bab i, bab ii
DESCRIPTION
aTRANSCRIPT
LAPORANCOMMUNITY HEALTH ANALYSIS
ANALISIS FAKTOR PENGETAHUAN, PERILAKU,DAN LINGKUNGAN
TERHADAP KEJADIAN DIABETES MELITUSDI DESA KALISALAK KECAMATAN KEBASEN
Disusun Oleh :
Go Ferra Marcheela G G4A014069Yolanda Shinta P G4A014070
Preceptor Lapangan : dr. Tri Lestari KPreceptor Fakultas : dr. Diah Krisnansari, M.Si
KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITASILMU KESEHATAN MASYARAKAT
JURUSAN KEDOKTERAN UMUMFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO
SEPTEMBER 2015
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN COMMUNITY HEALTH ANALYSIS
ANALISIS FAKTOR PENGETAHUAN, PERILAKU,DAN LINGKUNGAN
TERHADAP KEJADIAN DIABETES MELITUSDI DESA KALISALAK KECAMATAN KEBASEN
Disusun untuk memenuhi sebagian syarat Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas/Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurusan Kedokteran UmumFakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh
Go Ferra Marcheela G G4A014069Yolanda Shinta P G4A014070
Telah dipresentasikan dan disetujuiTanggal ……………….
Preseptor Lapangan
dr. Tri Lestari K . NIP 19700909.200212.2.004
Preseptor Fakultas
dr. Diah Krisnansari , M. S i NIP 19770202.200501.2.001
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak
ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia
Tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah
manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili
Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2,
Den3 dan Den-4, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang
terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terdapat
hampir di seluruh pelosok Indonesia (Candra, 2010).
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara,
terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di
Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India.
Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang,
setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian
setiap tahun, diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi
dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus
dengue melalui gigitan nyamuk setempat (Knowlton, Solomon, Rotkin-
Ellman, Pitch, 2009).
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan
subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan
kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di
Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang
terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang
dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya
jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna
dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak
137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR)
0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384
orang atau CFR 0,89% (Kusriasturi, 2010).
Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah
penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di
dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi
intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan
respon imun. Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk,
artinya munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi,
diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang
memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain
itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas
penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan,
sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan
lainnya (Sari, 2005).
Desa Kalisalak Kecamatan Kebasen merupakan desa dengan jumlah
penduduk 10.118 jiwa. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas, terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue di
Desa Kalisalak Kecamatan Kebasen yaitu sejumlah 2 orang menderita DBD,
sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue di Desa Kalisalak
B. Tujuan
Tujuan Umum : Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian demam berdarah dengue di Desa Kalisalak.
Tujuan Khusus :
1. Menganalisis hubungan antara kejadian demam berdarah dengue dengan
faktor perilaku, pengetahuan, dan lingkungan Desa Kalisalak
2. Mengetahui dan menganalisis faktor risiko yang paling dominan terhadap
kejadian demam berdarah dengue Desa Kalisalak.
3. Melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap program
pemecahan masalah berkaitan dengan faktor risiko paling dominan
terhadap kejadian demam berdarah dengue Desa Kalisalak.
C. Manfaat
a. Bagi Peneliti
1. Menambah wawasan bagi peneliti mengenai demam berdarah dengue
beserta faktor-faktor risikonya.
2. Memberikan pemahaman dan pengalaman bagi peneliti dalam
menganalisis masalah kesehatan di masyarakat termasuk
pemecahannya.
b. Bagi Puskesmas
Memberikan masukan kepada puskesmas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian demam berdarah dengue Desa Kalisalak,
khususnya bagi tenaga kesehatan dalam menyampaikan penyuluhan,
sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai program lanjutan
pencegahan dan untuk menekan angka kejadian demam berdarah dengue
serendah mungkin
c. Bagi Masyarakat
Memberikan tambahan pengetahuan dan pemahaman mengenai demam
berdarah dengue dan faktor-faktor risikonya.
BAB II
ANALISIS SITUASI
A. Deskripsi, Situasi, Kondisi dan Wilayah Kerja Puskesmas
1. Keadaan Geografis
Kecamatan Kebasen merupakan salah satu bagian wilayah
Kabupaten Banyumas dengan luas wilayah 53,99 km2. Kecamatan
Kebasen terdiri dari 12 desa dengan batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : Kecamatan Patikraja
b. Sebelah Selatan : Kecamatan Sampang dan Kecamatan
Kroya Kabupaten Cilacap
c. Sebelah Timur : Kecamatan Banyumas dan Kecamatan
Kemranjen
d. Sebelah Barat : Kecamatan Rawalo
Gambar 1. Denah Wilayah Puskesmas Kebasen
Pemanfaatan lahan di Kecamatan Kebasen dapat dirinci sebagai
berikut :
a. Tanah Sawah : 1.049,60 Ha (19,43 %)
b. Tanah Pekarangan/ Bangunan : 1.542,33 Ha (28,56 %)
c. Tanah Tegal/ Kebun : 1.041,66 Ha (19,29 %)
d. Tanah Kebasen : 10,800 Ha (0,20 %)
e. Tanah Hutan Negara : 916,000 Ha (16,96 %)
f. Tanah Perkebunan Rakyat : 565,100 Ha (10,44 %)
g. Lain-lain : 274,025 Ha (5,09 %)
2. Keadaan Demografi
a. Pertumbuhan Penduduk.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kecamatan Kebasen
tahun 2014 jumlah penduduk Kecamatan Kebasen adalah 61.090 jiwa
terdiri dari 31.097 jiwa laki-laki ( 50,9 % ) dan 29.993 jiwa perempuan
( 49,1 % ) tergabung dalam 15.733 rumah tangga / KK. Jika
dibandingkan dengan kondisi tahun 2013 jumlah penduduk dalam
tahun 2014 mengalami peningkatan.( sumber data dari dirjen
kependudukan dan catatan sipil)
Jumlah penduduk tahun 2014 yang tertinggi di desa Kalisalak
sebanyak 10.118 jiwa, sedangkan terendah di desa Tumiyang 1.476
jiwa. Apabila kita bandingkan dengan luas wilayah, kepadatan
penduduk kecamatan Kebasen sebesar 1.131 / km2.
Kepadatan penduduk Kecamatan Kebasen tahun 2014 sebesar
1.131/km2. Dengan kepadatan tertinggi ada di desa Cindaga dengan
tingkat kepadatan sebesar 2.045/km2
b. Tingkat Pendidikan
Tabel 2.2. Jenis Pendidikan menurut Jenis Kelamin
No Jenis PendidikanJenis Kelamin
JumlahLaki-laki Perempuan
1 Tidak/Belum Tamat
SD/MI
7.806 7.866 15.672
2 Tamat SD/MI 9.960 10.197 20.157
3 SLTP/Sederajat 3.481 2.836 6.317
4 SLTA/Sederajat 1.997 1.432 3.429
5 Diploma III 392 311 703
6 Universitas 248 158 406
Jumlah 23884 22800 46684
Tingkat pendidikan masyarakat Kebasen di dominasi dengan
tamat SD atau MI dengan jumlah 20.157 jiwa.Masyarakat yang
berpendidikan hingga jenjang universitas memiliki jumlah yang sedikit
yaitu 406 jiwa.Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
masyarakat Kebasen cukup rendah.
c. Mata Pencaharian
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kecamatan
Kebasen tahun 2014, mata pencaharian atau jenis pekerjaan penduduk
di Kecamatan Kebasen 10 besar yaitu petani (30,68%), buruh tani
(42,67%), pengusaha (0,62%), buruh industri (4,45%), buruh
bangunan (6,08%), pedagang (4,41%), pengangkutan (1,19%), PNS
(1,80%), ABRI (0,26%), pegawai BUMN/BUMD (2,47%), pensiunan
(0,05%), penggalian (1,82%), jasa sosial (0,28%) dan lain-lain
(3,22%).
B. Pencapaian Program Kesehatan
1. Derajat Kesehatan Masyarakat
Untuk melihat gambaran derajat kesehatan masyarakat di
Kecamatan Kebasen pada tahun 2014 disajikan dalam uraian yang yang
mencakup mortalitas, morbiditas dan status gizi masyarakat.
Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari kejadian kematian,
kesakitan dan status gizi yang ada di masyarakat. Selain sebagai salah satu
indikator derajat kesehatan masyarakat, kejadian kematian, kesakitan dan
status gizi masyarakat juga dapat digunakan sebagai indikator dalam
menilai keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan
kesehatan lainnya. Perkembangan kejadian kematian, penyakit dan staus
gizi masyarakat di Kecamatan Kebasen pada periode tahun 2014 disajikan
dalam uraian di bawah ini.
a. Mortalitas
1) Angka Kematian Bayi
Berdasarkan tabel 8 dalam lampiran buku profil ini, pada
tahun 2014 di Kecamatan Kebasen ada 958 lahir hidup, dengan 11
lahir mati dan jumlah bayi mati sebesar 3 bayi. Angka kematian
bayi (AKB) di Kecamatan Kebasen sebesar 3,1 per 1000 lahir
hidup, sehingga AKB dilaporkan sebesar 3,1. Sedangkan AKB
tahun 2013 sebesar 7,6. Dengan demikian ada penurunan AKB
sebesar 4,5 . Hal ini disebabkan adanya penurunan jumlah
kelahiran hidup pada tahun 2014 sebesar 958 lahir hidup
dibandingkan tahun 2013 sebanyak 1054 lahir hidup. Jika
dibandingkan dengan IIS 2013 AKB di Kecamatan Kebasen
terhitung rendah (IIS 2012 = 40 per 1000 kelahiran hidup). Dan
juga didukung oleh peningkatan kualitas pelayanan dengan
bertambahnya kemampuan tenaga medis dan paramedis untuk
penanggulangan kegawatdaruratan lewat pelatihan atau diklat yang
diikuti.
Tingginya angka kematian bayi menunjukkan masih
rendahnya status kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang dapat
disebabkan oleh masih rendahnya akses dan kualitas pelayanan
kesehatan masyarakat khususnya pelayanan kesehatan ibu dan
anak, perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat khususnya ibu
saat hamil serta lingkungan masyarakat yang belum sepenuhnya
mendukung pentingnya kesehatan.
2) Angka Kematian Ibu
Berdasarkan tabel 8 dalam lampiran buku profil ini, pada
tahun 2014 di Kecamatan Kebasen jumlah kematian ibu hamil 0,
ibu bersalin 0 dan ibu nifas sebanyak 0 orang. Angka Kematian Ibu
(AKI) di Kecamatan Kebasen pada tahun 2014 sebesar 0 per
100.000 kelahiran hidup.
AKI tahun 2013 di Kecamatan Kebasen sebesar 0 per
100.000 kelahiran hidup. Dengan demikian AKI di Kecamatan
Kebasen pada tahun 2014 tidak mengalami perubahan dan masih
bisa mempertahankan dalam nilai 0. Menurut IIS 2014 AKI sebesar
150 per 100.000 kelahiran hidup, dengan demikian AKI di
Kecamatan Kebasen dibawah AKI menurut IIS 2014. Ini
menunjukan bahwa program kesehatan di Kecamatan Kebasen
cukup baik. Ditunjang dengan pelayanan dan kompetensi dari
tenaga medis dan paramedis yang semakin meningkat.
3) Angka Kematian Balita
Berdasarkan tabel 7 dalam lampiran buku profil ini, pada
tahun 2014 di Kecamatan Kebasen jumlah Balita sebanyak 4.767
anak, jumlah balita mati adalah 4 anak. Dengan demikian Angka
Kematian Balita di tahun 2014 sebesar 2,1 per 1000 kelahiran
hidup. Sedangkan Angka Kematian Balita di tahun 2013 sebesar
17,1 per 1000 kelahiran hidup. Dengan demikian pada tahun 2014
ada penurunan Angka Kematian Balita. Ini menunjukkan program
kesehatan di Kecamatan Kebasen cukup baik. Agar tidak terjadi
peningkatan angka kematian anak, maka perlu dilakukan upaya-
upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kemandirian masyarakat
tentang kesahatan melalui pemberdayaan dan pengembangan upaya
kesehatan bersumber daya masyarakat seperti POSYANDU, Desa
Siaga, Dana Sehat dan lainnya selain program kesehatan yang
dilaksanakan oleh Puskesmas dan untuk puskesmas sendiri lebih
meningkatkan lagi hal promotif dan preventif disamping pelayanan
pengobatan.
4) Angka Kecelakaan
Berdasarkan tabel 80 dalam lampiran buku profil ini, pada
tahun 2014 di Kecamatan Kebasen terjadi kecelakaan lalu lintas
sebanyak 39 kejadian dengan dengan jumlah korban sebanyak 36
orang luka ringan ,3 orang luka berat, dan tidak ada korban
meninggal.
Dibanding kejadian kecelakaan lalu lintas tahun 2013
sebanyak 45 kejadian dengan jumlah korban sebanyak 36 luka
ringan dan 8 luka berat ,korban meninggal 0. Angka kejadian
kecelakaan lalu lintas pada tahun 2014 menurun dibanding tahun
2013. Hal ini dimungkinkan mulai ada kesadaran dari pengendara
motor ataupun mobil untuk disiplin dalam berlalulintas.
b. Morbiditas
1) Penyakit Malaria
Berdasarkan tabel 24 dalam lampiran buku profil ini, pada
tahun 2014 terjadi kasus Malaria positif sebanyak 4 kasus atau
Angka Kesakitan Malaria (API) sebesar 0,1 per 1000 penduduk.
Sedangkan kejadian kasus Malaria Positif pada tahun 2013
sebanyak 4 kasus atau Angka Kesakitan Malaria (API) sebesar 0,1
per 1000 penduduk. Dengan demikian di Kecamatan Kebasen tidak
terjadi peningkatan kejadian kasus malaria positif. Hal ini bisa
dipertahankan dengan peran aktifnya medis, paramedis, petugas
surveilan, promkes, bidan desa dalam preventif dan promotifnya
dan juga dibantu oleh juru malaria desa. Dan daerah endemis
malaria di Kecamatan Kebasen masih berada di desa Kalisalak.
2) TB Paru
Dari tabel 11 dalam buku profil ini, pada tahun 2014
ditemukan kasus baru TB Paru BTA positif sebanyak 25 kasus ,
klinis 33 dengan perkiraan jumlah kasus BTA positif sebanyak 60
kasus. Dengan demikian angka Penemuan Penderita TB Paru BTA
positif (CDR) di Kecamatan Kebasen sebesar 38,46 %. Dibanding
periode yang sama pada tahun 2013 ditemukan kasus baru BTA
positif sebanyak 30 kasus dengan perkiraan jumlah kasus BTA
positif sebanyak 65 kasus dengan CDR sebesar 46,15%. Dengan
demikian ada penurunan CDR pada tahun 2014 dibanding tahun
2013.
Hal ini dimungkinkan kurangnya screening dari pemegang
program atau kurang aktifnya pemegang program, medis dan
paramedis untuk melakukan penjaringan di keluarga dengan
BTA+.
3) HIV
Dari tabel 14 dalam buku profil ini, pada tahun 2014 di
Kecamatan Kebasen tidak ditemukan kasus HIV. Begitu pula di
tahun 2013 adalah 0 kasus. Hal ini dimungkinkan tidak
terdeteksinya kasus HIV di wilayah atau memang tidak ada kasus.
4) Acute Flaccid Paralysis
Standar penemuan kasus polio adalah 2 per 100.000
penduduk usia kurang dari 15 tahun. Target penemuan kasus di
Kabupaten banyumas adalah 8 kasus. Bila dilihat dari tabel 9 dalam
buku profil ini, di Kecamatan Kebasen pada tahun 2014 tidak
ditemukan kasus AFP.
5) Demam Berdarah Dengue
Dari tabel 23 dalam buku profil ini, jumlah kasus DBD di
Kecamatan Kebasen pada tahun 2014 sebanyak 9 kasus dengan
angka kesakitan DBD sebesar 14,7 per 100.000 penduduk.
Sedangkan pada tahun 2013 jumlah kasus DBD sebanyak 8 kasus
dengan angka kesakitan DBD sebesar 13,1 per 100.000 penduduk.
Dengan demikian terjadi peningkatan kasus DBD pada tahun 2014
dibanding tahun 2013. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin
tingginya mobilitas penduduk ,kurangnya kesadaran masyarakat
untuk melakukan pencegahan dengan kegiatan PSN secara rutin
dan berkesinambungan, dan kurangnya pengetahuan dari
masyarakat tentang DBD dan pemberantasannya. Masyarakat
hanya mengetahui untuk penatalaksaan pemberantasan DBD hanya
dengan fogging tanpa PSN, mungkin kurangnya preventif dan
promotif dari petugas kesehatan ke masyarakat.
c. Status Gizi
Pada tahun 2014 di Kecamatan Kebasen terdapat 1.338 bayi dan
3.789 anak balita dengan bayi mendapat vitamin A satu kali sebanyak
1.338 bayi (100%), anak balita mendapat vitamin A dua kali sebanyak
3.687 (97,308%). Dan pada tabel 44 didapati anak BGM sebanyak 75
mendapatkan MP ASI 156 dan ditemukan kasus balita gizi buruk 4
katagori BB/U dan katagori BB/TB 1 anak semuanya sudah mendapat
PMT pemulihan baik dari anggaran APBN (BOK) dan BLUD, dengan
pengawasan dan evaluasi dari petugas kesehatan baik medis,
pemegang program gizi dan dibantu oleh bidan desa akhirnya 5 yang
terkatagori gizi buruk terjadi peningkatan BB yang signifikan.
2. Pelayanan Kesehatan Dasar
a. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar di dalam
pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang
dialami seorang ibu apalagi yang sedang hamil bisa berpengaruh
terhadap kesehatan janin dalam kandungan hingga kelahiran dan masa
pertumbuhan bayi dan anaknya.
1) Pelayanan K4
Masa kehamilan merupakan masa yang rawan kesehatan,
baik kesehatan ibu yang mengandung maupun janin yang
dikandungnya sehingga dalam masa kehamilan perlu dilakukan
pemeriksaan secara teratur. Hal ini dilakukan guna mencegah
gangguan sedini mungkin dari segala sesuatu yang membahayakan
kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya.
Berdasarkan tabel 28 pada tahun 2014 jumlah ibu hamil di
Kecamatan Kebasen sebanyak 1.019 ibu hamil , adapun ibu hamil
yang mendapat pelayanan K-4 adalah sebesar 993 atau 97,4 % ibu
hamil. Dibandingkan dengan tahun 2013 yang mendapatkan
pelayanan K-4 sejumlah 1010 atau 88,98 % Berarti pelayanan K-4
mengalami peningkatan sebesar 8,42%
Pada prinsipnya kegiatan-kegiatan dalam rangka pelayanan
K-4 sudah dilaksanakan secara maksimal, hal itu dikarenakan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan
pada waktu hamil sudah meningkat. Selain itu juga petugas
kesehatan telah berusaha maksimal dalam memotivasi kepada ibu
hamil. Dan adanya kerjasama yang baik juga antara BPM dan
Puskesmas.
Standar Pelayanan Minimal untuk cakupan kunjungan ibu
hamil K-4 sebesar 95%. Dengan demikian untuk Kecamatan
Kebasen memenuhi target tercapai standar pelayanan minimal.
2) Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan (Nakes)
Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir
sebagian besar terjadi pada masa disekitar persalinan. Hal ini antara
lain disebabkan oleh pertolongan yang tidak dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional).
Jumlah ibu bersalin tahun 2014 sesuai tabel 28 sebanyak
971 orang, jumlah yang ditolong oleh nakes sebanyak 964 orang
atau 99,3%. Dibandingkan tahun 2013 jumlah ibu bersalin 1.083
orang, jumlah persalinan yang ditolong nakes 1.083 orang atau
100%. Berarti pelayanan persalinan oleh Nakes mengalami
penurunan sebesar 0,7%.
Target Standar Pelayanan Minimal untuk pertolongan
persalinan oleh nakes tahun 2014 sebesar 90 %. Dengan demikian
cakupan persalinan nakes Kecamatan Kebasen tahun 2014 sudah
memenuhi standar pelayanan minimal, walaupun mengalami
penurunan, hal ini masih adanya praktek dukun bersalin yang harus
ditingkatkan pembinaannya oleh puskesmas lewat kerjasama lintas
sektor.
Namun demikian kegiatan-kegiatan yang mendukung
pencapaian SPM tersebut masih tetap harus dilaksanakan untuk
lebih meningkatkan cakupan antara lain ditingkatkannya kerjasama
bidan untuk terselenggaranya PONED secara maksimal,
pengembangan kompetensi medis, bidan dan paramedis lainnya
baik dengan update kebidanan dan pelatihan, pengembangan
Pondok Bersalin Desa (Polindes) menjadi Poliklinik Kesehatan
Desa (PKD).
3) Ibu Hamil Risiko Tinggi dirujuk
Sesuai table 31 pada tahun 2014 jumlah ibu hamil resiko
tinggi (resti) di Kecamatan Kebasen 204. Adapun jumlah ibu hamil
resti yang dirujuk 200 (98,1 %). Dibandingkan jumlah bumil resti
tahun 2013 adalah 217 orang maka tahun 2014 jumlah bumil resti
mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena tingginya
kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya serta
adanya Bidan di setiap desa sehingga setiap ada kelainan segera
terdeteksi dan mendapat penanganan.
4) Bayi dan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Berdasarkan tabel 26, pada tahun 2014 jumlah bayi baru
lahir hidup sebanyak 958 bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) sebanyak 19 bayi atau 2% dari bayi yang lahir. Dari
sejumlah BBLR tersebut sudah ditangani 100 %.
Jika dibandingkan dengan tahun 2013 jumlah bayi baru
lahir hidup sebanyak 994 bayi, jumlah bayi BBLR sebanyak 46
bayi atau 4,5% dari bayi baru lahir dan tertangani 100%. Untuk
tahun 2014 berarti terjadi penurunan sebesar 2,5%. Ini sangat
dimungkinkan dengan meningkatnya kesadaran ibu hamil untuk
selalu memeriksakan kehamilan di fasilitas pelayanan kesehatan
dan tentunya lebih gencarnya promosi dari petugas kesehatan.
Target SPM tahun 2014 untuk penanganan kasus BBLR adalah
100%. Penanganan kasus BBLR di Kecamatan Kebasen sudah
sesuai target SPM Kabupaten.
5) Pelayanan Keluarga Berencana
Masa subur seorang wanita memiliki peran penting bagi
terjadinya kehamilan sehingga peluang wanita untuk melahirkan
menjadi cukup tinggi. Menurut hasil penelitian usia subur seorang
wanita biasanya antara 15 – 49 tahun . Oleh karena itu untuk
mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita /
pasangan ini lebih diprioritaskan untuk menggunakan alat/ cara
KB.
Berdasarkan data yang dihimpun pada tabel 35, tahun 2014
jumlah pasangan usia subur (PUS) berdasarkan sumber dari Badan
Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan KB sebesar 13859
pasangan. Jumlah PUS tahun 2013 sebesar 13704 sehingga
mengalami peningkatan.
Jika kita perhatikan tabel 35 bahwa jumlah PUS tertinggi
terdapat di desa Cindaga yaitu sebanyak 2.349 yang sebelumnya
juga di desa Cindaga. Peserta KB aktif pada tahun 2014 sebesar
10473 atau 75,6%. Sedangkan tahun 2013 sebesar 10534 atau
76,9% sehingga jumlah peserta KB aktif mengalami penurunan.
Hal ini dikarenakan menurunnya tingkat kesadaran masyarakat
terhadap KB yang berpengaruh besar terhadap kualitas generasi
yang dilahiran dan pengaruh terhadap kesehatan ibu hamil, dengan
semakin banyak anak semakin besar resiko yang dihadapi pada saat
kehamilan atau dikarenakan kurang aktifnya pemegang program
dalam promosi tentang kualitas KB.
6) Pelayanan Imunisasi
Kegiatan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi
untuk bayi umur 0 – 1 tahun (BCG, DPT, Polio, Campak, HB)
imunisasi untuk wanita usia subur/ ibu hamil (TT) dan imunisasi
untuk anak sekolah SD( kelas 1 : DT, dan kelas 2-3 : TD ).
Jumlah desa di Kecamatan Kebasen sebanyak 12 desa. Desa
Universal Child Immunization (UCI) pada tahun 2014 berdasarkan
tabel 38 sebanyak 12 desa atau 100 %.
Dibandingkan tahun 2013 desa Universal Child Imunization
(UCI) sebanyak 12 desa atau 100% berarti sama. Terget SPM
untuk desa UCI tahun 2012 sebesar 100%. Dengan demikian
Kecamatan Kebasen pada tahun 2012 sudah memenuhi target SPM.
3. Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Rujukan dan Penunjang
Pelayanan dapat dilayani melalui Puskesmas sebagai pelayanan
kesehatan dasar dan Rumah Sakit sebagai pelayanan kesehatan rujukan.
Jumlah kunjungan baru rawat jalan yang dihimpun dari profil kesehatan
berdasarkan tabel 58 sebesar 21596 atau 35,4 % dari jumlah penduduk ,
dibanding tahun lalu mengalami peningkatan,
Jumlah kunjungan baru pasien rawat inap sebanyak 1648 pasien
atau 2,7 % dari jumlah penduduk dibanding tahun 2013 sebesar 1446
orang atau 1,36 % berarti mengalami peningkatan sekitar 1,34 %. Target
kunjungan rawat jalan berdasarkan Indonesia Sehat 2014 sebesar 15 %
dengan demikian penggunaan fasilitas kesehatan rawat jalan di Kecamatan
Kebasen tahun 2012 belum memenuhi target. Sedangkan untuk
penggunaan fasilitas kesehatan rawat inap di Kecamatan Kebasen bila
dibandingkan dengan Indikator Indonesia Sehat 2014 sebesar 1,5% maka
masyarakat Kecamatan Kebasen dalam pemanfaatan fasilitas rawat inap
sudah diatas target.
4. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
1) Pencegahan dan Pemberantasan Polio
Menurut sumber dari petugas surveilan Puskesmas Kebasen
tahun 2014 kasus Acute Flacid Paralysiss (AFP) di Kecamatan
Kebasen tidak ada.
Standar pelayanan Minimal untuk AFP rate per 100.000
penduduk < 15 tahun adalah. Adapun standar penemuan kasus polio
adalah 1 per 100.000 penduduk usia kurang dari 15 tahun (2 kasus
dari anak). Dengan demikian penemuan AFP tahun 2014 tidak ada
2) Pencegahan dan Pemberantasan TB Paru
Bersumber dari petugas TB Paru Puskesmas tahun 2014 kasus
TB Paru sebanyak 25 kasus BTA + dengan angka kesembuhan 23
orang (95,83%). Standar pelayanan minimal untuk kesembuhan
penderita TBC BTA positif (>85%). Dengan demikian kesembuhan
penderita di Kecamatan Kebasen dibanding dengan SPM sudah
tercapai. Tentunya didukung dengan kepatuhan minum obat, dan
adanya home visit rutin dan PMO.
3) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA
Berdasarkan data dari petugas ISPA Puskesmas Kebasen yang
terhimpun dalam tabel 13, tahun 2014 perkiraan kasus pneumonia
balita sebanyak 477 anak sedangkan yang ditemukan dan ditangani
sebanyak 19 anak atau 4%. Dari jumlah kasus tersebut semua yang
ditemukan seluruhnya (100%) ditangani dengan baik.
Jika dibandingkan dengan tahun 2013, yang ditangani dan
ditemukan sebanyak 7 anak maka 2014 terjadi peningkatan kasus
pneumonia yang ditemukan dan ditangani walaupun masih sangat
dibawah standart.
Standar Pelayanan Minimal untuk balita dengan pneumonia
yang ditangani sebesar 100%. Dibandingkan dengan SPM sudah
tercapai, tetapi dalam hal penemuan kasus kurang dari target (10% X
jumlah balita). Hal ini disebabkan karena masih lemahnya dalam
penegakan diagnosa pneumonia balita. Kondisi tersebut dapat diatasi
melalui pertemuan pemantapan program dan pelatihan MTBS
(Managemen Terpadu Balita Sakit) untuk dokter, perawat dan bidan.
4) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS
Dari tabel 14 dalam buku profil ini, pada tahun 2014 di
Kecamatan Kebasen tidak ditemukan kasus HIV.
5) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD
Dari tabel 23 dalam buku profil ini, jumlah kasus DBD di
Kecamatan Kebasen pada tahun 2014 sebanyak 9 kasus dengan angka
kesakitan DBD sebesar 14,7 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada
tahun 2013 jumlah kasus DBD sebanyak 8 kasus dengan angka
kesakitan DBD sebesar 13,1 per 100.000 penduduk. Dengan demikian
terjadi peningkatan kasus DBD pada tahun 2014 dibanding tahun
2013. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat
untuk melakukan pencegahan dengan kegiatan PSN secara rutin dan
berkesinambungan, dan rendahnya ilmu pengetahuan tentang DBD
dan pencegahannya di masyarakat.
6) Pengendalian Penyakit Malaria
Berdasarkan table 24 dalam lampiran buku profil ini, pada
tahun 2014 terjadi kasus Malaria positif sebanyak 4 kasus atau Angka
Kesakitan Malaria (API) sebesar 0,1 per 1000 penduduk. Sedangkan
kejadian kasus Malaria Positif pada tahun 2013 sebanyak 4 kasus atau
Angka Kesakitan Malaria (API) sebesar 0,1 per 1000 penduduk.
Dengan demikian di Kecamatan Kebasen tidak terjadi peningkatan
kasus malaria positif pada tahun 2014 dan tahun 2013. Daerah
endemis malaria di Kecamatan Kebasen ada di desa Kalisalak.
7) Penyelenggaraan Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan
KLB
Berdasarkan data yang dihimpun petugas Kesling tidak
terdapat desa terkena KLB kurang dari 24 jam ditangani.
8) Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor untuk nyamuk, yang dilakukan secara
rutin adalah dengan gerakan PSN, abatisasi, fogging dan penyuluhan.
Namun langkah yang paling efektif adalah dengan PSN.
Pada tahun 2014 dari sejumlah 15.733 rumah / bangunan yang
ada, diperiksa sebanyak 8685 rumah, yang terbukti bebas jentik
sebanyak 7137 rumah.
Jika dibandingkan dengan tahun 2013 bangunan yang ada
15702 diperiksa 8682 yang terbukti bebas jentik 7123.
5. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar
1) Pelayanan Kesehatan Lingkungan
Berdasarkan tabel 68, tahun 2014 jumlah institusi yang terdiri
sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana ibadah dan perkantoran di
Kecamatan Kebasen yang dibina kesehatan lingkungannya sebanyak
290 buah, yang dibina 231 buah (79,66 %).
Standar pelayanan minimal untuk institusi yang dibina sebesar
70% dengan demikian institusi yang dibina di Kecamatan Kebasen
sudah mencapai standar.
2) Pelayanan Hygiene Sanitasi Tempat Tempat Umum
Pada tahun 2014 jumlah tempat-tempat umum (TTU) yang
diperiksa persyaratan kesehatannya sebanyak 336 buah, TTU yang
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 256 buah dari TTU yang
diperiksa sebanyak 291 (87,97 %).
Dibandingkan pada tahun 2013, TTU yang memenuhi syarat
kesehatan sebanyak 260 buah dari 291 buah TTU yang diperiksa.
Secara kuantitas dan secara kualitas TTU yang diperiksa tidak
mengalami perubahan.
3) Rumah Sehat
Berdasarkan tabel 62 diketahui bahwa tahun 2014 dari 15.733
rumah yang ada, diperiksa sebanyak 8796 rumah, yang memenuhi
syarat kesehatan sebanyak 5514 atau 62,69%. Jika dibandingkan
dengan tahun 2013 dari 7893 rumah yang diperiksa sebanyak 3767
rumah yang memenuhi syarat kesehatan. Secara kuantitas dan secara
kualitas mengalami peningkatan.
Cakupan rumah sehat ini tidak dapat menggambarkan kondisi
rumah sehat seluruh wilayah Kecamatan Kebasen mengingat hasil
cakupan hanya berdasarkan pada jumlah rumah yang diperiksa (tidak
seluruh rumah diperiksa).
4) Tempat-Tempat Umum
Pada tahun 2014 jumlah tempat-tempat umum (TTU) yang
diperiksa persyaratan kesehatannya sebanyak 336 buah, TTU yang
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 256 buah dari TTU yang
diperiksa sebanyak 291 (87,97 %).
Dibandingkan pada tahun 2013, TTU yang memenuhi syarat
kesehatan sebanyak 260 buah dari 291 buah TTU yang diperiksa.
Secara kuantitas dan secara kualitas TTU yang diperiksa tidak
mengalami perubahan.
BAB III
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS MASALAH
A. Daftar Permasalahan Kesehatan Yang Ada (Berdasar Data Sekunder
Puskesmas Kebasen) Bulan Juli 2015
Masalah didefinisikan sebagai kesenjangan antara harapan dan apa yang
dicapai, oleh karena itu seringkali menimbulkan sebuah perasaan tidak puas.
Dalam penetapan masalah sebuah masalah diperlukan tiga syarat yang harus
dipenuhi, antara lain: adanya kesenjangan, adanya rasa tidak puas, adanya rasa
tanggung jawab untuk menanggulangi masalah.
Tabel 3.1. Daftar 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Kebasen
No Penyakit Jumlah Kunjungan tiap Kasus
1 ISPA 349
2 Hipertensi 208
3 Mialgia 148
4 Dispepsia 143
5 Kulit 80
6 Cephalgia 65
7 Diabetes Melitus 62
8 Asma 29
9 GE 26
10 CHF 22
Sumber: Data Sekunder Puskesmas Kebasen 2015
B. Penentuan Prioritas Masalah (Berdasarkan Metode Tertentu)
Penentuan prioritas masalah di wilayah kerja Puskesmas Kebasen dengan
menggunakan metode Hanlon Kuantitatif. Untuk keperluan ini digunakan 4
kelompok kriteria, yaitu:
1. Kelompok kriteria A :besarnya masalah
2. Kelompok kriteria B :kegawatan masalah, penilaian terhadap dampak,
urgensi dan biaya
3. Kelompok kriteria C :kemudahan dalam penanggulangan, yaitu penilaian
terhadap tingkat kesulitan penanggulangan masalah
4. Kelompok kriteria D :PEARL faktor, yaitu penilaian terhadap propriety,
economic, acceptability, resources availability, legality
Adapun perincian masing-masing bobot kriteria pada prioritas masalah di
Puskesmas Kebasen adalah sebagai berikut :
1. Kriteria A (Besarnya Masalah)
Untuk menentukan besarnya masalah kesehatan diukur dari besarnya
penduduk yang terkena efek langsung.
Tabel 3.2. Kriteria A (Besarnya Masalah)
Masalah Kesehatan
Besarnya masalah dari data sekunder Puskesmas Kebasen
Nilai0-50
(1)
51-100
(2)
101-200
(3)
201-400
(4)
ISPA X 4
Hipertensi X 4
Mialgia X 3
Dispepsia X 3
Kulit X 2
Cephalgia X 2
Diabetes Melitus X 1
Asma X 1
GE X 1
CHF X 1
2. Kriteria B (kegawatan masalah)
Kegawatan (paling cepat mengakibatkan kematian)
1. Tidak gawat
2. Kurang gawat
3. Cukup gawat
4. Gawat
5. Sangat gawat
Urgensi (harus segera ditangani, apabila tidak ditangani dapat menyebabkan
kematian)
1. Tidak urgen
2. Kurang urgen
3. Cukup urgen
4. Urgen
5. Sangat urgen
Biaya (biaya penanggulangan)
1. Sangat murah
2. Murah
3. Cukup mahal
4. Mahal
5. Sangat mahal
Tabel 3.3. Kriteria B (Kegawatan Masalah)
Masalah Kesehatan Keparahan Urgensi Biaya NilaiISPA 1 1 1 1
Hipertensi 3 3 4 3,3
Mialgia 1 1 1 1
Dispepsia 1 1 1 1
Kulit 1 1 1 1
Cephalgia 1 1 1 1
Diabetes Melitus 3 3 4 3,3
Asma 3 2 2 2,6
GE 2 3 1 2
CHF 4 3 4 3,6
3. Kriteria C (Penanggulangan Masalah)
Untuk menilai kemudahan dalam penanggulangan, pertanyaan yang
harus dijawab adalah apakah sumber-sumber dan teknologi yang tersedia
mampu menyelesaikan masalah: makin sulit dalam penanggulangan, skor
yang diberikan makin kecil.
a. Sangat sulit ditanggulangi
b. Sulit ditanggulangi
c. Cukup bisa ditanggulangi
d. Mudah ditanggulangi
e. Sangat mudah ditanggulangi
Pada tahap ini dilakukan pengambilan suara dari 2 orang yang
kemudian dirata-rata untuk menentukan skor, dimana skor tertinggi
merupakan masalah yang paling mudah ditanggulangi.
Tabel 3.4. Kriteria C (Penanggulangan Masalah)
Masalah Penanggulangan Masalah
ISPA3
Hipertensi3
Mialgia3
Dispepsia3
Kulit4
Cephalgia4
Diabetes Melitus3
Asma3
GE3
CHF1
4. Kriteria D (PEARL faktor)
Propriety : Kesesuaian (1/0)
Economic : Ekonomi murah (1/0)
Acceptability : Dapat diterima (1/0)
Resources availability : Tersedianya sumber daya (1/0)
Legality : Legalitas terjamin (1/0)
Tabel 3.5. Kriteria PEARL
Masalah P E A R L Hasil ISPA 1 1 1 1 1 1Hipertensi 1 1 1 1 1 1Mialgia 1 1 1 1 1 1Dispepsia 1 1 1 1 1 1Kulit 1 1 1 1 1 1Cephalgia 1 1 1 1 1 1Diabetes Melitus 1 1 1 1 1 1Asma 1 1 1 1 1 1GE 1 1 1 1 1 1CHF 1 1 1 1 1 1
Penetapan nilai
Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai tersebut
dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :
Nilai prioritas dasar (NPD) = (A+B) x C
Nilai prioritas total (NPT) = (A+B) x C x D
Tabel 3.6. Urutan Prioritas Masalah
Masalah Kesehatan A B C NPD D NPT Prioritas
ISPA4 1 3 15 1 15 3
Hipertensi4 3,3 3 21,9 1 21,9 1
Mialgia3 1 3 12 1 12 4
Dispepsia3 1 3 12 1 12 5
Kulit2 1 4 12 1 12 6
Cephalgia2 1 4 12 1 12 7
Diabetes Melitus1 3,3 3 15,9 1 15,9 2
Asma1 2,6 3 10,8 1 10,8 8
GE1 2 3 9 1 9 9
CHF1 3,6 1 4,6 1 4,6 10
Prioritas pertama masalah diperoleh dengan nilai NPT tertinggi.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Hanlon kuantitatif urutan
prioritas masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Hipertensi
2. Diabetes Melitus
3. ISPA
4. Mialgia
5. Dispepsia
6. Kulit
7. Cephalgia
8. Asma
9. GE
10. CHF
BAB IV
KERANGKA KONSEPTUAL MASALAH
A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi
Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan gejala hiperglikemia disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat dari defisiensi insulin.
Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi dari sel beta
pankreas atau disebabkan karena kurang responsifnya sel-sel tubuh
terhadap insulin (WHO, 1999)
Diabetes mellitus adalah Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(Sudoyo Aru,2006).
2. Etiologi
Etiologi dari diabetes melitus adalah
a. Mutasi genetik yang menyebabkan defek fungsi dari sel β.
b. Defek genetik pada kerja insulin.
c. Penyakit pada kelenjar eksokrin pankreas.
d. Endokrinopati.
e. Obat dan bahan-bahan kimia.
f. Infeksi (Powers, 2008).
3. Epidemiologi
Pada tahun 2006, menurut WHO diperkirakan 171 juta orang di
seluruh dunia menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total
populasi. Angka insidennya terus meningkat dengan cepat, dan
diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah menjadi 366
juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. Diabetes Mellitus yang lebih
sering dijumpai adalah diabetes mellitus tipe II, dan sering dijumpai di
negara berkembang. Peningkatan jumlah yang terbesar di Asia dan
Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup,
seperti pola makan “Western- style” yang tidak sehat.
Dengan tingginya angka penderita diabetes mellitus di Indonesia,
dapat disimpulkan bahwa gaya hidup dan pola diet orang Indonesia harus
diperbaiki. Dengan pembuatan refrat ini diharapkan dapat membantu
dalam mengatasi angka prevelensi yang tinggi pada penyakit diabetes
mellitus. Perlu diketahui bahwa masih banyak orang yang menganggap
penyakit diabetes mellitus merupakan penyakit orangtua atau penyakit
yang timbul karena faktor keturunan, padahal setiap orang mungkin
menjadi pasien diabetik, tua atau muda. Persepsi yang salah ini lah yang
akan dirubah, supaya angka kejadian dari penyakit ini bisa menurun.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, dari 24.417 responden berusia >15 tahun, 10,2%
mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl
setelah puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak
1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2%
mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik diabetes
mellitus maupun TGT( lebih banyak ditemukan pada wanita
dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkat
pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita DM
paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %,
sedangkan kelompok usia penderita diabetes mellitus terbanyak adalah
55-64 tahun yaitu 13,5%.
Indonesia memiliki angka penderita Diabetes Mellitus (DM) yang
terssembunyi, sehingga menimbulkan iceberg phenomenon. Hanya 1,5%
penduduk Indonesia yang mengetahui bahwa mereka menderita DM,
sedangkan 4,2% penduduk penderita DM lainnya tidak mengetahui jika
mereka menderita DM. Sedangkan 10,2% penduduk sudah masuk
kategori TGT (toleransi glukosa terganggu). Hal ini menjadi perlu
menjadi perhatian penting pemerintah agar segera ditindaklanjuti
mengingat jumlah penderita DM di Indonesia yang semakin meningkat
tahun ke tahun (National Health Survey, 2007).
4. Patogenesis
Patogenesis DM dapat dibedakan dari tipe I dan tipe II sebagai
berikut.
a. Patogenesis DM Tipe I
Penderita DM memiliki kerentanan genetik, dimana
kerentanan ini akan diaktivasi oleh faktor lingkungan seperti
infeksi, diet yang tidak seimbang, dan lain-lain. Infeksi akan
menyebabkan peradangan pada pankreas terutama di regio sel
beta sehingga akan mengaktivasi sel-sel imunitas untuk datang ke
lokasi inflamasi. Limfosit akan menginfiltrasi jaringan untuk
kemudian melakukan aksi pertahanan tubuhnya. Sel TH akan
mengaktivasi sel TC dan sel B. Sel B akan berdiferensiasi menjadi
sel plasma dan berproliferasi. Setelah itu sel plasma akan
memproduksi antibodi yang mengenali antigen. Namun, pada
penderita DM tipe I terjadi transformasi sel beta pankreas
sehingga sel ini akan dikenali sebagai sel asing oleh komponen
imun. Sel plasma akan memproduksi autoantbodi yang
menyerang sel beta pankreas sehingga terjadi ADCC (antibody
dependent cell citotoxicity) yang akhirnya mendestruksi sel beta.
Dampaknya adalah penurunan produksi insulin sehingga akan
terjadi keadaan hiperglikemia (Powers, 2005).
b. Patogenesis DM Tipe II
Terdapat tiga fase dalam patogenesis DM tipe II. Pasien DM
tipe II pada awalnya sudah mengalami resistensi insulin pada sel
perifer. Hal ini multifaktorial, bisa disebabkan karena kurangnya
latihan fisik, diet yang berbahaya, serta kerentanan genetik.
Namun dalam fase ertama ini, resistensi insulin masih dapat
dikompensasi dengan produksi insulin yang meningkat.
Kemudian dalam fase kedua, resistensi insulin memburuk
sehingga peningkatan kadar insulin tidak dapat mengkompensasi
resistensi tersebut. Hasilnya, glukosa darah menunjukkan
peningkatan dari kadar normal. Hal ini merupakan fenomena
hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin
tidak berubah namun sel beta menunjukkan penurunan sekresi
insulin sehingga keadaan hiperglikemia menjadi permanen.
Penurunan sekresi ini disebabkan oleh adanya glukosa darah
tinggi yang memberikan efek toksik bagi sel beta pankreas. Selain
itu bisa juga disebabkan oleh defek genetik dan adanya obesitas.
Obesitas menunjukkan kadar lipid yang tinggi dalam tubuh, dan
saat oksidasi lipid dilakukan, beberapa hasil reaksi akan
menghambat kerja insulin (yang sudah sedikit) sehingga efek
insulin cenderung menurun terus-menerus (Powers, 2005).
5. Patofisiologi
Ketika kadar glukosa meningkat ke kadar dimana jumlah glukosa
yang tersaring melebihi kemampuan sle tubulus melakukan reabsorpsi
maka glukosa muncul dalam urin (Glukosuria). Glukosa di urin
menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O bersamanya,
menyebabkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria (sering
berkemih). Besarnya cairan yang keluar dari tubuh menyebabkan
dehidrasi. Yang selanjutnya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi
perifer karena berkurnagnya volume darah secara mencolok.
Kegagalan sirkulasi ini, jika tidak diperbaiki dapat menyebabkan
kematian karena berkurangnya aliran darah ke otak atau gagal ginjal
sekunder akibat kurangnya tekanan filtrasi. Lebih lanjut, sel-sel
kehilangan air sewaktu tubuh mengalami dehidrasi akibat ekstrasel
yang hipertonik. Sel-sel otak sangat peka terhadap penciutan, sehingga
dapat terjadi malfungsi sistem saraf. Gejala khas lain pada diabetes
melitus adalah polidipsia (rasa haus yang berlebihan) yang sebenarnya
adalah mekanisme kompensasi untuk melawan dehidrasi (Sherwood,
2011).
Pada defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan meningkat sehingga
terjadi polifagia. Namun meskipun asupan makan bertambah terjadi
penurunan berat akibat efek defisiensi insulin pada metabolisme
lemak dan protein. Sintesis trigliserida berkurang sementara lipolisis
meningkat, menyebabkan mobilisasi besar-besaran asam-asam leamk
dari simpanan trigliserida. Peningkatan asam lemak darah sebagian
besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif.
Peningkatan pemakaian asam lemak oleh hati menyebabkan pelepasan
badan-badan keton secara berlebihan kedalam darah, menyebabkan
ketosis (Sherwood,2011).
a. Hubungan dengan alkohol
Alkohol disinyalir dapat menyebabkan hipersekresi
glucocorticoid sehingga akhirnya menyebabkan keadaan
hiperglikemia akibat stimulasi glukoneogenesis yang meningkat
oleh cortison. Hal ini menyebabkan sindrom Cushing pada
kelompok etiologi mimikri yang sudah dijelaskan di atas.
Sindrom Cushing tersebut menimbulkan gejala hiperglikemia
serta ketidakseimbangan hormon dalam tubuh, sehingga pada
akhirnya akan menyebabkan diabetes mellitus sekunder akibat
hormonal (Williams and Dluhy, 2005). Selain itu, konsumsi
alkohol pada akhirnya akan menyebabkan radang pankreas
menahun dimana akan terjadi penghancuran sel beta yang
menyebabkan hiposekresi insulin (Powers, 2005).
b. Penyebab merasa haus dan ingin minum minuman manis
Disaat penderita mengalami kondisi hiperglikemia dengan
abnormalitas insulin (baik sekresi maupun resistensi), terjadi
defisiensi glukosa yang dapat masuk ke dalam sel. Hal ini akan
menyebabkan metabolisme sel berkurang sehingga akan
mengakibatkan beberapa sel kekurangan nutrisi dan energi.
Sebagai feedback, sel-sel perifer akan mengirimkan sinyal baik
melalui autokrin, endokrin, parakrin, maupun melalui sinyal
elektrik via saraf menuju hipotalamus. Sinyal ini akan
diterjemahkan sebagai rasa haus dan lapar sehingga penderita
mengalami polidipsi dan polifagia (Sherwood, 2010).
Penderita akan lebih menyukai minuman manis sebagai
respon akan adanya “kekurangan glukosa” tubuh yang sebenarnya
tidak kurang namun hiperglikemia, tetapi tidak dapat masuk ke
sel karena adanya abnormalitas insulin. Selain itu polidipsi juga
terkait adanya stimulasi reseptor osmotik pembuluh darah yang
mendeteksi peningkatan tekanan osmotik darah (akibat
hiperglikemia, menyebabkan darah lebih kental). Hal ini memicu
respon minum di hipotalamus untuk menurunkan tekanan osmotik
darah dengan cara mengkonsumsi air. Polifagia juga dapat
disebabkan adanya peningkatan stimulasi rasa lapar oleh hormon
yang disekresikan gaster (Sherwood, 2010).
6. Manifestasi klinik
Gejala yang muncul pada diabetes melitus adalah peningkatan
jumlah urin yang disebabkan oleh diuresis osmotik sekunder akibat
dari hiperglikemia. Hal ini menyebabkan kehilangan glukosa berikut
air dan elektrolit ke dalam urin. Enuresis nokturnal dikarenakan
poliuria dapat menjadi tanda onset diabetes pada anak kecil. Haus
adalah akibat dari keadaan hiperosmolar (Masharani & German,
2011).
Kehilangan berat badan walaupun nafsu makan normal atau
bertambah adalah gejala yang biasa ditemui pada diabetes tipe 1 saat
sudah berkembang menjadi subakut selama beberapa minggu.
Hilangnya berat badan biasanya dikarenakan penurunan jumlah air,
glikogen dan simpanan trigliserida. Kehilangan berat badan yang
kronik karena pengurangan masa otot terjadi akibat diubahnya asam
amino menjadi glukosa dan badan keton (Masharani & German,
2011).
Berkurangnya volume plasma menyebabkan lemah dan pusing
karena hipotensi postural saat duduk atau berdiri. Berkurangnya
kalium total tubuh dan berlangsungnya proses katabolisme protein
otot berkontribusi pada terjadinya kelemahan. Parestesi dapat hadir
saat diagnosis diabetes tipe 1, beberapa ada yang hadir saat onset
diabetes berada pada fase sub akut. Hal ini mencerminkan
ketidaknormalan fungsi dari saraf sensorik periferal dan biasanya jelas
(Masharani & German, 2011).
Saat defisiensi insulin menjadi parah dan onset akut, gejala di atas
akan terjadi dalam waktu yang cepat. Ketoasidosis meningkatkan
dehidrasi dan hiperosmolaritas dengan menyebabkan anoreksia,
nausea dan muntah-muntah sehingga berpengaruh pada penggantian
cairan secara oral. Karena osmolaritas plasma meningkat menjadi
330mOsm/Kg (normalnya 285-285 mOsm/Kg) kesadaran yang lemah
terjadi. Dengan laju asidosis, pH menjadi 7,1 atau dibawahnya,
pernapasan yang dalam dan cepat terjadikarena tubuh berusaha
menghilangkan karbon asam. Dengan memburuknya asidosis, sistem
kardiovaskulartidak dapat mengatur vasokontriksi kompensasi
sehingga mengakibatkan beberapa pembuluh darah rusak (Masharani
& German, 2011).
7. Pemeriksaan Penunjang yang Dibutuhkan
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis diabetes melitus adalah
a. Pemeriksaan glukosa urin.
b. Pemeriksaan mikroalbuminuria dan proteinuria.
c. Pemeriksaan glukosa darah.
d. Pemeriksaan urin dan serum keton.
e. Pemeriksaan toleransi glukosa oral.
f. Pemeriksaan toleransi glukosa intravena (Masharani & German, 2011).
8. Penatalaksanaan
a. Terapi Non-Medikamentosa
1. Pemberian edukasi
2. Perencanaan makanan
3. Kegiatan jasmani dan penurunan BB, bila BB lebih (Soegondo,
2009).
4. Diet adekuat.
Untuk memenuhi kebutuhan kalori penderita, kita harus
menghitungnya agar pasien dapat mengikuti program diet dan
asupan nutrisi yang sesuai dengan tubuhnya. Salah satu rumus yang
dpaat digunakan untuk menghitung kebutuhan kalori adalah Haris
Benedict, yaitu sebagai berikut (Gibney et al., 2005).
a) Untuk wanita : BEE = 655 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) - (4,7 x
U)
b) Untuk pria : BEE = 66,4 + (13,7 x BB) + (5 x TB) - (6,8 x
U)
b. Terapi Medikamentosa
DM tipe 1 : Melakukan injeksi insulin, ada 3 jenis insulin
b.1. Insulin kerja cepat : Insulin reguler, digunakan 15-20 menit
sebelum makan
a) Menurunkan kadar glukosa darah dalam waktu 20 menit
b) Mengalami puncak dalam 2-4 jam
c) Bekerja selama 6-8 jam
b.2. Insulin kerja sedang : Insulin isofan, digukan saat pagi dan
malam
a) Menurunkan kadar gula darah dalam waktu 1-3 jam
b) Mengalami puncak dalam waktu 6-10 jam
c) Bekerja selama 18-26 jam
b.3. Insulin kerja lambat : Insulin suspensi
a) Menurunkan kadar gula dalam waktu 6 jam
b) Bekerja selama 28-36 jam (Soegondo, 2009).
b.4. Pemberian insulin tergantung pada :
a) Keinginan penderita
b) Aktivitas penderita
c) Kecekatan penderita
d) Keseimbangan kadar glukosa (Soegondo, 2009).
DM tipe 2 : memberikan OHO (Obat Hiperglikemik Oral), yang
dibagi dalam 3 golongan :
b.1. Golongan Insulin Sensitizing
a) Contoh obat : Metformin
b) Dosis : 250-3000 mg, 2-3x sehari, lama
kerja 6-8 jam
c) Mekanisme : Menaikkan kepekaan tubuh terhadap
insulin dan menurunkan kadar
glukosa dalam tubuh.
d) Efek samping : Gangguan pencernaan
e) Kontra indikasi : Gangguan fungsi hati, infeksi berat,
alkoholisme, wanita hamil dan
menyusui
b.2. Golongan Sekretagok Insulin
a) Contoh obat : Klorpropamid
b) Dosis : 500 mg, 1x sehari, lama kerja 24
jam
c) Mekanisme : Menurunkan kadar glukosa dan
merangsang keluar insulin
d) Efek : Hipoglikemia
e) Konta indikasi : DM tipe 1, pasien yang gemuk (hati-
hati dalam pemakaiannya)
b.3. Golongan Penghambat Alfa Glukosa
a) Contoh obat : Acarbose
b) Dosis : 100-300 mg/hari
c) Mekanisme : Memperlambat proses pencernaan
karbohidrat jadi glukosa
d) Efek : Gangguan pencernaan
e) Kontra indikasi : Obstruksi saluran cerna, sirosis hati,
gangguan fungsi ginjal (Soegondo,
2009).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat.
b.1. Terapi dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikkan secara
bertahap.
b.2. Perhatikan cara kerja, lama kerja dan efek samping obat.
b.3. Pikirkan adanya interaksi obat bila digunakkan dengan obat
lain.
b.4. Harga obat yang terjangkau pasien (Soegondo, 2009).
9. Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut maupun
menahun, diantaranya adalah:
a. Penyulit akut
Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan
yang harus ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan
cara itulah angka kematianya dapat ditekan serendah mungkin.
1. Ketoasidosis diabetik
2. Hiperosmoar nonketotik
3. Hipoglikemia
b. Penyulit menahun
Makroangiopati yang melibatkan :
1. Pembuluh darah jantung dan otak
2. Pembuluh darah tepi
Mikroangiopati
1. Retinopati diabetik
2. Nefropati diabetik (Fauci, 2008)
B. Kerangka Konsep