buku ketik 2003 bab i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rangkaian tulisan tentang Permesta telah banyak ditulis oleh para
ahli baik dalam bentuk artikel, makalah karya ilmiah dengan berbagai
wawasan teoritis. Pada kenyataannya studi tentang Permesta bukanlah studi
sejarah masa lalu yang telah mati, meskipun mengkaji masa yang telah
lewat, tetapi memberikan kepada kita pengetahuan dan wawasan tentang
suatu konflik kenegaraan yang tidak kurang lebih pentingnya dari berbagai
peristiwa politik di tanah air pada pasca revolusi kemerdekaan, pengetahuan
dan wawasan ini kemudian diharapkan dapat menjadi landasan kepada kita
untuk memahami konteks berikutnya, termasuk memahami berbagai
diskursus persoalan kekinian.
Memang, sudah banyak jawaban yang diberikan atas pertanyaan-
pertanyaan tentang Permesta. Ini tidaklah berarti bahwa pengkajian tentang
Permesta telah berada pada posisi final dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
Sebaliknya pengkajian tentang Permesta harus dirangsang nilai
akademiknya dengan berbagai instrument agar tetap pada wilayah
perdebatan akademis, sehingga pemahaman kitapun tentang Permesta lebih
komprehensif. Dan salah satu instrument yang dianggap relevan adalah
mengubah nalar sejarah kita dengan melihat Permesta ke sudut pandang
yang lebih netral.
Dalam materi pelajaran sejarah untuk anak sekolah, penguraian
tentang Permesta sangat singkat dan tidak secara komprehensif. Ini
berakibat pemahaman kita pun sering keliru. Demikian ula jawaban tentang
Permesta dapat kita temui pada tulisan-tulisan lain, seperti Memoar A. H.
Nasution (Memenuhi Panggilan Tugas) yang melihatnya dari sudut
pandangan penulisnya. Dinas Sejarah Militer Indonesia (TNI-AD) misalnya
hanya menempatkan Permesta ke dalam kerangka peranan TNI dalam
penumpasan Permesta, Nugroho Notosusanto (Sejarah Nasional Indonesia)
juga melihat Permesta jelas sebagai bagian dari gerakan separatis-
pemberontak, serta beragam lagi tulisan-tulisan lain yang kesemua itu
kemudian membentuk opini kita bahwa Permesta adalah gerakan separatis-
pemberontak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemahaman
sejarah kita ini pun kemudian berlanjut kepada sebuah asumsi bahwa
apapun yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah pusat adalah
gerakan separatis-pemberontak. Ini dikarenakan banyak tulisan yang secara
apriori mengecam Permesta tanpa dukungan fakta-fakta dan celakanya
anomali ini kemudian mengendemik ke wilayah garapan sejarah akademis.
Informasi tentang Permesta pun dapat kita lihat dari hasil penelitian
yang lebih komprehensif. Dalam kajian sejarah akademis, paling tidak ada
dua tulisan tentang Permesta yang telah diterbitkan. Diantaranya karangan
Barbara Sillars Harevey (1989) yang berjudul “Permesta : Pemberontak
Setengah Hati”. Karya ini merupakan kajian politik tentang Permesta dari
sudut pandang pengamat luar. Barbara mencoba menelusuri peristiwa
Permesta dengan memakai teori “Center Periphery”. Teori ini berusaha
melihat factor lemahnya integrasi birokratis dan ekonomis yang merupakan
warisan dari kondisi umum zaman penjajahan, menjadi unsure pokok yang
menimbulkan ketegangan pusat dengan daerah. Dari tulisan ini setidaknya
dapat menggeser pemahaman kita pada tulisan-tulisan sebelumnya bahwa
ada factor yang sangat situasional sehingga Permesta itu lahir dan klaim
sejarah atas Permesta sebagai gerakan separatis-Pemberontak, total masih
perlu dipertanyakan secara akademis, ini bisa dipahami atas kehati-hatian
Barbara dengan penyebut Permesta sebagai pemberontak setengah hati.
Kemudian wacana Sejarah Nasional kembali dirangsang nilai
akademiknya ketika diterbitkan informasi terbaru tentang Permesta. Hasil
penelitian R.Z. LErissa yang kemudian diterbitkan dengan judul
“PRRI/Permesta”: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis” member
persepsi lain dari tuliansebelumnya. Dengan menggunakan “Oral History”
mencoba menemukan factor-faktor utama balik tersebut. Nampaknya
permasalahan atau konflik militer (kesenjangan dalam kubu Angkatan Darat0
dan bahaya komunisme, serta bagaimana persepsi para eksponen PRRI-
Permesta mengenai tanah airnya pada tahun 1950-an, apa yang mereka
lakukan, serta bagaimana upaya menyusun strategi pembangunan berskala
nasional tanpa keterlibatan PKI dalam kegiatan politik nasional merupakan
pokok-pokok pening dalam tulisan ini. Dan satu temua yang dapat
memancing nalar kita adalah klaim sejarah atas Permesta sebagai gerakan
Separatis-Pemberontak tidak lagi disebutkan dalam tulisan ini dan bahkan
sedikitnya mendapat pembelaan secara argumentative.
Kedua sejarah akademis diatas pada dasarnya telah menguraikan
secara detail tentang berbagai kemelut yang melanda bangsa Indonesia, di
antaranya berbagai perbedaan-perbedaan pandangan tentang tatanan
kenegaraan, format pembangunan dari perbedaan-perbedaan pandangan ini
kemudian melahirkan berbagai konflik di antaranya konflik ideology,
keguncangan dalam kubu Angkatan Darat serta ketegangan antara pusat
dan daerah sebagai akibat lemahnya integrasi birokratis dan ekonomis.
Anomali-anomali diatas mengendemik sampai ke daerah-daerah
dan terakumulasi menjadi bentuk kekecewaan pemerintah daerah terhadap
kebijakan politik, ekonomi pemerintah pusat, ini berakibat munculnya
berbagai pergolakan di daerah dengan berbagai pula tuntutan, diantaranya
tuntutan kepada pemerintah pusat agar pemerintah daerah dapat mengatur
wilayah kerjanya sendiri, tuntutan ini dikenal dengan tuntutan otonomi
daerah. Ini didasari atas asumsi bahwa dalam situasi seperti itu diperlukan
format pemerintah yang efektif dan efisien.
Seperti yang dikemukakan oleh Barbara (1989 : 18) bahwa:
“Tuntutan-tuntutan untuk otonomi daerah yang lebih besar bias
dilihat sebagai saran-saran untuk membikin pemerintahan yang
lebih efektif dari segi pandangan daerah-daerah. Tuntutan itu
bukanlah suatu serangan terhadap system demokrasi parlementer
itu sendiri, sekalipun ada rasa benci yang meluas di seluruh negeri
terhadap politikus yang cekcok di Jakarta”.
Demikian pula tuntutan otonomi daerah tersugesti oleh munculnya
berbagai masalah-masalah social, ekonomi, politik yang dialami pemerintah
daerah, ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh karena system
pemerintahan sentralistik yang tidak memperhatikan pembangunan local.
Untuk menyelesaikan masalah-masalah social politik, ekonomi
tersebut kemudian mengharuskan pemerintah daerah mengatur dan
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di wilayah kerjanya. Adalah
sangat tidak efektif apabila masalah-masalah yang segera ditangani
meniscayakan kemampuan pemerintah daerah atau kemudian harus
menunggu restu dari pusat dengan rantai birokrasi yang demikian panjang.
Maka implikasinya di sini termasuk di bidang politik pemerintah daerah harus
mengambil keputusan politik dan kebijaksanaan public bersifat segera agar
secepatnya menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Salah satu masalah nasional dan daerah yang dihadapi adalah
kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah tampaknya masalah ini
kemudian menjadi isu yang sangat menarik dalam tuntutan daerah. Seperti
ditegaskan lebih lanjut oleh R. Z. Lerissa (1997:76) bahwa :
“Tidak lancarnya pembangunan daerah merupakan salah satu isu
yang paling kuat dirasakan masyarakat di Sulawesi. Partai-artai
politik dan berbagai kelompok social lainnya berlomba mengajukan
jalan keluar. Salah satu yang paling popular ketika itu adalah
otonomi daerah, dari masalah otonomi propinsi sampai ke taraf
kabupaten…..
Dengan demikian otonomi daerah merupakan isu menarik untuk
dikelola secara formal dan bahkan isu tentang otonomi daerah ini menjadi
produk yang diperebutkan oleh partai politik serta berbagai kelompok-
kelompok social, sehingga boleh dikatakan otonomi daerah dalam fenomena
historis bukanlah suatu fenomena yang mengejutkan. Karena wacana
tentang otonomi telah ada sejak bangsa Indonesia merdeka, bahkan telah
menjadi diskursus politik-ekonomi. Sebagaimana yang telah dikemukakan
baik pada tulisan Barbara maupun Lerissa.
Akan tetapi, masalah yang kemudian mengemukakan adalah kedua
tulisan sejarah akademis diatas baik oleh Barbara maupun Lerissa tidak
menyebut dan menguraikan secara jelas tentang bagaimana bentuk otonomi
daerah yang dimaksud dan bagaimana konsep serta implementasinya, dan
pikiran apa yang melatarinya ataukah ini berawal dari konflik elit yang
kemudian ditarik dan diisukan ke bawah, hal ini tidak diulas secara memadai
pada tulisan sebelumnya.
Dengan demikian jelas masih banyak hal seputar Permesta untuk
dikaji, khususnya bagaimana tuntutan Permesta dalam mewujudkan otonomi
daerah dan seperti apa otonomi daerah yang diperjuangkan, serta
bagaimana latar pemikiran yang mendasari perjuangan mewujudkan otonomi
daerah tersebut. Ke semua itu tidak diungkap secara memadai pada tulisan-
tulisan sebelumnya.
B. Rumusan masalah
Permesta jelas tidak lahir serta merta tanpa ada pertimbangan
rasional dan situasional secara matang, tentu saja gerakan ini muncul
didasari oleh pemahaman realitas kebangsaan yang berkembang serta
pembacaan situasi (ruang-waktu) tentang kondisi daerah yang dilanda
berbagai masalah social, politik dan ekonomi. Dan salah satu “ideas” para
tokoh penggerak Permesta adalah penemuan gagasan-ide tentang format
pembangunan yang berskala nasional, diantaranya pemberian otonomi
kepada pemerintah daerah.
Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini akan memfokuskan pada
lima permasalahan pokok, yaitu :
1. Bagaimana situasi Indonesia menjelang Permesta?
2. Bagaimana hubungan pusat dan daerah?
3. Bagaimana pokok-pokok pikiran Permesta khususnya tentang otonomi
daerah?
4. Bagaimana perjuangan Permesta dalam mewujudkan otonomi daerah?
C. Batasan Masalah
Sesuai judul dan rumusan masalah, maka focus kajian dalam
penelitian ini adalah bagaimana perjuangan Permesta dalam mewujudkan
otonomi daerah, pembahasan masalah ini dimulai dari “situasi Indonesia
menjelang Permesta, yaitu berbagai persoalan-persoalan politik, ekonomi,
social, militer, hubungan pusat dan daerah. Dari situasi ini muncullah
pemahaman para tokoh-tokoh Permesta (sebagai kelompok memiliki
otoritas) dengan berbagai gagasan-ide yang di antaranya otonomi daerah.
Bagaimana bentuk otonomi yang dimaksud menjadi unsure penting dalam
penelitian ini, kemudian pada akhir penelitian akan membahas tentang
implementasi ide otonomi daerah tersebut.
Kemudian secara temporal penelitian ini dibatasi antara tahun
1957, saat dikumandangkannya Piagam Permesta, ini didasari bahwa
disinilah perjuangan Permesta dimulai. Dan hingga tahun 1961 dengan
berbagai pertimbangan situasional para tokoh-tokoh Permesta menyerahkan
diri kepada pemerintah sehingga secara organisator Permesta pun berakhir.
D. Metode dan Pendekatan
Sesuai judul, penelitian ini menggunakan metode historis yang
menurut Nogroho Notosusanto (1971:17) “mencakup empat tahapan kerja
(1) Heuristik, yaitu kegiatan menghimpun sumber. (2) Kritik, yaitu penilaian
terhadap kredibilitas sumber. (3) Penafsiran fakta, dan (4) Sintesa, yang
dituangkan dalam bentuk tulisan”.
Adapun permasalahan pokok yang tercantum dalam rumusan
masalah akan dianalisis dengan pendekatan metodologi strukturis. Model
strukturis memandang masyarakat sebagai suatu struktur yang nyata dari
aturan, peran-peran, relasi-relasi dan makna-makna yang dihasilkan dan
berubah oleh individu yang merupakan kondisi sebab akibat dari tindakan,
keyakinan dan keinginan-keinginannya. Metodologi ini berusaha
mengkonseptualisasi dan mengkaji proses pembentukan struktur dalam
jangka waktu tertentu dengan memeriksa interaksi sebab akibat dari para
individu, kelompok-kelompok, kelas-kelas dan pengstrukturan kondisi-kondisi
social keyakinan-keyakinan dan keinginan-keinginan mereka.
Menurut Lioyd (1993:139) mengatakan :
…..If we are to explain the history and effectiveness of structures
we must allude to the roles of meanings, intentions, understandings
and practices in producing them. Structures cannot produce or
reproduce themselves. Socially productive and reproductive
behavior is always performed in context the induces understanding
about society and people.
Untuk menjelaskan sejaran dan struktur-struktur yang efektif maka
harus mengungkapkan peran-peran terhadap arti, tujuan-tujuan,
pemahaman-pemahaman dan praktek-praktek dalam
menghasilkannya. Struktur-struktur tersebut tidak bisa
memproduksi atau mereproduksi sendiri. Perilaku yang secara
social produktif dan reproduktif biasanya diungkapkan dalam suatu
konteks yang meliputi pemahaman tentang masyarakat dan orang-
orang.
Metodologi strukturis berisi sejumlah konsep yaitu Agency, struktur
social, mentality dan causal factors. Agency secara umum dihubungkan
dengan dua pengertian, (1) Kekuatan otonom yang sungguh-sungguh ada
atau bagian dari system untuk mendatangkan akibat; (2) Kekuatan dari
seseorang untuk melakukan tindakan yang mendatangkan keberhasilan.
Agency tidak mampu berdiri sendiri tanpa struktur social. Struktur social
terdiri dari komponen-komponen : rules, roles, dan interaction yang tidak bisa
dipahami secara hermeneutika karena merupakan unobservakes dan tidak
dapat ditangkap oleh panca indera, kecuali bila diteorikan. Sebaliknya
Agency sifatnya konkrit dan dapat ditangkap oleh panca indera. Mentality
diartikan : bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri, dunia mereka
dan bagaimana mereka mengekspresikan diri melalui agara, ritus, busana,
music dan lain sebagainya. Mentality adalah kemampuan yang dimiliki
manusia sehingga dapat berperan sebagai Agency dalam reproduksi dan
transformasi social. Sedangkan Casual factors merupakan hasil interaksi
antara Agency dengan structure social. Disinilah letak aspek analitis dari
metodologi strukturis. Interaksi ini mengakibatkan reproduksi dan
transformasi social.
Interaksi antara Agency dan Structure Social di satu pihak dan teori
di pihak lain dihubungkan oleh expressed intention. Expressed Intention ialah
maksud yang diekspresikan melalui bahasa dan atau tulisan dari perilaku
sejarah dan merupakan landasan bagi pelaku sejarah untuk melakukan
sesuatu. Dengan demikian expressed intention dapat juga dikatakan sebagai
mentality. Expressed Intention dapat diketahui melalui sumber-sumber
sejarah yang digunakan dalam penelitian. Kemampuan mereka ditelusuri dari
latar belakang social, ekonomi, politik serta perjalanan karirnya.
E. Penelitian Terdahulu
Tulisan tentang Permesta telah banyak dilakukan oleh para ahli
dengan berbagai warna dan persepsi. Tulisan-tulisan ini kemudian diolah
dan dianalisa dengan sendirinya mempengaruhi alur pemikiran sejarah kita
sehingga pemahaman kita pun tentang Permesta amat variatif.
Setidaknya ada tiga varian tulisan yang mewarnai pemahaman kita
tentang Permesta. Ketiga varian yang dimaksud adalah pertama, tulisan
yang secara tegas mengklaim Permesta sebagai gerakan separatis-
pemberontak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua tulisan
yang melihat Permesta sebagai fenomena tarik menarik dari berbagai
kepentingan dengan sejumlah masalah yang sangat komplek. Dilain sisi
Permesta dipandang sebagai gerakan pembangunan daerah dan tidak
berniat untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI sebagaimana diakhiri
dengan konflik bersenjata (perlawanan terhadap pemerintah yang sah).
Sehingga sebahagian orang memahami bahwa ia tetap berada sebagai
status pemberontak dan ketiga tulisan yang tidak lagi mengklaim Permesta
sebagai gerakan separatis-pemberontak, tetapi ia menempatkan Permesta
sebagai bagian dari strategi perjuangan terutama dalam membendung
pengaruh komunisme. Vaian yang ketiga ini tampaknya masih bersifat
paradoksal.
Klaim bahwa Permesta sebagai pemberontak dapat dilihat pada
berbagai tulisan-tulisan verse resmi (penafsiran sejarah menurut
pemerintah). Seperti buku materi pelajaran sejarah untuk anak sekolah,
walaupun diuraikan sangat singkat, tetapi jelas disebutkan bahwa Permesta
merupakan gerakan separates-pemberontak
Menyusul tulisan-tulisan lain seperti G. Mudjianto (Indonesia
bab .20), Nogroho Notosusanto (Sejarah Nasional Indonesia), Memoar A.H.
Nasution (memenuhi panggilan tugas) yang hanya melihat dare sudut
pandang penulisnya,. Demikian pula Dinas Sejarah Militer Indonesia (TNI-
AD), juga hanya menempatkan Permesta ke dalam kerangka peranan TNI
dalam penumpasan pemberontakan. Ke semua itu tidak memberi warna lain
tentang Permesta, bahkan ada penguatan asumsi bahwa Permesta memang
benar-benar gerakan separates-pemberontak,
Pemahaman kita tentang Permesta sedikit lebih longgar ketika
diterbitkan buku. karang Barbara Sellars Harvey (1986) dengan judul
"Permesta: Pemberontakan Setengah Hati. Melalui tulisan ini Barbara
melukiskan kembali atau membuat rekonstruksi tentang, Permesta. la mulai
dengan latar belakang Nasional dan latar belakang wilayah Indonesia Timur,
terutama Sulawesi, lalu diteruskan dengan kejadian-kejadian disekitar
kelahiran Permesta di Makassar, dan bagian terbesar dalam tulisan ini,
diceritakan bagaimana Permesta akhirnya berpusat di Sulawesi Utara,
terutama di Minahasa yang menjadi kancah pemberontakan.
Dari hasil rekonstruksi Barbara tentang Permesta paling tidak ada
dua hal penting yang terlukis didalamnya . Pertama, betapa rumitnya
peristiwa itu untuk diteliti, ditelaah, dipahami secara obyektif, terutama
karena ia mengandung berbagai corak kompleksitas di dalam dirinya. Kedua
bagaimana peristiwa itu berkembang dari semacam gerakan kepada yang
berkuasa di Jakarta menjadi pemberontakan setengah hati.
Dari tulisan ini, sedikitnya telah memberi informasi temuan baru
tentang Permesta bahwa betapa rumitnya fenomena kebangsaan saat itu,
serta bagaimana posisi pemerintah daerah yang bergolak. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan ini, pemahaman kita pun sedikit lunak dalam
memandang Permesta, bahwa pada dasarnya pemberontakan ini adalah
pemberontakan setengah hati.
Berikutnya, tulisan terbaru tentang Permesta yang dikarang oleh
R.Z Leirissa (1997) dengan judul “PRRI/Permesta : Strategi Membangun
Indonesia Tanpa Komunis". Menurut Leirissa, meski tulisan-tulisan yang ada
mencoba memahami masalah PRRI/ Permesta secara sungguh-sungguh,
namun ada pula secara apriori mengecam Permesta tanpa ada dukungan
fakta-fakta yang memadai. Sebahagian mereka mengecam itu, umumnya
kurang memperhatikan persepsi dan argumentasi tokoh-tokoh yang ada di
daerah bergolak, sehingga menarik kesimpulan sering kali berat sebelah dan
tidak professional.
Atas dasar kenyataan itu Leirissa mencoba melihat dan memahami
PRPI/Permesta ke sudut pandang yang lebih netral dengan berusaha
memperhatikan persepsi dan argumentasi tokoh-tokoh penggerak
pergolakan. Berkat dukungan data dan hasil wawancara (di samping data
arsip), ia berhasil menemukan suatu kesimpulan tentang PRRI/ Permesta
yang jauh dipahami umum selama ini dan tidak sesuai dengan tafsir sejarah
resmi.
Dalam tulisan ini, Leirissa mencoba menganalisa dan menjawab
sebuah pertanyaan kunci "bagaimana terjadi PRRI/ Permesta. Mula-mula
Leirissa menjelaskan perkembangan situasi berkisar pada masalah-masalah
militer, namun perkembangan selanjutnya mengendemik ke masalah lain
dalam jangkauan lebih luas, yang kemudian melahirkan Dewan Banton di
Padang, Dewan Gajah di Medan, Dean Garuda, di Palembang, dan
Permesta di Sulawesi.
Leirissa berusaha menjelaskan PRRI/Permesta lebih dari apa yang
dipahami umum selama ini. Disini ia mencoba memberi kesan bahwa
masalah PRRI/Permesta sebenarnya bukan sekedar ketegangan antar pusat
dan daerah karena hal itu sudah ada sejak zaman Majapahit, menurutnya,
kesenjangan antara pusat dan daerah dipertengahan tahun 1950-an terjadi
karena adanya pendapat bahwa perkembangan politik dipusat ketika itu tidak
memungkinkan terselenggaranya pembangunan nasional.
Dengan demikian, sampai sekarang belum ada penelitian secara
khusus mengkaji Permesta dari sudut perjuangan mewujudkan otonomi
daerah, padahal, rencana pembangunan yang ditawarkan Permesta, yaitu
"Otonomi Daerah".
F. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. Untuk menguraikan situasi Indonesia menjelang Permesta.
2. Untuk menjelaskan pokok-pokok pikiran Permesta yang meliputi;
Konsolidasi Nasional, Rencana pembangunan, dan Otonomi Daerah.
3. Untuk menjelaskan tahap-tahap perjuangan Permesta dalam
mewujudkan pokokpokok pikirannya tersebut, terutama perjuangan dalam
mewujudkan Otonomi Daerah
G. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan kepada kita wawasan dan pengetahuan tentang situasi
bangsa Indonesia menjelang Permesta, yang meliputi munculnya
berbagai konflik politik dan ideology.
2. Menjadi referensi bagi kita tentang beberapa pokok-pokok pikiran
Permesta yang diharapkan dapat menjadi landasan untuk memahami
esensi konflik kenegaraan.
3. Diharapkan dapat menjadi referensi bagi pengembangan sejarah
Nasional pada umumnya dan sejarah local pada khususnya.