analisis profil petani dan pertanian...

35
Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIA Oleh Tim Peneliti: Nyak Ilham Kedi Suradisastra Tri Pranadji Endang Lestari Hastuti Adang Agustian Gatoet Sroe Hardono PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007

Upload: lytram

Post on 06-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007

ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIA

Oleh Tim Peneliti:

Nyak Ilham Kedi Suradisastra

Tri Pranadji Endang Lestari Hastuti

Adang Agustian Gatoet Sroe Hardono

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

DEPARTEMEN PERTANIAN 2007

Page 2: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

1

Ringkasan

Untuk mengetahui profil petani dan persoalannya harus dilihat dari sudut pandang petani sendiri. Fasilitasi program dan kebijakan pembangunan pertanian yang dilaksanakan pemerintah akan berjalan efektif dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan yaitu peningkatan kesejahteraan petani. Untuk itu, diperlukan data dan informasi yang lengkap dan akurat sesuai dengan yang dialami dan dirasakan petani. Berdasarkan hal itu, penelitan ini bertujuan menganalisis profil petani dan pertanian di Indonesia yang menyangkut aspek demografi, ketenagakerjaan, penguasaan dan pengusahaan aset, pendapatan dan pengeluaran, serta aspek sosial budaya. Data yang digunakan dilevel makro adalah data Sensus Pertanian (SP) 2003, Susenas 2002 dan 2005 serta data level mikro diperoleh dari hasil penelitian (data primer 2007). Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan kriteria utamanya adalah berdasarkan agroekosistem dan komoditas mengikuti sampling frame Patanas dan SP 2003. Tiga provinsi yang dipilih adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan. Di setiap provinsi dipilih lokasi kabupaten yang mewakili agroekosistem dataran rendah dan dataran tinggi. Beberapa hasil penelitian yang penting antara lain: (1) Terdapat kecenderungan pelambatan trend penawaran tenaga kerja di sektor pertanian. Perubahan tersebut secara sosial disebabkan adanya pandangan di masyarakat desa bahwa bekerja sebagai petani itu sungguh berat dan rendah statusnya, terutama di kalangan generasi muda; (2) Sebagian besar petani menggunakan jumlah benih pada usahatani padi sawah jauh di atas dosis anjuran. Hal ini merupakan pemborosan dan menyulitkan perencanaan produksi benih. Akibatnya ketersediaan benih di pasar jauh di bawah kebutuhan dan petani menggunakan benih turunan dengan produktivitas rendah; (3) Masalah utama yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi adalah ketersediaan air irigasi yang tidak memadai. Ketersediaan air, terutama pada usahatani padi, merupakan prasyarat untuk dapat menerapkan teknologi lain; (4) Data Susenas 2002-2005 menunjukkan trend penurunan konsumsi beras pada rumahtangga petani dan non petani. Pangsa pengeluaran pangan sebagian besar rumahtangga di lokasi penelitian menunjukkan peningkatan serta hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dan tingkat pendapatan perkapita mengikuti Hukum Engel, kecuali pada rumahtangga di desa yang relatif miskin seperti di Grobogan dan Blora; (5) Data Sensus Pertanian tahun 2003 dan hasil penelitian menunjukkan bawa sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar, kecuali di Desa Banyu Urip, Mulya Agung, Perdjito, Tugu, dan Gantar ; (6) Secara ageregat sumber pangan masyarakat dari hasil pembelian meningkat dari tahun 2002 ke 2005. Untuk beras, kebutuhan konsumsi yang bersumber dari pembelian mencapai sekitar 70 – 89 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat dan stabilitas harga pangan sangat menentukan ketahanan pangan rumahtangga. Khusus pada rumah tangga pertanian berpendapatan rendah, jumlah beras yang dibeli mengalami penurunan dari tahun 2002 ke 2005. Kecuali di desa lahan kering, persentase beras yang dibeli masih cukup tinggi sekitar 60%-94%; (7) Kegiatan revitalisasi kelompok tani masih dalam tahap pendataan potensi. Pemberdayaan Poktan menjadi Gapoktan telah mendorong terbentuknya kelompok-kelompok tani baru. Hambatan utama peningkatan kinerja Gapoktan adalah rendahnya kemampuan wirausaha petani, status badan hukum dan terbatasnya sarana-prasarana; dan (8) Banyak petani yang memenuhi kebutuhan modal usahataninya dari lembaga keuangan informal di desa dengan tingkat bunga tinggi, namun prosedurnya mudah. Di beberapa daerah ada juga petani yang akses kepada bank (BRI dan BPR) karena skim yang ditawarkan memudahkan petani.

Kata Kunci: Profil petani, ketenagakerjaan, penguasaan asset, pendapatan rumahtangga.

Page 3: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Dalam rangka pelaksanaan pembangunan pertanian dilakukan regulasi dan

fasilitasi melalui perumusan kebijakan dan program. Untuk merumuskan kebijakan dan

program yang tepat perlu didukung oleh data dan informasi yang lengkap dan akurat

(Ramdan, et al .2003). Data dan informasi tersebut diperlukan dalam tahap

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan yang sudah dilakukan, serta

memprediksi kondisi pertanian yang akan datang,

Kebijakan harga pangan, misalnya, mungkin tidak efektif karena penguasaan

lahan petani yang semakin kecil (Ilham, 2006). Kebijakan yang dilakukan justru

dinikmati oleh petani dan bukan petani, yang memiliki lahan luas. Petani kecil yang

jumlahnya lebih banyak hanya menerima upah buruh atau bagi hasil yang kurang

signifikan pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga mereka

Rendahnya adopsi teknologi di tingkat petani antara lain disebabkan oleh: (1)

lemahnya lembaga yang mendukung petani dalam melakukan kegiatan usahataninya

seperti kelompok tani, lembaga penyuluhan, dan koperasi; (2) rendahnya insentif harga

tidak mendorong petani untuk mengadopsi teknologi yang tersedia; dan (3) insentif

selain harga seperti infrastruktur produksi, distribusi, dan pemasaran masih kurang

mendukung.

Uraian di atas menunjukkan bahwa pembangunan pertanian tidak semata-mata

ditangani oleh Departemen Pertanian tetapi juga Departemen/Lembaga lain yang

menangani sarana dan prasarana, kependudukan, pertanahan dan lain-lain. Agar

kebijakan dan program peningkatan kesejahteraan masyarakat tani di pedesaan efektif,

diperlukan dukungan data dan informasi yang lengkap dan akurat mengenai profil petani

dan lembaga-lembaga pendukungnya.

1.2. Permasalahan

Karena suatu kebijakan dibuat untuk mengantisipasi permasalahan yang ada di

masyarakat maka selain membutuhkan data dan informasi yang lengkap dan akurat,

pembuatannya harus didukung oleh seperangkat keputusan publik, sehingga kebijakan

yang ditetapkan seharusnya merefleksikan pilihan-pilihan sosial. Karena target utama

kebijakan pembangunan pertanian adalah petani, maka pilihan-pilihan sosial yang

dilakukan haruslah sesuai apa yang dibutuhkan petani.

Page 4: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

3

Selama ini kebijakan pembangunan pertanian menggunakan data yang

dipublikasi secara reguler tiga tahunan, lima tahunan dan 10 tahunan sehingga

informasi yang ada bukan merupakan informasi terkini. Disamping itu, data yang

tersedia tersebut tidak dapat menjelaskan kenapa suatu keadaan mengalami perubahan

atau tidak. Dengan berbekal data seperti itu pengambil kebijakan akan memformulasi-

kan kebijakan bias dari kondisi yang sebenarnya dihadapi petani, bahkan

kecenderungannya akan mengarah pada apa yang dirasakan dan dipelajari pengambil

kebijakan yang bisa saja tidak sesuai dengan kondisi petani atau sudah tidak

mencerminkan kondisi masyarakat petani pada saat ini.

Seperti diketahui bahwa pada era komunikasi saat ini kondisi masyarakat sangat

dinamik, termasuk masyarakat petani. Dalam kondisi demikian untuk meningkatkan

efektivitas suatu kebijakan pembangunan pertanian diperlukan ketersediaan informasi

tidak hanya lengkap tetapi akurat dan sesuai dengan kondisi terkini. Dengan

mengetahui kondisi terkini, pengambil kebijakan dapat mengetahui apakah arah

pembangunan yang dilakukan dari tahun ke tahun sudah sesuai dengan rencana

pembangunan jangka menengah dan jangka panjang tidak harus menunggu setelah

proses pembangunan jangka menengah dan jangka panjang tersebut terjadi, sehingga

terlambat mengantisipasinya.

Karena sebagian besar dari objek kebijakan pembangunan pertanian adalah

petani, maka data dan informasi yang lengkap dan akurat tersebut tentunya berkaitan

erat dengan personal petani, apa yang dilakukan petani, dan kelembagaan yang

mendukung petani. Dengan adanya pemahaman yang lebih baik atas sifat usaha-usaha

pertanian dan masyarakat pedesaan berdasarkan ekosistemnya, akan sangat

bermanfaat bagi pengambilan kebijakan baik dari keragaman budaya, waktu dan

tempat.

1.3. Justifikasi Penelitian

Upaya memantau dinamika sosial ekonomi masyarakat pertanian (pedesaan)

memiliki urgensi yang penting antara lain karena: (1) menjadi indikator penting untuk

perbaikan perekonomian nasional utamanya dengan mencermati kondisi sosial ekonomi

pedesaaan; (2) untuk memprediksi kondisi produksi sektor pertanian saat ini dan tahun

mendatang; (3) menjadi basis data untuk kepentingan pelaksanaan program

pembangunan pertanian tertentu misalnya penerima subsidi pertanian dan program

spesifik lokasi lainnya; dan (4) menjadi wahana untuk mengukur seberapa jauh manfaat

program-program yang ada atau pembangunan yang telah berjalan selama ini.

Penelitian profil petani dan pertanian Indonesia ini memiliki urgensi penting yaitu

disamping untuk menghimpun informasi dinamika sosial ekonomi rumah tangga petani

Page 5: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

4

di pedesaan pada kondisi terkini juga terkumpulnya informasi/data akurat bagi

pengambil kebijakan untuk penentuan suatu kebijakan/program pembangunan spesifik

lokasi. Penelitian profil petani dan pertanian Indonesia yang bersinergi dengan penelitian

dinamika sosial ekonomi pedesaan yang telah dilakukan selama ini dapat dilakukan

secara seksama.

Oleh karena itu, upaya memahami dinamika sosial ekonomi pedesaan secara

komprehensif dan mendalam dengan memadukan data sekunder hasil sensus pertanian

tahun 2003, data susenas 2002 dan 2003 dan data kajian primer tentang profil petani

dan pertanian yang mewakili beberapa agroekosistem akan bermanfaat bagi pengambil

kebijakan yang sering menghadapi kesulitan dalam kerangka penentuan sasaran

penerima manfaat (program) bagi suatu kebijakan pertanian. Akibatnya, adakalanya

berbagai program yang ada tidak tepat sasaran karena data tentang kondisi petani kita

tidak lengkap dan kontinyu. Oleh karena itu, berbagai perubahan (dinamika) yang terjadi

di pedesaan khususnya terkait masyarakat pertanian nasional sangat penting untuk

diketahui secara baik untuk dijadikan sebagai basis perbaikan pembangunan pertanian

dan kesejahteraan petani kedepan.

1.4. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis profil petani dan pertanian

di Indonesia yang menyangkut lima aspek yaitu aspek demografi, ketenagakerjaan,

penguasaan dan pengusahaan aset, pendapatan dan pengeluaran, serta aspek sosial

budaya. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

a. Menganalisis profil petani Indonesia secara agregat, mencakup lima aspek.

b. Menganalisis profil petani saat ini berdasarkan agroekosistem.

c. Menganalisis perkembangan kelembagaan pertanian yang mempengaruhi kegiatan

petani dan usahataninya.

d. Menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika demografi dan sosial

ekonomi petani.

1.3. Keluaran Penelitian

Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a. Data dan informasi profil petani dan pertanian secara agregat.

b. Data dan informasi tentang profil petani dan pertanian di Indonesia menurut

agroekosistem dan basis komoditas pertanian utama.

c. Data dan informasi perkembangan kelembagaan pertanian yang mempengaruhi

kegiatan petani dan usahataninya.

Page 6: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

5

d. Berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika demografi dan sosial ekonomi

petani.

e. Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan pembangunan

pertanian.

II. METODA PENELITIAN

2.1. Kerangka Pemikiran

Kondisi empiris mengenai petani dan sektor pertanian akan lebih dipahami oleh

petani sendiri dibandingkan orang luar. Oleh karena itu, untuk menganalisis profil petani

dan persoalannya harus dilihat dari sudut pandang petani sendiri. Karena petani sendiri,

berikut keluarganya, usahanya, ternaknya kerjanya, konsumsinya, hartanya dan

hutangnya, rencana-rencananya, harapan dan kekhawatirannya yang memberikan arah

dan karakteristik kepada sistem pertanian saat ini (Egbert de Vries, 1985).

Selanjutnya dengan fasilitasi kebijakan dan program yang dilaksanakan,

pemerintah berperan mempengaruhi arah pembangunan atau mungkin merubahnya ke

arah yang diinginkan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk tujuan

tersebut, pemerintah memerlukan data dan informasi yang lengkap dan akurat sesuai

dengan yang dialami dan dirasakan petani.

Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi dari

petani dan lingkungannya. Data dan informasi yang dikumpulkan berkaitan dengan

aspek ekonomi/uang (pecuniary) dan yang tidak berkaitan dengan uang yaitu variabel

sosial dan budaya (non-pecuniary) seperti keamanan, kenyamanan, prestise, kejayaan

dan kasih sayang (Stevens dan Jabara, 1988). Variabel-variabel sosial dan budaya

tersebut berpengaruh sangat penting terhadap pembangunan pertanian.

Karena keragaman rumah tangga pertanian yang cukup tinggi, maka kajian perlu

dilakukan lebih mendalam yang berkaitan juga dengan peubah sosial-budaya.

Berdasarkan hal tersebut, penelitian profil petani dan pertanian Indonesia ini akan

menganalisis profil petani dengan ragamnya sesuai agroekosistem dan komoditas yang

diusahakannya serta wilayah berdasarkan etnis. Diduga jenis komoditas yang

diusahakan dan agroekosistem usahatani petani mempengaruhi profil petani yang

meliputi aspek demografis, ketenagakerjaan, penguasaan aset, pendapatan dan

pengeluaran dan sosial budaya. Namun, secara temporal tidak terjadi perbedaan yang

signifikan.

Page 7: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

6

Dengan mengetahui data dan informasi yang lengkap baik yang berhubungan

dengan data yang berkaitan dengan elemen ekonomi dan elemen sosial-budaya pada

berbagai kelompok petani diharapkan kebijakan dan program yang dirancang akan

memberikan manfaat yang efektif dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Upaya

tersebut hendaknya dilakukan secara kontinyu sesuai dengan dinamika masyarakat

dengan pendekatan survey dan antropologis sosial. Tahapannya disajikan pada

Gambar 1.

Gambar 1. Alur Pikir Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Guna Mensejahterakan Petani dan Masyarakat

2.2. Cakupan Penelitian

Elemen-elemen profil terdiri dari: ekosistem, teknologi, orientasi kegiatan, dan

sosial budaya (Suradisastra, et al 1990). Dengan memperhatikan elemen-elemen

tersebut cakupan penelitian profil petani dan pertanian Indonesia, meliputi:

a. Profil petani lingkup agregat nasional, provinsi dan kabupaten lokasi penelitian.

Aspek yang dikaji meliputi demografi, penguasaan dan pengusahaan aset, serta

teknologi yang diterapkan petani sesuai dengan data Sensus Pertanian tahun 2003.

b. Membandingkan profil petani dan bukan petani dalam aspek: pola konsumsi,

pengeluaran pangan, dan sumber pangan utama (beras) sesuai data Susenas

lingkup nasional dan provinsi lokasi penelitian tahun 2002 dan tahun 2005.

Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan Petani

P E T A N I

Profil Petani dan Lembaga

Pendukungnya Survey dan

Antroplogis-sosial

Pengambil Kebijakan

Page 8: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

7

c. Profil petani spesifik agroekosistem dan komoditas utama yang diusahakan. Aspek

yang dikaji meliputi: demografi, ketenagakerjaan, penguasan dan pengusahaan

aset, penerapan teknologi, sumber pendapatan, sumber pangan utama (beras)

apakah dari produksi sendiri, membeli atau keduanya, serta pengeluaran rumah

tangga petani. Kajian ini menggunakan data primer dari hasil survey.

d. Perkembangan lembaga pendukung petani meliputi kelembagaan formal seperti

Kelompok Tani, Gapoktan, KUD, dll serta kelembagaan yang berkaitan dengan

aspek ketenagakerjaan, penguasaan dan pungusahaan aset, penerapan teknologi

dan aspek konsumsi. Untuk analisis ini menggunakan data sekunder dan primer.

e. Deskripsi tentang profil petani yang mencakup lima aspek dan perkembangan

kelembagaan pertaniaan yang ada di sekitar petani ditambah dengan hubungan

antara berbagai kelembagaan dengan aktivitas agribisnis di pedesaan diharapkan

dapat menggambarkan profil pertanian Indonesia.

2.3. Data, Sumberdata dan Lokasi Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan primer.

Data sekunder adalah Sensus Pertanian tahun 2003, Susenas tahun 2002 dan tahun

2005 yang bersumber dari Badan Pusat Statistisk (BPS) dan data lain dari berbagai

instansi terkait. Data primer diperoleh melalui survey dengan wawancara langsung

dengan petani menggunakan kuesioner, FGD (Focused Group Discussion), dan

informan kunci.

Lokasi provinsi ditentukan secara purposive. Kriteria utama lokasi sampling

berdasarkan agroekosistem dan komoditas utama mengikuti sampling frame desa

Patanas tahun 2006 dan juga merupakan desa Sensus Pertanian tahun 2003. Tiga

provinsi yang dipilih adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan. Di setiap

propinsi dipilih lokasi kabupaten yang dapat mewakili agroekosistem dataran rendah dan

dataran tinggi. Kemudian di setiap wilayah dataran tinggi dan dataran rendah

dikelompokkan lagi menjadi agroekosistem irigasi dan non irigasi. Dari hasil klasifikasi

tersebut, dipilih tujuh desa padi, dua desa jagung, dua desa bawang merah, dan dua

desa karet. Pada masing-masing desa contoh dipilih 15 rumah tangga contoh yang

mewakili pemilikan lahan sempit, sedang, dan luas.

Data dan informasi yang dikumpulkan dianalisis menggunakan statistik deskriptif

dengan teknik tabulasi silang, grafik dan gambar.

Page 9: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

8

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Profil Demografi

Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar (45%-85%)

keluarga mempunyai jumlah anggota rumahtangga antara 3-4 orang. Data ini tidak jauh

berbeda dengan hasil survey dengan rataan jumlah anggota rumahtangga sekitar 2-4

orang. Ini mengindikasikan bahwa keluarga petani sudah mulai memperhatikan kualitas

hidup anggota rumah tangganya. Dampaknya terhadap usahatani adalah

kecenderungan terjadinya kekurangan tenaga kerja dalam keluarga sehingga

penggunaan tenaga kerja luar keluarga dan mekanisasi pertanian semakin meningkat.

Secara nasional, sebesar 69 persen petani masih berada dalam usia produktif

(25-54 tahun), 26 persen berusia di atas 54 tahun dan hanya 5 persen yang berusia di

bawah 25 tahun. Pola ini hampir sama pada petani: pangan, hortikultura, kebun dan

ternak di lokasi penelitian. Petani yang berumur lebih 54 tahun sekitar 30 persen

terdapat pada petani pangan di Jabar, 33 persen pada petani pangan di Jateng, dan 33

persen pada petani hortikultura di Jateng. Hasil survey profil petani di lokasi yang lebih

terbatas menunjukan sebagian besar petani berusia di atas 40 tahun. Khusus pada

petani karet, rataan umur petani relatif muda yaitu sekitar 36 tahun.

Hasil survey juga menunjukkan bahwa banyak petani menyekolahkan anak ke

sekolah umum dengan tujuan dapat bekerja di kota. Kaum muda desa banyak

melakukan migrasi sebagai TKI atau pekerja bangunan di kota. Sebagian petani

berpandangan bahwa bekerja sebagai petani adalah sengsara, rendah dan kotor. Fakta

ini menunjukkan bahwa masih banyak penduduk usia muda yang enggan bekerja

sebagai petani (di sektor pertanian). Jika tidak ada insentif yang menarik, karena harga

produk yang relatif rendah, harga input yang mahal, dan pemilikan lahan yang sempit,

dapat menyebabkan pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian.

Pergeseran yang tidak diikuti oleh pengalihan aset lahan dari pertanian ke non pertanian

mungkin tidak masalah, bahkan akan meningkatkan produktivitas. Namun jika terjadi

sebaliknya, aset lahan dijual untuk investasi non-pertanian diduga selain produktivitas

tidak meningkat, produksi pangan juga akan semakin berkurang.

Page 10: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

9

3.2. Profil Penguasaan Aset

Data Sensus Pertanian 2003 dan hasil survey petani sama-sama menunjukkan

bawa sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar, kecuali di Desa

Banyu Urip, Desa Mulya Agung Banyuasin, dan Desa Perdjito (Tabel 1). Luas lahan

merupakan faktor yang menentukan keuntungan usaha dan kesejahteraan petani.

Dari 13 desa contoh, terdapat enam desa yang pemilikan lahannya meningkat, 4

desa luas lahannya stabil, dan hanya dua desa yang luas lahannya menurun.

Perubahan luas lahan tersebut dapat disebabkan oleh perubahan keuntungan

usahatani, usaha luar pertanian atau peralihan ke aset lain. Sedangkan untuk asset lain

yaitu sebanyak enam desa meningkat, empat desa stabil dan hanya tiga desa yang

turun. Jika dilihat dari kedua asset tersebut, terdapat tujuh desa yang meningkat

kesejahteraannya, empat desa stabil, dan dua desa menurun. Dengan demikian,

secara umum ada indikasi terjadi peningkatan kesejahteraan petani.

3.3. Profil Teknologi

a. Penggunaan Benih Padi Sawah

Secara nasional penggunaan benih pada usahatani padi sawah mencapai 44

kg/ha. Di provinsi dan kabupaten lokasi penelitian kisarannya antara 41 – 46 kg/ha.

Sebagian besar (92% - 99%) petani menggunakan benih padi sawah berkisar dengan

tingkat pemakaian sebesar 26 – 50 kg/ha. Dalam hal ini, petani menggunakan benih

jauh di atas dosis anjuran dengan viabilitas lebih dari 95% kebutuhan benih per hektar

sekitar 30 kg (Sumaryanto, 2004).

Jika dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian tahun 2003, maka rataan

penggunaan benih di lokasi penelitian makin meningkat (47 – 60 Kg/ha), kecuali di

Kabupaten Indramayu (20 – 30 Kg/Ha) sudah sesuai dengan dosis anjuran. Hal ini

merupakan pemborosan dan dapat menyebabkan kegagalan perencanaan produksi

benih. Akibatnya ketersediaan benih di pasar jauh di bawah yang dibutuhkan.

Keterbatasan benih di pasar diantisipasi petani dengan menggunaan benih turunan.

Penerapan teknologi seperti ini, dapat menurunkan produktivitas padi.

Untuk mendapatkan benih, sebagian besar petani membeli di kios saprodi.

Namun demikian banyak juga petani yang menggunakan benih hasil produksi sendiri,

seperti di Desa Gantar Indramayu, Desa Sumber Agung Grobogan, dan Desa Tawang

Rejo Blora. Mereka menggunakan benih turunan karena harga benih berlabel yang

relatif mahal, sementara menurut mereka hasil benih turunan masih cukup baik.

Page 11: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

10

Tabel 1. Persentase Rumah Tangga Pertanian yang Menguasai Lahan Kurang dari 0.5 Ha Menurut Sensus Pertanian 2003 dan Rataan Penguasaan Lahan Menurut Survey Petani di Lokasi Penelitian Tahun 2007

Muara Enim Banyuasin Cianjur Indramayu Grobogan

Blora Brebes Sensus Profil Sensus Profil Sensus Profil Sensus Profil Sensus Profil Sensus Profil Sensus Profil Modus Rataan Modus Rataan Modus Rataan Modus Rataan Modus Rataan Modus Rataan Modus Rataan

Subsektor

Jenis lahan

% Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Ha

Tanaman Sawah 11.56 1.80 94.90 0.59 44.89 1.82 66.15 0.51 68.00 0.54 Pangan NonSawah 84.84 0.14 96.20 0.18 99.70 0.03 100.00 0.00 95.43 0.11 (padi) Pertanian 11.98 1.94 93.53 0.77 77.53 1.85 65.84 0.51 62.27 0.65 Total 11.98 2.11 92.81 0.79 73.85 1.87 68.94 0.54 58.14 0.67 Tanaman Sawah 84.91 0.26 41.89 1.69 83.69 0.87 96.09 0.21 Pangan NonSawah 0.11 90.75 0.10 81.05 0.28 41.13 0.60 (jagung) Pertanian 83.54 0.37 41.79 1.79 69.73 1.15 27.11 0.81 Total 82.56 0.39 38.05 1.86 68.94 1.25 23.28 0.85 Hortikultura Sawah 79.99 0.97 NonSawah 71.43 0.00 Pertanian 78.95 0.97 Total 80.18 1.02 Perkebunan Sawah 44.44 0.00 23.81 0.11 75.5 0.55 NonSawah 10.57 2.22 3.67 3.80 73.77 0.01 Pertanian 10.57 2.22 2.75 3.91 71.76 0.56 Total 15 2.30 1.35 4.01 75.69 0.58

Keterangan: Data cetak tebal Cianjur dan Indramayu lahan petani padi sawah non irigasi, dan Brebes data lahan petani bawang sawah non irigasi. Sumber : BPS (2003).

Page 12: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

11

Hampir di semua lokasi penelitian, sebagian besar petani menggunakan benih

padi varietas Ciherang dan hanya di Desa Sumber Agung Kecamatan Godong

Kabupaten Grobogan yang menggunakan benih varietas IR-64. Menurut petani di Desa

Tugu Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu, varietas Ciherang lebih disukai karena

produksinya tinggi, tahan hama-penyakit, umurnya pendek, dan nasinya pulen. Artinya

varietas ini memenuhi selera produsen dan konsumen sekaligus.

Dari fakta tersebut diatas diperlukan informasi yang jelas mengenai kebutuhan

benih dan sistem distribusinya. Upaya penggunaan benih sesuai dosis anjuran masih

perlu ditingkatkan. Menghindari distribusi benih yang berkualitas rendah sehingga

membentuk pola pikir petani bahwa diperlukan dosis yang lebih banyak untuk

menghindari ketidakcukupan bibit akibat daya tumbuh benih yang tidak sesuai dengan

label.

b. Penggunaan Benih Jagung

Data Sensus Pertanian 2003 menunjukkan rata-rata penggunaan benih jagung

secara nasional sebanyak 26 kg/ha, sedangkan untuk Jawa Tengah sebanyak 24 kg/ha.

Penggunaan benih yang dilakukan petani di kedua lokasi penelitian tidak jauh berbeda

dengan yang dianjurkan yaitu antara 20 – 40 kg/ha (Anonimous, 1999).

Dosis benih yang digunakan di lokasi penelitian (10 Kg/ha) jauh di bawah

rekomendasi yang dianjurkan. Benih yang digunakan petani sebagian besar merupakan

benih hibrida, namun ada juga yang menggunakan benih komposit. Di Desa Gedang

Gobogan, walaupun petani menanam jagung hibrida namun hasilnya hanya mencapai

3.5 ton. Pada umumnya produksi yang dicapai di bawah 3.5 ton. Mereka menanam

jagung lebih ditujukan untuk memanfaatkan lahan saat musim kemarau.

Petani jagung sering menghadapi permasalahan kelangkaan benih di pasar,

sehingga harganya jauh lebih mahal dari harga normal. Untuk membantu petani

menstabilkan pasar benih perlu peran pemerintah dan produsen benih sehingga petani

tidak dirugikan oleh pedagang benih di pasar.

c. Penggunaan Benih/Bibit Bawang Merah

Kebutuhan bibit yang berasal dari umbi bervariasi antara 900 - 1200 kg/ha. (Mar-

yati dan Wiryatmi, 1996; Damiri, A, 1998; dan Anonimous, 2000). Berdasarkan data

Sensus Pertanian tahun 2003, petani bawang merah secara nasional, di Jawa Tengah

dan di Kabupaten Brebes menggunakan bibit di bawah yang direkomendasikan yaitu

Page 13: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

12

antara 700 – 800 kg/ha. Petani Desa Tanjungsari menanam bawang di lahan sawah

irigasi dengan dosis 942 – 1365 Kg/ha tergantung musim. Sementara itu, jumlah bibit

yang digunakan di Desa Banjarharjo dengan pola polikultur hanya 883 Kg/ha.

Bibit bawang yang ditanam petani di Desa Tanjungsari, 93 persen merupakan

varietas Bangkok dan hanya tiga persen yang menanam varietas Bima. Walaupun

mereka mengenal banyak varietas bawang, namun pemilihan varietas cenderung

seragam. Di Desa Banjarharjo penggunaan varietas lebih beragam yaitu Kuning (40%),

Filiphina (40%) dan jenis lainnya (20%).

Petani bawang masih menghadapi masalah dalam pengadaan bibit. Saat ini

masih belum ada lembaga yang melakukan penangkaran bibit bawang merah. Sebagian

petani bawang di Brebes masih menggunakan bibit hasil produksi sendiri. Kalaupun

mereka menggunakan bibit lain, umumnya berasal dari bawang impor untuk konsumsi.

d. Penggunaan Benih/Bibit Tanaman Karet

Jumlah bibit tanaman karet yang digunakan tergantung pada jarak tanam yang

dipengaruhi oleh topografi kebun. Pada lahan relatif datar dibutuhkan 476 batang

bibit/ha dan pada lahan bergelombang dibutuhkan 500 batang bibit/ha (Anwar,C, 2006).

Hasil Sensus Pertanian 2003 tidak mengidentifikasi data jumlah penggunaan bibit karet

yang di lakukan petani.

Hasil survey menunjukkan banyak petani yang menggunakan bibit karet alam.

Untuk melakukan peremajaan dibutuhkan modal yang besar, sedangkan program

pemerintah selama ini belum mampu mencakup semua petani. Di Desa Mulya Agung

Banyuasin petani menggunakan bibit klon unggul PB 260, jumlah bibit bervariasi 500 -

700 batang/ha. Aplikasi teknologi tersebut sesuai dengan anjuran. Di Desa Perdjito

Jumlah bibit yang ditanam peserta program Gerbang Serasan yang dikelola Dinas

Perkebunan Kabupaten Muara Enim sebanyak 450 batang per hektar, sedangkan yang

menggunakan karet alam sekitar 700 batang per hektar.

e. Penggunaan Pupuk pada Tanaman Padi Sawah

Data Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan tiga jenis pupuk yang

digunakan petani padi sawah pada umumnya adalah: Urea, TSP/SP36 dan KCl. Petani

padi sawah di Jawa sudah menggunakan pupuk urea mendekati anjuran antara 248 –

326 kg/ha, sedangkan di Provinsi Sumatera Selatan penggunaannya hanya 129 kg/ha,

bahkan di Kabupaten Banyuasin hanya 80 kg/ha. Kecilnya dosis pemakaian pupuk urea

Page 14: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

13

di Sumsel disebabkan bervariasinya tipe sawah yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan,

sawah pasang surut dan sawah lebak.

Rataan penggunaan pupuk TSP/SP 36 secara nasional adalah 122 kg/ha. Di

Kabupaten Grobogan, dosis pemakaian pupuk TSP/SP36 diatas 200 kg/ha, daerah

lainnya sekitar 150 kg/ha, kecuali Banyuasin hanya 63 kg/ha. Rataan penggunaan KCl

secara nasional hanya 78 kg/ha. Kondisi ini tampaknya cukup bervariasi pada berbagai

daerah, di Indramayu dan Banyuasin dosis pemakaiannya rata-rata kurang dari 100

kg/ha, sedangkan di Cianjur, Grobogan dan Blora diatas 100 Kg/ha. Dibanding dua jenis

pupuk lainnya, penggunaan pupuk KCl lebih bervariasi karena harga KCl relatif tinggi,

sedangkan dampaknya terhadap produksi tidak begitu tinggi atau pada sebagian lahan

usahatani kebutuhan tanaman akan KCl dapat tercukupi dari dalam tanah yang berasal

dari pemupukan sebelumnya, dan sisa pembakaran jerami.

f. Penggunaan Pupuk pada Tanaman Jagung

Data Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa dibandingkan tingkat nasional

dan Provinsi Jawa Tengah, penggunaan pupuk di Kabupaten Grobogan dan Kabupaten

Blora relatif lebih intensif, terutama dalam hal penggunaan pupuk urea yang masing-

masing sebesar 238 Kg/ha dan 217 Kg/ha. Sebaliknya dalam hal penggunaan pupuk

TSP?SP36, dan KCL masih terbatas, yaitu untuk pupuk TSP/SP36 hanya sekitar 88

kg/ha dan 60 Kg/ha dan penggunaan pupuk KCl hanya sekitar 65 kg/ha dan 27 kg/ha.

Bahkan untuk KCl, penggunaanya masih sangat bervariasi.

Pada tanaman padi sawah dan jagung, dosis penggunaan pupuk urea dan

TSP/SP36 tidak jauh berbeda dengan dosis rekomendasi (Tabel 2). Jika dibandingkan

dengan hasil Sensus Pertanian tahun 2003 dosis penggunaan pupuk tidak mengalami

perubahan. Penggunaan pupuk KCl yang masih relatif kecil dibanding dosis

rekomendasi dan penggunaannya bervariasi antar wilayah.

Page 15: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

14

Tabel 2. Dosis Penggunaan Pupuk Pada Usahatani Padi dan Jagung pada Berbagai Agroekosistem, Tahun 2007(Kg/Ha)

Urea TSP/SP36

KCl

ZA

NPK Pupuk

Lainnya No

Komoditas/

Agroekosistem MH MK1 MH MK1 MH MK1 MH MK1 MH MK1 MH MK1

1 Padi 274 295 127 133 27 32 5 9 15 14 2 4 a. Sawah Irigasi 278 273 113 119 31 32 12 15 23 22 0 1 a.1. Dtrn Rendah 310 293 147 147 36 36 17 22 21 19 0 1 a.1.1. Indramayu 275 249 116 112 59 57 28 35 35 30 0 2 a.1.2. Grobogan 364 367 195 206 0 0 0 0 0 0 0 0 a.2. Dtrn Tinggi 241 241 73 73 26 26 5 5 26 26 0 0 a.2.1. Cianjur 241 241 73 73 26 26 5 5 26 26 0 0 b. Swh Non Irigasi 272 319 144 149 39 32 8 2 14 7 2 8 b.1. Dtrn Rendah 223 259 131 151 32 53 2 3 14 11 5 14 b.1.1. Indramayu 315 294 168 161 89 81 5 5 10 10 10 21 b.1.2. Blora 138 193 117 132 8 0 0 0 33 14 7 0 b.1.3. Banyuasin 218 - 110 - 3 - 0 - 0 - 0 - b.2. Dtrn Tinggi 404 400 146 146 4 4 0 0 0 0 0 0 b.2.1. Cianjur 404 400 146 146 4 4 0 0 0 0 0 0 2 Jagung 182 200 96 116 7 7 7 7 0 2 0 13 a. Swh Non Irigasi - 235 - 142 - 7 - 7 - 4 - 24 b. Lahan Kering 182 160 96 86 7 8 7 8 0 0 0 0

Page 16: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

15

g. Penggunaan Pupuk pada Tanaman Bawang Merah

Berdasarkan teknologi anjuran, pupuk yang diberikan untuk tanaman bawang

merah yaitu: untuk pupuk urea sebesar 222-267 kg/ha, untuk pupuk ZA sebesar 476-

571 kg/ha ZA, untuk pupuk TSP sebesar 489 kg/ha dan untuk pupuk KCl sebesar 217

Kg/ha (Damiri,A, 1998). Dalam hal penggunaan pupuk tersebut, jika dibandingkan hasil

Sensus Pertanian 2003 dengan dosis yang dianjurkan tidak terjadi perbedaan yang

signifikan. Kalaupun ada variasi mungkin lebih disebabkan variasi kesuburan lahan di

masing-masing daerah. Namun pola kombinasi antar jenis pupuk cenderung sama.

Pada usahatani bawang merah, penggunaan pupuk urea dan TSP/SP36 tidak

jauh berbeda (Tabel 3). Penggunaan pupuk KCl masih relatif kecil dibanding dosis

rekomendasi. Namun demikian, penggunaan pupuk saat ini jauh lebih bervariasi. Selain

urea, TSP/SP36 dan KCl, petani di lokasi penelitian juga menggunakan pupuk ZA, NPK

dan Ponska.

h. Penggunaan Pupuk pada Tanaman Karet

Sebagian besar petani menggunakan berbagai jenis pupuk dalam jumlah yang

sangat kecil. Hal ini terlihat dari persentase petani yang menggunakan pupuk < 0,26

Kg/pohon lebih tinggi dibandingkan persentase petani dengan penggunaan pupuk >

0,26 kg/pohon. Kondisi ini berlaku secara umum baik pada tingkat nasional maupun di

lokasi penelitian.

Penggunaan pupuk di tingkat petani menurut hasil Sensus Pertanian 2003

masih lebih rendah dari dosis anjuran (Tabel 4, 5 dan 6). Data ini menunjukan

pentingnya kegiatan penyuluhan untuk mendampingi petani dalam menerapkan

teknologi budidaya karet yang baik. Apalagi jika penggunaan klon unggul diintroduksikan

kepada semua petani.

Penggunaan pupuk pada petani karet di Desa Mulya Agung Banyuasin lebih

tinggi dibandingan dengan petani karet di Desa Perdjito Muara Enim (Tabel 7). Hal itu

disebabkan petani di Mulya Agung sudah banyak yang menggunakan klon unggul

dibandingkan petani Desa Perdjito. Di Desa Perdjito, petani yang menggunakan klon

unggul terbatas pada petani peserta program pemerintah, sedangkan di Mulya Agung

sudah banyak petani secara swadana membeli klon unggul.

Page 17: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

16

Tabel 3. Partisipasi dan Dosis Penggunaan Berbagai Jenis Pupuk pada Usahatani Bawang

Merah Berdasarkan Agroekosistem di Kabupaten Brebes, Tahun 2007 (%). Partisapasi (%) Dosis (Kg/Ha)

No

Jenis Pupuk/ Musim Tanam

Non Irigasi (monokultur)

Sawah Non Irigasi (polilultur)

Non Irigasi (monokultur)

Sawah Non Irigasi (polilultur)

1 Urea MT-1 38 85 60 230 MT-2 100 185 MT-3 92 144

2 TSP/SP36 MT-1 25 92 30 148 MT-2 80 107 MT-3 75 100

3 KCL MT-1 50 92 56 110 MT-2 80 85 MT-3 87 67

4 ZA MT-1 88 92 210 235 MT-2 80 110 MT-3 83 96

5 NPK MT-1 50 92 68 138 MT-2 80 134 MT-3 75 108

6 Pupuk Kandang

MT-1 0 0 0 tad MT-2 0 0 MT-3 0 0

7 Pupk Lainnya MT-1 25 30 33 178 MT-2 53 77 MT-3 50 78

Page 18: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

17

Tabel 4. Penggunaan Pupuk Anorganik pada Tanaman Padi, Jagung dan Bawang Merah di Tingkat Nasional dan Lokasi Penelitian Berdasarkan Data Sensus Pertanian Tahun 2003.

No Wilayah Padi sawah (Kg/Ha)

Jagung (Kg/Ha)

Bawang Merah (Kg/Ha)

Karet (Kg/100 pohon)

1 Nasional a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

221,78 121,65 78,34

149,63 38,51 61,76

332,74 235,19 175,85

11,68 2,19 1,52

2 Sumsel a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

129,01 100,04 43,72

Xx

xx

7,38 3,16 2,29

3 Banyuasin a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

80,15 62,98 46,80

Xx

xx

0.00 0.00 0.00

4 Muara Enim a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

xx

Xx

xx

4,09 2,72 1,93

4 Jawa Barat a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

265,30 148,65 84,33

Xx

xx

xx

5 Cianjur a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

248,67 144,36 176,08

Xx

xx

xx

6 Indramayu a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

299,63 147,29 71,37

Xx

xx

xx

7 Jawa Tengah a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

285,69 151,19 89,99

185,29 52,41 49,99

281,00 210,00 159,00

xx

8 Grobogan a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

304,68 214,61 108,55

237,77 88,07 65,17

xx

xx

9 Blora a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

326,24 172,44 113,60

216,91 60,11 27,04

xx

xx

10 Brebes a. Urea b. TSP/SP36 c. KCl

xx

Xx

268,00 152,00 159,00

xx

Sumber: BPS, 2003.

Page 19: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

18

Tabel 5. Rekomendasi Umum Pemupukan Tanaman Karet Belum Menghasilkan.

Umur Tanaman (tahun)

Urea (Kg/100/tahun)

SP36/TSP (Kg/100/tahun)

KCl (Kg/100/tahun)

0 0 12,5 0 1 25 15 10 2 25 25 20 3 25 25 20 4 30 25 25 5 30 25 25

Sumber: Anwar (2006)

Tabel 6. Rekomendasi Umum Pemupukan Tanaman Karet Menghasilkan

Umur Tanaman (tahun)

Urea (Kg/100/tahun)

SP36/TSP (Kg/100/tahun)

KCl (Kg/100/tahun)

6 – 15 35 26 30 16 – 25 30 19 25

> 25 – 30 20 0 15 Sumber: Anwar (2006)

Tabel 7. Partisipasi Petani Menggunakan Berbagai Jenis Pupuk pada Usahatani Karet Berdasarkan Agroekosistem/Etnis di Provinsi Sumatera Selatan, Tahun 2007 (%).

No

Jenis Pupuk

Lahan Kering (eks trans Jawa)

Lahan Kedring (etnis lokal) Agregat

Partisipasi (%)

1 Urea 73 33 53

2 TSP/SP36 53 33 43

3 KCL 60 33 47

4 ZA 0 0 0

5 NPK 13 0 7

Dosis (Kg/Ha)

1 Urea 110 110 110

2 TSP/SP36 80 90 87

3 KCL 20 60 49

4 ZA 0 0 0

5 NPK 10 0 7

Page 20: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

19

i. Permasalahan dalam Aplikasi Teknologi.

Permasalahan yang dihadapi petani berkaitan dengan aplikasi teknologi adalah

karena terbatasnya fasilitas irigasi. Ketersediaan air, terutama pada usahatani padi,

merupakan prasyarat untuk dapat mengaplikasikan teknologi lain yaitu penggunaan

benih unggul, penggunaan pupuk, pengendalian hama, dan pengolahan lahan.

Pemecahan masalah irigasi tidak dapat dilakukan oleh petani secara individual. Upaya

petani menggunakan pompa air untuk mengatasi ketersediaan air membutuhkan biaya

tinggi dan hasilnya pun tidak optimal. Disamping itu, jika tidak dikendalikan, teknologi

tersebut dapat mengganggu sistem air tanah. Oleh karena itu, sistem irigasi harus

menjadi investasi pemerintah, atau kemitraan pemerintah dan swasta.

Ketersediaan air yang cukup mempermudah pengendalian gulma sehingga

penggunaan herbisida dapat ditekan guna mempertahankan kualitas air dan lahan.

Ketersediaan air juga menyebabkan luas tanam meningkat dalam waktu yang sama.

Hal itu akan mengurangi tekanan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT)

sehingga mengurangi penggunaan pestisida. Serangan OPT serta gulma pada tanaman

merupakan fenomena alam di luar kendali petani dan pemerintah. Ketersediaan air

dapat menekan serangan OPT dan gulma dengan tidak menurunkan kualitas

lingkungan, biaya relatif murah, dan sekaligus meningkatkan produksi pangan.

Pada daerah yang ketersediaan airnya cukup tinggi, pengendalian OPT dan

gulma dapat dikendalikan sehingga penggunaan pestisida dan herbisida berkurang.

Ketersediaan air yang cukup dengan kualitas yang baik mendukung teknologi budidaya

terintegrasi seperti mina-padi atau usaha budidaya ikan air tawar di kolam seperti yang

dilakukan petani di Cianjur. Dengan cara ini diversifikasi usaha dan pendapatan petani

dapat meningkat dengan risiko kegagalan usaha yang menurun.

Penggunaan pupuk merupakan salah satu faktor penting dalam proses produksi.

Efektifitas penggunaan pupuk juga ditentukan oleh ketersediaan air. Disamping itu,

penggunaan pupuk juga dipengaruhi oleh harga dan ketersediaannya. Namun tanpa

pupuk petani masih dapat berproduksi walaupun dengan resiko menurunnya produksi.

Khusus untuk pupuk KCl, selama ini penggunaannya masih di bawah rekomendasi.

Masalah ketersediaan pupuk di luar kendali petani sehingga memerlukan intervensi

pemerintah.

Faktor penting lain yang menentukan produksi pangan adalah benih, namun bagi

petani aspek tersebut bukan masalah utama. Untuk mengantisipasi mahalnya harga

Page 21: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

20

benih dan ketersediaannya yang terbatas, petani menggunakan benih yang dihasilkan

sendiri dengan hasil produksi yang masih memadai. Pemerintah dapat memfasilitasi

petani dengan memberikan penyuluhan intensif dalam aspek budidaya untuk

menghasilkan benih yang berkualitas.

Mekanisasi pertanian pra panen juga mendukung upaya peningkatan produksi

pangan, namun bagi petani hal ini juga bukan merupakan masalah. Bahkan pada pada

pengolahan tanah untuk usahatani bawang petani sama sekali tidak menggunakan

traktor. Di beberapa daerah, petani juga masih dapat menggunakan bajak dengan

tenaga ternak.

Penggunaan teknologi tidak semuanya spesifik menurut agroekosistem. Pada

tanaman jagung di Blora terdapat perbedaan penggunaan varietas di lahan kering dan

lahan sawah non irigasi. Demikian juga penggunaan varietas bawang di agroekosistem

sawah irigasi Desa Tanjungsari dengan agroekosistem sawah non irigasi Desa

Banjarharjo (Kabupaten Brebes). Namun, dalam hal penggunaan varietas padi

tampaknya tidak unik, karena varietas Ciherang hampir ditanam di seluruh lokasi

penelitian, kecuali di Desa Sumber Agung Kabupaten Grobogan.

Selain agroekosistem, faktor budaya dan etnis serta sistem kelembagaan

penunjang (lembaga penyuluhan) juga menentukan tingkat adopsi teknologi. Petani di

Jawa Barat yang berada di sentra produksi utama (Indramayu) masih menggunakan

gebotan untuk merontokkan padi, padahal power tresher yang menggunakan mesin

sudah cukup tersedia. Petani Karet eks trans Jawa di Banyuasin lebih responsif dalam

menggunakan klon unggul dibanding petani etnis lokal Melayu di Kabupaten Muara

Enim.

Sebagai sistem penunjang, penyuluhan berpengaruh besar terhadap kinerja

usahatani di masing-masing lokasi. Ketidakaktifan PPL di wilayah kerja bukan semata

kesalahan petugas. Karena kinerja penyuluh sangat dipengaruhi oleh jumlah penyuluh

dalam satu wilayah, biaya operasional, sistem insentif, kepastian kerja, kesempatan

meningkatkan keterampilan dan pengetahuan. Faktor-faktor itu selama ini terabaikan,

sehingga banyak penyuluh yang tidak berada di lokasi kerjanya. Oleh karena itu, upaya

pemberdayaan sistem penyuluhan (salah satu unsur Panca Yasa) perlu dilakukan

secara berkelanjutan.

Page 22: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

21

3.4. Profil Ketenagakerjaan

Kelembagaan upah tenaga kerja umumnya menggunakan sistem: borongan,

harian, dan bagi hasil/bawon. Upah borongan banyak dilakukan pada pengerjaan

pengolahan lahan dengan menggunakan traktor. Namun di beberapa daerah masih

banyak petani yang menggunakan ternak dan tenaga manusia. Upah harian umumnya

dilakukan pada pekerjaan penanaman dan perawatan tanaman. Pada kegiatan tanam

dan dangir lebih banyak dilakukan tenaga wanita, sedangkan pemupukan dan

penyemprotan hama dilakukan oleh tenaga pria.

Kelembagaan tenaga kerja yang sudah mulai langka adalah sistem sambatan,

bahkan sistem ceblokan sudah tidak ditemui lagi. Kasus di Desa Banyu Urip, lembaga

sambatan dilakukan pada kegiatan penanaman dan penyulaman tanaman. Di Desa

Gedang, sistem sambatan dilakukan untuk kegiatan tertentu, seperti membuat rumah. Di

Tanjungsari, sistem sambatan banyak dilakukan oleh petani berlahan sempit terutama

dalam membuat selokan diantara bedengan untuk penanaman bawang merah. Sejalan

dengan menurunnya sistem sambatan, sistem upah harian semakin meningkat.

Perubahan tersebut disebabkan perilaku masyarakat yang sudah banyak menilai

sesuatu dengan uang (monetisasi).

Kisaran pangsa curahan jam kerja pada sektor pertanian di berbagai desa dan

agroekosistem antara 49 – 82 persen. Sejalan dengan pangsa pendapatan, pangsa

curahan jam kerja petani padi (49%-73%) memiliki nilai terkecil dibandingkan bawang

merah (75%-79%) dan karet (77%-79%). Kesempatan petani padi bekerja di luar sektor

pertanian relatif lebih besar dibandingkan petani bawang dan karet. Hal ini disebakan

petani bawang bekerja intensif sedangkan petani karet tidak setiap saat, kecuali musim

hujan harus melakukaan penderesan.

3.5. Profil Pendapatan dan pengeluaran

a. Pendapatan dan Sumber Pendapatan

Pangsa pendapatan petani diberbagai jenis komoditas dan agroekosistem

berkisar antara 40 – 81 persen, bervariasi menurut jenis tanaman dan intensitas tanam.

Pada petani padi baik pada agroekosistem irigasi maupun non irigasi, pangsanya

sebesar 45 – 69 persen, pada petani jagung pangsanya hanya 57 – 77 persen, pada

petani bawang merah monokultur di sawah irigasi pangsanya sampai 81 persen, pada

petani dengan usahatani polikultur di sawah non irigasi pangsa pendapatan

Page 23: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

22

usahataninya hanya 57 persen, serta pada petani karet pangsa pendapatan usahatani

hanya 40-50 persen (Tabel 8).

Tingginya intensitas tanam tanaman bawang merah di Desa Tanjung Sari Brebes

yaitu rata-rata empat kali tanam tanam (padi-bawang-bawang-bawang) bahkan ada satu

responden yang melakukan lima kali tanam (padi-bawang-bawang-bawang-bawang)

menyebabkan tingginya pangsa pendapatan dari usahatani ini. Berbeda dengan di desa

Tawang Rejo, diman kondisi lahannya relatif sempit dan tanpa irigasi menyebabkan

produktivitas lahan rendah sehingga banyak petani yang mengisi waktunya untuk

berburuh bangunan ke Jakarta dan kota besar lain.

b. Konsumsi dan Pengeluaran Petani dan Bukan Petani

Secara umum pangsa pengeluaran secara nasional dan di lokasi penelitian baik

berdasarkan wilayah desa kota, kelas pendapatan baik penduduk yang bekerja di

pertanian dan non pertanian dari tahun 2002 ke 2005 mengalami penurunan. Hal ini

mengindikasikan kesejahteraan masyarakat mengalami penurunan (Tabel 9).

Secara nasional dan di lokasi penelitian, konsumsi beras menunjukkan

penurunan (Tabel 10). Konsumsi energi dan protein pada kelas pendapatan menengah

ke atas sudah diatas kecukupuan menurut AKE (Angka Kecukupan Energi) dan AKP

(Angka Kecukupan Protein). Namun tidak demikian bagi penduduk berpendapatan

rendah baik pada petani mapun non petani (Tabel 11).

Pada tahun 2005 tingkat partisipasi rumah tangga pertanian dalam konsumsi

beras secara nasional dan di lokasi penelitian berkisar antara 96-100 persen tidak jauh

berbeda dengan rumah tangga non pertanian antara 96 – 99 persen. Dibanding tahun

2002, tampaknya terjadi peningkatan dan juga penurunan yang bervariasi antar lokasi.

Secara umum, pangan yang dikonsumsi rumah tangga baik petani maupun non

petani sebagian besar berasal dari pembelian dengan kecenderungan yang meningkat

dari tahun 2002 ke 2005. Untuk kasus beras, ketergantungan rumah tangga terhadap

beras mencapai 70 – 89 persen. Kondisi ini dapat mengganggu kecukupan pangan bila

terjadi lonjakan harga. Secara intertemporal proporsi perolehan beras dari membeli

cenderung menurun untuk Rumah Tangga Pertanian (RTP) berpendapatan rendah dan

sebaliknya untuk RTP berpendapatan menengah keatas. Pada Rumah Tangga Non

Pertanian (RTNP) terjadi peningkatan justru pada rumah tangga yang berpendapatan

rendah.

Page 24: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

23

Tabel 8. Profil Pangsa Curahan Jam Kerja dan Pendapatan Rumah Tangga Petani menurut Agroekosistem, Tahun 2007 (%).

No

Komoditas/ Agroekosistem Jam Kerja Pendapatan

Pertanian 1 a. Padi sawah irigasi a.1. Dtrn Rendah a.1.1. Indramayu 51.94 54.10 a.1.2. Grobogan 73.40 49.10 a.2. Dtrn Tinggi a.2.1. Cianjur 61.22 45.48 b. padi Swh Non Irigasi b.1. Dtrn Rendah b.1.1. Indramayu 65.63 68.74 b.1.2. Blora 54.97 49.16 b.1.3. Banyuasin 48.85 49.28 b.2. Dtrn Tinggi b.2.1. Cianjur 55.39 58.43 2 Jagung a. Swh Non Irigasi 54.52 59.74 b. Lahan Kering 78.34 78.96 3 Bawang Merah a. Sawah irigasi 74.72 81.05 b. Sawh non irigasi 81.53 57.21

4 Karet a. Eks Trans 79.01 50.19 b. Etnis Lokal 76.83 40.40

Non Pertanian 1 a. Padi sawah irigasi a.1. Dtrn Rendah a.1.1. Indramayu 48.06 45.90 a.1.2. Grobogan 26.60 50.09 a.2. Dtrn Tinggi a.2.1. Cianjur 38.78 54.52 b. padi Swh Non Irigasi b.1. Dtrn Rendah b.1.1. Indramayu 34.37 31.26 b.1.2. Blora 45.03 50.48 b.1.3. Banyuasin 51.15 50.72 b.2. Dtrn Tinggi b.2.1. Cianjur 44.61 41.57 2 Jagung a. Swh Non Irigasi 45.48 40.26 b. Lahan Kering 21.66 21.04 3 Bawang Merah a. Sawah irigasi 25.28 18.95 b. Sawh non irigasi 18.47 42.79

4 a.Karet eks trans 20.99 49.81 b. Karet etnis lokasl 23.17 59.80

Page 25: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

24

Tabel 9. Sebaran pangsa pengeluaran pangan rumahtangga menurut wilayah, 2002- 2005 (%)

Sumsel Jabar Jateng Indonesia Uraian 2002 2005 2002 2005 2002 2005 2002 2005

Pertanian Kota 67.5 78.3 63.2 68.4 63.3 76.7 64.4 72.9 Desa 71.9 84.3 65.9 76.7 65.3 77.4 69.2 81.1 Kota+Desa 71.6 83.8 65.4 74.9 64.9 77.3 68.6 80.1 Non pertanian Kota 57.6 69.4 55.8 65.0 56.8 69.6 54.4 66.0 Desa 65.5 79.4 64.5 75.5 62.7 75.0 64.3 76.5 Kota+Desa 59.5 72.4 58.9 69.3 59.3 72.1 57.7 70.3

Sumber: SUSENAS 2002 dan 2005, diolah

Tabel 10. Konsumsi Beras Keluarga Petani dan Non Petani Tingkat Nasional, Tahun 2002 dan 2005.

Kelompok Masyarakat 2002 (kg/kap/th)

2005 (kg/kap/th)

Petani Wilayah

a. Desa b. Kota c. Desa + Kota

Pendapatan a. Rendah b. Sedang c. Tinggi

113.37 104.28 112.22

108.99 114.51 116.20

112.65 96.73

110.30

99.70 117.19 131.64

Non-Petani Wilayah

a. Desa b. Kota c. Desa + Kota

Pendapatan a. Rendah b. Sedang c. Tinggi

106.34 85.43 92.33

93.63 92.80 89.40

104.53 83.24 91.98

88.27 93.26 94.93

Sumber: Susenas 2002 dan 2005.

Jika dilihat dari pangsa pengeluaran pangan, pada tahun 2007 kesejahteraan

petani menunjukkan peningkatan dan hubungan antara pangsa pengeluaran pangan

dan tingkat pendapatan per kapita masih mengikuti kaidah hukum Enggel, kecuali pada

daerah desa yang relatif miskin di Grobogan dan Blora walaupun pendapatannya relatif

rendah, namun pengeluaran pangannya juga relatif rendah.

Petani di daerah miskin ternyata menunjukkan keinginan untuk mengubah tingkat

kehidupannya. Karena itu, pengeluaran non pangan yang meraka utamakan adalah

Page 26: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

25

untuk kesehatan dan pendidikan. Tujuannya agar dapat bekerja lebih baik guna

membiayai kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak agar kelak dapat bekerja di

luar sektor pertanian. Sementara itu, infrastruktur jalan dan sarana transportasi yang

minim di pedesaan menyebabkan banyak petani yang membeli sepeda motor untuk

sarana transportasi pendidikan anak, usaha dan keluarga. Petani membeli sepeda

motor dengan cara kredit, arisan, atau tabungan. Akibatnya beberapa petani

mengurangi biaya untuk pangan dan biaya usahatani. Tingginya biaya pendidikan bukan

hanya untuk biaya perlengkapan sekolah dan SPP, tetapi juga untuk jajan anak agar

mau berangkat ke sekolah. Kondisi demikian menyebabkan walau pendapatan mereka

rendah tetapi pengeluaran non pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk

pangan.

Biaya non pangan lain yang jumlahnya juga besar adalah biaya untuk menghadiri

hajatan (pernikahan dan/atau persunatan). Terdapat tiga bentuk pengeluaran untuk

hajatan, pertama biaya saat pesta yang umumnya dikeluarkan oleh pria dengan

memberi amplop berisi uang. Kedua, sebelum pesta para kaum ibu mengirim berbagai

keperluan pesta terutama dalam bentuk natura dengan nilai yang lumayan besar, dan

ketiga di beberapa daerah terdapat sejenis arisan untuk hajatan dimana setiap peserta

memberikan sejumlah barang atau senilai uang saat peserta lain melakukan hajatan.

Besarnya biaya hajatan dan pendidikan di hampir semua kelas pendapatan

dapat menyebabkan seseorang masuk dalam kelas pendapatan rendah, namun

pengeluarannya non pangannya relatif besar. Hal ini tentu tidak mengikuti kaidah

hukum Engel. Budaya hajatan tersebut sudah sejak dahulu berlangsung. Bagi

masyarakat desa atau petani, sebenarnya tidak semua sepakat dengan budaya

tersebut, tetapi mereka merasa malu dan/atau akan dikucilkan jika tidak mengikuti

budaya demikian. Di sisi lain, sebagian masyarakat merasa terbantu dengan pola

tersebut, namun secara umum pola tersebut cenderung mengarah pada belanja

konsumtif yang sebenarnya tidak diperlukan. Pola ini terlihat jelas pada masyarakat

Perdjito dan Banyu Urip dimana salah satu bentuk arisannya adalah mengadakan orkes

yang membutuhkan biaya besar.

Page 27: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

26

Tabel 11. Konsumsi energi dan protein rumahtangga menurut kelas pendapatan, 2002-2005. Sumsel Jabar Jateng Indonesia

Uraian Agregasi 2002 2005 2002 2005 2002 2005 2002 2005 Energi Pertanian (Kkal/kap/hr) Rendah 1775.4 1669.9 1915.4 1973.4 1731.3 1735.2 1987.7 1870.2 88.8 83.5 95.8 98.7 86.6 86.8 99.4 93.5 Sedang 2264.1 2276.3 2473.2 2523.2 2191.1 2182.0 2222.0 2420.8 113.2 113.8 123.7 126.2 109.6 109.1 111.1 121.0 Tinggi 2861.5 3237.9 2917.7 3215.8 2641.0 2672.6 2336.0 3114.4 143.1 161.9 145.9 160.8 132.1 133.6 116.8 155.7

Non pertanian

Rendah 1507.6 1456.6 1726.3 1754.9 1619.3 1622.2 1905.4 1726.6 75.4 72.8 86.3 87.7 81.0 81.1 95.3 86.3 Sedang 1972.0 2007.2 2158.2 2189.9 1952.3 1961.8 2065.0 2098.3 98.6 100.4 107.9 109.5 97.6 98.1 103.3 104.9 Tinggi 2394.4 2749.7 2525.8 2727.6 2345.0 2359.2 2292.6 2585.0 119.7 137.5 126.3 136.4 117.3 118.0 114.6 129.3 Protein Pertanian (Gr/kap/hr) Rendah 41.9 42.0 49.9 52.3 45.1 46.3 51.1 48.7 80.6 80.7 96.1 100.6 86.8 89.0 98.2 93.6 Sedang 56.0 60.2 67.4 71.5 58.6 60.0 59.2 66.0 107.7 115.8 129.7 137.4 112.7 115.4 113.8 127.0 Tinggi 76.1 93.7 84.5 99.3 72.9 74.1 63.9 89.7 146.3 180.2 162.4 191.1 140.2 142.6 122.8 172.5

Non pertanian

Rendah 38.4 39.3 46.5 47.7 43.0 43.4 52.0 47.1 73.8 75.6 89.3 91.8 82.8 83.5 100.1 90.5 Sedang 53.3 57.4 60.5 63.5 53.9 55.4 58.4 60.6 102.6 110.4 116.3 122.1 103.6 106.4 112.2 116.6 Tinggi 68.7 83.4 74.9 83.6 69.5 71.8 68.7 81.0 132.1 160.5 144.1 160.7 133.7 138.0 132.1 155.7

Keterangan: angka tercetak miring menunjukkan tingkat kecukupan. Sumber : Susenas 2002 dan 2005, diolah.

3.6. Profil Kelembagaan

Berdasarkan informasi dari instansi terkait di kabupaten lokasi penelitian, terjadi

penurunan jumlah kelompok tani, kecuali di Kabupaten Indramayu yang justru

meningkat. Hal tersebut merupakan efek dari upaya pemerintah merevitalisasi kelompok

tani. Kelompok yang tidak aktif dihilangkan atau dilebur dengan kelompok lain.

Peningkatan jumlah kelompok tani di Indramayu disebabkan adanya pemecahan

kelompok besar yang beranggotakan 100 orang menjadi kelompok kecil yang hanya

beranggotakan sekitar 25 orang.

Di sebagian besar daerah penelitian, jumlah Gapoktan relatif tetap. Secara

konsepsi pembentukan Gapoktan cukup baik. Namun karena kemampuan personal

Page 28: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

27

dalam jiwa wirausaha dan kemampuan modal yang masih terbatas, serta status badan

hukum, maka dalam jangka pendek perannya masih sulit diharapkan. Hal utama yang

perlu diperhatikan adalah jiwa wirausaha. Karena itu, disarankan pola pembentukan

Gapoktan diintegrasikan dengan LUEP dengan beberapa poktan di wilayah kerja LUEP.

Jumlah PPL bervariasi ada yang meningkat, menurun dan stabil. Namun

walaupun terjadi peningkatan jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan rentang

wilayah kerjanya. Jika di rasiokan antara jumlah PPL dengan jumlah desa maka

seorang PPL rata-rata harus membina lebih dari satu desa. Bahkan di Kabupaten

Brebes, satu orang PPL harus mengcover 3 – 4 desa. Rasio yang kecil, fasilitas yang

terbatas, sistem insentif dan jaminan kerja yang tidak pasti menyebabkan banyak PPL

yang jarang berkunjung ke wilayah kerjanya. Apalagi tempat PPL berkumpul yaitu BPP

kondisinya banyak yang tidak memadai. Di beberapa daerah jumlah BPP lebih sedikit

dibandingkan jumlah kecamatan yang ada (Tabel 12 dan 13).

Selain lembaga yang dibentuk pemerintah seperti di atas, ada juga lembaga

bentukan pemerintah seperti KUD, UPJA, dan Lumbung. KUD yang ada umumnya

sudah tidak melakukan peran pertanian tetapi lebih ke arah pelayanan jasa umum

seperti pelayanan listrik dan sembako. UPJA perlu terus dibina dan sebaiknya semua

program mekanisasi di desa dikelola oleh UPJA yang berintikan kelompok tani.

Keberadaan dan keberhasilan Lumbung ditentukan oleh kebutuhan dan lokasi

desa. Kasus di Desa Tugu Indramayu, menunjukkan bahwa keberadaan lumbung

kurang berfungsi karena pembangunannya merupakan hadiah atas kemenangan lomba

desa. Sementara itu, Lumbung di Desa Banyu Urip berjalan lancar karena memang

dibentuk oleh anggota masyarakat, kemudian diberi penguatan fasilitas berupa mesin

penggilingan padi. Model seperti ini perlu dicontoh untuk pengembangan lumbung

spesifik lokasi agar lebih efektif.

Sebagian besar petani mengandalkan modal sendiri untuk usahatani. Namun

banyak juga petani yang tidak memiliki kecukupan modalnya, sehingga harus meminjam

dari kios saprodi dengan sistem yarnen. Jika dihitung, tingkat bunga yang dikenakan

kios terhadap petani mencapai 10%/bulan. Walaupun mahal petani merasa terbantu

karena pelayanan tersebut selalu tersedia saat dibutuhkan dan tanpa syarat yang

menyulitkan.

Page 29: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

28

Tabel 12. Kekuatan dan Kelemahan PPL pada KIPP Indramayu dan PPL pada Dinas Pertanian Indramayu, tahun 2007

PPL - KIPP Indikator PPL/KCD Distan

- Sarana +

+ SDM -

- Keuangan +

- Apresiasi petani +

- Jaminan kerja +

- Insentif +

+ Tanggung jawab - Tabel 13. Hubungan antara Keberadaan PPL dengan Kinerja Poktan di Desa Penelitian,

Tahun 2007.

Lokasi Tanaman PPL Poktan

Banyu Urip-Banyuasin Padi -/+ +

Mulya Agung-Banyuasin Karet - -

Perdjito-Muara Enim Karet - -

Bunijaya-Cianjur Padi - -

Karang Tengah-Cianjur Padi - -

Tugu-Indramayu Padi - +

Gantar-Indramayu Padi - -

Tanjungsari-Brebes Bawang merah - -

Banjarharjo-Brebes Bawang merah + -/

Sumber Agung-Grobogan Padi - -

Gedang-Grobogan Jagung + +

Bangoawan-Blora Jagung - -/+

Tawang Rejo-Blora Padi + -/+

Sebagian kecil petani ada juga yang menggunakan jasa bank. Kasus di

Indramayu, petani meminjam dana bank BRI dengan sistem yarnen setahun dua kali

yaitu saat panen rendeng dan gadu. Pola ini ternyata memudahkan petani dalam

memperoleh modal secara cepat dibandingkan dengan meminjam mengikuti pola bank

konvensional. Namun tidak semua bank menggunakan pola ini. Kasus di Desa Gedang

Page 30: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

29

dan Tawang Rejo, keberadaan bank BPR dengan sistem jemput bola langsung keliling

desa dan dengan persyaratan yang mudah menyebabkan petani akses terhadap bank.

Sementara, Skim SP3 pada saat penelitian dilakukan masih pada taraf

sosialisasi di tingkat provinsi dan kabupaten. Belum banyak petani yang mendengar

program tersebut. Kalaupun ada, persyaratan yang diperlukan masih memberatkan bagi

sebagian besar petani. Seperti halnya pada petani di Ciwidey, Jawa Barat, hanya

kelompok tani hortikultura yang sudah memanfaatkannya. Kelompok tersebut sudah

maju dengan tingkat komersialisasi usaha yang tinggi.

Lembaga yang bukan bentukan pemerintah baik di Desa maupun yang dari luar desa

banyak terlibat dalam mendukung pembangunan pertanian. Semua lembaga tersebut

melakukan aktivitas sesuai segmen agribisnis sejak dari saprodi, jasa mekanisasi pra

panen dan pasca panen, dan pedagang hasil.

3.7. Profil Pembangunan Pertanian dan Dampaknya pada Petani

Secara umum, berbagai kegiatan yang dilakukan instansi pemerintah untuk

mendukung program peningkatan produksi dan pendapatan petani padi sudah

terumuskan secara holistik. Kegiatan pada subsektor tanaman pangan lebih banyak

dan lengkap dibandingkan dengan kegiatan pada subsektor hortikultura dan

perkebunan.

Namun demikian, masih dijumpai masalah yang berkaitan dengan administrasi,

penafsiran, dan sinkronisasi. Karena terkendala oleh prosedur administrasi, maka

kegiatan subsidi benih belum berjalan. Masalah lain berkaitan dengan subsidi benih

adalah: (a) alokasi benih tidak sesuai dengan kebutuhan dan (b) harga benih dalam

DIPA masih di bawah harga pasar.

Program SP3 mengalami hambatan karena pihak bank tetap meminta agunan.

Dengan demikian, program ini belum bisa memecahkan masalah kesulitan akses petani

terhadap perbankan. Seperi halnya di Jawa Tengah, alokasi pupuk berdasarkan SK

Menteri Pertanian jumlahnya lebih kecil dari yang dibutuhkan. Hal ini terjadi setiap

tahun, sehingga kalau musim tanam terjadi serentak maka timbul masalah kekurangan

pupuk. Pada tahun 2007, musim tanam tidak serentak sehingga tidak ditemui masalah

tersebut.

Salah satu masalah yang dihadapi dalam pengembangan padi hibrida adalah

berkaitan dengan pemasaran. Sampai saat ini konsumen belum mengenal beras hasil

padi hibrida sehingga kurang populer, padahal rasanya enak. Dinas Pertanian juga

Page 31: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

30

belum berani menganjurkan petani untuk menanam padi hibrida karena risikonya tinggi

yaitu sangat peka terhadap hama dan penyakit, kekurangan air, dan pupuk.

Sebagian besar petani sampel masih mengharapkan adanya kebijakan dan

program yang meliputi subsidi benih, subsidi pupuk, peningkatan ketrampilan petani,

dan peningkatan peran kelompok tani. Mekanisme penyaluran subsidi sebaiknya

ditujukan langsung kepada petani atau kelompok tani. Persentase petani yang

merasakan manfaat positif dari program pembangunan yang sedang berjalan

tampaknya masih relatif kecil. Perkecualian terjadi di Kabupaten Grobogan, baik pada

petani jagung di sawah non irigasi maupun petani padi sawah irigasi. Perolehan

manfaat tersebut sangat terkait erat dengan peran PPL di daerah masing-masing.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1) Terdapat kecenderungan pelambatan trend penawaran tenaga kerja di sektor

pertanian. Perubahan tersebut secara sosial disebabkan adanya pandangan di

masyarakat desa bahwa bekerja sebagai petani itu sungguh berat dan rendah

statusnya, terutama di kalangan generasi muda.

2) Sebagian besar petani menggunakan jumlah benih pada usahatani padi sawah jauh

di atas dosis anjuran. Hal ini merupakan pemborosan dan menyulitkan perencanaan

produksi benih. Akibatnya ketersediaan benih di pasar jauh di bawah kebutuhan dan

petani menggunakan benih turunan dengan produktivitas yang rendah.

3) Masalah utama yang dihadapi petani dalam penerapan teknologi adalah

ketersediaan air irigasi yang tidak memadai. Ketersediaan air, terutama pada

usahatani padi, merupakan prasyarat untuk dapat menerapkan teknologi lain.

4) Data Susenas tahun 2002-2005 menunjukkan trend penurunan konsumsi beras baik

petani maupun non petani. Konsumsi beras untuk rumahtangga petani turun dari

112,22 menjadi 110,30 kg/kap/th, sedangkan untuk rumahtangga non petani turun

dari 92,33 menjadi 91,98 kg/kap/th. Pada masyarakat kelas pendapatan rendah baik

petani maupun non petani terjadi pula penurunan Angka Kecukupan Energi dan

Angka Kecukupan Protein.

5) Data Sensus Pertanian tahun 2003 dan hasil survey di beberapa propinsi

menunjukkan bawa sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar,

kecuali di Desa Banyu Urip, Mulya Agung, Perdjito, Tugu, dan Gantar. Dalam

Page 32: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

31

periode 2004 – 2007 asset lahan dan asset lain yang dimiliki petani pada beberapa

lokasi penelitian meningkat baik disebabkan dari usahatani, usaha luar pertanian,

maupun peralihan asset. Indikasi ini sejalan dengan indikasi pangsa pengeluaran

pangan yang juga menurun dibandingkan tahun 2005.

6) Secara ageregat sumber pangan masyarakat dari hasil pembelian meningkat dari

tahun 2002 ke 2005. Untuk beras, kebutuhan konsumsi yang bersumber dari

pembelian mencapai sekitar 70 – 89 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat dan

stabilitas harga pangan sangat menentukan ketahanan pangan rumahtangga.

Khusus pada rumah tangga pertanian berpendapatan rendah, jumlah beras yang

dibeli mengalami penurunan dari tahun 2002 ke 2005. Perkecualian terjadi di desa

lahan kering dimana persentase beras yang dibeli masih cukup tinggi sekitar 60 – 94

persen.

7) Pelaksanaan otonomi daerah telah berdampak negatif terhadap kinerja lembaga

penyuluhan pertanian di daerah. Terkait kegiatan penyuluhan tersebut, ada

hubungan positif antara intensitas kunjungan PPL dengan dinamika kelompok tani.

Namun kasus di Desa Tugu menunjukkan bahwa, walaupun PPL tidak aktif

kepemimpinan kepala desa yang transparan mampu mengaktifkan kelompok tani di

desanya. Sebaliknya terjadi pada desa yang jarang didatangi PPL dan krisis

kepemimpinan masayarakat terhadap kepala desa.

8) Kegiatan revitalisasi kelompok tani masih dalam tahap pendataan potensi. Adanya

informasi tentang kegiatan pemberdayaan Poktan menjadi Gapoktan telah

mendorong terbentuknya kelompok-kelompok tani baru. Kasus di desa Gantar,

setiap ketua RW ditetapkan sebagai ketua kelompok tani atas perintah kepala desa

dengan struktur organisasi yang lengkap, namun operasionalnya tidak berjalan.

Hambatan utama peningkatan kinerja Gapoktan adalah rendahnya kemampuan

wirausaha petani, status badan hukum dan terbatasnya sarana-prasarana.

9) Banyak petani yang memenuhi kebutuhan modal usahataninya dari lembaga

keuangan informal di desa dengan tingkat bunga tinggi, namun prosedurnya mudah.

Di beberapa daerah ada juga petani yang akses kepada bank (BRI dan BPR) karena

skim yang ditawarkan memudahkan petani, seperti sistem yarnen pada BRI dan

sistem jemput bola serta tanpa agunan pada BPR.

Page 33: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

32

Implikasi Kebijakan

1) Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja dan menarik minat generasi muda

bekerja di sektor pertanian dengan produktivitas yang tinggi, mekanisasi pertanian

perlu terus ditingkatkan. Kegiatan tersebut di beberapa daerah dilakukan sendiri oleh

petani, sehingga bila difasilitasi pemerintah akan berkembang lebih cepat lagi.

2) Sistem jaringan irigasi merupakan infrastruktur utama dan prioritas untuk

ditingkatkan secara terpadu meliputi irigasi primer, sekunder, tersier maupun irigasi

desa. Program tersebut memerlukan koordinasi yang intensif dengan Departemen

PU, Departemen Kehutanan dan pemerintah daerah. Peningkatan prasarana di

tingkat desa dan tingkat usahatani (jides dan jitut) tidak akan berdampak optimal

tanpa ada pengembangan pada sistem utamanya.

3) Mengingat sempitnya penguasaan lahan, upaya peningkatan kesejahteraan petani

dapat dilakukan dengan meningkatkan akses petani terhadap lahan dan

meningkatkan intensitas tanam. Disinilah peran strategis reforma agraria, baik dalam

jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam konteks yang lebih luas, diperlukan

pengembangan potensi ekonomi desa dalam berbagai sektor melalui diversifikasi

baik off-farm maupun maupun non-farm.

4) Untuk mendukung peningkatan produksi dan pendapatan petani, revitalisasi sistem

penyuluhan perlu terus ditingkatkan. Hal ini meliputi pemberian sistem insentif dan

jaminan kerja, mobilitas kerja, sarana BPP yang memadai, dan peningkatan

ketrampilan.

5) Kelembagaan kelompok tani perlu lebih diberdayakan lagi. Opsi jangka pendek

adalah dengan meingintegrasikan LUEP dengan kelompok tani di sekitarnya.

Bersamaan dengan itu Gapoktan terus diberdayakan dengan orientasi

pengembangan berdasarkan: fungsionalisasi usaha, pemberdayaan ekonomi petani,

akuntabilitas, dan transparansi. Langkah itu dilakukan untuk mengakomodir perilaku

petani saat ini yang makin kritis dan menghindari krisis kepemimpinan serta

kepercayaan diantara anggota dan pengurus Gapoktan. Pada tahap awal

diperlukan inventarisasi potensi dan kelas Gapoktan. Model-model pengembangan

spesifik lokasi perlu dikembangkan pada daerah lain yang hampir sama.

6) Untuk meningkatkan akses petani terhadap sumber pembiayaan, lembaga

keuangan mikro bukan bank perlu terus dikembangkan sebagai kompetitor bagi para

rentenir yang selama ini melayani petani. Pada saat yang sama, peningkatan akses

Page 34: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

33

petani terhadap bank perlu terus dilakukan antara lain melalui: (a) peningkatkan

kapasitas kelompoktani sehingga dapat mengelola kebutuhan dana para

anggotanya secara kolektif dan (b) menggunakan apalis lokal (kios saprodi,

penggilingan padi, dll ) sebagai penjamin petani kepada bank.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2000. Teknologi Budidaya Bawang Merah. Departemen Pertanian, Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Ungaran.

Anonimous. 1999. Budidaya Jagung Di Lahan Kering. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertaanian, Pertanian Kota Baru Jambi, Anonimous. 1991. Rekomendasi Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan.

Departemen Perttanian, Balai Informasi Pertanian Kalimantan Barat, Pontianak. Anwar, C. 2006. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Makalah, disampaikan

pada pelatihan ”Tekno Ekonomi Agribisnis Karet” tanggal 18 Mei 2006 di Jakarta oleh PT. FABA Indonesia Konsultan. Pusat Penelitian Karet, Medan.

Bappenas. 2006. Gambaran Rumah Tangga dan Tenaga Kerja Pertanian: Pendekatan

untuk mengetahui “Siapa Petani Indonesia”. Direktorat Pangan dan Pertanian, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.

BPS. 2003. Sensus Pertanian 2003: Data Angka Nasional SP 2003 dalam bentuk CD.

Jakarta-Indonesia. BPS. 2002 dan 2005. Survey Social Ekonomi Nasional 2002 dan 2005. Data dalam

bentuk CD. Jakarta-Indonesia. Damiri, A. 1998. Budidaya Bawang Merah. Departemen Pertanian, BPTP Sukaramai,

Instalasi Penelitian dan Penegkajian Teknologi Pertanian, Bengkulu. Egbert de Vries. 1985. Pertanian dan Kemiskinan di Jawa. Yayasan Obor Indonesia

dan PT. Gramedia, Jakarta. Ilham, N. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan dan

Dampaknya pada Stabilitas Ekonomi Makro. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Maryati dan Wiryatmi. 1996. Budidaya Bawang Merah di Yogyakarta. Departemen

Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, BPTP Ungaran, Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Yogyakarta.

Page 35: ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN INDONESIApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NYK_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian 2007 ANALISIS PROFIL PETANI DAN PERTANIAN

34

Ramdan, H., Yusran dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint, Bandung.

Stevens, R. D. And J. L. Jabara. 1988. Agricultural Development Principles: Economic

Theory and Empirical Evidence. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London.

Sumaryanto. 2004. Usahatani dan Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi: Studi

Kasus di Persawahan DAS Brantas. Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Penyunting: F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

Suradisastra, K., M. Yusron, A. Saefudin, dan R. Hardianto. 1990. Analisis

Agroekosistem Kabupaten Manokwari, Irian Jaya. Badan Litbang Departemen Pertanian bekerjasama dengan PSL Universitas Cenderawasih dan The Ford Foundation, Jakarta.