bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
12
BAB I
PENDAHULUAN
11 Latar Belakang Masalah
Sentilan Sentilun (kemudian disingkat SS) adalah salah satu program
hiburan di Metro TV1 Saat ini program SS telah menjadi program hiburan utama
di Metro TV di samping program hiburan utama lainnya seperti Stand Up
Comedy2 yang belum lama ini populer
3 di Indonesia Penulis melihat kehadiran
SS sebagai salah satu program hiburan di Metro TV sepertinya sejalan dengan
tujuan Metro TV yakni memberikan hiburan alternatif untuk khalayak televisi di
Indonesia yang melulu dicekoki tayangan hiburan arus utama (mainstream)
seperti sinema elektronik (sinetron) infotainment dan tayangan berita Selain itu
1 PT Media Televisi Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Metro TV merupakan anak
perusahaan dari Media Group sebuah kelompok usaha media yang dipimpin oleh Surya Paloh
yang juga merupakan pemilik Surat Kabar Media Indonesia Lampung Post dan lain-lain Metro
TV memperoleh ijin penyiaran pada 25 Oktober 1999 dan pada tanggal 25 November 2000
mengudara untuk pertama kalinya dalam bentuk siaran uji coba di tujuh kota Awalnya Metro TV
hanya siaran 12 jam dalam sehari namun sejak 1 April 2001 mereka mulai tayang selama 24 jam
Setelah mengawali kiprah sebagai televisi berita pada perkembangannya Metro TV menawarkan
banyak inovasi dalam metode penyiarannya yang melawan pakem pertelevisian yang umum di
Indonesia Inovasi ini merupakan bentuk adopsi dari model penyiaran televisi di Amerika seperti
CNN atau BBC London di Inggris 2 Stand up comedy merupakan bentuk dari seni komedi atau melawak yang disampaikan secara
monolog kepada penonton dengan bekal microphone Biasanya dilakukan secara langsung (live)
dan komedian (disebut comic) akan melakukan one man show Dahulu stand up comedy diadopsi
dari Amerika Serikat dan kembali populer di Indonesia sejak 2010 Umumnya materi yang
disampaikan dalam stand up comedy di Indonesia berupa anekdot sindiran kritikan yang
dituturkan dengan bahasa lisan maupun bahasa tubuh yang dikemas menjadi joke yang lucu
sehingga membuat orang tertawa dengan tema apapun yang populer dan dekat dengan khalayak
Selanjutnya baca di Affan (penyunting) 2012 Stand Up Comedy Yogyakarta terbitan Immortal
Publisher 3 Penulis mengamati bagaimana bdquomenanjaknya‟ popularitas Stand Up Comedy melalui
pemberitaan di media massa seperti televisi radio juga di media sosial seperti di Twitter dan
Facebook Seiring dengan meningkatnya popularitas stand up comedy para comic-nya pun mulai
sering bermunculan di layar televisi dan menjadi selebritis baru di Indonesia Contohnya Pandji
Pragiwaksono Raditya Dika Ernest Prakasa Cak Lontong dll Selain ditayangkan di Metro TV
stand up comedy juga rutin ditayangkan di Kompas TV dan dijadikan program kompetisi musiman
bdquoStand Up Comedy Kompas TV Season‟ 1 2 dan memasuki ke-3 pada 2013 memasuki season 3
13
peran penting Metro TV dalam industri media dan budaya yang berpengaruh di
Indonesia mau tak mau tak dapat dihiraukan begitu saja
Metro TV adalah stasiun televisi berita swasta nasional pertama di
Indonesia yang termasuk paling rajin melancarkan kritik terhadap Pemerintah
Indonesia dengan beragam isu dan wacana yang dikemas dalam berita (news)
berbagai talk show serta program hiburan lainnya seperti SS Mengapa penulis
mengatakan demikan sebab bisa jadi Metro TV berusaha bdquoterlihat kritis‟ terhadap
kinerja negara-pemerintahan Republik Indonesia (RI) di bawah kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Hal ini mungkin sejalan dengan
slogannya ldquoKnowledge to Elevaterdquo yang mana bertujuan memberi informasi
pengetahuan edukasi serta menginspirasi khalayak televisi Indonesia ndash dengan
gaya dan karakternya Berdasarkan hal ini penulis tertarik untuk melihat
bagaimana pembacaan khalayak televisi Indonesia terhadap SS sebagai
representasi gaya kritis a lά Metro TV dengan melakukan penelitian atau kajian
terhadap khalayak yang menontonnya
Sampai dengan hari Senin terakhir bulan Desember 2013 SS telah
ditayangkan Metro TV di layar televisi Indonesia selama hampir tiga tahun
termasuk dua kali perubahan jam tayang dan enam kali tata panggung berbeda
Hingga episode terakhir SS yang ditayangkan di Metro TV tempat mereka
beraksi adalah studio televisi yang disulap menjadi mirip teras dan halaman depan
rumah Perubahan tersebut tidak terjadi kepada para pemeran utama program ini
Sejak saat pertama kali ditayangkan SS memiliki dua tokohkarakter
utama yaitu Sentilan dan Sentilun yang mana sesuai dengan nama programnya
14
Masing-masing diperankan Slamet Rahardjo dan Butet Kertaradjasa Mereka
menjadi aktor utama parodi politik a lά Metro TV yang selalu mengkritik sambil
menggelitik Menurut penulis keduanya merupakan bdquomagnet‟ tersendiri bagi
khalayak Indonesia apalagi mengingat bahwa mereka adalah seniman yang sudah
lama berkiprah dalam dunia film dan teater di Indonesia Begitu juga dengan sang
penulis naskah Agus Noor yang mana dikenal sebagai penulis cerita pendek
(cerpen) dan naskah cerita yang sudah diakui berkualitas di kalangan bdquopegiat pena
budaya‟ (baca sastrawan) se-Indonesia Kolaborasi mereka bertiga dengan Metro
TV-lah yang kemudian turut menentukan sukses atau tidaknya program SS
Apa yang dilakukan SS setiap pekan dengan episode-episode yang
berbeda ialah mengkritik atau menyindir negara-pemerintah Indonesia terutama
pada persoalan lambatnya mengupayakan pemberantasan korupsi dan penegakkan
hukum secara tegas yang mana sejalan dengan kebijakan Redaksi (editorial)
Metro TV Misalnya berkali-kali menyebut kasus-kasus Mafia Pajak Gayus
Tambunan yang tak pernah tuntas juga Bank Century Hambalang Wisma Atlet
Melinda Dee Nazzarudin dan lain-lain Lalu sebagai bahan kritik lainnya SS
juga menyebut masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri yang dihukum
mati tetapi tidak mendapat perhatian serius dari negara-pemerintah
Sindiran lainnya misalnya ketika 2011 lalu PT PLN (Perusahaan Listrik
Negara) diplesetkan dengan sebutan bdquoPerusahaan Lilin Negara‟ karena terlampau
sering mematikan listrik secara mendadak sehingga kehadiran listrik sering
dikalahkan oleh api dari lilin-lilin yang menyala seolah-olah lilin lebih terang
15
dari pada listrik Hal-hal semacam itulah yang dijadikan sasaran kritik dan
sindiran dengan gaya khas Jogja4 a lά SS
Penulis melihat persoalan negara-pemerintah (Indonesia) terlebih lagi
korupsi adalah topik yang selalu menjadi materi utama dalam tayangan program
ini Penilaian ini diperkuat dengan pernyataan tertulis Agus Noor yang penulis
temukan dalam cuitan-nya di media sosial twitter pada tanggal 15 April 2012
ldquoagus_noor 2TahunSentilanSentilun Selama 2 tahun menulis skripnya saya
seperti berkutat dengan persoalan negara yang tetap berulang soal korupsirdquo
Butet Kertaradjasa yang memerankan Sentilun dikenal sebagai bdquoRaja
Teater Monolog‟ sehingga aksi-aksinya selalu mengundang tawa bagi para
penonton di studio bintang tamu pemeran Sentilan maupun para khalayak yang
menonton televisi Di program SS Butet yang berperan sebagai batur
sesungguhnya paling banyak memainkan peran usil dan jenaka Hal ini cukup
berbeda dengan Slamet Rahardjo yang memerankan Sentilan majikan dari
Sentilun Sentilan selalu mengandalkan statusnya sebagai pensiunan pegawai
miskin yang berwibawa bijaksana sopan dan santun tetapi sesekali juga mampu
beraksi jail dan jenaka
Dalam berbagi peran Sentilan sering kali mengingatkan Sentilun untuk
tidak sembarangan nggeguyu layaknya majikan yang berkuasa terhadap batur
walau setelah itu Sentilan juga tak mau kalah dari Sentilun dengan ikut nggeguyu
4 Muhammad Sobary dalam buku Presiden Guyonan mengatakan bahwa Butet dididik dalam
lingkungan kebudayaan Yogyakarta yang ldquoNggeguyurdquo alias menertawakan Nggeguyu merupakan
konsep campur aduk antara mengkritik sekedar membuat lelucon mengejek atau mencemooh
sekaligus diam-diam membalas dendam Hal ini serius dan sering mengandung bebanmuatan
politik Selengkapnya baca Butet Kertaradjasa 2008 Presiden Guyonan terbitan Titian Galang
Printika Yogyakarta
16
seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumberbintang tamu
Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama Aksi
mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV)
Indonesia Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran
Slamet dan Butet serta kemudian SS bdquokecipratan‟ populer karena duet mereka
Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama5
SS
Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia yang mana secara
tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY Terdapat sindiran tegas yang
ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada nihil Pada adegan
tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena
ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya Tamu itu adalah
Eros Djarot yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo
Melihat hal tersebut Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya
bimbang Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya
Presiden di Indonesia Kata Tedjo ldquoKamu pusing tho ndoromu dua Nah kamu
di Indonesia kanrdquo Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu ldquoIyardquo Lanjut
Tedjo ldquoPresidennya satu atau duardquo Mendengar itu Sentilun memelaskan
wajahnya dan membalas pertanyaannya ldquoAda ya Emangnya kita punyardquo
Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya
seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan
Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak yang
di studio maupun di rumah untuk tertawa nyinyir Berangkat dari cerita ini
5 Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011 Episode ini dibagi menjadi
dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama
17
penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan
guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak
muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu
sedang hangat di media massa6
Di sisi lain penulis menilai SS telah
bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut
Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah
dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan
tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri
autopilot7
ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya
pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan
bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya
penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa
negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat
tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di
luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan
terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang
Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh
narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-
budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap
6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai
mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi
Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas
dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin
26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana
pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke
otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang
memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya
mengawasinya
18
negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini
sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai
ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang
hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah
jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau
menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau
bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi
positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif
Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang
ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9
Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV
lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena
khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan
gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan
bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi
8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang
rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah
buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia
cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari
kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada
khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah
sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati
sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah
selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya
akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu
dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana
digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan
pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang
memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi
Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di
hampir setiap episode SS
19
Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi
bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri
Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan
sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang
dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan
kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker
2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip
Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan
ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi
akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari
kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan
khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu
Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan
Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi
dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang
mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi
berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering
dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan
pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif
yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau
pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp
Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media
konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan
20
mengawasandi (decoding)10
seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan
Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)
Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan
pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa
khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)
atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11
(Hall
1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan
melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-
pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi
khalayak terhadap SS
Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang
menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya
akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang
Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian
10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami
sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh
makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan
produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam
kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda
(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu
mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural
Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen
produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang
masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak
menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-
merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak
memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena
pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang
beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan
dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki
teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik
Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue
Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart
Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London
21
menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12
Saat khalayak membincangkan
Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama
Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang
beragam13
Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)
dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat
pertama ndash adalah sebagai kesamaan
Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS
ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar
belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana
dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh
khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi
mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas
etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009
291)
12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan
bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa
Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas
merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan
sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok
dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan
dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat
gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan
sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi
secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap
orang
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
13
peran penting Metro TV dalam industri media dan budaya yang berpengaruh di
Indonesia mau tak mau tak dapat dihiraukan begitu saja
Metro TV adalah stasiun televisi berita swasta nasional pertama di
Indonesia yang termasuk paling rajin melancarkan kritik terhadap Pemerintah
Indonesia dengan beragam isu dan wacana yang dikemas dalam berita (news)
berbagai talk show serta program hiburan lainnya seperti SS Mengapa penulis
mengatakan demikan sebab bisa jadi Metro TV berusaha bdquoterlihat kritis‟ terhadap
kinerja negara-pemerintahan Republik Indonesia (RI) di bawah kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Hal ini mungkin sejalan dengan
slogannya ldquoKnowledge to Elevaterdquo yang mana bertujuan memberi informasi
pengetahuan edukasi serta menginspirasi khalayak televisi Indonesia ndash dengan
gaya dan karakternya Berdasarkan hal ini penulis tertarik untuk melihat
bagaimana pembacaan khalayak televisi Indonesia terhadap SS sebagai
representasi gaya kritis a lά Metro TV dengan melakukan penelitian atau kajian
terhadap khalayak yang menontonnya
Sampai dengan hari Senin terakhir bulan Desember 2013 SS telah
ditayangkan Metro TV di layar televisi Indonesia selama hampir tiga tahun
termasuk dua kali perubahan jam tayang dan enam kali tata panggung berbeda
Hingga episode terakhir SS yang ditayangkan di Metro TV tempat mereka
beraksi adalah studio televisi yang disulap menjadi mirip teras dan halaman depan
rumah Perubahan tersebut tidak terjadi kepada para pemeran utama program ini
Sejak saat pertama kali ditayangkan SS memiliki dua tokohkarakter
utama yaitu Sentilan dan Sentilun yang mana sesuai dengan nama programnya
14
Masing-masing diperankan Slamet Rahardjo dan Butet Kertaradjasa Mereka
menjadi aktor utama parodi politik a lά Metro TV yang selalu mengkritik sambil
menggelitik Menurut penulis keduanya merupakan bdquomagnet‟ tersendiri bagi
khalayak Indonesia apalagi mengingat bahwa mereka adalah seniman yang sudah
lama berkiprah dalam dunia film dan teater di Indonesia Begitu juga dengan sang
penulis naskah Agus Noor yang mana dikenal sebagai penulis cerita pendek
(cerpen) dan naskah cerita yang sudah diakui berkualitas di kalangan bdquopegiat pena
budaya‟ (baca sastrawan) se-Indonesia Kolaborasi mereka bertiga dengan Metro
TV-lah yang kemudian turut menentukan sukses atau tidaknya program SS
Apa yang dilakukan SS setiap pekan dengan episode-episode yang
berbeda ialah mengkritik atau menyindir negara-pemerintah Indonesia terutama
pada persoalan lambatnya mengupayakan pemberantasan korupsi dan penegakkan
hukum secara tegas yang mana sejalan dengan kebijakan Redaksi (editorial)
Metro TV Misalnya berkali-kali menyebut kasus-kasus Mafia Pajak Gayus
Tambunan yang tak pernah tuntas juga Bank Century Hambalang Wisma Atlet
Melinda Dee Nazzarudin dan lain-lain Lalu sebagai bahan kritik lainnya SS
juga menyebut masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri yang dihukum
mati tetapi tidak mendapat perhatian serius dari negara-pemerintah
Sindiran lainnya misalnya ketika 2011 lalu PT PLN (Perusahaan Listrik
Negara) diplesetkan dengan sebutan bdquoPerusahaan Lilin Negara‟ karena terlampau
sering mematikan listrik secara mendadak sehingga kehadiran listrik sering
dikalahkan oleh api dari lilin-lilin yang menyala seolah-olah lilin lebih terang
15
dari pada listrik Hal-hal semacam itulah yang dijadikan sasaran kritik dan
sindiran dengan gaya khas Jogja4 a lά SS
Penulis melihat persoalan negara-pemerintah (Indonesia) terlebih lagi
korupsi adalah topik yang selalu menjadi materi utama dalam tayangan program
ini Penilaian ini diperkuat dengan pernyataan tertulis Agus Noor yang penulis
temukan dalam cuitan-nya di media sosial twitter pada tanggal 15 April 2012
ldquoagus_noor 2TahunSentilanSentilun Selama 2 tahun menulis skripnya saya
seperti berkutat dengan persoalan negara yang tetap berulang soal korupsirdquo
Butet Kertaradjasa yang memerankan Sentilun dikenal sebagai bdquoRaja
Teater Monolog‟ sehingga aksi-aksinya selalu mengundang tawa bagi para
penonton di studio bintang tamu pemeran Sentilan maupun para khalayak yang
menonton televisi Di program SS Butet yang berperan sebagai batur
sesungguhnya paling banyak memainkan peran usil dan jenaka Hal ini cukup
berbeda dengan Slamet Rahardjo yang memerankan Sentilan majikan dari
Sentilun Sentilan selalu mengandalkan statusnya sebagai pensiunan pegawai
miskin yang berwibawa bijaksana sopan dan santun tetapi sesekali juga mampu
beraksi jail dan jenaka
Dalam berbagi peran Sentilan sering kali mengingatkan Sentilun untuk
tidak sembarangan nggeguyu layaknya majikan yang berkuasa terhadap batur
walau setelah itu Sentilan juga tak mau kalah dari Sentilun dengan ikut nggeguyu
4 Muhammad Sobary dalam buku Presiden Guyonan mengatakan bahwa Butet dididik dalam
lingkungan kebudayaan Yogyakarta yang ldquoNggeguyurdquo alias menertawakan Nggeguyu merupakan
konsep campur aduk antara mengkritik sekedar membuat lelucon mengejek atau mencemooh
sekaligus diam-diam membalas dendam Hal ini serius dan sering mengandung bebanmuatan
politik Selengkapnya baca Butet Kertaradjasa 2008 Presiden Guyonan terbitan Titian Galang
Printika Yogyakarta
16
seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumberbintang tamu
Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama Aksi
mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV)
Indonesia Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran
Slamet dan Butet serta kemudian SS bdquokecipratan‟ populer karena duet mereka
Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama5
SS
Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia yang mana secara
tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY Terdapat sindiran tegas yang
ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada nihil Pada adegan
tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena
ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya Tamu itu adalah
Eros Djarot yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo
Melihat hal tersebut Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya
bimbang Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya
Presiden di Indonesia Kata Tedjo ldquoKamu pusing tho ndoromu dua Nah kamu
di Indonesia kanrdquo Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu ldquoIyardquo Lanjut
Tedjo ldquoPresidennya satu atau duardquo Mendengar itu Sentilun memelaskan
wajahnya dan membalas pertanyaannya ldquoAda ya Emangnya kita punyardquo
Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya
seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan
Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak yang
di studio maupun di rumah untuk tertawa nyinyir Berangkat dari cerita ini
5 Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011 Episode ini dibagi menjadi
dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama
17
penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan
guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak
muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu
sedang hangat di media massa6
Di sisi lain penulis menilai SS telah
bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut
Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah
dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan
tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri
autopilot7
ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya
pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan
bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya
penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa
negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat
tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di
luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan
terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang
Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh
narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-
budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap
6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai
mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi
Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas
dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin
26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana
pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke
otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang
memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya
mengawasinya
18
negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini
sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai
ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang
hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah
jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau
menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau
bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi
positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif
Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang
ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9
Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV
lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena
khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan
gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan
bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi
8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang
rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah
buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia
cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari
kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada
khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah
sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati
sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah
selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya
akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu
dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana
digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan
pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang
memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi
Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di
hampir setiap episode SS
19
Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi
bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri
Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan
sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang
dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan
kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker
2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip
Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan
ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi
akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari
kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan
khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu
Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan
Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi
dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang
mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi
berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering
dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan
pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif
yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau
pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp
Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media
konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan
20
mengawasandi (decoding)10
seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan
Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)
Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan
pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa
khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)
atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11
(Hall
1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan
melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-
pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi
khalayak terhadap SS
Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang
menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya
akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang
Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian
10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami
sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh
makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan
produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam
kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda
(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu
mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural
Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen
produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang
masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak
menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-
merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak
memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena
pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang
beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan
dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki
teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik
Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue
Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart
Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London
21
menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12
Saat khalayak membincangkan
Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama
Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang
beragam13
Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)
dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat
pertama ndash adalah sebagai kesamaan
Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS
ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar
belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana
dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh
khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi
mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas
etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009
291)
12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan
bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa
Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas
merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan
sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok
dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan
dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat
gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan
sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi
secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap
orang
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
14
Masing-masing diperankan Slamet Rahardjo dan Butet Kertaradjasa Mereka
menjadi aktor utama parodi politik a lά Metro TV yang selalu mengkritik sambil
menggelitik Menurut penulis keduanya merupakan bdquomagnet‟ tersendiri bagi
khalayak Indonesia apalagi mengingat bahwa mereka adalah seniman yang sudah
lama berkiprah dalam dunia film dan teater di Indonesia Begitu juga dengan sang
penulis naskah Agus Noor yang mana dikenal sebagai penulis cerita pendek
(cerpen) dan naskah cerita yang sudah diakui berkualitas di kalangan bdquopegiat pena
budaya‟ (baca sastrawan) se-Indonesia Kolaborasi mereka bertiga dengan Metro
TV-lah yang kemudian turut menentukan sukses atau tidaknya program SS
Apa yang dilakukan SS setiap pekan dengan episode-episode yang
berbeda ialah mengkritik atau menyindir negara-pemerintah Indonesia terutama
pada persoalan lambatnya mengupayakan pemberantasan korupsi dan penegakkan
hukum secara tegas yang mana sejalan dengan kebijakan Redaksi (editorial)
Metro TV Misalnya berkali-kali menyebut kasus-kasus Mafia Pajak Gayus
Tambunan yang tak pernah tuntas juga Bank Century Hambalang Wisma Atlet
Melinda Dee Nazzarudin dan lain-lain Lalu sebagai bahan kritik lainnya SS
juga menyebut masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri yang dihukum
mati tetapi tidak mendapat perhatian serius dari negara-pemerintah
Sindiran lainnya misalnya ketika 2011 lalu PT PLN (Perusahaan Listrik
Negara) diplesetkan dengan sebutan bdquoPerusahaan Lilin Negara‟ karena terlampau
sering mematikan listrik secara mendadak sehingga kehadiran listrik sering
dikalahkan oleh api dari lilin-lilin yang menyala seolah-olah lilin lebih terang
15
dari pada listrik Hal-hal semacam itulah yang dijadikan sasaran kritik dan
sindiran dengan gaya khas Jogja4 a lά SS
Penulis melihat persoalan negara-pemerintah (Indonesia) terlebih lagi
korupsi adalah topik yang selalu menjadi materi utama dalam tayangan program
ini Penilaian ini diperkuat dengan pernyataan tertulis Agus Noor yang penulis
temukan dalam cuitan-nya di media sosial twitter pada tanggal 15 April 2012
ldquoagus_noor 2TahunSentilanSentilun Selama 2 tahun menulis skripnya saya
seperti berkutat dengan persoalan negara yang tetap berulang soal korupsirdquo
Butet Kertaradjasa yang memerankan Sentilun dikenal sebagai bdquoRaja
Teater Monolog‟ sehingga aksi-aksinya selalu mengundang tawa bagi para
penonton di studio bintang tamu pemeran Sentilan maupun para khalayak yang
menonton televisi Di program SS Butet yang berperan sebagai batur
sesungguhnya paling banyak memainkan peran usil dan jenaka Hal ini cukup
berbeda dengan Slamet Rahardjo yang memerankan Sentilan majikan dari
Sentilun Sentilan selalu mengandalkan statusnya sebagai pensiunan pegawai
miskin yang berwibawa bijaksana sopan dan santun tetapi sesekali juga mampu
beraksi jail dan jenaka
Dalam berbagi peran Sentilan sering kali mengingatkan Sentilun untuk
tidak sembarangan nggeguyu layaknya majikan yang berkuasa terhadap batur
walau setelah itu Sentilan juga tak mau kalah dari Sentilun dengan ikut nggeguyu
4 Muhammad Sobary dalam buku Presiden Guyonan mengatakan bahwa Butet dididik dalam
lingkungan kebudayaan Yogyakarta yang ldquoNggeguyurdquo alias menertawakan Nggeguyu merupakan
konsep campur aduk antara mengkritik sekedar membuat lelucon mengejek atau mencemooh
sekaligus diam-diam membalas dendam Hal ini serius dan sering mengandung bebanmuatan
politik Selengkapnya baca Butet Kertaradjasa 2008 Presiden Guyonan terbitan Titian Galang
Printika Yogyakarta
16
seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumberbintang tamu
Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama Aksi
mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV)
Indonesia Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran
Slamet dan Butet serta kemudian SS bdquokecipratan‟ populer karena duet mereka
Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama5
SS
Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia yang mana secara
tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY Terdapat sindiran tegas yang
ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada nihil Pada adegan
tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena
ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya Tamu itu adalah
Eros Djarot yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo
Melihat hal tersebut Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya
bimbang Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya
Presiden di Indonesia Kata Tedjo ldquoKamu pusing tho ndoromu dua Nah kamu
di Indonesia kanrdquo Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu ldquoIyardquo Lanjut
Tedjo ldquoPresidennya satu atau duardquo Mendengar itu Sentilun memelaskan
wajahnya dan membalas pertanyaannya ldquoAda ya Emangnya kita punyardquo
Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya
seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan
Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak yang
di studio maupun di rumah untuk tertawa nyinyir Berangkat dari cerita ini
5 Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011 Episode ini dibagi menjadi
dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama
17
penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan
guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak
muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu
sedang hangat di media massa6
Di sisi lain penulis menilai SS telah
bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut
Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah
dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan
tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri
autopilot7
ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya
pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan
bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya
penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa
negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat
tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di
luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan
terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang
Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh
narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-
budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap
6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai
mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi
Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas
dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin
26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana
pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke
otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang
memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya
mengawasinya
18
negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini
sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai
ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang
hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah
jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau
menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau
bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi
positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif
Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang
ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9
Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV
lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena
khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan
gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan
bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi
8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang
rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah
buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia
cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari
kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada
khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah
sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati
sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah
selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya
akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu
dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana
digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan
pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang
memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi
Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di
hampir setiap episode SS
19
Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi
bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri
Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan
sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang
dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan
kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker
2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip
Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan
ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi
akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari
kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan
khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu
Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan
Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi
dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang
mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi
berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering
dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan
pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif
yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau
pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp
Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media
konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan
20
mengawasandi (decoding)10
seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan
Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)
Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan
pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa
khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)
atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11
(Hall
1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan
melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-
pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi
khalayak terhadap SS
Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang
menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya
akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang
Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian
10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami
sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh
makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan
produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam
kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda
(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu
mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural
Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen
produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang
masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak
menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-
merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak
memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena
pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang
beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan
dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki
teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik
Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue
Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart
Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London
21
menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12
Saat khalayak membincangkan
Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama
Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang
beragam13
Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)
dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat
pertama ndash adalah sebagai kesamaan
Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS
ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar
belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana
dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh
khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi
mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas
etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009
291)
12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan
bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa
Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas
merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan
sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok
dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan
dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat
gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan
sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi
secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap
orang
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
15
dari pada listrik Hal-hal semacam itulah yang dijadikan sasaran kritik dan
sindiran dengan gaya khas Jogja4 a lά SS
Penulis melihat persoalan negara-pemerintah (Indonesia) terlebih lagi
korupsi adalah topik yang selalu menjadi materi utama dalam tayangan program
ini Penilaian ini diperkuat dengan pernyataan tertulis Agus Noor yang penulis
temukan dalam cuitan-nya di media sosial twitter pada tanggal 15 April 2012
ldquoagus_noor 2TahunSentilanSentilun Selama 2 tahun menulis skripnya saya
seperti berkutat dengan persoalan negara yang tetap berulang soal korupsirdquo
Butet Kertaradjasa yang memerankan Sentilun dikenal sebagai bdquoRaja
Teater Monolog‟ sehingga aksi-aksinya selalu mengundang tawa bagi para
penonton di studio bintang tamu pemeran Sentilan maupun para khalayak yang
menonton televisi Di program SS Butet yang berperan sebagai batur
sesungguhnya paling banyak memainkan peran usil dan jenaka Hal ini cukup
berbeda dengan Slamet Rahardjo yang memerankan Sentilan majikan dari
Sentilun Sentilan selalu mengandalkan statusnya sebagai pensiunan pegawai
miskin yang berwibawa bijaksana sopan dan santun tetapi sesekali juga mampu
beraksi jail dan jenaka
Dalam berbagi peran Sentilan sering kali mengingatkan Sentilun untuk
tidak sembarangan nggeguyu layaknya majikan yang berkuasa terhadap batur
walau setelah itu Sentilan juga tak mau kalah dari Sentilun dengan ikut nggeguyu
4 Muhammad Sobary dalam buku Presiden Guyonan mengatakan bahwa Butet dididik dalam
lingkungan kebudayaan Yogyakarta yang ldquoNggeguyurdquo alias menertawakan Nggeguyu merupakan
konsep campur aduk antara mengkritik sekedar membuat lelucon mengejek atau mencemooh
sekaligus diam-diam membalas dendam Hal ini serius dan sering mengandung bebanmuatan
politik Selengkapnya baca Butet Kertaradjasa 2008 Presiden Guyonan terbitan Titian Galang
Printika Yogyakarta
16
seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumberbintang tamu
Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama Aksi
mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV)
Indonesia Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran
Slamet dan Butet serta kemudian SS bdquokecipratan‟ populer karena duet mereka
Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama5
SS
Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia yang mana secara
tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY Terdapat sindiran tegas yang
ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada nihil Pada adegan
tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena
ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya Tamu itu adalah
Eros Djarot yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo
Melihat hal tersebut Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya
bimbang Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya
Presiden di Indonesia Kata Tedjo ldquoKamu pusing tho ndoromu dua Nah kamu
di Indonesia kanrdquo Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu ldquoIyardquo Lanjut
Tedjo ldquoPresidennya satu atau duardquo Mendengar itu Sentilun memelaskan
wajahnya dan membalas pertanyaannya ldquoAda ya Emangnya kita punyardquo
Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya
seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan
Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak yang
di studio maupun di rumah untuk tertawa nyinyir Berangkat dari cerita ini
5 Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011 Episode ini dibagi menjadi
dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama
17
penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan
guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak
muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu
sedang hangat di media massa6
Di sisi lain penulis menilai SS telah
bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut
Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah
dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan
tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri
autopilot7
ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya
pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan
bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya
penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa
negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat
tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di
luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan
terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang
Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh
narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-
budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap
6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai
mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi
Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas
dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin
26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana
pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke
otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang
memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya
mengawasinya
18
negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini
sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai
ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang
hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah
jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau
menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau
bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi
positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif
Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang
ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9
Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV
lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena
khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan
gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan
bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi
8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang
rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah
buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia
cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari
kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada
khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah
sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati
sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah
selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya
akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu
dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana
digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan
pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang
memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi
Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di
hampir setiap episode SS
19
Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi
bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri
Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan
sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang
dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan
kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker
2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip
Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan
ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi
akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari
kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan
khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu
Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan
Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi
dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang
mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi
berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering
dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan
pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif
yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau
pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp
Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media
konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan
20
mengawasandi (decoding)10
seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan
Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)
Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan
pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa
khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)
atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11
(Hall
1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan
melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-
pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi
khalayak terhadap SS
Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang
menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya
akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang
Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian
10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami
sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh
makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan
produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam
kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda
(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu
mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural
Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen
produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang
masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak
menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-
merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak
memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena
pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang
beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan
dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki
teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik
Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue
Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart
Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London
21
menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12
Saat khalayak membincangkan
Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama
Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang
beragam13
Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)
dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat
pertama ndash adalah sebagai kesamaan
Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS
ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar
belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana
dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh
khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi
mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas
etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009
291)
12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan
bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa
Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas
merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan
sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok
dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan
dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat
gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan
sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi
secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap
orang
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
16
seputar topik yang mereka bincangkan bersama narasumberbintang tamu
Terkadang narasumber yang diundang juga melakukan hal yang sama Aksi
mereka kerap menjadi hiburan non-mainstream di layar televisi (Metro TV)
Indonesia Bisa jadi khalayak televisi Indonesia mengenal SS berkat kehadiran
Slamet dan Butet serta kemudian SS bdquokecipratan‟ populer karena duet mereka
Salah satu contohnya ialah pada episode ulang tahun pertama5
SS
Topiknya kala itu adalah tentang figur presiden di Indonesia yang mana secara
tidak langsung diujukan kepada Presiden SBY Terdapat sindiran tegas yang
ditujukan kepada peran presiden yang dianggap tak ada nihil Pada adegan
tersebut nampak kecurigaan Sentilun (ditunjukan dengan mimik wajahnya) karena
ada seorang tamu yang secara fisik mirip dengan majikannya Tamu itu adalah
Eros Djarot yang tidak lain merupakan saudara (adik) kandung Slamet Rahardjo
Melihat hal tersebut Sudjiwo Tedjo lalu mengusik Sentilun sampai akhirnya
bimbang Sudjiwo mengajak Sentilun untuk membayangkan ada-tidaknya
Presiden di Indonesia Kata Tedjo ldquoKamu pusing tho ndoromu dua Nah kamu
di Indonesia kanrdquo Kemudian Sentilun menjawab dengan lugu ldquoIyardquo Lanjut
Tedjo ldquoPresidennya satu atau duardquo Mendengar itu Sentilun memelaskan
wajahnya dan membalas pertanyaannya ldquoAda ya Emangnya kita punyardquo
Sontak studio riuh dengan gelak tawa dari orang-orang yang ada di dalamnya
seakan hal tersebut sangat lucu dan layak ditertawakan
Guyonan atau ejekan ini menjadi semacam pemantik bagi khalayak yang
di studio maupun di rumah untuk tertawa nyinyir Berangkat dari cerita ini
5 Episode ulang tahun pertama SS ini ditayangkan pada 3 April 2011 Episode ini dibagi menjadi
dua bagian dan bagian berikutnya ditayangkan pada 10 April 2011 di jam yang sama
17
penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan
guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak
muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu
sedang hangat di media massa6
Di sisi lain penulis menilai SS telah
bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut
Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah
dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan
tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri
autopilot7
ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya
pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan
bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya
penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa
negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat
tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di
luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan
terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang
Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh
narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-
budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap
6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai
mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi
Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas
dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin
26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana
pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke
otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang
memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya
mengawasinya
18
negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini
sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai
ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang
hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah
jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau
menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau
bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi
positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif
Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang
ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9
Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV
lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena
khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan
gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan
bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi
8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang
rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah
buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia
cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari
kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada
khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah
sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati
sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah
selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya
akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu
dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana
digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan
pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang
memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi
Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di
hampir setiap episode SS
19
Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi
bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri
Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan
sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang
dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan
kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker
2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip
Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan
ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi
akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari
kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan
khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu
Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan
Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi
dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang
mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi
berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering
dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan
pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif
yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau
pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp
Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media
konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan
20
mengawasandi (decoding)10
seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan
Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)
Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan
pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa
khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)
atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11
(Hall
1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan
melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-
pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi
khalayak terhadap SS
Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang
menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya
akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang
Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian
10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami
sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh
makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan
produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam
kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda
(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu
mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural
Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen
produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang
masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak
menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-
merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak
memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena
pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang
beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan
dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki
teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik
Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue
Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart
Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London
21
menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12
Saat khalayak membincangkan
Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama
Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang
beragam13
Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)
dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat
pertama ndash adalah sebagai kesamaan
Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS
ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar
belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana
dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh
khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi
mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas
etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009
291)
12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan
bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa
Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas
merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan
sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok
dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan
dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat
gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan
sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi
secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap
orang
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
17
penulis berasumsi bahwa ada-tidaknya peran Presiden SBY dapat dijadikan bahan
guyonan yang sanggup membuat khalayak tertawa Guyonan ini juga tidak
muncul dengan sendirinya namun merupakan tanggapan dari wacana yang saat itu
sedang hangat di media massa6
Di sisi lain penulis menilai SS telah
bdquomewajahkan‟ (baca mengonstruksi) Indonesia lewat guyonan tersebut
Guyonan ini ialah salah satu kritik Metro TV terhadap negara-pemerintah
dalam konteks ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo yang menganggap Indonesia akan
tetap berjalan walau tanpa pemimpin (baca Presiden SBY) Perumpamaan negeri
autopilot7
ini dapat dimaknai sebagai sebuah klimaks dari gagalnya
pemberantasan korupsi secara tegas kemelut naik-tidaknya harga BBM (bahan
bakar minyak) ketidakjelasan nasib TKI yang berada di luar negeri lemahnya
penegakan hukum dan lain-lain yang merupakan tanggung jawab serta kuasa
negara-pemerintah yang dianggap tak hadir Hal-hal tersebut diyakini dapat
tercatat sebagai prestasi negatif dalam Pemerintahan SBY Walau demikian di
luar prestasi negatif terdapat juga prestasi positif yang jika dibandingkan akan
terhitung memiliki porsi yang jauh lebih sedikit atau tidak seimbang
Prestasi negatif yang sering bdquoditelevisikan‟ biasanya diramaikan oleh
narasumber yang mayoritas terdiri dari para pengamat politik seniman-
budayawan aktivis LSMNGO serta akademisi yang kerap kali kritis terhadap
6 Metro TV yang berkelindan dengan SS muncul sebagai media massa yang paling ramai
mewacanakan ldquoIndonesia Negeri Autopilotrdquo Berbagai diskusi dan pemberitaan yang difasilitasi
Metro TV dan Media Indonesia pada bulan Februari 2012 tersebut salah satunya juga dikemas
dalam program SS episode bdquoPemimpin Teladan‟ yang ditayangkan di Metro TV pada hari Senin
26 Februari 2012 7 Istilah autopilot sendiri diadaptasi dari istilah dalam dunia penerbangan (dirgantara) di mana
pilot sebagai pengendali pesawat terbang dapat mengubah sistem kemudi dari mode manual ke
otomatis Kendali otomatis ini digerakkan oleh sistem navigasi elektronik dalam pesawat yang
memungkinkan pilot tidak mengemudikan pesawat secara langsung (manual) hanya
mengawasinya
18
negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini
sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai
ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang
hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah
jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau
menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau
bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi
positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif
Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang
ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9
Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV
lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena
khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan
gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan
bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi
8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang
rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah
buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia
cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari
kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada
khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah
sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati
sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah
selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya
akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu
dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana
digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan
pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang
memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi
Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di
hampir setiap episode SS
19
Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi
bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri
Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan
sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang
dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan
kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker
2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip
Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan
ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi
akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari
kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan
khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu
Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan
Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi
dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang
mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi
berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering
dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan
pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif
yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau
pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp
Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media
konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan
20
mengawasandi (decoding)10
seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan
Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)
Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan
pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa
khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)
atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11
(Hall
1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan
melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-
pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi
khalayak terhadap SS
Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang
menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya
akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang
Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian
10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami
sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh
makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan
produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam
kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda
(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu
mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural
Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen
produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang
masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak
menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-
merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak
memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena
pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang
beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan
dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki
teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik
Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue
Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart
Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London
21
menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12
Saat khalayak membincangkan
Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama
Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang
beragam13
Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)
dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat
pertama ndash adalah sebagai kesamaan
Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS
ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar
belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana
dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh
khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi
mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas
etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009
291)
12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan
bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa
Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas
merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan
sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok
dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan
dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat
gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan
sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi
secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap
orang
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
18
negara-pemerintah sehingga lebih sering mencela daripada memuji Situasi ini
sering terlihat pada SS periode 2010-2011 Sebaliknya jika prestasi positif mulai
ditelevisikan maka jadi terkesan bdquobiasa‟ atau tidak aneh karena narasumber yang
hadir merupakan wakil dari institusi negara-pemerintah Namun hal ini sudah
jarang terjadi setidaknya hingga SS memasuki masa tayang di 2012 atau
menjelang akhir 2011 karena SS pada periode tersebut nampak belum atau
bdquosedikit berimbang‟ Mengapa demikian karena menurut penulis antara prestasi
positif dan negatif masih nampak lebih dominan yang negatif
Prestasi Indonesia seakan dihilangkan sehingga bdquowajah Indonesia‟8 yang
ditampilkan adalah tidak utuh sekaligus mendefinisikan Indonesia dengan buruk9
Lucunya inilah salah satu bentuk hiburan alternatif yang dihadirkan Metro TV
lewat SS kepada khalayak televisi di Indonesia Hal ini menjadi ironis karena
khalayak sudah terbiasa dihibur melalui kode-pesan yang dikonstruksikan dengan
gaya semacam ini padahal kode-pesan yang dikonstruksi sering kali bertentangan
bahkan dilebih-lebihkan dari fakta sosial yang terjadi
8 Materi yang bdquoditelevisikan‟ SS di hampir sebagian besar episodenya ialah tentang Indonesia yang
rusak Indonesia yang penuh masalah Dengan kata lain SS menampilkan Indonesia dalam wajah
buruk Indonesia yang ditelevisikan adalah melulu (dominan) dari kacamata negatif Indonesia
cenderung dicela (dikritik) daripada dipuji SS sedikit sekali menampilkan wajah Indonesia dari
kacamata positif (baca berprestasi) Artinya SS telah mengonstruksi sebentuk pesan kepada
khalayak bahwa ldquoIndonesia adalah Negeri minim berprestasi penuh masalah dan sudah
sepantasnya dicela (ditertawakan)rdquo Sebaliknya mungkin khalayak tidak akan mendapati
sebentuk pesan bahwa ldquoIndonesia adalah negeri berprestasi tidak bermasalah dan sudah
selayaknya dipujirdquo 9 Di dalam SS konstruksi wajah buruk Indonesia terdiri dari beberapa kategori yang nantinya
akan mempermudah penulis untuk melihat persoalan tersebut serta bagaimana konstruksi itu
dikonsumsi khalayak Pertama Indonesia ala SS dapat dilihat dari masyarakatnya di mana
digambarkan sebagai rakyat miskin melalui karakter kedua tokoh utama Sentilan (pensiunan
pegawai melarat) dan Sentilun (pembantu yang miskin permanen) Kedua ialah Indonesia yang
memiliki sistem pemerintahan sangat buruk yang penuh praktik korupsi di segala tingkat birokrasi
Kedua hal tersebut mendefinisikan wajah buruk Indonesia sebagai pesan yang selalu diproduksi di
hampir setiap episode SS
19
Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi
bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri
Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan
sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang
dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan
kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker
2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip
Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan
ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi
akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari
kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan
khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu
Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan
Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi
dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang
mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi
berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering
dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan
pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif
yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau
pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp
Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media
konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan
20
mengawasandi (decoding)10
seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan
Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)
Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan
pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa
khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)
atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11
(Hall
1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan
melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-
pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi
khalayak terhadap SS
Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang
menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya
akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang
Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian
10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami
sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh
makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan
produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam
kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda
(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu
mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural
Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen
produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang
masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak
menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-
merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak
memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena
pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang
beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan
dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki
teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik
Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue
Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart
Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London
21
menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12
Saat khalayak membincangkan
Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama
Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang
beragam13
Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)
dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat
pertama ndash adalah sebagai kesamaan
Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS
ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar
belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana
dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh
khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi
mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas
etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009
291)
12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan
bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa
Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas
merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan
sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok
dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan
dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat
gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan
sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi
secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap
orang
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
19
Oleh karena itu melalui SS khalayak akan melihat bagaimana konstruksi
bdquowajah Indonesia‟ tersebut diproduksi untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri
Apalagi televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan
sosial imajinasi sosial di mana kita meresepsikan ldquoduniardquo ldquorealitas yang
dijalanirdquo orang lain dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan
kehidupan kita melalui ldquodunia secara keseluruhanrdquo yang dapat dipahami (Barker
2009 275 via Hall 1977 140) Allen dalam Burton (2000 26) mengatakan ldquohellip
Pertanyaan kunci tentang televisi adalah bagaimana makna dan kesenangan
ditimbulkan ketika kita terlibat dengan televisirdquo Sehingga meneliti media televisi
akan sama menariknya bila khalayak juga ikut diteliti sebagai bagian dari
kesatuan praktik sosial di mana segala kontestasi media dihadirkan di sana dan
khalayak dapat menempati posisi-posisi tertentu
Penelitian ini akan diberi judul ldquoSentilan Sentilun Resepsi Khalayak dan
Identitas Keindonesiaanrdquo Alasan pertamanya ialah praktik menonton televisi
dapat diibaratkan sebagai sebuah praktik konsumsi layaknya seseorang
mengonsumsi makanan-minuman Konsumsi dalam hal ini dapat terjadi
berdasarkan keinginan (want) dan atau kebutuhan (need) Konsumsi sering
dipahami secara sempit sebagai suatu proses atau aktivitas yang melibatkan
pembelian dan pertukaran ekonomis dengan konotasinya yang cenderung negatif
yakni sebagai tindakan pemborosan (waste) dan conspicuous ldquojor-joranrdquo atau
pamer (display) [Williams 1985 78-9 bdk Veblen 1899 dalam Douglas amp
Isherwood 1996 vii dalam Budiman 2002 18] Pada ranah kajian media
konsumsi pun kadang dipadankan dengan tindakan membaca (reading) dan
20
mengawasandi (decoding)10
seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan
Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)
Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan
pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa
khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)
atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11
(Hall
1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan
melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-
pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi
khalayak terhadap SS
Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang
menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya
akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang
Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian
10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami
sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh
makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan
produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam
kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda
(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu
mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural
Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen
produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang
masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak
menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-
merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak
memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena
pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang
beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan
dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki
teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik
Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue
Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart
Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London
21
menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12
Saat khalayak membincangkan
Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama
Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang
beragam13
Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)
dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat
pertama ndash adalah sebagai kesamaan
Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS
ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar
belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana
dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh
khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi
mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas
etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009
291)
12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan
bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa
Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas
merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan
sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok
dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan
dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat
gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan
sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi
secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap
orang
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
20
mengawasandi (decoding)10
seperti yang dikatakan oleh Bourdieu (2006 2) dan
Stuart Hall (1993 99) dalam Kris Budiman (2002 19)
Secara khusus penulis hendak meneliti dan mengkaji khalayak SS dengan
pendekatan kajian khalayak (audience studies) Fokus dimulai dengan beberapa
khalayak yang menonton kemudian melanjutkannya dengan membaca (reading)
atau mengawasandi (decoding) ndash mengacu pada EncodingDecoding11
(Hall
1981) ndash sebanyak tiga episode SS secara keseluruhan Penulis kemudian akan
melihat lebih jauh bagaimana pengawasandian (resepsi) khalayak terhadap kode-
pesan yang disajikan oleh Metro TV Singkatnya ialah bagaimana resepsi
khalayak terhadap SS
Kedua yakni karena penulis berasumsi bahwa khalayak Indonesia yang
menonton program televisi yang membicarakan Indonesia seperti SS nantinya
akan membentuk kesadaran dan atau imajinasi tentang identitasnya sebagai orang
Indonesia yang muncul setelah meresepsi program tersebut Penulis kemudian
10 Decoding atau mengawasandi lekat dengan penonton Penonton dalam konteks ini dipahami
sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang pembacannya akan dikerangkakan oleh
makna kultural dan praktik yang dimiliki bersama Sejauh penonton berbagi kode kultural dengan
produsenpengodepemberi sandi mereka akan mengawasandi (decoding) pesan di dalam
kerangka kerja yang sama Namun ketika penonton ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda
(seperti kelas dan gender) dengan sumber daya kultural yang berbeda maka penonton mampu
mengawasandi program dengan cara alternatif Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural
Studies Teori amp Praktik Yogyakarta hal 288 11 Stuart Hall mendefinisikan proses encoding televisi sebagai suatu artikulasi momen-momen
produksi sirkulasi distribusi dan reproduksi yang saling terhubung namun berbeda yang
masing-masing memiliki praktik spesifik yang niscaya ada di dalam sirkuit itu namun tidak
menjamin momen berikutnya Meski makna melekat pada masing-masing level ia tidak serta-
merta diambil pada momen berikutnya dalam sirkuit itu secara khusus produksi makna tidak
memastikan adanya konsumsi makna itu sebagaimana yang dikehendaki oleh pengode kerena
pesan-pesan televisi yang dikonstruksi sebagai sistem tanda dengan komponen penekanan yang
beraneka ragam dan bersifat polisemik (Barker 2009 287) Pada intinya teks akan distrukturkan
dalam dominasi yang mengarah kepada makna yang dikehendaki yaitu makna yang dikehendaki
teks dari kita Selengkapnya baca Chris Barker 2009 Cultural Studies Teori amp Praktik
Yogyakarta hal 287 atau James Procter 2004 Stuart Hall New York atau Paul Marris amp Sue
Tornham (penyunting) 2006 Media Studies A Reader Chapter 5 EncodingDecoding (Stuart
Hall) Washington Square Helen Davis 2004 Understanding Stuart Hall London
21
menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12
Saat khalayak membincangkan
Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama
Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang
beragam13
Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)
dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat
pertama ndash adalah sebagai kesamaan
Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS
ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar
belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana
dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh
khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi
mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas
etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009
291)
12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan
bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa
Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas
merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan
sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok
dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan
dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat
gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan
sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi
secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap
orang
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
21
menyebutnya sebagai ldquoIdentitas Keindonesiaanrdquo12
Saat khalayak membincangkan
Indonesia saat itulah kesadaran dan imajinasi tentang identitasnya sebagai sesama
Indonesia yang bdquoberbicara‟ meski kemudian akan tetap ada suara-suara yang
beragam13
Kesamaan itu mendekati seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1991)
dalam artikel berjudul ldquoNarative Identityrdquo bahwa identitas ndash pada tingkat
pertama ndash adalah sebagai kesamaan
Selain itu penulis juga berasumsi bahwa khalayak yang menonton SS
ialah masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar
belakang dan identitas sosial-kultural Maka yang menarik adalah bagaimana
dominannya setting (budaya) Jawa yang ditelevisikan oleh SS diresepsi oleh
khalayak Indonesia yang heterogen yang bukan hanya Jawa Jadi ketika televisi
mulai mengglobal maka posisi atau peran televisi dalam pembentukan identitas
etnis dan identitas nasional semakin menunjukkan arti pentingnya (Barker 2009
291)
12 Di sini penulis melihat ldquoidentitas keindonesiaanrdquo sebagai imajinasi dari bdquomenjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) yang modern‟ yang dimiliki khalayak dan seakan dipertentangkan dengan
bagaimana media mengonstruksi bdquowajah Indonesia‟ dengan realitas yang dilebih-lebihkan 13 Sebagai catatan di dalam dialog lain yang sering dikatakan (diproduksi) Sentilun bahwa bangsa
Indonesia harus selalu ldquomempertahankan identitasrdquo identitas sebagai bdquoorang miskin‟ Identitas
merupakan bagian dari gagasan tentang representasi di mana gagasan tentang pengelompokan
sosial mengacu pada hampir setiap pengkategorian sejumlah besar orang sebagai suatu kelompok
dalam masyarakat Dalam arti luas semua komunikasi mengonstruksikan representasi Bahkan
dalam percakapan sehari-hari pada suatu kelompok kita juga akan menggunakan dan memperkuat
gagasan yang telah ada Akan tetapi televisi harus dipandang secara berbeda dengan percakapan
sehari-hari karena berbagai alasan yang terutama dikaitkan dengan capaiannya dalam populasi
secara umum (Burton 2011 240) sehingga akan memberikan pemahaman berbeda bagi setiap
orang
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
22
12 Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya penulis
merefleksikan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan dalam
penelitian ini (1) Bagaimana enkoding SS kepada khalayak televisi di Indonesia
(2) Secara umum bagaimana khalayak aktif meresepsi pesan-kode dalam SS (3)
Secara khusus mengacu pada identitas keindonesian bagaimana para khalayak
meresepsi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Terlebih ketika menonton persoalan
negara dan korupsi seperti yang ditelevisikan dalam SS
13 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk melihat bagaimana
encoding program televisi SS yang ditayangkan Metro TV Kedua secara umum
untuk mengetahui bagaimana keseluruhan proses khalayak aktif membaca
sekaligus meresepsi program televisi SS Ketiga yakni untuk mengetahui
bagaimana khalayak aktif memakai identitas keindonesiaan sebagai kesadaran
kontekstual untuk membaca kode-pesan dalam SS yang melulu membincangkan
persoalan negara dan korupsi
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk melihat dan
menunjukkan bagaimana sebuah media televisi swasta nasional seperti Metro TV
sebagai pelaku dalam industri media dan budaya di Indonesia berupaya
memberikan pengaruhnya dengan kode-pesan yang disampaikan lewat program
hiburan SS kepada masyarakat penonton Indonesia Lalu secara khusus penulis
ingin menjelaskan bagaimana keterkelindanan sebuah program hiburan televisi
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
23
khalayak dan identitas keindonesiaan Di samping itu penulis berharap agar
penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademis terutama dalam bidang
kajian khalayak di Indonesia Selain itu sejalan dengan tujuan dari kajian budaya
(cultural studies) penulis hendak membongkar topeng industri media yang telah
membangun serta memelihara status quo terhadap masyarakat yang mana secara
khusus adalah membongkar relasi kuasa dan juga hegemoni wacana oleh Metro
TV kepada khalayak televisi yang dilakukan melalui program SS
14 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian dan pustaka mengenai kajian khalayak (audience
studies) yang dapat penulis baca dan temukan terutama yang paling dekat dengan
penelitian yang akan penulis lakukan Karya-karya tersebut ditemukan pada buku-
buku hasil penelitian serta beberapa jurnal internasional Pada bagian tinjauan
pustaka ini penulis menilik dan merujuk kepada beberapa karya tulis dan
penelitian kajian khalayak yang pernah dilakukan oleh para ahli khususnya pada
tema konsumsi televisi identitas serta media dan konstruksi identitas
Penelitian pertama yang penulis tinjau adalah penelitian karya David
Morley (1999) tentang kajian khalayak yang berjudul The Nationwide Audience
Karya ini merupakan penelitian bertema kajian khalayak yang secara metodologis
dapat dipakai sebagai model untuk diterapkan dalam penelitan-penelitian tentang
khalayak termasuk penelitian yang penulis lakukan Morley termasuk pelopor
dalam kajian resepsi Generasi Kedua etnografi khalayak (Alasuutari 1999 4-6)
yang kemudian disusul oleh Ang (1985) Hobson (1982) Katz dan Liebes (1984)
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
24
Liebes (1984) dan Liebes dan Katz (1990) Etnografi khalayak yang kemudian
dikenal sebagai kajian resepsi khalayak melakukan analisis sebuah program
media dan mengkaji resepsi khalayak melalui wawancara mendalam (indepth
interviews) terhadap khalayaknya Oleh karena bertambahnya jumlah penelitian
khalayak yang dilakukan secara empiris maka secara keseluruhan paradigma
kajian khalayak telah bertambah luas jangkauannya Jadi kita dapat mengatakan
bahwa kajian etnografi khalayak telah tercipta
Penelitian yang dilakukan David Morley ini muncul dalam tradisi
penelitan kajian media dan khalayak di Brimingham Centre for Contemporary
Cultural Studies (BCCCS) Karya ini sendiri merupakan penerapan dan
pengembangan kerangka teori Stuart Hall yakni encodingdecoding Teori Hall
tentang teks-teks sebagai proses memiliki makna yang dienkodekan dan kemudian
diterjemahkan oleh khalayak ditawarkan sebagai perkembangan model bdquouses and
gratifications‟ yang mana Morley melihatnya kurang tepat Menurut Morley teks-
teks tersebut tetap bdquoterstruktur dalam dominasi‟ dengan pembacaan yang lebih
baik di mana makna yang dienkodekan oleh produser program acara televisi
diinginkan untuk diterima khalayak
Studi kasus yang dilakukan Morley terhadap khalayak program bdquomajalah‟
berita Inggris Nationwide di Inggris ditujukan untuk menggali hipotesis bahwa
decoding bervariasi menurut faktor sosio-demografis (kelas sosial usia jenis
kelamin ras etnisitas) dan menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural
terkait Kendati memiliki persoalan metodologis seperti yang diakui Morley
(1999) studi ini menyatakan adanya berbagai bentuk pembacaan yang menyatu di
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
25
sekitar posisi kunci decoding yang dibentuk oleh kelas Contohnya decoding
dominan diciptakan oleh sekelompok manajer percetakan konsevatif dan manajer
bank sementara pembacaan yang dinegosiasikan diciptakan oleh sekelompok
pekerja serikat buruh Pembacaan terakhir tetap lebih dinegosiasikan ketimbang
oposisional karena mereka bersifat spesifik dalam suatu perselisihan industrial
sambil tetap berada di dalam diskursus umum bahwa pemogokan adalah suatu hal
yang buruk bagi Inggris Menurut Morley decoding oposisional dilakukan oleh
sekelompok pelayan toko yang perspektif politisnya mengarahkan mereka untuk
menolak keseluruhan diskursus Nationwide dan oleh sekelompok mahasiswa
berkulit hitam yang merasa terasing dari program itu karena pandangan mereka
bahwa hal tersebut tidak memiliki relevansi apa pun dengan kehidupan mereka
Hal utama yang didapat Morley terkait dengan pengonsepan respon khalayak
ialah bahwa salah satu kelompok yang ditelitinya menolak dan mengolok-olok
sebagian besar isi dari program-program yang ditayangkan yang mana dilakukan
secara sengaja dan hati-hati (Brooker dan Jermyn 2007 91-2 Barker 2009 289)
Penelitian Morley ini merupakan rujukan awal penulis dalam melihat
bagaimana konsumsi media televisi persoalan identitas dan terutama bagaimana
proses decoding bekerja Morley menunjukkan secara rinci bagaimana variasi
sosio-demografis menurut kompetensi dan kerangka kerja kultural sehingga
membantu penulis dalam memilih informan Penggunaan proses identifikasi
informan merupakan bagian dari kelebihan etnografi khalayak yang digunakan
Morley dan juga merupakan pembeda dengan penulis karena penulis tidak
melakukan etnografi khalayak karena khawatir terjadi pergeseran fokus penelitian
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
26
Bagaimanapun penelitian yang sedang penulis lakukan bukanlah kerja etnografi
dari seorang antropolog yang sedang mengkaji media (antropologi media) tetapi
merupakan kerja penelitian khalayak di ranah kajian budaya dan media
Setelah David Morley pustaka yang selanjutnya dapat dirujuk adalah
ldquoUnderstanding Popular Culturerdquo oleh John Fiske Fiske secara kontras sesekali
dituduh terlalu optimis dengan selebrasinya atas kekuatan penolakan (oposisional)
dari khalayak Fiske mengawali tulisannya dengan membicarakan pemberontakan
skala kecil yang melekat dalam merobek celana jeans yang dibeli dan kemudian
mengubahnya menjadi kreasi si pemakainya sebuah kreasi individual yang
kemudian memperluas citra kepada pemahaman Lalu kata bdquomerobek‟ secara
metaforis diartikan lebih luas sebagai pengakuan budaya yang dilakukan secara
simbolis atau perlawanan simbolis Seperti diakui oleh Fiske industri jeans
dengan cepat menggabungkan semacam aksi-aksi melawan dengan memproduksi
celana jeans yang belum dirobek dan menggambarkan kreativitas lokal kembali ke
dalam sistem tetapi para konsumen akhirnya menemukan cara baru untuk
membangun sistem mereka sendiri menjadi asli budaya populer dari teks-teks
yang diberikan kepada mereka (Brooker dan Jermyn 2007 92 dan 112-6)
Penelitian John Fiske ini cenderung pada penelitian atas teks simbol dan
tanda seperti bagaimana Fiske menggunakan semiotika sebagai pisau analisanya
Penulis melihat bagaimana pembacaan oposisional atau resistensi khalayak
diterjemahkan menjadi sebuah aksi simbolis untuk memperoleh pengakuan
budaya Selebihnya penulis meninjau karya ini secara umum karena inti dari
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
27
tulisan ini adalah tentang bagaimana reading (membaca) atau mengawasandi
dilihat sebagai resistensi
Karya selanjutnya yang ditinjau adalah karya penelitian khalayak yang
dilakukan oleh Kris Budiman (2002) di dalam buku ldquoDi Depan Kotak Ajaib
Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsirdquo Budiman mengadaptasi
pertanyaan utama yang dipakai dalam penelitian kajian pragmatik bahasa yang
dilakukan oleh JL Austin (1962) sebagai pertanyaan sentralnya ldquoHow to do
things with wordsrdquo ke dalam perspektif kajian konsumsi televisinya menjadi
ldquoHow to do things with televisionrdquo Penelitian khalayak yang dilakukan Budiman
menitikberatkan pada bagaimana logika konsumsi dipraktikkan dalam kegiatan
menonton televisi atau dalam hemat penulis menyebutnya sebagai praktik
konsumsi televisi Budiman melihat praktik menonton televisi yang terjadi di
rumah melalui dua keluarga yang berbeda Dalam tulisannya digambarkan
bagaimana masing-masing anggota keluarga tersebut berinteraksi dengan televisi
sambil melakukan kegiatan yang berjarak tidak jauh dari televisi seperti
menyetrika memperbaiki sepeda motor makan-minum mengerjakan tugas dari
sekolah mengobrol satu sama lain serta kegiatan lainnya
Budiman melalui perspektif kajian konsumsi televisi-nya menjabarkan
beberapa hal yang menjadi temuannya yaitu bahwa menonton televisi adalah
tindakan menjalin dan atau memutuskan tindakan interpersonal Kemudian
menonton televisi adalah sama dengan mendapatkan berbagai aneka pengalaman
juga bisa meningkatkan kemampuan melakukan berbagai kegiatan secara
bersamaan (multi-tasking) Kegiatan bersama televisi secara auditoris
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
28
(mendengar) dengan menghadirkan suaranya sebagai suara latar (background
noise) menjadikan kegiatan menonton televisi sebagai ldquotemanrdquo yang setia yang
bahkan dapat dijadikan sebagai interlokutor seperti halnya manusia (Budiman
2002 129-131) Misalnya ketika seseorang yang sedang sendirian di sebuah ruang
yang cukup besar dengan sadar menghidupkan televisi untuk meramaikan ruang
tersebut tanpa keinginan untuk menonton televisi namun hanya untuk
menemaninya supaya tidak merasa sepi atau sendirian
Karya Budiman telah banyak memberi gambaran kepada penulis tentang
bagaimana melakukan kajian khalayak khususnya di Indonesia khususnya apabila
menggunakan metode penelitian khalayak seperti yang dilakukan David Morley
dan memadukannya dengan metode penelitian etnografi Kelebihan yang penulis
catat ialah keluwesan serta kedalaman penelitian yang dilakukan Budiman terkait
bagaimana etnografi diterapkan ke dalam penelitian khalayak dalam hal ini ialah
etnografi khalayak
Terdapat beberapa catatan yang penulis dapati terkait dengan etnografi
khalayak yaitu penelitian ini dapat menjadi terlalu fokus kepada khalayak
sehingga mendistorsi kajian atau dekoding itu sendiri Pun ketika menyebutnya
sebagai komunitas interpretif yang mana istilah tersebut sangat antropologis
sedangkan penulis tidak melakukan itu Secara teknis apabila melakukan etnografi
khalayak terutama bila meneliti komunitas interpretif pada setiap harinya maka
penelitian akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga menjadi kurang
efisien Belum lagi jika ada kekurangan data dan lain sebagainya sehingga
membutuhkan tambahan waktu lagi sehingga jadi tidak efektif Pada akhirnya
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
29
catatan di atas dapat ditinjau kembali dengan melihat tujuan dari si penelitinya
sendiri yakni untuk membuat karya seperti apa misalnya dalam konteks ini
adalah membuat karya etnografi khalayak Hal yang perlu ditekankan bahwa
generasi kedua dari penelitian etnografi khalayak ini mengimplikasikan sebuah
gerakan menjauh dari media menuju kepada komunitas interpretif itu sendiri
Jensen (1990) lewat Alaasutari (1999) yang mengatakan bahwa analisis objek
sentral dari penelitian komunikasi massa terdapat di luar media yakni di
komunitas dan kebudayaan di mana media dan khalayak terkonstitusi (Alasuutari
1999 7)
Karya selanjutnya yang penulis tinjau terkait soal konsumsi televisi dan
identitas adalah dari Tamar Liebes dan Elihu Katz yang menulis ldquoThe Export of
Meaning Cross-cultural reading of Dallasrdquo dalam Brooker dan Jermyn (2007
287-304) Eksplorasi kajian Liebes dan Katz (1991) tentang penerimaan serial
Dallas di kalangan penonton dari berbagai latar belakang kultural dan etnis
merupakan studi skala besar tentang identitas nasionaletnis kultural dan tontonan
fiksi televisi Kajian ini melibatkan sebanyak 65 FGD (focus-group discussion)
dari berbagai komunitas etnis Khalayak terdiri dari orang-orang Arab Yahudi
Rusia Yahudi Maroko dan anggota Kibbutz Israel di Israel ditambah sekelompok
orang Amerika dan Jepang yang berada di negara asal mereka Barker (2009)
mengatakan bahwa kajian ini berusaha mencari bukti atas pembacaan berbeda atas
Dallas dalam hal pemahaman dan kemampuan kritis khalayak Asumsinya ialah
bahwa anggota FGD itu akan mendiskusikan teks ini satu sama lain dan
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
30
mengembangkan interpretasi bersama-sama berdasarkan atas pemahaman kultural
secara timbal balik (Barker 2009 291)
Di dalam Brooker dan Jeremyn (2007) secara singkat Penelitian Katz dan
Liebes berkonsentrasi pada cara bagaimana keyakinan religius Yahudi dan
pengalaman kebudayaan berpengaruh terhadap pembacaan khalayak terhadap
serial Dallas Menariknya ialah ketika mereka menggambarkan ada sebuah
persetujuan dan pembenaran dari etika kebudayaan mereka sendiri yang paling
disukai kemudian dikontraskan dengan sikap ketidakpedulian terhadap nilai-nilai
bdquoAmerika‟ yang terdapat di dalam Dallas Bahkan satu dari responden dengan
bangga menyatakan ldquoKau lihat saya seorang Yahudi memakai topi tengkorak
dan saya telah belajar dari film ini untuk mengatakan bdquokebahagiaan adalah
kepercayaan (personal) kami‟ bahwa kami adalah bangsa Yahudirdquo14
Penulis melihat bahwa film Dallas menjadi dasar atau pondasi untuk
sebuah bdquoforum‟ di mana sekelompok khalayak dapat membincangkan isu-isu
filosofis seperti kekuasaan koruptif dari uang Sementara sebagian dari
kenikmatan tayangannya adalah sebuah penyerapan dalam gaya hidup yang tidak
familiar Para khalayak juga secara berkelanjutan merujuk teks kembali kepada
realitas yang mereka ketahui sehingga terjadi negosiasi antara budaya Amerika
dan apapun yang dibawanya setelah itu mencari tingkat perbedaan dari
kesenangan dalam pola persamaan dan perbedaan Rachmah Ida dalam Ariel
Heryanto (2008) menegaskan pernyataan Liebes dan Katz bahwa betapapun
canggihnya analisis isi masih tidak dapat menerangkan bagaimana penonton
14 Selengkapnya baca Brooker dan Jermyn (editor) 2007 The Audience Studies Reader New
York hal 294
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
31
melihat menafsirkan juga membahas pesan-citra yang diterimanya (Heryanto
2008 102) Beragam pembacaan yang dilakukan khalayak dalam penelitian ini
menjadi sulit dipahami karena perbedaan latar belakang etnis dan komunitas
kebudayaan Penulis menggunakan penelitian ini sebagai tinjauan dalam melihat
bagaimana identitas Amerika-nya Dallas dinegosiasikan dalam kebudayaan
Yahudi Selain itu bagaimana penerapan 14 kategori dimensi pembacaan dalam
penelitian yang Liebes dan Katz lakukan sepertinya dapat digunakan di proses
analisis dalam penelitian penulis
Hasil kajian Liebes dan Katz terhadap Dallas menunjukkan beberapa
hubungan penting antara televisi dengan identitas nasionalkultural Hal yang
paling penting adalah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa khalayak
menggunakan rasa identitas nasional dan etnis mereka sebagai suatu posisi tempat
mereka mengawasandi sejumlah program Televisi Amerika bukan dikonsumsi
tanpa kritik oleh khalayak karena adanya penghancuran identitas kultural bdquoasli‟
sebagai suatu akibat yang tak terelakkan Barker pun menekankan bahwa
sesungguhnya pemanfaatan identifikasi kultural khalayak sendiri sebagai titik
perlawanan juga membantu membentuk identitas kultural tersebut melalui
artikulasinya (Barker 2009 292) Jika membandingkan kajian yang penulis
lakukan jelas berbeda dengan Liebes dan Katz Sederhananya khalayak mereka
adalah non-Amerika (walaupun juga ada sebagian orang Amerika di antaranya)
yang menonton tentang Amerika Dallas sedangkan penelitian penulis hanya
melibatkan khalayak Indonesia yang menonton tentang Indonesia SS Maka
kajian dan analisanya juga berbeda
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
32
Pustaka selanjutnya yang akan penulis tinjau adalah tulisan Rachmah Ida
dalam Heryanto (2008) mengenai sebuah etnografi khalayak dengan persoalan
bagaimana perempuan domestiklokal mengonsumsi teks asing yang berupa serial
remaja Meteor Garden (Taiwan) di dalam pusaran arus budaya global melalui
media televisi pada era kontemporer Indonesia Menariknya di sini ialah
bagaimana pembacaan respon khalayak terhadap teks tersebut yang juga
menegaskan sekuat apa identitas mereka sebagai perempuan Indonesia di
lingkungan masyarakat kampung-perkotaan Selain itu penulis dapat melihat
bagaimana khalayak membandingkan serial Meteor Garden dengan sinetron
negeri sendiri (baca Indonesia)
Dari penelitian ini kita dapat mengetahui bahwa popularitas program
televisi Asia di Indonesia telah berhasil menjalankan aksinya sekaligus
menunjukkan bahwa sumber daya non-Barat telah dapat memikat penonton
lokaldomestik serta sudah menciptakan atau mengawali pola pemrograman baru
di dunia industri pertelevisian Indonesia era pasca-otoritarianisme Keberhasilan
perluasan ekspor nasional ini menurut Sinclair Jacka dan Cunningham (1996)
dalam Ida tergantung pada sejumlah faktor seperti kedekatan budaya dan
geografis (lihat Heryanto 2008 109) Keberhasilan ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bdquosumber daya baru‟ untuk program impor dalam pertelevisian Indonesia
tidak hanya karena memberikan program-program alternatif bagi penonton di
Indonesia melainkan karena mereka juga menyajikan sejumlah nilai dan prilaku
kebudayaan yang akrab dengan cita rasa budaya khalayak Indonesia Setidaknya
sampai sekarang kita dapat melihat jika stasiun televisi yang sama kini identik
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
33
dengan tayangan Asia dengan maraknya acara hiburan televisi dari Korea
Selatan
Pada tulisan Ida kita dapat menemukan beberapa catatan bahwa ada
kesamaan antara penelitiannya dengan Morley (1986) dan juga Budiman (2002)
yang meneliti pola menonton televisi dalam keluarga Penulis yakin keduanya
menunjukkan bagaimana televisi digunakan sebagai sumber daya sosial untuk
bahan obrolan sehari-hari antara anggota keluarga Aspek penting yang tidak
terlupakan dalam tulisan Ida ialah bahwa ini merupakan kajian tentang perempuan
kota kelas bawah di kota Gubeng Surabaya terutama ketika menunjukkan
bagaimana hubungan posisi kelas gender dan usia terhadap sikap khalayak saat
menyaksikan tokoh-tokoh (aktor-aktris) dalam tayangan televisi tersebut
Kajian yang penulis lakukan secara garis besar berbeda dengan yang
dilakukan Ida Perbedaanya ialah Ida melakukan etnografi khalayak dan fokusnya
terhadap bagaimana perempuan mengonsumsi identitas dan teks tentang budaya
yang asing bukan berasal dari dirinya maupun lingkungan sosialnya Sementara
itu persamaanya lebih terlihat secara umum yakni melakukan kajian terhadap
khalayak yang mengonsumsi televisi Selain itu tidak banyak
15 Kerangka Pemikiran
Di dalam kerangka berpikir dan analisa terhadap penelitian khalayak yang
berjudul Menonton Sentilan Sentilun Khalayak Televisi dan Identitas
keindonesiaan penulis menggunakan kerangka pemikiran khalayak aktif
EncodingDecoding Stuart Hall namun akan lebih menitikberatkan pada konsep
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
34
decoding atau mendekode atau mengawasandi yang mana Pierre Bourdieu
(19842006 2) dalam buku klasiknya berjudul Distiction menyebutnya sebagai
bdquoreading‟ atau bdquomembaca‟ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia Pun kedua
kata ini memiliki pemaknaan secara menyeluruh atas kata kerja bdquoread‟ atau bdquobaca‟
yang melampaui praktiknya itu sendiri
Kerangka pemikiran ini menjadi landasan dalam kajian media khususnya
dalam kerangka kerja cultural studies yang lebih luas dan mendalam Namun
terlepas dari perdebatan dan pengembangan dalam pemikiran tentang kajian
(resepsi) khalayak dalam cultural studies penulis kemudian melengkapinya
dengan kajian resepsi generasi ketiga pandangan konstruksionis (lihat Alasuutari
1999 6-8) Penelitian ini juga akan berbicara mengenai bdquoidentitas keindonesiaan‟
maka penulis menutup subbab ini dengan konsep tentang identitas yang terkait
dengan penelitian ini
151 Khalayak Aktif (Active Audience)
Khalayak bukanlah penonton biasa karena khalayak tak hanya sekedar
menonton tetapi mereproduksi makna dari sebuah produk budaya yang
dikonsumsi Dalam penelitian ini penulis mengategorikan khalayak program
televisi SS di Metro TV sebagai khalayak aktif (active audience) yang menonton
lewat televisi Oleh karenanya khalayak televisi dapat disamakan dengan pembaca
buku dan kegiatan yang dilakukan juga disebut membaca (reading) Tak hanya
itu saja pandangan active audience menyarankan kepada khalayak untuk lebih
aktif memutuskan mengenai bagaimana menggunakan media Sebagaimana tradisi
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
35
penelitian terhadap khalayak yang telah lama dilakukan dalam kerja penelitian
cultural studies tradisi active audience dalam cultural studies menunjukkan
bahwa khalayak bukanlah orang bodoh secara kultural melainkan produsen makna
aktif dalam konteks kultural mereka sendiri (Barker 2009 285-6) Selain itu sifat
audience itu sendiri ditentukan oleh praktik kebudayaan dan sosial yang luas
serta konteks penerimaan langsung (Sen dan Hil 2001 12)
Barker dalam bukunya mengatakan bahwa menonton televisi adalah suatu
aktifitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan
makna Khalayak adalah pencipta kreatif makna dalam kaitannya dengan televisi
Artinya mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual dan
mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang sebelumnya yang
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial (Barker 2009 286) Di dalam
buku lain Karen Ross dan Virginia Nightingale (2003) mengatakan bahwa kajian
khalayak secara khusus dilakukan untuk mengidentifikasikan prilaku tertentu dari
menonton mendengarkan dan membaca materi media tertentu Penelitian
khalayak terkini yang dilakukan pada umumnya hanya fokus kepada prilaku
khalayak terhadap media Pekerjaan penulis nantinya hanya akan tertuju pada
bagaimana melihat bahwa teks tidak memasukkan seperangkat makna yang tidak
mendua namun teks itu sendiri bersifat polisemik Artinya teks adalah pembawa
berbagai macam makna dan hanya sedikit di antaranya yang diambil oleh para
khalayak (Ross dan Nightingale 2003)
Ada banyak karya yang mendukung secara positif kajian khalayak dalam
tradisi cultural studies di mana dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu khalayak
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
36
dipahami sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengetahuan luas
dan bukan produk dari teks yang distrukturkan tetapi makna terikat oleh cara teks
distrukturkan dan oleh konteks domestik dan konteks kultural dalam mononton
Khalayak perlu dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga
di satu sisi khalayak dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas
dan itu artinya mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat Terakhir
ialah proses konstruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas kehidupan
sehari-hari bergeser dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain dan
berubah dalam konteks kelas dan gender di dalam konteks kultural yang sama
(Barker 2009 286-7)
Kajian resepsi atau reception studies yang merupakan generasi pertama
(Alasuutari 1999 2) dari penelitian resepsi adalah sebuah model analisis yang
dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan informasi atau berita oleh
media kepada khalayak Pada konsep ini asumsi dasarnya adalah perbedaan pada
khalayak baik pria maupun wanita dalam mengkonsumsi suatu informasi maupun
dalam memilih suatu media tertentu Kemudian juga berbeda apabila orang-orang
tersebut berasal dari kelas sosial usia dan etnisitas yang berbeda Kajian resepsi
misalnya dapat dipakai untuk melihat bagaimana penerimaan khalayak terhadap
acara infotainment dengan asumsi bahwa media telah berhasil menjadikan
kegiatan bdquongrumpi‟ di media menjadi kegiatan sehari-hari (everyday life) artinya
media mampu mengajak khalayak untuk ngrumpi secara sosial
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
37
Di dalam kajian resepsi makna suatu teks media tidak bersifat fixed atau
inherent melainkan disusupi berbagai kepentingan Secara praktis kajian ini dapat
dipakai untuk menguji bagaimana konstruksi makna di luar yang ditawarkan
media melalui teks media itu sendiri misalnya berita Khalayak dipandang
sebagai produsen makna dan bukan sekedar konsumen isi media Khalayak
mengurai tanda dan menginterpretasi teks media berdasarkan pengalaman
subyektif realitas sosial yang dimilikinya Dalam kajian resepsi dikenal istilah
interpretive communities atau masyarakat interpretatif atau komunitas yang
memiliki dan juga membuat kesamaan interpretasi dari sebuah teks (Alasuutari
1999 195) Selanjutnya di dalam konsep analisis resepsi posisi khalayak sebagai
subjek akan penting serta berimplikasi terhadap kerangka teoritis dan
metodologis Oleh karenanya khalayak yang mempunyai latar belakang sosial dan
historis yang berbeda akan memaknai teks media secara berbeda
152 EncodingDecoding (Kajian Resepsi)
Sebagaimana sudah disinggung pada subbab pertama dari bab ini Stuart
Hall memaknai encodingdecoding sebagai serangkaian proses produksi pesan
dari produser yang didistribusikan melalui media untuk dikonsumsi khalayak
Hall memulai tulisan tentang encodingdecoding dari kritik terhadap riset
komunikasi massa yang secara tradisional telah mengonsepsi proses komunikasi
dalam kaitannya dengan putaran atau sirkuit sirkulasi Model ini sudah banyak
menerima kritik karena kelinierannya ndash pengirimpesanpenerima (sender
messagereceiver) ndash juga karena keterfokusannya pada tingkat pertukaran pesan
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
38
dan karena tidak adanya konsepsi yang jelas tentang bdquomomen-momen berbeda
sebagai struktur relasi yang kompleks‟ Meski demikian mungkin ada baiknya
untuk mempertimbangkan proses komunikasi ini dalam kaitannya dengan struktur
yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen-momen yang
berkaitan namun berbeda dari satu sama lainnya (distinctive) ndash produksi sirkulasi
distribusikonsumsi dan reproduksi Hal tersebut akan mempertimbangkan
serangkain proses tadi sebagai bdquostruktur kompleks dominan‟ yang dimungkinkan
melalui artikulasi berbagai praktik yang berhubungan namun masing-masingnya
mempertahankan kekhasannya dan memiliki modalitas spesifik bentuk serta
kondisi keberadaannya sendiri
Lebih lanjut Hall mengatakan bahwa pada tahap tertentu struktur
penyiaran harus menghasilkan pesan-pesan yang dienkodekan dalam bentuk
diskursus yang bermakna Relasi produksi yang bersifat institusi kemasyarakatan
semestinya lolus uji di bawah aturan bahasa yang diskursif agar produknya dapat
bdquodirealisasikan‟ Ini membuka momen tersendiri lebih lanjut bagaimana aturan
diskursus dan bahasa formal berada dalam posisi dominan Sebelum pesan ini bisa
memiliki efek atau dengan kata lain sebelum dapat memenuhi kebutuhan atau
digunakan pesan pertama-tama harus diapropriasi sebagai diskursus yang
bermakna dan didekodekan secara bermakna Kumpulan makna yang akan
didekodekan inilah yang memiliki efek yang mempengaruhi menghibur
mengajari atau merayu dengan konsekuensi tingkah laku ideologis emosional
kognitif dan persepsi indrawi yang sangat kompleks Dalam momen yang telah
ditentukan batas-batasnya suatu struktur menggunakan kode dan menghasilkan
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
39
pesan pada momen lainnya yang telah ditentukan batas-batasnya pesan tersebut
muncul dan masuk ke dalam struktur praktik sosial tentunya melalui proses
dekodingnya
Program sebagai
Diskursus bermakna
enkoding dekoding
struktur makna 1 struktur makna 2
kerangka kerangka
pengetahuan pengetahuan
------------------------ ---------------------
hubungan produksi hubungan produksi
------------------------ -----------------------
Infrastruktur teknis infrastruktur teknis
Bagan 1 encodingdecoding
Jika membaca bagan di atas sesuatu yang telah diberi label ialah sebagai bdquostruktur
makna 1‟ dan bdquostruktur makna 2‟ yang mana mungkin tidak sama Keduanya
bukan merupakan bdquokeidentikan langsung‟ Kode enkoding dan dekoding mungkin
tidak simetris secara sempurna Tingkat-tingkat kesimetrisan atau tingkat
bdquopemahaman‟ dan bdquokesalahpahaman‟ dalam pertukaran komunikatif bergantung
pada tingkat simetriasimetri (relasi padanan kata) yang ditetapkan di antara posisi
bdquopersonifikasi‟ antara produser (encoder) dan penerima (decoder) Namun ini
pada gilirannya bergantung pada tingkat keidentikan atau ketidakidentikan di
antara kode yang secara sempurna atau tidak sempurna mentransmisikan
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
40
menginterupsi atau secara sistematis mendistorsi apa yang telah ditransmisikan
Kurangnya kecocokan di antara kode banyak berhubungan dengan perbedaan
relasi dan posisi struktural antara penyiar dan khalayak hal tersebut juga
berhubungan dengan ketidaksimetrisan antara kode bdquosumber‟ dan bdquopenerima‟ pada
momen transformasi ke dalam dan keluar bentuk diskursif Maka apa yang disebut
bdquodistorsi‟ atau bdquokesalahpahaman‟ tepatnya muncul dari kurangnya ekuivalensi
antara kedua pihak itu dalam pertukaran komunikasi Sekali lagi ini menegaskan
bdquootonomi relatif‟ masuk dan keluarnya pesan dalam momen diskursifnya (lihat
Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 217-8)
Khalayak dipahami sebagai individu yang diposisikan secara sosial yang
pembacaannya akan dikerangkakan oleh makna kultural dan praktik yang dimiliki
bersama Sejauh khalayak berbagi kode kuktural dengan pengode mereka akan
mendekode (mengawasandi) pesan di dalam kerangka kerja yang sama Namun
ketika khalayak ditempatkan pada posisi sosial yang berbeda seperti kelas dan
gender dengan sumber daya kultural yang berbeda dia mampu mendekode
program dengan cara alternatif (Barker 2009 288) Mengapa bisa sampai tercapai
kealternatifan ini kerena tidak ada korespondensi yang niscaya antara enkoding
dan dekoding sehingga enkoding dapat mencoba untuk bdquolebih memilih‟ namun
tidak dapat menentukan atau bahkan menjamin dekoding yang memiliki kondisi
eksistensinya sendiri seperti yang telah digambarkan pada awal paragraf ini Jika
keduanya tidak menyimpang dari kebiasaan secara kasar maka enkoding akan
memiliki efek mengonstruksi beberapa batasan dan paramater yang dalam
lingkupnya dekoding akan melakukan pengoperasiannya sendiri Seandainya tidak
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
41
ada batasan tersebut khalayak atau audiens bisa begitu saja menfsirkan apapun
yang mereka sukai menjadi pesan apa saja menjadi alternatif yang muncul secara
otonom Maka tak diragukan lagi berbagai kesalahpahaman total semacam ini
benar-benar terjadi Namun rentangan praktik yang luas pastinya memuat
beberapa tingkat hubungan timbal balik antara momen enkoding dan dekoding
Jika tidak kita tidak dapat berbicara sama sekali tentang pertukaran komunikasi
yang efektif Namun demikian korespondensi ini bukanlah hal yang terberi
melainkan hasil konstruksi Tidak natural melainkan produk dari artikulasi antara
dua momen berbeda Secara sederhana kita dapat berpikir bahwa enkoding adalah
kode-kode dekoding mana yang akan digunakan Jika tidak dengan cara demikian
komunikasi akan menjadi sirkuit yang sepadan secara sempurna dan setiap pesan
akan menjadi satu peristiwa bdquokomunikasi yang transparan secara sempurna‟ Oleh
karena itu kita mesti mempertimbangkan berbagai artikulasi yang agak berbeda
yang di dalamnya encodingdecoding dapat digabungkan
Posisi pertama adalah posisi dominan-hegemonik atau dominant-
hegemonic reading yang menerima makna yang dikehendaki Saat khalayak
mengambil makna yang terkonotasikan dari sebuah program televisi lalu
mendekode pesannya melalui sudut pandang kode rujukan yang telah
dienkodekan dapat dikatakan bahwa khalayak tersebut melakukan pengoperasian
dalam lingkup kode dominan Inilah posisi yang diciptakan oleh sesuatu yang
barangkali harus kita identifikasi sebagai pemfungsian metakode yang diambil
oleh para penyiar profesional ketika mengenkode suatu pesan yang telah ditandai
dengan cara yang hegemonik
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
42
Posisi kedua adalah posisi yang dinegosiasikan atau negotiated reading
atau kode yang dinegosiasikan Ia merupakan kode yang mengakui adanya
legitimasi kode hegemonik secara abstrak namun membuat aturannya dan
adaptasinya sendiri berdasarkan situasi tertentu (Barker 2009 288) Mayoritas
khalayak mungkin memahami secara cukup memadai apa yang secara dominan
telah didefinisikan dan secara profesional telah ditunjuk sebagai petanda
Dekoding dalam versi yang dinegosiasikan mengandung campuran unsur-unsur
yang bersifat adaptif dan oposisional dekoding tersebut mengakui legitimasi
definisi hegemonik dalam membuat signifikansi besar yang bersifat abstrak
sementara pada level yang lebih terbatas dan situasional dekoding membuat
aturan dasarnya sendiri dengan melakukan pemfungsiannya dengan keberatan
terhadap aturan Ia memberikan posisi istimewa kepada definisi dominan tentang
berbagai peristiwa sementara pada saat yang sama berhak untuk membuat
penerapan yang lebih ternegosiasikan pada kondisi lokal pada posisinya sendiri
yang lebih bersifat korporat Kode yang dinegosiasikan melakukan
pengoperasiannya melalui apa yang dapat kita sebut logika partikular atau
terkondisikan Dan logika ini ditopang oleh relasi perlawanan dan
ketidaksepadanan antara logika tersebut dengan pelbagai diskursus dan logika
kekuasaan (Hall Hobson Lowe dan Willis 2011 229)
Posisi ketiga atau yang terakhir adalah posisi oposisional (opositional
reading) Secara singkat posisi oposisional ini dapat dipahami sebagai posisi di
mana orang (baca khalayak) memahami enkoding yang lebih disukai namun
menolaknya dan kemudian mendekode dengan cara yang sebaliknya atau
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
43
sesukanya Adalah mungkin bagi seorang khalayak untuk memahami secara
sempurna perubahan harfiah maupun perubahan konotatif yang diberikan oleh
diskursus tetapi kecuali mendekode dengan cara yang bertentangan secara
keseluruhan Seorang menelanjangi ketotalitasan kode terpilih untuk kembali
menjadikan pesan tersebut sebagai totalitas dalam beberapa kerangka rujukan
alternatif Salah satu di antara meomen politis paling signifikan adalah tahap
ketika peristiwa yang lazimnya ditunjuk sebagai petanda dan didekodekan dengan
cara yang ternegosiasikan mulai diberi pembacaan oposisional Dalam sebuah
hemat berpikir di posisi inilah politik penandaan serta pertarungan dalam
diskursus digabungkan
Atas dasar inilah penulis akan dapat melihat bagaimana proses pembacaan
(reading) dan pengawasandian (decoding) dari khalayak SS yang nantinya dapat
dikategorikan ke dalam tiga posisikategori membaca teks seperti yang sudah
diuraikan di paragraf sebelumnya Kemudian dapat dilihat posisi dan pembacaan
khalayak terhadap diskursus seputar persoalan negara dan korupsi yang menjadi
tema utama di hampir setiap episodenya
Stuart Hall menyebut kedua hal di atas sebagai preferred reading Konsep
ini menjadi bagian kecil dari teoritisasi encodingdecoding Mengacu pada konsep
encoding bahwa komunikator memilih untuk mengenkode (memahami) pesan
untuk maksud ideologis dan kelembagaan serta memanipulasi bahasa dan media
untuk tujuan ini Artinya pesan media diberi suatu pembacaan yang disukai atau
preferred reading (Antoni 2004 192)
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
44
153 Identitas Keindonesiaan
Pemaparan kerangka berpikir tentang bdquoidentitas keindonesiaan‟ ini akan
dimulai dari konsep identitas antiesensialisme yang merupakan semangat utama
dari gerakan kajian budaya (cultural studies) Di sini identitas bersifat kultural
dalam segala aspeknya bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu
Artinya bentuk identitas dapat berubah terkait dengan berbagai konteks sosial dan
kultural tertentu (Barker 2009 174)
Penulis kemudian menggunakan kerangka pemikiran Anthony Giddens
(via Barker 2009 175) yaitu identitas-diri dan identitas sosial Menurut Giddens
identitas-diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri
sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya
keberlangsungan biografis Narasi atau cerita tentang identitas berusaha menjawab
sejumlah pertanyaan kritis tentang apa yang harus dilakukan bagaimana
bertindak dan ingin menjadi siapa Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi
identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa
lampau sampai masa depan yang dapat diperkirakan Jadi identitas-diri bukanlah
sifat distingtif atau bahkan kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu Identitas
adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks
biografinya (Giddens 1991 53 dalam Barker 2009 175)
Argumen Giddens sesuai dengan pandangan awam tentang identitas
karena ia mengatakan bahwa identitas-diri adalah apa yang dipikirkan tentang diri
sebagai pribadi Selain itu Ia juga berpendapat bahwa identitas bukanlah sesuatu
yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk Sepertinya
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
45
identitas adalah cara berpikir tentang diri kita namun itu dapat berubah menurut
ruang dan waktunya Itulah mengapa Giddens menyebut identitas sebagai proyek
Artinya bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan selalu dalam proses
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan Proyek identitas membentuk apa
yang kita pikirkan tentang diri kita saat ini dari situasi masa lalu dan masa kini
bersama dengan apa yang dipikirkan dan atau diinginkan serta melintasi harapan
ke depan
Konsep selanjutnya yang ditawarkan Giddens adalah identitas sosial Di
dalam identitas sosial individu terbentuk dalam proses sosial dengan
menggunakan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial Misalnya saja
sosialisasi atau akulturasi Tanpa akulturasi kita tidak akan menjadi individu
sebagaimana yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari Tanpa bahasa konsep
kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti (Barker 2009 176) Yasraf
Amir Piliang (2011) dalam bukunya ldquoDunia Yang Dilipatrdquo menyebut identitas
adalah karakter pribadi yang khas pada diri seseorang individu dalam relasinya
dengan individu-individu lain secara sosial
Tidak ada elemen transendental atau ahistoris terkait dengan bagaimana
seharusnya menjadi seseorang Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural
karena pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah
pertanyaan kultural Kemudian sumber daya yang membentuk materi bagi proyek
identitas yaitu bahasa dan praktik kultural berkarakter sosial Berbagai sumber
daya yang dapat kita bawa ke dalam proyek identitas tergantung kepada kekuatan
situasional di mana kita menerjemahkan kompetensi kultural kita di dalam
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
46
konteks kultural tertentu Artinya identitas bukan hanya soal deskripsi diri
melainkan juga soal label sosial (Barker 2009 176)
ldquoIdentitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif kewajiban dan
sanksi yang pada kolektifitas tertentu membentuk peran Pemakaian tanda-
tanda yang terstandarisasi khususnya yang terkait dengan atribut badaniah
umur dan gender merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat
sekalipun ada begitu banyak variasi lintas kultural yang dapat di catat
(Giddens 1984 282-3 via Barker 2009 176)
Dalam hemat Barker identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan tentang
aspek personal dan sosial Identitas juga bdquotentang kesamaan Anda dengan
sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain‟ (Weeks 1990
89 via Barker 2009 176)
Hampir senada dengan Giddens Stuart Hall menyuarakan pendapat
antiesensialis-nya tentang identitas yang menekankan sebagaimana halnya dengan
soal kemiripan identitas diatur di sekitar jumlah perbedaan Identitas (kultural)
dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah
melainkan sebagai proses menjadi Tidak ada esensi bagi identitas yang perlu
dicari namun identitas kultural terus menerus diproduksi di dalam vektor
kemiripan dan perbedaan Identitas kultural bukanlah esensi melainkan posisi
yang terus-menerus berubah dan titik perbedaan di sekitar identitas kultural bisa
menyebab-kan jadi beragam dan berkembang (Barker 2009 185)
Titik perbedaan itu antara lain ialah identifikasi kelas gender seksualitas
umur etnisitas kebangsaan posisi politik pada berbagai isu moralitas agama
dan lain-lain dan masing-masing posisi diskursif tersebut dengan sendirinya tidak
stabil Identitas kemudian menjadi bdquopotongan‟ atau kilatan makna yang terungkap
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
47
penempatan yang strategis yang memungkinkan adanya makna Pendapat
antiesensialis ini sebagaimana dikatakan Barker (ibid 186) menunjukkan kepada
kita sifat dasar politis dari identitas sebagai bdquoproduksi‟ dan kepada kemungkinan
bagi identitas yang beragam berubah dan terfragmentasi yang mana dapat
diartikulasikan bersama dengan berbagai cara
Gagasan selanjutnya yang ingin penulis hadirkan ke akhir subab kerangka
pemikiran ini adalah rangkuman gagasan tentang identitas dari Graeme Burton
(2011) dalam ldquoMembincangkan Televisi Sebuah Pengantar Kajian Televisirdquo
Menurut Burton identitas merupakan sebuah konsep yang sulit dipegang
bermakna berbeda untuk orang yang berbeda terutama mereka yang terlibat di
dalam dan di luar kelompok ndash dan juga mempunyai makna bersama Identitas
adalah sesuatu yang ada dalam kesadaran diartikulasikan dalam komunikasi dan
juga dihidupkan dalam sebuah konteks budaya Itulah mengapa identitas etnis dan
rasial ndash yang mana merupakan identitas esensialisme ndash ada dalam benak kita
dalam benak orang lain dalam artikulasi program televisi dalam kehidupan
keseharian kita yang melibatkan pemirsaan terhadap program televisi (Burton
2011 243-4)
Kemudian untuk berbicara soal keindonesiaan secara khusus penulis
mengajak dan merujuk kepada persoalan identitas seperti yang pernah digagas
Benedict Anderson (2008) seorang ahli Indonesia (Indonesianis) dalam karya
klasiknya yakni ldquoImagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayangrdquo
Gagasan Anderson tersebut hadir ketika banyak penafsiran para ahli tentang
nasionalisme yang masih kurang memuaskan di mana Anderson menawarkan
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
48
arah penafsiran lain tentang bdquoanomali nasionalisme‟ (Anderson 2008 5) Titik
keberangkatan Anderson adalah bahwa nasionalitas (nationality) atau mungkin
lebih baik (melihat kerangka signifikansi jamak kata tersebut) ke-nasional-an
(nation-ness) sama halnya dengan nasionalisme adalah artefak-artefak budaya
jenis khusus yang mana sejajar dengan benda-benda temuan arkeologis
(Anderson 2008 6) Barker mengatakan bahwa identitas nasional ndash dalam
komunitas terbayang ndash secara intrinsik terkait dengan dan dibangun oleh
berbagai bentuk komunikasi (Barker 2009 208)
Setidaknya Anderson telah memetakan kegusaran para teoritisi
nasionalisme akan tiga paradoks berikut yaitu 1) Modernitas objektif bangsa-
bangsa di mata para sejarawan vs kepurbaan subjektifitasnya di mata para
nasionalis 2) Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-
kultural ndash dalam jagat modern semua orang bisa musti akan bdquopunya‟ suatu
kebangsaan tertentu ndash vs kekhususan pengejawantahan konkritnya yang tak
terelakan misalnya berdasarkan definisinya kebangsaan Yunani bersifat sui
generis mutlak berbeda dengan kebangsaan lain apapun juga 3) Daya politis
nasionalisme vs kemelaratan filosofisnya atau malah ketidak-koherenannya
Dengan kata lain tidak seperti sebagian bdquoisme‟ lain nasionalisme belum pernah
melahirkan pemikir besarnya sendiri (Anderson 2008 7)
Pada poin selanjutnya Anderson mengilustrasikan bahwa sebagian dari
kesulitan itu muncul dari kenyataan bahwa orang cenderung secara tidak secara
sadar membayangkan keberadaan Nasionalisme (dengan huruf bdquoN‟ kapital)
kemudian menggolongkannya sebagai sebuah ideologi Anderson
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
49
menganalogikannya dengan menghuruf-besarkan A dalam Age atau Z dalam
Zaman Artinya dalam contoh analogi tersebut bahwa setiap manusia memiliki
age (umurnya sendiri yang nyata) tetapi Age (zaman) hanya merupakan ungkapan
abstrak analitis saja (Anderson 2008 8)
Ben Anderson dengan gaya berpikir antropologis mengusulkan definisi
tentang bangsa atau nasion yakni adalah komunitas politis dan dibayangkan
sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali
pun tidak bakal mengetahui dan tak akan kenal sebagaian besar anggota lain tidak
akan pernah bertatap muka dengan mereka bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka (Anderson 2008 8) Namun di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka15
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas sebab
bahkan bangsa-bangsa yang paling besar sekalipun yang anggotanya semilyar
manusia memiliki garis-garis perbatasan yang pasti walaupun elastis Di luar
perbatasan tersebut adalah bangsa-bangsa lain Tak satu bangsa di dunia yang
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi Akhirnya bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa Bangsa
15 Bandingkan Seton-Watson (1977) Nations and States hal 5 ldquoYang bisa saya katakan hanyalah
bahwa sautu bangsa mengada tatkala sejumlah orang (jumlah yang cukup besar) dalam suatu
masyarakat menganggap diri mereka membentuk sebuah nasion atau berperilaku seolah mereka
telah membentuk sebuah bangsardquo Anderson menambahkan dengan catatan yakni bahwa kita bisa
menerjemahkan frasa bdquomenganggap diri mereka‟ menjadi bdquomembayangkan diri mereka‟ dalam
Ben Anderson 2008 Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang Yogyakarta hal
8
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
50
itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan
melebar-mendatar (Anderson 2008 10)
Jadi konsep identitas yang penulis ajukan pada persoalan ini tidak hanya
untuk melihat identitas-diri atau identitas sosial sebagai identitas khalayak
maupun komunitas khalayak saja namun dengan memakai logika tersebut untuk
membacanya sebagai kesadaran dalam sebuah komunitas terbayang yang lebih
besar seperti bdquoidentitas keindonesiaan‟
16 Metodologi Penelitian
Sedari awal penelitian ini berorientasi ke sebuah kajian khalayak dengan
metode penelitian kualitatif Kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif
menjadi hal penting dalam kajian budaya dan media yang selama ini didominasi
oleh pendekatan kuantitatif Hal ini juga yang kemudian menentukan arah penting
dalam kajian resepsi khalayak terkait bagaimana agenda penelitian terfokus pada
produksi teks dan konteks karena di sini akan ada pemaknaan teks media antara
memberikan arti dalam mengontruksinya dalam memori individu (khalayak)
Oleh karena itu khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive
yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (McQuail 1997 19) Analisis resepsi merujuk pada sebuah
komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks seperti cultural setting dan context atas isi
media lain (Jensen 2003 139)
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
51
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses aktual
di mana wacana dalam media diasimilasikan kedalam wacana dan praktik-praktik
budaya khalayak Masih menurut McQuail (1997) analisis resepsi menekankan
pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial budaya dan sebagai
proses dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman dan
produksi Hasil penelitian ini merupakan representasi suara khalayak yang
mencakup identitas sosial dan posisi subyek yang beragam (polyvocality) Setiap
individu mempunyai identitas ganda (multiple subject identities) yang secara
sadar atau tidak dikontruksi dan dipelihara termasuk didalamnya umur ras
gender kebangsaan etnisitas orientasi seksualitas kepercayaan agama dan kelas
161 Jenis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif (tekstual) artinya
data yang diperoleh dan disajikan berupa data deskriptif yang menunjukkan
kualitas bukan kuantitas Kekuatan utama dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan sekelompok khalayak yang
berperan sebagai responden sekaligus subjek penelitian Objek material penelitian
ini adalah hasil wawancara atau dialog dan bincang-bincang yang
ditranskripsikan ke dalam teks tertulis yang akan diolah dan disajikan dalam
karya penelitian ini Maka dalam penelitian ini FGD menjadi sebuah perangkat
penelitian yang sangat penting
Penulis juga mencari data lainnya (sekunder) yang bersifat tekstual yang
kelak digunakan sebagai data tambahan maupun data penguat Arsip digital
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
52
berupa video hasil unduhan dari website httpwwwmetrotvnewscom terkait
program SS berperan sangat penting dan digunakan untuk menunjukkan menarik
atau tidaknya tema seputar negara dan korupsi sebagai variasi lain dari data teks
Metro TV setiap Senin malam pukul 2230 WIB selalu menayangkan satu
episode SS selama 30 menit dengan topik berbeda di mana juga terdapat
tayangan iklan antara rentang waktu tersebut Penulis memilih tiga episode dan
membatasi di periode rentang waktu tayang satu tahun yakni selama tahun 2012
Penulis dan khalayak menonton bersama ketiga video unduhan tersebut Tayangan
video digital berbeda dengan tayangan langsung melalui televisi karena tidak ada
selingan iklan atau pariwara di dalam video digital Jadi di sini khalayak murni
menonton SS tanpa iklan Menurut penulis penting untuk mengatakan bahwa
khalayak yang menonton SS dari video digital hasil unduhan akan memiliki
resepsitanggapan yang berbeda dengan yang menonton melalui televisi
162 Metode Pengumpulan Data
Sebelum menuju tahap ini penulis memilih serta mengumpulkan beberapa
orang khalayak untuk menonton program acara SS versi video digital Metode
pengumpulan data ini akan dilakukan melalui wawancara sekaligus diskusi
kelompok terfokus atau FGD (focus-group discussion) saat sebelum dan setelah
pemutaran video Data kualitatif berupa rekaman hasil wawancara yang diperoleh
dalam sesi ini akan diposisikan sebagai data primer sedangkan data utama ialah
teks transkripsi dialog di dalamnya dan teks transkripsi hasil FGD Sementara itu
data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka baik berupa literatur tercetak
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
53
maupun literatur dalam bentuk digital (e-book) Langkah ini akan disesuaikan
dengan kebutuhan penulis Sumber-sumber referensial lainnya yang mendukung
penelitian ini dapat berupa buku jurnal penelitian artikel-artikel yang berkaitan
dengan penelitan ini
Teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan penulis untuk
memperoleh resepsi atau tanggapan (pembacaanpengawasandian juga
interpretasi) khalayak atas teks media Oleh karenanya penulis berharap akan
memperoleh pembacaan yang lugas jujur dan terbuka dari khalayak Analisisnya
adalah narasi-narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara yang
diinterpretasi untuk menjawab permasalahan penelitian
Pedoman wawancara sangat penting untuk digunakan agar proses
wawancara tidak menyimpang dari pokok permasalahan penelitian Oleh karena
itu wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat
Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian
kualitatif yang berbasis kajian khalayak Namun penulis juga tidak membatasi
alur diskusi dalam FGD karena akan memperdalam juga memperluas resepsi
khalayak Harapan khalayak atas sebuah teks misalnya sebuah film tertentu dapat
dipengaruhi oleh apa yang dikenal dengan genre film seperti aktor penulis
naskah sutradara atau pekerja produksi suasana produksisetting dan
sebagainya Faktor-faktor tersebut sangat mendominasi dalam studi resepsi Maka
bagian terpenting adalah saat mengumpulkan informasi dari para khalayak untuk
menganalisis bagaimana resepsi mereka terhadap pesan-kode dari media
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
54
163 Pemilihan Khalayak (Subjek) Penelitian
Penulis secara tegas membatasi dan mengkategorikan khalayak pada
penelitian ini sebagai orang-orang yang menonton program SS lewat televisi serta
video hasil unduhan dan bukan khalayak yang berada di Studio Metro TV yang
juga tampil sebagai penonton undangan atau bayaran di setiap episode SS
Apabila sejak awal tidak dibatasi demikian penulis khawatir akan terjadi
kerancuan dalam mengidentifikasikan khalayak terlebih lagi dalam penelitian ini
Dalam sebuah paket program acara atau tayangan televisi penonton undangan ini
hadir di studio Metro TV bersama kedua tokoh utama (Sentilan dan Sentilun)
serta bintang tamu atau narasumber Menurut penulis alasan mengapa penonton
di studio dihadirkan yakni untuk membuat kesan interaktif sebagai bagian dari
unsur hiburan dalam program televisi terlepas dari bagaimana cara mereka
dihadirkan
Seorang peneliti kajian khalayak dapat memulai wawancara kepada subjek
dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi seperti
bagaimana teks media akan dilihat atau dibaca juga bagaimana pengalaman
seseorang atas teks media dari perspektif posisi subjek Secara khusus adalah
bagaimana makna teks media dalam konteks tertentu bagi komunitas dengan
kelompok umur faktor agama faktor kaum minoritas faktor sejarah faktor sosial
dan budaya faktor pendidikan jenis kelamin dan lain-lain
Pemilihan khalayak dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena
penelitian ini bersifat kualitatif Maka tipologi khalayak yang dipilih selanjutnya
akan menentukan analisis keberagaman atau justru keseragaman Penulis dapat
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
55
menggunakan observasi langsung atau observasi partisipasi sebelum wawancara
Tujuannya di samping untuk memudahkan proses penelitian juga untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan khalayak Wawancara yang dilakukan terbagi
menjadi wawancara bebas (free interview) yang lebih terkesan seperti berbincang-
bincang yang mengarah kepada wawancara mendalam (indepth interview) serta
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang
dilakukan dalam sebuah FGD
Khalayak dalam penelitian ini penulis pilih secara sengaja (purposive)
dengan mempertimbangkan persamaan maupun perbedaan dalam latar belakang
sosial budaya Mereka dipertemukan dalam sebuah kelompok diskusi (Focus
Group DiscussionFGD) untuk menonton SS secara bersamaan sambil penulis
melakukan pengamatan dan setelah itu melakukan wawancara berkelompok
maupun perorangan secara fleksibel apabila dibutuhkan Teknik pengumpulan
data semacam ini penulis pertimbangkan untuk mendapatkan kedalaman kualitas
data dalam wawancara sehingga dapat diketahui alasan argumentasi dari
khalayak Penulis sebisa mungkin akan mengkondisikan khalayak agar merasa
nyaman untuk berdiskusi sebagai sebuah FGD
Mengapa kemudian penulis hanya memilih enam orang ialah karena
pertimbangan bahwa jumlah khalayak tersebut sudah cukup banyak untuk
berbicara dalam sebuah FGD kecil Jumlah itu pun akan cukup menghasilkan
banyak variasi pandangan atas keberagaman (polyvocality)16
terkait bagaimana
16 Polyvocality atau suara yang beragam Dalam penelitian cultural studies selain refleksitas diri
peneliti juga harus sadar bahwa mereka sedang tidak mempelajari satu realitas tetapi sebenarnya
banyak (realitas) Polyvocality menarik perhatian atas kenyataan bahwa realitas hidup itu banyak
Bahkan untuk berbuat adil orang perlu mendengarkan suara-suara atau pandangan yang banyak
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
56
posisi dan pembacaan khalayak terhadap program SS apakah mengalami
dominasi-hegemoni negosiasi atau oposisional Jumlah tersebut berhubungan
dengan kriteria khalayak yang penulis tentukan sehingga berapapun angkanya
sebetulnya tidak jadi masalah Namun penulis hendak mengefektif dan
mengefisienkan jumlah tersebut karena penelitian ini dilakukan dengan fasilitas
dan dana yang terbatas
Enam orang khalayak yang dipilih ialah mahasiswa ilmu sosial jurusan
Sosiologi warga negara Indonesia (WNI) memiliki akses terhadap media dan
informasi terutama televisi dan semuanya berdomisili di Jawa Timur (Surabaya
dan Malang) Persyaratan WNI sengaja dicantumkan pertama karena penelitian ini
akan membahas soal identitas keindonesiaan untuk berbicara atas nama dirinya
sebagai orang Indonesia Maka penulis tidak mensyaratkan agar khalayak harus
berasal dari satu daerah tertentu saja asalkan WNI Namun dalam pertimbangan
lebih lanjut fakta temuan bahwa SS dikelola oleh orang Yogya dan ditampilkan
dengan gaya Yogya membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana
pembacaan khalayak yang bukan dari Yogya sehingga penulis memilih khalayak
yang berdomisili di Jawa Timur Menurut penulis kesamaan mereka menjadi
penting karena mereka memiliki pengalaman yang sama yang akan menjadi dasar
diskusi (Carey 1993 via Herlina 2012 113) dalam FGD Sementara itu Alasan
Para peneliti atau etnografer biasanya menjumpai polyvocality saat melakukan wawancara dengan
informan karena tentu saja jawaban yang diberikan oleh masing-masing informan akan berbeda
satu sama lain Sebelum etnografi disajikan kepada pembaca etnografer akan melihat kegunaan
lain dari konsep polyvocality yaitu untuk memisahkan perspektif individu dengan kelompoknya
serta untuk memahami pengalaman individu Salah satu bentuk polyvocality adalah testimoni Hal
ini sering dianggap sebagai kesaksian tangan pertama (first-hand witnessed) meskipun testimoni
tidak menjadi satu keharusan dalam etnografi baru Selanjutnya baca subbab Polyvocality dalam
bab New Etnography di Paula Saukko 2003 Doing Research in Cultural Studies London hal 64
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
57
mengapa penulis memilih mahasiswa dari jurusan Sosiologi adalah tak lain karena
penulis mengharapkan khalayak dari jurusan ini dapat meresepsi lebih jauh
fleksibel dan mendalam Selain itu faktor akses juga menjadi pertimbangan
lanjutan Pada akhirnya bukan berarti kesamaan ini membuat resepsi mereka
menjadi sama tetapi justru akan tetap berbeda kriteria khalayak ini tentu saja
tetap akan menunjukkan pembacaan bervariasiberagam atau polyvocality
164 Metode Analisis Data
Penekanan dalam penelitian ini secara umum adalah bagaimana khalayak
meresepsi teks dalam media dan secara khusus juga kontekstual adalah tentang
pembacaan khalayak sebagai orang Indonesia terhadap persoalan seputar negara
dan korupsi dalam negara Indonesia yang ditayangkan lewat program SS serta
mengapa khalayak merespsi seperti itu Maka penelitian ini juga adalah tentang
bagaimana orang Indonesia berbicara tentang keindonesiaan Dengan begitu
penulis akan mengamati bagaimana khalayak menonton tiga episode SS yang
telah di unduh dari website resmi Metro TV Agar tidak bias penulis telah
memastikan bahwa khalayak yang dipilih juga menonton program SS langsung
dari televisi atau media lain
Kemudian untuk mendapatkan sebuah analisis yang mendalam sesuai
dengan sifat penelitian kajian khalayak ini informasi dan data-data yang sudah
dikumpulkan dan diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif-kualitatif
Menurut penulis analisa data merupakan suatu upaya mencari menjelaskan
secara kritis dan kemudian menyusun secara sistematis semua catatan hasil yang
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
58
diperoleh melalui proses sebelumnya untuk meningkatkan pemahaman tentang
kajian itu sendiri serta menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Analisis
data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan penjelasan dan gambaran yang
solid tentang interpretasi atau pembacaan khalayak atas pesan dalam media seperti
yang telah dituliskan dalam rumusan permasalahan penelitian ini Catatan-catatan
yang diperoleh dari wawancara-FGD yang telah diseleksi akan digunakan sebagai
data rujukan untuk analisis data
Penulis menggunakan model dekoding untuk menganalisa data yang
didapat dari hasil FGD dan atau wawancara Untuk mengilustrasikan bahan-bahan
tersebut dikodekan dan dianalisa maka sebelumnya ditentukan dimensi-dimensi
bagaimana penulis mengerjakannya kemudian menginterpretasikannya ke dalam
posisi pembacaan dominan-hegemonik bernegosiasi atau beroposisi Pandangan
khalayak tersebut kemudian dianalisa lebih tajam untuk melihat mengapa mereka
membacanya demikian juga melihat peluang analisa lainnya yang lebih luas dan
mendalam
165 Skema Penulisan
Penulisan karya penelitian khalayak ini selanjutnya dibagi ke dalam lima
bab yaitu
Bab I bagian pendahuluan ini meliputi latar belakang penelitian rumusan
masalah tujuan dan manfaat penelitian tinjauan pustaka kerangka penelitian dan
metodologi penelitian
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini
59
Bab II bagian ini akan menceritakan bagaimana cikal bakal SS yang diawali dari
sejarah ekonomi politik media semasa Orde Baru hingga Reformasi Setelah itu
adalah tentang bagaimana SS mewajahkan Indonesia
Bab III bagian ini menguraikan tentang SS sebagai produk program televisi di
Metro TV berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini Akhir bagian bab ini
adalah uraian tentang enkoding program SS sebagai jawaban dari rumusan
masalah pertama dalam penelitian ini
Bab IV bagian ini menguraikan tentang resepsi (tanggapan) khalayak sebagai
jawaban atas rumusan permasalahan kedua dan ketiga Bagian ini memaparkan
tentang khalayak resepsi khalayak terhadap SS melalui tiga episode yang telah
dipilih dan ditonton serta resepsi khalayak ndash identitas keindonesiaan ndash terhadap
konstruksi ldquowajah Indonesiardquo dalam SS Bab ini tidak hanya menunjukkan
bagaimana resepsi khalayak tapi juga mengapa khalayak meresepsi demikian
Bab V bagian terakhir merupakan catatan krits kesimpulan dan benang merah
dari seluruh jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian khalayak ini