editan bab i - v
Post on 26-Dec-2015
25 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian ibu dan perinatal merupakan tolak ukur kemampuan
pelayanan kesehatan suatu negara. Kematian saat melahirkan biasanya
menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak
produktivitasnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih
dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil atau bersalin
(Saefuddin, 2002).
Menurut WHO 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus.
Komplikasi abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat menyebabkan
kematian. Itulah sebabnya rnengapa kematian ibu yang disebabkan
abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan
sebagai perdarahan atau sepsis (Azhari, 2002).
Tidak ada data yang pasti tentang berapa besarnya dampak abortus
terhadap kesehatan ibu. WHO memperkirakan di seluruh dunia setiap
tahun dilakukan 20 juta unsafe abortion, 70.000 wanita meninggal akibat
unsafe abortion, dan 1 diantara 8 kematian ibu disebabkan unsafè
abortion (Azhari, 2002).
Menurut WHO persentase terjadinya abortus cukup tinggi. Sekitar
15-40% angka kejadian diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif
1
2
hamil, dan 60-75% angka abortus terjadis ebelum usia kehamilan
mencapai 12 minggu (Lestariningsih, 2008).
Menurut WHO tahun 2007 Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2007
sebesar 248/100.000 KH. Jika dibandingkan dengan AKI tahun 2002
sebesar 307/100.000 KH, AKI tersebut sudah jauh menurun, namun
masih jauh dari target MDGs 2015 yaitu 102/100.000 KH. Data Suvey
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan
Angka Kematian Balita sebesar 44/1000, Angka Kematian Bayi 34/1000,
dan Angka Kematian Neonatal 19/1000. Data terakhir pada 2007
menunjukkan AKI sebesar 228/100.000 kelahiran hidup, masih jauh dari
target MDGs sebesar 102/100.000 kelahiran hidup.
Menurut WHO tahun 2008 bahwa penyebab kematian ibu adalah
karena 4T, yaitu terlalu muda punya anak, yaitu umur kurang dari 20
tahun, terlalu banyak melahirkan yatu lebih dari 3 anak, terlalu rapat jarak
melahirkan yaitu kurang dari 2 tahun, terlalu tua punya anak yaitu lebih
dari 35 tahun.
Pada umumnya di usia yang lebih dari 35 tahun sangat besar
kemungkinan untuk mengalami abortus dimana di usia ini rahim dan
fungsi kesehatan ibu sudah semakin menurun, sehingga tidak mampu
untuk memproduksi dan rentan terhadap abortus. Demikian juga paritas
merupakan salah satu faktor karena umumnya abortus terjadi pada
wanita yang Grandipara ( Muhammad, 2009).
3
Menurut BKKBN (2008) Angka Kematian Ibu di propinsi banten
mencapai 256 per 100.000 KH. Angka Kematian Bayi mencapai 34 per
1000 KH. Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Banten tahun 2010
mencapai 22,8 dari 1.000 kelahiran hidup, demikian juga Angka Kematian
Ibu (AKI) tahun 2010 mencapai 187,3 per 100.000 KH.
Angka kematian ibu, di kabupaten lebak dari bulan Januari-
Desember 2010 mencapai 24 orang ibu meninggal ( Dinkes Kabupaten
Lebak, 2010 ).
Dari hasil rekapitulasi laporan Audit Maternal Perinatal ( AMP )
kesehatan ibu di kabupaten Lebak dari bulan Januari sampai Desember
tahun 2009 terdapat 654 orang yang mengalami abortus. Dan dari
rekapitulasi laporan Audit Maternal Perinatal ( AMP ) kesehatan ibu di
kabupaten Lebak dari Januari sampai Mei 2010 terdapat 409 orang yang
mengalami abortus ( Dinkes Kabupaten Lebak, 2010 ).
Perdarahan selama kehamilan dianggap sebagai suatu keadaan
akut yang dapat membahayakan ibu dan anak sehingga menimbulkan
kematian. Wanita hamil yang mengalami perdarahan pada umur
kehamilan < 20 minggu biasanya berakhir dengan abortus yaitu keluarnya
hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan dengan berat
janin < 500 gram. Sampai saat ini kejadian abortus masih dianggap
sebagai masalah kesehatan yang sangat serius dalam masyarakat
terutama abortus inkomplit yang termasuk penyebab langsung kematian
4
ibu yang apabila tidak mendapat penanganan segera dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ( Susi, 2008).
Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 15
Februari 2012 dengan data yang diperoleh dari Buku Register Ruang
Bersalin RSUD dr. Adjidarmo pada bulan Januari sampai Desember 2011
terdapat 304 kasus yang mengalami Abortus.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “ Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kejadian
Abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun
2011 “ .
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu adakah hubungan
karakteristik ibu dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr.
Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik ( umur, paritas, pendidikan
dan pekerjaa ) ibu dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr.
Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.
5
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian abortus di Ruang
Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi karakteristik ibu ( umur, paritas,
pendidikan dan pekerjaan ).
3. Untuk mengetahui hubungan umur ibu dengan kejadian Abortus di
Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.
4. Untuk mengetahui hubungan paritas ibu dengan kejadian Abortus di
Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.
5. Untuk mengetahui hubungan pendidikan ibu dengan kejadian Abortus
di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.
6. Untuk mengetahui hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian Abortus di
Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.
1.4 Ruang Lingkup
Ruang Lingkup dalam penelitian ini adalah di bidang kebidanan
khususnya tentangan kebidanan patologis yaitu ibu hamil yang mengalami
abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun
2011.
6
1.5Manfaat penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Dapat mengetahui dan mengerti serta menambah pengalaman
peneliti sebagai pengalaman yang berharga. Serta menambah
wawasan dan pengetahuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang
didapat selama perkuliahan, terutama tentang kejadian Abortus.
1.5.2 Bagi RSUD dr. Adjidarmo
Dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk kedepannya dan
diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan untuk RSUD dr.
Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.
1.5.3 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan bacaan dan dokumentasi di Akademi Kebidanan La
Tansa Mashiro.
7
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Abortus
2.1.1 Definisi Abortus
Abortus adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus
mempunyai berat 400-1000 gram. Atau usia kehamilan kurang dari 28
minggu (Pujiningsih, 2010).
Keguguran atau abortus adalah dikeluarkannya hasil konsepsi
sebelum mampu hidup di luar kandungan dengan berat badan kurang dari
1000 gram atau usia kehamilan kurang dari 28 minggu ( Manuaba, 2010 ).
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram
( Prawirohardjo, 2008).
Abortus menjadi tidak terhindarkan, jika perdarahan uterus disertai
kontraksiuterus yang kuat dan menyebabkan dilatasi serviks. Ibu akan
mengalami nyeri kolik uterus yang hebat dan pemeriksaan vagina akan
menunjukkan dilatasi osteum serviksdengan bagian kantong konsepsi
menonjol di dalamnya. Abortus yang tak terhindarkan ini dapat mengikuti
tanda-tanda abortus mengancam atau yang lebih umum, mulai tanpa
peringatan terlebih dahulu. Bila tanda-tanda abortus yang tak terhindarkan
dapat terjadi abortus (Manuaba, 2008).
7
8
Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah
berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang
mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup)
sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah
kelahiran prematur.
Dalam ilmu kedokteran, istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan
aborsi:
a. Spontaneous abortion: gugur kandungan yang disebabkan oleh
trauma kecelakaan atau sebab-sebab alami.
b. Induced abortion atau procured abortion: pengguguran kandungan
yang disengaja. Termasuk di dalamnya adalah:
a) Therapeutic abortion: pengguguran yang dilakukan karena
kehamilan tersebut mengancam kesehatan jasmani atau
rohani sang ibu, kadang-kadang dilakukan sesudah
pemerkosaan.
b) Eugenic abortion: pengguguran yang dilakukan terhadap
janin yang cacat.
c) Elective abortion: pengguguran yang dilakukan untuk
alasan-alasan lain.
Dalam bahasa sehari-hari, istilah "keguguran" biasanya digunakan
untuk spontaneous abortion, sementara "aborsi" digunakan untuk induced
abortion ( Apuranto, 2012 ).
9
2.1.2 Jenis – jenis Abortus
2.1.2.1 Abortus Imminens
Keguguran mengancam ( abortus imminens ) ditegakkan dengan adanya
keterlambatan datang bulan, perdarahan disertai perut sakit ( mules ). Pada
pemeriksaan dijumpai besarnya rahim sama dengan usia kehamilan dan terjadi
kontraksi otot rahim. Hasil pemeriksaan dalam menunjukkan perdarahan dari
kanalis servikalis, kanalis servikalis masih tertutup, dan dapat dirasakan kontraksi
otot rahim. Hasil pemeriksaan tes kehamilan masih positif ( Manuaba 2010 ).
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum
20 minggu, di mana hasil konsepsi masih dalam uterus dan tanpa adanya
dilatasi serviks. Pada umumnya terjadi perdarahan yang berasal dari hasil
dari pembuahan(embrio) yang lepas sebagian atau terjadi perdarahan di
belakang tempat embrio menempel. Perdarahan seringkali hanya sedikit
namun hal tersebut berlangsung beberapa hari atau minggu dapat juga di
sertai rasa mulas ringan, sama dengan padawaktu menstruasi atau nyeri
pinggang bawah (Prawirohardjo, 2008).
Abortus imminens adalah perdarahan bercak yang menunjukkan
ancaman terhadap kelangsungan sauatu kehamilan. Dalam kondisi
seperti ini kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan.
(Saifuddin, 2002).
10
2.1.2.2 Abortus Insipiens
Keguguran membakat ( abortus insipiens ) ini tidak dapat dihentikan, karena
setiap saat dapat terjadi ancaman perdarahan dan pengeluaran hasil konsepsi.
Keguguran membakat ditanadai dengan perdarahan lebih banyak, perut mules
lebih hebat, pada pemeriksaan dijumpai perdarahan lebih banyak, kanalis
servikalis terbuka dan jaringan/hasil konsepsi dapat diraba ( Manuaba 2010 ).
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu,
dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat tetapi hasil konsepsi
masih dalam uterus. Pada keadaan ini nyeri abdomen menjadi semakin
sering dan lebih kuat. Perdarahan lebih banyak. Ostium uteri internum dan
eksternum telah terbuka dan kantong ketuban menonjol keluar (Sujiyatini,
2009).
Abortus Insipiens adalah perdarahan ringan hingga sedang pada
kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih berada dalam kavum uteri (
Prawirohardjo, 2006 ).
2.1.2.3 Abortus Inkompletus
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal di dalam uterus. Biasanya terjadi
nyeri abdomen yang lebih nyeri dari pada his sewaktu partus dan ostium
uteri internum dan eksternum telah terbuka. Perdarahan bisa sedikit dan
banyak barupa darah beku. His yang terjadi melepaskan konseptus dari
tempat implantasinya dan keluar melaluiorifisium eteri (Pujiningsih, 2010).
11
Keguguran tak lengkap ( abortus inkompletus ) ditandai dengan
dikeluarkannya sebagian hasil konsepsi dari uterus, sehingga sisanya
memberikan gejala klinis ( Manuaba 2010 ).
Abortus inkompletus adalah perdarahan pada kehamilan muda di
mana sebagian dari hasil konsepsi telah ke luar dari kavum uteri melalui
kanalis servikalis ( Prawirohardjo, 2006 ).
2.1.2.4 Abortus Kompletus
Keguguran lengkap ( abortus kompletus ) berarti seluruh hasil konsepsi telah
dikeluarkan, sehingga tidak memerlukan tindakan. Gambaran klinisnya adalah
uterus telah mengecil, perdarahan sedikit, dan kanalis servikalis telah menutup
( Manuaba, 2010 ).
Semua hasil konsepsi sudah di keluarkan sehingga rahim kosong.
Pada penderita di temukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah
menutup, dan uterus sudah mengecil (Prawirohardjo, 2008).
Pada penderita di temukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah
menutup dan tidak ada lagi gejala kehamilan dan disertai rasa nyeri pada
bagian perut bawah dan pinggang (Sujiyatini, 2009).
Abortus Kompletus adalah perdarahan pada kehamilan muda di
mana seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan dari kavum uteri
( Prawirohardjo, 2006 ).
12
2.1.2.5 Missed Abortion
Kematian embrio atau janin berumur 20 minggu, tetapi janin mati
tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Pada beberapa kasus
terjadi perdarahan antar korion dengan desidua dan darah yeng membeku
membungkus kantong kehamilanyang mengandung embrio yang telah
mati sehingga seluruhnya kelihatan dari luar seperti segumpal daging
yang di sebut mola karnosa (Prawirohardjo, 2008).
Retensi janin mati ( Missed Abortion ) adalah perdarahan pada
kehamilan muda disertai dengan retensi hasil konsepsi yang telah mati
hingga 8 minggu atau lebih ( Prawirohardjo, 2006 ).
2.1.2.6 Abortus Habitualis
Kehilangan 3 atau lebih hasil kehamilan secara spontan dan
berturut-turut (Benson dan Pernol, 2008).
Pada umumnya penderita tidak sulit untuk hamil, namun
kehamilannya berakir sebelum 28 minggu (Sujiyatini, 2009). Biasanya
penyebabnyadi perankan oleh faktor yang serupa walau kadang-kadang
boleh di perankan olehfactor yang berbeda. Kejadiannya jarang di
laporkan hanya 0,4 - 0,5 % dari seluruh kehamilan ( Susi, 2008 ).
13
2.1.2.7 Abortus Infeksiosus, Abortus Septik.
Abortus Infeksiosus adalah keguguran disertai infeksi yang sebagian besar
dalam bentuk tidak lengkap dan dilakukan dengan cara tidak legeartis ( Manuaba
2010 ).
Abortus infeksiosus adalah abortus yang di sertai infeksi pada
genitalia,sedangkan abrtus septik adalah abortus infeksiosus berat disertai
penyebaran kumanatau toksin kedalam peredaran darah atau peritoneum
(Prawirohardjo, 2008).
Abortus Infeksiosus adalah abortus yang disertai komplikasi infeksi.
Adanya penyebaran kuman atau toksin ke dalam sirkulasi dan kavum
peritoneum dapat menimbulkan septicemia, sepsis atau peritonitis
( Prawirohardjo 2006 ).
2.1.3 Etiologi
Penyebab abortus sebagian besar tidak di ketahui penyebabnya,
tetapiterdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan abortus yaitu
sebagai berikut :
1. Infeksi
a) Infeksi Toxoplasma Gondii
Penyakit toxoplasmosis bukan disebabkan virus tetapi disebabkan
oleh sejenis parasit toxoplasma gondii. Bila penyakit ini mengjangkiti
seorang wanita hamil, maka pada janin dalam kandungannya juga
akan beresiko terinfeksi dan menimbulkan berbagai kecacatan fisik
14
pada anak setelah dilahirkan. Infeksi toxoplasma gondii menyebabkan
abortus spontan sebesar 4%, lahir mati sebesar 3%, toxoplasmosis
bawaan 20% (Haksohusodo, 2002).
b) Infeksi Virus Rubella
Infeksi rubella merupakan penyakit infeksi ringan pada anak dan
dewasa muda, tetapi memberi nuansa istimewa seandainya infeksinya
mengenai ibu hamil, dimana virus dapat menembus barier plasenta
dan langsung patogenik terhadap janin yang dikandung. Infeksi
rubella dapat menyebabkan abortus spontan, lahir mati, malformasi
janin, kelainan bayi, sindrom rubella pada anak di kemudian hari
(Haksohusodo, 2002).
c) Infeksi Cytomegalo Virus
Infeksi CMV pada wanita hamil dapat memberikan dampak : lahir
prematur, berat badan rendah, memperlihatkan gejala-gejala kuning,
mikrosefali, perkapuran pada otak, pembesaran hati dan limfa,
kerusakan pada mata dan telinga, keterbelakangan mental, gangguan
pembentukan darah. (Haksohusodo, 2002)
d) Infeksi Virus Herpes Simplex
Herpes simplex / herpes genetalis adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh HSV2 di mukosa alat kelamin dan sebagian kecil
HSV1 di mukosa mulut. Wanita hamil yang terinfeksi HSV2 harus
ditangani secara serius, karena virus dapat menembus plasenta dan
15
menimbulkan kerusakan neonatal, dampak-dampak kongenital, dan
abortus spontan (Haksohusodo, 2002).
e) Malaria
Terdapat empat spesies plasmodium yang menyebabkan malaria
pada manusia, yaitu vivax, ovale, malariae, dan falsiparum.
Organisme ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.
Serangan-serangan malaria secara bermakna meningkat tiga sampai
empat kali lipat pada dua trimester terakhir kehamilan dan dua bulan
pascapartum. Insiden abortus dan kelahiran preterm meningkat pada
wanita hamil yang mengalami malaria (Cunningham, 2005).
f) Pneumonia
Pneumonia dalam kehamilan merupakan penyebab kematian non
obstetrik yang terbesar setelah penyakit jantung. Oleh karena itu,
pneumonia harus segera diketahui dalam kehamilan, segera dirawat,
dan diobati secara intensif untuk mencegah timbulnya kematian
janin/ibu, terjadinya abortus, persalinan prematur, atau kematian
dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).
g) Demam Tifoid
Disebabkan oleh Salmonella typhi yang disebarkan melalui ingesti oral
makanan, air, atau susu yang tercemar. Pada wanita hamil, penyakit
lebih mungkin dijumpai selama epidemi atau pada mereka yang
terinfeksi HIV. Dari kajian Dildy dkk (1990), dilaporkan bahwa demam
tifoid antepartum dahulu menyebabkan abortus atau persalinan
16
preterm pada hampir 80% kasus, dengan angka kematian janin 60%
dan angka kematian ibu 25% (Cunningham, 2005).
2. Keracunan, misalnya keracunan tembaga, timah, air raksa, dll.
3. Penyakit kronis, misalnya hipertensi esensial, diabetes, dan asma.
a. Hipertensi esensial
Wanita hamil dengan hipertensi esensial biasanya hanya
menunjukkan gejala hipertensi tanpa gejala-gejala lain. Prognosis ibu
dengan hipertensi esensial berat dan kehamilan kurang baik. Angka
kematian pada hipertensi esensial berkisar antara 1% dan 2%,
kematian biasanya disebabkan perdarahan otak, dekompensasio
kordis, atau uremia. Kurang baiknya prognosis bagi janin disebabkan
oleh sirkulasi utero-plasenter yang kurang baik pada hipertensi berat.
Janin bertumbuh kurang wajar (dismaturitas), lahir prematur, atau mati
dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).
b. Diabetes Melitus
Komplikasi ibu dan bayi pada penderita diabetes akan meningkat
karena perubahan metabolik. Diperkirakan kejadian diabetes dalam
kehamilan ialah 0,7% tetapi seringkali sukar ditemukan karena
rendahnya kemampuan deteksi kasus (Wiknjosastro, 2005).
Abortus spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada
wanita dengan diabetes dependen-insulin. Resiko ini berkaitan
dengan derajat kontrol metabolik pada trimester pertama
(Cunningham, 2005).
17
c. Asma
Asma bronkiale merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan
yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh
asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari sering dan beratnya
serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen atau
hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan
berpengaruh pada janin, dan sering terjadi keguguran, persalinan
prematur, atau berat janin tidak sesuai dengan usia kehamilan
(Wiknjosastro, 2005).
4. Syok, trauma fisik, kelainan alat kandungan, kelainan kromosom dan
lingkunganyang kurang sempurna (Nugroho, 2010).
5. Pertumbuhan Hasil KonsepsiKelainan pertumbuhan hasil konsepsi
dapat menimbulkan kematian janindan cacat bawaan yang
menyebabkan hasil konsepsi di keluarkan, gangguan pertumbuhan
hasil konsepsi dapat terjadi karena factor kromosom, faktor lingkungan
endometrium, pengaruh dari luar seperti infeksi endometrium
atau pengaruh obat dan radiasi. Kelainan yang sering ditemukan pada
abortus spontan adalah trisomi, poliploidi dan kemungkinan pula
kelainan kromosom seks. Sekitar 2/3 dari abortus spontan pada
trimester pertama merupakan anomali kromosom dengan ½ dari
jumlah tersebut adalah trisomi autosom dan sebagian lagi merupakan
triploidi, tetraploidi, atau monosomi 45X. 20 dari 40 kasus abortus
terdapat kelainan kromosom kariotip. 65 % orang tua yang
18
menggugurkan embrio dengan peningkatan jumlah kelainan sel
kromosom, terdapat lebih dari 10 % sel aneuploidi di sekitar kelenjar
limfe. Akan tetapi, hanya 12,5 % pasangan yang menggugurkan
embrio dengan sel kromosom normal, tingkat aneuploidinya
bertambah. Trisomi autosom merupakan kelainan kromosom yang
tersering dijumpai pada abortus trimester pertama. Sedangkan
monosomi x adalah kelainan kromosom tersering berikutnya dan
memungkinkan lahirnya bayi perempuan hiup (sindrom Turner)
(Cunningham, 2005).
6. Kelainan pada placenta infeksi pada placenta dengan berbagai sebab
sehingga placenta tidak dapat berfungi dengan baik. Gangguan
pembuluh darah placenta di antaranya pada diabetesmelitus dan
hipertensi menyebabkan peredaran darah dan oksigenasi ke
placentaterganggu sehingga menimbulkan abortus.
7. Kelainan yang terdapat pada rahim merupakan tempat tumbuh
kembangnya janin. Dalam hal ini uterus di jumpai dalam keadaan
abnormal dalam bentuk mioma uteri, uterus arkuatus, uterussepsus,
bekas operasi pada serviks dan robekan serviks post partum
(Prawirohardjo,2008).
Retroversion uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat
menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversion
uteri gravid inkarserata atau mioma submukosa yang memegang
peranan penting. Sebab lain abortus dalam trimester kedua ialah
19
serviks inkompeten yang dapat disebabkan oleh kelemahan bawaan
pada serviks, dilatasi serviks berlebihan, konisasi, amputasi, atau
robekan serviks luas yang tidak dijahit. (Wiknjosastro, 2005).
2.1.4 Mekanisme Abortus
Penyebab utama pada abortus adalah pelepasan embrio parsial atau
komplit akibat perdarahan kecil di dalam desidua. Ketika terjadi kegagalan
fungsi placentauterus mulai berkontraksi sehingga proses abortus di
mulai, jika terjadi sebelumminggu ke delapan embrio yang tertutup villi dan
desidua cenderung di keluarkandalam bentuk gumpalan yang disebut
Blighted Ovum, walaupun sedikit produk konsepsi dapat bertahan di
dalam uterus, perdarahan uterus terjadi sewaktu
proses pengeluaran.Antara mingu ke-8 dan ke-14, mekanisme di
atas dapat terjadi atau membranketuban dapat rupture sehingga
mengeluarkan janin yang cacat tetapi gagalmengeluarkan placenta.
Placenta ini dapat menonjol di ostium serviks eksterna atau tetap melekat
pada dinding uterus. Tipe abortus ini dapat di ikuti perdarahan
yang banyak. Antara minggu ke 14 dan ke 22 , janin biasanya di keluarkan
dengan di ikuti placenta beberapa saat kemudian. Placenta lebih jarang
tertahan. Biasanya perdarahantidak hebat, tetapi rasa nyeri dapat hebat,
sehingga menyerupai persalinan kecil (Williams, 2005).
20
2.1.5 Patofisiologi Abortus
Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan
nerkrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan
dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk
mengeluarkan benda asing tersebut. Pada kehamilan kurang dari 8
minggu, villi korialis belum menembus desidua secara dalam jadi hasil
konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14
minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan
sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih
dari 14 minggu janin dikeluarkan terlebih dahulu daripada plasenta hasil
konsepsi keluar dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda
kecil yang tidak jelas bentuknya (blightes ovum),janin lahir mati, janin
masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus
papiraseus ( Apuranto, 2012 ).
Abortus biasanya disertai dengan perdarahan didalam desidua
basalis dan perubahan nekrotik didalam jaringan-jaringan berdekatan
dengan tempat perdarahan. Ovum yang terlepas sebagian atau
seluruhnya dan mungkin menjadi benda asing didalam uterus sehingga
merangsang kontraksi uterus dan mengakibatkan pengeluaran janin
(Sujiyatini, 2009).
21
2.1.6 Diagnosis
Sekitar 20 persen kehamilan berakhir dengan keguguran, sebagian
besar terjadi 5-6 minggu pertama kehamilan. Wanita mungkin mengalami
beberapa pendarahan atau kram ringan dan USG dilakukan untuk
mendeteksi apakah embrio masih hidup. Kriteria diagnosis keguguran
dengan USG bervariasi di seluruh dunia. Di Inggris, kantung kehamilan
kosong dengan diameter lebih dari 20 milimeter diklasifikasikan sebagai
keguguran, sementara di Amerika Serikat diameter 16 milimeter. Jika
sebuah kantung kecil terdeteksi kosong, wanita biasanya disarankan
menjalani scan kedua 7 sampai 14 hari kemudian ( Apuranto, 2012 ).
Abortus dapat di duga bila seorang wanita dalam masa reprodusksi
mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami haid yang
terlambat, sering pulaterdapat rasa mulas. Kecurigaan tersebut dapat di
perkuat dengan di tentukannya kehamilan muda pada pemeriksaan
bimanual dan dengan tes kehamilan secara biologis atau imunologi bila
mana hal itu dikerjakan. Harus di perhatikan macam dan banyaknya
perdarahan, pembukaan serviks, dan adanya jaringan dalam kavum
uterusatau vagina (Sujiyatini, 2009).
22
2.1.7 Penanganan Abortus
2.1.7.1 Abortus Imminens
a) Bed rest (istirahat total) di tempat tidur. Hal ini dapat di lakukan
untuk meningatkan aliran darah kerahim danmengurangi
ransangan mekanis.
b) Memberikan terapi obat-obatanObat-obat yang di berikan adalah
obat penenang yaitu Penobarbital 3x30 mg dan valium. Memberi
obat anti perdarahan yaitu adona dantransamin. Memberi obat
penguat plasenta yaitu gestanon dan duphaston. Obat anti
kontraksi rahim yaitu duvadilan, dan papaverin.
c) Evaluasi terhadap perdarahan. Mengulangi tes kehamilan
dan berkonsultasi pada dokter ahli untuk penanganan lebih lanjut.
Biasanya akan diperiksa menggunakan ultrasonografi.
(Pujiningsih,2010).
2.1.7.2 Abortus Insipiens
a) Bila perdarahan tidak banyak, tunggu terjadinya abortus spontan
tanpa pertolongan selama 36 jam dengan di berikan morfin.
b) Pada kehamilan kurang 12 minggu, yang biasanya di sertai
dengan perdarahan, di sertai dengan pengosongan uterus
memakai kuretvakum atau cunam abortus, di susul dengan kerokan
memakai kurettajam, suntikan ergometrin 0,2 mg intramuskular.
23
c) Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infuse oksitosin 10
IUnsesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplit.
d) Bila janin sudah keluar, tetapi placenta masih tertinggal,
lakukan pengeluaran placenta secara manual (Prawirohardjo,
2008).
2.1.7.3 Abortus Inkompletus
a) Dalam keadaan gawat karena kekurangan darah, dapat dipasang
infuse dan transfusi darah, untuk memulihkan keadaan umum.
b) Di ikuti kerokan : langsung pada umur kehamilan kurang dari 14
minggu dan dengan induksi pada usia kehamilan diatas 14 minggu.
c) Pengobatan dengan memberikan uterotonika dan antibiotic
untuk menghindari infeksi
( Susi, 2008 ).
2.1.7.4 Abortus Kompletus
Keguguran kompletus berarti seluruh hasil konsepsi telah di
keluarkan,sehingga tidak memerlukan tindakan. Untuk menangani pasien
ini adalah dengan terapi obat dan atibiotika. Pasien juga di anjurkan untuk
diet protein tinggi, vitamin dan mineral (Pujiningsih, 2010).
24
2.1.7.5 Missed Abortion
Dalam penanganan Missed Abortion perlu di perhatika bahwa sering
placenta melekat erat dengan dinding uterus.
a. Periksa kadar fibrinogen atau test perdarahan dan pembekuan
darahsebelum tindakan kuretase, bila normal jaringan konsepsi
bisa segera dikeluarkan, tapi bila kadarnya rendah (<159 mg%)
perbaiki dulu dengan pemberian fibrinogen kering atau darah
segar.
b. Sebelum tindakan berikan antibiotika profilaksis.
c. Dilatasi kanalis servikalis bisa dengan Bougie atau dengan batang
laminaria tergantung besar kecilnya uterus.
d. Tindakan kuretase di mulai dengan cunam abortus di lanjutkan
dengansendok kuret tajam.
e. Sesudah tindakan di berikan uterotonika (Nugroho, 2010).
2.1.7.6 Abortus Habitualis
Penanganan abortus habitualis yaitu pengobatan pada kelainan
endometrium.Pada abortus habitualis lebih besar hasilnya bila di lakukan
sebelum ada konsepsi.Merokok dan minum alcohol sebaiknya di
berhentikan. Disamping pemeriksaan umum dengan memperhatikan gizi
dan bentuk badan penderita, dilakukan pula pemeriksaan suami-isteri,
antara lain pemeriksaan darah dan urin rutin, pemeriksaan golongan
25
darah, faktor Rh, dan tes terhdap sifilis dan pada suami diperiksa sperma
(Prawirohardjo, 2005).
2.1.7.7 Abortus Infeksiosus dan Abortus Septik
a) Bila perdarahan banyak berikan transfuse darah dan cairan
yangcukup.
b) Berikan antibiotika yang cukup dan tepat (untuk
pemeriksaan pembiakan dan uji kepekaan obat).
c) Berikan suntikan penisilin 1 juta satuan tiap 1 jam
d) Berikan suntikan streptomisin 500 gram setia 12 jam atau
antibiotika spectrum luas lainnya.
e) 24 - 48 jam setelah di lindungi dengan antibiotika atau lebih cepat
bila terjadi perdarahan banyak, lakukanlah dilatasi dan kuretase
untuk mengeluarkan hasil konsepsi.
f) Infuse dan pemberian antibiotika di teruskan menurut kebutuhan
dankemajuan penderita.
g) Pada abortus septic terapi sama saja hanya dosis dan jenis
antibiotikadi tinggikan dan di pilih jenis yang tepat sesuai dengan
hasil pembiakan dan uji kepekaan kuman.
h) Tindakan operatif melihat jenis komplikasi dan banyaknya
perdarahan.Di lakukan bila keadaan umum membaik dan panas
mereda (Pujiningsih, 2010).
26
2.1.8 Pemantauan Pasca Abortus
Insidens abortus spontan kurang lebih 15% (1 dari 7 kehamilan) dari
seluruh kehamilan.
Syarat-syarat memulai metode kontrasepsi dalam waktu 7 hari pada
kehamilan yang tidak diinginkan :
a. Tidak terdapat komplikasi berat yang membutuhkan penanganan
lebih lanjut.
b. Ibu menerima konseling dan bantuan secukupnya dalam memilih
metode
kontrasepsi yang paling sesuai ( Apuranto, 2012 ).
Metode kontrasepsi pasca abortus :
a. Kondom
1. Waktu aplikasinya segera.
2. Efektivitasnya tergantung dari tingkat kedisiplinan klien.
3. Dapat mencegah penyakit menular seksual.
b. Pil kontrasepsi
1. Waktu aplikasinya segera.
2. Cukup efektif tetapi perlu ketaatan klien untuk minum pil
secara teratur.
c. Suntikan
1. Waktu aplikasinya segera.
2. Konseling untuk pilihan hormon tunggal atau kombinasi.
27
d. Implan
1. Waktu aplikasinya segera.
2. Jika pasangan tersebut mempunyai 1 anak atau lebih
dan ingin kontrasepsi jangka panjang.
e. Alat kontrasepsi dalam rahim
1. Waktu aplikasinya segera dan setelah kondisi pasien
pulih kembali.
2. Tunda insersi jika hemoglobin kurang 7 gr/dl (anemia)
atau jika dicurigai adanya infeksi.
f. Tubektomi
1. Waktu aplikasinya segera.
2. Untuk pasangan yang ingin menghentikan fertilitas.
3. Jika dicurigai adanya infeksi, tunda prosedur sampai
keadaan jelas. Jika hemoglobin kurang 7 gram/dl, tunda
sampai anemia telah diperbaiki.
4. Sediakan metode alternatif (seperti kondom).
Beberapa wanita mungkin membutuhkan :
a. Jika klien pernah diimunisasi, berikan booster tetanus toksoid 0,5 ml
atau jika dinding vagina atau kanalis servikalis tampak luka
terkontaminasi.
b. Jika riwayat imunisasi tidak jelas, berikan serum anti tetanus 1500 unit
intramuskuler diikuti dengan tetanus toksoid 0,5 ml setelah 4 minggu.
c. Penatalaksanaan untuk penyakit menular seksual.
28
d. Penapisan kanker serviks ( Apuranto, 2012 ).
2.2 Karakteristik Ibu yang berhubungan dengan kejadian abortus
2.2.1 Umur
Umur adalah lamanya waktu hidup atau sejak di lahirkan sampai
saat ini. Dalam reproduksi sehat di kenal bahwa usia yang aman selama
kehamilan adalah 20-35 tahun. Jadi wanita yang lebih muda ( < 20 tahun )
dan wanita yang lebih tua ( > 35 tahun ) mempunyai kemungkinan untuk
terjadi abortus (Benson dan Pernol, 2008).
Jika dilihat dari sisi biologis, usia 18-25 tahun merupakan saat
terbaik untuk hamil dan bersalin. Karena pada usia ini biasanya organ-
organ tubuh sudah berfungsi dengan baik dan belum ada penyakit-
penyakit degenerative sepertyi darah tinggi, diabetes, dan lainnya serta
daya tahan tubuh masih kuat (Dini Kasdu, 2001).
Umur sangat berpengaruh terhadap proses reproduksi, khususnya
usia 20-25 tahun merupakan usia yang paling baik untuk hamil dan
bersalin. Kehamilan dan persalinan membawa resiko kesakitan dan
kematian lebih besar pada remaja dibandingkan pada perempuan yang
telah berusia 20 tahunan, terutama di wilayah yang pelayanan medisnya
langka atau tidak tersedia (Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan,
2006).
Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia
dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih lebih tinggi daripada kematian
29
maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2006).
Resiko keguguran spontan tampak meningkat dengan bertambahnya
usia terutama setelah usia 30 tahun, baik kromosom janin itu normal atau
tidak, wanita dengan usia lebih tua, lebih besar kemungkinan keguguran
baik janinnya normal atau abnormal (Murphy,2000).
Usia ibu hamil yang beresiko adalah kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 30 tahun (BKKBN,2001).
Usia ideal untuk hamil dan melahirkan adalah 20 - 30 tahun, lebih
atau kurang dari usia itu adalah beresiko. Kesiapan seorang perempuan
untuk hamil atau mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan dalam 3 hal,
yaitu : fisik, mental/emosi dan kesiapan sosial ekonomi.
Umur Ideal Ibu Untuk Hamil (20 - 30 Tahun) dengan alasan :
a. Secara fisik, mulai umur 20 tahun rahim dan bagian tubuh lainnya
benar-benar telah siap menerima kehamilan.
b. Secara emosional, biasanya perempuan telah siap menjadi seorang
ibu.
c. Secara sosial ekonomi menguntungkan, misalnya sudah selesai
sekolah minimal SLTA.
Umur kurang dari 20 tahun, atau lebih dari 30 tahun kurang baik
untuk hamil. Karena secara fisik, kesehatan tubuh ibu :
a. Pada umur kurang dari 20 tahun, Alat Reproduksi Ibu belum matang
dan siap untuk hamil dan melahirkan.
30
b. Pada umur lebih dari 30 tahun, Alat Reproduksi Ibu tidak sebaik
pada umur 20 - 30 tahun.
Umur 35 Tahun ke atas bukan Umur Ideal untuk Hamil
a. Secara Fisik, kesehatan tubuh ibu sudah tidak sebaik pada umur 20 -
30 tahun.
b. Biasanya Ibu sudah mempunyai dua anak atau lebih, sehingga
mempunyai resiko yang lebih tinggi.
c. Kemungkinan memperoleh Anak yang tidak Sehat (misalnya cacat)
lebih besar.
Usia muda pada dasarnya berkisar antara 13-19 tahun secara
umum dinyatakan bahwa wanita usia muda adalah wanita yang berumur
dibawah 20 tahun. Usia reproduksi optimal bagi seorang wanita adalah
umur 20-35 tahun, dibawah dan diatas usia tersebut akan meningkatkan
risiko kehamilan atau persalinan. Karena perkembangan organ-organ
reproduksi yang belum optimal, kematangan emosi dan kejiwaan kurang
serta fungsi fisiologis yang belum optimal, sehingga sering terjadi
komplikasi yang tidak diinginkan dalam kehamilan. Sebaliknya pada usia
ibu yang lebih tua telah terjadi kemunduran fungsi fisiologis maupun
reproduksi secara umum, sehingga sering terjadi akibat merugikan
bayinya ( Susi, 2008 ).
31
2.2.2 Paritas
2.2.2.1 Definisi Paritas
Paritas adalah jumlah seluruh anak yang dilahirkan, berapa kali
ibumelahirkan, dan berapa anak yang dilahirkan yang hidup maupun yang
meninggal (Eni, 2009).
Menurut kamus saku Mosby, paritas (parity) adalah klasifikasi
perempuan dengan melihat jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati yang
dilahirkan pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Biasanya paritas
dicatat dengan menuliskan jumlah total kehamilan dan dituliskan dengan
huruf p atau kata para, (dalam epidemiologi) klasifikasi perempuan
dengan melihat jumlah bayi lahir hidup yang dilahirkannya.
Paritas (parity) adalah keadaan seorang wanita berkaitan dengan
memiliki bayi yang viabel (kamus saku bidan, 2005)
Menurut Maimunah (2005) dalam kamus istilah kebidanan, paritas
adalah jumlah persalinan yang dialami oleh wanita.
Paritas (Para) Parietas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh
seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Paritas adalah jumlah
kehamilan yang dilahirkan atau jumlah anak yang dimiliki baik dari hasil
perkawinan sekarang atau sebelumnya ( Ilfa, 2010 ).
Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang
mampu hidup diluar rahim dengan usia kehamilan 28 minggu
(Pusdiknakes, 2001).
32
Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang ibu
(Nursalam, 2003).
Dikatakan bahwa terdapat kecenderungan kesehatan ibu yang
berparitas rendah lebih baik dari yang berparitas tinggi. Tetapi
kesemuanya ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Notoatmodjo,
2008).
Persalinan yang biasanya paling aman untuk ibu yaitu persalinan
yang kedua dan ketiga karena pada persalinan keempat dan kelima
secara dramatis akan meningkatkan angka kematian ibu ( Ilfa, 2010 ).
Paritas atau para adalah wanita yang pernah melahirkan dan dibagi
menjadi beberapa istilah Primipara yaitu wanita yang telah melahirkan
sebanyak satu kali, Multipara yaitu wanita yang melahirkan anak hidup
beberapa kali, dimana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali,
Grandemultipara yaitu wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari
lima kali (Manuaba, 2010).
Menurut Wiknjosastro (2006), para adalah seorang wanita yang
pernah melahirkan bayi yang dapat hidup. Multipara atau pleuripara
adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang viable untuk
beberapa kali.
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman dari sudut kematian
maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka
kematian maternal tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian
maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik
33
lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau
dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas
tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2006).
Ada pula sumber yang didapat dari wikipedia terdapat beberapa istilah
tentang paritas yaitu :
a. Primipara adalah seorang wanita yang pernah melahirkan satu kali
atau melahirkan untuk pertama kali
b. Multipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan lebih dari
satu kali .
2.2.2.2 Pengelompokan Paritas
Ditinjau dari tingkatannya paritas dikelompokkan menjadi tiga antara lain :
a. Paritas rendah atau primipara
Paritas rendah meliputi nullipara dan primipara
b. Paritas sedang atau multipara
Paritas sedang atau multipara digolongkan pada hamil dan bersalin dua
sampai empat kali. Pada paritas sedang ini, sudah masuk kategori
rawan terutama pada kasus-kasus obstetrik yang jelek, serta interval
kehamilan yang terlalu dekat kurang dari 2 tahun
c. Paritas tinggi
Kehamilan dan persalinan pada paritas tinggi atau grandemulti, adalah
ibu hamil dan melahirkan 5 kali atau lebih. Paritas tinggi merupakan
paritas rawan oleh karena paritas tinggi banyak kejadian-kejadian
34
obstetri patologi yang bersumber pada paritas tinggi, antara lain :
plasenta previa, perdarahan postpartum, dan lebih memungkinkan lagi
terjadinya atonia uteri ( Bejo, 2010 ).
2.2.2.3 Komplikasi Paritas Tinggi
Menurut Manuaba (2010) Seorang wanita yang telah mengalami
kehamilan sebanyak 6 kali atau lebih, lebih mungkin mengalami:
a. Kontraksi yang lemah pada saat persalinan (karena otot rahimnya
lemah)
b. Perdarahan setelah persalinan (karena otot rahimnya lemah)
c. Plasenta previa (plasenta letak rendah).
d. Pre eklampsi.
2.2.3 Pendidikan
Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan
tingkah laku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih
tempat – tempat pelayanan kesehatan dalam mengambil keputusan
tentang kesehatan semakin diperhitungkan. Pendidikan adalah proses
pengubahan siakp dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui penerapan ilmu yang diperoleh
dalam pengetahuannya tentang hal – hal yang berkaitan dengan
kehamilannya. Pendidikan yang dijalani seseorang memiliki
pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir,dengan kata lain
35
seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan dapat
mengambilkeputusan yang lebih rasional, umumnya terbuka untuk
menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan individu yang
berpendidikan lebih rendah ( Susi, 2008 ).
Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan
yaitu suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya dan tidak hanya
mengkaitkan diri pada peningkatan pengetahuan, sikap dan praktik
kesehatan saja, tetapi juga meningkatkan atau memperbaiki lingkungan
(baik fisik maupun non fisik) dalam rangka memelihara dan meningkatkan
kesehatan mereka (Notoatmodjo, 2007).
Essensi promosi kesehatan adalah upaya untuk membuat daya
sehingga mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan sendiri. Untuk
itu perlu dilakukan upaya untuk merubah, menumbuh atau
mengembangkan prilaku positif hal ini merupakan bidang garapan utama
pendidikan kesehatan (Depkes, 2002).
Rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi yang
menyebabkan masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari
pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya
faktor-faktor risiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Risiko ini
baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya
sudah terlambat sehingga dapat membawa akibat fatal. (Maas, 2004).
36
Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan
tingkat pengertian terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan perlunya
pemeriksaan kehamilan (Santiyasa, 2004).
Pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan informal. Pendidikan
formal bersifat berjenjang ( SD, SMP, SMA, PT ) melibatkan pemerintah
( diakui atau tidak ) adanya ijazah. Pendidikan informal ada ijazah tetapi
belum tentu diakui ( Haryati, 2008 ).
2.2.4 Pekerjaan
Pekerjaan adalah kegiatan rutin sehari-hari yang dilakukan oleh
seorang ibu dengan maksud untuk memperoleh penghasilan
( Nonoratmodjo, 2003).
Meskipun jumlah penduduk perempuan hampir sama dengan laki-
laki, tetapi hampir 0 % - 20 % lowongan kerja formal terisi oleh tenaga
kerja wanita. Jumlah kaum wanita dan peranannya sangat penting dalam
pembangunan bangsa, maka salah satu modal penting yang harus kita
miliki adalah derajat kesehatan yang memadai bagi kaum wanita. Wanita
hamil yang sehat mempunyai kesempatan memiliki bayi yang lebih sehat.
Wanita yang beban pekerjaannya berat cukup rentan terkena gangguan
kesehatan, jika tidak melakukan upaya pencegahan ( Pratiwi, 2004).
Wanita hamil yang bekerja di lahan pertanian dan kerap terpajan
pestisida secara langsung, ternyata berisiko lebih tinggi mengalami
abortus spontan. Selain itu, kebiasaan suami merokok dan beban kerja
37
wanita yang berat meningkatkan risiko terjadinya abortus. Menurut data
BPS tahun 2007, diperkirakan 13 juta perempuan bekerja di sektor
pertanian. Terkait pajanan pestisida, penelitian di Finlandia melaporkan
pula bahwa wanita yang mengalami abortus spontan, 30 persen lebih
besar kemungkinannya bahwa mereka bekerja di sektor pertanian (
Ahmad, 2012 ).
38
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analitik ( Kuantitatif ) tipe cross
sectional dengan menggunakan pendekatan retrospektif bertujuan untuk
mengetahui adanya hubungan karakteristik ibu dengan kejadian abortus di
Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yang akan diukur
yaitu variabel bebas dan terikat. Variabel-variabel yang akan diteliti
meliputi :
1. Variabel Bebas ( Independent variabel )
Variabel Bebas adalah variabel yang bila ia berubah akan
mengakibatkan perubahan variabel lain ( Sastroasmoro, 2008 ).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah karakteristik ibu yaitu umur,
paritas, pendidikan dan pekerjaan ibu.
2. Variabel Terikat ( Dependent Variabel )
Variabel Terikat adalah variabel yang berubah akibat perubahan
variabel bebas ( sastroasmoro, 2008 ). Variabel terikat dalam penelitian
ini adalah kejadian abortus.
38
39
3.3 Kerangka Konsep dan Definisi Operasional
3.3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep dari penelitian ini dengan judul Hubungan
Karakteristik Ibu Dengan Kejadian Abortus di Ruang Bersalin RSUD dr.
Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011 yaitu :
Variabel Bebas ( Independent ) Variabel Terikat ( Dependent )
Umur
Paritas
Pendidikan
Pekerjaan
Abortus
40
3.3.2 Definisi Operasional
Untuk mempermudah dalam pengukuran dan pengkajian secara
statistik, semua variabel di ukur dan dikategorikan sesuai dengan jenis
data dan skala pengukurannya. Adapun definisi operasional variabel
dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No VariabelDefinisi
OperasionalCara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
1. Abortus Ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan
Menelaah atau melihat buku Register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011
Daftar Check List
0= Ya1= Tidak
ordinal
2. Umur Lamanya hidup ibu sejak dilahirkan sampai pada saat sekarang yang dihitung dalam tahun yang tercatat dalam buku register
Menelaah atau melihat buku Register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011
Daftar Check List
0 = < 20 dan > 35 tahun
1 = 20 – 35 tahun
Ordinal
3. Paritas Jumlah seluruh anak yang dilahirkan baik yang hidup maupun yang meninggal yang tercatat dalam buku register
Menelaah atau melihat buku Register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011
Daftar Check List
0= Banyak (> 3 anak)
1 = sedikit (≤ 3 anak)
Ordinal
4. Pendidikan Sekolah formal Menelaah atau Daftar 0= Ordianal
41
terakhir yang sudah diselesaikan ibu yang mengalami abortus, yang tercatat dalam buku register.
melihat buku Register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011
Check List
Rendah ( < SLTA )
1= Tinggi ( ≥ SLTA )
5. Pekerjaan Suatu kegiatan tetap yang dapat menghasilkan uang untuk menafkahi dirinya ataupun keluarga, yang tercatat dalam buku register.
Menelaah atau melihat buku Register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011
Daftar Check List
0= Bekerja ( PNS, non PNS )
1=Tidak Bekerja
Ordianal
3.4 Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang diambil dalam penelitian
ini adalah :
1) Ada hubungan umur dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin
RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung.
2) Ada hubungan paritas dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin
RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung.
3) Ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian abortus di Ruang
Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung.
4) Ada hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian abortus di Ruang
Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung.
3.5 Populasi dan Sampel
42
3.5.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian ( Machfoedz, 2007 ).
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu hamil di Ruang
Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung periode Januari sampai
Desember Tahun 2011 yang jumlah keseluruhan ibu hamil yaitu 789
orang.
3.5.2 Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti yang dianggap mewakili seluruh populasi ( Machfoedz, 2007 ).
Cara pengambilan sampel serta besarnya sampel sangat penting
artinya dalam penelitian karena hasil pengamatan yang dilakukan pada
individu dalam sampel digunakan untuk menafsirkan keadaan populasi
dimana sampel tersebut diambil.
Dalam penelitian ini untuk menentukan besarnya sampel, digunakan
rumus ( Notoatmodjo, 2003) :
Keterangan :
n = N
1 + N (d2)
43
N : Besar Populasi
n : Besar Sampel
d : Tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan ( 0,1 )
n = 789
1+789(0,12)
n = 88, 75, dibulatkan menjadi 89 orang.
Jadi, jumlah sampel yang akan diambil adalah 89 orang.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak sistematis ( Systematic
Random Sampling ). Teknik ini merupakan modifikasi dari simpel random
sampling. Caranya adalah membagi jumlah atau anggota populasi dengan
perkiraan jumlah sampel yang diinginkan. Sampel diambil dengan
membuat daftar elemen atau anggota populasi secara acak antara 1
sampai dengan banyaknya anggota populasi. Kemudian membagi dengan
jumlah sampel yang diinginkan, hasilnya sebagai interval adalah X, maka
yang terkena sampel adalah setiap kelipatan dari X tersebut
( Notoatmodjo, 2010 ).
N ( jumlah populasi ) : 789 orang ( No. 1, 2, 3, ……………..789 )
n ( sampel ) : yang diinginkan 89
I ( Interval ) : 789 : 89 = 8,86 dibulatkan menjadi 9
Maka anggota populasi yang terkena sampel adalah setiap elemen
( nama orang ) yang mempunyai nomor kelipatan 9, yaitu no. 9, 18, 27,
36, 45, dan seterusnya sampai mencapai jumlah 89 anggota sampel.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
44
Pada penelitian ini peneliti hanya memanfaatkan data yang tersedia
di dalam buku laporan register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo
Rangkasbitung. Hal yang pertama kali dilakukan oleh peneliti adalah
memilih status ibu hamil yang mengalami abortus dan mendapatkan
perawatan di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung periode
Januari sampai Desember tahun 2011 dan mengklasifikasikan data – data
tersebut berdasarkan variable – variable yang dibutuhkan dalam
penelitian.
3.7 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan
olehpeneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan lebih
mudah dan lebih baik hasilnya, dalam arti lebih cermat, lengkap,
dan sistematis sehingga lebih mudah diolahnya (Arikunto, 2002).
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari buku laporan register Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo
Rangkasbitung.
Instrumen yang digunakan adalah daftar check List yang dibuat
peneliti sesuai dengan variable penelitian, daftar tersebut digunakan
dengan memindahkan data dari buku laporan register di Ruang Bersalin
RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung.
3.8 Pengolahan Data
45
a. Penyunting ( editing ) data dilakukan setelah pengambilan data
untuk menghindari adanya data yang kosong, kesalahan data, data
yang tertulis tidak relevan dengan data sekunder yang ada.
b. Conding yaitu kegiatan pemberian kode numeric atau angka
terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.
c. Data entri ( tabulating ) yaitu memasukkan data.
d. Cleaning adalah pembersihan data merupakan kegiatan
pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan apakah terdapat
kesalahan atau tidak.
3.9 Analisis Data
Analisis data meliputi analisis univariat ( deskriptif ) dan analisis
bivariat ( analitik ).
3.9.1 Analisis Univariat
Analisis univariat yaitu menampilkan tabel – table distribusi frekuensi
untuk melihat gambaran responden lebih jauh korelasi ( hubungan )
variabel – variabel yang diteliti, baik variabel dependent maupun
independent. Analisa data yang telah dikumpulkan secara kuantitatif
dianalisis secara univariat dengan distribusi frekuensi, menggunakan
rumus ( Lapau, 2007 ).
Keterangan :
P = f / n x 100%
46
P = Presentasi
F = Frekuensi
N = Jumlah sample
3.9.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi. Dalam analisis ini dapat dilakukan
pengujian statistic menggunakan Chai Square ( X2 ) yang mana
responden sudah dikelompokkan lalu diuji hubungan, membandingkan
nilai observasi ( O ) dan nilai harapan ( E ). Untuk mengetahui
kemaknaan hubungan digunakan α = 0.05, jika niali hitung / p < 0.05
berarti ada hubungan bermakna ( antara independent dan dependent ),
jika nilai hitung / p > 0.05 berarti tidak ada hubungan.
Keterangan :
X2 : Chi Square
∑ : Jumlah
0 : Nilai Observasi
E : Nilai Harapan
3.10 Jadwal Penelitian
X2 = ∑ ( O – E )
E
47
Jadawal penelitian dimulai dari persiapan pembuatan proposal
penelitian sampai dengan seminar KTI yang berlangsung dari bulan
Januari sampai April 2012.
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
Kegiatan
Waktu Penelitian
Januari Februari Maret April
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengajuan Judul Proposal KTI
Penyusunan Proposal KTI
Persiapan Ujian Proposal KTI
Ujian Proposal KTI
Penelitian
Penyusunan KTI
Persiapan Ujian KTI
Ujian KTI
BAB IV
48
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Tahapan analisis yang dilakukan adalah univariat dan bivariat.
Analisis Univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi
frekuensi dari tiap – tiap variable. Analisis bivariat ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara umur, paritas, pendidikan dan pekerjaan
dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo tahun
2011.
4.1.1 Analisis Univariat
Analisis Univariat merupakan analisis yang dilakukan secara
deskriptif. Setiap variable dianalisis menggunakan tabel distribusi
frekuensi yang memuat umur, paritas, pendidikan, pekerjaan, dan abortus
yang dirawat di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo periode Januari –
Desember tahun 2011.
4.1.1.1 Ibu Hamil Dengan Abortus48
49
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Berdasarkan Kejadian Abortus di
Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011
No. Abortus Frekuensi Presentase ( % )
1 Ya 44 49,4
2 Tidak 45 50,6
Jumlah 89 100,0
Berdasrkan table 4.1 menunjukan bahwa hampir separuhnya ( 49,4 % )
ibu hamil mengalami abortus.
4.1.1.2 Ibu Hamil Berdasarkan Umur
50
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Berdasarkan Umur di Ruang Bersalin
RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011
No. Umur Frekuensi Presentase ( % )
1 < 20 atau > 35 tahun 45 50,6
2 20 – 35 tahun 44 49,4
Jumlah 89 100,0
Berdasarkan table 4.2 menunjukan bahwa ibu hamil yang berumur < 20
atau > 35 tahun proporsinya tidak jauh berbeda dengan ibu hamil yang
berumur 20 – 35 tahun yaitu 50,6 % dengan 49,4 %.
4.1.1.3 Ibu Hamil Berdasarkan Paritas
51
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Berdasarkan Paritas di Ruang
Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011
No. Paritas Frekuensi Presentase ( % )
1 > 3 anak 49 55,1
2 ≤ 3 anak 40 44,9
Jumlah 89 100,0
Berdasrkan tabel 4.3 menunjukan lebih dari separuhny ( 55,1 % ) ibu
hamil memiliki anak > 3.
4.1.1.4 Ibu Hamil Berdasarkan Pendidikan
52
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Berdasarkan Pendidikan di Ruang
Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011
No. Pendidikan Frekuensi Presentase ( % )
1 Rendah ( < SLTA ) 51 57,3
2 Tinggi ( ≥ SLTA ) 38 42,7
Jumlah 89 100,0
Berdasarkan table 4.4 menunjukan pada umumnya ( 57,3 % ) ibu hamil
berpendidikan rendah ( < SLTA ).
4.1.1.5 Ibu Hamil Berdasarkan Pekerjaan
53
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Berdasarkan Pekerjaan di Ruang
Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011
No. Pekerjaan Frekuensi Presentase ( % )
1 Bekerja
( PNS, non PNS )
27 30,3
2 Tidak Bekerja 62 69,7
Jumlah 89 100,0
Berdasarkan table 4.5 menunjukan sebagian besar ( 69,7 % ) ibu hamil
tidak bekerja.
4.1.2 Analisis Bivariat
54
4.1.2.1 Umur Dengan Kejadian Abortus
Tabel 4.6
Hubungan Umur Dengan Kejadian Abortus di Ruang Bersalin RSUD
dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011
No. Umur
Abortus
p. value
Ya Tidak Jumlah
1
< 20 atau > 35
tahun
21 24 45
0,597
( 46,7 % ) ( 53,3 % ) ( 100,0
% )
2
20 – 35 tahun
23 21 44
( 52,3 % ) ( 47,7 % ) ( 100,0
% )
Jumlah
44 45 89
( 49,4 % ) ( 50,6 % ) ( 100,0
% )
Pada table 4.6 menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami
abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil yang berumur 20 – 35
55
tahun yaitu sebanyak 52,3 % dibandingkan dengan ibu hamil yang
mengalami abortus yang berumur < 20 atau > 35 tahun ( 46,7 % ).
Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05
didapatkan nilai p sebesar 0,597 dimana p > α yang berarti bahwa secara
statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan
kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung
2011.
4.1.2.2 Paritas Dengan Kejadian Abortus
Tabel 4.7
56
Hubungan Paritas Dengan Kejadian Abortus di Ruang Bersalin RSUD
dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011
No. Paritas
Abortus
p. value
Ya Tidak Jumlah
1
> 3 anak
23 26 49
0,602
( 46,9 % ) ( 53,1 % ) ( 100,0
% )
2
≤ 3 anak
21 19 40
( 52,5 % ) ( 47,5 % ) ( 100,0
% )
Jumlah
44 45 89
( 49,4 % ) ( 50,6 % ) ( 100,0
% )
Pada tabel 4.7 menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami
abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil yang memiliki anak ≤ 3
yaitu sebanyak 52,5 % dibandingkan dengan ibu hamil yang mengalami
abortus yang memiliki anak > 3 ( 46,9 % ).
57
Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05
didapatkan nilai p sebesar 0,602 dimana p > α yang berarti bahwa secara
statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan
kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung
2011.
4.1.2.3 Pendidikan Dengan Kejadian Abortus
58
Tabel 4.8
Hubungan Pendidikan Dengan Kejadian Abortus di Ruang Bersalin
RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011
No. Pendidikan
Abortus
p. value
Ya Tidak Jumlah
1Rendah
( < SLTA )
23 28 51
0,343
( 45,1 % ) ( 54,9 % ) ( 100,0
% )
2Tinggi
( ≥ SLTA )
21 17 38
( 55,3 % ) ( 44,7 % ) ( 100,0
% )
Jumlah
44 45 89
( 49,4 % ) ( 50,6 % ) ( 100,0
% )
Pada tabel 4.8 menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami
abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil yang berpendidikan tinggi
( ≥ SLTA ) yaitu sebanyak 55,3 % dibandingkan dengan ibu hamil yang
mengalami abortus yang berpendidikan rendah ( < SLTA ) ( 45,1 % ).
59
Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05
didapatkan nilai p sebesar 0,343 dimana p > α yang berarti bahwa secara
statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan
dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo
Rangkasbitung 2011.
4.1.2.4 Pekerjaan Dengan Kejadian Abortus
60
Tabel 4.9
Hubungan Pekerjaan Dengan Kejadian Abortus di Ruang Bersalin
RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011
No. Pekerjaan
Abortus
p. value
Ya Tidak Jumlah
1 Bekerja
(PNS, non
PNS)
10 17 27
0,123
( 37,0 % ) ( 63,0 % ) ( 100,0 % )
2 Tidak Bekerja 34 28 62
( 54,8 % ) ( 45,2 % ) ( 100,0 % )
Jumlah
44 45 89
( 49,4 % ) ( 50,6 % ) ( 100,0 % )
Pada tabel 4.8 menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami
abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil yang tidak bekerja yaitu
sebanyak 54,8 % dibandingkan dengan ibu hamil yang mengalami abortus
yang bekerja ( PNS, non PNS ) ( 37,0 % ).
Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05
didapatkan nilai p sebesar 0,123 dimana p > α yang berarti bahwa secara
61
statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan
kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung
2011.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Ibu Hamil Dengan Abortus
Berdasarkan tabel 4.1 hasil penelitian didapatkan data bahwa hampir
separuhnya ( 49,4 % ) ibu hamil mengalami abortus. Hasil penelitian ini
lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dina Kaspa Eka,
A.M.Keb. ( 2006 ) yang menunjukan kejadian abortus di Rumah Sakit dr.
Mohammad Hoesin Palembang tahun 2006 sebanyak 72,4 %.
Hal ini dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di Rumah
Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan dan
kebanyakan terdapat pasien – pasien yang beresiko atau bermasalah
( patologis ) sehingga banyak ibu hamil yang mengalami abortus yang
mendapatkan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Dan karena jumlah
populasi yang berbeda dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang
sedikit dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang
diinginkan ( d ) sebesar 0,1 sehingga didapatkan hasil penelitian yang
jauh berbeda dengan hasil penelitian Dina Kaspa Eka, A.M.Keb.
Masih banyaknya ibu hamil yang mengalami abortus menunjukan
bahwa masih tingginya angka mortalitas dan morbiditas pada ibu hamil
62
dan masih kurangnya pelayanan kesehatan dalam mempertahankan
kehamilan.
Menurut Prawirohardjo ( 2009 ) riwayat abortus pada penderita
abortus nampaknya juga merupakan predisposisi terjadinya abortus
berulang. Kejadiannya sekitar 3 – 5 %. Data dari beberapa studi
menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus spontan, pasangan punya
risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali,
risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko
abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30 – 45%.
4.2.2 Ibu Hamil Berdasarkan Umur
Berdasarkan table 4.2 hasil penelitian didapatkan data bahwa ibu
hamil yang berumur < 20 atau > 35 tahun sebanyak 50,6 %. Hasil
penelitian ini sedikit lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Dina Kaspa Eka, A.M.Keb. ( 2006 ) yang menunjukan ibu hamil yang
mengalami abortus yang berumur < 20 atau > 35 tahun di Rumah Sakit
dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2006 sebanyak 60,1 %.
Hal ini dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di Rumah
Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan dan
kebanyakan terdapat pasien – pasien yang beresiko atau bermasalah
( patologis ) sehingga banyak ibu hamil yang berumur < 20 atau > 35
tahun. Dan karena jumlah populasi yang berbeda dan jumlah sampel
dalam penelitian ini yang sedikit dengan menggunakan tingkat
63
kepercayaan / ketetapan yang diinginkan ( d ) sebesar 0,1 sehingga
didapatkan hasil penelitian yang tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Dina Kaspa Eka, A.M.Keb.
Menurut Benson dan Pernol ( 2008 ) dalam reproduksi sehat di kenal
bahwa usia yang aman selama kehamilan adalah 20-35 tahun. Jadi
wanita yang lebih muda ( < 20 tahun ) dan wanita yang lebih tua ( > 35
tahun ) mempunyai kemungkinan untuk terjadi abortus.
Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia
dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih lebih tinggi daripada kematian
maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2006).
Resiko keguguran spontan tampak meningkat dengan bertambahnya
usia terutama setelah usia 30 tahun, baik kromosom janin itu normal atau
tidak, wanita dengan usia lebih tua, lebih besar kemungkinan keguguran
baik janinnya normal atau abnormal (Murphy,2000).
4.2.3 Ibu Hamil Berdasarkan Paritas
Berdasarkan tabel 4.3 hasil penelitian menunjukan lebih dari
separuhnya ( 55,1 % ) ibu hamil memiliki anak > 3. Hasil penelitian ini
sedikit lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dina Kaspa
Eka, A.M.Keb. ( 2006 ) yang menunjukan ibu hamil yang mengalami
abortus yang memiliki anak > 3 di Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin
Palembang tahun 2006 sebanyak 59,5 %.
64
Hal ini dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di Rumah
Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan dan
kebanyakan terdapat pasien – pasien yang beresiko atau bermasalah
( patologis ) sehingga banyak ibu hamil yang memiliki anak > 3. Dan
karena jumlah populasi yang berbeda dan jumlah sampel dalam
penelitian ini yang sedikit dengan menggunakan tingkat kepercayaan /
ketetapan yang diinginkan ( d ) sebesar 0,1 sehingga didapatkan hasil
penelitian yang tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Dina Kaspa
Eka, A.M.Keb.
Menurut WHO ( 2008 ) salah satu penyebab kematian ibu yaitu
terlalu banyak anak ( > 3 anak ).
Menurut Wiknjosastro ( 2006 ) paritas 2-3 merupakan paritas paling
aman dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari
3) mempunyai angka kematian maternal tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih
tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan
asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat
dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana.
4.2.4 Ibu Hamil Berdasarkan Pendidikan
65
Berdasarkan tabel 4.4 hasil penelitian menunjukan pada umumnya
( 57,3 % ) ibu hamil berpendidikan rendah. Hasil penelitian ini sedikit lebih
rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dina Kaspa Eka,
A.M.Keb. ( 2006 ) yang menunjukan ibu hamil yang mengalami abortus
yang berpendidikan rendah di Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin
Palembang tahun 2006 sebanyak 62,3 %.
Hal ini dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di Rumah
Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan dan
kebanyakan terdapat pasien – pasien yang beresiko atau bermasalah
( patologis ) yang pengetahuan kesehatannya kurang karena
pendidikannya rendah. Dan karena jumlah populasi yang berbeda dan
jumlah sampel dalam penelitian ini yang sedikit dengan menggunakan
tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan ( d ) sebesar 0,1
sehingga didapatkan hasil penelitian yang tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Dina Kaspa Eka, A.M.Keb.
Menurut Maas ( 2004 ) rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya
informasi yang menyebabkan masih banyaknya ibu-ibu yang kurang
menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak
terdeteksinya faktor-faktor risiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka.
Risiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena
kasusnya sudah terlambat sehingga dapat membawa akibat fatal.
66
Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan
tingkat pengertian terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan perlunya
pemeriksaan kehamilan (Santiyasa, 2004).
Jadi, ibu hamil yang berpendidikan rendah sangat rentan mengalami
abortus karena kurangnya pengetahuan atau informasi tentang kesehatan
dan kurangnya kesadaran tentang perawatan kesehatan pada ibu hamil
serta pemeriksaan kehamilan.
4.2.5 Ibu Hamil Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan tabel 4.5 hasil penelitian menunjukan sebagian besar
( 69,7 % ) ibu hamil tidak bekerja. Hasil penelitian ini sedikit lebih tinggi
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dina Kaspa Eka, A.M.Keb. ( 2006
) yang menunjukan ibu hamil yang mengalami abortus yang tidak bekerja
di Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2006 sebanyak
60,7 %.
Hal ini dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di Rumah
Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan dan
kebanyakan terdapat pasien – pasien yang beresiko atau bermasalah
( patologis ) karena faktor ekonominya rendah ( tidak bekerja ) sehingga
kurang dalam memenuhi kebutuhan kesehatannya . Dan karena jumlah
populasi yang berbeda dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang
sedikit dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang
67
diinginkan ( d ) sebesar 0,1 sehingga didapatkan hasil penelitian yang
tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Dina Kaspa Eka, A.M.Keb.
Dalam penelitian ini ibu hamil yang tidak bekerja yaitu ibu hamil
sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaanya di rumah, misalnya mencuci,
memasak, menyapu, dan lain – lain. Jika pekerjaan rumah tangganya
terlalu berat maka dapat beresiko terhadap kehamilannya.
Abortus sering dijumpai pada wanita yang bekerja berat karena
ovum terlepas sebagian menimbulkan kontraksi yang berakibat
perdarahan. ( Unpad, 2000 ).
4.2.6 Hubungan Umur Ibu dengan Kejadian Abortus
Berdasarkan tabel 4.6 hasil penelitian didapatkan data bahwa ibu
hamil yang mengalami abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil
yang berumur 20 – 35 tahun yaitu sebanyak 52,3 % dibandingkan dengan
ibu hamil yang mengalami abortus yang berumur < 20 atau > 35 tahun
( 46,7 % ).
Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05
didapatkan nilai p sebesar 0,597 dimana p > α yang berarti bahwa secara
statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan
kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung
2011.
68
Menurut Benson dan Pernol ( 2008 ) dalam reproduksi sehat di kenal
bahwa usia yang aman selama kehamilan adalah 20-35 tahun. Jadi
wanita yang lebih muda ( < 20 tahun ) dan wanita yang lebih tua ( > 35
tahun ) mempunyai kemungkinan untuk terjadi abortus.
Dari hasil penelitian ternyata tidak terdapat hubungan antara umur
dengan kejadian abortus. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori Murphy
( 2000 ) yang menyatakan bahwa resiko keguguran spontan tampak
meningkat dengan bertambahnya usia terutama setelah usia 30 tahun,
baik kromosom janin itu normal atau tidak, wanita dengan usia lebih tua,
lebih besar kemungkinan keguguran baik janinnya normal atau abnormal.
Penelitian ini juga tidak sesuai dengan teori dari Wiknjosastro
( 2006 ) Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia
dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih lebih tinggi daripada kematian
maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal
meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ruang Bersalin RSUD dr.
Adjidarmo tahun 2011, bahwa umur tidak mempengaruhi terjadinya
abortus, disebabkan karena selain umur ada faktor – faktor lain yang
menyebabkan terjadinya abortus yaitu :
1. Faktor Janin : penyebab keguguran adalah kelainan genetik, dan ini
terjadi pada 50 % - 60 % kasus keguguran.
69
2. Faktor Ibu : kelainan endokrin ( hormonal ) misalnya kekurangan
Tyroid, Kencing Manis, faktor kekebalan ( Imunologi ), misalnya
pada penyakit Lupus, Anti Phospholipid Syndrome, infeksi diduga
akibat beberapa virus seperti Cacar Air, Campak Jerman,
Toksoplasma, Herpes, Klamidia, kelemahan otot leher rahim, dan
kelainan bentuk leher rahim.
3. Faktor Bapak : yaitu kelainan kromosom dan infeksi sperma diduga
dapat menyebabkan abortus ( Cuningham, 2000 ).
Hal ini juga dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di
Rumah Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan
dari berbagai Puskesmas dan BPS serta kebanyakan terdapat pasien –
pasien yang beresiko atau bermasalah ( patologis ) karena berbagai faktor
yang harus mendapatkan penanganan di Rumah Sakit. Dan karena
jumlah populasi dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang sedikit
dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan
( d ) sebesar 0,1.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Yuni Hardani
pada tahun 2009 bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
umur dengan kejadian abortus.
Jadi semua ibu hamil baik yang berumur < 20 atau > 35 tahun
maupun yang berumur 20 – 35 tahun beresiko mengalami abortus.
70
4.2.7 Hubungan Paritas Ibu dengan Kejadian Abortus
Berdasarkan tabel 4.7 hasil penelitian didapatkan data bahwa ibu
hamil yang mengalami abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil
yang memiliki anak ≤ 3 yaitu sebanyak 52,5 % dibandingkan dengan ibu
hamil yang mengalami abortus yang memiliki anak > 3 ( 46,9 % ).
Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05
didapatkan nilai p sebesar 0,602 dimana p > α yang berarti bahwa secara
statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan
kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung
2011.
Menurut Muhammad ( 2009 ) paritas merupakan salah satu faktor
karena umumnya abortus terjadi pada wanita yang Grandemultipara.
Dari hasil penelitian ternyata tidak terdapat hubungan antara paritas
dengan kejadian abortus. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori
Wiknjosastro ( 2006 ) yang menyatakan bahwa paritas 2-3 merupakan
paritas paling aman dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas
tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal tinggi. Lebih
tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat
ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada
paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana.
Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ruang Bersalin RSUD dr.
Adjidarmo tahun 2011, bahwa paritas tidak mempengaruhi terjadinya
71
abortus, disebabkan karena selain paritas ada faktor – faktor lain yang
menyebabkan terjadinya abortus yaitu karena jarak kehamilan yang terlalu
dekat yaitu kurang dari 24 bulan merupakan jarak kehamilan yang berisiko
tinggi sewaktu melahirkan (Tukiran, 2008).
Jarak kehamilan terlalu dekat menyebabkan ibu punya waktu yang
terlalu singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya. Setelah rahim kembali
ke kondisi semula, barulah merencanakan punya anak lagi (Ros, 2003).
Hal ini juga dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di
Rumah Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan
dari berbagai Puskesmas dan BPS serta kebanyakan terdapat pasien –
pasien yang beresiko atau bermasalah ( patologis ) karena berbagai faktor
yang harus mendapatkan penanganan di Rumah Sakit. Dan karena
jumlah populasi dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang sedikit
dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan
( d ) sebesar 0,1.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Yuni Hardani
pada tahun 2009 bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
paritas dengan kejadian abortus.
Jadi semua ibu hamil baik yang memiliki anak > 3 maupun yang
memiliki anak ≤ 3 beresiko mengalami abortus.
72
4.2.8 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kejadian Abortus
Berdasarkan tabel 4.8 hasil penelitian didapatkan data bahwa ibu
hamil yang mengalami abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil
yang berpendidikan tinggi ( ≥ SLTA ) yaitu sebanyak 55,3 % dibandingkan
dengan ibu hamil yang mengalami abortus yang berpendidikan rendah ( <
SLTA ) ( 45,1 % ).
Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05
didapatkan nilai p sebesar 0,343 dimana p > α yang berarti bahwa secara
statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan
dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo
Rangkasbitung 2011.
Menurut Sanitiyasa ( 2004 ) tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu
erat kaitannya dengan tingkat pengertian terhadap perawatan kesehatan,
higiene, dan perlunya pemeriksaan kehamilan.
Dari hasil penelitian ternyata tidak terdapat hubungan antara
pendidikan dengan kejadian abortus. Hal tersebut tidak sesuai dengan
teori Maas ( 2004 ) yang menyatakan bahwa rendahnya tingkat
pendidikan dan kurangnya informasi yang menyebabkan masih
banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan
kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor risiko tinggi
yang mungkin dialami oleh mereka. Risiko ini baru diketahui pada saat
persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat sehingga
dapat membawa akibat fatal.
73
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ruang Bersalin RSUD dr.
Adjidarmo tahun 2011, bahwa pendidikan tidak mempengaruhi terjadinya
abortus, disebabkan karena selain pendidikan ada faktor – faktor lain yang
menyebabkan terjadinya abortus yaitu riwayat kehamilan lalu atau riwayat
obstetrik.
Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi
pada seorang wanita ialah 73% dan 83,6%. Sedangkan, Warton dan
Fraser dan Llewellyn - Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu
25,9% dan 39% (Wiknjosastro, 2007).
Seorang wanita yang 3 kali berturut-turut mengalami keguguran
pada trimester pertama, memiliki risiko sebesar 35% untuk mengalami
keguguran lagi. keguguran juga lebih mungkin terjadi pada wanita yang
pernah melahirkan bayi yang sudah meninggal pada usia kehamilan 4-8
minggu atau pernah melahirkan bayi prematur (Medikastore, 2008).
Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan
berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil
kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, abortus berulang
dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Ningrum dkk, 2004).
Riwayat abortus pada penderita abortus nampaknya juga merupakan
predisposisi terjadinya abortus berulang. Kejadiannya sekitar 3 – 5 %.
Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus
spontan, pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi,
74
sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa
studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan
adalah 30 – 45% (Prawirohardjo, 2009).
Hal ini juga dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di
Rumah Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan
dari berbagai Puskesmas dan BPS serta kebanyakan terdapat pasien –
pasien yang beresiko atau bermasalah ( patologis ) karena berbagai faktor
yang harus mendapatkan penanganan di Rumah Sakit. Dan karena
jumlah populasi dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang sedikit
dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan
( d ) sebesar 0,1.
Jadi semua ibu hamil baik yang berpendidikan rendah ( < SLTA )
maupun yang berpendidikan tinggi ( ≥ SLTA ) beresiko mengalami
abortus.
4.2.9 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Abortus
Pada tabel 4.8 menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami
abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil yang tidak bekerja yaitu
sebanyak 54,8 % dibandingkan dengan ibu hamil yang mengalami abortus
yang bekerja ( PNS, non PNS ) ( 37,0 % ).
Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05
didapatkan nilai p sebesar 0,123 dimana p > α yang berarti bahwa secara
statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan
75
kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung
2011.
Menurut Pratiwi ( 2004 ) wanita hamil yang sehat mempunyai
kesempatan memiliki bayi yang lebih sehat. Wanita yang beban
pekerjaannya berat cukup rentan terkena gangguan kesehatan, jika tidak
melakukan upaya pencegahan.
Dari hasil penelitian ternyata tidak terdapat hubungan antara
pekerjaan dengan kejadian abortus. Hal tersebut tidak sesuai dengan
teori menurut Ahmad ( 2012 ) yaitu wanita hamil yang bekerja di lahan
pertanian dan kerap terpajan pestisida secara langsung, ternyata berisiko
lebih tinggi mengalami abortus spontan. Selain itu, kebiasaan suami
merokok dan beban kerja wanita yang berat meningkatkan risiko
terjadinya abortus. Menurut data BPS tahun 2007, diperkirakan 13 juta
perempuan bekerja di sektor pertanian. Terkait pajanan pestisida,
penelitian di Finlandia melaporkan pula bahwa wanita yang mengalami
abortus spontan, 30 % lebih besar kemungkinannya bahwa mereka
bekerja di sektor pertanian.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ruang Bersalin RSUD dr.
Adjidarmo tahun 2011, bahwa pekerjaan tidak mempengaruhi terjadinya
abortus, disebabkan karena selain pekerjaan ada faktor – faktor lain yang
menyebabkan terjadinya abortus yaitu anemia.
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi.
Wanita memerlukan zat besi lebih tinggi dari laki laki karena terjadi
76
menstruasi dengan perdarahan sebanyak 50 sampai 80 cc setiap bulan
dan kehilangan zat besi sebesar 30 sampai 40 miligram. Disamping itu
kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel
darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan plasenta.
Semakin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan
akan makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin anemis.
Pengaruh anemia pada masa kehamilan terutama pada janin dapat
mengurangi kemampuan metabolisme tubuh ibu sehingga mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim, akibatnya dapat
terjadi abortus, kematian intrauterine, persalinan prematur, berat badan
lahir rendah, kelahiran dengan anemia, terjadi cacat bawaan, bayi mudah
mendapat infeksi dan intelegensi rendah (Manuaba, 2010).
Hal ini juga dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di
Rumah Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan
dari berbagai Puskesmas dan BPS serta kebanyakan terdapat pasien –
pasien yang beresiko atau bermasalah ( patologis ) karena berbagai faktor
yang harus mendapatkan penanganan di Rumah Sakit. Dan karena
jumlah populasi dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang sedikit
dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan
( d ) sebesar 0,1.
Jadi semua ibu hamil baik yang bekerja maupun yang tidak bekerja
beresiko mengalami abortus.
77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasrkan hasil penelitian mengenai Hubungan Karakteristik Ibu
Dengan Kejadian Abortus Di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo
Rangkasbitung Tahun 2011. Maka peneliti menarik kesimpulan dan saran
berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :
5.1 Kesimpulan
1. Hampir separuhnya ibu hamil di Ruang Bersalin RSUD dr.
Adjidarmo Rangkasbitung mengalami abortus.
2. Ibu hamil yang berumur < 20 atau > 35 tahun proporsinya tidak
jauh berbeda dengan ibu hamil yang berumur 20 – 35 tahun.
3. Lebih dari separuhnya ibu hamil memiliki anak > 3.
4. Pada umumnya ibu hamil berpendidikan rendah ( < SLTA ).
5. Sebagian besar ibu hamil tidak bekerja.
6. Tidak terdapat hubungan antara umur, paritas, pendidikan dan
pekerjaan ibu dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD
dr. Adjidarmo Rangkasbitung.
77
78
5.2 Saran
Berdasrkan hasil penelitian mengenai Hubungan Karakteristik Ibu
Dengan Kejadian Abortus Di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo
Rangkasbitung Tahun 2011. Beberapa saran yang dapat dijadikan
pertimbangan yaitu :
5.2.1 Bagi RSUD dr. Adjidarmo
Diharapkan untuk perlu melengkapi sarana atau fasilitas kesehatan,
dan bagi para tenaga kesehatannya agar lebih tanggap dalam
mendeteksi mengenai kasus – kasus abortus serta memberikan
penyuluhan kepada ibu hamil, bahwa semua ibu hamil beresiko
terhadap kejadian abortus. Sehingga setiap ibu hamil harus
mewaspadai tanda bahaya yang terjadi pada dirinya.
5.2.2 Bagi Mahasiswa atau Peneliti Lain
Diharapkan kepada mahasiswa dengan adanya hasil penelitian ini
bisa bermanfaat dan sebagai kaca perbandingan bagi peneliti –
peneliti yang lain supaya menjadi lebih baik. Dan diharapkan bagi
peneliti lain untuk melakukan penelitian berdasarkan variabel yang
lain seperti faktor genetik, status gizi, sosial ekonomi, riwayat
obstetric, dan lain – lain.
top related