respon tubuh terhadap agen immunologic
Post on 21-Dec-2015
56 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
RESPON TUBUH TERHADAP AGEN IMMUNOLOGIC
Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit
infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap
infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul
terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun. Sistem imun diperlukan
tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan
berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan
yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel
pejamu dan berkembang biak intraseluler dengan menggunakan sumber energi sel
pejamu. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain,
menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan
berguna untuk pejamu. Pertahanan imun terdiri atas sistem imun alamiah atau
nonspesifik (nature innate/ native) dan didapat atau spesifik (adaptive/ acquired).
Sistem Imun mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:
1) Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit.
2) Menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi
asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke
dalam tubuh.
3) Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak (debris sel) untuk
perbaikan jaringan.
4) Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.
JENIS-JENIS SISTEM IMUN
1. Sistem imun non spesifik ,natural atau sudah ada dalam tubuh (pembawaan )
Merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam melawan mikroorganisme. Disebut
nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.
Terdiri dari:
a) Pertahanan fisik/mekanik
Kulit, selaput lendir , silia saluran pernafasan, batuk, bersin akan
mencegah masuknya berbagai kuman patogen kedalam tubuh. Kulit yang
1
rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok
akan meninggikan resiko infeksi.
b) Pertahanan biokimia
Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, kel
kulit, telinga, spermin dalam semen, mengandung bahan yang berperan dalam
pertahanan tubuh secara biokimiawi. asam HCL dalam cairan lambung ,
lisozim dalam keringat, ludah , air mata dan air susu dapat melindungi tubuh
terhadap berbagai kuman gram positif dengan menghancurkan dinding
selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang
mempunyai sifat antibacterial terhadap E. coli dan staphylococcus.
Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman gram
negatif dan hal tersebut diperkuat oleh komplemen. Laktoferin dan transferin
dalam serum dapat mengikat zan besi yang dibutuhkan untuk kehidupan
kuman pseudomonas.
c) Pertahanan humoral
Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada pertahanan tubuh secara
humoral. Bahan-bahan tersebut adalah:
Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif
bakteri dan parasit karena:
Komplemen dapat menghancurkan sel membran bakteri
Merupakan faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke
tempat bakteri
Komponen komplemen lain yang mengendap pada permukaan
bakteri memudahkan makrofag untuk mengenal dan
memfagositosis (opsonisasi).
Interferon
Adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel
manusia yang mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons
2
terhadap infeksi virus. Interveron mempunyai sifat anti virus dengan
jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga
menjadi resisten terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat
mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK). Sel yang diinfeksi virus atau
menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya.
Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudian
membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah.
C-Reactive Protein (CRP)
Peranan CRP adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan
komplemen. CRP dibentuk oleh badan pada saat infeksi. CRP
merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 x atau lebih)
setelah infeksi atau inflamasi akut. CRP berperan pada imunitas non
spesifik, karena dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul
yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur.
d) Pertahanan seluler
Fagosit/makrofag dan sel NK berperanan dalam sistem imun non spesifik
seluller.
Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi
sel utama yang berperaan dalam pertahanan non spesifik adalah sel
mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear seperti
neutrofil. Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan
sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingakt
sebagai berikut: Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis), membunuh
dan mencerna. Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infekis sebagai
respon terhadap berbagai factor sperti produk bakteri dan factor biokimiawi
yang dilepas pada aktivasi komplemen. Antibody seperti pada halnya dengan
komplemen C3b dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi). Antigen yang
diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian
3
dihancurkan. Hal tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc
dari immunoglobulin pada permukaan fagosit.
Natural Killer cell (sel NK)
Sel NK adalah sel limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak
mempunyai cirri sel limfoid dari siitem imun spesifik, maka karenan itu
disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel poplasi ketiga.Sel NK dapat
menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma dan
interveron meempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan dan
efeksitolitik sel NK.
2. Sistem imun spesifik atau adaptasi
Mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing. Benda asing yang
pertama kali muncul dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitiasi
sel-sel imun tersebut. Bila sel imun tersebut berpapasan kembali dengan benda
asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat,
kemudian akan dihancurkan olehnya. Oleh karena sistem tersebut hanya
mengahancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu
disebut spesifik.sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan
benda asing yang berbahaya, tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara
antibodi, komplemen , fagosit dan antara sel T makrofag.
Sistem imun spesifik ada 2 yaitu;
a) Sistem imun spesifik humoral
Yang berperanan dalam sistem imun humoral adalah limfosit B atau sel B. sel
B tersebut berasal dari sel asal multipoten. Bila sel B dirangsang oleh benda
asing maka sel tersebut akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel
plasma yang dapat menbentuk zat anti atau antibody. Antibody yang dilepas
dapat ditemukan didalam serum. Funsi utama antibody ini ialah untuk
pertahanan tehadap infeksi virus, bakteri (ekstraseluler), dan dapat
menetralkan toksinnya.
4
b) Sistem imun spesifik selular
Yang berperanan dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosit T atau sel
T. sel tersebut juga berasal dari sel asal yang sama dari sel B. factor timus
yang disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon
asli dan dapat memberikan pengaruhnya terhadap diferensiasi sel T diperifer.
Berbeda dengan sel B , sel T terdiri atas beberapa sel subset yang mempunyai
fungsi berlainan. Fungsi utama sel imun spesifik adalah untuk pertahanan
terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan.
Imunitas spesifik dapat terjadi sebagai berikut:
Alamiah
Pasif
Imunitas alamiah pasif ialah pemindahan antibody atau sel darah
putih yang disensitisasi dari badan seorang yang imun ke orang lain yang
imun, misalnya melalui plasenta dan kolostrum dari ibu ke anak.
Aktif
Imunitas alamiah katif dapat terjadi bila suatu mikoorgansme
secara alamiah masuk kedalam tubuh dan menimbulkan pembentukan
antibody atau sel yang tersensitisasi.
Buatan
Pasif
Imunitas buatan pasif dilakukan dengan memberikan serum, antibody,
antitoksin misalnya pada tetanus, difteri, gangrengas, gigitan ular dan
difesiensi imun atau pemberian sel yang sudah disensitisasi pada
tuberkolosis dan hepar.
Aktif
Imunitas buatan aktif dapat ditimbulkan dengan vaksinasi melalui
pemberian toksoid tetanus, antigen mikro organism baik yang mati
maupun yang hidup.
1. Respon Immune Primer-Sekunder
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat
5
melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit,
komplemen, dansitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Respon imun terbagi
menjadi dua, yaitu ;
a. Respon Imun Primer
Respons imun primer adalah respon imun yang terjadi pada pajanan yang
pertama kalinya dengan antibodi. Antibodi yang terbentuk pada respons imun ini
kebanyakan adalah IgM dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan
respons imun sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen
masuk sampai timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila disbanding dengan
respons imun sekunder.
b. Respon Imun Sekunder
Pada respons imun ini, antibodi yang dibentuk terutama adalah IgG,
dengan titer dan afinitas lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding
respons imun primer. Hal ini disebabkan oleh karena sel memori yang yang
terbentuk pada respons imun primer akancepat mengalami transformasi blast,
proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi.
Demikian pula dengan imunitas seluler, sel limfosit T akan lebih cepat
mengalami transformasi blast dan berdeferensiasi menjadi sel T aktif sehingga
lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori (Ranuh, 2001).
2. Proses Immunitas
Langkah pertama dalam memusnahkan patogen atau sel asing adalah mengenal
antigen sebagai bahan asing. Baik sel T maupun sel B mampu melakukan hal ini, namun
mekanisme immunya diaktivasi dengan sangat baik, bila pengenalan ini dilakukan oleh
makrofag dan kelompok khusus limfosit T yang disebut sel T helper.
Antigen asing difagosit oleh suatu makrofag, dan bagian-bagian dipresentasi
pada membran sel makrofag. Pada membran makrofag juga terdapat antigen “ self ”
yang merupakan representasi semua antigen yang terdapat di semua sel individu. Oleh
karena itu, sel T helper yang bertemu makrofag ini tersaji tidak hanya bersama antigen “
self ” sebagai pembandingnya. Sel T helper sekarang menjadi tersensitisasi dan spesifik
bagi antigen asing. Satu hal yang tidak dimiliki tubuh. Pengenalan antigen sebagai
6
benda asing mengawali satu atau kedua mekanisme imunitas. Mekanisme tersebut
adalah imunitas selular, yang dalamnya sel T dan makrofag berpartisipasi dan imunitas
humoral (dengan perantara antibodi) yang melibatkan dalam sel T, sel B dan makrofag.
1. Imunitas Selular
Mekanisme imunitas ini tidak menghasilkan antibodi, tetapi tetap efektif
melawan patogen intrasel (misalnya virus), fungi , sel-sel ganas, dan tandur
jaringan asing. Setelah pengenalan antigen asing oleh makrofag dan sel T helper
yang menjadi teraktivasi dan spesifik kemudian membelah berkali-kali
membentuk sel T memori dan sel T sitotoksik (killer). Sel T memori akan
mengingat antigen asing yang spesifik dan menjadi aktif bila antigen tersebut
masuk lagi ke dalam tubuh. Sel T sitotoksik secar kimiawi mampu merusak
antigen asing dengan mengoyak membran sel. Dengan cara ini, sel T sitotoksik
merusak sel-sel yang terinfeksi oleh virus, dan mencegah virus berepsroduksi.
Sel T ini juga memproduksi sitokinin, yang secara kimiawi menarik makrofag
menuju area tersebut dan mengaktifkan makrofag untuk memfagosit antigen
asing. Sel T teraktivitasi lainnya menjadi sel T supresor, yang akan
menghentikan respons imun ketika antigen asing telah dirusak. Namun, sel T
memori secara cepat akan melakukan respons imun selular begitu terjadi pajanan
selanjutnya terhadap antigen.
2. Imunitas Humoral
Mekanisme imunitas ini tidak melibatkan produksi antibodi. Tahap
pertama yaitu pengenalan antigen asing, yang kali ini dilakukan oleh sel B serta
makrofag dan sel T helper. Sel T helper yang tersensitisasi menyajikan antigen
asing pada sel B, yang memberikan stimulus kuat bagi aktivasi sel B yang
spesifik untuk antigen ini. Sel B teraktivasi mulai membelah berkali-kali dan
membentuk dua jenis sel. Beberapa sel B baru yang dihasilkan adalah sel-sel B
memori, yang akan mengingat antigen spesifik. Sel-sel B lain menjadi sel-sel
plasma yang menghasilkan antibodi spesifik bagi antigen asing yang satu ini.
Antibodi kemudian berikatan dengan antigen, membentuk kompleks antigen-
antibodi. Ikatan kompleks ini menyebabkan opsonisasi yang berarti bahwa
7
antigen sekarang “ dilabel “ untuk di fagosit oleh makrofag atau neutrofil.
Kompleks antigen antibodi juga menstimulasi proses fiksasi komplemen.
Komplemen adalah suatu kelompok yang terdiri atas 20 protein plasma
yang bersirkulasi dalam darah sampai teraktivasi atau terfiksasi oleh suatu
kompleks antigen-antibodi. Fiksasi komplemen bisa komplet atau parsial. Jika
antigen asingnya seluler, protein komplemen mengikat kompleks antigen-
antibodi, lalu slaing berikatan satu dengan lainnya, dan menyusun cincin
enzimatik yang membentuk satu lubang dalam sel, yang dapat menyebabkan
kematian sel. Ini adlaha fiksasi komplemen komplet ( menyeluruh) dan
merupakan keadaan yang terjadi pada sel-sel bakteri (yang bisa terjadi pada
reaksi transfusi, juga dapat meyebabkan hemolisis).
Apabila antigen asing bukan sel, misalnya virus, maka akan berlangsung
fiksasi, komplemen parsial, yakni beberpa protein komplemen berikatan dengan
kompleks antigen-antibodi. Hal ini merupakan faktor kemotaktik. Kemotaksit
berarti “ Pergerakan kimiawi “ dan sebenarnya merupakan penanda yang
menarik makrofag untuk memangsa dan merusak antigen asing. Bila antigen
asing telah dirusak, sel T supresor tersensitisasi untuk menghentikan respon
imun. Hal ini penting dalam membatasi produksi antibodi sampai jumlah yang
diperlukan untuk mengeliminasi patogen tanpa memicu respons tanpa memicu
respons autoimun (Scanlon, 2006: 305-306).
3. Reaksi Hipersensitivitas
A. Definisi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang
menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya
bagi penjamu. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah
kontak yang kedua dengan antigen spesifik (alergen). Kontak yang pertama kali
merupakan kejadian yang diperlukan untuk menginduksi sensitisasi terhadap
alergen tersebut.
8
B. Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :
1. Faktor Internal
a.Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan
norma kehidupan setempat.
c.Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fator Eksternal
a.Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c.Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
C. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika
untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah
tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda
itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu
aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk
mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada
sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan
untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
9
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya
netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang
menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh
darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya
gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis.
Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya
asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik
syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran
menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.
D. Klasifikasi
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell diklasifikasikan
menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi,
yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell
dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
1. Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas
langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata,
nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal.
Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara
15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat
mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas
tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler
utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat
dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe I ini meliputi
langkah-langkah berikut ini. Antigen menginduksi pembentukan
10
antibody IgE, yang terikat kuat dengan reseptor pada sel basofil dan sel
mast melalui bagian Fc antibody tersebut. Beberapa saat kemudian,
kontak yang kedua dengan antigen yang sama mengakibatkan fiksasi
antigen ke IgE yang terikat ke sel dan pelepasan mediator yang aktif
secara farmakologis dari sel tersebut dalam waktu beberapa menit.
Nukleotida siklik dan kalsium diperlukan dalam pelepasan mediator
tersebut.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi
hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan
ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk
melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai.
Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi
akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan
yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah
menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,
penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi
atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa
imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan
antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan
terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat
patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi
silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula
menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas
tipe II adalah:
11
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara
sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin
yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan
berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan
lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran
permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan
ginjal).
3. Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks
imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-
antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai
dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal,
kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-
kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi,
bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara
otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-
menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.
Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada
membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi,
atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu
kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena
kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit
serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut
12
juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam
dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi
timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit
yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan
A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan
gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat
keju.
4. Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang
diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi
karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu
cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi
sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan
leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas
pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity,
DTH).
E. Tanda dan Gejala
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan
oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring
dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi
vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
13
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
a. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-
lain. gejala sering disertai pruritis.
b. Demam.
c. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi.
d. Limfadenopati
e. kejang perut, mual
f. neuritis optic
g. glomerulonefritis
h. sindrom lupus eritematosus sistemik
i. gejala vaskulitis lain
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru
akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering
menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial,
ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal,
demam, gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
F. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir.
14
2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan.
3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan.
4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena
pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
G. Diagnosa
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu
apakah pasien benar-benar menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru
dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain juga faktor-
faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa
tahapan berikut.
1. Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal
adanya keterkaitan penyakit dengan alergi.
2. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan
perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit,
konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada
manifestasi yang timbul.
3. Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit
alergi, namun tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan
laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel,
serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.
4. Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes
tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang
dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.
5. Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara
langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan
jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran
klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal
dan tes provokasi bronkial.
15
H. Penangan dan Terapi
Penanganan gangguan alergi dapat dilakukan dengan cara:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin
( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin
( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol,
prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat
menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat
reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34
jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin
pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan
sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah
daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-
hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang
mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak
mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk
pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma
alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk
pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam
sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil
16
serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal
langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi
mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat
menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen
E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan
terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan
histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi
seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak
melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar
berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti
traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
5. Immunodefisiensi
Imunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, dimana sistem
kekebalan tidak berfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi,
lebih sering berulang, luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya.
Jika suatu infeksi terjadi secara berulang dan berat (pada bayi baru lahir, anak-anak
maupun dewasa), serta tidak memberikan respon terhadap antibiotik, maka
kemungkinan masalahnya terletak pada sistem kekebalan.
Imunodefisiensi adalah penyakit yg disebabkan oleh hilang / terjadinya
gangguan fungsi dr sebagian sistem imun termasuk sel imun, molekul imun, atau
proses kerja sistem imun.
17
Patogenesis
Patogenesis dari imunodefisiensi sangat komplek dan bervariasi, dan
menimbulkan gejala klinis yang banyak berbeda untuk setiap kejadian, juga sering
mengakibatkan penyakit yang serius.
Klasifikasi menurut etiologi
1) Primary immunodeficiency disease (PIDD)
Disebabkan oleh defek genetik dalam sistem imum, mengakibatkan
kegagalan esensial sistem imun untuk berkembang (Tambayong, 2000).
2) Secondary immunodeficiency disease (SIDD)
Menurut Underwood (1999) penyebab pada imunodefisiensi sekunder
adalah malnutrisi, keganasan hematologik seperti leukemia, penderita gagal
ginjal kronis, AIDS, dan infeksi virus akut. Kondisi lain yang mengakibatnya
terjadinya imunidefisiensi sekunder yaitu proses penuaan, stress, pengobatan
kanker, terapi radiasi, terapi imunosupresan seperti kortikosteroid serta
antibiotika (Tambayong, 2000).
Menurut Underwood (1999) imunodefisiensi primer berdasarkan
patogenesisnya dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Cacat pada limfosit-B
Cacatnya fungsi lifosit-B diturunkan secara genetik oleh X-linked
resesif. Defek ini menyebabkan pre-sel B mengalami kegagalan
berdiferensiasi menjadi limfosit B. Akibatnya kelenjar limfe tidak
memiliki sentrum germinativum, maka jaringan tidak berisi sel plasma
dan limfoid B tidak terdapat dalam darah (Underwood, 1999).
Defisiensi sel B yang gagal berdiferensiasi menjadi sel plasma
penghasil IgA berakibat defisiensi immunoglobulin.
2. Cacat pada fungsi limfosit-T
Terjadi karna defek genetik yaitu delesi kromosom 22q11. Pada masa
embrio perkembangan lengkung brakial ketida dan keempat terganggu
mengakibatkan tidak terbentuknya sebagian besar timus dan kelenjar
18
paratiroid. Oleh karena terjadi hipoparatiroid berakibat menurunnya
lifosit yang beredar yaitu limfosit T yang berperan untuk memproduksi
immunoglobulin spesifik pada antigen. Meskipun immunoglobulin
normal tetapi karna tidak adanya aktivitas sel T helper maka
immunoglobulin spesifik tidak terbentuk (Underwood, 1999).
3. Cacat campuran fungsi limfosit T dan B
Mutasi genetik pada rantai gamma yang menggandung reseptor IL-2,
IL-4, IL-7, IL-9, dan IL-15 mengakibatkan disfungsi sitotoksin.
Reseptor IL-7 yang terganggu mengakibatkan pematangan limfosit T
terhambat. Gangguan reseptor IL-2 menghambat proliferasi sel T, B,
dan NK (McPhee, 2010).
4. Imunodefisiensi Sekunder
Muncul karna adanya respon terhadap gangguan pada tubuh. Berbagai
macam kondisi dan penyakit yang dapat menurunkan sistem imun
seperti leukemia menyerang sumsum tulang dan malnutrisi menyerang
sel perantara. Defisiensi yang terjadi berupa cacat campuran limfosit T
dan B (Underwood, 1999).
19
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit
infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap
infeksi disebut sistem imun.
Sistem imun terbagi menjadi dua jenis yaitu, sistem imun non spesifik dan
sistem imun spesifik.
Respon imunterbagi menjadi dua yaitu, respon imu primer dan respon imun
sekunder.
Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang
menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya bagi
penjamu.
Imunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, dimana sistem
kekebalan tidak berfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih
sering berulang, luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya
Saran
Untuk menjaga sistem imun disarankan untuk selalu berolahraga & istirahat
yang cukup, menjalani diet gizi seimbang dan membantu menjaga sistem imun dengan
suplemen penguat imun, seperti susu berkolostrum, dan Vitamin C.
20
DAFTAR PUSTAKA
Aisa. 2013. Sistem Imun. Diakses di
https://aisabiologi.wordpress.com/2013/03/21/sistem-imun/, pada hari Rabu
15/04/2015, pukul 18.07 WITA
Baratawidjaja, Karnen G., 2006, Imunologi Dasar, Edisi Ke Tujuh, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
Brooks G. F., Butel J. S., dan Morse S. A., 2005, Mikrobiologi Kedoteran, Edisi
Pertama, Salemba Medika, Jakarta.
Corwin, E.J.,2009,Patofisiologi: Buku Saku,Jakarta:EGC.
Garna Baratawidjaja Karnen dan Rengganis Iris. 2009. Imunologi Dasar edisi
VIII.
McPhee, S.J.,Ganong, W.F.,2010,Patofisiologi: Pengantar Menuju Kedokteran
Klinis,Jakarta:EGC.
Mitcheel, R.N.,2009,Buku Dasar Patologi Penyakit,Jakarta:EGC.
Price & Wilson, 2003, Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Vol
2, Edisi 6, EGC, Jakarta.
Sproat, C.,Burke, G.,McGurk, M.,2006,Essential Human Disease for
Dentists,Philadelpia:Elsevier.
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, M., Setiati,
S., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
Tambayong, J.,2000,Patofisiologi untuk Keperawatan,Jakarta:EGC.
Underwood, J.C.E.,2000,Patologi Umum dan Sistematik,Jakarta:EGC.
21
top related