bab 2 landasan teori 2.1 tinjauan pusat rehabilitasi...
TRANSCRIPT
7
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat
2.1.1 Pengertian Pusat Rehabilitasi
Pengertian Pusat Rehabilitasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2012-
2014 adalah sebagai berikut :
a. Pusat : pokok pangkal yang jadi pumpunan (berbagai urusan, hal dan
sebagainya).
b. Rehabilitasi : pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang
dahulu (semula) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat
di masyarakat.
Sehingga didapatkan bahwa suatu Pusat Rehabilitasi adalah suatu tempat
yang dapat memberikan pemulihan kepada penduduk supaya dapat menjadi manusia
yang berguna bagi masyarakat.
2.1.2 Pengertian Penyandang Cacat
Pengertian Penyandang Cacat berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara selayaknya, yang
terdiri dari :
a. Penyandang cacat fisik (tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna wicara);
b. Penyandang cacat mental (tuna grahita, tuna laras, autis);
c. Penyandang cacat fisik dan mental (lebih dari satu jenis cacat).
2.1.3 Undang-Undang Mengenai Penyandang Cacat
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Pasal 10
mengenai penyediaan aksesibilitas para penyandang cacat, yang berisikan :
(1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.
8
(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan
lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup
bermasyarakat.
(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Selain melalui Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 43 Tahun 1998 juga mengeluarkan pasal mengenai aksesibilitas penyandang
cacat (Pasal 8-22), diantaranya adalah :
Pasal 8, yang berisikan bahwa : Setiap pengadaan sarana dan prasarana umum
yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat, wajib menyediakan
aksesibilitas.
2.1.4 Klasifikasi Cacat
Berdasarkan ICF (International Classification of Functioning, Disability, and
Health), klasifikasi penyandang cacat dapat terbagi menjadi :
1. Gangguan Pendengaran
Seseorang dikatakan mengalami kesulitan/gangguan pendengaran bila tidak
dapat mendengar suara dengan jelas seperti membedakan sumber, volume,
dan kualitas suara secara keras.
2. Gangguan Penglihatan
Terbagi menjadi 3, yaitu :
a. Low Vision adalah seseorang yang mengalami kesulitan / gangguan jika
dalam jarak minimal 30 cm dengan penerangan yang cukup tidak dapat
melihat dengan jelas baik bentuk, ukuran, dan warna.
b. Light Perception adalah seseorang hanya dapat membedakan terang dan
gelap namun tidak dapat melihat benda didepannya.
c. Totally Blind adalah seseorang tidak memiliki kemampuan untuk
mengetahui / membedakan adanya sinar kuat yang ada langsung di depan
matanya.
3. Gangguan Bicara
Adalah gangguan pada fungsi organ tubuh dalam memproduksi suara,
termasuk gangguan dalam kualitas suara.
9
4. Gangguan Penggunaan Lengan dan Jari Tangan
Adalah kelainan dalam mengkoordinasi lengan dan tangan untuk
menggerakkan benda atau lainnya seperti melempar atau menangkap suatu
benda.
5. Gangguan Penggunaan Kaki
Adalah kelainan seseorang berjalan di permukaan langkah demi langkah
dengan 1 kaki selalu berada di tanah misalnya: berjalan, maju, mundur,
kesamping dan juga termasuk tidak memiliki jari, kaki, maupun pergelangan
kaki.
6. Gangguan Kelainan Bentuk Tubuh
Adalah kelainan pada tulang, otot atau sendi anggota gerak dan tubuh,
kelumpuhan pada anggota gerak dan tubuh, tidak ada atau tidak lengkapnya
anggota gerak atas dan anggota gerak bawah sehingga menimbulkan
gangguan gerak.
7. Gangguan Mental Retardasi
Adalah kelainan yang biasanya terjadi sejak kecil misalnya anak yang
terhambat perkembangan kepandaiannya (duduk, berdiri, jalan, bicara,
berpakaian, makan), tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang
umum yang dilakukan orang lain seusianya, tidak mampu berkomunikasi
dengan orang lain, kematangan sosial tidak selaras dengan usianya, tingkat
kecerdasan dibawah normal sehingga tidak dapat mengikuti sekolah biasa.
Wajah penderita terlihat seperti wajah dungu.
2.1.5 Spesifikasi Cacat
Spesifikasi cacat yang diambil pada proyek ini adalah cacat tubuh akibat
kecelakaan. Cacat tubuh adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami difungsi
pada sebagian kondisi fisiknya, cacat tubuh akibat kecelakaan dibagi lagi menjadi
beberapa jenis kecacatan yaitu :
a. Cacat tubuh itu sendiri artinya ada bagian-bagian tertentu dari tubuhnya baik
itu tangan, kaki maupun anggota tubuh lainnya seperti leher yang mengalami
disfungsi.
b. Polio tangan, apabila polio tangan keadaan tangan membengkok dan tidak
berfungsi dengan baik.
10
c. Polio Kaki, apabila polio kaki keadaan kaki bengkok dan pada orang-orang
tertentu membentuk huruf X maupun membentuk huruf O, dan kakinya tidak
berfungsi dengan baik.
d. Lumpuh layu adalah suatu keadaan dimana anggota tubuhnya lemas dan tidak
bisa digerakkan secara maksimal, serta semakin lama tangan dan kakinya
semakin kecil.
e. Paraphlegi adalah suatu keadaan dimana kecacatannya diakibatkan oleh
patahnya tulang punggung maupun retaknya tulang ekor dan tulang kemaluan
serta retaknya tulang pinggang.
f. Amputi tangan adalah keadaan dimana tangan seseorang terpotong.
g. Amputi Kaki adalah keadaan dimana kaki seseorang terpotong.
2.1.6 Proses Kemandirian Cacat Tubuh dan hubungannya dengan Program Ruang
Kemandirian yang dapat dilakukan oleh Psikolog dapat disesuaikan dengan
tahapan terapi menurut Dauphinee (2002) yaitu:
1. Fase inisiasi meliputi terapi yang bersifat akut dan mobilisasi awal.
2. Proses berlangsungnya mobilisasi dan rehabilitasi melalui pelatihan
keberfungsian anggota tubuh yang baru, pelatihan reinnervation, pertolongan
untuk mampu menolong diri sendiri, dan dukungan dengan peralatan mekanis
(seperti kursi roda, tongkat penyangga, dan sepeda maupun motor beroda
tiga).
3. Fase pengukuran pencegahan terjadinya komplikasi setelah pasien kembali ke
rumah.
Rehabilitasi mencakup layanan fisioterapi untuk membantu melatih pasien
pasca-operasi maupun yang tidak dioperasi berupa perawatan, konsultasi,
pengepasan alat bantu dan kunjungan pada pasien luar sentra.
Terapi okupasi untuk menolong individu yang mempunyai kelainan atau
kecacatan fisik dan atau mental baik yang bersifat sementara atau menetap dengan
menggunakan aktifitas yang disesuaikan, untuk membantu pemulihan fungsi fisik,
mental ataupun sosial secara optimal di bidang perawatan diri, produktifitas dan yang
bersifat rekreasi atau menyenangkan sehingga menjadi mandiri dalam beraktifitas
baik dengan alat bantu ataupun tanpa alat bantu terutama untuk aktivitas
kesehariannya.
11
Terapi psikososial berupa pendampingan individu dan terapi bersama untuk
orangtua dan keluarga; serta pemberian alat bantu untuk penyandang disabilitas fisik
berupa: brace, sepatu ortopedik, kursi roda, prothese, korset, maupun splint.
Terlihat pada penjelasan diatas bahwa proses kemandirian dan terapi-terapi
yang dilakukan memerlukan berbagai ruangan-ruangan yang berbeda fungsi, seperti
ruang Examination, ruang latihan (termasuk ruang latihan air seperti kolam renang),
ruang olahraga, ruang kontrol, ruang rekreasi (indoor maupun outdoor), dan
ruangan-ruangan lain yang dibutuhkan. Maka dari itu diperlukan pengolahan
ruangan-ruangan tersebut.
2.1.7 Kebutuhan Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat
Seperti yang telah disampaikan pada bab 1, bahwa jumlah penyandang cacat
di Indonesia semakin meningkat dan belum teratasi secara maksimal, dimana hanya
15% penyandang cacat yang teratasi. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya suatu
tempat yang dapat mendukung proses penyembuhan para penyandang cacat tubuh
tersebut yaitu suatu pusat rehabilitasi. Pusat Rehabilitasi itu sendiri harus memiliki
fasilitas-fasilitas lengkap yang dapat mendukung proses rehabilitasi penyandang
cacat tersebut.
2.2 Tinjauan Ruang Terapi
Berdasarkan buku Time-Saver Standards for Building Types; Health Care,
Rehabilitation Center, hubungan antar ruang dalam suatu pusat rehabilitasi sangat
perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya hubungan antar ruang
yang baik, para pasien yang menjalankan terapi akan merasakan kenyamanan yang
lebih dan akan membantu mempercepat proses penyembuhan. Adapun beberapa
contoh hubungan antar ruang terapi (khususnya yang sering digunakan oleh
penyandang cacat tubuh) tersebut adalah :
a. Terapi Fisik & Hidro
b. Terapi Okupansi
c. Terapi Vokasional
12
Gambar 2. Jenis-Jenis Sistem Terapi Sumber: Time-Saver Standards for Building Types; Health Care
Gambar 3. Hubungan Ruang Terapi Fisik dan Hidro Sumber: Time-Saver Standards for Building Types; Health Care
13
Gambar 4. Hubungan Ruang Terapi Okupansi Sumber: Time-Saver Standards for Building Types; Health Care
Gambar 5. Hubungan Ruang Terapi Latihan Vokasional Sumber: Time-Saver Standards for Building Types; Health Care
Workshops pada terapi vokasional yang paling sering digunakan adalah
komersial, reparasi komputer, reparasi jam, reparasi sepatu, reparasi perabot,
operasional toko mesin, reparasi elektronik, dan drafting.
14
2.3 Tinjauan Aksesibilitas
2.3.1 Aksesibilitas
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, Nomor 30/PRT/M/2006,
aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk
penyandang cacat dan lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Pasal 9, bahwa
penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan
yang lebih menunjang penyandang cacat agar dapat sepenuhnya hidup
bermasyarakat. Pemerintah wajib menyediakan aksesibilitas secara fisik terhadap
fasilitas umum dan infrastruktur, bangunan umum, jalan umum, taman dan
pemakaman, dan sarana transportasi.
2.3.2 Teori Aksesibilitas
Teori aksesibilitas terbagi menjadi 4 hal, yaitu :
1. Aksesibilitas Berdasarkan Tujuan dan Kelompok Sosial
Aksesibilitas menyediakan ukuran kinerja antara tata guna lahan dengan
sistem transportasi.
2. Indikator Aksesibilitas
Indikator aksesibilitas secara sederhana dapat dinyatakan dengan jarak.
3. Aksesibilitas dalam Kebijakan Tata Guna Lahan Perkotaan
Aksesibilitas menjadi kunci penting terhadap kebijakan tata guna lahan
dimana tata guna lahan yang memiliki aksesibilitas tinggi akan mempunyai
nilai lahan yang lebih baik.
4. Keterkaitan Tata Ruang dengan Transportasi
Ruang merupakan kegiatan yang “ditempatkan” di atas lahan kota, sedangkan
transportasi merupakan sistem jaringan yang secara fisik menghubungkan
suatu ruang kegiatan dengan ruang kegiatan lainnya. Antara ruang kegiatan
dan transportasi terjadi hubungan yang disebut siklus penggunaan ruang
transportasi.
15
2.3.3 Pembagian Sistem Aksesibilitas
Dalam pembahasan ini, sistem aksesibilitas akan dibagi menjadi beberapa
bagian dan akan menggunakan standar dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
30/PRT/M/2006, yaitu :
a. Antropometri Penyandang Cacat
b. Standar Ukuran Pedestrian
c. Standar Ukuran Ramp
d. Standar Ukuran Tangga
e. Standar Ukuran Lift
f. Standar Ukuran Tempat Parkir
g. Standar Ukuran Kamar Mandi
h. Standar Ukuran Kamar Tidur
i. Standar Ukuran Pintu
2.3.4 Antropometri Penyandang Cacat
Alat bantu yang paling sering dan umum digunakan oleh para penyandang
cacat tubuh adalah kursi roda dan tongkat bantu (kruk). Kedua alat bantu ini
membutuhkan kondisi akses khusus sehingga para pengguna dapat menjalankan
aktivitas dengan baik. Maka dari itu, pada penelitian ini, kondisi akses akan berfokus
terhadap para pengguna kursi roda dan tongkat bantu. Dimensi-dimensi yang
digunakan sendiri adalah dimensi ukuran tubuh orang dewasa.
Gambar 6. Dimensi Kursi Roda Sumber: Dimensi Manusia & Ruang Interior
16
Gambar 7. Dimensi Putaran Kursi Roda Sumber: Dimensi Manusia & Ruang Interior
A 158.1cm
B 41.3cm
C 22.2cm
D 47.0cm
E 65.4cm
F 73cm
G 48.3cm
H 130.8cm
I 148cm
Gambar 8. Antropometri Pengguna Kursi Roda Sumber: Dimensi Manusia & Ruang Interior
17
Gambar 9. Antropometri Pengguna Tongkat Bantu Sumber: Dimensi Manusia & Ruang Interior
Gambar 10. Antropometri Pengguna Kruk Sumber: Dimensi Manusia & Ruang Interior
Dari standar-standar dan antropometri yang telah dimasukkan diatas, dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Lebar gerak minimal untuk pengguna kursi roda adalah 180cm, pengguna
kruk adalah 122cm.
b. Tinggi langit-langit minimal adalah 185cm.
c. Radius putaran dari satu kursi roda adalah 160cm.
d. Jarak satu langkah tongkat bantu adalah sekitar 180cm dan jarak satu langkah
untuk pengguna kruk adalah 122cm.
18
2.3.5 Standar Ukuran Pedestrian
Jalur pedestrian yang dirancang harus dapat medukung para penyandang
cacat, khusus nya yang menggunakan kursi roda, sehingga mereka juga dapat
merasakan kenyamanan.
Adapun beberapa syarat umum dalam perencanaan pedestrian, diantara lain :
a. Permukaan jalur pedestrian harus rata dan juga tidak licin.
b. Kemiringan maksimal adalah 7o.
c. Lebar minimal pedestrian adalah 120cm. Jika pedestrian difungsikan
sekaligus menjadi tempat pasien terbaring, maka lebar minimal menjadi
225cm.
d. Tinggi langit-langit minimal adalah 240cm.
Gambar 11. Standar Ukuran Pedestrian Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006
2.3.6 Standar Ukuran Ramp
Adapun beberapa syarat dalam perencanaan ramp, diantaranya adalah :
a. Kemiringan maksimal adalah 7o.
b. Lebar minimal tanpa pegangan samping adalah 95cm.
c. Lebar minimal dengan pegangan samping adalah 120cm.
d. Bordes harus dapat memaksimalkan putaran kursi roda dengan nilai minimal
160cm.
e. Pencahayaan pada ramp harus dapat mendukung penglihatan para pengguna
ramp.
19
Gambar 12. Bentuk dan Ukuran Ramp yang dianjurkan Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006
2.3.7 Standar Ukuran Tangga
Beberapa syarat dalam perencanaan tangga antara lain :
a. Panjang tangga minimal adalah 80cm dan tidak melebihi 125cm.
b. Tinggi anak tangga sebaiknya sekitar 15-19cm.
c. Lebar anak tangga sebaiknya sekitar 27-30cm.
d. Kemiringan kurang dari 60o.
e. Lebar bordes minimal adalah 90cm dan tidak melebihi 155cm.
20
Gambar 13. Standar Ukuran Tangga Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006
2.3.8 Standar Ukuran Lift
Adapun beberapa syarat dalam perencanaan lift, antara lain :
a. Lebar minimal koridor lift adalah 185cm.
b. Letak dari tombol lift harus dapat dijangkau oleh pengguna kursi roda dengan
ketinggian 90-110cm.
c. Panel tombol di dalam lift setinggi 90-120cm.
d. Ukuran bersih minimal ruang dalam lift adalah 140x140cm.
Gambar 14. Standar Ukuran Lift Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006
2.3.9 Standar Ukuran Tempat Parkir
a. Area parkir bagi penyandang cacat harus terletak dekat dari bangunan dengan
jarak maksimal 15m.
b. Area parkir bagi penyandang cacat harus diberikan tanda parkir.
21
c. Usahakan menyediakan ramp pada sisi didekat area parkir penyandang cacat.
d. Area bukaan pintu mobil harus memiliki lebar minimal 1.2m untuk 1 mobil
dan minimal 2.5m untuk 2 mobil. Selain itu juga disediakan jarak didepan
sekitar 0.9m dan dibelakang sekitar 0.6m untuk pergerakan penyandang
cacat.
Gambar 15. Standar-standar Ukuran Area Parkir bagi Penyandang Cacat Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006
2.3.10 Standar Ukuran Kamar Mandi
Adapun beberapa syarat dalam perencanaan kamar mandi, antara lain :
a. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan tinggi kursi roda, sekitar
45-50cm
b. Peralatan mandi harus dapat dijangkau dengan leluasa dan tidak ditempatkan
pada ketinggian yang sulit dijangkau.
22
c. Ruang gerak pada kamar mandi harus cukup untuk aktivitas dengan kursi
roda.
d. Kamar mandi harus memiliki handrail denga posisi yang disesuaikan dengan
tinggi kursi roda.
e. Handrail harus memiliki bentuk siku keatas untuk membantu pergerakan
pengguna kursi roda.
f. Kunci-kunci kamar mandi harus dapat dibuka dari luar jika terjadi kondisi
darurat.
g. Dianjurkan menyediakan tombol pencahayan darurat bila sewaktu-waktu
terjadi pemadaman listrik.
Gambar 16. Standar Ukuran Kloset Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006
2.3.11 Standar Ukuran Kamar Tidur
Adapun beberapa syarat dalam perencanaan kamar tidur, antara lain :
a. Harus tersedia zona sirkulasi bagi pengguna kursi roda disamping tempat
tidur.
b. Zona sirkulasi harus dapat mendukung putaran 360o bagi pengguna kursi
roda.
c. Lebar pintu masuk ke kamar tidur minimal 1.168m.
d. Perabot yang diperlukan dalam kamar tidur :
o Tempat tidur elektrik
o Peralatan medis seperti : tombol panggilan, oxygen sentral
o Bedside Cabinet
o Peralatan pendukung seperti : TV, AC, kulkas
23
A 76.2cm
B 99.1cm
C 53.3cm
D 228.6cm
E 137.2cm
F 221cm
G 355.6cm
H 137.2cm
Gambar 17. Standar Ukuran Kamar Tidur Sumber: Buku Dimensi Manusia & Ruang Interior
2.3.12 Standar Ukuran Pintu
Adapun beberapa syarat dalam perencanaan pintu, antara lain :
a. Pintu keluar/masuk utama memiliki lebar manfaat bukaan minimal 90 cm,
dan pintu-pintu yang kurang penting memiliki lebar bukaan minimal 80 cm,
kecuali untuk rumah sakit harus berukuran minimal 90 cm.
b. Di daerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya ramp atau
perbedaan ketinggian lantai.
c. Hindari penggunan bahan lantai yang licin di sekitar pintu.
d. Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan bagi
pengguna kursi roda.
24
Gambar 18. Standar Ukuran Pintu Sumber: PERMENPU NO 30/PRT/M/2006
2.3.13 Kesimpulan
Berdasarkan data-data mengenai standar-standar ukuran yang telah
dilampirkan pada bagian sebelumnya, didapatkan bahwa dalam merancang dimensi
dan tata ruang suatu pusat rehabilitasi dengan sistem gerak yang baik, memerlukan
kerincian dalam hal pengukuran. Terutama untuk ukuran-ukuran jarak bukaan, jarak
antar benda, jarak antar ruang, dan sebagainya.
2.4 Novelty
Unsur kebaruan dari laporan penelitian ini adalah dalam perencanaan pusat
rehabilitasi yang difokuskan kepada perancangan tata ruang dan aksesibilitas
sedemikian mungkin agar dapat memudahkan para penyandang cacat.
25
Beberapa permasalahan yang akan diselesaikan dalam laporan ini antara lain:
a. Perencanaan tata ruang yang akan memberikan kenyamanan dan kesan
terarah pada pusat rehabilitasi, sehingga para pengguna bangunan tidak
bingung mengenai sistem pergerakan dalam bangunan dan juga agar para
pengguna bangunan dapat memaksimalkan fungsi bangunan.
b. Perencanaan sistem aksesibilitas pada dan luar bangunan yang dapat
membuat para pengguna bangunan menjadi mudah dalam melakukan
aktivitas, terutama bagi para pengguna alat bantu gerak yang memiliki sistem
mobilitas terbatas.
2.5 Studi Literatur
Studi Literatur akan mengambil 3 proyek bangunan pusat rehabilitasi yang
ada dan melihat kondisi aksesibilitas yang ada pada ketiga bangunan itu yang
kemudian dilihat apakah sudah memenuhi kriteria yang mendukung penyandang
cacat.
Pemilihan objek literatur berdasarkan kelengkapan akses dan sistem terapi
yang dimiliki oleh bangunan. Sistem terapi yang dimiliki harus sesuai dengan sistem
terapi yang akan pakai pada perancangan.
1. Rehabilitation Centre Groot Klimmendaal
Gambar 19. Lokasi RCG Klimmendaal Sumber: maps.google.com diakses 8 Maret 2015
• Architects: Architectenbureau Koen van Velsen BV
• Location: The Netherlands
• Project Area: 14,000 sqm
• Project Year: 2011
Terdapat lebih dari 30 jenis fasilitas terapi yang tersedia pada pusat
rehabilitasi ini, termasuk :
26
• Terapi Okupansi
• Terapi Fisik
• Terapi Akuatik (Hidro)
Fasad bangunan menggunakan material brown-golden aluminium, dan
terlihat berirama dengan alam. Denah pada bangunan ini berbentuk persegi panjang
dengan pola ruang grid.
Gambar 20. Fasad RCG Klimmendaal Sumber: http://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-
groot-klimmendaal-koen-van-velsen/ diakses 8 Maret 2015
Gambar 21. Denah Lantai 1 RCG Klimmendaal Sumber: http://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-
groot-klimmendaal-koen-van-velsen/ diakses 8 Maret 2015
Zonasi bangunan ini terbagi menjadi Lantai bawah terdapat kantor-kantor,
bagian atas merupakan area klinik, dan pada atap terdapat Rumah Ronald McDonald.
Pada bagian pintu masuk utama memiliki ketinggian dua kali lebih tinggi dan
memiliki fasilitas seperti fasilitas olahraga, fitness, kolam renang, restoran, dan
teater.
27
Gambar 22. Koridor RCG Klimmendaal Sumber: http://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-
groot-klimmendaal-koen-van-velsen/ diakses 8 Maret 2015
Terlihat bahwa koridor bangunan ini bervariasi dimana pada koridor utama,
dapat diakses oleh pengguna kursi roda, sedangkan pada koridor samping tidak dapat
diakses pengguna kursi roda.
Gambar 23. Area Open space RCG Klimmendaal Sumber: http://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-
groot-klimmendaal-koen-van-velsen/ diakses 8 Maret 2015
Terdapat area open space yang sangat luas dan penuh dengan penghijauan
pada bagian depan bangunan dan dimanfaatkan sebagai area rekreasi para pasien dan
pengunjung dan juga sebagai area terapi outdoor.
Gambar 24. Detail RCG Klimmendaal Sumber: http://www.archdaily.com/126290/rehabilitation-centre-
groot-klimmendaal-koen-van-velsen/ diakses 8 Maret 2015
Bangunan menggunakan konsep maju mundur dimana terlihat bahwa ada
beberapa bagian bangunan yang maju dan beberapa bagian bangunan masuk
kedalam.
28
Penghematan energi pada bangunan ini dimaksimalkan dengan menggunakan
material yang tahan lama, perancangan sistem elektrikal dan mekanikal, terutama
penyimpanan termal (panas dan cold storage) berkontribusi pada pengurangan
konsumsi energi.
2. Spaulding Rehabilitation Hospital
Gambar 25. Lokasi Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: maps.google.com diakses 8 Maret 2015
• Architects: Perkins+Will
• Location: Charlestown, Boston, Massachusetts, United States
• Area: 378,367 sqft
• Year: 2013
Terdapat sekitar 20 jenis fasilitas terapi yang tersedia pada pusat rehabilitasi
ini, termasuk :
• Terapi Okupansi
• Terapi Fisik
Fasad bangunan banyak menggunakan gray materials agar terlihat seperti
kapal perang zaman dulu dan glass curtainwall untuk memaksimalkan view dan
pencahayaan alami. Denah pada bangunan ini berbentuk memanjang dengan pola
ruang grid.
Gambar 26. Fasad Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: http://www.archdaily.com/443408/spaulding-
hospita-perkins-will/ diakses 8 Maret 2015
29
Gambar 27. Denah Lantai 1 Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: http://www.archdaily.com/443408/spaulding-
hospita-perkins-will/ diakses 8 Maret 2015
75% dari lantai dasar merupakan area publik dan berhubungan dengan
Boston Harbor Walk. Pembagian zonasi berdasarkan pembagian dua bangunan,
dimana 1 bangunan merupakan area privat dengan 8 lantai dan bangunan lainnya
merupakan bangunan publik dan semi-publik dengan aktivitas terapi.
Gambar 28. Lobby Koridor Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: http://www.archdaily.com/443408/spaulding-
hospita-perkins-will/ diakses 8 Maret 2015
Bangunan memiliki banyak koridor yang memiliki area yang luas, sehingga
para pengguna kursi roda dapat beraktivitas secara maksimal.
Gambar 29. Open space Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: http://www.archdaily.com/443408/spaulding-
hospita-perkins-will/ diakses 8 Maret 2015
30
Memiliki banyak sekali area open space, dimana area-area tersebut terletak
tidak hanya pada lantai dasar, tetapi juga pada lantai atas dan area ini juga
dimanfaatkan sebagai area rekreasi para pasien dan pengunjung dan juga sebagai
area terapi outdoor.
Gambar 30. View Spaulding Rehabilitation Hospital Sumber: http://www.archdaily.com/443408/spaulding-
hospita-perkins-will/ diakses 8 Maret 2015
Bangunan berbentuk kotak-kotak dengan konsep open, dimana terlihat bahwa
bangunan ini memiliki banyak area terbuka, baik diluar maupun didalam.
Dalam menanggapi perubahan iklim dan kemungkinan kenaikan permukaan
laut, lantai utama diangkat sejauh setengah meter dan semua peralatan HVAC terletak
di atap. Vegetasi pada atap mengurangi limpasan air hujan dan mengurangi beban
pendinginan dan efek heat-island.
3. Vandhalla Egmont Rehabilitation Center
Gambar 31. Lokasi Vandhalla Egmont Rehabilitation Center Sumber: maps.google.com diakses 14 April 2015
• Architects: Force4 Architects + CUBO Arkitekter
• Location: Hou Seasportcenter, Villavej 25, Odder, Denmark
• Area: 4,000 sqm
• Year: 2013
31
Fasilitas terapi utama pada proyek ini adalah Terapi Hydro yang dapat
digunakan oleh pengguna kursi roda. Selain itu, terdapat juga fasilitas terapi fisik
pada bangunan ini.
Fasad bangunan terlihat tertutup pada lantai atas, sedangkan pada lantai
dasar, terlihat bangunan terselubung oleh kaca, sehingga terlihat terbuka.
Gambar 32. Fasad Vandhalla Egmont Rehabilitation Center Sumber: http://www.world-Architects.com/en/projects/41631_
Vandhalla_Egmont_Water_Rehabilitation_Centre diakses 14 April 2015
Gambar 33. Denah Vandhalla Egmont Rehabilitation Center Sumber: http://www.archdaily.com/474130/vandhalla-egmont-rehabilitation-centre-cubo-arkitekter-
force4-Architects/ diakses 14 April 2015
Pembagian zonasi pada bangunan ini adalah dengan meletakkan area
pemeriksaan ditengah bangunan dan dikelilingi oleh area-area terapi berupa kolam
renang, gymnasium, lapangan olahraga. Terdapat juga area berkumpul yang
difungsikan sebagai kantin di bagian samping bangunan.
32
Gambar 34. View Koridor Area Terapi Hydro Sumber: http://www.archdaily.com/474130/vandhalla-egmont-rehabilitation-centre-cubo-arkitekter-
force4-Architects/ diakses 14 April 2015
Koridor pada area terapi pusat rehabilitasi ini memiliki lebar yang dapat
dengan pas dilalui oleh 2 pengguna kursi roda. Selain itu pada koridor-koridor
lainnya, terlihat bahwa lebar koridor tersebut lebih lebar dibandingkan dengan
koridor pada area terapi, sehingga pengguna kursi roda dapat beraktivitas lebih
maksimal.
Gambar 35. Bird-View Vandhalla Egmont Rehabilitation Center Sumber: http://www.hojskolerne.dk/hoejskoler/hoejskole-soeg/egmont-hoejskolen?lang=en diakses
14 April 2015
Jika dilihat pada gambar diatas, terdapat area open space mengelilingi
bangunan dan juga area open space yang terletak pada dalam bangunan. Selain itu,
area parkir juga diletakkan pada bagian depan bangunan, sehingga area belakang
bangunan tidak terganggu oleh aktivitas kendaraan.
33
Bangunan ini sendiri terletak disamping pantai dan penghijauan, sehingga
memiliki view yang bersifat alami dan menarik.
Gambar 36. View Wheel Chair Water Ramp Sumber: http://www.archdaily.com/474130/vandhalla-egmont-rehabilitation-centre-cubo-arkitekter-
force4-Architects/ diakses 14 April 2015
Gambar diatas merupakan fokus utama pada bangunan ini, yaitu sebuah
waterslide dan waterramp yang dapat diakses oleh pengguna kursi roda, sehingga
dapat melatih keseimbangan dan respon para pasien.
Gambar 37. View Wheel Chair Water Slide Sumber: http://www.archdaily.com/474130/vandhalla-egmont-rehabilitation-centre-cubo-arkitekter-
force4-Architects/ diakses 14 April 2015
Akses menuju waterslide ini sendiri menggunakan tangga dan elevator ke
atas dan kemudian turun sejauh 90m melalui waterslide.
34
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi literatur, dapat ditarik kesimpulan berupa beberapa
hal, yaitu :
a. Perancangan pusat rehabilitasi harus memperhatikan sistem aksesibilitas,
dimana sistem aksesibilitas tersebut harus dapat mendukung aktivitas para
penyandang cacat, terutama pengguna kursi roda.
b. Koridor pada bangunan harus dapat mendukung pergerakan setidaknya 2
pengguna kursi roda, sehingga tidak bertabrakan dan tidak perlu memutar.
c. Fasad bangunan sebaiknya dapat terlihat menyatu dengan lingkungan.
d. Pembagian zonasi dan fasilitas harus terbagi dengan jelas dan membedakan
antara area privat dan publik.
e. Konsep bangunan dapat berupa konsep maju mundur, open, dan sebagainya
selama dapat memberikan kesan menarik dan menyatu dengan lingkungan.
f. Bangunan sebaiknya memiliki area open space yang dapat menjadi area
rekreasi maupun area terapi. Selain itu, area terapi juga sebaiknya dapat
mendukung aktivitas pengguna kursi roda.
g. Konsep keberlanjutan harus diperhatikan ketika perancangan, baik dalam hal
penggunaan material maupun perancangan sistem bangunan.
35
2.6 Kerangka Berpikir
1.
Gambar 38. Kerangka Berpikir
OPTIMALISASI AKSESIBILITAS UNTUK PUSAT REHABILITASI
PENYANDANG CACAT TUBUH DI JAKARTA UTARA
Latar Belakang & Permasalahan
Bagaimana merancang pusat rehabilitasi penyandang cacat tubuh dengan
akses yang baik
ISSUE :
Sustainable, healthy, and liveable
human settlement
Sustainable, healthy and liveable :
Kurang tersedianya aksesibilitas yang
memudahkan pergerakan para
penyandang cacat
Human Settlement :
Belum tersedianya suatu pusat
rehabilitasi bagi para penyandang
cacat di Jakarta, mengingat angka
penyandang cacat yang cukup
tinggi Studi Literatur
Aksesibilitas & Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat
Analisa Manusia, Lingkungan, dan Bangunan
F
E
E
D
B
A
C
K
Landasan Teori
Konsep Perancangan
Skematik Desain
Perancangan
Analisa Aksesibilitas