isi referat spondilitis
Post on 26-Jul-2015
156 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Spondilitis (spondylitis) mengacu pada rasa sakit punggung kronis dan kekakuan yang
disebabkan oleh infeksi parah atau peradangan pada sendi tulang belakang. Peradangan pada
tulang belakang dapat disebabkan oleh infeksi atau peradangan kronik pada jaringan di
sekitar tulang belakang seperti pada ankylosis spondilitis. Ankylosis spondilitis menyerang
bagian dari insersi tendon, ligamen, fascia dan jaringan fibrosa kapsul sendi. Ankylosis spondilitis
dianggap sebagai penyakit rematik yang relatif jarang terjadi. Sedangkan infeksi pada tulang
belakang yang sering di temukan adalah infeksi bakterial TB.
Tuberkulosis merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang karena
insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang serius. Mycobacterium tuberculosis
merupakan bakteri yang menyebabkan spondilisis tuberkulosa. Insidensi spondilitis
tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas
pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut.
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi.
Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20
tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua.
1
BAB II
ANATOMI TULANG BELAKANG [1,2]
Tulang belakang (vertebra) terdari dari 33 tulang: 7 buah tulang cervical, 12 buah
tulang thoracal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral dan 4 tulang coccygeus. Tulang
cervical, thoracal dan lumbal membentuk columna vertebralis, sedangkan tulang sacral dan
coccygeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sacrum dan
coccygeus. Discus intervertebralis merupakan penghubung antara dua corpus vertebra.
Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan
memungkinkan mobilitas vertebra.
Fungsi columna vertebralis adalah menopang tubuh manusia dalam posisi tegak, yang
secara mekanik sebenarnya melawan pengaruh gaya gravitasi agar tubuh secara seimbang
tetap tegak.
Vertebra cervical, thoracal, lumbal bila diperhatikan satu dengan yang lainnya ada
perbedaan dalam ukuran dan bentuk, tetapi bila ditinjau lebih lanjut tulang tersebut
2
mempunyai bentuk yang sama. Corpus vertebra merupakan struktur yang terbesar karena
mengingat fungsinya sebagai penyangga berat badan.
Prosesus transversus terletak pada ke dua sisi corpus vertebra, merupakan tempat
melekatnya otot-otot punggung. Sedikit ke arah atas dan bawah dari prosesus transversus
terdapat fasies artikularis vertebra dengan vertebra yang lainnya. Arah permukaan facet join
mencegah/membatasi gerakan yang berlawanan arah dengan permukaan facet join.
Pada daerah lumbal facet terletak pada bidang vertical sagital memungkinkan gerakan
fleksi dan ekstensi ke arah anterior dan posterior. Pada sikap lordosis lumbalis (hiperekstensi
lubal) kedua facet saling mendekat sehingga gerakan kelateral, obique dan berputar
terhambat, tetapi pada posisi sedikit fleksi kedepan (lordosis dikurangi) kedua facet saling
menjauh sehingga memungkinkan gerakan ke lateral berputar.
Bagian lain dari vertebrae, adalah “lamina” dan “predikel” yang membentuk arkus
tulang vertebra, yang berfungsi melindungi foramen spinalis. Prosesus spinosus merupakan
bagian posterior dan vertebra yang bila diraba terasa sebagai tonjolan, berfungsi tempat
melekatnya otot-otot punggung. Diantara dua buah tulang vertebra terdapat discus
intervertebralis yang berfungsi sebagai bentalan atau “shock absorbers” bila vertebra
bergerak.
3
Discus intervertebralis terdiri dari annulus fibrosus yaitu masa fibroelastik yang
membungkus nucleus pulposus, suatu cairan gel kolloid yang mengandung
mukopolisakarida. Fungsi mekanik discus intervertebralis mirip dengan balon yang diisi air
yang diletakkan diantara ke dua telapak tangan . Bila suatu tekanan kompresi yang merata
bekerja pada vertebrae maka tekanan itu akan disalurkan secara merata ke seluruh diskus
intervertebralis. Bila suatu gaya bekerja pada satu sisi yang lain, nucleus polposus akan
melawan gaya tersebut secara lebih dominan pada sudut sisi lain yang berlawanan. Keadaan
ini terjadi pada berbagai macam gerakan vertebra seperti fleksi, ekstensi, laterofleksi.
Karena proses penuaan pada discus intervebralis, maka kadar cairan dan elastisitas
discus akan menurun. Keadaan ini mengakibatkan ruang discus intervebralis makin
menyempit, “facet join” makin merapat, kemampuan kerja discus menjadi makin buruk,
annulus menjadi lebih rapuh.
4
Akibat proses penuaan ini mengakibatkan seorang individu menjadi rentan mengidap
nyeri punggung bawah. Gaya yang bekerja pada discus intervebralis akan makin bertambah
setiap individu tersebut melakukan gerakan membungkuk, gerakan yang berulang-ulang
setiap hari yang hanya bekerja pada satu sisi discus intervebralis, akan menimbulkan robekan
kecil pada annulus fibrosus, tanpa rasa nyeri dan tanpa gejala prodromal. Keadaan demikian
merupakan “locus minoris resistensi” atau titik lemah untuk terjadinya HNP (Hernia Nukleus
Pulposus). Sebagai contoh, dengan gerakan yang sederhana seperti membungkuk memungut
surat kabar di lantai dapat menimbulkan herniasi discus. Ligamentum spinalis berjalan
longitudinal sepanjang tulang vertebra. Ligamentum ini berfungsi membatasi gerak pada arah
tertentu dan mencegah robekan.
Diskus intervebralis dikelilingi oleh ligamentum anterior dan ligamentum posterior.
Ligamentum longitudinal anterior berjalan di bagian anterior corpus vertebrae, besar dan
kuat, berfungsi sebagai alat pelengkap penguat antara vertebrae yang satu dengan yang
lainnya. ligamentum longitudinal posterior berjalan di bagian posterior corpus vertebrae,
yang juga turut membentuk permukaan anterior canalis spinalis. Ligamentum tersebut
melekat sepanjang columna vertebralis, sampai di daerah lumbal yaitu setinggi L 1, secara
progresif mengecil, maka ketika mencapai L 5 – sacrum ligamentum tersebut tinggal
sebagian lebarnya, yang secara fungsional potensiil mengalami kerusakan. Ligamentum yang
mengecil ini secara fisiologis merupakan titik lemah dimana gaya statistik bekerja dan
dimana gerakan spinal yang terbesar terjadi, disitulah mudah terjadi cidera kinetik.
5
Otot punggung bawah dikelompokkan sesuai dengan fungsi gerakannya. Otot yang
berfungsi mempertahankan posisi tubuh tetap tegak dan secara aktif mengekstensikan
vertebrae lumbalis adalah : M. quadratus lumborum, M. sacrospinalis, M. intertransversarii
dan M. interspinalis. Otot fleksor lumbalis adalah muskulus abdominalis mencakup : M.
obliqus eksternus abdominis, M. internus abdominis, M. transversalis abdominis dan M.
rectus abdominis, M. psoas mayor dan M. psoas minor. Otot latero fleksi lumbalis adalah M.
quadratus lumborum, M. psoas mayor dan minor, kelompok M. abdominis dan M.
intertransversarii. Jadi dengan melihat fungsi otot di atas otot punggung di bawah berfungsi
menggerakkan punggung bawah dan membantu mempertahankan posisi tubuh berdiri.
Medulla spinalis dilindungi oleh vertebrae. Radix saraf keluar melalui canalis spinalis,
menyilang discus intervertebralis di atas foramen intervertebralis.
Ketika keluar dari foramen intervertebralis saraf tersebut bercabang dua yaitu ramus
anterior dan ramus posterior dan salah satu cabang saraf tersebut mempersarafi “face t”.
Akibat berdekatnya struktur tulang vertebrae dengan radix saraf cenderung rentan terjadinya
gesekan dan jebakan radix saraf tersebut. Semua ligamen, otot, tulang dan facet join adalah
struktur tubuh yang sensitive terhadap rangsangan nyeri, karena struktur persarafan sensoris.
6
7
Kecuali ligament flavum, discus intervertebralis dan Ligamentum interspinosum ;
karena tidak dirawat oleh saraf sensoris. Dengan demikian semua proses yang mengenai
struktur tersebut di atas seperti tekanan dan tarikan dapat menimbulkan keluahan nyeri.
Nyeri punggung bawah sering berasal dari ligamentum longitudinalis anterior atau posterior
yang mengalami iritasi. Nyeri artikuler pada punggung bawah berasal dari facies artikularis
vertebrae beserta kapsul persendiannya yang sangat peka terhadap nyeri. Nyeri yang berasal
dari otot dapat terjadi oleh karena : aktivitas motor neuron, ischemia muscular dan
peregangan miofasial pada waktu otot berkontraksi kuat.
Tulang belakang mempunyai tiga lengkungan fisiologis yaitu lordosis servikalis,
kyphosis thorakalis dan lordosis lumbalis. Bila dilihat dari samping dalam posisi tegak ketiga
lengkungan fisiologis ini disebut posture atau sikap. Posture yang baik adalah posture tidak
memerlukan tenaga, tidak melelahkan, tidak menimbulkan nyeri, yang dapat dipertahankan
untuk jangka waktu tertentu dan secara estetis memberikan penampilan yang dapat diterima.
Disini terjadi keseimbangan antara kerja ligamen dan torus minimal otot.
Secara keseluruhan posture dipengaruhi oleh keadaan anatomi, suku bangsa, latar
belakang kebudayaan, lingkungan pekerjaan, sex dan keadaan psikis seseorang. Sudut
lumbosakral adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan os. sakrum dengan garis horizontal.
Normal besar sudut lumbosakral (sudut Ferguson) 30 derajat. Rotasi pelvis ke atas
memperkecil sudut lumbosakral sedangkan rotasi pelvis ke bawah memperbesar sudut
lumbosakralis.
Bila seseorang membungkuk untuk mencoba menyentuh lantai dengan jari tangan
tanpa fleksi lutut, selain fleksi dari lumbal harus dibantu dengan rotasi dari pelvis dan sendi
cocsae. Perbandingan antara rotasi pelvis dan fleksi lumbal disebut ritme lumbal-pelvis.
Secara singkat punggung bawah merupakan suatu struktur yang kompleks; dimana tulang
vertebrae, discus intervertebralis, ligamen dan otot akan akan bekerjasama membuat manusia
tegak, memungkinkan terjadinya gerakan dan stabilitas. Vertebrae lumbalis berfungsi
menahan tekanan gaya static dan gaya kinetik (dinamik) yang sangat besar maka dari itu
cenderung terkena ruda paksa dan cedera.
8
BAB III
SPONDILITIS TUBERKULOSA
3.1 DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s
disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang
banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap
tahunnya dikarenakan penyakit ini. [3]
Spondilitis tuberkulosa merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah
dengan ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru. Sir Percival Pott
(1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang klasik. Tuberkulosis
merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang karena insidensnya cukup tinggi
dengan morbiditas yang serius. Indonesia adalah kontributor pasien tuberkulosis nomor 5 di
dunia. Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun, sebagian besar
berada dalarn usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan
yang rendah.
Spondilitis tuberkulosa merupakan fokus sekunder dari infeksi tuberkulosis dengan
penyebaran sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri epifiseal atau
melalui plexus vena Batson. Telah ditemukan spondilitis tuberkulosa setelah instilasi BCG
(Bacillus Calmelle Guerin) intravesical pada karsirnoma buli-buli. Juga telah dilaporkan
kasus osteomyelitis tuberkulosa sebagai komplikasi dari vaksinasi BCG . Fokus primer
infeksi cenderung berbeda pada kelompok umur yang berbeda. Banerjee melaporkan pada
499 pasien dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis memperlihatkan 31% fokus primer
adalah paru-paru dan dan kelompok tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya
memperlihatkan foto rantgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa.
Pada usia dewasa, discus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten terhadap
infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari corpus vertebra. Pada anak-anak karena
discus intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer.
Penyempitan discus intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi discus
sehingga discus mengalami herniasi ke dalam corpus vertebra yang telah rusak. Kompresi
struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses ekstrinsik maupun intrinsik. Proses
9
ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan oleh akumulasi cairan akibat edema, abses kaseosa,
jaringan granulasi, sequester tulang atau diskus. [3,4,5]
3.2 INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta
kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber
morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama
di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah
utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami
penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. [4,5]
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi.
Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20
tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua.
Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih
sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Umumnya penyakit ini menyerang orang-
orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah. [4]
Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering
terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul,
lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena.
Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas
merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan
dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. [5,6]
3.3 ETIOLOGI [3,4]
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tipik (2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh Mycobacterium tuberculosa atipik.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid
fastnon-motile atau disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Dipergunakan teknik
Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-
enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik
Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies
lain. Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
10
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.
3.4 PATOLOGI [3,5,7,8]
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari
fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya,
fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering
adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan
suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra
diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang
mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal
inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan
terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau
lebih vertebra.
Walaupun semua vertebrae dari columna vertebralis dapat diserang namun yang
terbanyak menyerang bagian thorax. Vertebra lumbalis juga dapat terserang dan akhirnya
vertebra cervicalis pun tidak terlepas dari serangan ini. focus yang pertama dapat terletak
pada centrum corpus vertebrae atau pada metaphyse, bisa juga pertama kali bersifat
subperiosteal. Penyakit ini juga dapat menjalar, sehingga akhirnya corpus vertebrae tidak lagi
kuat untuk menahan berat badan dan seakan-akan hancur sehingga dengan demikian columna
11
vertebralis membengkok. Kalau hal ini terjadi pada bagian thorax, maka akan terdapat
pembengkokan hyperkyphose yang kita kenal sebagai gibbus. Sementara itu proses dapat
menimbulkan gejala-gejala lain, diantaranya dapat terkumpulnya nanah yang semakin lama
semakin banyak, nanah ini dapat menjalar menuju ke beberapa tempat diantaranya dapat
berupa :
1. Suatu abscess paravertebrae, abscess terlihat dengan bentuk spoel di kiri-kanan columna
vertebralis.
2. Abscess dapat pula menembus ke belakang dan berada di bawah fasia dan kulit di sebelah
belakang dan di luar columna vertebralis merupakan suatu abscess akan tetapi tidak panas.
Umumnya abscess ini dinamakan abscess dingin. Abscess dingin artinya abscess tuberculose.
3. Dapat pula abscess menjalar mengelilingi tulang rusuk, sehingga merupakan senkung’s
abscess yang terlihat di bagian dada penderita.
4. Abscess juga dapat menerobos ke pleura sehingga menimbulkan empyme.
5. Pada leher dapat juga terjadi abscess yang terletak dalam pharynx sehingga merupakan
retropharyngeal abscess.
6. Dapat pula abscess terlihat sebagai supraclavicular abscess.
7. Pada lumbar spine abscess dapat turun melalui musculus iliopsoas yang kemudian menurun
sampai terjadi abscess besar yang terletak di bagian dalam dari paha.
Semua abses tersebut di atas dapat menembus kulit dan menyebabkan timbulnya fistel
yang bertahun-tahun. Kecuali abses-abses tersebut di atas, tuberculose pada vertebrae dapat
pula memberikan komplikasi, ialah paraplegia, umumnya disebut Pott’s Paraplegia.
Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada Medulla Spinalis. Adapun
pathogenesis dari proses ini dapat dijelaskan sebagai berikut : tekanan dapat berasal dari
proses yang terletak di dalam canalis spinalis. Jika di dalam canalis spinalis ada proses
tuberculose yang terletak pada corpus bagian belakang yang merupakan dasar dari canalis
spinalis, maka proses tadi menimbulkan pengumpulan nanah/jaringan granulasi langsung
menekan medulla spinalis. Dalam hal ini meskipun nanah hanya sedikit, akan tetapi cukup
untuk memberikan tekanan yang hebat pada Medulla Spinalis. (2,4)
12
Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia menjadi:
(1) Early onset paresis
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit
(2) Late onset paresis
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit
Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi
tiga tipe:
(1) Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan
dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).
(2) Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen
bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.
Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh karena :
(a) Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater
Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses,
material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau
dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan
alat gerak bawah dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya
spasme otot involunter dan reflek withdrawal.
(b) Invasi duramater oleh tuberkulosa
Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa.
Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot
13
involunter dan reflek withdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai
dengan luasnya kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi
inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan paraplegia.
(3) Type III / yang berjalan kronis
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat
membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis
meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis,
peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler
(trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis).
Klasifikasi untuk penyebab Pott’s paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh Hodgson
menjadi:
I. Penyebab ekstrinsik :
(1) Pada penyakit yang aktif
a. abses (cairan atau perkijuan)
b. jaringan granulasi
c. sekuester tulang dan diskus
d. subluksasi patologis
e. dislokasi vertebra
(2) Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan
a. transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis
b. fibrosis duramater
II. Penyebab intrinsik :
Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan meningen dan
corda spinalis.
III. Penyebab yang jarang :
(1) Trombosis corda spinalis yang infektif
(2) Spinal tumor syndrome
Dapat pula proses tuberculosa menghancurkan corpus sehingga canalis spinalis
membengkok dan menekan pada tulang dindingnya. Tekanan tadi menyebabkan paraplegia.
Kemungkinan lain ialah terdapat sequestra dan pus di sekeliling canalis spinalis tadi yang
juga menekan pada medulla spinalis. Dengan demikian banyak sebab-sebab yang dapat
menekan medulla spinalis dengan keras sehingga menimbulkan gejala paraplegia. Secara
klinis paraplegia dapat dibagi menjadi early onset, ialah jika paraplegia segera timbul sebagai
14
kelanjutan dari proses spondylitis tuberculose. Type kedua adalah paraplegia late onset,
paraplegia ini terjadi setelah penyakit spondylitis sifatnya tenang untuk beberapa waktu
lamanya kemudian timbul gejala-gejala paraplegia secara perlahan-lahan.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:
(1) Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang
dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di
regio lumbal.
(2) Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga
menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat
spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
(3) Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian
anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya
pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum
longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
(4) Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan
lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang
(tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler
yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen
posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Lesi Spondilitis tuberkulosa berawal suatu tuberkel kecil yang berkembang lambat,
bersifat osteolisis lokal, awalnya pada tulang subkhondral di bagian superior atau inferior
anterior dari corpus vertebra. Proses infeksi Myocobacterium tuberkulosis akan
mengaktifkan chaperonin 10 yang merupakan stimulator poten dari proses resorpsi tulang
sehingga akan terjadi destruksi korpus vertebra dianterior. Proses perkijuan yang terjadi
akan menghalangi proses pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen tulang
15
yang terinfeksi relatif avaskular sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Destruksi
progresif di anterior akan mengakibatkan kolapsnya corpus vertebra yang terinfeksi dan
terbentuklah kifosis ( angulasi posterior ) tulang belakang. Proses terjadinya kifosis dapat
terus berlangsung walaupun telah terjadi resolusi dari proses infeksi. Kifosis yang progresif
dapat mengakibatkan problem respirasi dan paraplegi.
Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan
menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest.
Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra dan membentuk abses paravertebral.
Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran hematogen dan penyebaran langsung dibawah
ligamentum longitudinal anterior. Apabila telah terbentuk abses paravertebral, lesi dapat
turun mengikuti alur fascia muskulus psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis.
Pada usia dewasa , discus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten terhadap
infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari corpus vertebra. Pada anak–anak karena
discus intervertebralis masih bersifat avaskular, infeksi discus dapat terjadi primer. Gejala
utama adalah nyeri tulang belakang, nyeri biasanya bersifat kronis dapat lokal maupun
radikular. Pasien dengan keterlibatan vertebra segmen cervical dan thorakal cenderung
menderita defisit neurologis yang lebih akut sedangkan keterlibatan lumbal biasanya
bermanifestasi sebagai nyeri radikular. Selain nyeri terdapat gejala sistemik berupa demam,
malaise, keringat malam, peningkatan suhu tubuh pada sore hari dan penurunan berat
badan. Tulang belakang terasa nyeri dan kaku pada pergerakan.
3.5 PATOFISIOLOGI [3,4,5]
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada
saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia.
Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal
dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus
tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh
sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit
ini paling sering menyerang corpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari
satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial corpus
vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan corpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis
dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan corpus ini akan menyebabkan
terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung
16
menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra
di dekatnya.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis
serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan
mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan
berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah cervical,
eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang
muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol
ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum
mengisi tempat trakea, esophagus, atau cavum pleura. Abses pada vertebra thoracalis
biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral,
berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla
spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk
mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial
paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti
pembuluh darah femoralis pada trigonum scarpei atau regio glutea.
Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah
vertebra thoracalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering pada
vertebra thoracalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan
nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis 10 sedang yang non
paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk
yang mempengaruhi medulla spinalis segmen thoracal paling sering terdapat pada vertebra
thoracal 8-lumbal 1 sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia.
Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan
canalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra
thoracalis 10, sedang canalis vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra
lumbalis 1, canalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang
gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa
paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra thoracal 10.
Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu :
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak
17
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :
1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada
anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal, Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi
corpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung
selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps
vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses
dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk sequestrum serta kerusakan discus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk
tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan corpus
vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya
kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.
Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa.
Vertebra thoracalis mempunyai canalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis,
maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat
terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari
abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya
granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh
karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan
18
fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi
secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler
vertebra.
5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah
timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena
kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.
3.6 GAMBARAN KLINIS [3,5,8,9]
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor(7). Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan
hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi
tuberkulosa.
Gambaran Spondilitis Tuberkulosa antara lain : :
- Badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun,
- Suhu subfebril terutama pada malam hari serta sakit pada punggung, Pada anak-anak
sering disertai dengan menangis pada malam hari.
- Pada awal dapat dijumpai nyeri intercostal yaitu nyeri yang menjalar dari tulang
belakang ke garis tengah keatas dada melalui ruang intercosta, hal ini karena
tertekannya radiks dorsalis ditingkat thoracal
- Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal.
Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus karena proses destruksi lanjut berupa :
- Paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf, akibat penekanan medulla spinalis
yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri,
- Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai bersifat UMN dan adanya batas deficit
sensorik setinggi tempat gibus/lokalisasi nyeri interkostal
Pemeriksaan fisik
- Adanya gibus dan nyeri setempat
- Spastisitas
- Hiperreflesia tendon lutut/Achilles dan reflex patologik pada kedua belah sisi
- Batas deficit sensorik akibat mielitis transversa dan gangguan miksi jarang dijumpai
Spondylitis corpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk :
1. Pada bentuk sentral.
Detruksi awal terletak di sentral corpus vertebra, bentuk ini sering ditemukan pada anak.
19
2. Bentuk paradikus.
Terletak di bagian corpus vertebra yang bersebelahan dengan discus intervertebral, bentuk ini
sering ditemukan pada orang dewasa.
3. Bentuk anterior.
Dengan lokus awal di corpus vertebra bagian anterior, merupakan penjalaran per
kontinuitatum dari vertebra di atasnya.
3.7 DIAGNOSIS [5,7,8,9,10,11]
Anamnesa dan inspeksi :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam
yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia. Pada
pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah.
Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan
kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan
berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri
dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di
subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi
yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau nyeri
yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada
dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar
ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi
nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek,
karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh
satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat
asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin
mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak
pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan
mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan
adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan
20
menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi atlantoaksial karena
tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary
di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya
serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik
ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil
sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya
tetap kaku (coin test) Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau
kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada.
Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis
dan menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di
atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis
dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut
dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan
tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi
sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang)
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada
kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan
pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas
dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik
dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung
kemih dan anorektal.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut seperti
pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi
mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.
Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa
sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba
panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher
(di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di
sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif
dan kuantitas pus dalam cold abscess.
21
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
Perkusi :
1. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae yang
terkena, sering tampak tenderness.
Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun
yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika
tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ³ 10mm di sekitar tempat suntikan
48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus (Tandon and
Pathak1973; Kocen 1977) dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien
yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai
penyakit lain)
1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum
dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)
1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif.
1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins,
typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat
kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi
Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.
Cairan serebrospinal akan tampak:
Xantokrom
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya
bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik.
Kandungan protein meningkat.
Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat
mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
22
Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal akan
menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap
kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering
diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini
(Wadia 1973). Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok
spinal dapat mencapai 1-4g/100ml.
Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang
absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.
2. Radiologis : [5,7,12]
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
o Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
o Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8
minggu onset penyakit.
o Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
o Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior
corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak
penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae
anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area
subligamentous
o Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau
prosesus spinosus.
o Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita
scoliosis (jarang)
o Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang
sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari
lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap
tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi
karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga
vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa
dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena
penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.
23
o Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.
Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi.
Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami
peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi
(evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu
indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).
Figure: Tuberculous spondylitis. Lateral
radiograph demonstrates obliteration of the disk
space (straight arrow) with destruction of the
adjacent end plates (curved arrow) and anterior
wedging
Figure. Subligamentous spread of spinal
tuberculosis. Lateral radiograph demonstrates
erosion of the anterior margin of the vertebral body
(arrow) caused by an adjacent soft-tissue abscess.
3. Computed Tomography – Scan (CT)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak
lebih baik dengan CT Scan.
Figure. Tuberculous spondylitis. Axial CT scan
demonstrates lytic destruction of the vertebral body
(black arrow) with an adjoining soft-tissue abscess
(white arrow).
24
Figure. Calcified psoas abscess. Axial CT scan
demonstrates bilateral tuberculous psoas abscesses
with peripheral calcification (arrows).
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif
dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk :
o Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau
operatif.
o Membantu menilai respon terapi. Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen
tulang kecil dan kalsifikasi di abses.
Figure. Tuberculous spondylitis. Sagittal T2-
weighted MR image demonstrates areas of
increased signal intensity due to edema in
vertebral bodies. Accompanying disk
narrowing (white arrow) and extension of the
disease into the spinal canal (black arrow) are
also seen.
5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal
Mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan
pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada
50% kasus).
6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus
Paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa
dan granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.
Diagnose dari penyakit ini dapat kita ambil melalui bebertapa tanda khas dibawah ini,
Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejalanya dapat berupa :
o Nyeri punggung yang terlokalisir
o Bengkak pada daerah paravertebral
o Tanda dan gejala sistemik dari TB
o Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia
25
Pemeriksaan Laboratorium
o Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat
digunakan untuk uji tapis. Al-marri melaporkan 144 anak dengan spondilitis
tuberkulosis didapatkan 33 % anak dengan laju endap darah yang normal.
o Uji Mantoux positif
o Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin
ditemukan mikobakterium
o Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
o Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
o Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat menembus
masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan
cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade
sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein likuor
serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.
o Peningkatan CRP ( C-Reaktif Protein ) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis
tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses.
o Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
o Pemeriksaan dengan ELISA ( Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay )
dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80% , tetapi pemeriksaan ini
menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan
endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi
kasus tuberkulosis aktif.
o Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction ( PCR ) masih terus
dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman
tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA , amplifikasi
menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat
diidentifikasi dengan gel.
Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil
permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter spesimen.
Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang
diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4
minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC ( Becton Dickinson
Diagnostic Instrument System ), Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10
hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga
26
alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana
membuang sisa-sisa radioaktifnya.
Pemeriksaan Radiologis:
o Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat
diperlukan untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
o Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus
vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara
korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses
paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk
sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah
lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi
vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.
o Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut
mungkin terdapat suatu kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka
mudah sekali pada tempat tersebut suatu fraktur patologis. Dengan demikian
terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra itu
adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi
berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu.
o “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak
teratur.
o Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
o Abses dingin.
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk
kumparan (“Spindle”). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan
paling jarang pada vertebra C1-2.
Pemeriksaan CT scan
o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra
(panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih).
Pemeriksaan MRI
27
o Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang.
o Menunjukkan adanya penekanan saraf.
Dilaporkan 25 % dari pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada
CT-Scan dan MRI yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT-
Scan efektif mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT-Scan dapat
digunakan untuk memandu prosedur biopsi.
3.8 PENATALAKSANAAN [4,5,13,14]
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi ,
memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki kifosis.
Kriteria kesembuhan sebagian besar ditekankan pada tercapainya favourable status yang
didefenisikan sebagai pasien dapat beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau
tindakan bedah lanjutan, tidak adanya keterlibatan system saraf pusat , focus infeksi yang
tenang secara klinis maupun secara radiologis.
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Pengobatan terdiri atas :
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :
Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap ;
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1.500
mg. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten)
selama 4 bulan (54 kali).
28
Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk
penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
o Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari ,
Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama
3 bulan (90 kali).
o Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg.
Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis
berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan
adanya union pada vertebra.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
Isoniazid (INH)
o Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
o Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
o Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
o Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
o Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien
berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara
relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).
o Relatif aman untuk kehamilan
o Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
Rifampin (RMP)
o Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari
basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
o Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah
(seperti pada nekrosis perkijuan).
o Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam
bentuk sediaan oral dan intravena.
o Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal. Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada
29
traktus gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose
dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi
dengan INH.
o Relatif aman untuk kehamilan
o Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.
Pyrazinamide (PZA)
o Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang
bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam
lesi perkijuan.
o Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
o Efek samping :
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang
dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan
dalam jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak.
Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
o Dosis : 15-30mg/kg/hari
Ethambutol (EMB)
o Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
o Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
o Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta
warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.
o Relatif aman untuk kehamilan
o Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
o Dosis : 15-25 mg/kg/hari
Streptomycin (STM)
o Bersifat bakterisidal
o Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga
dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
o Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
o Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo
(terutama sering mengenai pasien lanjut usia)
30
o Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
o Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari
2. Terapi operatif
Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian
korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa/kortiko – spongiosa.
Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi
(Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi:
a. Indikasi absolut
Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila
timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi
kelemahan motorik.
Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi
konservatif
Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah diberi
terapi konservatif
Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring
dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko
adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.
Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar
yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga
disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya
sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6
bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)
b. Indikasi relatif
Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena kemungkinan
pengaruh buruk dari immobilisasi
Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau
kompresi syaraf
Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
c. Indikasi yang jarang
Posterior spinal disease
31
Spinal tumor syndrome
Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina
Abses Dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi
resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase
bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat, Kifosis mempunyai
tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi
posterior atau melalui operasi radikal.
3.9 DIAGNOSIS BANDING [3,5]
1. Osteitis Piogen : khasnya demam lebih cepat timbul
2. Poliomielitis : paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis
3. Skoliosis idiopatik : tanpa gimus dan tanda paralisis
4. Penyakit paru dengan bekas empiema : tulang belakang bebas penyakit
5. Metastasis tulang belakang : tidak mengenai diskus, adanya karsinoma prostat
6. Kifosis senilis : kifosis tidak local, osteoporosis seluruh kerangka
3.10 KOMPLIKASI [3,5]
32
Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus
intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :
menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu
membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam
pleura.
3.11 PROGNOSIS [5]
Prognosa dari penyakit ini bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada
tidaknya komplikasi neurologic, unutk paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan
sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosisnya biasanya
kurang baik. Bila paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa proggnosisnya ad
functionam juga buruk.
33
BAB IV
KESIMPULAN
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosisdi sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium tuberculosa yang
mengenai tulang vertebra.
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mycobacterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mycobacterium tuberkulosa atipik. Kuman ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh
karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala
tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan
menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada
punggung.
Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulangvertebra, demikian pula
belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap,
terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya
destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus, termasuk
akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri
radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus),
bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah
disebutkan di atas.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Martini F.H., Welch K. Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New
Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151pg
2. Anatomi fungsional vertebra, accessed on 1 july, Available from
http://fisiosby.com/anatomi-fungsional-vertebrae
3. Medlinux, Spondilitis Tuberkulosa, accessed on 1 july, Available from
http://medlinux.blogspot.com/2007/09/spondylitis-tuberkulosa.html
4. Rasjad C, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Jakarta: hal 144-149
5. Hidalgo JA, Pott Disease (Tuberculous Spondylitis), Herchline T, Talavera F, Jhon
JF, Mlonakis E, Cunha BA, accessed on 1 july, Available from
http://www.emedicine.com/med/infecMEDICAL_TOPICS.htm
6. Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; hal. 1226-
1229
7. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In :Musculoskeletal
Imaging: A Concise Multimodality Approach. New York :Thieme, 2001 : 150, 334-
36.
8. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology
and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388
9. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen
A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management.
London :Springer-Verlag, 1997 : 378-87.
10. Sidharta P, Spondilitis Tuberculosa, in Lazuardi S, Hok TS, Sudibjo AI, at all eds,
Neurologi Klinik dalam Praktek Umum,Dian Rakyat, Jakarta 1999:341
11. Dewi LK, Edi A, Suarthana E, Spondilitis Tuberkulosa, in Mansjoer A, Suprohaita,
Wardhani WI, Setiowulan W, eds, Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculapius
Jakarta 2000 : 58
12. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics. 2nd ed.
Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91
13. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed.Rothman
Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64
35
14. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer
RD. editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. Louis : Mosby-
Year Book, Inc., 1993 : 387-90.
36
top related