bab ii - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/bab ii.pdf · puncaknya pada minggu...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pengertian Demam Tifoid
Demam tifoid atau tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus
halus yang menyebabkan tubuh kehilangan cairan dan bahan mineral dalam
jumlah banyak. Penularannya dapat melalui kontak antar manusia atau melalui
makanan yang masuk ke dalam tubuh (Nurbayati, 2009). Demam tifoid
merupakan penyakit yang disebabkan beberapa serovar Salmonella enterica
termasuk Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A. Walaupun secara global
Salmonella typhi merupakan penyebab utama, infeksi Salmonella paratyphi A
juga terjadi di beberapa bagian dunia dan berhubungan dengan pengunjung
turis.(Karyanti MR , 2012).
Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit
bervariasi pada populasi yang berbeda. Demam tifoid merupakan penyakit yang
sering ditemukan di negara berkembang. Pemberian antibiotik sebelumnya
menyebabkan perubahan gejala klinis demam tifoid, sehingga gejala demam
klasik yang meningkat secara perlahan dan toksisitas jarang ditemukan, namun
resistensi antimikroba sering menyebabkan gejala penyakit menjadi berat dan
terjadi komplikasi (Karyanti MR, 2012).
http://repository.unimus.ac.id
2
2. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh S. typhi (Darmawati S, at al, 2009)
a. Klasifikasi
Kerajaan : Bakteria
Filum : Proteobakteria
Kelas : Gamma proteobakteria
Ordo : Enterobakteriales
Famili : Enterobakteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella typhi
b. Morfologi
S.typhi merupakan bakteri enterik batang, gram negatif, ukuran 2
– 4 mikrometer X 0,6 mikrometer, bergerak, bersifat aerob dan
anaerob fakultatif, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi
mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada biakan agar darah koloninya
besar berdiameter 2 – 3 milimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin
dan tidak menyebabkan hemolisis (Gupte, 1990).
Gambar 1. Mikroskopis morfologi Sel S.typhi (Sumber : Todar, 2008)
http://repository.unimus.ac.id
3
c. Struktur Antigen
d a
b
c
Gambar 2. Struktur antigen S.typhi a.Flagel (Antigen H) b. Kapsul(Antigen Vi) c. Selubung sel (membran sitoplasma, peptidoglikan,
membran luar) d. Lipopolisakarida (Antigen O)(Sumber : Jawetz et al, 2008)
Struktur antigen Salmonella terdiri dari :
1) Antigen O (dinding sel)
Menurut Handojo (2004), antigen O merupakan antigen
somatik yang terletak pada lapisan luar dari tubuh bakteri (lihat
gambar 2). Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida
(LPS) atau disebut juga endotoksin. Lipopolisakarida dari antigen
O terdiri dari 3 komponen yaitu :
a) Lipid A, melekat pada dinding sel.
b) Oligosakarida inti, melekat pada lipid A
c) Antigen O (Polisakarida O), mengandung antigen O spesifik
atau antigen dinding sel.
http://repository.unimus.ac.id
4
Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM. Aglutinasi O
berlangsung lebih lambat. Antigen ini kurang imunogenik.
Karenanya titer antibodi O sesudah infeksi atau imunisasi lebih
rendah daripada titer antibodi H. (Jawetz et al, 2008).
Lipopolisakarida dari antigen O merupakan suatu faktor virulen
dan antigen penting S.typhi, dan merupakan suatu endotoksin yang
dapat menimbulkan septic shock pada manusia dan binatang.
Antibodi terhadap LPS antigen O berhubungan erat dengan infeksi
sebelumnya, tetapi tidak berkaitan dengan proteksi tubuh terhadap
infeksi S.typhi (Muliawan dan Surjawidjaja, 1999).
2) Antigen H (Antigen Flagela)
Antigen H terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari bakteri
(lihat gambar 2). Antigen ini tahan terhadap formaldehid tetapi
tidak tahan terhadap panas dan alkohol (Handojo, 2004).
Antigen H seperti ini beraglutinasi dengan antibodi H, terutama
IgG. Antigen ini bersifat sangat imunogenik dan antibodi yang
dibentuk adalah IgG. (Jawetz et al, 2008).
3) Antigen simpai atau kapsul yang disebut Vi (Vitulen)
Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) yang melindungi
seluruh permukaan bakteri (lihat gambar 2).. Adanya antibodi Vi
yang menetap menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan
merupakan pembawa kuman. Antigen Vi dapat menghambat
http://repository.unimus.ac.id
5
proses aglutinasi, melindungi bakteri dari proses fagositosis, dan
berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin
(Gupte, 1990).
Antigen O, antigen H dan antigen Vi, di dalam tubuh penderita
akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang
lazim disebut aglutinin (Handojo, I, 2004).
Salmonella secara serologi dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu
A, B, C, dan D. Pembagian ini didasarkan pada perbedaan antigen O dari
Salmonella. Genus Salmonella terdiri dari sekitar 1200 serotipe yang
didasarkan pada perbedaan dalam antigen H, tetapi tidak semuanya
patogen untuk manusia. (Handojo, I,2004).
Tabel 2. Penggolongan serotype Salmonella berdasarkan macam antigen
Serotype Serogroup Antigen O
Specific Oantigenfactor
Antigen H
1 fase 2 fase
S.typhi D 9, 12 (Vi) 9 D -S.paratyphi A A 1, 2, 12 2 A -S.paratyphi B B 1, 4, 5, 12 4 B 1,2S.paratyphiC
C 6, 7 (Vi) 6 / 7 C 1,5
Sumber: Handojo, I, 2004
3. Patogenesis
S.typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Sebagian bakteri yang
masuk dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus
halus dan selanjutnya berkembang biak dan bila penderita tersebut tidak
mempunyai kekebalan terhadap bakteri tersebut, maka bakteri tersebut
http://repository.unimus.ac.id
6
akan menempel pada dinding usus dan menembus epitel usus melalui sel
epitel usus menuju ke lamina propia (Handojo, I, 2004).
S.typhi di lamina propia akan difagositosis oleh sel fagosit,
terutama makrofag. Di dalam makrofag, karena terlindung oleh kapsul Vi,
S.typhi dapat bertahan hidup, bahkan dapat berkembang biak. Selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika, dalam tahap berikutnya, S.typhi melalui ductus theracicus
masuk ke aliran darah menyebabkan bakteremia pertama yang
asimtomatik, dan selanjutnya menyebar ke jaringan retikuloendotelial di
seluruh tubuh, terutama di hati dan limpa. Di dalam organ-organ tersebut
S.typhi keluar dari sel fagosit dan berkembang biak di luar sel dalam
jaringan organ atau jaringan sinusoid dan menimbulkan bakteremia yang
kedua kalinya (Handojo, I, 2004).
S.typhi pada kejadian bakteremia yang kedua, telah dapat dibunuh
oleh sel fagosit, terutama makrofag dan Natural Killer Cells (NK),
dikarenakan perkembangan respons imun dan produksi sitokin. Sebagai
akibatnya endotoksin dilepaskan oleh S.typhi dan menyebabkan timbulnya
gejala klinis dari demam tifoid. Sebagian S.typhi yang terdapat dalam
sirkulasi darah dalam bakteremia yang kedua akan masuk ke kandung
empedu dan disekresikan ke dalam usus bersama cairan empedu. Sebagian
S.typhi yang masuk ke lumen usus, sebagian akan keluar bersama tinja,
dan sebagian lagi akan menginvasi kembali dinding usus . Sebagai hasil
dari penghancuran dalam proses fagositosis tersebut diatas, pada akhir
http://repository.unimus.ac.id
7
minggu kedua, dapat dikatakan sudah tidak ditemukan lagi S.typhi yang
hidup di dalam darah, tetapi masih ada dalam sumsum tulang (Handojo, I,
2004).
4. Respons Imun
Sel-sel dalam sistem imun yang bereaksi spesifik dengan bakteri
adalah limfosit B yang memproduksi antibodi, dan limfosit T yang
mengatur sintesis antibodi. Untuk menimbulkan respons antibodi,
limfosit B dan Limfosit T harus berinteraksi satu dengan yang lain
(Kresno, S.B, 2001).
S.typhi yang berada di jaringan seperti hepar dan limpa, apabila
keluar dari makrofag dan menjadi bakteri yang ekstraseluler, maka bakteri
tersebut akan segera difagositosis oleh sel fagosit, sel netrofil, monosit dan
histiosit. Lipopolisakarida dapat mengaktifkan jalur alternatif dari sistem
komplemen yang berakhir dengan lisisnya bakteri. Pada proses ini
endotoksin akan dikeluarkan yang dapat merangsang makrofag, untuk
mensekresi sitokin. Beberapa sitokin dapat menyebabkan demam dan
merangsang sintesis dari protein fase akut seperti C-Reactive Protein
(CRP) (Handojo, I, 2004).
Lipopolisakarida (LPS) dapat merangsang respons imun tanpa
melibatkan limfosit T dan dapat langsung merangsang limfosit B melalui
imunoglobulin permukaan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel plasma yang memproduksi antibodi (aglutinin O), antibodi yang
diproduksi terutama IgM (Handojo, 2004).Limfosit B mengandung IgM
http://repository.unimus.ac.id
8
pada permukaannya sebagai reseptor antigen, sehingga IgM terbentuk
paling awal pada respons imun primer, tetapi respons IgM umumnya
pendek yaitu hanya beberapa hari kemudian menurun, dengan respons
IgM yang umumnya pendek inilah dapat digunakan untuk menentukan
apakah suatu infeksi yang diderita oleh seseorang akut atau tidak (Kresno,
S.B, 2001).
Antigen H (flagela dan fimbriae) dan antigen Vi (kapsul)
merupakan antigen yang hanya dapat merangsang limfosit B melalui
limfosit T helper 2 (Th2) untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel plasma untuk memproduksi aglutinin H dan Vi. Atas dasar ini,
aglutinin O diproduksi lebih awal (akhir minggu pertama) daripada
aglutinin H dan Vi (minggu kedua). Titer aglutinin akan mencapai
puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan
selama beberapa bulan kemudian menurun perlahan-lahan (Handojo, I,
2004).
5. Gambaran Klinis
Gambaran klinis sangat penting untuk membantu mendeteksi
secara dini demam tifoid, masa inkubasi demam tifoid umumnya 1-2
minggu setelah S.typhi tertelan , tetapi bisa juga dalam waktu tiga hari
atau dua bulan (WHO,2003).
Gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama, ditemukan
dengan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya yaitu demam, nyeri kepala, diare, konstipasi, nyeri otot,
http://repository.unimus.ac.id
9
anoreksia, mual, muntah, batuk. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan
suhu badan meningkat. Demam meningkat perlahan-lahan terutama pada
sore hingga malam hari. Dalam minggu ke dua gejala-gejala lebih jelas
berupa demam, lidah yang kotor dibagian tengahnya sedangkan lidah di
bagian tepi dan ujungnya merah, hepatomegali, splenomegali, dan
somnolen (Widodo, D, 2006).
6 . Epidemiologi
Demam tifoid kejadian insidensnya bervariasi di tiap daerah dan
biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; Sesuai laporan Departemen
Kesehatan RI telah terjadi peningkatan kejadian rata-rata antara tahun
1990 dan 1994 dari 9,2 menjadi 15,41 per 10.000 penduduk. Pada tahun
2012 adalah 350-810/100.000 penduduk.Penyakit ini tidak terbatas pada
umur tertentu, namun cukup tinggi pada anak umur diatas 5
tahun.(Marleni, et al.2012).
7 . Diagnosis Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid dalam garis besarnya dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar
antara lain:
1) Isolasi S.typhi
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S.typhi dalam biakan dari darah, urin, feses, sumsum tulang.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
http://repository.unimus.ac.id
10
penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung
beberapa faktor. Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan
oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan
antibiotik, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume
spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen
yang tidak tepat. Walaupun spesifitasnya tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas rendah dan adanya kendala berupa lamanya
waktu yang dibutuhkan serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita (WHO,
2003).
2) Pengujian secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam
darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA
dengan cara Polymerase Chain Reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Kendala yang sering dihadapi
pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang
menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang
bisa menghambat proses PCR, biaya yang cukup tinggi dan teknis
http://repository.unimus.ac.id
11
yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis
masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.
(Tumbelaka dan Retnosari, 2001).
3) Pengujian serologis.
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S.typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah
yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 ml yang
diinokulasikan kedalam tabung tanpa antikoagulan (WHO,2003).
Hasil pemeriksaan uji serologis belum cukup untuk digunakan
sebagai sarana tunggal pendukung diagnostik demam tifoid. Meskipun
demikian, uji serologis dapat bermanfaat terutama di daerah yang tidak
dapat menggunakan metode diagnostik yang lebih mahal (WHO,
2003).
Uji serologis tunggal, pada infeksi kronis sudah dapat digunakan
untuk diagnosis, tetapi pada infeksi akut diperlukan uji ganda, yaitu
pada masa akut dan masa konvalesen, dengan jarak waktu antara uji
pertama dan kedua 7 – 14 hari. Kenaikan titer antibodi sebesar empat
kali pada uji ganda menunjukkan adanya infeksi akut. Uji serologis
tunggal hanya dapat menegakkan diagnosis infeksi akut apabila
hasilnya menunjukkan titer antibodi yang tinggi. Selain titer antibodi,
kelas immunoglobulin juga dapat menentukan status infeksi. Antibodi
http://repository.unimus.ac.id
12
kelas IgM dibentuk pada awal infeksi, kemudian dilanjutkan dengan
pembentukan IgG, oleh karena itu adanya antibodi kelas IgM
merupakan indikasi infeksi akut (Kresno, S.B, 2001).
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid.
Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifitas pada deteksi antigen spesifik S.typhi oleh
karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,
teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi
yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu
pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit) (Tumbelaka dan Retnosari, 2001). Uji serologis meliputi dua
kelompok uji laboratorik, yaitu pelacakan antibodi spesifik terhadap
S.typhi dan pelacakan antigen spesifik S.typhi ((Handojo, I, 2004).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi:
a) Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
(1) Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap S.typhi
Uji ELISA dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan
IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi.
(Tumbelaka, A.R, 2005).
http://repository.unimus.ac.id
13
Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA tergantung dari
jenis antigen yang dipakai. Penggunaan OMP F dan C porins
sebagai antigen memberikan keunggulan lebih tinggi pada uji
ELISA untuk demam tifoid dibandingkan dengan penggunaan
antigen O. Kadar antibodi terhadap porin tersebut juga lebih
tinggi dan bermakna daripada kadar antibodi terhadap antigen
O dan H yang murni dari S.typhi (Handojo, I, 2004).
Teknik Dot-EIA digunakan untuk meningkatkan
kepraktisan uji ELISA, yang memanfaatkan kertas
nitroselulose sebagai fase padat yang memiliki kapasitas yang
tinggi terhadap protein yang dilapiskan. Bila sewaktu-waktu
dibutuhkan, dapat segera dipakai dengan meneteskan serum
pada dot tersebut dan selanjutnya pemeriksaan akan selesai
hanya dalam waktu 3 – 4 jam kerja (Handojo, I,2004).
(2) Uji ELISA untuk melacak antigen terhadap S.typhi
Deteksi antigen spesifik dari S.typhi dalam spesimen klinis
secara teoritis dapat memberikan diagnosis demam tifoid
secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering digunakan untuk
melacak adanya antigen S.typhi dalam spesimen klinis, yaitu
double antibody sandwich ELISA (Handojo, I, 2004).
Sensitivitas dan spesifitas dari deteksi antigen spesifik S.typhi
di dalam spesimen klinis penderita tergantung pada jenis
http://repository.unimus.ac.id
14
antigen yang dilacak, jenis sampel yang diperiksa, jenis
antibodi yang digunakan (poliklonal atau monoklonal) dan
waktu pengambilan sampel (stadium dini atau stadium lanjut
dari penyakit) (Handojo, I, 2004).
Uji ELISA memiliki keterbatasan yaitu selain memerlukan
beberapa tahapan prosedur, sehingga tidak praktis, ELISA juga
membutuhkan berbagai peralatan, instrument reader dan sumber
listrik, dimana instrumen dan enzyme konjugat sebagai bahan
reagen masih mahal disamping itu hasilnya juga tidak dapat
diharapkan segera, karena rata-rata pemeriksaan memerlukan
waktu lebih dari satu jam (Handojo, I, 2004).
b) Metode IgM dipstick test
Metode IgM dipstick test demam tifoid digunakan untuk
mendeteksi adanya antibodi yang dibentuk karena infeksi S.typhi
dalam serum penderita. Pemeriksaan IgM dipstick dapat
menggunakan serum dengan perbandingan 1:50 dan darah 1:25.
Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu kamar, kemudian bilas
dengan air, biarkan kering. Hasil dibaca jika ada warna berarti
positif dan hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil +1,
+2, +3 atau +4 (WHO,2003).
c) Metode Widal
Uji Widal adalah uji serologi yang tertua yang digunakan
untuk melacak kenaikan titer antibodi terhadap S.typhi. Tes
http://repository.unimus.ac.id
15
tersebut telah dipakai sejak tahun 1896 oleh Felix Widal. Titer
antibodi tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum
berulang dalam dua cara, yaitu uji Widal tabung yang
membutuhkan waktu inkubasi semalam dan uji Widal slide yang
hanya memerlukan waktu lima menit. Saat ini uji Widal Slide lebih
banyak digunakan, karena alat yang dibutuhkan lebih sedikit dan
pemeriksaannya lebih cepat (Handojo, I, 2004).
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap
S. typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara
antigen S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen
yang digunakan adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah dilaboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu: (1) aglutinin O (dinding / lapisan luar bakteri);
(2) aglutinin H (flagella); dan (3) aglutinin Vi (kapsul) (Widodo,
D, 2006).
Demam tifoid hanya menggunakan aglutinin O dan H
untuk diagnosis. Semakin tinggi titernya, semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin terjadi
pada akhir minggu pertama, kemudian meningkat secara cepat dan
mencapai puncak pada minggu ke empat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,
kemudian diikuti dengan aglutinin H (Antibodi O muncul pada hari
http://repository.unimus.ac.id
16
ke 6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12). Pada orang
yang sudah sembuh , aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4 –
6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 – 12
bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit (Widodo, D, 2006).
Aglutinin serum meningkat tajam selama minggu kedua dan
ketiga pada infeksi Salmonella. Sedikitnya dua spesimen serum,
yang diambil dengan selang waktu 7-10 hari, dibutuhkan untuk
membuktikan adanya kenaikan titer antibodi. Interpretasi hasilnya
adalah sebagai berikut: (1) titer O yang tinggi atau meningkat (≥
1:160) menandakan adanya infeksi aktif; (2) titer H yang tinggi (≥
1:160) menunjukkan riwayat imunisasi atau infeksi masa lampau;
dan (3) titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi timbul pada
beberapa carrier. Hasil pemeriksaan serologi pada infeksi
Salmonella harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Kemungkinan
adanya antibodi yang bereaksi silang, membatasi penggunaan
serologi dalam diagnosis infeksi Salmonella (Jawetz et al, 2008).
Hasil uji Widal yang negatif atau positif dengan titer rendah
pada stadium permulaan penyakit tidak dapat menyingkirkan
diagnosis demam tifoid. Apabila dikemudian hari penderita
sembuh karena pengobatan, titer aglutinin di dalam darah akan
dipertahankan selama beberapa bulan dan selanjutnya akan
menurun secara perlahan-lahan.Biasanya aglutinin O menghilang
http://repository.unimus.ac.id
17
terlebih dahulu yang diikuti oleh aglutinin Vi dan H (Handojo, I,
2004).
Penyebab pengujian Widal menjadi negatif yaitu: (1) Tidak
terjadi infeksi Salmonella; (2) pasien karier sehat; (3) inokulum
antigen bakteri di dalam penjamu tidak adekuat untuk
mempengaruhi pembentukan antibodi; (4) adanya kesalahan atau
kesulitan teknis dalam melakukan pengujian; (5) pemberian
antibiotik sebelumnya; (6) adanya variabilitas antigen yang
tersedia secara komersial (Hardjoeno, 2003).
Penyebab pengujian Widal menjadi positif yaitu:(1) Pasien
memang menderita demam tifoid; (2) Riwayat vaksinasi; (3)
Reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella;
(4) Infeksi dengan malaria, dengue atau Enterobacteriaceae
lainnya (Juwono, R, 2000).
Interpretasi hasil uji Widal harus memperhatikan beberapa hal,
diantaranya adalah: (1) pengobatan dini dengan antibiotik; (2)
gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid; (3)
waktu pengambilan darah; (4) daerah endemik atau non-endemik;
(5) riwayat vaksinasi; (6) reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer
aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid, akibat infeksi demam
tifoid masa lalu atau vaksinasi; dan 7) faktor teknik pemeriksaan
antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella
yang digunakan untuk suspensi antigen (Widodo, D, 2006).
http://repository.unimus.ac.id
18
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa
faktor antara lain sensitivitas, spesifitas, stadium penyakit, faktor
penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi, gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis), faktor
antigen, serta reagen yang digunakan.Kelemahan uji Widal yaitu
rendahnya sensitivitas dan spesifitas serta sulitnya melakukan
interpretasi hasil membatasi penggunannya dalam penatalaksana
penderita demam tifoid, akan tetapi uji Widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas
diseluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit
dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point) (Tumbelaka, A.R, 2005).
Uji Widal dapat memberikan informasi yang tidak adekuat
oleh karena antara lain: (1) S.typhi mempunyai antigen O dan
antigen H yang sama dengan Salmonella lainnya, maka kenaikan
titer antibodi ini tidak spesifik untuk S.typhi; (2) penentuan hasil
positif mungkin didasarkan atas titer antibodi dalam populasi
daerah endemis yang secara konstan terpapar dengan organisme
tersebut dan mempunyai titer antibodi mungkin lebih tinggi
daripada daerah non endemis pada orang yang tidak sakit
sekalipun;dan(3) tidak dihasilkannya antibodi terhadap Salmonella
http://repository.unimus.ac.id
19
karena rendahnya stimulus yang dapat merangsang timbulnya
antibodi, sehingga produksi antibodi terganggu. Berdasarkan
kemungkinan-kemungkinan tersebut, maka walaupun secara
bakteriologik dinyatakan positif S.typhi, hasil uji Widal dapat
memberikan hasil negatif, sebaliknya hasil uji Widal negatif belum
dapat menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Akan tetapi perlu
diperhatikan pula bahwa Salmonella serogrup D lainnya dan
beberapa organisme group A dan B memiliki antigen yang
digunakan pada uji Widal, oleh karena itu uji Widal tidak spesifik
untuk S.typhi saja (Muliawan dan Surjawidjaja,1999).
Pemeriksaan uji Widal yang perlu diperhatikan antara lain
adalah saat pengambilan spesimen, dan kenaikan titer aglutinin
terhadap antigen S.typhi . Pemeriksaan uji Widal memerlukan dua
kali pengambilan spesimen, yaitu pada masa akut dan masa
konvalesen dengan interval waktu 10-14 hari. Diagnosis
ditegakkan dengan melihat kenaikan titer ≥ 4 kali titer masa akut.
Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan uji Widal dalam
pelaksaaan di lapangan ternyata hanya menggunakan spesimen
tunggal. Kenaikan titer aglutinin yang tinggi pada spesimen
tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut
merupakan infeksi baru atau lama, dengan demikian saat
pengambilan spesimen perlu diperhatikan, agar mendapatkan nilai
diagnostik yang diharapkan. Kenaikan titer aglutinin H tidak
http://repository.unimus.ac.id
20
mempunyai arti diagnostik yang penting untuk demam tifoid,
namun masih dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
tersangka demam tifoid pada penderita dewasa yang berasal dari
daerah non endemik atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di
daerah endemik, sebab kelompok penderita ini kemungkinan
mendapat kontak dengan S.typhi dalam dosis sub infeksi masih
amat kecil. Pemeriksaan antibodi H S.typhi pada daerah endemik
tidak dianjurkan, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O
S.typhi (Muliawan dan Surjawidjaja,1999).
d) Metode IMBI
IMBI merupakan uji semikuantitatif kolorimetrik yang
cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini untuk
mendeteksi demam tifoid akut yang disebabkan oleh S.typhi,
melalui deteksi spesifik adanya serum antibodi IgM terhadap
antigen S.typhi O9 LPS, dengan cara menghambat ikatan antara
IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna
dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel
magnetik latex, selanjutnya ikatan inhibisi tersebut diseparasikan
oleh suatu daya magnetik. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah
setara dengan konsentrasi antibodi IgM S.typhi dalam sampel.
Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir
reaksi terhadap skala warna. Spesifitas ditingkatkan dengan
http://repository.unimus.ac.id
21
menggunakan antigen LPS-O9 S.typhi yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat
akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG. Hasil
positif uji IMBI ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonella
serogroup D. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil
negatif (Widodo, D, 2006).
Antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan
merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T, karena sifat-
sifat tersebut respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat
sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu
pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi
sekunder. Perlu diketahui bahwa uji IMBI hanya dapat mendeteksi
IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi masa
lampau (Widodo, D, 2006).
Pemeriksaan IMBI dilakukan dengan menggunakan tiga
macam komponen, meliputi: (1) tabung berbentuk V, yang juga
berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas: (2) reagen A (Brown
Reagent) yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi
dengan antigen S.typhi O9; dan (3) reagen B (Blue Reagent), yang
mengandung partikel latex berwarna biru yang diselubungi dengan
http://repository.unimus.ac.id
22
antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Interpretasi hasil
dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat
bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasar warna inilah
ditentukan skor, dan diinterpretasikan hasilnya (Widodo, D, 2006).
Menurut Widodo (2006), pemeriksaan IMBI mempunyai
mekanisme reaksi yang dapat diterangkan sebagai berikut:
(1) Mekanisme Reaksi Negatif :
Apabila di dalam sampel serum tidak terdapat antibodi IgM
S.typhi, maka partikel lateks yang berlabel antibodi
monoklonal LPS-O9 (reagen B) langsung berikatan dengan
partikel magnetik berlabel antigen LPS-O9 (reagen A). Daerah
medan magnet (magnet di dalam boks skala warna) ketika
diletakkan, maka komponen magnet yang dikandung reagen
A akan tertarik medan magnet, dengan membawa serta
pewarna yang dikandung reagen B. Proses tersebut terlihat
secara visual melalui perubahan warna dari biru ke merah
muda, background warna merah muda merupakan partikel
lateks merah, campuran dari reagen B yang tidak bereaksi
dengan partikel apapun. Mekanisme reaksi negatif dapat
dilihat pada gambar 4 berikut ini.
http://repository.unimus.ac.id
23
Gambar 3. Mekanisme reaksi negatif IMBISumber:htpp://www.pacbiotekindo.co.id/products/tubextf.php)
(2) Mekanisme Reaksi Positif :
Apabila di dalam sampel serum terdapat antibodi IgM S.typhi,
maka antibodi IgM akan menghambat ikatan antara partikel
lateks yang berlabel antibodi monoklonal LPS-O9 (reagen B)
dengan partikel magnetik berlabel antigen LPS-O9 (reagen A)
dengan mengikat partikel magnetik lebih dulu, kemudian
ikatan antibodi IgM S.typhi dengan antigen LPS-O9 (reagen
A) akan tertarik magnet di dalam boks skala warna,
menyebabkan reagen B tidak tertarik magnet, dan memberikan
warna biru pada larutan.
http://repository.unimus.ac.id
24
Mekanisme reaksi positif dapat dilihat pada gambar 5 berikut
ini.
Antibody coated indicator particle
Antigen coated magnetic
particle
Gambar 4. Mekanisme reaksi positif IMBI(Sumber:htpp://www.pacbiotekindo.co.id/products/tubextf.php)
Pada beberapa penelitian IMBI menyimpulkan bahwa tes
ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik daripada
uji Widal. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, dan
sederhana, terutama di negara berkembang (WHO, 2003).
http://repository.unimus.ac.id
25
8. Kerangka Teori
Deteksi denganmetode Widal
Deteksi denganmetode IMBI
S.typhi ( demam tifoid)
Antigen OAntigen HAntigen Vi
Antibodi S.Typhi nonspesifik terhadap
antigen O somatik
Antibodi IgM S.typhiterhadap antigenS.typhi O9 LPS
Lama Demam Ig M (Lipopolisakarida)Ig G (antigen H)
Kesesuaian Widal dan IMBI
http://repository.unimus.ac.id
26
9. Kerangka Konsep
10. HIPOTESIS
Ada perbedaan hasil pemeriksaan demam tifoid metode Widal dengan IMBI
Variabel Bebas
Metode PemeriksaanDemam Tifoid:
1. Metode Widal2. Metode IMBI
Variabel Penganggu
1. Keadaan bahan pemeriksaan
2. Jarak awal demam dengan waktu
pengambilan darah
Variabel Terikat
Kesesuaian HasilPemeriksaan
Demam Tifoid
http://repository.unimus.ac.id
27
1) Interpretasi hasil
Pembacaan hasil harus dilakukan pada kondisi cahaya yang
baik, stabil dalam waktu 30 menit
Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan
campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga
kebiruan, seperti yang terlihat pada gambar 7 berikut ini.
Gambar 6. Hasil reaksi warna IMBI(Sumber :http://www.pacbiotekindo.co.id/products/tubextf.php)
Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Interpretasi Hasil IMBI
Skor Interpretasi Keterangan
< 2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi demam tifoidaktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan.Ulangi pengujian, apabila masihmeragukan, lakukan sampling ulangbeberapa hari kemudian
4 - 5 Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Sumber : Widodo, D, 2006
http://repository.unimus.ac.id
28
A. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan demam tifoid dianalisis
secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel. Kemudian data tersebut
dianalisis terhadap sensitifitas dan spesifitasnya, serta persentase tingkat
positifitasnya, selanjutnya data dianalisis untuk menguji hipotesis.
Sensitifitas : Positif benar x 100
Positif benar + Negatif Palsu
Spesifitas : Negatif Benar x 100
Positif palsu + Negatif Benar
Sumber : Wardani R.S, 2015
http://repository.unimus.ac.id