pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas … · production of aspergillus niger and neurospora...
Post on 10-Mar-2019
236 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS
INOKULUM Aspergillus niger DAN Neurospora sitophila
UNTUK HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG
SKRIPSI
YULIA
F34063194
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS
INOKULUM Aspergillus niger DAN Neurospora sitophila
UNTUK HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
YULIA
F34063194
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
“Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum Aspergillus niger dan
Neurospora sitophila untuk Hidrolisis Tongkol Jagung” adalah hasil karya saya
sendiri, dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, 15 Oktober 2010
YULIA
F34063194
Judul Skripsi : Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum
Aspergillus niger dan Neurospora sitophila untuk Hidrolisis
Tongkol Jagung
Nama : YULIA
NIM : F34063194
Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
(Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S.) (Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si.)
NIP : 19550904 198003.2.001 NIP : 19661219 199103.2.001
Mengetahui :
Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)
NIP : 19621009 198903.2.001
Tanggal Lulus : 15 Oktober 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Yulia, merupakan anak kedua dari
dua bersaudara dari pasangan Nurhusin dan Icah Nuraisah,
dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1988. Pada tahun
2000 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di
SDN DUREN VIII Bekasi dan melanjutkan ke SLTPN 1
Bekasi sampai dengan tahun 2003. Pada tahun 2006 penulis
menyelesaikan pendidikan SMA di SMAN 1 Bekasi.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada
tahun 2006 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2007,
penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif menjadi pengurus organisasi di
HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) bagian Departemen
Sekretariat (2007-2008). Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan seperti seminar
dan workshop. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Penerapan
Komputer (Penkom), Praktikum Analisis Bahan Produk Agroindustri (ABPA),
dan Praktikum Bioproses. Prestasi yang pernah diraih selama masa pendidikan
adalah penerima dana Program Kreatifitas Mahasiswa Teknologi (PKMT) oleh
DIKTI pada tahun 2008 dan anggota penerima dana hibah Program
Pengembangan Kewirausahaan DPKHA IPB pada tahun 2009.
Pada tahun 2009, penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT.
Indolakto, Sukabumi dengan judul “Mempelajari Aspek Proses Produksi dan
Pengawasan Mutu Susu UHT (Ultra High Temperature) di PT. Indolakto,
Cicurug, Sukabumi”. Pada tahun 2010, penulis melaksanakan kegiatan penelitian
dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Lama Penyimpanan
terhadap Kualitas Inokulum Aspergillus niger dan Neurospora sitophila
untuk Hidrolisis Tongkol Jagung”.
Yulia. F34063194. The Effect of Storage Time on the Quality of Aspergillus
niger and Neurospora sitophila Inoculums for Corncob Hydrolysis. Under
supervisory of Liesbetini Hartoto and Titi Candra Sunarti. 2010.
ABSTRACT
Production of Aspergillus niger and Neurospora sitophila inoculums
prepared from cassava bagasse (solid waste from tapioca industry) enriched with
rice bran powder, defatted peanut, and tofu solid waste substrates, were
investigated the storage time effects to the spore viabilities. The mixed substrates
were formulated to C/N ratio of 5, then fermented in solid-state cultivation
systems (3 days for A. niger; 4 days for N. sitophila). Each dried inoculum was
wrapped in polyethylene plastics and kept on room temperature (25–30°C) for 8
weeks, and evaluated the qualities weekly for spore viability and moisture content.
Each inoculum with high viability was applied in the fermentation of corncob to
prove the cellulolytic hydrolysis capability, that fermented in solid-state
cultivation system for 9 days. Generally, storage of inoculum caused the reduction
(from 100% to 91.84% for A. niger; from 100% to 82.73% for N. sitophila) of
spore viability even the moisture content increased during the storage (from
6.82% to 10.04% for A. niger; from 4,16% to 7,63% for N. sitophila). The results
showed that inoculum of A. niger produced from cassava bagasse and defatted
peanut; and N. sitophila produced from cassava bagasse and rice bran powder
could maintain the spore viabilities after 2 months storage (from 86 x 107 spore/g
to 36 x 107 spore/g for A. niger; from 83 x 10
7 spore/g to 18 x 10
7 spore/g for
N.sitophila). After the application of inoculum in corncob hydrolisis, it showed
that crude fiber was reduced (from 68.13% to 55.82% by using A. niger inoculum;
from 69.05% to 51.03% by using N. sitophila inoculum) as the effect of
cellulolytic breakdown to produce oligosaccharides (DP 3.26–3.29 by using A.
niger inoculum; DP 2.60–2.65 by using N. sitophila inoculum).
Keywords : Aspergillus niger, corncob, inoculum, storage, Neurospora sitophila.
Yulia. F34063194. Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum
Aspergillus niger dan Neurospora sitophila untuk Hidrolisis Tongkol Jagung. Di bawah
bimbingan Liesbetini Hartoto dan Titi Candra Sunarti. 2010.
RINGKASAN
Bahan lignoselulosik seperti tongkol jagung mempunyai potensi yang besar
untuk diolah menjadi bahan yang bernilai tambah, salah satunya sebagai pakan
ternak. Namun daya cerna ternak ruminansia terhadap tongkol jagung masih
rendah. Hal ini disebabkan tongkol jagung banyak mengandung senyawa anti
nutrisi seperti lignin dan tingginya serat kasar. Upaya pengolahan yang dapat
menurunkan kadar serat kasar sangat diperlukan, salah satunya dengan hidrolisis
oleh kapang selulolitik. Penggunaan galur murni kapang sulit untuk diterapkan
karena membutuhkan keterampilan tertentu. Oleh karena itu, diperlukan kajian
produksi inokulum kapang selulolitik untuk hidrolisis tongkol jagung yang siap
digunakan secara mudah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh inokulum A. niger dan
N.sitophila yang viabilitas sporanya tertinggi pada berbagai campuran substrat.
Selain itu juga untuk mengkaji pengaruh lama penyimpanan terhadap inokulum
spora dan menguji perubahan kualitas tongkol jagung yang dihidrolisis dengan
menggunakan inokulum tersebut.
Pada penelitian ini terdapat dua tahapan penelitian yaitu penelitian
pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan
penanganan tongkol jagung dan substrat untuk produksi inokulum, yaitu
pengeringan dan pengecilan ukuran menjadi 40 mesh, serta dilakukan
karakterisasi terhadap bahan tersebut. Pada tahap ini dilakukan analisis yang
meliputi uji proksimat, yaitu uji kadar air, abu, lemak kasar, protein, serat kasar,
dan karbohidrat (by difference).
Produksi inokulum dilakukan dengan menggunakan substrat onggok dengan
ditambah bahan lainnya, seperti bekatul, bungkil kacang tanah, dan ampas tahu.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan perbandingan komposisi substrat campuran
dengan nisbah C/N = 5, yaitu onggok dan ampas tahu (3,61 : 4,71), onggok dan
bekatul (1,86 : 7,43), dan onggok dan bungkil kacang tanah (4,02 : 3,50).
Inokulum dibuat dengan menggunakan kapang A.niger dan N.sitophila yang
diinokulasikan ke dalam substrat campuran. Rancangan percobaan yang
digunakan untuk tiap jenis kapang adalah rancangan acak lengkap kelompok
dengan faktor perlakuan komposisi campuran substrat yang terdiri dari 3 taraf
(onggok dan ampas tahu, onggok dan bekatul, onggok dan bungkil kacang tanah)
dan faktor lama penyimpanan yang terdiri dari 9 taraf (0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8
minggu). Parameter yang diamati adalah viabilitas spora dan kadar air.
Inokulum yang terbaik yang diperoleh setiap dua minggu, selanjutnya
diinokulasikan ke tongkol jagung untuk mengetahui viabilitas inokulum tersebut
pada hidrolisis tongkol jagung. Inkubasi dilakukan selama 9 hari pada suhu ruang,
yaitu antara 25–37°C. Terhadap hasil kultivasi tongkol jagung dilakukan analisis
yang meliputi uji kadar air, abu, lemak kasar, protein, serat kasar, total gula, gula
pereduksi, dan pengamatan mikroskopis.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan lama penyimpanan dan perbedaan
komposisi substrat inokulum kapang berpengaruh nyata terhadap kadar air dan
viabilitas spora. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama penyimpanan
dan perbedaan komposisi substrat yang digunakan untuk inokulum kapang
menghasilkan kadar air dan viabilitas spora yang berbeda nyata. Inokulum kapang
mengalami kenaikan kadar air yang cukup besar hingga akhir penyimpanan (2
bulan), namun kadar air masih di bawah 12%. Inokulum tersebut dapat dikatakan
baik karena kapang masih bersifat dorman. Viabilitas spora menurun selama
penyimpanan inokulum, namun penurunan tersebut masih sangat rendah dan
jumlah spora pada kedua inokulum kapang di berbagai komposisi substrat masih
di atas 106koloni/g, sehingga inokulum kapang masih baik untuk digunakan. Pada
inokulum A. niger, viabilitas yang tertinggi diperoleh dengan menggunakan
substrat campuran onggok dan bungkil kacang tanah. Pada inokulum N. sitophila,
viabilitas yang tertinggi diperoleh dengan menggunakan substrat campuran
onggok dan bekatul. Hasil viabilitas tertinggi selanjutnya dikultivasikan dengan
substrat tongkol jagung.
Hasil analisis sidik ragam pada aplikasi inokulum untuk hidrolisis tongkol
jagung menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh
nyata, yaitu penggunaan inokulum dengan umur simpan yang berbeda
menunjukkan nilai yang relatif sama terhadap parameter kualitas tongkol jagung
setelah kultivasi, yang meliputi kadar air setelah kulivasi, kadar abu, protein,
lemak, total gula, dan gula preduksi. Hasil analisis sidik ragam pada kadar serat
menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum berpengaruh nyata terhadap
kadar serat tongkol jagung setelah kultivasi. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa kadar serat berbeda nyata dengan lama penyimpanan (2, 4, 6, dan 8
minggu). Hal ini disebabkan jumlah spora kapang yang berkurang karena mati,
sehingga mengakibatkan enzim selulase yang dihasilkan berkurang.
Hasil analisis parameter kultivasi menggunakan inokulum kapang selulolitik
menunjukkan bahwa kapang mampu merombak komponen serat tongkol jagung.
Pada akhir kultivasi dihasilkan oligosakarida yang berfungsi sebagai prebiotik
yang bermanfaat untuk pencernaan ternak. Secara umum hasil penelitian
menunjukkan bahwa inokulum kapang yang telah disimpan selama 2 bulan
dengan penyimpanan pada suhu ruang (25–30°C) masih layak digunakan untuk
menghidrolisis tongkol jagung walaupun mengalami kenaikan kadar air dan
penurunan viabilitas spora selama penyimpanannya.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan
penelitian dan menyelesaikan skripsinya. Skripsi ini dibuat berdasarkan penelitian
penulis dengan judul “Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Inokulum
Aspergillus niger dan Neurospora sitophila untuk Hidrolisis Tongkol Jagung“.
Selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah
mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Papah Nurhusin, Mamah Icah, Aa Fery, Mba Nanda, A Ipul, Nenek, Khayla,
dan seluruh keluargaku yang senantiasa memberikan perhatian dan kasih
sayang serta dukungan baik secara moril maupun materiil.
2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S. dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. selaku
dosen pembimbing atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada
penulis.
3. Ir. Sugiarto, M.Si. selaku dosen penguji atas masukan saran dan kritiknya
yang menyempurnakan skripsi ini.
4. Keluarga Warjo yang turut mendoakan dan Arief Rakhman Hakim, yang
selalu memberi motivasi dan bantuan selama ini.
5. Adita Dwi Nugraheni, S.Ik, Tina Maretina, S.Hut, Tri Handayani, atas
kebersamaan kita yang penuh dengan keceriaan dan kehedonan.
6. Teman–teman seperjuangan selama ngelab, Mba Cucu, Pange, Bang Ando,
Siska, Nidia, Syelly, Sarfat, dan semua teman yang sama-sama berjuang di
Lab atas dukungan dan kebersamaannya.
7. Bu Ega, Pa Edi, Pa Gun, Bu Sri, Pa Sugi, Bu Rini, dan semua laboran, serta
seluruh staf pengajar dan tata usaha Departemen TIN atas bantuan dan
kebersamaannya.
8. Zuli, Dewi, Nurul, Dina, Kunti, Yos, Wynda, dan seluruh teman–teman TIN
43 atas kekompakkan dan kebersamaannya selama ini.
9. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
ii
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan demi proses pembelajaran. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua insan pembelajar.
Bogor, 15 Oktober 2010
Yulia
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG............................................................................. 1
B. TUJUAN.................................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TONGKOL JAGUNG............................................................................. 3
B. PAKAN TERNAK................................................................................... 3
C. SPORA INOKULUM.............................................................................. 4
D. Aspergillus niger...................................................................................... 5
E. Neurospora sitophila................................................................................ 7
F. SUBSTRAT INOKULUM...................................................................... 10
1. Ampas Tapioka (Onggok).................................................................... 10
2. Ampas Tahu......................................................................................... 11
3. Bekatul................................................................................................. 12
4. Bungkil Kacang Tanah........................................................................ 14
G. NISBAH C/N.......................................................................................... 14
H. HIDROLISIS BAHAN LIGNOSELULOSA.......................................... 16
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT............................................................................. 19
B. METODE PENELITIAN........................................................................ 19
1. Penelitian Pendahuluan........................................................................ 19
a. Penyiapan bahan............................................................................. 19
b. Karakterisasi komposisi proksimat tongkol jagung dan substrat
inokulum......................................................................................... 20
3. Penelitian Utama.................................................................................. 21
a. Penyegaran kultur........................................................................... 21
b. Produksi inokulum.......................................................................... 21
c. Penyimpanan inokulum................................................................... 22
d. Uji viabilitas inokulum pada hidrolisis tongkol jagung.................. 23
iv
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI BAHAN................................................................. 26
1. Tongkol Jagung................................................................................... 26
2. Substrat Inokulum untuk Produksi Inokulum..................................... 27
B. PRODUKSI INOKULUM...................................................................... 30
C. PERUBAHAN KUALITAS INOKULUM SELAMA
PENYIMPANAN................................................................................... 32
1. Kadar Air............................................................................................ 32
2. Viabilitas Spora................................................................................... 33
D. VIABILITAS INOKULUM PADA HIDROLISIS TONGKOL
JAGUNG................................................................................................ 39
1. Kadar Air setelah Kultivasi................................................................ 42
2. Kadar Abu........................................................................................... 46
3. Kadar Protein....................................................................................... 47
4. Kadar Lemak....................................................................................... 48
5. Kadar Serat.......................................................................................... 50
6. Total Gula............................................................................................ 52
7. Gula Pereduksi..................................................................................... 53
8. Perubahan Struktur secara Mikroskopis.............................................. 55
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN....................................................................................... 59
B. SARAN................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 61
LAMPIRAN...................................................................................................... 68
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Karakteristik dan komposisi tongkol jagung........................................ 3
Tabel 2. Komposisi ampas tapioka..................................................................... 10
Tabel 3. Komposisi kimia ampas tahu kering.................................................... 11
Tabel 4. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14%...................................... 13
Tabel 5. Komposisi zat gizi bungkil kacang tanah............................................. 14
Tabel 6. Komposisi elemen-elemen bakteri, khamir, dan fungi.......................... 15
Tabel 7. Komposisi perbandingan bobot substrat inokulum............................... 22
Tabel 8. Komposisi tongkol jagung..................................................................... 26
Tabel 9. Kandungan lignoselulosa tongkol jagung............................................. 27
Tabel 10. Komposisi proksimat pada substrat.................................................... 28
Tabel 11. Hasil perhitungan komposisi campuran substrat inokulum................ 29
Tabel 12. Parameter perubahan setelah kultivasi................................................ 42
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Morfologi sel Aspergillus.................................................................. 6
Gambar 2. Kurva pertumbuhan Aspergilus niger............................................... 7
Gambar 3. Neurospora sitophila......................................................................... 8
Gambar 4. Kurva pertumbuhan Neurospora sitophila....................................... 9
Gambar 5. Skema proses penggilingan gabah kering......................................... 13
Gambar 6. Diagram proses penelitian................................................................ 20
Gambar 7. Inkubator untuk produksi inokulum spora........................................ 22
Gambar 8. Proses kultivasi tongkol jagung menggunakan inokulum kapang.... 25
Gambar 9. Perubahan kadar air inokulum selama penyimpanan....................... 32
Gambar 10.Perubahan viabilitas spora inokulum selama penyimpanan untuk
(a) A. niger dan (b) N. sitophila........................................................ 50
Gambar 11.Mekanisme hidrolisis selulosa.......................................................... 44
Gambar 12.Mekanisme respirasi seluler............................................................. 45
Gambar 13.Pengaruh umur simpan inokulum terhadap kadar serat tongkol
jagung setelah kultivasi kapang........................................................ 50
Gambar 14. Perubahan mikroskopis tongkol jagung sebelum (a) dan setelah
kultivasi menggunakan inokulum (b dan c)..................................... 56
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur pengujian........................................................................ 69
Lampiran 2. Perhitungan perbandingan komposisi substrat inokulum.............. 74
Lampiran 3. Data perubahan parameter penyimpanan inokulum....................... 77
Lampiran 4. Data perubahan parameter viabilitas terhadap hidrolisis tongkol
jagung............................................................................................. 89
Lampiran 5. Perhitungan komposisi awal media kultivasi................................. 95
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman serelia yang tumbuh
hampir di seluruh dunia dan tergolong spesies dengan variabilitas genetik
terbesar. Di Indonesia, jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah
beras. Selain sebagai bahan makan pokok, jagung juga dapat digunakan
sebagai bahan pakan ternak dan bahan industri serta komoditas ekspor
(Suprapto dan Rasyid, 2002). Seiring dengan kebutuhan jagung yang cukup
tinggi, maka akan bertambah pula limbah yang dihasilkan dari industri yang
berbahan baku jagung, yaitu tongkol jagung yang merupakan sumber bahan
berlignoselulosa. Produksi jagung Indonesia mencapai 17.63 juta ton pipilan
kering pada tahun 2009 (BPS, 2010). Jagung mengandung kurang lebih 30%
tongkol jagung dan sisanya adalah biji dan kulit (Koswara, 1992). Dari data
tersebut dapat diperkirakan bahwa produksi limbah tongkol jagung Indonesia
pada tahun 2009 adalah sebesar 16.53 juta ton.
Tanaman jagung termasuk jenis tanaman pangan yang diketahui banyak
mengandung serat kasar, yaitu tersusun atas senyawa kompleks lignin,
hemiselulosa dan selulosa (lignoselulosa), dan masing-masing merupakan
senyawa yang potensial dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara biologi.
(Aguirar, 2001; Suprapto dan Rasyid, 2002). Komposisi kimia tersebut
membuat tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi, bahan pakan
ternak, dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroba untuk
menghasilkan produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Namun daya
cerna ternak terhadap tongkol jagung masih rendah. Hal ini disebabkan tongkol
jagung banyak mengandung senyawa anti nutrisi seperti lignin dan tingginya
serat kasar.
Upaya pengolahan yang dapat menurunkan kadar serat kasar dan juga
dapat meningkatkan kadar protein sangat diperlukan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan hidrolisis terhadap tongkol jagung, sehingga layak digunakan untuk
pakan ternak. Hidrolisis akan membuat tingkat kecernaan tongkol jagung oleh
ternak menjadi semakin tinggi. Salah satu caranya adalah pengolahan secara
2
biologis dengan cara kultivasi mikroba, yaitu dengan menggunakan kapang
selulolitik. Selulosa akan dihidrolisis oleh selulase, sehingga dihasilkan
senyawa sederhana yang lebih mudah dicerna oleh ternak. Menurut Chandel et
al. (2007), kapang yang biasa digunakan untuk hidrolisis adalah Neurospora,
Aspergillus, dan kapang lainnya yang menunjukkan adanya kemampuan
aktivitas selulolitik dan hemiselulolitik yang tinggi pada proses fermentasi
untuk menghasilkan gula.
Penyiapan inokulum murni sulit dilakukan dan membutuhkan waktu
lama. Oleh karena itu, diperlukan pembuatan inokulum untuk hidrolisis
tongkol jagung, yang dapat diproduksi dalam bentuk spora dalam jumlah besar
agar dapat terjadi germinasi dengan cepat (Heseltine, 1972). Untuk
bergerminasi dengan cepat diperlukan spora yang memiliki kemampuan
adaptasi yang cepat pada medium kultivasi, yang juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, jenis mikroba, kematangan kultur (spora), dan jenis substrat
(Bilgrami dan Verma, 1978).
Pembuatan inokulum dapat menggunakan substrat yang mengandung
kandungan karbon dan nitrogen yang cukup, diantaranya dapat berasal dari
ampas tepung tapioka (onggok), bekatul, bungkil kacang tanah, dan ampas
tahu. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui komposisi
campuran substrat untuk produksi spora. Selain itu, diperlukan juga kajian
pengaruh lama penyimpanan terhadap produktivitas inokulum, karena
inokulum ini akan didistribusikan ke masyarakat.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh inokulum Aspergillus niger
dan Neurospora sitophila yang viabilitas sporanya tertinggi dengan
menggunakan campuran substrat, seperti onggok, ampas tahu, bekatul, dan
bungkil kacang tanah. Selain itu juga untuk mengkaji pengaruh lama
penyimpanan terhadap viabilitas inokulum spora dan menguji perubahan
kualitas tongkol jagung yang dihidrolisis dengan menggunakan inokulum
tersebut.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TONGKOL JAGUNG
Tongkol jagung adalah tempat pembentukan lembaga dan gudang
makanan untuk pertumbuhan biji. Jagung mengandung kurang lebih 30%
tongkol jagung, sedangkan sisanya adalah kulit dan biji (Koswara, 1991).
Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8–12 cm (Effendi dan Sulistiati,
1991). Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik dan komposisi tongkol jagung
Kandungan (%) Jumlah Nutrisi (%)
Air 9,4 Protein, N x 6,25 2,5
Selulosa 41 Lemak, ester, dll 0,5
Hemiselulosa 36 Serat Kasar 32
Xilan 30 Abu 1,5
Lignin 6 Ekstrak nitrogen bebas 53,5
Pektin 3 Neutral Detergen Fiber (NDF) 83
Pati 0,014 Total nutrien dapat dicerna 42
Sumber : Johnson (1991)
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa komposisi utama tongkol
jagung adalah selulosa dan hemiselulosa. Dengan kandungan selulosa dan
hemiselulosa yang tinggi, tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber
energi, bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan
mikroba (Irawadi, 1990). Oleh karena itu, tongkol jagung dapat dihidrolisis
dengan menggunakan kapang selulolitik.
B. PAKAN TERNAK
Pakan ternak ruminansia dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu
golongan pakan hijauan dan golongan pakan tambahan berupa konsentrat.
4
Pakan hijauan dapat diperoleh dari jenis rumput, legume (kacang-kacangan),
daun pisang, daun nangka dan hijauan lain. Pakan konsentrat adalah pakan
tambahan yang harganya murah dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia
serta dapat diperoleh dari limbah pertanian seperti tongkol jagung, ampas bir,
bekatul, pollard, onggok, dan tetes. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak
dikenal istilah complete feed atau pakan lengkap yang merupakan pakan yang
terbuat dari limbah pertanian yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga
semua kebutuhan nutrisi ternak ruminansia dapat terpenuhi (Sutirtoadi, 2009).
Kandungan protein dan serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak
ruminansia masing-masing sebesar lebih besar dari 8% dan 15% (Prihatman,
2000). Bahan pakan ternak yang baik mengandung protein kasar kurang dari
20%, dengan konsentrasi serat kasar di bawah 18% (Bappenass, 2001).
Kandungan serat tongkol jagung yang cukup tinggi membutuhkan suatu proses
hidrolisis untuk menurunkan kadar serat, salah satunya dihidrolisis dengan
kapang selulolitik.
Menurut Riwantoro (2005), bahan-bahan yang biasa digunakan untuk
pembuatan complete feed antara lain : (1) sumber serat kasar (jerami kedelai,
tongkol jagung, pucuk tebu dan lain-lain), (2) sumber energi (pollard, dedak
padi, bungkil tapioka, tetes dan lain-lain), (3) sumber protein (bungkil kopra,
bungkil sawit, bungkil minyak biji kapok atau klenteng, kulit kopi, kulit kakao,
urea dan lain-lain), (4) sumber mineral (tepung tulang, campuran mineral,
garam dapur dan lain-lain).
C. SPORA INOKULUM
Sejak awal diaplikasikannya kultivasi media padat yang melibatkan
fungi, inokulum spora telah umum digunakan. Kualitas inokulum spora sangat
menentukan keberhasilan kultivasi media padat (Doelle et al., 1991). Bentuk,
umur dan rasio inokulum adalah faktor kritis pada sistem kultivasi media padat
yang mengandalkan pada rasio jumlah inokulum yang besar untuk mengontrol
kontaminasi (Jonsane et al., 1991).
Inokulum yang digunakan dapat berupa spora atau miselium, atau kedua–
duanya. Inokulum spora memberikan keleluasaan yang lebih besar, karena
5
viabilitas spora dapat dipertahankan untuk periode yang lama dibandingkan
miselia fungi, sehingga dapat disimpan dan digunakan kapan dibutuhkan.
Selain itu, spora bersifat kurang rentan terhadap kesalahan
pemanenan/kultivasi. Spora memudahkan penyebaran yang merata. Namun
kelemahan inokulum spora adalah perlunya waktu yang lebih lama (1–12 jam)
untuk melakukan germinasi, kondisi optimal germinasi spora mungkin berbeda
dengan pertumbuhan vegetatifnya atau perlu stimulasi oleh beberapa zat nutrisi
atau faktor lingkungan. Inokulum dapat diproduksi baik pada media padat atau
media cair. Sporulasi dari fungi umumnya lebih baik pada media padat
daripada media cair (Doelle et al., 1991).
Spora hasil kultivasi dapat langsung digunakan atau langsung dapat
dikeringkan pada 40–50oC sampai mencapai kandungan uap air 8–12%, tanpa
kehilangan viabilitas spora yang besar (Roussos, et al., 1992). Lonsane dan
Ghildyan (1991) telah memproduksi spora kapang yang dikeringkan pada suhu
35–40oC dan disimpan dalam kantong polietilen selama enam bulan pada suhu
ruang tanpa terjadi efek penurunan pada viabilitas spora.
Densitas inokulum penting dipertimbangkan untuk berbagai kebutuhan
kultivasi. Kepadatan spora yang berlebihan dari spora dapat menghambat
germinasi dan perkembangannya (Doelle et al., 1991). Spora kapang
merupakan bagian dorman dalam siklus hidup kapang, tetapi masih
menunjukkan kemungkinan mengandung enzim dalam melakukan aktifitasnya.
Inokulum yang berupa spora adalah starter yang baik dalam kultivasi (Wolf,
1949).
D. Aspergillus niger
Aspergillus niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili
Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-kelas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes,
sub-divisi Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Hardjo et al., 1989).
Aspergillus sangat mudah dikenali, baik dari morfologi selnya maupun dari
morfologi koloninya. Genus Aspergillus mempunyai morfologi sel seperti pada
Gambar 1.
6
Gambar 1. Morfologi sel Aspergillus : a. Vesikel, b. Metulae, c. Spora
(Malloch,1999).
A. niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, padat, bulat
dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian
yang khas yaitu hifanya bersepta, spora yang bersifat seksual dan tumbuh
memanjang di alas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam
pertumbuhannya memerlukan oksigen yang cukup. A. niger termasuk mikroba
mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35-37°C. Derajat
keasaman untuk pertumbuhannya adalah 2,0-8,5 tetapi pertumbuhan akan lebih
baik pada kondisi keasaman atau pH yang rendah (Fardiaz, 1989).
A. niger dapat tumbuh dengan cepat, sehingga sering digunakan secara
komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan pembuatan berapa
enzim seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase. A. niger dapat
tumbuh pada suhu 35-37ºC (optimum), 6-8ºC (minimum), 45-47ºC
(maksimum) dan memerlukan oksigen yang cukup (aerobik) (Fadli, 2009).
A. niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat
makanan yang terdapat dalam substrat. Molekul sederhana seperti gula dan
komponen lain yang terdapat di sekeliling hifa dapat langsung diserap,
sedangkan molekul yang lebih kompleks seperti selulosa, pati, protein, dan
minyak lemak harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan
menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler. Bahan organik dari substrat
digunakan oleh A. niger untuk aktivitas transpor molekul, pemeliharaan
struktur sel dan mobilitas sel (Fadli, 2009). A. niger merupakan kapang yang
dapat menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler. A. niger merupakan kapang
penghasil enzim selulosa yang banyak mengandung β-glukosidase tetapi
7
rendah akan ekso dan endoglukanase (Sternberg et al., 1979 dan Mandels,
1982).
Kurva pertumbuhan kapang A. niger ditunjukkan pada Gambar 2.
Pertumbuhan A. niger dimulai pada fase adaptasi pada jam ke 8, dilanjutkan
dengan fase pertumbuhan cepat (eksponensial) pada jam ke 16–24. Fase
pertumbuhan lambat terjadi setelah melewati jam ke 24. Kemudian diteruskan
dengan fase stasioner, dimana jumlah kapang yang tumbuh sama dengan
kapang yang mati pada jam ke 40–100. Pada jam diatas 100 terjadi penurunan
biomassa kapang yang dinamakan fase kematian, dimana biomassa kapang
yang mati lebih banyak dari pada yang tumbuh (Soeprijanto et al., 2009).
Gambar 2. Kurva pertumbuhan Aspergilus niger
(Soeprijanto et al., 2009)
A. niger dalam pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
senyawa nitrogen, baik nitrogen organik maupun nitrogen anorganik. Sumber
nitrogen organik yang baik adalah pepton, sedangkan sumber nitrogen
anorganik yang sering digunakan untuk pertumbuhan kapang adalah garam–
garam amonium dan nitrat (Enari, 1983).
E. Neurospora sitophila
Neurospora sitophila merupakan kapang yang termasuk dalam subdivisi
Eumycophyta, kelas Ascomycetes, ordo Sphriales dan famili Sordoriaceae.
Kapang ini mudah menyebar dan berkembang biak secara cepat terutama
dengan aseksual, biasanya ditemukan pada tingkat konidia. Spora seksualnya
8
jarang ditemui karena hanya dalam jumlah sedikit (Alexopoulus dan Mims,
1996).
Kapang ini dikenal sebagai kapang oncom merah (Dwidjoseputro, 1961).
N. sitophila memilki konidia berwarna jingga (oranye) yang tumbuh menyebar
di atas permukaan substrat. Kapang ini dapat tumbuh dengan baik pada
kelembaban yang tinggi dan mempunyai suhu pertumbuhan antara 20–30oC
pada kondisi aerobik (Judoamidjojo et al., 1989). Menurut Amer dan Stephen
(1982), Ascomycetes sebagai “soft rot fungi” dapat mendegradasi lignin dan
bahan lignoselulosik. Gambar morfologi kapang N. sitophila dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Neurospora sitophila (Karmana, 2006)
N. sitophila berkembang dengan cara menyebarkan benang–benang
miselium dan dengan menghasilkan spora (konidia). Jika miselium pecah,
masing–masing hifa akan membentuk miselia. Demikian juga pemisahan
konidia ini akan membentuk miselium yang serupa dengan miselium
parentalnya (Swanson dan McElroy, 1975).
Reproduksi seksual N. sitophila berlangsung dengan cara somatogamy,
yaitu melalui proses fusi dua hifa vegetatif yang kompatibel (Blod et al., 1980)
atau disebut plasmogamy (Alexopoulus dan Mims, 1996). Plasmogamy
(somatogamy) dapat terjadi dalam berbagai cara, suatu konidium atau
mikrokonidium berperan sebagai sel jantan berhubungan dengan hifa vegetatif
atau trikhogen yang berperan sebagai organ penerima betina. Plasmogamy
akan membentuk peritesium (Alexopoulus dan Mims, 1996).
9
Proses plasmogamy diterangkan juga oleh Blod et al. (1980), yaitu
setelah melalui tahapan miosis dan mitosis akan terbentuk spora seksual yang
disebut askospora di dalam askus. Askus dewasa akan pecah dan mengeluarkan
askospora yang selanjutnya akan dikeluarkan dari peritesium melalui ostiola
dan siap tumbuh menjadi individu baru.
Menurut Griffin (1981), laju pertumbuhan spesifik N. sitophila sebesar
0,4/jam (µmax). Pertumbuhan hifa secara memanjang berlangsung dalam laju
yang linier dan pertambahan massa juga linier. Spora akan mati apabila berada
pada suhu di atas 60oC.
Alberghina dan Sturan (1981), mengemukakan bahwa kultur Neurospora
memiliki waktu penggandaan biomassa bervariasi dari 1 sampai 8 jam.
Sementara Metzenberg (1979) menyebutkan bahwa pertambahan massa dari
kultur bertambah dua kalinya setelah 2,5 jam, dan laju pertambahan panjang
miselia N. sitophila sebesar 0,6 cm/jam. Jadi dalam sehari bertambah panjang
10–14 cm. Konidiumnya melakukan germinasi jika berada pada nutrisi yang
cocok dan setelah 2–5 jam mulai membentuk hifa. Kurva pertumbuhan yang
telah didapat dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kurva pertumbuhan Neurospora sitophila (Metzenberg, 1979)
Saono dan Budiman (1981) menyatakan bahwa kapang oncom merah
bersifat amilolitik kuat, tetapi lemah sifat lipolitik dan proteolitiknya. Jenis
enzim amilolitik yang diproduksi oleh N. sitophila adalah α-amilase dan
10
glukoamilase. Menurut Chandel et al. (2007), mengatakan bahwa N. sitophila
memiliki kemampuan aktivitas selulolitik dan hemiselulolitik yang tinggi pada
proses fermentasi untuk menghasilkan gula sederhana. Menurut Moat (1979),
N. sitophila tumbuh secara normal pada substrat yang hanya mengandung
sumber karbon, garam organik dan biotin. Sumber karbon tersebut berupa
mono-, di-, atau polisakarida.
F. SUBSTRAT INOKULUM
Substrat digunakan sebagai bahan makanan bagi pertumbuhan mikroba.
Beberapa bahan yang merupakan hasil samping dari industri dapat digunakan
sebagai substrat inokulum. Limbah industri tersebut masih mengandung nutrisi
yang cukup untuk pertumbuhan mikroba. Beberapa bahan yang merupakan
hasil limbah industri yang masih dapat dimanfaatkan, diantaranya adalah :
1. Ampas Tapioka (Onggok)
Pada proses pengolahan ketela pohon menjadi tapioka diperoleh dua
jenis limbah, yaitu limbah padat dan cair. Limbah padat terdiri dari kulit
ketela pohon, sisa potongan yang tidak terparut, ampas tapioka yang
merupakan sisa proses ekstraksi pati, dan lindur (elot) yang berasal dari
proses pengendapan air buangan (Moertinah, 1984). Pada Tabel 2 disajikan
komposisi kimia ampas tapioka.
Tabel 2. Komposisi ampas tapioka
Komponen % b.k
Bahan Kering 86,84
Protein 2,21
Lemak 0,00
Serat Kasar 17,95
Abu 1,88
Karbon 64,80
Sumber : Lahoni (2003)
11
Pemanfaatan ampas tapioka selama ini diubah menjadi tepung asia.
Pembuatan tepung asia dilakukan dengan cara menjemur singkong
menggunakan panas sinar matahari dan kemudian digiling sampai menjadi
tepung. Kandungan pati pada ampas tapioka sekitar 60–70% dari bobot
keringnya, sehingga ampas tapioka sangat potensial sebagai sumber karbon
dalam proses produksi spora inokulum. Kandungan protein pada ampas
tapioka cukup rendah, sehingga diperlukan penambahan bahan lagi dalam
produksi inokulum spora.
2. Ampas Tahu
Pada pembuatan tahu akan dihasilkan hasil samping, yaitu ampas
tahu. Pada proses pembuatan tahu hanya sebagian protein yang dapat
diekstrak dan diolah menjadi tahu dan sebagian protein masih tertinggal di
ampasnya. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979), kandungan protein ampas
tahu masih mengandung 7% dari jumlah protein kedelai. Pada Tabel 3
disajikan komposisi kimia ampas tahu kering.
Tabel 3. Komposisi kimia ampas tahu kering
Komponen % b.k
Bahan Kering 86,79
Protein 21,26
Lemak 5,92
Serat Kasar 24,91
Abu 7,48
Karbon 27,32
Sumber : Lahoni (2003)
Ampas tahu yang baru dihasilkan memiliki tekstur yang kokoh
walaupun mempunyai kadar air yang tinggi. Kandungan protein yang tinggi
disebabkan adanya kandungan serat kasar yang mengikat air secara
hidrofilik dan kompak. Ampas tahu yang berasal dari perasan bubur kedelai
masak mempunyai daya tahan selama 24 jam dalam keadaan terbuka bebas.
12
Ampas tahu dapat diawetkan dengan mengubahnya menjadi tepung.
Pengawetan dilakukan dengan cara ampas tahu yang segar diperas untuk
mengurangi kandungan airnya, selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari
atau dikeringkan dengan bantuan oven pada suhu 45–50oC. Setelah kering
kemudian ampas tahu digiling sampai menjadi tepung.
Pemanfaatan ampas tahu selama ini masih terbatas sebagai makanan
ternak, bahan baku oncom dan tempe ampas tahu. Melihat kandungan
protein yang cukup tinggi dan jumlah ampas tahu yang tersedia cukup
banyak maka ampas tahu ini dapat berpotensi digunakan sebagai campuran
media untuk memproduksi spora inokulum.
3. Bekatul
Gabah kering merupakan gabungan dari sekam, dedak, dan bekatul.
Pada umumnya masyarakat Indonesia mengenal bekatul sebagai dedak.
Persepsi tersebut kurang tepat karena dedak merupakan hasil penyosohan
pertama, sedangkan bekatul merupakan hasil penyosohan kedua. Dedak
lebih sesuai sebagai pakan ternak karena komponen silikanya tinggi,
sedangkan bekatul berpotensi sebagai bahan pangan. Dedak terdiri atas
lapisan dedak sebelah luar dari butiran padi dengan sejumlah lembaga padi.
Bekatul merupakan lapisan dedak bagian dalam dan sebagian endosperm
(Damardjati, 1983). Proses penggilingan gabah kering ditujukan pada
Gambar 5.
Bekatul merupakan hasil samping penggilingan beras. Bekatul terdiri
atas lapisan perikarp, testa, dan lapisan aleuron. Selama penggilingan gabah
kering dihasilkan sekam 20%, 8% bekatul, lembaga 2% dan beras sosoh
70% (Orthoefer, 2001). Komposisi kimia bekatul disajikan dalam Tabel 4.
Kandungan mineral dan protein yang cukup tinggi pada bekatul berpotensi
digunakan sebagai campuran media inokulum.
13
Gambar 5. Skema proses penggilingan gabah kering
(modifikasi Damardjati, 1983)
Tabel 4. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14%
Komponen Jumlah
Protein (%) 12,0 – 15,6
Lemak (%) 15,0 – 19,7
Serat Kasar (%) 7,0 – 11,4
Abu (%) 6,6 – 9,9
Karbohidrat (%) 34,1 – 52,3
Magnesium (mg/g) 5,0 – 13,0
Kalsium (mg/g) 0,3 – 1,2
Fosfor (mg/g) 11,0 – 25,0
Silika (mg/g) 5,0 – 11,0
Seng (µg/g) 43,0 – 258,0
Thiamin (µg/g) 12,0 – 24,0
Riboflavin/B2 (µg/g) 1,8 – 4,0
Tokoferol/E (µg/g) 149 – 154
Sumber : Luh (1991)
Beras pecah kulit
Gabah Kering
Penggilingan
Penyosohan
Beras sosoh
Penyosohan
Beras sosoh & menir
Sekam
Dedak
Bekatul
14
4. Bungkil Kacang Tanah
Bungkil kacang tanah adalah ampas yang berasal dari kacang tanah
yang telah diambil minyaknya dengan proses pemerasan mekanis atau
proses ekstraksi. Bungkil kacang tanah memiliki warna lebih coklat dan
kandungan lemaknya lebih tinggi bila dibanding dengan bungkil kedelai,
sehingga menjadikannya mudah berbau tengik. Kadar proteinnya paling
tinggi diantara bungkil lain yang umum digunakan (Anonima, 2010).
Bungkil kacang tanah digunakan sebagai komposisi dalam ransum
konsentrat untuk sapi, babi dan ayam. Penggunaan bungkil kacang tanah
perlu dibatasi jumlahnya karena kadar lemaknya yang cukup tinggi dan
harganya relatif mahal. Komposisi zat gizi bungkil kacang tanah dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi zat gizi bungkil kacang tanah per 100 g bahan
Komposisi Jumlah
Energi (kkal) 336
Protein (g) 37,4
Lemak (g) 13
Karbohidrat (g) 30,5
Kalsium (mg) 730
Fosfor (mg) 470
Besi (mg) 30,7
Vitamin B1 (mg) 0,0
Air (g) 14
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1981)
J. NISBAH C/N
Mikroba membutuhkan karbon, nitrogen, ion organik, faktor tumbuh,
energi, dan air untuk metabolisme dan pertumbuhannya yang diperoleh dari
media. Media yang digunakan hendaknya memenuhi kebutuhan minimum
pertumbuhan, kelangsungan hidup dan tidak terkontaminasi racun atau
penghambat lainnya (Fardiaz, 1992).
Penggunaan nisbah C/N sebagai nilai pendekatan sistematis memberikan
kemudahan untuk menganalisis komposisi media yang berhubungan dengan
15
sifat fisiologis mikroba. Menurut Walker (1999), ada beberapa dasar penting
untuk mempersiapkan media, yaitu :
1. Komposisi bahan, meliputi kemurnian, perbandingan karbon dan nitrogen,
perbedaan variasi tiap bagian, tersedianya kebutuhan tumbuh dan ion–ion.
2. Pengaruh dari perbedaan campuran tiap bahan, pH yang dibutuhkan
sebelum dan sesudah sterilisasi, efek sterilisasi pada mineral dan garam.
3. Perubahan pada media sebelum inokulasi, suhu, aerasi, pengadukan, dan
penggunaan senyawa antibusa.
Komposisi elemen–elemen mikroba dapat digunakan untuk menentukan
kisaran nisbah C/N media. Hal ini karena pembentukan sel–sel mikroba
membutuhkan sejumlah karbon dan nitrogen. Pada pengolahan kompos dengan
menggunakan mikroba aerobik dibutuhkan 15 hingga 30 bagian karbon untuk
setiap bagian nitrogen (Stentiford et al., 1992). Apabila digunakan nisbah C/N
yang tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan proses biodegradasi
karena keterbatasan nitrogen dan mempengaruhi hasil kultivasi. Pada Tabel 6
disajikan komposisi elemen–elemen bakteri, khamir, dan fungi. Dengan
mengetahui komponen pada kapang maka dapat dibuat media yang sesuai
dengan sifat fisiologis kapang.
Tabel 6. Komponen elemen–elemen bakteri, khamir, dan kapang
Elemen Bakteri (% b.k) Khamir (% b.k) Kapang (% b.k)
Karbon 50 – 53 45 – 50 40 – 63
Hidrogen 7 7 –
Nitrogen 12 – 15 7.5 – 11 7 – 10
Fosfor 2.0 – 3.0 0.8 – 2.6 0.4 – 4.5
Sulfur 0.2 – 1.0 0.01 – 0.24 0.1 – 0.5
Kalium 1.0 – 4.5 1.0 – 4.0 0.2 – 2.5
Natrium 0.5 – 1.0 0.01 – 0.1 0.02 – 0.5
Kalsium 0.01 – 1.1 0.1 – 0.3 0.1 – 1.4
Magnesium 0.1 – 0.5 0.1 – 0.5 0.1 – 0.5
Khlorida 0.50 – –
Besi 0.02 – 0.2 0.01 – 0.05 0.1 – 0.2
(Doelle et al., 1992)
16
K. HIDROLISIS BAHAN LIGNOSELULOSA
Serat merupakan kelompok polisakarida yang tidak dapat dicerna yang
terdapat dalam tanaman. Kelompok serat yang termasuk ke dalam yang tidak
dapat dicerna adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, pektin dan gum. Pada
umumnya, serat berperan sebagai bahan penyusun dinding sel. Serat ada yang
bersifat larut dan ada yang tidak larut dalam air. Selulosa, lignin dan
hemiselulosa termasuk serat yang tidak dapat larut, sedangkan pektin dan gum
termasuk serat yang dapat larut. Didasarkan pada fungsinya di dalam tanaman,
serat dibagi menjadi 3 fraksi utama, yaitu (a) polisakarida struktural yang
terdapat pada dinding sel, yaitu selulosa, hemiselulosa dan substansi pektat, (b)
non-polisakarida struktural yang sebagian besar terdiri dari lignin, dan (c)
polisakarida non-struktural, yaitu gum dan agar-agar (Kusnandar, 2010).
Kandungan serat yang tinggi pada tanaman memerlukan suatu proses
untuk mendegradasi komponen serat tersebut agar dapat dimanfaatkan secara
maksimal, salah satunya dengan cara hidrolisis. Hidrolisis meliputi proses
pemecahan polisakarida di dalam biomassa lignoselulosa, yaitu: selulosa dan
hemiselulosa menjadi monomer gula penyusunnya. Hidrolisis sempurna
selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan
beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa (C6). Hidrolisis dapat
dilakukan secara kimia (asam) atau enzimatik (Suhandono, 2010). Hidrolisis
ini merupakan proses untuk menghasilkan gula sederhana. Gong (1981)
menyebutkan bahwa hidrolisis bahan–bahan berselulosa ini akan menghasilkan
campuran gula dan xilosa yang merupakan komponen yang utama.
Hidrolisis kimiawi dilakukan dengan asam. Asam adalah katalis yang
non spesifik, karena struktur berkristal yang sangat kuat pada selulosa, maka
hanya asam kuat saja yang dapat menghidrolisis selulosa tingkat konversi yang
tinggi. Kelemahan metode ini adalah kebutuhan bahan kimia tinggi serta energi
yang tinggi. Selain itu, limbah cair dari hidrolisis menggunakan bahan kimia
tergolong limbah yang berbahaya karena bersifat toksik, mutagenik, persisten
dan bioakumulasi (Clemants et al., 1985).
Hidrolisis enzimatis komplek lignoselulosa dapat menggunakan mikroba
yang mampu menghasilkan ligninase dan selulase. Hidrolisis enzimatis
17
memiliki beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis asam, antara lain tidak
terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu
rendah, pH netral), berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya
pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif
(Taherzadeh & Karimi, 2007). Proses enzimatis merupakan proses ramah
lingkungan berbahan baku terbarukan (renewable raw material).
Enzim merupakan katalis yang spesifik. Dalam hal ini enzim selulase
dapat menghidrolisis selulosa dengan sedikit hasil samping. Enzim selulase
yang berasal dari kapang merupakan suatu campuran yang terdiri atas tiga
enzim yaitu endo β-glukonase, selobiohidrolase dan β-glukosidase yang
bekerja secara sinergi dalam hidrolisis selulosa berkristal menjadi glukosa
(Sasaki, 1982). Selobiohidrolase menyerang struktur berkristal selulosa dan
menghasilkan selobiosa (disakarida). Endo β-glukonase menghidrolisis bagian
amorf selulosa menjadi senyawa–senyawa dengan bobot molekul yang lebih
kecil (β-oligomer menjadi glukosa) (Sasaki, 1982).
Selulosa adalah polimer glukosa yang membentuk rantai linier dan
dihubungkan oleh ikatan β-1,4-glikosidik. Struktur linier ini menyebabkan
selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah
didegradasi secara kimia maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa
berasosiasi dengan polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin
membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple, 1993).
Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer anhidrogluksa
menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Proses tersebut akan
menghasilkan oligosakarida, disakarida atau trisakarida seperti selobiosa,
glukosa monomer atau produk degradasinya. Produk utama degradasi selulosa
adalah glukosa dan selobiosa (Judoamidjojo et al., 1989).
Hemiselulosa merupakan heteropolisakarida yang mengandung berbagai
gula, terutama pentosa. Hemiselulosa umumnya terdiri dari dua atau lebih
residu pentosa yang berbeda. Komposisi polimer hemiselulosa sering
mengandung asam uronat sehingga mempunyai sifat asam. Hemiselulosa
memiliki derajat polimerisasi yang lebih rendah, lebih mudah terhidrolisis
dalam asam, mempuyai suhu bakar yang lebih rendah dibandingkan selulosa
18
dan tidak berbentuk serat-serat yang panjang. Selain itu, umumnya
hemiselulosa larut dalam alkali dengan konsentrasi rendah, yaitu semakin
banyak cabangnya semakin tinggi kelarutannya. Hemiselulosa dapat
dihidrolisis dengan enzim hemiselulase (xilanase) (Kusnandar, 2010).
Lignin merupakan zat organik polimer yang penting dalam dunia
tumbuhan, karena lignin meningkatkan sifat-sifat kekuatan mekanik
sedemikian rupa, sehingga tumbuhan yang besar seperti pohon yang tingginya
puluhan meter dapat tetap berdiri. Lignin terdapat dalam jaringan vaskuler
berfungsi sebagai pengangkut cairan. (Fengel dan Wegner, 1995). Mekanisme
degradasi lignin oleh fungi adalah depolimerisasi dengan pemutusan ikatan
molekul. Pemecahan tersebut menghasilkan senyawa fenol dengan bobot
molekul rendah seperti fenol karboksilat (asam sinamat). Degradasi kemudian
dilanjutkan melalui cicin aromatik (Fengel dan Wegner, 1995).
19
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tongkol jagung
manis yang diperoleh dari daerah Cibanteng, onggok dan bekatul dari
daerah Tapos, ampas tahu dari daerah Cibanteng, dan bungkil kacang tanah
dari Pasar Bogor. Isolat Aspergillus niger dan Neurospora sitophila
diperoleh dari koleksi Laboratorium Biondustri, TIN, FATETA, IPB.
Bahan kimia untuk analisis, diantaranya adalah air destilata, alkohol,
NaOH, H2SO4, H3BO4, kapas, katalis, dinitrosalycilic acid (DNS), fenol
5%, Pb asetat setengah basa, dan bahan-bahan lainnya.
2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain hammer
mills, disc mills, blender, neraca analitik, pengayak 40-60 mesh, autoklaf,
inkubator, jarum ose, oven, tabung reaksi, cawan petri, labu ukur, labu
erlenmeyer, desikator, labu didih, tabung soxhlet, kertas saring, sudip,
penjepit, mini magnet stirrer, gelas kimia, dan pipet.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan penelitian, yaitu
sebagai berikut (diagram proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 7) :
1. Penelitian Pendahuluan
a. Penyiapan Bahan
Tongkol jagung yang sudah dikeringkan dicacah kasar kemudian
digiling dengan menggunakan hammer mill dan dihaluskan dengan disc
mills. Tongkol jagung hasil penggilingan kemudian diayak dengan
menggunakan ayakan berukuran 40 mesh.
Bahan baku untuk produksi inokulum juga mengalami perlakuan
pendahuluan, berupa perlakuan fisik. Ampas tapioka dan ampas tahu
20
dikeringkan pada 45–50oC. Setelah kering, digiling dan diayak sampai
menjadi tepung. Pada bekatul hanya dilakukan pengayakan, sedangkan
pada bungkil kacang tanah dilakukan proses pengahancuran terlebih
dahulu dengan blender kemudian diayak hingga menjadi tepung.
Gambar 6. Diagram proses penelitian
b. Karakterisasi Komposisi Proksimat Tongkol Jagung dan Substrat
Inokulum
Pada tahap ini selanjutnya dilakukan analisis proksimat tongkol
jagung dan bahan baku inokulum, yang meliputi kadar air, kadar abu,
kadar protein, kadar lemak, dan kadar serat kasar. Selain itu pada tongkol
jagung, dilakukan pula analisis kadar lignin, selulosa, dan hemiselulosa.
Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1.
Hasil analisis komponen proksimat onggok, ampas tahu, bekatul,
dan bungkil kacang tanah digunakan untuk menentukan nilai kisaran
nisbah C/N. Nilai kadar karbon dihitung melalui pendekatan nilai kadar
Karakterisasi dan
Penentuan
Perbandingan
Komposisi
Substrat Inokulum
Karakterisasi
Tongkol Jagung
Penyegaran
Kultur
Produksi
Inokulum
Pengamatan setiap 1 minggu
(kadar air dan viabilitas spora)
Kultivasi tongkol jagung setiap 2 minggu
(dengan inokulum viabilitas tertinggi)
Analisis hasil kultivasi tongkol
jagung
21
karbohidrat, sedangkan nilai kadar nitrogen dihitung melalui pendekatan
nilai kadar protein.
2. Penelitian Utama
Pada penelitian utama dikaji penggunaan substrat dalam penyiapan
inokulum untuk masing-masing kapang. Sumber karbon yang digunakan
adalah onggok, sedangkan sumber nitrogen yang digunakan meliputi ampas
tahu, bekatul, dan bungkil kacang tanah. Rasio nisbah C/N yang digunakan
adalah 5 dan ditentukan berdasarkan komponen proksimat untuk masing-
masing substrat inokulum yang telah dilakukan pada tahap 1.b. Tahapan
penelitian utama meliputi :
a. Penyegaran Kultur
Penyegaran kultur dilakukan dengan menumbuhkan kapang yang
berasal dari media agar miring Potato Dextrose Agar (PDA). Kapang
A.niger dan N. sitophila masing–masing diinokulasikan pada tabung
reaksi berisi media agar miring PDA steril secara aseptis dengan
menggunakan jarum ose. Tabung reaksi kemudian ditutup dengan kapas
dan diinkubasi selama 6 hari pada suhu 30–32°C.
b. Produksi inokulum
Sebanyak 50 g media inokulum dimasukkan dalam wadah plastik
(baskom) dan ditimbang. Komposisi perbandingan media inokulum
diperoleh pada tahap 1.b disajikan pada Tabel 7. Sebelumnya, media
inokulum disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah dingin
diinokulasi dengan suspensi spora sebanyak 20% (% v/b, bobot kering),
yaitu 10 ml suspensi spora yang berasal dari agar miring PDA
diinokulasikan ke dalam 50 g media. Kemudian diaduk secara aseptis dan
ditutup oleh kertas buram.
Selanjutnya media inokulum diinkubasi pada suhu ruang (26–
35oC). Inkubasi dilakukan selama 3 hari pada inkubator (Gambar 7).
Setelah inkubasi, dikeringkan pada suhu 45–50oC selama 1 hari,
kemudian dikemas dalam kantung plastik polietilen dan disimpan pada
22
tempat tertutup pada suhu 28–30oC dan kelembapan relatif (RH) sekitar
60–80%.
Tabel 7. Komposisi perbandingan bobot substrat inokulum
Media
Perbandingan Media Inokulum
Onggok Ampas Tahu Bekatul Bungkil
Kacang Tanah
Onggok+
Ampas Tahu 3,61 4,71 - -
Onggok+Bekatul 1,86 - 7,43 -
Onggok+Bungkil
Kacang Tanah 4,02 - - 3,50
Gambar 7. Inkubator untuk produksi inokulum spora
c. Penyimpanan Inokulum
Pada penyimpanan inokulum, selanjutnya dilakukan pengamatan
setiap minggu selama 2 bulan. Pengujian yang dilakukan meliputi
pengujian kadar air dan viabilitas spora (prosedur analisis disajikan pada
Lampiran 1).
23
Rancangan percobaan yang digunakan pada produksi inokulum
untuk masing-masing kapang adalah rancangan acak kelompok dengan
faktor perlakuan komposisi campuran substrat yang terdiri dari 3 taraf
(onggok dan ampas tahu, onggok dan bekatul, onggok dan bungkil
kacang tanah) dan faktor lama penyimpanan yang terdiri dari 9 taraf (0,
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 minggu). Tiap perlakuan dua kali ulangan. Model
rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik et
al., 2000) :
Yijk =µ + Rk + αi + βi + (αβ)ij +εijk
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan
µ = rata-rata sebenarnya
αi = pengaruh faktor ke-α (komposisi substrat) pada taraf ke-i
(i=onggok+ampas tahu, onggok+bekatul, onggok+bungkil
kacang tanah)
βi = pengaruh faktor ke-β (lama penyimpanan) pada taraf ke-j
(j=0,1,2,3,4,5,6,7,8,9 minggu)
(αβ)ij = pengaruh interaksi faktor α taraf ke-i dengan faktor β taraf ke-j
eijk = error
Data yang dihasilkan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA)
menggunakan Statistic Analysis Software (SAS) dengan tingkat
kepercayaan 95%. Apabila sidik ragam menunjukkan hasil yang
berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui
perlakuan yang berbeda.
d. Uji Viabilitas pada Hidrolisis Tongkol Jagung
Inokulum dengan viabilitas spora tertinggi selama penyimpanan
dua bulan, selanjutnya diinokulasikan ke tongkol jagung pada minggu
ke–2, 4, 6, 8 untuk diuji kemampuan inokulum pada hidrolisis tongkol
jagung. Media tongkol jagung disiapkan sebanyak 100 g dan dicampur
dengan air sebanyak 150 ml. Media ini disterilisasi pada suhu 121oC
selama 15 menit. Setelah dingin substrat tongkol jagung diinokulasi
dengan spora yang telah ditumbuhkan pada media inokulum (15% g/g),
kemudian dicampur sampai rata secara aseptis.
24
Substrat yang telah diinokulasi ini kemudian ditutup dengan kertas
buram, lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 9 hari. Setelah diinkubasi
selama 9 hari dilakukan pemanenan dan pengeringan pada suhu 45–50oC
selama 2 hari. Hasil pengeringan dimasukkan ke dalam plastik polietilen.
Selanjutnya dilakukan analisa, meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar
protein, kadar lemak, kadar serat kasar, gula pereduksi, total gula, dan
penampakan mikroskopis yang disajikan pada Lampiran 1. Proses
kultivasi tongkol jagung dari inkubasi sampai pengeringan untuk
mendapatkan produk yang dapat dianalisa dapat dilihat pada Gambar 8.
Rancangan percobaan yang digunakan pada uji viabilitas inokulum
pada hidrolisis tongkol jagung adalah rancangan acak lengkap dengan
perlakuan umur simpan inokulum yang terdiri dari 4 taraf (2, 4, 6, dan 8
minggu). Tiap perlakuan dua kali ulangan. Model rancangan percobaan
yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik et al., 2000):
Yij = µ+ αi + εij
Keterangan :
Yij = variabel respon hasil observasi ke j yang terjadi karena pengaruh
bersama taraf ke i faktor (nilai pengamatan)
µ = rata-rata sebenarnya
αi = pengaruh faktor ke-α (umur simpan inokulum) pada taraf ke-i
(i=2,4,6,8 minggu)
eijk = error (galat perlakuan ke i pada ulangan j)
Data yang dihasilkan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA)
menggunakan Statistic Analysis Software (SAS) dengan tingkat
kepercayaan 95%. Apabila sidik ragam menunjukan hasil yang
berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui
perlakuan yang berbeda.
25
a. Aspergillus niger b. Neurospora sitophila
Keterangan:
1). Keadaan selama proses kultivasi
2). Keadaan ketika pemanenan setelah 9 hari dikultivasi
3). Sampel yang akan dianalisis setelah pengeringan selama 2 hari
Gambar 8. Proses kultivasi tongkol jagung menggunakan inokulum
kapang
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI BAHAN
1. Tongkol Jagung
Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi komposisi kimia tongkol
jagung sebagai bahan baku pembuatan pakan, yaitu dengan pendekatan
komponen proksimat. Nilai analisis proksimat tongkol jagung dapat
berbeda–beda tergantung jenis tongkol jagung, waktu pemanenan,
penanganan setelah pemanenan, dan penyimpanan (Suarni, 2005). Hasil
analisis proksimat tongkol jagung yang digunakan pada penelitian ini tersaji
pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi tongkol jagung
Komponen (%b.b) (%b.k)
Air 10,71 -
Abu 1,51 1,69
Protein 0,54 0,60
Lemak 2,09 2,34
Serat Kasar 70,67 79,15
Karbohidrat (by difference) 14,48 16,22
Nilai kandungan protein yang rendah menunjukkan bahwa tongkol
jagung belum memenuhi gizi sebagai pakan ternak. Kandungan protein dan
serat kasar pada pakan yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia
masing-masing sebesar 8% dan 15% dari bobot kering bahan. Rendahnya
nilai protein tongkol jagung dalam sistem kultivasi dapat diatasi dengan
melakukan penambahan inokulum dengan substrat campuran yang
kandungan proteinnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tongkol
jagung.
Kadar protein dan lemak tongkol jagung cukup rendah, namun
memiliki kandungan serat yang cukup tinggi, sehingga dapat digunakan
untuk bahan baku pakan ternak. Tongkol jagung mengandung selulosa,
27
hemiselulosa, dan lignin, sehingga tongkol jagung dapat digunakan sebagai
sumber energi, bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi
pertumbuhan mikroba. Kandungan lignoselulosa pada tongkol jagung dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kandungan lignoselulosa tongkol jagung
Komponen (%b.k)
Lignin 10,97
Hemiselulosa 51,41
Selulosa 34,90
Komponen lignin, hemiselulosa dan selulosa merupakan komponen
dengan struktur yang kompak. Tingginya kandungan lignin pada tongkol
jagung menunjukkan bahwa tongkol jagung relatif sulit untuk dicerna oleh
mikroba. Hal ini diperkuat oleh Sutardi (1980) yang menyatakan bahwa
kandungan lignin pada hijauan erat hubungannya dengan manfaat bahan
makanan ternak. Bila kadar lignin tinggi, maka koefisien cerna bahan
makanan tersebut rendah.
Tingginya kandungan serat kasar pada tongkol jagung mengakibatkan
kecernaan bahan tersebut rendah, karena masih memiliki dinding sel yang
terselimut oleh kristal silika. Untuk mengatasi hal itu perlu dilakukan suatu
pengolahan yang sesuai, sehingga bahan pakan lignoselulosik memiliki
kualitas yang cukup baik sebagai pakan ternak. Oleh karena itu, diperlukan
suatu proses untuk mendegradasi komponen tersebut, salah satunya adalah
melalui hirolisis biologis tongkol jagung dengan menggunakan kapang
selulolitik.
2. Substrat untuk Produksi Inokulum
Pemillihan bahan inokulum berdasarkan pada pertimbangan
kemudahan memperoleh bahan baku. Perlakuan pendahuluan diperlukan
terhadap bahan baku yang merupakan hasil samping dari limbah industri.
Perlakuan pendahuluan tersebut, diantaranya adalah mengeringkan bahan
28
dan memperkecil ukuran bahan sehingga menjadi tepung. Hal ini
berdasarkan pembuatan inokulum tempe (ragi tempe) yang berbentuk
tepung. Selain itu, bahan baku dibuat menjadi tepung agar penyebaran spora
kapang dapat merata.
Pada penelitian ini dilakukan analisis proksimat pada substrat onggok,
ampas tahu, bekatul, dan bungkil kacang tanah. Hasil analisis kadar
karbohidrat dan kadar protein berguna untuk menentukan nilai nisbah
karbon dan protein. Onggok yang memiliki kandungan karbohidrat yang
cukup besar akan dicampurkan dengan bahan-bahan yang mengandung
protein yang cukup, sehingga didapat nilai C/N yang seimbang. Nilai nisbah
karbon dan protein (nilai C/N) perbandingan onggok dengan ampas tahu,
bekatul, dan bungkil kacang tanah yang diinginkan sesuai dengan nilai C/N
pertumbuhan kapang. Pada Tabel 6, diketahui bahwa komponen penyusun
kapang terdiri atas karbon sekitar 40–63% (b.k) dan protein sekitar 7–10%
(b.k). Oleh karena itu, nilai C/N untuk komposisi kapang adalah 4–9. Hasil
analisis proksimat onggok beserta ampas tahu, bekatul, dan bungkil kacang
tanah disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Komposisi proksimat pada substrat
Komponen Onggok
(%b.k)
Ampas Tahu
(%b.k)
Bekatul
(%b.k)
Bungkil Kacang
Tanah (%b.k)
Abu 2,17 3,30 12,59 5,17
Protein 1,94 19,77 12,97 26,36
Lemak 0,33 6,10 16,35 23,06
Serat Kasar 10,18 30,02 12,19 0,58
Karbohidrat
(by difference) 85,39 40,81 45,90 44,83
Rasio C/N 44,04 2,06 3,54 1,70
Berdasarkan hasil analisa tersebut kemudian dihitung agar didapat
perbandingan C/N = 5 berdasarkan modifikasi Doelle et al. (1992).
Pemilihan nisbah C/N = 5 dikarenakan perkiraan kapang tumbuh baik pada
kondisi cukup karbon dan nitrogen. Apabila terlalu banyak nitrogen, kapang
tidak dapat tumbuh maksimal, karena dikhawatirkan kapang tersebut akan
29
melakukan aktivitas mendegradasi komponen nitrogen tersebut bukan
melakukan pertumbuhan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Fardiaz
(1992), bahwa nitrogen dari hasil pemecahan protein digunakan untuk
membangun protoplasma di dalam sel, sedangkan energi yang dibutuhkan
untuk sintesis tersebut terutama diperoleh dari pemecahan karbohidrat. Oleh
karena itu, dibutuhkan jumlah karbohidrat yang cukup besar dibandingkan
dengan jumlah protein, karena mikroba membutuhkan energi yang besar di
dalam pertumbuhannya.
Setelah dilakukan perhitungan, didapat perbandingan onggok dan
ampas tahu (3,61 : 4,71), onggok dan bekatul (1,86 : 7,43), serta onggok dan
bungkil kacang tanah (4,02: 3,50). Perhitungan ini menggunakan
perbandingan karbohidrat dan protein pada komposisi bahan campuran
tersebut. Hasil dari perbandingan ini yang dijadikan komposisi bahan
inokulum. Perhitungan perbandingan dan komposisi substrat inokulum
dicantumkan pada Lampiran 2. Hasil perhitungan komposisi campuran
substrat inokulum dapat dilihat pada Tabel 11. Secara teoritis, substrat
campuran akan menghasilkan nilai komposisi proksimat yang berbeda tetapi
perbandingan C/N tetap 5.
Tabel 11. Hasil perhitungan komposisi campuran substrat inokulum
Komponen Onggok+Ampas
Tahu (%b.k)
Onggok+Bekatul
(%b.k)
Onggok+Bungkil
Kacang Tanah
(%b.k)
Abu 2,81 10,50 3,56
Protein 12,03 10,76 13,31
Lemak 3,60 13,14 10,91
Serat Kasar 21,41 11,78 5,71
Karbohidrat
(by difference) 60,16 53,81 66,51
30
B. PRODUKSI INOKULUM
Setelah dilakukan perhitungan perbandingan substrat, maka dibuat
substrat inokulum berdasarkan perbandingan substrat tersebut. Tujuan
pembuatan inokulum adalah untuk mempermudah penggunaan inokulum oleh
masyarakat, serta dapat digunakan dan didistribusikan kapan saja.
Sebelum diinokulasikan dengan kapang yang berasal dari agar miring
PDA, substrat terlebih dahulu diberi air kemudian disterilisasi. Hal ini
bertujuan meningkatkan kandungan air bahan, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan air kapang yang digunakan untuk tumbuh dan melakukan
metabolisme selama proses kultivasi. Selanjutnya bahan tersebut disterilisasi
agar kontaminan yang berada dalam bahan mati.
Media dimasukkan dalam wadah plastik polistirena (baskom) dan setelah
dingin dilakukan inokulasi oleh suspensi spora kapang yang berasal dari agar
miring PDA. Pengadukan secara aseptis dilakukan agar suspensi spora merata
dalam media. Wadah ditutup dengan kertas buram untuk meminilisasi
kontaminan. Kertas buram digunakan karena pori–pori dalam kertas tersebut
tidak terlalu rapat, sehingga kapang dapat melakukan aktivitas metabolik-nya.
Inokulum kemudian diinkubasikan selama 3 hari untuk inokulum kapang
Aspergillus niger dan 4 hari untuk inokulum kapang Neurospora sitophila.
Menurut Supriyati et al. (1999), laju pertumbuhan A .niger dalam substrat
ampas tahu cukup cepat terlihat dari waktu inkubasi satu hari, pada permukaan
substrat telah tampak miselium putih, berarti kapang telah memasuki fase
eksponensial. Hari kedua inkubasi seluruh kapang telah tertutup miselium putih
keabu-abuan serta mulai nampak adanya spora, dan pada hari ketiga spora
berwarna hitam telah menutupi hampir seluruh permukaan sebstra. Hal ini
menunjukkan pertumbuhan maksimal dari A. niger. Sebaliknya dengan
N.sitophila, pertumbuhan lebih lambat karena pada hari kedua setelah inokulasi
baru terlihat adanya miselium putih tipis, dan hari keempat mulai tumbuh spora
yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna oranye pada permukaan substrat.
Hari ketiga inkubasi pada kapang A. niger dan empat hari pada
N.sitophila mungkin telah berada pada fase stasioner pertumbuhan.
Kemungkinan tersebut didasarkan pada pertumbuhan spora yang telah
31
menutupi permukaan substrat. Fase stasioner merupakan fase dimana jumlah
kapang tidak bertambah akibat jumlah kapang yang tumbuh sama dengan
jumlah yang mati. Menurut Fardiaz (1989) bahwa fase stasioner terjadi karena
nutrien dalam medium sudah sangat berkurang juga terjadi akumulasi
metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan.
Alexopolous et al. (1997) menyatakan bahwa awal pembentukan spora
mengisyaratkan proses metabolisme kapang menjadi minimal serta produksi
enzim juga mulai berhenti. Sporulasi merupakan respon kapang terhadap
kondisi lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan yang dapat
disebabkan oleh kekurangan nutrien, perubahan suhu, pH, dan faktor lainnya.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa waktu inkubasi tiga hari
merupakan waktu yang optimum bagi pembentukan spora pada A. niger dan
empat hari pada N. sitophila. Pemilihan pertumbuhan kapang pada waktu
optimum, dikarenakan inokulum tersebut akan disimpan dalam bentuk spora
inokulum kering, sehingga dibutuhkan kebutuhan spora yang cukup pada
inokulum tersebut.
Pemanenan inokulum dilakukan dengan pengeringan pada suhu 45–50oC
selama satu hari. Pengeringan ini dilakukan agar kapang menjadi dorman,
sehingga berhenti aktivitas pertumbuhannya. Pengeringan mengakibatkan
penurunan kadar air yang mengakibatkan aktivitas kapang terhambat.
Selanjutnya inokulum tersebut dikemas dalam kantung plastik polietilen
dan disimpan pada suhu ruangan (28–30oC). Polietilen merupakan film yang
lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan serta kekuatan
sobek yang baik. Dengan pemanasan akan menjadi lunak dan mencair pada
suhu 110oC. Berdasarkan sifat permeabilitasnya yang rendah serta sifat-sifat
mekaniknya yang baik, polietilen mempunyai ketebalan 0.001 sampai 0.01
inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan, karena sifatnya
yang thermoplastik, polietilen mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan
yang baik (Sacharow dan Griffin, 1970). Selain itu, pemilihan kemasan ini
berdasarkan kemudahan mendapatkannya dan agar masyarakat mudah
menggunakan serta mendistribusikannya. Penyimpanan dilakukan di tempat
tertutup agar meminimilisasi dari kontaminan.
32
C. PERUBAHAN KUALITAS INOKULUM SELAMA PENYIMPANAN
Inokulum spora yang telah dibuat kemudian disimpan dan diamati
perubahannya selama dua bulan. Perubahan tersebut akan menentukan spora
tersebut masih cukup baik atau tidak digunakan untuk menghidrolisis tongkol
jagung. Parameter–parameter yang diamati, meliputi perubahan kadar air dan
viabilitas spora.
1. Kadar Air
Hasil analisis sidik ragam kadar air (Lampiran 3.A) menunjukkan
bahwa komposisi substrat serta interaksi antar faktor komposisi substrat dan
lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata pada kadar air. Uji lanjut
Duncan terhadap komposisi bahan menunjukkan kadar air berbeda nyata
dengan semua perlakuan komposisi substrat (onggok+ampas tahu,
onggok+bekatul, dan onggok+bungkil kacang tanah).
Selama penyimpanan inokulum terjadi proses penetrasi uap air dari
ruang penyimpanan ke dalam kemasan inokulum yang memiliki kadar air
yang relatif rendah. Oleh karena itu, inokulum akan menyerap air dari
sekelilingnya sehingga semakin lama penyimpanan inokulum makan kadar
air akan meningkat. Perubahan kadar air pada inokulum dapat dilihat pada
Gambar 9.
(a) (b)
Gambar 9. Perubahan kadar air inokulum selama penyimpanan
untuk (a) A. niger dan (b) N. sitophila
Selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30°C) inokulum kapang
mengalami kenaikan kadar air, baik pada inokulum A. niger maupun
33
inokulum N. sitophila. Peningkatan kadar air ini terjadi karena metabolisme
mikroba yang diikuti oleh pelepasan air, selain itu terjadi juga penetrasi uap
air melalui kemasan (Buckle, et al., 1985).
Peningkatan kadar air selain terjadi akibat akumulasi air hasil
mekanisme respirassi seluler pada mikroba, juga terjadi akibat minimnya
transfer panas pada substrat sehingga tingkat evaporasi cenderung rendah
dan mengakibatkan air, baik yang terkandung di dalam substrat maupun air
hasil metabolit, terakumulasi di dalam sistem dan meningkatkan kadar air
bahan. Selain itu, menurut Sacharow dan Griffin (1970), plastik polietilen
mempunyai daya proteksi terhadap uap air yang cukup baik, akan tetapi
kurang baik bagi gas-gas yang lain seperti oksigen. Hal ini yang
menyebabkan terjadinya proses masuknya air ke dalam kemasan walaupun
cukup kecil dan mengakibatkan kadar air meningkat.
Penyimpanan inokulum N. sitophila dengan kadar air awal yang lebih
rendah daripada inokulum A. niger, menunjukkan kenaikan kadar air yang
lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena bahan yang berbentuk bubuk
umumnya bersifat higroskopis. Bahan yang kadar airnya lebih rendah, lebih
mudah menyerap air karena menyesuaikan dengan kelembaban
lingkungannya.
Menurut Hesseltine dan Wang (1982), kapang dapat tumbuh dengan
baik pada kadar air 12-35%. Kedua inokulum kapang tersebut mengalami
kenaikan kadar air yang cukup besar, namun kadar air masih dibawah 12%
sehingga inokulum tersebut dapat dikatakan baik karena kapang dalam
keadaan dorman.
2. Viabilitas Spora
Hasil analisis sidik ragam untuk viabilitas spora (Lampiran 3.B)
menunjukkan bahwa komposisi substrat serta interaksi antar faktor
komposisi substrat dan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata
pada viabilitas spora. Berdasarkan uji lanjut Duncan terdapat perbedaan
media penghasil spora, yaitu komposisi campuran onggok dan ampas tahu,
34
onggok dan bekatul, serta onggok dan bungkil kacang memberi pengaruh
nyata terhadap viabilitas spora.
Berdasarkan hasil tersebut terlihat adanya perbedaan kemampuan
untuk tumbuh dari spora yang berasal dari substrat yang berbeda–beda.
Perbedaan ini diduga bukan semata–mata karena perbedaan komposisi
substrat yang berpengaruh pada kemampuan germinasi spora, tetapi diduga
karena adanya perbedaan kematangan spora saat dipanen dan perbedaan
masa fase dorman dari spora tersebut.
Tingkat kematangan yang berbeda–beda akan menyebabkan berbeda
pula masa dorman spora dalam hal ini constitutive dorman, dimana spora
yang dorman dengan kematangan yang cukup (siap germinasi) ketika
ditempatkan pada lingkungan yang cocok misalnya pada PDA lebih cepat
untuk terjadinya germinasi. Sementara spora yang belum cukup matang
ketika ditumbuhkan pada PDA tidak mampu langsung untuk melakukan
germinasi, tetapi melakukan aktifitas metabolik untuk menyempurnakan
kematangannya.
Hal ini seperti yang disebutkan Bilgrami dan Verma (1978) bahwa
spora fungi selama periode dorman menyempurnakan proses pematangan,
atau jika telah siap matang digunakan sebagai periode menjalani istirahat
sebelum bergerminasi. Jadi faktor kematangan spora diduga penyebab
berbedanya jumlah spora tumbuh. Spora yang cukup matang akan
bergerminasi lebih cepat, sementara yang belum cukup matang
menggunakan waktu dorman untuk penyempurnaan kematangannya.
Perbedaan komposisi media produksi spora kaitannya dengan kematangan
spora adalah tersedianya sejumlah nutrisi untuk pembentukan spora, karena
kapang dalam pembentukan dan pematangan sporanya sangat dipengaruhi
oleh ketersediaan nutrisi di lingkungannya. Ilyas (2007) menambahkan
bahwa secara morfologis dan fisiologis, spora yang telah matang sempurna
memiliki ketahanan yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan,
sehingga secara alamiah dapat melakukan proses dormansi tanpa kehilangan
kemampuan viabilitasnya. Sebaliknya, penggunaan kultur yang sporanya
35
belum matang secara sempurna akan menyebabkan spora lebih rentan
terhadap perubahan lingkungan sehingga mudah kehilangan viabilitasnya.
Menurut Frazier (1992), spora mikroba berkurang kemampuan untuk
bergerminasi, antara lain disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak
sesuai. Parameter-parameter kondisi lingkungan yang dimaksud adalah
suhu, kelembaban, inhibitor biologis (bakteri, kutu, binatang kecil, dll.) dan
berkurangnya nutrisi esensial, seperti asam amino di dalam media
pertumbuhannya. Dalam hal ini, penurunan viabilitas spora diduga juga
diakibatkan karena berkurangnya nutrisi pada substrat dan meningkatnya
inhibitor biologis yang seiring dengan meningkatnya kadar air.
Pada jenis inokulum dengan kadar air lebih tinggi, jumlah spora
kapang lebih tinggi dibandingkan dengan inokulum dengan kadar air
rendah. Hal ini dapat dilihat pada perbandingan kadar air inokulum A. niger
yang lebih tinggi dari inokulum N. sitophila, mengakibatkan jumlah spora
inokulum A. niger lebih banyak. Selain itu, hal ini diduga dari kemampuan
A. niger yang mudah tumbuh dan beradaptasi jika lingkungan tumbuhnya
terpenuhi, sehingga mengakibatkan jumlah spora A. niger lebih banyak
dibandingkan N. sitophila.
Semakin lama penyimpanan, baik inokulum N. sitophila maupun
inokulum A. niger, jumlah koloni kapangnya akan menurun. Faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroba tersebut antara lain nutrien yang
tersedia, air, oksigen, suhu, pH, serta ada tidaknya komponen anti mikroba
(Fardiaz, 1989). Semakin lama penyimpanan inokulum maka nutrisi yang
dibutuhkan bagi pertumbuhannya semakin berkurang, sehingga jumlah
koloni kedua jenis kapang yang tumbuh akan berkurang. Dengan demikian
zat gizi akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan yang menyebabkan
penurunan jumlah mikroba dalam fase menuju kematian.
Perbedaan kemampuan germinasi dan sporulasi dipengaruhi oleh
perbedaan komposisi media yang memberikan ketersediaan nutrien yang
berbeda. Karena menurut Perlman (1968), sporulasi, baik fenotip, kualitatif
dan kuantitatif lebih besar tergantung pada faktor lingkungan antara lain
(sumber C, N, nisbah C/N, dan mineral) dan kandungan air dalam medium
36
dan kelembapan relatif. Perbedaan substrat bahan pada inokulum akan
memberikan perbedaan konsentrasi nutrisi, terutama perbedaan kandungan
selulosanya sebagai sumber C. Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan satu minggu sekali dapat diketahui penurunan jumlah spora
kering pada tiap bahan inokulum.
Hasil pengamatan viabilitas spora selama dua bulan untuk kapang
A.niger menunjukkan penurunan jumlah spora dalam berbagai substrat.
Pada substrat onggok+ampas tahu menurun dari 73,51 x 107 menjadi
13,89x107 atau mengalami penurunan sebesar 8,16%, onggok+bekatul
menurun dari 82,91 x 107 menjadi 24,95 x 10
7 atau mengalami penurunan
sebesar 5,86% dan onggok+bungkil kacang tanah menurun dari 91,24 x 107
menjadi 37,50 x 107
(spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan
sebesar 4,30%. Grafik viabilitas spora inokulum A. niger disajikan pada
Gambar 10(a). Pada inokulum A. niger penurunan viabilitas spora sangat
rendah hingga akhir pengamatan selama 2 bulan. Hal ini dapat disebabkan
daya tahan hidup A. niger yang tinggi.
Pada inokulum A. niger, viabilitas yang tertinggi terdapat pada
campuran onggok dan bungkil kacang tanah. Hal ini dikarenakan bungkil
kacang tanah mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bahan–bahan yang lainnya. Berdasarkan perhitungan teoritis kadar protein
onggok+bungkil kacang tanah (pada Tabel 2) memiliki kandungan
mencapai 13,31%.
Menurut Muchtadi et al. (1992), Aspergillus merupakan salah satu
mikroba penghasil protease yang cukup potensial. Protease adalah enzim
proteolitik yang merupakan biokatalisator untuk reaksi pemecahan protein.
Lebih lanjut Fardiaz (1992) menyatakan bahwa mikroba melalui sistem
enzim yang kompleks memecah protein menjadi senyawa-senyawa yang
lebih sederhana dengan pola sebagai berikut :
Protein Proteosa Pepton Polipeptida Peptida
Asam amino NH3 dan elemen N
37
(a)
(b)
Gambar 10. Perubahan viabilitas spora inokulum selama penyimpanan
untuk (a) A. niger dan (b) N. sitophila
Menurut Enari (1983), A. niger dalam pertumbuhannya sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan senyawa nitrogen, baik nitrogen organik
maupun nitrogen anorganik. Hal ini yang menyebabkan A. niger lebih
mudah tumbuh dan dapat bertahan pada campuran onggok dan bungkil
kacang tanah dibandingkan dengan campuran onggok+bekatul dan
onggok+ampas tahu. Walaupun pada kandungan kadar air yang cukup
rendah, enzim tersebut dapat dikeluarkan, karena menurut Meyrath dan
Volavsek (1975), protease dari Aspergillus tergolong enzim ekstraseluler
yang dapat menghidrolisa substrat di sekitarnya. Enzim ini bersifat
38
terinduksi, artinya pada substrat yang sesuai produksinya akan meningkat.
Tanpa diinduksi, enzim tetap diproduksi, tetapi dalam jumlah yang lebih
kecil.
Berdasarkan hasil penelitian Ilyas (2007), inokulum spora A. niger
yang disimpan pada suhu 5oC, menunjukkan penurunan viabilitas yang
sangat rendah. Jumlah spora yang terhitung sebanyak 4 x 107 cfu/ml. Jumlah
tersebut masih cukup baik untuk digunakan sebagai spora inokulum. Oleh
karena itu, dapat dikatakan penurunan viabilitas pada inokulum A.niger di
semua campuran media yang disimpan pada suhu ruang masih cukup
rendah, sehingga spora inokulum tersebut masih baik digunakan hingga
akhir pengamatan (selama dua bulan).
Hasil pengamatan menunjukkan viabilitas spora selama dua bulan
untuk kapang N. sitophila juga mengalami penurunan jumlah spora dalam
berbagai media. Pada media onggok+ampas tahu menurun dari 63,13 x 107
menjadi 4,33 x 107 atau mengalami penurunan sebesar 13,38%,
onggok+bekatul menurun dari 83,43 x 107 menjadi 19,20 x 10
7 atau
mengalami penurunan sebesar 7,16%, dan onggok+bungkil kacang tanah
menurun dari 61,19 x 107 menjadi 2,15 x 10
7 (spora/g bobot kering) atau
mengalami penurunan sebesar 17,26%. Grafik viabilitas spora inokulum
N.sitophila disajikan pada Gambar 10(b).
Pada inokulum N. sitophila, viabilitas yang cukup tinggi terdapat pada
campuran onggok dan bekatul. Hal ini dikarenakan kandungan vitamin dan
mineral pada onggok+bekatul yang cukup tinggi dilihat dari nilai kadar abu
yang cukup tinggi, yaitu 10,50%. Menurut Luh (1991), bekatul mengandung
magnesium 5,0–13,0 (mg/g), kalsium 0,3–1,2 (mg/g), fosfor 11,0–25,0
(mg/g), silika 5,0–11,0 (mg/g), seng 43,0–58,0 (µg/g), thiamin 12,0–24,0
(µg/g), riboflavin/B2 1,8–4,0 (µg/g), dan tokoferol/vitamin E 149–154
(µg/g). Nutrien yang terkandung di dalam bekatul menjadi faktor yang
sangat penting dalam penyimpanan inokulum spora karena ketersediaan
nutrien merupakan syarat agar mikroba tetap bertahan, selain kondisi
lingkungan yang sesuai. Menurut Moat (1979), Neurospora tumbuh secara
normal pada substrat yang hanya mengandung sumber karbon, garam
39
organik dan biotin. Sumber karbon tersebut berupa mono-, di-, atau
polisakarida. Hal ini yang menyebabkan N. sitophila lebih mudah tumbuh
dan dapat bertahan pada campuran onggok dan bekatul dibandingkan
dengan campuran onggok+bungkil kacang tanah dan onggok+ampas tahu.
Penelitian terhadap daya tahan simpan inokulum oncom dengan kapang
Neurospora yang menggunakan substrat bungkil kacang tanah menunjukkan
jumlah spora yang masih baik untuk digunakan sebesar 3,8 x 106 per gram
inokulum (Anonimb, 2009).
Semua inokulum, baik inokulum A. niger maupun inokulum
N.sitophila di semua campuran media, masih dalam kondisi yang baik
selama penyimpanan dua bulan dilihat dari jumlah sporanya yang masih
baik untuk digunakan sebagai spora inokulum dan penurunan viabilitas
sporanya yang sangat rendah. Jika dibandingkan dengan penelitian Rahman
(1992) tentang inokulum tempe, didapatkan bahwa untuk menghasilkan
tempe yang baik, jumlah sel hidup yang terdapat dalam inokulum harus
berkisar antara 106-10
9 koloni/gram. Oleh karena itu, jumlah spora kedua
inokulum masih dianggap baik karena masih berada di atas 106 koloni/gram.
Substrat inokulum terbaik untuk kapang A. niger adalah onggok dan bungkil
kacang tanah, sedangkan untuk inokulum N. sitophila adalah onggok dan
bekatul. Selanjutnya, inokulum terbaik ini diaplikasikan pada kultivasi
tongkol jagung.
D. VIABILITAS INOKULUM PADA HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG
Kultivasi tongkol jagung dilakukan dengan menggunakan inokulum
kapang yang memiliki viabilitas tertinggi. Pada kapang A. niger digunakan
inokulum yang substratnya adalah campuran onggok dan bungkil kacang tanah,
sedangkan pada N. sitophila digunakan inokulum yang substratnya adalah
campuran onggok dan bekatul. Kultivasi tongkol jagung dilakukan setiap dua
minggu sekali dimulai pada minggu kedua. Kultivasi ini dilakukan untuk
mengetahui viabilitas inokulum pada hidrolisis tongkol jagung.
Kultivasi yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap.
Tahap pertama adalah persiapan media yaitu tongkol jagung diberi perlakuan
40
fisik yang bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel tongkol jagung.
Perlakuan fisik dilakukan melalui dua tahap yakni pencincangan kasar yang
dilanjutkan dengan penggilingan menggunakan hammer mill dan disc mills.
Hasil penggilingan dengan menggunakan disc mill kemudian diayak dengan
menggunakan ayakan berukuran 40 mesh. Pengecilan ukuran ini dilakukan
untuk memperluas permukaan substrat kultivasi serta memotong rantai amorf
pada struktur selulosa pada bahan sehingga memudahkan penguraian oleh
kapang selulolitik.
Pengecilan ukuran tongkol jagung dapat mengakibatkan pengurangan
fase kristalin fraksi selulosik tongkol jagung dan meningkatkan permukaan
reaktif bahan (Ghose dan Kostick, 1970). Pengecilan ukuran memotong rantai
amorf struktur selulosa dan memperluas permukaan substrat, sehingga
penguraian oleh kapang menjadi mudah.
Pada kultivasi tongkol jagung yang dilakukan, air pada sistem
diakomodasi melalui proses penambahan air pada substrat tongkol jagung
dengan perbandingan substrat : air (2 : 3) sehingga mencapai kadar air sekitar
60–68%. Penambahan air ini bertujuan untuk mempermudah proses
homogenisasi campuran substrat-inokulum, dan juga bertujuan untuk
meningkatkan jumlah air pada sistem kultivasi. Tanpa adanya air yang cukup
di dalam sistem pertumbuhan kapang yang digunakan akan terhambat dan akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan biomassa.
Tahap selanjutnya adalah proses sterilisasi. Proses sterilisasi dilakukan
baik terhadap inkubator maupun terhadap tongkol jagung. Sterilisasi oleh
Reddish (1957) didefinisikan sebagai segala proses, baik fisik maupun kimia,
yang dapat merusak organisme hidup, diaplikasikan terutama pada mikroba
termasuk bakteri, spora kapang, dan inaktivasi virus. Sebuah sistem yang steril
merupakan sebuah sistem yang di dalamnya tidak terdapat organisme hidup
baik yang bersifat mikroskopik maupun yang bersifat makroskopik. Proses
sterilisasi dilakukan terutama dengan tujuan agar sistem kultivasi padat yang
akan dilakukan terbebas dari kontaminasi. Proses ini menjadi salah satu faktor
penentu keberhasilan suatu sistem kultivasi, sehingga segala aspek yang
berkaitan dengan proses ini harus dilakukan dengan baik.
41
Aktivitas biologis kapang dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan
fisik seperti kadar air media, ketersediaan nutrien, konsentrasi inokulum, suhu
dan kelembaban relatif ruang inkubasi serta bentuk dan ukuran partikel substrat
(Moo-Young et al., 1983). Substrat tongkol jagung diinokulasikan dengan
inokulum kapang sebanyak 15% dari bobot tongkol jagung. Konsentrasi ini
berdasarkan penelitian Fakhruddin (1995) yang menggunakan inokulum spora
untuk produksi selulase menggunakan substrat padat campuran tandan kosong
dan sabut kelapa sawit. Selanjutnya ditutup dengan kertas buram untuk
meminimalisasi media dari kontaminan.
Suhu yang digunakan pada saat kultivasi adalah suhu ruang, yaitu sekitar
25–37oC. Suhu ruang dipilih agar mudah diaplikasilkan. Selain itu, berdasarkan
Fardiaz (1989), bahwa A. niger termasuk mikroba mesofilik dengan
pertumbuhan maksimum pada suhu 35°C-37°C dan N. sitophila mempunyai
suhu pertumbuhan antara 20–30oC pada kondisi aerobik (Judoamidjojo et al.,
1989), sehingga suhu ruang tersebut masih termasuk pada rentang suhu
optimum untuk pertumbuhan kapang.
Kultivasi substrat padat didefinisikan sebagai pertumbuhan mikrobial
pada partikel tanpa adanya air bebas di dalam sistem (Moo-Young et al.,
1983). Adanya air pada sistem kultivasi substrat padat biasanya terdapat pada
ikatan kompleks di dalam matriks padat atau sebagai lapisan tipis yang
terabsorbsi pada permukaan partikel atau terikat secara lemah pada daerah
kapiler substrat padat. Adapun tingkat kelembaban relatif pada kultivasi
substrat padat umumnya bervariasi antara 30% sampai dengan 85 % (Prior et
al., 1992). Kultivasi pada tongkol jagung menggunakan kedua inokulum
kapang dilakukan selama 9 hari. Hal ini berdasarkan penelitian sebelumnya
bahwa kedua kapang tersebut dapat menurunkan kadar serat tertinggi pada
umur 9 hari.
Pada penelitian ini pengadukan tongkol jagung dan inokulum spora
hanya diberikan di awal kultivasi, sehingga menyebabkan spora tidak merata
pada seluruh bagian substrat inokulum dan media tongkol jagung semakin
memadat pada akhir kultivasi. Gambar hasil kultivasi tongol jagung
42
menggunakan kedua jenis inokulum kapang dapat dilihat kembali pada
Gambar 8.
Setelah dilakukan kultivasi selama 9 hari, hasil kultivasi tersebut
kemudian dipanen dan dilakukan pengeringan selama 2 hari pada suhu 50oC
untuk mematikan spora. Selanjutnya, diukur beberapa parameter perubahan
setelah kultivasi tongkol jagung. Hasil analisis parameter perubahan setelah
kultivasi dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Parameter perubahan setelah kultivasi
Komponen
Aspergillus niger
(Umur Simpan Inokulum (Minggu))
Neurospora sitophila
(Umur Simpan Inokulum (Minggu))
2 4 6 8 2 4 6 8
Kadar Air
(%b.b) 23,08
a 24,60
a 24,89
a 25,87
a 40,62
a 41,79
a 42,16
a 41,91
a
Kadar Abu
(%b.k) 2,44
a 2,40
a 2,44
a 2,40
a 3,71
a 3,67
a 3,57
a 3,41
a
Kadar Protein
(%b.k) 2,46
a 2,53
a 2,54
a 2,50
a 5,59
a 5,42
a 5,60
a 5,55
a
Kadar Lemak
(%b.k) 2,03
a 2,01
a 2,01
a 2,01
a 2,90
a 2,83
a 2,89
a 2,85
a
Kadar Serat
(%b.k) 54,67
a 55,82
b 56,34
c 56,66
d 46,92
a 51,03
b 52,62
c 53,39
d
Total Gula
(ppm) 39,20
a 39,25
a 38,63
a 38,60
a 37,92
a 37,86
a 37,85
a 37,93
a
Gula Pereduksi
(ppm) 11,98
a 11,90
a 11,78
a 11,84
a 14,32
a 14,54
a 14,44
a 14,34
a
Derajat
Polimerisasi 3,27
a 3,30
a 3,28
a 3,26
a 2,65
a 2,60
a 2,62
a 2,62
a
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak
berpengaruh nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan. Jenis inokulum kapang
tidak dibandingkan.
1. Kadar Air setelah Kultivasi
Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam kadar air (Lampiran 4.A)
menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh nyata
terhadap perubahan kadar air tongkol jagung setelah kultivasi. Dengan
demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum tidak
mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari
parameter kadar air.
43
Kadar air tongkol jagung sebelum kultivasi sebesar 10,24% dan terjadi
peningkatan kadar air pada substrat awal sekitar 60–68% setelah
penambahan air. Peningkatan kadar air ini disebabkan untuk pelaksanaan
proses kultivasi, substrat harus cukup mengandung air untuk keperluan
pertumbuhan kapang, sedangkan kandungan air tongkol jagung rendah,
sehingga air harus ditambahkan agar terpenuhi kebutuhan air untuk
pertumbuhan kapang. Menurut Chalal (1985), pada kultivasi substrat padat,
substrat yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk
keperluan mikroba. Kebutuhan air untuk pertumbuhan kapang sekitar 60–
68%. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air menurun setelah
dilakukan kultivasi selama 9 hari. Penggunaan inokulum A. niger
menyebabkan kadar air tongkol jagung menurun menjadi sekitar 24%,
sedangkan penggunaan inokulum N. sitophila menyebabkan kadar air
menurun menjadi sekitar 41%.
Secara umum terjadi penurunan kadar air tongkol jagung setelah
dikultivasi dibandingkan dengan substrat awal (kadar air substrat 60–68%).
Penurunan ini disebabkan selama kultivasi dihasilkan energi, C02 air, dan
umumnya sebagian air akan menguap dan sebagian lainnya akan tertinggal
dalam produk (Fardiaz, 1989). Penurunan kadar air dapat disebabkan karena
terbentuknya panas akibat proses kultivasi. Sofyan (2003) menyatakan
bahwa pada kultivasi lebih dari 24 jam terjadi penguraian senyawa-senyawa
organik oleh adanya aktivitas enzim yang menghasilkan senyawa sederhana,
juga hasil lain dari proses metabolisme yaitu H2O dan energi dalam bentuk
panas. Terbentuknya panas selama proses kultivasi akan menyebabkan suhu
bahan meningkat dan air yang dihasilkan selama proses kultivasi akan
menguap, sehingga terjadi penurunan kadar air. Dengan demikian semakin
lama kultivasi, maka panas dari hasil metabolisme meningkat dan
menyebabkan kadar air semakin menurun.
Penurunan kadar air bahan juga menunjukan bahwa air pada substrat
digunakan pada proses pertumbuhan kapang. Proses hidrolisis komponen
selulosa substrat oleh enzim selulase ini membutuhkan air dalam jumlah
yang besar (Pelczar, 1986). Air yang dihasilkan sebagai hasil samping dari
44
proses metabolisme lebih kecil dibandingkan dengan air yang dibutuhkan
untuk mendegradasi serat pada substrat, sehingga mengakibatkan kadar air
menurun selama kultivasi. Selain aktivitas selulase, penurunan kadar air
juga terjadi akibat perubahan panas katabolik pada permukaan substrat yang
mengakibatkan evaporasi air dari dalam ke luar sistem. Mekanisme
hidrolisis selulosa secara lebih jelas disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Mekanisme hidrolisis selulosa (Campbell et al., 2006)
Adanya selulase memungkinkan terjadinya hidrolisis polisakarida
menjadi glukosa. Selanjutnya penguraian polisakarida menjadi glukosa
diikuti oleh proses pembentukan asam piruvat melalui lintasan glikolisis.
Asam piruvat kemudian teroksidasi menjadi satu molekul karbondioksida
dan satu kelompok asetil. Kelompok asetil ini kemudian yang berikatan
dengan koenzim A membentuk asetil KoA. Koenzim A ini merupakan
senyawa gabungan hasil katabolisme lipid dan protein. Selanjutnya, Asetil
KoA akan memasuki siklus asam sitrat. Siklus asam sitrat merupakan
sumber biosintesis berbagai biomolekul (Campbell dan Farrell, 2006). Pada
akhir siklus asam sitrat akan terbentuk asam oksaloasetat. Asam
oksaloasetat ini kemudian akan kembali mengikat asetil ko-A dan kembali
menjalani siklus Krebs. Siklus asam sitrat kemudian akan diikuti oleh rantai
transpor elektron. Rantai transpor elektron adalah tahapan terakhir dari
reaksi respirasi aerob. Mekanisme respirasi seluler ini secara lebih jelas
dapat dilihat pada Gambar 12.
45
a. Siklus Asam Sitrat
b. Rantai Transpor Elektron
Gambar 12. Mekanisme respirasi seluler (Campbell et al., 2006)
Pada akhir proses respirasi akan dihasilkan CO2 dan air sebagai hasil
akhir (Campbell dan Farrel, 2006; Ningsih, 2010). Air yang terbentuk inilah
yang terakumulasi pada substrat dan dapat mengakibatkan peningkatan
kadar air pada substrat. Namun air yang dihasilkan tersebut lebih kecil
46
dibandingkan dengan air yang dibutuhkan untuk mendegradasi serat pada
substrat, sehingga mengakibatkan kadar air menurun selama kultivasi.
2. Kadar Abu
Kadar abu menunjukkan kandungan mineral pada suatu bahan. Nilai
kadar abu suatu bahan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang
terkandung dalam bahan tersebut. Bahan-bahan yang menguap selama
proses pembakaran berupa air dan bahan volatil lainnya akan mengalami
oksidasi dengan menghasilkan CO2. Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik
ragam kadar abu (Lampiran 4.B) menunjukan bahwa lama penyimpanan
inokulum tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar abu tongkol
jagung setelah kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora
kapang pada inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses
kultivasi jika dilihat dari parameter kadar abu.
Hasil perhitungan secara teoritis menunjukkan kadar abu awal tongkol
jagung dan inokulum A. niger (onggok+bungkil kacang tanah) adalah
1,97%, sedangkan tongkol jagung dan inokulum N. sitophila
(onggok+bekatul) adalah 3,01%. Jika dibandingkan dengan kadar abu
sebelum kultivasi, maka kadar abu setelah kultivasi dengan inokulum
A.niger naik menjadi sekitar 2,3%, sedangkan dengan inokulum N. sitophila
naik menjadi sekitar 3,5% dari kadar abu awal. Kenaikan kadar abu ini
dikarenakan substrat tongkol jagung telah ditambahkan inokulum yang telah
menggunakan campuran media lainnya. A. niger menggunakan campuran
onggok dan bungkil kacang tanah sebagai substrat inokulum dan N.sitophila
menggunakan substrat campuran onggok dan bekatul sebagai bahan dasar
inokulum.
Kadar abu yang meningkat disebabkan juga oleh perubahan komposisi
substrat secara relatif. Peningkatan kadar abu pada kultivasi dengan
menggunakan inokulum kapang berkaitan dengan terjadinya peningkatan
susut bobot. Menurut Artika (2010), peningkatan susut bobot salah satunya
disebabkan oleh adanya pemanfaatan komponen non-serat oleh kapang yang
mengakibatkan perubahan komposisi substrat. Perubahan komposisi substrat
47
menyebabkan perbedaan dalam perhitungaan kadar abu, sehingga seolah-
olah pada substrat terjadi kenaikan kadar abu. Padahal, jumlah kadar abu
relatif tetap. Peningkatan susut bobot yang terjadi pada masing-masing
substrat mampu mengindikasikan bahwa pada kondisi selama proses terjadi
pembentukan enzim ekstraseluler yang berlangsung dengan baik, sehingga
mampu mendegradasi substrat dalam jumlah yang cukup banyak.
3. Kadar Protein
Kadar protein sering digunakan sebagai indikator pertumbuhan
biomassa kapang pada kultivasi. Kadar protein pada akhir kultivasi
merupakan kombinasi dari protein yang terdapat pada substrat dan protein
yang terkandung dalam biomassa kapang yang terbentuk. Griifin (1981)
menyatakan bahwa pada umumnya fungi mengandung sebanyak 14–44%
protein pada biomassa selnya, tergantung spesiesnya.
Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam kadar protein (pada
Lampiran 4.C) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak
berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar protein tongkol jagung setelah
kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada
inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika
dilihat dari parameter kadar protein.
Hasil perhitungan secara teoritis menunjukkan bahwa kadar protein
awal tongkol jagung dan inokulum A. niger sebelum kultivasi adalah 2,45%,
sedangkan tongkol jagung dan inokulum N. sitophila adalah 2,12%.
Kultivasi tongkol jagung dengan kedua jenis kapang menyebabkan
terjadinya kenaikan protein kasar. Kadar protein setelah kultivasi dengan
inokulum A. niger naik menjadi sekitar 2,50%, sedangkan dengan inokulum
N. sitophila naik menjadi sekitar 5,50%.
Menurut Stanton dan Walbridge (1969), kultivasi dapat dikatakan
sebagai proses protein enrichment yang berarti proses pengayaan protein
bahan dengan menggunakan mikroba tertentu. Proses ini identik dengan
pembuatan Single Cell Protein atau Protein Sel Tunggal, hanya saja pada
48
proses protein enrichment tidak dilakukan pemisahan sel mikroba yang
tumbuh dengan sisa substratnya.
Peningkatan kadar protein setelah kultivasi sejalan dengan
bertambahnya miselium kapang, yakni semakin banyak miselium kapang
yang terbentuk maka kadar protein semakin meningkat. Hal ini disebabkan
adanya aktivitas proteolitik kapang yang menguraikan protein menjadi
asam-asam amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami
peningkatan (Sumanti, 2005).
Selain itu peningkatan kadar protein setelah kultivasi diduga
disebabkan karena adanya peningkatan jumlah sel kapang (Mihiddin, 2000).
Komposisi elemen kapang mengandung nitrogen sebesar 7-10% berat
kering (Stanbury dan Whitaker, 1984). Selain itu penambahan inokulum
yang mengandung campuran onggok dan bungkil kacang tanah untuk
inokulum A. niger serta campuran onggok dan bekatul untuk inokulum
N.sitophila, yang mengandung kandungan nitrogen juga diduga turut andil
dalam peningkatan kadar protein.
Kenaikan kadar protein setelah kultivasi pada kedua kapang masih
rendah, karena menurut Prihatman (2000) kandungan protein yang bisa
memenuhi kebutuhan ternak ruminansia lebih besar dari 8%. Rendahnya
kadar protein yang dihasilkan pada penelitian ini disebabkan karena kadar
protein yang terkandung pada bahan rendah. Selain itu juga tidak ada
penambahan nitrogen anorganik pada substrat, sehingga satu-satunya
sumber protein yang didapatkan oleh mikroba hanya berasal dari sumber
protein organik yang terkandung di dalam substrat dan inokulum yang
digunakan. Oleh karena itu, agar nilai kandungan protein meningkat, perlu
adanya penambahan sumber nitrogen anorganik yang oleh mikroba akan
diubah menjadi protein organik dan dapat menyebabkan peningkatan kadar
protein pada tongkol jagung yang dikultivasi.
4. Kadar Lemak
Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam kadar lemak (pada
Lampiran 4.D) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak
49
berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar lemak tongkol jagung setelah
kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada
inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika
dilihat dari parameter kadar lemak.
Hasil perhitungan secara teoritis menunjukkan bahwa kadar lemak
awal tongkol jagung dan inokulum A. niger sebelum kultivasi adalah 3,63%,
sedangkan tongkol jagung dan inokulum N. sitophila adalah 3,96%. Kadar
lemak setelah kultivasi dengan inokulum A. niger turun menjadi sekitar
2,0%, sedangkan dengan inokulum N. sitophila turun menjadi sekitar 2,8%.
Aktifitas lipolitik setiap kapang berbeda-beda. Semakin tinggi aktifitas
lipolitik maka semakin banyak lemak yang diubah menjadi lemak yang
diubah dari gliserol. Asam lemak ini sebagian digunakan oleh kapang untuk
keperluan hidupnya (Shurtleff dan Ayogi, 1979). Pendapat ini juga
didukung oleh Winarto (1980) bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
maka mikroba dengan bantuan enzim lipase akan menghidrolisis lemak
menjadi senyawa sederhana berupa asam lemak, dan energi yang dihasilkan
akan digunakan untuk hidup dan pertumbuhannya. Rusdi (1992)
menambahkan bahwa perombakan lemak oleh kapang diperlukan untuk
mendapatkan energi dan lemak yang telah berubah menjadi senyawa–
senyawa sederhana digunakan oleh kapang untuk keperluan hidupnya. Hal
ini yang menyebabkan kadar lemak setelah kultivasi mengalami penurunan.
Pada dasarnya hasil kultivasi dengan menggunakan inokulum kapang
N. sitophila juga mengalami penurunan yang cukup besar. Namun dalam
pengujian kadar lemak dengan menggunakan pelarut heksan untuk
mengekstraksi lemak, kandungan karotenoid ikut terlarut, sehingga
menyebabkan seolah-olah kadar lemak hasil kultivasi menurun hanya
sedikit.
Inokulum N. sitophila yang berwarna oranye kemerahan merupakan
kapang karotenogenik (penghasil karoten) (Nuraini, 2005). Senyawa -
karoten adalah senyawa karotenoid yang berfungsi sebagai provitamin A,
sebagai pemberi warna kuning pada kuning telur dan dapat menurunkan
kolesterol (Kohlmeier dan Hastings, 1995).
50
5. Kadar Serat
Hasil analisis sidik ragam kadar serat (Lampiran 4.E) menunjukkan
bahwa lama penyimpanan inokulum berpengaruh nyata terhadap kadar serat
tongkol jagung setelah kultivasi. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa kadar serat berbeda nyata dengan lama penyimpanan (2, 4, 6, dan 8
minggu). Gambar 13 menunjukkan bahwa kadar serat semakin meningkat
dengan bertambahnya lama penyimpanan inokulum. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin lama umur simpan inokulum kapang, kandungan serat yang
didegradasi semakin berkurang, sehingga penurunan kandungan serat dari
tongkol jagung semakin berkurang. Hal ini dikarenakan jumlah spora
kapang yang berkurang karena mati. Jumlah spora yang berkurang
mengakibatkan enzim selulase yang dihasilkan berkurang. Dengan
demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum mempengaruhi
aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari parameter kadar
serat.
Gambar 13. Pengaruh umur simpan inokulum terhadap kadar
serat tongkol jagung setelah kultivasi kapang
Hasil perhitungan secara teoritis menunjukkan bahwa kadar serat awal
tongkol jagung dan inokulum A. niger sebelum kultivasi adalah 68,13%,
sedangkan tongkol jagung dan inokulum N. sitophila adalah 69,05%. Kadar
serat hasil kultivasi dengan inokulum A. niger turun menjadi sekitar 55%,
sedangkan dengan inokulum N. sitophila turun menjadi sekitar 51%.
(b) N. sitophila (a) A. niger
51
Hasil analisis menunjukkan bahwa tongkol jagung yang dikultivasi
dengan inokulum A. niger dan inokulum N. sithopila mengalami penurunan.
N. sithopila sebagai “soft rot fungi” dapat mendegradasi lignin dan bahan
lignoselulosik, sedangkan menurut Mandels (1982) A.niger merupakan
kapang penghasil enzim selulase yang banyak mengandung β-glukosidase
tetapi kandungan ekso dan endoglukanase rendah. Oleh karena itu, kedua
kapang tersebut dapat mendegradasi komponen selulosa pada tongkol
jagung, karena menghasilkan enzim selulase.
Penurunan kadar serat yang terjadi menandakan bahwa kemampuan
kapang dalam menghasilkan selulase. Enzim ini yang mendegradasi
komponen selulosa yang terdapat pada substrat tongkol jagung. Kapang
memanfaatkan nutrien dalam bentuk yang sederhana terlebih dahulu dalam
pertumbuhannya. Setelah nutrien dalam bentuk yang lebih sederhana
tersebut habis, kapang mulai memecah serat dengan cara menghasilkan
enzim ekstraseluler menjadi bentuk yang lebih sederhana, sehingga
menyebabkan penurunan kadar serat substrat.
Hasil penurunan kadar serat pada kultivasi tongkol jagung tidak
terlalu besar. Hal ini dikarenakan pertumbuhan kapang ikut
menyumbangkan serat kasar yang berasal dari miselia, sehingga semakin
tinggi biomassa sel yang dihasilkan maka kandungan serat kasar pada
substrat akan bertambah. Kapang merupakan organisme eukariotik yang
tumbuh dengan perpanjangan hifa (Fardiaz, 1989). Kandungan serat kasar
dipengaruhi oleh intensitas pertumbuhan miselia kapang, kemampuan
kapang memecah serat kasar untuk memenuhi kebutuhan energi, dan
kehilangan bahan kering selama fermentasi. Pertumbuhan miselia kapang
dapat meningkatkan kandungan serat kasar karena terbentuknya dinding gel
yang mengandung selulosa, disamping terjadinya kehilangan dari sejumlah
padatan (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Dinding gel secara kimia terdiri dari
bagian karbohidrat, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan bagian non
karbohidrat (Winarno, 1980). Komponen tersebut terhitung sebagai serat
kasar pada analisis proksimat. Hal ini yang mengakibatkan kandungan serat
hasil kultivasi masih cukup tinggi.
52
6. Total Gula
Pengukuran total gula dalam penelitian ini menggunakan metode
Fenol H2SO4. Prinsip pengukuran total gula adalah semua gula sederhana,
oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan phenol
dalam asam sulfat pekat sehingga menghasilkan warna oranye kekuningan
yang stabil.
Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam total gula (Lampiran 4.F)
menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh nyata
terhadap perubahan total gula tongkol jagung setelah kultivasi. Dengan
demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum tidak
mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari
parameter total gula.
Selama proses kultivasi terjadi penurunan total gula dari total gula
tongkol jagung awal, yaitu sebesar 145 ppm. Kadar total gula setelah
kultivasi dengan inokulum A. niger turun menjadi sekitar 39 ppm,
sedangkan dengan inokulum N. sitophila turun menjadi sekitar 37 ppm.
Penurunan total gula pada proses kultivasi disebabkan pemanfaatan gula
pereduksi untuk pertumbuhan mikroba. Mikroba mengkonsumsi gula dari
substrat untuk pertumbuhan dan aktivitas metaboliknya. Sampai pada
tingkat tertentu, mikroba akan terus mengkonsumsi gula yang diperoleh dari
hasil penguraian substrat. Hal ini yang menyebabkan akumulasi gula pada
substrat menurun.
Jika dibandingan nilai total gula kedua kapang kultivasi dengan
menggunakan A. niger cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
N.sitophila. Hal ini disebabkan karena dalam pengukuran total gula semua
gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi
dengan fenol dalam asam sulfat pekat, sehingga hemiselulosa, selulosa dan
turunannya ikut bereaksi dengan fenol, sehingga menghasilkan total gula
yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kandungan serat A. niger yang
lebih tinggi.
A. niger merupakan kapang penghasil enzim selulosa yang banyak
mengandung β-glukosidase tetapi kandungan ekso dan endoglukanase
53
rendah. Endoglukanase merupakan enzim yang menyerang bagian amorf
serat kasar, sedangkan β-glukosidase adalah enzim yang mengubah
selobiosa dan oligosakarida menjadi glukosa (Enari, 1983). Bagian amorf
serat selulosa yang diserang oleh endoglukanase akan membuka jalan bagi
selobiohidrolase, namun aktivitas endoglukanase ini akan terhambat apabila
terjadi akumulasi selobiosa pada substrat (Hilakore, 2008). Oleh karena itu,
diduga pada substrat dengan A. niger dari keseluruhan gula yang dihasilkan,
sebagian besar gula yang dihasilkan adalah dalam bentuk selobiosa, dan
oleh karena kandungan lignin masih tinggi, enzim yang telah dihasilkan
sulit mengkonversi bentuk selobiosa menjadi glukosa dan gula yang lebih
sederhana.
7. Gula Pereduksi
Gula pereduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat
mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa
dan fruktosa. Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang
mengandung gugus aldehida atau keton bebas. Semua monosakarida
(glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa,maltosa), kecuali
sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula pereduksi. Umumnya
gula pereduksi yang dihasilkan berhubungan erat dengan aktifitas enzim,
yaitu semakin tinggi aktifitas enzim maka semakin tinggi pula gula
pereduksi yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai absorbansi yang dihasilkan,
semakin banyak pula gula pereduksi yang terkandung.
Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam gula pereduksi (pada
Lampiran 4.G) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak
berpengaruh nyata terhadap perubahan gula pereduksi tongkol jagung
setelah kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada
inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika
dilihat dari parameter gula pereduksi.
Selama proses kultivasi terjadi penurunan gula pereduksi dari gula
pereduksi tongkol jagung awal, yaitu sebesar 70 ppm. Kadar gula pereduksi
setelah kultivasi dengan inokulum A. niger turun menjadi sekitar 11 ppm,
54
sedangkan dengan inokulum N. sitophila turun menjadi sekitar 14 ppm.
Glukosa maupun gula sederhana dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi
kapang N. sitophila dan A. niger. Glukosa maupun gula–gula sederhana
tersebut berasal dari hasil hidrolisis.
Dari hasil analisis kadar gula pereduksi ini diketahui bahwa gula
sederhana yang terdapat dalam media, baik yang merupakan produk enzim
ekstraseluler, maupun yang sudah terdapat pada substrat sejak awal proses
kultivasi dimanfaatkan oleh kapang sebagai sumber karbon. Gula
merupakan nutrien yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan
organisme. Reaksi reduksi dan oksidasi gula memegang peranan penting di
dalam biokimia. Oksidasi gula akan menyediakan energi bagi organisme
dalam melaksanakan proses hidupnya. Energi tertinggi dihasilkan dari
karbohidrat apabila gula teroksidasi sempurna menjadi CO2 dan air dalam
proses aerobik.
Derajat polimerisasi (DP) menyatakan jumlah unit monomer dalam
suatu molekul. Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam DP (pada
Lampiran 4.H) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak
berpengaruh nyata terhadap perubahan DP tongkol jagung setelah kultivasi.
Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum tidak
mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari
parameter DP.
Selama proses kultivasi terjadi penurunan nilai DP, nilai DP produk
karbohidrat tongkol jagung awal, yaitu sebesar 20,71. Nilai DP setelah
kultivasi dengan inokulum A. niger turun menjadi sekitar 3,27, sedangkan
dengan inokulum N. sitophila turun menjadi sekitar 2,65. Hasil kultivasi
tongkol jagung menunjukkan penurunan DP produk karbohidrat tongkol
jagung. Penurunan yang terjadi menghasilkan gula dalam bentuk
oligosakarida. Oligosakarida yang terbentuk memperlihatkan terjadinya
peningkatan nilai nutrisional tongkol jagung yang dikultivasi dengan
menggunakan kedua jenis kapang sebagai bahan baku pakan ternak.
Oligosakarida digunakan sebagai alternatif pengganti antibiotik dalam usaha
55
peningkatan produksi ternak karena berfungsi sebagai senyawa prebiotik
(Van Der Kamp et al., 2004).
Prebiotik didefinisikan sebagai komponen zat makan yang
menyebabkan kesehatan pada inangnya dengan cara secara selektif
menstimulasi pertumbuhan atau aktivitas satu atau beberapa bakteri
menguntungkan di dalam saluran cerna (Roberfoird, 1997). Prebiotik
berbasis oligosakarida merupakan salah satu tipe serat pakan yang
terfermentasi di dalam saluran pencernaan hewan. Serat pakan ini
membantu pertumbuhan populasi bakteri yang mampu mengakomodasi
kondisi saluran cerna yang sehat dan dapat berfungsi dengan baik (Fahey et
al., 2004). Pada beberapa penelitian juga disebutkan bahwa prebiotik
mampu meningkatkan kecernaan nutrien dan mineral, dan dalam jangka
waktu panjang, mampu mempengaruhi morfologi saluran cerna.
7. Perubahan Struktur secara Mikroskopis
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan mikroskopis dengan
menggunakan cahaya terpolarisasi perbesaran 200x. Pengamatan ini
dilakukan untuk mengetahui perubahan struktur tongkol jagung sebelum
dan sesudah kultivasi.
Hasil analisis mikroskopis tongkol jagung yang dikultivasi dengan
A.niger dapat dilihat pada Gambar 25.b dan tongkol jagung yang dikultivasi
dengan N. sitophila dapat dilihat pada Gambar 25.c. Pada struktur tongkol
jagung awal (Gambar 25.a) terlihat bahwa kristal selulosa masih berupa
struktur yang kompleks. Pada akhir kultivasi terlihat perubahan struktur
selulosa dari struktur yang kompleks menjadi struktur yang lebih longgar.
Hal ini terjadi pada kedua kapang. A. niger merupakan kapang penghasil
enzim selulose yang banyak mengandung β-glukosidase (Sternberg et al.,
1979). Pada A. niger agak sulit mengamati struktur seratnya. Ini
dikarenakan spora A. niger yang berwarna hitam menutupi serat tongkol
jagung dan menempel pada serat tongkol jagung tersebut.
56
(a)
(b) A. niger (c) N. sitophila
Gambar 25. Perubahan mikroskopis tongkol jagung sebelum (a) dan setelah
kultivasi menggunakan inokulum (b dan c)
Neurospora sitophila memiliki kemampuan aktivitas selulolitik dan
hemiselulolitik yang tinggi pada proses fermentasi untuk menghasilkan
gula-gula sederhana (Chandel et al., 2007). N. sithopila dapat mendegradasi
lignin dan bahan lignoselulosik, seperti terlihat pada Gambar 25 yang
membuktikan hilangnya komponen lignin yang menyisakan komponen serat
yang homogen. Berkurangnya komponen lignin dapat meningkatkan daya
cerna pada ternak. Serat kasar tersebut akan diubah menjadi komponen yang
lebih sederhana yang selanjutnya akan digunakan sebagai sumber karbon
untuk pertumbuhan kapang. Pengujian mikroskopis ini membuktikan bahwa
terjadi perubahan struktur pada tongkol jagung yang telah dikultivasi.
Hasil parameter kultivasi jagung menunjukkan bahwa inokulum
kapang yang telah diproduksi masih layak digunakan untuk menghidrolisis
tongkol jagung. Hal ini dilihat dari parameter kultivasi yang telah dibahas
sebelumnya, yaitu kultivasi menyebabkan perbaikan nilai nutrisi pada
tongkol jagung, meskipun peningkatan nutrisi yang terjadi pada produk
akhir kultivasi masih sangat kecil. Pada akhir kultivasi dihasilkan pula
57
oligosakarida yang bermanfaat untuk sistem pencernaan ternak walaupun
dalam jumlah yang relatif kecil. Oleh karena itu, diperlukan adanya
penelitian lanjutan dengan perlakuan-perlakuan yang mampu
mengakomodasi kondisi proses yang lebih baik pada kultivasi tongkol
jagung, agar didapatkan peningkatan nilai nutrisi yang lebih besar.
Penambahan zat-zat suplementasi diharapkan mampu merangsang
mikroba untuk melakukan metabolisme dan sintesis yang lebih baik. Selain
itu dapat pula dicobakan kultivasi dengan menggunakan kapang lain, atau
bakteri atau jenis kultur campuran kapang dan bakteri untuk melihat
perbandingan peningkatan kecernaan dan nilai nutrisi pada produk akhir
kultivasi. Jika dibandingkan dengan penelitian Artika (2010) yang
menggunakan kapang Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae untuk
hidrolisis tongkol jagung, penurunan kadar serat hasil kultivasi selama 9
hari, pada kultivasi dengan Aspergillus niger dan Neurospora sitophila
hampir sama dengan hasil menggunakan kapang Rhizopus oryzae, yaitu
sekitar 50%.
Selulosa memiliki struktur molekul yang kuat dan bobot molekul yang
tinggi. Hal ini menyebabkan selulosa memiliki kelarutan yang rendah
sehingga sulit diserap oleh mikroba selulotik melalui dinding selnya.
Mikroba selulotik baru dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber karbon
apabila selulosa telah dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Mikroba akan memproduksi selulase untuk mengkatalisis hidrolisis
selulosa. Selulase terus diproduksi oleh mikroba selama kebutuhannya akan
sumber karbon terpenuhi. Mekanisme pemecahan molekul selulosa
dihambat oleh kristalisasi molekul selulosa serta kandungan lignin yang
membungkus molekul selulosa. Hidrolisis selulosa sulit terjadi selama
kristalinitas dan kandungan lignin belum dikurangi. Pada kondisi demikian
produktivitas mikroba dalam menghasilkan selulase akan rendah (Irawadi,
1990). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu juga dilakukan penelitian
mengenai pengaruh proses delignifikasi sebelum kultivasi menggunakan
mikroba lain atau asam, karena pada kultivasi tongkol jagung yang
dilakukan pada penelitian ini kandungan lignin substrat yang tinggi menjadi
58
salah satu faktor pembatas peningkatan parameter hasil kultivasi. Selain itu,
kontrol yang lebih baik terhadap kondisi proses juga diperlukan, sehingga
diharapkan akan berpengaruh terhadap peningkatan parameter kultivasi.
59
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Perbedaan komposisi substrat yang digunakan untuk inokulum kapang
menghasilkan viabilitas spora yang berbeda. Lama penyimpanan berpengaruh
terhadap kinerja inokulum kapang. Semakin lama penyimpanan maka kadar air
inokulum kapang mengalami peningkatan, sedangkan viabilitas spora
mengalami penurunan yang berpengaruh pada kemampuan spora pada saat
dikultivasikan dengan substrat tongkol jagung.
Inokulum kapang mengalami kenaikan kadar air yang cukup besar
hingga akhir penyimpanan (2 bulan), namun kadar air masih di bawah 12%,
sehingga inokulum tersebut dapat dikatakan baik karena kapang masih dalam
keadaan dorman. Viabilitas spora menurun selama penyimpanan inokulum,
namun penurunan tersebut masih sangat rendah dan jumlah spora pada kedua
inokulum kapang di berbagai komposisi substrat masih di atas 106koloni/g.
Pada inokulum A. niger, viabilitas yang tertinggi berasal dari campuran onggok
dan bungkil kacang tanah, sedangkan untuk N. sitophila berasal dari campuran
onggok dan bekatul.
Aplikasi inokulum kapang yang dikultivasi pada substrat tongkol
jagung mengalami pertumbuhan, yang diperlihatkan oleh adanya perubahan
komposisi substrat tongkol jagung sebelum dan setelah kultivasi. Hasil analisis
menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh terhadap
parameter kualitas tongkol jagung setelah kultivasi, kecuali pada kadar serat.
Hasil analisis pada kadar serat menunjukkan bahwa lama penyimpanan
inokulum berpengaruh terhadap kadar serat tongkol jagung setelah kultivasi.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama umur simpan inokulum kapang (2,
4, 6, 8 minggu), kandungan serat yang didegradasi semakin berkurang,
sehingga penurunan kandungan serat dari tongkol jagung semakin berkurang.
Kadar serat tongkol jagung hasil kultivasi mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan tongkol jagung sebelum kultivasi, yaitu dengan
menggunakan inokulum A.niger menjadi sekitar 55% dan dengan inokulum
N.sitophila menjadi sekitar 51%.
60
Hasil analisis parameter kultivasi menggunakan inokulum kapang
selulolitik menunjukkan bahwa kapang mampu merombak komponen serat
tongkol jagung. Pada akhir kultivasi dihasilkan oligosakarida yang berfungsi
sebagai prebiotik yang bermanfaat untuk pencernaan ternak. Secara umum
hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulum kapang yang telah disimpan
selama 2 bulan dengan penyimpanan pada suhu ruang (25–30°C) masih layak
digunakan untuk menghidrolisis tongkol jagung walaupun mengalami kenaikan
kadar air dan penurunan viabilitas spora selama penyimpanannya.
B. SARAN
Hasil hidrolisis masih perlu ditingkatkan, sehingga diperlukan
penelitian lebih lanjut dengan melakukan proses delignifikasi sebelum
dikultivasi dengan inokulum kapang selulolitik agar hidrolisis serat tongkol
jagung semakin mudah dan cepat. Selain itu, perlu dilakukan penelitian
terhadap bahan lignoselulotik yang lain untuk mengetahui kemampuan
inokulum kapang selulolitik dalam menghidrolisis bahan tersebut.
61
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2010. Terminologi Bahan Pakan dari Hasil Ikutan Industri Pangan.
http:// manglayang.blogsome.com/2006/04/21/terminologi-bahan-pakan
-dari-hasil-ikutan-industri-pangan/ [23 Juli 2010].
Anonimb, 2009. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Penelitian dan Statistik. http://
h0404055.wordpress.com/2010/04/02/ilmu-pengetahuan-teknologi-
penelitian-dan-statistik/ [23 Juli 2010].
Alberghina dan Sturan. 1981. Protein Engineering in Industrial Biotechnology.
Delhi : Vikas Publishing House Pvt. Ltd.
Aguirar, C.L. 2001. Biodegradation of Cellulose from Sugar Cane Bagasse by
Fungal Cellulose. Science Technology Alignment, 3(2), 117-121.
Alexopoulos, C. J. dan C. W. Mims. 1996. Introductory Mycology. New York :
John Wiley & Sons.
Amer, G. I. Dan Stephen W.D. 1982. Microbiology of Lignin Degradation. In :
D.Perlman (ed.). Annual Report on Fermentation Processes. New York :
Vol 4. Academic Press.
AOAC, 1995. Official Methods Analysis The Association of Official Analytical
Chemist 14th
ed. Virginia : AOAC, Inc. Arlinton.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto.
1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor : Penerbit Institut
Pertanian Bogor.
Artika, A.Y.R. 2010. Kajian Hidrolisis Tongkol Jagung oleh Kapang Selulolitik
menggunakan Kultivasi Media Padat untuk Produksi Pakan [skripsi].
Bogor : Departemen teknologi Industri Pertanian, IPB.
Bappenas. 2001. Pakan Ternak. http://www.iptek.net.id/ind/warintek/mnu=
6&ttg=4&doc=4b4. [17 Agustus 2010].
Bilgrami, K.S. dan Verma, R.N. 1978. Physiology of Fungi. Delhi : Vikas
Publishing House Pvt. Ltd.
Blod, H.C., C.J. Alexopoulus dan T. Delevoryas. 1980. Morphology of Plant and
Fungi. New York : Harper and Row Publishers.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan.
Penerjemah Hari Purnomo. Jakarta : UI Press.
Campbell, M.K. dan Farrell, S.O. 2006. Biochemistry. Belmont : Thomson
Learning Inc.
Campbell, Reece, Mitchell. 2006. Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta : Erlangga.
62
Champagne, E.T. 1994. Rice Chemistry and Technology. American Association
of Cereal Chemists. Inc, St. Paul.
Chandel, A. K., E.S. Chan., R. Rudravaram, M. L. Narasu, L. V. Rao, and P.
Ravindra. 2007. Economics and Environmental Impact of Bioethanol
Production Technologies : An Appraisal. Biotechnology and Molecular
Biology Review Vol. 2 (1), 14-32.
Clemants, L. D. Dan Beek, S. R. 1985. Best Available Technology Plant for
Conversion of Cotton Gin Residues (Celulose Waste) to Etanol.
Biotechnol. Bioeng. Symp. 15 : 579–598.
Chalal, D.S. 1985. Solid State Fermentation with Trichoderma reseei. Appl.
Environt. Microbiol. 49(1):205-210.
Damardjati, D.S. 1983. Physical and Chemical Properties and Protein
Characteristic of Some Indonesia Rice Varieties. Bogor : Bogor
Agricultural University.
Doelle, H.W. Mittchell, D.A. dan Rolz, C.E. 1991. Solid Substrate Cultivation.
London : Elsevier Applied Science.
Dubois, M., K.A. Gills, J.K. Hamilton, P.A. Robers and E.Smith. 1956. Methods
in Microbiology (eds). J.K. Norris and D.W. Ribbons. Acad. Press
London, N.Y. pp. 272.
Dwidjoseputro, D. 1961. Dasar-dasar Mikrobiologi, Edisi IV, Djambatan Malang,
86-107.
Effendi, S. dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. Jakarta : C.V.
Yasaguna.
Enari, T. M. 1983. Microbial Cellulase. In : W. M. Fogarty. 1985. Microbial
Enzymes and Biotechnology. New York : Appl. Sci. Publ.
Fadli, 2009. Aspergillus niger. http://linkfadliblog.blogspot.com. [25 Desember
2009].
Fahey, G.C. Jr, E.A. Flickinger, A.M. Grieshop, K.W. Swanson. 2004. The Role
of Dietary Fibre in Companion Animal Nutrition. In : Van der Kamp,
J.W., Jones, J.M., dan G. Schaafsma. 2004. Dietary Fibre: Bioactive
Carbohydrates for Food and Feed. Wageningen : Wageningen Academic
Publishers.
Fakhruddin, S. 1995. Produksi Spora dari Neurospora sitophila untuk Produksi
Selulase menggunakan Substrat Padat Campuran Tandan dan Sabut
Kelapa Sawit [skripsi]. Bogor : FATETA, IPB.
Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor : Lembaga
Sumberdaya Informasi-IPB.
________._____. Fisiologi Fermentasi. Bogor : PAU IPB.
63
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta : PAU Pangan dan Gizi IPB.
Bogor bekerja sama dengan P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Fengel, D& G. Wegener. 1995. Kimia Kayu, Reaksi Ultrastruktur: Terjemahan
Sastrohamidjojo, H. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Frazier, W.C. 1992. Food Microbiology. New York : McGraw-Hill Book
Company, Inc.
Gong, C. S., Li, F. C., Michael, C. F., dan George, T. S. 1981. Conversion of
Hemicellulose Carbohydrates. In : A. Fiechter (ed.). Advances in
Biochemical Engineering Vol. 20. Berlin : Springer-Verlag, Berlin
Heidelberg.
Ghose, T. K. and J.A. Kostick. 1970. A Mode for Continuous Enzymatic
Saccharification of Cellulose with Simultaneous Removal of Glucose
Syrup. Biotechnol. Bioeng. 12:1.
Griffin, D.H. 1981. Fungal Physiology. New York : John Willey and Sons
Publication.
Hardjo, S., N.S. Indrasi, dan T. Bantacut, 1989, Biokonversi : Pemanfaatan
Limbah Industri Pertanian. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB.
Heseltine, C. W. 1982. Investigation of Tempeh, an Indonesian Food Develop.
Indus. Microbial. 4.
Hilakore, M.A. 2008. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi
Campuran Thricoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan
Ruminansia [tesis]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, IPB.
Holzapple M.T. 1993. Cellulose. In: Encyclopedia of Food Science., Food
Technology and Nutrition, 2: 2731-2738. London : Academic Press.
Ilyas, Muhammad. 2007. Uji Viabilitas Koleksi Kapang LIPI-MC dalam Ampul
Penyimpanan Kering-beku L-drying setelah Satu Tahun Penyimpanan
pada Suhu 5º C. Jurnal Biodiversitas Vol.8 No.1. Hal: 20-22. LIPI,
Cibinong, Bogor.
Irawadi, T. T. 1990. Selulase. Bogor : PAU-Biotek, Institut Pertanian Bogor.
Johnson, L.A. 1991. Corn : Production, Processing, and Utilization. In : K.J.
Lorentz and K. Pulp (ed). Handbook of Cereal Science and Tecnology.
New York : Marcell Dekker, Inc.
Josson L.M, Coronel LM, Mercado BB, De Leon ED, Mesina OG,Lozano
AM,dan Bigol MB, 1992. Strain Improvement of Aspergillus oryzae for
Glucoamylase Production. Asean Journal on Science and Technology for
Development. 9(1): 101–116
64
Judoamidjojo, M., E. Gumbira Sa’id, dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Bogor :
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Karmana, Oman. 2006. Biologi 1A. Bandung : PT. Garfindo Media Pratama.
Kohlmeier,L. and S.B. Hastings. 1995. Epidemiologic Evidence of A Role
Carotenoids in Cardiovascular Disease Prevention. The American Jurnal
of Clinical Nutrition 62 (6): 120 -125.
Koswara, J. 1991. Budidaya Jagung. Jurusan Budidaya Pertanian. Bogor :
Fakultas Pertanian, IPB.
Kusnandar, Feri. 2010. Mengenal Serat Pangan. http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/
index.php.option=com_content&task=view&id=110&Itemid=94
[17 Agustus 2010]
Lahoni, E. 2003. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Bogor : Fakultas
Peternakan, IPB.
Lidiasari, E. 2006. Produksi Tepung Ubi Kayu Berprotein: Suatu Kajian Awal
Karakteristik Berdasarkan Lama Fermentasi dan Jumlah Inokulum dengan
Menggunakan Ragi Tempe. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. Vol.8,
No.2, Hal. 141-146. Palembang: Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.
Luh, B.S. 1991. Rice: Production and Utilization. AVI Publishing Company, Inc.
Westport. Connecticut.
Malloch, D.1999. Moulds, Isolation, Cultivation and Identivication Methods.
Departement of Biology University of Toronto. www.botany.utoronto.ca.
[23 juli 2010].
Mandels, M., R. 1982. Cellulase. In : D. Pearlman (ed.). Annual Reports on
Fermentation Process. 5, 39–44.
Marniza dan Samsul R. 2004. Teknologi Fermentasi. Bandar Lampung:
Universitas Lampung.
Mattjik A. A, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Bogor : IPB.
Maynard, L. A. dan J. K. Loosli. 1993. Animal Nutrition. Seventh Edition. New
Delhi : Hill Publishing Company Limited.
Meyrath, J dan Volavsek, U. 1975. Production of Microbial Enzyme. In : Food
Processing edited by Reed G. New York : Academic Press.
Metzenberg, R.L. 1979. Implication of Some Genetik Control Mechanisms in
Neurospora. Microbial Review 43:361-367.
65
Muhiddin, Nurhayati H; Nuryati Juli, dan I Nyoman P. Aryantha. 2000.
Peningkatan Kandungan Protein Kulit Umbi Ubi Kayu Melalui Proses
Fermentasi. JMS Vol.6 No. 1 Hal 1-12 April 2001.
Miller, S.R. 1959. Germination Variation and Tolerances. Proceedings of the
Association of Official Seed Analysis, 51: 86-91.
Moat, A.G. 1979. Microbial Physiology. A Wiley-Interscience Publication John
Wiley & Sons New York.
Moertinah, S.1984. Limbah Tapioka di Indonesia dan Kemungkinan-
kemungkinan Penanganannya. Makalah pada Lokakarya Pemanfaatan
Limbah Padat Industri Tapioka. Bogor, 4-5 September 1984. Pusat Studi
Pengolahan Sumberdaya dan Lingkungan IPB, Bogor.
Moo-Young, M., Moereira, A.R., dan Tengerdy, R.P. 1983. Principle of Solid
Substrate Fermentation. In The Filamentous Fungi, vol. 4, ed. J.E. Smith,
D.R. Berry and B.Kristiansen. Edward Arnold, London, pp. 117-144.
Muchtadi D, Palupi N. S., Astawan M. 1992. Enzim dalam Industri Pangan.
Bogor : PAU, IPB.
Ningsih, N. A. Siklus Krebs dan Transpor Elektron. http://nurnaauraningsih.
blogspot.com/2009/12/siklus-krebs-dan-transpor-lektron.html [17 Agustus
2010].
Nuraini, S. 2005. Isolasi kapang karotenogenik untuk memproduksi pakan kaya
karoten dan aplikasinya terhadap ayam ras pedaging dan petelur.
[disertasi]. Padang : Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang.
Orthoefer, F.T. 2001. Rice bran oil. In : Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry
and Technology 3th
edition. American Association of Cereal Chemists. Inc,
St. Paul.
Parajo, J. G., Garotte, J. M. Cruz dan H. Dominguez. 2003. Production of
Xyloligosaccharides by Autohdrolysis of Lignocellulosic Materials.
Trends in Food Science and Technology Vol. 15 : 115–120.
Pelczar M. J, Chan E. C. S. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Ratna Siri
Hadioetomo, editor. Terjemahan dari: Element of Microbiology. Bogor :
Bagian Mikrobiologi, Fakultas Pertanian IPB.
Perlman, D. 1968. Annual reports on Fermentation Process vol. II. London :
Academic Press.
Prihatman, Kemal. 2000. Pakan Ternak. Jakarta : Proyek Pengembangan
Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Bappenas.
Prior, B.A., Du Preez, J.C dan P.W. Rein. 1992. Enviromental Parameters. In :
H.W. Doelle, D.A. Mittchell, dan C.E. Rolz, editor. Solid Substrate
Cultivation. London: Elsevier Applied Science. Hal : 65-68.
66
Rahman, Ansori. 1992. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor : PAU IPB.
Reddish, G.F. 1957. Antiseptics, Disinfectants, Fungicides, and Chemical and
Physical Sterilization; 2nd
edition. Philadelphia : Lea and Febiger.
Riwantoro. 2005. Konservasi Plasma Nutfah Domba Garut dan Strategi
Pengembangannya Secara Berkelanjutan [disertasi]. Bogor : Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Roberfoird, M. 1997. Health Benefits of Non-Digestible Oligosaccharides,
Dietary Fibre in Health and Desease edited by Kritchevsky dan Bonfield.
New York : Plenum Press.
Roussos J.B, Connor J.D.O, Fox D.G. Van Soest P.J, Sniffen C.J. 1992. A Net
Carbohydrate and Protein System for Evaluating Cattle Diets: I. Ruminal
Fermentation. J Anim Sci 70:3351-3561.
Sacharow. S. and R.C. Griffin. 1980. Principles of Food Packaging. The AVI
Publishing. Co. Inc. Westport. Connecticut.
Sasaki, T. 1982. Enzymatic Saccharification of Rice Hull Cellulose. Trop. J.
Agric. Res. Japan 16 (2) : 144–150.
Saono, S. dan W. Budiman. 1981. Penggunaan Beberapa Jenis Kacang untuk
Pembuatan Oncom. Bogor.
Shurtleff, W dan Aoyagi. 1979. The Book of Tempeh. New York : Haper and
Row Publ.
Soeprijanto, Tianika Ratnaningsih, dan Ira Prasetyaningrum. 2009. Biokonversi
Selulose dari Limbah Tongkol Jagung menjadi Glukosa menggunakan
Jamur Aspergilus Niger. Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Sofyan, H.M.I. 2003. Pengaruh Suhu Inkubasi dan Konsentrasi Inokulum
Rhizopus oligosporus terhadap Mutu Oncom Bungkil Kacang Tanah.
Infomatek 5 (2). http://www.unpas.ac.id/pmb/home/images/ articles/
infomatek/Jurnal_V_2-2.pdf. [23 Juli 2010].
Stanburry, P.F dan Whittaker, A. 1984. Principles of Fermentation Technology.
Pergamon Press. Oxford. 255 p.
Stentiford, E.I dan C.M. Doods. 1992. In : Doelle et al. (ed). Solid Substrate
Cultivation. London : Elsevier Sci. Publ.
Sternberg, D. 1975. β-Glucosidase of Trichoderma: Its biosynthesis and role in
saccharification of cellulose. J. Am. O. Microbiology. Soc. 31: 648-654.
Suarni dan Widowati S. 2005. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung. In :
Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor : Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
67
Suhandono, Septian. 2010. Produksi Bioetanol Satu Tahap Menggunakan Bakteri
Clostridium thermocellum dari Limbah Produksi Agar-agar Gracillaria
sp. http://septiansuhandono.blogspot.com/2010/05/produksi-bioetanol-
satu-tahap.html. [17 Agustus 2010].
Suprapto, H.S. dan Rasyid, M.S. (2002). Bertanam Jagung. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Supriyati, Pasaribu T, Hamid H, Sinurat A. 1999. Fermentasi Bungkil Inti Sawit
secara Substrat Padat menggunakan Aspergillus niger. JTIV 3:165-170.
Sutardi, T. 1980. Ketahanan Protein Bahan Makanan terhadap Degradasi oleh
Mikroba Rumen dan Manfaatnya bagi Peningkatan Produktivitas Ternak.
Pros. Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. Bogor : LPP IPB.
Sutirtoadi, Anang. 2009. Evaluasi Pakan Bagi Ternak Monogastrik.
http://www.scribd.com/doc/18674730/EVPAKAN. [25 Desember 2009].
Swanson, C.P. dan W.D. McElroy. 1975. Modern Cell Biology 2th
. Ed. New
Jersey : Prentice Hall. Inc.
Taherzadeh, M.J. and Karimi, K. 2007. Acid-Based Hydrolysis Processes for
Ethanol from Lignocellulosic Materials: A Review. Bioresources 2(3), pp.
472-499.
Van der Kamp, J.W., Jones, J.M., dan G. Schaafsma. 2004. Dietary Fibre:
Bioactive Carbohydrates for Food and Feed. Wageningen : Wageningen
Academic Publishers.
Walker, G. M. 1999. Media for Industrial Fermentations. In : Robinson. K dan
Carl A. Batt (ed) Encyclopedia of Food Microbiology. New York :
Academic Press.
Wang, H.L., E.W. Swain dan C.W. Hesseltine. 1975. Mass Production of
Rhizopus oligosporus Spores and Their Application in Tempeh
Fermentation. J. Food Sci.
Wasserman, R. A. 1984. Thermostable Enzyme Production. Food Technol 2 : 78–
89.
White, P. J. dan L. A. Johnson. 2003. Corn : Chemistry and Technology. 2th
edition. New York : American Association of Cereal Chemistry.
Winarto, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.
Jakarta : PT. Gramedia.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan. Bogor : PAU, IPB.
Wolf, I. F. Dan A. F. Wolf. 1949. The Fungi. Vol 2. New York : John Willey and
Son Inc.
68
69
Lampiran 1. Prosedur pengujian
1. Kadar Air (Apriyantono et al., 1989)
Cawan kosong di oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang sebanyak 5 g sampel ditimbang kemudian dimasukkan
dalam cawan. Sampel dalam cawan dioven selama 2 jam pada suhu 105oC.
Setelah itu cawan dimasukkan ke desikator dan ditimbang. Pengovenan
dilakukan berulang–ulang untuk mendapatkan berat konstan.
Ka = W1 – W2 x 100%
W1
Ket :
Ka = Kadar Air (bobot basah)
W1 = bobot sampel sebelum dikeringkan (g)
W2 = bobot sampel setelah dikeringkan (g)
2. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah
diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas
bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh (B)
yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600oC
selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin berisi
abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap.
Kadar Abu (%) = C – A x 100%
B
3. Kadar Protein (AOAC, 1995)
Contoh seberat 0,1-1 g didekstruksi dengan 2,5 ml H2SO4 pekat dengan
katalisator CuSO4 dan Na2SO4 sampai berwarna hijau jernih. Destilasi
dilakuakn setelah menambahkan 5 ml air suling dan 10-15 ml NaOH 50%
sebagai penampung digunakan 25 ml H2SO4 0,02N dan 2-3 tetes indikator
mengsel hingga cairan dalam penampungan kurang lebih 50 ml. Hasil destilasi
dititrasi dengan larutan NaOH 0,02N. Prosedur analisis blanko ditentukan
70
seperti diatas tanpa menggunakan bahan yang dianalisa. Kadar protein dihitung
dengan rumus sebagai berikut.
Kadar Protein = a x N x 0,014 x 6,25 x 100%
Bobot Contoh (g)
Keterangan :
a = selisih ml NaOH yang digunakan untuk mentitrasi blanko dan
contoh (blanko–sampel)
N = normalitas larutan NaOH
4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Sebanyak 2 g contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik
heksan dalam alat soxlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan
cara diangin-anginkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC. Contoh
didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.
Kadar Lemak = Bobot Lemak x 100%
Bobot Contoh
5. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995)
Contoh sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 ml
kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N dan dididihkan selama kurang
lebih 30 menit. Ditambahkan lagi 50 ml NaOH 1,25 N dan dididihkan selama
30 menit. Dalam keadaan panas disaring dengan kertas Whatman No. 40
setelah diketahui bobot kringnya. Kertas saring yang digunakan dicuci
berturut–turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 dan etanol 95%. Kemudian
dikeringkan di dalam oven bersuhu 100–110oC sampai bobotnya konstan.
Kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar Serat Kasar (%) = Bobot endapan kering x 100%
Bobot contoh
71
6. Kadar Lignin (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 1 g ditimbang dalam labu erlenmeyer 250 ml
kemudian ditambahkan H2SO4 20 ml. Selanjutnya didiamkan selama 2 jam dan
dikocok perlahan–lahan. Sampel kemudian ditambahkan aquades sebanyak 250
ml, dipanaskan dalam waterbath pada suhu 100oC selama 3 jam. Selanjutnya
dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui
bobotnya (A). Erlenmeyer dan corong dibilas dengan aquades sebanyak 3 kali.
Kertas saring beserta residu dioven pada suhu 105oC selama 1–2 jam atau pada
suhu 50oC selama 24 jam. Kertas saring didinginkan dan ditimbang bobotnya
(B). Kertas saring dengan residu diabukan dengan muffle furnace pada suhu
600oC selama 3–4 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang (C).
Kadar Lignin (%) = B – A – C x 100%
Bobot contoh
Ket :
B = bobot kertas saring dan residu setelah di oven (g)
A = bobot kertas saring (g)
C = bobot abu (g)
7. Kadar Hemiselulosa Metode Van Soest (Apriyantono et al., 1989)
Sampel sebanyak a g dan b g masing-masing dimasukkan ke dalam
gelas piala berukuran 500 ml. Sampel a g ditambahkan dengan larutan NDS
dan sampel b g ditambahkan dengan larutan ADS lalu dipanaskan selama 1 jam
di atas penangas listrik. Selanjutnya masing-masing sampel tersebut dicuci
menggunakan aseton dan air panas serta disaring menggunakan pompa vakum
dan gelas G-3 (c g dan d g). Sampel dalam gelas G-3 dikeringkan dengan
menggunakan oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai e g
dan f g.
Kadar NDF = e – c x 100%
a
Kadar ADF = f – d x 100%
b
Kadar Hemiselulosa = kadar NDF – kadar ADF
72
8. Kadar Selulosa Metode Van Soest (Apriyantono et al., 1989)
Residu ADF (f g) yang berada pada gelas piala G-3 diletakkan di atas
nampan yang berisi air setinggi 1 cm kemudian ditambahkan H2SO4 72%
setinggi ¾ bagian gelas G-3 dan dibiarkan selama 3 jam sambil diaduk-aduk.
Selanjutnya sampel tersebut dicuci mengggunakan aseton dan air panas serta
disaring menggunakan pompa vakum dan gelas G-3. Sampel dalam gelas G-3
dikeringkan dengan menggunakan oven, didinginkan dalam desikator dan
ditimbang sebagai h g.
Kadar Selulosa = h – f x 100%
b
9. Penentuan Total Gula, Metode Phenol H2SO4 (Dubois et al., 1956).
Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva
standar fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai
berikut :
2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40, dan 60 µg
masing–masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan
fenol 5% dan dikocok. Kemudian 5 ml asam sulfat pekat ditambahkan dengan
cepat. biarkan selama 10 menit, kocok lalu tempatkan pada penangas air
selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. Pengujian sampel sama
dengan pembuatan kurva standar fenol hanya 2 ml larutan glukosa diganti
dengan 2 ml sampel.
10. Penentuan Gula Pereduksi Metode DNS (Miller, 1959)
Perekasi DNS disiapkan, yaitu dengan mencampurkan larutan NaOH
1% dengan DNS 1%, fenol 0,2% dan natrium sulfit 0,05%. Contoh yang
mengandung gula pereduksi ditambahkan dengan pereaksi tersebut, dipanaskan
dengan penangas air selama 15 menit, kemudian ditambahkan larutan garam
Rochelle 40% dan didinginkan pada suhu kamar. Setelah dingin dibaca OD nya
dengan menggunakan spektrofotometer pada panajang gelombang 550 nm.
Hasilnya dibandingkan dengan kurva baku.
73
11. Total Viabilitas Spora (Modifikasi Wang et al., 1975)
Satu gram inokulum ditimbang dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi
yang berisi 9 ml air suling steril. Setelah diaduk selama dua menit, dilakukan
pengenceran 1:10 hingga 7 kali pengenceran.
Satu milimeter suspensi hasil pengenceran dituangkan ke dalam cawan
petri, kemudian 10 ml PDA suhu 30oC dituangkan juga (metode tuang).
Inkubasi dilakukan pada suhu 32oC selama 20–24 jam. Dihitung jumlah koloni
yang tumbuh dengan menggunakan alat penghitung Quebec.
74
Lampiran 2. Perhitungan perbandingan komposisi substrat inokulum
Komponen Onggok
(%bk)
Ampas Tahu
(%bk)
Bekatul
(%bk)
Bungkil Kacang
Tanah (%bk)
Protein 1,94 19,77 12,97 26,36
Karbohidrat
by difference 85,39 40,81 45,90 44,83
C/N 44,04 2,06 3,54 1,70
Selanjutnya dilakukan perhitungan perbandingan :
Diketahui :
G = Onggok
A = Ampas Tahu
B = Bekatul
K = Bungkil Kacang Tanah
1. Perbandingan Onggok dan Ampas Tahu (C/N = 5/1)
C = 85,39 G + 40,81 A = 500 dikali 1,00
N = 1,94 G + 19,77 A = 100 dikali 2,06
Dengan metode subtitusi, didapat :
85,39 G + 40,81 A = 500,00
4,00 G + 40,81 A = 206,46 -
81,39 G + 0 A = 293,54
G = 3,61
A = 4,71
Jadi, perbandingan onggok dan ampas tahu sebagai berikut :
Komponen Onggok (%b.k) Ampas Tahu (%b.k)
Abu 2,17 3,30
Protein 1,94 19,77
Lemak 0,33 6,10
Serat Kasar 10,18 30,02
Karbohidrat by difference 85,39 40,81
75
Sehingga pada perbandingan onggok : ampas tahu (3,61 : 4,71) diperoleh
komposisi sebagai berikut :
Abu 0,94 1,87 2,81
Protein 0,84 11,18 12,03
Lemak 0,14 3,45 3,60
Serat Kasar 4,42 16,99 21,41
Karbohidrat by difference 37,07 23,09 60,16
Onggok+Ampas Tahu (%b.k)Komponen Onggok (%b.k) Ampas Tahu (%b.k)
2. Perbandingan Onggok dan Bekatul (C/N = 5)
C = 85,39 G + 45,90 B = 500 dikali 1,00
N = 1,94 G + 12,97 B = 100 dikali 3,54
Dengan metode subtitusi, didapat :
85,39 G + 45,90 B = 500,00
6,86 G + 45,90 B = 353,88 -
78,53 G + 0 B = 146,12
G = 1,86
B = 7,43
Jadi, perbandingan onggok dan bekatul sebagai berikut :
Komponen Onggok (%b.k) Bekatul (%b.k)
Abu 2,17 12,59
Protein 1,94 12,97
Lemak 0,33 16,35
Serat Kasar 10,18 12,19
Karbohidrat by difference 85,39 45,90
Sehingga pada perbandingan onggok : bekatul (1,86 : 7,43) diperoleh
komposisi sebagai berikut :
Abu 0,43 10,07 10,50
Protein 0,39 10,37 10,76
Lemak 0,07 13,08 13,14
Serat Kasar 2,04 9,75 11,78
Karbohidrat by difference 17,10 36,71 53,81
Komponen Onggok (%b.k) Bekatul (%b.k) Onggok+Bekatul (%b.k)
76
3. Perbandingan Onggok dan Bungkil Kacang Tanah (C/N = 5)
C = 85,39 G + 44,83 K = 500 dikali 1,00
N = 1,94 G + 26,36 K = 100 dikali 1,70
Dengan metode subtitusi, didapat :
85,39 G + 44,83 K = 500,00
3,30 G + 44,83 K = 170,07 -
82,0924 G + 0 K = 329,93
G = 4,02
K = 3,50
Jadi, perbandingan onggok dan bungkil kacang tanah sebagai berikut :
Komponen Onggok (%b.k) Bungkil Kacang
Tanah (%b.k)
Abu 2,17 5,17
Protein 1,94 26,36
Lemak 0,33 23,06
Serat Kasar 10,18 0,58
Karbohidrat by difference 85,39 44,83
Sehingga pada perbandingan onggok : bungkil kacang tanah (4,02 : 3,50)
diperoleh komposisi sebagai berikut :
Komponen Onggok
(%b.k)
Bungkil Kacang
Tanah (%b.k)
Onggok+Bungkil
Kacang Tanah (%b.k)
Abu 1,16 2,41 3,56
Protein 1,04 12,27 13,31
Lemak 0,18 10,73 10,91
Serat Kasar 5,44 0,27 5,71
Karbohidrat by difference 45,65 20,87 66,51
77
Lampiran 3. Data Perubahan Parameter Penyimpanan Inokulum
A. Perubahan Kadar Air selama Penyimpanan
1. Inokulum Aspergillus niger
Perlakuan Pengamatan (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
0 6,88 6,76 6,82 0,09
1 8,05 7,81 7,93 0,17
2 8,18 8,17 8,17 0,01
3 8,31 8,22 8,27 0,06
4 9,67 9,61 9,64 0,05
5 9,71 9,71 9,71 0,00
6 9,81 9,82 9,82 0,00
7 9,91 9,82 9,87 0,07
8 10,11 9,97 10,04 0,09
0 7,19 7,06 7,13 0,09
1 7,48 7,45 7,46 0,02
2 7,82 7,74 7,78 0,06
3 8,10 8,01 8,06 0,06
4 9,34 9,28 9,31 0,04
5 9,35 9,48 9,42 0,09
6 9,46 9,49 9,47 0,02
7 9,56 9,49 9,52 0,05
8 9,83 9,78 9,80 0,03
0 6,88 6,80 6,84 0,06
1 7,51 7,49 7,50 0,02
2 8,04 8,01 8,02 0,02
3 8,55 8,52 8,54 0,02
4 8,68 8,66 8,67 0,02
5 8,78 8,87 8,83 0,06
6 8,89 8,90 8,89 0,00
7 8,99 8,90 8,94 0,07
8 9,24 9,44 9,34 0,15
Onggok + Bungkil Kacang Tanah
Onggok + Ampas Tahu
Onggok + Bekatul
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) Mean Square (MS) F. Hitung Pr > F
Ulangan 1 0,02199 0,02199 5,8 0,0234
Bahan 2 2,44684 1,22342 322,68 <,0001*
Minggu 8 46,06428 5,75804 1518,69 <,0001*
Bahan*Minggu 16 2,36729 0,14796 39,02 <,0001* *berpengaruh nyata
Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor bahan :
Bahan Jumlah Rata-Rata Grup Duncan*
Onggok dan Ampas Tahu 18 8,92 A
Onggok dan Bekatul 18 8,66 B
Onggok dan Bungkil Kacang Tanah 18 8,40 C *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan
78
Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor umur
inokulum :
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Jumlah Rata-Rata Grup Duncan*
8 6 9,73 A
7 6 9,45 B
6 6 9,40 B
5 6 9,32 C
4 6 9,21 D
3 6 8,29 E
2 6 7,99 F
1 6 7,63 G
0 6 6,93 H *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan
79
2. Inokulum Neurospora sitophila
Perlakuan Pengamatan (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
0 4,24 4,09 4,16 0,10
1 4,74 4,62 4,68 0,08
2 5,91 5,87 5,89 0,03
3 5,98 5,98 5,98 0,00
4 6,51 6,27 6,39 0,17
5 6,61 6,27 6,44 0,24
6 6,81 6,27 6,54 0,38
7 7,47 7,46 7,46 0,01
8 7,58 7,58 7,58 0,00
0 4,74 4,68 4,71 0,04
1 4,99 4,96 4,97 0,02
2 5,38 5,35 5,37 0,02
3 5,91 5,63 5,77 0,20
4 6,09 6,06 6,08 0,02
5 6,18 6,06 6,12 0,08
6 6,48 6,06 6,27 0,30
7 7,48 7,26 7,37 0,16
8 7,68 7,57 7,63 0,08
0 4,55 4,26 4,40 0,21
1 4,98 4,78 4,88 0,14
2 5,02 4,87 4,94 0,11
3 5,81 5,73 5,77 0,06
4 5,93 5,76 5,84 0,12
5 5,93 5,86 5,89 0,05
6 6,03 6,06 6,04 0,02
7 6,75 6,93 6,84 0,13
8 6,85 6,95 6,90 0,07
Onggok + Bungkil Kacang Tanah
Onggok + Ampas Tahu
Onggok + Bekatul
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung Pr > F
Ulangan 1 0,21391 0,21391 17,22 0,0003
Bahan 2 1,59553 0,79777 64,22 <,0001*
Minggu 8 46,03103 5,75388 463,16 <,0001*
Bahan*Minggu 16 1,73675 0,10855 8,74 <,0001* *berpengaruh nyata
Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor bahan :
Bahan Jumlah Rata-Rata Grup Duncan*
Onggok dan Ampas Tahu 18 6,13 A
Onggok dan Bekatul 18 6,03 B
Onggok dan Bungkil Kacang Tanah 18 5,72 C *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan
80
Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor umur
inokulum :
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Jumlah Rata-Rata Grup Duncan*
8 6 7,37 A
7 6 7,23 B
6 6 6,29 C
5 6 6,15 D
4 6 6,10 D
3 6 5,84 E
2 6 5,40 F
1 6 4,84 G
0 6 4,43 H *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan
81
B. Perubahan viabillitas spora selama penyimpanan
1. Inokulum Aspergillus niger
Perlakuan Pengamatan
(Minggu)
Ulangan 1 (Jumlah
spora.107/g bobot
kering)
Ulangan 2 (Jumlah
spora.107/g bobot
kering)
Rata-Rata
Onggok +
Ampas
Tahu
0 74,05 72,97 73,51
1 63,00 54,31 58,65
2 51,18 50,09 50,64
3 49,05 44,69 46,87
4 47,59 44,27 45,93
5 44,30 43,20 43,75
6 36,59 35,48 36,04
7 27,74 28,85 28,29
8 14,45 13,34 13,90
Onggok +
Bekatul
0 82,91 82,91 82,91
1 68,08 67,00 67,54
2 62,90 61,81 62,35
3 60,91 58,73 59,82
4 58,44 57,34 57,89
5 55,20 54,09 54,65
6 47,50 46,40 46,95
7 37,58 38,68 38,13
8 23,28 26,61 24,94
Onggok +
Bungkil
Kacang
Tanah
0 96,61 85,87 91,24
1 88,65 75,68 82,16
2 83,72 65,23 74,47
3 83,09 64,51 73,80
4 76,65 66,79 71,72
5 71,29 66,90 69,10
6 60,37 58,17 59,27
7 52,72 49,42 51,07
8 38,61 36,40 37,50
82
Jumlah spora setelah dilogaritmikkan :
Perlakuan Pengamatan (Minggu) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata
Onggok + Ampas
Tahu
0 8,87 8,86 8,87
1 8,80 8,73 8,77
2 8,71 8,70 8,70
3 8,69 8,65 8,67
4 8,68 8,65 8,66
5 8,65 8,64 8,64
6 8,56 8,55 8,56
7 8,44 8,46 8,45
8 8,16 8,13 8,14
Onggok +
Bekatul
0 8,92 8,92 8,92
1 8,83 8,83 8,83
2 8,80 8,79 8,79
3 8,78 8,77 8,78
4 8,77 8,76 8,76
5 8,74 8,73 8,74
6 8,68 8,67 8,67
7 8,57 8,59 8,58
8 8,37 8,43 8,40
Onggok +
Bungkil Kacang
Tanah
0 8,99 8,93 8,96
1 8,95 8,88 8,91
2 8,92 8,81 8,87
3 8,92 8,81 8,86
4 8,88 8,82 8,85
5 8,85 8,83 8,84
6 8,78 8,76 8,77
7 8,72 8,69 8,71
8 8,59 8,56 8,57
83
Viabilitas inokulum spora Aspergillus niger dalam persen :
Perlakuan Pengamatan (Minggu) Ulangan 1(%) Ulangan 2(%) Rata-Rata (%) Std
0 100,00 100,00 100,00 0,00
1 99,21 98,55 98,88 0,46
2 98,19 98,16 98,17 0,02
3 97,98 97,60 97,79 0,27
4 97,84 97,55 97,69 0,20
5 97,48 97,43 97,46 0,04
6 96,55 96,47 96,51 0,06
7 95,19 95,45 95,32 0,18
8 92,00 91,67 91,84 0,23
0 100,00 100,00 100,00 0,00
1 99,04 98,96 99,00 0,06
2 98,65 98,57 98,61 0,06
3 98,50 98,32 98,41 0,13
4 98,30 98,20 98,25 0,07
5 98,02 97,92 97,97 0,07
6 97,29 97,17 97,23 0,08
7 96,15 96,29 96,22 0,10
8 93,82 94,47 94,14 0,46
0 100,00 100,00 100,00 0,00
1 99,58 99,39 99,49 0,14
2 99,31 98,66 98,99 0,46
3 99,27 98,61 98,94 0,47
4 98,88 98,78 98,83 0,07
5 98,53 98,79 98,66 0,18
6 97,73 98,11 97,92 0,27
7 97,07 97,31 97,19 0,17
8 95,57 95,83 95,70 0,18
Onggok + Bungkil Kacang Tanah
Onggok + Ampas Tahu
Onggok + Bekatul
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) Mean Square (MS) F. Hitung Pr > F
Ulangan 1 0,06604 0,06604 1,39 0,2493
Bahan 2 16,12574 8,06287 169,58 <,0001*
Minggu 8 154,95348 19,36919 407,38 <,0001*
Bahan*Minggu 16 9,59750 0,59984 12,62 <,0001* *berpengaruh nyata
Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor bahan :
Bahan Jumlah Rata-Rata Grup Duncan*
Onggok dan Bungkil Kacang Tanah 18 98,41 A
Onggok dan Bekatul 18 97,76 B
Onggok dan Ampas Tahu 18 97,07 C *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan
84
Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor umur
inokulum :
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Jumlah Rata-Rata Grup Duncan*
0 6 100,00 A
1 6 99,12 B
2 6 98,59 C
3 6 98,38 D
4 6 98,26 D
5 6 98,03 E
6 6 97,22 F
7 6 96,24 G
8 6 93,89 H *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan
85
2. Inokulum Neurospora sitophila
Perlakuan Pengamatan
(Minggu)
Ulangan 1 (jumlah
spora.107/g bobot
kering)
Ulangan 2 (jumlah
spora.107/g bobot
kering)
Rata-Rata
Onggok +
Ampas
Tahu
0 62,61 63,65 63,13
1 51,41 50,36 50,88
2 43,57 42,50 43,03
3 38,29 37,23 37,76
4 29,91 27,78 28,84
5 24,58 25,65 25,12
6 19,26 18,19 18,73
7 11,89 10,81 11,35
8 5,41 3,25 4,33
Onggok +
Bekatul
0 83,96 82,91 83,43
1 71,56 71,36 71,46
2 63,40 62,97 63,18
3 58,37 47,23 52,80
4 47,91 41,98 44,94
5 42,61 41,98 42,29
6 37,34 31,48 34,41
7 26,99 23,09 25,04
8 20,57 17,84 19,20
Onggok +
Bungkil
Kacang
Tanah
0 61,72 60,67 61,19
1 49,41 48,36 48,89
2 42,08 39,98 41,03
3 35,02 31,84 33,43
4 28,68 26,55 27,61
5 24,44 21,25 22,85
6 15,96 13,84 14,90
7 9,66 7,51 8,59
8 3,22 1,07 2,15
86
Jumlah spora setelah dilogaritmikkan :
Perlakuan Pengamatan (Minggu) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata
Onggok +
Ampas Tahu
0 8,80 8,80 8,80
1 8,71 8,70 8,71
2 8,64 8,63 8,63
3 8,58 8,57 8,58
4 8,48 8,44 8,46
5 8,39 8,41 8,40
6 8,28 8,26 8,27
7 8,08 8,03 8,05
8 7,73 7,51 7,62
Onggok +
Bekatul
0 8,92 8,92 8,92
1 8,85 8,85 8,85
2 8,80 8,80 8,80
3 8,77 8,67 8,72
4 8,68 8,62 8,65
5 8,63 8,62 8,63
6 8,57 8,50 8,54
7 8,43 8,36 8,40
8 8,31 8,25 8,28
Onggok +
Bungkil Kacang
Tanah
0 8,79 8,78 8,79
1 8,69 8,68 8,69
2 8,62 8,60 8,61
3 8,54 8,50 8,52
4 8,46 8,42 8,44
5 8,39 8,33 8,36
6 8,20 8,14 8,17
7 7,99 7,88 7,93
8 7,51 7,03 7,27
87
Viabilitas inokulum spora Neurospora sitophila dalam persen :
Perlakuan Pengamatan (Minggu) Ulangan 1(%) Ulangan 2(%) Rata-Rata (%) Std
0 100,00 100,00 100,00 0,00
1 99,03 98,84 98,94 0,13
2 98,21 98,01 98,11 0,14
3 97,57 97,35 97,46 0,15
4 96,35 95,91 96,13 0,31
5 95,38 95,52 95,45 0,09
6 94,18 93,82 94,00 0,25
7 91,80 91,25 91,52 0,39
8 87,91 85,32 86,62 1,83
0 100,00 100,00 100,00 0,00
1 99,22 99,27 99,25 0,03
2 98,63 98,66 98,65 0,02
3 98,23 97,26 97,75 0,69
4 97,27 96,69 96,98 0,41
5 96,70 96,69 96,69 0,01
6 96,06 95,29 95,67 0,55
7 94,48 93,77 94,13 0,50
8 93,16 92,52 92,84 0,45
0 100,00 100,00 100,00 0,00
1 98,90 98,88 98,89 0,02
2 98,11 97,94 98,02 0,12
3 97,20 96,81 97,01 0,28
4 96,21 95,91 96,06 0,21
5 95,42 94,81 95,12 0,43
6 93,32 92,69 93,01 0,44
7 90,84 89,67 90,25 0,82
8 85,41 80,05 82,73 3,79
Onggok + Ampas Tahu
Onggok + Bekatul
Onggok + Bungkil Kacang Tanah
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) Mean Square (MS) F. Hitung Pr > F
Ulangan 1 5,14128 5,14128 8,59 0,0069
Bahan 2 49,90689 24,95345 41,71 <,0001*
Minggu 8 746,74895 93,34362 156,04 <,0001*
Bahan*Minggu 16 81,80796 5,11300 8,55 <,0001* *berpengaruh nyata
Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor bahan :
Bahan Jumlah Rata-Rata Grup Duncan*
Onggok dan Bekatul 18 96,88 A
Onggok dan Ampas Tahu 18 95,36 B
Onggok dan Bungkil Kacang Tanah 18 94,57 C *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan
88
Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor umur
inokulum :
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Jumlah Rata-Rata Grup Duncan*
0 6 100,00 A
1 6 99,12 B
2 6 98,59 B
3 6 98,38 C
4 6 98,26 D
5 6 98,03 D
6 6 97,22 E
7 6 96,24 F
8 6 93,89 G *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan
89
Lampiran 4. Data perubahan parameter viabilitas terhadap hidrolisis tongkol
jagung (setelah kultivasi tongkol jagung)
A. Perubahan kadar air setelah kultivasi
1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
2 23,19 22,97 23,08 0,16
4 25,02 24,18 24,60 0,59
6 24,35 25,44 24,89 0,77
8 25,22 26,53 25,87 0,92
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 8,0516 2,6839 5,9000 6,59
Error (Galat) 4 1,8188 0,4547
Total 7 9,8704
2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
2 40,56 40,68 40,62 0,09
4 41,52 42,07 41,79 0,39
6 42,91 41,40 42,16 1,07
8 41,94 41,87 41,91 0,05
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 2,7942 0,9314 2,85 6,59
Error (Galat) 4 1,3051 0,3263
Total 7 4,0993
B. Perubahan kadar abu
1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
2 2,46 2,43 2,44 0,02
4 2,28 2,52 2,40 0,16
6 2,45 2,42 2,44 0,02
8 2,44 2,36 2,40 0,06
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,0032 0,0011 0,13 6,59
Error (Galat) 4 0,0317 0,0079
Total 7 0,0348
90
2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
2 3,76 3,67 3,71 0,07
4 3,54 3,81 3,67 0,19
6 3,59 3,54 3,57 0,03
8 3,31 3,51 3,41 0,14
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,1098 0,0366 2,39 6,59
Error (Galat) 4 0,0612 0,0153
Total 7 0,1710
C. Perubahan kadar protein
1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
2 2,47 2,45 2,46 0,01
4 2,49 2,56 2,53 0,05
6 2,57 2,51 2,54 0,04
8 2,50 2,51 2,50 0,01
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,0072 0,0024 2,45 6,59
Error (Galat) 4 0,0039 0,0010
Total 7 0,0112
2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
2 5,50 5,68 5,59 0,12
4 5,34 5,50 5,42 0,11
6 5,67 5,53 5,60 0,10
8 5,57 5,54 5,55 0,02
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,0409 0,0136 1,45 6,59
Error (Galat) 4 0,0377 0,0094
Total 7 0,0786
91
D. Perubahan kadar lemak
1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
2 2,05 2,02 2,03 0,02
4 2,07 1,95 2,01 0,09
6 2,08 1,94 2,01 0,10
8 1,96 2,06 2,01 0,07
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,0008 0,0003 0,04 6,59
Error (Galat) 4 0,0237 0,0059
Total 7 0,0245
2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
2 2,88 2,93 2,90 0,03
4 2,86 2,80 2,83 0,04
6 2,90 2,87 2,89 0,02
8 2,84 2,87 2,85 0,02
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,0063 0,0021 2,43 6,59
Error (Galat) 4 0,0035 0,0009
Total 7 0,0098
E. Perubahan kadar serat
1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
2 54,76 54,59 54,67 0,12
4 55,81 55,82 55,82 0,00
6 56,38 56,30 56,34 0,06
8 56,56 56,77 56,66 0,15
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 4,5658 1,5219 152,72 6,59
Error (Galat) 4 0,0399 0,0100
Total 7 4,6057
92
karena F.Tabel < F.Hitung, maka dilakukan uji lanjut Duncan :
Umur Inokulum Jumlah Ulangan Rata-rata Grup Duncan*
8 2 56,66 A
6 2 56,34 B
4 2 55,82 C
2 2 54,67 D *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan
2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) Std
2 47,00 46,83 46,92 0,12
4 51,29 50,76 51,03 0,38
6 52,27 52,98 52,62 0,50
8 53,10 53,68 53,39 0,41
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 50,0351 16,6784 114,88 6,59
Error (Galat) 4 0,5807 0,1452
Total 7 50,6158
karena F.Tabel < F.Hitung, maka dilakukan uji lanjut Duncan :
Umur Inokulum Jumlah Ulangan Rata-rata Grup Duncan*
8 2 53,39 A
6 2 52,62 A
4 2 51,03 B
2 2 46,92 C *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan
F. Perubahan total gula
1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (ppm) Ulangan 2 (ppm) Rata-Rata (ppm) Std
2 39,727 38,683 39,205 0,738
4 39,774 38,735 39,255 0,735
6 38,576 38,683 38,629 0,076
8 38,566 38,644 38,605 0,055
93
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,7534 0,2511 0,92 6,59
Error (Galat) 4 1,0935 0,2734
Total 7 1,8469
2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (ppm) Ulangan 2 (ppm) Rata-Rata (ppm) Std
2 37,900 37,930 37,915 0,022
4 37,865 37,854 37,860 0,008
6 37,904 37,787 37,846 0,083
8 37,927 37,943 37,935 0,012
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,0111 0,0037 1.98 6,59
Error (Galat) 4 0,0075 0,0019
Total 7 0,0186
G. Perubahan gula pereduksi
1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (ppm) Ulangan 2 (ppm) Rata-Rata (ppm) Std
2 12,004 11,949 11,977 0,039
4 11,940 11,858 11,899 0,058
6 11,794 11,776 11,785 0,013
8 11,857 11,821 11,839 0,026
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,0405 0,0135 6,51 6,59
Error (Galat) 4 0,0057 0,0014
Total 7 0,0462
2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (ppm) Ulangan 2 (ppm) Rata-Rata (ppm) Std
2 14,290 14,344 14,317 0,039
4 14,536 14,537 14,536 0,001
6 14,426 14,454 14,440 0,019
8 14,317 14,372 14,344 0,039
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,0597 0,0199 6,56 6,59
Error (Galat) 4 0,0034 0,0008
Total 7 0,0630
94
H. Derajat polimerisasi
1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Std
2 3,310 3,237 3,273 0,051
4 3,331 3,267 3,299 0,046
6 3,271 3,285 3,278 0,010
8 3,253 3,269 3,261 0,012
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,0015 0,0005 0,41 6,59
Error (Galat) 4 0,0049 0,0012
Total 7 0,0064
2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila
Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata Std
2 2,652 2,644 2,648 0,006
4 2,605 2,604 2,604 0,001
6 2,627 2,614 2,621 0,009
8 2,649 2,640 2,645 0,006
Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5%
Umur Inokulum 3 0,00255 0,00085 6,56 6,59
Error (Galat) 4 0,00016 0,00004
Total 7 0,00270
95
Lampiran 5. Perhitungan komposisi awal media kultivasi
1. Menggunakan inokulum Aspergillus niger (onggok+bungkil kacang tanah)
Perbandingan jagung dan inokulm A.niger sebagai berikut :
Komponen Jagung
(%b.k)
Inokulum Onggok+Bungkil
Kacang Tanah (%b.k)
Abu 1,69 3,56
Protein 0,6 13,31
Lemak 2,34 10,91
Serat Kasar 79,15 5,71
Sehingga pada perbandingan jagung : inokulum A. niger (85 : 15) diperoleh
komposisi sebagai berikut :
Komponen Media Awal Kultivasi (%b.k)
Abu 1,97
Protein 2,51
Lemak 3,63
Serat Kasar 68,13
2. Menggunakan inokulum Neurospora sitophila (onggok+bekatul)
Perbandingan jagung dan inokulm N. sitophila sebagai berikut :
Komponen Jagung
(%b.k)
Inoukulum Onggok+Bekatul
(%b.k)
Abu 1,69 10,50
Protein 0,6 10,76
Lemak 2,34 13,14
Serat Kasar 79,15 11,78
Sehingga pada perbandingan jagung : inokulum N. sitophila (85 : 15) diperoleh
komposisi sebagai berikut :
Komponen Media Awal Kultivasi (%b.k)
Abu 3,01
Protein 2,12
Lemak 3,96
Serat Kasar 69,05
top related