bab ii tinjauan pustaka ii.pdf · 11 bab ii tinjauan pustaka penelitian ini menggunakan kajian...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan kajian teoritis dan kajian empiris. Kajian
teoritis dalam penelitian ini terdiri dari grand theory dan supporting theori. Grand
theory yang digunakan adalah teori kontijensi. Sedangkan supporting theory
menggunakan teori harapan serta teori motivasi X dan Y, dan teori dua faktor
motivasi, kepuasan kerja, kompetensi, komitmen organisasi, dan kinerja auditor.
Kajian empiris yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian-penelitian
yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
2.1 Teori Kontijensi
Teori kontinjensi menyatakan bahwa tidak ada sistem akuntansi
manajemen yang dapat diterapkan secara universal. Keefektifan penerapan sebuah
sistem bergantung kepada kesesuaian antara sistem tersebut dengan lingkungan
dimana sistem tersebut diterapkan (Otley, 1980). Lebih lanjut, Otley (1980)
menekankan bahwa desain sistem pengendalian dan perencanaan adalah keadaan
khusus yang tidak ada ketentuan umum mengenai apa yang seharusnya dilakukan
dalam situasi khusus tersebut, dan ada ketidakpastian atau kontinjensi
(contingency) dari aktivitas dan teknik yang membangun sistem pengendalian dan
sistem perencanaan suatu organisasi.
12
Pada penelitian in pendekatan kontijensi dilakukan dengan cara
menetapkan variabel komitmen organisasi sebagai variabel moderasi yang
mungkin akan mempengaruhi secara kuat atau lemah hubungan antara motivasi,
kepuasan kerja, dan kompetensi auditor pada kinerja auditor. Pemilihan variabel
ini mengacu pada pandangan bahwa karyawan memiliki komitmen terhadap
organisasinya, dengan tujuan untuk menumbuhkan loyalitas serta mendorong
keterlibatan diri karyawan yang bersangkutan dalam mengambil berbagai
keputusan Pencapaian tujuan organisasi merupakan hasil kerja semua anggota
organisasi yang bersifat kolektif. Auditor yang memiliki komitmen dalam
menjalankan profesinya akan loyal terhadap pekerjaannya, sehingga keberhasilan
auditor sangat ditentukan oleh interaksi komitmen dengan kompetensi,
profesionalisme dan juga komitmen terhadap bidang yang ditekuninya (Loket al,
2004).
Asri, dkk (2013) mengatakan bahwa penelitian dalam bidang akuntansi
manajemen biasanya menguji hubungan variabel-variabel kontekstual seperti
ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, struktur dan kultur
organisasional, ketidakpastian strategi dengan desain sistem akuntansi
manajemen. Teori kontijensi mengargumenkan bahwa kompetensi, independensi,
objektivitas, akuntabilitas dan integritas yang dimiliki auditor dengan etika auditor
dalam mencapai suatu kualitas audit yang baik akan bergantung pada suatu
kondisi tertentu.
13
2.2 Teori Harapan
Salah satu teori motivasi adalah Teori Harapan yang dikemukakan oleh
Victor Vroom dalam Wahyuni (2009). Menurut teori ini, motivasi merupakan
akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang
bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya
itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya
terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya. Teori harapan merupakan bagian dari motivasi yang membahas
adanya hubungan antara upaya melaksanakan kerja (job effort) dengan kinerja dan
hasil kinerja (performance outcome). Teori harapan memprediksi bahwa
seseorang akan mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi apabila mereka merasa
bahwa ada hubungan yang kuat antara usaha dan kinerja, kinerja dan
penghargaan, serta penghargaan dan pemenuhan tujuan-tujuan pribadi. Teori
Harapan ini didasarkan atas:
a) Harapan (Expectancy), adalah suatu kesempatan yang diberikan akan terjadi
karena perilaku. Harapan akan berkisar antara nilai negatif (sangat tidak
diinginkan sampai dengan nilai positif (sangat diinginkan). Harapan negatif
menunjukkan tidak ada kemungkinan sesuatu hasil akan muncul sebagai
akibat dari tindakan tertentu, bahkan hasilnya bisa lebih buruk. Sedangkan
harapan positif menunjukkan kepastian bahwa hasil tertentu akan muncul
sebagai konsekuensi dari suatu tindakan atau perilaku;
14
b) Nilai (Valence), adalah kekuatan relatif dari keinginan dan kebutuhan
seseorang. Suatu intensitas kebutuhan untuk mencapai hasil, berkenaan
dengan preferensi hasil yang dapat dilihat oleh setiap individu. Bagi seorang
individu, perilaku tertentu mempunyai nilai tertentu. Suatu hasil mempunyai
valensi positif apabila dipilih, tetapi sebaliknya mempunyai valensi negatif
jika tidak dipilih.
c) Pertautan (Instrumentality), yaitu besarnya kemungkinan bila bekerja secara
efektif, apakah akan terpenuhi keinginan dan kebutuhan tertentu yang
diharapkannya. Indeks yang merupakan tolok ukur berapa besarnya
perusahaan akan memberikan penghargaan atas hasil usahanya untuk
pemuasan kebutuhannya.
Menurut Siagan dalam Wahyuni (2009), teori harapan mengatakan bahwa
seseorang akan termotivasi untuk mengeluarkan tingkat usaha yang lebih tinggi
ketika mereka yakin bahwa usaha tersebut akan menghasilkan penilaian kinerja
yang baik, penilaian yang baik akan menghasilkan penghargaan-penghargaan
organisasional seperti bonus, kenaikan imbalan kerja, atau promosi, dan
penghargaan-penghargaan tersebut akan memuaskan tujuan-tujuan pribadi para
karyawan. Oleh karenanya, teori tersebut berfokus pada tiga hubungan:
1) Hubungan usaha-kinerja. Kemungkinan yang dirasakan oleh individu yang
mengeluarkan sejumlah usaha akan menghasilkan kinerja.
15
2) Hubungan kinerja-penghargaan. Tingkat sampai mana individu tersebut yakin
bahwa bekerja pada tingkat tertentu akan menghasilkan pencapaian yang
diinginkan.
3) Hubungan penghargaan tujuan-tujuan pribadi. Tingkat sampai mana
penghargaan-penghargaan organisasional memuaskan tujuan-tujuan pribadi
atau kebutuhan-kebutuhan seorang individu dan daya tarik dari penghargaan-
penghargaan potensial bagi individu tersebut.
Setiap hubungan ini akan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu (Efendy,
2010). Agar mendukung dalam menghasilkan kinerja yang baik, individu harus
mempunyai kemampuan yang dibutuhkan untuk bekerja, dan sistem penilaian
kinerja yang mengukur kinerja individu tersebut harus dipandang adil dan
objektif, dengan artian bahwa dengan adanya independensi dan kompetensi yang
baik serta memiliki kepekaan terhadap etika profesi diharapkan akan
mempengaruhi dalam peningkatan kinerja auditor dalam melaksanakan tugasnya.
Motivasi akan tinggi sampai tingkat di mana penghargaan yang diterima seorang
individu atas kinerja yang tinggi memenuhi kebutuhan-kebutuhan dominan yang
konsisten dengan tujuan-tujuan individual (Robbins, 1996).
16
2.3 Teori X dan Y
Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda
mengenai manusia. Pada dasarnya yang satu negatif, yang ditandai sebagai teori
X, dan yang lain positif, yang ditandai dengan teori Y (Robbins, 2008:225).
Menurut teori X, empat asumsi yang dipegang para manajer adalah sebagai
berikut.
1) Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja, dan bila dimungkinkan akan
mencoba menghindarinya.
2) Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau
diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran.
3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal
bila mungkin.
4) Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang
terkait dengan kerja dan akan menunjuk-kan ambisi yang rendah.
Kontras dengan pandangan negatif mengenai kodrat manusia ini,
McGregor mencatat empat asumsi positif, yang disebut sebagai teori Y:
1) Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan
istirahat atau bermain.
2) Orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika
mereka memiliki komitmen pada sasaran.
3) Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan,
tanggung jawab.
17
4) Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua
orang dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.
2.4 Teori Dua Faktor
Herzberg (Hasibuan, 1990 : 177) mengemukakan teori motivasi berdasar
teori dua faktor yaitu faktor higiene dan motivator. Faktor higiene (faktor
kesehatan) adalah faktor pekerjaan yang penting untuk adanya motivasi di tempat
kerja. Faktor ini tidak mengarah pada kepuasan positif untuk jangka panjang.
Tetapi jika faktor-faktor ini tidak hadir, maka muncul ketidakpuasan.
Faktor ini adalah faktor ekstrinsik untuk bekerja. Faktor higienis juga
disebut sebagai dissatisfiers atau faktor pemeliharaan yang diperlukan untuk
menghindari ketidakpuasan. Faktor higiene (faktor kesehatan) adalah gambaran
kebutuhan fisiologis individu yang diharapkan untuk dipenuhi. Faktor higiene
(faktor kesehatan) meliputi gaji, kehidupan pribadi, kualitas supervisi, kondisi
kerja, jaminan kerja, hubungan antar pribadi, kebijaksanaan dan administrasi
perusahaan. Menurut Herzberg, faktor higiene (faktor kesehatan) tidak dapat
dianggap sebagai motivator. Faktor motivasi harus menghasilkan kepuasan
positif. Faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan dan memotivasi karyawan
untuk sebuah kinerja yang unggul disebut sebagai faktor pemuas. Karyawan
hanya menemukan faktor-faktor intrinsik yang berharga pada motivation factors
(faktor pemuas). Para motivator melambangkan kebutuhan psikologis yang
dirasakan sebagai manfaat tambahan.
18
Faktor motivasi dikaitkan dengan isi pekerjaan mencakup keberhasilan,
pengakuan, pekerjaan yang menantang, peningkatan dan pertumbuhan dalam
pekerjaan. Dalam keyakinannya bahwa hubungan individu dengan pekerjaannya
merupakan hubungan dasar dan bahwa sikap seseorang terhadap kerja dapat
sangat menentukan kesuksesan atau kegagalan individu itu. Menurutnya, faktor
intrinsik seperti kemajuan, prestasi, pengakuan, dan tanggung jawab tampaknya
terkait dengan kepuasan kerja. Disisi lain, bila mereka tidak puas, mereka
cenderung mengaitkan dengan faktor-faktor ekstrinsik, seperti misalnya
pengawasan, gaji, kebijakan perusahaan, dan kondisi kerja.
Menurut hasil penelitian Herzberg ada tiga hal penting yang harus
diperhatikan dalam memotivasi bawahan (Hasibuan, 1990 : 176) yaitu:
1) Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang yang
mencakup perasaan berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan, dapat
menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas semua itu.
2) Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama pada faktor yang
bersifat embel-embel saja dalam pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan,
istirahat dan lain-lain sejenisnya.
3) Karyawan akan kecewa bila peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan
menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan.
19
2.5 Pengertian Auditing
Menurut Haryono (2010:11) auditing adalah suatu proses sistimatis untuk
mendapatkan dan mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang
tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara obyektif untuk
menentukan tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah
ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Pengauditan dikelompokan menjadi tiga tipe audit yaitu :
1) Audit Laporan Keuangan adalah jenis laporan audit yang digunakan untuk
mementukan apakah laporan keuangan sebagai informasi kuantitatif yang
tetah ditetapkan sesuai dengan kriteria tertentu yang telah diterapkan.
2) Audit Kesesuaian adalah jenis audit yang digunakan untuk menetukan apakah
pihak yang diaudit telah mengikuti aturan yang telah di berikan oleh pihak
yang berwenang didalam pelaksananya.
3) Audit Operasional adalah jenis audit ini di gunakan untuk mengkaji setiap
bagian dari prosedur dan metode yang telah dijalankan oleh suatu organisasi
dengan tujuan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dari penerapan
prosedur tersebut.
2.6 Pengertian Auditor
Auditor adalah seseorang yang menyatakan pendapat atas kewajaran
dalam semua hal yang material, posisi keuangan hasil usaha dan arus kas yang
sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Indonesia (Mulyadi, 2002:23).
Ditinjau dari sudut profesi akuntan publik, auditor adalah pemeriksaan
20
(examination) secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau
organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan
tersebut menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi
keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.
Menurut Mulyadi (2002:26) orang atau kelompok dalam melaksanakan
audit dapat dikelompokan menjadi tiga tipe auditor yaitu :
1) Auditor Independen adalah auditor profesi yang menyediakan jasanya kepada
masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang
dibuat oleh kliennya.
2) Auditor Pemerintah adalah auditor profesi yang bekerja diinstansi pemerintah
yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggung jawaban keuangan
yang ditunjukan kepada pemerintah.
3) Auditor Intern adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (swasta atau
negara) yang tugasnya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur
yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau
tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menetukan efisiensi dan
efektifitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan
informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.
21
2.7 Profesi Akuntan Publik
Harefa (dalam Abdul, 2008:13), konsep profesi akuntan publik
mengandung dua dimensi pengertian. Dimensi pertama berkaitan dengan sifat
kegiatan dan dimensi kedua berkaitan dengan tingkat kemahiran. Profesi akuntan
adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang
akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja
pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di
pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik.
Pemerintah mensyaratkan pengalaman kerja sekurang-kurangnya tiga
tahun sebagai akuntan dengan reputasi baik di bidang audit (SK Menteri keuangan
No. 43/KMK.017/1997 tanggal 27 januari 1997). Selain itu, agar mereka tetap
memperoleh izin praktik menurut SK Menteri keuangan No. 43/KMK.017/1997
tanggal 27 januari 1997 pasal 17 : akuntan publik wajib menjadi anggota Ikatan
Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik dan wajib mengikuti
pendidikan professional berkelanjutan sesuai dengan ketentuan IAI.
Menurut Abdul (2008:18) ada dua klasifikasi jasa yang diberikan kantor
akuntan publik yaitu :
1) Jasa Atestasi adalah suatu pertanyaan pendapat atau pertimbangan seseorang
independen dan kompeten mengenai kesesuaian, dalam segala hal yang
signifikan, asersi suatu entitas dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Jasa Non Atestasi adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang di
dalamnya ia tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan
temuan, atau bentuk lain keyakinan.
22
2.8 Komitmen Organisasi
Robbins (2007:63) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan
dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan
keinginannya untuk mempertahankan keanggotannya dalam organisasi. Menurut
Sopiah (2008:29) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai derajat
dimana karyawan percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan
akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya. Terdapat tiga
aspek komitmen organisasi, yaitu :
1) Affective commitment, yang berkaitan dengan adanya keinginan untuk
terikat pada organisasi. Individu menetap dalam organisasi karena
keinginan sendiri. Kunci dari komitmen ini adalah want to.
2) Continuance commitment, adalah suatu komitmen yang didasarkan akan
kebutuhan rasional. Dengan kata lain, komitmen ini terbentuk atas dasar
untung rugi, dipertimbangkan atas apa yang harus dikorbankan bila akan
menetap pada suatu organisasi. Kunci dari komitmen ini adalah kebutuhan
untuk bertahan (need to).
3) Normative Commitment, adalah komitmen yang didasarkan pada norma
yang ada dalam diri karyawan, berisi keyakinan individu akan tanggung
jawab terhadap organisasi. Ia merasa harus bertahan karena loyalitas.
Kunci dari komitmen ini adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi
(ought to).
Komitmen merupakan sebuah sikap dan perilaku yang saling mendorong
(reinforce) antara satu dengan yang lain (Khan, 2010). Karyawan yang
23
berkomitmen terhadap organisasi akan menunjukkan sikap dan perilaku yang
positif terhadap lembaganya, karyawan akan memiliki jiwa untuk tetap membela
organisasinya, berusaha meningkatkan prestasi, dan memiliki keyakinan yang
pasti untuk membantu mewujudkan tujuan organisasi (Yousef, 2000). Komitmen
akan menimbulkan rasa ikut memiliki (sense of belonging) bagi karyawan
terhadap organisasi. Menurut Khikmah (2005) komitmen organisasi sebagai nilai
personal, yang kadang-kadang mengacu sebagai sikap loyal pada perusahaan.
2.9 Kinerja Auditor
Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance).
Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:67) “Istilah kinerja berasal
dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan
yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu. Menurut
Mulyadi (2002:11) kinerja auditor adalah “Akuntan publik yang melaksanakan
penugasan pemeriksaan (examination) secara obyektif atas laporan keuangan
suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah
laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang material, posisi keuangan
dan hasil usaha perusahaan”.
24
2.10 Motivasi
Motivasi adalah keadaan pribadi seseorang yang mendorong keinginan
individu melakukan kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan (Handoko, 1995
dalam Trisnaningsih, 2004). Gibson (1995) menyatakan bahwa motivasi
merupakan hal yang mendorong individu ataupun kelompok untuk melakukan
sesuatu perbuatan baik itu faktor dari dalam diri individu maupun faktor dari luar.
Motivasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu.
Motivasi yang tinggi untuk menjadi seorang auditor, akan menimbulkan
komitmen yang tinggi terhadap organisasi auditor itu sendiri. Dari berbagai jenis
teori motivasi, teori yang sekarang banyak dianut adalah teori kebutuhan. Teori
ini beranggapan bahwa tindakan manusia pada hakikatnya adalah untuk
memenuhi kebutuhannya. Ahli yang mencoba merumuskan kebutuhan-kebutuhan
manusia, di antaranya adalah Abraham Maslow. Maslow telah menyusun
“tingkatan kebutuhan manusia”, yang pada pokoknya didasarkan pada prinsip,
bahwa (Wahjosumidjo, 1987):
1) Manusia adalah “ binatang yang berkeinginan”.
2) Segera setelah salah satu kebutuhannya terpenuhi, kebutuhan lainnya akan
muncul.
3) Kebutuhan-kebutuhan manusia nampak diorganisir ke dalam kebutuhan yang
bertingkat-tingkat.
4) Segera setelah kebutuhan itu terpenuhi, maka mereka tidak mempunyai
pengaruh yang dominan, dan kebutuhan lain yang lebih meningkat mulai
mendominasi.
25
Maslow merumuskan lima jenjang kebutuhan manusia, sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut (Wahjosumidjo, 1987):
1) Kebutuhan mempertahankan hidup (Physiological Needs). Manifestasi
kebutuhan ini tampak pada tiga hal yaitu sandang, pangan, dan papan.
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer untuk memenuhi kebutuhan
psikologis dan biologis.
2) Kebutuhan rasa aman (Safety Needs). Manifestasi kebutuhan ini antara lain
adalah kebutuhan akan keamanan jiwa, di mana manusia berada, kebutuhan
keamanan harta, perlakuan yang adil, pensiun, dan jaminan hari tua.
3) Kebutuhan social (Social Needs). Manifestasi kebutuhan ini antara lain
tampakpada kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain (sense of
belonging), kebutuhan untuk maju dan tidak gagal (sense of achievement),
kekuatan ikut serta (sense of participation).
4) Kebutuhan akan penghargaan/prestise (esteem needs), semakin tinggi status,
semakin tinggi pula prestisenya. Prestise dan status ini dimanifestasikan dalam
banyak hal, misalnya mobil mercy, kamar kerja yang full AC, dan lain-lain.
5) Kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja (self actualization), kebutuhan ini
bermanifestasi pada keinginan mengembangkan kapasitas mental dan kerja
melalui seminar, konferensi, pendidikan akademis, dan lain-lain.
Menurut Suwandi (2005), dalam konteks organisasi, motivasi adalah
pemaduan antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan personil. Hal ini akan
mencegah terjadinya ketegangan/konflik sehingga akan membawa pada
pencapaian tujuan organisasi secara efektif.
26
2.10.1 Jenis-Jenis Motivasi
Pada dasarnya motivasi dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu:
1) Motivasi Positif
Motivasi positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain agar
menjalankan suatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan
untuk mendapatkan hadiah. Motivasi positif berupa:
a) Penghargaan terhadap pekerjaan yang dilakukan.
b) Informasi yaitu berupa memberi penjelasan kepada karyawan tentang latar
belakang atau alasan pelimpahan tugas.
c) Pemberian perhatian yang tulus kepada karyawan sebagai seorang
individu.
d) Menimbulkan persaingan, misalnya dengan memberikan hadiah tertentu
apabila target tercapai.
e) Kebanggan yaitu dengan menghargai hasil kerja karyawan yang memiliki
prestasi yang baik sehingga dia akan bangga akan hasil kerjanya.
f) Partispasi yaitu dengan menerima usul dari karyawan dalam pengambilan
keputusan, atau dengan kata lain karyawan diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan.
2) Motivasi Negatif
Motivasi negatif merupakan kebalikan dari semua tindakan yang diambil oleh
motivator dalam melaksanakan motivasi positif. Motivasi yang negatif
diperlukan agar setiap orang berusaha untuk menghindarinya, yang akan
menimbulkan dorongan di dalam diri karyawan tersebut untuk bekerja sebaik-
27
baiknya. Tetapi pemberian motivasi yang negatif hendaknya harus wajar dan
tepat, sebab jika diberikan secara berlebihan akan menimbulkan kebencian
dan dendam dalam hal ini dapat merusak moral karyawan
2.10.2 Faktor-Faktor Motivasi Kerja
Faktor-faktor yang terdapat dalam motivasi di antaranya:
1) Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik merupakan bagian integral dari tugas yang dihadapi dan
ditentukan oleh individu yang melaksanakan tugas tersebut. Motivasi intrinsik
timbul karena imbalan-imbalan intrinsik potensial (Winardi, 2004:61). Yang
tergolong motivasi intrinsik antara lain kebutuhan-kebutuhan fisiologi, tujuan-
tujuan (goals), sikap (attitude), dan kemampuan aktualisasi diri dalam Maryati
(2008).
2) Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik tidak tergantung pada tugas yang dilaksanakan dan mereka
dikendalikan oleh pihak lain. Dapat dikatakan bahwa motivasi ekstrinsik
timbul karena antisipasi akan dicapainya imbalan-imbalan ekstrinsik (Winardi
2004:61). Yang tergolong motivasi ekstrinsik meliputi: pembayaran, kemanan
kerja, hubungan dengan rekan kerja, pengawasan, penghargaan, kebijakan
perusahaan dan pekerjaan itu sendiri.
28
2.11 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah suatu sikap seseorang terhadap pekerjaan sebagai
suatu perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya
yang diyakini yang seharusnya diterima (Robbins, 1996). Luthans (1995)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu yang dapat memberikan kesenangan
atau suatu pernyataan emosional positif sebagai hasil dari penilaian terhadap suatu
pekerjaan.
Luthans (1995) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi.
Pertama, bahwa kepuasan kerja tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diduga.
Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh sejauhmana hasil kerja memenuhi
atau melebihi harapan seseorang. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan hubungan
dengan berbagai sikap lainnya dari para individual. Ward et.al, (1986), meneliti
tingkat kepuasan kerja wanita di lima area, yaitu pekerjaan secara umum,
supersive, rekan kerja, promosi, dan gaji. Kepuasan kerja merupakan orientasi
emosional individu untuk menjalankan peran dan karakteristik pekerjaan mereka
(Porter et.al, 1974). Menurut Locke et.al, (1993) proses pemikiran seseorang akan
mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan. Pendapat lain dikemukakan oleh
Ghiselli dan Brown (1950) dalam Moh. As’ad (1978). Mengemukakan ada lima
faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu antara lain kedudukan, pangkat
atau golongan, umur, jaminan finansial dan jaminan sosial serta mutu
pengawasan.
29
2.12 Kompetensi Auditor
Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (1983) dalam Lastanti (2005)
mendefinisikan kompetensi sebagai ketrampilan dari seorang ahli. Dimana ahli
didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki tingkat ketrampilan tertentu atau
pengetahuan yang tinggi dalam subyek tertentu yang diperoleh dari pelatihan dan
pengalaman. Sedangkan Trotter (1986) dalam Saifuddin (2004) mendefinisikan
bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannya
mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak
pernah membuat kesalahan.
Lee dan Stone (1995), mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian yang
cukup yang secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara
objektif. Adapun Bedard (1986) dalam Lastanti (2005) mengartikan keahlian atau
kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan
prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit. Berdasarkan
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah
pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan auditor untuk dapat
melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama. Hayes-Roth mendefinisikan
keahlian sebagai pengetahuan tentang suatu lingkungan tertentu, pemahaman
terhadap masalah yang timbul dari lingkungan tersebut, dan keterampilan untuk
memecahkan permasalahan tersebut (Mayangsari, 2003).
Kompetensi yang diperlukan dalam proses audit tidak hanya berupa
penguasaan terhadap standar akuntansi dan auditing, namun juga penguasaan
terhadap objek audit. Selain dua hal di atas, ada tidaknya program atau proses
30
peningkatan keahlian dapat dijadikan indikator untuk mengukur tingkat
kompetensi auditor.
Standar umum pertama menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh
seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup
sebagai auditor, sedangkan standar umum ketiga menyebutkan bahwa dalam
pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan
kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama (SPAP, 2011;150:1).
Halim (2008:49) menyatakan standar pertama menuntut kompetensi teknis
seorang auditor yang melaksanakan audit. Kompetensi ini ditentukan oleh tiga
faktor yaitu: 1) pendidikan formal dalam bidang akuntansi di suatu perguruan
tinggi termasuk ujian profesi auditor, 2) pelatihan yang bersifat praktis dan
pengalaman dalam bidang auditing, 3) pendidikan profesional yang berkelanjutan
selama menekuni karir auditor profesional. Aspek-aspek pribadi ini termasuk
sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan dimana
kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan
menghasilkan kinerja. Ashton (1991) menunjukkan bahwa dalam literatur
psikologi, pengetahuan spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor
penting untuk meningkatkan kompetensi. Ashton juga menjelaskan bahwa ukuran
kompetensi tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-
pertimbangan lain dalam pembuatan keputusan yang baik karena pada dasarnya
manusia memiliki sejumlah unsur lain di selain pengalaman. Agusti dan Putri
(2013) mengemukakan bahwa kompetensi auditor adalah auditor yang dengan
pengetahuan dan pengalamannya yang cukup dan eksplisit dapat melakukan audit
31
secara objektif, cermat dan seksama. Menurut DeAngelo (1981) kompetensi
memiliki 2 (dua) komponen yaitu pengetahuan dan pengalaman.
Menurut Kusharyanti (2003) secara umum ada lima jenis pengetahuan
yang harus dimiliki oleh seorang auditor, yaitu: (1) Pengetahuan pengauditan
umum, (2) Pengetahuan area fungsional, (3) Pengetahuan mengenai isu-isu
akuntansi yang paling baru, (4) Pengetahuan mengenai industri khusus, dan (5)
Pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah. Tubbs (1992)
dalam Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan
dalam hal: (1) Mendeteksi kesalahan, (2) Memahami kesalahan secara akurat, (3)
Mencari penyebab kesalahan. Pengalaman merupakan akumulasi gabungan dari
semua yang diperoleh melalui berhadapan dan berinteraksi secara berulang-ulang
dengan sesama benda alam, keadaan, gagasan, dan penginderaan (Elfarini, 2007).
Nirmala dan Cahyonowati (2013) menemukan bahwa auditor berpengalaman
mempunyai pemahaman yang lebih baik.
Muliani dan Rangga (2010) mengatakan bahwa seseorang jika melakukan
pekerjaan yang sama secara terus menerus, maka akan menjadi lebih cepat dan
lebih baik dalam menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan dia telah benar-benar
memahami teknik atau cara menyelesaikannya, serta telah banyak mengalami
berbagai hambatan-hambatan atau kesalahan-kesalahan dalam pekerjaannya
tersebut, sehingga dapat lebih cermat dan berhati-hati menyelesaikannya.