case rsko revisi akhir (1)
Post on 16-Feb-2016
241 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS PSIKIATRIK
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Usia : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Non-religion
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Kampus, Ujung Aspal
II. RIWAYAT PSIKIATRIK
Autoanamnesis (dilakukan pada tanggal 15 September 2014)
Pasien mempunyai riwayat penggunaan putaw (heroin), ganja, rokok,
alkohol, kokain, dan sabu-sabu, dan benzodiazepin. Dari semua zat-zat psikoaktif
yang pasien konsumsi, pasien paling sering dan suka menggunakan putau (heroin).
Pasien menyukai putaw karena putaw bersifat downer yang membuat pasien merasa
lebih tenang dan melupakan masalah-masalahnya, namun pasien masih dapat
mengontrol gerakan tubuhnya saat mengkonsumsi putau.
Pasien mulai menggunakan zat-zat psikoaktif sejak tahun 1997, dimulai
dengan pemakaian putaw untuk mengurangi sakit kepala/migrain pasien dan hal ini
disarankan oleh teman pasien. Pasien mengalami sakit kepala karena pasien sering
mengalami kelelahan akibat kuliah pagi dan harus bekerja ketika malam hari. Pasien
pernah bekerja sebagai pramugari dan karyawan di salah satu stasiun radio swasta
lokal. Setelah mengkonsumsi putaw untuk pertama kali, pasien mengalami mual dan
muntah sehingga pasien menghentikan pemakaiannya. Namun, setahun kemudian,
pasien kembali menggunakan putaw (tahun 1998) karena sakit kepala masih sering
dialami dan adanya dorongan dari pikiran pasien untuk menggunakan kembali. Pada
penggunaan kali ini, pasien diajari oleh teman pasien untuk menggunakannya dengan
dosis kecil, sedikit demi sedikit, sehingga efek mual lebih berkurang dibandingkan
dengan penggunaan pertama. Sejak saat itu, pasien merasa nyaman dan terus
menggunakan putaw dengan cara dibakar dan kemudian dihirup. Frekuensi 1
pemakaian putaw semakin meningkat, dimulai dengan pemakaian 2 minggu sekali,
menjadi 1 minggu sekali, dan pada akhirnya setiap hari. Biasanya pasien membeli
putau dengan dosis kecil (10 mg) seharga Rp. 20.000,00 dan semakin meningkat
dosisnya setelah dikonsumsi berulang. Dosisi terbesar yang pernah ia gunakan adalah
1000 mg seharga kurang lebih Rp. 1.200.000,00. Namun, tidak setiap hari pasien
dapat mengkonsumsi dengan dosis besar karena harus menyesuaikan diri dengan
keadaan ekonominya yang pasang surut. Selain dengan cara dibakar dan dihirup,
pasien juga pernah menggunakan putaw dengan cara disuntik, karena menurut pasien
cara ini lebih menghemat penggunaan. Pasien pernah menggunakan jarum suntik
bekas sebanyak 4 kali yang didapatkan dari temannya. Menurut pasien, karena
penggunaan jarum suntik bekas tersebut pasien menjadi tertular HIV.
Ketika ia mengkonsumsi putaw, ia akan mengalami rasa “fly” selama
beberapa jam. Ia merasakan waktu berjalan lebih lambat dan dapat menundanya
untuk menyelesai masalah-masalah. Menurutnya, putaw juga dapat berefek sebagai
stimulan pada dirinya, ia menjadi lebih rajin bekerja saat menggunakan putaw.
Namun, ketika sedang mengkonsumsi putaw saat sakaw, efek kerja putaw
berlangsung lebih cepat, yaitu sekitar 2 jam dan pasien akan kembali menjadi normal
setelah itu. Kira-kira 1 jam setelah kembali menjadi normal, pasien dapat kembali ke
keadaan sakaw.
Pasien mengaku ketika pasien menggunakan putaw dengan dosis lebih
rendah daripada biasanya atau ketika tidak menggunakan putaw, pasien merasakan
sakaw dengan gejala seperti mual, muntah, sakit kepala, sakit seluruh badan, panas
dingin, tulang belulang terasa ngilu, mencret dan tidak bisa melakukan pekerjaan
apapun. Rasa sakaw tersebut membuat pasien harus mencari lebih banyak uang untuk
dapat membeli putau dan mengatasi rasa sakawnya. Pasien mulai menjual seluruh
barang miliknya, dan barang milik keluarganya hingga mencuri tabung gas untuk
mendapatkan uang. Akibat dari penggunaan tersebut, kuliah pasien menjadi tidak
selesai dan pasien keluar dari pekerjaannya. Pasien mangatakan bahwa meskipun ia
sampai mencuri untuk mendapatkan uang, namun ia tidak pernah sampai menjual
diri. Pada tahun 2009 pasien sempt mencoba-coba menggunakan sabu-sabu, yang
digunakan secara oral, namun pasien tidak ingat berapa banyak yang ia pakai oleh
karena ia hanya mencobanya satu kali dan kemudian pasien tidak
2
menggunakakannya lagi karena merasa cocok dengan efek yang ditimbulkan obat
tersebut.
Pasien menikah pertama kali pada tahun 2002 dengan pria warga negara
asing. Pasien juga menuturkan, bahwa suami pasien tidak menggunakan zat-zat
psikoaktif dan tidak terdiagnosis HIV (+). Kemudian pada tahun 2003, pasien hamil
dan melahirkan anak pertama, dan saat itu pasien terdiagnosis HIV (+). Selama masa
kehamilan, pasien mengaku tidak menggunakan zat-zat psikoaktif. Setelah
melahirkan yang dilakukan secara caesar, pasien kemudian mendapatkan terapi ARV
(anti retro viral) bernama Efavirenz sampai saat ini. Pasien mengatakan bahwa
keinginan untuk menggunakan putaw menjadi besar sekali setelah melahirkan karena
sakit yang dirasakan setelah melahirkan. 3 bulan setelah melahirkan, pasien
menjalani rehabilitasi selama kurang lebih 6 bulan di Yakita. Setelah menjalani
rehabilitasi, pasien tinggal di rumah selama 2 bulan dan kembali menggunakan
putaw karena rehabilitasi selama 6 bulan dirasa tidak cukup oleh pasien untuk
menahan dorongan mengkonsumsi putaw. Pada akhirnya, pasien kembali menjalani
rehabilitasi di Wisma Adiksi Cinere selama kurang lebih 9 bulan. Pasien keluar dari
rehabilitasi karena ia ingin ke luar negeri.
Pada tahun 2005, pasien sempat terlibat dengan masalah hukum karena
tertangkap oleh polisi saat sedang membeli putaw di daerah Tambak bersama teman
rehabilitasinya. Salah seorang teman rehabilitasi pasien merupakan incaran polisi dan
pada akhirnya pasien tertangkap bersama teman-temannya oleh polisi. Pasien
mendapatkan vonis penjara selama 6 bulan tetapi hanya mendekam di sana selama 4
bulan karena adanya uang jaminan dari ibu pasien. Sebulan sebelum pasien keluar
dari penjara dan pasien menerima surat cerai dari suaminya. Kemudian pasien
bercerai dengan suaminya dan hak asuh anak jatuh ke tangan pasien.
Pada tahun 2007, pasien memulai pengobatan terapi subtitusi dengan
metadon. Pasien mulai mengkonsumsi metadon secara oral dengan dosis awal 25 mg
dan terus meningkat hingga saat ini dan mencapai dosis 145 mg. Pasien mengatakan
bahwa pemakaian metadon secara oral mempunyai durasi kerja sekitar 24-36 jam.
Namun karena pasien juga mengkonsumsi Efavirenz, maka durasi kerja metadon
menjadi lebih singkat sekitar 24 jam. Pasien mengatakan bahwa metadon mempunyai
efek yang sama seperti putaw, yaitu membuat pasien mengantuk dan kadang berefek
seperti stimulan. Hingga saat ini, pasien mengkonsumsi metadon 1 kali sehari setiap
3
hari. Pasien mengatakan bahwa ia mengalami ketergantungan sehingga ia tidak dapat
melaksanakan perjalanan ke luar negeri karena harus terus mengkonsumsi metadon
setiap hari. Pasien belum berencana untuk berhenti dari terapi methadon karena tidak
didukung oleh suami.
Pada tahun 2008, pasien pernah memakai putau hingga overdosis dan
mengalami mononeuropathy yang membuat pasien di rawat inap di RSKO selama 1
minggu. Pasien menuturkan, saat itu dosis putau yang ia gunakan sebanyak 1 gam.
Pasien sempat berjalan pincang selama 3 bulan akibat overdosis tersebut. Selain itu,
pasien juga pernah overdosis obat Clozaril sekitar tahun 2000, dan mengalami koma
selama 3 hari.
Pada tahun 2007-2008, pasien mengatakan bahwa ia pernah mengkonsumsi
alkohol bersamaan dengan konsumsi metadon. Pasien mengatakan hanya pernah
mengkonsumsinya satu kali dan merasa tidak cocok menggunakan zat tersebut.
Pasien tidak suka mengkonsumsi alkohol karena mempunyai sakit maag yang
bertambah parah ketika mengkonsumsi alkohol.
Pasien menikah untuk kedua kalinya pada tahun 2009. Suami pasien yang
kedua mempunyai riwayat penggunaan zat-zat psikoaktif dan terdiagnosis HIV (+).
Suami pasien sebelumnya telah menjalani rehabilitasi dan sejak saat itu tidak pernah
menggunakan zat-zat psikoaktif apapun. Sejak tahun 2009, pasien mulai merokok
dengan jumlah rokok 5 batang/ hari. Hal ini dilakukan pasien untuk mengurangi efek
samping dari methadon. Ide bunuh diri dan penyakit gangguan jiwa seperti depresi,
cemas, skizofrenia disangkal oleh pasien.
Sejak tahun 2012 pasien berhenti sama sekali tidak menggunakan putau
hingga sekarang. Pada tahun yang sama, pasien sempat mencoba menggunakan
ganja, namun hal ini hanya dilakukan sekali dan pasien tidak melanjutkan
penggunaannya karena merasa tidak cocok dengan efek yang ditimbulkan.
Riwayat Pemakaian Zat-zat Psikoaktif
No Jenis Zat Putaw Sabu Alkohol Rokok Ganja
1. Sejak tahun 1997 -
2012
1999 2000 2009-
sekarang
2012
2. Cara
penggunaan
Inhalasi,
injeksi
Oral Oral Merokok Merokok
4
3. Frekuensi
pemakaian
dan kuantitas
Setiap
hari,
paling
banyak
1gram
1x 1 - 2
botol/
minggu
5 batang/
hari
1 linting
4. Pemakaian 1
thn terakhir
Tidak Tidak Tidak Ya Tidak
5. Pemakaian 1
bln terakhir
Tidak Tidak Tidak Ya Tidak
6. Pemakaian
yang terakhir
kali
Tidak Tidak Tidak Masih Tidak
7. Alasan
pemakaian
pertama kali
Coba-
coba,
untuk
menghilan
gkan
pusing
Coba-
coba
Coba-coba Coba-coba Coba-coba
8. Alasan biasa
memakai
Ketagihan - - Ketagihan -
9. Alasan tidak
menggunaka
n lagi
Keinginan
diri
sendiri.
Tidak
tersedia
Keingina
n diri
sendiri.
Mempuny
ai sakit
maag yang
bertambah
parah
dengan
konsumsi
alkohol
- Keinginan
diri
sendiri.
Riwayat Kehidupan Seksual
5
Pasien pernah menikah sebanyak 2 kali dan hanya berhubungan seksual dengan suaminya
saat itu. Suami pasien selalu menggunakan kondom ketika berhubungan seksual sejak
pasien terdiagnosis HIV (+) pada tahun 2003.
Riwayat Penyakit
Riwayat HIV (+) sejak tahun 2003.
Riwayat Menggunakan Jarum Suntik
Riwayat menggunakan jarum suntik (+). Pasien pernah menggunakan jarum suntik untuk
mengkonsumsi heroin sebanyak 4 kali dengan menggunakan jarum bekas yang diperoleh
dari temannya.
Riwayat Berhubungan dengan Hukum
Pasien pernah tertangkap oleh polisi pada tahun 2005 sebanyak 1 kali. Pasien mendapatkan
vonis penjara selama 6 bulan, namun pasien hanya menjalaninya sebanyak 4 bulan karena
uang jaminan dari pihak keluarga, dalam hal ini ibu pasien. Pasien tertangkap polisi ketika
pasien ingin membeli heroin di Tambak bersama teman rehabilitasinya, namun karena
salah satu temannya yang selama ini telah menjadi incaran polisi, pasien pun ikut
tertangkap.
Stressor Psikososial
Masalah dengan:
Orang tua : tidak ada
Anak : tidak ada
Anggota keluarga lain : tidak ada
Teman : tidak ada
Pekerjaan : Pasien merasa kelelahan karena harus kuliah pada saat pagi dan
bekerja pada malam harinya. Sehingga, pasien sering mengalami
sakit kepala. Pasien mendapatkan rekomendasi dari seorang
temannya untuk mengkonsumsi heroin agar sakit kepalanya hilang.
Keuangan : tidak ada
Riwayat Gangguan Psikiatrik
6
Skizofrenia - Manik -
Depresi - Halusinasi -
Anxietas - ADHD -
PTSD - Fobia -
Riwayat Penyakit yang Berhubungan dengan Penggunaan Zat Psikoaktif
Aborsi - Hepatitis B - Perdarahan Otak -
Abses - Hepatitis C - Pneumonia -
Bronkhitis - HIV/AIDS + Sarkoma -
Cedera Kepala - Impotensi - Steven Johnson Syndr -
Endokarditis - Kanker Hati - Sepsis -
Fraktur - Kanker Paru - Sifilis -
Gangguan Menstruasi - Kencing Nanah - Sirosis Hepatis -
Gastritis - Luka Tusuk - Stroke -
Gegar Otak - Muntah Darah - TBC Paru -
III. KEADAAN FISIK (15 September 2014)
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Laju nadi : 80x/menit
Laju nafas : 22x/menit
Suhu : 36.6 oC
Kepala dan wajah: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor diameter
3mm/3mm, reflex cahaya +/+
Sistem Respiratorius :
Inspeksi : bentuk dada normal, simetris kanan = kiri, retraksi subkostal -
Palpasi : fremitus taktil normal, kanan = kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : bunyi napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Sistem Kardiovaskular :
7
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
batas kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
Auskultasi: bunyi jantung reguler, murmur (-), gallop (-)
Sistem Gastrointestinal :
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, Nyeri tekan -, Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen
Auskultasi : Bising usus +
IV. HASIL PEMERIKSAAN PSIKIATRI
Penampilan : Pasien wanita usia 36 tahun, berpenampilan sesuai dengan usia.
Pasien memakai kaus dan jeans, cara berpakaian pasien rapi. Rambut dan kuku
terawat. Pasien mempunyai tato pada lengan kanan atas dan lengan kiri atas.
Perilaku & aktivitas psikomotor : Baik
Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
Pembicaraan : Spontan, Tidak ada gangguan berbahasa
Mood : Euthym
Afek : Sesuai dan luas
Keserasian : Serasi & perasaan pasien dapat dirasakan
Gangguan persepsi : halusinasi (-), ilusi (-)
Arus pikiran : Produktivitas cukup, kontinuitas tidak terganggu
Isi pikiran : Preokupasi pikiran (-), waham (-), usaha bunuh diri (-)
Orientasi
• waktu : Baik
• tempat : Baik
• orang : Baik
• situasi : Baik
Daya ingat
• Recent memory : Baik
• Immediate memory : Baik
8
• Remote memory : Baik
Konsentrasi, perhatian : Baik
Pikiran abstrak : Baik
Pengendalian impuls : Baik
Insight : Derajat VI
Judgement : Baik
Taraf dapat dipercaya : Dapat dipercaya
V. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak dilakukan
VI. HASIL PEMERIKSAAN RADIO-DIAGNOSTIK
Tidak dilakukan
VII. HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS
Afek : Luas dan sesuai
Persepsi : Tidak terganggu
Isi Pikir : Koheren
VIII. HASIL EVALUASI SOSIAL
Tidak dilakukan.
IX. RIWAYAT PERAWATAN/PENGOBATAN/REHABILITASI SEBELUMNYA
• Pernah menjalani detoksifikasi : +
• Pernah menjalani rawat jalan : +
• Pernah menjalani rawat inap : +
• Pernah menjalani detoksifikasi cepat : -
• Pernah menjalani rehabilitasi : +
• Pernah menjalani program rumatan : +
X. RESUME
9
Dari anamnesis didapatkan data wanita usia 36 tahun dengan riwayat penggunaan zat
psikoaktif sebagai berikut:
Putau : 1997 – 2012
Sabu : 1999
Alkohol : 2007
Rokok : 2009 – 2014
Ganja : 2012
Efek :
Positif : tidak mudah lelah, santai, relax
Negatif : mudah marah, mata merah, gelisah
Usaha mengatasi ketergantungan :
MPE (program rehabilitasi)
Riwayat penyakit
Riwayat keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan (-)
Riwayat keluarga yang menggunakan zat terlarang (+)
XI. DIAGNOSIS
Axis I : F 11.22. Sindrom Ketergantungan Akibat Penggunaan Opioida kini dalam
pengawasan klinis dan terapi pemeliharaan atau dengan pengobatan zat
pengganti (ketergantungan terkendali)
Axis II : Z 03.2 Tidak ada diagnosis
Axis III : B20.0 HIV
Axis IV : Tidak ada
Axis V : GAF 71-80 gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam
fungsi, secara umum masih baik.
XII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
XIII. PENATALAKSANAAN
10
Terapi rumatan metadon 145 mg/hari
Terapi ARV
XIV. SARAN PEMERIKSAAN
Tidak ada
11
DASAR TEORI
1. HEROIN
1.1 DEFINISI
Heroin (INN: diaceythil =morphine, BAN: diamorphine) adalah semi
sintetik opioid yang disintesa dari morfin yang merupakan derivate dari opium. Pada
kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari
pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan kodein
yang merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif. Heroin merupakan 3,6-
diasetilester dari morfin. Nama lain dari heroin adalah smack, junk, china ehirte,
chiva, black tar, speed balling, brown, dog, negra, dope, nod, white hores, stuff.
1.2 PENGGOLONGAN
Menurut UU RI nomor 35/2009 tentang Narkotika pasal 1 ayat (1),
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilang rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagai
mana terlampir dalam undang-undang ini.
Berdasarkan UU RI nomor 35/2009 tentang narkotika pasal 6 ayat(1),
penggolongan narkotika terdiri dari tiga golongan yaitu:
1. Narkotika golongan I
2. Narkotika golongan II
3. Narkotika golongan III
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah narkotika golongan I yaitu
opiate: morfin, heroin (putaw), petidin, candu, dll. Opioid dibagi menjadi tiga
golongan besar:
1. Opiodi alamiah (opiate): morfin, opium, kodein
2. Opioida semis intetik: heroin/putaw, hidromorfin
3. Opioida sintetik: meperidin, propoksipen, metadon
1.3 JALUR METABOLISME
1.3.1 Farmakokinetik12
Absorbsi
Heroin diabsorbsi dengan baik di subkutaneus, intramuskular, dan
permukaan mukosa hidung/mulut.
Distribusi
Heroin dengan cepat masuk ke dalam darah, dan menuju ke dalam
jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru paru, hepar, ginjal dan limpa,
sedangkan di dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di
dalam otak relatif rendah dibandingkan dengan organ lainnya akibat sawar
darah otak. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah cepat
dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid lainnya.
Metabolisme
Heroin di dalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi
monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin. Kemudian mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik menjadi morfin-6-glukorinid yang
berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morifn sendiri. Akumulasi obat
terjadi pada pasien gagal ginjal.
Ekskresi
Heroin atau morfin terutama diekskresi melalui urin (ginjal). 90%
diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun dapat ditemukan dalam urin
48 jam.
1.3.2. Farmakodinamik
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan
reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medulla spinalis, sehingga
mempegaruhi transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor
spesifik yaitu: reseptur mu, delta, kappa. Di dalam otak terjadi 3 jenis
endogenous peptide yang aktivitasnya seperti opiate, yaitu enkefalin yang
berikatan dengan reseptor delta, beta endorphin dengan reseptor mu dan
dynorpin dengan reseptor kappa. Reseptor mu merupakan reseptor untuk
morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan protein g dan
berpasangan dengan adenyl siklase menyebabkan penurunan formasi siklik
AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmiiter terhambat.
1.4 KARAKTERISTIK
13
Heroin merupakan narkoba yang sangat sering menimbulkan efek
ketergantungan. Heroin ini bentuknya berupa serbuk putih dengan pahit. Dalam
pasaran banyak beredar warnanya putih, coklat, dadu. PEnggunaanya dengan
injeksi ataupun hidup ataupun peroral. Heroin 2 kali lebih kuat daripada morfin.
Jenis heroin yang sering diperdagangkan:
1. Bubuk putih
Diperjualbelikan dalam kantung-kantung yang telah dikemas secara
khusus dengan ukuran 3 x 1.5 cm berisi 100 mg bubuk dengan kadar
heroin berkisar antara 1 – 10 %.
Pada saat ini kadar heroin dalam bubk cenderung meningkat, rata-rata
berkisar 35%
Biasanya bubuk tersebut dicampur dengan gula, susu bubuk, kanji.
Banyak diperjual belikan di daerah Asia.
2. Bubuk coklat
Bentuk, kemasan dan kadar heroin mirip dengan bubk putih hanya
warnanya yang coklat.
Banyak didapatkan di daerah meksiko
3. Black Tar
Banyak diperjualbelikan USA
Warna hitam disebabkan oleh metode processing
Bentuknya kecil-kecil seperti kacang dan lengket
Kadar heroin didalamnya berkisar 20 – 80%
Pemakaian biasanya dilakukan dengan sedikit air dan dihangatkan diatas
api. Setelah dilarutkan dapat dimasukkan didalam alat suntik.
1.5. CARA PEMAKAIAN
a. Injeksi
Injeksi secara intravena, subkutan atau intramuscular. Injeksi lebih praktis
dan efisien untuk heroin kadar rendah. Injeksi secara intravena dapat
menimbulkan efek euforia dalam 7- 8 detik. Injeksi intramuscular efeknya lebih
lambat yaitu 5 – 8 menit. Ketika akan menyuntikkan heroin ke dalam tubuh,
pertama-tama heroin dilarutkan didalam air lalu dipanaskan, cara ini dilakukan
14
untuk menghasilkan larutan liquid. Pengguna bisa menginjeksikan larutan tadi
kedalam tubuhnya.
Kerugian injeksi:
Dapat menyebabkan septikemi dan infeksi lain
Dapat menyebabkan hepatitis atau HIV
Injeksi berulang dapat merusak vena, menyebabkan thrombosis dan abses
b. Dihirup
Bubuk heroin ditaruh di dalam alumunium foil dan dipanaskan diatas api,
kemudian asapnya dihirup melaui hidung. Heroin terabsorbsi melalui membran
mukosa hidung. Efek puncak dengan penggunaan secara dihirup atau dihisap
biasanya dirasakn dalam 10 – 15 menit.
c. Dihisap melalui pipa atau sebagai lintingan rokok
Penggunaan heroin dalam kadar tinggi biasanya dengan cara dihirup atau
dihisap. Penggunaan heroin secara dihisap/dihirup saat ini meningkat untuk
menghindarkan efek yang terjadi akibat penyuntikkan. Penggunaan secara dihisap
lebih aman dibandingkan dihirup, oleh karena masuk ke dalam tubuh secara
bertahap sehingga lebih mudah dikontrol.
1.6 EFEK
Sistem saraf pusat
1. Analgesia
Efek analgetik terdiri atas 3 faktor:
a. Meningkatkan ambang rangsang nyeri.
b. Mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa heroin dapat mengubah reaksi yang
timbul menyertai rasa nyeri pada waktu penderita merasakan rasa nyeri.
Setelah pemberian obat penderita masih tetap merasakan (menyadari)
adanya nyeri, tetapi reaksi khawatir takut tidak lagi timbul. Efek obat ini
relatif lebih besar mempengaruhi komponen efektif (emosional)
dibandingkan sensorik.
c. Memudahkan timbulnya tidur.
2. Euforia
Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan menimbulkan
perasaan euforia dimana penderita akan mengalami perasaan nyaman terbebas
15
dari rasa cemas. Sebaliknya pada dosis yang sama besar bila diberikan kepada
orang normal yang tidak mengalami nyeri, sering menimbulkan disforia berupa
perasaan kuatir disertai mual, muntah, apati, aktivitas fisik berkurang dan
ekstrimitas terasa berat.
3. Sedasi
Pemberian heroin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi. Kombinasi
morfin dengan obat yang berefek depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan
menyebabkan tidur yang sangat dalam.
4. Pernapasan
Pemberian heroin dapat menimbulkan depresi pernapasan, yang disebabkan oleh
inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernapasan
biasanya terjadi dalam 7 menit setelah ijeksi intravena atau 30 menit setelah
injeksi subkutan atau intramuskular. Pernapasan kembali ke normal dalam 2-3
jam.
5. Pupil
Pemberian heroin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi
akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N. III.
6. Mual dan muntah
Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone di
batang otak.
Sistem Saraf Perifer
a) Saluran cerna
Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas lambung
berkurang, tetapi tonus bagian antrum meninggi. Pada usus besar akan
mengurangi gerakan peristaltik, sehingga dapat menimbulkan konstipasi.
b) Sistem kardiovaskular
Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi
maupun irama jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder
terhadap berkurangnya aktivitas badan dan keadaan tidur, Hipotensi disebabkan
dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme
stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin.
c) Kulit
16
Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah
dan terasa panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat, kemungkinan
disebabkan oleh bertambahnya peredaran darah di kulit akibat efek sentral dan
pelepasan histamin.
d) Traktus urinarius
Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sfingter meningkat,
sehingga dapat menimbulkan retensi urine.
Menurut national Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek segera
(short term) dan efek jangka panjang (long term).
Tabel 2.2 Efek jangka pendek dan jangka panjang dari heroin
Short term Long term
Gelisah
Depresi pernapasan
Fungsi mental berkabut
Mual dan muntah
Menekan nyeri
Abortus spontan
Adiksi
HIV, hepatitis
Kolaps vena
Infeksi bakteri
Penyakit paru (pneumonia, TBC)
Infeksi jantung dan katupnya
1.7 Manifestasi Klinis
Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang
selalu berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara
tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi apabila
si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk
detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu melewati masa sakaw tanpa
obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw yaitu mata dan
hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit
perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang ketagihan
adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar, gemetar dan
muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu makan, kekurangan
cairan tubuh.
17
Intoksikasi Akut (Over Dosis)
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu
narkotik. Gejala over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat.
Gejala intoksikasi akut (overdosis):
Kesadaran menurun, sopor - koma
Depresi pernapasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan
pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes
Pupil kecil (pin point pupil), simetris dan reaktif
Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata
Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila
pernapasan memburuk dan terjadi syok
Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin
Bradikardi
Edema paru
Kejang
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernapasan. Angka kematian
meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan yang
menimbulkan reaksi silang seperti alkohol dan tranquilizer.
Intoksikasi Kronis
Adiksi heroin menunjukkan berbagai segi:
1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita
ketagihan akan obat tersebut.
2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena
faal dan biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut
3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat
efek yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan
opioid, tetapi manifes setelah 2-3 minggu penggunaan opioid dosis terapi.
Toleransi akan terjadi lebih cepat bila diberikan dalam dosis tinggi dan interval
pemberian yang singkat. Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang
penting, dimana bila penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan toleran
terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin dan sebagainya.
Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat
18
Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler
yang menyebabkan perubahan aktivitas enzim, pelepasan biogenik amin tertentu
atau beberapa respon immun. Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung jawab
dalam menimbulkan gejala withdrawal. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor
opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor opioid
danalpha-adrenergic memberikan respon yang sama pada intraseluler. Stimulasi
reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas adenilsiklase pada
siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi
fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari adeniliklase walaupun
berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiat ini dighentikan dengan mendadak atau
diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan
efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan berhubungan dengan gejala
pasien berupa gejala hiperaktivitas.
Gejala Putus Obat
6 – 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah
12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia
24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya
kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan
tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan darah
dan denyut jantung, gerakan involunter dari lengan dan tungkai, dehidrasi dan
gangguan elektrolit
Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsur-
angsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat.
Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan.
1.8 KRITERIA DIAGNOSTIK
Sindrom ketergantungan jika terdapat 3 atau lebih gejala di bawah ini yang
terjadi bersamaan minimal 1 bulan lamanya atau bila kurang dari 1 bulan harus
terjadi berulang-ulang secara bersamaan dalam kurun waktu 12 bulan.
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi)
untuk menggunakan zat
19
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat sejak awal,
usaha penghentian atau pada tingkat sedang menggunakannya
3. Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat
atau pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas. atau
menggunakan zat psikoaktif yang sama dengan maksud menghindarkan atau
menghilangkan gejala putus zat.
4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang
diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh
dengan dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu
dengan ketergantungan alkohol danopiat yang secara rutin setiap hari
menggunakan zat tersebutsecukupnya untuk mengendalikan keinginannya)
5. Secara progresif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan zat psikoaktif yang lain, meningkatkan jumlah waktu yang
diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau pulih dari
akibatnya
6. Terus menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang
merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol
berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau
hendaya fungsi kognitif akibat menggunakan zat, upaya perlu diadakan untuk
memastikan bahwa pengguna zat bersungguh
sungguh atau diharapkan untuk menyadari akan hakikat dan besarnya bahaya.
1.9 TATALAKSANA
Tatalaksana ketergantungan opioida
1. Terapi detoksifikasi adiksi opioid
Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi
opioid. Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering
terjadi. Kendala lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi
detoksifikasi, dan bila menggunakan opioid antagonis maka harus
menunggu gejala abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang
dianjurkan untuk terapi detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg 20
perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai ditappering off dalam 1-3
minggu.
Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu)
dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan
metadone.
Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang
mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk
segera masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi
antara lain klinidin naltrexon.
2. Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid
Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar etrapi
rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan LAAM
hanya 3 kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada terapi
rumatan sangat membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi
maintenance, dosis metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100 mg/hari).
Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-
lahan.
Buprenorphine dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan dosis
antara 2 mg-20 mg/hari.
Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai motivasi tinggi
untuk berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral untuk 2
– 3 kali seminggu.
21
top related