batavia sebagai kota dagang pada abad...
Post on 12-Mar-2019
237 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BATAVIA SEBAGAI KOTA DAGANG
PADA ABAD XVII SAMPAI ABAD XVIII
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana (S1), atau Sarjana Humaniora (S. Hum)
pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Disusun Oleh:
AGUS RIDWIYANTO
NIM : 107022001138
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432/ 2011 M
LEMBAR PENGESAIIAN
BATAVIA SEBAGAI KOTA DAGANG
PADA ABAD XVII SAMPAI ABAD XVIII
Skripsi
Diajukan i(epada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana (Sl), atau Sarjana Humaniora (S. Hum)
pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
Olph
AGUS RIDWIYANTONIMI 107022001138
Dosen Pembimbi
lnaSlEua!!a,14. Hum.NIP : 192302081998032001
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADEN DAN HUMANIORA
UNIVSRSITAS ISLAM NEGET{I SYARIF HIDAYATULLAI.I
JAKARTA
' t432t 201r M
'4_ \"
;., 1'::, t,.
l
PENGBSAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul "BATAVIA SEBAGAI KorA DAGANG PADAa\
ABAD .xvn SAMPAI ABAD xvIII". Telah diujikan dalam sidang
Munaqosyah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakafia, pada tanggal 2 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Ciputat, 2 Desember 20ll
Sidang Munaqosyah
n
wiw*^Drs. H; M. Ma'ruf Misbah. MANIP. 19s91222 199103 I 003
Anggota
Drs. H. M. Ma'ruf Misbah, MANrP. 19s91222 r99t03 I 003
reffi\ingr\1,/W
Imas Emalia. M. Hum
NIP: 1980208 199803 2 001
Sekretaris Merangkap Ahggota
l7 200501 2007
NIP. 19490706 t97109 I 001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan Ini Saya Menyatakan Bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli dari saya sendiri. Yang diajukan untuk
syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Humaniora dalam jenjang strata satu
(S1) di Fakultas Adab dan Humanora UIN Syarif Hodayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam kesatuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya,
atau merupakan dari jiplakan karya orang lain. Maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang Selatan, 2 Desember 2011
Penulis
ABSRAKSI
Pelayaran dan perdagangan di kawasan Laut Jawa telah membawa angin segar
bagi pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Jawa. Namun dari kegiatan
ekonomi-perdagangan yang telah berpengaruh terhadap penyebaran agama Islam di Jawa,
semisal Banten, Demak, Tuban dan lain sebagainya.
Kondisi ini, yang dialami oleh para pedagang di sekitar Laut Jawa. Mereka
berasal dari Arab, Cina, India, Persia, Turki atau dari Asia. Hal ini, disertai penyebaran
agama Islam dan adanya penguasa lokal. Hal ini, didorong dari simpati lalu-lintas
Muslim dan hingga menjadi persekutuan dalam menghadapi pedagang-pedagang asing
maupun dari Jawa di bidang perdagangan dan sarana transportasi. Akan tetapi, wilayah
Batavia tetaplah masih eksis sejak beberapa abad yang lalu sebagai wilayah perdagangan.
Pada masa awal pimpinan Jan Pierterszoon Coen, ia mencetuskan ide perluasan
perdagangan, awal abad XVII. Ternyata perluasan ini membawa dampak positif dan
negatif. Dampak positifnya adalah menciptakan perluasan perdagangan di Asia Tenggara
dengan ibu kota Batavia. Hal ini merupakan detik kemajuan bagi VOC (Belanda), Coen
berupaya ingin merencanakan dan membangun imperium yang mempunyai nilai
komersil di Asia Tenggara dengan ibu kota Batavia. Bagi Belanda sikap seperti itulah
adalah upaya untuk mengontrol perdagangan atas laut.
Besar kemungkinan, Batavia dianggap sebagai salah satu yang memiliki potensi
besar, dan dibantu dari kekuatan Belanda. Ini merupakan detik positif. Selain dari
dampak positif, juga membawa dampak negatif dalam bentuk memonopoli perdagangan,
karena adanya pembatasan ruang gerak perdagangan di Asia Tenggara khususnya; di
Batavia. Ditambah lagi munculnya krisis ekonomi yang berkelanjutan yang dialami oleh
Cina sehingga memunculkan pemberontakan yang dilakukan oleh Cina pada tahun 1740
di sekitar Batavia (Muara Angke-Jakarta Utara). Selain, monopoli yang dilakukan
Belanda menimbulkan prilaku buruk diaspek lini kehidupan. Sampai akhirnya pada
tanggal 1799 VOC mengalami collapse, karena hutang-hutang Belanda mencapai 134
gulden, sampai akhirnya VOC bangkrut oleh pemerintah Belanda dan akhirnya kongsi
dagang ini dibubarkan.
ii
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan doa dan syukur kepada Allah SWT, karena
Dialah satu-satunya pencipta yang berhak untuk mendapat pujian, dan Dia pula yang
selalu memberi nikmat atas semua hamba-hamba-Nya dan Dia pula sumber
kebahagiaan dan keselamatan, dan Dia pula sumber pemberi rezeki, sehingga kita
diberikan kekuatan untuk melakukan segala aktivitas untuk mendapatkan ridho dan
berkah dari-Nya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad saw, keluarganya, sahabatnya, dan seluruh muslimin dan muslimat
yang selalu berusaha melanjutkan perjuangan dan cita-citanya.
Ketertarikan penulis menampilkan Batavia sebagai kota dagang dan kota
maritim ini dilatar belakangi upaya Coen ingin merencanakan dan membangun
imperium yang lebih luas dan mempunyai nilai komersial di Asia Tenggara dengan
ibu kota Batavia. Dan dipandang Batavia sebagai salah satu dunia perdagangan tidak
semata-mata, sebagai salah satu letak Batavia yang strategis dan selalu terbuka untuk
umum dalam perdagangan antar-Pulau, antar-Asia dan lain sebagainya.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu selama proses pembuatan skripsi ini, yaitu :
1. Ayahanda Bapak Sukino dan Ibunda Sutartini tercinta, Insya Allah dengan
segenap jiwa raga, penulis akan membuatmu bahagia dan bangga walaupun
penulis belum bisa membalas jasamu.
iii
2. Ridwan Sudiro, S.IP Adalah sebagai kakak yang telah membatu biaya kuliah,
memberikan semangat untuk maju
3. Lismawarni Dewi, S. IP adalah istri dari Ridwan Sudiro yang telah membatu
memotivasi, mencari buku dan merupakan salah satu staff Perpustakaan
Utama
4. Bapak Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora, Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menyetujui skripsi ini.
5. Bapak Drs H. M. Ma’ruf Misbah, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam yang telah membantu dalam proses terlaksananya skripsi ini.
6. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam. yang telah membantu memproses skripsi ini.
7. Ibu Imas Emalia, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah
banyak meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan membimbing
kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.
8. Zuhairi Misrawi yang telah meluangkan waktunya di rumah, untuk mengajari
penulis dalam segi penulisan.
9. Pimpinan dan seluruh staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Imam Jama Lebak Bulus, Perpustakaan Ilmu Budaya (FIB)
iv
Universitas Indonesia Depok, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI),
Perpustakaan Kementrian Pendidikan Nasional, Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, Museum Bahari, Arsip Nasional Republik Indonesia
yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menggunakan fasilitas
kepustakaan sebagai referensi dalam penulisan ini.
10. H. Romli Sian Mair, Lc, Ustadz Rojalih Hasan, S.Pd dan selaku pimpinan
Cordova dan sekaligus inspirasi bagi penulis dan memberikan informasi serta
nasehat yang bermanfaat.
Demikian ucapan terima kasih penulis, semoga kebaikan dan ketulusan
mereka di balas oleh Allah SWT dengan pahala berlipat ganda. Terakhir semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi almamater dan bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya.
Amin ya rabbal alamin
Tangerang Selatan, 2 Desember 2011
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ................................................................................................... .i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 8
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 9
E. Kerangka Teori .................................................................................... 10
F. Metode Penelitian ................................................................................ 12
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 16
BAB II: PENGARUH PELAYARAN DAN PERDAGANGAN TERHADAP
AGAMA ISLAM DI PULAU JAWA ABAD XVII-XVIII
A. Hubungan Perdagangan dengan Perkembangan Agama Islam di Pulau
Jawa ....................................................................................................... 18
B. Peranan Politik dalam Pelayaran dan Perdagangan
di Pulau Jawa.......................................................................................... 28
C. Dinamika Ekonomi Perdagangan ........................................................... 32
vi
BAB III: PROFIL BATAVIA SEBAGAI KOTA DAGANG
A. Peralihan Jayakarta ke Batavia ............................................................... 41
B. Batavia sebagai Kota Bandar Niaga ....................................................... 46
C. Batavia sebagai Kota Pelabuhan ........................................................... 55
1. Letak dan Fungsi Pelabuhan ............................................................. 55
1. 1. Letak Pelabuhan Batavia .......................................................... 55
1. 2. Fungsi Pelabuhan Batavia ........................................................ 56
1. 3. Bongkar Muat Barang .............................................................. 59
1. 4. Pemungutan Bea Cukai ............................................................ 62
D. Hubungan Pelayaran dan Perdagangan Masyarakat Batavia dengan
Dunia Luar………………………………………………....................... 64
BAB IV: KONDISI PERDAGANGAN MARITIM BATAVIA
A. Kondisi Perdagangan Maritim Batavia ................................................ 72
A. 1. Mobilitas Kapal dan Perahu .......................................................... 85
A.1.1. Kapal dan Tonase ...................................................................... 98
A.1.2. Kapal dan Perahu yang Pindah dengan Membawa
Isi Muatan Barang Dagangan ................................................. 100
A. 2. Perdagangan Batavia dari Darat hingga Laut ............................. 104
A. 3. Peranan Sungai Ciliwung bagi Pelabuhan Batavia .................... 107
A. 4. Perdagangan Asing ...................................................................... 112
vii
A. 5. Batavia sebagai Pusat Perdagangan Internasional ....................... 114
B. Komoditas Ekspor dan Impor ................................................................. 119
C. Etnis Cina yang Berdagang .................................................................... 126
D. Etnis Arab yang Berdagang.................................................................... 130
E. VOC Collepse ......................................................................................... 143
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 146
DAFTAR SUMBER .............................................................................................. 153
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................... 163
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelayaran dan perdagangan di kawasan Laut Jawa diartikan sebagai salah
satu persilangan lalu-lintas pelayaran dan perdagangan dari aktivitas jantung
perdagangan Nusantara. Posisi Laut Jawa dikelilingi oleh Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Menurut Houben, Laut Jawa tidak saja sebagai laut utama bagi
Indonesia, tetapi juga merupakan laut inti bagi Asia Tenggara.1 Di kawasan Laut
Jawa telah ada jalinan hubungan dagang sebelum datangnya bangsa Barat. Laut
Jawa ditempatkan sebagai salah satu aktivitas berlayar dan berdagang dengan
tujuan menyusuri Pantai Utara Jawa.
Hal ini memberi sinyal positif bagi peranan yang amat penting di Pantai
Utara Jawa dan aktivitas perdagangan di sekitar Laut Jawa. Seringkali masih
dapat dilihat aktivitas berlayar dan berdagang hingga sampai saat ini. Jadi dapat
dikatakan, Laut Jawa merupakan Mediterranean Sea bagi Nusantara.2 Di sini
terlihat jelas mengenai peranan penting bagi kawasan Laut Jawa dan mempunyai
kedudukan tersendiri di Kepulauan Nusantara atau bahkan bagi Asia Tenggara
pada umumnya. Tentu saja Laut Jawa merupakan jembatan yang menghubungkan
berbagai daerah-daerah, yang berada di sepanjang Pantai Utara Jawa. Baik dalam
1 V.J.H. Houben, H.M.J. Maier and W. van der Molen, (ed), Looking in Odd Mirrors: The
Java Sea (Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Asië en Oceanië Leiden Universiteit,
1992), hlm. viii. Kajian Asia Tenggara sebagai suatu entitas dapat dilihat pada Anthony Reid, Asia
Tenggara Kurun Niaga 1450-1650, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hal.3-4 2 Anthony Reid, op. cit., hal. 3
2
kegiatan berlayar maupun dalam kegiatan berdagang, hingga terjadinya
perkembangan penyebaran agama Islam dan adanya penguasa lokal.3
Penyebaran agama Islam yang telah memainkan peranan penting bagi
pelayaran dan perdagangan di kawasan Laut Jawa. Situasi ini yang memunculkan
perkembangan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Jawa, seperti :
Banten, Sunda Kalapa, Demak dan sebagainya. Selain itu juga para pedagang
yang berasal dari Arab, Cina, India, Persia, Turki atau dari Asia lainnya.
Selanjutnya, dengan datangnya orang Eropa melalui jalur laut yang diawali
oleh Vasco da Gama (Portugis), pada tahun 1497-1498 yang telah berhasil
berlayar dari Eropa ke India melalui Tanjung Harapan (Cape Town) di ujung
Afrika Selatan.4 Termotivasi bangsa Eropa untuk berdagang ke seberang lautan
yang melewati Afrika ke India; yang dilanjutkan ke Asia Tenggara, Cina, dan
Jepang. Pelayaran dan perdagangan mempunyai arti sebagai suatu perluasan
hubungan antara Timur dengan Barat. Ketika saatnya, orang Eropa datang ke
Nusantara seperti Portugis, yang kemudian disusul oleh bangsa Spanyol, dan
Belanda. Bangsa Portugis datang ke Nusantara memiliki tiga motivasi yaitu;
sebagai petualang, ekonomi, dan agama. Berbeda dengan bangsa Belanda yang
mempunyai dua motivasi yaitu, ekonomi dan petualang.
3 Hans-Dieter Evers, “Tradisional trading networks of Southeast Asia”, dalam Archipel
35 (1988) 92. Karya yang sama dapat juga dilihat pada Hans-Dieter Evers, “Traditional trading
networks of Southeast Asia” [Working Paper No. 67] (Bieleveld: University of Bielevel, 1985),
hlm. 5-6. dalam Singgih Tri Sulistiyono, Konsep Batas Negara Di Nusantara Kajian Historis‟‟
(Yogyakarta; Hasil penelitian yang dibiayai oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro,
2009), hal. 225
4 Singgih Tri Sulistiyono, op. cit., hal. 225
3
Pada tahun 1602 VOC datang ke Nusantara, merupakan penggabungan
enam (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland), Enkhuizen, Delft,
Hoorn dan Rotterdam. Setelah Compagnie van Verre yang berpangkal di
Amsterdam menyelenggarakan ekspedisi pertama 5 yang di pimpin oleh Cornelius
de Hautman bersaudara tahun 1596 pertama kali tiba di Banten, mereka disambut
dengan sangat ramah setelah mendaratkan kapal dagang di Pelabuhan Banten,6
kemudian disambut oleh penguasa-penguasa Banten.
Namun dengan adanya persaingan dagang dengan pihak setempat,
kemudian Belanda merebut Jayakarta pada tahun (1619).7 Menurut data sejarah,
di bawah pimpinan Jan Piterszoon Coen, para pedagang (Arab, Cina, Persia,
India, dan lain sebagainya) sudah terbiasa dengan perdagangan bebas.8
Setelah Jayakarta berganti nama menjadi Batavia, kemudian Belanda
berkuasa penuh atas wilayah tersebut. Perkumpulan dagang „atau‟ VOC di
Batavia membangun pelabuhan dengan menyediakan bandar di Pelabuhan
Batavia. Pelabuhan Batavia menyediakan Syahbandar untuk menarik bea dan
cukai hingga jumlah barang dagangan dapat diketahui dan dicatat di dalam negeri
Batavia. Hal tersebut sebagai tindakan pengawasan barang-barang dagangan yang
ke luar-masuk di Pelabuhan Batavia. Selain itu, Batavia dapat menjalin hubungan
5 Onghokham, „‟Kelas Penguasa Menerima Kolonialisme‟‟ dalam Prisma, No. 11, 1984
tahun XIII 6 Prof. Dr. Adrian. B Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hal. 90 7 Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2008),
hal. 37-40
8 Susan Abeyasekere, Jakarta A History, (Oxford Newyork: Oxford University, 1987),
hal. 8
4
dagang dengan pihak asing agar dapat menjalin akses perdagangan maritim
hingga ke luar negeri.
Situasi ini yang memunculkan aktivitas perdagangan yang memiliki corak
maritim, dan hal ini bukanlah sekedar perkara baru bagi masyarakat dalam negeri
dan masyarakat luar negeri. Kegiatan perdagangan maritim di Batavia menjadi
pusat perhatian bagi dunia perdagangan. Kegiatan perdagangan maritim
merupakan warisan dan penerus ekonomi orang Pribumi dan Melayu yang telah
berjalan berabad-abad silam. Batavia dikenal sebagai penggerak roda ekonomi
dan pantai yang berdekatan dengan Selat Sunda yang mempunyai nilai lebih dan
istimewa dan didukung dengan Sungai Ciliwung.
Semenjak itu, hubungan dagang mulai berkembang dan bertambah dari
jumlah barang dagangan yang diangkut oleh kapal dagang dan perahu dagang
yang merapat di Pelabuhan Batavia. Hal ini kemudian yang menjadi karakter yang
kuat dalam dunia perdagangan. Sebagai salah satu upaya untuk memperkuat
simpati dari dunia luar. Selain itu, juga sebagai unsur yang penting dalam
menciptakan keramaian dalam hal perdagangan, dan didukung dengan keberadaan
kawasan niaga di Pasar Ikan yang menjadi besar di Indonesia. Semenjak itu
Belanda semakin memiliki peranan penting dan kekuatan di Batavia yang
difungsikan sebagai salah satu tempat transaksi barang-barang dagangan antar-
bangsa, baik asing ataupun lokal.
Belanda menyediakan kapal dagang untuk mengangkut barang dagangan
dari Pulau Jawa ataupun yang di tuju ke Pelabuhan Batavia. Hal tersebut sebagai
bentuk usaha untuk ingin memajukan perdagangan Batavia. Pemerintah Batavia
5
yang diperkuat oleh Belanda kemudian mendominasi perdagangan dari dalam
negeri maupun luar negeri. Perhimpunan dagang Belanda atau VOC telah
membangun pos dagang di Batavia untuk memperlancar jalannya distribusi dan
kegiatan ekonomi di Asia Tenggara. Dengan demikian, perdagangan membawa
dampak yang positif bagi ekonomi Batavia. Perdagangan maritim telah
berpengaruh di tubuh VOC. Hal ini telihat jelas bahwa perdagangan maritim akan
menambah pesat dengan kedatangan pedagang-pedagang asing yang tiba di
Pelabuhan Batavia.
Pada abad XVII, Pelabuhan Batavia telah berhasil tumbuh dan
berkembang dengan kedatangan bangsa-bangsa asing di Pelabuhan Batavia baik
yang didukung dari kalangan pedagang-pedagang dalam negeri ataupun luar
negeri.9 Pelabuhan Batavia telah berhasil tumbuh menjadi lebih padat di
Indonesia. Bagi para pedagang kota ini memiliki arti khusus, terutama dalam
perdagangan maritim.
VOC di Batavia, telah mendominasi kekuasaannya pada abad XVII,
bahkan mendapatkan julukan Koningin van het Oosten (Ratu dari Timur)10
hal ini
disebabkan karena, memiliki letak yang strategis, baik geografis ataupun lalu-
lintas persilangan dunia perdagangan yang bercorak maritim dan memiliki arti
pertumbuhan dalam hal komoditas andalan, seperti rempah-rempah, yang
memiliki nilai yang cukup tinggi di pasar dagang dunia.
9
Lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en
Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 37 10
Lihat Mona Lohanda, The Kapitan of Batavia 1837-1942, (Jakarta: Djambatan, 1996),
hal. 7
6
Situasi tersebut menjadi keuntungan besar bagi Belanda di Batavia dan
faktor itulah yang menjadi salah satu unsur yang memiliki potensi besar dalam
memperkuat aktivitas perdagangan. Sejak masa Jan Piterszoon Coen, ia seorang
pegawai Belanda, yang dianggap lebih piawai dalam menjalankan roda ekonomi
dan berani tampil menjalankan perdagangan maritim. Hal ini didasari oleh
pendapat Coen yang ingin mensejahterakan bangsa Belanda dan orang Belanda
yang mempunyai hak legal untuk meneruskan perdagangan ini dan bahkan
memonopoli perdagangan di Batavia.11
Pada abad XVIII, kejatuhan harga barang dagangan tidak terkendali lagi, 12
sehingga, persediaan barang dagangan semakin berkurang. Hal ini sebagai
kendala yang dihadapi oleh pedagang dalam negeri maupun luar negeri. Tetapi
kecenderungan Belanda pada saat itu mengekang pedagang Cina di Batavia,
karena dianggap pandai memainkan penjualan barang dagangan, di sisi lain
terjadinya monopoli barang dagangan secara besar-besaran di tubuh VOC yang
terus meluas, serta korupsi yang melibatkan para pegawainya.
Situasi tersebut menjadi awal penyebab kejatuhan VOC di Batavia sehingga
tidak berjalan dengan optimal, dan persoalan ini juga yang menjadi collepse
dalam dunia perdagangan. faktor lain adalah kurangnya tindakan dari pihak
Pemerintah Betavia dalam mengontrol monopoli ekonomi-perdagangan antar-
Pulau, antar-penjual dan pembeli.13
11
Bernard H. M. Vlekke, Nusantara : Sejarah Indonesia, seri terj., (Jakarta: PT
Gramedia, 2008), hal. 149 12
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 231-232
13
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 231-234
7
Kekacauan dalam dunia perdagangan di tubuh VOC juga akibat dari adanya
kejadian pembunuhan orang-orang Cina oleh Belanda sehingga dapat merusak
citra Belanda. Saat itulah, dapat dikatakan Cina punya keinginan untuk
menaklukan Batavia secara mendadak.14
Karena pada 1740 Cina dibatasi dari
ruang gerak aktivitas dalam berdagang.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Tampilnya Batavia sebagai dunia perdagangan tidak semata-mata sebagai
salah satu letak Batavia yang strategis dan selalu terbuka untuk umum dalam
perdagangan antar-Pulau, antar-Asia dan sebagainya. Hal ini dapat dikatakan
Batavia berada pada posisi persilangan yang menjalin hubungan dagang di Asia
Tenggara.
Sesuai dengan fokus bahasan dalam skripsi ini, yaitu ekonomi dengan
menggambarkan Batavia sebagai kota dagang. Maka hal pokok yang harus
dijadikan pijakan adalah bahwa Batavia haruslah yang dipandang sebagai tempat
menimbun dan tukar-menukar barang dagangan yang dikaitkan dengan kebijakan
pemerintah Batavia pada Abad XVII-XVIII yang diperkuat oleh Belanda,
terutama dalam hal ekonomi-perdagangan, dan memberikan kesan penekanan
pada Pelabuhan Batavia.
Selain itu, masyarakat Batavia sangat mengandalkan aktivitas berlayar dan
berdagang. Sehingga nampak fungsi Batavia sebagai kota dagang dan kota
maritim. Namun demikian, haruslah pula dipahami bahwa kenyataannya
hubungan dagang di Batavia, dan juga di kota-kota lainnya di Nusantara, tidaklah
14
Lihat Mona Lohanda, op. cit., hal. 20
8
berdiri sendiri. Hal itu menjadi alasan utama agar dapat di fokuskan, pada hal-hal
yang terikat dengan seputar perdagangan yang meliputi: keadaan perdagangan,
komoditas barang dagangan, transaksi dan pelaksanaannya.
Untuk itu agar pembatasan tidak melebar, maka penulis batasi pada
lingkup masalah, mengenai Batavia sebagai kota dagang. Adapun masalah waktu
yang dibatasi pada abad XVII sampai XVIII. Dari uraian pembatasan tersebut
maka rumusan masalah, sebagai berikut:
1. Apa saja faktor-faktor yang mendukung Batavia sebagai pusat
perdagangan ?
2. Bagaimana peranan Batavia sebagai kota dagang ?
3. Komoditas apa saja yang diperjual-belikan di bandar niaga dan di
pelabuhan di Batavia ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
1. Penelitian mengenai Batavia sebagai kota dagang pada awal pertumbuhan dan
perkembangan dalam dunia perdagangan dimaksudkan untuk mengetahui
profil kota Batavia sebagai center of change dan center of integrasion.
2. Untuk mengetahui perjalanan sejarah VOC atau Belanda, khususnya di Batavia
yang pernah dijadikan pusat perdagangan.
3. Untuk mengetahui keadaan etnis Cina di Batavia yang menjadi pesaing dalam
ekonomi perdagangan.
9
2. Manfaat Penelitian
1. Untuk memenuhi Syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana (S1), ataupun
Sarjana Humaniora (S. Hum) pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
2. Untuk memberikan Informasi tentang sejarah pelayaran dan perdagangan di
Pulau Jawa.
3. Untuk memberikan informasi tentang Sejarah perekonomian di Batavia baik
kemajuan hingga collepse atau kejatuhan.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam bukunya D. G. E Hall Sejarah Asia Tenggara, Jan Pieterszoon
Coen adalah salah satu pendiri dari Kerajaan Belanda di Hindia Timur. Menurut
rencana, dia ingin menjadikan Batavia sebagai salah satu pusat perdagangan besar
dunia yang didasarkan pada penguasaan sepenuhnya atas laut. Dia belum
menghadapi perluasan kekuasaan teritorial yang luas manapun dan tidak tertarik
pada masalah-masalah politik pedalaman Jawa. Teritorial menurut pandangannya,
ingin menguasai pulau-pulau di Maluku. Bagian lain yang didominasi terdiri dari
daerah-daerah perdagangan yang diduduki dan memperkuat hubungan dan
dilindungi oleh kekuatan dilaut yang belum nampak.15
Dalam bukunya Bernard H. M. Vlekke Nusantara : Sejarah Indonesia,
Coen mempunyai rencana untuk membangun imperium komersil yang besar di
Asia dengan ibukotanya Batavia, dia tidak tertarik sama dengan perkembangan
politik di pedalaman Kepulauan Indonesia. Baginya hanyalah mempertahankan
beberapa posisi Belanda yang ingin dia bangun dan mengontrol total atas laut.
15 D. G. E Hall, Sejarah Asia Tenggara, seri terj., (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hal.
273
10
Tapi masih banyak yang kurang jelas dalam rancangannya. Dia tidak bisa
menjelaskan bagian mana dari perniagaan besar di Asia itu, yang akan
diperuntukkan bagi perkumpulan dagangnya dan bagian mana untuk
pemukiman.16
Dalam bukunya Van Leur Indonesia Trade and Society, dijelaskan bahwa
migrasi ke Laut Jawa sangat beragam. Hal ini timbul karena selain karena
bertambahnya imigran dari daerah lain yang seringkali menduduki daerah pesisir
Batavia. Sehingga, hal inilah yang memiliki orietasi dagang yang telah berperan
secara aktif dalam percaturan perdagangan di Indonesia. Akan tetapi karena
adanya pengaruh campur tangan Belanda, maka Batavia menjadi lebih
dominan.17
E. Kerangka Teori
Di Jawa, Islam telah berkembang seiring dengan kehadiran orang berlayar
dan berdagang, seperti para pedagang dari Arab, Gujarat dan Cina melalui jalur
laut sekitar abad XV, namun H.J De Graaf dan TH. Pigeaud dalam bukunya
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram abad
XV & XVI yang disinyalir besar kemungkinan pada abad XV & XVI.
Di Jawa sudah ada orang Islam yang menetap memakai jalur pelayaran dan
perdagangan yang menyusuri pantai Timur Sumatra hingga bergerak ke Perairan
Utara Jawa yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu, sehingga mereka sempat
singgah di sepanjang Pantai Utara Jawa, karena di sepanjang Pantai Utara Jawa
16 Lihat Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 152
17 Lihat J. C. Van Leur, Indonesia Trade and Society Lessay in Asian Social and
Economic History, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hal. 403-405
11
sangat baik sebagai pusat penyebaran Islam, hubungan politik, dan ekonomi-
perdagangan.18
Dalam beritanya Tome Pires, ia telah meyakini pesatnya lalu-lintas
pelayaran dan perdagangan di pesisir Laut Merah, menuju Ceylon (Sri Langka)
yang kemudian menyebar tiga jalur pelayaran :19
Pertama: Jalur pelayaran Laut Merah terus menuju perairan terdekat sampai ujung
Sumatra, yaitu; Pulau We dan Sabang. Lalu, melanjutkan pelayaran ke Selat
Malaka.
Kedua: Jalur pelayaran dari Ceylon (Sri Langka) melalui perairan laut menuju
ujung Sumatra, lalu kemudian menyusuri selat Malaka, dan berlabuh ke Batavia.
Ketiga: Jalur pelayaran dari Ceylon (Sri Langka) yang melewati Laut Hindia, lalu
kemudian menyusuri pesisir Barat Sumatra, dan berlabuh di Pulau Nias, dengan
mendapatkan komoditas setempat, kemudian melanjutkan pelayaran di perairan
Selat Sunda.20
Dalam pendekatan tersebut, penulis mengupayakan dengan melihat konteks
dari tingkat dalam negeri hingga ke luar negeri. Di samping itu, perdagangan
maritim antar-Asia dan Eropa masih memiliki hubungan yang sangat erat dalam
serangkaian pembukaan jalan perdagangan yaitu jalur sutera melalui jalan laut.
Hal ini berarti, telah digunakan pelayaran dan perdagangan di jalan laut,
18
Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa:
Peralihan dari Majapahit ke Mataram, seri terjemahan . (Jakarta: Grafite Pers, 1986), hal. 13
19
Armando Cortesao (ed), The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the east
from the Red Sea to Japan; Written in Malacca and Indiain 1512-1515. 2 jilid, (London: Hakluyt
Society, 1967), hal. 229
20
Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 229
12
sebagaimana telah ada jalan menuju ke selat Malaka yang di tuju ke selat Sunda,
hingga kemudian Belanda datang ke Batavia.21
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan sejarah merupakan hasil rekontruksi imajinatif terhadap
masa lampau dengan melalui proses intelektual pada metode-metode sejarah.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan pendekatan multi-dimensional.
Dengan menggunakan pendekatan multi-dimensional diharapkan dapat
memberikan gambaran sejarah menjadi lebih utuh dan menyeluruh sehingga
dihindari kesepihakan atau determinatisme. Karena hubungan antara suatu aspek
memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.22
Dalam penelitian tersebut, penulis berusaha mendeskripsikan atau
menggambarkan suatu peristiwa yang menyertainya dalam kondisi yang terjadi di
Indonesia masa lampau. Pada tahap selanjutnya, penulis berupaya merekontruksi
yang terkait „‟ Batavia Sebagai Kota Dagang pada abad XVII Sampai XVIII‟‟.
Pada tahap awal: penulis menuangkan ide dan gagasan yang terdapat di dalam
karya ilmiah ini. Kemudian penulis melakukan tahapan heuristik, yaitu suatu
tahapan atau kegiatan untuk menemukan dan menghimpun sumber-sumber atau
data-data informasi.
Hal ini yang mendukung dari tahapan awal, kemudian penulis melanjutkan
ke arah metode penelitian pustaka „atau‟, „‟Library Research‟‟, untuk
mengunjungi berbagai perpustakaan, seperti Perpustakaan Utama UIN Syarif
21
Lihat Fernand Brundel, Cilivilization and Capitalism: 15 – 18 Century, Volume II: The
Wheels of Commerce, (Collins/Fontana Press, London, 1998), hal 392
22
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992). Hal 87
13
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Iman Jama Lebak Bulus, Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya (FIB) Universitas Indonesia Depok, Perpustakaan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
(PNRI), dan Perpustakaan Kementrian Pendidikan Nasional. Penulis berusaha
mengumpulkan buku, menyeleksi buku-buku atau bahan-bahan sebagai pedoman,
dan mereview buku dengan cara membedah isi buku yang terkait dengan karya
ilmiah ini.
Selain itu, penulis melakukan penelitian dengan cara mencari atau melacak
sumber primer, penulis mengupayakan dan mengunjungi Perpustakaan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional RI dan Arsip Nasional
RI untuk menemukan sumber primer seperti membaca dokumen-dokumen
pemerintah yang berupa Arsip Nasional RI tentang Surat kepada para direktur
VOC, 10 Desember 1616, Colenbrander, Coen, 1: 245, membaca koleksi
Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge
Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, juga mendatangi Arsip Nasional RI, dan
membaca tentang Batavian Journal, 20 Agustus , Jakarta, 2001.
Untuk tahapan yang kedua, penulis menggunakan sumber sekunder, penulis
juga mendapati Makalah Mundardjito yang disampaikan dalam Seminar
Arkeologi Maritim, Perlunya dalam Pengembangan Kurikulum, Jum'at 15
Februari 2008, dari Departemen Arkeologi dan Program Arkeologi, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Indonesia, Universitas Indonesia dan Mona Lohanda dalam
14
bukunya yang berjudul‟‟ The Kapitan Cina Of Batavia 1837-1942‟‟ (1996).
Selain itu penulis mendapati makalah Didik Pradjoko, „‟Pokok-pokok
Kajian Peradaban Masyarakat dan Sejarah Kebudayaan Indonesia‟‟, sebagai
Bahan Perkuliahan Etnografi Indonesia pada FIB UI Depok, juga membaca Tesis
Didik Pradjoko dalam Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, yang berjudul ‟‟Pelayaran, Perdagangan dan Perebutan
Kekuataan Politik dan Ekonomi di Nusa Tenggara Timur: Sejarah Kawasan Laut
Sawu Pada Abad Ke XIII-XIX‟‟(2007). Juga saya dapati buku Prof. Dr. Adrian. B
Lapian, berjudul „‟Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad XVI dan XVII
„‟(2009).
Terkait dalam buku-buku ilmiah yang ada, selain itu penulis juga
membaca artikel ilmiah dalam jurnal, maupun tentang „‟Sejarah Organisasi
VOC‟‟ yang terkait dengan bidang perdagangan.
Setelah itu data-data terkumpul, melalui verifikasi untuk digunakan sebagai
rujukan utama dalam upaya-upaya mendeskripsikan seputar tentang tema-tema
yang akan diangkat. Data utama yang kemudian dianalisa kembali oleh penulis
sesuai data-data yang berhubungan dengan sejarah Batavia sebagai kota dagang.
Perdagangan dianggap lebih dominan dan memiliki potensi besar bagi kemajuan
dunia perdagangan dan sisi lain terjadinya collapse.
15
Untuk tahapan kritik, penulis berupaya keras melakukan penyelidikan,
pencacatan, menganalisa dan kemudian diuji secara keabsahannya tentang
keaslian sumber (otentitas) melalui kritik intern dan ekstren.23
Tahapan selajutnya adalah Interprestasi. Pada tahapan ini merupakan
tahapan menafsirkan mencatat fakta-fakta serta menetapkan makna yang saling
berhubungan dari mulai fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, sehingga
diperoleh data atau keterangan dari permasalahan.
Kemudian berlanjut pada tahapan terakhir adalah Historiografi, sebagai
upaya penulisan sejarah secara berurutan melalui satu rangkaian heuristik,
verifikasi dan interprestasi. Historiografi merupakan tahapan terakhir sebagai
salah satu cara untuk mengurutkan secara sistematik yang diatur sesuai
buku„‟pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)‟‟.24
Dalam
tahapan historiografi ini, penulis berusaha menyusun cerita kembali dalam bentuk
sejarah sesuai rangkaian urutan peristiwa, berdasarkan kronologi kejadian yang
terkait.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis
yaitu,25
suatu cara untuk mencari akar permasalahan dan mencari jalan keluar dari
permasalahan itu dengan cara menguraikan, menafsirkan, mencatat, dan
melanjutkan proses analisa data-data yang telah diperoleh. Hal ini yang kemudian
memudahkan proses untuk pengetikan.
23
Lihat Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Yayasan Universitas Indonesia,
1975), hal. 58-59 24
Lihat Hamid Nasuhi. dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakarta : CeQDA (Center for Quality Development and Assurance ) Universitas Islam
Negreri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007 25
Lihat Louis Gottschalk, op. cit., hal. 30
16
G. Sistematika Penulisan
Penulis akan membagi penulisan skripsi ini dalam lima bab, dan masing-
masing bab terdiri dari beberapa bab sebagai berikut:
Bab pertama dalam skripsi ini adalah bab pendahuluan yang berisikan
uraian latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab dua, berisikan uraian pengaruh pelayaran dan perdagangan terhadap
agama Islam di Pulau Jawa, berisikan tentang peranan perdagangan dengan tujuan
menyebarkan agama Islam terkait adanya tokoh Islam baik ulama maupun
bangsawan, yang berpengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan di Jawa.
Politik yang dibicarakan disini, terkait dengan ulama dan bangsawan yang
menjalin hubungan politik pada masa kekuasan Demak yang telah menjelma
menjadi kekuatan besar yang sudah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan
Islam lainnya, dan keterkaitan ekonomi–perdagangan yang berhubungan dengan
kota-kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa, semenjak kekuasaan kerajaan Demak.
Bab tiga, mengenai profil Batavia sebagai kota dagang membahas tentang
peralihan kekuasaan pada masa Tubagus Angke seorang pemimpin Syahbandar
Jayakarta yang dilanjutkan masa pimpinan Jan Piterszoon Coen seorang Gubernur
Jenderal VOC, kemudian Batavia menjadi bandar niaga yang strategis bagi Asia
Tenggara. Semenjak, Batavia menjadi kota pelabuhan, di Pelabuhan terdapat
Aktivitas Bongkar Muat Barang Dagangan yang diupayakan oleh Syahbandar,
17
dan Gubernur Jenderal Belanda yang berperan dari pemungutan Bea dan Cukai di
Pelabuhan. Serta adanya dukungan hubungan masyarakat dengan dunia luar.
Bab empat, kondisi perdagangan maritim Batavia yaitu Menjelaskan tentang
kondisi perdagangan maritim Batavia yang meliputi: perdagangan Batavia dari
darat hingga laut, kemudian jejak- jejak sejarah Sungai Ciliwung, perdagangan
asing, Batavia sebagai pusat perdagangan internasional, komoditas ekspor, impor
di Batavia, dan etnis Cina yang berdagang.
Bab lima, membahas penutup yang merangkum semua pembahasan yang
telah dijelaskan dan ditampilkan dalam bentuk kesimpulan.
18
BAB II
PENGARUH PELAYARAN DAN PERDAGANGAN TERHADAP AGAMA
ISLAM DI PULAU JAWA ABAD XVII-XVIII
A. Hubungan Perdagangan dengan Perkembangan Agama Islam di Pulau
Jawa.
Pada tahun 30 Hijriah atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun
dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim
delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri.
Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman
ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di
pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan
Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi
abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.1
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum
secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah
yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam
pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan
bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak
orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah,
1 http://www.rinduallah.com/dawah/sejarah (Dikunjungi tanggal 17 Desember 2011).
19
pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H /
1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi‟i. Adapun
peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di
Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya
adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada
makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan
Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan
makam para pedagang Arab.2
Pada masa ini pedagang Nusantara sudah menjadi pelaut sekaligus
menjadi pedagang utama di wilayah Timur jauh. Komoditas perdagangan andalan
Nusantara adalah rempah-rempah dan kayu damar. Kerajaan-kerajaan di
Nusantara yang pada masa ini mengalami masa kejayaan dalam dunia pelayaran
dan perdagangan antara lain Kerajaan Hindu Tarumanegara di Jawa Barat pada
abad V M yang sudah menjalin hubungan perdagangan sangat baik dengan bangsa
India dan Cina dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra pada abad VII M dengan
angkatan lautnya yang mendominasi jalur perdagangan laut melalui Asia
Tenggara di Selat Malaka.3
Jauh kebelakang sebelum kedatangan bangsa Portugis atas sebelum abad
XVI Masehi, pelabuhan Sunda Kalapa. Boleh dikatakan, bahkan Sunda Kalapa
banyak didatangi kapal-kapal yang berlayar sangat jauh dari penjuru negeri.
2 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
& XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007).
hal. 3 dan 4
3 Taufik Ahmad, Jakarta Berawal dari Pelayaran dan Pelabuhan, (Jakarta, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Museum Bahari, 2008), hal. 6
20
Bandar terpenting dari Kerajaan Pakuan Pajajaran, tidak dipastikan dengan ilmu
pelayaran dan perdagangan yang memadai. Bahkan tidak hanya dari berbagai
macam daerah yang telah mengekalkan kawasan Asia Tenggara, hal inilah yang
menjadi pesat dengan kedatangan orang Palembang, Tanjungpura (Kalimantan
Selatan), Maluku, Gowa (Makasar), dan Madura tetapi juga berbagai kapal
berdatangan baik negara di Asia maupun kawasan Timur-tengah sekalipun,
semisal; Cina, Arab, Persia dan Ryuku (Jepang).
Kedatangan kapal-kapal ini tidak hanya untuk kepentingan perdagangan
saja, melainkan sebagai salah satu yang memiliki menyebarkan agama Islam.
Negara-negara Asia seperti Cina dan India telah banyak mengirimkan pendetanya
dari dan ke Nusantara yang ikut serta dalam pelayaran di Nusantara. Negara-
negara Timur-tengah seperti; Arab, Persia, dan Turki pada abad XIII M, dalam
pelayarannya ke Nusantara selain pedagang-pedagang yang memiliki misi untuk
menyebarkan agama Islam.4 Hal ini karena, jalan pelayaran dan perdagangan di
jalur laut yang menyusuri Pantai Timur Sumatra melalui Laut Jawa ke Nusantara
bagian Timur Jauh sudah ditempuh sejak zaman dahulu. Para pedagang yang telah
beragama Islam, dalam perjalanannya telah singgah di banyak tempat, karena
pusat-pusat pemukiman di Pantai Utara Jawa ternyata lebih tepat.
Salah seorang yang terkenal dan tertua di antara para penyebar agama
Islam di Pulau Jawa adalah Raden Rahmat dari Ngampel Delta. Ia diberi nama
sesuai kampung halamannya yaitu Sunan Ampel. Sejak dahulu dalam hal
pelayaran dan perdagangan di Jawa Timur, Raden Rahmat telah berhubungan
4 Lihat Anwar Ibrahim, dkk, Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 78-79
21
dagang dengan tokoh dari Negeri Campa.5 Setelah Raden Rahmat bersama putera
seorang dâ‟î Arab di Campa, pedagang Muslim memperoleh kesempatan baik di
istana Majapahit, hingga kemudian tersebar luas. Raden Rahmat memegang peran
penting dalam aspek perniagaan besar yang sangat penting dalam menyebarkan
agama Islam di Pulau Jawa dan dipandang sebagai pemimpin wali sanga dengan
gelar Sunan Ampel.
Sejarah Campa disebut di dalam Hikayat Hasanudin versi Banten. Dalam
hikayat tersebut, bahwa Kerajaan Campa (Kamboja) sudah ditaklukan oleh „‟Raja
Koci‟‟ Campa, akibat adanya serangan Cina terhadap Vietnam pada tahun 1471.
Besar kemungkinan pedagang Muslim tersebut, telah datang ekspedisi besar
melalui jalan laut sebagai jalan utamanya guna menyusuri selat Sunda dan
dilanjutkan ke Pantai Utara Jawa, setelah perjalanan pelayaran dan
perdagangannya hingga diluruskan ke daerah yang di tuju yaitu Surabaya. Untuk
mencari dukungan dan perlindungan orang-orang Muslim, sehingga jumlah
pedagang Muslim dan masyarakat Pribumi, Melayu, Cina mereka akan bertambah
dan berkumpul di tempat tinggal Raden Rahmat yang berpusat di daerah Ngampel
Delta.6 Raden Rahmat bersama saudaranya, Raja Panjita, berangkat berlayar dan
berdagang melewati rute perjalanan dari Negeri Campa ke arah Jawa Timur pada
tahun 1471, sambil menyebarkan agama Islam.
Karena itu, sekali lagi kita dapatkan bagian Timur Pulau Jawa menjadi
persimpangan jalur laut, berhubungan dengan Gujarat maupun indo-cina, sebagai
petunjuk telah ada golongan menengah kaum pedagang.
5 Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama: Kajian
Sejarah Politik Abad XV dan XVI, seri terjemahan, op. cit., hal. 23 6 Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, op. cit., hal. 23
22
Bahkan Sunan Giri pada masa mudanya adalah anak angkat Nyai Gede
Pinatih, seorang isteri pedagang asing yang sudah berusia lanjut yang telah
mengadakan pelayaran dan perdagangan ke arah Tanjung Pura (Kalimantan
Selatan) dan Lawe (Kalimantan Selatan). Ki Gede Pandan Arang yang bekerja
sebagai penjual beras, berdakwah agama Islam. Sunan Kalijaga mengungkapkan
pendapatnya mengenai orang yang menyamar sebagai penjual alang-alang adalah
benar Ki Gede Pandan Arang. Semenjak itu, telah ada dugaan bahwa di dalam
Kerajaan Majapahit di banyak tempat terdapat pasar perniagaan besar yang
membentuk pusat hubungan dagang dan ke Islaman ke pelosok-pelosok
pedalaman yang hendak menyusuri Sungai Brantas. Ini merupakan bukti yang
telah menunjukkan secara tepat bahwa di pedalaman Majapahit telah ada
pedagang-pedagang kecil hingga besar di sekitar Sungai Brantas yang di tuju ke
daerah pedalaman Majapahit.
Dalam buku Pigeaud, Java,7 didapatkan perhatian secara khusus bahwa
pada abad XIV dan awal abad XV, yang banyak terlibat bukan hanya orang-orang
Jawa yang berpengaruh besar terhadap pedagang Muslim dengan hadirnya jalan
lintas menuju pedalaman. Mereka ialah yang berasal dari keluarga pedagang Cina
(Indocina), yang sejatinya mempunyai misi berdagang dan mengislamkan
penduduk setempat baik perorangan maupun kelompok. Dalam tradisi Jawa,
diungkapkan ada seorang adi pati, bawahan raja di Terung (Sungai Brantas) telah
memiliki darah keluarga Cina, yang melantik menjadi Imam pertama di Masjid
tua di Ngampel Delta. Di sini terlihat jelas, bahwasannya telah ada hubungan
7 Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, op. cit., hal. 23
23
Islam antar golongan menengah, dengan diikuti pedagang-pedagang yang
beragama Islam, yang telah memilih jalan laut sebagai jalan utamanya. Seringkali
diikutsertakan pedagang Cina guna menyusuri Laut Cina Selatan hingga yang di
tuju ke arah Laut Jawa dan singgah secara menetap di Jawa Timur.
Lain halnya dengan Tome Pires adalah seorang apoteker Lisabon yang
dikirim ke India sebagai agen obat-obatan‟ ketika ia berusia 40 tahun. Sesudah
bekerja kurang lebih setahun di Cannanoree dan di Cochin di Pantai Barat India
Selatan, ia naik pangkat setelah dikirim ke Malaka oleh Alfonso d‟ Albuqurque.
Sewaktu ditempatkan di Malaka, ia melakukan perjalanan ke Pantai Utara Jawa
selama beberapa bulan. Dalam perjalanan Tome Pires ke Jawa Tengah, wilayah
Demak menjadi wilayah yang strategis, besar kemungkinan telah ada hubungan
dagang dengan pedagang Muslim yang berlayar dan berdagang dari Semarang
hingga yang di tuju ke arah Rembang, dengan membawa misi berdagang dan
mendakwahkan agama Islam.
Semenjak, masa pimpinan awal Raden Patah yang hendak mengawali
penyebaran agama Islam di Jawa Tengah melalui kegiatan dagang. Bahkan, di
sepanjang Pantai Utara Jawa pada abad XVI, telah ada kakek tua di Gresik, yang
dimaksudkan adalah Raja Demak yaitu Raden Patah yang berangkat berlayar
mengelilingi Pantai Jawa Barat yang di tuju ke arah Cirebon, untuk melawan
orang-orang kafir yang ada di sana. Setelah di Cirebon, ia diberi gelar pate yang
diterjemahkan sebagai tuannya, sejak berkuasanya secara penuh atas wilayah
24
Cirebon tahun 1470-1475.8 Demikian juga halnya, ia telah mengadakan
penyerbuan atas pelawanan-perlawanan dan telah mengalahkan Palembang
(Sumatra Selatan), dan Jambi (Provinsi Jambi) di Sumatra.
Tome Pires, telah memberi sumber informasi yang lebih, di dalam
bukunya „‟The Suma Oriental of Tome Pires‟‟, pada tahun 1513 telah ada bentuk
hubungan dagang dengan pedagang Muslim yang berpusat di Pantai Utara Jawa.
Menurutnya bahwa yang memegang kekuasaan di Cirebon adalah seorang lebe‟
Uca atau yang bernama Husain jadi patih dari Demak. Nama tersebut
dimaksudkan adalah Raden Patah). Selain itu Tome Pires, melukiskan di dalam
bukunya tentang Gresik elle veio teer a Dema, Tome Pires sendiri telah
menjelaskan secara utuh telah ada bentuk hubungan dagang di Nusantara dan
keislaman di Gresik, yang menjadi pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.9
Dalam cerita Aria Damang, yaitu cerita yang berasal dari Palembang,
disebutkan bahwa yang menjadi raja Demak pertama adalah Raden Patah.
Sementara dalam naskah cerita babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah,
diceritakan tentang raja Demak yang disebut sebagai Sabrang-Lor, yang
diterjemahkan sebagai tempat tinggalnya „‟di Seberang Utara‟‟(Demak). Sabrang
Lor berlayar menyebrang ke Utara „atau‟ ke arah Malaka, yang mempunyai
8 Lihat Armando Cortesao (ed), The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the
east from the Red Sea to Japan; Written in Malacca and Indiain 1512-1515. Jilid 2, (London:
Hakluyt Society, 1967), hal. 195-200
9 Tome Pires adalah seorang apoteker Lisabon yang dikirim ke India sebagai agen obat-
obatan‟ ketika ia berusia 40 tahun. Sesudah bekerja kurang lebih setahun di Cannanoree dan di
Cochin di Pantai Barat India Selatan, ia naik pangkat setelah dikirim ke Malaka oleh Alfonso d‟
Albuqurque. Sewaktu ditempatkan di Malaka, ia melakukan perjalanan ke Pantai Utara Jawa
selama beberapa bulan. Pada tahun 1515, ia kembali ke Cochin, untuk menyelesaikan bukunya, „‟
The Suma Oriental of Tome Pires‟‟, yang sebagaimana dikatakan pada halaman judul dari
terjemahan Inggris: suatu laporan dari negeri-negeri Timur dari Laut Merah hingga ke Jepang.
Lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 424
25
armada sebanyak 40 kapal jung yang kesemuanya itu, berasal dari kekuatan
orang-orang Muslim sebagai daerah-daerah taklukan Jepara.10
Selain itu dalam babad Jawa Tengah Raden Patah disebut juga Pate Rodim
(Demak). Raden Patah dalam pandangan Slamet Muljana adalah sebagian
walisongo yang merupakan tokoh penyebaran Islam di Pulau Jawa. Ia merupakan
keturunan pedagang Cina Muslim. Kerajaan Demak tidak bisa dilepaskan dari
peran pedagang Cina Muslim yang telah membentuk simpul-simpul keislaman.
Malah, Raden Patah adalah penguasa pertama Demak yang bergelar „‟Jin Bun‟‟.11
Dalam The Suma Oriental of Tome Pires dikatakan Trenggana, yang
besar kemungkinannya adalah Raden Patah dan ayahnya ikut serta dalam
peresmian Masjid Raya di Demak tersebut kemudian menjadi pusat kerajaan
Islam pertama di Jawa Tengah. Menurut beberapa catatan tampaknya lebih
dikenal dengan ibukota Demak, yang didirikan pada pertengahan abad XV.12
Yang kemudian menjadi pusat ibadah bagi masyarakat Muslim dan berdakwah
agama Islam.
Berlanjut pada abad XVI, Tome Pires menyebut secara berkali-kali
tentang Jepara di dalam bukunya „‟The Suma Oriental of Tome Pires‟‟ yang
dimaksudkan adalah Pate Unus sebagai tuannya, yang telah berkuasa penuh atas
wilayah Jepara. Pati Unus telah berperan di dalam negeri Jepara serta pemegang
kota Pelabuhan Jepara. Ketika Tome Pires meyakini, bahwa Pate Unus sangat
10 Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, op. cit., hal. 23 dan lihat Donald
Maacintyre, Sea Pasifis: A History from the Sixteenth Century to the Present Day (London:Arthur
Baker Limeted, 1972), hal. 35-38
11
Tulisan Munawir Aziz yang berjudul Jejak Cheng Ho, Antitesis Benturan Peradaban
dalam harian Kompas, Minggu, 17-10-2010, hal 22.
12
Lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 195-200
26
berperan dalam berdagang dan menyebarkan agama Islam dan sekaligus
membentuk budaya keislaman antara wilayah Jepara dengan Demak. Pate Unus
telah mendapatkan kekuasaan yang sangat penting, baik ke Islaman atas wilayah
Jepara dan hubungan dakwah sampai ke seberang lautan Jepara yaitu Demak. Pate
Unus juga memiliki tempat terbuka untuk umum dan bagi orang-orang Muslim di
Jepara, sampai menyusuri ke Pantai Utara Jawa Tengah. Ini merupakan route
perjalanan jarak dekatnya.13
Hal tersebut terkait dengan kota-kota pelabuhan di Jawa pada abad XV
dan pada awal abad XVI. Yang agaknya telah ada hubungan dagang jarak dekat
dan hubungan dagang jarak jauh dalam berlayar untuk membentuk ke Islaman di
Demak, Jepara, Cirebon, Banten, Tuban, Surabaya, Aros Baya, Wiraba dan
Pasuruan.
Pada tahun 1521-1546 Sultan Trenggana telah mendakwahkan agama
Islam „atau‟ penyebaran agama Islam yang dilakukan di seluruh wilayah Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat meliputi; Cirebon, Sunda Kelapa (Jakarta),
dan Banten.14
Semenjak tahun 1542, atas bantuan kekuasaan Sultan Trenggana,
Nurullah atau yang lebih dikenal Sunan Gunung Jati yang merupakan saudara dari
Sultan Trenggana yang telah berangkat berlayar ke arah Demak guna menyusuri
Pantai Jawa Barat yang di tuju Banten. Hal tersebut mempunyai misi mendirikan
komunitas muslim di wilayah raja Pajajaran. Menurut pemberitaan Portugis,
penguasa agama Islam Banten yang baru, dalam tahun 1546, telah membidani
„atau‟ membantu Kerajaan Demak atas serangan ke Panarukan (di ujung Timur
13 Lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 169-170
14
Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, op.cit., hal. 23-79
27
Pulau Jawa), namun serangan tersebut menimbulkan Sultan Trenggana meninggal
dunia.
Sementara, dari kisah Sejarah Banten Nurullah menyerahkan Cirebon
sudah sejak lama yang telah dikuasai Demak kepada salah satu puteranya.15
Namun ketika puteranya ini meninggal tahun 1552, ia memutuskan meninggalkan
Banten dan menetap di Cirebon. Sementara itu di Banten tinggal salah seorang
puteranya yang lain, yaitu Hasanuddin yang kemudian menjadi raja. Selama di
Cirebon, Nurullah dan Sunan Gunung Jati telah mengabdikan dirinya untuk
memimpin wilayah Cirebon dan menyebarkan agama Islam.
Namun di wilayah Mataram, besar kemungkinan Mataram mempunyai
koneksi langsung lebih jauh lagi, melewati Laut Asia ke arah Timur-tengah,
karena Mataram yang merupakan Kerajaan besar Muslim, posisinya berada di
Tengah-tengah Pulau Jawa, sudah menjalin hubungan ekonomi dengan Syarif
Makkah, dan sekaligus untuk mendapatkan gelar sultan sebagai penguasa. Hal ini,
dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan atas penguasa Mataram yaitu
Pangeran Rangsang dengan mengirimkan perwakilan untuk berangkat berlayar ke
Makkah pada tahun 1641.16
Sebagai dewan perwakilan di Mataram, ia
menumpang kapal dagang Inggris untuk berlayar ke India kemudian ke Mekkah
menemui Syarif Makkah. Syarif Makkah berkeinginan memberikan gelar sultan
15 lihat Supratikno Raharjo, Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah
Diskusi), (Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1998), hal.
26-27
16
Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia, edisi ke-3( Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007), hal 47
28
kepada Pangeran Rangsang sejak Sultan Agung berkuasa penuh atas wilayah
Mataram.
B. Peranan Politik dalam Pelayaran dan Perdagangan di Pulau Jawa
Pada tahun 1416, seorang Muslim Cina, Ma Huan, mengunjungi daerah
pesisir Jawa dan memberikan suatu laporan di dalam bukunya yang berjudul Ying-
Yai Seng-lan (Peninjauan tentang Pantai-Pantai Samudra). Laporan Ma Huan
memberi kesan tersendiri, bahwa agama Islam dianut dilingkungan istana di
Jawa.17
Berita Ma Huan tersebut dalam tahun 1416, ia mengungkapkan telah ada
hubungan politik kepada pelaut dan pedagang Muslim yang berlayar dan
berdagang di sekitar Majapahit dan Gresik.
Bahkan berita tersebut memberikan kesan tersendiri dan penjelasan, yang
sesungguhnya di wilayah Majapahit telah mempunyai koneksi politik yang lebih
erat dengan tumbuhnya aktivitas pelayaran dan perdagangan dikalangan orang-
orang Muslim. Semenjak tumbuhnya dan berkembangnya perniagaan besar di
Samudra Pasai dan Malaka, berdampak terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Pulau
Jawa dan daerah-daerah di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa. Situasi ini yang
memunculkan, adanya perkembangan politik dan tumbuhnya negara-negara baru
seperti; berdiri kerajaan-kerajaan Islam, yakni Kerajaan Demak (kurang lebih
1500- 1550), Kerajaan Islam Banten, Kerajaan Pajang (1546- 1580), Kerajaan
Cirebon dan lain sebagainya18
Hal tersebut terkait dengan beritanya J. C. Van Leur yang mengungkapkan
adanya pertentangan antara keluarga bangsawan dengan adanya kekuasaan pusat
17 http://ekkyij.multiply.com/journal/item/10 (dikunjungi tanggal 16 juli).
18
Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 19
29
Majapahit serta aspirasi-aspirasi politik keluarga bangsawan untuk berkuasa
sendiri atas negara, maka penyebaran agama Islam, melewati jalan trayek
pelayaran dan perdagangan menjadi alat politik. Pada awalnya serentetan
pedagang yang berjualan hingga dapat mendakwahkan agama Islam di Pantai
Utara Jawa, tetapi kemudian dipengaruhi adanya proses pedagang Muslim hingga
mencapai kekuasaan dan kekuatan politik, seperti contoh di Demak.19
Semenjak Tome pires mengungkapkan secara jelas bahwa telah ada
kerajaan-kerajaan Islam yang bercorak Islam yang menjalin hubungan politik di
daerah-daerah pedalaman Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat di samping
adanya kerajaan yang bercorak Islam ke arah nuansa politik di Demak dan daerah-
daerah di Pantai Utara Jawa Timur, Jawa Tengah, sampai daerah Jawa Barat. Saat
itu Tome Pires meyakini dan memberikan informasi mengenai Raja Daha
(Kediri), sebagai Vigiaya dan kapten-utama.20
Mungkin saja yang jadi patihnya
adalah Patih Gusti Pate atau Raden Patah, sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahannya.
Sejak berdirinya Demak, dimulailah pemegang dari kalangan elite terhadap
perniagaan besar dan kekuasaan kesultanan dari Pate Rodim atau Raden Patah,
diikuti oleh Pate Unus, kemudian dilanjutkan oleh Sultan Trenggana yang sudah
meluaskan kekuasaan politiknya sampai ke wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat. Pada waktu itu, Demak merupakan kota perniagaan besar di
19 Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 19 dan
lihat Makalah Hasan Muarif Ambary, Dinamika Sejarah dan Sosialisasi Islam Asia Tenggara
Abaf XI-XVII M, (Jakarta: Kongres Nasional Sejarah, 1996), hal. 6-7 20
Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 19
30
Nusantara dan kiprah Pate Rodim dalam berpolitik di Jawa, hal ini terkait dengan
uraian di atas. Maka Panarukan merupakan wilayah yang pernah dijajah dan
tunduk kepada kekuasaan Demak yang di pimpin Sultan Trenggana pada tahun
1546.
Sultan Trenggana telah melakukan kebijakan politik dengan cara merubah
haluan secara besar-besaran ke arah masyarakat Muslim di Jawa Tengah. Untuk
mempererat tali persaudaraan dalam mendakwahkan Islam dan menanamkan
nuansa politik di Demak, secara bertahap meluaskan kegiatan dagang dan
menyebarkan Islam ke arah Jepara dan Tuban. Besar kemungkinan, telah
mendapat dukungan dari persaingan politik tersebut. Hal ini terkait dengan kota-
kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa.
Semenjak itu, dapat dipastikan kekuasaan Demak telah menjalin hubungan
dagang secara langsung maupun tidak langsung terhadap kerajaan-kerajaan Islam
yang terdapat di sepanjang Pantai Utara Jawa.21
Semenjak itu pula Sultan
Trenggana telah mengubah kehidupan masyarakat dalam hal menggunakan trayek
pelayaran dan perdagangan, sehingga berhasil mengubah nuansa perpolitikan
secara besar-besaran.
Raja ke-III adalah Sultan Trenggana, yang secara khusus telah berperan
secara aktif dalam berpolitik, untuk melakukan kegiatan berlayar dan berdagang
di Pantai Utara Jawa. Hal tersebut, untuk mendapatkan perhatian dan menarik
simpati di dalam negeri hingga ke luar negeri. Dalam menjaga jalannya lalu-lintas
21
Lihat Supraktikno Rahardjo dan Wiwik Djuwita Ramelan, Demak Sebagai Kota
Bandar Dagang Di Jalur Sutra ( Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hal. 18 dan 19
31
berlayar disertai politik dan semakin berkembang dengan pesat, dengan adanya
kedatangan orang-orang besar dari kalangan pedagang dari Arab, Melayu, Persia,
Turki Cina, yang baru saja tiba di Pulau Jawa. Pada abad XVI, Demak menjadi
semakin berkuasa di Pulau Jawa, sejak Sultan Trenggana telah menjalankan
politik Islam, dengan tujuan untuk mencapai tahta tertinggi diikuti motifnya
ekonomi-politik di Pulau Jawa.22
Kerajaan Demak kemudian semakin tumbuh dan berkembang dan
bertambah jumlah pedagang Muslim dan mereka di antaranya terdiri dari orang
Pribumi, Melayu, dan Cina, mereka menyusuri Pantai Utara Jawa. Maka semenjak
itu Demak yang di pimpin oleh Sultan Trenggana (1504-1546) menjadi pusat
perniagaan besar, politik dan kekuasaan Islam dan semuanya dalam pengawasan
Sultan Trenggana dalam berpolitik di sepanjang Pantai Utara Jawa. Hal tersebut,
seperti dalam Denys Lombard,23
maka berita tersebut berkesan dengan adanya
orang-orang Muslim meliputi; Pribumi, India, Turki Melayu, dan Cina. Dengan
adanya kegiatan berlayar dan berdagang di sepanjang Utara Jawa, semenjak
Sultan Trenggana telah berperan secara aktif dan menanamkan aspirasi-aspirasi
politiknya di Juwana, Pati, Rembang, dan terutama Kudus dan Jepara.24
Kondisi ini yang dialami dalam nuansa perpolitikkan, sejak masa sultan
Trenggana yang mendatangkan jumlah masyarakat Muslim, Melayu yang pesat.
Perkembangan agama Islam pada masa Sultan Trenggana di Demak melalui
22
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu Bagian II: Jaringan
Asia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 52 23
Denys Lombard, op. cit., hal. 52 24
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia
, (Kudus: Menara Kudus, 2000), hal. 20-30 dan lihat Supratikno Raharjo, Diskusi Ilmiah Bandar
Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, op. cit., hal. 26-27
32
aktivitas hubungan politik dengan beberapa kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang
Pantai Utara Jawa meliputi; Banten, Cirebon, Demak, dan Jepara.
Dengan demikian kota Demak menjadi kota Muslim,25
yang berhasil
menjalankan hubungan politik dengan beberapa kerajaan-kerajaan Islam di
sepanjang Pantai Utara Jawa meliputi; Banten, Cirebon, Demak, dan Jepara. Besar
kemungkinan, sebagai tempat persekutuan pedagang Muslim pada saat itu.
Persaingan antara kota-kota tersebut tentu turut melemahnya posisi vis-a‟-vis
politik ekspansi Mataram. Pada tahun 1619 terjadi perubahan mendasar dalam
politik berlayar dan berdagang dengan pelabuhan-pelabuhan ini, Tuban menyerah,
Gresik diduduki tahun 1623 namun Surabaya tetap bertahan sampai 1625. Meski
begitu, dapat dikatakan bahwa pesisir sudah berada di tangan Sultan Agung
(Mataram).26
C. Dinamika Ekonomi Perdagangan
Sejak zaman Dinasti Ming, peningkatan akan kebutuhan barang–barang
mewah terbesar di Nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit, sekitar abad
XIV. Barang mewah tersebut yang dipenuhi sutera dan porselin dari Cina. Bahkan
dikirim utusan khusus dengan gelar Arya atau Patih untuk melakukan
perdagangan diplomatik dengan Cina. Ekonomi perdagangan tersebut meningkat
lebih pesat lagi ketika ada misi perjalanan Cina yang dipimpin Zheng He (Cheng
Ho) yang diutus oleh Kaisar Yongle dari Dinasti Ming untuk memperluas
25 Supratikno Raharjo dkk, Demak Sebagai Kota Bandar Dagang Di Jalur Sutra, op. cit.,
35 dan lihat Tulisan Munawir Aziz, op. cit., hal 22 26
Prof. Dr. Adrian. B Lapian, op. cit., hal. 52
33
pengaruh Ming di luar perbatasan Cina yang berlangsung antara tahun 1405 -
1433 M.27
Misi tersebut akhirnya memunculkan kota-kota pelabuhan di sepanjang
Pantai Utara Jawa yang terbentuk akibat adanya perdagangan, sehingga
bertambahnya keramaian arus perdagangan di Pulau Jawa dan sekitarnya pada
abad XV. Sejak berdirinya Demak,28
dan merupakan emporium pada abad XV
dan abad XVI, yang berhasil mengadakan hubungan ekonomi-perdagangan secara
langsung maupun tidak langsung dengan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang
Pantai Utara Jawa. Demak telah menjalankan fungsinya sebagai jembatan
penghubung dari aktivitas berlayar dan berdagang „atau‟ transito antara daerah-
daerah yang berpenghasilan rempah-rempah di Nusantara bagian Barat dengan
Malaka, dan sebagian besar ke pasar-pasar di Nusantara. Oleh karena itu,
timbullah keinginan Demak untuk menggantikan kedudukan Malaka sebagai
pusat perdagangan dalam negeri hingga ke luar negeri. Untuk mencapai tujuannya
itu terlebih dahulu mengusir bangsa Portugis yang berkuasa penuh di sana sejak
tahun 1511. Pada tahun 1513, Demak mengerahkan armada dagangnya untuk
menyerang Portugis di Malaka di bawah pimpinan Pati Unus, tetapi penyerangan
itu mengalami kegagalan total.
Sementara itu, ekonomi-perdagangan Kerajaan Demak dapat berkembang
pada masa kekuasaan Sultan Trenggana dan selalu diramaikan dalam kegiatan
aktivitas berlayar dan berdagang dalam hal ekonomi-perdagangan dari dalam
27 Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2004), hal. 83-86 dan lihat Tulisan Munawir Aziz, op. cit., hal 22
28
Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 35 dan
lihat Makalah Hasan Muarif Ambary, op. cit., hal. 6
34
negeri sampai ke luar negeri. Hal ini didukung dari penghasilan utamanya adalah
berbagai macam jenis tumbuhan, seperti; beras, jagung, gula, terutama lada dan
rempah-rempah yang kemudian dikirim ke Jawa Barat.29
Beberapa saudagar Palembang ikut berdatangan ke tempat ini, dengan
membawa berbagai mata barang dagangan. Barang dagangan tersebut kemudian
ditukar kembali dengan kain belacu yang berasal dari India. Pertukaran barang
dagangan tersebut juga terjadi dengan Semenanjung Malaya (Melayu), yang
memanfaatkan waktunya dan memainkan kegiatan perdagangannya itu di Malaka
dengan masyarakat yang datang dari Pulau Jawa. Perdagangan antara Malaka
dengan Pulau Jawa yang dibantu melalui pelabuhan Sunda Kalapa semakin erat
terlebih dengan munculnya kota-kota pelabuhan di Pulau Jawa seperti Banten,
Jepara, Cirebon, Gresik, dan Tuban sebagai penghasil beras.30
Dengan demikian ekonomi perdagangan di Nusantara memperlihatkan
situasi persaingan dagang yang semakin hebat dan selalu diramaikan dengan
pesatnya pedagang-pedagang asing seperti; dari Gujarat, Persia, Cina, Turki,
Pegu, (Birma atau Myanmar), Keling, Portugis dan lain sebagainya, yang
dipusatkan di Pulau Jawa. Demikian juga para pedagang seperti; Patih Adam,
Patih Kadir, Patih Yusoff, Pati Unus dan Utimutiraja ikut berdatangan melalui
jalur laut menuju Demak.
Selain itu, dalam penerapan unsur Melayu-Jawa dalam berdagang dapat
dilihat dalam tradisi sastra budaya di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Hang
29
Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 35
30
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; Dari Emporium
Sampai Imperium, (Jakarta, Gramedia, 1988), hal. 3-4
35
Tuah.31
Dahulu rempah-rempah diangkut dari Maluku Utara ke Hitu dan Banda
serta Pelabuhan Gresik yang dijalankan oleh Sultan Giri semenjak menjalin
hubungan dagang dengan dua hulu ini agar membentuk suatu persekutuan dagang
di Pulau Jawa.32
Semenjak itu, pesatnya kedatangan para pedagang dari luar negeri yang
selalu diramaikan setiap harinya mengakibatkan transaksi barang-barang
dagangan semakin banyak terdapat di Pulau Jawa. Hal itu, membawa dampak
positif dan membawa angin segar bagi pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Utara
Jawa. Pelabuhan-pelabuhan tersebut semakin dipadati oleh transaksi-transaksi
para pedagang dari dan ke arah Malaka yang kemudian mereka kembali ke Pulau
Jawa.33
Dari Jawa mereka terus meluaskan pengaruhnya ke arah kepulauan rempah-
rempah, yaitu Maluku. Dari Maluku Utara ke Hitu kemudian ke Banda mereka
membawa rempah-rempah seperti pala dan cengkeh. Para pedagang harus
menempuh jalan secara bertahap dan memakan waktu lama. Dalam perjalanannya
tersebut mereka setelah itu dari tempat ini mereka membawa rempah-rempah
tersebut ke bagian Barat Indonesia, tepatnya ke arah pelabuhan-pelabuhan yang
ada di Pantai Utara Jawa.34
Pada abad XV, Demak dan Malaka merupakan mata
rantai yang tidak dapat dipisahkan antara dua hulu ini, Demak dan Malaka telah
berhasil menjadi pusat utama lalu-lintas pelayaran dan perdagangan rempah-
31 Teks klasik Melayu yang dianggap oleh R.O.Winstedt sebagai,‟‟…Malayo-Javanese,
Kuala Lumpur,1969, hlm 62 dan Lihat Anthony Reid, op. cit., hal. 218-223 32
Lihat Prof. Dr. Adrian. B Lapian, op. cit., hal. 41
33
Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 184-186 34
Lihat Prof. Dr. Adrian. B Lapian, op. cit., hal. 41
36
rempah sampai para pedagang dapat menukarkan barang dagangan yang dibeli
dari Jawa, dan Malaka, dan Maluku.35
Hal ini, diperjelas dalam buku Anthony Reid Asia Tenggara Dalam Kurun
Niaga 1450-1680:
Bahkan di sepanjang Pantai Utara Jawa, di provinsi Jawa
Tengah terdapat kota Jepara sebagai pemasok beras untuk ke Malaka
Untuk daerah ini mengirimkan beras lima sampai lima jung (sekitar
15.000 merupakan jumlah beras yang dipasok dari Pulau Jawa setiap
tahunnya pada awal abad XVI. Jepara juga merupakan pemasok beras
utama ke Banjarmasin, Maluku, dan kota-kota pelabuhan besar
(Banten dan Jakarta-Batavia). Pada tahun 1615, Belanda
memperkirakan bahwa yang sanggup membeli 2.000 ton beras setiap
tahunnya di Jepara. Sedangkan, dalam tahun 1680, mereka
kenyataannya sanggup mengimpor 8.000 ton ke Maluku dan Sunda
Kelapa, dan juga sanggup mengirimkan 2.000-4.000 ton dari Surabaya
sekitar abad XVII.36
Kebangkitan ekonomi-perdagangan di Pulau Jawa merupakan sumbangan
besar dari Malaka ke arah kebangkitan dan kemajuan pelabuhan-pelabuhan di
sepanjang Utara Pulau Jawa pada penghujung abad XVI, termasuk Demak,
Cirebon, Jepara37
, Rembang,38
Gresik, Surabaya, Tuban, dan daerah-daerah
sekitarnya.
35 Wilayah Maluku meliputi; (Ternate, Tidore, Bacan, Hitu, ditambahkan lagi Kepulaun
Banda). Saya membacanya di dalam Museum Bahari pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil
penelitian selama 2 hari di Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang
merupakan staff Museum Bahari.
36 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah
Angin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hal. 27
37
Pada tahun 1519, Jepara telah menjalin hubungan langsung dengan Jambi. Saat itu,
Jepara sebagai pemasok beras dan garam dengan lada ke Jambi. Ini yang telah membuat pedagang
Cina datang ke Jepara, untuk menukarkan lada dengan Sutera, Porselin, Belanga, besi dari Cina.
saya mendapatkan informasi ini, dari hasil penelitian di Museum Bahari pada tanggal 8-9 Juni
2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di Museum Bahari dan dibantu oleh Bapak M. Isa
Ansyari, S.S, selaku staff Museum Bahari.
37
Kota-kota pelabuhan tersebut telah memberikan warna tersendiri bagi
kemajuan ekonomi-perdagangan di Pulau Jawa. Pada saat itu, Sultan Trenggana,
telah menggunakan hak atas perluasan Banten setelah melakukan perjalanan
berlayarnya ke arah Banten. Hal ini disebabkan, karena ekonomi-perdagangan
pada saat itu telah tumbuh dan berkembang setiap harinya dalam melakukan
transaksi beras, rempah-rempah, dan bentuk perdagangan lainnya. Bahkan Sultan
Trenggana, telah memperluas wilayah kekuasan Kerajaan Demak sampai ke
wilayah Jawa Barat (Banten, Jayakarta, Cirebon), Jawa Tengah, dan Jawa
Timur.39
Di Jawa Barat, Demak mendukung pertumbuhan Banten dan Cirebon.
Sehingga pada abad XV Cirebon telah berhasil dikuasai Demak dan
masyarakatnya menganut agama Islam, tetapi masa kejayaan Cirebon ini dari
beberapa catatan selalu dihubungkan dengan Sunan Gunung Jati (wafat 1570).
Sunan Gunung Jati pun telah berhasil menguasai Banten sebagai penguasa
lokal. Sunan Gunung Jati berhasil merebut pelabuhan utama Pajajaran, yaitu
Sunda Kalapa. Setelah menaklukkan wilayah Jawa Barat yang dipimpin oleh
Sunan Gunung Jati (yang mereka beri nama Fatahillah atau Tagaril) yang
merupakan pemegang kekuasaan dan perdagangan besar Kerajaan Cirebon dan
Kerajaan Banten, pada abad XVI,40
yang nantinya memegang peranan penting
38 Rembang berperan sebagai pemasok kapal yang telah menggantikan Pelabuhan Lasem,
pada awal perkembangan Kerajaan Demak, sekitar abad XV, saat rembang menghasilkan kapal-
kapal besar, di antaranya yang diutus Pati Unus dari Demak menyerang ke Malaka pada abad XVI.
Rembang menghasilkan kayu jati yang melimpah sebagai bahan dasar pembuatan kapal. Saya
mendapatkan informasi ini di dalam Museum Bahari pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil
penelitian selama 2 hari di Museum Bahari.
39
Denys Lombard, op. cit., hal. 52
40
M.C. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, terj., (Yogyakarta: Gajah Mada Universitas
Press, 1995), hal. 56 dan 57
38
bagi kekuasaan Kerajaan Banten, hingga kemudian Banten menjadi bandar
perdagangan terpenting dan makin pesat dari penjualan barang dagangan, seperti;
rempah-rempah yang berkualitas tinggi. Yang diperjual-belikan ditempat ini
seperti lada, asam, cengkeh, dan kayu manis.
Masyarakat daerah Banten telah berhasil diislamkan oleh Sunan Gunung
Jati atau Fatahillah. Banten menjadi berkembang sebagai bandar perdagangan dan
sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam.41
Faktor-faktor yang mendukung berkembangnya Banten sebagai pusat
kerajaan Islam dan pusat perdagangan, adalah sebagai berikut:
1). Banten terletak di Teluk Banten dan pelabuhan terlindungi oleh
Pulau Panjang, sehingga baik sekali menjadi pelabuhan.
2). Kedudukan Banten yang strategis di tepi Selat Sunda menyebabkan
karena aktivitas yang tinggi untuk berlayar dan berdagang dari
kalangan pedagang Islam dan pedagang asing, dan selalu
diramaikan sejak Portugis berkuasa di Malaka.
3) Banten telah memiliki bahan ekspor yang begitu penting yakni lada,
sehingga dapat menjadi daya tarik yang kuat bagi pedagang-
pedagang asing seperti dari Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu,
(Birma atau Myanmar), Keling, Portugis dan lain-lain.
4). Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis mendorong pedagang-
pedagang mencari jalan baru melalui Selat Sunda hingga kemudian
Banten dijadikan sebagai salah satu pusat perdagangan di Jawa
Barat di samping Cirebon.42
Dengan demikian, ketika Fatahillah atau Sunan Gunung Jati turut
membangun kota itu, kegiatan berlayar dan berdagangnya mempunyai peranan
penting dan menjadi pemilik kapal dagang dan barang dagangan, sekaligus
pemegang uang „atau‟ harta yang melimpah. Pedagang Arab, Persia, maupun
41 Lihat Nina H Lubis, Banten dalam Pergemulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara,
(Jakarta: LP3ES, 2003), hal. 26-27
42
Armando Cortesao (ed), op. cit., hal. 183-195 dan M.C. Ricklefs, Sejarah Modern
Indonesia, op. cit., hal. 56 dan 57
39
India ikut berdatangan yang besar kemugkinan menambah jumlah pedagang yang
meramaikan bentuk pertukaran barang dagangan. Hal ini, disebabkan faktor jual-
beli kain sutra, pala, rempah-rempah atau hasil agraris, dan hasil lainnya.43
Kegiatan ekonomi-perdagangan di Pantai Utara Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur, lebih banyak ditentukan pada masa Sultan Trenggana. Setelah
Fatahillah berperan secara aktif di Kerajaan Cirebon dan mendapatkan bantuan
dari pihak Kerajaan Demak (Trenggana). Fatahillah telah berhasil mematahkan
hegemoni atas ekonomi-perdagangan.44
Atas wilayah taklukannya yang meliputi
daratan dan lautan, sehingga sangat erat hubungannya dengan para pedagang di
Jawa Barat.
Sunda Kalapa pada abad XVI, telah ada pelayaran Eropa yang pertama kali
dengan memakai empat kapal Portugis di bawah pimpinan Jorge d‟ Albouerqe
„‟de Alvin‟‟ dalam misinya mencari rempah-rempah di wilayah Nusantara dengan
menyusuri laut Asia. Hal ini, didukung oleh Portugis semenjak keberadaannya di
Sunda Kalapa (Bandar Kalapa).45
Dalam catatan Tome Pires yang menjadi salah satu bentuk berlayar dan
berdagang tersebut, adalah karena Banten dan Sunda Kelapa telah memainkan
peranan penting yang didukung sebuah bandar Pelabuhan dan dibantu beberapa
pelabuhan lainnya. Sekarang Sunda Kelapa merupakan sebuah bandar terpenting
43
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia
, (Jakarta: Penerbit Menara Kudus), hal. 13-19
44
Daerah Jawa Barat telah ditaklukan oleh Demak, terbukti dengan keterangan Urdaneta
yang dalam perjalanannya pulang ke tanah Maluku singgah di Panarukan pada tahun 1535, ia
melaporkan bahwa raja Demak yang Moor (Islam) adalah raja yang paling berkuasa di Jawa, atas
lada dari Sunda., Lihat Hoesein Djajadiningrat, lokal study or Indonesian History‟‟, dalam
Soedjamoko (ed), An Introduction to Indonesia Historiografy, (New York: Coenell University
Press), hal. 74-86
45
Adolf Heuken SJ, Dokumen-dokemen Sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-
16, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1999), 74
40
pada masa Kerajaan Cirebon setelah Fatahillah memegang peranannya. Lalu
Sunda Kelapa dijadikan oleh Fatahillah sebagai bandar pelabuhan yang pesat dan
diramaikan dengan kedatangan barang–barang dagangan yang diangkut oleh
kapal-kapal dagang dan perahu-perahu dagang yang merapat di Sunda Kalapa.46
Nampaknya terlihat kesungguhan Tome Pires melakukan perjalanannya
untuk mempelajari secara khusus tentang Pulau Jawa.47
Perdagangan di Pulau
Jawa tersebut banyak dilukiskan di dalam bukunya, „‟The Suma Oriental of Tome
Pires‟‟‟. Buku ini bercerita tentang gambaran adanya hubungan berlayar dan
berdagang yang dilakukan antara Sunda Kelapa dengan Kepulauan Maladewa
disebelah Barat Sri Langka atau Ceylon. Selain itu, Sunda Kelapa merupakan
sebuah bandar penting terutama dalam negeri, bahkan berhasil menjalin kerjasama
hingga ke luar negeri dengan mendatangkan pedagang-pedagang dari Indonesia
maupun negara-negara Asia lainnya.
46 Armando Cortesao (ed), The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the east from
the Red Sea to Japan, hal. 184-185
47
Tome Pires adalah seorang apoteker Lisabon yang dikirim ke India sebagai agen obat-
obatan‟ ketika ia berusia 40 tahun. Sesudah bekerja kurang lebih setahun di Cannanoree dan di
Cochin di Pantai Barat India Selatan, ia naik pangkat setelah dikirim ke Malaka oleh Alfonso d‟
Albuqurque. Sewaktu ditempatkan di Malaka, ia melakukan perjalanan ke Pantai Utara Jawa
selama beberapa bulan. Pada tahun 1515, ia kembali ke Cochin, untuk menyelesaikan bukunya, „‟
The Suma Oriental of Tome Pires‟‟, yang sebagaimana dikatakan pada halaman judul dari
terjemahan Inggris: suatu laporan dari negeri-negeri Timur dari Laut Merah hingga ke Jepang.
Lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., Jilid 2, 184
41
BAB III
PROFIL BATAVIA SEBAGAI KOTA DAGANG
A. Peralihan Jayakarta ke Batavia
Kota Jayakarta yang didirikan di tepi Sungai Ciliwung ini memiliki pola tata
kota seperti pusat kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa. Alun-alun, (dalem),
masjid-masjid, pasar-pasar, kampung Angke dan Kampung Cina yang diperkuat
pagar kayu sebagai garis pertahanan kota.1
Dari struktur fisik contohnya, dapat dibedakan konstruksi tata ruang dan
fungsi-fungsi bangunannya yang berada di dalam dan di luar sektor benteng kota.
Secara fisik kebanyakan kota-kota muslim berada pada silangan jalan
pengangkutan darat, sungai, selat, teluk atau pantai laut bebas yang sangat
potensial bagi kelancaran dan pengembangan lintas orang, barang–barang
dagangan dan jasa. Kota Jayakarta juga berfungsi sebagai salah satu pusat
pemerintahan dan pusat perdagangan baik dalam negeri hingga ke luar negeri,
kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan internasional, perbentengan
dan pusat pemerintahan.
Ketika VOC pindah dari Maluku ke Jayakarta, Maluku ditinggalkan ketika
rempah-rempah bukan lagi komoditas penting dalam perdagangan dunia saat itu,
dan Jayakarta dipilih untuk memudahkan pengendalian perdagangan beras dan
kayu yang banyak dihasilkan di Pulau Jawa, bahkan menjadi primadona baru
dalam perdagangan internasional pada saat itu.
1
Lihat Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: PT Gramedia, 2009),
143 dan Lihat Max Weber, The City, (New York: The Free Press, 1966), hal. 67
42
Semenjak Tubagus Angke yaitu menantu Maulana Hasanudin yang menikah
dengan Ratu Pembayun, pada saat itu Jayakarta masih tetap berada di bawah
naungan Banten dan semenjak Tubagus Angke yang telah memegang peranan
penting di bidang perdagangan.2 Daerah ini merupakan kota dagang pada abad
XVI, yang dikelola secara penuh oleh Tubagus Angke, namun setelah Jayakarta
didatangi oleh orang-orang Belanda, maka orang-orang Belanda kemudian
menguasainya dan mendominasi pelayaran dan perdagangan.3
Tubagus Angke, sebagai Syahbandar terkuat pada saat itu. Setelah Cornelis
de Hautman melakukan tawar-menawar barang-barang dagangan yang terlalu
rendah, tetapi tidak mendapatkan muatan barang secara melimpah, kemudian
Cornelis de Hautman, melanjutkan perjalanannya ke Bali, untuk kemudian pulang
ke negerinya dengan membawa 240 karung lada, 45 ton pala, serta 30 bal bunga
pala, sebagian lagi hasil rampasan.4 Semenjak kedatangan armada dagang Belanda
diikuti iring-iringan oleh armada-armada lainnya, kemudian atas perintah Admiral
Verhoeven pada tahun 1609, maka tahun 1610, Jacquas l'Hermit, kepala pos
dagang Banten,5 berhasil menandatangani perjanjian dengan Pengeran Jayakarta
Wijayakrama yang berisikan memberi izin kepada orang-orang Belanda untuk
2 Menurut cerita orang-orang Belanda yang datang ke Teluk Jayakarta di bawah pimpinan
Cornelis de Hautman di kapal Hollanda tanggal 13-16 November 1596, Kota ini dikelilingi pagar
kayu. Waktu itu mungkin masih berada pemerintahan Tubagus Angke, karena berdasarkan berita
pada abad XVII. pada masa pemerintahan Pangeran Jayakarta Wijayakrama, pagar kota tersebut
diganti oleh Belanda, pertama-pertama juga telah diceritakan mempunyai pagar tembok terutama
di pantai sebagai tirai Laut (zee gordijn)., lihat Uka Tjandrasasmita, Sejarah Perkembangan Kota
Jakarta, (Jakarta: Pemda DKI, Dinas Museum Dan Pemugaran, April 2000), hal. 13 dan lihat
Armando Cortesao (ed), op. cit., . Jilid 2, hal. 169
3 Sutrisno Kutoyo, dkk, Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung Ke Batavia, (Jakarta:
Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hal.
43
4 Lihat Fe de Haan, Oud Batavia, (Bandung: A.C. Nix & Co., 1935), hal 15-30
5 Lihat Fe de Haan, op. cit., hal 15-30
43
berdagang di Jayakarta dan tinggal seperlunya melindungi barang-barang
dagangan.
Setelah meninggalnya Tubagus Angke, ia digantikan oleh puteranya, yaitu
Maulana Hidayatullah dan menurut naskah Purwaka Caruban Nagari6 Maulana
Hidayatullah yang mempunyai nama Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Pada saat
di bawah kekuasaan Pangeran Jayakarta Wijayakrama, inilah orang-orang
Belanda diizinkan membangun pusat perdagangan.
Semenjak itu, orang-orang Belanda telah memberi informasi lebih mengenai
Jayakarta. Pada saat itu masa pemerintahan Pangeran Jayakarta Wijayakrama
telah membuka luas pintu perdagangan maritim, bagi berbagai bangsa seperti;
Negeri Keling, Bombay, Cina, Belanda, Inggris, Gujarat, Abesina, Persia, Arab,
serta bangsa-bangsa dari Asia Tenggara. Demikian juga kawasan Nusantara
sendiri, Bandar Jayakarta telah ramai didatangi pedagang Aceh, Tidore, Ternate,
Hitu, Kepulauan Maluku, Tuban, Demak, Cirebon, Banten, dan lain sebagainya.
Diberitakan, bahwa beras, ikan, sayur-mayur dan buah-buahan banyak
diperdagangkan. Juga tuak yang dijual dalam tempayan-tempayan besar.7Yang
selalu diramaikan perdagangan maritimnya dengan perahu-perahu dagang untuk
menyusuri Perairan Jayakarta yang melanjutkan ke tempat ke arah bandar
Jayakarta.
6 Menurut naskah Purwaraka Caruban Nagari Hidayatullah wafat tahun 1568 Masehi
atas penguasaan atas daerah pemerintahan Jayakarta diserahkan kepada putranya yaitu Pangeran
Jakarta Wijayakrama inilah yang terkenal sebagai; Regent atau koning ven Jakarta‟‟di kalangan
orang-orang asing, Belanda, Inggris, dan Sebagainya. Ia terkenal dalam percaturan politik karena
menentang VOC terutama pada masa Jan Pieterszoon., Lihat H. J de Graaf dan Th. G. Th.
Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, seri
terjemahan , (Jakarta: Grafite Pers), hal. 137
7 Taufik Ahmad, Jakarta Berawal dari Pelayaran dan Pelabuhan, (Jakarta, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Museum Bahari, 2008), hal. 9
44
Setelah Pangeran Jayakarta Wijayakrama memantau secara langsung orang-
orang Belanda secara ketat dalam berdagang, dan akhirnya orang-orang Belanda
merasa terancam hingga kematian maka lantas bersekutu dengan Inggris pada
tahun 1615.8
Hal ini sebagai bentuk dan upaya untuk membangun pos dagang di sebelah
Barat Sungai Ciliwung yang terdapat gudang Belanda, Nasau dibangun pada
tahun 1610 dan Mauritius dibangun 1617. Sementara pos dagang Inggris di
sebelah Barat yang berhadapan dengan gudang Belanda. dibangun pada tahun
1618. Meskipun demikian mereka selalu melanggar perjanjian yang
mengharuskannya dengan membayar denda kepada Pangeran Jayakarta
Wijayakrama. Setelah mereka membangun benteng pertahanan dan pos dagang
yang saling berdekatan, namun dengan adanya pembayaran denda sebanyak 1.200
real, maka Pangeran Jayakarta menutup mata.9 Seolah Pengeran Jayakarta
sebetulnya mengetahui apa yang terjadi dan memprotes, sambil meminta bantuan
ke pihak Inggris. Oleh karena itu Coen berencana ingin memindahkan pos
dagangnya menjadi pusat kantor perdagangan ke Jayakarta dan menyerang satu
kubu pertahanan yang telah didirikan dipemukiman Belanda.10
Maka kubu
ditaklukan, dalam peristiwa itu pos dagang Inggris dibakar habis. Sebelah armada
dagang Inggris berpatroli di dermaga Jayakarta dan memberikan peringatan akan
memotong komunikasi dengan dunia luar.
8 Lihat Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2008), hal. 79
9 Uka Tjadrasasmita, Pengeran Jayakarta Wijayakrama, (Jakarta: Dinas Museum dan
Sejarah DKI, 1977), hal. 3-4 dan lihat A. Willard Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1998), hal. 4 10
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 155
45
Pada tanggal 31 Desember 1618 Jan Pieterszoon Coen mencoba menyerang
armada dagang Inggris kembali di Teluk Jayakarta itu, akan tetapi tidak mampu,
karena terjepit antara armada dagang Inggris dengan orang-orang Jayakarta.
Kemudian ia meninggalkan Jayakarta menuju Maluku untuk meminta bantuan
dan menghimpun armada dagangnya yang bercerai-berai di daerah itu. Pemimpin
benteng VOC di Jayakarta diserahkan kepada Pieter van den Broeck. Penghuni
benteng tersebut berjumlah 250 orang, termasuk di antaranya 25 orang Jepang.
Pada tanggal 22 Januari 1619, ketika sedang berkunjung ke keraton Jayakarta,
Van den Broeck ditangkap atas perintah Pangeran Jayakarta Wijayakrama.
Pada tanggal 31 Januari 1619 tercapai persetujuan antara orang-orang
Inggris dengan Pangeran Jayakarta tentang benteng VOC, dan sesudah itu benteng
dikepung dan diambil alih dengan paksa oleh Pangeran Jayakarta dan Inggris,
sehingga peti-peti kemas yang berisi dokumen dan barang dagangan milik Jan
Piterszoon Coen dan barang-barang lainnya ikut dirusak.11
Sementara, peristiwa
pengepungan benteng tersebut diketahui pula oleh pihak Banten dan mengirim
kapal-kapal dan tentaranya ke Teluk Jayakarta dan muara sungai Ciliwung
dikepung kapal-kapal dari Banten.
Pada tanggal 1 Februari 1619 Admiral Th. Dale yang melihat armada
dagang Banten yang sudah dikepung sehingga ia merasa tidak mampu
menghadapinya. Dalam situasi yang kritis itu, akhirnya Pengeran Jayakarta
11 Uka Tjandrasasmita, Sejarah Jakarta Zaman Pra Sejarah Sampai Batavia Tahun ±
1755, (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1977), hal. 65 dan 67 dan lihat Sutrisno Kutoyo,
dkk, op. cit., hal. 56
46
diambil untuk kemudian dibawa ke Banten. Daerahnya menjadi pengawasan
Mangkubumi Banten.12
Maka Syahbandar atas nama sunannya mengerahkan armada dagang di
sekitar benteng Belanda yang berdekatan langsung dengan Sungai Ciliwung.
Dalam situasi tersebut, Pengeran Jayakarta menyerahkan tawanan-tawanan
Belanda kepada Banten. Maka pada tanggal 15 Februari 1619 kekuasaan
Jayakarta diambil alih oleh Mangkubumi Banten, dan Pengeran Jayakarta
Wijayakrama di bawah kekuasaan langsung Kesultanan Banten. Namun Pangeran
Jayakarta Wijayakrama dibawa kembali ke Tanara di Banten.
Pada pertengahan bulan Mei 1619 Jan Piterszoon Coen masuk ke Pelabuhan
Jayakarta dari Maluku dengan 16 buah armada dagangnya. Daerah benteng dan
sekitarnya diserbu oleh Jan Pieterszoon Coen dengan kekuatan 1000 orang.
Dengan tidak mendapat perlawanan yang berarti, karena Pangeran Jayakarta
Wijayakrama telah tersingkir dari Banten dan tentara Banten saat itu sudah
pulang.13
Pada tanggal 30 Mei 1619 - Jan Pieterszoon Coen melakukan penyerangan
terhadap Banten, memukul mundur tentara Banten. Membangun Batavia sebagai
pangkalan militer dan administrasi yang relatif aman bagi pergudangan dan
pertukaran barang-barang, sehingga lokasi Batavia menjadi strategis dan
memudahkan mencapai jalur-jalur perdagangan ke Nusantara bagian Timur atau
Timur jauh dari Eropa.14
12 M.C. Ricklefs, op. cit., hal. 70 dan lihat Taufik Ahmad, op. cit., hal. 10
13
Uka Tjandrasasmita, op. cit., hal. 65 dan 67
14
Adolf Heuken SJ, Historical Sites in Jakarta, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1989), hal
13-16
47
Semenjak itu, Jan Pieterszoon Coen mengubah nama Jayakarta menjadi
Batavia. Semenjak itu, Batavia dijadikan sebagai pusat perdagangan atas
kekuasaan Belanda di Nusantara. Tetapi, adanya campur tangan Jan Piterszoon
Coen, seorang pegawai Belanda yang telah mempunyai wewenang atas basis
dagang Belanda di Batavia kemudian memutuskan bahwa Batavia menjadi pusat
perdagangan VOC yang berlayar dan berdagang di Kepulauan Nusantara.15
B. Batavia sebagai Kota Bandar Niaga.
Batavia bermula dari sebuah bandar kecil, bandar kecil ini awalnya terdiri
dari endapan lumpur di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam.
Perkembangan pelayaran dan perdagangan mengantarkan kawasan ini menjadi
bandar penting di Pantai Utara Pulau Jawa.
Selama berabad-abad kemudian kota Batavia merupakan bandar niaga yang
berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai dan
berkembang sangat pesat sebagai pelabuhan transito Internasional, dan
menjadikan Batavia menjadi bandar terpenting di Asia.16
Keterangan sejarah pernah menyebutkan Batavia terbujur satu sampai dua
kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang berdekatan dengan sungai
Ciliwung yang terletak di Teluk Batavia yang terlindung oleh beberapa pulau.17
Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 buah kapal dagang yang
mempunyai kapasitas 10 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-
orang Melayu, Jepang, dan Cina, di samping itu juga kapal-kapal dari pulau
sebelah Timur. Sementara itu, kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki
15 Sutrisno Kutoyo, dkk, op. cit., hal. 56
16
Adolf Heuken SJ, op. cit., hal. 9
17
Adolf Heuken SJ, op. cit., hal. 18 dan 22
48
kapasitas 500 ton, harus berlabuh di depan pantai.18
Tome Pires juga
menyebutkan adanya hubungan dagang antara Sunda Kelapa dengan Malaka,
dikatakan bahwa barang-barang dagangan dari Sunda Kelapa termasuk Batavia,
diangkut dengan lanchara, yaitu jenis kapal dagang yang memuat sebanyak 150
ton.19
Di samping itu, dengan kedatangan dan usaha yang dilakukan Jan
Pieterszoon Coen untuk mewujudkan cita-citanya, maka mulailah pembangunan
Batavia sebagai kota dagang dan melengkapi benteng Jacatra (sebagai tempat
pertahanan dan tempat perlindungan dari aktivitas perdagangan maritim). Terlebih
lagi nama tersebut, sudah melekat dengan sebutan Kasteel Batavia20
(saat ini
merupakan Pasar Ikan, jaraknya saling berdekatan dengan Museum Bahari).
Di sini orang-orang Belanda sibuk mengatur dokumen ribuan macam barang
dagangan, perhitungan, pelaporan, dan pemeriksaan sebelum diteruskan ke
gudang dan pos-pos dagang di sekitar Kasteel Batavia.
Menurut Adolf Heuken SJ, bahwa hampir semua aktivitas Kasteel Batavia
berhubungan erat dengan aktivitas pelayaran dan perdagangan. Bahkan daerah-
daerah perbatasan menjadi daerah pertahanan dan tempat perlindungan dari
aktivitas perdagangan maritim. Antara Jl. Pakin (di bagian Utara), di sepanjang Jl.
Kali Besar banyak dijumpai bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai pos
dagang dan jenis-jenis badan usaha yang terdapat di daerah tersebut yaitu
18 A. Willard Hanna, Hikayat Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hal. 4
19
Lihat Armando Cortesao (ed), op. cit., Jilid 2, hal. 167
20
Adolf Heuken SJ, op. cit., hal. 13-16
49
perusahaan dagang, perbankan, perkapalan, dan asuransi.21
Sementara Jl. Pasar
Pagi (di bagian Selatan) dan Jl. Sumut-Penjaringan (di bagian Barat) merupakan
salah satu tempat niaga dan sebagai kegiatan pemerintahan Kota Batavia yang
dipusatkan di sekitar lapangan yang berdekatan dengan letak perniagaan besar,
yang jaraknya sekitar 500 meter dari kawasan niaga.
Orang-orang Belanda berhasil membangun balai kota yang anggun, yang
menjadi pusat pemerintahan dan menjadi pusat perdagangan Batavia. Sekarang ini
lebih dikenal dengan sebutan kota tua lama atau disebut juga Oud Batavia, yang
memiliki jarak 500 meter ke arah Utara-dan ke arah Barat dan kita dapat melihat
Museum Jakarta sampai saat ini. Setelah diperluas menjadi tempat aktivitas
maritim dan sebagian lagi diperkuatnya bangunan-bangunan untuk melindungi
aktivitas perdagangan maritim.22
Semenjak itu dapat dikatakan, secara umum perdagangan maritim
merupakan hubungan timbal balik yang dilakukan paling tidak antara dua pihak
sebagai usaha untuk memperoleh barang melalui pertukaran yang lebih
menekankan pada aspek kebutuhan dari pada aspek ekonomi-perdagangan, karena
salah satu ciri dari perdagangan adalah adanya transaksi.
Suatu transaksi akan terjadi jika di suatu tempat membutuhkan bahan baku
atau barang yang tidak dapat diperoleh atau diproduksi oleh tempat tersebut
sementara di tempat lain terjadi surplus akan barang atau bahan baku yang
diperoleh. Bandar niaga terpadu adalah suatu kawasan yang meliputi seleruh
kegiatan perniagaan yang menjadi basis ekonomi. Idealnya tempat tersebut berada
21 A. B Lapian, (ed.), Four Centuries Trade Relations Between Indonesia and Netherland
1595 – 1995, hal 15
22
Adolf Heuken SJ, op. cit., hal. 16 dan 17
50
di lokasi yang cukup strategis sehingga memudahkan para pendukung kegiatan
perekonomian tersebut melakukan aktivitasnya.23
Seperti halnya Batavia
berkembang dan tumbuh menjadi salah satu tempat niaga yang pesat dalam
pertukaran barang dagangan. Pasar Ikan menunjukkan sistem perdagangan
maritim yang umum yang dilakukan oleh Bangsa Eropa, yaitu mendirikan bursa
besar di suatu tempat yang sepanjang tahun menampung aneka barang dagangan
yang diinginkan.
Berdasarkan beberapa catatan mengenai Kota Batavia tentang Pasar Ikan
yang saling berdekatan dengan gudang penyimpanan rempah-rempah di bagian
Barat, dan dijadikan sebagai tempat niaga (Museum Bahari sampai sekarang ini
yang beralamatkan Jalan Pasar Ikan Nomor 1, Jakarta Utara ), maka
mengindikasikan bahwa sekitar abad XVII dan abad XVIII kota Batavia menjadi
kawasan niaga yang telah difungsikan dan Pasar Ikan menjadi bandar niaga yang
merupakan gabungan dari fungsi perdagangan besar dengan perdagangan eceran
baik asing maupun domestik. Setiap jam 07.00 pagi sampai jam 15.00 sore dan
dilajutkan sampai malam, pasar masih tetap dibuka untuk umum dalam
melakukan transaksi barang-barang dagangan antara penjual dan pembeli.24
Di Pasar Ikan ini nampaknya telah berkumpul ribuan orang dari penjuru
dunia, terutama kaum perempuan yang membawa hasil bumi diperjualbelikan.25
23 R Z Leirissa, (et.al), Sejarah Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996), hal 1 dan 2 dalam http://
Jakartalama.wordpress.com/2010/11/03/situs-pasar-ikan-kawasan-niaga-terpadu-pada-masa-
kolonial/dikunjungi pada tanggal 13 Juli 2011
24
Lihat Fe de Haan, op. cit., hal 30-40 dan Lihat KN. Chaudury, Trade and Civilization
in The Indian Ocean : Economic History from The Rise of Islam to 1750, (Cambrige: Cambrige
University Press, 1989), hal. 49 25
Hayu Adi Darmarastri “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, dalam Lembaran
Sejarah, vol.4, No.2, 2002.
51
Di beberapa tempat di Pasar ikan tersebut dibangun tempat khusus untuk kios
yang biasanya terbuat dari bambu yang beratap ilalang dan fungsinya hanya
sementara. Terkadang pasar ini hanya digelar di bawah pohon besar yang cukup
lapang untuk berkumpul. Biasanya didapati gandum atau biji-bijian, pakaian,
kerajinan tangan, ikan, perajin kuningan, besi, dan barang-barang tembaga,
kerajinan-kerajinan dari bangsa Cina, India, Eropa dan lain sebagainya. Jenis
makanan matang dan berbagai jenis buah-buahan serta sayur-mayur dijual di sini
dengan harga yang beragam sesuai kualitas barang. Tampaknya transaksi
perdagangan maritim dapat timbul jika terjadi pertemuan antara penawaran dan
permintaan terhadap barang yang dikehendaki.
Kaum perempuan setempat menjual lada dan bahan makanan kepada
pembeli asing, sementara setiap kelompok saudagar asing mempunyai tempat
untuk menjual barang-barang mereka. Ini sekaligus merupakan kegiatan
perdagangan maritim di Pasar Ikan yang menjadi sibuk setiap harinya untuk
bahan makanan seperti beras, sayuran, buah-buahan, gula, ikan dan daging, hewan
ternak, tekstil, lada, cengkih, senjata, perkakas dan barang-barang logam.
Namun demikian, Pasar Ikan ini nampaknya diatur oleh Syahbandar yang
mengadakan pengadilan apabila ada persengketaan dagang.26
Pada abad XVII,
26 Menurut Van Leur, Syahbandar berkewajiban mengatur administrasi dan memantau
langsung jalannya aktivitas pelayaran dan perdagangan dan sebagai pemegang jabatan kalangan
istana kekaisaran niaga dipegang oleh VOC. Cina dan India ikut berperan dalam posisi yang
strategis (Jabatan), selain itu dalam pandangannya Meilink-Roelofz, bahkan mengungkapkan
Syahbandar yang dipilih dengan cara persetujuan Pemerintah Agung/Pusat, untuk mewakili
saudagar-saudagar antar-bangsa. Selain mengurusi permasalahan baik kecil hingga besar dalam
hal, pedagang, pasar, pergudangan termasuk tenaga kerjanya, dan lain sebagainya. Lihat pula J. C.
Van Leur, Indonesian Trade And Society ; Essay in Asian and Economic History, (Bandung:
Sumur Bandung, 1960), hal. 113 dan lihat juga M. A. P Meilink-Roelofz, Asian Trade And
Eroupean Influence: In The Indonesian Archipolego Between 1500 and about 1630, (Universitiet
van Amsterdam s‟Gravengade: Martinus Nijhoff,1962), 62
52
Syahbandar bertugas di dalam untuk memantau aktivitas perdagangan lada,
cengkeh, kayu manis yang merupakan komoditas ekspor terpenting. Komoditas
itu awalnya terbatas diperdagangkan di Pasar Ikan. Pada saat itu, dapat dikatakan
menjadi komoditas yang diperdagangkan antar-bangsa. Semenjak itu, Batavia
menjadi bandar niaga yang telah menyediakan komoditas rempah-rempah dan
bahan makanan, bahan pakaian, emas, serta kayu-kayu lainnya. Barang-barang
komoditas itulah, tidak hanya berasal dari tempat niaga, melainkan dari berbagai
para pedagang luar negeri yang banyak berdatangan ke Batavia maupun dari
negara-negara di Asia lainnya.27
Hal ini yang kemudian Batavia menjadi kawasan niaga sebagai tempat
pengekspor hasil barang-barang dagangan dari pedalaman yang juga didukung
dari Sungai Ciliwung, yang mengalir dari pedalaman ke kawasan niaga. Dari
Sungai Ciliwung dapat menunjang transportasi untuk mengangkut barang-barang
dagangan ke arah kawasan niaga sehingga, Batavia sebagai bandar niaga dan
berhasil tumbuh menjadi kekuatan yang lebih besar lagi dalam jalur perdagangan
antara Malaka dan Maluku.28
Dua jalur tersebut, antara Malaka dan Maluku mampu menyuplai barang
dagangan, sebagai tempat penyimpanan barang-barang dagangan yang diperoleh
dari hasil agraris dan hasil laut. Kemudian VOC melengkapi Batavia dengan
membangun kompleks gudang yang dikenal dengan Gudang perniagaan di sisi
Timur (Oostzijdsche Pakhuizen) atau disebut juga Gudang Gandum
27 Uka Tjandrasasmita, op. cit., hal. 39
28
Armando Cortesao (ed), op. cit., Jilid 2, 176
53
(Graanpakhuizen). Gudang itulah terdiri dari empat bangunan untuk menyediakan
barang-barang dagangan.29
Pada zaman Gubernur Jenderal Carel Reyniersz, Batavia sudah dilengkapi
dengan kompleks gudang rempah di sebelah Barat yang lebih dikenal dengan
nama Gudang Rempah Barat (Westzijdsche Pakhuizen) yang dibangun pada tahun
1652. Sebelas tahun kemudian pada zaman Gubernur Jenderal Johan van Hoorn,
tepatnya tahun 1663 dibangunlah Gudang VOC. Gudang Rempah Barat yang kini
masih tegak berdiri pada saat itu berfungsi untuk menyimpan barang-barang
dagangan dari beberapa aktivitas perdagangan.30
Bandar niaga sangatlah mungkin berada di jalur pelayaran dan perdagangan
Internasional dan diperkirakan sejak pertengahan abad XVI M, sudah banyak
dikunjungi oleh berbagai bangsa, seperti India, Cina, dan Eropa. Batavia memiliki
lokasi geografis sangat strategis, yaitu terletak di dekat selat Sunda, yang
merupakan satu diantara dua jalur penghubung, yang lainnya adalah Selat Malaka
utama antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan.31
Dengan posisi tersebut
Batavia sangat sesuai untuk dijadikan pusat kegiatan VOC di Asia. Abad XVII
M,32
Batavia menjadi salah satu tempat transit yang ramai didatangi oleh para
pedagang dari berbagai negeri seiring dengan meningkatnya volume perdagangan
29 Lihat Geofano Dharmanaputra dalam Sunda Kelapa sebagai Bandar Jalan Sutera
:kumpulan diskusi ilmiah, (Jakarta: CV Dwi Jaya Karya), hal 2 dan lihat http: //
www.forumbudaya.org/index.php?option=com_content&task=view&id=864&Itemid=34
(Dikunjungi tanggal 17 Maret 2011)
30
Adolf Heukeun dan Grace Pamungkas, Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus
Tahun , hal. 12 dan 13
31
Batavia dalam jaringan perdagangan Asia Pada Abad 17 dan 18 dalam http://kns-
ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan %20 Kanumoyoso,%20 M.Hum.pdf
(dikunjungi tanggal 13 Juli 2011).
32
Tulisan Hendriyo Widi yang berjudul Bukan Belanda Kalau Tidak Berdagang dalam
harian Kompas, Jum‟at, 25-08-1995, hal 17
54
antara Barat dan Timur. Para pedagang Muslim, menyebarkan agama Islam dari
negeri Arab, Cina, India, Perlak, pernah pula datang dan singgah di Batavia.33
Semenjak pertengahan abad XVI dan menjelang awal abad XVII seringkali
jenis kapal dagang dan perahu dagang berdatangan ke kawasan niaga ini. Para
pedagang yang berasal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makassar, Madura
dan lain sebagainya. Ikut berdatangan juga ke tempat ini untuk menjual hasil
agraris dan hasil lautnya.34
Selain itu di kawasan ini pula banyak ditemui dari para saudagar dari
berbagai bangsa seperti Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Melayu,
Benggala, Gujarat, Malabar, Abessinia dan juga dari setiap daerah di Hindia
Timur untuk melakukan aktivitas perdagangan maritim.35
Batavia bandar niaga
dijadikan sebagai tempat aktivitas perdagangan maritim di sekitar kali besar yang
menjadi wilayah Central Bussiness and Industry District Batavia, dan aktivitas
perdagangan maritim ini selalu diupayakan hingga pedagang-pedagang terus
berdatangan ke tempat ini. Aktivitas berlayar dan berdagang tersebut selalu
diramaikan setiap harinya sejak tahun 1631.
Bahkan bandar niaga mempunyai kedudukan tersendiri dari pengusaha
perkapalan, para pemilik kapal, dan para pembuat kapal. Bandar Batavia
menyediakan kapal-kapal dagang ke seberang lautan, untuk dipakai berdagang ke
Pantai Utara Jawa. Ini semua memerlukan modal yang cukup besar, sehingga
seringkali diperlukan kerjasama antar-pedagang yang bermodalkan kuat tersebut.
33 Jurnal Taufik Ahmad, Jakarta Berawal dari Pelayaran dan Pelabuhan, (Jakarta,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Museum Bahari, 2008),
hal. 6
34
Lihat Uka Tjandrasasmita, op. cit., hal. 143
35 Lihat Uka Tjandrasasmita, op. cit., hal. 143
55
Keikutsertaan kaum bangsawan dan pegawai kerajaan dari kalangan
pemerintah Batavia yang berkedudukan melindungi wilayah perdagangan
mempunyai peranan yang penting dalam membantu dan kerjasama melakukan
transaksi perdagangan. Pemimpin kapal-kapal dagang yang terdiri dari para
pedagang dan tidak jarang para nakhoda kapal beserta muatannya selalu disiapkan
di bandar Batavia. Oleh karena itu, kadang-kadang yang memimpin adalah para
bangsawan. Awak kapal diambil dari pemerintah Batavia yang tidak terikat pada
tuan-tuan besar Belanda. Orang luar, para pedagang kecil, dan orang asing,
kadang-kadang juga diizinkan ikut berdagang dan melakukan transaksi dengan
syarat tertentu.
Di antara penumpang kapal dagang, sering terdapat asal dan bahasa yang
berbeda-beda yang sebagian hidupnya mengembara ke bandar Batavia. Melalui
aktivitas dagang inilah mengalami pertumbuhan dan berkembang yang lebih pesat
lagi, dan menjadi salah satu pusat perdagangan bercorak maritim pada masa VOC.
Sejumlah etnis berdatangan, seperti etnis Jawa, Bali, Banda, Banjar, dan Bugis.
Kesemuanya itu, untuk menjalin kerjasama dalam perdagangan maritim.
Sementara bandar Batavia semakin padat dengan kedatangan para saudagar-
saudagar yang telah berhubungan dagang hingga ke luar negeri seperti Cina,
Jepang, Inggris, Iran, Arab, Abessinia, India, dan lain sebagainya.36
36 Lihat Uka Tjandrasasmita, op. cit., hal. 143
56
C. Batavia sebagai Kota Pelabuhan
1. Letak dan Fungsi Pelabuhan
1. 1 Letak Pelabuhan Batavia
Dalam buku Edi Sedyawati, dkk, Sejarah Kota Jakarta 1950-1980, wilayah
Batavia terletak di bagian Pantai Utara Jawa Barat. Wilayah Pelabuhan Batavia
terletak pada 6º-8º Lintang Selatan dan 106º-118 º Bujur Timur. Dengan luas
wilayah pelabuhan seluruhnya mencapai, ± 65 km².37
Keberadaan letak Pelabuhan
Batavia (Tanjung Priok/Jakarta Utara) sampai saat ini, berada di wilayah Ibukota
Negara Republik Indonesia. Di sebelah Utara Pelabuhan Batavia terdapat Teluk
Batavia (Teluk Jakarta). Letak Pelabuhan Batavia juga dikelilingi oleh Pulau-
pulau kecil di Kepulauan Seribu, yang terdiri dari Pulau Damar Besar, Pulau air,
Pulau Nyamuk, dan puluhan pulau-pulau lainnya.
Letak pelabuhan yang berfungsi sebagai salah satu tempat pelindung bagi
kapal dagang dan perahu dagang yang ingin melakukan transaksi perdagangan di
bandar pelabuhan Batavia menjadi alasan utama dari kegiatan yang
menguntungkan pemerintah Belanda pada abad XVII. Dilihat dari sudut
geografisnya pada saat itu, kapal dagang dan perahu dagang dari penjuru
Nusantara dan dunia ingin berlabuh dan berdagang ke arah Batavia (Jakarta).38
Letak Pelabuhan Batavia tersebut, merupakan jembatan yang
menghubungkan antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra dan menghubungkan
daerah–daerah sekitarnya. Letak Pelabuhan di bagian Selatan, terdapat
37
Edi Sedyawati, dkk, Sejarah Kota Jakarta 1950-1980, (Jakarta: Proyek Penelitian
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986//87), hal. 20
38
Verstaven, Djakarta Bay: A Geomorphological Study on Soreline Deveploment,
(Utrech: State University of Hawai Press, 1954), hal. 79
57
pegunungan dengan dataran tinggi yang menjulang, sedangkan di bagian Utara
terdapat Pulau Onrust yang merupakan tempat galangan kapal dan bengkel
perbaikan kapal pada abad XVII. Letak dan geografisnya Pelabuhan Batavia,
berada pada daerah yang strategis yang menjadi padat dari jalannya lalu-lintas
orang berlayar dan berdagang antar-pulau, antar-Asia dan lain sebagainya. Sejak
itu Pelabuhan Batavia, ditempatkan sebagai transito bagi kapal-kapal dagang dan
perahu–perahu dagang yang memuat barang dagangan yang berlabuh ke arah
Barat ke Malaka dan ke arah Timur ke Maluku untuk sampai Pelabuhan Batavia.39
Letak Pelabuhan Batavia tersebut sangatlah strategis yang mendukung jalur
persilangan antar-pulau, lautan dan memiliki potensi tinggi dalam pertumbuhan
dan perkembangan ekonomi.
1. 2. Fungsi Pelabuhan Batavia
Pelabuhan Batavia sampai saat ini masih difungsikan sebagai pelabuhan
kapal layar motor disebabkan adanya kebutuhan yang mendasar seperti jasa
angkutan yang berkenaan dengan adanya arus perdagangan melalui transportasi
maritim yang berangkat dari pelabuhan tersebut. Dengan demikian faktor-faktor
pendukung dari fungsi pelabuhan Batavia ini adalah:
a. Adanya hubungan dengan pasar-pasar yang berada di dalam negeri maupun
di luar negeri.
b. Adanya hubungan antara pelabuhan dengan daerah-daerah pedalaman dalam
konteks keluar masuknya barang-barang dagangan, terbentuknya jalur-
jalur transportasi, dan terbentuknya pusat-pusat pengumpulan barang-
39 Verstaven, op. cit., hal. 79
58
barang dagangan. Sementara itu, dalam menjalankan aktivitas
perdagangan banyak pedagang-pedagang yang menyusuri Selat Sunda
untuk menuju ke Pelabuhan Batavia melalui jalan laut. Hal tersebut, guna
menyusuri jalannya lalu-lintas orang berlayar dan berdagang ke Pelabuhan
Batavia dan dilanjutkan ke Pasar Ikan.
c. Adanya kemungkinan para pedagang semakin bertambah dengan
kedatangan kapal dagang yang membawa muatan barang dagangan
melalui jalur selat Malaka ke selat Sunda ke Pelabuhan Batavia.
d. Adanya hubungan antara kegiatan pelabuhan dengan pembentukan kota
pelabuhan.
Dari sudut ekonomi Pelabuhan Batavia sebagai tempat penampung surplus
dari pedalaman untuk didistribusikan ke tempat-tempat lain. Tentunya, upaya-
upaya pelayanan Pelabuhan Batavia disiapkan oleh pegawai Belanda dan
pembantunya yang sudah memberikan suatu pelayanan terhadap kapal dagang dan
pelayanan terhadap barang atau pelayanan bongkar muat barang dagangan.
Pelayanan kapal meliputi sandar atau berlabuhnya kapal, pemanduan, dan
penundaan. Wilayah ini dianggap strategis dan menguntungkan pihak Belanda
dalam kancah perdagangan dan perpolitikan internasional pada masa itu.
Pelabuhan di Batavia menjadi pusat yang paling baik kualitasnya dan ramai
pengunjungnya. Selain itu untuk pelayanan bongkar muat barang meliputi;
pekerja pelabuhan atau buruh, muatan barang, penerimaan barang, dan
pengiriman barang. Pelayanan barang pada dasarnya menggunakan fasilitas ruang
atau gudang dan lapangan penumpukan barang-barang dagangan. Maka dalam
59
kaitan ini gudang sangat berperan sebagai tempat penyimpanan dari pemasok
barang dagangan ke pelabuhan baik yang datang dari dalam negeri maupun luar
negeri. Upaya-upaya tersebut dalam menjalankan kegiatan ekonomi Pelabuhan
Batavia disuplai hasil agraris dari daerah pedalaman.
Pelabuhan Batavia lebih dikenal dengan wilayah Kasteel Batavia dan
menjadi pusat pelabuhan pada masa kekuasan VOC. Semenjak itu, di Pelabuhan
Batavia terdiri dari ribuan macam barang dagangan beserta dokumen-
dokumennya, perhitungan dan laporan yang diterima, diperiksa dan kemudian
diteruskan ke gudang dan kantor-kantor di sekitar Kasteel Batavia . Ribuan
macam barang dagangan disimpan di sebelah Barat Sungai Ciliwung yang
dibangun sejak 1652 (Kompleks Westy Dyshe Pakhuizen) yang sekarang ini
Museum Bahari sebelum diditribusikan ke dalam kota maupun ke luar negeri.40
Di kawasan Batavia yaitu Pasar Ikan, inilah kapal-kapal dagang besar
maupun kecil melakukan aktivitas bongkar muat barang-barang dagangan. Kapal-
kapal dagang dari antar-Asia maupun yang berlayar ke Eropa tersebut,
memerlukan perbaikan kapal (Pulau Onrust), dan perlengkapan. Maka di
bangunlah sebuah Compagnies Timmer-en Scheeps werf (bengkel kayu dan
galangan kapal Belanda). Pada tahun 1632, di tepi Barat Kali Besar, banyak
terdapat Saudagar, Nahkoda, Perwira, Sultan, Raja, Pejabat Belanda dan duta
kerajaan dari seluruh Asia mendarat dan berangkat dari tempat ini. Pengawasan
aktivitas Pelabuhan Batavia melalui Menara Syahbandar yang dibangun pada
tahun 1640, (Uitkijk, Menara Syahbandar, dari sini kapal dapat terlihat jelas dari
40 Taufik Ahmad, op. cit., hal. 11
60
jarak jauh, dan kapal dapat memberikan sinyal, ini pertanda bahwa kapal baru saja
tiba di Pelabuhan Batavia) guna melengkapi sarana dan prasana pelabuhan,
sebagai tanda kapal-kapal yang ingin berlabuh pada malam hari. 41
1. 3. Bongkar Muat Barang
Ketika Jan Piterszoon Coen menanamkan kakuasaan dagangnya, maka
Coen menyadari dengan kebutuhannya yang melampaui batas kemampuannya
kemudian mengambil kekayaan sumber penghasilan dan memantapkan dominasi
bagi kelangsungan hidupnya. Di antara langkah dan usaha yang dilakukan orang-
orang Belanda termasuk Coen, adalah dengan adanya Bongkar muat barang-
barang dagangan di Pelabuhan Batavia. Aktivitas bongkar muat barang ini
dipengaruhi banyaknya atau sedikitnya perahu dan kapal dagang yang datang dan
menetap dari kalangan pedagang yang berbeda suku bangsa baik Asia maupun
Eropa. Jumlah perahu dan kapal dagang tersebut semakin bertambah dengan
kedatangan para pedagang Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu, Birma atau
Myanmar, dari Keling. Selain itu, berdatangan juga para pedagang dari Demak,
Jepara, Cirebon, Banten, Tuban, Surabaya, Aros Baya, Wiraba dan Pasuruan
datang ke Pelabuhan Batavia dengan membawa hasil agraris, seperti rempah-
rempah, beras, ikan dan lain sebagainya.
Walaupun jumlah para pedagang yang demikian banyak, tetapi dalam
pelaksanaannya tugas bongkar muat barang-barang dagangan tersebut ditangani
41 Taufik Ahmad, op. cit., hal. 11
61
dengan cepat. Hal ini diupayakan oleh pemerintah Batavia (Pemerintah
Agung/Pusat).42
Pelabuhan Batavia menyiapkan Syahbandar yang bertugas untuk memantau
bagian logistik barang-barang dagangan di pelabuhan, transportasi, serta jalannya
transaksi perdagangan di dalam kapal dagang di sekitar pelabuhan Batavia. Dalam
penyusunan barang dagangan yang baru saja tiba di Batavia, haruslah melalui
daftar barang dagangan dan dana keuangan Belanda di Batavia serta harus ada
pembekalan yang cukup, setelah barang-barang dagangan masuk ke dermaga atas
persetujuan badan yang menangani barang dagangan.43
Bongkar muat barang dagangan memegang peranan penting dan juga
strategis bagi pertumbuhan dan perkembangan Pelabuhan Batavia demi kemajuan
Belanda. Demikian pula sebaliknya, karena Belanda saat melakukan bongkar
muat barang dagangan harus memeriksa kembali apakah daftar barang dagangan
sudah memenuhi syarat atau belum sesuai pesanan kiriman dan keputusan atas
persetujuan Heren Zeventien (Dewan Tujuh Belas).44
Setelah melakukan inspeksi secara mendadak pemeriksaan tersebut
kemudian dicatat atas muatan yang kurang maupun kelebihan barang dagangan.
Pemeriksaan ini sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan kontribusi bagi
pembangunan Pelabuhan Batavia pada saat itu. Hal ini membawa konsekuensi
42 Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasioanal Republik Indonesia, yang telah
membantu menerjemahkan Arsip Beviendingen op de eisen, ini di simpan (serinya tidak lengkap)
dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-13508
43
Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasioanal Republik Indonesia, yang telah
membantu menerjemahkan Arsip Beviendingen op de eisen, ini di simpan (serinya tidak lengkap)
dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-13508
44
Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasioanal Republik Indonesia, yang telah
membantu menerjemahkan Arsip Beviendingen op de eisen, ini di simpan (serinya tidak lengkap)
dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-13508
62
terhadap pengelolaan tiap barang-barang dagangan dalam usaha-usaha
Syahbandar pelabuhan dari sejumlah aktivitas perdagangan maritim agar bisa
pengoperasiannya dapat dilakukan secara efektif, efisien dan profesional sehingga
pelayanan pelabuhan menjadi lancar, aman, dan cepat dengan biaya yang lebih
murah dan terjangkau.
Pada dasarnya, upaya-upaya pelayanan Pelabuhan Batavia oleh Belanda dan
pembantunya yang diberikan mandat untuk mengurusi Pelabuhan Batavia untuk
melayani kapal, muatan barang dagangan, dan penumpangnya secara tepat dan
maksimal, terlebih atas kapal-kapal asing dunia luar yang pernah singgah. Hal ini,
sebagai aktivitas perdagangan maritim yang memakai sarana transportasi laut
seperti perahu dagang dan kapal dagang, dan selain itu memfungsikan pelabuhan
sebagai lalu-lintas angkutan perahu dan kapal.
Dengan demikian barang dagangan yang diangkut dengan kapal dagang dan
perahu dagang dapat dimasukkan ke atas kapal yang kemudian dipindahkan ke
tempat lain dengan cara diangkut dengan perahu dagang. Barang yang diangkut
tersebut atas perintah Pemerintah Batavia.45
Oleh karena itu, Pelabuhan Batavia pada saat itu menunjuk pegawai
Belanda bekerjasama dengan Plakaat untuk membuat jadwal, untuk mengurusi
berbagai kepentingan, untuk saling bertemu di Pelabuhan Batavia di bawah
kendali Belanda, bea dan cukai (ekspor dan impor), penempatan barang-barang di
dermaga Pelabuhan Batavia, aktivitas syahbandar dan kegiatan-kegiatan lainnya.
45 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 150-152 dan Menurut Nia seorang pegawai Arsip
Nasioanal Republik Indonesia, yang telah membantu menerjemahkan Arsip Beviendingen op de
eisen, ini di simpan (serinya tidak lengkap) dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-
13508
63
Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa aktivitas pelabuhan adalah sebagai salah
satu bentuk aktivitas yang membangkitkan aktivitas perdagangan suatu wilayah
karena merupakan bagian dari mata rantai transportasi perahu dagang dan kapal
dalam membawa barang logistik (barang dagangan).
1. 4. Pemungutan Bea Cukai
Bea dan Cukai adalah sebagai bentuk pemungutan perjalanan kapal yang
cukup jauh bagi perahu dan kapal dagang yang masuk ke pelabuhan Batavia.
Dengan adanya pemungutan bea dan cukai di Pelabuhan Batavia yang ditetapkan
pada tanggal 1 Oktober 1620 oleh Pemerintah Batavia dengan mengundang
Plakaat untuk mengurusi bea dan cukai atas barang-barang yang keluar-masuk di
Pelabuhan Batavia, maka mengenakan tarif cukai untuk pertama kalinya yang
diatur oleh Pemerintah Batavia diperkuat orang-orang Belanda. Aturan ini berlaku
sampai tahun 1671 dengan besaran bea dan cukai 5% dari nilai mata dagangan,
yang terdiri dari makanan sehari-hari, bahan makanan, minuman, barang-barang
dagangan, dan lainnya, yang didatangkan dari dalam negeri maupun luar negeri.46
Pelabuhan Batavia yang pada saat itu masih dikendalikan oleh Belanda, dan
Plakaat, mengungkapkan terdapat 84 jenis mata dagangan yang dikategorikan
secara umum seperti benang, bermacam-macam barang dagangan Cina, kapuk,
kapas, nila, kesumba, katut, arang, pinang, sagu, segala macam buah-buahan
segar, tembakau, gula, barang-barang keperluan rumah tangga, pakaian, laken,
gajah, arak, merak, unggas, itik dan lain sebagainya. Selain itu, terdapat 22 jenis
barang dagangan yang terdiri dari beras, kemenyan, lada, pala, cengkeh, bahan
46
Dagh-Register 1674, hal. 30-31 dalam Tawalinuddin Haris, Kota dan masyarakat
Jakarta dari kota Tradisional ke kota Kolonial Abad XVI-XVIII, cet pertama (Jakarta: Wedatama,
2007), hal. 192
64
kapur, lilin, kapur barus, kayu sandel, air, perak, intan, dan merah delima. Barang-
barang dagangan yang diimpor cukainya besarnya 5% tetapi untuk yang sebesar
diekspor sebesar 10 %. Semenjak itu, Plakaat juga mengungkapkan pengangkatan
pejabat harus dengan memungut pajak (ontvanger) dan seorang Syahbandar
Pelabuhan Batavia hanya diberikan surat jalan untuk menyusuri jalan laut dan
memungut cukai impor dan ekspor. Tetapi pada tahun 1620, Syahbandar
mengangkat sebagai ontvanger yang memegang penerimaan kas bea dan cukai
yang di dapatkan dari Kapten Cina.47
Di Pelabuhan Batavia, pada tanggal 1 Januari 1621 VOC menaikkan tarif
bea cukai dari 5 % atau 10 % berubah menjadi 20% dari jenis buah-buahan dan
makanan. Pada zaman Janderal Van Diemen, tarif cukai menurut Coen dinaikkan
kembali menjadi 10 % dan diturunkan kembali menjadi 5% seperti awalnya. Coen
mengenakan biaya tarif cukai sebesar 5% untuk impor dan 10% untuk ekspor.
Pada masa Gubernur Jenderal Matsuker diadakan perubahan kembali.
Pemungutan cukai didasarkan pada berat barang dagangan dan dihitung sesuai
dengan nilai barang dan dinaikkan menjadi 5% dan berubah seketika menjadi 10
%, 15 % dan 20 %, sesuai aturan yang berlaku pada masa Coen.48
Ada sejenis
barang dagangan yang dilarang saat itu seperti candu dan arak. Ini disebabkan
adanya monopoli barang dagangan tersebut. Pemerintah Batavia menerapkan tarif
Cukai di Pelabuhan Batavia untuk ekspor dikenakan biaya tarif sebesar 10 %
47
Tawalinuddin Haris, op. cit.., hal. 192 48
Plakaatboek van Naderlandsch Indie, II, (1642-1670), hal. 77-78. Jenis ukuran yang
dimaksud dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, ukuran berat, seperti las, kati, koyan, dan ton.
Kedua, ukuran jumlah, seprti pikul, bahar, keranjang, tong, peti, botol, bilah, potong, karung,
tempayan, dan leger, Ketiga, ukuran panjang seperti elo dan roede, periksa Mr. S. Keijzer, Ibid,
hal. 562-563 dalam Tawalinuddin Haris, op. cit., hal. 194
65
sedangkan arak 5 %. Impor lada dikenakan biaya cukai ¼ ringgit per-pikul, pala
masuk daftar pesanan, tetapi tidak terdaftar dalam tarif. Kain dikenakan 10 %
untuk impor dan 5 % untuk produk-produk sutera dan sejenis sutera lainnya.
Sutera kasar Persia dan Benggala dikenakan tarif cukai 10 ringgit (impor ataupun
ekspor), dan sutera Cina dan Tonkin 10 ringgit (impor ataupun untuk ekspor).49
Dari uraian di atas bahwa Pelabuhan Batavia telah mengenakan pajak bagi
pedagang-pedagang asing berkisar 5 % hingga mencapai 20 % untuk yang berasal
dari pedagang Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu, (Birma atau Myanmar), dan
Keling.50
Sementara para pedagang dari Pulau Jawa akan dikenakan biaya pajak
sebesar 6%, ini merupakan kewajiban yang harus dibayar dari setiap pedagang
yang masuk ke Pelabuhan Batavia.51
Penerapan peraturan menimbulkan transaksi barang dagangan mengalami
kesulitan. Namun demikian para pedagang tetap berdatangan dengan membawa
muatan barang dagangan dalam skala besar dan proses bongkar muat barang
dagangan diupayakan tetap kondisi sehat sehingga tetap bermutu dan terjamin dari
kualitasnya.
D. Hubungan Pelayaran dan Perdagangan Masyarakat Batavia dengan
Dunia Luar.
Bukan tanpa alasan Belanda memilih tempat ini sebagai ibukota mereka.
Seperti menurut Adam Smith, bahwa Tanjung Harapan yang menjembatani Eropa
49
Tawalinuddin Haris, op. cit., hal. 195
50
Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasioanal Republik Indonesia, yang telah
membantu menerjemahkan Arsip Beviendingen op de eisen, ini di simpan (serinya tidak lengkap)
dalam arsip Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-13508 51
Lihat J.C. van Leur, op. cit., hal. 67 dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 144
66
dan Hindia Timur,52
maka masyarakat Batavia menjembatani salah satu usaha-
usaha penghubung lalu-lintas di jalan laut antara negara Hindia Timur. Letaknya
yang sangat strategis di jalur keramaian antara India, Cina, Jepang, dan
sebagainya.
Setiap harinya aktivitas selalu dilakukan melalui perdagangan yang
memiliki corak maritim dari Pantai Batavia dalam menggunakan transportasi laut
yang masih mengandalkan perahu dagang dan kapal dagang sebagai alat
transportasi yang dibutuhkan masyarakat Batavia untuk membawa isi muatan
barang dagangan yang berlayar ke Eropa dan Cina, dan berlabuh di Perairan
Batavia terlebih dahulu. Terlebih dahulu orang-orang Cina banyak berdatangan ke
Batavia menyusuri Perairan Batavia yang selalu diramaikan para pedagang dari
dunia luar. Batavia telah menjadi kota dagang yang besar di dunia perdagangan
dan membawa peruntungan yang lebih baik. Mereka berdatangan ke Batavia baik
secara legal maupun ilegal. Jika mereka datang secara ilegal, biasanya mereka
diturunkan di tengah jalan, bukan di Pelabuhan Batavia. Etnis Cina dengan cepat
membaur ke dalam kehidupan ekonomi perdagangan masyarakat pribumi dan
juga dengan orang Eropa.
Masyarakat di Batavia memperdagangkan barang-barang dari luar daerah di
Pasar Ikan dan tiap daerah yang lingkupnya masih di wilayah Batavia yang
mempunyai hari pasar tertentu. Barang jualannya dibawa dengan keranjang yang
diberi tali, para pedagang lokal ini biasanya dilakukan kaum wanita. Sementara
itu, jika diadakan kontak tentang jual beli atau transaksi dibatalkan dan ada yang
52
Lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., , hal 120
67
diiyakan, sesuai mutu barang dagangan yang ingin dibeli sesuai kualitas dan
kuantitas barang dagangan, sehingga anggota masyarakat Batavia baik dari
golongan Pribumi, Melayu, Cina, dan keluarga Belanda ikut serta dalam
berdagang dan berlayar untuk memperoleh pendapatan dari segi keutungan yang
cukup memuaskan dari segi penjualan rempah-rempah dan perdagangan lainnya.
Terutama masyarakat Batavia memiliki arti khusus untuk menjalin
kerjasama dalam berlayar dan berdagang di kawasan Hindia Timur, yang
mencakup bangsa Eropa dan juga masyarakat Pribumi dan Melayu. Demikian
halnya dengan para pedagang Cina, Jepang, Tonquin, Malaka, Cochin Cina dan
Pulau Celebes (Pulau Sulawesi), dan Maluku. Hal ini dijadikan pinjakan dari
aktivitas berlayar dan berdagang yang menuju Perairan Batavia.53
Hal ini didasari agar setiap hubungan dagang itu memiliki jembatan yang
menghubungkan dengan daerah-daerah sekitarnya dan masyarakat Batavia
membentuk hubungan dagang dengan dunia luar. Masyarakat Batavia tidak hanya
menjadi pusat perhatian aktivitas ekonomi dan politik tetapi memegang peranan
yang penting dalam bidang ekonomi, yaitu berperan sebagai mitra dagang.
Dalam sebuah lintas perdagangan maritim akan didapati berbagai
kelompok bangsa yang berperan penting dalam kehidupan ekonomi kota
perdagangan. Karena mereka itu merupakan pemain yang aktif dalam
perdagangan dalam negeri hingga ke luar negeri. Hal ini yang menjadikan sebuah
53
Lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal. 120-121
68
kota perdagangan yang sifatnya pluralistik yang mempertemukan bangsa-bangsa
dari seluruh wilayah.54
Abad XVII sampai pertengahan abad XVIII merupakan puncak
kegemilangan masyarakat Batavia. Batavia banyak didatangi oleh berbagai bangsa
yang ikut meramaikan perdagangan maritim. Seringnya mereka melakukan
perdagangan, lambat laun mereka berdomisili di Batavia.
Valentijn mengungkapkan bahwa jumlah masyarakat Batavia pada tahun
1772 berkisar 100.000 orang karena kedatangan orang-orang yang berlayar dan
berdagang ke Batavia dan kerjasama dengan masyarakat Batavia. Mereka yang
berasal dari berbagai bangsa dan negara seperti Belanda, Inggris, Portugis,
Mestizo, Mardiker (orang-orang Koromandel, Arakan, Malabar, Sri Langka, dan
Melayu), Cina, Markiner, Armenia, Parsi, Moor, Benggala, Tonkin, Timor, Jawa,
Makasar, Ambon, Ternate, Melayu, Bugis, Mandar, Bugis, Buton, Sumbawa,
Bima dan lain sebagainya.55
Milone juga menambahkan dengan adanya orang-orang asing maka
bertambah pula orang-orang asing juga berlayar dan berdagang ke Batavia,
seperti; Prancis, Cina, Arab, Jepang, Papanger dan orang-orang berkulit hitam
(Afrika) ikut berdatangan ke tempat ini, untuk memperdagangkan hasil agraris,
hasil laut dan lain sebagainya.56
54
Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Jilid II terj, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 88
55
Franciscos Valentijn, Beschriving van Grot Djawa of the Java Major, (Amsterdam:
Johanes van Bram, Grard on der de linden, 1726). Hal. 244
56
Lihat Uka Tjandrasasmita, op. cit., 143 dan lihat Tawalinuddin Haris, op. cit., hal. 70
69
Para pedagang Cina, Arab, dan Nusantara pada umumnya datang ke Batavia
hanya untuk berdagang. Namun, tidak dipungkiri lagi bahwa para pedagang dari
Arab dan Indonesia membawa misi mengislamkan masyarakat sekitar.
Berdasarkan sumber-sumber sejarah bahwa dalam abad ke-XVII dan
pertengahan abad XVIII Cina, Melayu, Nusantara, dan Belanda-lah yang
memiliki peranan yang amat berarti bagi perdagangan di Batavia. Peran penting
ini dapat dilihat dari sejauh mana mereka dapat memainkan pengaruhnya dalam
faktor ekonomi dan politik.
Faktor hubungan ekonomi dan politik itulah-yang biasanya melibatkan
orang-orang berlainan budaya, suku, dan loyalitas disatukan tidak hanya dengan
aliansi formal,57
yang dibuat dalam menjalankan aktivitas berlayar dan berdagang
di perairan Batavia tetapi dengan berbagai barang-barang rampasan dari
perdagangan dari dunia luar. Hal tersebut agar tidak rapuh karena keseimbangan
tersebut terganggu jika perdagangan menurun dan keuntungan juga menurun
sehingga produsen akan menahan produknya, atau bahkan mencari pasar yang
lain, atau kemungkinan pergi berlayar mencari peruntungan yang lebih baik lagi,
atau kembali ke kehidupan yang lama.
Hal ini menunjukkan bahwa ketika berlayar untuk mencari peruntungan
yang lebih baik maka selalu memadati lalu litas orang berlayar dan berdagang
hanya dari kalangan masyarakat Batavia. Sementara melibatkan masyarakat
Pribumi dan Melayu adalah sebagai hasil yang diupayakan untuk berhubungan
langsung dengan masyarakat Batavia atau bahkan untuk menjalin hubungan
57
Lihat Prof. Dr. Adrian. B Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut Sejarah Kawasan
Laut Sulawesi Abad XIX, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hal. 57
70
dagang ke luar negeri melalui Negara Cina, Jepang, Inggris, Iran, Arab,
Abessinia, India, dan lain sebagainya.58
Hubungan ini membawa angin segar dan mempunyai dampak yang
menguntungkan secara ekonomis dari segi pendapatan masyarakat Batavia.
Karena masyarakat Batavia dapat melakukan transaksi tukar-menukar barang
dagangan, sejenis rempah-rempah/agraris atau bahkan hasil laut sekalipun. Selain
itu masyarakat Batavia telah menjalani kontak dagang baik dalam negeri maupun
luar negeri. Dengan tujuan mencari keuntungan sebanyak mungkin tetapi tetap
dengan kegiatan ekonomi perdagangan di bawah pengawasan pemerintah
Belanda.59
Masyarakat Batavia memiliki loyalitas yang tinggi terhadap penguasa
pribumi dan Belanda. Masyarakat Batavia hidup berprofesi sebagai nelayan,
pedagang serta penjaga keamanan sungai Ciliwung dan pantai Batavia. Mereka
berdomisili di Pantai Batavia, sebagian besar hidup mereka di tepi sungai
Ciliwung dan pantai Batavia untuk menangkap ikan dengan jaring, yang sudah
mereka siapkan dari rumah tempat tinggalnya, sehingga masyarakat Batavia
membawa jaring dan mencari peruntungan demi menutupi kebutuhan sehari-hari
dengan harapan mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya di rumah.
Sementara itu, masyarakat Batavia dapat dikatakan masyarakat yang
nomaden, sebagian besar maupun kecil kehidupannya masih tergantung pada
perahu dan kapal dagang sebagai alat transportasi yang dilakukan untuk berlayar
58 Lihat Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: PT Gramedia, 2009),
143 59
Lihat Singgih Tri Sulistioyono, „‟The Java Sea Network: Pattern in the development of
Integrrgional Shipping and Trade in the Process of economic Integration in Indonesia, 1870-2
1970s (Disertasi pada Leiden University, 2003), hal. 225
71
dan sebagai tempat tinggal mereka. Kesemuanya itu, atas dasar suka maupun
tidak suka dalam melakukan pekerjaan sebagai nelayan dan penjaga pantai,
kehidupannya dan transaksi perdagangan secara barter ataupun membeli secara
langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan hasil rempah-rempah dan
sejenis barang-barang dagangan lainnya yang mereka butuhkan.
Kondisi ini yang dialami, dapat menunjang ekonomi masyarakat Batavia
yang telah membuka kontak dagang sampai ke pelosok pedalaman dan daerah-
daerah lainnya. Hal ini untuk menggerakkan ekonomi nelayan, ekonomi
pertanian, dan ekonomi kelautan di sekitar perairan Batavia. Oleh sebab itu,
masyarakat Batavia juga dapat menjalin dengan Malaka, sehingga Batavia dapat
digolongkan sebagai jalinan perdagangan yang penting bagi Belanda. Besar
kemungkinan banyak transaksi barang-barang dagangan yang dilakukan di sekitar
Pelabuhan Batavia dengan Malaka. Malaka dan Batavia mempunyai nilai
ekonomi perdagangan terhadap masyarakat yang dinilai cukup tinggi dan telah
berhasil menjual dari hasil lada/rempah-rempah, beras, hasil ikan dan lain
sebagainya.60
Dalam menjalankan aktivitas berlayar dan berdagang dalam transaksi
barang dagangan di sekitar Pantai Batavia, kapal dagang maupun perahu dagang
ikut melakukan transaksi barang dagangan secara barter hingga mendapatkan hasil
yang lebih baik dari pedagang-pedagang lainnya dan tidak berat sebelah, serta
saling percaya di antara keduanya. Transaksi barang dagangan tersebut didorong
adanya upaya-upaya untuk saling kerjasama dalam bentuk persekutuan atau
60 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 150
72
persahabatan sehingga hubungan antar suku bangsa terutama dalam hal lalu-lintas
berlayar dan berdagang dapat berjalan dengan baik. Hubungan dagang ini pada
awalnya berbentuk tukar-menukar barang berdasarkan didorong oleh kebutuhan
masing-masing akan kebutuhan pokok.
72
BAB IV
KONDISI PERDAGANGAN MARITIM BATAVIA
A. Kondisi Perdagangan Maritim Batavia
Di bawah kekuasaan VOC, situasi perdagangan maritim diupayakan masuk
Pelabuhan Batavia dan berkembang lebih pesat lagi menjadi sebuah pelabuhan
transito Internasional dan Batavia menjadi bandar pelabuhan terpenting di Asia.
Saat itu Batavia menjadi urat nadi jaringan perniagaan yang terbentang dari
Jepang sampai Afrika dan dari Ternate hingga bandar Surat di Teluk Arab.
Sistem perdagangan Nusantara melalui selat Malaka dihubungkan jalur-
jalur yang membentang ke Barat sampai India, Persia, Arabia, Syria, Afrika
Timur dan Laut Tengah, ke Utara sampai Siam, Pegu serta ke Timur sampai Cina
dan Jepang. Ini merupakan sistem perdagangan terbesar di dunia perdagangan
pada saat itu.
Tidak seperti kota-kota pelabuhan lain di Asia, Batavia adalah pelabuhan
yang dapat dicapai dalam semua musim di sepanjang tahun. Angin musim timur
bertiup antara bulan Mei hingga Oktober, sedangkan angin musim barat bertiup
antara bulan Desember hingga Maret. Keteraturan angin musim menyebabkan
waktu kedatangan dan keberangkatan kapal-kapal ke dan dari Batavia dapat
direncanakan dengan baik.1
1
http://kns-ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20 Kanumoyoso,
% 20 M.Hum. Pdf (Dikunjungi Tanggal 16 Desember 2011)
73
Melalui selat Malaka para pedagang datang, kemudian menyusuri selat
Sunda dan para pedagang terlibat dalam dunia perdagangan di Batavia. Dengan
modal utama seperti rempah-rempah menjadi komoditas unggulan, yaitu lada dan
merica dari Sumatera,2 cengkeh dan pala dari Maluku dan sejenis kayu
gelodongan dari Rembang yang diangkut ke Pelabuhan Batavia.
Posisi Batavia pada saat itu sangatlah strategis dari letak geografis dan hasil
sumber daya alam, serta ditambah dengan sumber daya manusia dari kalangan
pedagang Pribumi, Melayu, Cina, dan Belanda yang memadai dan melimpah. Hal
ini menyebabkan Batavia mampu dan berhasil menjadi salah satu pusat
perdagangan yang diperhitungkan di dunia perdagangan.
Sebagai sebuah kota pelabuhan transito Internasional, Batavia dapat
menyuplai berbagai jenis barang dagangan ke negara-negara Eropa dari berbagai
daerah Indonesia maupun negara di Asia lainnya seperti Cina dan India) dengan
komoditas perdagangan seperti kain, sutra, teh, kopi, tembakau, rempah-rempah,
arak (tuak), dan berbagai jenis keramik. Kejayaan bandar Pelabuhan Batavia
inilah yang secara langsung menjadi faktor utama pesatnya Batavia di masa
kekuasaaan VOC. Tidak hanya itu, dengan adanya Batavia ini, Batavia juga
membantu kemajuan perekonomian Belanda.
Keuntungan dari perdagangan yang berpusat di pelabuhan Batavia akan
cukup untuk menyediakan rempah dan lada jumlah yang diperlukan untuk
diekspor ke Eropa. Bahwa pelayaran dan perdagangan antara Eropa dan Asia akan
2 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 138, 139 dan 152
74
terbatas pada sedikit kapal per tahun,3 tetapi ini adalah kapal dagang yang memuat
barang dagangan yang berharga jutaan gulden, sementara perlayaran dan
perdagangan Belanda selalu hidup dan terus berlangsung dengan koloninya di
sepanjang pantai Asia dari Persia sampai Jepang.
Lokasi yang sedemikian baik menjadikannya sangat ideal untuk dijadikan
tempat berlabuh bagi kapal-kapal kecil yang melayari rute antar-pulau maupun
kapal-kapal besar yang melayarai jalur antar samudra. Jung-jung Cina dan kapal-
kapal kecil dari pulau-pulau lain di Nusantara berlabuh di lepas pantai, sementara
kapal-kapal besar milik VOC maupun maskapai dagang lainnya membuang sauh
dan jangkar kapal agak jauh dari garis pantai.
Secara prosedural, semua kapal besar yang akan membuang jangkar di
pelabuhan Batavia akan didatangi oleh seorang fiscal (Jaksa Penuntut). Petugas
VOC ini akan memeriksa keadaan kapal dan barang-barang yang dibawanya. Jika
fiscaal tidak menemukan barang-barang selundupan ataupun yang terlarang untuk
diperdagangkan, maka kapal dapat membuang sauh.4 Setelah itu kapal akan
didatangi oleh para pedagang Cina yang ingin melihat-lihat dan membeli barang-
barang yang dapat dijual kembali ke pihak ketiga dengan keuntungan yang tinggi.
Berikutnya yang datang mendekat ke kapal adalah para pedagang kecil
menggunakan perahu yang menawarkan berbagai barang dagangan mereka seperti
sayuran, buah-buahan, arak, dan lain sebagainya.
3 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 152
4 http://kns-ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20 Kanumoyoso,
% 20 M.Hum. Pdf (Dikunjungi Tanggal 16 Desember 2011)
75
Setiap tahunnya Batavia mengirimkan pemasukan dalam jumlah yang besar
yaitu 4 juta gulden ke Belanda. Berkat pelabuhan ini pula, Batavia berkembang
sangat maju, banyak pengusaha yang menjadi kaya di kota ini. Dengan adanya
kanal-kanalnya yang di aliri air yang jernih dan bangunan-bangunan yang megah
dan indah yang mengisi kota, membuat Batavia mendapatkan julukan „‟Ratu Dari
Timur‟‟ (Koningen van Het Oosten) dan menjadi daya tarik tersendiri bagi
negara-negara lainnya khususnya negara-negara di Eropa untuk datang dan
berkunjung ke Batavia seperti; Inggris, Prancis, dan negara-negara Skandanavia
seperti Swedia, pada tahun 1732-1733 dengan kapal Gotheborg dalam pelayaran
pertamanya menuju Canton (Cina) tertarik untuk datang dan singgah di Batavia.5
Dari sudut ekonomi Internasional, bandar Batavia sangat strategis di jalur
perdagangan rempah-rempah yang melalui selat Malaka, selat Sunda, Laut Jawa,
Flores, sampai ke Maluku. Semua kapal yang berlayar dan berdagang antara Cina
dan Eropa harus melewati Batavia sehingga menjadi pusat pasar dan perdagangan
yang memilik corak maritim di Hindia Timur. Semua barang dagangan dari Eropa
ditimbun di Batavia sebelum didistribusikan untuk pasar-pasar di Asia, begitu
pula barang-barang yang dikirim ke Eropa. Dengan demikian Batavia berfungsi
sebagai interpots wilayah yang sangat luas.6
Seperti yang dikemukakan dalam Bab sebelumnya, bahwa Jan Piterszoon
Coen lebih memilih Pelabuhan Batavia sebagai pusat perdagangan Belanda di
Asia. Situasi pedagangan maritim ini yang muncul sebagai salah satu upaya untuk
mewujudkan cita-citanya untuk memajukan perdagangan maritim Batavia.
5 Taufik Ahmad, op. cit., hal. 11
6 R Kenneth Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia,
(Honolulu: University of Hawai Press, 1985), hal. 97
76
Dengan demikian dalam kenyataannya para pedagang telah menggerakkan roda
ekonomi, khususnya perdagangan yang memiliki corak maritim, sehingga
Pelabuhan Batavia menjadi pusat yang paling baik, tempat berkumpulnya
pedagang-pedagang dalam negeri dan luar negeri dan selalu diramaikan dengan
kedatangan para pedagang lainnya.
Penghasilan pokok masyarakat Batavia pada saat itu masih mengandalkan
dari hasil agraris dan hasil laut. Sedangkan perdagangan maritim dianggap
sebagai salah satu upaya untuk memperlancar jalannya distribusi barang
dagangan, yang akan menambah penghasilan dari sektor perdagangan corak
maritim.
Namun pada tahun 1619, kondisi perdagangan maritim saat itu sedang
tidak stabil. Hal ini disebabkan masyarakat Maluku memprotes dengan adanya
monopoli perdagangan yang dimainkan oleh Belanda di Maluku dan di Batavia.7
Sementara kehadiran Belanda adalah faktor penting bagi masyarakat Batavia dan
kerajaan di Nusantara dalam menekan kekuasaan Portugis di Malaka dan di
Maluku.
Faktor utama orang Belanda yang berani tampil mempropagandakan taktik
dan misi melalui penawaran yang diikuti bantuan hibah untuk menangani konflik
internal dan eksternal masyarakat Batavia dalam bidang ekonomi, serta adanya
imbalan berupa wilayah kekuasaan. Belanda memperoleh hak-hak istimewa di
Batavia yang sangat menggiurkan dalam aspek perdagangan seperti hak beli
barang dagangan, monopoli hasil bumi, penyerahan atas barang-barang dagangan
7 Arsip Nasional RI, dalam koleksi Colenbrander, Coen, 1: 245.
77
yang harus diberikan kepada Belanda, sehingga jumlah barang-barang dagangan
dapat berubah-ubah sesuai ukuran barang dagangan dan harga beli dengan diikuti
harga jual barang dagangan yang sudah ditetapkan oleh Belanda, dan adanya upeti
tanpa ganti rugi dari pihak VOC.8
Dengan berhasilnya Belanda memperkuat kedudukan di Batavia berarti
makin besar pula pengaruhnya terhadap monopoli perdagangan maritim di seluruh
Nusantara. Hal ini pula menimbulkan harga-harga sejenis rempah-rempah seperti
lada, cengkeh dan lainnya di Batavia naik sangat tinggi sehingga dijadikan aspek
penjualan hingga ke pasar Eropa, walaupun adanya di antara pesaing-pesaing
para pedagang seperti Belanda, Inggris, dan Cina. Markas gudang penyimpanan
barang dagangan dan benteng-benteng pertahanan sebagai pangkalan (loji) dan
tempat penyimpanan barang dagangan Belanda mulai di serang, korban pun mulai
banyak berjatuhan dari pihak Belanda.9
Setelah beberapa lama kemudian orang-orang Belanda masih memperkuat
pemerintah Batavia dan pada saat itu berhasil selamat dari kepungan para
musuhnya di kalangan pedagang di Perairan Batavia. Di antara para pedagang di
Nusantara, yang dapat bernapas dengan lega di markas gudang tempat
penyimpanan barang-barang dagangan adalah Jan Piterszoon Coen yang ingin
menyusun rencana dagangnya ke Pulau Jawa.10
Sementara masa pemerintahan Sultan Agung terjadi perselisihan antara
para pedagang Belanda di Jepara. Hal ini mengakibatkan Sultan Agung
melakukan serangan ke pusat perdagangan maritim Belanda di Batavia dan ingin
8 D. G. E Hall, op. cit., hal. 257-258
9 Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 146
10
M.C. Ricklefs, op. cit., hal. 66-67
78
mengusir Belanda dari Batavia (tetapi gagal).11
Untuk menghadapi Belanda,
Mataram dalam hal ini dipimpin oleh Sultan Agung menjalin hubungan dengan
Portugis (musuh Belanda dari Eropa). Agar terpenuhi segala kebutuhan berasnya
dari Mataram, Portugis berjanji akan menyerang Belanda dari laut, namun janji itu
tidak pernah dipenuhi. Perlawanan demi perlawanan dari serangan armada dagang
terhadap Belanda di Batavia. Akhirnya dilakukan melalui ekonomi perdagangan
dengan cara memblokir seluruh keperluan logistik yang terdapat di Batavia dan
melarang pengiriman beras sebagai jalan distribusi barang dagangan ke kota
tersebut.
Saatnya pemerintah Batavia berupaya untuk memperkuat armada dagang
Garnisiun yang di dalamnya terdapat orang Cina, Jepang, dan Belanda, dan
berhasil menahan serangan serta dapat melumpuhkan kekuatan armada dagang
dari Kerajaan Mataram dan Banten.12
Situasi ini yang muncul dalam aspek perdagangan maritim di Batavia tetap
berjalan dengan para pedagang dan koloninya beserta orang-orang Eropa. Sultan
Agung Mataram yang mengalami kekalahan atas Belanda masih bisa bertahan dan
terus ingin memperluas wilayahnya dan mengincar pos dagang Belanda di
Batavia, di bawah pimpinan Sultan Agung.13
Diberitakan pula bahwa 50 kapal Cirebon dengan membawa muatan beras,
memasuki perairan sebelah Timur Karawang. Pada tanggal 7 Mei 1632 datang
11 Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, peneliti, pada tanggal 24 Mei 2011 digedung
Arsip Nasional Republik Indonesia. 12
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 166-167
13
M.C. Ricklefs, op. cit., hal. 70-71
79
juga perahu-perahu dari Cirebon dan kapal yang membawa gula, minyak, dan
lain-lain, yang oleh pihak Belanda diduga menuju Batavia.
Kemudian tanggal 12 Mei 1632, datang kapal-kapal Melayu dengan
membawa gula, minyak, dan lain-lain.14
Kesibukan pelabuhan Batavia telah
dicatat dalam Dagh-Register dalam tahun 1633 dan 1634, yang menjelaskan
datang komoditas perdagangan beras, minyak kelapa, gula, sayuran, daging, dan
lain sebagainya.15
Sebagaimana dicatat dalam Dagh-Rigister dalam tahun 1675 bahwa pada
tanggal 30 April 1675 semakin melengkapi bukti-bukti adanya kontak dagang
Batavia dengan Cirebon. Tanggal 30 April 1675 terdapat 25 kapal dari Cirebon
membawa penumpang sebanyak 1067 sampai yang di tuju Batavia, dengan
membawa 38.000 potong arax pullenkens, 10 pot ibung asinan, 287 karung gula
hitam, 10 karung gula putih, 1717 karung beras, 155 pot minyak, 24 sak kapuk,
10.000 butir telur asin, 1300 ikat padi, 2 pikul tembakau dari Jawa, dan 200
lembar kulit kerbau. Sedangkan kapal yang menuju Cirebon berjumlah 14 buah
dengan membawa pakaian seharga 135 rds, porselin seharga 16 rds, amphium
seharga 700 rds. Slaafkooper seharga 760 rds, dan uang kontan senilai 50 rds.
Selanjutnya Dagh-Register tahun 1676, 1677, dan 1678 mencatat bahwa kapal-
kapal yang berasal dari Cirebon yang tiba di Batavia untuk memperdagangkan
14 H.T. Colenbrander (ed), Dagh-Register genouden te Casteel Batavia vant paserende
daer ter plaetse als overgeheel Naderlandts India Anno 1631-1634 (Batavia Landsdrukkery:
Gravenbage Martinus Nijhoff, 1898), Dagh-Register 1632 hal. 291, 374, 408, 409, 410, 418
15
H.T. Colenbrander (ed), Dagh-Register genouden te Casteel Batavia vant paserende
daer ter plaetse als overgeheel Naderlandts India Anno 1631-1634, (Batavia Landsdrukkery:
Gravenbage Martinus Nijhoff 1898), Dagh-Register 1632 hal. 291, 374, 408, 409, 410, 418
80
komoditas barang-barang dagangan yang hampir sama dengan barang-barang
yang diperdagangkan di Batavia.16
Sampai tahun 1780 VOC telah berhasil menguasai jalinan pelayaran dan
perdagangan di Pulau Jawa dan Pemerintah Batavia pada saat itu, dikendalikan
oleh orang-orang Belanda. Situasi tersebut, berdampak dengan adanya larangan
dari sektor swasta di Pulau Jawa untuk menjalankan pengakutan komoditas
rempah-rempah dari Maluku, bahkan Batavia berupaya memainkan monopoli
impor dan ekspor bagi komoditas barang dagangan. Untuk memaksimalkan
keuntungan sebanyak mungkin Pemerintah Batavia memberlakukan peraturan
pembatasan bagi 15 pelabuhan yang terdapat di Pulau Jawa.
Di antara peraturannya tersebut adalah seperti Surabaya, Gresik, Semarang,
dan Cirebon. Sebuah kapal bisa mendapatkan dokumennya untuk berlayar dengan
tujuan pasar luar negeri, yang di tempatkan di sekitar Selat Malaka dan Pulau
Sulawesi, Jika nahkoda kapal memberi izin untuk berlayar dan berdagang yang
lebih lama dengan tujuan yang lebih jauh.17
Dari kebijakan VOC di Batavia, Gerrit J. Knaap mengungkapkan tentang
volume perdagangan maritim yang rata-rata per-tahun dari kedatangan dan
keberangkatan di pelabuhan-pelabuhan dihitung dalam ukuran ton, seperti dalam
tabel di bawah ini:
16 Fe de Haan (ed), Dagh-Register genouden te Casteel Batavia vant paserende daer ter
plaetse als overgeheel Naderlandts India Anno 1680 (Batavia Landsdrukkery: Gravenbage
Martinus Nijhoff, 1919), Dagh-Register , 1675: hal. 111, 113; Dagh-Register, 1676: hal. 111, 118
dan lihat Departemen Dor Buregelike Openbaare: Havewezen No. 5. Nederlandsh-Indishe,
Batavia Februari, 1920
17
Lihat misalnya Gerrit J. Knaap, Shallow Water, Rising Tide: Shipping and Trade in
Java around 1775, ( Leiden: KITLV, 1996), hal. 9
81
Tabel 1.18
Volume Rata-rata muatan barang Pertahun dari Kedatangan dan
Keberangkatan kapal hingga ke Pelabuhan-pelabuhan
Seperti Gerrit J. Knaap, ia mengungkapkan dalam perhitungannya, jumlah
total secara keseluruhan volume tahunan. Setidaknya, seluruh pelabuhan yang
terdapat di Pulau Jawa mencapai 600.800 ton. Di mana Batavia menjadi basis
utama aktivitas perdagangan maritim di Pulau Jawa dan sekitarnya, Batavia
masih memperoleh pendapatannya sebesar 40% × 600.800 = 240. 320. Batavia
menjadi pusat perdagangan maritim di Pulau Jawa. Sedangkan mengenai
komoditas ekspor per-tahun yang diangkut dengan kapal-kapal dagang adalah
seperti dalam Tabel 2 di bawah ini.19
18 Lihat misalnya Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 12
19
Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 12
Kota Dalam ukuran ton Kota DalamUkuran ton
Banyuwangi 2.000 Pasuruan 2.400
Sumenep 7.200 Surabaya 35.800
Gresik 35.800 Rembang 38.800
Juwana 30.400 Jepara 19.000
Semarang 108.800 Pekalongan 19.200
Tegal 14.000 Cirebon 19.200
Batavia 240. 320 Banten 19.400
Komoditas Volume Diekspor oleh VOC
Lada Hitam 23.000 pikul 100% oleh VOC
Kopi 43.000 pikul 100% oleh VOC
Gula Tepung 57.000 pikul 80% oleh VOC
Beras 427.000 pikul 41% oleh VOC
Papan Kayu 126.000 pikul 40% oleh VOC
Arak 15.000 pikul 20% oleh VOC
82
Menurut Gerrit J. Knaap, tampilnya Batavia sebagai pusat dunia
perdagangan karena disokong oleh pelabuhan-pelabuhan yang ada di Pulau Jawa
dan beserta barang muatannya.20
Batavia menjadi ibukota VOC di Asia, dan
sebagai pusat perdagangan maritim khususnya untuk daerah di Pantai Utara Jawa.
Arus perdagangan maritim dikonsolidasikan dari Batavia baik melalui jalur dalam
negeri sampai ke luar negeri.
Pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa itu hanya
berperan sebagai penyuplai kebutuhan barang dagangan, dan akan persediaan
barang dagangan yang dibutuhkan di Batavia. Sementara itu, orang-orang Eropa
terus monopoli perdagangan maritim tersebut dan menguasai wilayah Indonesia.
Batavia dikuasai VOC dan perang di laut antara koloni dagang pun tak terelakan
lagi antara Portugis yang menguasai Malaka, Spanyol dan menguasai Ternate. Di
bawah kepemimpinan Jenderal Jaques Specx, VOC di Batavia mencapai
perluasan terbesar. Perang antara koloni dagang dengan Portugis terus
berlangsung tanpa henti sampai tahun 1640.21
Pada tahun 1645 Batavia berdamai dengan Sultan Banten dengan alasan
agar dapat mendistribusikan barang-barang dagangan, 22
Semenjak itu, Batavia
20 Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 12
21
D. G. E Hall, op. cit., hal. 280 22
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 166-167
Kayu Gelondongan 56.000 pikul 10% oleh VOC
Garam 142.000 pikul 0% oleh VOC
Tembakau Jawa 17.000 pikul 0% oleh VOC
Pakaian Jawa 146.000 pikul 0% oleh VOC
Gula Jawa 22.000 pikul 0% oleh VOC
83
memakai jalan diplomatik yang dimiliki untuk berdamai selain dengan Banten
juga dengan Mataram. Diplomasi tersebut dengan tujuan untuk meluaskan
kekuasaan dagangnya sehingga dapat memonopoli seluruh barang dagangannya
disebagian besar Pantai Selatan Asia dan memperluas hubungan dengan
pedagang-pedagang Asia lainnya.
Semenjak itu, keadaan perdagangan maritim Batavia makin memburuk bagi
para pedagang Pribumi dan etnis lainnya. Selama Gubernur Jendral Speelman, ia
tidak menghiraukan nasihat Dewan Hindia Timur yang ada di Batavia sehingga
selama kekuasaannya (1681-1684) jumlah penjualan kain tekstil turun 90%, dan
monopoli candu tidak efektif, serta para pedagang swasta dibiarkan melanggar
monopoli VOC. Dia menggelapkan sejumlah dana besar perekonomian. Dalam
tahun 1682 membuat hutang-hutang tidak dapat dilunasi kepada para raja
Belanda. Hutang tersebut sudah mencapai jumlah 1.540.000 real.23
VOC di Batavia ketika itu juga sedang memasuki masa sulit terlebih ketika
Gubernur Jenderal Speelman meninggal pada tahun 1684. Melemahnya VOC di
Batavia sangat terasa pada akhir abad ini, dan hal ini pasti menguntungkan
kesultanan-kesultanan pribumi terutama Kesultanan Riau dan Sulu, yang
keduanya terletak di dekat selat Malaka yang pasti dan menguntungkan bagi dunia
perdagangan.
Pada waktu itu Batavia dicemaskan oleh Sultan Riau yang membawahi
orang-orang Bugis sebagai petualang dan pedagang, mereka selamat tanpa ragu-
ragu mengepung Malaka pada tahun 1784. Bahkan Ceylon, di mana VOC
23 M.C. Ricklefs, op. cit., hal. 70-71
84
berkedudukan lebih mantap dan menjalankan perdagangan kayu manis yang
sangat menguntungkan. Belanda harus menghadapi pemberontakan dahsyat yang
beberapa lama membuat mereka terpojok di dalam Kota Kolombo (1716-1766).24
Namun dengan adanya kondisi perdagangan maritim yang tidak stabil di
wilayah otonom Belanda di Kolombo, maka harga pejualan hasil bumi dan hasil
laut ikut melambung tinggi karena adanya monopoli dagang secara besar-besaran
sehingga akhirnya alat-alat produksi diambil oleh Belanda dan keadaan tersebut
sangat menguntungkan bagi Belanda di Batavia. Kiriman dagang pun terus
mengalir dari pos-pos dagang di Batavia dan pos-pos dagang di luar Batavia
sampai ke luar negeri.
Pada masa VOC kota Batavia menjadi pusat perdagangan yang memiliki
jaringan perdagangan yang sangat luas, kapal-kapal dagang dari VOC mendatangi
bandar-bandar penting di Indonesia dan Asia seperti; Jepang, Taiwan, Malaka,
Taiwan, Siam, Patani, Arakan, Kamboja, Benggala, Koromandel dan Sri Langka.
Pada saat itu Jan Piterszoon Coen berusaha agar VOC yang berpusat di
Batavia mengikuti pola-pola perdagangan Asia yang bertumpu pada perdagangan
antar-Asia, yaitu, Jawa, Jepang, Thailand, dan Cina. Keuntungan di dunia
perdagangan untuk membiayai pos-pos dagang di Pulau rempah-rempah dan amat
penting bagi Belanda di pasar Eropa. Dengan demikian perdagangan Asia dapat
mendukung perdagangan rempah-rempah Belanda ke pasar Eropa.25
Pada saat itu keinginan Belanda tercapai di Batavia, mereka berhasil
menguasai perdagangan dunia internasional dan menjadikan Batavia sebagai
24 Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu, Bagian I: Batas-
Batas Pembaratan , (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 63
25
Tawalinudin Haris, op. cit., hal. 188 dan lihat F. De Haan, op. cit., hal. 30-35
85
ibukota. Rencana raksasa Jan Piterszoon Coen untuk membuat Batavia menjadi
pusat perdagangan Asia yang lebih besar melalui perdagangan maritim ini,
mendapatkan cara untuk memperoleh produk berharga yang bisa di ekspor ke
Eropa tampaknya telah tercapai.
Beberapa hal yang menarik yang perlu diperhatikan bahwa keterikatan
Batavia dipengaruhi unsur-unsur sebagai berikut :
A. 1. Mobilitas Kapal dan Perahu
Bukan tanpa alasan perjalanan kapal memperlihatkan sektor utama
perjalanan kapal menuju pelabuhan Batavia, Cirebon, Semarang, Gresik dan
Surabaya di sebutkan perjalanan kapal di Jawa. Antara 60%-90% yang pindah di
pelabuhan di kota-kota besar di Jawa. Maluku menghasilkan pelayaran utama
sesudah Batavia. Sama seperti capaiannya di Jawa Barat dengan Sumatra Barat.
Pelabuhan Batavia sendiri membuktikan kapal-kapal yang menuju di Pulau Jawa
sampai ke Sulawesi, melewati perairan di Nusa Tenggara dan Kalimantan.26
Bagaimanapun karena Kalimantan dan Nusa Tenggara relatif memiliki
hubungan dagang keluar pulau, hal ini juga dibangun baik dari hubungan
dagangan antara Gresik dan Surabaya. Cirebon, Semarang, Gresik dan Surabaya
dilihat baik dengan hubungannya dengan jalur Malaka. Dilain pihak ini
seharusnya pelabuhan utama di Batavia juga mempunyai hubungan lain dengan
Asia Tenggara, sebagai contoh dengan Siam dan hubungan dagang dengan Cina
dan India.
26 lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 48
86
Kebijakan VOC kurang lebih menjamin orang asing yang berasal dari
Eropa dari bagian Timur kepulauan dari luar Jawa Batavia. Meskipun Cina
bermain tidak mempunyai hubungan dengan India, pelayaran negara Inggris
mempunyai hubungan dengan orang-orang Eropa.
Mereka mempunyai harapan pelayaran negara sampai di Batavia
umumnya tidak melintasi jalur dari India ke Cina, ini memperlihatkan
perdagangan khususnya di India sampai Asia Tenggara. Mereka yang berjualan
dan membeli souvenir ditempat seperti Riau, Aceh atau Burma. Hubungan
individual sangat penting dilakukan untuk berdagang dalam aktivitas perdagangan
Eropa, Madras, dan Bombay.
Hal ini masuk dalam hitungannya 1 kapal sampai setengah isi muatan
barang dagangan di atas kapal; 1 kapal sampai 6 kapal yang terus bergerak untuk
pindah. Bagaimanapun mempunyai hubungan secara individual dengan VOC.
Meninggalkan garis hidup yang amat penting sebagai hubungan kerjasama. Dilain
pihak VOC sangat aktif di Jawa, keduanya menghasilkan untuk pasar Eropa yang
sama baiknya kapal, beras, dan kayu untuk disimpan di Asia. Jalur penting
lainnya, melalui ekspedisi ke Maluku dan India termasuk Ceylon.27
Total VOC yang memiliki hubungan langsung dengan Jawa; 1 sampai 3
kali memiliki hubungan dagang langsung dengan Jawa Barat, 1 sampai 3 kali
memiliki hubungan dagang langsung dengan Pulau Jawa, termasuk Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Perjalanan di propinsi tersebut dan di Batavia pergi ke lepas
pantai menuju tengah lautan hingga diluruskan ke Semarang, sebagai sebuah kota
27 lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 50
87
lokal. Perjalanan ekspedisi VOC di pelabuhan lain, dari provinsi di Jawa Tengah
seperti di Semarang, ada hubungan sebagai mitra dagang dengan Batavia dan
yang lainnya.
Yang disebut di atas adalah pelabuhan kecil seperti Bangkalan, Sumenep,
Pasuruan dan Banyuwangi, tidak disebutkan hubungan kerjasama pelayanan-
pelayanan VOC. Di sini di Surabaya dan Gresik menyuplai barang dagangan
berukuran kecil. Di Jawa Timur telah memiliki akses yang lebih mantap dengan
beberapa kota pelabuhan di Cirebon, Semarang, Gresik dan Surabaya, hal ini juga
melibatkan performa pedagang Pribumi, Cina, Melayu yang berasal dari Malaka.
Tidak jauh dari ini, bahwa Batavia juga memiliki akses berlayar dan
berdagang dengan Malaka, kecenderungan ini juga melibatkan pedagang yang
berasal dari Asia Tenggara pada umumnya. Contohnya seperti Siam, yang
memiliki koneksi dagang dengan Cina dan India, pada umumnya dalam tahun
1744-1777.28
Tabel 3: Menunjukkan Kedatangan dan Keberangkatan Kapal Per Zone
Eksklusif Ekonomi di 15 Pelabuhan, Pada Tahun 1744- 1744 (%).29
Yang Tidak
Diketahui
Jawa Maluku Sulawesi Nusa
Tenggara
Kalimantan Selat
Malaka
Sumatra
Barat
Batavia Membagi 3
Kategori, yaitu :
1. VOC.
-
38.1
8.4
1.8
1.4
3.0
6.6
1.8
28 lihat Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 49
29
Dalam tabel ini jumlah untuk transportasi pribadi di Batavia diambil dari Dagh-register
telah dikoreksi sebagai berikut. Sebagai kapal koneksi Jawa hanya terdaftar di sisi masuk, jumlah
mereka telah dua kali lipat untuk mengambil di account bergerak keluar mereka. Sebagai kapal
timah dan kertas elit Palembang tidak terdaftar dalam Dagh-register, jumlah rata-rata bergerak per
tahun, yang tiba di dengan menggunakan sumber lain, harus ditambahkan ke jumlah total untuk
selat Malaka, lihat Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 49
88
2. Pihak Bangsa Eropa.
3. Pihak Swasta.
3.0
0.4
-
60.9
-
4.4
-
8.0
4.5
6.6
6.1
6.6
2.3
5.4
4.5
3.3
- Cirebon, Pihak Swasta. 1.0 88.9 - - 0.1 0.4 9.7 -
- Semarang, Pihak
Swasta.
0.1 75.4 - 2.2 0.5 9.2 12.6 -
- Gresik, Pihak Swasta. - 70.7 - 0.2 7.8 11.3 10.0 -
- Surabaya, Pihak
Swasta.
0.2 59.7 0.2 1.2 10.0 11.3 17.4 -
Tabel 4: Menunjukkan Kedatangan dan Keberangkatan Kapal Per Zone
Eksklusif Ekonomi di Luar Negeri Pada Tahun 1744- 1744 (%).30
Kebijakan VOC lebih atau kurang memastikan bahwa Eropa secara efektif
memainkan perniagaan besar di bagian timur Nusantara, serta dari Jawa di luar
Batavia. Meskipun Cina memainkan peran yang tidak sedikit dalam kegiatan
perniagaan besar, dengan India, melainkan dijadikan rumah pangkalan dari
30 Dalam tabel ini jumlah untuk transportasi pribadi di Batavia diambil dari Dagh-register
telah dikoreksi sebagai berikut. Sebagai kapal koneksi Jawa hanya terdaftar di sisi masuk, jumlah
mereka telah dua kali lipat untuk mengambil di account bergerak keluar mereka. Sebagai kapal
timah dan kertas elit Palembang tidak terdaftar dalam Dagh-register, jumlah rata-rata bergerak per
tahun, yang tiba di dengan menggunakan sumber lain, harus ditambahkan ke jumlah total untuk
selat Malaka, lihat Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 49
Orang
Lain Di
Luar
Kawasan
Asia
Tenggara
Cina India Orang Lain
Di Luar
Kawasan
Asia
Cape
Town
Orang
Eropa
Batavia (Yang Meneruskan Perjalanan )
Membagi 3 Kategori, yaitu :
1. VOC.
2. Orang Asing Berasal Dari Eropa.
3. Pihak Swasta.
-
6.9
1.9
2.2
12.2
1.5
12.6
58.4
0.9
2.2
-
0.1
0.7
-
-
21.2
2.3
-
89
pedagang negara Inggris, yang memiliki koneksi lebih dominan bagi orang Eropa.
Berbeda dengan apa yang mungkin diharapkan, pedagang tiba di Batavia
umumnya sebelum transit melakukan perjalanan dari India ke Cina atau
sebaliknya. Tampaknya para pedagang ini sebenarnya khusus berhubungan
dagang antara India dengan Asia Tenggara.31
Mereka terlibat langsung menjual dan membeli sebagian besar persediaan
barang dagangan mereka di tempat seperti Riau, Aceh, atau Burma. Hubungan
individu yang penting bagi pedagang Eropa, Madres dan Bombay. Hal ini
diketahui, bahwa dicatat dalam buku harian Belanda (Daghregister),32
selama
lebih dari seperempat dan seperenam dari pencatatan pembukuan Belanda.
Namun, pencatatan produk perdagangan dicatat yang memiliki keterkaitan dengan
VOC melalui kontak pengiriman secara langsung dengan VOC.
Tak usah dikatakan bahwa sumber kehidupan dengan Belanda sangatlah
makmur dan aktif di sepanjang Pantura, baik untuk mendapatkan produk-produk
yang dipasarkan ke Eropa. Serta kapal yang membawa beras dan kayu yang
dibutuhkan penduduk Eropa, harus dijaga dengan ketat atas penjagaan aparat
ASEAN. Rute pelayaran yang amat penting lainnya adalah mereka ke Maluku dan
ke India, termasuk Ceylon.33
Namun hanya 40% dari total VOC hubungan langsung dengan Jawa. Dari
hubungan langsung yang bersangkutan berkisar satu-ketiga dengan Jawa Barat
dan berkisar dua pertiga dengan provinsi Jawa Timur merupakan jalur
perdagangan digaris Pantai Utara Jawa, yang mencakup baik Jawa Tengah dan
31 lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 49
32
Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 49
33
Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 46
90
Jawa Timur. Di provinsi yang terakhir, lalu lintas yang paling menonjol ke daerah
Jawa Tengah dan dari Batavia pergi berlayar dengan cara ke Semarang, sebagai
ibukota setempat.
Lalu lintas VOC di pelabuhan di Semarang menjadi pusat penyuplai
produk, meskipun kadang-kadang ada hubungan langsung dengan Batavia atau
dengan satu sama lain. Seperti disebutkan sebelumnya, di Jawa Timur sebagian
besar pelabuhan yang lebih kecil, seperti Bangkalan, Sumenep, Pasuruan, dan
Banyuwangi, tidak masuk dalam jaringan dagang yang dilayani oleh kapal-kapal
VOC seperti, Spiegelschepen. Di sini, Surabaya dan tingkat lebih rendah, Gresik
berfungsi sebagai pusat pasokan untuk pelabuhan VOC menjadi lebih kecil dan
morrisons. Para penguasa pemerintah di Jawa Timur harus memberikan upeti
mereka untuk pelabuhan Batavia. Lalu lintas VOC di Jawa Barat, khususnya
Banten dan Cirebon, hampir secara eksklusif berorientasi di Batavia.34
Dalam tabel di atas, bahwa 6 sektor swasta dari kapal yang bergerak dari
masing-masing 15 pelabuhan juga terlibat langsung dengan VOC. Yang Pindah
dari Timur, data memberikan bukti bahwa Banten telah menjadi satelit Batavia.
Dalam administrasi Batavia sendiri sebagai mitra dagang dengan Banten
dihilangkan, namun Banten memberikan petunjuk sendiri, bahwa administrasi
betapa pentingnya sebagai mitra dagang jarak pendek bisa dalam kasus sebuah
emporium besar di Batavia.
Koneksi lain Batavia yang amat penting adalah Rembang, sebagai
pemasok kayu, dengan sekitar 12% dari perjalanan kapal yang membawa kayu ke
34 lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 50
91
pelabuhan Batavia, serta Semarang dengan 12% dan Pekalongan dengan 8%, yang
menyediakan padi sebagai suplai ke Batavia dan menjadi produk daerahnya.
Kontak utama Cirebon adalah Pekalongan dan Tegal, bertanggung jawab untuk
dari 40% lalu lintas Cirebon. 45% dari Kontak untuk berorientasi pada Cirebon.
Di Pekalongan bagaimanapun, berbagi kontak dagang dengan Cirebon dikalahkan
oleh Semarang, mengambil sekitar sepertiga dari perjalanan kapal yang ingin
berangkat berlayar ke Pekalongan.
Di Semarang sendiri memberikan gambaran yang jauh lebih bervariasi
Berikut ini Sumenep, Rembang, dan Batavia, dengan 12%, 11%, dan 9% yang
masing-masing, mempunyai koneksi. Di Jepara, baik Semarang dan Batavia kira-
kira sama pentingnya dengan sekitar seperenam dari lalu lintas masing-masing.
Dalam Juwana koneksi dengan Sumenep dan dengan Rembang absen sepertiga
dan satu-keenam, yang sifatnya cepat merespon dalam perjalanan pelayaran ke
Rembang. Di Rembang sendiri, Semarang dan Batavia bertanggung jawab atas
saham sepertiga dan seperenam. Koneksi Sumenep berada di atas Gresik dan
Surabaya dengan 15% dari kapal yang bergerak untuk berlayar.35
Melihat koneksi keluar negeri yang paling menonjol adalah Asia
Tenggara, kemungkinan besar di pelabuhan Batavia, secara resmi diizinkan
menjadi emporium utama. Batavia adalah kota yang memiliki posisi amat kuat
dengan menjalin perniagaan besar dengan beberapa tujuan rute paling jauh, seperti
Ambon dan Siam.
35 lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 50
92
Semarang sebagai mitra dagang yang tertarik oleh garam dan beras di
Jawa Tengah, produk tersebut tidak mudah melakukan pengiriman ke Batavia.
Semua pelabuhan juga memiliki hubungan yang kuat dengan Palembang.
Pelabuhan di Sumatera merupakan pasarnya semua pedagang dan menjadi kaya
dengan adanya prospek di pelabuhan yang merupakan hasil dari kedua budidaya
lada dengan Lampung dan pertambangan timah di Bangka dan Belitung.
Bagaimanapun, bahwa tidak semua lalu lintas swasta berjalan mulus dan
terikat tempat tertentu sebenarnya mencapai tujuan; dengan kata lain mungkin ada
banyak rintangan atau fleksibel dari niat si kapten dalam perjalanan lalu lintas
kapal yang diberangkatkan di lepas pantai.
Kemungkinan penurunan di rute pelabuhan yang lebih kecil, dan akhirnya
memutuskan untuk tidak pergi lebih jauh. Di pelabuhan yang dipertimbangkan,
Batavia dikecualikan, bahwa nahkoda benar-benar tiba di tempat yang dirancang,
tampaknya telah dilakukan persentase mencapai 66,5% dari rata-rata rute
pelayaran menuju pelabuhan. Persentase di Batavia dari kedatangan VOC di Jawa
di bawah administrasi, termasuk Banten, yang masih aktif dalam bentuk
pengiriman ke luar negeri. Hal ini sebagai bukti tetap lebih benar untuk
menyatakan niat mereka. Pada rute perjalanan selanjutnya ke Batavia dan dari
Makasar dan Palembang telah dilakukan persentase 90-100% di kedua ujung
perjalanan pelayaran dan pengiriman barang dagangan.
Jawa-terikat dengan Malaka dalam pelayaran yang memiliki persentase
yang sama. Namun, Malaka memiliki hasil lebih buruk sebagai pendatang jauh
dari Jawa yang bersangkutan: hanya 68% mencapai dermaga pelabuhan Batavia
93
atau sebaliknya. Ini mungkin konsekuensi dari fakta, bahwa ada beberapa pasar
yang cukup kaya di sekitar Malaka, seperti Johor / Riau dan Trengganu. Kapal-
kapal dari VOC sendiri mencapai tujuan yang direncanakan mereka dalam hampir
100% dari kasus perniagaan.36
Rupanya, nakhoda di atas kapal-kapal besar, yang masih aktif di rute Asia
Tenggara, mereka kurang fleksibel tentang perubahan tujuan dari nakhoda kapal-
kapal kecil di setiap rute perjalanan jarak pendek dan mengangkut lebih pendek.
Ini memiliki segalanya aktivitas yang dilakukan dalam skala kegiatan atau
investasi perlayaran dan perdagangan. Seorang kapten dari sebuah kapal kecil
relatif bebas melakukan perjalanan, sedangkan nakhoda kapal yang lebih besar
telah mempertimbangkan kepentingan investor dan / atau kehilangan harapan 'dari
VOC.37
Ini nakhoda hanya membutuhkan pelabuhan besarnya tertentu untuk
mengubah usaha mereka menjadi perusahaan yang sukses.
Oleh karena itu, mereka membuang kargo di pelabuhan kecil di antara
adalah alternatif yang kurang menarik. Seperti yang akan kita lihat nanti, elemen
lain para nakhoda yang melakukan perjalanan mengikuti angin musim Timur
bertiup antara bulan Mei hingga Oktober, sedangkan angin musim Barat bertiup
antara bulan Desember hingga Maret. Keteraturan angin musim menyebabkan
waktu kedatangan dan keberangkatan kapal-kapal ke dan dari Batavia dapat
direncanakan dengan baik.
Hampir 60% dari perjalanan lalu lintas lokal, diukur dari aktivitas kapal
yang bergerak di pelabuhan Pulau Jawa dengan menggunakan perahu mayang.
36 lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 53
37
lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 53
94
Dari 30% dari total perahu gonting yang telah memainkan peran penting dan juga
mengambil rute impor ke Bali, sementara perahu paduwakang juga mencetak gol
dengan baik, dengan lebih dari 75% perjalanannya, pada pelayaran ke dan dari
Makasar. Dalam koneksi Kalimantan baik perahu gonting dari 40%
perjalanannya, dan pencalang, lebih dari 25% yang menonjol. Lalu lintas ke dan
selat Malaka berhubungan langsung dengan Belanda dan mengontrol saham yang
dimiliki dari 43 % dan 28%, masing-masing. Peran brigantijn itu juga agak
signifikan dalam rute selat Sunda dan selat Malaka.38
Selain itu berbagai jenis kapal dan perahu yang pernah datang dan singgah
di pelabuhan Batavia didapatkan dari berita Belanda dan pahatan-pahatan
bangunan-bangunan Belanda dari Abad XVII Masehi. Kapal dagang yang pernah
singgah dan tiba di pelabuhan Batavia seperti, kapal dari Eropa seperti kapal layar
dari Belanda dan kapal Galleon Inggris. Sedangkan dari berbagai daerah
Nusantara banyak yang menggunakan perahu layar karena dapat berlayar dengan
cepat dan banyak yang mengangkut barang dagangan. Perahu layar tersebut
diantaranya adalah perahu majung, perahu kitir, lanchara (lanchara-perahu
dengan satu tiang mempermudah dalam berlayar dan bisa didayung) jung-jung
Cina. Selain itu, perahu tersebut juga terdapat kapal perang yang panjang dan
dangkal atau pengajava untuk membawa barang dagangan dari selat Sunda ke
Malaka.
Pada abad XVII Gerrit J. Knaap memberikan informasi yang dapat
dipercaya, mengenai nama-nama perahu yang berlayar ke selat Sunda dan
38 lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 53
95
menyusuri perairan Pantai Utara Pulau Jawa. Nama-nama telah memberikan
informasi ilmu pengetahuan yang lebih menggenai berbagai jenis perahu yang
terdapat di Pulau Jawa contohnya seperti, Conting Java (perahu Conting Java
memiliki ukuran bertiang satu dan berukuran kecil), tiang (sejenis perahu besar),
gorap (bertiang dua), galjoot (perahu layar berukuran lebih besar dan lebar dan
mendatar dengan satu tiang atau dua tiang), perahu gallion merupakan perahu
layar dengan tiga atau empat tiang dan geladak tinggi menjulang dan terlihat
tiangnya lebih kecil.
Gerrit J. Knaap mengungkapkan bahwa jenis kapal yang melewati perairan
Pantai Utara Jawa yang dikuasai VOC, hal ini dapat mengindikasikan mengenai
beberapa jenis kapal yang melewati rute, sesuai klasifikasinya sebagai berikut:
1. Untuk wilayah Internasional seperti Spigelship (kapal berjenis buritan
besar).
2. Untuk wilayah Asia seperti Schepen (kapal kecil), Wangkang.
3. Untuk wilayah antar-Pulau seperti Brigantijn (Brigantine, Chialoup
(Shallop), gonting.
4. Untuk wilayah Lokal seperti Pancalang, Cunea dan Mayang.39
Sejalan dengan pendapatnya Gerrit J. Knaap dalam bukunya Shallow
waters and tide: Shipping and Trade in Java around 1775, Cina memberikan
informasi mengenai kapal-kapal Cina yang datang ke Batavia. kapal-kapal Cina
(jung) yang singgah di Batavia umumnya memiliki tiga layar dengan berbagai
39 lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 66 dan 67
96
jenis ukuran, dari 200 ton sampai 800 ton. Terbuat dari kayu dan dipersenjatai
dengan lengkap, untuk mengantisipasi jika ada perlawanan dari pihak asing.
Van Leur menceritakan mengenai pasokan komoditas dari Cina, bahwa
armada dagang Cina di Batavia pada tahun 1625 mempunyai tonase seluruhnya
lebih besar dari tonase seluruh armada Belanda.40
Sementara itu, berdasarkan
cerita dari Inggris dapat diketahui nama-nama kapal yang berlabuh di Batavia
pada saat melakukan penyerangan terhadap Jayakarta adalah kapal-kapal Inggris
di antaranya kapal Globe, Samson, Thomas, Unicorne, Rose, Black Lio, James
Royall, de Hont Britten dan kapal Peppercorne. Sedangkan kapal-kapal Belanda
antara lain „t van Amsterdam, Golden Lion, Devil of Delft, Moone, Clove, Sunne,
dan Bergeboat.41
Untuk dua abad ini menjadi perhatian di sini, lebih tepatnya antara pada
tahun 1602 dan 1795, jumlah kapal yang meninggalkan Negeri Belanda menuju
ke Asia Tenggara diperkirakan mencapai 4.694 buah kapal, dan kapal yang
kembali ke Tanah air mereka mencapai 3.289 buah kapal. Untuk setiap kali
perjalanan terdapat petunjuk fluktuasi perdagangan dan intensitas hubungan
antara Eropa dengan Asia. dari perbedaan yang mendasar di antara kedua angka
yang di sebut di atas untuk sebagaian besar disebabkan sejumlah kapal yang
datang dari Eropa menetap di perairan Asia dalam rangka perdagangan antar-
Hindia.
Jumlah kapal yang berangkat dan pulang ke Belanda, dapat diperoleh dari
ilustrasi di atas. Di sepanjang abad XVII, jumlah keberangkatan terus meningkat
40 Lihat J. C. Van Leur, Indonesian Trade And Society ; Essay in Asian and Economic
History, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hal. 113
41
Taufik Ahmad, op. cit., hal. 8
97
dari 76 (antara 1602 dan 1610) menjadi 205 (antara 1650 dan 1660); angka ini
terus bertahan di atas 200 dasawarsa sampai akhir abad XVII, lalu kemudian naik
pada paruh pertama abad XVIII, dengan maximum mencapai 382 kebarangkatan
pada tahun1720-1730. Hal ini cukup menunjukkan kesulitan yang dialami VOC
dalam bidang ekonomi maupun politik dari jumlah perjalanan; pada tahun 1780-
1790 yang merupakan masa perang laut, angka masih menunjukkan 276
keberangkatan dan 195 kepulangan.
Yang lebih menarik lagi adalah penumpang yang berangkat ke Belanda
atau yang naik kembali ke kapal di Batavia. Dengan cara demikianlah kita tahu
bahwa dalam anggaran 1669/1670 (dari Juni sampai Mei), dari 31 buah kapal
yang tiba di Asia (29 di Batavia), 19 di antaranya berangkat pulang (17 dari
Batavia), bahwa seluruhnya ada 4.324 orang yang berangkat ke Tanjung Harapan
atau lebih jauh, dan bahwa 1.700 orang berangkat kembali ke Batavia (dan
Ceylon). 24 buah kapal yang berangkat, Bruijn dan Schoffer berhasil memberi
angka yang lebih lagi:42
kapal-kapal itu membawa 2.356 orang pelaut, 1.497
orang tentara, dan 53 orang penumpang; 386 orang yang meninggal dalam
perjalanan, 205 turun di Tanjung Harapan, tetapi mereka digantikan oleh 143
orang yang naik di tempat itu dan akhirnya ke-24 kapal itu mencapai Asia
Tenggara dengan 3.463 orang penumpang.
Selain itu, dalam catatan Daghregister mengenai penduduk Batavia
mencapai 27.068 orang pada tahun 1674, terdapat orang Eropa sejumlah 2.024
42 Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu, Bagian I: Batas-
Batas Pembaratan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 66 dan 67
98
orang atau kurang dari sepersepuluhnya. Pada akhir 1681 penduduk Batavia
berubah menjadi 30.598 orang, hanya 2.188 orang Eropa.43
A. 1. 1 Kapal dan Tonase
Tonase kapal-kapal Cina selatan telah ditunjukkan. Secara eksklusif dari
perdagangan di Manila, ada lima belas jung rata-rata 600 ton, atau total 9000 ton.
Pengiriman dari Siam dapat diatur di sekitar 3 sampai 4000 ton, yang sisanya dari
Bapa India sejumlah 4.000 ton.
Jika ukuran jung Cina diperkirakan rata-rata 600 ton, kapal yang berasal
dari Siam dapat memasok 500 ton, kapal-kapal dari Tonkin, Annam, Kamboja,
kapal-kapal India di dua ratus, dan jung Indonesia di 101 ton, itu berarti bahwa
ada 15 kapal yang terlibat dalam perdagangan laut yang terjadi di Nusantara dari
Cina, 8 dari Siam, 10 dari sisa Bapa India, masing-masing 50 dari India
Coromandel dan Barat laut, lima belas di Achin, 20 kapal dari Pegu dan Arakan,
sedangkan perdagangan antar-Asia di kepulauan Nusantara dilakukan pada
dengan lima ratus kapal berukuran sedang. Selain bahwa ada 25 jung besar untuk
dihitung untuk perdagangan jepang, dan untuk perdagangan dari Jepang sekitar
30.44
Mari kita mempertimbangkan pergerakan kapal di Batavia. Dagh-
mendaftar untuk 1636, misalnya, memberikan angka-angka berikut pada kapal
tiba. (Ini harus diingat bahwa setiap kapal tiba di Batavia, sebagai kantor
pelabuhan-pajak, tercatat, sampai ke perahu bercadik berukuran kecil dan lima
43 Lihat Denys Lombard, op. cit, hal. 66 dan 67
44
Lihat J. C. Van Leur, Indonesian Trade And Society ; Essay in Asian and Economic
History, Cet ke-2, (Bandung: Sumur Bandung, 1955), hal. 213
99
perahu, kapal-kapal kecil yang tidak memiliki muatan lebih banyak dari lima atau
enam telah dihilangkan di sini.45
I. Dari tempat lain di Jakarta
Charingin..........................1
Batang...............................3
Bantam.............................61
Kaliwungu........................1
Kerawang.........................1 Demak..............................5
Indramayu........................3 Jepara...............................36
Cirebon............................9 Lasem...............................2
Losari...............................6 Jaratan..............................19
Tegal...............................19 Surabaya...........................15
Pekalongan.....................14 . Gresik...............................15
II Dari Sumatera dan sekitarnya
Lampung.........................6 Bangka .............................2
Palembang......................5
Bengkalis........................2
Indragiri..........................5 Pesisir Barat.....................10
III Dari Kalimantan
Sukadana........................2
Martapura.......................3
Kota Waringin ................2 di tempat lain.....................2
IV Dari Kepulauan Sunda Kecil
Bima...............................3
Bali.................................1
Lombok..........................1
V Dari luar Indonesia (junks, wangkangs, dan balangs)
Patani.............................1 Annam..............................1
Kamboja........................2 Formosa............................1
Cina...............................6
Hal ini dapat diasumsikan bahwa kapal-kapal dagang di Batavia dan Jawa,
atau setidaknya mereka dari Jepara dan pelabuhan yang saling berdekatan,.
Mungkin telah membuat dua perjalanan per tahun, dan kapal dari Banten, dengan
pertimbangan dengan faktanya melakukan 3 perjalanan pelayaran. Selanjutnya,
dalam pertimbangan fakta yang jumlahnya amat besar dengan poros kecil, perahu
ini juga sebagai pemasok ke pasar Batavia dengan sayuran, rotan, arang, dan
45 Lihat J. C. Van Leur, op. cit, hal. 213
100
sebagainya, data ini dapat diasumsikan bahwa hanya setengah dari kapal laut yang
diluruskan sesuai rute pelayaran.
Jika tunjangan ini telah dibuat, maka hal ini dapat ditemukan ada 72 kapal
ke Jawa dan juga terlibat langsung dalam pengiriman ke Batavia, serta 44 kapal
besar dan kecil dari seluruh Nusantara dan 11 kapal besar dan kecil dari yang
berasal dari negara Asia lainnya. Dalam bentuk susunan yang dibuat seperti
memeriksa baik dengan perkiraan yang diberikan di atas, dan pada saat yang sama
dari ilustrasi dari fakta bahwa Belanda, Batavia tidak berkembang ke titik alami
untuk Nusantara dan Asia sebagai tempat pengiriman dari Portugis di Malaka.
A. 1. 2. Kapal dan Perahu yang Pindah dengan Membawa Isi Muatan
Barang Dagangan
Sumber tidak menyediakan informasi yang lebih, tentang nomer kapal
dan perahu yang pindah dengan membawa isi muatan barang dagangan dari
sebuah kapal lainnya. Sebagai konsekuensi kami melayani dan membuat Tabel
dan melakukan dengan data di dalam tabel, sesuai data tahun 1744 sampai 1777
dan hasil ringkasannya di bawah ini.
Tabel 5: Menunjukkan Nomer Kapal
Yang Pindah dari 15 pelabuhan dalam kurun waktu 1744 sampai 1777.46
Di Bawah
Pengawasan
VOC
Orang
Eropa
VOC Total
Banyuwangi 163 - ? >163
Pasuruan 144 - ? >144
Sumenep 790 - ? >790
Bangkalan 529 - ? >529
Surabaya 941 - >10 >951
46 Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., hal. 45
101
Gresik 959 - >11 >970
Rembang 985 - 18 1.003
Juwana 859 - 15 874
Jepara 139 - 13 152
Semarang 1.681 - 63 1,744
Pekalongan 595 - 9 604
Tegal 343 - 10 353
Cirebon 671 - 9 680
Batavia >1,487 44 186 >1,717
Banten 825 - 13 839
Melihat total nomer kapal yang pindah disetiap pelabuhan akan terlihat
bahwa Semarang lebih sibuk dari Batavia. Bagaimanapun dari hitungan bahwa
kami tidak mempunyai jumlah untuk hubungan Batavia dengan Kerawang dan
untuk sedikit lokasi lain di sekitarnya, kami boleh menggambarkan kesimpulan
bahwa Batavia sama sedikit sibuknya dengan Semarang, mungkin sama sibuknya.
Rembang terlihat menjadi pelabuhan tersibuk ketiga meninggalkan
dibelakang tempat lain seperti Gresik dan Surabaya. Umumnya, kolom di atas
memperlihatkan kapal dagang sedang berlabuh atau kurangnya sejajar dengan
keberangkatan kapal dari total nomer kapal yang pindah dari pelabuhan.
Karena mengalami ketakutan atas penjagaan yang dilakukan dari VOC,
maka VOC membolehkan monopoli perdagangan. Batavia hanya sebagai
pelabuhan utama, yang membolehkan kapal Eropa masuk di dermaga pelabuhan
Batavia. Jika kapal ini menginginkan untuk masuk ke kota pelabuhan lain di
Pulau Jawa, maka mereka berprinsip untuk menolak akses jalan ke kota
pelabuhan.
Hal ini sama bahayanya, dengan kesulitan untuk mengambil air minum di
luar Batavia. 80% kapal Eropa asing berlayar di bawah bendera Inggris, 15 % di
102
bawah bendera Portugis dan 5 % di bawah Spanyol. 1 sampai 50 kapal dari kapal
Inggris pindah tempat. Terkait dengan perusahaan dagang Inggris (EIC), sisa
pedagang lainnya berasal dari India.47
Nomer keberangkatan kapal, dari kapal
yang pindah di bawah perlindungan VOC yang juga memperlihatkan dengan
tegas, bahwa Batavia dengan sungguh-sungguh bekerjasama dalam hal perniagaan
besar di Pulau Jawa. Semarang ketinggalan jarak jauh di bawah tempat kedua,
sedangkan pelabuhan lain tercatat hanya pindah sedikit setiap tahunnya.
Tabel 6: Perkiraan Isi Tonase Dari Total Jumlah Kapal yang Kedatangan
dan Keberangkatan Di 15 Pelabuhan.48
Jika kami lihat total isi kapal di Tabel 6, sedikit berbeda dari Tabel 5 yang
dihasilkan oleh kapal yang pindah, dengan Batavia melebihi Semarang di bawah
Surabaya, Gresik, dan Rembang. Di Batavia sangat jarang dimasuki kapal dari
47 lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit.,
48
Gerrit J. Knaap Shallow Water, op. cit., 46
Bukan VOC VOC Total % VOC
Banyuwangi 800 300 1.100 27
Pasuruan 900 300 1.200 25
Sumenep 6.500 300 6.800 4
Bangkalan 3.300 300 3.600 9
Surabaya 11.700 6,200 17.900 35
Gresik 11.600 6.300 17.900 35
Rembang 10.600 8.600 19.400 44
Juwana 8.000 7.200 15.200 47
Jepara 3.000 6.500 9.500 68
Semarang 25.000 28.900 54.400 53
Pekalongan 5.200 4.400 9.600 46
Tegal 2.300 4.900 7.200 68
Cirebon 7.300 3.100 10.400 30
Batavia > 48.400 79.000 >127.400 62
Banten 5.400 4.300 9.700 44
103
jumlah 1 kapal sampai 50 kapal yang isinya bukan kapal milik dari VOC adalah
ditempati oleh kapal asing dari Eropa.
Keadaan Batavia dan Semarang, sampai kelihatan kategori bukan VOC,
hal ini mendorong dasar kepemilikan kapal VOC. Di sektor kapal bukan
pengawasan VOC, Batavia bertanggung jawab antara 1 kapal sampai 3 perjalanan
pelayaran menyusuri Pantai Utara Pulau Jawa di 15 pelabuhan, sedangkan di
sektor VOC, antara 1 kapal sampai ½ perjalanan yang membawa isi barang
dagangan. Di dalam tabel 3 menjadi terlihat yang kian berbeda antara pelabuhan
dari rata-rata isi kapalnya pindah disektor utama antara 5 kapal sampai 25 kapal.
Nilai tertinggi tersebut merupakan perjalanan pelayaran mencapai 21 kapal
sampai 27 kapal, untuk masuk ke Batavia, lalu hingga kapal keluar membawa
tonase barang dagangan sebagai mitra dagang dengan Asia dan Jepara. Penjelasan
ini memiliki nilai rata-rata tinggi dari Jepara, ini merupakan rute pelayaran
Batavia yang amat penting. Di pelabuhan Batavia rata-rata dari kapal yang
bergerak ke Eropa kurang lebih 175 kapal dan membawa barang muatan. Ketika
kapal untuk pindah dari VOC, maka hal ini mengalami kesulitan untuk
berhubungan melalui informasi yang kurang dari pihak VOC.
Bagian informasi ini juga masih aktif yang disebutkan sebagai hubungan
wilayah lokal antar-pulau. Hal ini memungkinkan, 300 kapal tiap rata-ratanya
sampai dengan 400 kapal yang sudah memiliki akses dengan 15 pelabuhan
terbesar di Pulau Jawa. Dalam kurun waktu 1774 sampai tahun 1777, yang disebut
VOC „eropa‟, dari 600 kapal yang minggu lalu melakukan perjalanan pelayaran di
104
Batavia. Hanya beberapa minggu di Batavia, Belanda melakukan ekspedisi
menuju Canton di Cina.
Isi kapal VOC di 15 pelabuhan diperkirakan mencapai sejumlah 160.100
kapal dengan total isi tonase 311.300 ton lebih, atau 52%. Ada variasi dari
pelabuhan ke pelabuhan lain, tetapi antara 25% dan 60% kecuali jalan pelayaran
ke Sumenep dan Bangkalan, dimana VOC diperkirakan menjadi yang tak berarti,
alasannya jalan lokal mengharuskan untuk membawa rombongan ke Gresik di
bawah suplai untuk VOC di atas pulau. Dilain pihak ada 3 pelabuhan yang mana
mempunyai 60 % ditingkat Batavia, yaitu Tegal, dan Jepara.
Untuk Batavia ditemukan fungsi setengah pelabuhan dari Belanda ini
terlihat sangat alami. Jepara dan Tegal melanjutkan perjalanan perlayaran sebagai
mitra dagang dengan pelabuhan ke pihak VOC. Selama 17 tahun lamanya VOC
tinggal di 15 pelabuhan, sesudah tahun 1680 meninggalkan posisi Semarang.
VOC bagaimanapun meninggalkan ketertarikkan perjalanan pelayaran untuk
wilayah lokal seperti di Jepara. Pihak VOC, menginginkan pasokan kayu jati dari
Jepara sebagai mitra dagang dengan Batavia.
A. 2. Perdagangan Batavia dari Darat hingga Laut
Perdagangan maritim Batavia dari darat hingga laut diupayakan oleh
Belanda. Seringkali dapat dijadikan pijakan oleh para pedagang pribumi seperti
Banten, Demak, Tuban dan lain sebagainya.49
Mereka bertemu di daratan Batavia
dengan menggunakan kereta kecil yang terbuat dari kayu yang didorong oleh
pihak yang menolongnya. Selain itu, dapat juga dengan berjalan kaki dengan
49 Adolf Heuken SJ, op. cit., hal 18 dan hal 22
105
menempuh jarak yang begitu jauh sambil meminggul beban berat dipundaknya
disebelah kiri dan kanan hingga terasa lelah karena membawa hasil agraris untuk
diperdagangkan di perairan Batavia.
Hal ini diupayakan oleh pedagang-pedagang kecil guna menyusuri Sungai
Ciliwung dan kanal kecil ataupun kanal besar (kali besar) yang dibuat oleh
Belanda untuk memudahkan transaksi perdagangan yang bercorak maritim dari
daratan hingga ke seberang lautan. Keberadaan kanal kecil dan kanal besar
tersebut dimanfaatkan sebagai awal pedagang melakukan transaksi barter sebagai
bentuk penyaluran barang dagangan ke arah pasar, ataupun sebagai bentuk
transaksi dengan pedagang-pedagang ke daerah pedalaman. Bahkan kadang-
kadang langsung dengan nelayan. Di antara barang-barang yang dibawa dari
Muara Angke (Jakarta Utara) dan diteruskan ke Perairan Batavia, adalah barang-
barang porselin dan teh milik orang Cina yang akan diperjual-belikan di tempat
tersebut.50
Sebaliknya barang-barang dagangan yang baru saja tiba di Perairan
Batavia dan sekitarnya terutama karena mengandalkan kinerja masyarakat
pribumi dan melayu yang hidup di sekitar perairan Batavia.
Semenjak tampilnya Batavia di dunia perdagangan maritim, besar
kemungkinan Batavia tidak berdiri sendiri dan berkomunikasi baik akan tetapi
dibantu oleh VOC dan didukung oleh 13 Pelabuhan utama seperti Cirebon,
Semarang, Demak, Rembang, Tuban, Pasuruan, Gresik, Surabaya, Probolinggo,
Panarukan, Pamekasan dan Buleleng yang akan menuju ke arah pintu gerbang
perairan Batavia. VOC telah memainkan peranan penting di Batavia dalam
50 Adolf Heuken SJ, op. cit., hal 8 dan hal 10
106
transaksi perdagangan yang bercorak maritim baik yang meliputi hasil agraris
maupun hasil laut yang akan dipasarkan ke Batavia.51
Di samping itu terdapat beberapa jumlah pelabuhan lain yang hanya sebagai
pendukung dan memasok kebutuhan hasil bumi, beras, emas, dan lain sebagainya.
Dalam transportasinya masih menggunakan perahu-perahu dagang ataupun kapal
dagang yang berlayar dan berdagang ke arah Banten, Rembang, Gresik dan
Surabaya untuk menyuplai barang dagangan ke tempat yang di tuju yaitu
Batavia.52
Nelayan juga mendukung kelancaran dan memakai sarana penunjang
semisal sarana transportasi ke arah pedalaman, melewati tepian sungai yang
dilayari kapal dagang dan perahu dagang guna menyusuri Sungai Ciliwung,
terkadang terdengar bahwa orang dari Sumatra dan Bugis ikut memperlancar
sarana perdagangan maritim. Sebagian lagi bersandar di tepi Pantai Batavia atau
untuk melakukan transaksi perdagangan maritim dengan Pribumi, Melayu,
Malaka, India, dan berbagai pedagang asing hingga banyak berdatangan ke
Batavia.53
Mereka membawa barang-barang dagangan yang dapat ditukarkan dengan
para pedagang di sekitar Pantai Batavia yang diikuti oleh kapal-kapal dagang
milik Belanda untuk menukar muatan dengan barang dagangan lainnya. Ini
menjadi keuntungan tersendiri bagi arus tukar-menukar barang dagangan dengan
pegawai Belanda dan armada dagang Belanda dan kegiatan perdagangan maritim
51 Lihat D. Maclntyre, Sea Power in the Pacific: A History from the Sixteenth Century to
the Present Day ( London: Baker, 1972), 1-48
52
Angka-angka ini diambil dari J. R Bruijn, F. S Gaatra, dan I Schoffer (ed), Dutch
Asiatic Shipping in the 17 th en 18 th Centuries, Rijks Geschiedkundige Publicatien, Groote Serie
165-167 (3 Jilid; Den Haag, 1979 en 1987) (tentang perdagangan maritim) 53
Lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 120-121
107
Batavia dapat dilanjutkan ke wilayah pedalaman. dengan adanya kanal-kanal kecil
melewati Sungai Ciliwung, yang dilakukan pada musim panas dan musim gugur.
Transaksi perdagangan libur pada akhir Desember dan dilanjutkan pada bulan
Januari dan Februari untuk melewati Perairan Batavia.54
A. 3. Peranan Sungai Ciliwung bagi Pelabuhan Batavia
Begitu pentingnya arti hubungan perdagangan maritim melewati sungai,
sehingga para penguasa wilayah selalu berusaha untuk mengontrol seluruh
hubungan sungai yang ada di dalam wilayah kekuasaan mereka untuk
mengimplementasikan hegemoninya atas politik pantai. Meskipun demikian, tidak
mudah untuk melakukan kontrol ekonomi secara langsung terhadap masyarakat
yang bermukim di hulu sungai dan para pendatang di pantai. Oleh karena itu,
penguasa wilayah mengandalkan kekuatan fisik maupun pembentukan transaksi
perdagangan maritim yang beraliansi untuk menguasai daerah pedalaman.
Sejalan dengan pendapat Adolf SJ Heuken, masyarakat pribumi dan Melayu
Batavia pada abad XVII pada umumnya memang terkonsentrasi di muara Sungai
Ciliwung atau di wilayah pertemuan sungai dengan perairan Batavia. Sungai
merupakan bagian tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat
di wilayah ini. Sebagian besar sungai di Batavia dapat dilayari dan salah satu
sungai terpanjang dan terbesar adalah Sungai Ciliwung yang menjadi tempat
bermuaranya beberapa sungai utama di Batavia. Sungai tersebut beserta seluruh
54 Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 121 dan Lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris
van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811,
Jakarta, 2002, hal. 35
108
anak sungainya menjadi faktor utama dalam hubungan dagang yang bercorak
maritim.55
Ditambahkan lagi fungsi dan peranan sungai sebagai salah satu hubungan
yang memiliki urat nadi ekonomi masyarakat karena sebagian besar aktivitas
ekonomi kemaritiman mereka dilakukan di atas sungai. Hubungan daerah di
wilayah pedalaman Batavia dilakukan lewat Sungai Ciliwung sehingga sungai
menjadi andalan bagi kelancaran distribusi barang-barang dagangan dari wilayah
hulu ke wilayah hilir dan sebaliknya. Berbagai jenis hasil bumi yang melimpah di
daerah pedalaman Batavia seperti kayu, karet, getah perca, rotan, damar, lada,
sarang burung, bahan anyaman, ikan kering/asin, dendeng rusa, buah-buahan, dan
lain-lain diangkut ke tempat pengumpulan yang melalui Sungai Ciliwung.
Sebaliknya, berbagai kepentingan barang-barang kebutuhan sehari-hari
masyarakat Batavia seperti beras, gula, garam, tepung, jagung, minyak kelapa,
tembakau, gambir, gerabah dan alat-alat rumah tangga, serta bahan pakaian. Juga
diangkut dari perairan Batavia ke berbagai daerah di wilayah pedalaman melalui
hubungan sungai ini.56
Peranan penting Sungai Ciliwung sebagai urat nadi ekonomi, khususnya
perdagangan maritim, di wilayah Batavia menjadi bagian dari aktivitas berlayar di
sungai yang tidak dapat dipisahkan dari peran sungai sebagai jalan perdagangan.
Berbagai jenis sarana transportasi sungai digunakan untuk mengangkut barang
dagangan pada abad XVII, yang telah menunjukkan kemampuannya dalam
melayari jalur-jalur sungai yang ada, untuk menjangkau pusat-pusat produksi
55 Adolf Heuken SJ, op. cit., hal 18 dan hal 22
56 Anthony Reid, op. cit., hal. 33-35
109
ekspor yang berada jauh di pedalaman dan mendistribusikan barang-barang impor
ke wilayah tersebut. Jaringan sungai dan aktivitas berlayar dan berdagang di
atasnya telah menjadi satu kesatuan dan merupakan pendukung utama bagi lalu
lintas perdagangan maritim di tingkat masyarakat dalam negeri dan luar negeri.57
Mengingat pada waktu itu belum banyak dibuat jalan darat maka hubungan
antar-sungai merupakan sarana transportasi dan komunikasi utama bagi kantong-
kantong yang bermukim di tepian Sungai Ciliwung sampai ke arah Pantai Batavia
untuk melakukan aktivitas perdagangan dengan pihak masyarakat.58
Berlayar dan berdagang menyusuri Sungai Ciliwung mempunyai peran
penting dalam pengangkutan barang dagangan bagi masyarakat sekitarnya. Hasil
agraris dan hasil hutan merupakan salah satu komoditas utama yang diangkut
melalui pelayaran sungai. Sebagai contoh, komoditas lada diangkut dari daerah
negara lain, sebagai penyuplai produsen lada ke daerah hilir atau ke Pelabuhan
Batavia. Di tempat itu para pedagang dari berbagai daerah dan negara seperti
pedagang Cina, Inggris, Belanda, dan pedagang Melayu sudah menunggu untuk
membeli komoditas tersebut. Namun adakalanya para pedagang tersebut, terutama
pedagang Cina dan Melayu sudah terlebih dahulu membawa perahu dagang
mereka masuk ke pedalaman untuk membeli langsung komoditas dagang yang
mereka butuhkan.59
Di sepanjang aliran Sungai Ciliwung banyak dijumpai hutan lebat dengan
berbagai jenis pohon. Oleh karena itu, sepanjang daerah itu kaya akan hasil kayu.
57 F. De Haan, op. cit., hal. 10-37
58
F. De Haan, op. cit., hal. 10
59
Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, peneliti, pada tanggal 24 Mei 2011 digedung
Arsip Nasional Republik Indonesia.
110
Kayu-kayu yang telah ditebang biasanya dihanyutkan ke arah hilir melalui sungai,
dengan cara dirangkai seperti sebuah rakit. Kayu-kayu itu selanjutnya, dimuat ke
kapal-kapal yang akan membawanya ke Jawa atau daerah lain yang
membutuhkannya. Selain kayu, hutan-hutan di sepanjang aliran Sungai Ciliwung
juga kaya akan pohon karet yang getahnya laku di pasar Nusantara. Pohon karet
boleh disadap secara bebas dan hasilnya yang berupa getah biasanya diangkut ke
tepian Sungai Ciliwung oleh para pencari getah karet. Pengangkutan getah dari
hutan ke tepi sungai dilakukan dengan berjalan kaki. Selanjutnya, hasil hutan
tersebut diangkut ke Pelabuhan Batavia untuk dimasukkan ke atas kapal untuk
diberangkatkan ke berbagai daerah yang membutuhkannya.
Komoditas lada, banyak diangkut dari wilayah hulu Sungai dan daerah
pedalaman di sekitar Sungai Ciliwung yang akan menuju ke Batavia. Namun pada
saat terjadi kenaikan harga lada di pasaran, biasanya para pedagang (Melayu, Cina
dan Eropa) berlomba-lomba untuk mendatangi daerah produsen agar bisa
langsung membeli lada. Oleh karena itu, kondisi sungai di daerah yang dekat
dengan hulu mulai sulit untuk dilayari sehingga dibuatlah terusan-terusan (handil)
untuk membawa lada ke tepi sungai yang dapat dilayari perahu atau kapal kecil.
Dari sungai-sungai itu kemudian hasil karet diangkut ke Pelabuhan Batavia.60
Berlayar dan berdagang merupakan unsur kehidupan sehari-hari, seringkali
pedagang menyusuri Sungai Ciliwung ke Batavia untuk berdagang. Pada
pertengahan abad XVII memegang peranan yang penting, karena pengangkutan
darat masih terbatas. Lalu lintas di Sungai Ciliwung Batavia diramaikan dengan
60 Adolf Heuken SJ, op. cit., hal 18 dan hal 22 dan lihat Makalah Didik Pradjoko,
„‟Pokok-pokok Kajian Peradaban Masyarakat dan Sejarah Kebudayaan Indonesia‟‟, sebagai
Bahan Perkuliahan Etnografi Indonesia, hal 6
111
pelayaran penduduk Batavia dan pribumi yang mengangkut komoditas
perdagangan dari daerah pedalaman dengan perahu dan kapal. Para pedagang
Pribumi dan Melayu juga senantiasa ikut berlayar ke arah Sungai Ciliwung
menuju ke pedalaman dengan menggunakan kapal-kapal dagang berukuran kecil,
sedang, hingga besar guna membeli komoditas perdagangan langsung dari daerah
produsen. Pada waktu itu, para pedagang Pribumi dan Melayu yang memegang
peranan penting dalam perdagangan Sungai Ciliwung dapat dikatakan
memonopoli perdagangan dari sarana angkutan Sungai Ciliwung.
Sejak abad XVII, lalu lintas orang berlayar dan berdagang untuk menyusuri
Sungai Ciliwung selalu diramaikan dengan kehadiran kapal dagang yang
menyusuri ruote Batavia sampai Kepulauan Seribu setiap dua minggu sekali.
Sejak saat itu kapal-kapal asing mulai melakukan kontrol secara langsung
terhadap daerah-daerah penghasil komoditas dagang yang selama ini berada di
bawah kekuasaan para saudagar/pedagang besar yang kebanyakan berasal dari
keluarga Belanda.61
Menurut Adolf Heuken SJ, bagi daerah-daerah yang termasuk dalam
kategori dunia perdagangan dengan sejumlah kapal besar dan perahu dagang yang
menyusuri Sungai Ciliwung yang mengalir dari pedalaman hingga ke arah pesisir,
adalah sangat penting pula untuk menegakkan hegemoni secara parsial melalui
pemerintah Batavia atas pesisir Pantai dan muara sungai karena tidak mungkin
untuk mengontrol arus kesibukan transaksi perdagangan melalu Sungai
61 Lihat Fe de Haan, op. cit., hal 10-15
112
Ciliwung.62
Dengan pengontrolan terhadap muara sungai, sangat dimungkinkan
untuk dapat mempengaruhi pergerakan naik turunnya sebuah sistem sungai.
Seorang penguasa muara sungai dapat menggunakan kontrolnya terhadap
hubungan komunikasi sungai untuk membentuk berbagai aliansi dengan
kelompok-kelompok yang berada di hulu sungai.
Seorang penguasa yang efektif tentu juga menaruh perhatian kepada
aktivitas ekonomi wilayah kekuasaannya. Sumber ekonomi negara sangatlah
penting untuk mengelola kekuasaan. Sebuah hubungan aliansi dengan kelompok-
kelompok penduduk dan anggota masyarkat Batavia di daerah pedalaman akan
menghasilkan aliran barang-barang dari pedalaman ke Pelabuhan Batavia.
Perdagangan maritim seperti itulah yang terjadi pada VOC, sehingga Batavia
dapat tumbuh menjadi lebih besar lagi dan menjadi yang lebih kuat dengan baik
secara ekonomi ke penjuru dunia.
A. 4. Perdagangan Asing
Perdagangan Asing yang berada di Batavia dapat dikategorikan meliputi;
Barang produksi asing yang diperjualbelikan oleh pedagang dalam negeri yang
berlayar dan berdagang secara lebih khusus melewati laut, ke arah negeri
tetangganya misalnya: di Semenanjung Malaka sampai diluruskan ke arah yang di
tuju yaitu Selat Sunda.63
Para pedagang sedikit banyaknya mengalami beberapa kesulitan atau
mengalami ketersendatan dalam perdagangan maritim, akibat prilaku Belanda
yang tidak memihak pedagang kecil di Batavia. Selain itu, berbagai pajak terlalu
62 Adolf Heuken SJ, op. cit., , hal 18 dan hal 22
63
Lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal. 12
113
tinggi zaman Belanda dan adanya pinalti ataupun hukuman yang setimpal bagi
yang melanggar dalam perdagangan yang sifatnya maritim. Hal tersebut bisa
dikatakan bagi mereka yang melanggar aturan dari pihak Belanda atas hendak
memonopoli barang dagangan, agar mereka tidak terganggu, sampai melakukan
transaksi barang dagangan baik secara barter ataupun dilakukan transaksi secara
langsung dengan menemui pedagang-pedagang di Perairan Batavia. Hal ini akan
menjadi lebih aman dan terkendali atas penjagaan yang sangat ketat dari armada
dagang Belanda di Batavia.
Berpengaruhnya terhadap beberapa komoditas barang dagangan, Penjualan
kayu, yang banyak dihasilkan di dalam Pulau Onrust yang memiliki bahan baku
untuk pembuatan kapal masa lalu. Jika larangan pengadaan kayu belum ada,
banyak pembuatan kapal-kapal yang mereka buat untuk merakit kapal dan sedikit
banyaknya untuk memperbaiki kapal. Di sepanjang Pelabuhan Batavia atas
perdagangan maritim yang harganya cukup murah atau lebih mahal.
Akan tetapi, yang menarik perhatian para pedagang lokal, juga serta para
pedagang-pedagang asing untuk dagang dan bertemu. Ketika pedagang-pedagang
itu menjual barang dagangannya, saat itulah lalu-lintas menjadi ramai dan
sejumlah para pedagang Melayu dan para pedagang Bugis serta para pedagang
asing menempati daerah ini.64
Para Pedagang Melayu dan para pedagang Bugis mempunyai kapal dagang
yang memuat barang dagangan yang cukup besar disarankan untuk bersandar
pada dermaga pelabuhan Batavia. Mereka jarang juga melakukan bongkar muat
64 Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 125 dan Lihat Makalah Mundardjito di
sampaikan dalam Seminar Arkeologi Maritim, Perlunya dalam Pengembangan Kurikulum, Jum'at
15 Februari 2008, hal. 3
114
barang-barang dagangan dari kargo-kargo yang baru tiba dan masuk ke Pelabuhan
Batavia. Selain itu sedikit-banyaknya pelaut-pelaut yang pintar dalam memainkan
peran yang ada. Peranan pedagang, nahkoda kapal, nelayan seringkali membayar
sejumlah uang atau dengan emas sebagai alat barternya untuk memperbaiki kapal
dagang yang bermuatan barang dagangan dari sejumlah pedagang pada umumnya.
A. 5. Batavia sebagai Pusat Perdagangan Internasional
Batavia menjadi pelabuhan yang penting; di sana sebagian besar selama
sebagian abad XVII bahkan semua kapal-kapal yang memuat barang-barang
dagangan untuk menyuplai barang-barang dagangan yang ingin diangkut oleh
kapal-kapal dagang yang baru saja tiba di Pelabuhan Batavia. Kapal-kapal dagang
ini berlayar dengan membuang sauhnya untuk melakukan aktivitas maritim ke
Eropa. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang Belanda mempunyai koneksi
dagang di jalan laut dan perdagangan dengan jarak jauh, hingga tersebar di pos-
pos dagang di Asia dan di Eropa maupun di Afrika Selatan.65
Hingga pertengahan abad XVII hampir seluruh keuntungan VOC berasal
dari perdagangan rempah-rempah yang berasal dari Maluku (Cengkeh dan Pala)
dan Indonesia bagian barat (lada). Perdagangan rempah-rempah berhasil
dikendalikan dengan baik oleh VOC melalui Batavia dengan menyingkirkan
secara bertahap kota-kota dagang lain di Nusantara yang menjadi pesaingnya,
seperti Malaka (ditaklukkan tahun 1641), Makassar (1666), dan Banten (1684).
Sistem perdagangan yang tumbuh dan berkembang dan semakin maju di
Batavia pada dasarnya adalah sistem perdagangan distribusi, dalam arti komoditi-
65
ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden
van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41
115
komoditi dari berbagai penjuru Asia dikumpulkan di kota pelabuhan ini sebelum
disebarkan ke wilayah-wilayah yang memiliki potensi pasar sehingga dapat
mendatangkan keuntungan besar.
Secara garis besar, dimata VOC ada tiga kategori wilayah dimana mereka
memiliki kepentingan ekonomi. Pertama: daerah koloni dimana mereka memiliki
kekuasaan teritorial seperti di Sri Langka, Malaka, Batavia, dan Maluku. Kedua:
daerah dimana mereka mengikat kontrak khusus dengan penguasa setempat
sehingga diperbolehkan untuk membuka kantor dagang seperti di Ayuthaya
(Siam). Ketiga: daerah dimana mereka harus berdagang dengan pengawasan dan
peraturan yang diterapkan oleh penguasa lokal seperti di Nagasaki (Jepang), dan
Kanton (Cina).66
Pos dagang Belanda di Gamron (Persia/Iran), sekali-kali berhubungan
dagang dengan India, dengan melakukan pengiriman barang-barang dagang
melewati jalan darat artinya melalui Timur-Tengah, di samping setelah
mendirikan pemukiman di Tanjung Harapan. Sebagai pendukung dua hulu itu
untuk menyuplai barang dagangan dari Timur-Tengah harus melewati Tanjung
Harapan hingga ke Sri Langka yang terus sambung-menyambung hingga ke
tempat yang dituju yaitu Batavia. Batavia telah memainkan peranan penting
dalam jalannya pelayaran dan perdagangan dalam jalur Eropa-Asia, maka pos-pos
66 Batavia dalam Jaringan Perdagangan Asia Pada Abad 17 dan 18dalam
http://knsix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20Kanumoyoso,%20M.Hu
m.pdf (dikunjungi pada tanggal 11 Oktober 2011)
116
dagang yang bersangkutan dan pegawai dari negeri Belanda mengirim laporan-
laporan secara langsung di bawah pengawasan Pemerintah Batavia.67
Menurut Hoge Regering dalam penciptaan hubungan langsung itu
menyebabkan Batavia tidak dapat lagi memainkan pelayaran dan Perdagangan
dengan semestinya. Oleh sebab itu, Batavia sesungguhnya telah memuaskan
kepada Hoge Regering pada tahun 1636, namun dengan adanya penghentian
pelayaran langsung ke Koromandel, Surat, Gamron, yang telah dimulai sebelum
Kota Batavia didirikan.68
Akan tetapi, 30 tahun kemudian Gubernur Jenderal dan Raad van Indie
terpaksa meningkatkan status Sri Langka menjadi basis perdagangan maritim
yang kedua, di samping Batavia, bagi kapal-kapal yang masuk dari Eropa atau
berangkat lagi ke sana.
Menurut Boxer, kelompok ini dipimpin oleh dewan pengelola yang terdiri
dari 17 utusan kamar-kamar dagang di Belanda. Kedudukan raja sebagai penguasa
negeri hanya sebagai pelindung saja,69
Sementara itu Heren Zeventien
mengizinkan berhubungan dagang dengan Sri Langka hingga diluruskan ke
Belanda agar VOC memenuhi kebutuhan akan merica di pasar Eropa, yang
tumbuh lebih pesat.
Kini merica Malabar, yang bagaimanpun dibawa lebih dulu ke Sri Langka,
dapat dingkut ke negeri Belanda dengan lebih pesat dan segera mungkin. Di
67 ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden
van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41
68
ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden
van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41 dan 42
69
C R Boxer, Jan Kompeni Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602– 1799,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hal. 9-11
117
samping itu, kayu manis tidak usah dipindahkan dari Sri Langka sendiri, tidak
usah lagi dipindahkan di Batavia ke kapal yang akan membawanya ke Eropa,
sehingga lebih cepat sampai dan mutunya lebih terjamin.70
Tidak lama setelah Sri Langka berhubungan langsung dengan negeri
Belanda timbullah persaingan sengit antara gubernur Rijklof van Goens, dengan
Hage Regering. Menurut Van Goens, sebaiknya Sri Langka, tegasnya kota Galle,
yang menjadi tempat kapal-kapal VOC berangkat berlayar ke tanah air, dijadikan
titik temu kapal-kapal yang hendak berlayar bersama-sama ke Eropa. Berkat
upayanya, sekali-kali armada berangkat berlayar dari Sri Langka membawa
muatan lebih kaya dibandingkan kapal-kapal dari Batavia. lalu direksi VOC
membuka jalur pelayaran langsung dari Koramandel dan dari Benggala. Tetapi
jalur ini tidak sukses, karena Batavia tidak mendukung kebijakan ini. Hoge
Regering menduduki tempat semula. Pada abad XVII, selain Batavia hanya Galle
yang mempunyai perhubungan langsung dengan Belanda.
Perubahan ekonomi-perdagangan maritim Batavia pada abad XVIII,
menyebabkan perubahan lain dalam lalu-lintas pelayaran dan perdagangan
maritim. Dalam tahun 1700-1730 secara beriringan kapal-kapal (dijuluki „kapal-
kapal kopi) dari Moka Pantai Laut Merah menuju negeri Belanda, lewat Galle.
Ada perkembangan lain, yang lebih penting lagi pada tahun 1728, setelah
bentrokan sengit Heren Zeventien dengan Hoge Regering, tercipta hubungan
dagang antara negeri Belanda dengan Kanton (Guangzhou). Sampai tahun 1733
70 Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, Selaku dosen Universitas Indonesia, pada
tanggal 24 Mei 2011 didalam Arsip Nasional Republik Indonesia dan ANRI, dalam koleksi
Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering),
1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41 dan 42
118
Kamer Amsterdam dan Kamer Zeeland mengirimkan 13 kapal ke Kanton, tetapi
tidak satupun yang sampai di pelabuhan Cina bagian Selatan. Maka pengiriman
kapal dipercayakan kepada Batavia, dengan pengertian bahwa di antara dua atau
tiga kapal yang setiap tahunnya berlayar dari Batavia ke Cina, hanya satu yang
kembali membawa barang-barang dagangan semisal, teh dan porselin guna
menyusuri Selat Sunda. Dan Akhirnya, pada tahun 1756, bersamaan dengan
pembentukan Chinase commissie (Komisi Cina), lalu-lintas perdagangan maritim
beserta barang-barang muatannya semisal teh dan porselin, diurus di negeri
Belanda sendiri; pelayaran langsung ke sana tetap dipertahankan.71
Sesudah Galle dan Kanton (Guangzhau), dalam abad XVIII pos dagang
VOC di Benggala, Hoogly, menjadi pelabuhan yang ketiga yang mempunyai
hubungan dagang dengan Belanda. Mulai 1734 setiap tahun, kapal berlayar dari
Benggala ke negeri Belanda. Selain itu, sejak tahun 1750 setiap tahun Kamer
Amsterdam mengirim kapal langsung ke Hooghly. Mulai tahun 1770 Koramandel
juga termasuk dalam jaringan pelayaran dan perdagangan ini.
Meski demikian, adanya hubungan dagang secara langsung dengan pos-pos
dagang di Asia pada hakikatnya tidak mengganggu posisi Batavia sebagai pos
dagang yang menjadi pusat VOC di Asia. Batavia menjadi pusat administrasi dan
pembukuan. Lagi pula, aktivitas dagang kesemuanya ini dalam aktivitas
perdagangan yang bercorak maritim dengan (Sri Langka, Kanton, Benggala),
71
lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en
Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 42
119
kesemuanya itu haruslah tunduk kepada Hoge Regering yang berpusat di
Batavia.72
Pusat-pusat niaga VOC tersebut menjalin kaitan yang erat dan begitu jauh
dengan jaringan bandar niaga sebelumnya. Daerah-daerah yang tidak
menghasilkan rempah-rempah tidak masuk dalam jangkauan VOC, sedangkan
daerah-daerah yang menghasilkan rempah-rempah seperti Ambon, Ternate, dan
Bandaneira berkaitan langsung dengan pusat VOC di Batavia.
B. Komoditas Ekspor dan Impor Batavia
Lokasi yang stategis sangatlah menguntungkan bagi Batavia karena terletak
pada jalur persilangan lalu lintas perdagangan dunia. Maka semakin membuat
padat jalur perdagangan maritim di kawasan Asia Tenggara. Adanya Pelabuhan
Batavia dapat mendorong arus distribusi barang-barang dagangan yang
berlangsung sangat cepat.
Sehingga posisi Belanda sampai saat itu, keberadaannya masih tetap di
Batavia. Dan memberlakukan kebijakan-kebijakan sebagai daya upaya untuk
mengendalikan perdagangan beras di Pantai Utara Pulau Jawa yang pada saat itu
di kuasai oleh para pedagang Cina dengan melakukan pembatasan perdagangan
beras serta memberlakukan penarikan pajak. Dalam pembatasan perdagangan
beras, Batavia menangani 40% dari perdagangan beras yang terdiri dari volume
perdagangan sekitar 500,000 pikul, sisa 60%-nya ditangani oleh pedagang Cina
dan pedagang pribumi. Dari penarikan pajak, pemerintah Batavia pada saat itu
72 Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, Selaku dosen Universitas Indonesia, pada
tanggal 24 Mei 2011 didalam Arsip Nasional Republik Indonesia. dan lihat ANRI, dalam koleksi
Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering),
1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 43
120
masih diperkuat dari orang-orang Belanda memperoleh tiap tahun pajak dari
Cirebon sebesar 1,900 pikul beras pada satu ukuran dari 0.57 rds, dari propinsi
Jawa Timur sebesar 28,000 pikul satuan beras dengan satuan ukuran dari 0.54 rds
serta hasil dari harga pokok rata-rata 0.5 rds (rijksdaalder).73
Batavia pada saat itu masih dikendalikan Belanda, juga memberlakukan
kebijakan-kebijakan dari pembelian semua keperluan dari pedagang beras pada
pasar perdagangan besar di Batavia sehingga VOC membuat sebuah laba bruto
imajiner dari perdagangan beras sebesar kira-kira 150%.74
Batavia sebagai pasar yang amat penting bagi dunia perdagangan beras
selain dijaga ketat oleh pegawai Belanda karena posisi istimewa di Batavia dalam
dunia perdagangan beras. Selain itu, Pemerintah Batavia juga memberlakukan
larangan ekspor beras ke luar negeri karena pada saat itu, di Batavia sedang
dilanda krisis pangan sehingga kebijakan tersebut dilakukan untuk menghindari
kelaparan di Batavia. Pemerintah Batavia yang di dalamnya orang-orang Belanda
juga memerintahkan administrasi lokal untuk menutup sungai-sungai di Pulau
Jawa untuk perdagangan beras, karena adanya kegagalan agraris-maritim.
Sehingga kebutuhan barang ekspor dan impor meningkat dengan pesatnya.
Barang-barang dagangan yang merupakan komoditi ekspor antara lain: garam,
merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar, kapur barus, gula
tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, kain sutra dan kain katun. Sedangkan
komoditi impor yaitu: kain sutra, payung sutra, nila, lilin, belanga besi, piring,
mangkuk, keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, emas,
73 Lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., hal. 9-25
74
Lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., hal. 9-25
121
perak, tembaga dan lain sebagainya. Barang tersebut diperjualbelikan antar-Pulau,
antar-pedagang di Nusantara dan juga pedagang asing yang memasuki Batavia
sampai ke luar-masuk Pelabuhan Batavia.75
Ketika Batavia mendatangkan produk dari India, maka Cina berdagang
dengan membawa misi berdagang, menjual barang untuk impor dan sebagian
komoditasnya andalan dalam bentuk barang dagangan yang dimiliki oleh Cina.
Banyak indikasi yang menggambarkan distribusi barang dagangan melalui jalan
laut. Banyak yang dilakukan China di Batavia, semisal; melakukan aktivitas
perdagangan maritim disertai dengan transito bagi barang-barang dagangan ke
tempat di tuju Batavia. China selalu meramaikan barang impor, yakni porselin dan
teh dalam abad XVII.
Ada beberapa kategori yang mengasumsikan tentang adanya barang
dagangan yang diimpor oleh Belanda di wilayah Batavia semisal; ikan, gambir,
beras, dan untuk Pulau Jawa mengekspor tembakau. Dalam kategori konsumsi
manusia, itu muncul bahwa Batavia adalah importir besar ikan, gambir, padi, dan
tembakau Jawa. Jumlah beras, yang paling 'dasar' komoditas, mencapai lebih dari
122,000 pikul.76
Beras serta lebih dari 4.000 pikul tembakau terutama berasal dari Jawa
Tengah. Gambir, sebesar lebih dari 3,500 pikul, datang selat Malaka, khususnya
dari Malaka. Ikan, sebesar 1000 pikul yang diimpor dari berbagai tempat, antara
yang paling menonjol adalah Siam. Apakah hubungan ini adalah bagian dari pola
yang teratur atau yang bersifat sekali-kali berhubungan dalam jalur perdagangan
75
Armando Cortesao (ed), op. cit., jilid 2, hal. 270 dan lihat Thomas Stamford Raffles,
op. cit., hal 125
76
Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 49
122
adalah hubungan hal yang tak diketahui. Satu item dengan karakter yang cukup
sesekali adalah hubungan dagang dengan tingkat tinggi dari impor barang dagang
sejenis opium pribadi.
VOC secara resmi hanya diizinkan untuk mengimpor opium, sementara
sektor swasta yang seharusnya untuk menangani ekspor. Surat itu membelinya
dari Societeit Amphioen, perusahaan swasta di Batavia, dibiayai terutama oleh
pejabat VOC, yang diberi monopoli atas penjualan opium di 1745. Namun, dalam
tahun kita berhadapan dengan, ada pengecualian untuk aturan ini. Satu kapal
pribadi yang besar dari Bengal memasuki Batavia membawa sejumlah besar
opium, yang di belakang sana dan mungkin dimasukkan ke dalam perdagangan
Swasta dan VOC.77
Gula merupakan produk yang penting di Batavia. Hal ini menunjukkan
ekspor penjualan dalam skala besar. India selalu mengirimkan gula yang
berkualitas baik untuk diperjualbelikan ke Batavia, India mengimpor beras untuk
diperdagangkan ke Batavia dan Pulau Jawa. Perjalanan akan memakan waktu
istirahat yang cukup panjang dari setiap ada penjualan.78
Menurut pemberitaan sejarahwan Belanda, J.C. Van Leur, barang-barang
yang diperdagangkan di dalam negeri dan di luar negeri mencakup Asia Tenggara,
termasuk juga yang terdapat di dalam negeri Batavia. Hingga pada saat itu,
barang-barang yang diperdagangkan, sejenis; barang-barang bernilai tinggi,
seperti: sejenis logam mulia (emas dan perak), perhiasan, barang tenunan, barang
77 Lihat Gerrit J. Knaap, Shallow water, op. cit., 49
78
F. De Haan, op. cit., hal. 195 dan Lihat misalnya Gerrit J. Knaap, Shallow water, op.
cit., 49
123
pecah belah dan berbagai barang kerajinan, rempah-rempah, wangi-wangian, serta
obat-obatan dan lain sebagainya.79
Besar kemungkinan dapat dikatakan pedagang-pedagang dari kalangan
orang-orang Eropa meliputi; Negara Swedia, Negara Turki, tiba di Batavia,
dengan membawa barang muatan bahan ekspor sejenis lada, dan hasil bumi
lainnya yang diangkut dengan armada dagang yang memilikinya dengan muatan
yang lebih besar maupung ukuran tidak besar.
Di tahun 1724 Valentijn menerbitkan karyanya yang memuat catatan
tentang kegiatan perdagangan intra-Asia yang dilakukan oleh VOC melalui
pelabuhan Batavia. 80
Dalam catatatan Valentijn negara dan daerah yang terlibat
perdagangan dengan Batavia antara lain adalah: Tanjung Harapan (Afrika
Selatan), Koromandel, Srilangka, Persia, Benggala, Burma, Malaka, Siam,
Tonkin, Cina, dan Jepang. Barang-barang yang diimpor Batavia dari daerah-
daerah tersebut antara lain adalah: koin emas dan tembaga (Jepang), tekstil
(Koromandel dan Benggala), teh (Cina), porselin (Cina), kain sutra (Cina), gading
gajah (Siam), kayu eboni (Tanjung Harapan), dan budak (Koromandel, Benggala,
dan Burma). Sedangkan komoditi yang diekspor oleh Batavia antara lain adalah:
rempah-rempah (Eropa) tekstil (Jepang, Siam, dan Tanjung Harapan), gula
(Persia, Benggala, dan Jepang), dan beras (Tanjung Harapan), dan budak
(Tanjung Harapan dan Malaka).81
79
Lihat J. C. Van Leur, Indonesia Trade and Society, (Bandung: Sumur Bandung, 1960),
hal. 198
80
http://kns-ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20 Kanumoyoso,
% 20 M.Hum. Pdf (Dikunjungi Tanggal 16 Desember 2011)
81
http://kns-ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20 Kanumoyoso,
% 20 M.Hum. Pdf (Dikunjungi Tanggal 16 Desember 2011)
124
Pada saat itu juga, tidak dapat dipungkiri juga sejumlah pedagang-pedagang
dari Pasai (Nangroe Aceh Darussalam), Pidie (Nangroe Aceh Darussalam), Jambi
(Provinsi Jambi), Palembang (Sumatra Selatan), Tulang Bawang (Lampung) dan
kota Pariaman (Sumatra Barat), Tiku, Barus, dan di Jawa Barat, Banten, ikut
berjualan di Batavia.82
Menurut pemberitaan Thomas Stamford Raffles, pada abad XVIII di
Pelabuhan Batavia sebanyak 239 kapal yang berlabuh ke Pelabuhan Batavia
dengan membawa jumlah barang dagangan dengan kapasitas yang bertambah dari
sejumlah 48.290 ton (di dalamnya terdapat barang dagangan yang berisikan
muatan beras, rempah-rempah, bahan pokok sehari-hari dan sebagainya.83
Dalam pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, transaksi perdagangan
maritim, di Batavia bukanlah sebagai tempat penghasil komoditas yang dicari
oleh pedagang di sepanjang Jalur Sutera melalui jalan laut, tetapi peranannya
sangatlah amat penting. Namun sebagai tempat transito, baik untuk pembekalan
pelayaran dan perdagangan, maupun komoditas lainnya yang telah dikumpulan
dari daerah-daerah di Indonesia, atau bagi para para pedagang pribumi untuk
membeli komoditas-komoditas yang dibawa oleh para pedagang yang datang dari
Asia Tenggara.84
Barang-barang dagangan yang diperjual-belikan di Batavia baik ekspor
maupun Impor yang berasal dari; Bugis (Makasar), Melayu, Arab, semisal:
kamper kayu, sarang burung walet, lilin lebah, kain yang bernilai tinggi.
82
Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 125-140 83
Lihat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hal. 144 dan
Lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 121
84
Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 125
125
Transaksi barang dagangan berlangsung sangat cepat di Batavia. Usaha pedagang
besar dan menengah diupayakan oleh VOC (Belanda) mungkin sekali dilakukan
oleh pemerintah Batavia dan para pembesar Belanda dan kelas saudagar, di
samping itu tentu saja saudagar-saudagar asing berdatangan di Batavia. Para
bangsawan tinggi besar dan pembesar kerajaan mungkin sekali menjadi pembeli
tunggal atas barang dagangan hasil produk rakyat daerah yang dikuasainya, yang
menjualnya kembali dengan harga yang cukup tinggi.
Kepada kelas saudagar „atau‟ Hoge Regering (Pemerintah Agung/Pusat)
yang akan mengekspor ke luar negeri dan menjual dengan pedagang Asing.
Kelompok kelas saudagar terutama melakukan usaha perdagangan luar negeri,
baik mengekspor barang dagangan hasil produk maritim maupun mengimpor
barang dagangan kebutuhan masyarakat banyak, yang mereka lakukan dengan
perahu sampan, milik sendiri. Usaha ekspor dan impor ini juga dilakukan oleh
pedagang-pedagang dari pendatang, semisal; pedagang-pedagang Eropa, Cina,
Jawa, Arab, dan lain sebagainya, akan tetapi pernah berhubungan langsung
dengan produsen. Barang dagangan yang diekspor ketika itu adalah lada, cengkeh
(yang terpenting) damar, lilin, kayu manis, kayu jati dan lain sebagainya,
sedangkan barang-barang yang diimpor pada saat itu terdiri dari, berjeniskan
beras, gula, garam, barang-barang pecah belah, dan sejenis kayu gelondongan.
Barang tersebut diperjual-belikan antar-pedagang di Batavia dan juga di
Pantai Utara Jawa dan juga pedagang asing untuk melakukan transaksi
perdagangan maritim yang terdapat di Batavia.
126
C. Etnis Cina berdagang di Batavia
Dalam pandangan Mona Lohanda, Sejarahwan dari Arsip Nasional
Republik Indonesia, yang terlihat dari aktivitas perdagangan di pesisir Utara Jawa
ada hubungan perdagangan maritim menjadi lebih erat pada awal abad XVII
sampai abad XVIII antara Batavia dan Tainan,” kata Mona Lohanda. Hubungan
perdagangan maritim itu, semakin kokoh semasa Kapiten Tjina pertama Batavia,
Souw Beng Kong, seorang pemimpin komunitas Cina di Batavia (1580-1644).85
Sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Mona Lohanda, telah
menjelaskan Cina berdagang memakai jalan maritim yang terbentang dari Amoy
di Provinsi Fujian yang letaknya di Laut China Selatan menuju ke arah Batavia
sejak 1620 hingga awal abad XIX. Provinsi Fujian atau Hokkian adalah tempat
Souw Beng Kong. Pada saat itu, ia membutuhkan waktu berlayar 28 hingga 30
hari untuk menempuh perjalanan jarak jauh dalam berdagang dari Cina ke
Batavia. Cina memiliki armada dagang yang memuat barang dagangan yang
cukup besar pada abad XVII dan abad XVIII. Besar kemungkinan Batavia
menjadi pusat ekonomi. Hal ini diperkuat oleh fakta China, bahwa China
berdagang dari Amoy dengan memakai perahu dagang dan selalu diramaikan dari
Macoa (Taiwan). Kemungkinan pasti banyak perahu dagang melewati Kepulauan
Nusantara, dan yang di tuju yaitu Batavia.86
Menurut pemberitaan Blusse sendiri pada tahun 1620, Coen telah mengajak
Souw Beng Kong dan pedagang-pedagang Cina untuk datang ke Batavia dengan
85 Wawancara Pribadi, Mona Lohanda, Sejarawan dari Arsip Nasional Republik
Indonesia, 9 Maret 2011
86
Lihat Pierre Labrousse, Denys Lombard, Christian Pelras, Etudes Interdisiplineres sur
le monde insulindien: archipel 18, (Paris: Cedex, 1979) dalam artikel Leonard Blusse Chinese,
Trade To Batavia During The Days Of The VOC, hal. 195-197
127
tujuan membangun Batavia. Selain itu, untuk menyuplai barang dagangan dari
berbagai keperluan ke pihak Belanda dimaksudkan adalah dengan cara menarik
Cina untuk berdagang ke Batavia. Pengaruh Cina dalam berdagang di Batavia
hampir semua produk-produk perdagangan maritim yang akan diperjual-belikan
di Asia dan Eropa dan antar-Pulau (Sumatra dengan Jawa).87
Pada saat itu Cina dianggap oleh Belanda punya andil besar, selain
pemegang modal besar dan juga cukup pintar dalam hal berdagang, bisa dikatakan
seringkali Cina telah melakukan tindakan kurang baik dalam berdagang, Souw
Beng Kong pun ingin menguasai produk yang sangat strategis. Barang-barang
pokok sehari-hari digunakan untuk ekspor dan impor dari pesisir Batavia dan
menukarkan barang dagangan, Batavia juga mengimpor untuk dijual ke pelosok-
pelosok pedalaman. Kemudian masyarakat Batavia juga senantiasa memunculkan
mengolah produksi hasil tani dan hasil nelayan yang menjadi produksinya untuk
di bawa ke Batavia.88
Pada Abad XVIII, padatnya perdagangan maritim yang disuplai dari negeri
Cina, dengan adanya jalinan dagang dengan Belanda, dan semakin hari akan
tumbuh dan berkembang dari komoditas yang diangkut dari Cina semisal teh,
kopi, perak, tekstil barang-barang porselin dan beling. Sedangkan dari Batavia
diangkut sebagian lagi jumlahnya akan melimpah dengan pesatnya ditandai
dengan adanya barang-barang dagangan meliputi; rempah-rempah lada rotan
kayu, cendana, sarang burung walet, dan komoditi lainnya.89
87 Lihat Pierre Labrousse, Denys Lombard, Christian Pelras, op. cit., hal. 197-198
88
Lihat Pierre Labrousse, Denys Lombard, Christian Pelras, op. cit., hal. 195-197
89
Lihat Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2008), hal. 109
128
Selain itu, untuk melakukan monopoli pembelian produk-produk dari
penduduk pribumi sehingga perahu dagang Cina VOC (Belanda) menghadapi
kesulitan untuk memperoleh isi muatan barang dagangan. kapal dagang yang
melambangkan pedagang asing, dilarang oleh Cina untuk singgah di pelabuhan
Batavia yang dikuasai oleh Belanda kecuali di beberapa pelabuhan yang telah
ditetapkan secara khusus untuk perdagangan maritim maupun yang lainnya. Di
pelabuhan-pelabuhan, ini biasanya Belanda sudah memiliki kontrol yang sangat
ketat bagi Cina.
Hal tersebut ditandai oleh Belanda yang sudah mulai berhasil merebut
berbagai kepentingan di areal Pelabuhan Batavia dan menguasai perdagangan
maritim, menunjukkan prilaku keangkuhan Belanda pada abad XVII dan XVIII.
Akan tetapi, dalam menegakkan monopoli dagang dan melarang bangsa tertentu
untuk melakukan perdagangan maritim ke Batavia. Persoalan ini dapat dilihat dari
kasus hubungan yang penuh ketegangan semakin sulit dan mempersulit antara
Cina dalam tahun 1740.90
Hal ini memungkinkan adanya monopoli perdagangan terhadap laju
komunitas Cina yang tidak tertahan lagi dan bertambah pesat lagi dengan jumlah
penduduk mencapai 10.000 jiwa. Pada umumnya bekerja di perkebunan atau
pabrik gula dan perusahaan kayuan, mereka hidup bersebelahan dekat Pelabuhan
Batavia, dan sebagian diantara mereka hidup dari menyewa tanah pemerintah
Batavia. Tahun 1740, terdapat 2500 rumah Cina yang sudah berbentuk tembok,
`
90 Lihat Pierre Labrousse, Denys Lombard, Christian Pelras, op. cit., hal. 195-199
129
dan 15.000 belum menyerupai tembok yang tinggal hanya di luar Pelabuhan.91
Hal ini memungkinkan orang Cina diizinkan untuk bermukim disebelah dalam
tembok kota, dan meliputi 39 % dari sejumlah penduduk abad XVII dan 58 %
dalam tahun 1739. Hal ini untuk mewujudkan agar Cina tetap bertahan disitu dan
disertai bentuk perampasan barang dagangan Cina.92
Belanda mendatangkan orang-orang Cina ke Batavia, banyak dari mereka
yang berhasil menjadi pedagang dengan kedudukan sebagai lapisan menengah
yang berfungsi sebagai perantara antara orang-orang Eropa dan Pribumi. Sekitar
tahun 1690, penguasa VOC mencoba mulai membatasi masuknya orang-orang
Cina ke Batavia, namun tidak berhasil.93
Namun lama setelah itu, jumlah mereka akan meningkat dan mencapai
puluhan ribu orang maupun puluhan orang, dan menjelang tahun 1740, separuh
penduduk di Batavia dan sekitarnya adalah orang-orang Cina. Selain itu, Cina
juga telah menguasai berbagai bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi ancaman
serius bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, karena dengan adanya
pesaing dari Cina. Alhasil keuntungan mereka menjadi sangat berkurang. Salah
satu bidang usaha yang dikuasai oleh etnis Cina adalah perkebunan tebu di sekitar
Batavia dan Ommeladen (Tangerang). Dalam tahun 1740, pasar penjualan gula
mengalami collapse, karena adanya persaingan dagang yang di pasarkan ke
Eropa.94
91 Benny G. Setiono, op. cit., hal. 109
92
Lihat Anthony Reid, op. cit., , hal. 108
93
Lihat Mona Lohanda, op. cit., hal. 11-12 94
Lihat Denys Lombard, op. cit., hal. 61-62 dan Lihat Mona Lohanda, op. cit., hal. 13
130
Banyak di antara puluhan pedagang mengalami Collepse sehingga
mengalami kebangkrutan dan harus memberhentikan pekerja dari Cina. Sedikit
Banyaknya pengangguran besar-besaran akan mendadak, ini memunculkan
kelompok-kelompok yang menjurus terhadap pelaku kriminal. pelaku kriminal
tersebut juga memperlakukan tindakan kekerasan, sehingga menimbulkan
keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Penguasa Belanda
kemudian mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal ini, dengan
memulangkan orang-orang dari Cina ke Ceylon (Afrika Selatan), yang juga
dikuasai oleh VOC pada waktu itu.95
Hal ini sebagai langkah baru bagi pemerintah Batavia saat itu masih
dikendalikan Belanda dengan menggunakan kesempatan untuk memeras orang-
orang Cina yang kaya pada saat itu dan serta dimintai sejumlah uang agar
medapatkan izin berdagang, sebagai bentuk dilandasi kepentingan Belanda.96
Setelah itu, Cina menerima penyerahan dari VOC pada Abad XVIII,
pemerintah Batavia rupanya tetap mempertahankan kebijakan sebagaimana yang
dilakukan oleh Belanda, adalah ikut menekan Cina dan monopoli barang-barang
dagang yang ketat terhadap kekuatan pribumi maupun Cina serta melakukan
pembatasan-pembatasan bongkar muat barang dagangan terhadap kapal-kapal
asing untuk berlabuh hanya di beberapa pelabuhan di bawah administrasi yang
ketat dari pihak Belanda.97
D. Etnis Arab berdagang di Batavia
95 Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya kajian terpadu, Bagian I: Batas-
Batas Pembaratan , (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 63 dan hal 65
96
Lihat Benny G. Setiono, op. cit., hal. 114 dan hal 117
97
Lihat Mona Lohanda, op. cit., 20-21
131
Faktor-faktor yang menimbulkan orang-orang Arab Hadramaut bermigrasi
ke Nusantara mempunyai dua faktor yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern
sendiri mempunyai 5 penyebab mereka melakukan ekspedisi ke Nusantara.
Pertama, geografis, keadaan geografis Hadramaut yang sebagian besar
terdiri dari Rabb al-Khali ( padang pasir yang luas dan tandus) serta di kelilingi
oleh pegunungan-pegunungan yang bebatuan di tambah lagi iklim di Hadramaut
yang hanya turun hujan.98
Kedua, pelayaran dan perdagangan99
, ramainya jalur perdagangan di
Hadramaut yang berada di sekitar pesisir Laut Merah yang menjadi motivasi
migrasi orang Arab Hadramaut ke Nusantara.
Ketiga, Dakwah100
, merupakan suatu hal yang di anjurkan kepada orang
muslim untuk mengajak saudara muslim memeluk Islam,karena dalam istilah
Islam mengenal Hijriah.berhijriah ke Madinah ke Mekah. Hijriah dalam Islam
untuk tujuan memperbaikki nasib yang lebih di jalan Allah.
Keempat, kekeluargaan,101
banyak diantara mereka bermigrasi ke
Nusantara dengan maksud menjumpai sanak saudaranya baik keluarga, maupun
oarng tuanya yang berada di Nusantara. Selain untuk mencari pekerjaan yang
layak di dalam perusahaan keluarga mereka yang berada di Nusantara, dengan
kedatangan orang Arab dari Hadramaut disambut hangat oleh keluarga mereka
98 Van Den Berg, Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara, judul asli,Le hadramaut et
Les Colonis Arabes dans L‟Acchipel Indien, Jilid III, terj., (Jakarta: INIS, 1989), hal. 90
99
Joko Pramono, Budaya Bahari, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 102-
103.
100
Alwi Shahab, Islam Inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Jakarta: Mizan,
Desember 1998), hal. 324.
101
Van Den Berg, op. cit, hal. 90
132
yang sudah berdomisili di Pekojan dengan membawa kabar baik tentang keluarga
mereka yang tinggal di Hadramaut.
Kelima, adanya penjajah Inggris, orang Arab Hadramaut pada masa
kolonialisme di jajah oleh pihak Inggris, pada saat itu Inggris sudah menguasai
India. Faktor inilah Inggris lebih mudah masuk ke daerah Hadramaut pada saat
itu, dianggap oleh pihak Inggris merupakan daerah perniagaan besar dan
mempunyai nilai potensial, dengan masuknya Inggris ke Hadramaut, hal ini
membuat malapetaka dan terjadinya perang melawan tentara Inggris di tambah
lagi adanya konflik antara kedua kerajaan di Hadramaut yaitu Queti dan Katiri
yang tak kunjung selesai, dan mendorong Hadramaut bermigrasi demi kebutuhan
pokok sehari-hari.
Faktor Kedua (Ekstern) adalah faktor haji. Para jamaah haji yang berada di
Mekkah demi menunaikan rukun Islam yang kelima membawa dampak kepada
orang Arab Hadramaut melalui cerita-cerita para jamaah haji tentang Nusantara
yang memiliki wilayah yang subur kaya akan sumber daya alam, banyaknya
beriklim tropis, biaya hidupnya lebih murah dibandingkan di wilayah lain,
banyaknya pengusaha Hadramaut yang sukses di Nusantara, mayoritas beragama
Islam, sikap tolerasinya sangat kuat, keanekaragaman budaya yang kental dan
penduduknya amat ramah. Faktor inilah yang mendorong bermigrasi ke Nusantara
dengan Harapan membawa kehidupan yang layak dan lebih baik dari negeri
asalnya.
Jalur selat Malaka merupakan sebagai jalur perdagangan international
menjadi tempat bersandar para pedagang dari berbagai Negara, baik dari Arab,
133
Persia, India ataupun China Perdagangan International memunculkan kontak
antara Peradaban dunia dengan wilayah Nusantara, tak terkecuali Persia yang
Mayoritas berpahaman Syi‟ah.
Sejak sebelum masehi, Hadramaut sudah menjadi pintu masuk
perdagangan ke Jazirah Arab bagi kapal-kapal asing Eropa, Cina, dan India atau
tempat persinggahan bagi pedagang dan pelaut yang kehabisan air minum dan
makanan di pelayaran. Pelabuhan yang amat penting di Hadramaut adalah
Mukolla Shihr, dua pelabuhan ini merupaka jalur perniagaan besar yang banyak
didatangi kapal-kapal asing yang hendak berdagang. Hadramaut dikenal sebagai
pengekspor Tembakau Hamuni dan di samping Kopi dan sejenis Kayuwangi
seperti dupa (myrrh), dan orang Arab Hadramaut dikenal amat makmur dari
wilayahnya sebagai perantara barang-barang yang dihasilkan di kerajaan bekas
Romawi, mereka juga memperjual-belikan rempah-rempah pada saat itu di
gunakan sebagai pengawet makanan dan penyedap makanan. Serta juga sebagai
obat-obatan. Hal ini menjadi pedagang Romawi geram dengan orang Hadramaut,
yang pada waktu itu menaikkan harga cukai seperti Sutera dan kayuwangi dan
menaikkan barang dagangan dari luar daerah sesuka hatinya. Orang Romawi saat
itu sangat marah dan mengalami puncaknya terhadap perlakukan dirinya yang di
rugikan oleh bangsa Hadramaut.
Pada abad pertama sebelum masehi, setelah tentara Romawi,102
berhasil
menaklukkan Mesir, mereka segera memasuki Laut Merah, serta berhasil
102 Husein Haikal, Indonesia –Arab dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia (1900-
1942) dalam Disertasi, Universitas Indonesia, 1986, hlm, 45.
134
menghancurkan armada pedagang Arab Hadramaut. Sejak itu orang Arab
Hadramaut bermigrasi ke Nusantara.
Dalam surat al-Fiil ayat ke 2 Allah telah berfirman:
Artinya : yaitu kebiasaan mereka berpergian pada musim dingin dan musim
panas.
Melalui teks Al-Fill kebiasaan orang Arab berpergian musim dingin dan
musim panas mereka melakukan perdagangan dan tempat yang mereka tuju
tentunya daerah Arabia Selatan, yakni Hadramaut.
Peneliti orientalis seperti : Mr Wendel Philips dalam kitabnya Qutban dan
Saba‟, dan Gustave Le Bon dalam Bukunya Khadrah al-Arab yang diterjemahkan
oleh adil Zuiter103
mereka dengan sepakat bahwa Yaman dan Hadramaut
merupakan pintu gerbang perdagangan Timur-Tengah dan Eropa. Sehingga
padatnya lalu-lintas perdagangan dan pelayaran di pesisir Laut Merah, orang
Hadramaut untuk berlayar ke Nusantara. Jalur pelayaran melalui Laut Merah
menuju Sri Langka kemudian menyebar tiga jalur pelayaran:
Pertama, jalur pelayaran Laut Merah terus menuju perairan terdekat
sampai ke ujung Sumatra,yaitu pulau We dan Sabang.Kemudian melanjutkan
pelayaran selat Malaka.
103 Gustave, Le Bon, Khadrah al-Arab,di terjemahkan oleh Adil Zuiter, penerbit: Isa al-
bab halbi wa sirkah,cetakan ke 4, hal,95
135
Kedua, jalur pelayaran dari Sri Langka (Ceylon) melalui perairan laut
menuju ujung Sumatra, Kemudian menyusuri selat Malaka, berlabuh di pelabuhan
Sunda Kelapa.
Ketiga, jalur pelayaran dari Sri langka melewati lautan Hindia, kemudian
menusuri menyusuri pesisir barat Sumatra,dan berlabuh di pulau Nias, dengan
tujuan mendapatkan komoditas daerah setempat. Selanjutnya melanjutkan
pelayaran sampai pelabuhan di perairan selat Sunda.104
Melalui selat Malaka pelabuhan sabang yang digunakan untuk melintasi
pelayaran dan perdagangan. setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511 M)
banyak dari pedagang Arab, Cina, dan India ikut berdatangan ke Sunda Kelapa.
Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang di tuju pedagang Muslim dari
Arab, sehingga orang Arab diberikan tempat pemukiman orang Arab di daerah
Pekojan. Menurut Van Den Berg, migrasi orang Arab Hadramaut dalam skala
besar di mulai akhir Abad ke XVIII.
Perjalanan dari Hadramaut ke Nusantara berlangsung.pertama berangkat
dari pelabuhan di Hadramaut yakni Mokalla dan as-Shihr menuju Bombay
(India)105
. Dari pulau Ceylon (Sri Langka ) dan akhirnya ke Aceh atau Singapura.
Seluruhnya pelayaran dilakukan degan kapal berlayar. Namun setelah di bukanya
terusan Suez oleh Prancis di Mesir berdampak pada perjalanan pelayaran menuju
ke Nusantara.
104 Joko Pramono, Budaya Bahari, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal.
102
105
Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, (ed), Marwati djoened
Poesponegoro dan Nogroho Notosusanto, (Jakarta: Penerbit balai Pustaka, Depdikbud, 1993 ), hal.
30
136
Setelah Islam masuk ke Nusantara pada awal abad pertama Hijriah
tepatnya pada abad ke 7 M, sebagian dari orang Arab yang menyebarkan Islam ke
Nusantara mereka berasal dari Hadramaut, karena Hadramaut semenjak sebelum
masehi atau sebelum kelahiran Islam sudah menjadi pelabuhan di Jazirah Arab
letak di Hadramaut yang berada di pesisir Laut Merah.106
Kedatangan orang Arab Hadramaut ke Nusantara telah memainkan peran
penting dalam perniagaan besar dan penyebaran Islam, tetapi seorang Muslim
mereka mempunyai kewajiban untuk menyebarkan Islam, walaupun pada waktu
itu penduduk Pribumi berada di bawah kekuasaan kerajaan Pakuwan Pajajaran
yang bercorak Hindu. Namun, peristiwa adhesi ini di manfaatkan oleh kerajaan
Pakuwan Pajajaran untuk menarik minat orang Arab untuk berdagang agar terjalin
hubungan erat dengan diantara keduanya.
Pada tahun 1527 M, setelah jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Islam di
bawah pimpinan Fatahillah atas perintah Kerajaan Demak. Maka, Sunda Kelapa
berganti nama menjadi Jayakarta, dengan beralihnya ke Jayakarta. Bahkan
sebaliknya, di Jayakarta dengan bertambah ke Jayakarta. Bahkan adanya agama
Islam banyak orang Hadramaut ke Jayakarta. Pada tahun 1619 M, Jayakarta ke
tangan Belanda di bawah pimpinan JP. Coen. Di masa Belanda ini Jayakarta
berganti nama menjadi Batavia, yang mana perdagangan para pedagang Arab,
Persia, Cina, dan India yang sudah terbiasa dengan perdagangan bebas.
Migrasi orang Arab ke Nusantara mempunyai Misi agama di samping
mereka melakukan aktivitas perdagangan di perkuat oleh T.W. Arnold dalam
106 Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Jakarta: Penerbit
Mizan, Oktober 2002), hal. 67
137
Preacing of Islam, G.E Marrison dalam tulisannya Islam and Churh in Malay, SQ.
Fatimi dalam buku Islam Comes To Malasia, ke semuanya sepakat bahwa orang
arab Hadramaut yang memperkenalkan Islam ke Asia Tenggara adalah para
pedagang yang memiliki misi agama dengan bukti nyata adalah kesamaan
Mazhab Syafei yang di anut oleh masyarakat Pribumi.107
Migrasi orang Arab Hadramaut di Nusantara, Azyumardi Azra
mengatakan bahwa awal masehi hubungan Nusantara dengan Dunia Arab telah
terjalin yaitu antara kerajaan Sriwijaya dan dinasti Umayyah. Orang Hadramaut
sudah berada di Nusantara abad pertama Hijriah dan sebagian yang sudah ada di
Pekojan, perkampungan Arab.
Proses Islamisasi di Nusantara ke Batavia biasa terlihat dengan berdiri
sebuah masjid luar batang yang didirikan oleh Sayyid Husein bin Abu Bakar al-
Idruys (wafat 1789)
Migrasi orang Hadramaut secara massal terjadi akhir abad XVIII dan
mencapai puncaknya pada abad ke XIX tepatnya tahun 1870 M. Migrasi orang
Arab Hadramaut Ke Nusantara yakni salah satu Sunda Kelapa. Sunda Kelapa
merupakan salah satu yang terpenting dan ramai dikunjungi oleh kapal-kapal
asing Cina, Eropa, India, dan Arab. Menurut Prof. Dr. Dien Madjid, MA, jauh
sebelum Belanda datang ke Sunda Kelapa Komunitas Arab Hadramaut sudah
berada di Sunda Kelapa.108
107 Susan Abeyasekere, Jakarta A History, ( New York: Oxford University Press, Oxford
New York,1987), hal. 8
108
Dien, Madjid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga abad ke
XVIII, dalam buku Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai Bandar Jalur Perdagangan Sutra, (Jakarta:
DEPDIKBUD, hal. 78
138
Sayyid Ali Ibn Husein al-Attas dalam kitab Ta‟jul A‟ras mengatakan
bahwa tujuan awal orang Arab Hadramaut bermigrasi dengan motivasi berdagang.
Seperti yang dilakukan oleh Sayyid Husein ibn Abu Bakar al-Idrus yang sekarang
makamnya berada di Luar batang, Pasar Ikan Jakarta Utara.
Motivasi migrasi orang Arab hadramaut dengan tujuan berdakwah juga di
benarkan oleh Prof Badri Yatim, yang mengatakan bahwa keislaman di Jakarta
(dahulu Sunda Kelapa), di zaman Belanda menjadi Batavia. Di Jakarta masih
terdapat orang Arab Hadramaut seperti : al-jufri, as-Seggaf,al-Atas, al-Habsyi, dan
lain-lain,109
dan ditambahnya dengan banyaknya orang Hadramaut ke Batavia
membawa dampak positif bagi masyarakat Pribumi yakni bagian dari mereka
mengirim anak-anak mereka ke Timur-Tengah terutama ke Mekkah dan Madinah
terbukti dengan lahirnya seorang ulama dari Betawi yang Bernama Abdul
Rahman al-Misri al-Batawi.
Unsur lain yang menyebabkan orang Arab Hadramaut bisa di terima
dengan baik oleh penduduk Pribumi di Batavia. Menurut Van Den Berg bahwa
kebanyakan orang Arab Hadramaut telah berasimilasi secara keseluruhan dengan
masyarakat Pribumi dalam tiga generasi atau empat generasi. Beberapa unsur
yang ikut mendorong proses ini, pertama mayoritas imigran adalah laki-laki.
Sesuatu yang tabu bagi kaum perempuan berjualan dari masyarakat
Hadramaut untuk meninggalakan wilayah Hadramaut. Konsekuensi yang terjadi
adalah perkawinan silang antar-pedagang pribumi dan Arab, yang terdapat
menjembatan interaksi dengan penduduk lokal. Kedua, islam merupakan unsur
109 Badri Yatim,Peran Ulama Dalam masyarakat Betawi, dalam buku, Ruh Islam dalam
Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, juni 1996), hal. 21
139
penting dalam perkawinan mereka ini. Karena mereka menganggap agama yang
sama dengan masyarakat pribumi telah membuat integrasi lebih menjalin. Pada
umumnya, komunitas pedagang Muslim yang besar maka Islam merupakan unsur
pemersatu yang kuat.
Baik anggota keluarga atau sedaerah, atau kenalan saja dari orang arab
hadramaut yang sudah menetap lebih ke Batavia,orang Hadramaut mendapat
keterangan-keterangan yang di perlukan karena umunya mereka saling mengenal
baik ada ikatan darah.110
Sebagi faktor intern yang telah di jelaskan di atas tadi
motivasi orang Arab Hadramaut juga dipengaruhi oleh Inggris atas Hadramaut.111
Pedagang-pedagang dari Arab, Cina, dan Eropa juga banyak yang
memiliki tinggal di Batavia dengan alasan agar mereka berdagang jenis komoditas
sejak abad XVII dan XVIII. Mereka termasuk dalam stratifikasi sosial-ekonomi di
Batavia dan dengan cara masing-masing dalam berusaha menjalin kerja sama
dengan pihak Pribumi (Betawi), Cina, dan Belanda. Orang Cina masuk dalam
mitra dagang di Batavia dan menjadi salah satu koloni tertua di Batavia dengan
Belanda.
Sebagai bagian dari pusat pemerintahan Belanda, Penguasa dari pusat
seperti gubernur jenderal dan bangsawan, dan para pembesar istana masuk dalam
kelompok pengurus pusat VOC dan lembaga-lembaga pemerintahan Batavia.
Maka Batavia sekaligus menjadi bandar pelabuhan, Batavia berperan
menghubungkan berbagai kawasan dan menjadi tempat tinggal aneka macam
110 Van Den Bergt, Le Hadramaut et Les Colonis Arabes Dans L‟Acchipel indien, judul
terjemahan,hadramaut dan koloni arab di Nusantara, pent rahayu Hidayat,penerbit: INIS,jilid
III,Jakarta 1989,hlm 80.
111
Husein Hailkal, Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900-
1942) (Depok: Disertasi,Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.
140
etnis seperti Cina, Arab, Eropa dan lain sebagainya. Itulah yang membedakan
dengan kawasan lain. Pedagang dari dunia Muslim merupakan sosok
„‟misionaris‟‟ paling umum di wilayah Pekojan. Inilah mengapa dalam hal ini
keimanan mengikuti jalur perdagangan.
Sementara kelompok „‟priyayi‟‟, berusaha memenuhi kebutahan sehari-
hari dengan melakukan kerja tukang pengrajin emas, perak, dan perak, tikar, atau
berdagang. Mereka menjadi mitra dagang dengan ulama dan sebagian lagi
mengambil peran sebagai „‟makelar‟‟ atau saudagar perantara memenuhi
permintahan akan berbagai kebutuhan barang impor.
Pedagang Muslim yang datang ke pusat perniagaan besar di wilayah-
wilayah yang asing, kemungkinan besar kembali dengan segera. Mereka
menunggu barang dagangan mereka untuk dijual agar mereka membeli barang
dagangan setempat dan membawa kembali ke negeri mereka. Selain itu, pelayaran
kembali mereka tergantung pada musim. Oleh karena itu, dalam banayk hal
proses berbulan-bulan sebelum keberangkatan. Biasanya mereka tinggal
berkelompok di perkampungan di dekat pelabuhan kota. Perkampungan jenis ini
biasanya disebut dengan „‟Pekojan‟‟ yang berarti sebuah kampung pedagang
Muslim yang datang dari Arab, Persia, India, Tamil, dan lain sebagainya.
Kampung Pekojan masih banyak di tempat-tempat nyata di kota-kota sejarah
seperti Banten, Batavia (Jakarta), dan lainnya.
Hubungan antara pedagang Muslim dengan pedagang Muslim lainnya
memiliki ketergantungan satu sama lain dan saling membutuhkan antar-pedagang
Muslim. Komunitas Muslim lokal biasa diwujudkan secara bertahap. Lewat
141
komunikasi melalui transaksi perdagangan di daerah Pekojan dengan pembelinya,
dari komunikasi inilah lama-kelamaan pedagang Muslim cepat berinteraksi
dengan masyarakat Eropa, Cina, Persia, India, dan lain sebagainya. Ketika
perdagangan maritim makin berkembang pada pertengahan abad XVII, maka hal
ini perdagangan semakin pesat antar-pedagang Pribumi (Betawi) maupun
pedagang Hadramaut. Lewat proses komunikasi inilah terbangun dunia Islam di
Batavia, saat itu Islam dianggap jadi duri penghalang bagi VOC. Sejak itu
pedagang diberikan tempat untuk tinggal dan berdagang di daerah Pekojan.
Secara bertahap hubungan kelompok pedagang Muslim ini dan komunitas lokal
mewujudkan keluarga Muslim.
Kelompok-kelompok ini sebenarnya memiliki asal yang berbeda, mereka
ditempatkan di sini hanya karena mereka adalah Muslim. Bangsa Moor yang
Muslim awalnya India dari Kalinga, wilayah Selatan Utara Paliacate, terletak di
lepas pantai Coromandel. Mereka menetap di Batavia di daerah Pekojan (Koja
atau coja berarti Muslim yang hitam) yang kemudian dihuni oleh orang Arab.
Moor memiliki identitas Islam yang sangat kuat, mengenakan jubah panjang dan
memiliki masjid mereka, yang dikenal sebagai Mesjid Pekojan di Pekojan di pusat
kota yang hadir di Jakarta. Mereka terlibat dalam perdagangan pesisir bersama-
sama dengan orang Arab. Berbeda dengan non-Kristen penduduk Batavia, VOC
memungkinkan Moor untuk membentuk mereka menjadi kewarganegaraan dari
kebebasan yang mulai berkembang pada 1751, permintaan mereka telah
teroraganisir dengan baik pada tahun 1704. Kapten Moor pertama diangkat pada
1753. Hal ini dikatakan keuntungan ekonomi yang besar untuk bangsa Moor.
142
Meskipun pada awal abad XX, orang Arab membentuk kelompok besar
yang kedua dari Asia dan di Indonesia, sumber mengenai asal mereka dan
kehidupan agak langka, dibandingkan dengan mereka di Cina. Untuk alasan
apapun, Masyarakat Arab tumbuh dan berkembang menjadi pedagang dan berbaur
dengan Cina, Eropa, dan Pribumi. Pertumbuhan komunitas Arab di Indonesia
sebagian besar akibat kenaikan alami daripada imigrasi. Dikatakan bahwa 90%
dari Penduduk Arab saat ini bahasa Indonesia-Arab atau Indo-Arab atau
Paranakan, telah dikenal dengan baik / atau dibesarkan di Nusantara. Orang-orang
Arab muncul sebagai kelompok yang hidup Batavia terutama di pertengahan abad
XIX, namun pengaruh mereka sangat besar dalam ekonomi-budaya Betawi.
Mereka tersebar luar di wilayah di Krukut, Pekojan, Tanah Abang,
Kwitang, Cawang dan Meester Cornelis atau Jatinegara. Kebanyakan dari mereka
yang datang ke Indonesia berasal dari Hadramaut bagian Selatan Saudi, mayoritas
dari mereka dari kelas kedua di Hadramaut, rakyat kelompok umum yang
mencakup pedagang keliling. Dapat dicatat bahwa kata masikin, berarti miskin,
kecil, atau signifikansi. Namun, beberapa orang mengklaim bahwa Sayyid
(merupakan keturunan Nabi) dan lain-lain Syech (ulama dari kaum bangsawan
religius Hadramaut), dan sangat dihormati oleh orang Arab sendiri serta
Indonesia.112
Perbedaan ini mungkin berasal dari pola dagang bertahap, dengan cara
mengembangkan diskriminasi ekonomi-sosial, yang dibedakan antara orang-orang
Arab yang berasal dari Selatan Saudi dengan metode dan aktivitas perdagangan
112
Lihat Mona Lohanda, The Kapitan of Batavia 1837-1942, (Jakarta: Djambatan, 1996),
hal. 18
143
uang pinjaman yang telah menyebabkan lebih populernya mereka di banyak desa
di wilayah Batavia, dan mereka yang tidak terlibat dalam praktek-praktek tajam
seperti tetapi dihormati sebagai guru Muslim dan sarjana, dan dengan demikian
lebih benar-benar representatif dari tradisional dihormati 'Orang Arab'.
Selain dari pinjaman uang, banyak orang Arab yang terlibat dalam
perdagangan batik dan sewa rumah.113
Meskipun ada dua hambatan untuk
kegiatan meminjamkan uang mereka, larangan 'riba' (bunga) didefinisikan dalam
Al-Qur‟an, dan pemerintah Belanda sebagai pengkhianatan atas tanah air mereka,
orang Arab biasanya menghidari larangan riba dalam berdagang di tanah Batavia ,
agar menghindari cara yang dilakuakan pemerintah Belanda dan entis Cina.
E. VOC Collepse
Collepse atau kejatuhan itu bukan akibat kalah perang dari Portugis, tetapi
bukan kalah persaingan dagang dengan Cina (RRC), Portugis (Portugal), Malaka
(Malaysia Barat), Arab (Saudi Arabia), melainkan hanya VOC mengalami
perilaku buruk yang terdapat dijajarannya sendiri.114
Selain itu, hak-hak monopoli
barang dagangan lantas telah membentuk struktur Gubernur Jenderal untuk
melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu, semenjak VOC menguasai arus
berlayar dan berdagang di Nusantara dan Asia Tenggara yakni termasuk di
Batavia, secara khusus lewat Perairan Batavia.115
Kesemuanya ini ialah perdagangan yang memiliki corak maritim yang
terdapat di Batavia dalam kendali kuasa di tangan Belanda. Oleh kerena itu, tidak
113
Lihat Mona Lohanda, The Kapitan of Batavia 1837-1942, (Jakarta: Djambatan, 1996),
hal. 19
114
Lihat Zaenuddin HM, Nostalgia Di Jakarta, (Jakarta: CV Java Media Network, 2008),
hal. 9 115
Zaenuddin HM, op. cit., hal. 9
144
mengherankan bilamana VOC telah berhasil mencapai kekuasaan dan
kejayaannya untuk mencapai kemakmurannya yang melimpah harta-harta hasil
permainannya yang dimainkan dari penjualan rempah-rempah dari pemungutan
pajak. Pada saat itu Belanda memamerkan kekayaannya berlangsung dimana-
mana termasuk di Batavia dan wilayah teritorial yang di kuasai oleh VOC.116
Mereka seringkali bertemu dan melakukan usaha perdagangan dengan cara
yang kurang baik. Rupanya, mental Coen ditiru oleh para pejabat bawahannya.
Ekonomi antara Belanda dan koloninya, ini dikarenakan sistem berlayar dan
berdagang VOC dianggap ketinggalan zaman yang tidak menghasilkan
keuntungan yang cukup. Perdagangan terbuka yang di lakukan Batavia membuat
Belanda harus memproduksi lebih banyak, akan tetapi pemberontakan Haiti
menghancurkan produksi. Semua rempah-rempah di produksi dan di ekspor ke
Amerika, hingga tidak ada satupun rempah-rempah yang tersisa satupun di
gudang. Ini berarti ledakan ekonomi yang terjadi di Batavia karena kehabisan
barang dagangan. Dan peperangan antara Denmark dan Britania pada 1807
memaksa parlemen Belanda mengeluarkan Undang-undang Embargo, akhirnya
selama 10 tahun Amerika dan bangsa Eropa lainnya berhenti melakukan
perdagangan di Hindia. Baru setelah itu Gubernur Jenderal Wiese menyerahkan
kekuasaannya kepada penerusnya.117
Pada akhirnya, tanggal 31 Mei 1799, akibat hutang-hutang yang melimpah-
meninggalkan hutang-hutang 134 gulden, VOC (Belanda) dinyatakan bangkrut
116
Bernard H. M. Vlekke, op. cit., hal. 154 117
Lihat Bernard, Vlekke, op. cit., hal. 274-275
145
oleh pihak pemerintahan Belanda, kongsi dagang ini dibubarkan. Tamat VOC
(Belanda) di ranah Batavia. 118
Secara garis besar isi perjanjian tersebut sebagai berikut;
1. Sistem monopoli VOC dengan akibat-akibat yang merugikan. Tujuan
monopoli dagang ini adalah untuk memperoleh keuntungan sebanyak
mungkin dari perdagangan.
2. Karena VOC merupakan sebuah persekutuan dagang yang terdiri dari
para pedagang dan pemegang saham, maka mereka sama sekali tidak
memperhatikan kehidupan atau membuat kebaikan terhadap orang-orang
pribumi. Kehidupan perdagangan maritim seperti itu melemahkan
perdagangan dan kekuasaan Belanda di Indonesia.
3. Akibat pemerintah Belanda tidak memperhatikan nasib masyarakat,
maka masyarakat pribumi menjadi sangat miskin. Mereka tidak mampu
membeli barang-barang produksi yang dijual oleh Belanda. Bahkan tidak
jarang penduduk pribumi tidak mampu membeli beras dan bahan-bahan
makanan lainnya yang akan dijual oleh Belanda. Beberapa kebijakanan
Belanda yang menyebabkan orang-orang Nusantara terus miskin.119
118
Lihat Zaenuddin HM, op. cit., hal. 9-11
119
Gilbert Khoo, Sejarah Asia Tenggara Sejak tahun 1500, (Kuala lumpur: Penerbit
Fajar Bakti SDN.BHD, 1976), hal. 19.
146
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,
pelayaran dan perdagangan di kawasan Laut Jawa telah membawa angin segar
bagi pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Pantai Utara Jawa. Kegiatan ekonomi-
perdagangan telah berpengaruh terhadap penyebaran Islam di Jawa semisal;
Banten, Demak, Tuban dan sebagainya.
Kondisi ini, yang dialami oleh para pelaut dan pedagang di sekitar Laut
Jawa. Mereka berasal dari Arab, Cina, India, Persia, Turki atau dari Asia lainnya.
Hal ini, disertai oleh hubungan dagang dengan Islam atau bahkan penguasa lokal
sekalipun. Hal ini, yang mendorong lalu-lintas dari dunia luar terutama kalangan
pelaut dan pedagang Muslim dan hingga menjadi persekutuan dalam menghadapi
pedagang asing maupun dari Jawa di bidang perdagangan dan sarana transportasi.
Akan tetapi, wilayah Batavia tetaplah masih eksis sejak beberapa abad yang lalu,
sebagai wilayah perdagangan.
Dapat diketahui bahwa bandar niaga Kota Batavia telah memainkan
peranan pentingnya sejak lama. Menurut data sejarah, paling tidak Batavia telah
diketahui dalam tahun 1619 M, setelah Jayakarta jatuh ke tangan Belanda di
bawah pimpinan Jan Piterszoon Coen. Di masa Belanda ini Jayakarta berganti
nama yang mana para pedagang Arab, Cina, Persia, India, dan lain sebagainya
sudah terbiasa dengan perdagangan bebas. Di samping dengan kedatangan dan
147
usaha Jan Pieterszoon Coen untuk mewujudkan cita-citanya semakin terbuka.
Sejak itu mulailah pembangunan Kota Batavia, dan melengkapi benteng Jaccatra
(sebagai tempat pertahanan dan tempat perlindungan dari aktivitas perdagangan
maritim).
Di sini orang-orang Belanda sibuk mengatur dokumen ribuan macam
barang dagangan, perhitungan, pelaporan, dan pemeriksaan sebelum diteruskan ke
gudang dan pos-pos dagang di sekitar Kasteel Batavia (kini Pasar Ikan). Tepatnya
di daerah Kecamatan Penjaringan, Kelurahan Penjaringan yang terbentang antara
Pasar Ikan dan Glodok.
Namun letaknya yang sangatlah strategis di jalur keramaian antara India
ke Cina dengan Jepang, dan disegala tempat. Setiap kapal dagang dan perahu
dagang membawa isi muatan barang dagangan yang berlayar antar-Eropa dan
Cina, dan berlabuh di Pantai Batavia. Terutama masyarakat Batavia memiliki arti
khusus bagi orang berlayar dan berdagang di kawasan Hindia Timur, yang
mencakup bangsa Eropa dan juga masyarakat Pribumi, pedagang Melayu dan
pedagang Arab Hadramaut. Demikian halnya dengan para pedagang Cina, Jepang,
Tonquin, Malaka, Cochin Cina dan Pulau Celebes (Pulau Sulawesi), dan Maluku.
Hal ini dijadikan pinjakan dari aktivitas berlayar dan berdagang dan di arahkan ke
tempat yang di tuju yaitu perairan Batavia.
Selain, dari para pelaut dan pedagang sangat tertarik dengan bandar
Batavia karena alasan-alasan sebagai berikut: kemudahan melempar sauh, terdapat
air minum yang banyak dan melimpah, menghasilkan kayu bakar berlimpah dan
dapat diperoleh tidak jauh dari pelabuhan, bahan makanan dapat diperoleh dari
148
selat Sunda, dan letaknya antara kepulauan rempah-rempah yang terletak di
sebelah Timur.
Hal ini diupayakan oleh pedagang-pedagang kecil hingga besar untuk
memperoleh pekerjaan dan barang-barang dagangan. Hal tersebut guna menyusuri
Sungai Ciliwung dan kanal kecil ataupun kanal besar (kali besar) yang dibuat oleh
Belanda untuk memudahkan transaksi perdagangan yang bercorak maritim dari
daratan hingga ke sebrang lautan.
Keberadaan kanal kecil dan kanal besar dimanfaatkan sebagai awal
pedagang melakukan transaksi barter sebagai bentuk penyaluran barang dagangan
ke arah pasar, ataupun sebagai bentuk transaksi dengan pedagang-pedagang ke
daerah pedalaman. Berlayar dan berdagang guna menyusuri Sungai Ciliwung
mempunyai peranan penting dalam pengangkutan barang dagangan. Hasil agraris
dan hasil hutan merupakan salah satu komoditas utama yang diangkut melalui
pelayaran sungai.
Selain itu juga hasil laut dan hasil kerajinan masyarakat. Sebagai contoh
saja, komoditas lada diangkut dari daerah negara lain, sebagai penyuplai produsen
lada ke daerah hilir atau ke Pelabuhan Batavia. Di tempat itu para pedagang dari
berbagai daerah dan negara seperti pedagang Cina, Inggris, Belanda, dan
pedagang Melayu sudah menunggu untuk membeli komoditas tersebut. Namun
adakalanya para pedagang tersebut, terutama pedagang Cina, pedagang Arab, dan
Melayu sudah terlebih dahulu membawa perahu dagang mereka masuk ke
pedalaman untuk membeli langsung komoditas dagang yang mereka butuhkan.
149
Di antara mereka barang-barang yang dibawa dari dari Muara Angke
(Jakarta Utara) dan diluruskan ke Perairan Batavia, meliputi; barang-barang
porselin dan teh milik orang Cina yang akan diperjual-belikan di tempat tersebut.
Komoditas lada, banyak diangkut dari wilayah hulu Sungai dan daerah
pedalaman disekitar Sungai Ciliwung akan menuju ke Batavia. Namun pada saat
terjadi kenaikan harga lada di pasaran, biasanya para pedagang (Melayu, Cina dan
Eropa) berlomba-lomba untuk mendatangi daerah produsen agar bisa langsung
membeli lada.
Menurut pemberitaan Thomas Stamford Raffles di Pelabuhan Batavia
sebanyak 239 kapal yang berlabuh ke Pelabuhan Batavia dengan membawa
jumlah barang dagangan dengan kapasitas yang makin bertambah dari sejumlah
48.290 ton (di dalamnya terdapat barang muatan beras, rempah-rempah, bahan
pokok sehari-hari dan sebagainya.
Meski demikian, adanya hubungan dagang secara langsung dengan pos-
pos dagang di Asia pada hakikatnya tidak mengganggu posisi Batavia sebagai pos
dagang yang menjadi pusat VOC di Asia. Batavia menjadi pusat administrasi dan
pembukuan. Lagi pula, aktivitas dagang kesemuanya ini dalam aktivitas
perdagangan yang bercorak maritim dengan (Sri Langka, Kanton, Benggala),
kesemuanya itu haruslah tunduk dan tata kepada Hoge Regering yang berpusat di
Batavia.
Seperti perkataan Sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia,
Mona Lohanda, telah menjelaskan Cina berdagang memakai jalan maritim yang
terbentang dari Amoy di Provinsi Fujian yang letaknya di Laut China Selatan
150
menuju ke arah Batavia sejak 1620 hingga awal abad XIX. Cina memiliki jung
Cina yang memuat barang dagangan yang cukup besar pada abad XVII dan abad
XVIII. Seperti pemberitaan Blusse sendiri pada tahun 1620, Coen telah mengajak
Souw Beng Kong dan pedagang-pedagang Cina untuk datang ke Batavia dengan
tujuan membangun Batavia. Selain itu, untuk menyuplai barang dagangan dari
berbagai keperluan ke pihak Belanda dimaksudkan adalah dengan cara menarik
Cina berdagang ke Batavia.
Souw Beng Kong pun ingin menguasai produk yang sangat strategis.
Barang-barang pokok sehari-hari digunakan untuk ekspor dan impor dari pesisir
Batavia guna tukar-munakar barang dagangan, selain Batavia juga mengimpor
untuk dijual ke pelosok-pelosok pedalaman.
Setelah itu, Cina menerima penyerahan dari VOC (Belanda) pada Abad
XVIII, pemerintah Batavia tetap mempertahankan kebijakan sebagaimana yang
dilakukan oleh VOC (Belanda), adalah ikut menekan pedagang Pribumi,
pedagang Cina, dan pedagang Arab serta monopoli barang-barang dagang yang
ketat terhadap kekuatan Pribumi maupun Cina serta melakukan pembatasan-
pembatasan bongkar muat barang dagangan terhadap kapal-kapal asing untuk
berlabuh hanya di beberapa pelabuhan di bawah administrasi yang ketat dari
pihak Belanda.
Selain dari dampak positif, juga membawa dampak negatif dalam bentuk
memainkan monopoli komoditi perdagangan. Karena adanya pembatasan ruang
gerak perdagangan di Asia Tenggara khususnya; di Batavia. Ditambah lagi,
munculnya krisis ekonomi yang berkelanjutan yang dialami oleh Cina.
151
Selain, adanya monopoli yang dilakukan oleh Belanda menimbulkan
prilaku buruk diaspek lini kehidupan. Sampai akhirnya pada tanggal 31 Mei 1799
VOC mengalami collapse, karena hutang-hutang Belanda mencapai sejumlah 134
gulden, sampai akhirnya VOC dinyatakan bangkrut oleh pemerintah Belanda dan
akhirnya kongsi dagang ini dibubarkan.
153
DAFTAR SUMBER
I. Sumber Tertulis
A. Arsip
ANRI, dalam koleksi Colenbrander, Coen, 1: 245.
ANRI, dalam koleksi tentang Surat Coen kepada para direkturnya VOC, 10
Desember 1616.
ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en
Raden van Indie (Hoge Regering), 1612-1811, Jakarta, 2002
ANRI, Beviendingen op de eisen, ini di simpan (serinya tidak lengkap) dalam arsip
Kamer Zeeland Archief, VOC 13472-13508
ANRI, Angka-angka ini diambil dari J. R Bruijn, F. S Gaatra, dan I Schoffer (ed),
Dutch Asiatic Shipping in the 17 th en 18 th Centuries, Rijks
Geschiedkundige Publicatien, Grote Serie 165-167 (3 Jilid; Den Haag,
1979 en 1987) (tentang perdagangan)
Surat Kabar dan Majalah
B. 1. Surat Kabar
Aziz, Munawir, Jejak Cheng Ho, Antitesis Benturan Peradaban dalam harian
Kompas, Minggu, 17-10-2010
Widi, Hendriyo, Bukan Belanda Kalau Tidak Berdagang dalam harian Kompas,
Jum’at, 25-08-1995.
B. 2. Majalah
Prisma, No. 11, Th. XIII, 1984
154
Darmarastri, Hayu Adi, “Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928”, dalam
Lembaran Sejarah, vol.4, No.2, 2002.
C. Buku, Disertasi dan Jurnal
Abeyasekere, Susan, Jakarta A History, ( New York: Oxford University Press,
,1987)
Ahmad, Taufik, Jakarta Berawal dari Pelayaran dan Pelabuhan, (Jakarta:
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman,
Museum Bahari, 2008).
Anwar Ibrahim, dkk, Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989).
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah wacana dan
kekuasaan,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).
.............................., Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Jakarta:
Mizan, 2002)
............................, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia, ( Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007).
Den, Van, Berg, Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara, judul asli, Le
hadramaut et Les Colonis Arabes dans L’Acchipel Indien, Jilid III, terj.,
(Jakarta: INIS, 1989).
B, Adrian, Lapian, (ed), Four Centuries Trade Relations Between Indonesia and
Netherland 1595 – 1995
............................, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut Sejarah Kawasan Laut
Sulawesi Abad XIX, (Jakarta: Disertasi-Komunitas Bambu, 2009).
155
............................, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad XVI dan XVII,
(Depok: Komunitas Bambu, 2009).
Brundel, Fernand, Cilivilization and Capitalism: 15 – 18 Century, Volume II:
The Wheels of Commerce, (Collins/Fontana Press, London, 1998).
Chaudury, KN, Trade and Civilization in The Indian Ocean : Economic History
from The Rise of Islam to 1750, (Cambrige: Cambrige University Press,
1989).
Colenbrander, H.T. (ed), Dagh-Register genouden te Casteel Batavia vant
paserende daer ter plaetse als overgeheel Naderlandts India Anno 1631-
1634 (Batavia Landsdrukkery: s’-Gravenhage Martinus Nijhoff, 1898).
Cortesao (ed), Armando, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the
east from the Red Sea to Japan; Written in Malacca and Indiain 1512-
1515. 2 jilid, (London: Hakluyt Society, 1967).
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah, seri
terjemahan, (Jakarta: Yayasan Universitas Indonesia, 1975).
Graaf H. J de Graaf & Pigueaud Th. G. Th. , Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa:
Peralihan dari Majapahit ke Mataram, terj., (Jakarta: Grafite Pers, 1986),
Haan, F. de, Oud Batavia, tweede herziende druk, (Bandung: A.C. Nix & Co.,
1935).
Haan, F. de (ed), Dagh-Register genouden te Casteel Batavia vant paserende
daer ter plaetse als overgeheel Naderlandts India Anno 1680, (Batavia
Landsdrukkery: S’Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919).
Hall, D.G.E, Sejarah Asia Tenggara, terj., (Surabaya: Usaha Nasional, 1988).
156
Hall, R Kenneth, Maritime Trade and State Development in Early Southeast
Asia, (Honolulu: University of Hawai Press, 1985).
Hanna, A. Willard, Hikayat Jakarta, terj., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1988).
Hans-Dieter Evers, “Tradisional trading networks of Southeast Asia”, dalam
Archipel 35 (1988) 92.
Hassan Shadily, John M. Echols, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia, 2000).
Haris, Tawalinuddin, Kota dan masyarakat Jakarta dari kota Tradisional ke
kota Kolonial Abad XVI-XVIII, cet pertama (Jakarta: Wedatama, 2007)
Heuken, A.SJ, Historical Sites in Jakarta, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1982)
....................., Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, (Jakarta: Yayasan Cipta
Loka, 1997).
....................., Dokumen-dokemen Sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad
ke-16, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1999)
Houben V.J.H, dkk, Looking in Odd Mirrors: The Java Sea (Leiden: Vakgroep
Talen en Culturen van Zuidoost-Asië en Oceanië Leiden Universiteit,
1992).
HM, Zaenuddin, Nostalgia Di Jakarta, (Jakarta: CV Java Media Network, 2008).
J, Gerrit, Knaap, Shallow waters rising tide: Shipping and Trade in Java around
1775, ( Leiden: KITLV, 1996).
Kartodirjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; Dari
Emporium Sampai Imperium, seri terj., (Jakarta: Gramedia, 1988).
157
................................, Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992).
Kim, Khoo Kay, Negeri-negeri Melayu Pantai Barat 1850-1873; (Kuala
Lumpur, Kumpulan Kesan Perkembangan Dagang Terhadap Politik
Melayu, 1984).
Kutoyo, Sutrisno, dkk, Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung Ke Batavia,
(Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986)
Leirissa, R Z (ed), Sejarah Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996)
Lohanda, Mona, The Kapitan of Batavia 1837-1942, (Jakarta: Djambatan, 1996).
Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu Bagian I: Batas-
Batas Pembaratan, terj., (Jakarta: PT Gramedia Putaka Utama, 1996).
Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu Bagian II:
Jaringan Asia, terj., (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008).
Lubis, Nina H, Banten dalam Pergemulan sejarah: sultan, ulama, Jawara,
(Jakarta: LP3ES, 2003).
Maacintyre, Donald, Sea Pasifis: A History from the Sixteenth Century to the
Present Day, (London: Arthur Baker Limeted, 1972).
Marhijanto, Bambang, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Terbit
Terang, 2000).
158
Meilink-Roelofz, M. A. P, Asian Trade And Eroupean Influence: In The
Indonesian Archipolego Between 1500 and about 1630, (Universitiet van
Amsterdam s’-Gravenhade: Martinus Nijhoff, 1962 ).
Nasuhi, Hamid dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan
Disertasi, (Jakarta: CeQDA (Center for Quality Development and
Assurance ) Universitas Islam Negreri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
Pierre, Labrousse, dkk., Etudes Interdisiplineres sur le monde insulindien:
archipel 18, (Paris: Cedex, 1979) dalam artikel Leonard Blusse Chinese,
Trade To Batavia During The Days Of The VOC
Pradjoko, Didik, Pelayaran, Perdagangan dan Perebutan Kekuataan Politik dan
Ekonomi di Nusa Tenggara Timur: Sejarah Kawasan Laut Sawu Pada
Abad Ke XIII-XI, (Depok: Tesis- FIB UI Depok, 2009).
........................, Pokok-pokok Kajian Peradaban Masyarakat dan Sejarah
Kebudayaan Indonesia, (Depok: FIB UI Depok, 2009).
Pramono, Joko, Budaya Bahari, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005)
Raffles, Thomas Stamford, History of Java, (Yogyakarta: Narasi, 2008)
Rahardjo, Supratikno, dkk., Sunda Kelapa sebagai Bandar di Jalur Sutera,
(Jakarta: Depdikbud RI, 1996).
Raharjo, Supratikno, dkk., Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra: Kumpulan
Makalah Diskusi, (Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1998).
159
Rahardjo, Supraktikno dkk, Demak Sebagai Kota Bandar Dagang Di Jalur
Sutra ( Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998).
Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I : Tanah
di Bawah Angin, terj., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992).
........................, Dari Ekspansi Hingga Krisis, Jilid II: Jaringan Perdagangan
Global Asia Tenggara 1450-1680, terj., (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1998)
......................., Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, terj., (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2004)
Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern, terj., (Yogyakarta: Gajah Mada
Universitas Press, 1995).
..........................., Sejarah Modern Indonesia 1200-2004 M, terj., (Jakarta:
Serambi, 2005).
Shahab, Alwi, Islam Inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Jakarta:
Mizan, 1998)
Soedjatmoko (ed), An Introduction to Indonesia Historiografy, (New York:
Coenell University Press).
Sulistiyono, Singgih Tri, Konsep Batas Negara Di Nusantara Kajian Historis’’
(Yogyakarta; Hasil penelitian yang dibiayai oleh Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro, 2009).
160
............................, ‘’The Java Sea Network: Pattern in the development of
Integration Shipping and Trade in the Process of economic Integration in
Indonesia, 1870-2 1970s (Leiden: Disertasi-Leiden University, 2003).
Tjadrasasmita, Uka, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta, (Jakarta : Pemda
DKI, Dinas Museum Dan Pemugaran, April 2000)
..............................., Sejarah Jakarta Zaman Pra Sejarah Sampai Batavia
Tahun ± 1755, (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1977)
Tjadrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di
Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2000).
------------------------, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: PT Gramedia, 2009).
Valentijn, Franciscos Beschriving van Groot Djawa of the Java Major,
(Amsterdam: Johanes van Bram, Grard on der de linden, 1726).
Van Leur, J. C., Indonesian Trade and Society:Essay in Asian Social Economic
History, (Bandung: van Hoeve The Hague, 1995).
Vlekke, Bernard H. M, Nusantara: Sejarah Indonesia, terj., (Jakarta: PT
Gramedia, Terjemahan, 2008).
Weber, Max, The City, (New York: The Free Press, 1966).
Yatim, Badri, Peran Ulama Dalam masyarakat Betawi, (Jakarta: Yayasan
Festival Istiqlal, juni 1996)
D. Website
http:// sejarah. kompasiana.com /2010/11/14/ perkembangan-perkapalan -
di-nusantara / (Dikunjungi tanggal 14 Maret 2011).
161
Novita, Aryandini, Situs Pasar Ikan: Kawasan Niaga Terpadu Pada
Masa Kolonial http://Jakartalama.wordpress.com/2010/11/03/situs-pasar-ikan-
kawasan-niaga-terpadu-pada-masa-kolonial/dikunjungi pada tanggal 13 Juli
2011).
Batavia dalam jaringan perdagangan Asia Pada Abad 17 dan 18 dalam
http://kns-ix.geosejarah.org/wpcontent/uploads/2011/07/data/Bondan%20
Kanumoyoso, %20 M. Hum. pdf (dikunjungi tanggal 13 Juli 2011).
http://www.forumbudaya.org/index.php?option=com_content&task=view
&id=864&Itemid=34 (Dikunjungi tanggal 17 Maret 2011).
http://www.scribd.com/doc/13353992/Sejarah-VOC-di-Indonesia
(Dikunjungi tanggal 17 Maret 2011).
http://www.rinduallah.com/dakwah/sejarah, (Dikunjungi tanggal 17 Desember
2011).
II. Sumber Lisan
Wawancara Pribadi Mona Lohanda Selaku Sejarawan dari Arsip Nasional
Republik Indonesia, 9 Maret 2011.
Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, peneliti dosen Universitas
Indonesia, pada tanggal 24 Mei 2011 digedung Arsip Nasional Republik
Indonesia.
162
Wawancara Pribadi M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum
Bahari, pada tanggal 8-9 Juni 2011.
163
Lampiran 1:
Peta Perkembangan Agama Islam Abad VII-XVII.1
1 Mc. Suprapti, dkk., Peta Sejarah Indonesia, (Jakarta: Depdikbud Dirjend Kebudayaan
Djitaranitra PIDSN, 1991-1992), h. 268.
164
Lampiran 2:
Peta Pusat dan Jalur Pelayaran Abad XVI-XVII2
2 Mc. Suprapti, dkk., Peta Sejarah Indonesia, (Jakarta: Depdikbud Dirjend Kebudayaan
Djitaranitra PIDSN, 1991-1992), h. 267.
165
Lampiran 3:
Jan Pieterszoon Coen 1619.3
3 http://www.scribd.com/doc/13353992/Sejarah-VOC-di-Indonesia (Dikunjungi tanggal
14 Maret 2011)
166
Lampiran 4:
Lambang Kota Batavia.4
4 ‘’http://id.wikipedia.org/wiki/Batavia"(Dikunjungi tanggal 15 Maret 2011)
167
Lampiran 5:
Logo Batavia5
5http://www.belajarsejarah.com/?pilih=materinya&detail=materimu&id=12 (Dikunjungi
tanggal 14 Maret 2011)
168
Lampiran 6:
Out Jacatra.6
6 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
169
Lampiran 7:
Stasiun Beos pada Abad XVIII (atas),
Peta Rekonstruksi letaknya kota Jayakarta dan
kastael Belanda tahun 1619 menurut J.W.
Ijzerman.7
7 http://www.scribd.com/doc/13353992/Sejarah-VOC-di-Indonesia (Dikunjungi tanggal
14 Maret 2011)
170
Lampiran 8:
Sejarah Masa Keemasan Belanda.8
8 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
171
Lampiran 9:
Rempah-rempah.9
9 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
172
Lampiran 10:
Gudang perniagaan disisi Timur (Oostzijdsche Pakhuizen) atau disebut juga
Gudang Gandum (Graanpakhuizen).10
10 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
173
Lampiran 11:
Memperlihatkan Suasana Pelabuhan Batavia Abad XVII. 11
11 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
174
Lampiran 12:
Museum Bahari.12
12 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
175
Lampiran 13:
Menara SyahBandar dan Museum Bahari.13
13 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
176
Lampiran 14:
Armada dagang yang digunakan Belanda
Pada abad XVII-XVIII.14
14 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
177
Lampiran 15:
Museum Bahari.15
15 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
178
Lampiran 16:
Museum Bahari.16
16 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
179
Lampiran 17:
Penghubung pelabuhan jalur laut.17
17 Hasil foto pada tanggal 8-9 Juni 2011, merupakan hasil penelitian selama 2 hari di
Museum Bahari, dibantu oleh Bapak M. Isa Ansyari, SS. yang merupakan staff Museum Bahari.
180
Lampiran 18:
Foto dua bersaudara
Gubernur Cornelis de’ Houtman sebagai adik (Atas)
Foto Frederik sebagai kakak (Bawah).18
18
http://www.scribd.com/doc/13353992/Sejarah-VOC-di-Indonesia (Dikunjungi tanggal
14 Maret 2011)
181
182
183
Pada tanggal 10-13 November 1611, akhirnya tercapai juga perjanjian antara
Belanda yang diwakilkan oleh L’ Hermito dengan pangeran Jayakarta: isi perjajian
tersebut kemudian disahkan oleh pada era Gubernur Jenderal Pieter Both pada bulan
Januari 1612. Garis besar isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bahwa orang-orang Belanda yang datang ke negerinya ke Jaccatra akan diterima
baik oleh Pengeran Jayakarta dan mereka diperbolehkan berdagang di kota ini.
2. Di samping itu mereka diperbolehkan mendirikan sebuah loji untuk menyimpan
barang–barang dagangannya.
3. Untuk menggunakan tanah dan mendirikan loji itu VOC Belanda diwajibkan
membayar kepeda Pangeran Jayakarta sebesar 1.200 real.
4. Semua barang dagangan yang dibeli ke pihak Jaccarta baik cukainya harus
diberikan kepada pihak Pangeran Jayakarta dan pejabat-pejabat cukai tersebut.
Barang-barang dari Cina dan bahan makanan tidak dikenakan cukai.
5. Kedua belak pihak saling membantu, jika ada serangan dari musuh koloninya.
Tetapi jika Pangeran Jayakarta mulai mengadakan perang terhadap pihak lain
maka orang-orang Belanda tidak berkewajiban untuk membantunya.
6. Orang-orang Portugis dan Spanyol tidak diizinkan untuk masuk dan berdagang di
kota Jaccarta.
7. Orang-orang Belanda diperbolehkan mengambil kayu-kayu dari pulau-pulau
untuk membuat kapal.
8. Orang-orang yang melarikan diri dari satu pihak ke pihak lain akan dikembalikan
oleh kedua belah pihak.
184
9. Pangeran Jaccarta berjanji akan campur tangan dalam masalah pengajuan hutang-
hutang dan tidak setidak-tidaknya akan memberitahukan kepada Syahbandar.
10. Pangeran Jaccarta dan orang-orang Belanda kedua belah pihaknya akan
menghukum orang-orangnya masing-masing jika berbuat salah.1
1
Menurut Nia seorang pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia, yang telah membantu
menerjemahkan di gedung Arsip. Lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur
Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering)/HR 3597, 1612, hal. 59 dan 60
185
186
187
188
189
190
191
top related