bab ii kajian pustaka dan teori 2.1 penelitian terdahulueprints.umm.ac.id/40956/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
19
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjadi acuan penulis dalam melakukan penelitian
sehingga penulis dapat memperkaya teori dan bacaan untuk digunakan dalam
mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian berikut, tidak ditemukan
judul yang sama, namun penulis mengangkat beberapa judul sebagai referensi
dalam memperkaya bahan kajian. Berikut merupakan empat penelitian
terdahulu :
Tabel 1.1 Hasil Dan Relevansi Penelitian Terdahulu
No. Penulis Hasil Penelitian Relevansi
1. Khoiril Latifah
(2016)
Judul : Pandangan
mediator terhadap
standar keberhasilan
mediasi dalam perkara
perceraian di
pengadilan agama
Malang
1. Keberhasilan mediasi
dalam perkara
perceraian tidak hanya
para pihak yang kembali
rujuk, akan tetapi
mediasi dikatakan
berhasil apabila
keduanya berpisah
secara baik-baik dan
mempertanggungjawabk
an perbuatan mereka
setelah terjadi
perceraian.
2. Mediator telah
memediasi para pihak
sesuai prosedur yang
terdapat dalam PERMA.
3. Penanganan mediasi
berbeda-beda dalam
perkara perceraian
sesuai dengan alasan
yang diajukan.
1. Berbeda dengan temuan
peneliti pada awal
penelitian, karena
menurut pak Syamsuri,
meskipun kedua pihak
menjalankan mediasi
dengan baik, tetap saja
bila pada akhirnya
gugatan tidak dicabut,
maka mediasi dikatakan
gagal.
2. Sama halnya dengan
mediator di pengadilan
agama kota malang,
bahwa pelaksanaan
mediasi juga berdasar
pada perma, SOP, UU
Perkawinan dan KHI.
3. Hal serupa juga dijelaskan
oleh pak Syamsuri bahwa
Penanganan mediasi
berbeda-beda, sesuai
dengan alasan yang
20
diajukan.
2. Dede Anggraini
(2017)
Judul : Efektivitas
perma nomor 1 tahun
2016 tentang prosedur
mediasi di pengadilan
terhadap perkara cerai
gugat di pengadilan
agama kelas 1A
Palembang.
1. Keleluasaan dalam
PERMA Nomor 1 tahun
2016 jauh lebih baik dari
yang sebelumnya.
2. Kemampuan Mediator
dalam berkomunikasi
yang kurang baik
membuat para pihak
tidak tergugah hatinya,
serta minimnya strategi
yang dipergunakan
dalam memediasi para
pihak. Selain itu adanya
keinginan kuat para
pihak untuk bercerai.
3. Tingkat keberhasilan
mediasi belum dikatakan
efektif karena jumlah
perkara dengan angka
keberhasilan belum
berimbang bahkan
mediasi kebanyakan
gagal. Setidaknya
setelah dimediasi, para
pihak berpisah dengan
cara yang baik dan tidak
terjadi perebutan dalam
pengasuhan hak anak.
1. Relevan
2. Relevan, sesuai pada awal
penelitian (W).
3. Pada rekapitulasi tahun
2016, perkara yang masuk
sebanyak 338. Sedangkan
mediasi yang berhasil
hanya 17 dan 321 gagal.
Maka, persamaan dengan
penelitian terdahulu ini
yaitu tingkat keberhasilan
mediasi belum dikatakan
efektif karena jumlah
perkara dengan angka
keberhasilan belum
berimbang bahkan
mediasi kebanyakan
gagal.
3. Ismatul Maula
(2016)
Judul :
Peranan hakim
sebagai mediator
dalam penyelesaian
sengketa ekonomi
syariah di pengadilan
agama Purbalingga
tahun 2009-2014
1. Tiga tahapan mediasi
yaitu pra mediasi,
mediasi, dan akhir
mediasi.
2. Terdapat dua prosedur
yang harus dijalani
pihak bersengketa.
3. Beberapa Peran
mediator dalam
menunjang
efektivitasnya mediasi
sengketa ekonomi
syariah di pengadilan
agama purbalingga.
1. Memiliki relevansi/
persamaan. Karena sudah
tertuang pada PERMA
BAB IV dan BAB V.
2. Tidak relevan/berbeda
karena peneliti
menemukan lebih dari
dua prosedur dalam
mediasi di PA kota
Malang.
3. Relevansi/sama dengan
yang akan diteliti.
4. Mirwan Fikri
Judul : Peran hakim
mediator dalam
mediasi kasus
perceraian di
1. Strategi hakim mediator
dalam mediasi kasus
perceraian adalah
memaksimalkan proses
mediasi dengan cara
1. Relevan. Selain memberi
nasehat-nasehat,
sepertinya penelitian
selanjutnya akan
ditemukan strategi
21
pengadilan kelas 1A
Makasar.
memberikan nasihat
serta pertimbangan jika
nantinya pasangan
suami istri berakhir
dengan cerai yang
dimana sebelumnya
dilakukan kaukus atau
penjelasan kepada setiap
pihak secara bergantian
tentang mediasi itu
sendiri.
2. Pandangan masyarakat
tentang keberadaan
mediasi yakni
menanggapinya adalah
hal yang baik sebab
memberikan pendidikan
berupa nasehat dan
mengajarkan kerukunan
serta masyarakat juga
menilai bahwa mediasi
di Pengadilan Agama
harus tetap ada.
3. Efektifitas mediasi di
Pengadilan Agama
Kelas 1A Makassar
yaitu sangat tidak efektif
karena jumlah yang
gagal di Mediasi lebih
banyak dibanding yang
berhasil mediasi.
tindakan dari masing-
masing mediator
menjalankan perannya.
2. Peneliti tidak melibatkan
masyarakat dalam
penelitiaan ini. Hanya
melibatkan para aktor di
dalam perkara.
3. Terdapat persamaan,
yakni sampai saat ini
belum efektif mediasi
yang diupayakan oleh
mediator pengadilan
agama kota Malang.
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Mediasi
Istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu mediare yang
bermakna berada di tengah. Makna tersebut dalam sebuah mediasi adalah
mediator sebagai penengah dan pemberi solusi penyelesaian terhadap para
pihak. ada tiga tahapan dalam mediasi, yaitu pramediasi, pelaksanaan
mediasi, dan tahap akhir mediasi.
22
Tahap pertama yaitu pramediasi. sebelum mediator masuk, ia harus
membangun kepercayaan diri, kemudian sekretaris memanggil para pihak.
baru setelah itu mediator menjelaskan informasi awal jalannya mediasi
seperti fokus, koordinasi, mewaspadai pertikaian, perbedaan pendapat,
tujuan pertemuan, kesepakatan waktu, dan mediator mulai menciptakan
rasa aman dan tentram bagi kedua pihak untuk bertemu dan membicarakan
persoalan mereka (Abbas, 2011:37)
Tahap kedua yaitu tahap pelaksanaan mediasi dimana mediator
memulai dengan sambutan, kemudian mengizinkan para pihak untuk
bergantian memaparkan kisahnya, mengurutkan permasalahan, berdiskusi,
negosiasi, menciptakan solusi-solusi alternatif, menawarkan opsi-opsi
penyelesaian, merumuskan keputusan, mencatat dan menyampaikan
kembali kesepakatan, dan yang terakhir yaitu mediator menyampaikan
hasil akhir pelaksanaan mediasi dengan keputusan gagal atau berhasil serta
kesepakatan yang dibuat bersama dengan dibuatkan laporan tertulis. Tahap
akhir ini harus dijalankan para pihak berperkara secara legal.
Dikutip dari ipsmudah.com, konflik memang merupakan sebuah
kelaziman dalam wujud interaksi sosial, namun ia tidak bisa dibiarkan
melainkan perlu diselesaikan agar tidak menghambat kegiatan sosial kita.
adapun untuk menyelesaikan konflik, kita memerlukan adanya suatu
interaksi asosiatif dalam bentuk akomodasi. Akomodasi adalah suatu
bentuk interaksi asosiatif yang dilakukan 2 atau lebih pihak dengan tujuan
untuk menyelesaikan pertentangan atau suatu konflik. Sedikitnya ada 15
macam bentuk akomodasi yang kerap digunakan untuk menyelesaikan
23
konflik. antara lain Koersi (Coertion), Kompromi (Compromise), Arbitrasi
(Arbitration), Mediasi (Mediation), Konsiliasi (Conciliation), Toleransi
(Tolerance), Jalan buntu (Stale Mate), Ajudikasi (Adjudication), Segregasi
(Segregation), Eliminasi (Elimination), Subjugation (Domination),
Keputusan mayoritas (Majority Rule), Keputusan mayoritas (Majority
Rule), Konversi , dan Gencatan Senjata (Cease Fire).
Mediasi adalah bentuk akomodasi yang dilakukan dengan meminta
bantuan pihak ketiga sebagai penasihat. Dalam hal ini, penengah tersebut
telah disepakati kedua belah pihak yang berkonflik, namun keputusannya
tidak mengikat. Pihak ketiga dalam mediasi hanya dapat memberikan
saran dan masukan, tapi tidak bisa memaksakan keputusannya. pihak yang
melakukan mediasi disebut mediator.
Secara umum, mediator merupakan pihak ketiga yang secara netral
memediasi persoalan yang ada. Pihak ketiga tersebut tugasnya adalah
untuk penyelesaian masalah secara damai. Kedudukan mediator hanyalah
sebagai penasehat belaka. Ia tak mempunyai wewenang untuk memberi
keputusan-keputusan penyelesaian masalah tersebut (Soekanto,2000:85).
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016
BAB I pasal 1 yang dimaksud dengan mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para
pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator adalah Hakim atau pihak
lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang
membantu para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai
24
kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian. Persyaratan menjadi mediator
yaitu keberadaan mediator disetujui kedua belah pihak, tidak ada
hubungan sedarah, tidak memiliki hubungan kerja, tidak ada niat
berkepentingan finansial terhadap hasil mediasi, dan menjaga
independensi awal-akhir mediasi.
Setelah pihak berperkara mendaftarkan perkara cerainya ke
pengadilan, maka hakim pemeriksa perkara wajib menunda proses
persidangan untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh
mediasi (PERMA, 2016 pasal 20 ayat 7). Mediator dan para pihak
melakukan proses mediasi yang berlangsung paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi (PERMA,
2016 pasal 24 ayat 2).
2.2.2 Perceraian
Sosiologi memandang perceraian sebagai disorganisasi keluarga.
Perpecahan tersebut dimulai sebagai akibat dari anggota keluarga yang
gagal menjalankan fungsi-fungsi keluarga, terutama fungsi ketahanan.
Bentuk-bentuk disorganisasi keluarga antara lain :
a. Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar
perkawinan. Sebab sang ayah (biologis) gagal dalam mengisi
peranannya sebagai ayah maupun suami.
b. Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab
perceraian, perpisahan tempat tidur, dst.
25
c. Kurangnya saling berkomunikasi antar anggota keluarga. Goede
menamakannya sebagai empty shell family.
d. Krisis, kepala rumah tangga meninggalkan rumah tangga karena
meninggal dunia, dihukum penjara atau karena peperangan.
e. Faktor intern, seperti terganggu keseimbangan jiwa salah seorang
anggota keluarga (Soekanto,2000:412).
Pada UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, BAB VIII Pasal 39 ayat 1
dan 2 tentang putusnya perkawinan serta akibatnya menyebutkan :
1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
Menurut panitera PA, Nurul Huda, S.H., kasus perceraian dapat terjadi
karena banyak sebab. Maka alasan-alasan logis yang kuat yang
dikualifikasikan oleh pengadilan agama kota Malang terbagi ke dalam 13
penyebab, yakni :
1) Zina
2) Mabuk
3) Madat
4) Judi
Perceraian bisa terjadi apabila salah satu pihak terbukti melakukan
perzinahan, menjadi pemabuk, pemakai narkoba, atau penjudi yang
26
sangat sulit disembuhkan. Perzinahan yang dimaksud adalah sengaja
dan terbukti pergi ke tempat prostitusi atau berzina dengan orang lain.
5) Meninggalkan Salah Satu Pihak
Lihat dalam bacaan sighat ta’lik yang berbunyi “Kepada istri saya
tersebut, saya menyatakan sighat ta’lik sebagai berikut, apabila saya :
1. Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut
2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan
lamanya
3. Menyakiti badan atau jasmani istri saya
4. Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama
6(enam) bulan atau lebih,
......maka jatuhlah talak satu saya kepadanya.
Berdasarkan keterangan dari para narasumber, yang dimksud
meninggalkan salah satu pihak yaitu apabila dengan sengaja dan sadar
meninggalkan pasangan, selingkuh, dan poligami tidak sehat.
6) Dihukum Penjara.
Perceraian bisa disetujui apabila salah satu pihak terbukti mendapat
hukuman penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah pernikahan berlangsung. Dibuktikan dengan membawa surat
dari kejaksaan.
7) Poligami
Poligami yang dimaksud adalah poligami tidak sehat. Indikator
poligami tidak sehat yaitu ternyata sang istri tidak mengizinkan suami
berpoligami, istri tidak menderita cacat badan sehingga masih bisa
27
memberi keturunan, dan ternyata istri masih bisa menjalankan
kewajiban-kewajiban lainnya sebagai istri.
8) KDRT
Perceraian bisa disetujui apabila salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak lain. Ada
dua jenis, yakni kekerasan verbal dan fisik. Gugatan perceraian alasan
KDRT bisa dikabulkan dengan bukti visum dokter atau surat terbukti
menjadi korban KDRT.
9) Cacat Badan
Istri menderita cacat badan sehingga tidak bisa memberi keturunan
atau istri/suami mengalami kecelakaan sehingga kehilangan bagian
anggota tubuhnya dimana kondisi tersebut tidak bisa diterima
pasangan.
10) Pertengkaran dan Perselisihan Terus-menerus
Inilah dari sekian banyak alasan yang paling sering memicu
terjadinya perceraian. Pertengkaran dan perselisihan terus-menerus
menyangkut sebab lainnya seperti sebab ekonomi dan meninggalkan
salah satu pihak. Perceraian bisa disetujui apabila suami dan istri terus
menerus berselisih dan bertengkar dan mustahil dapat dirukunkan
kembali.
11) Kawin Paksa
28
Berdasarkan keterangan dari pak Abbas, ia menyatakan bahwa
pernikahan dini di kota Malang banyak disebabkan oleh kawin paksa
di usia yang sangat muda.
12) Murtad
13) Ekonomi.
Berdasarkan keterangan dari pak Solihin, beliau pernah mendapati
kasus dimana karena si suami tidak bisa memberi nafkah yang cukup
ke istri, akhirnya si istri dibiayai kebutuhan hidupnya oleh pria lain.
Sebaliknya, saking berlimpah harta si suami, ia menafkahi perempuan
lain.
Selain traumatik mendalam pasca bercerai, ada juga yang mengalami
pembaikan lahir dan batin pasca bercerai. Perceraian memiliki beberapa
dampak positif antara lain :
1. Melepaskan suami istri dari ancaman derita dan sengsara lahir batin.
Kekerasan dalam rumah tangga berbentuk dua, yakni kekerasan prikologis
dan biologis. Banyak pasangan menikah memilih salah satu dari kedua ini
apabila mendapatkan kekecewaan dari pasangan seperti melampiaskannya
dengan ucapan-ucapan kasar, kata-kata emosi, ujaran-ujaran kebencian,
bahkan tidak jarang melampiaskan kekecewaan tersebut pada pukulan
fisik. Maka, dengan bercerai, pihak yang dilukai bisa selamat dari
kekerasan tersebut.
29
2. Menghindarkan salah satu pasangan tersebut dari tindakan-tindakan
berbahaya karena tidak lagi dapat mewujudkan kehidupan bersama yang
dipenuhi oleh rasa toleransi, saling memaafkan, dan saling melengkapi.
3. Memberikan peluang untuk mendapat ganti yang lebih sesuai bagi masing-
masing (Thalib,1997:186-187).
2.2.3 Pengadilan Agama
Menurut pa-malangkota.go.id, berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Tugas pokok pengadilan agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.
1. Fungsi Pengadilan Agama
1. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya,
baik menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun
administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan
pembangunan.
2. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris,
Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah
jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya.
30
3. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang
hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta.
4. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan
(teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian,
keuangan, dan umum/perlengakapan).
5. Fungsi Lainnya :
a) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat
dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas
Islam dan lain-lain
b) Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan
sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi
masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi
peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan
Informasi di Pengadilan.
2.3 Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kemampuan seorang peneliti dalam
mengaplikasikan pola berpikirnya, kemudian menyusunnya secara
sistematis teori yang mendukung permasalahan penelitian. Berikut
adalah gambaran mengenai kerangka teori yang digunakan
peneliti:
31
Bagan 1.5 Kerangka Teori Dan Pustaka
Latency (L) menurut Parsons adalah bentuk pemeliharaan dari pola-pola yang
sudah ada, semestinya dapat berlaku pula pada setiap anggota keluarga yang wajib
memelihara fungsi-fungsi dalam keluarga dan memperbaiki motivasi
pemeliharaan tersebut, baik secara intern atau ekstern agar seluruh anggota
keluarga mampu menangani gejolak yang timbul dari dalam maupun luar
keluarga. Pemeliharaan yang dimaksud bukan sekedar menjaga, namun
mempertahankan, memperbaiki, dan melestarikan fungsi-fungsi keluarga.
Gugatan perceraian yang diajukan para pihak secara real menunjukkan bahwa
terjadi delegitimasi pemeliharaan fungsi-fungsi dalam keluarga.
Puspitawati (2012) menyebutkan salah satu aplikasi struktural fungsional
dalam keluarga yaitu aplikasi dalam aspek struktural, dimana ketertiban atau
disiplin terhadap aturan-aturan yang diterapkan di dalam keluarga berhasil apabila
seluruh anggota kelurga mengetahui perannya sebagai individu dan bagian dari
masyarakat. Maka akan tercipta social order dalam struktur masyarakat dimana ia
Latency
Delegitimasi
Fungsi-fungsi
Keluarga
Mediator :
1. Prinsip-Prinsip Mediasi
2. Model-model Mediasi
3. Tipologi Mediator
32
tinggal. karena bagaimanapun, setiap sistem sosial di masyarakat pasti memiliki
aturan dan harapan-harapan yang menuntut bagaimana individu berperilaku. ada
dua elemen yang bisa diterapkan dalam keluarga agar tercipta social order
tersebut. Pertama yaitu menegaskan status sosial yang melekat pada dirinya.
Seperti status ayah yang artinya ia lah yang dibebani mencari nafkah, status ibu
yang mengurusi rumah tangga, dan status anak-anak sebagai pelajar. Kedua,
menjalankan peran dan fungsi sosial, dilengkapi dengan bekal internalisasi norma
yang berlaku di masyarakat agar ia menjadi individu yang mampu menempatkan
diri dan berguna bagi masyarakat.
Masyarakat menganggap perceraian sebagai bentuk delegitimasi fungsi-fungsi
keluarga, yaitu ketidak absahan atau pembatalan fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-
fungsi yang dimaksud antara lain, fungsi afeksi, ekonomi, agama, edukasi,
pemeliharan, penentuan status/harga diri, dan proteksi. Satu atau dua fungsi atau
bahkan banyak yang gagal dijalankan. Oleh karena itu, mediator berusaha keras
memelihara pola-pola hubungan keluarga tersebut melalui jalan mediasi agar
perceraian dapat dibatalkan. Berdasarkan data awal, delegitimasi fungsi paling
banyak gagal adalah fungsi afeksi, pemeliharaan, dan ekonomi.
Menurut Prof. Syahrizal Abbas, pembahasan tentang meditor mencakup empat
bagian utama, yaitu prinsip-prinsip mediator bermediasi, peran yang
diimplementasikan mediator, model-model mediator, dan tipologi mediator.
David Spencer dan Michael merujuk pada pendapat Ruth Carlton
menerangkan beberapa pandangannya mengenai lima prinsip dasar mediasi antara
lain :
33
1) Confidentialy, yaitu kerahasiaan masalah yang di mediasi. Jaminan saling
menjaga rahasia untuk kepentingan masing-masing pihak sangatlah diperlukan
agar mereka dapat mengungkapkan masalah masing-masing secara luwes dan
terbuka. Mediator harus memusnahkan semua dokumen saat mediasi berjalan
hingga akhir, demi menjaga kenyamanan serta kerahasian perkara para pihak.
2) Volunteer, yaitu prinsip sukarela. Kesukrelaan pihak penggugat dan tergugat
datang ke kantor mediasi tanpa paksaan dari pihak manapun dan atas kemauan
mereka sendiri untuk ber i’tikad baik.
3) Empowerment, yaitu mediator menggali terus seputar kemauan dan
kemampuan para pihak untuk menyelesaikan perkara. Pihak yang dimediasi
sebenarnya mempunyai daya untuk menyelesaikan perkara mereka sendiri
dihadapan mediator untuk mendapatkan kesepakatan yang diinginkan.
4) Netralitas, yaitu seorang mediator tidak berhak memutuskan salah atau
benarnya salah satu pihak seperti hakim atau mendukung pendapat satu pihak
dan menjatuhkan pendapat pihak lain.
5) A unique solution, prinsip ini merupakan prinsip yang membutuhkan
kreatifitas mediator dalam mencari penyelesaian yang bervariasi.
Gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang ditampilkan
mediator. Pertama, ia berperan aktif dalam menjembatani sejumlah pertemuan
antar pihak. Desain pertemuan, memimpin dan mengendalikan pertemuan,
menjaga keseimbangan proses mediasi dan menuntut para pihak mencapai suatu
kesepakatan merupakan peran utama yang harus dimainkan oleh mediator.
Kedua, mediator menjadi katalisator yang mendorong lahirnya diskusi-diskusi
konstruktif dimana para pihak terlibat aktif dalam membicarakan akar
34
persengketaan. Ketiga, mediator mediator para pihak dalam pertukaran informasi
dan proses tawar menawar dalam rangka memperoleh sejumlah kesepakatan.
Keempat, mediator harus membangun interaksi dan komunikasi positif, sehingga
ia mampu menyelami kepentingan para pihak dan berusaha menawarkan alternatif
dalam pemenuhan kepentingan tersebut. Peran kelima yaitu mediator mulai
membangun komunikasi dua arah antara para pihak dan dirinya. Mediator
berperan juga mendampingi, mengarahkan pembicaran agar tidak keluar konteks
masalah satu ke masalah lain. Peran keenam ialah mediator berperan sebagai
penjaga stabilitas diskusi, sehingga dalam pertemuan tersebut tidak terjadi debat
yang dapat menggagalkan proses mediasi. Keahlian ini diperoleh melalui
sejumlah pendidikan, pelatihan, dan sejumlah pengalaman dalam menyelesaikan
konflik atau sengketa (Abbas,2011:77-80).
Lawrence Boulle, seorang profesor dalam ilmu hukum dan Direktur Dispute
Resolution Centre-Bond University, menyebutkan model-model mediasi. Model
pertama disebut facilitative mediation, yaitu model penyelesaian yang dilakukan
oleh mediator dengan tujuan kedua pihak saling menguntungkan. Jadi perlu
menekankan pada kebutuhan dan alternatif yang kreatif dalam memediasi perkara
tersebut. Model mediasi kedua yaitu transformative mediation yaitu mediasi
terapis atau rekonsiliasi. Mediasi ini lebih menekankan pada pencarian sebab yang
mendasari persoalan diantara kedua pihak. Tujuannya adalah untuk mencari
resolusi konflik yang didapat dari pengakuan diri dari masing-masing pihak.
Model mediasi ketiga yaitu evaluative mediation, sering juga dikenal sebagai
mediasi normatif. Mediator yang menerapkan model ini adalah para mediator
yang pernah berhadapan dengan kasus serupa. Penyelesaiannya pun terkait
35
dengan hak (right) maka mediator harus ahli dalam persoalan yang dimediasi. Ia
harus terkualifikasi secara legal. Model keempat yaitu settlement mediation,
dimana para mediator meggunakan teknik bottom lines untuk menyamaratakn
kedudukan para pihak sampai ke titik kompromi dan ego terendah mereka
(Abbas,2011: 33-35).
Terakhir, bahasan mengenai mediator yakni tipologi mediator. Terdapat tiga
jenis, yaitu otoritatif, social network, dan independen. Mediator Otoritatif lebih
banyak mengajukan pertanyaan seputar persoalan kepada para pihak daripada
mendengarkan cerita dari para pihak. Para pihak terlihat pasif karena para pihak
lebih banyak bergantung pada pertanyaan mediator. Tipologi ini berpeluang untuk
gagalnya mediasi karena para pihak sedikit aktif bicara dan sedikit merumuskan
solusi. Kedua, yaitu mediator social network yaitu tipe mediator yang memiliki
jaringan pertemanan yang luas untuk membantun dan mendukung kegiatannya
menyelesaikan sengketa. Tak jarang juga mediator tipe ini memiliki hubungan
erat dengan organisasi di masyarakat (Abbas,2011:74-77). Tipe ketiga yaitu
mediator independen. Mediator independen merupakan mediator yang tidak
memiliki keterkaitan dengan pihak ataupun organisasi manapun. Umumnya
berasal dari tokoh masyarakat, tokoh adat, atau ulama yang mempunyai
kemampuan melakukan mediasi (Abbas, 2011: 74-77).