bahan referat yhh (1-12)
Post on 15-Dec-2015
220 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Tabel 1. Etiologi Kholangitis
CholedocholitiasisStriktur system bilierNeoplasma pada system bilierKomplikasi iatrogenic akibat manipulasi “CBD” (Common Bile Duct)Parasit: Cacing Ascaris, Clonorchis SinensisPankreatitis kronisPseudokista atau tumor pancreasStenosis ampulaKista Choledocus kongenital atau penyakit caroliSindroma mirizzi atau varian sindroma MirizziDiverticulum Duodenum
Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (hamper 90%) yang kemudian disusul
oleh striktur system bilier dan tumor pada system bilier. Di Negara-negara Asia Tenggara dan
Cina, cacing tidak jarang ditemukan sebagai penyebab, walaupun jenis cacing berbeda-beda.
(1,4,5,10,12,15)
III. Patofisiologi
Dalam keadaan normal system bilier steril dan aliran empedu tidak mengalami hambatan
sehingga tidak terdapat aliran balik ke system bilier. Kholangitis terjadi akibat adanya statis atau
obstruksi di system bilier yang disertai oleh bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi
terutama disebabkan oleh batu “CBD”, striktur, stenosis, atau tumor, serta manipulasi
endoskopik “CBD”. Dengan demikian pasase empedu menjadi lambat sehingga bakteri dapat
berkembang biak setelah mengalami migrasi kesistem bilier melaului vena porta, system limfatik
porta ataupun langsung dari duodenum. Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara ascenderen
menuju duktus hepatikus. Yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi
dan melampaui batas 250 mmH2O. oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang
berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatica dan limfatik perihepatik,
sehingga pada gilirannya akan terjadi bacteremia yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-40%).
Apabila pada keadaan tersebut disertai dengan pembentukan pus maka terjadilah kholangitis
supurativa. (9,10,12)
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kolangitis yaitu: (5,9)
1. Kholangitis dengan cholecystitis: Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada
system bilier, maupun pelebaran dari duktus interna maupun ekstra hepatal. Keadaan ini
sering disebabkan oleh batu “CBD” yang kecil, kompresi oleh Vesica felea/kelenjar getah
bening/inflamasi pancreas, edema/ spasme sfingter oddi, edema mukosa “CBD”, atau
hepatitis (lihat gambar 1)
2. Acute Non Suppurative Cholangitis : terdapat baktibilia tanpa pus pada system bilier
yang biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial (gambar 2)
3. Acute Suppurative Cholangitis : CBD berisi pus dan terdapat bakteeria, namun tidak
terdapat obtruksi total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis (lihat gambar 3)
4. Obstructive Acute Suppurative Cholangitis : Disini terjadi obstruksi total system bilier
sehingga melampaui tekanan normal pada system bilier yaitu melebihi 250mmH2O
sehingga terjadi bakterimia akibat refluk cairan empedu yang disertai dengan influx
bakteri kedalam system limfatik dan vena hepatic (lihat gambar 4)
Apabila bakterimia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis berlarut,
syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang disebabkan
oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multiple) dan bahkan peritonitis. Jika
sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Beberapa kondisi yang
memperburuk prognosis adalah sebagai berikut (table 2)
Tabel 2. Faktor yang meningkatkan mortalitas
UmurFebrisLekositosisSyok SeptikKultur Darah (+)Gangguan Sistem FagositosisImmunosupresiAdanya Neoplasma HeparObtruksi Intrahepatal MultipelPenyakit Hepar KronisAbses Hepar
IV. Bakteriologi
Adanya infeksi Bakteri merupakan hal yang penting dalam pathogenesis Kholangitis. Sesuai
dengan rute infeksi yang telah diuraikan sebelumnya, maka jenis bakteri yang dpata ditemukan
pada kultur cairan empedu maupun darah adlaha yang terbanyak berturut-turut yaitu bakteri
gram negative, anaerob, dan gram positif yang terutama berasal dari usus halus. Table 3
memperlihatkan berbagai jenis bakteri yang dapat ditemukan pada kultur empedu maupun darah.
Tabel 3. Bakteriologi Kholangitis Akut
EMPEDU
Cholecystitis Kholangitis Keduanya Darah
Escherichia coli 31% 26% 44% 26%
Enterococcus 18% 11% 13% 9%
Klebsiella spp 15% 12% 11% 14%
Pseudomonas spp 6% 5% 5% 9%
Enterobacter spp 2% 5% 4% 1%
Staphylococcus 0.3% 3% 3% 9%
Bacterides spp 3% 4% 4% 2%
Clostridium spp 2% 4% 3% 0.3%
Terdapat berbagai factor yang dapat dijadikan predictor terjadinya baktibilia sebagaimana
tercantum pada table 4
Tabel 4. Faktor-faktor predictor terjadinya baktibilia
Umur >60 tahun Febris > 37.30 C Bilirubin Total > 8.6 µmol/L Lekositosis > 14.000/mm3
Episode cholecystitis kauta atau kholangitis yang baru lalu Kanulasi bilier atau prosedur by pass Diabetes mellitus Hyperamylasemia Obesitas
V. Diagnosis
Diagnosis kholangitis akuta dapat ditegakkan secara klinis yaitu dengan ditemukannya
“Charcot’s Triad” yang terdiri dari nyeri kuadran kanan atas, icterus dan febris yang
dengan/tanpa menggigil. Namun demikian, kurang dari 50% kasus ditemukan ketiganya secara
bersamaan. Adapun frekuensi gejala-gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan adalah:
Febris > 380 C : 87 - 90%
Nyeri Abdomen : 40%
Ikterus : 65%
Tidak ditemukannya ketiga tanda tersebut secara bersamaan terutama disebabkan oleh obstruksi
saluran empedu yang tidak komplit. Apabila keadaan penyakit menjadi lebih berat yang disertai
oleh sepsis atau syok maka akan ditemukan “Reynold’s Pentad” yang ditandai oleh “Charcot’s
Triad” ditambah dengan “mental confusion/lethargy” dan syok. Keadaan ini terjadi pada 10-23%
pasien. Perubahan tersebut disebabkan oleh obstruksi total saluran empedu sehingga tekanana
yang meningkat menyebabkan refluks aliran empedu sehingga bakteri dapat mencapai system
pembulug darah sistemik dan terjadi sepsis. Oleh karena itu, pada keadaan ini perlu segera
dilakukan drainase untuk mengadakan dekompresi dan pengendalian terhadap sumber infeksi.
Pemeriksaan alat bantu terutama berguna untuk mencari kemungkinan etiologi kholangitis yang
sangat menentukan jenis terapi yang harusDilakukan sebagai terapi pembedahan definitive
maupun untuk tujuan dekompresi sementara. Pemeriksaan dilakukan adalah: (1,6,10,12,14)
USG hepatobilier dan pancreas :
a. Dapat ditemukan “CBD” yang berdilatasi
b. Kemungkinan disertai dengan batu “CBD”
CT Scan lebih sensitive dan spesifik dari pada usg dan memberikan gambaran :
a. Batu “CBD”
b. Tumor system bilier atau pancreas
c. Batu pada system bilier intrahepatal
d. Adanya atrofi pada hepar
e. Abcess pada hepar (biasanya multiple bila penyebab batu)
MRI cholangiografi : pemeriksaan ini sangat sensitive dan spesifik, serta akurat, yaitu
masing-masing 91,6 %, 100%, dan 96,8 %. Kelebihan alat ini adalah non invasive, dapat
dilakukan hamper semua usia dan dapat membedakan jenis batu cholesterol dan jenis
lainnya secara jelas.
Cholangiografi : menimbulkan morbiditas 1-7 % dan mortalitas 0,25 %, oleh karena itu
sebaiknya dihindari, kecuali disertai oleh tindakan dekompresi yang dilakukan bersama-
sama. Dapat dilakukan secara ERCP (Endoskopi Retrogarde Choalgio Pancreatography)
ataupun PTC (Percutaneus Transhepatic Cholagiography)
Cholescintigraphy dengan HIDA :
a. Menunjukkan “Liver uptake”
b. Tidak terdapat visualisasi kandung empedu, CBD, maupun usus halus oleh karena
adanya obstruksi total
Laboratorium menunjukkan perubahan-perubahan sebagai berikut :
a. Leukositosis >10.000/mm3 : 33-80%
b. Serum bilirubin 2-10 mg/dl : 68-76%
c. Alkali phosphatase 2-3x normal pada 90%
d. C-reactive protein : biasanya ditemukan peningkatan
VI. Pengelolahan :
Mengingat mortalitas yang tinggi jika terapi bedah dilakukan pada saat emergensi, maka langkah
awal pengobatan Kholangitis akut adalah sebagai berikut : (3,5,10,12,14)
Perbaikan keadaan umum :
a. Pasien dipuasakan
b. Dekompresi dengan NGT
c. Pemasangan infus dan dilakukan rehidrasi
d. Dilakukan koreksi kelainan elektrolit
e. Pemberian antibiotic perenteral
Dengan melaukan tindakan tersebut, 80-85% pasien akan mengalami perbaikan, sehingga dalam
periode berikutnya (dalam 48-72 jam) dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis penyebabnya dan menentukan jenis operasi definitifnya
Meskipun demikian, apabila pasien pertama kali dating dengan shock dan hipoperfusi jaringan
yang berat maka diperlukan :
“Invasive monitoring”
Analgetik non narkotik, namun jika telah ada konfirmasi diagnostic, meperidine atau
fentanyl dapat diberikan
Pada 15%kasus terapi medikamentosa tidak berhasil memperbaiki keadaan umum penderita,
sehingga tindakan dekompresi emergensi diperlukan dan dapat dilakukan dengan cara :
Pembedahan terbuka
Drainase secara endoskopik
Drainase perkutan system bilier
Setelah terapi medikamentosa dan suportif lainnya memperbaiki keadaan umum, maka tindakan
bedah untuk dekompresi dapat dilakukan secara efektif dan pada umumnya yang dilakukan
adalah :
Cholecystectomy + Ekplorasi “CBD” +/- Drainase T-Tube, +/- Choledochoenterostomy
Mortalitas pada berbagai tindakan baik bedah maupun no n bedah adalah sebagai berikut :
Terapi konservatif tanpa drainase menimbulkan angka mortalitas antara 40-100%
Tindakan dekompresi secara bedah secara keseluruhan akan menunjukkan angka
mortalitas antara 2-13% dan morbiditasnya 12-21%
Drainase secara endoskopi akan disertai oleh tingkat mortalitas antara 1-13% dan
morbiditasnya 4-24%
Terapi invasive minimal dengan teknik “Percutaneus Transhepatic Cholangiography
Drainage” (PTCD) menunjukkan mortalitas yang rendah yaitu 0,05-7,00, namun
morbiditasnya sangat bervariasi yaitu 4-80%
Jika penyebabnya adalah neoplasma maligna primer maka :
a. Angka mortalitas tindakan pembedahan adalah sampai dengan 40% namun jika sudah
terdapat metastasis yang ekstensif maka akan meningkat menjadi 59%
b. Darinase endoskopik akan memberikan tingkat mortaliats sampai dengan 46%
Terapi antibiotic parenteral adalah merupakan hal yang penting pula, sehinnga pemilihan jenis
antibiotic yang tepat secara empiric adalah sebagai berikut : (14)
Tabel 5. Jenis antibiotic parenteral [ilihan secara empiric
Cholecystitis akuta :
a. Aminoglikosida-penicilin
b. Penicillin spectrum luas
c. Cephalosporin generasi ketiga
Kholangitis akuta :
a. Penilicilin spectrum luas
b. Aminoglikosida-penicilin
c. Cephalosporin generasi ketiga
d. Imipenem-cilastatin
e. Cephalosporin generasi kedua
Prophylaxis :
a. Cephalosporin generasi kedua
b. Penilicilin spectrum luas
Hadirnya Cephalosporin generasi ketiga adalah suatu langkah maju didalam terpai infeksi
bakteri, namun demikian penggunaannya harus tepat. Jenis ini mempunyai spectrum antibakteri
yang kuat terhadap Eschericia coli, Klebsiela, enterococci dan bakteri anaerob seperti
Bacteroides yang merupakan bakteri yang paling sering ditemukan didalam cairan empedu dan
menyebabkan peningkatan pembentukan batu pada system saluran empedu. Yang dimasukkan
kedalam kelompok ini adlah Cefotaxime, Ceftriaxone, dan Ceftrzoxine karena memiliki indikasi
klinik dan spectrum antibiotika yang sama. (15)
Dari ketiga cephalosporin tersebut diatas, tampaknya ceftriaxone merupakan pilihan terbaik
mengingat beberapa keuntungan sebagai berikut : (14)
1. Penetrasi jaringan 24jam dan konsentrasi bilier cukup tinggi
2. Proteksi 24jam dengan dosis 1gram sekali pemberian/hari
3. “Dual Excretion” yaitu pada renal dan hepar, menambah keamanan
4. Aktifitas bakterisidal cukup luas
5. Keuntungan farmakokinetik dari segi biaya keseluruhan dan beban kerja staf rumah sakit
6. Efek samping yang rendah
7. Dosis 1 kali sehari terbukti efektif secara klinis
Pada kasus yang disertai oleh peningkatan bilirubin yang melebihi 5,0 mg/dl, penggunaan
Aminoglikosida harus dihindari karena resiko nephrotoksik yang semakin meningkat. Hal ini
disebabkan oleh sensitas ginjal oleh karena perfusi ginjal yang menurun, peningkatan bilirubin
dan garam empedu lainnya, dan adanya endotoksemia bakteri gram negative.
Baktibilia dapat tetap bertahan walaupun obstruksi telah berhasil di atasi keadaan ini dapat
disebabkan oleh bakteri jenis anaerob, bakteri yang resisten terhadap antibiotic, bakteri gram
negative, dan jamur.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya , penyebab terbanyak ada;ah choledocholithiasis, dan
oleh karena itu pengelolahannya akan dibahas lebih mendalam sebagaimana tercantum pada
gambar 5 dibawah ini
No jaundice
Suspication of CBD stone
Rountine per-op cholangiogram Selective per-op cholangiogram Pre-op ERCP
CBD stone CBD stone
Open Explor laparosc chole laparosc explor CBD No stone endoscopic sphinct and duct
Successfailure
Failure failure laparosc cholecystec
Post-op ERCP open explor CBD laparosc explor CBD
Failure
Gambar 5. Algoritme sebagai strategi pada penanganan batu “CBD
Dengan demikian, sesuai skema tersebut diatas maka pilihan didalam pengelolahannya terdapat
dua jenis tindakan yaitu “One Step Approach” dan “Two Step Approach” (lihat gambar 6 dan 7).
Tindakan mana yang dipilih, harusnya berdasarkan pertimbangan ketersediaan fasilitas yang ada,
ketrsmpilan ahli bedah yang menanganinya dan tentunya biaya yang harus dikeluarkan untuk
pengelolahannya. Terdapat keuntungan maupun kerugiandua teknik tersebut. (lihat table 6)
Tabel 6. Perbadingan keutungan dan kerugian dengan dua teknik
One step approach LC+LTCDCBDE Two step approach LC+pre/post op ERS
Advantages
Lower cost
Shorter hospital stay
Potentially decreased morbidity
Disaventages
More technically demanding
Requires expensive equipment
Longer operative time
Increased operating room cost
Advantages
Shorter operating time
Less technically demanding
Requires less equipment
Disaventages
Longer hospital stay
Increased total cost
Potentially increased morbidity
Ywo separate procedure
Rosential RJ et al. World J surg 1998,22 1125-1132
Langkah-langkah pengelolahan untuk setiap jenis tahap secara terinci dapat dilihat pada gambar
6 dan 7
One step approach to suspected Choledocholithiasis
Patient with suspected choledocholithiasis
Intraoperative cholangiography
No CBD stone CBD stone
Laparosc cholecystectomy stone < 0,9 mmstone > 0,9 mm
LC + laparosc transcystic CBD explore laparosc choledochotomy Open CBD explor
Successful retained stones
Rosenthal RJ et al. World J. surg 1998,22 :1125-1132
Gambar 6. Teknik pengelolaan batu CBD satu tahap
Pada teknik pengelolahan satu tahap, setelah mengalami perbaikan keadaan umum pasien
dilakukan operasi cholecystectomu per laparoskopi dan kholangiografi intraoperative. Jika tidak
ditemukan batu CBD atau hambatan dalam aliran zat kontras ke dalam duodenum maka
cholecystectomy saja telah cukup. Namun jika ditemukan batu CBD maka tindakan selanjutnya
bergantung pada ukuran batu yang ditemukan. Jika batu ditemukan berukuran kecil yaitu < 0,9
mm maka dapat dilakukan eksplorasi saluran empedu trancystic dengan laparoskopi jika saran
dan keahlian tersedia. Apabila batu berukuran > 0,9 mm maka dilakukan choledochotomy
perlaparoskopi atau ekplorasi saluran empedu secara terbuka. Keuntungan cara ini adalah lama
rawat yang pendek, biaya yang rendah, dan morbiditas yang lebih rendah, namun memerlukan
ketrampilan laparoskopi yang tinggi dan perlatan yang lengkap dan mahal, serrta waktu yang
lebih lama.
Pasien-pasien cholangitis yang disebabkan oleh choledocholitiasis tidak jarang memiliki
resiko tinggi operasi sehingga sering kali teknik dua tahap lebih tepat dilakukan karena tindakan
awal bisa berupa terapi bedah invasif yang minimal dan tidak memerlukan waktu operasi yang
lama. Jika setelah tindakan invasif minimal seperti ERCP/ERS batu penyebab sumbatannya
dapat dihilangkan maka tindakan cholesistectomy dapat dilakuka setelah keadaan umum pasien
menjadi lebih baik. Terlebih lagi, jika setelah ekstraksi batu melalui teknik ERCP masih terdapat
batu, maka selanjutnya dapat dilakukan eksplorasi saluran empedu secara terbuka untuk
sekaligus dilakukan cholesistectomy dan pengangkatan batu empedu yang tertinggal. Pilihan
tindakan yang lain adalah dilakukan terlebih dahulu cholecystectomy per laparoskopi jika tidak
terdapat resiko tinggi operasi, baru dilakukan ERCP untuk mengambil batu saluran empedu yang
tertinggal. Keuntungan pendekatan ini adalah waktu operasi yang relatif singkat, tidak
membutuhkan peralatan dan keahlian yang terlalu tinggi namun terdapat kerugian yaitu
memerlukan waktu rawat yang lebih lama dan morbiditas yang lebih tinggi.
Pilihan pendekatan mana yang dipilih tentunya bergantung kepada terutama sarana dan
keahlian yang tersedia, serta perawatan yang intensif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu yag
terkait seperti ilmu bedah, penyakit dalam, radiologi dan anestesiologi.
VII. Kasus Kolangitis di Bandung :
Untuk memberi gambaran sejauh mana pengalaman dalam menghadapi kasus kolangitis,
penulis menyampaikan kasus-kasus yang ditemui di kota Bandung dalam periode tahun 1983-
1998. Kasus-kasus tersebut adalah yang dilakukan pengelolaannya oleh penulis di Rumah Sakit
besar seperti di RS Hasan Sadikin, RS St Boromeus, RS Advent dan RS Kebonjati. Dari
sebanyak 1574 kasus operasi pada saluran empedu ditemukan sebagai berikut:
Tabel 7. Ringkasan kasus-kasus kolangitris di Bandung
Jumlah kasus operasi saluran empedu 1574
Jumlah kasus kolangitis 308 (96,56%)
Jumlah penderita :
Laki—laki
Perempuan
162 orang
146 orang
Rata-rata umur (tahun) 50,09
Morbiditas : komplikasi pembedahan 5 kasus (1,62%)
Mortalitas 3 kasus (0,97%)
Tabel 8. Jenis kausa kolangitis yang ditemukan pada 308 kasus :
Etiologi Jumlah kasus Persentase
Cholecystitits + Cholelitiasis 103 33,44%
Choledocolithiasis +
Cholecystitits + Cholelitiasis
171 55,51%
Hepatolithiasis 9 2,92%
Sclerosis cholangitis 3 0,97%
Cacing 3 0,97%
Striktur 4 1,29%
Kista Choledocus 4 1,29%
Tumor pankreas 2 0,64%
Ca Empedu 5 1,62%
Post ERCP 3 0,97%
Batu pankreas 1 0,32%
Total 308
Penanganan yang dilakukan pada kasus-kasus tersebut adalah sesuai dengan protokol yang telah
diuraikan pada makalah ini yaitu tidak dilakukannya tindakan bedah emergency, namun terlebih
dahulu diberikan terapi konservatif untuk memperbaiki keadaan umum dan kemudian dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan diagnosis kausanya. Setelah persiapan operasi yang
cukup yaitu keadaan pasien yang membaik dan diagnosis yan benar telah ditegakkan, maka
dilakukan pembedahan definitif secara elektif. Dengan pola pengelolaan seperti tersebut di atas,
maka tingkat mortalitasnya sangat rendah yaitu 0,97%.
top related