-cara pemanfaatannya, sehingga mencapai manfaat yang
optimal dan berkesinambungan.
Adapun beberapa tujuan dari konservasi mangrove adalah sebagai berikut.
a. Melestarikan contoh-contoh perwakilan habitat dengan tipe-tipe ekosistemnya.
b. Melindungi jenis-jenis biota (dengan habitatnya) yang terancam punah.
c. Mengelola daerah yang penting bagi pembiakan jenis-jenis biota yang bernilai
ekonomi.
d. Memanfaatkan daerah tersebut untuk usaha rekreasi, pariwisata, pendidikan
dan penelitian.
18
e. Sebagai tempat untuk melakukan pelatihan di bidang pengelolaan sumberdaya
alam.
f. Sebagai tempat pembanding bagi kegiatan monitoring tentang akibat manusia
terhadap lingkungannya.
Menurut Waryono (1973) bahwa ekosistem mangrove di Indonesia
berdasarkan status peruntukannya dapat dikelompokkan menjadi: (a) kawasan
konservasi dengan peruntukan sebagai cagar alam, (b) kawasan konservasi dengan
peruntukan sebagai suaka margasatwa, (c) kawasan konservasi perlindungan
alam, (d) kawasan konservasi jalur hijau penyangga, (e) kawasan hutan produksi
mangrove, dan (f) kawasan ekosistem wisata mangrove.
Ekosistem mangrove sebagai cagar alam dan suaka margasatwa berfungsi
terutama sebagai pelindung dan pelestari keanekaragaman hayati. Kriteria
kawasan cagar alam adalah kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa serta tipe ekosistemnya, mewakili formasi biota tertentu
dan/atau unit penyusunnya mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya
yang masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia, mempunyai luas
dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah
penyangga yang cukup luas, dan/atau mempunyai ciri khas dan dapat merupakan
satu-satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan konservasi.
Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan yang ditunjuk merupakan
tempat hidup dan perkembangbiakan dari satu jenis satwa yang perlu dilakukan
upaya konservasinya, memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi, merupakan
tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan/atau mempunyai luas
yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan. Ekosistem
perlindungan alam, berfungsi terutama sebagai pelindung hidrologi dan pelindung
pantai serta habitat biota pantai. Jalur hijau ekosistem mangrove adalah ekosistem
mangrove yang ditetapkan sebagai jalur hijau di daerah pantai dan di tepi sungai,
dengan lebar tertentu yang diukur dari garis pantai dan tepi sungai, yang berfungsi
mempertahankan tanah pantai dan kelangsungan biotanya. Oleh karena itu jalur
hijau ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai ekosistem lindung dan atau
ekosistem suaka alam.
19
Berdasarkan penjelasan di atas, konservasi ekosistem mangrove secara
umum dapat dibedakan menjadi dua strategi umum, yaitu restrorasi dan
rehabilitasi. Restorasi merupakan usaha mengembalikan kondisi lingkungan
kepada kondisi semula secara alami. Atau dengan kata lain, usaha restorasi
memberi peluang kepada alam untuk mengatur dan memulihkan dirinya sendiri.
Kegiatan restorasi secara fisik akan lebih murah dibanding kita memaksakan
usaha penanaman mangrove secara langsung.
Rehabilitasi perlu dipertimbangkan ketika suatu sistem telah berubah
dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui
diri secara alami. Secara umum, semua habitat mangrove dapat memperbaiki
kondisinya secara alami dalam waktu 15-20 tahun jika: (1) kondisi normal
hidrologi tidak terganggu, dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak
terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi tersebut normal atau mendekati
normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat
direstorasi dengan cara penanaman. Jika habitat bakau dapat diperbaiki tanpa
penanaman, maka rencana restorasi harus diawali dengan memperhatikan potensi
aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin
menghambat perkembangan bakau (Kusmana, 2005).
Dahuri (1996) menyatakan bahwa terdapat tiga parameter yang
menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu: (1) suplai air
tawar dan salinitas, dimana ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam
(salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik dari ekosistem hutan mangrove.
Ketersediaan air tawar bergantung pada (a) frekwensi dan volume air dari sistem
sungai dan irigasi dari darat, (b) frekwensi dan volume air pertukaran pasang
surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfer; (2) pasokan nutrien, dimana pasokan
nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling
berkaitan, meliputi input dan ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta
pendaurulangan nutrien. Secara internal melalui jaringan-jaringan makanan
berbasis detritus (detrital food web).
20
3. Upaya Penanganan Konservasi Ekosistem Mangrove
Hilangnya ekosistem mangrove karena dikonversikan untuk penggunaan
lain sudah pasti akan berpengaruh negatif terhadap keanekaragaman hayati di
daerah tersebut. Hal yang perlu dilakukan untuk menghindari hal tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Mengupayakan luasan kawasan konservasi mangrove 20 % dengan dasar
pertimbangan terhadap rasionalisasi penggunaan terbesar dari pemanfaatan
lahan mangrove diperuntukan pertanian, pertambakan, dan permukiman.
b. Keberadaan dan kondisi mangrove yang sebenarnya perlu diketahui, sebagai
dasar untuk perencanaan dan penetapan kebijakan selanjutnya.
c. Perlu ditingkatkan pengetahuan tentang peraturan-peraturan.
Pengkajian tentang peralihan mangrove menjadi pertambakan atau
penggunaan lain harus didasarkan pada:
a. Kesesuaian lahan untuk tambak (masalah tanah sulfat masam, gambut, pasir)
atau penggunaan lain.
b. Pasang surut dan sumber air tawar.
c. Pensyaratan jalur hijau.
d. Sistem perlindungan kawasan dan kawasan ekosistem lindung.
e. Dampak terhadap lingkungan.
f. Infrastruktur seperti pasar, ketersedian bibit dan lain-lain.
g. Pengenaan pajak untuk areal tambak, agar keinginan membuat tambak
berkurang.
h. Penetapan beberapa areal mangrove sebagai kawasan lindung.
i. Pemanfaatan potensi ekowisata sebagai salah satu alternatif konservasi
ekosistem mangrove seperti yang telah diteliti di Kawasan Wisata Morosari,
Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
E. Ringkasan
1. Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk
mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan ataupun
pelestarian.
21
2. Ekosistem adalah suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara
segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
3. Lahan basah adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik
bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau
seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
4. Lahan basah ini diantaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya,
dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air
tawar, payau atau asin.
5. Konservasi lahan basah dapat diartikan sebagai upaya untuk memelihara dan
melindungi ekosistem lahan basah (mangrove, paya, dan gambut) terhadap
kerusakan-kerusakan yang dilakukan oleh manusia baik yang disengaja
maupun tidak.
6. Upaya konservasi ekosistem mangrove diantaranya dapat dilakukan melalui
penanaman mangrove di daerah pantai, pemeliharaan hutan pantai, mangrove
dan muara, serta dengan usaha-usaha preventif misalnya dengan terbitnya
peraturan-peraturan pemerintah mengenai pelarangan perusakan daerah-daerah
konservasi. Selain itu juga dengan pemanfaatan secara terkontrol dan
bertanggung jawab wilayah pantai sebagai ekowisata.
7. Upaya konservasi lahan basah yang telah dilakukan secara internasional adalah
melalui Ramsar Convention.
F. Ulasan dan Saran
Ekosistem lahan basah memiliki peranan yang sangat penting terhadap
keberlangsungan hidup manusia, di masa sekarang dan di masa yang akan datang.
Sikap manusia terhadap lingkungannya di masa sekarang akan sangat
berpengaruh terhadap kondisi lingkungan di masa yang akan datang.
Berbagai kerusakan pada ekosistem lahan basah telah terjadi sejak lama
dan kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak yang seharusnya terkait. Pada
kondisi sekarang ini, upaya konservasi lahan basah merupakan suatu upaya yang
mendesak untuk segera diterapkan. Penerapannya harus dilaksanakan oleh semua
pihak, agar upaya konservasi benar-benar berjalan dengan efektif.
22
Sebagai pendidik upaya real yang dapat kita lakukan adalah memberikan
kesadaran kepada peserta didik tentang pentingnya keseimbangan lingkungan
(natural balance). Kerusakan pada salah satu ekosistem, akan berimbas pada
kerusakan-kerusakan ekosistem lainnya. Apabila hal ini dibiarkan berlanjut, maka
akan membuat kerusakan tersebut semakin parah dan semakin sukar untuk
dikembalikan pada kondisi sebagaimana seharusnya. Oleh sebab itu, kita harus
menekankan pada peserta didik bahwa sebagai manusia yang hidup di alam dan
sangat tergantung kepada alam (karena kita tidak bisa memproduksi makanan
sendiri, melainkan hanya menggunakan produksi makanan dari alam), harus dapat
menghargai alam dan berusaha merawatnya dengan sebaik-baiknya. Dengan
kesadaran dari peserta didik kita, diharapkan mereka juga dapat menghimbau
anggota masyarakat di sekelilingnya (mulai dari anggota keluarganya) untuk
dapat ikut serta dalam upaya pelestarian lingkungan, agar tercipta keseimbangan
lingkungan yang akan menciptakan keharmonisan hubungan manusia dengan
alam.
23
DAFTAR RUJUKAN
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Campbell, Reece dan Mitchell. 2003. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Cowx, I.G. 1999. An appraisai of stocking strategies in the light of developing
country constraints. Fisheries Management and Ecology. (6); 21-34.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita: Jakarta.
Hadi, Mochamad. 2009. Konservasi Sumber Daya Alam (Online).
eprints.undip.ac.id/1070/1/ILING-II-5-KONSERVASI.pdf. Diakses: 30
Januari 2012.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.
Khaerudin, 2011. Melestarikan Ekosistem Danau Toba. Kompas. Com (Online)
Diakses tanggal 12 Februari 2012).
Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai
Pasca Tsunami di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan
Mangrove Pasca Tsunami. Medan, April 2005.
Odum. E.P. 1983. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Ramsar Convention. 2008. Deklarasi Changwon untuk Kesejahteraan Manusia
dan Lahan Basah.(Online) http://www.ramsar.org/pdf/cop10/cop10_
changwon_indonesian.pdf. (Diakses 14 Februari 2012).
Riza Andy, 2008. Ekologi di Danau Toba Rusak. (Online) Diakses tanggal 12
Februari 2012).
SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan
Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di Indonesia.
Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Soetrisno. 1995. Menuju Masyarakat Partisipasif. Yogyakarta: Kanisius.
Yayasan Konservasi Borneo, 2003. Melestarikan Taman Nasional Danau
Sentarum Untuk Mencapai Kesejahteraan Ekonomi, Pemberdayaan
Masyarakat Lokal, Dan Keutuhan Ekologi. Laporan Hasil Lokakarya
Pontianak BKSDA Kalimantan.