bab ii kajian pustaka -...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka merupakan landasan dalam merencanakan dan
melaksanakan perbaikan pembelajaran yang menyajikan berupa teori atau konsep
menjadi rujukan dalam membahas hasil penelitian yang terkait dengan masalah
yang dirumuskan, dalam hal ini berupa modul dan buku-buku ilmiah, sebagai
berikut:
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Hasil Belajar
Menurut Hamalik (2002: 146) mengemukakan: “Hasil belajar itu sendiri
dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi
pelajaran di sekolah, yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari
hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu”. Ada dua faktor yang
mempengaruhi hasil belajar yang diperoleh oleh siswa yakni faktor dari dalam diri
siswaitu dan faktor datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Faktor
kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai.
Hasil belajar siswa 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi
oleh lingkungan. Disamping faktor kemampuan yang dimiliki siswa juga ada
faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan
belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis (Susianha, 2009).
Menurut Dimyati (2002: 3), “Hasil belajar merupakan hasil dari suatu
interaksi tindak belajar dan tindak mengajar”. Dari sisi guru, tindak mengajar
diakhiri dengan proses evaluasi belajar yang merupakan tindak lanjut atau cara
yang dilakukan untuk mengukur tingkat penguasaan siswa dalam proses
pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga dengan evaluasi pendidik juga dapat
mengukur tentang perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan
proses belajar mengajar yang sesuai tujuan pengajaran. Dari sisi siswa, hasil
belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila
dibandingkan pada saat sebelum belajar.
9
Davis (1987) berpendapat hasil belajar adalah kemampuan yang berupa
pengetahuan, pemahaman dan kemampuan siswa dalam kurun waktu tertentu
yang memprediksikan performance dan kompetensi siswa dalam materi peelajaran
yang dipelajari siswa pada akhir pembelajaran dalam kurun waktu meliputi satu
kurun waktu satu bulan, catur wulan, semester atau satu tahun, berdasarkan tes
prestasi belajar yang ditetapkan sekolah. Prestasi belajar dapat diartikan sebagai
hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam
jangka waktu tertentu. Hasil belajar juga diartikan sebagai kemampuan maksimal
yang dicapai seseorang dalam suatu usaha yang menghasilkan pengetahuan atau
nilai- nilai kecakapan. Nurkancana dan Sunartana (1992) mengatakan hasil belajar
bisa juga disebut kecakapan aktual (actual ability) yang diperoleh seseorang
setelah belajar, suatu kecakapan potensial (potensial ability) yaitu kemampuan
dasar yang berupa disposisi yang dimiliki oleh individu untuk mencapai prestasi.
Kecakapan aktual dan kecakapan potensial ini dapat dimasukkan kedalam suatu
istilah yang lebih umum yaitu kemampuan (ability).
Dari beberapa pengertian hasil belajar diatas dapat disimpulkan bahwa Hasil
belajar adalah kemampuan maksimal yang dimiliki siswa setelah menerima
pengalaman belajarnya, dan sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Hasil belajar digunakan guru sebagai ukuran dalam mencapai suatu tujuan
pendidikan. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh dari aktivitas pengukuran.
Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud dengan pengukuran (Measurement)
adalah suatu proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris untuk
mengumpulkan informasi yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Jadi
pengukuran memiliki arti suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara
membandingkan sesuatu dengan satuan ukuran tertentu sehingga data yang
dihasilkan adalah data kuantitatif atau data angka. Untuk menetapkan angka
dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam
dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan
siswa seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket.
10
Dari pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk mengukur hasil
belajar peserta didik digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Teknik yang dapat
digunakan untuk mengukur hasil belajar ada 2 yaitu tes dan non tes.
1. Tes
Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang
harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugas-
tugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu
aspek tertentu dari peserta tes. Dalam kaitan dengan pembelajaran aspek tersebut
adalah indikator pencapaian kompetensi. Menurut Ebster’s Collegiate (dalam
Arikunto, 1995), tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang
digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan
atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Menurut Endang
Poerwanti, dkk (2008:1-5), tes adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan
atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur
tingkat pemahaman dan penugasannya terhadap cakupan materi yang
dipersyaratkan dan sesuai dengan tujuan pengajaran tertentu. Tes adalah
seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh
informasi tentang trait atau sifat atau atribut pendidikan yang setiap butir
pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar
(Suryanto Adi, dkk, 2009).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tes adalah
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa dengan kriteria-kriteria
yang telah di tentukan. Bentuk dan jenis tes bermacam-macam misalnya:
1. Jenis tes berdasarkan bentuk jawaban
a. Tes esai
tes yang menuntut siswa mengemukakan gagasan-gagasan tentang
materi yang telah dipelajari dalam bentuk tulisan
b. Tes jawaban pendek
Tes dimana peserta didik diminta menuangkan jawabannya dalam
bentuk rangkaian kata-kata pendek, kata-kata lepas, maupun angka-
angka.
11
c. Tes obyektif
Tes dimana keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menjawab
soal telah tersedia.
2. Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan
a. Tes Lisan
Pada tes lisan baik pertanyaan maupun jawaban dalam bentuk lisan.
Sehingga tidak memiliki soal maupun jawaban yang baku.
b. Tes Tertulis
Pada tes tertulis baik pertanyaan maupun jawaban dalam bentuk tulisan
2. Non Tes
Teknik non tes sangat penting dalam mengakses siswa pada ranah afektif
dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek
kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes, yaitu:
1. Wawancara
Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang
diberikan secara lisan dan sepontan, tentang wawasan, pandangan atau
aspek kepribadian siswa.
2. Observasi
Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar, dapat
dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan instrumen
yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan
belajar siswa, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh
pendidik tanpa menggunakan instrumen.
3. Task Analisis (Analisis Tugas)
Dipergunakan untuk menentukan komponen utama dari suatu tugas dan
penyusun skills dengan urutan yang sesuai dan hasil berupa daftar
komponen tugas dan daftar skills yang diperlukan.
4. Komposisi dan Presentasi
Siswa menulis dan menyajikan karyanya
5. Proyek Individu dan Kelompok
12
Mengintregrasikan pengetahuan dan ketrampilan serta dapat digunakan
untuk individu maupun kelompok.
Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran
dinamakan dengan alat ukur atau instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas
instrumen butir-butir soal apabila cara pengukuran dilakukan dengan
menggunakan tes, dan apabila pengukurannya dengan cara mengamati atau
mengobservasi akan menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi,
pengukuran dengan teknik skala sikap dapat menggunakan instrumen butir-butir
pernyataan. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian
tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki siswa harus valid,
maksudnya adalah instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur. Maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor tes, diskusi,
kerja lapangan dan presentasi.
Dalam membuat alat ukur yang akan dipergunakan haruslah membuat kisi-
kisi. Kisi-kisi (test blu-printatau table of specification) adalah format atau matriks
pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik atau
pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang kemampuan
tertentu.penyusunan kisi-kisi ini digunakan untuk pedoman menyusun atau
menulis soal menjadi perangkat tes. Dalam menyusun atau menulis kisi-kisi soal
menurut Wardani Naniek Sulistya dkk, (2010, 3.5-3.6) menjelaskan bahwa
Indikator perilaku dalam kisi-kisi merupakan pedoman untuk merumuskan soal
yang dikehendaki. Untuk merumuskan indikator dengan tepat, guru harus
memperhatikan materi yang akan diujikan, indikator pembelajaran, kompetensi
dasar, dan stsndar kompetensi. Indikator yang baik dirumuskan secara singgkat
dan jelas. Dalam hubungan ini kita mengenal ranah kognitif yang dikembangkan
oleh Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan yang kemudian direvisi oleh
Krathwoll (2001) revisi Kratwoll terhadap tingkatan dalam ranah kognitif adalah
ingatan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan
kreasi (C6).
13
2.1.2 Pembelajaran Matematika SD
Istilah “matematika“ berasal dari bahasa Yunani, “matheirl“ atau
“mantheneirl” yang berarti mempelajari. Kata matematika diduga erat
hubungannya dengan kata sansekerta “Medha” atau “Widya” yang berarti
kepandaian, ketahuan atau intelegensia. Menurut Herman Hudojo (1992:2)
menyatakan bahwa matematika merupakan ide abstrak yang diberi simbol-simbol
yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif,sehingga belajar
matematika itu merupakan kegiatan mental yang tinggi.
Jerome S. Bruner dalam teorinya (dalam Suherman E., 2003;43)
menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses
pengajarannya diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang
termuat dalam materi yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara
konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang
tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memehami materi
yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai
suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
Dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi
benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu anak akan
melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam
benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak
dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada anak. Ada dua
bagian yang penting dari teori Bruner (dalam Suwarsono, 2002;25) yaitu :
1. Tahap-tahap dalam proses belajar
Jika seseorang mempelajari suatu pengetahuan (Misalnya mempelajari suatu
konsep matematika), pengetahuan itu perlu dipelajari dalam tehap-tahap
tertentu, agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur
kognitif) orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-
sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan
yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap, yang macamnya dan urutannya
adalah sebagai berikut (dalam Suwarsono,2002;26) :
14
1. Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di
mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan
benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata.
2. Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di
mana pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk
bayangan visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang
menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat
pada tahap enaktif tersebut di atas.
3. Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan
itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract
symbols yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan
kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik
simbol-simbol verbal (Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-
kalimat) lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang
abstrak lainnya.
2. Teorema-teorema tentang cara belajar dan mengajar Matematika
Teorema-Teorema Tentang Cara Belajar Dan Mengajar Matematika
Menurut Bruner ada empat prinsip prinsip tentang cara belajar dan mengajar
matematika yang disebut teorema. Keempat teorema tersebut adalah teorema
penyusunan (Construction theorem), teorema notasi (Notation
theorem), teorema kekontrasan dan keanekaragaman (Contras and variation
theorem), teorema pengaitan (Connectivity theorem) (dalam Suherman
E., 2003;44-47).
a. Teorema penyusunan (Construction theorem)
Teorema ini menyatakan bahwa bagi anak cara yang paling baik untuk
belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan
penyusunan representasinya. Pada permulaan belajar konsep pengertian
akan menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menujukkan representasi
konsep itu dilakukan oleh siswa sendiri. Dalam proses perumusan dan
penyusunan ide-ide, apabila anak disertai dengan bantuan benda-benda
konkrit mereka lebih mudah mengingat ide-ide tersebut. Dengan demikian,
15
anak lebih mudah menerapkan ide dalam situasi nyata secara tepat. Dalam
hal ini ingatan diperoleh bukan karena penguatan, akan tetapi pengertian
yang menyebabkan ingatan itu dapat dicapai. Sedangkan pengertian itu
dapat dicapai karena anak memanipulasi benda-benda konkrit. Oleh karena
itu pada permulaan belajar, pengertian itu dapat dicapai oleh anak
bergantung pada aktivitas-aktivitas yang menggunakan benda-benda
konkrit.
b. Teorema Notasi
Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep,
notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam
menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif siswa. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus
misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan
mudah dimengerti. Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya
berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Urutan
penggunaan notasi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif
anak.
c. Teorema pengkontrasan dan keanekaragaman
Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam mengubah dari
representasi konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep
dalam matematika, dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan
keanekaragaman. Artinya agar suatu konsep yang akan dikenalkan pada
anak mudah dimengerti, konsep tersebut disajikan dengan mengontraskan
dengan konsep-konsep lainnya dan konsep tersebut disajikan dengan
beranekaragam contoh. Dengan demikian anak dapat memahami dengan
mudah karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Untuk menyampaikan
suatu konsep dengan cara mengontraskan dapat dilakukan dengan
menerangkan contoh dan bukan contoh. Sebagai contoh untuk
menyampaikan konsep bilangan ganjil pada anak diberikan padanya
bermacam-macam bilangan, seperti bilangan ganjil, bilangan genap,
bilangan prima, dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil. Kemudian
16
siswa diminta untuk menunjukkan bilangan-bilangan yang termasuk contoh
bilangan ganjil dan contoh bukan bilangan ganjil.
d. Teorema pengaitan (Konektivitas)
Teorema ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep
dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi,
namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu
mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu
diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya konsep
dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pythagoras atau
pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri. Guru harus dapat
menjelaskan kaitan-kaitan tersebut pada siswa. Hal ini penting agar siswa
dalam belajar matematika lebih berhasil. Dengan melihat kaitan-kaitan itu
diharapkan siswa tidak beranggapan bahwa cabang-cabang dalam
matematika itu sendiri berdiri sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu sama
lainnya.
Perlu dijelaskan bahwa keempat teorema tersebut di atas tidak
dimaksudkan untuk diterapkan satu persatu dengan urutan seperti di atas.
Dalam penerapannya, dua teorema atau lebih dapat diterapkan secara
bersamaan dalam proses pembelajaran suatu materi matematika tertentu.
Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik
matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar.
Mulyono Abdurahman (2003:252) menyatakan bahwa matematika adalah
suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi
oleh manusia,suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan
tentang bentuk dan ukuran, menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan
tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri
manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut maka dapat diambil
kesimpulan bahwa matematika merupakan suatu ilmu yang tersusun secara
deduktif yang menyatakan hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang diatur
menurut aturan yang logis, sistematis dan dilambangkan dengan simbol-simbol
17
dimana simbol-simbol tersebut merupakan bahasa yang bebas dari emosi.
Matematika digunakan sebagai wahana yang dapat membentuk dan
mengembangkan cara berfikir yang logis, sistematis, kreatif dan cermat karena
matematika mempunyai karakter yang menuntut manusia yang mempelajarinya
untuk berfikir logis, sistematis, kreatif, kritis dan membutuhkan kecermatan yang
tinggi. Selain itu, matematika merupakan ilmu yang mendasari untuk mempelajari
ilmu lainnya, seperti fisika, biologi, hukum, akuntasi, ekonomi, elektro, kimia,
komputer dan lainnya. Begitu pentingnya matematika dalam kehidupan manusia
dan sebagai salah satu penentu pengusaan ilmu dan bidang lainnya sehingga
matematika digunakan dan ditetapkan menjadi salah satu mata pelajaran yang
wajib diberikan di dunia pendidikan.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional BAB I mendefinisikan “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.” Dalam
kelas, penciptaan situasi tersebut dilakukan oleh warga kelas yang dikendalikan
dan didesain sepenuhnya oleh guru. Tentu saja dalam proses penciptaan
pengendalian kondisi tersebut guru menggunakan suatu pendekatan pembelajaran
tertentu. Udin S Winataputra dan Tita Rosita (1995 : 124) mendefinisikan
“pendekatan pembelajaran sebagai jalan yang digunakan oleh guru atau
pembelajar untuk menciptakan suasana yang memungkinkan siswa belajar.”
Merujuk pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu
pembelajaran di kelas pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai jalan yang
ditempuh guru atau siswa untuk menciptakan suasana kelas yang memungkinkan
siswa untuk belajar. Oleh karenanya, peran guru sangat penting dalam
pembelajaran di kelas, tugas guru adalah mendesain termasuk memilih
pendekatan pembelajaran yang sesuai dan mengendalikan pembelajaran sesuai
dengan pendekatan yang dipilih sehingga tercipta suasana kelas dimana siswa
terkondisi untuk belajar.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka desain dari pendekatan pembelajaran
Matematika harus berorientasi pada upaya bagi siswa untuk : (a) membangun
sikap dan persepsi positif terhadap belajar dan terhadap matematika sebagai objek
18
belajar, (b) memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan matematika, (c)
memperluas dan memperbaiki pengetahuan matematika yang dimiliki, (d) mampu
menggunakan pengetahuan matematika yang dimiliki baik dalam belajar
matematika, ilmu-ilmu lain, maupun dalam kehidupan sehari-hari, dan (e)
membangun kebiasaan berfikir produktif.
Desain pendekatan pembelajaran harus mengacu pada objek atau materi
pembelajarannya. Matematika di SD merupakan pelajaran di sekolah yang
memuat sebagai pelajaran, Demuth dalam Herman Majer (1985 : 8-9)
mengemukakan empat konsepsi :
1) matematika berorientasi formalitas.
2) matematika berorientasi pada dunia di sekelilingnya.
3) heuristik yaitu sistem pelajarannya dilatih untuk menemukan sesuatu secara
mandiri dalam pelajaran matematika.
4) matematika sebagai perkakas.
Sejalan dengan pendapat tersebut maka belajar matematika dapat dipandang
sebagai proses mengkonstruksi konsep-konsep matematika dan strategi
penyelesaian masalah.
Merujuk pendapat Freudenthal, Gravvenmeijer (1994) dalam Yansen
Marpaung (2006 : 5-6), bahwa belajar matematika harus dipandang sebagai suatu
proses untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika dan strategi
penyelesaian suatu masalah. Proses tersebut disebut Matematisasi yang dibedakan
menjadi dua, yaitu matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal.
Matematisasi horisontal sebagai proses yang bertolak dari kehidupan nyata ke
dunia simbol sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses membawa hal-
hal matematis ke dalam jenjang yang lebih tinggi.
Dalam peraturan menteri pendidikan nasional tentang standar isi untuk
satuan pendidikan dasar dan menengah menetapkan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi
pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk
penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu
memperhatikan Standar proses dan Standar Penilaian. Adapun standar kompetensi
19
dan kompetensi dasar mata pelajaran Matematika di SD kelas IV semester 2 yaitu
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1
Standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Matematika
untuk SD kelas IV semester 2
2.1.3 Pembelajaran Matematika Realistik
Pembelajaran Matematika Realistik ini merupakan sebuah pendekatan
mengajar matematika hasil terjemahan dari realistic mathematics education yang
dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari
freudenthal institute, Utrecht university di negara Belanda. Pendekatan ini
didasarkan gagasan yang dikembangkan oleh Hans Freudenthal (1905 - 1990),
yang berpendapat bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan
merupakan aktivitas manusia.
Kelas Semester Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
IV
2
5. Menjumlahkan dan
mengurangkan
bilangan bulat
6. Menggunakan
pecahan dalam
pemecahan masalah
7. Menggunakan
lambang bilangan
Romawi
Geometri dan
Pengukuran
8. Memahami sifat
bangun ruang
sederhana dan
hubungan antar
bangun datar
5.1 Mengurutkan bilangan bulat
5.2 Menjumlahkan bilangan bulat
5.3 Mengurangkan bilangan bulat
5.4 Melakukan operasi hitung
campuran
6.1 Menjelas-kan arti pecahan dan
urutannya
6.2 Menyederhanakan berbagai bentuk
pecahan
6.3 Menjumlahkan pecahan
6.4 Mengurangkan pecahan
6.5 Menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan pecahan
7.1 Mengenal lambang bilangan
Romawi
7.2 Menyatakan bilangan cacah
sebagai bilangan Romawi dan
sebaliknya
8.1 Menentukan sifat-sifat bangun
ruang sederhana
8.2 Menentukan jaring-jaring balok
dan kubus
8.3 Mengidentifikasi benda-benda dan
bangun datar simetris
8.4 Menentukan hasil pencerminan
suatu bangun datar
20
Dalam pembelajaran dengan pendekatan RME, siswa menemukan sendiri
konsep-konsep dalam matematika dengan cara mereka sendiri. Konsep ini
diharapkan muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang
berkait dengan konteks. Penggunaan soal-soal kontekstual yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari diharapkan membantu terwujudnya proses pembelajaran
yang bermakna bagi siswa. Treffers dalam http://www.fi.uu.nl menformulasikan
dua tipe matematisasi, yaitu matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal.
Di luar Belanda, RME dikenal sebagai “pendidikan matematika dunia
nyata” (real-world mathematics education). Kebingungan ini ditimbulkan oleh
istilah “realistic” yang dikandung dalam RME. Padahal penggunaan istilah
“realistic” bukan hanya dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan matematika
dengan dunia nyata, melainkan juga terkait dengan penekanan RME untuk
menyajikan masalah-masalah yang dapat dibayangkan siswa dalam pembelajaran.
Bahasa Belanda untuk kata kerja “to imagine” (membayangkan) adalah “zich
realiseren”. Artinya, masalah-masalah yang disajikan kepada siswa dalam
pembelajaran tidak harus berupa konteks-konteks dunia nyata. Dunia fantasi atau
imajinasi, bahkan dunia matematika formal, termasuk dalam konteks yang dapat
digunakan dalam pembelajaran dengan RME, asalkan substansi-substansi tersebut
nyata dalam benak siswa atau dapat dibayangkan oleh siswa (http://www.fi.uu.nl).
Dalam RME, siswa difasilitasi dan didorong untuk melakukan aktivitas-
aktivitas matematik, sehingga siswa secara perlahan mengembangkan
pemahamannya sendiri ke tingkat yang lebih formal (http://www.fi.uu.nl).
Perbandingan Pendekatan Matematika Realistik dengan Pendekatan
Tradisional
Dalam pendekatan pendidikan matematika tradisional, masalah disajikan
secara gamblang dan terurai. Masalah kontekstual kebanyakan digunakan untuk
menarik kesimpulan dalam proses pembelajaran. Masalah kontekstual hanya
berfungsi sebagai sarana mengaplikasikan teori-teori yang telah dipelajari
sebelumnya Sedangkan dalam pendekatan matematika realistik, masalah
kontekstual juga berfungsi sebagai sumber proses pembelajaran. Masalah
21
kontekstual dan situasi hidup sehari-hari digunakan untuk merumuskan dan
mengaplikasikan konsep matematis (http://www.fi.uu.nl).
Berbeda dengan pendekatan tradisional, pendekatan matematika realistik
menolak cara mengajar yang berfokus pada prosedur dan mekanisme. Dalam
pengajaran tradisional, materi pembelajaran terpisah ke dalam bagian-bagian kecil
yang tidak bermakna. Selain itu, siswa dijejali dengan prosedur baku, yang harus
digunakan dalam tugas-tugas yang diberikan guru, termasuk dalam tugas individu.
Sebaliknya, pendekatan matematika realistik memiliki konseptualisasi belajar
yang lebih kompleks dan bermakna. Siswa, bukan sebagai penerima bahan jadi,
berperan aktif dalam proses belajar mengajar dimana siswa mengembangkan
pemahaman matematisnya (http://www.fi.uu.nl).
Teori yang diusung oleh PMR sejalan dengan teori yang berkembang saat
ini, antara lain konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning, disingkat CTL). Pendekatan konstruktivis maupun CTL
mewakili teori belajar secara umum, sedangkan PMR adalah teori pembelajaran
yang dikembangkan khusus untuk matematika (Sutarto Hadi, 2006). Akibatnya
PMR memiliki karakteristik yang serupa dengan kedua pendekatan tersebut.
Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan diciptakan
atau ditemukan secara aktif oleh siswa, bukan diterima secara pasif dari
lingkungan. Pernyataan ini didukung oleh teori Piaget yang menyatakan bahwa
gagasan-gagasan dalam matematika dibuat oleh siswa, bukan ditemukan atau
diterima dari orang lain. Gagasan-gagasan tersebut dikonstruksikan saat siswa
menggabungkannya dengan struktur pengetahuan yang telah dimilikinya.
Menurut konstruktivisme, belajar adalah proses sosial dimana siswa
berkembang menuju kehidupan intelektual bersama dengan lingkungan
sekitarnya. Gagasan matematika secara kooperatif dibangun oleh anggota
kebudayaan tertentu. Dalam hal ini, kelas konstruktivis tidak hanya dipandang
sebagai kebudayaan dimana siswa melibatkan diri dalam berbagai penemuan,
melainkan juga berperan sebagai setting komunikasi sosial yang melibatkan
penjelasan, egosiasi, dan proses berbagi (Riedesel et. al., 1996: 64).
22
Kemampuan otak untuk menemukan makna dengan membuat hubungan-
hubungan menjelaskan mengapa siswa yang didorong untuk menghubungkan
tugas sekolah dengan kenyataan saat ini, dengan situasi pribadi, sosial, dan
budaya, serta konteks kehidupan keseharian mereka, akan mampu memasangkan
makna pada materi akademik mereka sehingga mereka dapat mengingat apa yang
mereka pelajari. Jika kehilangan makna, otak mereka akan membuang materi
akademik yang telah mereka terima (Johnson, 2007: 64) CTL adalah suatu
pendekatan pendidikan yang bertujuan menolong siswa melihat makna di dalam
materi akademik yang dipelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek
akademik dengan konteks dalam hidup sehari-hari. CTL adalah sistem yang
menyeluruh, yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Johnson
(2007: 65) menyebutkan delapan komponen dalam CTL, yaitu:
1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
2) Melakukan pekerjaan yang berarti
3) Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri
4) Bekerjasama
5) Berpikir kritis dan kreatif
6) Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
7) Mencapai standar yang tinggi
8) Menggunakan penilaian autentik
Merujuk pada pendapat di atas, guru sebaiknya tidak menolak konsep
spontan siswa, melainkan membantu agar konsep itu diintegrasikan dengan
konsep ilmiah. Konsep dan pengetahuan seseorang akan terus berkembang,
sehingga setiap saat seseorang akan mempunyai pemahaman baru akan suatu hal.
Dapat dikatakan bahwa pemahaman seorang siswa tidaklah salah, melainkan
terbatas.
Prinsip dan Karakteristik PMR
PMR, sebagai adopsi RME yang dikembangkan di Indonesia, tidak
digunakan secara persis sama dengan RME yang dikembangkan di Belanda.
Berbagai unsur lokal, terutama dalam hal konteks bahasa, sosial, dan budaya,
merupakan unsur yang sedikit membedakan PMR dengan RME (Sugiman, 2004).
23
Perbedaan unsur lokal tersebut berpengaruh pada konteks permasalahan yang
disodorkan dan digali oleh siswa. Namun secara filosofis, PMR memiliki prinsip-
prinsip RME dan memenuhi karakteristik RME.
Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu:
1) Penemuan terbimbing dan bermatematika secara progresif
Prinsip penemuan terbimbing berarti siswa diberi kesempatan untuk
mengalami proses pembelajaran yang sama dengan proses yang dilalui oleh
para pakar matematika ketika menemukan konsep-konsep matematika. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses
pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan atau membangun sendiri
pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali dapat diupayakan
melalui pemberian masalah nyata atau masalah kontekstual yang mempunyai
beberapa cara penyelesaian. Kegiatan berikutnya adalah matematisasi prosedur
penyelesaian yang sama dan perancangan rute belajar sehingga siswa
menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya.
2) Fenomena didaktik
Prinsip ini berarti bahwa dalam pembelajaran diberikan topik-topik
matematika yang berasal dari fenomena sehari-hari, yang dipilih berdasarkan
dua pertimbangan, yaitu: aplikasi dan kontribusi untuk perkembangan
matematika lanjut. Hal ini merupakan kebalikan dari pembelajaran matematika
pada umumnya, dimana guru berusaha memberitahu cara menyelesaikan
masalah dengan runtut, sehingga siswa dapat langsung mengggunakan
pengetahuan siap pakai tersebut untuk menyelesaikan masalah. Biasanya guru
menyajikan suatu konsep, memberikan contoh dan non contoh, kemudian
siswa diminta untuk mengerjakan soal.
3) Model yang dikembangkan sendiri
Prinsip ini mengandung makna bahwa saat siswa menyelesaikan masalah
nyata, siswa mengembangkan model sendiri sebagai jembatan antara
pengetahuan informal dengan pengetahuan formal. Urutan pembelajaran yang
diharapkan terjadi dalam PMR adalah: penyajian masalah nyata, membuat
model masalah, model formal dari masalah, dan pengetahuan formal. Dengan
24
demikian, sangat dimungkinkan terjadi variasi model, yang diharapkan akan
dipahami siswa dalam bentuk pengetahuan matematika formal.
Menurut Gravemeijer (1994: 114 – 115), RME memiliki beberapa
karakteristik sebagai berikut:
1) Penggunaan konteks nyata untuk dieksplorasi
Pembelajaran matematika dengan PMR diawali dari sesuatu yang nyata
atau sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa. Melalui abstraksi dan
formalisasi, siswa akan mengembangkan konsep yang lebih lengkap dari
konteks real yang dihadapi. Kemudian siswa mengaplikasikan konsep
matematika tersebut ke dunia nyata, sehingga pemahaman siswa terhadap
konsep tersebut menjadi lebih kuat (Putu Suharta, 2002). Penggunaan konteks
nyata tersebut diwujudkan dalam soal kontekstual.
2) Digunakannya instrumen vertikal atau model
Model yang dimaksud dalam pembelajaran matematika dengan RME
berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh
siswa sendiri. Peran pengembangan model adalah untuk menjembatani situasi
nyata dengan situasi abstrak yang ada dalam dunia pemahaman siswa.
Ada beberapa tahap pemodelan, yaitu: situasional, model-of, model-for,
dan pengetahuan formal. Pada awalnya, situasi dihubungkan dengan aktivitas
nyata. Siswa dapat membayangkan pengalaman yang telah dimiliki, strategi,
dan penerapannya ke dalam situasi. Kemudian siswa menggeneralisasi dan
melakukan formalisasi model menjadi model-of, yaitu ungkapan tertulis.
Kemudian siswa bekerja dengan bilangan menggunakan penalaran matematis
tanpa membayangkan situasi konkretnya. Pada tahap ini, model-of berubah
menjadi model-for, yang pada akhirnya berkembang menjadi pengetahuan
formal (Gravemeijer, 1994: 100– 101).
3) Digunakannya produksi dan konstruksi oleh siswa
Dalam RME ditekankan adanya penggunaan produksi bebas, dimana
siswa didorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang dianggap penting
dalam proses pembelajaran. Strategi informal siswa, berupa prosedur
pemecahan masalah kontekstual, merupakan sumber inspirasi dalam
25
pengembangan pembelajaran lanjut, yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan
matematika formal (Putu Suharta, 2002).
4) Adanya interaktivitas
Proses interaksi antara siswa dengan guru maupun antar siswa
merupakan hal yang mendasar dalam RME. Bentuk-bentuk interaksi yang
berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, ketidak setujuan,
pertanyaan atau refleksi, digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-
bentuk informal yang diperoleh siswa. Pembelajaran matematika menggunakan
RME merupakan suatu aktivitas social, dimana di dalamnya siswa diberi
kesempatan untuk berbagi strategi dan penemuan. Dengan mendengarkan
penemuan teman dan mendiskusikannya, siswa mendapat ide untuk
memperbaiki strategi mereka (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000).
5) Adanya keterkaitan antara beberapa bagian dari materi pembelajaran.
Matematika terdiri dari unit-unit yang saling berkaitan. Jika dalam
matematika, hubungan atau keterkaitan dengan bidang lain tersebut diabaikan,
maka akan berpengaruh terhadap pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan
matematika, diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks. Artinya, bukan
hanya unsur-unsur matematika yang dibutuhkan dalam aplikasinya, melainkan
juga pengetahuan-pengetahuan dalam bidang lain.
Freudenthal dalam Sutarto Hadi (2005 : 8) menyatakan konsep matematika
muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian suatu masalah
yang terkait dengan konteks (context-link solution) atau mematematikakan dunia
nyata, maka secara perlahan siswa mengembangkan alat dan pemahaman
matematika ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari
aktivitas matematika siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas,
sehingga mengarah pada level berfikir matematika ke tingkat yang lebih tinggi.
Mengacu pada pendapat Freudenthal, Akbar Sutawijaya (2001) menyatakan
pendekatan matematika realistik menuntun siswa untuk berfikir menggunakan
pengalamannya mulai dari objek nyata (konkrit) yang bersifat kontekstual bagi
siswa melalui skema atau model ke arah yang abstrak, dengan kata lain, dari
masalah yang bersifat informal ke matematika yang bersifat formal.
26
Pembelajaran menggunakan pendekatan matematika realistik sesuai dengan
teori perkembangan kognitif anak Jean Piaget yang demikian tahap pertama,
yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun) pada tahap ini anak menggunakan
penginderaan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya. Pada tahap
kedua tahap pra-operasional (2-7 tahun) pada tahap ini anak belajar mengenal
lingkungan dengan menggunakan simbol bahasa, peniruan dan permainan. Tahap
yang ketiga yaitu, tahap konkret operasional (7-11) pada tahap ini anak sudah bisa
melakukan berbagai macam tugas mengkonversi angka melalui tiga macam
proses operasi. Tahap terakhir yaitu tahap formal operasional (11-dewasa) pada
fase ini anak sudah dapat berfikir abstrak, hipotesis, dan sistematis mengenai
sesuatu yang abstrak.
Berdasarkan teori perkembangan kognitif tersebut, diyakini pada usia 7
sampai dengan 11 tahun anak berada pada tahap operasi konkrit. Maka pada tahap
operasional konkrit anak akan lebih mudah memahami sesuatu melalui benda-
benda nyata yang dapat ditangkap oleh panca indra dalam mempelajari sesuatu.
Reewjik dalam Yansen Marpaung (2006 : 5) menyatakan secara singkat
prinsip Pendidikan Matematika Realistik (PMR) sebagai berikut: ”(a) Dunia
nyata, (b) Produksi bebas dan konstruksi, (c) Matematisasi, (d) Interaksi, dan (e)
Aspek pembelajaran secara terintegrasi”. Oleh karenanya hubungan antara belajar
dalam matematika realistik memiliki ciri khusus. Suryanto dalam majalah PMRI
(2007 : 8) mengemukakan kekhususan pembelajaran dengan pendekatan realistik
sebagai berikut:
a) Pengenalan konsep matematika baru dilakukan dengan memberikan kepada
siswa realistic contextual problem (masalah kontekstual yang realistik).
b) Siswa dipersilahkan memecahkan masalah kontekstual yang realistik tersebut
dengan bantuan guru maupun teman yang lainnya. Dengan demikian,
diharapkan siswa re-invent (menemukan kembali) konsep atau prinsip-prinsip
matematis atau menemukan model.
c) siswa diarahkan menemukan dan mendiskusikan penyelesaian mereka (yang
biasanya ada yang berbeda, baik jalannya maupun hasilnya).
27
d) Siswa dipersilahkan untuk merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang
telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan, baik hasil kerja mandiri
maupun hasil diskusi.
e) Siswa juga dibantu agar mengaitkan pelajaran matematika yang ada
hubungannya.
f) Siswa diajak mengembangkan, memperluas atau meningkatkan hasil-hasil
dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang
lebih rumit.
g) Menekankan matematika sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi, atau
hasil siap pakai. Untuk mempelajari matematika sebagai kegiatan, cara yang
cocok adalah learning by doing (belajar dengan mengerjakan matematika).
Fase-fase model pembelajaran matematika Realistik mengacu pada
Gravemeijer, Sutarto Hadi, dan Treffers yang menunjukan bahwa pengajaran
matematika dengan pendekatan realistik meliputi fase-fase berikut (Kemendiknas,
2010)
1. Fase pendahuluan
Pada fase ini, guru memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal)
yang “riil” atau “real” bagi siswa yang berarti sesuai dengan pengalaman dan
tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara
bermakna.
2. Fase pengembangan.
Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara
informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan.
3. Fase penutup atau penerapan.
Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap
hasil pelajaran.
Fauzi (2002:) mengemukakan langkah-langkah di dalam proses
pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik, sebagai
berikut:
28
1. Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah
kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk
memahami masalah tersebut.
2. Menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah
siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari
soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran
seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang
belum dipahami.
3. Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual
menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara
pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan
menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi
siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan
waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan
mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk
mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi
siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
5. Menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika
realistik juga diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu dapat
diwujudkan dengan cara (1) mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses
belajar mengajar, dan (2) mengoptimalkan keikutsertaan seluruh peserta didik.
Salah satu kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk
dapat menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan
dikuasainya. Salah satu upaya guru untuk merealisasikan pernyataan di atas
adalah menetapkan langkah-langkah pembelajaran yang sesuai dengan prinsip dan
karakteristik PMR sebagai berikut :
29
Langkah 1. Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang
sedang dipelajari siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah
yang diberikan tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa,
guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum
dipahami siswa.
Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik
pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam
pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.
Langkah 2. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek
matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi
pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan
caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga
dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang
lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas,
sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut.
Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua
menggunakan model.
Langkah 3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka secara berkelompok,
selanjutnya membandingkan dan mendiskusikan pada diskusi kelas. Pada tahap
ini, dapat digunakan siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya meskipun
pendapat tersebut berbeda dengan lainnya.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam
langkah ini adalah karakteristik ketiga yaitu menggunakan kontribusi siswa
(students constribution) dan karakteristik keempat yaitu terdapat interaksi
(interactivity) antara siswa dengan siswa lainnya.
Langkah 4. Menyimpulkan
30
Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa
untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan
masalah realistik yang diselesaikan.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam
langkah ini adalah adanya interaksi (interactivity) antara siswa dengan guru
(pembimbing).
Massova (2008:13) menyebutkan langkah-langkah dalam pembelajaran
matematika realistik adalah sebagai berikut:
1. Memahami masalah atau soal konteks
Guru memberikan masalah / persoalan konstekstual dan meminta siswa
untuk memahami masalah tersebut. Langkah ini sesuai dengan karakteristik
1- PMR, yaitu menggunakan masalah kontekstual
2. Menjelaskan masalah kontekstual
Langkah ini dilaksanakan apabila ada siswa yang belum paham dengan
masalah yang diberikan. Jika semua siswa sudah memahami maka lanagkah
ini tidak perlu dilakukan. Pada lanagkah ini guru menjelaskan situasi dan
kondisi soal dengan memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian
tertentu yang belum dipakai siswa. Langkah ini sesuai dengan karakteristik 4
– PMR, yaitu adanya interaksi antara siswa dengan guru maupun dengan
siswa yang lain.
3. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara kelompok atau individu. Dalam menyelesaikan masalah
atau soal siswa diperbolehkan berdeda dengan siswa yang lain. Dengan
menggunakan lembar kegiatan siswa, siswa mengerjakan soal dalam tingkat
kesulitan yang berbeda. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan
masalah dengan cara mereka sendiri-sendiri. Guru hanya memberikan arahan
berupa pertanyaan langkah atau pertanyaan penggiring agar siswa mampu
menyelesaikan masalah sendiri. Ini sesuai dengan karakteristik 2 – PMR.
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru memfasilitasi diskusi dan menyediakan waktu untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara kelompok, dan
31
selanjutnya dengan diskusi kelas. Langkah ini sesuai dengan karakteristik 3 –
PMR dan 4 – PMR yaitu menggunakan kontribusi siswa dan interaksi antar
siswa yang satu dengan yang lain.
5. Menyimpulkan hasil diskusi
Guru mengarahkan untuk menarik kesimpulan suatu konsep, lalu guru
meringkas atau menyelesaikan konsep yang termuat dalam soal.
Mengacu pada pendapat-pendapat di atas bahwa secara prinsip pendekatan
matematika realistik merupakan gabungan dari pendekatan konstruktivisme dan
kontekstual, dalam arti memberi kesempatan pada siswa untuk membentuk
(mengkonstruksi) sendiri pemahaman mereka tentang ide, dan konsep
matematika, melalui penyelesaian masalah dunia nyata (kontekstual). Dan
memiliki langkah – langkah sebagai berikut :
1. Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual
dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah
tersebut.
2. Menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa
mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal
dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya,
terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
3. Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individu atau
kelompok menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri.
Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan
menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa
untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu
dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan
jawaban masalah secara berkelompok dan diskusi kelas. Siswa dilatih untuk
mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi
siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
5. Menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik
kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
32
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang relevan
Penelitian yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar Matematika Pokok
Bahasan Membandingkan Dua Pecahan Dengan Pendekatan Belajar Aktif Pada
Siswa Kelas III SDN Mutisari Kecamatan Watumalang Kabupaten Wonosobo
Tahun Pelajaran 2008/2009”. Dengan hasil penggunaan pendekatan belajar aktif
meningkatkan hasil belajar siswa mata pelajaran Matematika pokok bahasan
membandingkan dua pecahan kelas III SDN Mutisari Kecamatan Watumalang
Kabupaten Wonosobo tahun pelajaran 2008/2009 dengan prosentase ketuntasan
pada siklus I , II dan III adalah 70; 83,33 dan 100. ( Erwina Andriani W,2009 ).
Kelebihan dari penelitian ini adalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa pokok
bahasan membandingkan dua pecahan. Kekurangan dari penelitian ini adalah
membutuhkan waktu dan banyak siswa yang belum aktif dalam proses
pembelajaran.
Penelitian yang berjudul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Menggunakan
Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Pada Pokok Bahasan
Penjumlahan Bilangan Pecahan Di Siswa Kelas V SD Negeri Sumogawe 01
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2008/2009”.
Menyatakan hasil bahwa dengan pembelajaran menggunakan matematika realistik
hasil belajar siswa meningkat dari pada sebelum penggunaan matematika realistik.
Matematika realistik dapat disarankan untuk menunjang proses pembelajaran
yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kelebihan dari
penelitian ini adalah hasil belajar dan keaktifan siswa meningkat. Sedangkan
kekurangan dari penelitian ini adalah kenaikan ketuntasanya terlalu kecil.
Penelitian yang berjudul,”Pembelajaran Pecahan Pengan Pendekatan
Matematika Realistik Indonesia(PMRI) di kelas III MIN Yogyakarta II” hasil
pembelajarannya adalah: Menemukan bahwa terasa sekali siswa dapat menghayati
pelajaran tentang pecahan dan dapat memberikan penjelasan,dapat menemukan
pecahan lain serta paham mencari dan menemukan cara menjawab suatu masalah
serta berkarya dengan kertas-kertas yang sudah dipotong-potong menjadi hiasan
yang menarik. Siswa dapat memahami matematika,jiwa seni dan kreativitas
33
berkembang. Budaya diskusi dan kerja sama mewarnai setiap kegiatan
pembelajaran(Ratini,2005)
Penelitian yang berjudul,”Pemanfaatan Media Visual Pada Pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Islam Terpadu Permata Bunda
Bandar Lampung”,hasil penelitiannya adalah:Menemukan bahwa meningkatnya
hasil b elajar dari setiap siklusnya baik secara individu maupun klasikal. Rata-rata
hasil belajar individu,persentase siswa dengan nilai minimal 70 masing-masing
sebanyak 10%, 68%, dan 84%. Rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal 57,4
(siklus I), 76,36 (siklus II), dan 90,8 (siklus III). Kelebihan dari penelitian ini
adalah kenaikan rata-rata hasil belajar sangat meningkat. Sedangkan
kekurangannya adalah belum semua siswa aktif pada saat proses pembelajaran.
Sugeng Sutiarso(2005). Penelitian yang berjudul”Aktivitas Belajar Siswa
Dalam Pembelajaran Sub Topik Pengukuran Waktu di Kelas IIA SD Percobaan 2
Yogyakarta.” hasil penelitiannya adalah: Ditemukan bahwa siswa menggunakan
konteks nyata yang biasa dilakukan siswa,siswa mengkontruksi dan
menyelesaikan masalah dengan cara mereka,siswa bertanya atau mengemukakan
kepada guru atau temannya atas masalah yang dihadapinya.(Suhartini,2005)
Penelitian tersebut relevan dengan penelitian yang kami lakukan karena
sama-sama menggunakan Pendekatan Metematika Realistik sebagai variabel
untuk menyelesaikan masalah.
2.3 Kerangka Berpikir
Kondisi awal hasil belajar Matematika pada materi pecahan masih sangat
rendah di kelas IV SD Negeri 3 Trimulyo, terbukti masih banyak siswa yang
hasil belajarnya di bawah kriteria ketuntasan minimal ( KKM ) ada 78% dari
jumlah siswa. Salah satu penyebabnya yaitu karena guru dalam melakukan
pembelajaran menggunakan metode konvensional yang menitik beratkan metode
ceramah dan di selingi dengan tanya jawab lebih memberikan informasi oleh guru
secara aktif sedangkan siswa hanya melakukan kegiatan mendengarkan dan
34
mencatat saja tidak memberikan pengalaman langsung yang mengakibatkan
pembelajaran kurang bermakna dan mempengaruhi hasil belajar siswa.
Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik
mengedepankan pembelajaran yang bersifat kontekstual dan akan memberikan
pengalaman nyata bagi siswa, selanjutnya siswa akan terlibat langsung secara
personal dalam aktivitas matematika. Pendekatan ini memberikan kebebasan
berfikir kepada siswa dengan caranya sendiri, membuat model-model simbolik
dari aktivitas matematika informal, dan pembelajaran berlangsung interaktif yakni
terjadinya komunikasi antara siswa dengan siswa serta antara siswa dengan guru,
dan terdapatnya keterkaitan antara konsep matematika yang dapat membantu
siswa memperoleh banyak pengalaman memecahkan masalah, yang didukung
adanya aktivitas refleksi maka akan menghasilkan kemampuan menyelesaikan
soal matematika lebih baik.
Karakteristik matematika yang tersusun secara hierarkis, meletakkan
kemampuan awal matematika merupakan representasi dari sekumpulan
pengetahuan dan pengalaman siswa tentang matematika memungkinkan siswa
mengembangkan pengetahuan matematika ke jenjang yang lebih tinggi dan akan
mempengaruhi hasil belajar siswa. Untuk meningkatkan hasil belajar, guru
mencoba menggunakan Pendekatan Matematika Realistik adalah sebuah
pembelajaran yang memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan
meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
2. Menjelaskan masalah kontekstual
Jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru
menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-
petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu
dari permasalahan yang belum dipahami.
3. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara
mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih
35
diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal.
Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka
sendiri.
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok.
Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam
kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan
pembelajaran.
5. Menyimpulkan
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang
suatu konsep atau prosedur.
36
Gambar 2.1
Skema Kerangka berpikir Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika
Tentang Pecahan Melalui Pendekatan Matematika Realistik
KD. Menjelaskan arti pecahan dan urutannya
Pendekatan
Konvensional
Guru ceramah,
tanpa
menggunakan alat
peraga.
Penilaian =
tes formatif
Hasil belajar < KKM
KD. Menjelaskan arti pecahan dan urutannya
Pembelajaran menggunakan
Pendekatan Matematika Realistik
Siswa membagi satu buah apel untuk 2
orang sama besar.
Menjelaskan nilai dari masing-masing
bagian apel yang dibagi dua
Mengerjakan soal tentang pecahan secara
berkelompok
Presentasi hasil kerja kelompok
Membuat kesimpulan dari hasil
pembelajaran
Penilaian
proses
Penilaian
hasil
Hasil
belajar >
KKM
Tes tertulis
Siswa pasif
Membagi siswa menjadi 6 kelompok
37
Kerangka pikir di atas menggambarkan tentang alur penelitian yang
dilakukan. Yang didasarkan pada kondisi awal pembelajaran yang menggunakan
metode konvensional (ceramah) yang berpengaruh pada hasil belajar siswa rendah
≤ KKM. Setelah diberikan tindakan dengan cara menggunaan model
pembelajaran Pendekatan Matematika Realistik kepada siswa dalam proses
belajar mengajar di kelas maka diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa
pada mata pelajaran matematika.
2.4 Hipotesis Tindakan
Dari refleksi hasil kajian pustaka dan kerangka berpikir tersebut di atas
dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
Upaya penggunaan pendekatan matematika realistik diduga dapat
meningkatkan hasil belajar matematika tentang pecahan siswa kelas IV SD N 3
Trimulyo kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo semester 2 tahun
pelajaran 2011/2012.