bab ii-iii

37
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gangrene Radiks 2.1.1. Definisi Gangren radiks adalah tertinggalnya sebagian akar gigi. Jaringan akar gigi yang tertinggal merupakan jaringan mati yang merupakan tempat subur bagi perkembangbiakan bakteri. 1 2.1.2. Etiologi Gangren radiks dapat disebabkan oleh karies, trauma, atau ekstraksi yang tidak sempurna. 1 2.1.3. Patogenesis 2,3 Karies dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri di dalam mulut yang mengubah karbohidrat yang menempel pada gigi menjadi suatu zat bersifat asam yang mengakibatkan demineralisasi email. Umumnya, proses remineralisasi dapat dilakukan oleh air liur, namun jika terjadi ketidakseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi, maka akan terbentuk karies (lubang) pada gigi. Karies kemudian dapat meluas dan menembus lapisan dentin. Pada tahap ini, jika tidak ada perawatan, dapat mengenai daerah pulpa gigi yang banyak berisi pembuluh darah, limfe dan syaraf. Pada akhirnya, akan terjadi nekrosis pulpa, meninggalkan jaringan mati 5

Upload: dimas-swarahanura

Post on 05-Jan-2016

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bab,

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II-III

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gangrene Radiks

2.1.1. Definisi

Gangren radiks adalah tertinggalnya sebagian akar gigi. Jaringan akar gigi yang

tertinggal merupakan jaringan mati yang merupakan tempat subur bagi

perkembangbiakan bakteri.1

2.1.2. Etiologi

Gangren radiks dapat disebabkan oleh karies, trauma, atau ekstraksi yang tidak

sempurna.1

2.1.3. Patogenesis2,3

Karies dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri di dalam mulut yang mengubah

karbohidrat yang menempel pada gigi menjadi suatu zat bersifat asam yang

mengakibatkan demineralisasi email. Umumnya, proses remineralisasi dapat

dilakukan oleh air liur, namun jika terjadi ketidakseimbangan antara

demineralisasi dan remineralisasi, maka akan terbentuk karies (lubang) pada gigi.

Karies kemudian dapat meluas dan menembus lapisan dentin. Pada tahap ini, jika

tidak ada perawatan, dapat mengenai daerah pulpa gigi yang banyak berisi

pembuluh darah, limfe dan syaraf. Pada akhirnya, akan terjadi nekrosis pulpa,

meninggalkan jaringan mati dan gigi akan keropos perlahan hingga tertinggal sisa

akar gigi.

Mahkota gigi dapat patah akibat trauma pada gigi, seperti terbentur benda keras

saat terjatuh, berkelahi, atau sebab lainnya. Seringkali mahkota gigi yang patah

menyisakan akar gigi yang masih tertanam dalam gusi, dengan pulpa gigi yang

telah mati.

Pencabutan tidak sempurna juga sering menyebabkan gangren radiks. Hal ini

disebabkan oleh beberapa hal, antara lain struktur gigi yang rapuh, akar gigi yang

5

Page 2: BAB II-III

6

bengkok, akar gigi yang menyebar, kalsifikasi gigi, aplikasi forceps yang kurang

tepat dan tekanan yang berlebihan pada waktu tindakan pencabutan.

Sisa akar gigi atau gangren radiks yang hanya dibiarkan saja dapat muncul keluar

gusi setelah beberapa waktu, hilang sendiri karena teresorbsi oleh tubuh, atau

dapat berkembang menjadi abses, kista dan neoplasma. Setiap sisa akar gigi juga

berpotensi untuk mencetuskan infeksi pada akar gigi dan jaringan penyangga gigi.

Infeksi ini menimbulkan rasa sakit dari ringan sampai hebat, terjadi pernanahan,

pembengkak pada gusi atau wajah hingga sukar membuka mulut (trismus). Pasien

terkadang menjadi lemas karena susah makan. Pembengkakan yang terjadi di

bawah rahang dapat menginfeksi kulit, menyebabkan selulitis atau flegmon,

dengan kulit memerah, teraba keras bagaikan kayu, lidah terangkat ke atas dan

rasa sakit yang menghebat. Perluasan infeksi ini sangat berbahaya, bahkan

penanganan yang terlambat dapat merenggut jiwa, seperti pada angina Ludwig.

Infeksi pada akar gigi maupun jaringan penyangga gigi dapat mengakibatkan

migrasinya bakteri ke organ yang lain melalui pembuluh darah. Teori ini dikenal

dengan fokal infeksi. Keluhan seperti nyeri, bengkak dan pembentukan pus

(nanah) adalah reaksi tubuh terhadap infeksi gigi. Bakteri yang berasal dari infeksi

gigi dapat meluas ke jaringan sekitar rongga mulut, kulit, mata, saraf, atau organ

berjauhan seperti otot jantung, ginjal, lambung, persendian, dan lain sebagainya.

Gigi atau sisa akar seperti ini sebaiknya segera dicabut (ekstraksi), namun

antibiotik umumnya diberikan beberapa hari sebelumnya untuk menekan infeksi

yang telah terjadi. Pencabutan tidak dapat dilakukan dalam keadaan gigi yang

sedang sakit, karena pembiusan lokal (anestesi lokal) seringkali tidak maksimal.

Sisa akar gigi yang tertinggal ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar

gigi sampai sebatas permukaan gusi.

Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk proses pengunyahan yang

sempurna. Gangguan pengunyahan menjadi alasan masyararakat untuk membuat

gigi tiruan. Masalahnya, sampai sekarang banyak yang masih membuat gigi tiruan

di atas sisa akar gigi. Keadaan ini bisa memicu infeksi lebih berat.

Page 3: BAB II-III

7

2.1.4. Tatalaksana1,3

Penatalaksanaan sisa akar gigi ini tergantung dari pemeriksaan klinis akar gigi dan

jaringan penyangganya. Akar gigi yang masih utuh dengan jaringan penyangga

yang masih baik, masih bisa dirawat. Jaringan pulpanya dihilangkan, diganti

dengan pulpa tiruan, kemudian dibuatkan mahkota gigi. Akar gigi yang sudah

goyah dan jaringan penyangga gigi yang tidak mungkin dirawat perlu dicabut.

Sisa akar gigi dengan ukuran kecil (kurang dari 1/3 akar gigi) yang terjadi akibat

pencabutan gigi tidak sempurna dapat dibiarkan saja. Untuk sisa akar gigi ukuran

lebih dari 1/3 akar gigi akibat pencabutan gigi sebaiknya tetap diambil. Untuk

memastikan ukuran sisa akar gigi, perlu dilakukan pemeriksaan radiologi gigi.

Pencabutan sisa akar gigi umumnya mudah. Gigi sudah mengalami

kerusakan yang parah sehingga jaringan penyangga giginya sudah tidak kuat lagi.

Untuk kasus yng sulit dibutuhkan tindakan bedah ringan.

2.2 KANDIDIASIS ORAL

Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik di rongga mulut yang

disebabkan oleh pertumbuhan abnormal dari jamur Kandida albikan. Kandida

albikan ini sebenarnya merupakan flora normal rongga mulut, namun berbagai

faktor seperti penurunan sistem kekebalan tubuh maupun pengobatan kanker

dengan kemoterapi, dapat menyebabkan flora normal tersebut menjadi patogen.

2.2.1 Defenisi, etiologi, epidemiologi

Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit pada rongga mulut berupa

lesi merah dan lesi putih yang disebabkan oleh jamur jenis Kandida sp, dimana

Kandida albikan merupakan jenis jamur yang menjadi penyebab utama.

Kandidiasis oral pertama sekali dikenalkan oleh Hipocrates pada tahun 377 SM,

yang melaporkan adanya lesi oral yang kemungkinan disebabkan oleh genus

Kandida. Terdapat 150 jenis jamur dalam famili Deutromycetes, dan tujuh

diantaranya ( C.albicans, C. tropicalis, C. parapsilosi, C. krusei, C. kefyr, C.

glabrata, dan C. guilliermondii ) dapat menjadi patogen, dan C. albican

Page 4: BAB II-III

8

merupakan jamur terbanyak yang terisolasi dari tubuh manusia sebagai flora

normal dan penyebab infeksi oportunistik. Terdapat sekitar 30-40% Kandida

albikan pada rongga mulut orang dewasa sehat, 45% pada neonatus, 45-65% pada

anak-anak sehat, 50-65% pada pasien yang memakai gigi palsu lepasan, 65-88%

pada orang yang mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang, 90% pada pasien

leukemia akut yang menjalani kemoterapi, dan 95% pada pasien HIV/AIDS.

Kandidiasis oral dapat menyerang semua umur, baik pria maupun wanita.

Meningkatnya prevalensi infeksi Kandida albikan ini dihubungkan dengan

kelompok penderita HIV/AIDS, penderita yang menjalani transplantasi dan

kemoterapi maligna. Odds dkk ( 1990 ) dalam penelitiannya mengemukakan

bahwa dari penderita HIV/AIDS, sekitar 44.8% adalah penderita kandidiasis.

2.2.2 Faktor resiko

Pada orang yang sehat, Kandida albikan umumnya tidak menyebabkan

masalah apapun dalam rongga mulut, namun karena berbagai faktor, jamur

tersebut dapat tumbuh secara berlebihan dan menginfeksi rongga mulut. Faktor-

faktor tersebut dibagi menjadi dua, yaitu

a. Patogenitas jamur

Beberapa faktor yang berpengaruh pada patogenitas dan proses infeksi

Kandida adalah adhesi, perubahan dari bentuk ragi ke bentuk hifa, dan produksi

enzim ekstraseluler. Adhesi merupakan proses melekatnya sel Kandida ke dinding

sel epitel host. Perubahan bentuk dari ragi ke hifa diketahui berhubungan dengan

patogenitas dan proses penyerangan Kandida terhadap sel host. Produksi enzim

hidrolitik ekstraseluler seperti aspartyc proteinase juga sering dihubungkan

dengan patogenitas Kandida albikan.

b. Faktor Host

Faktor host dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan faktor

sistemik. Termasuk faktor lokal adalah adanya gangguan fungsi kelenjar ludah

yang dapat menurunkan jumlah saliva. Saliva penting dalam mencegah timbulnya

kandidiasis oral karena efek pembilasan dan antimikrobial protein yang

terkandung dalam saliva dapat mencegah pertumbuhan berlebih dari Kandida, itu

Page 5: BAB II-III

9

sebabnya kandidiasis oral dapat terjadi pada kondisi Sjogren syndrome,

radioterapi kepala dan leher, dan obat-obatan yang dapat mengurangi sekresi

saliva. Pemakaian gigi tiruan lepasan juga dapat menjadi faktor resiko timbulnya

kandidiasis oral. Sebanyak 65% orang tua yang menggunakan gigi tiruan penuh

rahang atas menderita infeksi Kandida, hal ini dikarenakan pH yang rendah,

lingkungan anaerob dan oksigen yang sedikit mengakibatkan Kandida tumbuh

pesat. Selain dikarenakan faktor lokal, kandidiasis juga dapat dihubungkan

dengan keadaan sistemik, yaitu usia, penyakit sistemik seperti diabetes, kondisi

imunodefisiensi seperti HIV, keganasan seperti leukemia, defisiensi nutrisi, dan

pemakaian obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu lama,

kortikosteroid, dan kemoterapi.

2.2.3 Klasifikasi dan Gambaran Klinis

Gambaran klinis kandidiasis oral tergantung pada keterlibatan lingkungan

dan interaksi organisme dengan jaringan pada host. Adapun kandidiasis oral

dikelompokkan atas tiga, yaitu :

1. Akut, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

a. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut

Kandidiasis pseudomembranosus akut yang disebut juga sebagai thrush,

pertama sekali dijelaskan kandidiasis ini tampak sebagai plak mukosa yang putih,

difus, bergumpal atau seperti beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasi, fibrin,

dan hifa jamur, dapat dihapus meninggalkan permukaan merah dan kasar. Pada

umumnya dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak. Penderita

kandidiasis ini dapat mengeluhkan rasa terbakar pada mulut. Kandidiasis seperti

ini sering diderita oleh pasien dengan sistem imun rendah, seperti HIV/AIDS,

pada pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid, dan menerima kemoterapi.

Diagnosa dapat ditentukan dengan pemeriksaan klinis, kultur jamur, atau

pemeriksaan mikroskopis secara langsung dari kerokan jaringan

Page 6: BAB II-III

10

Gambar 1. Kandidiasis Pseudomembranosus Akut pada lidah dan mukosa bukal pasien

b. Kandidiasis Atropik Akut.

Kandidiasis jenis ini membuat daerah permukaan mukosa oral mengelupas

dan tampak sebagai bercak-bercak merah difus yang rata. Infeksi ini terjadi

karena pemakaian antibiotik spektrum luas, terutama Tetrasiklin, yang mana obat

tersebut dapat mengganggu keseimbangan ekosistem oral antara Lactobacillus

acidophilus dan Kandida albikan. Antibiotik yang dikonsumsi oleh pasien

mengurangi populasi Lactobacillus dan memungkinkan Kandida tumbuh subur.

Pasien yang menderita Kandidiasis ini akan mengeluhkan sakit seperti terbakar.

Gambar 2. Kandidiasis Atropik Akut

2. Kronik, dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Kandidiasis Atropik Kronik

Disebut juga “denture stomatitis” atau “alergi gigi tiruan”. Mukosa

palatum maupun mandibula yang tertutup basis gigi tiruan akan menjadi merah,

kondisi ini dikategorikan sebagai bentuk dari infeksi Kandida. Kandidiasis ini

hampir 60% diderita oleh pemakai gigi tiruan terutama pada wanita tua yang

sering memakai gigi tiruan selagi tidur.

Page 7: BAB II-III

11

Gambar 3. Kandidiasis Atropik Kronik

b. Kandidiasis Hiperplastik Kronik

Infeksi jamur timbul pada mukosa bukal atau tepi lateral lidah berupa

bintik-bintik putih yang tepinya menimbul tegas dengan beberapa daerah merah.

Kondisi ini dapat berkembang menjadi displasia berat atau keganasan, dan kadang

disebut sebagai Kandida leukoplakia. Bintik-bintik putih tersebut tidak dapat

dihapus, sehingga diagnosa harus ditentukan dengan biopsi. Kandidiasis ini

paling sering diderita oleh perokok.

Gambar 4. Kandidiasis Hiperplastik Kronik

c. Median Rhomboid Glositis

Median Rhomboid Glositis adalah daerah simetris kronis di anterior lidah

ke papila sirkumvalata, tepatnya terletak pada duapertiga anterior dan sepertiga

posterior lidah. Gejala penyakit ini asimptomatis dengan daerah tidak berpapila.

Page 8: BAB II-III

12

Gambar 5. Median Rhomboid Glositis

3. Keilitis Angularis

Keilitis angularis merupakan infeksi Kandida albikan pada sudut mulut,

dapat bilateral maupun unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi tampak merah

dan pecah-pecah, dan terasa sakit ketika membuka mulut. Keilitis angularis ini

dapat terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12 dan anemia defisiensi besi.

2.2.4 Perawatan

Pada pasien yang kesehatan tubuhnya normal, seperti perokok dan

pemakai gigi tiruan, perawatan kandidiasis oral relatif mudah dan efektif, namun

pasien yang mengkonsumsi antibiotik jangka panjang, dan pasien dengan sistem

imun tubuh rendah yang mendapat perawatan kemoterapi dimana infeksi jamur

mau tidak mau akan timbul, maka perawatan kandidiasisnya lebih spesifik.

Adapun perawatan kandidiasis oral yaitu dengan menjaga kebersihan rongga

mulut, memberi obat- obatan antifungal baik lokal maupun sistemik, dan berusaha

menanggulangi faktor predisposisi, sehingga infeksi jamur dapat dikurangi.

Kebersihan mulut dapat dijaga dengan menyikat gigi maupun menyikat

daerah bukal dan lidah dengan sikat lembut. Pada pasien yang memakai gigi

tiruan, gigi tiruan harus direndam dalam larutan pembersih seperti Klorheksidin,

hal ini lebih efektif dibanding dengan hanya meyikat gigi tiruan, karena

permukaan gigi tiruan yang tidak rata dan poreus menyebabkan Kandida mudah

melekat, dan jika hanya menyikat gigi tiruan tidak dapat menghilangkannya.

Page 9: BAB II-III

13

Pemberian obat-obatan antifungal juga efektif dalam mengobati infeksi

jamur. Terdapat dua jenis obat antifungal, yaitu pemberian obat antifungal secara

topikal dan sistemik. Pengobatan antifungal topikal pada awal abad 20 yaitu

dengan menggunakan gentian violet, namun karena perkembangan resisten dan

adanya efek samping seperti meninggalkan stain pada mukosa oral, sehingga obat

itu diganti dengan Nystatin yang ditemukan pada tahun 1951 dan Amphotericin B

pada tahun 1956. Obat-obat tersebut bekerja dengan mengikat sterol pada

membran sel jamur, dan mengubah permeabilitas membran sel. Nystatin

merupakan obat antifungal yang paling banyak digunakan. Obat antifungal

sistemik digunakan pada pasien yang tidak mempan terhadap obat antifungal

topikal dan pada pasien dengan resiko tinggi menderita infeksi sistemik.

Selain menjaga kebersihan rongga mulut dan memberi obat-obatan

antifungal pada pasien, faktor predisposisi juga harus ditanggulangi.

Penanggulangan faktor predisposisi meliputi pembersihan dan penyikatan gigi

tiruan secara rutin dengan menggunakan cairan pembersih, seperti Klorheksidin,

mengurangi rokok dan konsumsi karbohidrat, mengunyah permen karet bebas

gula untuk merangsang pengeluaran saliva, menunda pemberian antibiotik dan

kortikosteroid, menangani penyakit yang dapat memicu kemunculan kandidiasis

seperti penanggulangan penyakit diabetes, HIV, dan leukemia.

 2.3.Empiema

2.3.1. Definisi

Empiema adalah keadaan terkumpulnya nanah (pus) didalam

ronggga pleura dapat setempat atau mengisi seluruh rongga pleura

(Ngastiyah, 1997). Empiema adalah  penumpukan cairan terinfeksi atau

pus pada cavitas pleura (Diane C. Baughman, 2000). Empiema adalah

penumpukan materi purulen pada areal pleural (Hudak   & Gallo, 1997).

Empiema adalah kondisi dimana terdapatnya udara dan nanah dalam

rongga pleura dengan yang dapati timbul sebagai akibat traumatik

maupun proses penyakit lainnya.

Pada awalnya,cairan pleura encer dengan jumlah leukosit

rendah,tetapi sering kali menjadi stadium fibropurulen dan akhirnya

Page 10: BAB II-III

14

sampai pada keadaan dimana paru-paru tertutup oleh membran eksudat

yang kental.Meskipun empiema sering kali disebabkan oleh komplikasi

dari infeksi pulmonal, namun tidak jarang penyakit ini terjadi karena

pengobatan yang terlambat.

2.3.2. Etiologi

1.    Infeksi yang berasal dari dalam paru :

a.    Pneumonia

b.     Abses paru

c.    Bronkiektasis

d.   TBC paru

e.    Aktinomikosis paru

f.     Fistel Bronko-Pleura

2.    Infeksi yang berasal dari luar paru :

a.    Trauma Thoraks

b.    Pembedahan thorak

c.     Torasentesi pada pleura

d.   Sufrenik abses

e.    Amoebic liver abses

3.    Penyebab lain dari empiema adalah :

a.       Stapilococcus

b.      Pnemococcu

c.       Streptococcus

2.3.3. Patofisiologi

Akibat invasi basil piogeneik ke pleura, maka akan timbulah

peradangan  akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous.

Dengan sel polimorphonucleus (PMN) baik yang hidup maupun yang

mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan

kental. Adanya endapan – endapan fibrin akan membentuk kantung –

kantung yang melokalisasi nanah tersebut.

Sekresi cairan menuju celah pleura normalnya membentuk

keseimbangan dengan drainase oleh limfatik subpleura. Sistem limfatik

Page 11: BAB II-III

15

pleura dapat mendrainase hampir 500 ml/hari. Bila volume cairan

pleura melebihi kemampuan limfatik untuk mengalirkannya maka, efusi

akan terbentuk.

Efusi parapnemonia merupakan sebab umum empiema.

Pneumonia mencetuskan respon inflamasi. Inflamasi yang terjadi dekat

dengan pleura dapat meningkatkan permeabilitas sel mesotelial, yang

merupakan lapisan sel terluar  dari pleura. Sel mesotelial yang terkena

meningkat permeabilitasnya terhadap albumin dan protein lainnya. Hal

ini mengapa suatu efusi pleura karena infeksi kaya akan protein.

Mediator kimia dari proses inflamasi menstimulasi mesotelial untuk

melepas kemokin, yang merekrut sel inflamasi lain. Sel mesotelial

memegang peranan penting untuk menarik neutrofil ke celah pleura.

Pada kondisi normal, neutrofil tidak ditemukan pada cairan pleura.

Neutrofil ditemukan pada cairan pleura hanya jika direkrut sebagai

bagian dari suau proses inflamasi. Netrofil, fagosit, mononuklear, dan

limfosit meningkatkan respon inflamasi dan mengeleluarkan  mediator

untuk menarik sel-sel inflamator lainya ke dalam pleura.

Efusi pleura parapneumoni dibagi menjadi 3 tahap berdasarkan

patogenesisnya, yaitu efusi parapneumoni tanpa komplikasi, dengan

komplikasi dan empiema torakis.

Efusi parapneumoni tanpa komplikasi  merupakan efusi eksudat

predominan neutrofil yang terjadi saat cairan interstisiil paru

meningkat selama pneumonia.  Efusi ini sembuh dengan pengobatan

antibiotik yang tepat untuk pneumonia.

Efusi parapneumoni komplikasi  merupakan invasi bakteri pada

celah pleura yang mengakibatkan peningkatan jumlah neutrofil,

asidosis cairan pleura dan peningkatan konsentrasi LDH. Efusi ini

sering bersifat steril karena bakteri biasanya dibersihkan secara cepat

dari celah pleura.

Pembentukan empiema terjadi dalam 3 tahap, yaitu :

Page 12: BAB II-III

16

1.    Fase eksudatif : Selama fase eksudatif, cairan pleura steril

berakumulasi secara cepat ke dalam celah pleura. Cairan pleura

memiliki kadar WBC dan LDH yang rendah, glukosa dan pH dalam

batas normal. Efusi ini sembuh dengan terapi antibiotik, penggunaan

chest tube tidak diperlukan.

2.    Fase fibropurulen : invasi bakteri terjadi pada celah pleura, dengan

akumulasi leukosit PMN, bakteri dan debris. Terjadi kecendrungan

untuk lokulasi, pH dan kadar glukosa menurun, sedangkan kadar LDH

menngkat.

3.    Fase organisasi : Bentuk lokulasi. Aktivitas fibroblas menyebabkan

pelekatan pleura visceral dan parietal. Aktivitas ini berkembang

dengan pembentukan perlengketan dimana lapisan pleura tidak dapat

dipisahkan. Pus, yang kaya akan protein dengan sel inflamasi dan

debris berada pada celah pleura. Intervensi bedah diperlukan pada

tahap ini.

 Gambaran bakteriologis efusi parapneumoni dengan kultur positif

berubah seiring berjalannya waktu. Sebelum era antibiotik, bakteri

yang umumnya didapatkan adalah Streptococcus pneumoniae

danstreptococci hemolitik. Saat ini, organisme aerob lebih sering

diisolasi dibandingkan organisme anaerob. Staphylococcus aureus dan

S pneumoniae tumbuh pada 70 % kultur bakteri gram positif aerob.

Bakteriologi suatu efusi parapneumoni berhubungan erat dengan

bakteriologi pada proses pneumoni. Organisme aerob gram positif dua

kali lebih sering diisolasi dibandingkan organisme aerob gram negatif.

Klebsiela, Pseudomonas, dan Haemophilus merupakan 3 jenis

organisme aerob gram negatif yang paling sering diisolasi.

Bacteroides danPeptostreptococcus merupakan organisme anaerob

yang paling sering diisolasi. Campuran bakteri aerob dan anaerob lebih

sering menghasilkan suatu empiema dibandingkan infeksi satu jenis

organisme. Bakteri anaerob telah dikultur 36 sampai 76 % dari

empiema. Sekitar 70 % empiema merupakan suatu komplikasi dari

Page 13: BAB II-III

17

pneumoni. Pasien dapat mengeluh menggigil, demam tinggi,

berkeringat, penurunan nafsu makan, malaise, dan batuk. Sesak napas

juga dapat dikeluhkan oleh pasien.

2.3.4. Gejala

Manifestasi klinis empiema hampir sama dengan penderita

pneumonia bakteria, gejalanya antara lain adalah panas akut, nyeri

dada (pleuritic chest pain), batuk, sesak, dan dapa juga sianosis.

Inflamasi pada ruang pleura dapat menyebabkan nyeri abdomen dan

muntah. Gejala dapat terlihat tidak jelas dan panas mungkin tidak

dialami penderita dengan sistem imun yang tertekan. Juga terdapat

batuk pekak pada perkusi dada, dispneu, menurunnya suara pernapasan,

Page 14: BAB II-III

18

demam pleural rub (pada fase awal)  ortopneu, menurunnya vokal

fremitus, nyeri dada.

2.3.5. Penatalaksanaan

Sasaran penetalaksanaan adalah mengaliran cavitas pleura hingga

mencapai ekspansi paru yang optimal. Dicapai dengan drainase yang

adekuat, anti biaotika (dosis besar ) dan atau streptokinase. Drainase

cairan pleura atau pus tergantung pada tahapan penyakit dengan :

1.    Aspirasi jarum ( Thorasintesis ),jika cairan tidak terlalu kental

2.    Drainase tertutup dengan WSD, indikasi bila nanah sangat kental,

pnemothoraks

3.    Drainase dada terbuka untuk mengeluarkan pus pleural yang

mengental dan debris serta mesekresi jaringan pulmonal yang

mendasari penyakit.

4.    Dekortikasi, jika imflamasi telah bertahan lama

2.4 Tuberkulosis paru

2.4.1 Definisi

Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang

penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti

tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun

tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara

khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.

Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru

batuk, bersin atau bicara.

2.4.2 Klasifikasi

Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1. Tuberkulosis paru

Page 15: BAB II-III

19

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.

tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian,

kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

a. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada

Tb Paru:

1. Tuberkulosis paru BTA positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.

1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

b. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

1. Kasus baru

Page 16: BAB II-III

20

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.

3. Kasus setelah putus berobat (default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan

BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini

termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif

setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).

2.4.3 Epidermiologi

A. Personal

1. Umur

Tb Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian besar

penderita Tb Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun. Data WHO

menunjukkan bahwa kasus Tb paru di negara berkembang banyak terdapat pada

umur produktif 15-29 tahun. Penelitian Rizkiyani pada tahun 2008 menunjukkan

jumlah penderita baru Tb Paru positif 87,6% berasal dari usia produktif (15-54

tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut (≤ 55 tahun).

2. Jenis Kelamin

Page 17: BAB II-III

21

Penyakit Tb Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak, lakilaki dan

perempuan.Tb paru menyerang sebagian besar laki-laki usia produktif.

3. Stasus gizi

Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan fungsi seluruh sistem

tubuh termasuk sistem imun.Sistem kekebalan dibutuhkan manusia untuk

memproteksi tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh

`mikroorganisme. Bila daya tahan tubuh sedang rendah, kuman Tb paru akan

mudah masuk ke dalam tubuh. Kuman ini akan berkumpul dalam paruparu

kemudian berkembang biak.Tetapi, orang yang terinfeksikkuman TB Paru belum

tentu menderita Tb paru. Hal ini bergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut.

Apabila, daya tahan tubuh kuat maka kuman akan terus tertidur di dalam tubuh

(dormant) dan tidak berkembang menjadi penyakt namun apabila daya tahan

tubuh lemah makan kuman Tb akan berkembang menjadi penyakit. Penyakit Tb

paru Lebih dominan terjadi pada masyarakat yang

status gizi rendah karena sistem imun yang lemah sehingga memudahkan kuman

Tb Masuk dan berkembang biak

2.4.4 Etiologi

Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan

asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).

2.4.5. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,

mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,

penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis

utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan

dapatdigunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan

indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan

Page 18: BAB II-III

22

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang

khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

2.4.6 Gejala

a) Gejala sistemik/umum

Penurunan nafsu makan dan berat badan.

Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan

malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam

seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

b) Gejala khusus

Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-

paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan

menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.

Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai

dengan keluhan sakit dada.

Page 19: BAB II-III

23

2.4.7 Patogenesis

Sumber penularan Tb Paru adalah penderita Tb BTA+ ,Pada waktu

batuk/bersin,penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dropler

(percikan dahak)

Page 20: BAB II-III

24

2.4.8. Penatalaksanaan

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan

asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat

dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya

antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah

dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah

yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan

perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat

dibandingkan antibakteri lain :

Page 21: BAB II-III

25

Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin,

Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin , Amikasin, Kuinolon.

2.5 Infeksi Fokal

Fokus infeksi merupakan area jaringan berbatas tegas yang terinfeksi oleh

mikroorganisme patogen eksogen yang biasanya terletak dekat permukaan kulit

atau mukosa. Infeksi fokal adalah metastasis dari fokus infeksi, organisme, atau

produknya yang memiliki kemampuan untuk merusak jaringan. 5

2.5.1 Mekanisme Infeksi Fokal

Metastasis mikroorganisme–dapat menyebar secara hematogen atau

limfogen. Mikroorganisme ini kemudian akan menetap pada jaringan.

Organisme tertentu memiliki predileksi untuk mengisolasi dirinya pada

daerah tertentu pada tubuh.

Toksin dan produk toksin–menyebar melalui aliran darah atau saluran

limfatikus, dari fokus yang jauh di mana dapat terjadi reaksi hipersensitivitas

pada jaringan. Contoh: scarlet fever, akibat toksin eritrosit yang berasal dari

streptokokus.4

2.5.2 Fokus Infeksi Oral

Lesi periapikal terinfeksi–khususnya, pada kasus kronik, daerah terinfeksi

akan dikelilingi oleh kapsul fibrosa, yang akan melindungi area bebas infeksi

Page 22: BAB II-III

26

dari area terinfeksi, tetapi tidak dapat mencegah absorpsi bakteri atau toksin.

Granuloma periapikal dideskripsikan sebagai manifestasi pertahanan tubuh

dan reaksi penyembuhan, sementara kista adalah bentuk lanjut dari

granuloma. Abses terjadi ketika fase penyembuhan dan pertahanan tubuh

rendah.

Gigi dengan saluran akar yang terinfeksi – merupakan sumber potensial dari

penyebaran mikroorganisme dan toksin. Sering kali terjadi akibat

streptokokus hemolitikus; yang merupakan penyebab penting dari artritis

reumatoid dan demam rematik.

Penyakit periodontal – merupakan sumber infeksi potensial yang signifikan.

Organisme yang sering ditemukan adalah Streptococcus viridans. Masase

ringan pada gusi dapat menyebabkan bakteremia transitori. Menggoyangkan

gigi dari soketnya dengan menggunakan forsep sebelum melakukan ekstraksi

dapat menyebabkan bakteremia pada pasien dengan penyakit periodontal.

Profilaksis oral dapat diikuti dengan bakteremia. Sehingga dianjurkan untuk

memberikan antibiotik pada anak dengan penyakit jantung kongenital atau

penyakit jantung rematik untuk mencegah terjadinya endokarditis bakterialis. 4,5

2.5.3 Dampak Penyebaran Fokus Infeksi Oral

Ada beberapa laporan bahwa fokus infeksi oral dapat menyebabkan atau

memperparah penyakit-penyakit sistemik. Contoh yang paling sering adalah:

Artritis–termasuk artritis rematoid dan demam rematik. Artritis rematoid

merupakan jenis yang tidak diketahui etiologinya. Pasien ini memiliki titer

antibodi terhadap streptokokus hemolitikus yang tinggi. Ini merupakan reaksi

hipersensitivitas jaringan.

Penyakit katup jantung–endokarditis bakterialis subakut berkaitan dengan

infeksi oral. Ada kemiripan antara keduanya, yaitu antara agen penyebab

penyakit dan mikroorganisme pada lesi di rongga mulut, pulpa, dan periapikal

gejala endokarditis bakterialis subakut ditemukan pada beberapa kasus segera

setelah ekstraksi gigi. Bakteremia transien terjadi segera setelah ekstraksi

Page 23: BAB II-III

27

gigi. Streptokokus jenis viridan merupakan sebagian besar penyebab

endokarditis bakterialis subakut. Setelah kestraksi gigi, terjadi bakteremia

streptokokus, sehingga kejadian endokarditis bakterialis subakut dapat terjadi

setelah operasi dan ekstraksi gigi.

Penyakit gastrointestinal–beberapa pekerja menyatakan bahwa menelan

mikroorganisme secara spontan dapat menyebabkan berbagai macam

penyakit gastrointestinal. Ulkus gaster dan ulkus duodenum dapat diakibatkan

oleh penetrasi streptokokus.

Penyakit mata–faktor-faktor mendukung hipotesis Woods tentang peranan

fokus infeksi pada penyakit mata

Penyakit ginjal – mikroorganisme yang sering ditemukan pada infeksi saluran

kemih adalah E.coli, stafilokokus, dan streptokokus. Streptokokus

hemolitikus tampaknya merupakan mikroorganisme yang paling sering.

Streptokokus merupakan inhabitan saluran akar gigi atau area periapikal dan

gingiva yang jarang. Karena mikroorganisme ini sering berhubungan dengan

infeksi renal, tampaknya hubungan antara fokus infeksi oral dan penyakit

ginjal sedikit. 4,5

Page 24: BAB II-III

28

BAB III

ANALISIS KASUS

Ny. L (37 tahun) dirawat di bagian Penyakit Dalam RSMH Palembang

dengan TB Paru + Empiema paru dekstra dikonsulkan ke bagian poliklinik gigi

dan mulut RSMH dengan untuk dilakukan pemeriksaan adanya fokal infeksi pada

gigi. Pasien sebelumnya tidak pernah melakukan pemeriksaan ke dokter gigi.

Keadaan umum penderita tampak kompos mentis, nadi 88 x/menit,

pernapasan 24 x/menit, dan suhu 36,5°C. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak

ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan intraoral ditemukan kalkulus pada seluruh

regio dan suspek kandidiosis oral. Pada status lokalis ditemukan adanya gangrene

radiks pada gigi 1.4.

Berdasarkan hasil pemeriksaan gigi pasien dengan gangren radiks yang

diduga sebagai fokal infeksi yang menjadi penyabab terjadinya penyakit sistemik

yang dialami pasien sekarang, sehingga baiknya dilakukan penanganan pada

sumber infeksinya juga. Hal ini dilakukan agar bakteri yang terdapat pada gigi

tidak memperparah kondisi yang dialami pasien dan menyebar ke organ yang lain.

Pasien juga diduga mengalami suatu kandidiasis oral ditandai gambaran

warna keputihan pada dorsum lidah menandakan adanya koloni jamur. Oleh

karena itu disarankan bagi pasien untuk dilakukan swab pemeriksaan preparat

jamur untuk memastikan adanya kondisi kandidiasis oral ini pada pasien tersebut.

Rencana terapi yang diberikan pada pasien ini adalah pro exodonsi untuk

gangrene radiks 1.4, dental health education, dan swab pemeriksaan preparat

jamur. Edukasi juga penting untuk diberikan pada pasien untuk menjaga

kebersihan gigi dan mulut dengan menyikat gigi dua kali sehari yaitu setelah

sarapan dan sebelum tidur selama 3 menit. Pasien juga diajarkan cara menyikat

gigi yang benar. Pasien diharapkan melakukan kunjungan ke dokter gigi untuk

mengatasi permasalahan pada giginya serta melakukan kunjungan teratur ke

dokter gigi setiap 6 bulan.

Page 25: BAB II-III

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Lix, Kolltveit, Tronstad L, Olsen I. Systemic diseases caused by oral

infection. Clinical Microbiology Reviews 2000 Oct; 547-58.

2. Peterson LJ. Odontogenic infections. Diunduh dari :

http://famona.erbak.com/OTOHNS/Cummings?cumm069.pdf, 29 Juni

2009).

3. Sonis ST, Fazio RC, Fang L. Principles and practice of oral medicine. 2nd ed.

Philadelphia: WB Saunders Company; 1995. p.399-415.

4. Ghom, AG. Infections of Oral Cavity. Textbook of Oral Medicine, 2nd ed.

New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010. Hal.484-486.

5. Priantoro D, HA Sjakti. Leukemia Akut. Dalam: Tanto C, F Liwanag, S

Hanifati, EA Pradipta, penyunting. Kapita Selekta Kedokteran: essentials of

medicine edisi IV. Jakarta: Media Aesculapicus. 2014: hal. 55-57.