bab ii

20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya lagi dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam (Amurwarahaja, 2006). Sedangkan menurut Azwar (1990), sampah (refuse) adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat. Sumber sampah yang terbanyak berasal dari pemukiman dan pasar tradisional. Sampah pasar khususnya, seperti pasar sayur mayur, pasar buah, atau pasar ikan. Jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%) berupa sampah organik sehingga lebih mudah ditangani. Sampah yang berasal dari pemukiman umumnya sangat beragam, tetapi secara umum minimal 75% terdiri dari sampah organik dan sisanya anorganik (Sudradjat, 2006). 4

Upload: arman-syah

Post on 30-Jul-2015

52 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sampah

Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, telah

diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak

bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya lagi dan dari segi

lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam

(Amurwarahaja, 2006).

Sedangkan menurut Azwar (1990), sampah (refuse) adalah sebagian dari

sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang

umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan

industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya)

dan umumnya bersifat padat.

Sumber sampah yang terbanyak berasal dari pemukiman dan pasar

tradisional. Sampah pasar khususnya, seperti pasar sayur mayur, pasar buah, atau

pasar ikan. Jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%) berupa sampah organik

sehingga lebih mudah ditangani. Sampah yang berasal dari pemukiman umumnya

sangat beragam, tetapi secara umum minimal 75% terdiri dari sampah organik dan

sisanya anorganik (Sudradjat, 2006).

2.2. Jenis-jenis Sampah

Menurut Purwendro dan Nurhidayati (2006), sampah tergolong dalam tiga

jenis, yaitu:

Sampah Organik

Sampah Organik berasal dari makhluk hidup, baik manusia, hewan,

maupun tumbuhan. Sampah organik sendiri dibagi menjadi sampah

organik basah dan sampah organik kering. Istilah sampah organik basah

dimaksudkan sampah yang mempunyai kandungan air yang cukup tinggi,

contohnya kulit buah dan sisa sayuran. Sedangkan bahan yang termasuk

4

Page 2: BAB II

sampah organik kering adalah sampah yang mempunyai kandungan air

yang rendah, contohnya kayu, ranting kering, dan dedaunan kering.

Sampah anorganik

Sampah anorganik bukan berasal dari makhluk hidup. Sampah ini berasal

dari bahan yang dapat diperbaharui (recycle) dan sampah ini sulit terurai

oleh jasad renik. Jenis sampah ini misalnya bahan yang terbuat dari

plastik dan logam.

Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Sampah B3 yang dikategorikan beracun dan berbahaya bagi manusia.

Umumnya sampah ini mengandung merkuri seperti kaleng bekas cat

semprot atau minyak wangi.

2.3. Pupuk

Berdasarkan sumber bahan yang digunakan, pupuk dibedakan menjadi

pupuk anorganik dan pupuk organik.

Pupuk anorganik adalah pupuk yang berasal dari bahan mineral yang telah

diubah melalui proses produksi sehingga menjadi senyawa kimia yang mudah

diserap tanaman. Sementara itu, pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari

bahan organik atau makhluk hidup yang telah mati. Bahan organik ini akan

mengalami pembusukan oleh mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan

berbeda dari semula. Pupuk organik termasuk pupuk majemuk lengkap karena

kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur mikro

(Hadisuwito, 2007).

Berdasarkan cara pembuatannya, pupuk organik terbagi menjadi dua

kelompok, yaitu: pupuk organik alami dan pupuk organik buatan. Jenis pupuk

yang tergolong dalam kelompok pupuk organik alami benar-benar langsung

diambil dari alam, seperti dari sisa hewan, tumbuhan, tanah, baik dengan atau

tanpa sentuhan teknologi yang berarti. Pupuk yang termasuk dalam kelompok ini

antara lain pupuk kandang, kompos, pupuk hijau, humus, dan pupuk burung.

5

Page 3: BAB II

Pupuk organik buatan dibuat untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman

yang bersifat alami atau non kimia, berkualitas baik, dengan bentuk, ukuran, dan

kemasan yang praktis, mudah didapat, didistribusikan, dan diaplikasikan, serta

dengan kandungan unsur hara yang lengkap dan terukur. Berdasarkan bentuknya,

ada dua jenis pupuk organik buatan, yaitu padat dan cair (Marsono dan Paulus,

2001).

Berdasarkan bentuknya, pupuk organik dibagi menjadi dua, yakni pupuk

cair dan padat. Pupuk organik cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahan –

bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang

kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur. Sedangkan pupuk organik padat

adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang

berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan kotoran manusia yang berbentuk

padat (Hadisuwito, 2007).

Menurut Litauditomo (2007), Jenis sampah organik yang dapat diolah

menjadi pupuk organik adalah:

1. Sampah sayur baru

2. Sisa sayur basi, tetapi ini harus dicuci terlebih dahulu, diperas, lalu dibuang

airnya.

3. Sisa nasi.

4. Sisa ikan, ayam, kulit telur.

5. Sampah buah (anggur, kulit jeruk, apel, dan lain-lain). Tapi tidak termasuk

kulit buah yang keras seperti kulit salak.

Jenis sampah organik yang tidak bisa diolah adalah:

1. Protein seperti daging, ikan, udang, juga lemak, santan, susu karena

mengundang lalat sehingga tumbuh belatung.

2. Biji-biji utuh atau keras seperti biji salak, asam, lengkeng, alpukat, dan

sejenisnya. Buah utuh yang tidak dimakan karena busuk dan berair seperti

pepaya, melon, jeruk, anggur.

3. Sisa sayur yang berkuah harus dibuang airnya, kalau bersantan harus dibilas

air dan ditiriskan.

6

Page 4: BAB II

2.4. Pupuk Cair Organik

Menurut Simamora, dkk (2005), pupuk cair organik adalah pupuk yang

bahan dasarnya berasal dari hewan dan tumbuhan yang sudah mengalami

fermentasi dan bentuk produknya berupa cairan. Kandungan bahan kimia di

dalamnya maksimum 5%. Penggunaan pupuk cair memiliki beberapa keuntungan

sebagai berikut:

1. Pengaplikasiannya lebih mudah jika dibandingkan dengan pengaplikasian

pupuk organik padat.

2. Unsur hara yang terdapat di dalam pupuk cair mudah diserap tanaman.

3. Mengandung mikroorganisme yang jarang terdapat dalam pupuk organik

padat.

4. Pencampuran pupuk organik cair dengan pupuk organik padat

mengaktifkan unsur hara yang ada dalam pupuk organik padat tersebut.

Dibandingkan dengan pupuk anorganik, pupuk organik cair umumnya

tidak merusak tanah dan tanaman walaupun digunakan sesering mungkin. Selain

itu, pupuk ini juga memiliki bahan pengikat sehingga larutan pupuk yang

diberikan ke permukaan tanah bisa langsung digunakan oleh tanaman

(Hadisuwito, 2007).

2.5. Kompos

Kompos adalah pupuk alami (organik) yang terbuat dari bahan - bahan

hijauan dan bahan organik lain yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat

proses pembusukan, misalnya kotoran ternak atau bila dipandang perlu, bisa

ditambahkan pupuk buatan pabrik, seperti urea. Sampah kota bisa juga digunakan

sebagai kompos dengan catatan bahwa sebelum diproses menjadi kompos sampah

kota harus terlebih dahulu dipilah-pilah, kompos yang rubbish harus dipisahkan

terlebih dahulu. Jadi yang nantinya dimanfaatkan sebagi kompos hanyalah

sampah-sampah jenis garbage saja (Wied, 2004).

Pada prinsipnya semua bahan yang berasal dari makhluk hidup atau bahan

organik dapat dikomposkan. Seresah, daun-daunan, pangkasan rumput, ranting,

7

Page 5: BAB II

dan sisa kayu dapat dikomposkan. Kotoran ternak, binatang, bahkan kotoran

manusia bisa dikomposkan. Kompos dari kotoran ternak lebih dikenal dengan

istilah pupuk kandang. Sisa makanan dan bangkai binatang bisa juga menjadi

kompos. Ada bahan yang mudah dikomposkan, ada bahan yang agak mudah, dan

ada yang sulit dikomposkan. Sebagian besar bahan organik mudah dikomposkan.

Bahan yang agak mudah dikomposkan antara lain: kayu keras, batang, dan

bambu. Bahan yang sulit dikomposkan antara lain adalah kayu-kayu yang sangat

keras, tulang, rambut, tanduk, dan bulu binatang (Sriyanto, 2009).

Berbeda dengan proses pengolahan sampah yang lainnya, maka pada

proses pembuatan kompos baik bahan baku, tempat pembuatan maupun cara

pembuatan dapat dilakukan oleh siapapun dan dimanapun. Kompos dapat

digunakan untuk tanaman hias, tanaman sayuran, tanaman buah-buahan maupun

tanaman padi di sawah. Bahkan hanya dengan ditaburkan di atas permukaan

tanah, maka sifat-sifat tanah tersebut dapat dipertahankan atau dapat ditingkatkan.

Apalagi untuk kondisi tanah yang baru dibuka, biasanya tanah yang baru dibuka

maka kesuburan tanah akan menurun. Oleh karena itu, untuk mengembalikan atau

mempercepat kesuburannya, maka tanah tersebut harus ditambahkan kompos

(Sulistyoroni, 2005).

2.6. Prinsip Pengomposan

Bahan organik tidak dapat langsung digunakan atau dimanfaatkan oleh

tanaman karena perbandingan C/N dalam bahan tersebut relatif tinggi atau tidak

sama dengan C/N tanah. Nilai C/N tanah sekitar 10-12. Apabila bahan organik

mempunyai kandungan C/N mendekati atau sama dengan C/N tanah maka bahan

tersebut dapat digunakan atau diserap tanaman. Namun, umumnya bahan organik

yang segar mempunyai C/N yang tinggi, seperti jerami padi 50-70, daun-daunan >

50 (tergantung jenisnya), kayu yang telah tua dapat mencapai 400.

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik

sehingga sama dengan tanah (<20). Dengan semakin tingginya C/N bahan maka

proses pengomposan akan semakin lama karena C/N harus diturunkan. Di dalam

8

Page 6: BAB II

perendaman bahan-bahan organik pada pembuatan kompos cair terjadi aneka

perubahan hayati yang dilakukan jasad renik.

Perubahan hayati yang penting yaitu sebagai berikut:

1. Penguraian hidrat arang, selulosa, dan hemiselulosa.

2. Penguraian zat lemak dan lilin menjadi CO2 dan air.

3. Terjadi peningkatan beberapa jenis unsur di dalam tubuh jasad renik terutama

nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Unsur-unsur tersebut akan terlepas

kembali bila jasad-jasad renik tersebut mati.

4. Pembebasan unsur-unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi

senyawa anorganik yang berguna bagi tanaman.

Akibat perubahan tersebut, berat, isi bahan kompos tersebut menjadi

sangat berkurang. Sebagian senyawa arang hilang, menguap ke udara. Kadar

senyawa N yang larut (amoniak) akan meningkat. Peningkatan ini tergantung

pada perbandingan C/N bahan asal. Perbandingan C/N akan semakin kecil berarti

bahan tersebut mendekati C/N tanah. Idealnya C/N bahan sedikit lebih rendah

dibanding C/N tanah (Murbondo, 2004).

Kecepatan suatu bahan menjadi kompos dipengaruhi oleh kandungan C/N

semakin mendekati C/N tanah maka bahan tersebut akan semakin lebih cepat

menjadi kompos. Tanah pertanian yang baik mengandung unsur C dan N yang

seimbang. Setiap bahan organik mempunyai kandungan C/N yang berbeda.

Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat,

selulosa, hemiselulosa, lemak, dan lilin, menjadi CO2 dan air. 2) zat putih telur

menjadi amonia, CO2 dan air. 3) penguraian senyawa organik menjadi senyawa

yang dapat diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut, kadar karbohidrat akan

hilang atau turun. Dan senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan

demikian, C/N semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Indriani,

2004).

9

Page 7: BAB II

Tabel 2.1. Kandungan C/N dari berbagai sumber bahan organik

No Jenis Bahan Organik Kandungan C/N

1. Urine Ternak 0,8

2. Kotoran Ayam 5,6

3. Kotoran Sapi 15,8

4. Kotoran Babi 11,4

5. Kotoran Manusia 6 – 10

6. Darah 3

7. Tepung Tulang 8

8. Urine Manusia 0,8

9. Eceng Gondok 17,6

10

.Jerami Gandum 80 – 130

11

.Jerami Padi 80 – 130

12

.Ampas Tebu 110 – 120

13

.Jerami Jagung 50 – 60

14

.Sesbania sp. 17,9

15

.Serbuk Gergaji 500

16

.Sisa Sayuran 11 – 27

(Simamora dan Sulundik, 2006)

2.7. Pengomposan Anaerobik

10

Page 8: BAB II

Proses pengomposan anaerobik berjalan tanpa adanya oksigen. Biasanya,

proses ini dilakukan dalam wadah tertutup sehingga tidak ada udara yang masuk

(hampa udara). Proses pengomposan ini melibatkan mikroorganisme anaerob

untuk membantu mendekomposisikan bahan yang dikomposkan. Bahan baku

yang dikomposkan secara anaerob biasanya berupa bahan organik yang yang

berkadar air tinggi.

Pengomposan anaerobik akan menghasilkan gas metan (CH4),

karbondioksida (CO2), dan asam organik yang memiliki bobot molekul rendah

seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam laktat, dan asam suksinat.

Gas metan dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar alternatif (biogas). Sisanya

berupa lumpur yang mengandung padatan dan cairan. Bagian padat ini yang

disebut kompos padat dan yang cair disebut kompos cair (Simamora dan

Sulundik, 2006).

2.8. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Pupuk Organik

Pembuatan pupuk organik dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

1. Perbandingan Karbon-Nitrogen (C/N) bahan baku pupuk organik

Nitrogen adalah zat yang dibutuhkan bakteri penghancur untuk tumbuh

dan berkembangbiak. Timbunan bahan kompos yang kandungan nitrogennya

terlalu sedikit (rendah) tidak menghasilkan panas sehingga pembusukan

bahan-bahan menjadi amat terlambat. Oleh karenanya, semua bahan dengan

kadar C/N yang tinggi, misalnya kayu, biji-bijian yang keras, dan tanaman

menjalar, harus dicampur dengan bahan yang berair. Pangkasan daun dari

kebun dan sampah-sampah lunak dari dapur amat tepat digunakan sebagai

bahan pencampur (Murbandono, 2000).

Rasio C/N adalah perbandingan kadar karbon (C) dan kadar nitrogen (N)

dalam satu bahan. Semua makhluk hidup terbuat dari sejumlah besar bahan

karbon (C) serta nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Unsur karbon dan bahan

organik (dalam bentuk karbohidrat) dan nitrogen (dalam bentuk protein, asam

nitrat, amoniak, dan lain-lain) merupakan makanan pokok bagi bakteri

anaerobik. Unsur Karbon (C) digunakan untuk energi dan unsur nitrogen (N)

11

Page 9: BAB II

digunakan untuk struktur sel dan bakteri. Bakteri memakan habis unsur C 30

kali lebih cepat daripada memakan unsur N. Pembuatan kompos yang optimal

membutuhkan rasio C/N 25/1 sampai 30/1 (Yuwono, 2006).

Dalam proses pengomposan, 2/3 dari karbon digunakan sebagai sumber

energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya digunakan untuk

pertumbuhan sel bakteri. Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan

yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan berat kering), sedang C/N diakhir

proses adalah 12-15. Harga C/N tanah < 20 sehingga bahan-bahan yang

mempunyai harga C/N mendekati C/N tanah dapat langsung digunakan

(Damanhuri dan Padmi, 2007).

2. Ukuran Bahan

Semakin kecil ukuran bahan, proses pengomposan akan lebih cepat dan

lebih baik karena mikroorganisme lebih mudah beraktivitas pada bahan yang

lembut daripada bahan dengan ukuran yang lebih besar. Ukuran bahan yang

dianjurkan pada pengomposan aerobik antara 1-7,5 cm. Sedangkan pada

pengomposan anaerobik, sangat dianjurkan untuk menghancurkan bahan

selumat-lumatnya sehingga menyerupai bubur atau lumpur. Hal ini untuk

mempercepat proses penguraian oleh bakteri dan mempermudah pencampuran

bahan (Yuwono, 2006).

3. Komposisi Bahan

Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih

cepat. Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila

ditambah dengan kotoran hewan.

4. Jumlah mikroorganisme

Dengan semakin banyaknya jumlah mikroorganisme, maka proses

pengomposan diharapkan akan semakin cepat.

5. Kelembaban

12

Page 10: BAB II

Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembaban

sekitar 40-60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat

bekerja secara optimal. Kelembaban yang lebih rendah atau lebih tinggi akan

menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati.

6. Suhu

Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap proses pengomposan karena

berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Suhu optimum yang

bagi pengomposan adalah 40-60oC. Bila suhu terlalu tinggi mikroorganisme

akan mati. Bila suhu relatif rendah mikroorganisme belum dapat bekerja atau

dalam keadaan dorman.

7. Keasaman (pH)

Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi

aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH yang baik sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh

karena itu, dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu

dapur untuk menaikkan pH.

Derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami

penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam proses

pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik. Pada proses

selanjutnya, mikroorganisme dari jenis lain akan mengkonversikan asam

organik yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang

tinggi dan mendekati normal (Djuarnani, dkk, 2005).

Kondisi asam pada proses pengomposan biasanya diatasi dengan

pemberian kapur. Namun dengan pemantauan suhu bahan kompos secara tepat

waktu dan benar suudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik

netral tanpa pemberian kapur (Yuwono, 2006).

2.9. Mikroorganisme Lokal (MOL)

Mikroorganisme lokal (MOL) adalah aktivator atau starter kompos yang

diperlukan untuk mempercepat pengomposan namun dibuat sendiri dan berasal

13

Page 11: BAB II

dari sampah organik rumah tangga. Keunggulanan penggunaan MOL tentu saja

karena murah meriah tanpa biaya. MOL merupakan kumpulan mikroorganisme

yang bisa “diternakkan”, fungsinya dalam konsep zero waste adalah untuk starter

pembuatan kompos organik. Dengan MOL ini maka konsep pengomposan bisa

selesai dalam waktu 3 mingguan (Wulandari dkk, 2009). Selain untuk starter

kompos, MOL bisa juga dipakai untuk pupuk cair dengan cara diencerkan terlebih

dahulu, 1 bagian MOL dicampur 15 bagian air (Vidi Januardani, 2009).

Menurut Wulandari, dkk (2009), ada tiga bahan utama yang menyusun

MOL, yaitu:

1. Karbohidrat: Bisa dari air cucian beras (tajin), nasi bekas (basi), singkong,

kentang, gandum. Bahan yang paling sering digunakan adalah air tajin.

2. Glukosa: bisa dari gula merah bata diencerkan dengan air (diulek sampai

halus), bisa dari cairan gula pasir, bisa dari gula batu dicairkan, bisa dari air

gula, air kelapa.

3. Sumber Bakteri: Bisa dari keong, kulit buah-buahan misalnya tomat, pepaya,

dan lain - lain, lalu bisa juga dari air kencing, atau apapun yang mengandung

sumber bakterinya.

Pada prinsipnya MOL tidak berbeda dengan prinsip pembuatan kompos,

hanya saja prinsip pembuatan MOL membutuhkan lebih banyak air dan sedikit

udara. Untuk mempercepat pertumbuhan mikroorganisme, ditambahkan gula atau

bahan-bahan organik yang manis, seperti air kelapa, air tebu, air nira, dan buah-

buahan yang manis. Bahan-bahan membuat MOL juga tidak berbeda dengan

bahan-bahan kompos, hanya saja volume bahan organiknya lebih sedikit dan lebih

banyak air, ditambah dengan gula atau bahan organik yang manis.

2.10. Rendemen

Rendemen adalah perbandingan berat kering terhadap berat basah dan

dinyatakan dalam persen. Menurut Taib, dkk (1989), rendemen dapat ditentukan

dengan cara bahan ditimbang sebelum diolah yang dinyatakan sebagai berat

basah. Kemudian setelah selesai diolah bahan ditimbang kembali dan dinyatakan

sebagai berat kering. Kemudian rendemen dapat dihitung dengan rumus:

14

Page 12: BAB II

Rendemen=Berat akhirBerat awal

x100 %

(Taib dkk, 1989)

2.11. Air Cucian Beras (Air Tajin)

Beras adalah gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara

digiling dan disosoh menggunakan alat pengupas dan penggiling (huller) serta

penyosoh (Chamsyah dan Adesca, 2011).

Kandungan nutrisi beras yang tertinggi terdapat pada bagian kulit ari.

Sayangnya sebagian besar nutrisi pada kulit ari telah hilang selama proses

penggilingan dan penyosohan beras. Sekitar 80% vitamin B1, 70% vitamin B3,

90% vitamin B6, 50% mangan (Mn), 50% fosfor (P), 60% zat besi (Fe), 100%

serat, dan asam lemak esensial hilang dalam proses membuat beras. Saat mencuci

beras, biasanya air cucian pertama akan berwarna keruh. Warna keruh bekas

cucian itu menunjukkan bahwa lapisan terluar dari beras ikut terkikis. Meskipun

banyak nutrisi yang telah hilang, namun pada bagian kulit ari masih terdapat sisa-

sisa nutrisi yang sangat bermanfaat tersebut. Misalkan fosfor (P), salah satu unsur

utama yang dibutuhkan tanaman dan selalu ada dalam pupuk majemuk tanaman

semisal NPK. Fosfor berperan dalam memacu pertumbuhan akar dan

pembentukan sistem perakaran yang baik dari benih dan tanaman muda. Nutrisi

lainnya adalah zat besi yang penting bagi pembentukan hijau daun (klorofil) juga

berperan penting dalam pembentukan karbohidrat, lemak dan protein. Selain itu

kulit ari juga mengandung vitamin, mineral, dan fitonutrien yang tinggi. Vitamin

sangat berperan dalam proses pembentukan hormon dan berfungsi sebagai

koenzim yang merupakan komponen non-protein untuk mengaktifkan enzim

(Anonim, 2011).

Air cucian beras dapat dimanfaatkan sebagai penyubur tanaman. Air cucian

beras mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi. Karbohidrat bisa jadi

15

Page 13: BAB II

perantara terbentuknya hormon auksin dan giberelin. Dua jenis bahan yang

banyak digunakan dalam zat perangsang tumbuh (ZPT) buatan. Auksi bermanfaat

untuk merangsang pertumbuhan pucuk dan kemunculan tunas baru sedangkan

giberelin berguna untuk merangsang pertumbuhan akar. Aplikasi air cucian beras

cukup dengan menyiramnya ke media tanam misal tanah. Air cucian beras banyak

mengandung vitamin B1 yang berasal dari kulit ari beras yang ikut hanyut dalam

proses pencuciannya, dimana vitamin B1 merupakan unsur horman  (fitohormon)

dan hormone tersebut dibutuhkan dalam pertumbuhan tanaman. Maka dari itu,

vitamin B1 ini berguna dalam mobilisasi karbohidrat hingga bagus untuk tanaman

yang baru replanting (Chamsyah dan Adesca, 2011).

Formulasi air cucian beras merupakan media alternatif pembawa bakteri

Pseudomonas fluorescens yang berperan dalam pengendalian patogen penyebab

penyakit karat dan pemicu pertumbuhan tanaman. Bakteri Pseudomonas

fluorescens adalah bakteri yang mampu mengklon dan beradaptasi dengan baik

pada akar tanaman serta mampu untuk mensintesis metabolit yang mampu

menghambat pertumbuhan dan aktivitas patogen atau memicu ketahanan sistemik

dari tanaman terhadap penyakit tanaman (Rezafauzi, 2011).

16