chapter 12.kesamaan dalam pendidikan
TRANSCRIPT
MAKALAH
Providing Equal Educational Opportunity(Menyediakan Kesempatan Pendidikan yang Sama)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Landasan Pedagogik
Dosen: Dr. Ipah Saripah, M.Pd.
Nurisa Ainulhaq
1302776
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dapat diperoleh oleh siapa saja, tanpa dibatasi oleh ras, gender,
usia, fisik, dsb. Namun, sejarah menunjukkan bahwa secara global telah terjadi
diskriminasi dalam dunia pendidikan. Biasanya kelompok-kelompok yang sering
memperoleh perlakuan diskriminatif itu adalah kaum wanita dari kaum pria,
kelompok etnik minoritas dari kelompok mayoritas, dan kaum yang cacat dari
kaum non-cacat. Sekolah-sekolah di Amerika Serikat bertujuan menyediakan
kesempatan pendidikan bagi semua siswa melalui tingkat Sekolah Dasar dan
Menengah Atas. Meskipun demikian, kesempatan pendidikan tidak lepas dari
topik tentang kelas sosial, prestasi, ras, dan pendidikan yang efektif terlalu jarang
meluas ke permasalahan ekonomi, penghapusan perbedaan dan minoritas siswa.
Hal tersebut dirangsang oleh gerakan hak-hak sipil, banyak orang telah mengakui
kebutuhan untuk meningkatkan kesempatan pendidikan, bukan hanya bagi siswa
yang kurang beruntung tetapi juga untuk siswa penyandang cacat.
Oleh karena itu, perlu adanya desegregasi (penghapusan perbedaan),
pendidikan kompensasi bagi siswa yang kurang beruntung secara ekonomi,
pendidikan multikultural (termasuk pendidikan bilingual) dan pendidikan bagi
siswa penyandang cacat. Kemudian atas dasar mencerminkan empat gerakan
signifikan yang telah berusaha dalam memperbesar dan menyamakan kesempatan
pendidikan bagi siswa. Kita mungkin setuju bahwa sekolah-sekolah harus
memberikan kesempatan yang sama tapi mempertimbangkan segala aspek ini bagi
pemerintah, dewan sekolah dan kelompok-kelompok hak-hak sipil.
Sebagai seorang guru, dimanapun dia mengajar maka harus membangun
diri secara profesional dan secara moral berkewajiban untuk memberikan bantuan
khusus bagi siswa dengan capaian rendah. Keragaman ras dan etnis meningkat di
tiap populasi siswa, berarti bahwa guru mungkin akan perlu untuk
mengakomodasi siswa dari berbagai kelompok etnis, latar belakang budaya dan
1
bahasa. Siswa lebih daripada sebelumnya sedang diklasifikasikan sebagai
penyandang cacat, dan semakin siswa ini termasuk dalam kelas reguler. Sebagai
guru, setidaknya sebagian bertanggung jawab untuk menangani kebutuhan khusus
mereka. Berdasarkan pemaparan di atas mengenai masalah perwujudan
desegregasi di Amerika, bagaimana dengan di Indonesia?
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas, Rumusan Masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Perwujudan Desegregasi di Amerika Serikat ?
2. Bagiamana Perwujudan Desegregasi di Indonesia ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perwujudan Desegregasi (Penghapusan perbedaan) di Amerika
Desegregasi (penghapusan perbedaan) di Amerika berupa: pendidikan
kompensasi bagi siswa yang kurang beruntung secara ekonomi, pendidikan
multikultural (termasuk pendidikan bilingual) dan pendidikan bagi siswa
penyandang cacat.
1. Pendidikan Kompensasi
Pendidikan kompensasi dicetuskan oleh gerakan hak-hak sipil pada tahun
1960, kemudian diperluas dan dilembagakan pada masa presiden Lyndon
Johnson sebagai bentuk perang terhadap kemiskinan. Pendidikan kompensasi
ini berupaya untuk mengatasi masalah anak yang kurang beruntung dalam hal
ekonomi atau berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.
Beberapa layanan dari kegiatan pendidikan kompensasi adalah sebagai
berikut:
a. Keterlibatan orang tua dan dukungan.
Program sudah bergerak dari membantu para orang tua belajar untuk
mengajarkan anak mereka untuk meningkatkan fungsi keluarga dan
kelayakan kerja orang tuanya.
b. Pendidikan anak usia dini
Program Head start dan Follow through telah menjadi program
terbesar dari pendidikan kompensasi. Head start umumnya berupaya
untuk membantu anak-anak berumur 4-5 tahun yang kurang beruntung
dalam mencapai kesiapan memasuki kelas satu. Follow through
dikonsentrasikan pada peningkatan prestasi di tingkat dasar.
c. Pengajaran membaca, bahasa, dan matematika
d. Pendidikan Bilingual
e. Bimbingan, konseling, dan layanan sosial
f. Pencegahan drop out
3
Layanan keterampilan kerja dan pendidikan karir ditujukan untuk
menjaga siswa dari putus sekolah.
g. Pelatihan individu
Banyak program pelatihan kepada guru dan calon guru untuk
membantu guru dalam meningkatkan pengajarannya.
h. Program setelah sekolah
Mengadakan layanan perbaikan akademik atau pengayaan umum, atau
keduanya.
i. Laboratorium komputer dan jaringan
Dana kompensasi telah banyak membantu dalam pengadaan
laboratorium komputer dan jaringan di sekolah-sekolah.
2. Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural sekarang sudah mengalami perkembangan baik
teoritis maupun praktek sejak konsep paling awal muncul tahun 1960-an yang
pertama kali dikemukakan oleh Banks. Pada saat itu, konsep pendidikan
multikultural lebih pada supremasi kulit putih di AS dan diskriminasi yang
dialami kulit hitam (Murrell P., 1999). Pendidikan multikultural berkembang di
dalam masyarakat Amerika bersifat antarbudaya etnis yang besar, yaitu budaya
antarbangsa.
Pendidikan multikultural mengacu pada berbagai cara di mana sekolah
dapat memperhitungkan produksi dari perbedaan budaya antara siswa dan
meningkatkan kesempatan bagi siswa dengan latar belakang budaya yang
berbeda dengan pandangan AS. Aspek-aspek tertentu yang menjadi fokus
pendidikan multikultural yaitu dalam meningkatkan pengajaran bagi siswa
yang tidak belajar bahasa inggris standar atau yang memiliki perbedaan budaya
lain yang menempatkan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan
dalam ruang kelas. Sebagai guru, kita harus peduli terhadap diterapkannya
pendidikan multikultural yang dapat bermanfaat bagi semua siswa.
Terdapat empat jenis dan fase perkembangan pendidikan multikultural di
Amerika (Banks, 2004: 4), yaitu:
4
a. Pendidikan yang bersifat segregasi yang memberi hak berbeda antara kulit
putih dan kulit berwarna terutama terhadap kualitas pendidikan.
b. Pendidikan menurut konsep salad bowl, di mana masing-masing kelompok
etnis berdiri sendiri, mereka hidup bersama-sama sepanjang yang satu
tidak mengganggu kelompok yang lain.
c. Konsep melting pot, di dalam konsep ini masing-masing kelompok etnis
dengan budayanya sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya.
Namun dengan menyadari adanya perbedaan-perbedaan tersebut, mereka
dapat membina hidup bersama. Meskipun masing-masing kelompok
tersebut mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya tetapi
apabila perlu unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan
demi untuk menciptakan persatuan kehidupan sosial yang berorientasi
sebagai warga negara AS. Kepentingan negara di atas kepentingan
kelompok, ras, dan budaya.
d. Pendidikan multikultural melahirkan suatu pedagogik baru serta
pandangan baru mengenai praktis pendidikan yang memberikan
kesempatan serta penghargaan yang sama terhadap semua anak tanpa
membedakan asal usul serta agamanya. Studi tentang pengaruh budaya
dalam kehidupan manusia menjadi sangat signifikan. Studi kultural
membahas secara luas dan kritis mengenai arti budaya dalam kehidupan
manusia.
Pendidikan di AS pada mulanya hanya dibatasi pada migran berkulit putih,
sejak didirikan sekolah dasar pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan
berdirinya Universitas Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru tahun
1934 dikeluarkan Undang Undang Indian Reservation Reorganization Act di
daerah reservasi suku Indian. Tujuan pendidikannya adalah proses
Amerikanisasi. Suatu kelompok etnis atau etnisitas adalah populasi manusia
yang anggotanya saling mengidentifikasi satu dengan yang lain, biasanya
berdasarkan keturunan (Smith, 1987). Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh
orang lain seringkali merupakan faktor yang berkontribusi untuk
5
mengembangkan ikatan identifikasi ini. Kelompok etnis seringkali disatukan
oleh ciri budaya, perilaku, bahasa, ritual, atau agama.
Pendidikan Multikultural berkembang di dalam masyarakat multikultural
Amerika yang bersifat antarbudaya etnis yang besar yaitu budaya antarbangsa.
Ada upaya untuk mengubah Pendidikan Multikultural dari yang bersifat
asimilasi (berupa penambahan materi multikultural) menuju ke arah yang
lebih radikal berupa Aksi Sosial. Berkaitan dengan nilai-nilai kebudayaan
yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada
suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam
pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak
hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai
kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting
dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah
Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda
pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan.
Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika
adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural
terhadap kelompok minoritas.
3. Pendidikan bagi Penyandang Cacat
Persyaratan bahwa anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan layanan
khusus diantaranya:
a. Anak-anak tidak dapat diberi label sebagai penyandang cacat atau
ditempatkan dalam pendidikan khusus atas dasar kriteria tunggal
seperti nilai IQ, pengujian dan penilaian layanan yang pertama harus
bersikap adil dan komprehensif.
b. Jika anak diidentifikasi sebagai penyandang cacat, para pejabat sekolah
harus melakukan penilaian fungsional dan mengembangkan strategi
intervensi yang cocok.
6
c. Orang tua dan wali harus memiliki akses terhadap informasi mengenai
diagnosis dan mungkin protes keputusan para pejabat sekolah.
d. Setiap siswa yang memenuhi syarat untuk mendapat layanan khusus
harus diajarkan sesuai dengan program pendidikan individual yang
meliputi jangka panjang dan jangka pendek.
e. Pelayanan pendidikan paling tidak harus disediakan dalam lingkungan
terbatas, yang berarti bahwa anak-anak penyandang cacat harus dalam
kelas reguler sejauh mungkin.
Layanan pendidikan bagi penyandang cacat di Amerika Serikat berupa
pendidikan inklusif dimana penyandang cacat dimasukkan ke dalam kelas
regular.
B. Perwujudan Desegregasi di Indonesia
1. Hal-hal yang dipandang sebagai bentuk diskriminasi dalam
pendidikan
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1, Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan, spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan biasanya berawal pada seorang bayi itu dilahirkan dan
berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir
seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan
membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar)
bayi mereka sebelum kelahiran. Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran
yang amat mendalam sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka
walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.
Pendidikan merupakan hak azasi manusia bahkan pemerintah telah
mengaturnya dalam Pasal 31 dan 32 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga
negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam masalah pendidikan dan
kebudayaan. Kedua pasal ini menunjukan bahwa begitu konsen dan peduli
7
terhadap pendidikan dan kebudayaan warga negara Indonesia. Setiap warga
negara mendapat porsi yang sama dalam kedua masalah ini. Tidak hanya itu saja
Konstitusi kita (UUD 1945) menjamin hak setiap warga negara untuk
memperoleh pendidikan, sebagai upaya membangun bangsa. Amanat ini, jelas
disebutkan dalam Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945.
Di dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan, pasal 4
menyatakan: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Kesetaraan dalam
memperoleh pendidikan juga diabadikan dalam Pasal 26 Deklarasi Universal
HAM dan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Hak atas pendidikan ini ditegaskan kembali tahun 1960 UNESCO
Konvensi melawan Diskriminasi dalam Pendidikan. Namun, di Indonesia,
terdapat beberapa hal yang dipandang sebagai suatu bentuk diskriminasi dalam
pendidikan, diantaranya:
a. Keberadaan sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
Adanya sekolah dengan program RSBI diamanatkan dalam Pasal 50 ayat
(3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas). Sekolah dengan label RSBI dan SBI memang bertujuan untuk
memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, di samping memfasilitasi
anak-anak yang memang potensial secara akademik untuk lebih maju dan
setara dengan anak-anak di luar negeri. Namun kenyataan yang terjadi di
lapangan, RSBI dan SBI dinilai telah menciptakan kasta dalam dunia
pendidikan Indonesia. Jalur masuk yang dibedakan (biasanya lebih awal dari
penerimaan siswa reguler), fasilitas yang lebih memadai, alokasi pengajar
unggulan, serta bahasa Inggris yang dijadikan sebagai bahasa pengantar
membuat RSBI dan SBI terlihat sangat eksklusif. Selain itu, biaya pendidikan
di RSBI dan SBI juga umumnya berkali lipat lebih mahal jika dibandingkan
dengan sekolah reguler. Akibatnya, hanya anak-anak dari golongan
menengah ke atas yang dapat menikmati keunggulan-keunggulan tersebut.
8
RSBI dan SBI yang telah diterapkan selama bertahun-tahun dalam dunia
pendidikan Indonesia kini resmi dihapuskan. Penghapusan yang dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 8 Januari 2013 itu menuai dukungan
dari berbagai elemen masyarakat. Mereka melihat bahwa hasil lulusan RSBI
tidak beda dengan sekolah tersebut ketika masih menyandang sekolah standar
nasional (SSN). Dasar lainya adalah besarnya biaya penyelenggaraan
pendidikan RSBI. Pasalnya, eksistensi RSBI dan SBI di Indonesia
belakangan ini dinilai sebagai perwujudan diskriminasi dalam dunia
pendidikan.
b. Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
Pelaksanaan UN (Ujian Nasional) telah membuat guru-guru matapelajaran
non-UN merasa terdiskriminasi. Peristiwa ujian nasional, akan menimbulkan
kesan bahwa, ada guru-guru mata pelajaran tertentu yang merasa diabaikan
dan ada guru-guru mata pelajaran tertentu yang merasa sangat dibutuhkan.
Akhirnya jika hal ini tidak ditangani dengan bijaksana oleh para guru maka
hanya akan menjadi pertikaian yang terjadi antar guru. Selain membuat
beberapa guru matapelajaran cemburu terhadap beberapa guru matapelajaran
lain. UN juga telah melakukan hak-hak asasi siswa di daerah pedalaman.
Dengan fasilitas yang berbeda dengan yang dinikmati siswa-siswa yang
berada di perkotaan, siswa-siswa dituntut untuk mengerjakan soal yang sama
dengan yang dikerjakan siswa-siswa di daerah perkotaan yang memiliki
fasilitas yang lebih lengkap daripada siswa-siswa yang berada di pedalaman.
Selain itu, siswa di daerah terpencil juga dituntut untuk memenuhi nilai
minimal standar kelulusan. Pemerintah dan Dinas Pendidikan seolah tidak
mau tahu dengan terbatasnya fasilitas yang dimiliki oleh sekolah-sekolah di
daerah terpencil.
Selain itu, UN juga dipandang sebagai bentuk praktik diskriminasi
pendidikan. UN hanya berorientasi pada aspek kognitif saja, sementara aspek
afektif dan psikomotorik selalu diabaikan. Pelaksanaan evaluasi pembelajaran
hanya untuk menguji kecerdasan kognitif belaka, sehingga siswa hanya
9
berusaha mengasah kemampuan kognitifnya saja dan mengabaikan
kecerdasan lainnya.
c. Diskriminasi pembangunan pendidikan antara pedesaan dan perkotaan.
Rendahnya fasilitas pendidikan di pedesaan sudah menjadi fakta yang tak
terbantahkan lagi. Anak-anak yang sekolah di pedesaan harus ikhlas dengan
gedung dan fasilitas yang jauh dari harapan dan tak memenuhi standar
nasional pendidikan.
d. Diskriminasi antara pendidikan agama dan umum.
Pendidikan agama baik madrasah maupun pesantren merupakan bagian
integral dari pendidikan nasional yang memiliki tujuan yang sama untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi sayangnya madrasah dan pondok
pesantren terkesan dianaktirikan. Bahkan di beberapa daerah di kabupaten
tidak memiliki madrasah tempat anak negeri ini mendalami ajaran agamanya
sebagai wadah untuk membina akhlak dan budi pekerti mulia.
e. Isu kesetaraan gender
Isu gender masih menjadi masalah dalam pemenuhan persamaan
kedudukan untuk mendapatkan pendidikan. Doktrin yang mengatakan bahwa
laki-laki lebih mempunyai hak pengenyam pendidikan daripada perempuan di
masyarakat menyebabkan angka putus sekolah di kalangan perempuan
semakin tinggi, bahkan undang-undang pernikahan membolehkan anak
perempuan menikah di usia 16 tahun.
f. Persamaan kedudukan untuk mendapatkan pendidikan banyak terhalang oleh
ekonomi.
Dari data lapangan diperoleh informasi bahwa rata-rata tingkat putus
sekolah dan tinggal kelas di tingkat dasar cukup tinggi, terutama di daerah
pedesaan yang pada umumnya berasal dari keluarga yang pendapatanya
rendah. Di samping itu, mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan atau
10
berada di daerah terpencil selalu kesulitan mengakses pendidikan, sehingga
kualitas pendidikannya sangat rendah. Dengan posisi seperti itu, bagaimana
mereka yang miskin dan hidup terpencil mau bersaing meningkatkan taraf
ekonominya. Ada perbedaan mencolok antara anak miskin dan yang kaya
dalam mendapatkan akses pendidikan. Kesenjangan juga terjadi antara
mereka yang hidup di kota dengan daerah terpencil. Sebab, mereka yang
miskin bersekolah dengan fasilitas apa adanya. Sedangkan yang mampu
selalu diunggulkan di sekolah favorit. Sehingga menimbulkan persoalan
dimana terdapat pada pemanfaatan subsidi pendidikan antara anak-anak kota
dan desa ada kecenderungan kuat, bahwa anak asal perkotaan memperoleh
manfaat yang lebih besar dari subsidi pendidikan.
2. Upaya yang dilakukan dalam penghapusan diskriminasi
Untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif tersebut, maka harus ada
kesamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Kesamaan kesempatan
pendidikan adalah sikap nondiskriminatif bahwa setiap warga masyarakat, tanpa
memandang ras, warna kulit, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial atau bentuk-
bentuk stratifikasi sosial lainnya, berhak untuk diberi kesempatan yang sama
dalam memasuki suatu program pendidikan.
Pengamat pendidikan Anita Lie, siswa sepertinya terkotak-kotak sesuai
dengan latar belakang sosial-ekonomi, yang dalam hal tertentu juga agama dan
etnis. Kondisi ini makin diperparah dengan otonomi daerah yang pada gilirannya
memunculkan variasi dan disparitas layanan pendidikan. Jika kesenjangan-
kesenjangan di atas tidak dapat diatasi akan sulit untuk semua pihak untuk
mendapatkan persamaan kedudukan untuk mendapatkan pendidikan yang
menekankan pentingnya menghapus segala bentuk diskriminasi dan ekslusifitas di
lingkup pendidikan kita.
Khusus pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang
dan tiap-tiap jenjang memiliki fungsinya masing-masing maupun kebijaksanaan
memperoleh kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur dengan
11
memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif serta relevansi yang
selalu ditentukan proyeksinya secara terus menerus dengan seksama.
Pada jenjang pendidikan dasar, kebijaksanaan penyediaan memperoleh
kesempatan pendidikan didasarkan atas pertimbangan faktor kuantitatif, karena
kepada seluruh warga Negara perlu diberikan bekal dasar yang sama. Pada
jenjang pendidikan menengah dan terutama pada jenjang pendidikan yang tinggi,
kebijakan pemertaan didasarkan atas pertimbangan kualitatif dan relevansi, yaitu
minat dan kemampuan anak, keperluan, tenaga kerja, dan keperluan
pengembangan masyarakat, kebudayaan, ilmu, dan tekonologi. Agar tercapai
keseimbangan antara faktor minat dengan kesempatan memperoleh pendidikan,
perlu diadakan penerangan yang seluas-luasnya mengenai bidang-bidang
pekerjaan dan keahlian dan persyaratannya yang dibutuhkan dalam pembangunan
utamanya bagi bidang-bidang yang baru dan langka.
a. Mencanangkan Program Wajib Belajar
Salah satu usaha pemerintah dalam upaya persamaan untuk pendidikan
adalah dengan mencanangkan wajib belajar sembilan tahun yang dimulai
dilaksanakan sejak tahun 1994/1995. Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib
belajar UU No. 20 Tahun 2003 Bab III pasal 6 menyatakan: “Setiap warga negara
yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan
dasar.” Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kesenjangan sosial yang
terjadi di masyarakat yang menuju ke arah modernisasi dan industrialisasi,
pendidikan dipandang sebagai salah satu faktor utama yang menentukan
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas kerja tenaga kerja
terdidik. Oleh karena itu, perlu diupayakan peningkatan perluasan dan keadilan
untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara.
Pendidikan dianggap sebagai fungsi publik penting, dan negara sebagai
penyedia utama pendidikan melalui alokasi sumber daya anggaran dan mengatur
penyediaan pendidikan. Negara kita telah mengimplementasikan melalui program
wajib belajar hingga SMP. Mulai tahun 2011, pemerintah bahkan menggratiskan
sekolah sampai SMA. Setiap orang berhak mengembangkan pemenuhan
12
kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
b. Memberikan Kemudahan dalam Akses Pendidikan
Upaya peningkatan mutu perluasan pendidikan membutuhkan sekurang-
kurangnya 3 faktor :
1) Kecukupan sumber-sumber pendidikan dalam arti kualitas tenaga
kependidikan, biaya dan sarana belajar.
2) Mutu proses belajar mengajar yang dapat mendorong siswa belajar efektif.
3) Mutu keluaran dalam bentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai–
nilai.
Berdasarkan hal tersebut, dalam memfasilitasi kesetaraan dalam
pendidikan diperlukan akses yang mudah bagi setiap orang dalam mendapatkan
pendidikan. Akses pendidikan adalah kemudahan yang diberikan kepada setiap
warga masyarakat untuk menggunakan kesempatannya untuk memasuki suatu
program pendidikan. Akses tersebut dapat berupa sikap sosial yang
nondiskriminatif, kebijakan politik dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang mendukung dan mencegah diskriminasi, tersedianya lingkungan fisik
pendidikan yang aksesibel, tersedianya alat bantu belajar/mengajar yang sesuai,
dan biaya pendidikan yang terjangkau, yang memungkinkan setiap warga
masyarakat menggunakan kesempatannya untuk mengikuti proses
belajar/mengajar di program pendidikan yang dipilihnya. Dalam dunia pendidikan
ada tiga akses yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan kesetaraan tersebut
yakni kesetaraan akses terhadap fasilitas pendidikan, dalam peranan termasuk
pengambilan kebijakan, dan kesetaraan dalam menerima manfaat. Dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan, maka diperlukan faktor–faktor sebagai berikut :
1) Kecukupan sumber-sumber pendidikan untuk menunjang proses
pendidikan dalam arti kecukupan dalam jumlah dan mutu guru, buku teks
bagi murid dan sarana yang memadai untuk itu diperlukan peningkatan
anggaran pendidikan.
13
2) Kualitas manajemen sekolah harus ditingkatkan.
3) Alokasi anggaran lebih diprioritaskan untuk berbagai penyuluhan yang
berlangsung menyentuh kebutuhan PBM.
4) Adanya kompetensi lulusan dengan kompetensi kebutuhan tenaga kerja
maka perlu dikembangkan budaya mencari kerja menjadi budaya pencipta
kerja.
5) Peran serta masyarakat perlu ditingkatkan dalam penyelenggaraan
pendidikan antara lain dengan mengembangkan mekanisme kerja sama
saling menguntungkan bagi peserta didik, lembaga pendidikan,
masyarakat dan dunia usaha.
6) Untuk menjembatani kesenjangan dalam kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu dengan melakukan restrukturisasi penerimaan
dan pengeluaran pendidikan menjadi salah satu prioritas utama yang harus
dilakukan.
7) Pendidikan dasar merupakan tahapan yang kritis dan awal yang baik
dalam upaya pembentukan watak dan kualitas SDM maka diadakan wajib
belajar 9 tahun.
c. Pendidikan Multikultural
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu
pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang
heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan.
Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan
demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan
menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model
pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran,
termasuk revisi buku-buku teks. Namun, pendidikan multikultural tidak sekedar
merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem
pembelajaran itu sendiri.
14
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di
Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan
Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi,
yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar,
dan (3) transformasi masyarakat.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan
(education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural
dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai
pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi
bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di
kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin
banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah
seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan-
kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi
mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik
sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik
mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang
relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus
dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam
konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami
para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan
kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik
mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai
kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan
baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah
memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk
mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap
tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas
15
kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan
bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan
secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam
beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh
situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam
maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam
beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari
konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi
semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan
diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan
multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini
mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk
menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
d. Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Kesetaraan pendidikan tersebut juga berfokus pada anak berkebutuhan
khusus (Meyer, Jill ddk, 2005). Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya mengalami
kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional), sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Direktorat Pendidikan Luar Biasa
dalam Mangunsong, 2010). Penyimpangan yang dimaksud dalam definisi tersebut
yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, lamban belajar, berbakat,
tunalaras, gangguan komunikasi, ADHD, dan autisme (Mangunsong, 2009).
Anak Berkebutuhan Khusus pada awalnya dikenal sebagai Anak Luar
Biasa (ALB) sehingga pendidikannya juga dikenal sebagai Pendidikan Luar
Biasa (PLB), dimana UU No. 2 tahun 1989 pasal 8 ayat 1 menegaskan bahwa
“Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh
16
pendidikan luar biasa.” Pada masa itu lembaga pendidikannya juga dikenal
sebagai Sekolah Luar Biasa (SLB).
Perkembangan selanjutnya dalam bidang pendidikan pasal 5 ayat 2 UU
No. 20 Tahun 2003 mengganti istilah Pendidikan Luar Biasa menjadi Pendidikan
Khusus dengan menjamin bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus.” Selain itu ayat 4 juga menjamin bahwa “Warga negara yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.”
Jadi kelainan ditinjau dari kekurangan dan kelebihannya.
Selanjutnya lembaga pendidikan bagi ABK dapat kita pahami atas dasar
UU No. 20 tahun 2003 Pasal 15 yakni Jenis pendidikan mencakup pendidikan
umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Sedangkan
pasal 32 ayat 1 UU No. 20 Th 2003 menegaskan bahwa. “Pendidikan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”
Oleh karena itu, sebagai lembaga pendidikan jalur pendidikan formal
jenjang PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, maka lembaga
pendidikan dalam koridor pendidikan khusus untuk semua jenjang harus
berpedoman pada UU No. 20 Tahun 2003. Dari segi lembaga dan jenjang
Pendidikan Khusus meliputi Jenjang PAUD adalah TKLB, Jenjang Pendidikan
Dasar adalah SDLB dan SMPLB, sedang untuk jenjang Pendidikan Menengah
adalah SMALB.
Selanjutnya secara teknis operasional pendidikan khusus diatur dengan
Permendiknas No. 01 tahun 2008 tentang Standar Operasional Pendidikan Khusus
yang secara sederhana dapat dipahami sbb :
1) Pengelompokan siswa adalah bagian A untuk siswa Tunanetra, bagian B
untuk siswa Tunarungu, bagian C untuk siswa Tuangrahiata ringan, Bagian
C1 untuk siswa Tunagrahita sedang, Bagian D untuk siswa Tunadaksa,
bagian D1 untuk siswa Tunadaksa sedang dan bagian E untuk anak
Tunalaras.
17
2) Pengelolaan kelas diatur untuk jenjang TKLB dan SDLB maksimum 5 anak
per kelas, dan untuk SMPLB dan SMALB 8 anak perkelas.
3) Kurikulum yang diterapkan adalah KTSP dalam bentuk kurikulum jenjang
TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB masing-masing untuk bagian A, B, C,
C1, D, D1 dan E
4) Pembelajaran bersifat individual.
5) Pembagian tugas untuk jenjang TKLB dan SDLB adalah guru kelas, sedang
untuk SMPLB dan SMALB sebagai guru matapelajaran.
6) Persyaratan untuk menjadi guru pada TKLB dan SDLB diharuskan
berijazah S1 (sarjana) Pendidikan Khusus (PK) atau Pendidikan Luar Biasa
(PLB), sedang untuk guru SMPLB dan SMALB dapat S1 PK / PLB atau S1
mata pelajaran yang diajarkan di SMPLB dan SMALB.
Selain diadakannya pendidikan khusus, pemerintah juga mulai
menerapkan pendidikan inklusi bagi ABK. Pendidikan inklusi adalah
termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian
mengenai pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi
merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem
pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi
setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang
ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan
lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan
anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal)
untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Selama ini anak- anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel)
disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis
difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak
disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi
anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama
ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak
difabel dengan anak-anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di
masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari
18
dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan
kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa
keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan
masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam
menyuarakan hak-haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan
inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya
sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with
Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada
pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban
untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan
pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong
terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun
dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan
persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam
hal ini para guru.
Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan
perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah
inklusi merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa
berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap
anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi
spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek social dan emosional.
Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang
kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki
kepedulian. Di samping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa
berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa merasa terganggu
sedikitpun.
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat
yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusi (inclusive
society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan
menjunjung tinggi nilai–nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas
19
kehidupan. Pemerintah melalui PP No.19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem
pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang
melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang
mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik
dengan kebutuhan khusus.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perwujudan desegregasi di Amerika dengan adanya program
pendidikan kompensasi bagi anak dengan ekonomi rendah, pendidikan
multikultural untuk siswa dengan berbagai latar belakang budaya/etnis, dan
pendidikan inklusif bagi penyandang cacat.
Perwujudan desegregasi di Indonesia hampir sama dengan di Amerika,
terdapat penerapan pendidikan multikultural dan pendidikan inklusif.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ornstein, Allan. C., Levine Daniel. U., Gutek, Gerald. L., (2008), Foundations of Education, 11th Edition, Canada, Wadsworth.
http://abraham4544.wordpress.com/umum/problematika-pendidikan-di-indonesia/
http://pulpleblossom.blogspot.com/2011/04/persamaan-kedudukan-untuk-mendapatkan.html
http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/12/rsbi-bentuk-diskriminasi-pendidikan-456747.html
http://kampus.okezone.com/read/2013/01/14/367/745880/diskriminasi-dalam-dunia-pendidikan-indonesia
http://issnaini.blogspot.com/2012/10/makalah-diskriminasi-pendidikan.html
http://teacher-is-mydestiny.blogspot.com/2012/01/diskriminasi-dalam-dunia-pendidikan.html
http://pendidikanmultikulturalindonesia.blogspot.com/
http://syarifhidate.blogspot.com/2013/07/pendidikan-multikultural.html
http://sekolah-mandiri.sch.id/node/18
22
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................i
A. PENDAHULUAN ......................................................................................1
1. Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
2. Rumusan Masalah................................................................................... 2
B. PEMBAHASAN...........................................................................................3
1. Perwujudan Desegregasi di Amerika......................................................3
a. Pendidikan Kompensasi....................................................................3
b. Pendidikan Multikultural...................................................................4
c. Pendidikan bagi Penyandang Cacat..................................................6
2. Perwujudan Pemerataan Pendidikan di Indonesia...................................7
a. Hal-hal yang dipandang sebagai bentuk diskriminasi dalam
pendidikan.........................................................................................7
b. Upaya yang dilakukan dalam penghapusan diskriminasi.................11
C. PENUTUP .................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................22
23i