analisis terhadap upaya penegakan hukum …

15
ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM PERDAGANGAN ILEGAL SATWA YANG DILINDUNGI (STUDI KASUS : PERDAGANGAN ILEGAL TRENGGILING) Bimo Kesuma Adi 1 dan Harsanto Nursadi 2 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Lebih dari 10-20% jenis tumbuhan dan satwa yang ada di dunia berada di wilayah Indonesia. Namun sekarang ini keberadaan sumber daya alam hayati dan ekosistem di Indonesia sedang terancam. Hal ini disebabkan beberapa factor yang salah satu diantaranya adalah banyaknya jumlah perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur bahwa perdagangan satwa liar dilindungi sebagai suatu tindak pidana. Indonesia yang meratifikasi CITES pada tahun 1978 juga harus mengikuti ketentuan CITES dalam mengatur dan mengupayakan perlindungan hukum terhadap perdagangan satwa liar dilindungi. Skripsi ini mengambil studi kasus perdagangan ilegal Trenggiling sebagai satwa yang dilindungi. Sejak bulan Oktober 2016, Trenggiling telah dimasukkan dalam daftar Appendiks I CITES sehingga perdagangan dalam negeri maupun luar negeri adalah dilarang kecuali untuk tujuan non-komersil maupun keadaan luar biasa. Namun hingga saat ini perdagangan Trenggiling masih dapat ditemukan. Hal ini menunjukkan penegakan hukum dalam peraturan nasional masih belum dapat dilakukan secara optimal. Hal ini dapat terjadi karena masih banyak aparat penegak hukum yang belum menyadari dan mengerti secara penuh ancaman terhadap ekosistem ketika perdagangan satwa liar marak terjadi. Sehingga diperlukan perbaikan pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar ini. Analysis on Law Enforcement of Illegal Wildlife Trade (Case Study : Pangolin Ilegal Trade) Abstract Indonesia is a country which has high biodiversity.10-20% of plant and animal species in this world are exist in Indonesia. But nowadays the existence of natural resources and ecosystems in Indonesia are being threatened. Endangerment of their lives caused by several factor, one of which is the number of illegal wildlife trade in Indonesia which grows rapidly. Law No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems rules that trading protected species is a crime. Indonesia as a country who has ratified CITES in 1978 should follow the convention to sought the regulation which create the law to protect wildlife species. This thesis will take case study of Pangolin (Manis javanica) illegal trade. Since October 2016, Pangolin has been put to the list of Appendix I CITES which means the trade of this species is prohibited except for non-commercial purpose or extraordinary reasons. This shows that law enforcement against illegal wildlife trade as stipulated in Indonesia Law cannot be executed optimally. This can happen because many of the law enforcers do not fully understand the threats of wildlife illegal trade to the ecosystem destruction. So it is necessary to improve all factors that affect law enforcement against criminal acts such wildlife trade. Pendahuluan Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM PERDAGANGAN ILEGAL SATWA YANG DILINDUNGI (STUDI

KASUS : PERDAGANGAN ILEGAL TRENGGILING)

Bimo Kesuma Adi1 dan Harsanto Nursadi2

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Lebih dari 10-20% jenis tumbuhan dan satwa yang ada di dunia berada di wilayah Indonesia. Namun sekarang ini keberadaan sumber daya alam hayati dan ekosistem di Indonesia sedang terancam. Hal ini disebabkan beberapa factor yang salah satu diantaranya adalah banyaknya jumlah perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur bahwa perdagangan satwa liar dilindungi sebagai suatu tindak pidana. Indonesia yang meratifikasi CITES pada tahun 1978 juga harus mengikuti ketentuan CITES dalam mengatur dan mengupayakan perlindungan hukum terhadap perdagangan satwa liar dilindungi. Skripsi ini mengambil studi kasus perdagangan ilegal Trenggiling sebagai satwa yang dilindungi. Sejak bulan Oktober 2016, Trenggiling telah dimasukkan dalam daftar Appendiks I CITES sehingga perdagangan dalam negeri maupun luar negeri adalah dilarang kecuali untuk tujuan non-komersil maupun keadaan luar biasa. Namun hingga saat ini perdagangan Trenggiling masih dapat ditemukan. Hal ini menunjukkan penegakan hukum dalam peraturan nasional masih belum dapat dilakukan secara optimal. Hal ini dapat terjadi karena masih banyak aparat penegak hukum yang belum menyadari dan mengerti secara penuh ancaman terhadap ekosistem ketika perdagangan satwa liar marak terjadi. Sehingga diperlukan perbaikan pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar ini.

Analysis on Law Enforcement of Illegal Wildlife Trade (Case Study : Pangolin Ilegal Trade)

Abstract

Indonesia is a country which has high biodiversity.10-20% of plant and animal species in this world are exist in Indonesia. But nowadays the existence of natural resources and ecosystems in Indonesia are being threatened. Endangerment of their lives caused by several factor, one of which is the number of illegal wildlife trade in Indonesia which grows rapidly. Law No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems rules that trading protected species is a crime. Indonesia as a country who has ratified CITES in 1978 should follow the convention to sought the regulation which create the law to protect wildlife species. This thesis will take case study of Pangolin (Manis javanica) illegal trade. Since October 2016, Pangolin has been put to the list of Appendix I CITES which means the trade of this species is prohibited except for non-commercial purpose or extraordinary reasons. This shows that law enforcement against illegal wildlife trade as stipulated in Indonesia Law cannot be executed optimally. This can happen because many of the law enforcers do not fully understand the threats of wildlife illegal trade to the ecosystem destruction. So it is necessary to improve all factors that affect law enforcement against criminal acts such wildlife trade.

Pendahuluan

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 2: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

Indonesia sebagai negara dengan kekayaan alam yang berlimpah memiliki tanggung jawab untuk melestarikannya dan terhindar dari ancaman kerusakan terhadapnya. Namun sayangnya disebabkan berbagai faktor perusak, seperti bencna alam ataupun motif ekonomi yang dimiliki manusia,membuat eksploitasi terhadap sumber daya alam semakin marak sehingga mengancam keberlangsungan ekosistem dan sumber daya alam di dalamnya. Adapun sumber daya alam yang dieksploitasi yaitu sumber daya alam nabati (flora) dan hewani (fauna). Salah satu faktor perusak yang menjadi perhatian utama dunia adalah perdagangan satwa liar yang semakin banyak dan sulit dikontrol, terutama yang dilakukan secara ilegal. Untuk itu, pada tahun 1960 dibentuklah CITES yang merupakan konvensi internasional hasil persetujuan 181 negara dalam upaya pelestarian satwa-satwa liar dengan cara mengatur batas kuota perdagangan bagi satwa-satwa di seluruh dunia. Indonesia telah meratifikasi CITES pada tahun 1978 dan resmi menjadi negara anggotanya. DEngan menjadi anggota, maka Indonesia dibebankan untuk membuat peraturan nasional dalam rangka melindungi satwa liar dan mengatur tata caara perdagangannya. Untuk itu, pada tahun 1990, Indonesia membuat dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya sebagai bentuk nyata dari upaya pelestarian yang dibebankan oleh CITES. Peratruran lain pun ditambahkan untuk melengkapi undang-undang tersebut, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003. Walaupun telah lama berlaku, sayangnya penerapan dari peraturan-peraturan tersebut tampaknya masih jauh dari kata sempurna. Faktanya, masih saja terjadi banyak perdagangan satwa liar yang dilindungi undang-undang terjadi di Indonesia, salah satunya trenggiling (Manis javanica). Tercatat lebih dari 50 kasus perdagangan ilegal trenggiling terjadi di dalam negeri, dengan jumlah trenggiling yang menjadi korban lebih dari puluhan ribu ekor, baik dalam keadaan mati maupun masih hidup. Trenggiling menjadi salah satu objek dagang yang paling laris di dunia internasional, dengan tujuan utama ke Cina dan Vietnam, dimana trenggiling dianggap sebagai obat dan makanan yang berkhasiat bagi warga disana. Bahkan lebih parah lagi, trenggiling disebut-sebut diperdagangkan sebagai bahan pembuatan narkotika.

Tinjauan Teoritis

Perlindungan hukum terhadap satwa yang dilindungi di lingkup internasional diatur dalam CITES. CITES merupakan konvensi yang dibentuk oleh dunia internasional dengan tujuan melestarikan spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar tertentu, yang dianggap harus diberikan perhatian dan perlindungan lebih agar terhindar dari kepunahan dengan menerapkan sistem izin ekspor impor antar negara. CITES memberikan tingkatan spesifikasi spesies terancam punah dengan membentuk Appendiks I, Appendiks II, dan Appendiks III. Appendiks I berisi daftar spesies langka yang digolongkan dalam pengaturan dan pengawasan paling ketat dalam sistem perdagangan, Appendiks II berisi daftar spesies yang masih dimungkinkan untuk diperdagangkan dengan persyaratan tertentu, Appendiks III berisi spesies-spesies yang harus diawasi kegiatan perdagangannya oleh seluruh pihak. CITES menerapkan sistem izin ekspor impor yang ketat dengan membentuk lembaga Management Authority dan Scientific Authority di setiap negara anggota. Management Authority berfungsi untuk menerbitkan surat izin impor ekspor dan memastikan bahwa negara importir dapat menjaga spesies dengan baik. Untuk mengeluarkan izin tersebut, Management Authority harus mendapatkan rekomendasi dari Scientific Authority yang memastikan kegiatan ekspor impor tersebut tidak akan berdampak buruk populasi dan habitat spesies tersebut di tempat asal. Indonesia sebagai negara anggota CITES telah menerapkan regulasi ini dalam PP no.8 Tahun 1999, dimana dalam pasal 66 dijelaskan bahwa Departemen yang bertanggung jawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas Pengelola (Management Authority) dan LIPI ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan (Scientific Authority). Selanjutnya dalam KepMenhut No.104/Kpts-II/2003, Direktur Jenderal PHKA ditetapkan sebagai pelaksana otoritas pengelola (Management Authority) CITES di Indonesia dan dalam Keputusan Ketua LIPI no. 1973 tahun 2002, Pusat Penelitian Biologi ditetapkan sebagai Pelaksana Harian Otorita Keilmuan (Scientific Authority). Perlindungan hukum terhadap satwa yang dilindungi di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu :

a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini bertujuan untuk memastikan penggunaan sumber daya alam secara berkesinambungan untuk mendukung kesejahteraan dan kualitas hidup manusia. Undang-undang ini mengatur megenai pelestarian dan konservasi flora dan fauna, ekosistem, wilayah lindung, penggunaan sumber daya alam berkesinambungan, dan menerangkan proses penyidikan, hukuman, dan sanksi bagi kejahatan yang disebutkan dalam undang-undang ini.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 memberikan daftar spesies flora dan fauna yang dilindungi dan mengenai habitat mereka, memberikan aturan sebagai upaya pelestarian, menunjuk institusi konservasi, memberikan aturan mengenai pengiriman dan pengangkutan spesies yang dilindungi, dan kontrol serta monitoring secara menyeluruh terhadap spesies-spesies yang dilindungi. Kegiatan perlindungan terhadap spesies yang dilindungi membutuhkan kontrol dan monitoring yang dilakukan oleh lembaga penegakan hukum yang berwenang dengan menggunakan aksi penegakan yang bersifat pencegahan dan pengendalian tindak kejahatan.

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 3: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

c. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 memberikan aturan mengenai bagaimana melaksanakan undang-undang sehubungan dengan kegiatan komersial (penangkaran, perdagangan, peragaan komersial, dan budidaya tanaman obat) dan penggunaan untuk tujuan non-komersial (penelitian dan peragaan non-komersil). Di dalam peraturan ini menetapkan sanksi klasifikasi dan kuota tumbuhan dan satwa liar di Indonesia. Selain mengandalkan hukuman dan sanksi yang disebutkan oleh UU No.5 tahun 1990, Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1990 juga menyebutkan sanksi administratif.

d. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 mengatur mengenai tata cara pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar, penetapan kuota penangkapan, pengaturan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam setiap kegiatan pemanfaatannya serta menentukan aturan mengenai impor dan ekspor tumbuhan dan satwa liar. Selain itu Keputusan Menteri ini juga mengatur mengenai iuran pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar serta menggariskan kewajiban kepada Dirjen PHKA untuk melakukan koordinasi dengan pihak Direktur Jenderal Bea Cukai, Kepolisian Republik Indonesia dan Karantina.

Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan dan wawancara. Penelitian kepustakaan diperoleh dari perpustakaan, terutama dari sumber bacaan seperti buku, makalah, jurnal, mauapun skripsi yang berkaitan dengan materi seputar penegakan hukum perdagangan ilegal satwa yang dilindungi. Sementara wawancara adalah alat pengumpulan data dengan bertanya langsung kepada narasumber. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder dimana jenis data ini merupakan data langsung yang diperoleh dari kepustakaan. Adapun data sekunder yang didapat melalui studi kepustakaan meliputi bahan-bahan hukum sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan dalam skripsi ini antara lain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru, Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Jenis Tumbuhan dan Satwa, Surat Keputusan Menteri Kehutanan no. 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, dan Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi tentang Tindak Pidana Perdagangan Ilegal Satwa Liar yang Dilindungi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang isinya menjelaskan mengenai bahan primer. Bahan hukum sekunder ini berupa tulisan para ahli atau penulis lainnya yang terkait dengan penegakan hukum perdagangan illegal satwa yang dilindungi.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan penunjang bahan hukum primer dan sekunder, antara lain Kamus Bahasa Inggris.

Hasil Penelitian

Dalam beberapa tahun terakhir, trenggiling mendapatkan cukup banyak sorotan terkait semakin banyaknya perdagangan ilegal trenggiling yang terjadi di seluruh dunia, sehingga pada Oktober 2016 trenggiling dimasukkan menjadi spesies dalam daftar Appendiks I CITES. Hal ini berarti trenggiling tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan perdagangan komersil amupun non-komersil manapun, kecuali keadaan tertentu untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dan sebagainya, yang membutuhkan tanda tangan langsung dari presiden. Keberadaan trenggiling di Indonesia saat ini sangat terancam akibat perburuan liar dan kerusakan habitat. Trenggiling termasuk dalam satwa liar yang paling banyak diburu dan diperdagangkan secara ilegal ke luar negeri. Terlebih, perburuan trenggiling sangat mudah dilakukan oleh pemburu ulung maupun masyarakat biasa sekalipun, karena sifat trenggiling yang melindungi diri dari ancaman bukan dengan berlari menjauh atau bersembunyi, melainkan melingkarkan tubuhnya di tempat. Adapun tujuan negara-negara yang dituju adalah seperti Hongkong, China, Singapura, Laos, dan Vietnam. Bagian tubuh trenggiling yang banyak dimanfaatkan adalah daging dan bagian-bagian tubuh lainnya seperti lidah, sisik, dan empedu yang dipercaya sebagai obat tradisional. Daging trenggiling berkhasiat sebagai afrodisiak, yaitu bahan yang sering dipergunakan untuk dijadikan bahan utama pembuatan obat kuat pria karena dipercaya dapat meningkatkan libido. Nama afrodisiak sendiri berasal dari kata Aphrodite yang dalam mitologi Yunani mengandung arti dewi kecantikan dan cinta. Afrodisiak terbagi dalam dua kelompok yaitu factor psikofisiologikal dan factor internal yakni makanan, minuman beralkohol, obat-obatan dan perawatan kesehatan. Sisik trenggiling mengandung zat Tramadol HCL,

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 4: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

yaitu zat aktif yang bersifat analgesic (mengatasi nyeri), yang juga diduga dijadikan bahan pembuatan psikotropika sabu dikarenakan fungsinya tersebut.

Menurut Direktur Lembaga Protection of Forest and Fauna (PROFAUNA) Indonesia, angka perburuan dan perdagangan satwa liar yang dilindungi di wilayah Indonesia masih tinggi, yakni mencapai 22 kasus sepanjang Januari hingga Juni 2014. Dari 22 kasus perdagangan dan perburuan satwa liar ini, ribuan ekor satwa yang dilindungi berhasil disita. Sejumlah satwa liar yang diperdagangkan secara illegal tersebut, diantaranya adalah jenis orangutan, kukang, lutung jawa, ungkolar, siamang, burung kakatua, penyu hijau, cendrawasih, opsetan kulit harimau sumatera, gading gajah, dan salah satunya adalah trenggiling baik dalam bentuk utuh maupun olahan. Direktorat Jenderal Konservasi Keanekaragaman Hayati bahkan menyebutkan terdapat sebanyak 56 kasus pelanggaran hukum terhadap trenggiling dalam kurun tahun 2005 sampai dengan awal tahun 2014. Sementara dari tahun 2005 hingga 2014 tercatat 56 kasus perdagangan ilegal yang mengorbankan sebanyak hampir 11.000 ekor trenggiling diambil dan hilang dari habitatnya. Sebanyak 23 kasus terjadi di daerah Sumatera Utara, diikuti dengan Jawa Timur sebagai daerah dengan kasus kedua terbanyak sejumlah 7 kasus, DKI Jakarta sebanyak 6 kasus, Kalimantan Tengah dan Lampung sebanyak masing-masing 2 kasus, serta Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Bali dengan masing-masing 1 kasus. Kasus perdagangan ilegal yang terjadi semuanya tercatat dilakukan oleh pihak perorangan di masyarakat.

Setelah data diatas, tercatat kembali berbagai kasus perdagangan ilegal trenggiling yang terjadi di Indonesia. Pada bulan April 2015, kepolisian darah Sumatera Utara bersama Wildlife Conservation Society (WCS) berhasil membongkar sindikat perdagangan trenggiling di sebuha gudang kawasan industry, Kompleks Niaga Malindo, Medan, Sumatera Utara. Seorang pria berinisial Abeng ditetapkan sebagai tersangka dan empat orang lain sebagai saksi dari sindikat ini dengan barang bukti sitaan yaitu 3.400 kg lebih daging trenggiling yang sudah dikuliti, 96 ekor trenggiling hidup, dan 70 kg sisik trenggiling. Dari hasil penyidikan kasus ini, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 23,5 miliar. Sindikat ini diketahui berhasil ditangkap pihak kepolisian setelah mendapat informasi dari warga setempat dan melakukan penjajakan selama 4 hari. Rencananya barang bukti yang disita ini akan dikirimkan ke negara Malaysia dan Cina. Dari hasil penyidikan juga diketahui cara penyelundupan barang bukti sitaan ini, yaitu dengan mengangkutnya melalui kapal-kapal kecil sampai ke titik tertentu di wilayah laut dimana akan bertemu dengan kapal besar yang sudah menunggu untuk langsung mengangkutnya menuju ke negara tujuan. Dalam hasil penyidikan pula, diketahui trenggiling-trenggiling ini dijual dengan harga yang mahal yaitu sekitar Rp 500.000,- sampai dengan Rp 800.000,- per ekornya. Dalam pasar gelap internasional, daging trenggiling dapat dihargai sebesar 300 US Dollar per kilogram, dan sisik trenggiling mencapai 3.000 US Dollar per kilogram. Hal ini dikatakan pihak penyidik memberikan keuntungan hingga milyaran rupiah bagi pihak pelaku yang telah dari sekitar 5 ton daging trenggiling yang sudah maupun akan dijual. Penegakan hukum pada kasus ini berlanjut sampai proses pengadilan, dimana penuntut umum hanya menuntut pidana penjara selama 2 tahun penjara dan membuat majelis hakim memutuskan untuk memberikan vonis sebesar itu dengan pertimbangan pelaku sudah berusia lanjut, serta bukan merupakan otak sesungguhnya dari sindikat perdagangan ilegal ini alias hanya sebagai pesuruh. Didapat informasi dari jurnalis yang ada di persidangan tersebut bahwa terdapat beberapa oknum yang diduga merupakan anggota sindikat yang belum tertangkap mencoba untuk melakukan suap kepada para pihak hakim dan penuntut umum agar meringankan hukuman terdakwa. Pun dilakukan pula kepada para wartawan dan jurnalis yang hadir untuk tidak mempublikasikan kasus ini secara massal. Terlepas dari adanya informasi percobaan penyuapan ini, putusan pidana penjara selama 2 tahun oleh pihak hakim dirasa masih jauh dari kata cukup untuk memberikan efek jera dan kekuatan penegakan hukum pada tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar.

Pada Agustus 2016, Polda Jawa Timur menangkap seorang pria berusia 55 tahun yang identitasnya tidak disebutkan, dan telah ditetapkan sebagai tersangka setelah diketahui menyimpan lebih dari 650 ekor trenggiling di lemari pembeku di rumahnya yang berlokasi di Jombang, Jawa Timur. Tertangkapnya pelaku berhasil dilakukan setelah mendapat informasi dari warga masyarakat sekitar yang curiga dengan banyaknya lemari pembeku di rumah tersebut. Karena tindakannya, tersangka menghadapi tuntutan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp 100 juta dari pihak penuntut umum di pengadilan.

Pada bulan Oktober 2016, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPH-LHK) wilayah Kalimantan berkoordinasi dengan Polda Kalimantan Barat berhasil menyita dan mengamankan sebanyak 40 trenggiling beku hasil penggerebekan di sebuah rumah di Pontianak. Penyidikan ini dilakukan setelah mendapatkan informasi dari LSM Scorpion Wildlife Trade Monitoring Group bahwa terdapat aktivitas penyelundupan satwa liar yang dilindungi di daerah tersebut. Sebanyak 40 ekor trenggiling beku dengan sisiknya yang telah dikuliti seberat 200 kilogram, 1 buah opset trenggilling, serta 1 ekor trenggiling hidup berhasil diamankan sebagai barang bukti. Dua warga yang berada di lokasi tempat penggerebekan tersebut diamankan, yaitu warga berinisial LN yang ditetapkan sebagai tersangka serta AB sebagai saksi. Mesik begitu, pihak penyidik tetap memburu pelaku lain karena meyakini bahwa kegiatan penyelundupan ini merupakan bagian dari

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 5: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

aksi dan rencana tersktruktur sebuah sindikat penyelundupan. Banyaknya jalur tikus diantara perbatasan Indonesia dan Malaysia (Sarawak) menjadi sarana sindikat ini dalam menyelundupkan trenggilingnya ke Malaysia, serta membuat pergerakan penyelundupannya menjadi sulit dikontrol oleh aparat penegak hukum. Menurut informasi dari investigator senior LSM Scorpion, perdagangan ilegal ini masih dilakukan walaupun telah ada kesadaran dari masyarakat setempat bahwa trenggiling merupakan satwa dilindungi. Namun karena tingginya harga di pasar internasional membuat trenggiling menjadi jenis satwa liar yang paling diburu masyarakat.

Masih pada bulan Oktober 2016, Polda Jambi bekerjasama dengan Polda Metro Jaya berhasil mengungkap penyelundupan sisik trenggiling yang melibatkan jaringan internasional. Sebanyak 2,5 ton daging trenggiling dan 279 kilogram sisik trenggiling berhasil disita dan diamankan sebagai barang bukti dari gudang penyimpanan yang berlokasi di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Tiga tersangka diamankan dalam kejadian ini yaitu SM dan WMA warga lokal dan satu orang berinisial YKY yang diketahui merupakan warga negara Malaysia. Daging trenggiling ini dijual dengan harga 400 US Dolar per kilogram dan sisiknya dijual sebesar 3 juta rupiah per kilogramnya. Dari barang bukti yang diamankan ditaksir nilainya mencapai 7 miliar rupiah. Barang bukti ini disimpan dalam lemari pendingin ukuran besar dan siap untuk dipasarkan ke Singapura, Taiwan, Tiongkok, dan Malaysia. Dari hasil penyidikan diketahui bahwa daging trenggiling diminta pasar untuk dijadikan obat kuat di sejumlah wilayah. Tersangka YKY asal Malaysia juga membeikan pengakuan bahwa sisik trenggiling yang akan dijualnya akan dijadikan bahan baku pembuatan narkoba. Informasi terakhir menyebutkan bahwa berkas perkara kasus ini telah dilengkapi oleh pihak penyidik untuk dilimpahkan kepada pihak penuntut umum untuk kemudian diproses dalam pengadilan.

Yang patut menjadi perhatian adalah dari data 56 kasus yang terjadi di tahun 2005 sampai 2014, hanya sebanyak 17 kasus yang dapat diproses ke pengadilan dan mendapat putusan hakim. Sisanya sebanyak 39 kasus lain terhenti proses penegakan hukumnya pada tahapan penyidikan, peyelidikan, P 19, maupun P 21. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah terdapat kasus perdagangan ilegal di Jawa Timur yang diketahui melibatkan jumlah besar trenggiling, yaitu sebanyak 1135 ekor yang rencananya akan dikirimkan ke Hongkong, berhenti hanya sampai tahap penyidikan. Hal ini menurut pihak penegak hukum merupakan akibat dari sulitnya mendapat bukti yang lengkap apabila tindak pidana ini tidak tertangkap tangan. Apabila tidak tertangkap tangan, maka dapat diasumsikan akan terdapat waktu bagi pihak pelaku untuk dapat menyembunyikan identitas mereka maupun saksi dan alat bukti lain sebelum pihak penegak hukum dapat menemukannya. Hal ini jelas menyulitkan para penegak hukum karena banyak terdapat kasus perdagangan ilegal yang tidak tertangkap tangan dalam proses penangkapannya.

Dalam penelitian ini, penulis mengambil tiga kasus yang telah mendapat kekuatan hukum tetap untuk melihat bagaimana sudut pandang aparat penegak hukum di pengadilan dalam menyikapi tindak pidana perdagangan satwa dilindungi ini. Kasus yang pertama diambil pada putusan nomor 98/ Pid.Sus/2014/PN.PL.R. Dalam kasus ini diawali oleh saksi Agus Efendi bin Dealson Biem, saksi Yahya Suryanata SH. Bin Yohn Wilfried dan saksi Andhik Setiawan dimana ketiganya merupakan anggota Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) yang mendapatkan informasi mengenai adanya kepemilikan dan penyimpanan satwa liar dilindungi oleh terdakwa Yunendi alias Nendi bin Memet Itun. Informasi yang didapat menyebutkan bahwa satwa liar dilindungi yang diketahui spesies trenggiling itu disimpan dalam sebuah gudang di Jalan binjai RT. 04 Kelurahan Kalawa, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Setelah dilakukan penggeledahan di dalam gudang tersebut, ditemukan sebanyak 90 ekor trenggiling dalam keadaan mati yang dibungkus kantong plastic, 35 bungkus isi perut trenggiling yang disimpan dalam 3 unit freezer (lemari pendingin). Terdakwa mendapatkan satwa trenggiling tersebut dari hasil berburu sendiri maupun membeli dari pemburu-pemburu lain dengan harga Rp. 200.000,-/kg. Dari trenggiling yang didapatnya, terdakwa sudah pernah menjual sebanyak 3 kali dalam kurun waktu 4 bulan tanpa izin yang sah dengan cara memasukkannya ke dalam boks yang akan dibawa dengan mobil pick up ke pelabuhan Trisaksi di Banjarmasin. Sesampainya di pelabuhan, terdakwa menitipkan boks-boks tersebut kepada sopir-sopir truk yang mengangkut barang ke Surabaya. Di Surabaya, pihak pembeli akan berkomunikasi dengan sopir truk yang tersebut untuk mengambil boks-boks pesanannya. Diketahui dari kegiatan ini terdakwa dapat memperoleh keuntungan sebanyak Rp 59.750.000,- dari total lebih kurang 500 kg trenggiling yang terjual. Atas perbuatannya ini, terdakwa dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum telah melakukan tindak pidana dengan sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati, sebagaimana melanggar pasal 40 ayat (2) Jo. pasal 21 ayat (2) huruf b Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Bahwa dalam putusannya, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 3 bulan dan denda sebesar Rp. 500.000,- dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar, maka harus diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 6: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

Kasus kedua yaitu putusan nomor 256/Pid. Sus/2011/PN. Psp. Dengan terdakwa Predi Manulang. Kasus ini bermula dari informasi masyarakat yang didapat anggota Sat Reskrim Polres Tapsel bahwa ada 1 unit mobil Truk Fuso yang sedang beroperasi bermuatan 3 buah keranjang plastik kara, yang diduga berisikan satwa dilindungi. Setelah berhasil menemukan lokasi truk dan melakukan pencegatan, penyetopan, dan penangkapan, ditemukan 39 ekor jenis trenggiling di dalam muatan truk tersebut. Seluruh trenggiling tersebut didapat terdakwa dengan cara membeli dan mengumpulkannya dari pemburu-pemburu sekitar. Trenggiling-trenggiling tersebut rencananya akan dibawa dan dijual ke kota Medan, Sumatera Utara tanpa mengantongi surat izin yang sah dari negara. Atas perbuatannya tersebut, terdakwa dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum telah melakukan tindak pidana dengan sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati, sebagaimana melanggar pasal 40 ayat (2) Jo. pasal 21 ayat (2) huruf b Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1990. Selanjutnya di dalam putusan, Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 7 bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka harus diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.

Kasus ketiga mengambil kasus putusan nomor : 278/ Pid.Sus/2016/PT-MDN dengan terdakwa Adi Sutrisno dan Taufik. Kasus ini bermula pada bulan Noveber 2015 dimana kedua terdakwa yang bekerja sebagai nelayan sekaligus nahkoda KM Rezeki Abadi bersama-sama dengan dua terdakwa lain (berkas perkara terpisah) atas perintah Anto (terdakwa lain yang belum tertangkap) menaiki KM Rezeki Abadi yang bermuatan trenggiling sebanyak 103 (seratus tiga) ekor, dengan rincian 94 ekor dalam keadaan hidup dan 9 ekor dalma keadaan mati tanpa sisik. Para terdakwa rencananya akan membawa trenggiling-trenggiling ini sampai tengah laut wilayah selat malaka perairan penang Malaysia, sebelum diketahui dan ditangkap oleh pihak Ditpolairda Sumatera Utara ketika melaklukan patrol di daerah tersebut. Pihak ditpolairda dalam menemukan kapal bermuatan trenggiling yang siap dijual ini tidak menemukan dokumen-dokumen sah atas muatan tersebut yang dibawa oleh nahkoda kapal. Bahwa setelah berkas perkara hasil penyidikan dirasa telah lengkap, jaksa penuntut umum menuntut agar hakim menjatuhkan pidana masing-masing selama dua tahun dipotong masa tahanan sementara dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- dengan tuntutan bahwa para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 21 ayat (2) huruf a jo. Pasal 40 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1990. jo Pasal 55 ayat (1) KUHP dan kedua Pasal 21 ayat (2) huruf b jo Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang R.I. Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Bahwa terhadap tuntutan penuntut umum, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan telah menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun 3 bulan dikurangi masa tahanan dengan denda sebesar Rp. 50.000.000,- dengan pertimbangan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dituntut pihak penuntut umum. Terhadap putusna yang diberikan majelis hakim, pihak penuntut umum malah keberatan dengan pidana penjara yang dijatuhkan karena dirasa terlalu memberatkan terdakwa, oleh karena itu mengajukan banding kepada pengadilan tinggi Medan. Dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan setelah membaca memori banding pihak penuntut umum, menyatakan untuk mengambil alih kasus dan memperbaiki putusan pengadilan negeri Medan yang dirasa belum cukup untuk memberikan efek jera bagi pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya. Maka dari itu dalam putusannya hakim memberikan pidana penjara 2 tahun 6 bulan kepada masing-masing terdakwa, ditambahkan 3 bulan lebih, dengan pertimbangan terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan dengan sengaja turut serta mengangkut dan memperniagakan satwayang dilindungi dalam keadaan hidup.

Pembahasan

Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, kegiatan perdagangan trenggiling secara ilegal di Indonesia terhitung banyak terjadi. Data yang dihimpun dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) menyebutkan lebih dari 50 kasus terjadi yang melibatkan ribuan ekor trenggiling dijadikan bahan perdagangan. Sampai dengan tahun 2015, dimana trenggiling masih terdaftar dalam Appendix II CITES, praktek perdagangan secara tidak sah marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera. Sebagai hewan yang terdaftar dalam Appendiks II, trenggiling saat itu masih boleh diperdagangkan namun dengan batasan jumlah kuota untuk mengontrol jumlah perdagangan. Namun proses yang lebih mudah, cepat, dan murah dengan melakukan perdagangan tanpa melewati prosedur resmi, serta kontrol aparat hukum yang masih memiliki banyak celah, membuat perdagangan trenggiling secara ilegal marak dilakukan oleh oknum di masyarakat. Hal ini membuat jumlah perdagangan ilegal trenggiling di Indonesia menjadi tidak terkontrol. Perdagangan ilegal trenggiling diluar Indonesia, seperti di China, Vietnam, dan beberapa negara Afrika, bahkan jauh lebih banyak jumlahnya akibat permintaan yang tinggi akan daging dan sisiknya. Menurut ahli alam liar, hampir satu juta trenggiling di seluruh dunia diperdagangkan dalam satu dekade terakhir. Walau tidak ada yang

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 7: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

tahu dengan pasti berapa ekor jumlah trenggiling yang tersisa di seluruh dunia, para ahli meyakini jumlah yang ada sekarang suda sangat mengkhawatirkan dan menuju ambang kepunahan. Hal inilah akhirnya yang mendorong terbitnya keputusan untuk memasukkan trenggiling ke dalam daftar Appendiks I CITES dalam Conference of the Parties (CoP) Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) ke-17 di Johannesberg, Afrika Selatan pada Oktober 2016. Masuknya trenggiling ke dalam Appendiks I CITES berarti memberikan ketentuan melarang adanya perdagangan komersil trenggiling untuk alasan apapun, kecuali untuk keadaan yang luar biasa (exceptional circumstances), seperti untuk konservasi, hubungan antar negara, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Adapun jenis trenggiling hasil penangkaran generasi kedua (F2) diperbolehkan untuk diperdagangkan secara komersil, dengan syarat penangkaran tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh CITES. Untuk itu telah pemerintah telah berupaya membangun penangkaran trenggiling di Probolinggo, Jawa Timur, meskipun belum didaftarkan sebagai penangkaran yang layak oleh CITES. Sejak didaftarkan ke dalam Appendiks I di tahun 2016, belum tercatat adanya laporan pengiriman impor maupun ekspor trenggiling di Indonesia.

Penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa liar dibutuhkan institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum adalah orang yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Berkaitan dengan kejahatan terhadap satwa liar terdapat sejumlah institusi pada tingkat kabupaten, provinsi dan nasional yang terlibat secara langsung atau tidak langsung. Institusi-institusi tersebut yaitu:

a. Penegak Hukum: Kepolisian Negara Indonesia, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Mahkamah Agung (peradilan).

b. Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas kehutanan Provinsi/Kabupaten, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan Badan Lingkungan Hidup Regional;

c. Institusi Perdagangan dan Industri: Kementerian Industri dan Perdagangan, dan Bea Cukai. d. Pertanian: Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Perencanaan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional; e. Institusi Transportasi: Kementerian Perhubungan dan Pelabuhan; f. Institusi Budget dan Kebijakan: Kementerian Keuangan, gubernur, dan kepala desa; g. Institusi Penelitian: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi; h. Badan Koordinasi: Koordinasi Kementerian Politik dan Keamanan, dan Kementerian

Perencanaan Nasional. Menurut P. Nicolai dan kawan-kawan sarana penegakan hukum administrasi negara berisi (1) pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu (2) penerapan kewenangan sanksi pemerintahan. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. Pengawasan sebagai langkah preventif perdagangan illegal satwa yang dilindungi dilakukan pada tingkat kegiatan pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar, pengawasan peredaran dalam negeri, dan pengawasan ke dan dari luar negeri. Sedangkan sanksi sebagai langkah represif yang dimaksud adalah sanksi administrasi berupa denda administrasi, pembekuan serta pencabutan izin usaha. Penegakan hukum pidana dimulai pada tingkat Penyidikan. Penyidikan pidana untuk kasus yang berkaitan dengan satwa liar, KUHAP mengatur bahwa penyidikan kejahatan harus dilakukan oleh penyidik polisi atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang telah diberi kewenangan oleh hukum untuk melakukan penyidikan dan mengajukan kasus pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku. PPNS yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi adalah PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah sebagai berikut:

“(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.”

Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka dapat dipahami bahwa baik penyidik Polri dan penyidik PPNS memiliki kewenangan yang sama dalam hal penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan satwa yang

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 8: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

dilindungi. Namun, penyidik PPNS tidak memiliki kewenangan penuh sebagaimana halnya dengan penyidik Polri. Oleh karena itu, terdapat hal-hal yang harus dipenuhi oleh Penyidik PPNS dalam melakukan penyidikan misalnya berdasarkan Pasal 39 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1990 yaitu mengenai kewajiban penyidik PPNS untuk selalu melakukan koordinasi dengan penyidik Polri dan wajib melakukan laporan mengenai penyidikan yang dilakukan agar penyidik Polri dapat memberikan bantuan teknis kepada penyidik PPNS.

Mengenai tata cara pelaksanaan koordinasi antara penyidik Polri dan PPNS diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, penyidik Pegawai Negeri Sipil dan bentuk-bentuk Penanganan Swakarsa. Berdasarkan Pasal 9 PP No. 43 Tahun 2012, bantuan penyidik Polri kepada penyidik PPNS dapat berupa bantuan teknis seperti bantuan pemeriksaan ahli dalam rangka pembuktian serta bantuan upaya paksa yaitu bantuan kegiatan penindakan apabila undang-undang yang menjadi dasar bagi PPNS tidak memberikan kewenangan dalam hal penindakan. Penyidik PPNS melaksanakan penyidikan setelah mengetahui bahwa telah terjadi peristiwa yang merupakan tindak pidana yang termasuk ruang lingkup tugas dan wewenangnya. Pelaksanaan penyidikan ini dapat berasal dari laporan yang diberikan petugas atau pelapor, tertangkap tangan, dan diketahui secara langsung oleh penyidik PPNS.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 jo. Pasal 18 ayat (2) KUHAP, PPNS tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan kecuali dalam hal tertangkap tangan. Penangkapan atau penahanan hanya dapat dilakukan setelah sebelumnya melakukan koordinasi dengan Penyidik Polri. Selain itu, PPNS juga tidak dapat langsung mengirimkan catatan kasus ke jaksa. Sebaliknya mereka harus mengirimkan dokumen melalui penyidik polisi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun penyidik PPNS memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan satwa liar, penyidik PPNS dalam praktiknya tetap harus melakukan koordinasi dengan penyidik Polri agar proses penegakan hukum dapat berjalan baik

Beberapa hambatan ditemukan dalam proses penegakan hukum perdagangan ilegal satwa liar di Indonesia. Pada kasus-kasus perdagangan ilegal trenggiling sampai tahun 2015, tidak semua kasus berakhir di persidangan dan mendapatkan putusan hakim. Beberapa kasus bahkan ada yang dihentikan prosesnya sebelum sampai ruang persidangan karena dianggap kekurangan bukti oleh pihak penyidik Polri. Hal ini disebabkan masih sulitnya mendapatkan data yang akurat terkait saksi yang memadai serta koordinasi dengan penyidik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang terkadang menyulitkan, sebagaimana diutarakan Bapak Ari Wibawanto, pejabat Subdit Pemanfaatan Ditjen Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH). Menurut Beliau, dalam hal kasus tertangkap tangan penemuan bukti dan saksi yang memadai merupakan suatu hal yang mudah. Namun dalam kasus yang bukan tertangkap tangan, contohnya seperti laporan pengaduan penemuan barang bukti oleh pihak ketiga, rawan akan terjadinya permainan antara pihak ketiga dengan pelaku untuk mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Hal itu memunculkan resiko hilangnya barang bukti yang dapat mengakibatkan tidak dapat diprosesnya kasus tersebut secara hukum.

Koordinasi antara PPNS dengan penyidik Polri juga menurut Beliau dianggap menyulitkan karena dirasa memperpanjang birokrasi dan waktu penyidikan. Tidak adanya wewenang bagi PPNS untuk langsung mengajukan bukti dan data kasus yang didapat kepada pihak jaksa penuntut umum memperbesar kemungkinan menghilangnya bukti-bukti penting yang didapat di lapangan. Kemudian dalam prakteknya sering pula ditemui ketidaksepahaman antara PPNS dan penyidik Polri dalam menafsirkan kata “dan” di dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya yang berbunyi :

“Setiap orang dilarang untuk:

a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati…”

Dalam prakteknya, pihak PPNS menganggap bahwa apabila salah satu unsur tindakan hukum dalam pasal tersebut telah terpenuhi maka pelaku telah dapat dijerat oleh pasal ini. Sementara beberapa kali pihak penyidik Polri mendefinisikan bahwa dalam pasal ini seluruh unsur tindakan hukumnya harus berada dalam satu kesatuan, jadi untuk dapat dijerat hukum si pelaku harus telah melakukan seluruh tindakan di dalam pasal tersebut tanpa terkecuali. Hal ini selalu memunculkan kemungkinan pemberhentian proses penyidikan dikarenakan tidak cukupnya bukti oleh pihak penyidik Polri, yang mana keputusan akhir berada pada pihak penyidik Polri. Hal ini membuat pihak PPNS biasanya harus menyewa para ahli untuk mendukung argumen mereka dan meyakinkan

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 9: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

penyidik Polri untuk melanjutkan proses hukum, yang menyebabkan semakin berlikunya praktek penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar di Indonesia.

Dalam kasus-kasus perdagangan ilegal trenggiling hampir semuanya dilakukan oleh pelaku dalam negeri untuk kemudian dipasok kepada pihak-pihak di luar negeri, dengan tujuan akhir seperti China, Vietnam, dan Hongkong. Bahkan ditemukan dugaan adanya suatu sindikat yang bekerja dalam melakukan perdagangan ilegal trenggiling ini dalam kasus yang ditemukan di Jambi, dimana melibatkan warga negara Malaysia dan warga negara Indonesia. Dikarenakan kasus ini melintasi batas yurisdiksi antar negara, maka menjadi sebuah kesulitan bagi kepolisian maupun aparat hukum terkait di Indonesia dalam mengusut tuntas jenis kegiatan ilegal ini sampai ke akar-akarnya karena adanya indikasi pihak dari luar negeri yang ikut berperan. Jenis kegiatan ilegal yang dilakukan oleh suatu organisasi terstruktur dengan tujuan mencari keuntungan/profit yang dilakukan melewati batas negara biasa disebut sebagai Organized Crime. Untuk memerangi Organized Crime ini, maka diperlukan koordinasi antara Kepolisian Republik Indonesia dengan aparat hukum yang berwenang di lintas internasional, dimana dalam kasus ini dapat meminta bantuan International Criminal Police Organization atau biasa disebut INTERPOL. Dalam tugasnya, diambil dari website resmi INTERPOL, INTERPOL memiliki tugas untuk memfasilitasi kepolisian di 190 negara di dunia untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan, laporan investigasi dari para ahli, serta memberikan fasilitas yang aman yang dibutuhkan tiap kepolisian demi membantu kelancaran kepolisian negara-negara ini dalam menindak seluruh tindak pidana sampai tuntas.

Dalam usaha memperkuat upaya penegakan hukum dalam perdagangan satwa liar, pemerintah yang dalam hal ini diwakilkan oleh aparat hukum terkait, terus memberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kelestarian satwa liar lewat sarana seperti showcase di tempat-tempat perbelanjaan di kota-kota besar. Aparat hukum terkait dari tingkat kementerian hingga polisi hutan juga terus-menerus memberikan pemahaman kepada lingkungan masyarakat sekitar tempat mereka bekerja untuk terus bekerja sama memerhatikan kelestarian tumbuhan dan satwa liar yang ada di sekitarnya.

Adapun sosialisasi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan berdasarkan PerMen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P. 18 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, merupakan tanggung jawab Biro Hubungan Masyarakat. Dalam Pasal 108 menjelaskan Biro Humas memiliki kewenangan dalam melaksanakan penyiapan koordinasi, dan pengelolaan pemberitaan, publikasi, hubungan antar lembaga, dan informasi publik bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Pengelolaan pemberitaan, publikasi, serta informasi publik yang memadai merupakan jalan demi pengetahuan masyarakat yang lebih baik tentang pentingnya pelestarian hutan dan ekosistemnya, termasuk spesies-spesies yang dilindungi di dalamnya. Menurut Bapak Kepala Biro Humas, Pak Jati, sejauh ini Biro Humas KLHK terus berusaha mengoptimalkan upaya sosialisasi kepada msayrakat luas dengan cara mengadakan showcase atau semacam pameran-pameran tentang objek hutan yang sedang dalam rangka dilestarikan di pusat-pusat keramaian berbagai kota besar. Menurut Beliau, usaha ini cukup efektif dalam rangka meningkatkan kesadaran serta pengetahuan masyarakat akan pentingnya kewajiban menjaga ekosistem. Selain turun langsung ke masyarakat dengan menggelar pameran, biro humas secara rutin mempublikasikan tiap kegiatan maupun peristiwa penting terkait upaya pelestarian ekosistem yang terjadi di lingkungan KLHK lewat website resminya. Hal ini dilakukan demi menciptakan database yang memadai demi ketersediaan informasi masyarakat yang tidak mendapat akses langsung dari peristiwa atau kegiatan tersebut.

Kemudian dalam rangka peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dalam menjaga ekosisem, di dalam Bab XIV Permen No. 18 Tahun 2015 diberikan tanggung jawab kepada Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia terkait tujuan tersebut. Dalam pasal 1247 huruf e disebutkan salah satu tanggung jawab yang diemban Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia adalah untuk melakukan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan penyuluhan kehutanan, peerencanaan dan standardisasi, pengembangan sumber daya aparatur dan masyarakat di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, serta pengembangan generasi lingkungan. Bahwa untuk menciptakan kesadaran akan pentingnya melestarikan lingkungan di jajaran aparat hukum dan masyarakat merupakan tanggung jawab badan ini dengan melakukan berbagai penyuluhan maupun pelatihan secara langsung. Sasaran didiknya pada jajaran aparat hukum mulai dari tingkat pegawai di KLHK dan badan-badan terkait sampai polisi hutan, sementara pada jajaran masyarakat yang ditarget merupakan masyarakat yang tinggal di atau di sekitar ekosistem tempat tumbuhan/satwa dilindungi tinggal. Demi mencapai target ini, pada tahun 2016 badan ini diberikan anggaran sebesar 360,80 miliar rupiah. Walau dengan anggaran yang cukup besar, dana ini dirasa masih belum optimal dalam pelaksanaannya dikarenakan luasnya target sumber daya manusia-nya maupun masalah koordinasi antar daerah yang masih kerap menemui kendala karena keterbatasan jarak dan waktu.

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 10: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

Peningkatan keamanan serta memperketat penjagaan dengan menambah jumlah sumber daya manusia di setiap pintu keluar-masuk negara, seperti di setiap bandara internasional dan pelabuhan-pelabuhan di seluruh Indonesia, juga menjadi prioritas utama demi mencegah aktifitas ekspor-impor tumbuhan dan satwa liar secara ilegal. Hal ini harus menjadi perhatian lebih karena sumber daya manusia yang berwenang memeriksa keluar masuknya satwa liar lewat pintu-pintu terluar di Indonesia masih kalah jauh dibanding sumber daya di bidang pemeriksaan lain. Sebagai perbandingan, di bandara Soekarno-Hatta jumlah petugas bea cukai/custom (berfokus pada pemeriksaan pajak) sebanyak 500 personil, petugas imigrasi (berfokus pada pemeriksaan orang) sebanyak 300-400 personil. Sementara jumlah petugas balai karantina/quarantine yang berfokus pada pemeriksaan keluar-masuknya tumbuhan dan satwa hanya berjumlah kurang dari 100 orang. Di Pelabuhan Tanjung Priok, petugas balai karantina hanya berjumlah 200 orang bila dibandingkan dengan petugas bea cukai yang berjumlah lebih kurang 2000 personil. Fakta ini memperlihatkan alangkah wajar apabila pengawasan dan pengamanan terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilakukan di pintu keluar-masuk negara menjadi tidak efektif. Dengan penambahan personil penjagaan diharapkan pengawasan dan pengamanan di pintu terluar negara menjadi lebih baik dan efektif.

Dalam kasus putusan nomor : 98/Pid.Sus/2014/PN.PL.R terdapat dua jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Pertama, pelaku mengangkut trenggiling tanpa membawa dokumen dan izin yang sah. Kedua, pada trenggiling tersebut tidak ditemukan tanda-tanda yang menandakan trenggiling tersebut adalah generasi F2 hasil penangkaran sebagaimana ketentuan satwa dalam daftar Appendiks I yang diperbolehkan untuk diperdagangkan.

Untuk melakukan pengangkutan trenggiling maka harus disertai dengan Izin Pengedar Dalam Negeri sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 43 ayat (3) keputusan Menteri Kehutanan No. 447 Tahun 2003 yang mengatur bahwa:

“(3) Izin pemanfaatan komersial dalam negeri untuk tujuan perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a disebut juga Izin Pengedar Dalam Negeri dan diterbitkan oleh Kepala Balai.”

Izin Pengedar Dalam Negeri akan diterbitkan oleh Kepala Balai. Kepala Balai yang dimaksud adalah Kepala Balai tempat asal trenggiling tersebut dikirim. Tidak hanya Izin Pengedar Dalam Negeri saja yang harus disertakan untuk mengangkut suatu spesies dari satu wilayah ke wilayah lain, Pemilik juga harus memiliki izin terkait dengan legalitas asal-usul spesimen dan laporan mutasi stok tumbuhan dan satwa liar, yang mana kesemua izin ini harus terliput dalam suatu dokumen peredaran yang disebut dengan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN). Berdasarkan Pasal 68 ayat (1) Keputusan Menteri Kehutanan No. 447 tahun 2003, SATS DN ini sedikitnya harus memuat informasi sebagai berikut :

a. Nama dan alamat lengkap pengirim dan penerima spesimen yang akan diangkut; b. Nama jenis yang akan diangkut dengan nama ilmiah dan nama lokal; c. Bentuk spesimen; d. Jumlah (volume); e. Pelabuhan pemberangkatan dan pelabuhan tujuan; f. Peruntukan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; g. Keterangan dokumen asal-usul tumbuhan dan satwa liar; h. Periode masa berlakunya SATS-DN; i. Keterangan lainnya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas di dalam kasus penyelundupan trenggiling di Palangkaraya, pemilik trenggiling tersebut tidak memiliki dokumen peredaran yang dimaksud. Padahal hal ini merupakan persayaratan untuk melakukan pengangkutan atau pengederan satwa di Indonesia.

Pelanggaran selanjutnya yaitu mengenai legalitas asal-usul trenggiling tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terhadap satwa yang dilindungi tidak diperkenankan untuk mengambil langsung dari habitatnya. Demikian halnya dengan trenggiling (Manis javanica) merupakan satwa yang dilindungi. Oleh karenanya penangkapan atau pengambilan dari alam liar adalah dilarang sebagaimana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-undang No. 5 Tahun 1990 yaitu sebagai berikut:

“Setiap orang dilarang untuk: menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup….”

Terhadap putusan hakim yang memberikan pidana penjara selama 3 bulan dan denda sebesar Rp. 500.000,- dirasa sangat jauh dari kata memuaskan. Baik jaksa dalam memberikan tuntutan maupun hakim dalam memberi putusan dirasa belum memahami besarnya dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari hilangnya trenggiling dari

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 11: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

ekosistem dalam jumlah besar. Bahwa nilai ekologi yang dirugikan jauh lebih besar dari apa yang terlihat dalam jangka pendek. Satwa liar dilindungi mempunyai peran penting dalam menjaga stabilnya ekosistem di alam liar dengan mempertahankan jalur rantai makanan yang ada. Apabila satu elemen dari keseluruhan rantai makanan ini hilang akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem dalam jangka waktu yang panjang. Pemberian hukuman yang dijatuhkan hakim tidak akan memberikan efek jera sedikit pun pada pelaku dan memunculkan kemungkinan praktek tindak pidana serupa terjadi kembali. Dari putusan ini dapat dilihat belum begitu pentingnya tindak pidana perdagangan satwa liar dilindungi bagi jaksa maupun hakim.

Dalam kasus putusan nomor : 256/Pid. Sus/2011/PN. Psp. ditemukan tiga jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Pertama, trenggiling tersebut diangkut tanpa disertai dengan izin yang diperlukan. Kedua, metode pengangkutan yang tidak layak. Ketiga, pada trenggiling-trenggiling tersebut tidak ditemukan tanda yang menandakan bahwa spesies tersebut merupakan hasil penangkaran mengingat spesies trenggiling merupakan satwa dilindungi yang tidak boleh diperdagangkan kecuali merupakan hasil penangkaran dan ditandai dengan adanya tanda pada burung tersebut.

Pada pelanggaran pertama, pelaku seharusnya memiliki dokumen-dokumen serta surat izin sah yang diperlukan dalam kegiatan memperdagangkan satwa liar sebagaimana telah dijelaskan dalam analisis putusan sebelumnya. Pelanggaran selanjutnya adalah dalam hal metode pengangkutannya. Berdasarkan Pasal 68 ayat (2) Keputusan Menteri Kehutanan No.447 tahun 2003 mensyaratkan bahwa pengangkutan satwa hidup harus dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Pengangkutannya harus dilakukan dengan mengurangi resiko kematian, luka dan tertekan (stress); b. Kandang angkut harus memperhatikan aspek kesejahteraan (animal welfare) dan keamanan satwa beserta lingkungannya; c. Bila melalui udara, penanganan pengangkutan harus mengikuti aturan IATA (International Air Transport Association) mengenai transport satwa hidup dan aturan-aturan lain yang relevan. Seperti diketahui pada kasus ini pelaku memasukkan 39 ekor trenggiling yang hendak ia jual ke Medan dengan cara dimasukkan ke dalam 3 buah plastik kara yang kemudian ditaruh ke bak muatan fuso. Hal ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 68 ayat (2) di atas. Dimasukkan ke dalam plastik kara dengan lubang angin yang kecil, dan disatukan dengan belasan bahkan puluhan trenggiling yang lain tentu saja akan membuat trenggiling menjadi stress dan membuka kemungkinan terlukanya atauh bahkan matinya trenggiling di dalam perjalanan. Metode pengangkutan yang demikian jelas tidak memperhatikan aspek kesejahteraan (animal welfare) sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pasal 68 ayat (2).Pada jenis pelanggaran ketiga, trenggiling-trenggiling yang dibawa oleh pelaku tidak memiliki tanda bahwa mereka merupakan generasi F2 atau lebih, yang berasal dari penangkaran. Hal ini berarti trenggiling tersebut diambil langsung dari alam liar, yang jelas-jelas merupakan suatu perbuatan yang melanggar peraturan tentang syarat satwa liar dalam Appendiks I CITES yang diperbolehkan untuk diperdagangkan.

Dalam putusan ini, hakim menjatuhkan pidana penjara selama 7 bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- jumlah yang lebih besar dari putusan hakim pada kasus sebelumnya. Namun putusan ini tetap dirasa belum cukup untuk menciptakan efek jera bagi pelaku dan menimbulkan sikap takut dan hati-hati bagi oknum-oknum lain di masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan serupa. Dari kedua putusan ini memperlihatkan bahwa hakim maupun jaksa yang melakukan penuntutan belum memiliki pemahaman bahwa tindak pidana perdagangan satwa liar yang dilindungi ini sangat penting untuk tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, UU Nomor 5 Tahun 1990 perlu direvisi. Sanksi hukum harus dibuat dengan mekanisme minimal dan maksimal agar benar-benar menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Misalnya, minimal ancaman pidana adalah setahun dan maksimal 10 tahun dengan denda Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Sehingga hakim dan jaksa penuntut umum memiliki pedoman yang kuat untuk menuntut Terdakwa.

Dalam kasus posisi putusan nomor : 278/ Pid.Sus/2016/PT-MDN terdakwa yang merupakan nahkoda KM Rezeki Abadi ditangkap Polisi Air Medan yang sedang berpatroli di daerah perairan selat Malaka saat hendak mengirimkan 103 ekor trenggiling ke daerah perairan Penang, Malaysia. Tindakan pelaku yang mengangkut trenggiling ini dengan jelas memenuhi unsur mengangkut dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a Undang-undang No. 5 Tahun 1990 yaitu sebagai berikut:

“Setiap orang dilarang untuk: menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup….”

Bahwa dengan kegiatan pengangkutan ini telah dapat membuktikan pelaku bersalah terlepas apapun motif yang dimiliki pelaku. Selanjutnya ditemukan tiga jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku yaitu Pertama, trenggiling tersebut diangkut tanpa disertai dengan izin yang diperlukan. Kedua, metode pengangkutan yang tidak layak. Ketiga, pada trenggiling-trenggiling tersebut tidak ditemukan tanda yang menandakan bahwa spesies

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 12: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

tersebut merupakan hasil penangkaran mengingat spesies trenggiling merupakan satwa dilindungi yang tidak boleh diperdagangkan kecuali merupakan hasil penangkaran dan ditandai dengan adanya tanda pada burung tersebut.

Pada pelanggaran pertama, diketahui bahwa pelaku akan mengirimkan barang bukti ke luar negeri, yaitu Malaysia, sehingga dapat dikategorikan sebagai kegiatan perdagangan ke luar negeri. Dalam melakukan kegiatan perdagangan komersil ke luar negeri dijelaskan dalam Pasal 63 ayat (1) Keputusan Menteri Kehutanan No. 447 tahun 2003 bahwa peredaran komersial luar negeri baik ekspor, impor, re-ekspor maupun intorduksi dari laut wajib disertai dengan Surat angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN). Adapun SATS-LN yang dimaksud dijelaskan dalam Pasal 67 ayat (2) dapat berupa izin/sertifikat CITES dan/atau izin/sertifikat non-CITES yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal PHKA. Untuk menerbitkan SATS-LN, Direktur Jenderal PHKA harus dapat memastikan pihak yang melakukan permohonan izin memiliki Izin Pengedar Luar Negeri tumbuhan dan satwa liar serta izin terkait legalitas asal usul spesimen seperti izin pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar, termasuk di dalamnya SATS-DN. Dalam kasus ini diketahui pelaku hanya membawa surat izin berlayar dan surat kepemilikan atas kapal motor yang dibawa berlayar, sehingga dapat dinyatakan bersalah atas kealpaan SATS-LN yang semestinya dimiliki.

Bahwa dalam pelanggaran kedua, ditemukan fakta bahwa jumlah trenggiling mati yang saat dilakukan penangkapan berjumlah 9 ekor saja, dan ketika dilakukan pengamanan di darat bertambah menjadi 15 ekor, mengindikasikan metode pengangkutan yang tidak mengindahkan Pasal 68 ayat (2) Keputusan Menteri Kehutanan No.447 tahun 2003 sebagai batasan-batasan pengangkutan hewan yang mementingkan animal welfare. Pada jenis pelanggaran ketiga, trenggiling-trenggiling yang dibawa oleh pelaku tidak memiliki tanda bahwa mereka merupakan generasi F2 atau lebih, yang berasal dari penangkaran. Hal ini berarti trenggiling tersebut diambil langsung dari alam liar, yang jelas-jelas merupakan suatu perbuatan yang melanggar peraturan tentang syarat satwa liar dalam Appendiks I CITES yang diperbolehkan untuk diperdagangkan.

Dalam proses hukum di pengadilan terdapat hal unik, dimana Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang memberikan pidana penjara sedikit lebih lama. Penuntut umum dalam tuntutannya hanya menuntut untuk menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun dipotong masa kurungan dengan denda Rp 50.000.000,-, sementara majelis hakim menjatuhkan putusan pidana penjara selama 2 tahun 3 bulan dengan denda sama besar. Adapun pertimbangan keberatan penuntut umum adalah karena penambahan waktu 3 bulan merupakan hukuman yang terlalu berat bagi para terdakwa yang telah bersikap baik selama proses hukum berjalan. Setelah membaca dan mempertimbangkan memori banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan menambahkan hukuman dengan menjatuhkan pidana penjara 2 tahun 6 bulan dan denda dengan jumlah sama besar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan penambahan masa hukuman demi menimbulkan efek jera bagi para terdakwa dan memberikan ancaman bagi pelaku-pelaku lain untuk tidak meniru perbuatan yang dilakukan. Adapun tindakan pihak penuntut umum memperlihatkan masih kurangnya kesadaran aparat hukum kita bahwa kegiatan perdagangan ilegal satwa liar ini sangatlah merugikan negara, baik secara ekonomi maupun keseimbangan ekosistem yang terancam. Padahal, hukuman penjara 2 tahun 6 bulan yang diberikan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Negeri Medan pun msih jauh dari kata memuaskan untuk memberikan efek jera. Namun perlu diapresiasi pertimbangan hakim pengadilan tinggi untuk menambah hukuman dengan alasan mencapai tujuan pemberian efek jera, walau masih dirasa belum cukup membuat jera para pelaku dalam prakteknya.

Kesimpulan

Perlindungan hukum terhadap satwa yang dilindungi di lingkup internasional diatur dalam CITES, yang merupakan konvensi internasional dengan tujuan melestarikan spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar tertentu, yang dianggap harus diberikan perhatian dan perlindungan lebih agar terhindar dari kepunahan dengan menerapkan sistem izin ekspor impor antar negara dan pengklasifikasian tingkat kepunahan spesies dalam sistem appendiks. Perlindungan hukum terhadap satwa yang dilindungi di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003.

Fakta di lapangan menunjukkan spesies trenggiling (Manis javanica), yang merupakan spesies Appendiks I CITES sejak Oktober 2016 dan spesies yang dilindungi dalam peraturan nasional Indonesia, telah dan masih

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 13: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

diperdagangkan dalam jumlah besar yang menyebabkan spesies trenggiling di seluruh dunia semakin mendekati kepunahan. Sejak tahun 2005 hingga sekarang terdapat lebih dari 50 kasus perdagangan trenggiling di dalam maupun ke luar negeri yang berhasil digagalkan aparat penegak hukum, dimana mengorbankan lebih dari puluhan ribu trenggiling baik dalam keadaan hidup, daging, sisik, maupun opsetan. Trenggiling-trenggiling dipasarkan dengan tujuan Hongkong, Malaysia, China, Singapura, Laos, dan Vietnam

dimana terdapat banyak permintaan akan daging dan sisik trenggiling disana untuk dikonsumsi sebagai makanan, obat, maupun dugaan dijadikan bahan pembuatan narkotika. Cara perdagangan yang dilakukan oleh para pelaku perdagangan bermacam-macam, seperti dengan mengangkutnya diam-diam lewat jalur tikus antar negara (Indonesia-Sarawak) maupun lewat jalur laut dengan kapal.

Penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa liar dilakukan oleh aparat penegak hukum yang diamanahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkoordinasi dengan penyidik Polri berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam melakukan penegakan hukum, terdapat dua macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku perdagangan ilegal satwa yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi dalam kaitannya dengan perdagangan tumbuhan dan satwa liar dapat berupa: (a) denda administrasi; (b) pembekuan kegiatan usaha; dan (c) Pencabutan izin usaha. Sementara sanksi pidana dapat berupa pidana penjara dan hukuman denda. Seluruh kasus perdagangan ilegal yang tercatat dilakukan oleh pihak perorangan dan tidak ada yang dilakukan oleh badan usaha, sehingga hampir semuanya diproses secara pidana. Dari seluruh kasus yang tertangkap, tidak sampai setengahnya yang diproses secara hukum sampai ke tahap vonis hakim, dimana beberapa diantaranya diberhentikan di tahap penyidikan dengan alasan kurangnya bukti. Adapun beberapa contoh kasus perdagangan ilegal trenggiling yang mendapatkan putusan pengadilan dapat dilihat dalam kasus Putusan Nomor : 98/Pid.Sus/2014/PN.PL.R, 256/Pid. Sus/2011/PN. Psp., dan 278/ Pid.Sus/2016/PT-MDN.

Saran

Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 yang mengandung sanksi pidana terhadap pelaku perdagangan ilegal trenggiling perlu direvisi. Sanksi hukum harus dibuat dengan mekanisme minimal dan maksimal agar benar-benar menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Misalnya, minimal ancaman pidana adalah setahun dan maksimal 10 tahun dengan denda Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Sehingga hakim dan jaksa penuntut umum memiliki pedoman yang kuat untuk menuntut Terdakwa. Pasal 21 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 yang berbunyi “Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati” perlu direvisi dengan mengganti kata dan dengan kata dan/atau mengingat sering terjadi kesalahpahaman antara pihak PPNS dan pihak kepolisian dalam menentukan apakah suatu kejadian merupakan tindak pidana atau bukan. Hal ini dperlukan demi proses penegakan hukum yang lebih efisien.

Pentingnya untuk memperbesar kewenangan penyidik PPNS pada UU No. 5 Tahun 1990 yang memberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan menahan tersangka kejahatan terhadap satwa liar dengan atau tanpa polisi. Dalam hal ini pengaturannya dapat langsung mencontoh atau merujuk pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Pasal 94 ayat (2) yang telah memberi wewenang bagi untuk menangkap dan menahan pelaku tindak pidana. Selain itu, Penyidik PPNS harus dapat berkomunikasi langsung dengan jaksa penutut umum. Hal ini harus dilakukan demi proses tuntutan yang lebih efisien.

Perlunya meningkatkan jumlah sumber daya manusia selaku aparat keamanan untuk memperbesar kapasitas keamanan di tempat-tempat rawan terjadinya perdagangan illegal seperti di pasar satwa, pelabuhan, bandara dan menempatkan penyidik PPNS untuk selalu siaga di lokasi tersebut. Selain itu meningkatkan kemitraan antara sejumlah institusi penegak hukum termasuk bea cukai, balai karantina, polisi dan penyidik PPNS dengan LSM dan masyarakat sekitar.

Aparat penegak hukum masih belum melihat perdagangan satwa liar yang dilindungi sebagai kejahatan dengan modus penyelundupan yang masih terus berkembang. Hal ini mengindikasikan belum efektifnya peran Biro Humas KLHK dan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia KLHK dalam menjalankan

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 14: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

tanggung jawabnya. Hal ini harusnya menjadi evaluasi bagi kedua badan tersebut dalam membuat program yang lebih efektif lagi di kemudian hari.

Dengan melihat indikasi adanya kerjasama terstruktur lintas negara dalam melakukan tindak pidana ilegal ini (Organized Crime), maka dirasa perlu bagi pihak kepolisian maupun aparat penegak hukum terkait dalam negeri untuk bekerja sama dengan Interpol, orgnasiasi kepolisian internasional, untuk mengusut tuntas kasus perdagangan ilegal ini agar tidak kembali terulang di kemudian hari.

Tabel

Tabel.1 Data Kasus Perdagangan Ilegal Trenggiling Tahun 2005-2014

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Jumlah Kasus

3 4 - 10 8 5 10 6 8 2

Jumlah Daerah

2 4 - 5 7 3 3 3 3 2

Jumlah Sitaan (ekor trenggiling dan kg sisik dan daging)

1152 633 - 3647 242

dan

70

1857 dan 4,6

2754 dan 9842

221 dan 9544

315 dan 146

96 dan 6

Jumlah Kasus yang diproses Pengadilan

2 2 - 4 4 - 2 2 - 1

Daftar Referensi

Buku Haeruman, Herman. Et al. Biodiversity Action Plan For Indonesia. Jakarta: National Development Planning Agency, 1993. HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Press, 2003. Pramudianto, Andreas. Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional: Implementasi Hukum Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia. Malang: Setara Press, 2014. Raharja, Ivan Fauzi. Penegakan Hukum Sanksi Administrasi dalam Pelanggaran Perizinan. Simargo, Wirendro. Et al.Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000 2009. Jakarta: Forest Watch Indonesia, 2011. Soehartono, Tonny dan Ani Mardiastuti.Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: Japan International Cooperation Agency, 2003. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1986. Suparni, Niniek. Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakkan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika, 1994. Sutedi, Adrian. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakart: Sinar Grafika, 2009. Utrecht, E. Hukum Pidana I. Surabaya: Penerbit Pustaka Tinta Mas, 1986. W,Wijnstekers The Evolution of CITES - 9th edition. International Council for Game and Wildlife Conservation. Wildlife Conservation Society. Perdagangan Satwa Liar. Kejahatan terhadap Satwa Liar dan Perlindungan Spesies di Indonesia: Konteks Kebijakan dan Hukum Changes for Justice Project. Peraturan Perundang-undangan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP No. 7 Tahun 1999, LN No. 14 Tahun 1999.

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017

Page 15: ANALISIS TERHADAP UPAYA PENEGAKAN HUKUM …

   

   

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP No.8 Tahun 1999, LN No.15 Tahun 1999. Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1982. Indonesia.Keputusan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Indonesia.Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 5 Tahun 1990, LN No.49 Tahun 1990, TLN No. 3419. Kementerian Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan tentang StrategisKonservasi Spesies Nasional 2008-2009, Permenhut Nomor: P.57/Menhut- II/2008. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Cara Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang: Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora. Artikel Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Pemusnahan Barang Bukti Satwa Dilindungi Trenggiling, Press Release Medan, 2015. Skripsi Vidya Pratitya, Windy. “Analisis Terhadap Upaya Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Yang Dilindungi (Studi Kasus : Perdagangan Ilegal Burung Kakatua Kecil Jambul Kuning)” Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2008. Internet “COP CITES ke–17: Trenggiling Hewan Dilindungi” http://m.inilah.com/news/detail/2336292/cop-cites-ke-17-trenggiling-hewan-dilindungi, diakses pada 21 Desember 2016 Marbun, Julkifli. “Perdagangan Satwa yang Dilindungi Masih Tinggi”, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/08/09/na0ir9- perdagangan-satwa-dilindungi-masih-tinggi, diakses pada tanggal 21 Desember 2016. Karokaro, Ayat S. “Jaringan Perdagangan Ilegal Trenggiling Terbongkar” http://www.mongabay.co.id/2015/04/26/jaringan-perdagangan-trenggiling-terbongkar/, diakses pada 2 Januari 2017. Panaino, Wendy. “Menyimpan Ratusan Trenggiling Beku, Seorang Pria di Jatim Ditangkap”,http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/08/160826_indonesia_trenggiling_selundup, diakses tanggal 4 Oktober 2016. Kosasih, Danny. “40 Trenggiling Beku Diamankan BPPH-LK Wilayah Kalimantan” http://www.greeners.co/berita/40-trenggiling-beku-diamankan-bpph-lhk-wilayah-kalimantan/, diakses pada 2 Januari 2017. “Polda Jambi Gulung Perdagangan Ilegal Trenggiling”. http://www.jawapos.com/read/2016/11/02/61459/polda-jambi-gulung-perdagangan-ilegal-trenggiling, diakses pada 2 Januari 2017. Fauziah, Lutfi. “CITES Berlakukan Larangan Perdagangan Trenggiling”. http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/09/cites-berlakukan-larangan-perdagangan-trenggiling, diakses pada 22 Desember 2016 Kosasih, Danny. “KLHK: Indonesia Terpaksa Setuju Trenggiling Masuk Kategori Appendix I”. http://www.greeners.co/berita/klhk-indonesia-terpaksa-setuju-trenggiling-masuk-kategori-appendix-i/, diakses pada 22 Desember 2016 JURNAL Bowman, M, P. Davies dan C Redgwell.“Lyster’s International Wildlife Law”. Cambridge: Cambridge University Press, 2010. Sands,Philippe. Et al.“Principles of International Environmental Law”. UK:Cambridge University Press,201

Analisis Terhadap ..., Bimo Kesuma Adi UI, 2017