bab iv hasil dan pembahasan 4.1 pengambilan dan...
TRANSCRIPT
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengambilan dan Persiapan Sampel
4.1.1 Pengambilan Sampel
Sampel lamun Enhalus acoroidesdan Thalassia hemprichii secara lengkap
bagian tegakannya diambil saat keadaan surut maupun pasang dengan
menggunakan benda tajam serta peralatan snorkling standar, hal ini untuk
memudahkan pengambilan.Karena menurut Susetiono (2004) lamun adalah
tumbuhan yang sebagian tubuhnya terbenam dalam pasir.Sampel diambil dari
empat lokasi yang berbeda dengan tujuan agar dapat mewakili lamun dari seluruh
bagian pulau pramuka (Lampiran 1).
Sampel selanjutnya dimasukan kedalam wadah plastik yang berisi sedikit
air laut dan direkatkan kemudian dimasukkan kedalam kotak styroform kedap
udara, serta ditambahkan beberapa es batu.Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
menjaga kondisi sampeltetap baik dan tidak rusak selama perjalanan dari lapangan
sampai laboratorium (Lampiran 2).
4.1.1 Persiapan Sampel/ Pembuatan Simplisia
Ketika sampai di laboratorium, dilakukan pembuatan simplisia (Lampiran
2) dari lamun yang telah diambil. Menurut Agoes (2007), pada umumnya
pembuatan simplisia melalui tahapan :
a. Pengambilan/pengumpulan bahan baku
b. Sortasi basah :Pada tahap ini sampel lamun yang memiliki penampang baik
yang dipilih untuk dijadikan sampel
c. Pencucian :Pada tahap ini sampel lamun dicuci dengan menggunakan air bersih
untuk menghilangkan garam serta epifit yang menempel ditubuhnya.
d. Perajangan :
Pada tahap ini dilakukan pemisahan bagian – bagian tegakan dari sampel
lamun untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan, dan
30
penggilingan. Namun sebelumnya dilakukan pengeringan pada bagian sampel
lamun secara utuh dengan diangin-anginkan terlebih dahulu selama tiga hari.
e. Pengeringan :Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan simplisia yang tidak
mudah rusak dan dapat disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama.
f. Penggilingan/sortasi kering
Pada tahap ini, sampel lamun yang telah kering dihaluskan dengan
menggunakan alat penghalus.Jika derajat kehalusan simplisis belum cukup
baik, maka dilakukan pengeringan ulang selama tiga hari untuk selanjutnya
dihaluskan kembali sampai menjadi serbuk.Pada tahap ini juga dilakukan
pemisahan benda asing yang tidak diinginkan.
g. Pemeriksaan mutu
Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kualitas simplisia
lamun dan menghindari faktor – faktor yang dapat merusaknya.Menurut Agoes
(2007) faktor internal dan eksternal yang dapat merusak atau mengubah
kualitas simplisia diantaranya cahaya, oksigen udara, reaksi kimia internal,
dehidrasi, penguapan air, pengotoran, serangga, dan kapang.
4.2 Kandungan Metabolit Sekunder
Kandungan metabolit sekunder dari tiap bagian tegakan lamun Enhalus
acoroides yaitu daun (E.Daun), rimpang (E.Rimpang), akar (E.Akar), daging buah
(E.Buah), biji (E.Biji), dan bunga (E.Bunga), kemudian Thalassia hemprichii
yang terdiri dari daun (T.Daun) dan Rimpang Akar (T.Rimpang Akar)
diidentifikasi melalui uji fitokimia. Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji
alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, fenol hidrokuinon, saponin dan tanin.
Analisis fitokimia menurut Harborne (1987) dilakukan untuk
menentukanciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang
ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi.Namun tujuan
utamanya adalah menganalisis tumbuhan untuk mengetahui kandungan bioaktif
yang berguna untuk pengobatan (Pedrosa et al.. 1978; Farnsworth 1966; Harborne
1966; dalam Mustarichie 2011). Berikut data hasil uji fitokimia yang diperoleh
(Tabel 4) :
31
Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia pada lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
Uji Fitokimia
Sampel
Enhalus Thalassia
Daun Rimpang Akar Buah Biji Bunga Daun Rimpang
Akar
Alkaloid
P.Meyer
P.Wagner
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
-
-
-
-
+
++
Flavonoid
HCl
H2SO4
NaOH
-
-
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
+
Steroid/
Triterpenoid ++ + + ++ + ++ ++ +
Fenol
Hidrokuinon
++ - + ++ + + ++ +
Saponin - - - + ++ - - ++
Tanin + + - + + + ++ ++
Keterangan tabel :- : Negatif+ : Positif lemah, warna/busa/endapan terlihat samar++ : Positif kuat, warna/busa/endapat terlihat jelas
4.2.1 Alkaloid
Pada prosedur pengujian alkaloid, dilakukan penambahan larutan encer
amonia untuk mengubah garam alkaloid menjadi basa bebas.Kemudiansetelah
diperoleh filtrat kloroform dilakukan penambahan asam klorida 2 N untuk
mengubah menjadi hidrokloridanya, selanjutnya diuji dengan beberapa pereaksi
pengendapan yaitu pereaksi meyer dan wagner yang mengandung unsur logam.
Menurut Sastrohamidjojo (1996) dalam Nadjeb (2006) pereaksi yang digunakan
didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam yang
memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismuth, atau iood.Pereaksi Meyer
dibuat dengan menambahkan 1,36 HgCl2 dengan 0,5 gram KI lalu dilarutkan dan
diencerkan sampai batas 100 ml labu takar.Pereaksi Wagner dibuat dengan cara
32
2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida dilarutkan dengan 10 ml akuades dan
diencerkan sampai 200 ml.
Hasil dari pengujian alkaloid sampel lamun Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii dengan menggunakan pereaksi meyerdan pereaksi wagner
(Gambar 11), sampel E.Daun, E.Rimpang, E.Biji, dan T.Rimpang Akar diketahui
positif. MenurutSastrohamidjojo (1996) dalam Nadjeb (2006), pereaksi meyer
relatif memiliki sensitivitas paling rendah bila dibandingkan pereaksi wagner dan
pereaksi dragendroff. Pada Gambar 11 (a) bagian pertama merupakan sampel
yang memberikan respon negatif mengandung senyawa alkaloid dengan
menggunakan pereaksi meyer, dan pada bagian keduamenunjukkan hasil yang
positif terbentuk endapat putih kekuningan namun samar bila dibandingkan
dengan endapat cokelat yang terbentuk dengan mengggunakan pereaksi wagner
(b). Endapan yang terbentuk tersebut menurut Mustarichie (2011) diperkirakan
adalah kalium-alkaloid.
a.Dengan pereaksi meyer
b. Dengan Pereaksi Wagner
E.Akar, E.Buah, E.Bunga, T.Daun
( kiri ke kanan)(Atas :E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, )
(Bawah :E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
E.Daun, E.Rimpang, E.Biji, T.Rimpang Akar
Gambar 11.Hasil Uji Senyawa Alkaloid
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae), berbiji satu
(monokotil)dan tumbuhan tingkat tinggi (Sosetiono 2004). Menurut Cordell
33
(1981) dalam Pranata (1997), sebagian besar sumber alkaloid adalah pada
tanaman berbunga, angiosperma (Familia Leguminoceae, Papavraceae,
Ranunculaceae, Rubiaceae, Solanaceae,Berberidaceae) dan juga pada tumbuhan
monokotil (Familia Solanaceae dan Liliaceae). Hal ini dipertegas dengan
pernyataan Harborne (1987), bahwa senyawa alkaloid biasanya tidak terdapat
dalam Gymnospermae, paku-pakuan, lumut, dan tumbuhan rendah.
Pada hasil uji alkaloid terhadap kedua jenis lamun, tidak semua bagian
tegakan lamun mengandung senyawa alkaloid namun hanya pada beberapa bagian
lamun saja.Hal ini dapat terjadi karena senyawa alkaloid terkonsentrasi (kaya
akanalkaloid) pada bagian tertentu karena dibutuhkan oleh bagian tersebut, namun
belum tentu senyawa alkaloid terbentuk pada bagian tersebut.Fungsi alkaloid bagi
tumbuhan menurut Rohmansyah (2011) adalah sebagai pertahanan diri,
pencegahan infeksi, dan persaingan ruang.
Pada tanaman yang mengandung alkaloid menurut Geissman dan Court
(1969) dalam Pranata (1997), alkaloid mungkin terlokasi dengan jumlah yang
tinggi pada bagian tertentu,sepertispecies Datura dan Nicotiana dihasilkan dalam
akar tetapi ditranslokasi cepat ke daun. Contoh lainnya reserpin terkonsentrasi
pada akarRauvolfia sp ; Quinin terdapat dalam kulitCinchona ledgeriana; morfin
terdapat pada getah atau latex Papaver samniferum, alkaloid secara umum
terdapat dalam biji (Nux vomica, Areca catechu), buah (Piperis nigri), daun
(Atropa belladona), akar & rhizoma (Atrpa belladona & Euphorbia
ipecacuanhae) dan pada kulit batang (Cinchona succirubra).
4.2.2 Flavonoid
Senyawa fenol (flavonoid) dapat diidentifikasi dalam suasana asam atau
basa (Harborne 1987).Oleh karena itu seluruh sampel diuji dengan menggunakan
tiga jenis pereaksi.Peraksi asam pertama yang digunakanadalah asam klorida
(HCl), semua sampel menunjukkan hasil warna putih bening setelah ditambahkan
pereaksi sehingga dikatakan negatif mengandung senyawa flavonoid karena tidak
terjadi perubahan warna orange/jingga ataupun buih dengan intensitas
34
banyak.Berikut hasil yang menunjukkan tidak terjadinya perubahan warna pada
seluruh sampel pada uji flavonoid dengan menggunakan peraksi ini (Gambar 12) :
Gambar 12. Hasil Uji Senyawa Flavonoid Menggunakan Pereaksi HCl(kiri ke kanan)
(E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Pereaksi asam kedua yang digunakan adalah asam sulfat (H2SO4).Pada uji
ini setiap sampel tidak menunjukkan perubahan warna kuning merah namun tetap
berwaran hijau/kuning/bening sesuai warna asalnya sebelum ditambahkan
pereaksi, maka seluruh sampel dikatakan negatif mengandung senyawa
flavonoid.Berikut hasil dari uji flavonoid dengan menggunakan pereaksi ini
(Gambar 13):
Gambar 13. Hasil Uji Senyawa Flavonoid Menggunakan Pereaksi H2SO4
(kiri ke kanan)(Atas : E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah)
(Bawah : E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Pereaksi terakhir yang digunakan adalahbersifat basa yaitu Natrium
Hidroksida (NaOH) 10%. Berdasarkan pereaksi ini, dari seluruh sampel yang
menunjukkan perubahan warna menjadi kuning yaitu E.Rimpang, E.Akar, E.Biji,
35
T.Rimpang sedangkan sampel lainnya tetap berwarna hijau dan tidak
menunjukkan perubahan warna kuning/merah/coklat . Keempat sampel tersebut
dapat dikatakan positif mengandung senyawa flavonoid.Berikut hasil dari uji
flavonoid dengan menggunakan pereaksi ini (Gambar 14) :
Gambar 14. Hasil Uji Senyawa Flavonoid Menggunakan Peraksi NaOH(kiri ke kanan)
(Atas : E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah)(Bawah : E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Warna yang terbentuk dalam uji ini adalah garam benzopirilum atau garam
flavilium (Achmad 1986 dalam Mustarichiedkk. 2011).Hasil berbeda yang
ditunjukkandari setiap sampel pada pereaksi yang berbeda dimungkinkan karena
respon dari senyawa flavonoid sampel dapat bereaksi dengan pereaksi cenderung
terjadi dalam suasanan basa dibandingkan dengan suasana asam.
4.2.3 Steroid dan Triterpenoid
Secara kimia, prekursor pembentukan triterpenoid/steroid adalah
kolesterol yangbersifat nonpolar sehingga dapat larut dalam lemak.Senyawa
triterpenoid ini terdapat dalam sel tumbuhan dalam sitoplasma(Harborne 1987).
Sehingga pada proses pengerjaan, sangatlah mungkin untuk steroid/triterpenoid
larut dalam pelarut organik seperti kloroform.
Berdasarkan hasil uji fitokimia, dari delapan sampel yang diuji diketahui
ada lima sampel yang menunjukkan perubahan warna biru-ungu sehingga
dikatakan positif steroid yaitu E.Daun, E.Buah, E.Bunga, T.Daun, dan T.Rimpang
Akar. Sampel yang lainnya menunjukkan perubahan warna kemerahan sehingga
dapat dikatakan positif triterpenoid yaitu E.Rimpang, E.Akar, dan E, Biji.Jika
melihat intensitas warna yang ditunjukkan oleh setiap sampel, maka sampel yang
36
menunjukkan positif senyawa steroid lebih jelas bila dibandingkan sampel yang
menunjukkan positif senyawa triterpenoid. Sampel yang paling jelas
menunjukkan positif senyawa steroid adalah E.Daun, diikuti E.Buah, E.Bunga,
kemudian T.Daun dan T.Rimpang Akar yang paling samar. Sedangkan Sampel
yang menunjukkan poitif triterpenoid menghasilkan warna yang cukup
seragam.Sampel E.Buah dan E.Bunga positif mengandung kedua jenis senyawa
yaitu steroid dan triterpenoid karena tetap menunjukkan dua perubahan warna
biru-ungu serta kemerahan. Berikut (Gambar 15) perubahan warna yang
ditunjukkan oleh tiap sampel pada uji steroid dan triterpenoid :
Gambar 15. Hasil Uji Senyawa Steroid dan Triterpenoid( kiri ke kanan)
(Atas :E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, )(Bawah :E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Pada penelitian Rumiantin (2011) lamun Enhalus acoroides diketahui
mengandung jenis senyawa steroid.Sedangkan penelitian Putri (2011) diketahui
bahwa lamun Thalassia hemprichii mengandung senyawa steroid dan
triterpenoid.Menurut Harborne (1987) Senyawa steroid/triterpenoid biasanya
terdapat pada daun, buah, kulit, batang, dan getah, sehingga kemungkinan
berfungsi untuk menolak serangga dan serangan mikroba bagi organisme
penghasil. Kedua senyawa yang terdapat dalam tumbuhan tingkat tinggi seperti
lamun contohnya, kemungkinan adalah tiga senyawa yang disebut fitosterol yaitu
sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol. Kegunannya untuk manusia biasanya,
terpenoid sepertiminyak atsiri sebagai dasar wewangian, rempah-rempah serta
37
sebagai cita rasadalam industri makanan.Sedangkan steroid biasanya digunakan
dalam bahan dasar pembuatan obat untuk meningkatkan stamina tubuh.
4.2.4 Fenol Hidrokuinon
Hampir semua sampel positif menunjukkan perubahan warna hijau-biru
pada uji senyawa ini, dan hanya sampel E.Rimpang yang tidak menunjukkan
perubahan warna sehingga dapat dikatakan negatif mengandung senyawa ini.Jika
dilihat dari intensitas warna yang paling jelas adalahE.Buah kemudian diikuti
T.Daun, E.Daun, dan sampel lainnya.Warna yang terbentuk tersebut menurut
Harborne (1987) adalah berasal dari fenolat besi, dan reaksi ini dapat berlangsung
hanya dalam suasana asam lemah atau netral.Berikut hasil uji senyawa fenol
hidrokuinon(Gambar 16) :
Gambar 16. Hasil Uji Senyawa Fenol Hidrokuinon( kiri ke kanan)
(E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Senyawa ini tersebar luas namun tidak terlalu bermanfaat dalam warna
tumbuhan tingkat tinggi, sehingga sering terdapat dalam kulit, akar, atau dalam
jaringan lain (misalnya daun) tetapi pada pada jaringan tersebut tertutup oleh
pigmen lain.Senyawa ini diduga berpengaruh dalam perkecambahan dan
pertumbuhan pucuk dan akar (Harborne 1987).
4.2.Saponin
Saponin adalah golongan senyawa glikosida yang mempunyai struktur
steroid dan mempunyai sifat-sifat khas dapat membentuk larutan koloidal dalam
38
air dan membentuk buih/busa bila dikocok (Harborne 1987).Pada hasil uji
fitokimia dari delapan sampel, hanya tiga yang membentuk busa ketika
dikocoksehingga positif mengandung senyawa saponin yaituE.Buah, E.Biji, dan
T.Rimpang Akar.Jika melihat tinggi busa yang ditunjukkan maka sampel E.Biji
adalah yang paling tinggi (3 cm) kemudian diikuti T.Rimpang Akar (2 cm) dan
E.Buah (1 cm).Busa ini terlihat stabil tidak hilang pada penambahan HCl 2 N dan
tetap ada lebih dari 30 menit.Busa tersebut menurut Rusid (1990), Marlina
dkk.(2005) dalam Mustarichie dkk.(2011), menunjukkan adanya glikosida yang
mampu membentuk buih dalam air, senyawa glikosida terhidrolisis menjadi
glukosa dan aglikon.Berikut hasil uji senyawa saponin (Gambar 17) :
Gambar 17. Hasil Uji Senyawa Saponin( kiri ke kanan)
(E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Saponin bersama dengan senyawa lainnya yaitu tanin dan fenol merupakan
senyawa glikosida yang termasuk kelompok aglikon.Glikosida saponin adalah
glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin.Glikosida saponin bisa berupa
saponin steroid maupun saponin triterpenoid.Saponin ini berasa pahit menusuk
dan menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir.
Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat reaksi
hemolisis, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak diantaranya
digunakan sebagai racun ikan (Cheek 2005 dalam Nadjeb 2006) .
39
4.2.6 Tanin
Berdasarkan hasil uji fitokimia, diketahui bahwa hampir semua sampel
menunjukkan perubahan warna hijau kehitaman sehingga dapat dikatakan positif
mengandung tanin, yaitu E.Daun, E.Rimpang, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun,
dan T.Rimpang Akar. Namun, hanya E.Akar yang menunjukkan warna
kekuningan sehingga dapat dikatan negatif mengandung tanin.Jika melihat
intensitas warna yang ditunjukkan, sampel T.Daun dan T.Rimpang Akar
menunjukkan perubahan warna hijau kehitaman yang paling jelas kemudian
diikuti E.Daun dan sampel lainnya.Warna yang timbul menurut Mustarichie
dkk.(2011) adalah terbentuknya senyawa kompleks Fe3+ -tanin dan Fe3+ -polifenol
karena penambahan FeCl3.Kemungkinan tanin yang terdapat dalam tumbuhan
lamun ini adalah jenis tanin terkondensasi.Berikut hasil uji fitokimia dari senyawa
tanin (Gambar 18) :
Gambar 18. Hasil Uji Senyawa Tanin( kiri ke kanan)
(E.Daun, E.Rimpang, E.Akar, E.Buah, E.Biji, E.Bunga, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin, tanin terkondensasi terdapat
di dalam paku-pakuan dan Gymnospermae, serta tersebar luas dalam
Angiospermae terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Sedangkan jenis tanin
lainnya yaitu tanin terhidrolisis penyebarannya hanya pada tumbuhan berkeping
dua. Kedua jenis tanin tersebut dijumpai bersamaan dalam tumbuhan yang sama
seperti yang terjadi pada kulit dan daun ek, Quercus. Senyawa ini memang
terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam Angiospermae, dan jaringan
40
kayu (Harborne 1987).Tanin dalam tubuh dapat melancarkan sistem pencernaan
(Wijayakusuma 2000 dalam Anwariyah 2011).
4.3 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut (Agoes 2007). Tujuan dari proses ini adalah untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-
komponen aktif (Harborne 1984). Dalam ekstraksi yang dilakukan pada sampel
lamun mengacu pada faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam proses ekstraksi
tanaman obat menurut Agoes (2007) yaitu :
4.3.1 Jumlah Simplisia yang diekstraksi
Jumlah ini digunakan untuk perhitungan dosis obat/ nilai
rendemen.Rendemen adalah perbandingan berat ekstrak yang terkandung dalam
suatu bahan simplisia dengan berat awalnya.Jumlah simplisia lamun yang
digunakan dalam ekstraksi ini adalah 40 g untuk setiap sampel.Berikut
perhitungan nilai rendemen menurut(SNI-19-1705-2000 dalam Prabowo 2009):
Rendemen = berat ekstrakberat awal x 100%Rendemen yang tinggi menunjukkan banyaknya komponen bioaktif yang
terkandung dalam suatu bahan (Rohmansyah 2011).
4.3.2 Jenis Pelarut yang digunakan
Pemilihan Pelarutdidasarkan pada kemampuannya menarik zat yang
diinginkan sehingga mempengaruhi efisiensi proses penarikan zat berkhasiat
tersebut dari taman obat. Pemilihan pelarut juga didasarkan pada sifat zat yang
akan diekstrak, karena setiap zat memiliki kelarutan yang berbeda pada pelarut
yang berlainan (Achmadi 1992 dalam Agustiningrum 2004). Ekstraksi tunggal
dengan hanya menggunakan pelarut metanol dipilih karena didasarkan menurut
hasil penelitian Sarastani et al. (2002) dalam Permatasari (2011) dengan
menggunakan biji atung dan Penelitian Prabowo (2009) yang menggunakan
keong mata merah, menunjukkan bahwa rendemen ekstrak dari hasil ekstraksi
tunggal jauh lebih besar dibandingkan ekstraksi bertingkat. Sedangkan ekstraksi
41
dengan menggunakan pelarut metanol dipilih berdasarkan kemampuannya sebagai
pelarut polar dalam menarik senyawa-senyawa polar yang diinginkan.
Menurut penelitian Rumiantin (2011) yang menggunakan lamun Enhalus
acoroides dan Putri (2011) yang menggunakan lamun Thalassia hemprichii,
diketahui bahwa hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol memiliki
nilai rendemen paling tinggi dan kandungan senyawa fitokimia yang paling
banyak, sebagian besar adalah senyawa yang bersifat polar. Senyawa tersebut
adalah flavonoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan tannin. Hal ini diperjelas
dengan hasil penelitian Rahayu (2009) yang menggunakan daun ketapang,
diketahui bahwa kandungan senyawa polar pada ekstrak etanol lebih banyak yaitu
senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, kuinon dan fenolik bila dibandingkan
dengan kandungan senyawa polar pada ekstrak etil asetat yaitu senyawa
flavonoid, alkaloid, dan saponin.
4.3.3 Lama Perendaman dan Proses Ekstraksi
Prinsip yang bekerja pada proses ekstraksi adalah difusi, yaitu perbedaan
konsentrasi antara larutan didalam sel dan konsentrasi cairan ekstraksi diluar sel.
Bahan pelarut mengalir dari luar (konsentrasi tinggi) ke dalam sel (konsentrasi
rendah) yang menyebabkan protoplasma membengkak sehingga kandungan
senyawa metabolit sekunder yang berada di dalam sel akan mengalir atau
berdifusi keluar sel (Achmadi 1992 dalam Agustiningrum 2004). Prinsip ini
secara tidak langsung dapat mengakibatkan perbedaan banyaknya filtrat yang
dihasilkan dari perendaman dan penyaringan setiap sampel.Perbedaan ini
kemungkinan karena perbedaan keterikatan antara pelarut dengan jaringan sel
setiap sampel berbeda.Hasil perbedaan ini terdapat pada Tabel 5.
Metode maserasi yang digunakan didasarkan pada keunggulan metode ini
bila dibandingkan metode ekstraksi lainnya yaitu karena cara ini merupakan
metode yang mudah dilakukan danmenggunakan alat-alat sederhana dengan
merendam sampel dalam pelarut(Andayani et al. 2008 dalam Rumiantin 2011).
Selain itu metode maserasi juga tidak memerlukan suhu yang tinggi, hal ini
42
berkaitan dengan beberapa sifat senyawa yang terkandung yang memiliki
sensitivitas terhadap suhu tinggi.
Dari delapan sampel lamun masing-masing direndam dengan
menggunakan pelarut metanol dengan rasio perbandingan (1:10) atau (40 g : 400
ml). Perendaman dilakukan selama 3 x 24 jam, setelah disaring dihasilkan filtrat
dan residu.Pada residu dilakukan perendaman berulang sampai filtrate berwarna
bening dengan tujuan untuk memaksimalkan penarikan senyawa yang terkandung
dalam sampel lamun. Menurut Harborne (1987) keberhasilan ektraksi pada
jaringan hijau dengan menggunakan pelarut alkohol, berkaitan dengan seberapa
jauh klorofil tertarik oleh pelarut itu ditunjukkan bila ampas jaringan pada ekstrasi
berulang sama sekali tidak berwarna hijau lagi maka dapat dikatakan semua
senyawa berbobot molekul rendah telah terekstraksi. Berikut merupakan filtrat
hasil maserasi (Gambar 19) :
Gambar 19. Filtrat(kiri ke kanan)
(Atas :E.Buah, E.Daun, E.Bunga, T.Daun) (Bawah :E.Rimpang, E.Akar, T.Rimpang Akar, E.Biji)
Berdasarkan hasil pada gambar tersebut, terjadi perbedaan warna filtrat
hasil perendaman yang sangat jelas dari setiap sampel. Perbedaan warna filtrat
tersebut bila diurutkan berdasarkan kepekatan, maka filtrat E.Daun memiliki
43
warna hijau yang paling pekat kemudian diikuti filtrat T.Daun dan filtrat E.Buah
berwarna hijau tua, filtrat E.Rimpang berwarna coklat tua, filtrat
E.Bungaberwarna hijaumuda, selanjutnya adalah E.Akar, T.Rimpang Akar, dan
E.Biji yang berwarna sama hijau kekuningan. Perbedaan warna ini kemungkinan
adalah karena perbedaan kuantitas klorofil/karoten yang terkandung dalam setiap
sampel. Menurut Winarno (1997) dalam Masruroh (2004) terdapat hubungan
langsung antara derajat kehijauan dalam suatu bahan pangan dengan kadar
karoten didalamnya.
4.3.4 Suhu/ Temperatur yang digunakan
Filtrat yang telah diperoleh kemudian diuapkan dengan menggunakan
Rotary evaporator.Tujuannya adalah untuk mendapatkan ekstrak pekat. Menurut
Agoes (2007), ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi
tanaman obat dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakan medium
pengekstraksi (menstrum) tertentu pula. Suhu yang digunakan untuk pemekatan
ini bukan suhu titik didih pelarut metanol yaitu 65°C namun berkisar anatar 40-
50°C. Hal ini dilakukan karena berdasarkan Harborne (1987) bahwa beberapa
senyawa fenol terutama flavonoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi
karena senyawa tersebut tidak tahan panas dan mudah teroksidasi.
Setelah mendapatkan ekstrak hasil epavorasi, selanjutnya dilakukan uji
kelarutan dengan tujuan untuk meyakinkan ekstrak dalam keadaan murni hanya
mengandung senyawa yang diinginkan tanpa adanya garam yang ikut
terlarut.Ketika ekstrak metanol sampel tidak dapat larut secara sempurna
(Lampiran 3) maka dilakukan penambahan metanol dan penguapan kembali
dengan tujuan melakukan prinsip kristalisasi garam untuk memisahkan garam dari
ekstrak sampai diperoleh ekstrak pekat yang larut sempurna.
Kristalisasi adalah pelepasan pelarut dari zat terlarutnya dalam sebuah
campuran homogen atau larutan, sehingga terbentuk kristal dari zat terlarutnya.
Caranya adalah dengan penguapan, pendinginan, penambahan senyawa lain dan
reaksi kimia. Kristal dapat terbentuk karena suatu larutan dalam keadaan atau
kondisi lewat jenuh (supersaturated), karena pelarut (dalam hal ini metanol)
44
sudah tidak mampu melarutkan zat terlarutnya (dalam hal ini garam), atau jumlah
zat terlarut (garam) sudah melebihi kapasitas pelarut(metanol). Sehingga kita
dapat memaksa agar kristal dapat terbentuk dengan cara mengurangi jumlah
pelarutnya, maka kondisi lewat jenuh dapat dicapai (Zulfikar 2011).Berikut
merupakan ekstrak pekat yang diperoleh (Gambar 20) :
Gambar 20. Ekstrak Pekat(kiri ke kanan)
(Ekstrak pekat metanol E.Daun, E.Bunga, E.Buah, E.Rimpang, E.Akar, E.Biji, T.Daun, T.Rimpang Akar)
Berdasarkan hasil pada gambar tersebut, ekstrak yang didapat memiliki
bentuk yang seragam yaitu pasta namun memiliki warna yang berbeda. Warna
tersebut terlihat hampir sama bila dibandingkan dengan filtrat awalnya sebelum
dipekatkan. Selain perbedaan warna, berat ekstrak yang dihasilkan oleh setiap
sampel bagian lamun juga berbeda sehingga nilai rendemen berbeda pula.
Berdasarkan Penghitungan nilai rendemen (Lampiran 4), jika nilai diurutkan maka
rendemen paling tinggi yaitu E.Daun sebesar 1,41% diikuti T.Daun 0,94%, E.Biji
0,48%, E.Buah 0,46 %, E.Rimpang 0,27%, E.Akar 0,20%, T.Rimpang Akar
0,14%, dan yang paling kecil adalah E.Bunga 0,07% (Gambar 21).
Gambar 21. Diagram Rendemen Sampel
1.410.94
0.48 0.46 0.27 0.2 0.14 0.070
0.5
1
1.5
Rend
emen
%
Sampel
45
Jika dari delapan sampel ini, E.Daun bukan merupakan sampel yang
memiliki kandungan bioaktif paling banyak ketika identifikasi kandungan
metabolit sekunder pada tahap sebelumnya, tetapi nilai rendemen ekstrak yang
tinggi ini dapat disebabkan karena terdapat suatu jenis komponen bioaktif yang
mendominasi atau berada dalam jumlah lebih besarpada E.Daun.Hal ini dapat
terjadi karena ekstrak yang dihasilkan bukan merupakan ekstrak murni yang
hanya mengandung satu jenis komponen bioaktif namun masih berupa ekstrak
kasar. Menurut Harborne (1987), jumlah rendemen ekstrak bergantung pada
kondisi alamiah senyawa, metode ekstraksi, ukuran partikel sampel, kondisi dan
waktu ekstraksi, kelarutan komponen dalam pelarut serta perbandingan sampel
dengan pelarut. Berikut merupakan data yang diperoleh dari hasil ekstraksi dari
delapan sampel lamun (Tabel 5)
Tabel 5. Hasil Ekstraksi lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichiiNO Sampel Berat
Awal
(g)
Pelarut
(ml)
Filtrat
(ml)
Berat
Ekstrak
(g)
Rendemen
(%)
Warna
ekstrak
1 E.Daun 40 400 370 0,5655 1,41 Hijau
kehitaman
2 E.Rimpang 40 400 380 0,1082 0,27 Hijau
kecoklatan
3 E.Akar 40 400 366 0,0824 0,20 Coklat
4. E.Bunga 40 400 382 0,0304 0,07 Hijau
5. E.Buah 40 400 382 0,1862 0,46 Hijau
kehitaman
6. E.Biji 40 400 386 0,1932 0,48 Hijau
kecoklatan
7. T.Daun 40 400 375 0,3770 0,94 Hijau
8. T.Rimpang
Akar
40 400 381 0,0555 0,14 Coklat
4.4 Aktivitas Antioksidan
Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat dideteksi
dengan melakukan uji aktivitas antioksidan.Metode DPPH dipilih untuk uji
aktivitas antioksidan ini karena memiliki keunggulan diantaranya sederhana,
46
mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang
singkat (Hanani et al. 2005 dalam Permatasari 2011).Metode uji DPPH juga
merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk
memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan,
dan biasanya dipilih metanol sebagai pelarut yang dapat melarutkan kristal DPPH
(Molyneux 2004).
Uji aktivitas antioksidan dilakukan pada kedelapan ekstrak dengan
membuat larutan stok sebanyak 25 ml dari kedelapan ekstrak tersebut terlebih
dahulu dengan konsentrasi yang tidak seragam antar satu sampel dengan sampel
lainnya diantaranya 1000 ppm, 800 ppm, 500 ppm, dan 200 ppm, hal ini berkaitan
dengan ketersediaan ekstrak yang dihasilkan dari tahap sebelumnya (Lampiran 5).
Setelah itu dilakukan pengenceran dengan metode pengenceran dari stokdengan
cara semua volume yang digunakan untuk membuat konsentrasi baru berasal dari
stok tersebut. Vitamin C juga digunakan sebagai kontrol positif dengan
konsentrasi stoknya adalah 5 ppm.Menurut Andarwulan dan Koswara (1992)
dalam Masruroh (2004), vitamin C telah dikenal memiliki kemampuan sebagai
antioksidan karena memiliki kemampuan sebagai pereduksi yang sangat kuat dan
mudah teroksidasi.
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi,
dengan mengikat radikal bebas seperti DPPH dan molekul yang sangat reaktif
(Winarsi 2007). Interaksi antioksidan dengan DPPH (Gambar 22) baik secara
transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akanmembentuk molekul
diamagnetik stabil dan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH (Suratmo
2009 dalam Permatasari 2011).
Gambar 22. Reaksi DPPH dengan Antioksidan (Sumber : Astuti 2009)
47
Adanya aktivitas antioksidan dari suatu senyawa dalam sampel dapat
mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam metanol dari
berwarna violet pekat menjadi kuning (Andayani et al. 2008 dalam Permatasari
2011).Perubahan warna tersebut terjadi karena peredaman radikal DPPH
olehsenyawaantioksidan yang dapat memberikanradikal hidrogen kepada radikal
DPPH sehingga tereduksi menjadi DPPH-H(1,1-difenil-2-pikrilhidrazin).
Perubahan warna ini diukur serapannya menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum
untuk DPPH (Molyneuk 2004).Berikut contoh gambar perubahan warna tersebut
(Gambar 23) :
Gambar 23. Aktivitas Antioksidan Melalui Perubahan Warna
Setelah itu dilakukan penghitungan inhibisi setiap konsentrasi (Lampiran
6) sehingga dapat dibuat grafik linier.Grafik linier ini dapat memperlihatkan
hubungan peningkatan konsentrasi setiap sampel atau vitamin C terhadap nilai
inhibisinya dalam menangkal radikal bebas (Lampiran 7).
Berdasarkan penghitungan inhibisi (Lampiran 6) dan grafik liniernya
(Lampiran 7) dari setiap sampel, terlihat bahwa penambahan konsentrasi sampel
yang mengandung senyawa antioksidan sejalan dengan semakin meningkatnya
kemampuan inhibisi dari sampel tersebut dalam menangkal radikal bebas DPPH.
Namun kemampuan menangkal radikal bebas DPPH tersebut berbeda dari setiap
sampelnya. Sebagai contoh pada batas konsentrasi 200 ppm, hanya sampel ekstrak
E.Daun dan kontrol positif vitamin C yang dapat memberikan peredaman radikal
bebas DPPH melebihi 50%. Sedangkan sampel lainnya, pada batas konsentrasi
48
tersebut masih memberikan peredaman radikal bebas DPPH dibawah 50%.
Seperti ekstrak T.Daun, E.Rimpang, T.Rimpang Akar, E.Biji, dan E.Akar masih
memberikan peredaman radikal bebas DPPH pada rentang 10% sampai 20%, dan
sampel ekstrak E.Buah dan E.Bunga dibawah 10%. Untuk mengetahui konsentrasi
yang tepat dalam menangkal radikal bebas DPPH 50% maka dilakukan
perhitungan nilai EC50(Effecient Concentration50%).
Nilai EC50ini diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan
persamaan regresi linier hasil dari grafik linier sebelumnya (Lampiran 7). Nilai
EC50berikut ini merupakan nilai rata-rata dari dua pengulangan pengukuran yang
dilakukan/duplo(Tabel 6) :
Tabel 6. Nilai EC50 Sampel dan Vitamin CNo Sampel/ Vitamin C Konsentrasi EC50 (ppm)
1 Vitamin C 3,13
2 E.Daun 136,4
3 E.Rimpang 656,47
4 E.Akar 833,18
5 E.Bunga 1.978,22
6 E.Buah 1.610,03
7 E.Biji 695,04
8 T.Daun 465,87
9. T.Rimpang Akar 734,61
Besarnya kemampuan setiap sampel yang dibutuhkan sebagai antioksidan
dalam meredam radikal bebas DPPH sebesar 50% berbeda, diperlihatkan dengan
nilai EC50yang diperoleh. Vitamin C dibutuhkan konsentrasi 3,13 ppm, E.Daun
136,4ppm, E.Rimpang 656,47 ppm, E.Akar 833,18 ppm, E.Bunga 1.978,22 ppm,
E.Buah 1.610,03 ppm, E.Biji 695,04 ppm, T.Daun 465,87 ppm, dan T.Rimpang
Akar 734,61 ppm.
Suatu senyawa dikatakan memiliki kemampuan sebagai antioksidan sangat
kuat apabila nilai EC50 kurang dari 50 ppm (Kategori pertama), kuat apabila nilai
EC50antara 50-100 ppm (kategori kedua), sedang apabila nilai EC50berkisar antara
100-150 ppm (kategori ketiga), lemah apabila nilai EC50berkisar antara 150-200
ppm (kategori ketiga), dan sangat lemah apabila konsentrasi lebih besar daripada
itu (kategori keempat) (Molyneux 2004).
EC50dari kedelapan sampel tersebut (Gambar 25
Gambar 24
Berdasarkan diagram
kedalam tiga kategori antioksidan. Vitamin C dengan nilai E
kategori pertama sebagai antioksidan sangat kuat. Sampel E.D
EC50 136,64 ppm masuk kategori ketiga sebagai antioksidan sedang. Sampel
T.Daun, E.Rimpang, E.Biji,
nilai EC50berturut-turut 465,87 ppm, 656,47 ppm, 659,04 ppm, 734,61 ppm,
833,18 ppm, 1.610,03 ppm, 1.978,22 ppm masuk kategori paling akhir sebagai
antioksidan lemah/sangat lemah.
Semakin kecil nilai E
tinggi (Molyneux 2004).
sampel ekstrak E.Daun merupakan ekstrak terbaik dari bagian tegakan lamun
karena memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi dibanding sampel lainnya
ditunjukkan dengan nilai E
menangkal radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Dibandingkan dengan Vitamin C
sebagai kontrol positif dengan
E.Daun ini masih sangat jauh. Potensi
dibandingkan dengan hasil penelitian Herawati
3,13136,4
656,47
0
400
800
1200
1600
2000
Kon
sen
tras
i EC
50 (p
pm
)
(Molyneux 2004). Berikut merupakan diagram
lapan sampel tersebut (Gambar 25) :
Keterangan :
Antioksidan sangat kuat
Antioksidan sedang
Antioksidan sangat lemah
Gambar 24. Klasifikasi NilaiEC50 Sampel dan Vitamin C
Berdasarkan diagram nilai EC50 diatas, maka hasil penelitian ini termasuk
kedalam tiga kategori antioksidan. Vitamin C dengan nilai EC503,13 ppm masuk
kategori pertama sebagai antioksidan sangat kuat. Sampel E.Daun dengan nilai
136,64 ppm masuk kategori ketiga sebagai antioksidan sedang. Sampel
T.Daun, E.Rimpang, E.Biji, T.Rimpang Akar, E.Akar, E.Buah, E.Bunga dengan
turut 465,87 ppm, 656,47 ppm, 659,04 ppm, 734,61 ppm,
833,18 ppm, 1.610,03 ppm, 1.978,22 ppm masuk kategori paling akhir sebagai
antioksidan lemah/sangat lemah.
Semakin kecil nilai EC50 menunjukkan aktivitas antioksidannya semakin
x 2004). Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa
sampel ekstrak E.Daun merupakan ekstrak terbaik dari bagian tegakan lamun
karena memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi dibanding sampel lainnya
dengan nilai EC50paling kecil yaitu 136,34 ppm telah mampu
menangkal radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Dibandingkan dengan Vitamin C
sebagai kontrol positif dengan nilai EC503,13 ppm maka nilai EC50sampel ekstrak
E.Daun ini masih sangat jauh. Potensi E.Daun juga masih rendah bila
dibandingkan dengan hasil penelitian Herawati dkk.(2011) menggunakan
656,47 695,04465,87
734,61833,18
1610,031978,22
Sampel
49
klasifikasi
Keterangan :
Antioksidan sangat kuat
Antioksidan sedang
Antioksidan sangat lemah
diatas, maka hasil penelitian ini termasuk
3,13 ppm masuk
aun dengan nilai
136,64 ppm masuk kategori ketiga sebagai antioksidan sedang. Sampel
, E.Akar, E.Buah, E.Bunga dengan
turut 465,87 ppm, 656,47 ppm, 659,04 ppm, 734,61 ppm,
833,18 ppm, 1.610,03 ppm, 1.978,22 ppm masuk kategori paling akhir sebagai
aktivitas antioksidannya semakin
Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa
sampel ekstrak E.Daun merupakan ekstrak terbaik dari bagian tegakan lamun
karena memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi dibanding sampel lainnya
yaitu 136,34 ppm telah mampu
menangkal radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Dibandingkan dengan Vitamin C
sampel ekstrak
juga masih rendah bila
(2011) menggunakan
50
mangrove Sonneratia alba dengan nilai EC5012,2 ppm. Namun hasil ini lebih baik
bila dibandingkan dengan penelitian Prabowo (2009) yang menggunakan sampel
ekstrak keong mata merah dengan nilai EC50967,89 ppm atau penelitian
Rohmansyah (2011) yang menggunakan karang lunak Sarcophytonsp.hasil
transplantasi dengan nilai EC50 1.225,46 ppm. Terlepas dari perbandingan diatas,
sampel E.Daun ini tetap berpotensi sebagai sumber antioksidan alami dengan
kategori sedang.
Ekstrak E.Daun atau T.Daun memiliki aktivitas antioksidan terbaik
dikelompoknya.Hal ini kemungkinan berkaitan dengan kandungan metabolit
sekunder yang diproduksi terutama senyawa fenol didalamnya.Seperti yang
diketahui bahwa tumbuhan lamun adalah tumbuhan laut yang sebagian tubuhnya
sangat terbenam didalam pasir.Meskipun ketika air laut pasang ataupun surut,
bagian batang, akar, dan rimpangnya tetap terbenam, sedangkan hanya Daun yang
menegak tumbuh diatas substrat.Hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa
E.Daun atau T.Daun lebih sering memproduksi senyawa metabolit sekunder,
karena keduanya membutuhkan pertahanan diri yang lebih terhadap
lingkungannya seperti paparan sinar matahari.Namun bagian yang terbenampun
memiliki peluang yang besar dalam memproduksi metabolit sekunder, mengingat
bagian akar dan rimpang ini terbenam masuk kedalam sedimen perairan sebagai
tegakan kokoh.Menurut Lee et al. (2001) dalam Susetiono (2004) Akar dan
Rimpang pada tumbuhan laut berfungsi sebagai penahan sedimen dari adukan
arus, ombak, dan badai. Sedangkan daun memiliki fungsi sebagai pelindung dasar
perairan berikut flora dan faunanya dari kekeringan dan sengatan matahari
Berkaitan dengan pemaparan sebelumnya, bahwa metabolit sekunder
biasanya diproduksi oleh organisme sebagai bentuk pertahanan diri terhadap
lingkungannya.Hal ini dapat menjadi alasan utama bagian daun baik dari lamun
Enhalus acoroides maupun Thalassia hemprichii menjadi yang terbaik.Namun
jika melihat nilai EC50 kedua sampel, maka E.Daun lebih unggul dibandingkan
dengan T.Daun. Menurut Susetiono (2004), lamun Enhalus acoroidesmerupakan
satu-satunya lamun diantara vegetasi lainnya yang paling tahan terhadap faktor
fisik seperti dasar yang terjal, arus pasang surut, dan tingginya laju siltasi dengan
51
syarat sinar matahari dan unsur-unsur nutrisi masih mencukupi. Lamun Enhalus
acoroidesmemiliki daun yang lebih lebat dan lebih tinggi sehingga dapat
menaungi lamun yang lebih rendah. Hal ini dapat berkaitan dengan persaingan
untuk memperebutkan cahaya, ruang serta nutrisi untuk proses pertumbuhannya.
Pada sampel ekstrak E.Buah dan E.Bunga memiliki aktivitas antioksidan
yang sangat rendah, bahkan sangat jauh dibandingkan sampel lainnya
diperlihatkan dengan nilai EC50yang tinggi.Kedua bagian dari tegakan lamun ini
tidak tumbuh sepanjang tahun seperti bagian tegakan lainnya melainkan hanya
pada saat musim barat tiba misalnya pada tahun 2013 adalah pada bulan Januari-
Maret.Hal ini juga dapat menjadi alasan bahwa produksi senyawa metabolit
sekunder untuk pertahanan diri yang dilakukan oleh kedua bagian ini masih
rendah.
Sampel yang digunakan dalam uji aktivitas antioksidan ini adalah masih
ekstrak kasar, sehingga tidak dapat dipastikan bahwa kemampuan sebagai
antioksidan yang dimiliki oleh sampel ini hanya dari suatu senyawa tanpa adanya
pengaruh dari senyawa lain. Oleh karena itu dilakukan uji tahap selanjutnya yaitu
Uji Total Kadar Polifenol untuk melihat korelasi peningkatan kemampuan
antioksidan dari empat sampel yang terpilih dengan kadar total Polifenolnya.
Pemilihan ini sebagian berdasarkan nilai EC50yang paling rendah dibanding
sampel lainnya.Sampel tersebut adalah E.Daun, E.Rimpang, T.Daun, dan
T.Rimpang Akar.
4.5 Uji Total Polifenol
Senyawa Fenol yaitu senyawa yang berasal dari tumbuhan yang
mempunyai ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua
gugus hidroksil (Harborne 1987). Senyawa ini memiliki sifat oksidasi dalam
menangkal radikal bebas (Panovska et al.2005 dalam Rahayu 2009). Senyawa
fenoltersebut kemungkinan memberikan elektron atau hidrogennya terhadap
radikal bebas DPPH.Menurut Molyneux (2004) Senyawa DPPH merupakan
senyawa radikal bebas bersifat stabil dan dapat bereaksi dengan atom hidrogen
yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi.
52
Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kandungan semua
fenol pada sampel terpilih dan melihat keterkaitannya dengan aktivitas
antioksidan dari setiap sampel tersebut. Pereaksi Folin ciocalteu yang digunakan
menurut Folin dan Ciocalteu (1944) merupakan larutan kompleks ion polimerik
yang dibentuk dari asam fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat terbuat
dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium
sulfat, dan bromin.Berikut contoh reaksi senyawa fenol dengan pereaksi Folin-
Ciocalteu (Gambar 26)
Gambar 25. Reaksi Senyawa Fenol dengan Pereaksi Folin-Ciocalteu(Sumber : Singleton dan Rossi 1965)
Menurut Singleton dan Rossi (1965) selama reaksi belangsung, gugus
hidroksil dari fenol bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteu, membentuk
kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat berwarna biru dengan struktur yang belum
diketahui dan dapat dideteksi dengan spektrofotometer. Warna biru yang
terbentuk akan semakin pekat setara dengan konsentrasi ion fenolat yang
terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin
banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli sehingga warna biru
yang dihasilkan semakin pekat. Berikut hasil pengukuran dan penhitungan kadar
polifenol (Lampiran 8), ditampilkan dalam Tabel 7 :
Tabel 7. Nilai Total Kadar PolifenolNo Sampel Kadar Polifenol (%)
1 E.Daun 13,25
2 E.Rimpang 4,58
3 T.Daun 4,86
4 T. Rimpang Akar 3,60
53
Berdasarkan tabel hasil tersebut diatas, maka kadar polifenol yang paling
tinggi terdapat dalam sampel E.Daun dengan nilai 13,25% kemudian diikuti
T.Daun 4.86%, E.Rimpang 4.58%, dan T.Rimpang Akar 3.60%. Hasil ini dapat
memberikan gambaran dari besaran kandungan senyawa fenol yang diduga
memiliki aktivitas antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas DPPH yang
terdapat dalam sampel.Berdasarkan hasil pada tabel tersebut maka terdapat
hubungan antara besarnya senyawa polifenol dengan nilai EC50 yang telah
diperoleh pada tahap sebelumnya. Dimulai dengan aktivitas antioksidan paling
rendah dari sampel T.Rimpang Akar yang memiliki nilai EC50 paling tinggi
karena memiliki nilai kadar polifenol paling rendah yaitu 3,60%. kemudian diikuti
dengan sampel E.Rimpang yang memiliki nilai kadar polifenol 4,58% dan sampel
T.Daun 4,86%. Sampel yang memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi karena
memiliki nilai EC50 paling rendah dimiliki oleh sampel E.Daun yang memiliki
nilai kadar polifenol paling tinggi yaiti 13,25%.
Bedasarkan hubungan tersebutmaka memperlihatkan bahwa kemampuan
yang dimiliki antara sampel E.Daun, kemudian diikuti T.Daun, E.Rimpang, dan
T.Rimpang Akar dalam menangkal radikal bebas DPPH mengalami penurunan
diperlihatkan dengan nilai EC50 dari masing-masing sampel tersebutmakin tinggi,
hal tersebut sejalan dengan penurunan nilai kadar polifenolnya. Hubungan
tersebut diperlihatkan seperti grafik dibawah ini (Gambar 27)
Keterangan :
E.Daun
E.Rimpang
T.Daun
T.Rimpang Akar
Gambar 26. Korelasi Nilai EC50 dengan Nilai Total Kadar Polifenol
136,4 ; 13.25
465,87; 4.86 656,47; 4.58734,61;3.60
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
0 200 400 600 800
Kada
r pol
ifeno
l (%
)
Nilai EC50 (ppm)
54
Hasil uji tahap ini maka dapat dikatakan bahwa terjadi korelasi atau
hubungan yang cukup erat antara nilai EC50 aktivitas antioksidan dari setiap
sampel dengan kadar total polifenol yang dimilikinya. Maka meskipun uji total
kadar polifenol ini hanya mengambil empat dari total delapan sampel, namun
dapat mewakili keterkaitan antara aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh delapan
sampel pada pembahasan sebelumnya dengan nilai kadar polifenol sampel
tersebut.
4.6 Evaluasi Aktivitas Antioksidan
Pada evaluasi aktivitas antioksidan, dipilih satu ekstrak pekat yang
memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi yaitu ekstrak pekat E.Daun. Tahap ini
dilakukan dengan tujuan untuk melihat aktivitas antioksidan yang dimiliki ekstrak
tersebut sebagai contohnya dalam menghambat oksidasi pada minyak yang akan
menghasilkan radikal hidrogen peroksida.
Oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen
dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau
tengik. Selain itu penyebab ketengikan juga dapat karena ketengikan oleh enzim,
dan ketengikan oleh proses hidrolisa. Oksidasi atau pemanasan minyak oleh
oksigen udara terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak dalam waktu yang
lama akan meningkatkan persentase hidrogen peroksida yang juga mempercepat
proses timbulnya ketengikan tersebut, menurunkan nilai gizi karena kerusakan
vitamin dan asam lemak. Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu : lamanya
pemanasan, suhu, adanya akselerator, dan komposisi campuran asam lemak
(Ketaren 1986).
Minyak yang digunakan untuk uji ini adalah sampel minyak ikan, minyak
goreng baru, dan minyak goreng setelah dipakai.Menurut Departemen Kesehatan
RI (1998) penambahan antioksidan pada produk makanan adalah maksimal
sebanyak 200 ppm. Maka dari itu konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada
pemaparan sebelum proses oksidasi adalah 0 ppm (tanpa penambahan ekstrak),
136,40 ppm (nilai EC50) dan 200 ppm (Lampiran 9).Setelah itu dilakukan oksidasi
didalam inkubator dengan suhu 40°C untuk mempercepat proses oksidasi pada
55
sampel minyak ikan selama 14 hari, sedangkan minyak goreng baru dan bekas
pakai diinkubasi selama satu hari.
Dalam titrasi iodometri pada proses ini, terjadi reaksi oksidasi-
reduksi.Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang tidak jenuh akan
bereaksi dengan iodin atau senyawa-senyawa iod. Gliserida pada minyak dengan
tingkat ketidakjenuhan tinggi akan mengikat iod dalam jumlah besar (Ketaren
1986). Penambahan asam asetat glasial dan kloroform sebagai pelarut bertujuan
untuk membuat sistem dalam suasana asam.Dalam suasana asam ini biasanya
kalium iodat lebih mudah mengoksidasi ion iodida menjadi iodin. Penambahan
Kalium Iodida berlebih (jenuh) bertujuan untuk membantu melarutkan Iodin,
karena Menurut (Harjadi 1990 dalam Stefie 2012) Iodin sukar larut dalam air
namun mudah larut dalam I- berlebih.
Selanjutnya jumlah Iod dalam KI yang dibebaskan/direduksi oleh
peroksida dititrasi dengan natrium tiosulfat melalui titrasi iodometri dengan
indikator pati.Indikator patidipilih karena menurut Poedjadi (1994) dalam Stefie
(2012) merupakan indikator spesifik berantai lurus yang dapat bereaksi
membentuk kompleks biru tua dengan iodin.Ketika kompleks biru tua ini terjadi,
molekul-molekul iodin bertahan di permukaan β-amilosa dan rantainnya
mengambil bentuk opisal.
Banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan untuk mengikat Iod
bebas dalam g lemak yang diselidiki, dihitung untuk melihat nilai bilangan
peroksida minyak (Ketaren 1986) (Lampiran 10). Berikut hasilnya (Tabel 8):
Tabel 8. Nilai Bilangan Peroksida Pada Evaluasi Aktivitas AntioksidanNO Sampel Konsentrasi Ekstrak Pekat
E.Daun
Nilai Bilangan
Peroksida
1 Minyak Ikan Kontrol (0 ppm) 55 meq/kg
EC50 (136.40 ppm) 19 meq/kg
200 ppm 11 meq/kg
2 Minyak Goreng Baru Kontrol (0 ppm) 4 meq/kg
200 ppm 1 meq/kg
3 Minyak Goreng Bekas
pakai
Kontrol (0 ppm) 10meq/kg
200 ppm 2 meq/kg
56
Berdasarkan hasil pada Tabel 8, dapat dikatakan bahwa penambahan
antioksidan ekstrak E.Daun dapat mengurangi ketengikan dari minyak.Hal ini
diperlihatkan dengan nilai bilangan peroksida yang diperoleh.Pada perlakuan 0
ppm atau tidak adanya penambahan antioksidan ekstrak E.Daun, nilai bilangan
peroksida yang diperoleh menjadi yang paling tinggi yaitu 55 meq/kg. Hal ini
dapat terjadi karena tidak adanya penambahan senyawa antioksidan yang dapat
menangkal radikal bebas/ hidrogen peroksida yang terbentuk melalui proses
oksidasi pada sampel minyak. Berbeda halnya dengan perlakuan kedua dan
ketiga. Pada perlakuan kedua yaitu melalui penambahan antioksidan ekstrak
E.Daun sebesar 136,40 (nilai EC50 nya) sebelum pemaparan proses oksidasi, dapat
mengurangi ketengikan minyak dengan nilai bilangan peroksida yang ditunjukkan
sebesar 19 meq/kg. Nilai bilangan peroksida tersebut diperkirakan akan terus
mengalami penurunan sejalan dengan penambahan konsentrasi antioksidan, hal ini
diperkuat dengan nilai bilangan peroksida yang diperoleh pada perlakuan ketiga
yaitu penambahan antioksidan ekstrak E.Daun sebesar 200 ppm dapat
menurunkan hingga 11 meq/kg.
Bilangan peroksida ini merupakan salah satu parameter dalam menentukan
ketengikan minyak.Minyak yang memiliki kualitas baik adalah maksimal sebesar
5 meq/kg (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI 2011).Jika bilangan peroksida
dalam bahan pangan lebih besar dari 100 meq/kgmaka akan bersifat sangat
beracun dan tidak dapat dimakan, disamping bahan pangan tersebut mempunyai
bau yang tidak enak (Ketaren 1986).
Bilangan peroksida pada minyak ikan perlakuan pertama, kedua, dan
ketiga, masih dapat dikatakan tengiksebagaimana standar yang telah ditetapkan
karena nilai yang diperoleh masih berada diatas angka 5 meq/kg.Secara umum,
minyak pada ketiga perlakuan ini masih dapat dimakan karena nilai bilangan
peroksida masih dibawah batas nilai 100 meq/kg, jika mengesampingkan bau
yang tidak enak.
Pada penambahan antioksidan ekstrak E.Daun yang dilakukan pada
minyak goreng masih baru dan minyak goreng yang sudah dipakai (bekas),
konsentrasi antioksidan yang digunakan adalah 0 ppm dan 200 ppm. Pada sampel
57
minyak goreng baru, penambahan antioksidan ini dapat menurunkan ketengikan
hingga empat kali ditunjukkan dengan nilai peroksida pada penambahan
antioksidan 200 ppm yaitu 1 meq/kg, empat kali lebih kecil bila dibandingkan
dengan tidak dilakukan penambahan antioksidan (0 ppm) yaitu 4 meq/kg.
Sedangkan pada sampel minyak goreng bekas, penambahan antioksidan 200 ppm
dapat menurunkan ketengikan hingga lima kali, diperlihatkan dengan nilai
peroksida pada penambahan antioksidan 200 ppm adalah 2 meq/kg dan tanpa
adanya penambahan antioksidan (0 ppm) adalah 10 meq/kg. Sampel minyak
goreng ini baik dengan penambahan antioksidan (200 ppm) atau tidak (0 ppm)
belum mengalami ketengikan kecuali pada konsentrasi 0 ppm pada minyak
goreng bekas telah mengalami ketengikan.
Nilai bilangan peroksida juga dapat memperlihatkan kualitas
minyak.Kualitas minyak paling tinggi adalah maksimal 2 meq/kg(Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI 2011).Maka dengan penambahan antioksidan
pada minyak goreng yang masih baru dapat meningkatkan kualitas minyak, hal ini
ditunjukkan dengan nilai bilangan peroksida pada 0 ppm adalah 4 meq/kg menjadi
1 meq/kg pada penambahan 200 ppm ekstrak E.Daun. Berikut (Gambar 28)
memperlihatkan hubungan penambahan antioksidan ekstrak E.Daun pada ketiga
sampel minyak dapat menghambat oksidasi minyak yang dapat mengakibatkan
ketengikan ditunjukkan dengan penurunan nilai bilangan peroksida :
Gambar 27. Hubungan Penambahan Antioksidan Ekstrak Pekat Metanol E.DaunTerhadap Penurunan Bilangan Peroksida
0; 55
136,4; 19
200; 11
0, 4200; 1
0; 10
200; 20
10
20
30
40
50
60
0 100 200 300Nila
i Bila
ngan
Per
oksi
da (m
eq/k
g)
Konsentrasi Antioksidan (ppm)
Minyak Ikan
Minyak Goreng BaruMinyak Goreng Bekas
58
Selain pengaruh konsentrasi ekstrak E.Daun sebagai antioksidan,
diperkirakan adanya pengaruh lamanya oksidasi pula. Pada sampel minyak ikan
yang mengalami pemaparan oksidasi selama 14 hari setelah ditambahkan 200
ppm ekstrak, nilai bilangan peroksidanya masih tinggi sebesar 11 meq/kg. Pada
sampel minyak goreng baru dan bekas yang mengalami pemaparan oksidasi
selama 1 hari setelah ditambahkan 200 ppm ekstrak, nilai bilangan peroksida
terbilang rendah sebesar 2 meq/kg dan 1 meq/kg. Hal ini juga dapat dilihat pada
perlakuan tanpa penambahan ekstrak (0 ppm) pada minyak ikan sangat tengik
dengan nilai bilangan peroksida 55 meq/kgdibandingkan pada minyak goreng
bekas 10 meq/kg dan minyak goreng baru 4 meq/kg.
Suatu senyawa antioksidan dapat menghambat pembentukan hidrogen
peroksida yang terbentuk akibat proses oksidasi, melaui reaksi pada tahap inisiasi,
propagasi, atau terminasi. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan
peroksida dan hidroperoksida.Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam-asam
lemak disertai konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-
asam lemak bebas(Ketaren 1986).Berikut tiga contoh reaksi pembentukan
hidrogen peroksida dan penghambatannya oleh antioksidan (Ketaren1986, Gordon
1990, Winarno 1997 dalam Prabowo 2009):
Tahap Inisiasi/Pembentukan:
Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal bebas (R*) bila terjadi
kontak antara lemak (RH) dengan panas, cahaya, ion metal dan oksigen(Winarno
1997 dalam Prabowo 2009).Radikal lipid inilah yang akan menjadi awal
memasuki tahap propagansi reaksi radikal berantai. Namun bila pada tahap ini,
radikal lipid tersebut dapat dihambat oleh suatu antioksidan yang memiliki
elektron atau ion hidrogen maka akan terbentuk lemak kembali serta radikal
antioksidan yang stabil (A*) bila dibandingkan dengan radikal lipid. Berikut
gambaran reaksinya :
RH + O*-O* panas/cahaya R*(Lemak) (Oksigen) (Radikal lipid)
Penghambatan : R* + AH RH + A*
(Radikal lipid) (Antioksidan) (Lemak) (radikal antioksidan stabil)
59
Tahap Propagasi/Perambatan :
Tahap selanjutnya yaitu propagansi, bila radikal lipid (R*) yang terbentuk
pada tahap sebelumnya terjadi kontak kembali dengan panas, cahaya, ion metal,
atau oksigen maka akan terbentuk radikal peroksida (ROO*) (Gordon 1990). Jika
radikal peroksida tersebut kontak dengan mengikat ion hidrogen lemak baru maka
akan terbentuk hidrogen peroksida (ROOH) dan radikal lipida baru (R*). Radikal
baru yang terbentuk inilah yang lebih reaktif untuk melakukan reaksi berulang
hingga berantai. Namun bila suatu antioksidan dapat menghambatnya pada proses
ini dengan memberikan ion hidrogen misalnya maka radikal peroksida (ROO*)
yang terbentuk sebelum mengikat ion hidrogen dari lemak, maka akan
membentuk hidrogen peroksida (ROOH) dan radikal antioksidan yang stabil (A*).
Berikut gambaran reaksinya :
R* + O*-O* ROO*(Radikal lipid) (Oksigen) (Radikal peroksida)
ROO* + RH ROOH + R*(Radikal peroksida) (Lemak) (Hidrogen peroksida)(Radikal lipid baru)
Penghambatan :
ROO* + AH ROOH+ A*(Radikal peroksida) (Antioksidan) (Hidrogen peroksida)(Radikal antioksidan stabil)
Tahap Terminasi/Penghentian :
Jika radikal lipid (R*) atau radikal peroksida (ROO*) tidak dapat dihambat
pada dua tahap sebelumnya dan memasuki tahap ini yaitu terminasi (penghentian),
radikal-radikal tersebut akan menjadi radikal stabil pula yang tidak memiliki
cukup energi untuk bereaksi kembali jika bertemu dengan sejenisnya. Misalnya
radikal lipid baru (R*) bertemu dengan radikal lipid baru (R*) kembali makaakan
terbentuk RR (radikal stabil) dan A* (radikal antioksidan stabil) jika ditambahkan
AH (antioksidan). Berikut gambaran reaksinya:
R*+R* + AH RR + A*(Radikal llipid baru) (Antioksidan) (Radikal stabil)(Radikal antioksidan stabil)
R* + ROO* + AH ROO + R + A*(Radikal lipidbaru)(Radikal peroksida) (Radikal stabil)
ROO* + ROO*+ AH ROO+ROO + A*(Radikal peroksida) (Antioksidan) (Radikal stabil)
60
Namun jika kedua radikal tersebut bertemu kembali dengan radikal lain
yang belum stabil seperti lemak, radikal lipid, radikal peroksida, tanpa adanya
antioksidan maka akan terbentuk reaksi berantai yang menghasilkan radikal-
radikal baru yang lebih reaktif. Pada tahap terakhir ini juga, hidrogen peroksida
(ROOH) yang sangat tidak stabil dapat terpecah menjadisenyawa organik berantai
pendek seperti aldehid, keton, alkohol, dan asam (Winarno 1997 dalam Prabowo
2009).
Golongan fenol termasuk antioksidan yang banyak digunakan karena tidak
beracun (Ketaren 1986).Oleh karena itu kandungan Polifenol khusunya tanin yang
terdapat pada ekstrak E.Daun ini berpotensi menjadi antioksidan dalam bidang
pangan, karena dapat menurunkan ketengikan melalui bilangan peroksida seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya.Menurut Jati (2008) dalam Rumiantin (2011)
tanin bersama senyawa polifenol lainnya merupakan senyawa yangberfungsi
sebagai antioksidan karena ketiga senyawa tersebut adalah senyawa-
senyawafenol, yaitu senyawa dengan gugus –OH (terikat pada cincinaromatik)
yang dapat memberikan ion hidrogennya terhadap radikal bebas.
Peningkatan kadar tanin dalam suatu bahan kemungkinan dapat ikut
meningkatkan kandungan katekinnya, dimana tanin merupakan senyawa turunan
dari katekin. Penelitian secara epidemiologis, konsumsi teh hijau yang banyak
mengandung senyawa polifenol seperti katekin dan turunannya dapat
meminimalisir kanker (Yu et al. 1995 dalam), mencegah penyakit jantung dan
stroke, menstimulir sistem sirkulasi, memperkuat pembuluh darah, menurunkan
kolesterol dalam darah, dan antidiabetes (Yang dan Landau 2000, McKay dan
Blumberg 2002, Ikeda 2008, Maeta 2007, dalam Damayanthi dkk. 2008).