bab i pendahuluan -...

54
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah jurnalisme kloning 1 belakangan menjadi akrab didengar dalam praktik kerja jurnalis. Kloning secara awam disebut pula dengan proses menghasilkan sesuatu hal baru yang berasal dari hal-hal lain yang identik atau bisa pula disederhanakan menjadi bentuk reproduksi karya baru tanpa meninggalkan keidentikan sumber sebelumnya. Dalam ranah jurnalistik, istilah kloning membaur membentuk makna baru terutama dalam kaitannya dengan aktivitas jurnalis dalam menghasilkan karya jurnalistik dan akhirnya akrab disebut dengan jurnalisme kloning. Jurnalisme kloning sendiri dapat dipahami secara sederhana sebagai aktivitas tukar menukar sumber berita yang dilakukan jurnalis dalam menghasilkan karya jurnalistik. Sumber berita yang dimaksud bisa dalam bentuk rekaman wawancara, catatan wawancara wartawan maupun bentuk berita jadi yang dikirimkan antar jurnalis. Jurnalisme kloning 2 menjadi semakin populer di kalangan jurnalis 1 Eviera Paramita dalam penelitiannya yang berjudul Pemahaman Wartawan Terhadap Etika Profesi (2013:6) menyebutkan, jurnalisme kloning merupakan salah satu dari tiga pelanggaran profesi yang dilakukan wartawan. Kloning dilakukan dengan cara membagikan atau meminta berita kepada rekan wartawan lainnya untuk kemudian dimodifikasi. 2 Sirikit Syah dalam bukunya yang berjudul Rambu-Rambu Jurnalistik (2011:29) menyebutkan, praktik kloning dilakukan di pos-pos wartawan berkumpul dengan saling bertukar sumber berita.

Upload: phamkhuong

Post on 17-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah jurnalisme kloning1 belakangan menjadi akrab didengar

dalam praktik kerja jurnalis. Kloning secara awam disebut pula dengan

proses menghasilkan sesuatu hal baru yang berasal dari hal-hal lain yang

identik atau bisa pula disederhanakan menjadi bentuk reproduksi karya

baru tanpa meninggalkan keidentikan sumber sebelumnya. Dalam ranah

jurnalistik, istilah kloning membaur membentuk makna baru terutama

dalam kaitannya dengan aktivitas jurnalis dalam menghasilkan karya

jurnalistik dan akhirnya akrab disebut dengan jurnalisme kloning.

Jurnalisme kloning sendiri dapat dipahami secara sederhana sebagai

aktivitas tukar menukar sumber berita yang dilakukan jurnalis dalam

menghasilkan karya jurnalistik. Sumber berita yang dimaksud bisa dalam

bentuk rekaman wawancara, catatan wawancara wartawan maupun bentuk

berita jadi yang dikirimkan antar jurnalis.

Jurnalisme kloning2 menjadi semakin populer di kalangan jurnalis

1 Eviera Paramita dalam penelitiannya yang berjudul Pemahaman Wartawan Terhadap Etika

Profesi (2013:6) menyebutkan, jurnalisme kloning merupakan salah satu dari tiga pelanggaran

profesi yang dilakukan wartawan. Kloning dilakukan dengan cara membagikan atau meminta

berita kepada rekan wartawan lainnya untuk kemudian dimodifikasi. 2 Sirikit Syah dalam bukunya yang berjudul Rambu-Rambu Jurnalistik (2011:29) menyebutkan,

praktik kloning dilakukan di pos-pos wartawan berkumpul dengan saling bertukar sumber berita.

2

terutama terkait dengan keuntungan pribadi yang didapatkan. Bagaimana

tidak, seorang jurnalis bisa dengan mudahnya mendapatkan sumber berita

atau bahan berita jadi untuk didaur ulang menjadi karyanya, tanpa harus

hadir di lapangan. Kondisi ini menjadi semacam budaya yang dianggap

biasa di kalangan wartawan terutama bagi mereka yang memiliki satu

kesamaan bidang tugas.

Menjamurnya praktik jurnalisme kloning di kalangan jurnalis ini

sangat berdekatan dengan aktivitas plagiarisme3. Plagiarisme atau

penjiplakan suatu karya sendiri telah menjadi fenomena yang cukup akrab

khususnya di lingkungan akademik. Namun belakangan, plagiarisme

seolah menjadi semacam virus yang mulai menjalar ke berbagai lini

profesi termasuk di kalangan jurnalis.

Profesi jurnalis menjadi rentan terhadap perilaku plagiat mengingat

output yang dihasilkan adalah sebuah karya jurnalistik dalam bentuk teks

yang bisa dijiplak atau ditiru oleh orang lain. Penjiplakan karya yang

dilakukan para jurnalis tersebut seringkali dilakukan oleh sesama jurnalis.

Salah satunya adalah dengan mengambil atau menjiplak informasi untuk

dijadikan karya jurnalistik yang disebarluaskan di media massa.

Aktivitas plagiat di kalangan jurnalis ini sangat disayangkan

mengingat hal tersebut bertentangan dengan kode etik jurnalistik. Sesuai

dengan pasal Kode Etik Jurnalistik PWI (pasal 12) disebutkan Wartawan

Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya

3 Plagiarisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai penjiplakan yang

melanggar hak cipta.

3

jurnalistik tanpa menyebut sumbernya. Hal ini senada pula dengan pasal

kode etik pada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) maupun Dewan Pers

yang menegaskan bahwa tindakan plagiasi jurnalistik adalah tidak

dibenarkan. Selain bertentangan dengan etika, penjiplakan karya

jurnalistik juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang

nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Praktik plagiasi tersebut kini bahkan semakin mudah dilakukan

dengan berbagai kemajuan teknologi dan perangkat informasi. Teknologi

salah satunya telah merubah pola kerja jurnalis dalam mengumpulkan

informasi menjadi berita atau karya jurnalistik. Yakni dari yang semula

sangat bergantung pada proses tatap muka dengan sumber berita kini

dipermudah pula dalam bentuk komunikasi jarak jauh baik dengan

pemanfaatan telepon, email dan lainnya. Teknologi juga mempermudah

sistem kerja redaksi karena reporter atau wartawan di lapangan tidak

melulu harus mengirimkan karyanya secara langsung di kantor tetapi bisa

dilakukan hanya dengan mengirimkan melalui email atau milis perusahaan

media yang bersangkutan.

Tentu saja, kemudahan tersebut memberikan dampak positif dalam

menunjang kinerja jurnalis. Namun, di satu sisi, seringkali kemudahan

akses dan pertukaran informasi justru membuat wartawan malas untuk

mengumpulkan informasi langsung dari sumbernya. Bahkan, wartawan

tanpa segan cukup melakukan copy paste press release atau karya dari

jurnalis lain. Berita hasil copy paste tersebut tinggal dipercantik dengan

4

menambahkan kode pada tulisan yang seolah mengatasnamakan karyanya.

Kedatangan jurnalis di lapangan untuk mencari sumber berita langsung

menjadi diabaikan. Disinilah terdapat semacam celah yang menunjang

terbentuknya budaya jurnalisme kloning.

Proses kerja jurnalis di lapangan dalam mengumpulkan informasi

menjadi berita, ternyata juga ikut mempengaruhi berkembangnya perilaku

plagiat khususnya jurnalisme kloning. Jurnalis bekerja dengan memiliki

pos-pos bidang tertentu sesuai dengan rubrik yang menjadi tanggung

jawabnya4. Misalnya wartawan menjadi dikelompokkan dalam bidang

ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan, seni budaya dan lainnya.

Pengelompokan inilah yang menyatukan jurnalis dalam bidang yang sama

saat mencari sumber berita.

Kesamaan bidang yang diampu tersebut pada akhirnya berkaitan

pula dengan sumber berita yang sama atau berbagai kegiatan yang sama

yang dicari jurnalis untuk menghasilkan berita. Karena sama, jurnalis tidak

jarang saling membantu dan bertukar informasi. Dari sekedar pertukaran

agenda biasa, pertukaran statement narasumber yang diwawancarai hingga

bahkan pertukaran karya jurnalistik antar wartawan dari media yang

berbeda.

Namun yang lebih disayangkan lagi, seringkali wartawan dengan

begitu saja mengambil karya jurnalistik wartawan lain yang biasanya telah

ditayangkan di media online, untuk dijiplak dan dibuat berita di media

4 Sirikit Syah. 2011. Rambu-Rambu Jurnalistik. hal 29.

5

cetak. Pengalaman dijiplak karyanya oleh jurnalis lain ini tentu saja

banyak dialami oleh wartawan media online.

Dengan karakteristik media yang real time, jurnalis media online

dituntut untuk dengan cepat menyiarkan hasil liputan di lapangan untuk

ditayangkan dalam website berita online. Kecepatan penyampaian

informasi inilah yang seringkali banyak dimanfaatkan wartawan baik cetak

maupun elektronik untuk mendapatkan data dengan mudah dan mengutak-

atik karya jurnalis online menjadi berita miliknya. Tidak jarang,

wawancara eksklusif sekalipun dapat dengan mudah dijiplak.

Fenomena jurnalisme kloning di kalangan wartawan tersebut

banyak ditemui di berbagai wilayah termasuk di Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY). Hal ini menjadi menarik mengingat dinamika media

massa di DIY tergolong tinggi. Data dari Dewan Pers dan Serikat

Penerbitan Pers (SPS) tahun 2010 terdapat 5 surat kabar, 3 surat kabar

mingguan, 8 surat kabar bulanan, 20 stasiun radio serta 4 stasiun televise.

Aktivitas jurnalis di DIY tergolong tinggi mengingat setidaknya terdapat

enam surat kabar harian lokal yang terbit di wilayah ini5. Belum lagi

ditambah surat kabar nasional yang membuka biro di DIY seperti Kompas,

Tempo, Seputar Indonesia, Media Indonesia dan beberapa Koran daerah

lain seperti Wawasan dan Suara Merdeka. Termasuk pula media massa

online yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah.

Tingginya aktivitas jurnalis di DIY menjadi satu alasan menarik

5 Data dari Dewan Pers

http://www.dewanpers.or.id/page/data/perusahaan/?pages=1&provinsi=Yogyakarta#focus akses

10 Februari 2015

6

untuk dilakukan penelitian mengenai aktivitas jurnalisme kloning. Alasan

lain yang juga mendukung pemilihan wilayah DIY adalah berkaitan

dengan beberapa kasus jurnalisme kloning yang penulis temui langsung

selama kurun waktu lima tahun (2008-2014) penulis menjadi jurnalis salah

satu media lokal di DIY.

Pengamatan awal penulis di pos-pos atau tempat berkumpulnya

jurnalis di DIY misalnya, ditemukan beberapa fenomena menarik dalam

proses kerja jurnalis saat mencari dan menghasilkan berita. Pengamatan

dilakukan diantaranya pada paguyuban wartawan kota Yogyakarta,

paguyuban wartawan DPRD DIY dan paguyuban wartawan Kantor

Gubernur DIY di Kepatihan.

Dari pengamatan awal tersebut diketahui aktivitas jurnalis dalam

tukar-menukar karya jurnalistik sudah dianggap menjadi hal biasa. Bahkan

untuk wartawan yang tidak hadir di lapangan sekalipun dapat dengan

mudahnya mendapatkan email berita dari sesama jurnalis lain.

Agar tidak terlalu terlihat meniru karya yang dikirimkan oleh para

jurnalis lain, seringkali para wartawan menyiasatinya dengan meminta

bentuk hasil rekaman wawancara atau catatan jurnalis lain berkaitan

dengan statement narasumber untuk ditambahkan dalam karyanya. Jurnalis

juga tidak jarang menggabung-gabungkan karya antara jurnalis satu

dengan jurnalis lainnya untuk dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak

terkesan sangat mirip. Hal inilah yang seringkali disebut oleh para

wartawan sebagai berita kloning atau jurnalisme kloning. Jenis jurnalisme

7

kloning ini bisa dikatakan paling populer dilakukan karena jika dimintai

pertanggungjawaban oleh redaktur atau bahkan narasumber yang

bersangkutan, maka jurnalis menggunakan rekaman wawancara hasil

meminta dari jurnalis lain, sebagai senjata bahwa yang ia tulis bukanlah

bentuk opini pribadi.

Jurnalisme kloning yang terkesan aman ini bukan berarti tanpa

resiko. Narasumber yang jeli ternyata juga bisa melakukan pengamatan

atas siapa saja wartawan yang melakukan wawancara terhadap dirinya.

Salah satu contoh kejadian yang berujung pada dugaan kasus plagiat

adalah saat jurnalis media nasional yakni Tempo dan Seputar Indonesia

pada pertengahan 2010 lalu melakukan wawancara dengan Kepala Dinas

Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) DIY yang

ketika itu dijabat oleh Mulyadi. Wawancara berkaitan dengan kasus

dugaan suap pengadaan bus Trans Jogja. Karena merupakan berita yang

cukup hangat ketika itu, catatan wawancara yang dilakukan kedua jurnalis

tersebut ternyata diminta oleh wartawan lain dari Harian Jogja dimana

pemberitaan yang dihasilkan adalah mirip dengan apa yang dipersepsikan

oleh wartawan dari Seputar Indonesia. Tempo yang hanya memberitakan

seputar konfirmasi kasus tersebut, tidak menuai protes. Namun,

pemberitaan yang diterbitkan Seputar Indonesia dan Harian Jogja

dianggap terlalu memojokkan dan tidak cukup bukti. Hal yang kemudian

menjadi masalah lagi adalah karena narasumber yang bersangkutan merasa

tidak diwawancara oleh Harian Jogja. Dari kasus inilah, wartawan Harian

8

Jogja mendapatkan sanksi pelanggaran kode etik atas perilaku plagiat yang

dilakukan.6

Selain jurnalisme kloning, hal lain yang juga akrab dalam aktivitas

jurnalis adalah melakukan copy paste pada berita press release yang

dikirimkan oleh humas dari instansi tertentu seperti instansi pemerintahan

maupun universitas. Copy paste press release ini dianggap sangat

menguntungkan karena selain mudah, juga menghemat waktu dan tenaga.

Bagaimana tidak, tanpa kehadiran sekalipun, jurnalis dapat dengan mudah

mendapatkan berita yang sudah jadi dalam press release dan tinggal

mengedit sedikit, meng-copy-paste dan dibagian akhir tinggal diberikan

kode tulisan sang jurnalis. Aktivitas tersebut selama ini oleh sebagian

besar jurnalis dan media massa yang mengampunya, dianggap sebagai

perilaku wajar karena menguntungkan dua belah pihak. Yakni instansi

pemberi press release mendapatkan publikasi media dan sebaliknya,

media maupun wartawan mendapatkan berita.

Permasalahan yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, benarkah

jurnalisme kloning, copy paste press release atau meminta berita dari

jurnalis lain untuk diakui sebagai suatu karya pribadi adalah benar-benar

aktivitas yang wajar? Apakah tindakan tersebut bisa dikategorikan dalam

bentuk plagiarisme? Bagaimana hal tersebut dapat terus berkembang dan

seolah dianggap menjadi keseharian yang tidak dipermasalahkan?

Bagaimana pula dengan kualitas karya jurnalistik yang disajikan untuk

6 Wawancara wartawan Harian Jogja dan Tempo 26 Mei 2014.

9

publik termasuk kaitannya dengan keberagaman informasi di masyarakat?

Berbagai pertanyaan itulah yang ingin dijawab dari penelitian yang

akan dilakukan. Meskipun terdapat asumsi awal bahwa jurnalisme kloning

yang sangat dekat dengan aktivitas plagiarisme di kalangan jurnalis tentu

menunjukkan penurunan terhadap kualitas karya jurnalistik yang

dihasilkan. Selain itu, praktik jurnalisme kloning juga akan memberikan

dampak turunnya kredibilitas informasi yang disampaikan media massa

kepada publik.

1.2 Rumusan Masalah

Berangkat dari fenomena tersebut, maka dapat ditarik sebuah

rumusan permasalahan yakni: “Bagaimana bentuk praktik jurnalisme

kloning di kalangan jurnalis DIY dan faktor-faktor apa saja yang

menyebabkan berkembangnya jurnalisme kloning?”

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bentuk praktik-praktik jurnalisme kloning di

kalangan jurnalis DIY dalam menghasilkan karya jurnalistik di

media massa

2. Mengetahui apa saja faktor-faktor yang mendorong praktik

jurnalisme kloning di kalangan jurnalis terus berjalan dan

berkembang

10

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian yang dilakukan

diantaranya adalah:

1. Mendapatkan klasifikasi mengenai praktik-praktik plagiarisme

khususnya di lingkungan jurnalis

2. Memberikan batasan yang jelas mengenai bentuk-bentuk

plagiarisme karya jurnalistik

3. Menambah khasanah pengetahuan jurnalistik dikaitkan dengan

perkembangan teknologi informasi yang mempengaruhi proses

kerja jurnalis dalam menghasilkan berita

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Karya Jurnalistik

Karya jurnalistik merupakan buah kreativitas atau karya yang

dihasilkan wartawan berupa tulisan, foto, atau video mengenai suatu

peristiwa tertentu yang diperoleh dengan menggunakan prinsip-prinsip

jurnalistik dan disebarluaskan di media massa. Karya jurnalistik wartawan

yang disebarluaskan dalam bentuk teks di media massa seringkali akrab

disebut sebagai berita.

Sumandiria (2005:63) menjelaskan istilah berita yakni apa yang

dituliskan surat kabar, apa yang disiarkan radio dan apa yang ditayangkan

televisi. Berita menampilkan fakta tetapi tidak semua fakta menampilkan

berita. Berita biasanya menyangkut orang-orang tetapi tidak setiap orang

11

bisa dijadikan berita. Berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di

dunia tetapi hanya sebagian kecil saja yang dilaporkan.

Paul De Massener dalam buku Here‟s The News: Unesco Associate

(seperti dikutip Sumandiria, 2005:64) menyatakan news atau berita adalah

sebuah informasi yang penting dan menarik perhatian serta minat

khalayak. Sumandiria juga mengutip pendapat Charnley dan Jamdies M.

Neal yang mendefinisikan berita sebagai laporan tentang suatu peristiwa,

opini, kecenderungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik,

masih baru dan harus secepatnnya disampaikan kepada masyarakat.

Sementara, Kusumaningrat (2005:56) mendefinisikan berita dalam

cakupan media yang lebih luas dan tidak hanya terpaku pada media cetak

saja. Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang

benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak melalui

media berkala seperti surat kabar, radio, televisi atau media online internet.

Dengan kata lain berita bukan hanya merujuk pada pers atau media massa

dalam arti sempit atau tradisional saja.

Berita yang dihasilkan oleh wartawan dapat diperoleh dari berbagai

sumber. Supriyono (seperti dikutip Ermanto, 2005:94) menyebutkan,

sumber berita dapat dikategorikan menjadi tiga macam, diantaranya:

1. Pengamatan Langsung Wartawan

Pengamatan langsung wartawan terhadap suatu peristiwa

merupakan salah satu sumber bahan berita yang mampu

menghasilkan data/fakta. Data dan fakta yang bersumber pada

12

pengamatan langsung hendaknya juga tetap dilengkapi dengan

informasi lisan dari orang yang berwenang atau juga

menggunakan sumber informasi tertulis.

2. Informasi Lisan

Karena pengamatan langsung masih memiliki kekurangan

dalam hal mengumpulkan bahan-bahan berita, wartawan perlu

melengkapi data dan fakta melalui sumber lain. Informasi

secara lisan dari orang yang memiliki keterkaitan langsung

dengan peristiwa atau kejadian merupakan sumber untuk

memperoleh data dan fakta secara lengkap.

3. Informasi Tertulis

Sumber bahan berita selain pengamatan langsung dan

informasi lisan adalah dengan melalui sumber informasi

tertulis. Informasi tertulis adalah sumber bahan berita yang

akan melengkapi data dan fakta suatu kejadian. Informasi

tertulis bisa berupa surat keputusan, surat tugas, data-data

tertulis, siaran pers, surat penghargaan dan sebagainya yang

berkaitan dengan peristiwa.

Menurut Kusumaningrat (2005:68-71) berita dapat digolongkan

dalam beberapa jenis yang berbeda, diantaranya:

1. Straight News Report

Disebut sebagai berita langsung atau laporan langsung

mengenai suatu peristiwa. Misalnya sebuah pidato biasanya

13

merupakan berita-berita langsung yang hanya menyajikan apa

yang terjadi dalam waktu singkat. Berita jenis ini memiliki

penyajian objektif tentang fakta-fakta yang bisa dibuktikan.

Biasanya berita jenis ini ditulis dengan menggunakan unsur-

unsur 5W+1H (who, what, when, where, why, dan how).

2. Depth News Report

Depth news atau berita mendalam merupakan laporan yang

sedikit berbeda dengan straight news report. Pelaporan

jurnalistik ini bersifat mendalam, tajam, lengkap dan utuh

tentang suatu peristiwa fenomenal atau aktual. Dengan

membaca pelaporan mendalam, orang akan mengetahui dan

memahami dengan baik duduk perkara suatu persoalan dilihat

dari berbagai perspektif atau sudut pandang.

3. Comprehensive News

Merupakan laporan tentang fakta yang bersifat menyeluruh

ditinjau dari berbagai aspek. Berita menyeluruh sesungguhnya

merupakan jawaban terhadap kritik sekaligus kelemahan yang

terdapat dalam berita langsung (straight news). Berita

menyeluruh mencoba menggabungkan berbagai serpihan fakta

dalam satu bangunan cerita peristiwa, sehingga benang

merahnya terlihat jelas.

4. Interpretative Report

Lebih dari sekedar straight news dan depth news, berita

14

interpretative biasanya memfokuskan sebuah isu, masalah atau

peristiwa-peristiwa kontroversial. Nsmun demikian, fokus

laporan beritanya masih berbicara mengenai fakta yang

terbukti, bukan opini.

5. Feature Story

Dalam menulis feature, penulis mencari fakta untuk menarik

perhatian pembacanya. Penulis feature menyajikan suatu

pengalaman pembaca (reading experience) yang lebih

tergantung pada gaya (style) penulisan daripada pentingnya

informasi yang disajikan.

6. Investigative Report

Berisikan hal-hal yang tidak jauh berbeda dengan laporan

interpretative. Berita jenis ini biasanya memusatkan pada

sebuah masalah atau kontroversi. Namun demikian, dalam

laporan investigatif, para wartawan melakukan penyelidikan

untuk memperoleh fakta tersembunyi.

7. Editorial Writing

Adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan berita-

berita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum.

Dalam praktik pembuatan karya jurnalistik, jurnalis seringkali

terjebak untuk melakukan penjiplakan terhadap karya jurnalis lain.

Bentuk-bentuk penjiplakan atau aktivitas yang mendekati penjiplakan

15

tersebut sangatlah beragam. Hal ini bukan menjadi isu baru mengingat

dalam kode etik jurnalistik sendiri kerap disinggung mengenai aktivitas

penjiplakan atau plagiat yang dianggap sangat buruk dan melanggar kode

etik.

1.5.2 Plagiarisme

Konsep mengenai plagiarisme memiliki banyak definisi tersendiri

dan berkaitan erat dengan lingkungan yang melingkupinya. Meski

demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa plagiarisme selama ini sangat erat

kaitannya dengan lingkungan akademik maupun hukum terutama terkait

aspek perlindungan terhadap suatu karya ilmiah atau hak kekayaan

intelektual yang dijiplak. Hal ini menjadi tantangan tersendiri ketika harus

mengaitkan aktivitas plagiat dalam ranah komunikasi khususnya bidang

jurnalisme. Karenanya, untuk mengaitkan pendekatan tersebut, ada

baiknya kita menilik lebih rinci mengenai berbagai definisi dan tipe

plagiarisme yang selama ini telah ada.

Plagiarisme secara historis berakar dari istilah Romawi yakni

plagium yang berarti penculikan anak atau budak. Istilah ini kemudian

dipakai oleh para penyair Romawi untuk melakukan sindiran terhadap

penyair lainnya yang melakukan plagiat pada masa itu. Tindakan plagiat

tidak terlepas dari Hak Cipta, sebab plagiarisme lahir karena penjiplakan

yang dilakukan terhadap karya-karya yang dilindungi oleh hukum hak

cipta. Ciptaan yang dimaksud di atas pada umumnya berupa karya atas

16

ide-ide, gagasan dan tulisan (Soelistyo, 2011).

“Derived from Latin word plagiarius (Kidnapper), plagiarism can range from

purloining someone else‟s reportage or buying a prewritten term paper and

turning it in as one‟s own to copying a few sentences from a book or web site

without citing the source. According to the authoritative modern language

association, plagiarism is a form of cheating that has been defined as the false

assumption of authorship, the wrongful act of taking the product of another

persons mind and presenting it as one‟s own,” (Hansen, 2003:775).

Sementara, Bellinda dalam karya desertasinya yang berjudul

“Perlindungan Karya Arsitektur Berdasarkan Hak Cipta” membuat

catatan kaki tentang plagiarisme (dikutip oleh Soelistyo, 2011:17)

mengartikan plagiarisme sebagai tindakan menjiplak ide, gagasan atau

karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri atau menggunakan

karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya sehingga menimbulkan

asumsi yang salah atau keliru mengenai asal muasal dari suatu ide,

gagasan atau karya. Istilah plagiarisme menurut Bellinda membentuk

konsep peniruan terhadap karya-karya sebelumnya tanpa memberikan

perbedaan yang berarti dengan karya penirunya.

Pengertian ini serupa dengan definisi yang dikutip dari Kamus

Besar Bahasa Indonesia (dikutip Soelistyo, 2011:19) yang menyebutkan

bahwa plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat) orang lain dan

menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat) sendiri, misalnya

menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri. Kamus Besar

Bahasa Indonesia juga membedakan secara tegas istilah plagiat dengan

plagiarisme dimana plagiarisme diartikan sebagai penjiplakan yang

melanggar hak cipta.

17

Dari pengertian mengenai plagiarisme tersebut, penulis mencoba

menarik benang merah terutama dalam kaitan antara jurnalisme kloning

dengan plagiarisme. Sesuai pemahaman awal penulis bahwa jurnalisme

kloning merupakan aktivitas tukar menukar sumber berita yang dilakukan

jurnalis dalam menghasilkan karya jurnalistik baik dalam bentuk rekaman

wawancara, catatan wawancara wartawan maupun bentuk berita jadi yang

dikirimkan antar jurnalis. Jika dikaitkan dengan plagiarisme, maka

jurnalisme kloning merupakan bagian dari plagiarisme. Plagiarisme

memiliki cakupan yang lebih luas karena bisa dilakukan dalam berbagai

bentuk karya cipta, sementara jurnalisme kloning merupakan bagian

darinya khususnya hanya di ranah jurnalistik saja. Untuk lebih

memperkuat pendapat tersebut, bisa dilihat dari tipe-tipe plagiarisme yang

identik dengan perilaku kloning.

1.5.2.1 Ruang Lingkup Plagiarisme

Ruang lingkup plagiarisme menurut Felicia Untorodewo7 meliputi:

1. Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri

2. Mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri

3. Mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri

4. Mengakui karya kelompok sebagain kepunyaan atau hasil

sendiri

5. Menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda

7 Seperti dikutip Henry Soelistyo dalam buku Plagiarisme Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, 2011

hal. 35-36.

18

tanpa menyebutkan asal-usulnya

6. Meringkas dan memparafrase (mengutip tidak langsung) tanpa

menyebutkan sumbernya

7. Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebutkan

sumbernya tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih

terlalu sama dengan sumbernya

8. Menggunakan tulisan orang lain secara mentah tanpa

memberikan tanda yang jelas. Misalnya dengan menggunakan

tanda koma atau blok alinea yang berbeda

9. Mengambil gagasan orang lain tanpa memberikan anotasi yang

cukup tentang sumbernya

Sementara, tindakan-tindakan yang dianggap tidak termasuk dalam

plagiarisme diantaranya adalah:

1. Menggunakan informasi yang berupa fakta umum

2. Menuliskan kembali (dengan mengubah kalimat atau

paraphrase opini orang lain dengan mencantumkan sumber

yang jelas)

3. Mengutip secukupnya tulisan orang lain dengan memberikan

tanda batas jelas bagian kutipan dan menuliskan sumbernya

19

1.5.2.2 Tipe-Tipe Plagiarisme

Masih mengutip pendapat Belinda, Soelistyo (2011:19-22)

menjabarkan beberapa tipe-tipe dari plagiarisme, diantaranya:

1. Plagiarisme Ide (Plagiarism of Ideas)

Tipe plagiarisme ini sulit dibuktikan karena ide atau

gagasan itu bersifat abstrak dan berkemungkinan memiliki

persamaan dengan ide orang lain. Atau, ada kemungkinan

terjadi adanya dua ide yang sama pada dua orang pencipta yang

berbeda. Karenanya diperlukan bahan bukti yang cukup untuk

memastikan adanya plagiarisme. Namun demikian, salah satu

kunci untuk membuktikan adanya plagiarisme adalah dengan

mempertanyakan apakah ia mendapatkan keuntungan dari

pemikiran orang lain.

2. Plagiarisme Kata Demi Kata (Word for Word Plagiarism)

Tipe plagiarisme ini serupa dengan slavish copy,

mengutip karya orang lain secara kata demi kata tanpa

menyebutkan sumbernya. Plagiarisme dianggap terjadi karena

skala pengutipannya sangat substansial, sehingga seluruh ide

atau gagasan penulisnya benar-benar terambil.

3. Plagiarisme Atas Sumber (Plagiarism of Source)

Plagiarisme semacam ini memiliki „dosa‟ karena tidak

menyebutkan secara lengkap selengkap-lengkapnya referensi

yang dirujuk dalam kutipan. Jika sumber kutipan itu merujuk

20

seseorang sebagai penulis yang terkait dengan kutipan, maka

nama penulis tersebut harus turut serta disebut. Ini tentu sikap

yang fair dan tidak merugikan kepentingan penulis tersebut

serta kontributor-kontributor lainnya.

4. Plagiarisme Kepengarangan (Plagiarism of Authorship)

Plagiarisme kepengarangan terjadi apabila seseorang

mengaku sebagai pengarang dari karya tulis yang disusun oleh

orang lain. Tindakan ini terjadi atas dasar kesadaran dan motif

kesengajaan untuk „membohongi‟ publik.

5. Self Plagiarism

Self plagiarism pada intinya menempatkan pengarang

dalam posisi salah karena membohongi pembacanya. Dari

berbagai kemungkinan permasalahannya, terdapat dua bentuk

kejadian, yaitu melakukan publikasi tulisan atau artikel pada

lebih dari satu jurnal, dan tindakan mendaur ulang teks.

Tindakan yang pertama dianggap bermasalah apabila tidak ada

penjelasan tentang telah dipublikasikannya tulisan itu di jurnal

atau media lain sebelumnya.

Bentuk publikasi ganda atau berulang ini seringkali

terjadi karena penulis mengirimkan artikelnya ke lebih dari satu

media. Harapannya, mana yang lebih dulu memuat akan

dijadikan dasar untuk menarik artikel yang dikirim ke media

lain. Esensi dari self plagiarism ini penting untuk menjadi

21

catatan. Yaitu meski yang diambil adalah ciptaan karya sendiri,

seyogyanya dilakukan modifikasi atau penambahan yang

signifikan sehingga menciptakan tingkat perbedaan yang

berarti. Karya cipta yang lama harus hanya menjadi bagian

minor dari elemen ciptaan yang baru secara keseluruhan

(Soelistyo, 2011:22).

Seperti yang disampaikan sebelumnya, dari berbagai tipe-tipe

plagiarisme tersebut, maka jurnalisme kloning tercakup didalamnya.

Hanya saja, plagiarisme memiliki cakupan lebih luas karena berlaku dalam

ranah akademik, seni, hak cipta pribadi dan sebagainya. Sementara

jurnalisme kloning lebih spesifik dalam kaitannya dengan aktivitas

jurnalis saat mencari sumber berita dan menghasilkan karya jurnalistik.

1.5.2.3. Faktor-Faktor Penyebab Plagiarisme

Tindakan plagiarisme dipicu oleh beberapa faktor yang

mempengaruhinya. Menurut Soelistyo (2011:37-40) setidaknya terdapat

tiga faktor utama yang menjadi pemicu perilaku plagiat diantaranya:

1. Aspek Lemahnya Etika

Sebagai norma, implementasi tuntunan etika bersifat lebih soft

(lunak) dibandingkan hukum. Norma etika tidak

mengedepankan sanksi secara tegas sekeras aturan hukum.

22

2. Aspek Kohesi dengan Penegakan Hukum

Minimnya sanksi hukum terhadap pelaku plagiarisme,

penjiplakan atau pengambilan karangan termasuk pendapat

dan pemikiran orang lain sesungguhnya merupakan

pelanggaran hak yang berdimensi criminal. Namun sampai

sejauh ini sanksi hukum bagi plagiator masih sangat jarang

diterapkan.

3. Aspek Lemahnya Filtering Orisinalitas

Filtering terhadap orisinalitas suatu karya masih sangat minim

sehingga kemungkinan terjadinya plagiarisme menjadi semakin

besar karena kontrol terhadap hal tersebut hampir tidak ada.

1.5.3 Jurnalisme Kloning dan Plagiarisme Jurnalistik

Jurnalisme kloning seperti yang telah disinggung diatas, dapat

dipahami sebagai aktivitas tukar menukar sumber berita yang dilakukan

jurnalis dalam menghasilkan karya jurnalistik. Sumber berita yang

dimaksud bisa dalam bentuk rekaman wawancara, catatan wawancara

wartawan maupun bentuk berita jadi yang dikirimkan antar jurnalis.

Disebut sebagai jurnalisme kloning karena karya jurnalistik yang

dihasilkan tidak semata-mata merupakan jiplakan yang sangat mirip

melainkan bisa terdiri dari beberapa varian. Misalnya, berita kloning yang

dihasilkan dari hasil wawancara orang lain dan kemudian diberi tambahan

narasumber alternatif. Ada pula bentuk kloning berita dengan

23

menggabung-gabungkan hasil wawancara jurnalis satu dan yang lainnya.

Atau bahkan menggabungkan berita yang sudah jadi dari beberapa

wartawan lain, untuk disusun menjadi satu karya jurnalistik baru.

Pada perkembangannya, aktivitas jurnalis dalam tukar-menukar

karya jurnalistik sudah membudaya dan dianggap menjadi hal biasa.

Praktik jurnalisme kloning bahkan tidak hanya dilakukan oleh wartawan

senior saja melainkan banyak dibuntuti pula oleh wartawan pemula yang

merasa sangat dimudahkan dengan adanya jurnalisme kloning ini. Bahkan

untuk wartawan yang tidak hadir di lapangan sekalipun dapat dengan

mudahnya mendapatkan sumber kloning berita baik berupa rekaman suara

narasumber, catatan wawancara yang dilakukan wartawan lain atau email

berita dari sesama jurnalis lain.

Di era keterbukaan seperti saat ini, pekerja pers terjebak dalam

pekerja kloning, yakni tanpa perlu sibuk liputan, seorang wartawan bisa

mendapatkan berita dengan cara mengcopy berita dari teman lain.

Fenomena tersebut sangat memprihatinkan terutama karena pekerja pers

saat ini juga sangat gampang terbawa hembusan angin. Namun, hal ini

bukan semata seluruhnya sebagai kesalahan pekerja pers, namun

paradigma pers sebagai industri yang acapkali menuntut profit sebagai

tujuan. 8

Fenomena jurnalisme kloning ini makin hari semakin sulit untuk

dipisahkan dari aktivitas wartawan dalam mencari berita. Salah satu hal

8Hidayat Nur Wahid dalam makalah berjudul Membangun Profesionalisme Pers dengan

Menegakkan Hukum dan Etika Pers. Disampaikan dalam Konvensi Nasional Media Massa se-

Indonesia tahun 2006 memperingati rangka Hari Pers Nasional.

24

yang turut menjadi andil dalam suburnya praktik kloning adalah perangkat

teknologi yang semakin maju. Dengan teknologi smart phone saja

misalnya, proses kloning berita dapat dilakukan semudah membalikkan

telapak tangan. Teknologi ini menyediakan fasilitas perekam suara, email,

kamera foto dan fasilitas penunjang kerja jurnalis lainnya yang dapat

dikirimkan ke email atau antar telepon.

Jurnalisme kloning sendiri telah masuk dalam tiga pelanggaran

etika profesi yang paling sering dilakukan wartawan. Paramita (2013:6)

dalam penelitiannya menyebutkan, tiga pelanggaran etika profesi yang

seringkali dilakukan wartawan diantaranya mengenai keberimbangan

berita (cover both side), praktik pemberian amplop dan masalah

plagiarisme atau kloning.

Menurut Paramita, kloning dilakukan dengan cara membagikan

atau meminta berita kepada rekan wartawan lainnya, untuk kemudian

dimodifikasi. Hal ini dipandang menciderai idealisme wartawan karena hal

tersebut nyata dilakukan atas adanya kerjasama antara sesama perusahaan

media atau sesama wartawan itu sendiri.

Dalam penelitiannya mengenai Pemahaman Wartawan Terhadap

Etika Profesi yang dilakukan pada wartawan di Bali, diketahui bahwa

aktivitas jurnalisme kloning biasanya telah terkoordinir oleh para

wartawan di setiap pos-pos liputan. Kondisi ini terus berkembang karena

didukung adanya anggapan bahwa berita lokal seperti halnya piala bergilir

yang harus dikembangkan. Perusahaan media pun tidak melarang

25

pelanggaran tersebut.

Sementara, istilah plagiarisme memang belum terlalu akrab

digunakan di ranah jurnalistik. Namun baik disadari atau tidak, jika

mengacu pada definisi plagiarisme secara umum, maka seringkali jurnalis

dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya melakukan hal-hal yang

mendekati plagiarisme atau bahkan memang benar-benar secara gamblang

melakukan tindakan plagiat.

“News media plagiarism at its simplest understanding, the passing off by a

reporter of another‟s work or part work as his or her own. Journalists refer

particularly to the pressures of coping with smaller and smaller newsroom

numbers, and to the ease of plucking material from the ether of the Internet.

They also talk about laziness and the dishonesty of the perpetrators,” (Michael,

2009:3).

Meski tidak populer di lingkungan jurnalistik, istilah plagiat atau

plagiarisme bukan berarti sama sekali tidak disinggung di ranah tersebut.

Plagiarisme di dunia jurnalistik seringkali dikaitkan dengan persoalan

etika dalam menghasilkan karya jurnalistik.

Kode etik jurnalistik yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan

Indonesia (PWI) pasal 5 mengenai sumber berita khususnya pada ayat

keduanya mengatur tidak saja mengenai solidaritas profesi (wartawan)

tetapi juga kejujuran untuk tidak mencuri karangan atau plagiat (Assegaff,

1983:86).

Serupa pula dengan apa yang dipaparkan Atmadi (1985:159)

bahwa kode etik jurnalistik pasal 5 ayat 2 menjabarkan, wartawan

Indonesia harus dengan jujur menyebutkan sumbernya dalam mengutip

berita atau tulisan dari suatu surat kabar atau penerbitan untuk

26

kesetiakawanan profesi. Ini berarti juga bahwa plagiat harus dijauhi oleh

setiap wartawan Indonesia dan menyatakan plagiat tersebut sebagai suatu

perbuatan yang hina.

Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-

DP/III/2006 tentang kode etik jurnalistik pasal 2 yaitu wartawan Indonesia

menempuh cara-cara professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Cara-cara professional antara lain tidak melakukan plagiat, termasuk

menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri.

Dalam pasal 2 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) ditentukan bahwa

wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip

karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya. Wartawan Indonesia harus

menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk

tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data

bukan opini. Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan,

segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.

Dari pengertian kode etik jurnalistik tersebut jelaslah bahwa

tindakan plagiat dan mengambil liputan orang lain sebagai liputan karya

sendiri, sebagai tindakan pelanggaran profesi atau kode etik. Dalam hal ini

dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas hak cipta atau karya jurnalistik

orang lain.

Meski telah tercantum dalam kode etik jurnalistik, namun tindakan

plagiarisme karya jurnalistik di kalangan wartawan seolah mengalami

„pembiaran‟ karena dianggap sebagai aktivitas yang memerlukan analisis

27

lebih lanjut untuk membuktikannya. Tidak banyak pelaporan atas kasus

plagiat tersebut karena media massa atau wartawan bersangkutan yang

mengetahui karyanya telah dijiplak, seringkali tidak memperpanjang kasus

tersebut ke ranah hukum atau dewan pers. Bahkan, beberapa diantaranya

melegalkan aksi jiplak-menjiplak sebagai bentuk kebersamaan profesi.

1.5.3.1 Faktor-faktor Penyebab Jurnalisme Kloning

Praktik jurnalisme kloning di kalangan jurnalis secara spesifik

belum diketahui pasti telah berlangsung atau bermula sejak kapan. Istilah

jurnalisme kloning sendiri nampaknya memang dipopulerkan pada

awalnya hanya terbatas di kalangan sesama jurnalis dan kemudian menjadi

istilah yang ikut diamini oleh masyarakat luas.

Meski belum memiliki penafsiran baku, namun dalam penelitian

ini penulis akan mencoba melihat beberapa faktor-faktor yang

memungkinkan praktik jurnalisme kloning tersebut bisa terjadi. Penulis

mencoba menarik penghubung antara aktivitas kloning sebagai tindakan

plagiat yang berkaitan erat dengan etika profesi jurnalis.

Menurut Agee, Warren K (1994:92) penegakan profesionalitas dan

etika media dipengaruhi oleh lima faktor yakni:

1. Practise of individual media personal yakni berkaitan dengan

publisher, reporter, editor, pemilik media, direktur pemberitaan

dan lainnya dalam kinerjanya sebagai pemberi informasi.

Untuk menyampaikan informasi, inidividu ini akan dipengaruhi

28

oleh empat faktor lainnya.

2. Standards of individual media yakni peraturan, kode etik,

tradisi serta asumsi tidak tertulis dalam perusahaan media

masing-masing.

3. Professional and industry standards of conduct yakni peraturan

dan kode etik dari organisasi-organisasi yang membawahi

perusahaan media.

4. Phylosohies and laws under wich governments operate yakni

filosofi pers yang dianut sebuah negara yang dituangkan dalam

undang-undang atau peraturan.

5. Outer limit of what the public will permit yakni kekuatan

masyarakat sebagai penilai atau pengamat.

Berkaitan dengan lima faktor diatas, peneliti menurunkan masing-

masing konsep dalam variabel untuk mempermudah melakukan analisis

faktor-faktor penyebab praktik jurnalisme kloning di kalangan jurnalis,

diantaranya:

1. Komitmen individu dalam penegakan etika profesi. Komitmen

disini dipahami sebagai keterikatan individu dalam melakukan

sesuatu yakni penegakan etika profesinya sebagai seorang

jurnalis. Tinggi rendahnya komitmen jurnalis terhadap etika

profesi akan mempengaruhi keputusannya untuk melakukan

kloning berita atau tidak.

29

2. Aturan perilaku dalam perusahaan. Jurnalis selain dinaungi

oleh kode etik sebagai pedoman profesi, juga dipayungi oleh

aturan dari perusahaan media tempatnya bekerja. Aturan di tiap

perusahaan media jelas berbeda-beda. Jika perusahaan media

menerapkan aturan yang tegas mengenai perilaku jurnalis

dalam tugasnya, maka kecenderungan jurnalis untuk

melakukan plagiat atau kloning berita akan semakin kecil.

3. Kontrol organisasi profesi. Organisasi profesi memiliki peran

untuk melakukan pengawasan terhadap praktik jurnalisme

kloning yang dilakukan oleh anggotanya. Di Indonesia,

terdapat dua organisasi profesi jurnalis yang cukup besar yakni

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis

Independen (AJI). Meski praktik jurnalisme kloning belum

menjadi isu utama yang sering diawasi oleh keduanya, namun

AJI tampak lebih ketat dalam melakukan pengawasan praktik

plagiat terhadap anggotanya.

4. Tekanan komersial. Situasi pers Indonesia saat ini yang lebih

mengarah pada kepentingan bisnis berkaitan erat dengan

tekanan komersial pada perusahaan media. Hal ini jelas

berimbas langsung pada jurnalis sebagai ujung tombak laju

berkembangnya media. Dengan mengutamakan keuntungan

bisnis, media akan cenderung memberikan tekanan lebih besar

kepada wartawan khususnya dalam menghasilkan berita dan

30

berusaha semaksimal mungkin menekan pengeluaran. Disini

jurnalis dituntut dengan target berita yang kadang tidak

sepadan dengan penghasilan yang didapat. Situasi tersebut

memberikan celah terjadinya jurnalisme kloning dimana satu

jurnalis dapat dengan mudah mendapatkan banyak berita

dengan cara saling bertukar dengan wartawan lain. Alasan

efisiensi ini seringkali digunakan sebagai landasan untuk

melakukan jurnalisme kloning.

5. Kontrol sosial masyarakat. Kontrol sosial masyarakat berkaitan

dengan peran masyarakat dalam memberikan penilaian

terhadap pers sebagai organisasi maupun individu. Kontrol

sosial masyarakat dapat mempengaruhi perilaku jurnalis

khususnya dalam penegakan etika profesinya. Semakin tinggi

kontrol dari masyarakat, maka proses kerja wartawan termasuk

karya jurnalistik yang dihasilkan akan semakin dikritisi. Telah

banyak masyarakat yang mengungkap adanya kasus plagiat di

kalangan jurnalis karena mereka sebagai pengkonsumsi

informasi, nyaris tidak mendapatkan keberagaman informasi

karena berita yang dihasilkan banyak media cenderung sama.

31

1.6 Kerangka Konsep

1.6.1 Jurnalisme Kloning di Kalangan Jurnalis

Jurnalisme kloning dalam penelitian ini disarikan sebagai bentuk

atau bagian dari plagiarisme terhadap karya jurnalistik. Seperti yang

disampaikan sebelumnya, mengutip pendapat Belinda dalam Soelistyo

(2011:19-22) plagiarisme memiliki beberapa tipe diantaranya: plagiarisme

ide (plagiarism of ideas), plagiarisme kata demi kata (word for word

plagiarism), plagiarisme atas sumber (plagiarism of source), plagiarisme

kepengarangan (plagiarism of authorship) dan self plagiarism. Maka

jurnalisme kloning disini diposisikan secara lebih sempit dari plagiarisme.

Pasalnya, meski beberapa tipe plagiarisme masuk dalam praktik jurnalisme

kloning, namun jurnalisme kloning memiliki ruang lingkup yang lebih

sempit yakni di ranah jurnalistik khususnya dalam praktik industri media

massa. Sementara, plagiarisme memiliki cakupan lebih luas karena berlaku

dalam ranah akademik, seni, hak cipta pribadi dan sebagainya.

1.6.1.1. Aspek dan Komponen dalam Jurnalisme Kloning

Praktik plagiarisme atau kloning dalam dunia jurnalistik sendiri

belum dapat digolongkan secara pasti. Namun menilik kembali definisi

plagiarisme atau hal yang mendekatinya maka plagiarisme jurnalistik

tersebut dapat disarikan dalam beberapa bentuk yang bisa dijadikan

indikator praktik jurnalisme kloning, yakni:

1. Mencuri atau menjiplak karya dan ide wartawan lain untuk

32

diakui sebagai karyanya

2. Mengutip karangan orang lain tanpa menyebutkan sumbernya

3. Melakukan copy paste berlebihan pada suatu siaran pers atau

sumber tertulis lain

4. Mendaur ulang kembali karyanya untuk diterbitkan kembali di

media massa

5. Melakukan kloning atau penggabungan berbagai berita dan

hasil wawancara yang bukan didapatkan sendiri oleh wartawan

yang bersangkutan (Menggunakan sumber berita yang tidak

didapatkannya sendiri baik berupa teks, gambar maupun suara)

6. Menjiplak informasi dari media lain seperti media online dan

media lainnya tanpa menyebutkan sumber yang jelas dan tidak

memiliki legal formal apapun untuk diperkenankan mengutip.

Tabel 1.1 Aspek dan Komponen dalam Jurnalisme Kloning

Aspek Praktik

Jurnalisme Kloning

Berdasarkan Pendekatan

Plagiarisme

1. Mencuri atau menjiplak ide

dan karya wartawan lain

untuk diakui sebagai

karyanya

- Plagiarisme ide

- Plagiarisme kepengarangan

- Plagiarisme atas sumber

2. Mengutip karangan orang

lain tanpa menyebutkan

- Plagiarisme atas sumber

- Plagiarisme kata demi kata

33

sumbernya - Plagiarisme kepengarangan

3. Melakukan copy paste

berlebihan pada suatu siaran

pers atau sumber tertulis lain

- Plagiarisme atas sumber

- Plagiarisme kata demi kata

4. Mendaur ulang karyanya

untuk diterbitkan kembali di

media massa

- Self plagiarism

5. Melakukan kloning atau

penggabungan berbagai

berita dan hasil wawancara

yang bukan didapatkan

sendiri oleh wartawan

bersangkutan

(Menggunakan sumber

berita yang tidak

didapatkannya sendiri baik

berupa teks, gambar maupun

suara tanpa hadir di

lapangan)

- Plagiarisme atas sumber

- Plagiarisme kata demi kata

6. Menjiplak informasi dari

media lain seperti media

online dan media lain tanpa

menyebutkan sumber yang

- Plagiarisme atas sumber

- Plagiarisme kata demi kata

- Plagiarisme kepengarangan

34

jelas dan tidak memililiki

legal formal apapun untuk

diperkenankan mengutip

Selanjutnya, berdasarkan konsep diatas, penulis kembali

menggolongkan praktik jurnalisme kloning dalam beberapa tipe atau jenis,

yakni:

a. Jurnalisme kloning berdasarkan usaha yang dilakukan

1. Mengambil materi tertentu (sumber berita) secara mentah

Yakni jurnalisme kloning yang dilakukan dengan

mengambil sumber berita baik berupa rekaman hasil

wawancara, catatan jurnalis atau berita jadi dan press

release, untuk digunakan secara mentah atau sama dalam

berita/karya jurnalistik.

2. Mengambil materi tertentu dan kemudian mengolahnya

Yakni jurnalisme kloning yang dilakukan dengan

mengambil materi atau sumber berita dan kemudian

dimodifikasi dan diolah dalam karya jurnalistik.

3. Mengambil materi secara mentah dan sebagian diolah

Yakni jurnalisme kloning yang dilakukan dengan

menggunakan materi atau sumber berita secara mentah

serta diberi tambahan materi lain yang telah diolah.

b. Jurnalisme kloning berdasarkan proses

35

1. Sebelum menjadi berita

Yakni praktik kloning yang dilakukan sebelum proses

menjadi berita. Diantaranya tukar menukar hasil

wawancara, tukar menukar data atau catatan wartawan dan

lainnya yang masih berupa data mentah.

2. Sesudah menjadi berita

Yakni kloning yang dilakukan sesudah menjadi berita.

Diantaranya saling bertukar berita, menjiplak atau

mengolah berita jurnalis lain, menjiplak atau mengolah

press release.

c. Jurnalisme kloning berdasarkan derajadnya

1. Total sama

Yakni kloning yang dilakukan dengan menjiplak materi

atau sumber berita secara utuh dan sama.

2. Sebagian

Yakni kloning yang dilakukan dengan mengutip sebagian

materi atau sumber berita.

3. Satu alinea

Yakni kloning yang dilakukan dengan mengutip satu alinea.

4. Satu kutipan/paragraph

Yakni kloning yang dilakukan dengan menjiplak satu

kutipan atau paragraf.

d. Jurnalisme kloning berdasarkan substansi

36

1. Penuh

Yakni kloning yang sepenuhnya sama dengan sumber

aslinya atau secara menyeluruh.

2. Parsial

Yakni kloning yang dilakukan dengan mengambil sebagian

atau beberapa materi tertentu

e. Jurnalisme Kloning Berdasarkan Kehadiran Jurnalis

1. Jurnalis Hadir di Lapangan

Jurnalis melakukan praktik kloning berita meskipun mereka

hadir di lapangan.

2. Jurnalis Tidak Hadir di Lapangan

Jurnalis melakukan kloning dan tukar menukar sumber

berita sekalipun mereka tidak ada di lapangan

Tabel 1.2 Tipe-Tipe Jurnalisme Kloning

Kloning

Berdasarkan

Usaha

Kloning

Berdasarkan

Proses

Kloning

Berdasarkan

Derajadnya

Kloning

Berdasarkan

Substansi

Kloning

Berdasarkan

Kehadiran

Jurnalis

1.Mengambil

mentah

2.Mengambil

mentah dan

mengolahnya

3.Mengambil

mentah dan

sebagian

diolah

1. Sebelum

menjadi

berita

2. Setelah

menjadi

berita

1. Total sama

2. Sebagian

3. Satu alinea

4. Satu

kutipan

1. Penuh

2. Parsial

1. Hadir di

lapangan

2. Tidak hadir

37

1.6.1.2. Faktor-Faktor Penyebab Menjamurnya Jurnalisme Kloning

Selain pendekatan dari sisi etika dan profesionalitas seperti yang

telah disebutkan sebelumnya, menjamurnya jurnalisme kloning juga

terjadi karena faktor lain seperti faktor teknis dan faktor eksternal jurnalis.

Disini penulis mencoba menggolongkan beberapa indikator yang menjadi

penyebab perilaku kloning di kalangan jurnalis. Indikator ini didapatkan

selain dari observasi awal di lapangan juga digunakan sebagai komponen

untuk menggolongkan penyebab perilaku kloning di kalangan jurnalis,

diantaranya:

1. Kemajuan dan kemudahan akses teknologi informasi

Tidak dapat dipungkiri, kemajuan dan kemudahan akses

teknologi informasi memberikan implikasi positif bagi semua

kalangan termasuk profesi jurnalis. Namun dengan kemudahan

akses ini juga membawa dampak negatif yakni menjamurnya

perilaku plagiat. Dengan teknologi yang canggih, tukar

menukar sumber berita bisa dilakukan dengan sangat mudah

yakni melalui fasilitas email, ponsel pintar dan lainnya. Jurnalis

juga dapat dengan mudah mengutip berbagai informasi di

media internet untuk dijadikan bahan berita meskipun tanpa

menyebutkan sumber.

2. Faktor internal individu

Faktor internal individu erat kaitannya dengan mentalitas dan

profesionalitas pribadi jurnalis. Jurnalis yang malas akan

38

cenderung menjadikan kloning sebagai cara mudah untuk

mendapatkan sumber berita.

3. Minimnya kontrol perusahaan media

Kontrol perusahaan media terhadap hasil karya jurnalis selama

ini masih sangat minim. Di tingkat redaktur misalnya, selaku

penyaring pertama karya jurnalistik wartawan, cenderung tidak

memperhatikan proses dan pola wartawan dalam menghasilkan

berita. Bahkan yang terjadi selama ini, sekalipun praktik

kloning telah jelas dilakukan oleh wartawan yang

bersangkutan, namun tidak ada sanksi apapun yang diberikan

oleh perusahaan.

4. Minimnya kontrol organisasi profesi

Meski tidak semua wartawan ikut serta menjadi anggota

organisasi profesi, namun ternyata kontrol yang diberikan turut

memberikan pengaruh terhadap perilaku wartawan. Dalam

kasus suap misalnya, untuk organisasi tertentu menetapkan

kontrol dan saknsi yang sangat ketat untuk menghukum

pelakunya. Hal ini berbanding terbalik dengan kontrol terhadap

perilaku kloning wartawan yang seolah mengalami pembiaran.

5. Tidak tegasya penegakan etika

Tinggi rendahnya komitmen jurnalis terhadap etika profesi

akan mempengaruhi keputusannya untuk melakukan kloning

berita atau tidak. Namun seringkali komitmen yang telah

39

terbangun tersebut tidak diikuti dengan tegasnya penegakan

etika profesi jurnalis. Seperti diketahui, perilaku plagiat

merupakan salah satu hal yang diatur dalam kode etik

jurnalistik, namun penegakan terhadap aturan tersebut

khususnya pemberian sanksi tegas secara hukum maupun etik

justru minim atau hampir tidak ada.

6. Tingginya tuntutan kerja perusahaan media

Persaingan industri media massa yang semakin ketat

menjadikan tuntutan kerja dari perusahaan media terhadap

jurnalis menjadi semakin tinggi. Disini jurnalis diberikan beban

kerja yang semakin berat untuk memenuhi pasar diantaranya

dengan target kuota berita yang semakin banyak, deadline yang

ketat, serta tuntutan untuk memiliki kemampuan multitalenta.

Perusahaan media seringkali juga menuntut jurnalis untuk tidak

hanya menghasilkan satu karya jurnalistik media cetak namun

juga harus mampu menulis cepat di media online bahkan

melakukan reportase siaran radio. Beban kerja yang tinggi

inilah yang sering dijadikan alasan jurnalis melakukan kloning

karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki.

7. Faktor solidaritas profesi

Solidaritas terhadap sesama rekan kerja di lapangan juga sering

menjadi faktor penyebab menjamurnya perilaku kloning. Hal

ini banyak dialami oleh jurnalis muda yang harus

40

menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Biasanya

dalam satu komunitas wartawan, pola-pola kloning telah

terbentuk sebelumnya dan jurnalis baru seringkali mau tidak

mau harus mengikuti pola yang telah ada untuk menyesuaikan

diri dan bentuk solidaritas sesama jurnalis. Pada akhirnya,

kloning menjadi terus menerus terjadi antar generasi karena

dianggap sebagai kebutuhan satu sama lain.

Praktik jurnalisme kloning di Indonesia salah satunya terjadi

karena faktor kemajuan teknologi yang mempengaruhi proses kerja

jurnalis dalam pencarian sumber berita hingga menjadi karya jurnalistik.

“It also coincides with an apparent recognition that the burgeoning growth of

the new technologies has made plagiarism easier and easier to commit, and

therefore, even if beyond accurate measurement, to be on the rise,” (Michael,

2009:3).

Kemudahan dan kepraktisan teknologi membawa implikasi nyata

dalam proses kerja jurnalis baik dari segi etika maupun hukum. Salah satu

hal yang berpengaruh adalah kecenderungan praktik plagiarisme seperti

yang diungkapkan Pavlik (2001:14): “They also plagiarism increasingly

simply then tempting and raise a serious threat to good old shoe leather

reporting.”

Menurutrnya, Plagiarisme merupakan salah satu permasalahan

yang menjadi dilemma akibat keberadaan new media dalam ruang lingkup

jurnalistik. Plagiarisme juga semakin mudah terjadi bukan hanya karena

kemudahan jurnalis mencari data melalui sumber-sumber yang tersaji

lebih luas dalam dunia online. Keberadaan hyperlink (pertautan) dari satu

41

media ke media lainnya membuat data original menjadi kabur dan sulit

ditelusur.

Penjiplakan karya jurnalistik sendiri sebenarnya tidak hanya

dilakukan di ranah media konvensional semata tetapi justru kini lebih

akrab dilakukan di ruang lingkup media baru yakni media online.

Persoalan plagiarisme pun menjadi hal yang disinggung menyangkut

kehadiran media baru ini. Christel, G.C van de Burgt, Klaus Schonbach,

Richard, JW van der Wurff dalam karya mereka Journalism Ethics in

Perspective: Desirability and Feasibility of a Separate Code of Conduct

for Online Journalism mengidentifikasi sejumlah persoalan etis dan

hukum yang memunculkan dilema dalam praktik jurnalisme online.

Penelitian tersebut menyatakan bahwa jurnalisme online akan

menghadirkan dilemma berkaitan dengan tekanan komersial dari

perusahaan, keberadaan hyperlink, keakuratan dan kedekatan berita,

plagiarisme, privasi dan masalah identitas.

Ketika berbicara mengenai plagiarisme, persoalan di ranah hukum

yang tidak bisa diabaikan begitu saja adalah berkaitan dengan hak cipta

(copyright). Hak cipta merupakan intellectual property right dimana

keberadaannya adalah untuk mencegah dilakukannya pencurian hak-hak

kekayaan intelektual yang dimiliki oleh individu maupun perusahaan.

Dalam wilayah media, adanya hak cipta ini dimaksudkan untuk mencegah

terjadinya copy paste hasil pekerjaan satu orang dengan orang lain tanpa

permisi.

42

“The law of copyright protect two kinds of labour or investment: the labour of

the author in his own material, such as articles, programmes, scripts or songs

and the investment of those who provide the technology necessary to publish the

material, such as newspapers, broadcast, films, or records (Crone, 2002:43).”

Pemberitaan yang dihasilkan jurnalis dan telah dimuat dalam

sebuah media dilindungi oleh hak kekayaan intelektual sebagai hasil karya

cipta dan hasil kreasi seseorang yang masuk dalam kategori intellectual

property right. Apabila seorang jurnalis melakukan plagiarisme terhadap

hasil pemberitaan yang dilakukan jurnalis lain, maka bisa jurnalis tersebut

melakukan pencurian hak cipta. Pada dasarnya tidak ada copyright yang

berlaku untuk sebuah ide atau pemberitaan. Namun hukum hak cipta

memberikan perlindungan dalam pemberitaan dan persebaran informasi

dalam beberapa hal (Crone, 2002:43): “However a newspaper or

programme cannot use verbatim another newspaper‟s report or broadcast

another programme‟s footage of an event.”

Hal tersebut menegaskan , apapun yang telah dipublikasikan dalam

media termasuk media baru, baik itu berita maupun informasi, tidak bisa

sembarangan disalin dan dipindahkan begitu saja tanpa memperhitungkan

hak cipta atau memberikan tautan yang menjadi rujukan (referensi).

1.6.2 Kloning dan Fenomena Jurnalisme Kerumunan

Fenomena jurnalisme kloning yang terjadi di Indonesia ternyata

memiliki pola-pola yang hampir sama dengan apa yang disebut jurnalisme

kerumunan atau pack journalism. Jurnalisme kerumunan atau pack

journalism merupakan kecenderungan perilaku jurnalis untuk berbondong-

43

bondong mengerubuti satu sumber berita yang sama. Jurnalisme

kerumunan ini erat kaitannya dengan jurnalisme kloning karena pola-pola

yang terjadi sangat mirip dengan perilaku kloning.

“Everyone in journalism steals from everyone else. Opinion writers are „pack

rats‟ who steal ideas, facts, opinions in an effort to add insight to an issue.

Newspaper plagiarism noted the irony that editors who object to copying

material remorselessly steal story ideas and concepts for regular features from

other newspapers,‟‟ (Paul Lewis, 2013:742).

Jonathan Matusitz dan Gerald-Mark Breen dalam penelitiannya

Unethical Consequences of Pack Journalism (2007) memberikan beberapa

definisi mengenai pack journalism: “Pack journalism, a widespread

media practice where large groups of reporters collaborate to cover the

same story, should be abolished, or at least lessened in frequency”

Secara garis besar disebutkan, pack journalism merupakan praktik

media secara luas dimana kelompok-kelompok besar wartawan bekerja

bersama untuk mendapatkan atau memberitakan informasi yang sama.

Matusitz juga mengutip beberapa definisi lain dari pack journalism,

diantaranya:

“Pack journalism is a phenomenon by which large groups of reporters from

different media outlets collaborate to cover the same story. They cite or draw

from the same sources, simultaneously, with the same purpose and employing the same methods. They move in a swarm where they observe carefully what the

others are doing. Oftentimes, they flock from hotspot to hotspot, clump together

in a hotel overlooking the streets, and crowd outside courthouses, city halls, or

at the scene of an accident or catastrophe. Their main goal is to obtain

comments from the important sources” (Matusitz, 2002).

Istilah Pack Journalism sendiri diyakini telah muncul dalam masa

yang cukup lama. Penelitian Matusitz menyebutkan, istilah tersebut

dicetuskan oleh Timothy Crouse pada tahun 1973 yang dikenal juga

44

dengan sebutan herd journalism, fuselage journalism, atau communitarian

journalism.

Jurnalisme kerumunan masih terus terjadi karena saat ini semakin

sedikit jurnalis yang percaya akan kemampuan idenya sendiri dalam

mencari sumber berita dan mendapatkan isu yang eksklusif. Jurnalis

cenderung malas menentukan arah liputan atau mencari narasumber

sendiri. Pack journalism menunjukkan adanya kecenderungan sifat malas

wartawan dalam mengumpulkan informasi menjadi berita.

“The role of journalists is to gather and publish original information, not falsify

information due to a deliberate lack of effort and motivation. Yet, particularly

rampant in the political setting, pack journalism has become mindless and

unscrupulous copycat behavior that stems from journalistic laziness. As such,

prominent news organizations highlight similar, if not identical, stories, using

the same sources, each one churning out the same words, asking the same

questions, and ending up with the same article” (Matusitz, 2002).

Seringkali kecenderungan perilaku wartawan dalam pack

journalism adalah hanya menyodorkan alat perekam atau kamera kepada

narasumber dan diam mengikuti pertanyaan yang dilontarkan jurnalis lain.

Bahkan beberapa jurnalis yang bersangkutan sering tidak mengetahui apa

yang dibicarakan narasumbernya.

Sementara, kebiasaan berkerumun ini menjadikan sumber berita

dan angle atau sudut pandang peliputan cenderung sama satu sama lain.

Hal inilah yang menjadikan celah bagi praktik jurnalisme kloning.

Kesamaan bahan berita yang dicari menjadikan wartawan yang malas

hanya mengandalkan wartawan lain dalam mendapatkan sumber berita.

Alhasil, dengan alasan terlambat atau ada tugas lain, jurnalis yang malas

45

terbiasa dengan mudahnya mendapatkan kloning berita. Aktivitas yang

sering dilakukan tersebut pada akhirnya menjadikan jurnalis lain

menganggapnya sebagai perilaku yang biasa dan tidak melannggar etika.

Pack journalism menumpulkan kreativitas wartawan dalam

menghasilkan karya jurnalistik. Kualitas informasi yang dihasilkan juga

menurun karena tidak ada keberagaman. Publik pun semakin sedikit

mendapatkan pilihan berita yang berimbang. Selain berimbas pada

perilaku kloning berita, pack journalism juga mengarah pada bentuk

jurnalisme katanya. Dimana jurnalis seringkali malas melakukan

konfirmasi langsung kepada narasumber dan lebih mengandalkan apa yang

dikatakan oleh jurnalis lain dalam merangkai karya jurnalistiknya.

Seringkali jurnalisme katanya ini mennjadikan informasi yang diterbitkan

di masyarakat menjadi tidak akurat.

1.6.3 News Aggregator dan Jurnalisme Kloning

News Aggregator secara sederhana bisa dipahami sebagai

kumpulan berita dari berbagai macam sumber yang disajikan dalam bentuk

link melalui suatu website atau situs tertentu. News Aggregator sengaja

dibahas karena keterkaitannya dengan jurnalisme kloning. Yakni apakah

praktik agregat berita tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak cipta

karya jurnalistik yang sangat dekat dengan plagiarisme. Untuk

memahaminya secara lebih jauh, ada baiknya kita menganalisa beberapa

definisi mengenai news aggregator, salah satunya dari penelitian yang

46

telah dilakukan Kimberly Isbell: “At its most basic, a news aggregator is a

website that takes information from multiple sources and displays it in a

single place (Isbell, 2010:2).

Dari definisi yang diberikan tersebut, bisa dijelaskan secara

sederhana bahwa news aggregator merupakan sebuah website yang

memberikan informasi dari berbagai macam sumber dan disajikan dalam

satu tempat. Sesuai dengan apa yang tersaji selama ini, seringkali news

aggregator bukan merupakan pemilik asli informasi atau berita tertentu

melainkan hanya mengumpulkan berbagai sumber.

News Aggregator menurut Kimberly tercakup dalam beberapa

bentuk. Ia mengklasifikasikannya dalam empat jenis diantaranya Feed

Aggregators, Specialty Aggregators, User-Curated Aggregators, dan Blog

Aggregators.

“Feed Aggregators is the closest to the traditional conception of a news

aggregator, namely, a website that contains material from a number of websites

organized into various „feed‟ typically arranged by source, topic or story. Feed

Aggregators often draw their material from a particular type of source, such as

news websites or blogs, although some feed aggregators will contain content

from more than type of source” (Isbell, 2010:2).

Feed Aggregators memiliki konsep yang sangat dekat dengan

news aggregators. Yakni, sebuah website yang berisi materi dari sebuah

situs yang disusun dalam berbagai „feed‟ yang biasanya diatur oleh

sumber, topic atau cerita. Feed aggregators seringkali mengambil materi

dari sumber tertentu seperti situs-situs berita atau blog.

Specialty aggregators is a website that collects information from a number of

sources on particular topic or location. User-Curated Aggregators is a website that features user-submitted links and portions of text taken from a variety of

website. Often the links on a user-curated aggregators will be culled from a

47

wider variety of sources than most news aggregators, and will often include

links to blog posts and multimedia content. Blog aggregators are websites that

use third-party content to create a blog about a given topic (Isbell, 2010:3).

Jenis kedua yakni specialty aggregators merupakan sebuah

website yang mengumpulkan informasi dari sejumlah sumber, dan

menitikberatkan pada satu topik atau lokasi tertentu. Selanjutnya, user-

curated aggregators merupakan sebuah website yang memiliki fitur user-

submitted link dan bagian-bagian teks yang diambil dari berbagai situs

web, seringkali link pada user-link aggregators diambil dari berbagai

sumber yang lebih luas daripada kebanyakan aggregate berita dan sering

menyertakan link ke posting blog dan konten berita. Sementara jenis

terakhir yakni blog aggregators adalah situs web yang menggunakan

konten pihak ketiga untuk membuat sebuah blog tentang topik tertentu.

Dalam praktiknya, news aggregator seringkali menuai kontroversi

terutama terkait dengan legalitas penyajian informasi dan keaslian

kepemilikan isi berita yang disajikan. Di Indonesia ketentuan mengenai

hal tersebut tercantum dalam peraturan Dewan Pers nomor 1 tahun 2012

mengenai pedoman pemberitaan media siber. Media siber sendiri

didefinisikan sebagai segala bentuk media yang menggunakan wahana

internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik. Pada butir keempat poin d

pedoman tersebut disebutkan bahwa, bila suatu berita media siber tertentu

disebarluaskan media siber lain, maka:

1. Tanggung jawab media siber pembuat berita terbatas pada berita yang

dipublikasikan di media siber tersebut atau media siber yang berada di

48

bawah otoritas teknisnya.

2. Koreksi berita yang dilakukan oleh sebuah media siber juga harus

dilakukan oleh media siber lain yang mengutip berita dari media siber

yang dikoreksi itu

3. Media yang menyebarluaskan berita dari sebuah media siber dan tidak

melakukan koreksi atas berita sesuai yang dilakukan oleh media siber

pemilik dan atau pembuat berita tersebut, bertanggung jawab penuh

atas semua akibat hukum dari berita yang tidak dikoreksinya itu

1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1 Studi Kasus Sebagai Metode Penelitian

Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai

berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi

(komunitas), suatu program atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus

berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti

(Mulyana, 2004:201).

Pendekatan studi kasus menyediakan peluang untuk menerapkan

prinsip umum terhadap situasi-situasi spesifik atau contoh-contoh yang

disebut kasus-kasus (Mulyana, 2004:202).

Studi kasus sengaja dipilih sebagai metode dalam penelitian ini

karena penulis menilai permasalahan mengenai praktik jurnalisme kloning

di kalangan jurnalis merupakan persoalan yang spesifik dan unik serta

belum banyak diteliti. Wilayah DIY dipilih karena merupakan salah satu

49

wilayah dengan perkembangan media massa yang cukup pesat. Yakni dari

semula hanya memiliki tiga media massa lokal seperti Kedaulatan Rakyat,

Bernas dan Merapi, kini diikuti dengan kemunculan media lokal baru

yakni Radar Jogja, Harian Jogja dan Tribun Jogja. Setidaknya terdapat 11

media massa lokal DIY yang terdaftar di dewan pers baik berupa media

massa harian maupun mingguan dan bulanan9. Ini belum termasuk media

nasional yang juga membuka biro di DIY dan media lain seperti online,

radio dan televisi. Beragamnya media massa yang terbit di DIY tersebut

menjadikan aktivitas jurnalisme di DIY cukup tinggi. Sehingga penulis

tertarik untuk melakukan studi kasus jurnalisme kloning di kalangan

jurnalis DIY. Selain itu, pengalaman pribadi penulis sebagai jurnalis

media massa lokal di DIY menjadikan penulis bisa melihat langsung

fenomena praktik jurnalisme kloning di kalangan jurnalis. Melalui studi

kasus ini diharapkan akan diperoleh kedalaman penjelasan atas kasus yang

diteliti.

1.7.2 Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah para jurnalis khususnya di

wilayah DIY. Populasi yang digunakan adalah jurnalis dari berbagai media

massa di DIY baik lokal maupun nasional yang memiliki biro/jurnalis

9 Berdasarkan data dari Dewan Pers terdapat 11 perusahaan media di Yogyakarta yang telah

terdaftar di dewan pers yakni Suara Aisyiyah, Koran Merapi Pembaruan, Bernas Jogja, Tribun

Jogja, Suara Muhammadiyah, Kabare, Djaka Lodang, Basis, Radar Jogja, Kedaulatan Rakyat dan

Harian Jogja.

http://www.dewanpers.or.id/page/data/perusahaan/?pages=1&provinsi=Yogyakarta#focus akses

11 Februari 2015

50

yang bertugas di DIY. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini

diambil 15 orang jurnalis.

Pengambilan jumlah sampel tersebut dilakukan dengan

mengelompokkan jurnalis berdasarkan jam terbangnya di lapangan.

Penulis mencoba menggolongkan jenjang jurnalis dalam tiga kategori

seperti yang ditetapkan oleh Dewan Pers dalam Standar Kompetensi

Wartawan. Diantaranya wartawan muda untuk jurnalis yang memiliki

masa kerja kurang dari 6 tahun, wartawan madya untuk jurnalis yang

memiliki masa kerja antara 6 sampai 12 tahun dan wartawan utama untuk

jurnalis yang memiliki masa kerja di atas 12 tahun. Masing-masing

jenjang akan diwakili oleh 5 orang jurnalis.

Meski demikian, penulis memberikan kategori khusus pada

penggolongan jenjang wartawan tersebut yakni hanya bagi mereka yang

masih melakukan tugas jurnalistik di lapangan. Ini mengingat praktik

jurnalisme kloning yang menjadi topik penelitian, merupakan aktivitas

yang dilakukan oleh jurnalis dalam mencari berita di lapangan. Sementara

untuk jenjang yang lebih tinggi seperti redaktur atau pemimpin redaksi

akan dijadikan data sumber penunjang penelitian. Diharapkan

penggolongan sampel yang dilakukan dapat mewakili subjek penelitian

secara lebih menyeluruh.

Dari pengelompokan sampel jurnalis berdasarkan jam terbang,

secara rinci berasal dari enam media lokal DIY (Kedaulatan Rakyat,

Bernas, Harian Jogja, Tribun Jogja, Radar Jogja, RRI Yogyakarta) dan

51

enam media nasional yang membuka biro di DIY (Seputar Indonesia,

Tempo, Kompas, Detik.com, TV One, Republika). Masing-masing terdiri

dari lima orang jurnalis muda (Tribun Jogja, Radar Jogja, Seputar

Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Bernas), lima orang jurnalis madya

(Kompas, RRI, TV One, Harian Jogja, Kedaulatan Rakyat), lima orang

jurnalis utama (Republika, Tempo, Seputar Indonesia, Kedaulatan Rakyat,

Detik.com). Dari total 15 jurnalis, enam diantaranya merupakan anggota

organisasi profesi (empat orang anggota PWI dan dua orang anggota AJI)

dan sembilan orang sisanya tidak menjadi anggota organisasi profesi.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang ingin dicari dalam penelitian ini adalah data pendukung

yang dapat menjelaskan praktik jurnalisme kloning di kalangan jurnalis,

diantaranya beberapa contoh berita media massa (dokumentasi) yang

diketahui didapatkan dengan cara kloning (observasi). Penulis juga akan

mencari data mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya jurnalisme

kloning di kalangan wartawan melalui wawancara mendalam kemudian

diperkuat dengan data lain yang didapat melalui studi pustaka. Berikut

penjelasan mengenai teknik pengumpulan data yang akan digunakan:

1. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan cara ini dimaksudkan untuk

mencari data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Dokumentasi yang dimaksud diantaranya pengumpulan

52

berbagai laporan, dokumen, maupun artikel yang muncul di

media massa, yang memiliki hubungan erat dengan penelitian.

2. Wawancara Mendalam

Wawancara dilakukan untuk memperdalam data penelitian dan

mempertajam analisis permasalahan yang akan diteliti. Penulis

memilih 15 jurnalis berdasarkan jam terbang mereka dengan

mengelompokkan menjadi tiga jenis yakni jurnalis muda

(kurang dari enam tahun menjadi jurnalis), jurnalis madya (6-

12 tahun menjadi jurnalis) dan jurnalis utama (lebih dari 12

tahun menjadi jurnalis).

3. Observasi

Observasi awal dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan sejak

tanggal 1 April 2014 sampai 30 Juni 2014. Observasi dilakukan

secara langsung, yakni dengan mengamati langsung objek yang

diteliti di lapangan serta observasi partisipan dimana peneliti

ikut berperan atau ikut serta dalam situasi tertentu pada

permasalahan yang akan diteliti. Hal-hal yang diamati dalam

observasi diantaranya pola kerja jurnalis dalam mendapatkan

berita, bagaimana jurnalis melakukan wawancara narasumber,

bagaimana jurnalis dipisahkan dalam kelompok-kelompok,

serta bagaimana jurnalis saling berbagi bahan wawancara dan

berita dengan jurnalis lain.

53

4. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan data yang diperoleh peneliti secara

tidak langsung yang berasal dari pihak lain di luar objek

penelitian. Data sekunder didapatkan dari studi pustaka yang

merupakan data yang diperoleh dari membaca buku-buku

ilmiah dan pengetahuan umum sebagai landasan teori yang

berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Selain itu data

tersebut juga diperoleh dari literatur-literatur dan informasi

yang dapat menunjang penelitian.

1.7.4 Analisis Data

Analisis data menurut Patton dalam Moleong (1990:103) adalah

proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola,

kategori dan satuan uraian dasar. Moleong juga mengutip pendapat

Bogdan dan Taylor yang mendefinisikan analisis data sebagai proses

merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan

hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk

memberikan bantuan pada tema hipotesis itu.

Analisis data kualitatif menurut Kriyantono (2006:192-193)

digunakan bila data-data yang terkumpul dalam riset adalah data kualitatif.

Data kualitatif dapat berupa kata-kata, kalimat-kalimat atau narasi-narasi

baik yang diperoleh dari wawancara mendalam maupun observasi.

Analisis data kualitatif dimulai dari analisis berbagai data yang berhasil

54

dikumpulkan periset di lapangan. Kemudian data tersebut diklasifikasikan

dalam kategori-kategori tertentu dan benar-benar harus memilah mana

data yang kurang valid, mendialogkan data satu dengan yang lain dan

sebagainya. Selanjutnya periset melakukan pemaknaan terhadap data.