bab ii kajian pustaka dan teori 2.1 penelitian terdahulueprints.umm.ac.id/40956/3/bab ii.pdf ·...

17
19 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu menjadi acuan penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori dan bacaan untuk digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian berikut, tidak ditemukan judul yang sama, namun penulis mengangkat beberapa judul sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian. Berikut merupakan empat penelitian terdahulu : Tabel 1.1 Hasil Dan Relevansi Penelitian Terdahulu No. Penulis Hasil Penelitian Relevansi 1. Khoiril Latifah (2016) Judul : Pandangan mediator terhadap standar keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di pengadilan agama Malang 1. Keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian tidak hanya para pihak yang kembali rujuk, akan tetapi mediasi dikatakan berhasil apabila keduanya berpisah secara baik-baik dan mempertanggungjawabk an perbuatan mereka setelah terjadi perceraian. 2. Mediator telah memediasi para pihak sesuai prosedur yang terdapat dalam PERMA. 3. Penanganan mediasi berbeda-beda dalam perkara perceraian sesuai dengan alasan yang diajukan. 1. Berbeda dengan temuan peneliti pada awal penelitian, karena menurut pak Syamsuri, meskipun kedua pihak menjalankan mediasi dengan baik, tetap saja bila pada akhirnya gugatan tidak dicabut, maka mediasi dikatakan gagal. 2. Sama halnya dengan mediator di pengadilan agama kota malang, bahwa pelaksanaan mediasi juga berdasar pada perma, SOP, UU Perkawinan dan KHI. 3. Hal serupa juga dijelaskan oleh pak Syamsuri bahwa Penanganan mediasi berbeda-beda, sesuai dengan alasan yang

Upload: dinhtuong

Post on 15-Jun-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu menjadi acuan penulis dalam melakukan penelitian

sehingga penulis dapat memperkaya teori dan bacaan untuk digunakan dalam

mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian berikut, tidak ditemukan

judul yang sama, namun penulis mengangkat beberapa judul sebagai referensi

dalam memperkaya bahan kajian. Berikut merupakan empat penelitian

terdahulu :

Tabel 1.1 Hasil Dan Relevansi Penelitian Terdahulu

No. Penulis Hasil Penelitian Relevansi

1. Khoiril Latifah

(2016)

Judul : Pandangan

mediator terhadap

standar keberhasilan

mediasi dalam perkara

perceraian di

pengadilan agama

Malang

1. Keberhasilan mediasi

dalam perkara

perceraian tidak hanya

para pihak yang kembali

rujuk, akan tetapi

mediasi dikatakan

berhasil apabila

keduanya berpisah

secara baik-baik dan

mempertanggungjawabk

an perbuatan mereka

setelah terjadi

perceraian.

2. Mediator telah

memediasi para pihak

sesuai prosedur yang

terdapat dalam PERMA.

3. Penanganan mediasi

berbeda-beda dalam

perkara perceraian

sesuai dengan alasan

yang diajukan.

1. Berbeda dengan temuan

peneliti pada awal

penelitian, karena

menurut pak Syamsuri,

meskipun kedua pihak

menjalankan mediasi

dengan baik, tetap saja

bila pada akhirnya

gugatan tidak dicabut,

maka mediasi dikatakan

gagal.

2. Sama halnya dengan

mediator di pengadilan

agama kota malang,

bahwa pelaksanaan

mediasi juga berdasar

pada perma, SOP, UU

Perkawinan dan KHI.

3. Hal serupa juga dijelaskan

oleh pak Syamsuri bahwa

Penanganan mediasi

berbeda-beda, sesuai

dengan alasan yang

20

diajukan.

2. Dede Anggraini

(2017)

Judul : Efektivitas

perma nomor 1 tahun

2016 tentang prosedur

mediasi di pengadilan

terhadap perkara cerai

gugat di pengadilan

agama kelas 1A

Palembang.

1. Keleluasaan dalam

PERMA Nomor 1 tahun

2016 jauh lebih baik dari

yang sebelumnya.

2. Kemampuan Mediator

dalam berkomunikasi

yang kurang baik

membuat para pihak

tidak tergugah hatinya,

serta minimnya strategi

yang dipergunakan

dalam memediasi para

pihak. Selain itu adanya

keinginan kuat para

pihak untuk bercerai.

3. Tingkat keberhasilan

mediasi belum dikatakan

efektif karena jumlah

perkara dengan angka

keberhasilan belum

berimbang bahkan

mediasi kebanyakan

gagal. Setidaknya

setelah dimediasi, para

pihak berpisah dengan

cara yang baik dan tidak

terjadi perebutan dalam

pengasuhan hak anak.

1. Relevan

2. Relevan, sesuai pada awal

penelitian (W).

3. Pada rekapitulasi tahun

2016, perkara yang masuk

sebanyak 338. Sedangkan

mediasi yang berhasil

hanya 17 dan 321 gagal.

Maka, persamaan dengan

penelitian terdahulu ini

yaitu tingkat keberhasilan

mediasi belum dikatakan

efektif karena jumlah

perkara dengan angka

keberhasilan belum

berimbang bahkan

mediasi kebanyakan

gagal.

3. Ismatul Maula

(2016)

Judul :

Peranan hakim

sebagai mediator

dalam penyelesaian

sengketa ekonomi

syariah di pengadilan

agama Purbalingga

tahun 2009-2014

1. Tiga tahapan mediasi

yaitu pra mediasi,

mediasi, dan akhir

mediasi.

2. Terdapat dua prosedur

yang harus dijalani

pihak bersengketa.

3. Beberapa Peran

mediator dalam

menunjang

efektivitasnya mediasi

sengketa ekonomi

syariah di pengadilan

agama purbalingga.

1. Memiliki relevansi/

persamaan. Karena sudah

tertuang pada PERMA

BAB IV dan BAB V.

2. Tidak relevan/berbeda

karena peneliti

menemukan lebih dari

dua prosedur dalam

mediasi di PA kota

Malang.

3. Relevansi/sama dengan

yang akan diteliti.

4. Mirwan Fikri

Judul : Peran hakim

mediator dalam

mediasi kasus

perceraian di

1. Strategi hakim mediator

dalam mediasi kasus

perceraian adalah

memaksimalkan proses

mediasi dengan cara

1. Relevan. Selain memberi

nasehat-nasehat,

sepertinya penelitian

selanjutnya akan

ditemukan strategi

21

pengadilan kelas 1A

Makasar.

memberikan nasihat

serta pertimbangan jika

nantinya pasangan

suami istri berakhir

dengan cerai yang

dimana sebelumnya

dilakukan kaukus atau

penjelasan kepada setiap

pihak secara bergantian

tentang mediasi itu

sendiri.

2. Pandangan masyarakat

tentang keberadaan

mediasi yakni

menanggapinya adalah

hal yang baik sebab

memberikan pendidikan

berupa nasehat dan

mengajarkan kerukunan

serta masyarakat juga

menilai bahwa mediasi

di Pengadilan Agama

harus tetap ada.

3. Efektifitas mediasi di

Pengadilan Agama

Kelas 1A Makassar

yaitu sangat tidak efektif

karena jumlah yang

gagal di Mediasi lebih

banyak dibanding yang

berhasil mediasi.

tindakan dari masing-

masing mediator

menjalankan perannya.

2. Peneliti tidak melibatkan

masyarakat dalam

penelitiaan ini. Hanya

melibatkan para aktor di

dalam perkara.

3. Terdapat persamaan,

yakni sampai saat ini

belum efektif mediasi

yang diupayakan oleh

mediator pengadilan

agama kota Malang.

2.2 Tinjauan Pustaka

2.2.1 Mediasi

Istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu mediare yang

bermakna berada di tengah. Makna tersebut dalam sebuah mediasi adalah

mediator sebagai penengah dan pemberi solusi penyelesaian terhadap para

pihak. ada tiga tahapan dalam mediasi, yaitu pramediasi, pelaksanaan

mediasi, dan tahap akhir mediasi.

22

Tahap pertama yaitu pramediasi. sebelum mediator masuk, ia harus

membangun kepercayaan diri, kemudian sekretaris memanggil para pihak.

baru setelah itu mediator menjelaskan informasi awal jalannya mediasi

seperti fokus, koordinasi, mewaspadai pertikaian, perbedaan pendapat,

tujuan pertemuan, kesepakatan waktu, dan mediator mulai menciptakan

rasa aman dan tentram bagi kedua pihak untuk bertemu dan membicarakan

persoalan mereka (Abbas, 2011:37)

Tahap kedua yaitu tahap pelaksanaan mediasi dimana mediator

memulai dengan sambutan, kemudian mengizinkan para pihak untuk

bergantian memaparkan kisahnya, mengurutkan permasalahan, berdiskusi,

negosiasi, menciptakan solusi-solusi alternatif, menawarkan opsi-opsi

penyelesaian, merumuskan keputusan, mencatat dan menyampaikan

kembali kesepakatan, dan yang terakhir yaitu mediator menyampaikan

hasil akhir pelaksanaan mediasi dengan keputusan gagal atau berhasil serta

kesepakatan yang dibuat bersama dengan dibuatkan laporan tertulis. Tahap

akhir ini harus dijalankan para pihak berperkara secara legal.

Dikutip dari ipsmudah.com, konflik memang merupakan sebuah

kelaziman dalam wujud interaksi sosial, namun ia tidak bisa dibiarkan

melainkan perlu diselesaikan agar tidak menghambat kegiatan sosial kita.

adapun untuk menyelesaikan konflik, kita memerlukan adanya suatu

interaksi asosiatif dalam bentuk akomodasi. Akomodasi adalah suatu

bentuk interaksi asosiatif yang dilakukan 2 atau lebih pihak dengan tujuan

untuk menyelesaikan pertentangan atau suatu konflik. Sedikitnya ada 15

macam bentuk akomodasi yang kerap digunakan untuk menyelesaikan

23

konflik. antara lain Koersi (Coertion), Kompromi (Compromise), Arbitrasi

(Arbitration), Mediasi (Mediation), Konsiliasi (Conciliation), Toleransi

(Tolerance), Jalan buntu (Stale Mate), Ajudikasi (Adjudication), Segregasi

(Segregation), Eliminasi (Elimination), Subjugation (Domination),

Keputusan mayoritas (Majority Rule), Keputusan mayoritas (Majority

Rule), Konversi , dan Gencatan Senjata (Cease Fire).

Mediasi adalah bentuk akomodasi yang dilakukan dengan meminta

bantuan pihak ketiga sebagai penasihat. Dalam hal ini, penengah tersebut

telah disepakati kedua belah pihak yang berkonflik, namun keputusannya

tidak mengikat. Pihak ketiga dalam mediasi hanya dapat memberikan

saran dan masukan, tapi tidak bisa memaksakan keputusannya. pihak yang

melakukan mediasi disebut mediator.

Secara umum, mediator merupakan pihak ketiga yang secara netral

memediasi persoalan yang ada. Pihak ketiga tersebut tugasnya adalah

untuk penyelesaian masalah secara damai. Kedudukan mediator hanyalah

sebagai penasehat belaka. Ia tak mempunyai wewenang untuk memberi

keputusan-keputusan penyelesaian masalah tersebut (Soekanto,2000:85).

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016

BAB I pasal 1 yang dimaksud dengan mediasi adalah cara penyelesaian

sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para

pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator adalah Hakim atau pihak

lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang

membantu para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai

24

kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus

atau memaksakan sebuah penyelesaian. Persyaratan menjadi mediator

yaitu keberadaan mediator disetujui kedua belah pihak, tidak ada

hubungan sedarah, tidak memiliki hubungan kerja, tidak ada niat

berkepentingan finansial terhadap hasil mediasi, dan menjaga

independensi awal-akhir mediasi.

Setelah pihak berperkara mendaftarkan perkara cerainya ke

pengadilan, maka hakim pemeriksa perkara wajib menunda proses

persidangan untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh

mediasi (PERMA, 2016 pasal 20 ayat 7). Mediator dan para pihak

melakukan proses mediasi yang berlangsung paling lama 30 (tiga puluh)

hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi (PERMA,

2016 pasal 24 ayat 2).

2.2.2 Perceraian

Sosiologi memandang perceraian sebagai disorganisasi keluarga.

Perpecahan tersebut dimulai sebagai akibat dari anggota keluarga yang

gagal menjalankan fungsi-fungsi keluarga, terutama fungsi ketahanan.

Bentuk-bentuk disorganisasi keluarga antara lain :

a. Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar

perkawinan. Sebab sang ayah (biologis) gagal dalam mengisi

peranannya sebagai ayah maupun suami.

b. Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab

perceraian, perpisahan tempat tidur, dst.

25

c. Kurangnya saling berkomunikasi antar anggota keluarga. Goede

menamakannya sebagai empty shell family.

d. Krisis, kepala rumah tangga meninggalkan rumah tangga karena

meninggal dunia, dihukum penjara atau karena peperangan.

e. Faktor intern, seperti terganggu keseimbangan jiwa salah seorang

anggota keluarga (Soekanto,2000:412).

Pada UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, BAB VIII Pasal 39 ayat 1

dan 2 tentang putusnya perkawinan serta akibatnya menyebutkan :

1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan

setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara

suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

Menurut panitera PA, Nurul Huda, S.H., kasus perceraian dapat terjadi

karena banyak sebab. Maka alasan-alasan logis yang kuat yang

dikualifikasikan oleh pengadilan agama kota Malang terbagi ke dalam 13

penyebab, yakni :

1) Zina

2) Mabuk

3) Madat

4) Judi

Perceraian bisa terjadi apabila salah satu pihak terbukti melakukan

perzinahan, menjadi pemabuk, pemakai narkoba, atau penjudi yang

26

sangat sulit disembuhkan. Perzinahan yang dimaksud adalah sengaja

dan terbukti pergi ke tempat prostitusi atau berzina dengan orang lain.

5) Meninggalkan Salah Satu Pihak

Lihat dalam bacaan sighat ta’lik yang berbunyi “Kepada istri saya

tersebut, saya menyatakan sighat ta’lik sebagai berikut, apabila saya :

1. Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut

2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan

lamanya

3. Menyakiti badan atau jasmani istri saya

4. Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama

6(enam) bulan atau lebih,

......maka jatuhlah talak satu saya kepadanya.

Berdasarkan keterangan dari para narasumber, yang dimksud

meninggalkan salah satu pihak yaitu apabila dengan sengaja dan sadar

meninggalkan pasangan, selingkuh, dan poligami tidak sehat.

6) Dihukum Penjara.

Perceraian bisa disetujui apabila salah satu pihak terbukti mendapat

hukuman penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih berat

setelah pernikahan berlangsung. Dibuktikan dengan membawa surat

dari kejaksaan.

7) Poligami

Poligami yang dimaksud adalah poligami tidak sehat. Indikator

poligami tidak sehat yaitu ternyata sang istri tidak mengizinkan suami

berpoligami, istri tidak menderita cacat badan sehingga masih bisa

27

memberi keturunan, dan ternyata istri masih bisa menjalankan

kewajiban-kewajiban lainnya sebagai istri.

8) KDRT

Perceraian bisa disetujui apabila salah satu pihak melakukan

kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak lain. Ada

dua jenis, yakni kekerasan verbal dan fisik. Gugatan perceraian alasan

KDRT bisa dikabulkan dengan bukti visum dokter atau surat terbukti

menjadi korban KDRT.

9) Cacat Badan

Istri menderita cacat badan sehingga tidak bisa memberi keturunan

atau istri/suami mengalami kecelakaan sehingga kehilangan bagian

anggota tubuhnya dimana kondisi tersebut tidak bisa diterima

pasangan.

10) Pertengkaran dan Perselisihan Terus-menerus

Inilah dari sekian banyak alasan yang paling sering memicu

terjadinya perceraian. Pertengkaran dan perselisihan terus-menerus

menyangkut sebab lainnya seperti sebab ekonomi dan meninggalkan

salah satu pihak. Perceraian bisa disetujui apabila suami dan istri terus

menerus berselisih dan bertengkar dan mustahil dapat dirukunkan

kembali.

11) Kawin Paksa

28

Berdasarkan keterangan dari pak Abbas, ia menyatakan bahwa

pernikahan dini di kota Malang banyak disebabkan oleh kawin paksa

di usia yang sangat muda.

12) Murtad

13) Ekonomi.

Berdasarkan keterangan dari pak Solihin, beliau pernah mendapati

kasus dimana karena si suami tidak bisa memberi nafkah yang cukup

ke istri, akhirnya si istri dibiayai kebutuhan hidupnya oleh pria lain.

Sebaliknya, saking berlimpah harta si suami, ia menafkahi perempuan

lain.

Selain traumatik mendalam pasca bercerai, ada juga yang mengalami

pembaikan lahir dan batin pasca bercerai. Perceraian memiliki beberapa

dampak positif antara lain :

1. Melepaskan suami istri dari ancaman derita dan sengsara lahir batin.

Kekerasan dalam rumah tangga berbentuk dua, yakni kekerasan prikologis

dan biologis. Banyak pasangan menikah memilih salah satu dari kedua ini

apabila mendapatkan kekecewaan dari pasangan seperti melampiaskannya

dengan ucapan-ucapan kasar, kata-kata emosi, ujaran-ujaran kebencian,

bahkan tidak jarang melampiaskan kekecewaan tersebut pada pukulan

fisik. Maka, dengan bercerai, pihak yang dilukai bisa selamat dari

kekerasan tersebut.

29

2. Menghindarkan salah satu pasangan tersebut dari tindakan-tindakan

berbahaya karena tidak lagi dapat mewujudkan kehidupan bersama yang

dipenuhi oleh rasa toleransi, saling memaafkan, dan saling melengkapi.

3. Memberikan peluang untuk mendapat ganti yang lebih sesuai bagi masing-

masing (Thalib,1997:186-187).

2.2.3 Pengadilan Agama

Menurut pa-malangkota.go.id, berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Tugas pokok pengadilan agama adalah

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,

zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.

1. Fungsi Pengadilan Agama

1. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan

petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya,

baik menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun

administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan

pembangunan.

2. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas

pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris,

Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah

jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan

sewajarnya.

30

3. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang

hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila

diminta.

4. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan

(teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian,

keuangan, dan umum/perlengakapan).

5. Fungsi Lainnya :

a) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat

dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas

Islam dan lain-lain

b) Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan

sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi

masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi

peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah

Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan

Informasi di Pengadilan.

2.3 Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kemampuan seorang peneliti dalam

mengaplikasikan pola berpikirnya, kemudian menyusunnya secara

sistematis teori yang mendukung permasalahan penelitian. Berikut

adalah gambaran mengenai kerangka teori yang digunakan

peneliti:

31

Bagan 1.5 Kerangka Teori Dan Pustaka

Latency (L) menurut Parsons adalah bentuk pemeliharaan dari pola-pola yang

sudah ada, semestinya dapat berlaku pula pada setiap anggota keluarga yang wajib

memelihara fungsi-fungsi dalam keluarga dan memperbaiki motivasi

pemeliharaan tersebut, baik secara intern atau ekstern agar seluruh anggota

keluarga mampu menangani gejolak yang timbul dari dalam maupun luar

keluarga. Pemeliharaan yang dimaksud bukan sekedar menjaga, namun

mempertahankan, memperbaiki, dan melestarikan fungsi-fungsi keluarga.

Gugatan perceraian yang diajukan para pihak secara real menunjukkan bahwa

terjadi delegitimasi pemeliharaan fungsi-fungsi dalam keluarga.

Puspitawati (2012) menyebutkan salah satu aplikasi struktural fungsional

dalam keluarga yaitu aplikasi dalam aspek struktural, dimana ketertiban atau

disiplin terhadap aturan-aturan yang diterapkan di dalam keluarga berhasil apabila

seluruh anggota kelurga mengetahui perannya sebagai individu dan bagian dari

masyarakat. Maka akan tercipta social order dalam struktur masyarakat dimana ia

Latency

Delegitimasi

Fungsi-fungsi

Keluarga

Mediator :

1. Prinsip-Prinsip Mediasi

2. Model-model Mediasi

3. Tipologi Mediator

32

tinggal. karena bagaimanapun, setiap sistem sosial di masyarakat pasti memiliki

aturan dan harapan-harapan yang menuntut bagaimana individu berperilaku. ada

dua elemen yang bisa diterapkan dalam keluarga agar tercipta social order

tersebut. Pertama yaitu menegaskan status sosial yang melekat pada dirinya.

Seperti status ayah yang artinya ia lah yang dibebani mencari nafkah, status ibu

yang mengurusi rumah tangga, dan status anak-anak sebagai pelajar. Kedua,

menjalankan peran dan fungsi sosial, dilengkapi dengan bekal internalisasi norma

yang berlaku di masyarakat agar ia menjadi individu yang mampu menempatkan

diri dan berguna bagi masyarakat.

Masyarakat menganggap perceraian sebagai bentuk delegitimasi fungsi-fungsi

keluarga, yaitu ketidak absahan atau pembatalan fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-

fungsi yang dimaksud antara lain, fungsi afeksi, ekonomi, agama, edukasi,

pemeliharan, penentuan status/harga diri, dan proteksi. Satu atau dua fungsi atau

bahkan banyak yang gagal dijalankan. Oleh karena itu, mediator berusaha keras

memelihara pola-pola hubungan keluarga tersebut melalui jalan mediasi agar

perceraian dapat dibatalkan. Berdasarkan data awal, delegitimasi fungsi paling

banyak gagal adalah fungsi afeksi, pemeliharaan, dan ekonomi.

Menurut Prof. Syahrizal Abbas, pembahasan tentang meditor mencakup empat

bagian utama, yaitu prinsip-prinsip mediator bermediasi, peran yang

diimplementasikan mediator, model-model mediator, dan tipologi mediator.

David Spencer dan Michael merujuk pada pendapat Ruth Carlton

menerangkan beberapa pandangannya mengenai lima prinsip dasar mediasi antara

lain :

33

1) Confidentialy, yaitu kerahasiaan masalah yang di mediasi. Jaminan saling

menjaga rahasia untuk kepentingan masing-masing pihak sangatlah diperlukan

agar mereka dapat mengungkapkan masalah masing-masing secara luwes dan

terbuka. Mediator harus memusnahkan semua dokumen saat mediasi berjalan

hingga akhir, demi menjaga kenyamanan serta kerahasian perkara para pihak.

2) Volunteer, yaitu prinsip sukarela. Kesukrelaan pihak penggugat dan tergugat

datang ke kantor mediasi tanpa paksaan dari pihak manapun dan atas kemauan

mereka sendiri untuk ber i’tikad baik.

3) Empowerment, yaitu mediator menggali terus seputar kemauan dan

kemampuan para pihak untuk menyelesaikan perkara. Pihak yang dimediasi

sebenarnya mempunyai daya untuk menyelesaikan perkara mereka sendiri

dihadapan mediator untuk mendapatkan kesepakatan yang diinginkan.

4) Netralitas, yaitu seorang mediator tidak berhak memutuskan salah atau

benarnya salah satu pihak seperti hakim atau mendukung pendapat satu pihak

dan menjatuhkan pendapat pihak lain.

5) A unique solution, prinsip ini merupakan prinsip yang membutuhkan

kreatifitas mediator dalam mencari penyelesaian yang bervariasi.

Gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang ditampilkan

mediator. Pertama, ia berperan aktif dalam menjembatani sejumlah pertemuan

antar pihak. Desain pertemuan, memimpin dan mengendalikan pertemuan,

menjaga keseimbangan proses mediasi dan menuntut para pihak mencapai suatu

kesepakatan merupakan peran utama yang harus dimainkan oleh mediator.

Kedua, mediator menjadi katalisator yang mendorong lahirnya diskusi-diskusi

konstruktif dimana para pihak terlibat aktif dalam membicarakan akar

34

persengketaan. Ketiga, mediator mediator para pihak dalam pertukaran informasi

dan proses tawar menawar dalam rangka memperoleh sejumlah kesepakatan.

Keempat, mediator harus membangun interaksi dan komunikasi positif, sehingga

ia mampu menyelami kepentingan para pihak dan berusaha menawarkan alternatif

dalam pemenuhan kepentingan tersebut. Peran kelima yaitu mediator mulai

membangun komunikasi dua arah antara para pihak dan dirinya. Mediator

berperan juga mendampingi, mengarahkan pembicaran agar tidak keluar konteks

masalah satu ke masalah lain. Peran keenam ialah mediator berperan sebagai

penjaga stabilitas diskusi, sehingga dalam pertemuan tersebut tidak terjadi debat

yang dapat menggagalkan proses mediasi. Keahlian ini diperoleh melalui

sejumlah pendidikan, pelatihan, dan sejumlah pengalaman dalam menyelesaikan

konflik atau sengketa (Abbas,2011:77-80).

Lawrence Boulle, seorang profesor dalam ilmu hukum dan Direktur Dispute

Resolution Centre-Bond University, menyebutkan model-model mediasi. Model

pertama disebut facilitative mediation, yaitu model penyelesaian yang dilakukan

oleh mediator dengan tujuan kedua pihak saling menguntungkan. Jadi perlu

menekankan pada kebutuhan dan alternatif yang kreatif dalam memediasi perkara

tersebut. Model mediasi kedua yaitu transformative mediation yaitu mediasi

terapis atau rekonsiliasi. Mediasi ini lebih menekankan pada pencarian sebab yang

mendasari persoalan diantara kedua pihak. Tujuannya adalah untuk mencari

resolusi konflik yang didapat dari pengakuan diri dari masing-masing pihak.

Model mediasi ketiga yaitu evaluative mediation, sering juga dikenal sebagai

mediasi normatif. Mediator yang menerapkan model ini adalah para mediator

yang pernah berhadapan dengan kasus serupa. Penyelesaiannya pun terkait

35

dengan hak (right) maka mediator harus ahli dalam persoalan yang dimediasi. Ia

harus terkualifikasi secara legal. Model keempat yaitu settlement mediation,

dimana para mediator meggunakan teknik bottom lines untuk menyamaratakn

kedudukan para pihak sampai ke titik kompromi dan ego terendah mereka

(Abbas,2011: 33-35).

Terakhir, bahasan mengenai mediator yakni tipologi mediator. Terdapat tiga

jenis, yaitu otoritatif, social network, dan independen. Mediator Otoritatif lebih

banyak mengajukan pertanyaan seputar persoalan kepada para pihak daripada

mendengarkan cerita dari para pihak. Para pihak terlihat pasif karena para pihak

lebih banyak bergantung pada pertanyaan mediator. Tipologi ini berpeluang untuk

gagalnya mediasi karena para pihak sedikit aktif bicara dan sedikit merumuskan

solusi. Kedua, yaitu mediator social network yaitu tipe mediator yang memiliki

jaringan pertemanan yang luas untuk membantun dan mendukung kegiatannya

menyelesaikan sengketa. Tak jarang juga mediator tipe ini memiliki hubungan

erat dengan organisasi di masyarakat (Abbas,2011:74-77). Tipe ketiga yaitu

mediator independen. Mediator independen merupakan mediator yang tidak

memiliki keterkaitan dengan pihak ataupun organisasi manapun. Umumnya

berasal dari tokoh masyarakat, tokoh adat, atau ulama yang mempunyai

kemampuan melakukan mediasi (Abbas, 2011: 74-77).