chapter ii 60 ghfgyuf

19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. STROKE II.1.1. Definisi Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi, 1999). II.1.2. Epidemiologi Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di Amerika Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah penyakit jantung dan kanker. Hampir ¾ juta individu di Amerika Serikat mengalami stroke tiap tahunnya dan dari jumlah tersebut sebanyak 150.000 (90.000 perempuan dan 60.000 laki-laki) mati akibat stroke. Di China, kira-kira 1,5 juta penduduk mati setiap tahun oleh karena stroke (Sacco dkk, 2000; Caplan, 2000). Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yang menyerang kelompok usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun Universitas Sumatera Utara

Upload: muhammad-firdauz-kamil

Post on 15-Apr-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Chapter II 60 ghfgyuf

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. STROKE

II.1.1. Definisi

Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian,

tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Kelompok Studi

Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi, 1999).

II.1.2. Epidemiologi

Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di

Amerika Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah

penyakit jantung dan kanker. Hampir ¾ juta individu di Amerika Serikat

mengalami stroke tiap tahunnya dan dari jumlah tersebut sebanyak

150.000 (90.000 perempuan dan 60.000 laki-laki) mati akibat stroke. Di

China, kira-kira 1,5 juta penduduk mati setiap tahun oleh karena stroke

(Sacco dkk, 2000; Caplan, 2000).

Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yang menyerang

kelompok usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses

patologi pada sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa

penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli,

pecahnya dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun

Universitas Sumatera Utara

kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta

komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital

maupun degeneratif, atau akibat proses lain, seperti peradangan,

aterosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus (Misbach, 1999).

II.1.3. Klasifikasi Stroke

Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas

patologi anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah)

(Misbach, 1999).

1) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

a) Stroke iskemik

i) Transient Ischemic Attack (TIA)

ii) Trombosis serebri

iii) Emboli serebri

b) Stroke hemoragik

i) Perdarahan intraserebral

ii) Perdarahan subarakhnoid

2) Berdasarkan stadium:

a) Transient Ischemic Attack (TIA)

b) Stroke in evolution

c) Completed stroke

3) Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):

a) Tipe karotis

b) Tipe vertebrobasiler

Universitas Sumatera Utara

II.2. ELEKTROKARDIOGRAFI

II.2.1. EKG NORMAL

Elektrokardiografi adalah suatu alat yang sederhana, relatif murah,

praktis dan dapat dibawa kemana-mana, tetapi harus diingat bahwa

walaupun alat ini sangat berguna, banyak pula keterbatasannya. Dalam

usaha menginterpretasikan gambaran EKG normal belum tentu

menunjukkan jantung normal, sebaliknya gambaran EKG abnormal belum

tentu menunjukkan jantung yang tidak normal (Munawar dkk, 2002).

Banyak variasi mengenai EKG normal. Faktor-faktor yang

mempengaruhi adalah habitus tubuh, sumbu listrik jantung, ukuran dada

dan keadaan lain seperti obesitas dan penyakit paru. Kriteria yang dipakai

di bawah ini hanyalah sebagai pegangan, namun diagnosis akhir apakah

jantung normal atau abnormal harus dibuat berdasarkan gambaran klinis

secara keseluruhan (Munawar dkk,2002).

Kriteria (Munawar dkk,2002)

1). Gelombang P

Positif (keatas) di sandapan I, II,aVF dan V3 –V6. Di sandapan aVR

gelombang P selalu negatif (terbalik). Sedang di sandapan II, aVL,

V1 dan V2 gelombang P sangat bervariasi. Interval PR berkisar

antara 0,11 sampai dengan 0,20 detik.

2). Gelombang Q

Gelombang Q kecil (kurang dari 0,045 detik, kurang dari ¼

gelombang R) normal terlihat di I, V5 atau V6. Terjadinya

gelombang Q ini akibat aktifitas septal. Vektor awal QRS kearah

Universitas Sumatera Utara

kanan atas dan muka. Olehkarena itu gelombang Q kecil atau

bahkan kadang-kadang tak terlihat di sandapan II, aVF dan V3. Di

sandapan III dan aVL terlihat kecil atau bahkan kadang-kadang tak

terlihat dan kadang-kadang tak terlihat cukup bermakna.

3). Gelombang R

Tergantung dari sumbu QRS. Biasanya sangat dominan di I dan II,

V5 dan V6. Di sandapan aVR, V1 dan V2 biasanya hanya kecil

atau tidak ada sama sekali.

4). Gelombang S

Tidak terlihat atau kurang dibanding gelombang R di sandapan I

atau II . Tetapi di sandapan III, aVF dan aVL biasanya lebih

menonjol atau justru tidak terlihat. Di sandapan aVR, V1 dan V2,

gelombang S terlihat lebih menonjol. Di V4-V6 kurang dibanding R.

5). Gelombang T

Positif di sandapan I, II, V3-V6. Terbalik di aVR. Di sandapan III,

aVF, aVL, V1 dan V2, gelombang T bervariasi.

6). Interval QT

Interval in akan memendek bila laju jantung bertambah cepat,

sebaliknya akan memanjang bila laju jantung lambat (interval QT

0,41 detik pada laju jantung 50/menit dan berubah menjadi 0,31

detik pada laju jantung 100/menit).

7). Segmen ST

Biasanya isoelektris. Bervariasi sampai +1 mm di sandapan

ekstremitas dan sampai 2 mm (0,2 mV) di sandapan prekordial.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. EKG normal. Dikutip dari : Mirvis D.M, Goldberger A.L 2005. Electrocardiography. In : Brauwald E. Ed. Heart Disease : Textbook of Cardiovascular Medicine . 6th. Edition. Philadelphia : W.B. Saunders Company.p. 107-118.

II.2.2. INTERVAL QT DAN DISPERSI QT

II.2.2.1. Definisi

Interval QT adalah jarak yang diukur pada rekaman EKG

permukaan , mulai dari defleksi pertama kompleks QRS sampai dengan

bagian terminal gelombang T (mm), yakni titik potong gelombang T

dengan garis isoelektrik (Okin dkk, 2000)

Dispersi QT adalah perbedaan antara interval QT maksimum dan

minimum pada rekaman EKG. (Afsar, 2003).

Dispersi QT ini merupakan marker dari adanya heterogenitas

repolasasi ventrikel. Dispersi QT dihitung dengan menggunakan

perbedaan antara nilai maksimum dan minimum interval QT. Biasanya

dispersi QT dikoreksi menggunakan rumus Bazzett’s sehingga

menghasilkan dispersi QTc(Lazar, 2008).

Universitas Sumatera Utara

II.2.2.2. Nilai Normal Interval QT dan Dispersi QT

Secara umum nilai normal interval QTc kurang atau sama dengan

440 milidetik. Beberapa studi mengemukakan bahwa nilai tersebut

mungkin dapat memanjang 20 milidetik, dan sedikit memanjang pada

perempuan. Interval QTc memanjang jika nilai QTc lebih dari 440 milidetik

(Mirvis dkk,2005).

Nilai dispersi QT sangat bervariasi, berkisar dari 10 sampai 71

milidetik pada subjek normal. Suatu studi 8455 subjek kontrol dengan usia

yang bervariasi, termasuk anak-anak yang sehat, didapatkan nilai rerata

dispersi QT berkisar dari 11 sampai 71 milidetik. Nilai yang sama juga

dilaporkan pada studi yang besar dan beberapa tinjauan kepustakaan

yang menganggap bahwa batas atas normal dari dispersi QT pada subjek

normal adalah 65 milidetik. Nilai dispersi QT lebih dari 70 milidetik

dianggap memanjang, namun nilai normal belum ada kesepakatan (Malik

dan Bathcarov, 2000)

II.2.2.3. Patofisiologi Perpanjangan Interval QT

Perpanjangan interval QT disebabkan oleh peningkatan durasi

salah satu atau lebih komponen kompleks QRS, segmen ST dan

gelombang T. Interval QTc memanjang juga merupakan penanda non-

invasif substrat aritmogenik elektrofisiologis yang berkorelasi dengan

risiko tinggi terhadap kejadian aritmia ventrikel, sinkop dan kematian

mendadak. Perpanjangan interval QTc terjadi karena sel-sel miokard lebih

Universitas Sumatera Utara

bermuatan positif selama masa repolarisasi (Tan H.L dkk,1995; Rubart M

dkk, 2001; Ramaswamy dkk, 2000).

Gelombang depolarisasi (fase 0) jaringan ventrikel disebabkan oleh

pergerakan cepat ion natrium dari ruang ekstrasel ke intrasel, suatu

proses yang dikenal sebagai arus natrium cepat. Aliran keluar ion K dan

masuknya ion Ca2+ bertanggung jawab terhadap awal repolarisasi (fase

1). Kemudian diikuti fase plato (fase 2), yang merupakan penentu utama

durasi potensial aksi. Durasi fase plato ditentukan melalui keseimbangan

aliran kation ke dalam dan keluar secara kompetitif di kanal-kanal ion.

Termasuk inaktivasi lambat kanal natrium , kanal kalsium tipe-L dan kanal

kalium. Repolarisasi (fase 3) dihasilkan dari inaktivasi arus kalsium

bersamaan dengan peningkatan arus keluar kalium. Aliran masuk dari

kanal kalium selanjutnya bertanggungjawab terhadap pemeliharaan

potensial membran istirahat (fase 4) (Gambar 1) (Tan H.L dkk,1995;

Rubart M dkk, 2001; Ramaswamy dkk, 2000).

Kanal ion Kalium tertutup, terjadi penundaan pembukaan atau

membuka dalam waktu singkat, menyebabkan penurunan arus kalium ke

luar sel. Akibatnya, repolarisasi menjadi memanjang. Menetapnya arus ion

Na+ masuk ke dalam sel, juga berakibat repolarisasi memanjang (Tan HL

dkk, 1995; Rubart M dkk, 2001). Hal inilah yang menyebabkan interval QT

memanjang dan early afterdepolarizations (EADs) . Perpanjangan

repolarisasi ini selanjutnya juga akan memperlambat inaktivasi kanal Ca2+

dan selanjutnya akan menyebabkan early afterdepolarizations (EADs)

Universitas Sumatera Utara

yang akan memicu terjadinya aritmia ventrikel (Ramaswamy dkk, 2000;

Tan HL dkk, 1995 ; Rubart M dkk, 2001 ).

Gambar 2. Hubungan antara Fase Potensial Aksi Jantung dan EKG Permukaan. Dikutip dari : Tan HL dkk. Electrophysiologic Mechanisms of The Long Interval QT Syndromes and Torsade de Pointes. Ann Intern Med 1995; 122: 701-14.

II.2.2.4. Etiologi

Perpanjangan interval QT secara etiologis dikategorikan dalam

bentuk primer dan sekunder karena berbagai penyebab antara lain (

Akhtar M , 2003; Camm dkk, 2000; Victor dkk, 2004; Silvia dkk, 2003) :

a. Kongenital (primer) :

1. Sindrom Jervell- Lange Nielsen

2. Sindrom Romano- Ward

b. Didapat (sekunder) :

1. Induksi obat : digitalis, aritmia, antibiotik, antidepresan, anti

jamur.

Universitas Sumatera Utara

2. Abnormalitas metabolik /elektrolit : hipomagnesemia,

hipokalsemia, hipokalemi.

3. Hipertensi sistemik

4. Sirosis hati

5. Gangguan pada sistem saraf pusat atau otonom.

6. Lain-lain : iskemia dan infark miokard, prolaps katup mitral

(MVP), penyakit jantung koroner (PJK), kardiomiopati,dsb.

II.2.2.5. Gambaran EKG Interval QT memanjang

Interval QT memanjang sering berhubungan dengan perubahan

morfologi gelombang T, menjadi cekung, bifasik dan terdapat komponen

lain yang menampilkan distribusi heterogen repolarisasi ventrikel. Interval

QT mencakup dua komponen yaitu depolarisasi dan repolarisasi, dan

peningkatan salah satu atau keduanya akan menghasilkan perpanjangan

interval QT (gambar 3). Gelombang T terbentuk oleh repolarisasi pada

lapisan selain miokard (epikard, endokard, miokard). Proses repolarisasi

ini meluas dari apeks hingga basis ventrikel terutama diatur oleh

pergerakan arus keluar natrium (Crows dkk, 2003; Mirvis dkk,2005)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. EKG penderita dengan perdarahan subarachnoid akut, interval QT mengalami perpanjangan (QTc =613milidetik). Dikutip dari : Mieghem C.V, Sabbe M, Knockaert D. 2004. The Clinical Value of the ECG in Noncardiac Conditions. Chest ; 125 : 1561-76.

II.3. MEKANISME PERPANJANGAN INTERVAL QT PADA STROKE

Peningkatan dispersi QT terutama sekali berkaitan dengan

inhomogenitas dari repolarisasi jantung. Akan tetapi, mekanisme dan

sistem regulasi berbeda yang mempengaruhi dispersi QT masih belum

dimengerti. (Perkiomaki dkk, 2001).

Telah lama diketahui bahwa lesi pada susunan saraf pusat dapat

menyebabkan perubahan EKG, aritmia jantung dan gangguan refleks

kardiovaskuler (Naver dkk, 1996). Dimana susunan saraf pusat

memegang peran penting dalam regulasi fungsi otonom. Batang otak,

pons, hipotalamus merupakan area utama yang berperan mengontrol

homeostasis vaskular. Tiap level otak tersebut memiliki bagian yang

terintegrasi yang berhubungan dengan pathway aferen dan eferen

Universitas Sumatera Utara

(Kuntzer dan Waeber, 1996). Hubungan ini bisa dilihat pada gambar

berikut :

Gambar 4. Dikutip dari: Kuntzer T, Waeber B, 1996. Peripheral nerve, muscle, and autonomic changes. In: Bogousslavsky, J. Caplan, L. (eds). Stroke Syndrome. pp. 200-7. Cambridge University Press. Australia.

Secara bermakna, peningkatan dispersi QT merupakan kejadian

repolarisasi dan perpanjangan otot jantung sebagai akibat

ketidakseimbangan sistem saraf simpatis dan parasimpatis . Disfungsi

sistem otonom ini akan mengarah ke repolarisasi jantung abnormal , dan

dapat menyebabkan peningkatan dispersi QTc ( Huang dkk,2004).

Abnormalitas EKG, sebagaimana nekrosis sel miokard terjadi

setelah stroke paling sering disebabkan peningkatan aktifitas saraf

simpatis yang dimediasi dari sentral. Area difus atau fokal dari nekrosis

miokard mirip seperti yang diamati pada penderita pheochromocytoma

dan konsentrasi katekolamin sangat tinggi pada sirkulasi. Overaktifitas

Universitas Sumatera Utara

parasimpatis dapat dijumpai pada beberapa penderita dengan kejadian

supresi sinus node atau blok atrioventrikuler (Kuntzer dan Waeber, 1996).

Bagaimana patologi SSP berperan pada iskemik miokard, telah ada

hipotesa bahwa injury SSP dapat menimbulkan tonus simpatis yang

berlebihan dan produksi katekolamin. Tempat yang paling penting

mengontrol susunan saraf simpatis adalah pada korteks insular, amigdala

dan hipotalamus lateral (Mieghem dkk, 2004).

Brainin dan Gugging (2005) menyatakan bahwa pada penderita

stroke akut dengan lesi pada daerah insular berhubungan dengan

disfungsi jantung seperti QT prolongation.

Pada penderita stroke, dimana ada kecenderungan terjadi

bersamaan dengan penyakit arteri koroner adalah tinggi, diyakini bahwa

peningkatan tonus simpatis menghasilkan peningkatan kebutuhan oksigen

dan kadang-kadang kerusakan miokard. Korban kecelakaan lalu lintas

dan penderita perdarahan subarakhnoid juga menunjukkan kerusakan

miokard pada keberadaan arteri koroner normal. Penelitian klinis memberi

dukungan lebih lanjut terhadap hipotesa overaktivitas simpatis. Kerusakan

miokardial dapat dihasilkan secara eksperimental dengan pemberian

secara parenteral katekolamin atau dengan stimulasi elektrik pada daerah

tertentu di otak seperti pada hipotalamus dan insula. Lesinya mirip seperti

yang ditemukan pada penderita pheochromocytoma atau pecandu kokain.

Katekolamin mungkin memberi efek toksik secara langsung pada sel-sel

miokardial atau memediasi vasokonstriksi arteri koroner yang diikuti

dengan kerusakan miokard (Mieghem dkk, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Walaupun beberapa peneliti menyatakan bahwa disfungsi jantung

berhubungan dengan abnormalitas EKG dan edema pulmonum,

mekanisme pasti yang mendasari kerusakan jantung masih belum

diketahui. Salah satu dugaan penyebabnya adalah aktivasi yang terus

menerus dari sistem saraf simpatis, yang dikarakteristikkan dengan

sekresi katekolamin yang berlebihan dari terminal saraf simpatis ke

jaringan (Masuda dkk, 2002).

Pada suatu penelitian manusia dan binatang telah diketahui bahwa

terdapat asimetris anatomi dan fungsi pada persarafan otonom jantung.

Sistem parasimpatis dan simpatis yang mensarafi jantung mempunyai

beberapa paralel, pada sisi kanan bekerja untuk nodus sinus dan pada

sisi kiri untuk nodus ventrikuloatrial dan ventrikel (Naver dkk,1998 ;

Tokgozoglu dkk, 1999 ).

Adanya bukti dari lateralisasi kortikal pada regulasi fungsi

kardiovaskular mengindikasikan bahwa iskemik pada hemisfer kanan

mempunyai konsekuensi simpatis yang lebih besar daripada hemisfer kiri

(Strittmatter dkk, 2003).

Dispersi QT digunakan sebagai faktor prognostik penderita-

penderita dengan penyakit kardiovaskuler yang beresiko untuk takiaritmia

ventrikuler dan kematian mendadak. Stroke akut diketahui akan

mengakibatkan abnormalitas EKG termasuk perpanjangan QT (Lazar,

2008).

Randell menemukan bahwa pada 26 penderita dengan perdarahan

subarakhnoid akan memanjang dispersi QT nya bila dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara

kontrol yang mempunyai aneurisma cerebral yang tidak ruptur (Randell,

1999).

Eckardt dkk, meneliti pada 40 penderita dengan stroke iskemik

hemisfer unilateral dan menemukan bahwa dispersi QT berhubungan

dengan lokasi lesi serebri (Eckardt, 1999).

Afsar dkk, juga menemukan bahwa perpanjangan nilai dispersi QT

pada 36 penderita dengan stroke akut bila dibandingkan kontrol (Afsar,

2003).

Dispersi QT memang berhubungan dengan mortalitas yang lebih

tinggi dan hasil akhir yang lebih jelek pada penyakit serebrovaskuler

(Lazar, 2008).

II.4. COMPUTED TOMOGRAPHY (CT) DAN VOLUME LESI

Sejak diperkenalkan tahun 1973, CT telah merubah pendekatan

akan diagnosa stroke. Dengan CT memungkinkan dengan jelas

membedakan iskemia otak dengan perdarahan dan menetukan ukuran

dan lokasi dari infark dan hemorhage (Furlan, 2001 ; Caplan, 2000). CT

sken tanpa kontras (Non-Contrast Computed Tomography / NCCT)

merupakan pemeriksaan radiologi rutin yang pertama di unit gawat darurat

untuk menilai penderita dengan stroke akut, dan masih tetap merupakan

pemeriksaan imejing stroke akut yang standart. Peran standart dari NCCT

dalam mendiagnosa stroke akut dengan cepat mendeteksi perdarahan

otak (Lev dkk, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Pada infark otak akut menurut standart pendidikan bahwa CT

adalah normal dalam 24 jam pertama setelah onset stroke (Furlan, 2001).

Pada iskemia, pada stadium awal sering normal atau hanya sedikit

abnormalitas. Selama hari-hari pertama onset stroke, infark biasanya bulat

atau oval dan batasnya kurang tegas. Kemudian menjadi lebih hipodense

dan gelap, dan lebih seperti baji (wedge-like) dan berbatas. Sebagian

infark yang tadinya hipodens menjadi isodens setelah minggu kedua dan

ketiga onset. Hal ini yang disebut sebagai fogging effect kadang-kadang

dapat mengaburkan lesi (Caplan, 2000).

Pantano dkk (1998) melaporkan bahwa sekitar dua pertiga

penderita ukuran infark ditegakkan dalam 24-36 jam setelah onset stroke,

sedangkan sisanya perubahan volume lesi dapat terjadi sesudah 24-36

jam pertama.

II.5. OUTCOME STROKE DAN INSTRUMEN

Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan

sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat

batasan sebagai berikut (Caplan, 2000) :.

1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis

dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi,

fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.

2. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk

berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat

Universitas Sumatera Utara

seperti : tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh

stroke.

3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita

stroke berperan sebagai manusia normal akibat ”impairment” atau

“disability” tersebut .

Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel Index dan Modified

Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah

digunakan, pengukuran yang sensitif terhadap keparahan stroke dan

memperlihatkan interrater reliability (Sulter dkk, 1999 ; Weimar dkk, 2002).

Instrumen

Dalam uji klinik Barthel Index (BI) dan Modified Rankin Scale

(mRS) merupakan skala yang sering digunakan untuk menilai outcome

dan merupakan pengukuran yang dapat dipercaya yang memberi

penilaian yang lebih objektif terhadap pemulihan fungsional setelah stroke

(Sulter dkk, 1999).

Barthel Index telah dikembangkan sejak tahun 1965, dan kemudian

dimodifikasi oleh Granger dkk sebagai suatu tehnik yang menilai

pengukuran performasi penderita dalam 10 aktifitas hidup sehari-hari yang

dikelompokkan kedalam 2 kategori yaitu (Sulter dkk, 1999) :

- Kelompok yang berhubungan dengan self-care antara lain : makan,

membersihkan diri, mandi, berpakaian, perawatan buang air besar dan

buang air kecil, penggunaan toilet.

Universitas Sumatera Utara

- Kelompok yang berhubungan dengan morbiditas antara lain : berjalan,

berpindah dan menaiki tangga.

Skor maksimum dari BI ini adalah 100, yang menunjukkan bahwa

fungsi fisik penderita benar-benar tanpa bantuan, dan nilai terendah

adalah 0 yang menunjukkan ketergantungan total (Sulter dkk, 1999).

Skala mRS lebih mengukur ketergantungan daripada performasi

aktifitas spesifik, dalam hal ini mental demikian juga adaptasi fisik

digabungkan dengan defisit neurologi. Skala ini terdiri dari 6 derajat, yaitu

dari 0-5, dimana 0 berarti tidak ada gejala dan 5 berarti cacat/

ketidakmampuan yang berat (Sulter dkk, 1999). Skala mRS adalah lebih

sensitif untuk penilaian pada penderita dengan disabilitas ringan dan

sedang (Weimar dkk, 2002). Meskipun kedua skala tersebut diatas

mudah digunakan dan dapat dipercaya, belum ada konsensus mengenai

bagaimana skala tersebut seharusnya digunakan untuk menentukan

outcome pada uji klinik (Sulter dkk, 1999).

Sulter dkk (1999) melakukan trial pada beberapa penelitian yang

menggunakan skala BI dan mRS pada stroke iskemik, dimana pada studi

Granger dkk menemukan bahwa skor 60 pada BI berhubungan dengan

pergeseran dari dependent menjadi independent. Dan skor 85

menunjukkan peralihan dari memerlukan bantuan minimal ke-tanpa

bantuan (independent).

Pengukuran National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)

untuk menilai impairment terdiri dari 12 item pertanyaan (tingkat

kesadaran, respon terhadap pertanyaan, respon terhadap perintah, gaze

Universitas Sumatera Utara

palsy, pemeriksaan lapangan pandang, fasial palsy, motorik, ataksia,

sensori, bahasa disartria, dan ekstensi/inattention). Skala ini telah banyak

digunakan pada penelitian-penelitian dalam terapi stroke akut dan

merupakan pemeriksaan standar dalam penelitian klinis. Nilai skor NIHSS

saat penderita mengalami stroke akan dapat digunakan sebagai prediksi

perawatan pada saat setelah masa akut, dimana setiap peningkatan 1

poin skor secara bermakna akan menambah lama rawatan di rumah sakit.

Ada 3 rentang skor NIHSS yang secara bermakna berhubungan dengan

perawatan penderita stroke, yaitu skor ≤ 5 (ringan) penderita dapat keluar

dari rumah sakit, skor 6-13 (sedang) penderita memerlukan rehabilitasi

dan > 13 (berat) akan memerlukan fasilitas perawatan yang lama (Meyer

dkk, 2002; Schlegel dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara

II.6. KERANGKA KONSEPSIONAL

Stroke

Peningkatan aktivitas parasimpatis Kuntzer dan Waeber, 1996

Peningkatan aktivitas simpatis Kuntzer dan Waeber, 1996 Mazuda dkk, 2002

Peningkatan produksi katekolamin Kuntzer dan Waeber, 1996 Masuda dkk, 2002

Efek toksik terhadap jantung Mieghem, 2004

Vasokonstriksi arteri koroner Mieghem, 2004

Peningkatan kebutuhan O2 Mieghem, 2004

Peningkatan tonus otot Mieghem, 2004

Repolarisasi memanjang Khechinashvili, 2002

Abnormalitas gambaran EKG Kuntzer dan Waeber ,1996 Mieghem, 2004 Familloni, 2006

Perpanjangan dispersi QT Afsar, 2003 Lazar, 2008

Luas lesi Afsar, 2003 Taschl. 2006

Tipe stroke Jain, 2004 Randell, 1999 Lazar ,2003 Familloni, 2006

Outcome : NIHSS, MRS, BI Lazar, 2003 Lazar, 2008

Lokasi lesi Eckartd, 1999 Afsar ,2003 Huang , 2004

Universitas Sumatera Utara