analisa kasus
DESCRIPTION
wrreTRANSCRIPT
ANALISA KASUS
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh sesak nafas dan
fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.
Seorang pasien yang menderita gagal jantung harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung,
nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau kelelahan; tanda-tanda
retensi cairan seperti kongestif paru atau edema tungkai kaki; adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istirahat. Adanya gejala gagal jantung, yang reversible dengan terapi, dan
bukti objektif adanya disfungsi jantung (Eropean society of cardiology 1995). Gagal jantung dapat dibagi
menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan dan gagal jantung kongestif. Gagal jantung juga dapat
dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis.
Faktor resiko dan Etiologi
Berdasarkan Penelitian secara epidemiologi telah mengidentifikasi faktor indenpenden utama untuk
Coroner Heart Disease, termasuk: Merokok, peningkatan total dan LDL kolesterol, peninggian tekanan
darah, rendahnya kolesterol HDL, Diabetes mellitus, dan penambahan umur. Seorang individu dengan
faktor risiko yang lebih tinggi untuk penyakit atherosclerosis. Dengan tambahan, ada beberapa faktor
risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko CHD yaitu:
o Obesity (BMI>30kg/m2)
o Abdominal obesity (waist circumference, men>102cm and
o women>88cm;
o waist-hip ratio, men>0.9 and women>0.8)
o aktivitas fisik
o riwayat keluarga dari premature CHD ( saudara laki-laki dengan CHD atau keluarga
dengan CHD <55 tahun dan atau keluarga wanita atau keluarga utama dengan
CHDA<65 tahun)
o etnik tertentu
o faktor psikososial
Faktor risiko kondisional yang berhubungan dengan peningkatan risiko untuk Coroner Heart
Disease (CHD) walaupun kontribusi independen untuk CHD tidak terdokumentasi dengan baik, antara
lain: peningkatan serum triglycerides, peningkatan serum homocysteine, peningkatan serum lipoprotein
(a), Prothrombotic factors (e.g. fibrinogen), Inflammatory markers (e.g. C-reactive proteins). Jika di lihat
dari enam faktor resiko utama perkembangan penyakit infark miokard yaitu : hiperlipidemia, Diabetes
mellitus, darah tinggi, merokok, Jenis kelamin laki- laki, dan riwayat keluarga. Maka dari anamnesa di
dapatkan bahwa pasien pada kasus ini memiliki tiga faktor resiko yaitu pasien merupakan perokok aktif
sejak usia sekitar 30 tahun, pasien berjenis kelamin laki- laki dan memiliki riwayat pola makan yang tidak
baik, seperti suka makan makanan berlemak.
Manifestasi klinis
Dari hasil anamnesis pada pasien ini didapatkan manifestasi klinis berupa nyeri dada dan sesak
nafas yang dirasakan sejak 4 bulan yang lalu, dan memberat dalam 1 minggu SMRS. Pasien mengeluhkan
nyeri dada yang terasa seperti ditusuk-tusuk saat sesak nafas, dada terasa berat dan panas. Seminggu
sebelumnya pasien juga mengeluhkan cepat lelah saat aktivitas. Berdasarkan teori di beberapa referensi
dijelaskan secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas
saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai.
Classifications of Heart Failure
NYHA ACC/AHA
Class Description Class Description
I No symptoms A No structural damage,high risk for developing heart failure
II Symptoms with significant activity B Structural abnormality,no symptoms
III Symptoms with minimal activity C Structural abnormality,previous or current symptoms
IV Symptoms at rest D Refractory symptoms
Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan vital sign pada kasus ini didapatkan keadaan umum pasien: sedang, kesadaran:
compos mentis, tekanan darah: 100/70 mmHg, laju jantung: 26x/ menit, RR: 32x/menit, T: 36,7 0C. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan thorax simetris, bunyi jantung S3 (+), suara vesikuler melemah pada kedua
lapangan paru bawah, suara rhonki pada kedua lapangan paru. Pada pemeriksaan leher ditemukan adanya
peningkatan TVJ dan distensi vena jugular. Pada pemeriksaan abdomen, ditemukan adanya asites dan
hepatomegali, juga didapatkan edema pada ekstremitas inferior. Seorang pasien yang menderita gagal
jantung harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung, nafas pendek yang tipikal saat istirahat
atau saat melakukan aktifitas disertai atau kelelahan; tanda-tanda retensi cairan seperti kongestif paru atau
edema tungkai kaki; adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
Gambaran klinis gagal jantung kiri Gambaran klinis gagal jantung kanan
Gejala:
- Penurunan kapasitas aktivitas
- Dipsnu (mengi, ortopnu,PND)
- Letargi dan kelelahan
- Penurunan nafsu makan dan berat badan
Tanda
- Kulit lembab
- TD meningkat, rendah atau normal
- Denyut nadi (takikardi/alternant/aritmia)
- Pergesaran apeks
- Krepitasi paru
Gejala :
- Pembengkakan pergelangan kaki
- Dipsnu (bukan ortopnu atau PND
- Nyeri dada
- Penurunan aktivitas
Tanda :
- Denytu nadi
- Peningkatan JVP
- Edema
- Hepatomegali dan asites
- Gerakan bergelombang parasternal
- S3 atau S4 RV
- Efusi pleura - (efusi pleura)
Manifestasi klinis gagal jantung :
Tampilan klinis yang dominan Gejala Tanda
Edema paru/kongesti Sesak nafas, kelelahan, mudah penat, anorksia
Edema perifer, peningkatan TVJ, hepatomegali. Asites. Bendungan cairan, kakeksia
Edema paru Sesak nafas yang sangat berat saat istirahat
Ronki basah halus atau basah kasar di paru, efusi paru, takikardi, takipnoe
Syok kardiogenik Penurunan kesadaran, lemah, akral dingin
Perfusi perifer yang buruk, TD sistolik <90mmHg, anuria/oliguria
Tekanan darah sangat tinggi Sesak nafas Umumnya peningkatan TD, penebalan dinding ventrikel, kiri dan ejeksi fraksi yang masih baik
Gagal jantung kanan Sesak nafas, mudah lelah Tanda disfungsi ventrikel kanan, peningkatan JVP, edema perifer
Klasifikasi gagal jantung menurut ACC/AHA Klasifikasi fungsional NYHA
Stadium A : memilikiresiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
Kelas I : Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
Stadium B : telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak tedapat tanda atau gejala
Kelas II : terdapat batas aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, plpitasi,atau sesak nafas
Stadium C : gagal jantung yang simptomatis berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang mendasari
Kelas III : terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
Stadium D : penyakit struktural jantung yang lanjut serta gagal jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal
Kelas IV : tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan, terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
ACC : American College of Cardiology AHA : American College Heart Association Hunt SA et al. circulatiom.2005
NYHA : New York Heart Assiaciation
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif, kriterianya
antara lain :
Diagnosis gagal jantung (1 kriteria mayor + 2 kriteria minor)
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Paroksismal nocturnal dyspnoe
Distensi vena leher
Ronkhi paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnoe de’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 normal
Takikardi >120 kali/menit
BB turun >4,5 Kg dalam 5 hari masa terapi
Klasifikasi KILLIP mengenai derajat keparahan gagal jantung:
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus untuk menegakkan diagnosa gagal
jantung kongestif yaitu : pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) yang memberikan gambaran adanya
inverse gelombang T di sadapan V3, V4, V5, dan V. disertai adanya RVH. Pada kasus ini gambaran
EKG menunjukkan adanya iskemik miocard dan hipertrofi ventrikel kanan. Dari foto thorax didapatkan
adanya cardiomegali dengan CTR 75%, disertai edema paru.
Hal ini sesuai yang didapatkan pada literatur, pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan
untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi,
pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto
dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran
kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20
mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus.
Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan
adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral,
yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan. Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran
abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST –
T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada
keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu
pada pasien sangat kecil kemungkinannya. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang
sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai
struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan
tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan
fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi
tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi
diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli. Pemeriksaan darah perlu
dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya
penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia
menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain
untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi
peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik
dosis tinggi. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya
abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai
kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP
plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pada kasus didapatkan Total kolesterol yang
meningkat dari jumlah normal (298 mg/dl), hal ini menunjukkan fakltor resiko hiperkolesterolemia
terdapat pada pasien seperti yang dijelaskan pada pembahasan faktor resiko dan etiologi di atas.
Abnormalitas EKG yang sering terlihat pada gagal jantung kongestif
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Sinus takikardia Gagal jantung yang terdekompensasi, anemia, demm,hipertiroid
Penilaian klinis dan laboratorium
Aritmia ventrikel Iskemia, infark, kardiomiopati, overdosis digitalis, hipokalemia
Pemeriksaan labaratorium,
angiografi koroner
Iskemia/infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin, angiografi koroner, revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati hipertrofi, LBBB
Ekokardiografi, angiografi koroner
Hipertrofi ventrikel kiri Hipertensi, penyakit katup aorta, kardiomiopati hipertrofi
Ekokardiografi, dopler
Diagnosis
Dengan demikian dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan didukung dengan pemeriksaan
penunjang (pada kasus dan perbandingana dengan teori), maka penderita pada kasus ini didiagnosa
dengan CHF ec.IHD + edema paru.
- hari pertama setelah gejala
- NYHA : 3-4
- ACC/AHA : Stadium C
- Killip : 3
- RF : merokok, pola makanan yang tidak sehat
Penatalaksanan
Prinsip penatalaksanaan CHF adalah mengurangi beban jantung dan mengoreksi penyebab gagal
jantung yang terjadi, pada pasien dengan memperbaiki kembali aliran pembuluh koroner sehingga
reperfusi dapat mencegah kerusakan miokard lebih lanjut. Pada kasus ini pasien diterapi dengan
pemberian oksigen nasal 2 L/I, IVFD RL 10 gtt/I, dopamine sampai TD>110/80mmHg, Injeksi
Furosemid 1amp/12 jam, Captopril 2x25 mg, KSR 2x 600 mg.
Dari tinjauan kepustakaan, Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi
untuk penatalaksanan paripurna penderita gagal jantung. Pemberian loop diuretik intravena seperti
furosemid akan menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis.
Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh
prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan.
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta tekanan pengisian
ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak
sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri
koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan
arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian
intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam. Sodium nitropusside dapat digunakan
sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang
disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguanfu fungsi
hati. Dosis 0,3 – 0,5 μg/kg/menit. Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan
memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan
menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan
tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan
infus 0,01 μg/kg/menit. Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang
disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan atau vasodilator digunakan pada penderita
gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka
inotropik dan atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat
meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri
rata - rata > 65 mmHg. Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga
terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin
akan merangsang reseptor adrenergik dan menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt, untuk meningkatkan
curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta,
dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt. Phospodiesterase inhibitor menghambat
penguraian cyclic-AMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung.
Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi
penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang memerlukan
inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075
μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 – 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt. Pemberian
vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan
darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau
terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan adalah
epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt.
Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt.
Diuretik tiazid tidak hanya menurunkan tekanan darah, tetapi juga mengurangi retensi garam dan air
sehingga memperbaiki beban volume berlebih yang umum terdapat pada gagal jantung kongestif; tetapi
mungkin kurang berguna pada pen-
derita gagal jantung yang terutama karena gangguan fungsi diastolik, karena kontraksi volume
intravaskuler menyebabkan penurunan lebih lanjut pengisian ventrikel kiri.
Antiadrenergik Sentral
Efek bervariasi, klonidin mungkin mempunyai beberapa sifat inotropik negatif, dan alfa-metildopa
mempunyai efek sedikit saja.
Antiadrenergik Perifer
Prazosin dan doxazosin rnempunyai efek yang menguntungkan pada gagal jantung.
Penyekat ACE
Merupakan obat yang baik untuk gagal jantung. Obat bereaksi pendek seperti kaptopril lebih dianjurkan
paling tidak pada fase awal. Tetapi obat golongan ini yang telah diteliti meningkatkan lama hidup pada
penderita gagal jantung klas IV ialah enalapril.
ACE inhibitor memiliki efek antihipertensi yang baik dengan efk samping yang relatif jarang. Penelitian
menunjukkan bahwa ACE inhibitor tidak mempengaruhi profil lipoprotein dan glukosa darah, bahkan
cenderung meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan kolesterol total dan trigliserid. ACE inhibitor
bekerja dengan cara menghambat enzim konversi angiotensin, sehingga angiotensin II yang seharusnya
berasal dari angiotensin I tidak terbentuk. Penyekat Beta merupakan kontraindikasi pada penderita dengan
gagal jantung kongestif laten maupun manifes akibat gangguan fungsi sistolik. Sebaliknya mungkin
berguna pada beberapa penderita gagal jantung kongestif karena gangguan fungsi diastolik.
Antagonis Kalsium
Efek menghilangkan beban jantung dengan antagonis kalsium sering tapi tidak selalu mengatasi efek
inotropik negatif obat tersebut. Merupakan pilihan utama pada gagal jantung dengan gangguan fungsi
diastolik. Data terakhir melaporkan bahwa antagonis kalsium memperbaiki relaksasi ventrikel pada awal
diastol dan menormalkan kembali pengisian ventrikel.
Antagonis kalsium mempunyal dua efek pada pengisian ventrikel: memperbaiki relaksasi diastolik awal
dan juga memperbaiki compliance diastolik akhir sebagai hasil berkurangnya LVH.
Pengobatan trombolitik
Saat ini ada beberapa macam obat trombolisis, yaitu streptokinase, urokinase, aktivator
plasminogen jaringan yang direkombinasi (r-TPA) dan anisolylated plasminogen activator complex
(ASPAC). r- TPA bekerja lebih spesifik pada fibrin dibandingkan streptokinase dan waktu paruhnya lebih
pendek. Penelitian menunjukkan bahwa secara garis besar, semua obat trombolitik bermamfaat namun r-
TPA menyebabkan penyulit perdarahan otak sedikit lebih tinggi dibandingkan steptokinase. Karena
sifatnya, steptokinase dapat menyebabkan reaksi alergi dan juga hipotensi akibat dilatsi pembuluh darah.
Karena itu streptokinase tidak boleh diulangi bila dalam 1 tahun sebelumnya sudah diberikan atau
penderita dalam keadaan syok.
Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam, Quo ad Sanactionam: dubia, Quo ad Functionam: dubia.
Berdasarkan literatur, penentuan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks. Variable-variabel
yang paling konsisten sebagai outcome independen dicantumkan dalam tabel dibawah ini.
Demografik Klinis Elektrokardiografik
Umur lanjut*
Etiologi iskemik*
Berhasil resusitasi pada sudden death*
Hipotensi*
NYHA kelas fungsional III-IV*
Baru dirawat di RS karna gagal jantung
Takikardi
Gelombang Q
QRS lebar*
Hipertrofi LV
Aritmia ventrikel yang kompleks
Kompliance buruk
Gangguan ginjal
Diabetes
Anemia
PPOK
Takikardia
Ronki paru
Stenosis aorta
BMI rendah
Ganggaun pernafasan berhubungan tidur
Variabilitas denyut jantung rendah
T-wave alternant
Fibrilasi atrial
Penyakit Jantung Koroner
1.Five year mortality from CHD in to
risk (whitehall civil Servants Study
18.240 males 40 to 64 yaer). (From
Rose Getal, Myocardial ischaemia,
risk factors and death from coronary
heart disease, lancet 1977 : 1 : 150-
109) Baseline
No. Ischaemia Ischaemia
Overall mortality 1.2% 9.1%
Systolic BP > 160 mmHg 1.9% 5.9%
Serum cholesterol
> 6,76 mmol
1.3% 8.4%
Smokers 1.4% 4.7%
Penyakit jantung koroner ( PJK ) merupakan problema kesehatan utama di negara maju.
Di Indonesia telah terjadi pergeseran kejadian Penyakit Jantung dan pembuluh darah dari urutan
ke-l0 tahun 1980 menjadi urutan ke-8 tahun 1986. Sedangkan penyebab kematian tetap
menduduki peringkat ke-3. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya Penyakit Jantung
Koroner sehingga usaha pencegahan harus bentuk multifaktorial juga. Pencegahan harus
diusahakan sedapat mungkin dengan cara pengendalian faktor faktor resiko PJK dan merupakan
hal yang cukup penting dalam usaha pencegahan PJK, baik primer maupun sekunder.
Pencegahan primer lebih ditujukan pada mereka yang sehat tetapi mempunyai resiko tinggi,
sedangkan sekunder merupakan upaya memburuknya penyakit yang secara klinis telah diderita.
Berbagai Penelitian telah dilakukan selama 50 tahun lebih dimana didapatlah variasi insidens
PJK yang berbeda pada geografis dan keadaan sosial tertentu yang makin meningkat sejak tahun
1930 dan mulai tahun 1960 merupakan Penyebab Kematian utama di negara Industri. Mengapa
didapatkan variasi insidens yang berbeda saat itu belum diketahui dengan pasti, akan tetapi
didapatkan jelas terjadi pada keadaan keadaan tertentu. Penelitian epidemiologis akhirnya
mendapatkan hubungan yang jelas antara kematian dengan pengaruh keadaan sosial, kebiasaan
merokok, pola diet, exercise, dsb yang dapat dibuktikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya PJK antara lain: umur, kelamin ras, geografis, keadaan sosial, perubahan masa,
kolesterol, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, exercise, diet, perilaku dan kebiasaan lainnya,
stress serta keturunan.
Ketiga faktor ini saling mempengaruhi dan memperkuat resiko PJK akan tetapi dapat
diperbaiki dan bersifat reversibel bila upaya pencegahan betul-betul dilaksanakan.
Faktor Faktor Resiko Penyakit Janting Koroner
A. Faktor Utama
1. Hipertensi
Merupakan salah satu faktor resiko utama penyebab terjadinya PJK. Penelitian di
berbagai tempat di Indonesia (1978) prevalensi Hipertensi untuk Indonesia berkisar 6-15%,
sedang di negara maju mis : Amerika 15-20%. Lebih kurang 60% penderita Hipertensi tidak
terdeteksi, 20% dapat diketahui tetapi tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik.
Penyebab kematian akibat Hipertensi di Amerika adalah Kegagalan jantung 45%,
Miokard Infark 35% cerebrovaskuler accident 15% dan gagal ginjal 5%. Komplikasi yang terjadi
pada hipertensi esensial biasanya akibat perubahan struktur arteri dan arterial sistemik, terutama
terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati. Mula-mula akan terjadi hipertropi dari tunika media
diikuti dengan hialinisasi setempat dan penebalan fibrosis dari tunika intima dan akhirnya akan
terjadi penyempitan pembuluh darah. Tempat yang paling berbahaya adalah bila mengenai
miokardium, arteri dan arterial sistemik, arteri koroner dan serebral serta pembuluh darah ginjal.
Komplikasi terhadap jantung Hipertensi yang paling sering adalah Kegagalan Ventrikel Kiri,
PJK seperti angina Pektoris dan Miokard Infark. Dari penelitian 50% penderita miokard infark
menderita Hipertensi dan 75% kegagalan Ventrikel kiri akibat Hipertensi. Perubahan hipertensi
khususnya pada jantung disebabkan karena :
a. Meningkatnya tekanan darah
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga
menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan
ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
b. Mempercepat timbulnya arterosklerosis
Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap
dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis
koroner (faktor koroner) Hal ini menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard
infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal.
Tekanan darah sistolik diduga mempunyai pengaruh yang lebih besar. Kejadian PJK pada
hipertensi sering dan secara langsung berhubungan dengan tingginya tekanan darah sistolik.
Penelitian Framingham selama 18 tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan
hipertensi sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina pectoris dan miokard infark. Juga
pada penelitian tersebut didapatkan penderita hipertensi yang mengalami miokard infark
mortalitasnya 3x lebih besar dari pada penderita yang normotensi dengan miokard infark.
Hasil penelitian Framingham juga mendapatkan hubungan antara PJK dan Tekanan darah
diastolik. Kejadian miokard infark 2x lebih besar pada kelompok tekanan darah diastolik 90-104
mmHg dibandingkan Tekanan darah diastolik 85 mmHg, sedangkan pada tekanan darah diastolik
105 mmHg 4x lebih besar. Penelitian stewart 1979 & 1982 juga memperkuat hubungan antara
kenaikan takanan darah diastolik dengan resiko mendapat miokard infark. Apabila Hipertensi
sistolik dari Diastolik terjadi bersamaan maka akan menunjukkan resiko yang paling besar
dibandingkan penderita yang tekanan darahnya normal atau Hipertensi Sistolik saja. Lichenster
juga melaporkan bahwa kematian PJK lebih berkolerasi dengan Tekanan darah sistolik diastolik
dibandingkan Tekanan darah Diastolik saja.
Pemberian obat yang tepat pada Hipertensi dapat mencegah terjadinya miokard infark
dan kegagalan ventrikel kiri tetapi perlu juga diperhatikan efek samping dari obat- obatan dalam
jangka panjang. oleh sebab itu pencegahan terhadap hipertensi merupakan usaha yang jauh lebih
baik untuk menurunkan resiko PJK. Tekanan darah yang normal merupakan penunjang
kesehatan yang utama dalam kehidupan, kebiasaan merokok dan alkoholisme. Diet serta
pemasukan Na dan K yang seluruhnya adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pola
kehidupan seseorang. Kesegaran jasmani juga berhubungan dengan Tekanan darah sistolik,
seperti yang didapatkan pada penelitian Fraser dkk. Orang-orang dengan kesegaran jasmani yang
optimal tekanan darahnya cenderung rendah. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan pada
dekade terakhir ini telah terjadi penurunan angka kematian PJK sebayak 25%. Keadan ini
mungkin akibat hasil dari deteksi dini dan pengobatan hipertensi, pemakaian betablocker dan
bedah koroner serta perubahan kebiasaan merokok.
2. Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup panting karena termasuk faktor
resiko utama PJK di samping Hipertensi dan merokok. Kadar Kolesterol darah dipengaruhi oleh
susunan makanan sehari-hari yang masuk dalam tubuh (diet). Faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi kadar kolesterol darah disamping diet adalah Keturunan, umur, dan jenis
kelamin, obesitas, stress, alkohol, exercise. Beberapa parameter yang dipakai untuk mengetahui
adanya resiko PJK dan hubungannya dengan kadar kolesterol darah:
a. Kolesterol Total.
Kadar kolesterol total yang sebaiknya adalah ( 200 mg/dl, bila > 200 mg/dl
berarti resiko untuk terjadinya PJK meningkat . Kadar kolesterol Total
normal Agak tinggi
(Pertengahan)
Tinggi
< 200 mg/dl 2-239 mg/dl >240 mg/dl
Kadar LDL Kolesterol
Normal Agak tinggi
(Pertengahan)
Tinggi
< 130 mg/dl 130-159 mg/dl >160 mg/dl
c. HDL Koleserol :
HDL (High Density Lipoprotein) kolesterol merupakan jenis kolesterol yang
bersifat baik atau menguntungkan (good cholesterol) : karena mengangkut
kolesterol dari pembuluh darah kembali ke hati untuk di buang sehingga
mencegah penebalan dinding pembuluh darah atau mencegah terjadinya proses
arterosklerosis. Kadar HDL Kolesterol
Normal Agak tinggi
(Pertengahan)
Tinggi
< 45 mg/dl 35-45 mg/dl >35 mg/dl
Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi
mekanismenya belum jelas . Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL kolesterol
makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar
dibandingkan laki – laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada
diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yan gmerokok cenderung lebih mudah
terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok.
Apabila berhenti merokok penurunan resiko PJK akan berkurang 50 % pada akhir tahun
pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti yang tidak merokok setelah berhenti
merokok 10 tahun.
B. FAKTOR RESIKO LAINNYA
1. Umur Dan Jenis Kelamin
Telah dibuktikan adanya hubungan antara umur dan kematian akibat PJK. Sebagian besar
kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya
umur. Kadar kolesterol pada laki-laki dan perempuan mulai meningkat umur 20 tahun. Pada laki-
laki kolesterol meningkat sampai umur 50 tahun. Pada perempuan sebelum menopause ( 45-0
tahun ) lebih rendah dari pada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar
kolesterol perempuan meningkat menjadi lebih tinggi dari pada laki-laki.
Di Amerika Serikat gejala PJK sebelum umur 60 tahun didapatkan pada 1 dari 5 laki-laki
dan 1 dari 17 perempuan . Ini berarti bahwa laki-laki mempunyai resiko PJK 2-3 X lebih besar
dari perempuan.
2. Geografis
Resiko PJK pada orang Jepang masih tetap merupakan salah satu yang paling rendah di
dunia. Akan tetapi ternyata resiko PJK yang meningkat padta orang jepang yang melakukan
imigrasi ke Hawai dan Califfornia . Hal ini menunjukkan faktor lingkungan lebih besar
pengaruhnya dari pada genetik.
3. Ras
Perbedaan resiko PJK antara ras didapatkan sangat menyolok, walaupun bercampur baur
dengan faktor geografis, sosial dan ekonomi . Di Amerika serikat perbedaan ras perbedaan antara
ras caucasia dengan non caucasia ( tidak termasuk Negro) didapatkan resiko PJK pada non
caucasia kira-kira separuhnya.
4. Diet
Didapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah lemak di dalam susunan
makanan sehari-hari ( diet ). Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan
kolesterol yang tinggi sehingga kadar kolesterol cendrung tinggi. Sedangkan orang Jepang
umumnya berupa nasi dan sayur-sayuran dan ikan sehingga orang jepang rata-rata kadar
kolesterol rendah dan didapatkan resiko PJK yang lebih rendah dari pada Amerika.
5. Obesitas
Obesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada lakilaki dan > 21 % pada
perempuan . Obesitas sering didapatkan bersama-sama dengan hipertensi, DM, dan
hipertrigliseridemi. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol .
Resiko PJK akan jelas meningkat bila BB mulai melebihi 20 % dari BB ideal. penderita yang
gemuk dengan kadar kolesterol yang tinggi dapat menurunkan kolesterolnya dengan mengurangi
berat badan melalui diet ataupun menambah exercise.
6. Exercise
Exercise dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki kolaterol koroner
sehingga resiko PJK dapat dikurangi. Exercise bermanfaat karena :
• Memperbaiki fungsi paru dan pemberian 02 ke miokard
• Menurunkan BB sehingga lemak tubuh yang berlebihan berkurang bersama-sama dengan
menurunkan LDL kolesterol.
• Membantu menurunkan tekanan darah
• Meningkatkan kesegaran jasmani.
Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner
Manifestasi klinis PJK bervariasi tergantung pada derajat aliran dalam arteri koroner. Bila
aliran koroner masih mencukupi kebutuhan jaringan, tidak akan timbul keluhan atau manifestasi
klinis.
Aterosklerosisi koroner
Pembuluh arteri, semakin bertambahnya umur dalam arteri juga terjadi proses seperti
penebalan lapisan intima, berkurangnya elastisitas, penumpukan kalsium dan bertambahnya
lapisan intima .
Menurut WHO pada tahun 1958, ”Perubahan variabel intima arteri yang merupakan
akumulasi fokal lemak, kompleks karbohidrat, darah dan hasil produk darah, jaringan fibrous
dan deposit kalsium yang kemudian diikuti oerubahan lapisan media”.
Pembuluh arteri koroner terdiri dari tiga lapisan yaitu :
1. Tunika intima yang terdiri dari dua bagian. Lapisan tipis sel –sel endotel merrupakan
lapisan yang memberrikan permukaan licin antara darah dan dinding arteri serta lapisan
subendotelium. Sel ini menghasilakan prostadgandin, heparin dan aktivator plasminogen
yang membantu mencegah agregasi trombasit dan vasokonstriksi. Dan juga jaringan ikat
yang memisahkan dengan lapisan yang lain.
2. Tunika media merupakan lapisan otot dibagian tengan dinding arteri yang mempunyai
tiga bagian; bagian sebelah dalam disebut membran elastin internal kemudian jaringan
fibrus otot polos dan sebelah luar memberana elastika eksterna.
3. Tunika adventisia umumnya mengandung jaringan ikat dan dikelilingi oleh vasa vasorum
yaitu jaringan arteriol.
Pada pembuluh koroner terlihat penonjolan yang diikuti dengan garis lemak(fatty streak)
pada intima pembuluh yang timbul sejak umur di bawah 10 tahun. Pada kebanyakan orang umur
30 tahun garis lemak ini tumbuh lebih progresif menjadi fibrous plaque yaitu suatu penonjolan
jaringan kolagen dan sel – sel nekrosis. Lesi ini padat, pucat berwarna kelabu yang disebut
ateroma. Lesi kompleks terjadi apabila pada plak fibris timbul nekrosis dan terjadi perdarahan
trombosis, ulserasi, kalsifikasi atau aneurisma. Hipotesis terjadinya ateroskelerosis adalah 1)
Teori infiltrasi/incrustation, 2) Teori pertumbuhan klonal/clonal growth (Benditt), dan 3) Teori
luka/respons to injury.
Aterosklerosis biasanya timbul pada tempat – tempat dimana terjadi turbulens yang
maksimum seperti pada percabangan, daerah dengan tekanan tinggi, daerah yang pernah kena
trauma dimana terjadi deskuamasi endotel yang menyebabkan adesi trombosit.
Berbagai keadaan akan mempengaruhi antara pasokan dan kebutuhan, pada dasarnya melalui
mekanisme sederhana, yaitu 1) Pasokan berkurang meskipun kebutuhan tak bertambah dan 2).
Kebutuhan meningkat, sedangkan pasokan tetap.
Bila arteri koroner mengalami gangguan penyempitan (stenosis) atau penciutan (spasme),
pasokan arteri koroneria tidak mencukupi kebutuhan, secara populer terjadi ketidak seimbangan
antara pasok (supply) dan kebutuhan (demend), hal ini akan memberikan gangguan. Manifestasi
gangguan dapat bervariasi tergantung kepada berat ringannya stenosis atau spasme, kebutuhan
jaringan saat istiraha ataupun aktif serta luasnya daerah yang terkena.
Dalam keadaan istirahat, meskipun arteri koroner mengalami stenosis lumen sampai 60 %
belum menimbulkan gejala sebab aliran darah koroner masih mencukupi kebutuhan jaringan.
Pada keadaan ini sering tidak menimbulkan keluhan, sering disebut penyakit jantung koroner
laten (Silent ischemia). Bila terjadi peningkatan kebutuhan jaringan aliran yang tadinya
mencukupi menjadi berkurang. Hal ini akan menyebabkan hipoksia jaringan yang akan
menghasilakan peningkatan hasil metabolisme misalnya asam laktat. Akan menimbulakan
manifestasi klinis nyeri dada, rasa berat, rasa tertekan, panas, rasa tercekik, tak enak dada, capek
kadang – kadang seperti masuk angin. Manifestasi angina yang timbul setelah aktivitas fisik
disebut effort angina.
Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat olehCanadian Cardiovascular Societyf
sebagai berikut :
Kelas I
Aktivitas sehari –hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1- 2 lantai dan lain–lain tak
menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang berat, berjalan cepat serta
terburu – buru waktu kerja atau berpergian .
Kelas II
Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya angina pektoris timbul bila melakukan lebih berat
dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai atau terburu-buru, berjalan
menanjak.
Kelas III
Aktivitas sehari-hari nyata terbatas, angina timbul bila berjalan 1-2
blok, naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa.
Kelas IV
Angina Pektoris bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua aktivitas dapat
menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu dan berjalan.
Sebaliknya angina pektoris dapat timbul dalam keadaan istirahat, yang berarti proses
stenosis melebihi 60% baik oleh penyempitan yang kritis(90%) maupun bertambah oleh karena
faktor spasme arteri koroner sendiri di tempat yang tadinya tidak menimbulkan gejala. Angina
bentuk ini disebut sebagai angina dekubitus, angina at rest atau dalam bentuk angina prinzmetal.
-Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau mungkin bertambah, beratnya nyeri dada.
-Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada
serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
-Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau
lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
Pasokan berkurang sehingga menimbulkan hipoksia baik oleh karena secara anatomis ada
penyempitan yang menyebabkan aliran darah berkurang (penyempitan melampaui 80% saat
iastirahat) atau penyempitan kuarang dai 80% tetapi menjadi kritis karena penigkatan kebutuhan
akibat aktifitas fisik maupun psikis. Bila proses kritis tersebut berlangsung lama maka hipoksia
jaringan akan berlanjut terus, tidak hanya menimbulkan gangguan yang reversibel tetapi malahan
lebih jauh lagi. Otot jantung akan mengalami kerusakan, jaringan mati atau nekrosis (infark
miokard)
Infark miokard
Infark miokard terbagi atas miokard infark dengan elevasi ST (STEMI) dan miokard infark tanpa
elevasi ST(NSTEMI)
Miokard infark dengan elevasi ST (STEMI)
Umumnya terjadi karena aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
trombus pada plak arterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vaskular, dimana injuri ini dicetus oleh beberapa faktor yang akan dijelaskan di
bawah. Pada sebagian besar, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau
ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga trombus mural
pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri. koroner. Plak koroner cenderung
mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terrdiri dari fibrin rich red trombus. Selanjutnya pada lokasi ruptur
plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, seretonisn) memicu aktivitas trombosit, yang
selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriksi lokal yang
poten). Selain itu aktivitas trombosit memicu perubahan konfirmasi reseptor glikoprotein Iib/IIIa
sehingga mempunyai afenitas tinggi terhadap asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti faktor von Willenbrand (vWF) dan fibrinogen dimana keduanya merupakan
molekul yang dapat mengikat platelet, mengahasilkan ikatan silang dan agregasi platelet.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII
dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjadi trombin, yang mengakibatkan
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada keadaan yang jarang, STEMI
dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme arteri
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
Diagnosa
Dignosa STEMI ditegakkan berdasarkan;
Anamnesis, apakah adanya gejala nyeri dada yang harus dibedakan denngan
nyeri dada bukan jantung, jika berasal dari jantung harus dibedakan apakah
berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis juga apakah ada riwayat infark
sebelumnya serta faktor – faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes, merokok,
riwayat keluarga yang menderita sakit jantung koroner dan juga adanya stress.
Terdapat faktor pencetus sebelumnya seperti aktivitas fisik berat, stress emosi.
Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, dilaporkan bahwa pada
pagi hari juga dapat terjadi dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada
Nyeri dada tipikal(angina) merupakan gejala kardial pasien IMA dan merupakan
pertanda awal dalam pengelolaan pasien. Sifat nyeri dada angina adalah sebagai
berikut
• Lokasi
: berada pada substernal, retrosternal, dan prekordial
• Sifat nyeri
: rasa sakit seperti ditekan, terbakar, ditindih benda berat seperti ditusuk, diperas atau dipelintir
• Penjalaran
: ke lenngan kiri dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut dapat
juga ke lengan kanan.
• Adanya faktor pencetus : aktivitas fisik, emosi, udara dinggin dan sesudah makan.
• Gejala yang menyertai : keringat dingin, cemas, lemas, mual, muntah serta sulit bernafas.
• Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau memakan obat nitrat
Nyeri juga terdapat pada perikarditis akut, emboli paru, gangguan gastroinstestinal
dan lain sebagainya. Tetapi nyeri STEMI tidak selalu ditemukan pada diabetes
melitus dan usia lanjut
Pemeriksaan fisik
Pasien terlihat cemas, pada ekstrimitas pucat dan dingin. Kombinasi nyeri dada
>30 menit dan banyak keringat dicurigai STEMI. Peningkatan suhu sampai 38o C,
disfungsi ventrikulas S4 dan S3gallop, penurunan instensitas bunyi jantung
pertama dan spit paradoksial bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik.
EKG
Terdapat elevasi segmen ST diikuti perubahan sampai inversi gelombang T,
kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal di dua sadapan.
Dilakukan 10 menit setelah pasien datang ke IGD.
Pemeriksaan laboratorium
Pertanda adanya nekrosis jantung, selnya akan mengelurakan enzim yang dapat
dapat diukur
• CKMB (creatinine kinase MB) : meningkat 3 jam setelah miokard infark
dan mencapai puncak dalam 10 – 24 jam dan kembali normal dalam 2 – 4
hari. Operrasi jantung, miokarditis dan injuri otot juga meningkatkan
CKMB.
• cTn (cardiac specifik troponin) T dan I; meningkat setelah 2 jam setelah
infark miokard, dan mencapai puncak setelah 10 – 24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5 – 14 hari sedangkan cTn I setelah 5 -10
hari.
Pemeriksaan enzim lainnya.
• Mioglobin mencapai puncak setelah miokard infark dalam 4 – 8 jam.
• Creatini kinase meningkat setelah setelah 3 – 8 jam mencapai puncak setelah 10 – 36 jam dan
kembali normal dalam 3 – 4 hari.
• Lactc dehydrogenase (LDH) men igkat setelah 24 – 28 jam mencapai puncak 3 – 6 hari
kembali normal dalam 8 – 14 hari
Juga terjadi leukositosis polimorfonuklear yang terjadi dalam beberapa jam setelah nyeri dan
menetap dalam 3 -7 hari, leukosit dapat mencapai 12000 – 15000/ul.
Penatalaksanaan
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolonggan medis, pemberian
fibrinolitik pra hospital hanya bisa dilakukan jika ada paramedis di ambulan yang
sudah terlatih menginterprestasikan EKG.
Tatalaksana di ruang Emergensi
Mencakup mengurangi /menghilangkan nyeri dada, referfusi segera, triase .Secara umum dapat
diberikan Oksigen, dapat diberikan pada pasien tanpa komplikasi selama 6 jam pertama.
Nitrogliserin (NTG) sublingual, merupakan dilatasi pembuluh darah.
Morfin, merupakan obat untuk menghilangkan nyeri, dengan dosis 2 – 4 mg.
Aspirin, inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2, dosis 160 – 325 mg di ruang emergensi.
Penyekat beta, jika morfin tidak berhasil menghilangkan nyeri.
Miokard infark Tanpa elevasi ST (NSTEMI)
Angina pektoris tidak stabil (unstable angina = UA) dan NSTEMI merupakan
suatu kesinambungn dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran kelinis
sehingga pada prinsipnya penatalaksanaannya tidak berbeda. Diagnosa NSTEMI
ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti addanya
nekrosis berupa peningkatan enzim – enzim jantung.
Evaluasi klinis
Sama seperti STEMI, berupa nyeri dada yang khas.
EKG
Defiasi segmen ST
Enzim – enzim jantung
Memiliki kesamaan dengan STEMI, berupa peningkatan TnT dan I, CKMB, CK
LDH.
Penatalaksanaan.
Pada pasien harus diistirahatkan, empat utama terapi yang harus dipertimbangkan
pada setiap pasien NSTEMI. Terapi antiiskemia (nitrat sublingua atau penyekat beta)
Terapi antiplatelet (aspirin, klopidogrel atau antagonis GP IIb/IIIa)
Terapi antikoagulan (Unfaractionated Heparin atau low Molecular Weigh Heparin) .
DAFTAR PUSTAKA
1. Anwar,T.B.,Sutomo,K. Penatalaksanaan penderita infark miokard akut. Naskah
Ceramah Ilmiah RS st.Elisabeth Medan.1987
2. Brown CT. Penyakit Ateroslerotik Koroner. dalam : Price SA, Wilson
LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.
3. Hanafiah,A.: Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner. Buku Makalah simposium
Penyakit Jantung Koroner FKUI/RSJ Harapan Kita.1986.
4. Kasiman,s: Faktor Resiko utama Penyakit Jantung Koroner. Kumpulan makalah
Rehabilitasi dan Kualitas Hidup. Simposium rehabilitasi Jantung Indonesia 11 Perki,
Jakarta 1988.
5. Kasiman, s, St.Bagindo.AA,Haroen,TRH:Beberapa langkah pengobatan Penyakit
Jantung Koroner. Buku Naskah Temu Ilmiah Masalah PJK. FKUSU 1986, 11-47.
6. Kasiman,s.,Yamin,w., Haroen,T.R.: High density and Low density lipoprotein cholesterol
in Myocardial infarction at Dr.Pirnga Marulam P. Gagal jantung. dalam : Sudoyo AW,
Setiohadi B, Setiani S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia ; 2006.
7. Gray, Huon H. Lecture Notes Kardiologi Edisi keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga;
2005.
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksnan
Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia. Jakarta : PERKI; 2009.
9. Lily Ismudiati Rilantono,dkk. Buku Ajar Kardiologi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,2004.
10. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical. 8th
Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun
1996).
11. Karim, Syukri. EKG dan Penanggulangan beberapa penyakit Jantung Untuk Dokter
Umum. Jakarta : FKUI ; 1996.