definisi komunikasi massa

25

Click here to load reader

Upload: mizwarilmi

Post on 12-Jun-2015

14.216 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

I. 5 (Lima) Definisi & Analisa Definisi Komunikasi

Massa

a. Menurut Bittner

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana

dikemukakan oleh Bittner (Rakhmat,seperti yang disitir Komala,

dalam karnilh, dkk.1999), yakni: komunikasi massa adalah pesan

yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar

orang (mass communication is messages communicated through a

mass medium to a large number of people). Dari definisi tersebut

dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan

media massa. Jadi sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada

khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang

dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak

menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa.

Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran,

dan televisi- keduanya dikenal sebagai media elektronik; surat

kabar dan majalah- keduanya disebut dengan media cetak; serta

media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film

bioskop.

b. Menuru Gebner

Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh

ahli komunikasi yang lain, yaitu Gebner. Menurut Gerbner (1967)

“Mass communication is the tehnologically and institutionally based

production and distribution of the most broadly shared continous

flow of messages in industrial societes”. (Komunikasi massa adalah

produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi lembaga dari

arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam

masyarakat indonesia (rakhmat, seperti yang dikutip Komala, dalam

Karnilah, dkk.1999).

Dari definisi Gerbner tergambar bahwa komunikasi massa itu

menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi.

Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas

secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya

Page 2: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

harian, mingguan, dwimingguan atau bulanan. Proses memproduksi

pesan tidak dapat dilakukan oleh perorangan, melainkan harus oleh

lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu, sehingga

komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri.

c. Menurut Meletzke

Definisi komunikasi massa dari Meletzke berikut ini

memperlihatkan massa yang satu arah dan tidak langsung sebagai

akibat dari penggunaan media massa, juga sifat pesannya yang

terbuka untuk semua orang. Dalam definisi Meletzke, komunikasi

massa diartikan sebagai setiap bentuk komunikasi yang

menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media

penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik

yang tersebar (Rakhmat seperti yang dikutip dalam Komala, dalam

Karlinah. 1999). Istilah tersebar menunjukkan bahwa komunikan

sebagai pihak penerima pesan tidak berada di suatu tempat, tetapi

tersebar di berbagai tempat.

d. Menurut Freidson

Definisi komunikasi massa menurut Freidson dibedakan dari

jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan bahwa

komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari

berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa individu

atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai

anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk

menyampaikan komuniaksi agar komunikasi itu dapat mencapai

pada saat yang sama semua orang yang mewakili berbagai lapisan

masyarakat. (Rakhmat seperti yang dikutip dalam Komala, dalam

Karlinah. 1999).

Bagi Freidson, khalayak yang banyak dan tersebar itu

dinyatakan dengan istilah sejumlah populasi, dan populasi tersebut

merupakan representasi dari berbagai lapisan masyarakat. Artinya

pesan tidak hanya ditujukan untuk sekelompok orang tertentu,

melainkan untuk semua orang. Hal ini sesungguhnya sama dengan

istilah terbuka dari Meletzke. Freidson dapat menunjukkan ciri

Page 3: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

komunikasi massa lain yaitu dengan adanya unsur keserempakan

penerimaan pesan oleh komunikan, pesan dapat mencapai pada

saat yang sama kepada semua orang yang mewakili berbagai

lapisan masyarakat. Karena dalam proses komunikasi massa ada

sifat keserempakan dalam penerimaan pesan.

e. Menurut Wright

Wright mengemukakan definisinya sebagai berikut: “This new

form can be distinguished from older types by the following major

characteristic: it is directed toward relatively large, heterogeneus,

and anonymous audiences; messages aretransmitted publicly,

often-times to reach most audience member simultaneously, and

are transeint in character; the communicator tends to be, or to

operate whitin, a complex organization thet may involve great

expense” (Rakhmat seperti yang dikutip dalam Komala, dalam

Karlinah. 1999).

Menurut Wright, bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari

corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama sebagai

berikut: diarahkan pada khalayak yang relatif besar, heterogen dan

anonim; pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat

mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas

(khusus untuk media elektronik, seperti siaran radio siaran dan

televisi).

Seperti halnya Gerbner yang dikemukakan bahwa komunikasi

massa itu akan melibatkan lembaga, maka Wright secara khusus

mengemukakan bahwa komunikator bergerak dalam organisasi

yang kompleks.

Analisa Teori Komunikasi Massa

Menyimak berbagai definisi massa yang dikemukakan para

ahli komunikasi , nampaknya terdapat sedikit perbedaan yang

mendasar atau prinsip, bahkan definisi-definisi itu satu sama lain

saling melengkapi. Hal ini telah memberikan gambaran yang jelas

mengenai pengertian komunikasi massa. Bahkan, secara tidak

langsung dari pengertian komunikasi massa dapat diketahui pula

Page 4: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

ciri-ciri komunikasi massa yang membedakannya dari bentuk

komunikasi lainnya.

Hal ini dapat kita analisa dari dua definisi Teori Komunikasi

Massa menurut Gebner dan Wright :

Gebner Wright

Proses memproduksi pesan tidak dilakukan perorangan tetapi oleh lembaga

komunikator bergerak dalam organisasi yang kompleks (menyangkut berbagai pihak yang terlibat dalam proses komunikas massa, mulai dari menyusun pesan sampai pesan diterima oleh komunikan).

Produk disebarkan secara terus-menerus dalam jarak waktu yang tetap (harian, mingguan, dwimingguan atau bulanan )

pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas

komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri.

Penggunaan seperangkat alat teknologi dengan sendirinya menyebabkan komunikasi massa itu membutuhkan biaya relative besar

Dari perbedaan definisi teori Komunikasi Massa antara

Gerbner dan Wright kita dapat menarik kesimpulan bahwa Gebner

mengungkapkan definisi komunikasi secara umum sedangkan

definisi komunikasi massa yang dikemukakan Wright ini merupakan

definisi yang lengkap, yang dapat menggambarkan karakteristik

momunikasi massa secara jelas.

Wright menjelaskan secara terperinci tentang Organisasi

komplek yang menyangkut berbagai pihak yang terlibat dalam

proses komunikas massa, mulai dari menyusun pesan sampai pesan

diterima oleh komunikan. Misalkan, bila pesan disampaikan melalui

media cetak (majalah dan surat kabar), maka pihak yang terlibat

diantaranya adalah pemimpin redaksi, editor, layout man, editor,

dan korektor. Sedangkan bila pesan disampaikan melalui media

Page 5: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

elektronik radio siaran, maka pihak yang terlibat diantaranya adalah

penyiar dan operator. Bila pesan disampaikan melalui media

televisi, maka pihak yang terlibat akan lebih banyak lagi, seperti

camera man, floor man , lighting man, pengarah acara, sutradara,

operator, dan petugas audio. Penggunaan seperangkat alat

teknologi dengan sendirinya menyebabkan komunikasi massa itu

membutuhkan biaya relative besar.

II. 3 (Tiga) Teori komunikasi Massa

Pembahasan berikut ini adalah teori komunikasi massa yang

bernuansa teori efek media (theories of media effects). Menurut

Straubhaar dan LaRose (2000), disamping mengkaji tentang apa

saja efek media terhadap manusia, para peneliti juga membuktikan

bagaimana peranan media terhadap manusia secara psikis.

a. Teori Peluru atau Jarum Hipodermik

Teori peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi

massa oleh para pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula

hypodermic needle theory (teori jarum hipodermik). Teori ini

ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleideskop

statsiun radio siaran CBS di Amerika berjudul the Invansion from

Mars (Effendy.1993: 264-265).

Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan

yang sangat perkasa, dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu

apa-apa. Teori ini mengasumsikan bahwa seorang komunikator

dapat menembak peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada

khalayak yang tidak berdaya (pasif). Pengaruh media sebagai

hypodermic injunction (jarum suntik) didukung oleh munculnya

kekuatan propaganda Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia

II (1939-1945).

Teori peluru yang dikemukakan Wilbur Schram pada tahun

1950-an ini kemudian dicabut kembali tahun 1970-an, dengan

memintakepada para pendukungnya untuk menganggap teori ini

tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu

Page 6: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

ternyata tidak pasif. Pernyataan Schramm ini didukung oleh Paul

Lazarsfeld dan Raymond Bauer.

Lazarsfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru

komunikasi, mereka tidak jauh terjerembab, karena kadang-kadang

peluru tersebut tidak menembus. Adakalanya pula efek yang timbul

berlainan dengan tujuan si penembak. Seringkali pula khalayak

yang dijadikan sasaran tidak pasif. Mereka secara aktif mencari

yang diinginkannya dari media massa. Jika menemukannya, mereka

melakukan interpretasi sesuai dengan predisposisi dan kebutuhan

mereka.

Sejak tahun 1960-an banyak penelitian yang dilakukan para

pakar komunikasi yang ternyata tidak mendukung teori peluru tadi.

Kemudian muncul teori limited effect model atau model efek

terbatas, sebagai hasil penelitian Hovland yang dilakukan dengan

menayangkan film bagi tentara. Hovland mengatakan bahwa pesan

komunikasi efektif dalam menyebarkan informasi, bukan dalam

mengubah perilaku. Penelitian Cooper dan Jahoda pun menunjukkan

bahwa persepsi selektif dapat mengurangi efektivitas sebuah pesan.

Penelitian Lazarsfield dan kawan-kawan terhadap kegiatan

pemilihan umum menampakkan bahwa hanya sedikit saja oramh-

orang yang dijadikan sasaran kampanye pemilihan umum yang

terpengaruh komunikasi massa.

b. Teori Divusi Inovasi

Model difusiinovasi akhir- akhir ini banyakl digunakan sebagai

pendekatan dalam komunikasi pembangunan, terutama dinegara-

negara sedang berkembang seperti Indonesia atau dunia ketiga.

Tokohnya Everett M. Rogers mendefinisikan difusi sebagai proses

dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu

dalam jangka waktu tertenti di antara para anggota suatu sistem

social. Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan

dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Sedangkan

komunikasi didefinisikan sebagai proses dimana para pelakunya

Page 7: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

menciptakan informasi dan salaing bertukar informasi tersebut

untuk mencapai pengertian bersama. Di dalam pesan terdapat

ketermasaan(newness) yang memberikan cirri khusus kepada difusi

yang menyangkut ketakpastian (uncertainty). Derajat

ketidakpastian seseorang akan dapat dikurangi dengan jalan

memperoleh informasi (lihat Effendy. 1993; Severin dan Tankard.

1988; mcQuail dan Windahl.1993, Liliweri.1991).

Unsur utama difusi adalah (1) inovasi, (2) yang

dikomunikasikan melalui saluran tertentu, (3) dalam jangka waktu

tertentu, (4) Diantara para anggota suatu system social. Inovasi

adalah suatu ide, karya atau objek yang dianggap baru oleh

seseorang. Ciri-ciri inovasi yang dirasakan oleh para anggota suatu

system social menentukan tingkat adopsi: (1) relative advantage

(keuntungan relatif), (2) compatibility (kesesuaian), (3) complexity

(kerumitan), (4) triability (kemungkinan dicoba), (5) observability

(kemungkinan diamati).

Relative advantage adalah suatu derajat dimana inovasi

dirasakan lebih baik daripada ide lain yang menggantikannya.

Derajat keuntungan relatif tersebut dapat diukur secara ekonomis,

tetapi faktor prestasi social, kenyamanan dan kepuasan juga

merupakan unsure penting. Compatibility adalah suatu derajat

dimana inovasi dirasakan ajeg atau konsisten dengan nilai-nilai

yang berlaku, pengalaman dan kebutuhan mereka melakukan

adopsi. Complexity adalah mutu derajat dimana inovasi dirasakan

sukar untuk dimengerti dan dipergunkan. Trialability adalah mutu

derajat dimana inovasi dieksperimentasikan pada landasan yang

terbatas. Observability adalah suatu derajat dimana inovasi dapat

disaksikan oleh orang lain.

Umumnya aplikasi komunikasi massa yang utama berkaitan

dengan proses adopsi inovasi (hal-hal/nilai baru). Hal ini sangat

relevan baik pada masyarakat sedang, berkembang maupun

masyarakat yang sudah maju. Kondisi perubahan social dan

teknologi dalam masyarakatmmelahirkan kebutuhan yang dapat

Page 8: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

menggantikan metode lama dengan metode baru. Semua itu

menyangkut komunikasi massa karena berada dalam situasi dimana

perubahan potensial bermula dari riset ilmiah, dan kebijaksanaan

umum yang harus diterapkan oleh masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, sasaran dari upaya difusi inovasi

adalah para petani dan anggota masyarakat pedesaan. Usaha-

usaha difusi inovasi pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada

tahun 1920-an dan 1930-an, dan sekarang menjadi gambaran bagi

program-program pembangunan di negara yang sedang

berkembang. Usaha-usaha ini tidak hanya berhubungan dengan

masalah pertanian saja tetapi juga dengan masalah kesehatan ,

social politik. Jauh sebelum ada pemikiran tentang pengujian

pengaruh antarpribadi dalam riset komunikasi massa, usaha-usaha

ini telah dipraktikan oleh ahli sosiaologi pedesaan dan agen-agen

perubahan (Katz, 1960 dalam Dennis McQuail, pada Betty, dalam

Karlinah, dkk.1999).

Everett M. Rogers dan Floyd G. Shoemaker mengemukakan

bahwa teori difusi inovasi dalam prosesnya ada 4 (empat) tahap,

yaitu: pengetahuan, persuasi, keputusan dan konfirmasi.

1. Pengetahuan : Kesadaran individu akan adanya inovasi

dan pemahaman tertentu tentang

bagaimana inovasi tersebut berfungsi.

2. Persuasi : Individu membentuk sikap setuju atau tidak

setuju terhadap inovasi.

3. Keputusan : Individu melibatkan diri pada aktivitas

yang mengarah pada pilihan untuk

menerima atau menolak inovasi.

4. Konfirmasi : Individu mencari penguatan (dukungan)

terhadap keputusan yang telah dibuatnya,

tapi ia mungkin saja berbalik keputusan

yang telah dibuatnya, tapi ia mungkin saja

berbalik keputusan jika ia memperoleh isi

Page 9: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

pernyataan yang bertentangan (McQuail,

1985: 61).

c. Teori Pembelajaran Sosial

Selama beberapa tahun kesimpulan Klapper dirasakan kurang

memuaskan. Penelitian dimulai lagi dengan memakai pendekatan

baru, yang dapat menjelaskan pengaruh media yang tak dapat

disangkal lagi, terutama televisi terhadap remaja.Muncullahteori

baru efek media massa yaitu social learning theory (teori

pembelajaran social). Teori ini diaplikasikan pada perilaku

konsumen, kendati pada awalnya menjadi bidang penelitian

komunikasi massa yang bertujuan untuk memahami efek terpaan

media massa. Berdasarkan hasil penelitian Albert Bandura, teori ini

menjelaskan bahwa pemirsa meniru apa yang mereka lihat di

televisi, melalui suatu proses observational learning (pembelajaran

hasil pengamatan). Klapper menganggap bahwa “ganjaran” dari

karakter TV diterima mereka sebagai perilaku antisocial, termasuk

menjadi toleran terhadap perilaku perampokan dan kriminalitas,

menggandrungi kehidupan glamour seperti di televisi.

Contoh Teori Pembelajaran Sosial dalam Iklan

“Citra, Iklan dan Gender”

Teori Pembelajaran sosial dapat kita gunakan untuk

membandingkan iklan zaman dulu dengan iklan sekarang yang

sangat menonjolkan perbedaan nilai social. Secara umum, citra

perempuan dalam iklan yang ditayangkan media massa di Indonesia

saat ini jelas menempatkan tubuh sebagai pusat makna. Sebagai

gambaran bagaimana bergesernya pusat pencitraan menuju tubuh,

lihatlah sebuah iklan yang pernah terbit pada surat kabar Star

Weekly pada tahun 50-an mengenai bir, yakni iklan “Java Bier”.

Page 10: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

Ditilik dari mereknya terlihat upaya untuk melakukan “pribumisasi”

dari produk yang datang dari Barat itu.

Dalam iklan ini terdapat gambaran kehidupan sebuah

keluarga pribumi. Sang ayah duduk santai (mungkin sedang

menikmati leisure time) di beranda rumah yang teduh dan nyaman

mengenakan jas dan kopiah membaca surat kabar, sementara sang

(perempuan) istri dengan pakaian kebaya (Jawa) datang

menyuguhkan segelas bir. Dua anak laki-laki dan perempuan berdiri

bermain boneka di dekat mereka. Di samping gambar tersebut

terdapat gambar orang minum bir dengan kalimat;”Orang tegap

dan koeat minoem Java Bier”. Di bawah gambar terdapat teks

dengan judul “Satoe Bapa Jang Gagah”, diikuti uraian;”Sehat dan

koeat, oelet bekerdja, telah membikin ia dapat mentjapai

kedoedoekan jang baik, hingga dia poenja kaloewarga boleh bangga

atas ini bapa jang gagah. Orang-orang jang begitoe koeat dan

dikagoemi minoem selamanja: Java Bier”.

Yang luar biasa dari iklan ini adalah terdapat kesan atau citra

bahwa seolah-olah bir sudah menjadi minuman sehari-hari seperti

kopi, teh atau yang lain. Ini terlihat dari sikap sang istri yang

menyuguhkan minuman tersebut dengan ekspresi santai. Sebuah

citra tentang keluarga yang damai, dengan dua anak yang masih

kecil, ditambah cara menikmati waktu senggang yang maju dan

modern, dengan bir. Citra tersebut tidak ditampilkan dengan bahasa

yang rumit. Kekuatan pesan antara teks tulisan dan ilustrasi relatif

seimbang dan saling menunjang. Selanjutnya, citra yang tidak

memungkinkan ditampilkan lewat kata-kata, yang jika harus

diuraikan akan terlalu panjang dan bertele-tele, diambil alih oleh

ilustrasi. Proposisi dalam teks tulisan juga sangat koheren: bahwa

bapak yang sehat dan kuat, ulet bekerja, pada akhirnya akan

mendapat kedudukan yang layak, patut dihormati dan dikagumi.

Orang-orang semacam inilah yang minum “Java Bier”.

Page 11: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

Pada iklan tersebut rupanya citra tentang “kejantanan” masih

dinyatakan secara implisit alias tidak terang-terangan. Pusat citra

adalah sang suami yang gagah karena minum bir. Sementara

perempuan dicitrakan sebagai istri yang baik karena memahami

citra kegagahan itu dengan menyuguhkan bir. Di situ terdapat citra

tradisional mengenai perempuan dan laki-laki. Sebagai bagian

budaya maskulin, budaya macho, iklan tersebut merumuskan

konsep kejantanan dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam

kehidupan keluarga. Dalam iklan tersebut keperkasaan dicitrakan

dengan keberhasilan sang bapak yang mencapai kedudukan bagus

dalam masyarakat dan dalam pekerjaannya sehingga bisa menjadi

kepala keluarga yang sukses. Di situ, tubuh belum memainkan

peran sentral dari pencitraan.

Bandingkan dengan iklan bir zaman sekarang yang secara

terang-terangan mengekplorasi citra “kejantanan” dan “keseksian”

sebagai pusat citra, yakni dengan menggunakan citra perempuan

melalui tubuhnya dalam konotasi seksual. Perempuan dalam iklan

bir zaman sekarang dicitrakan sebagai bentuk libidinal alias makna

dalam hubungan laki-laki perempuan dalam bentuk pesona seksual.

Contoh lain, pada tahun 1941 dalam Almanak Bale

Poestaka (Volksalmanak Djawi) terbit iklan sabun mandi

Lifebuoy. Seperti iklan “Java Bier”, iklan ini juga menampilkan citra

laki-laki “perkasa” dengan aksentuasi yang sedikit karikatural.

Ilustrasi iklan tersebut menggambarkan seorang laki-laki berjas,

bersarung dan lagi-lagi memakai kopiah, duduk diapit dua

perempuan dengan rambut diikat di belakang memakai baju

“modern” dengan kain panjang khas “pribumi”. Si laki-laki

tersenyum bangga, percaya diri dan sedikit sombong menghisap

sebatang rokok. Gadis yang satu menyalakan api untuk si laki-laki,

sedangkan gadis yang satunya menyodori segelas minuman,

sementara ada dua laki-laki di belakangnya kelihatan melotot

terkagum-kagum. Di bawahnya terdapat uraian;”Kanapa si Amat

Page 12: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

ditjintai oleh gadis-gadis? Kanapa gadis-gadis soeka melajankannja?

Karena ia tjantik parasnja…Karena ia haroem baoenja…Sebab…ia

senantiasa mandi dengan Lifebuoy”.

Dalam iklan tersebut, pusat pencitraan adalah laki-laki, atau

lebih tepatnya tubuh laki-laki sebagai simbol kegagahan. Pusat

pencitraan tidak terletak pada tubuh perempuan. Bandingkan

dengan iklan sabun mandi Lifebuoy zaman sekarang yang

menyandarkan acuan citra pada kondisi ideal dari sebuah keluarga.

Atau bandingkan dengan mayoritas iklan sabun di televisi kita

sekarang dimana hampir semuanya menempatkan tubuh

perempuan sebagai pusat pencitraan.

Dari dua contoh di atas yang kemudian kita bandingkan

dengan iklan zaman sekarang, satu hal dapat ditandai, bahwa tubuh

perempuan telah menggeser tubuh laki-laki dalam proses

pencitraan sebuah produk. Pertanyaannya adalah: jika pada

tingkatan bentuk (yakni tubuh sebagai pusat pencitraan) telah

mengalami pergeseran, apakah pada tingkatan substansi juga telah

mengalami perubahan?

Pada iklan “Java Bier” dan “Lifebuoy” di atas menunjukkan

citra hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan

yang kurang lebih patriarkhis. Hubungan patriarkhis adalah

hubungan yang menegaskan perbedaan posisi antara dua pihak:

yang satu merupakan pusat yang lain pinggiran, yang satu lebih

tinggi yang lain lebih rendah, yang satu lebih kuat yang lain lemah.

Dalam konteks ini, sang pusat yang tinggi dan kuat, adalah kaum

laki-laki, sementara kaum perempuan adalah sebagai pelengkap

belaka. Laki-laki adalah sang patriarch, sementara kaum perempuan

adalah sang “hamba”. Di situ ada garis tegas perbedaan gender

antara laki-laki dan perempuan. Mula-mula, perbedaan itu ditarik

dari sumber genetis: bahwa secara biologis antara laki-laki dan

perempuan, secara fundamental memang berbeda. Tapi, kategori

Page 13: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

ini kemudian diturunkan ke bumi, ke dalam kancah kehidupan

historis, dalam budaya dan sistem sosial. Karena secara biologis

berbeda, maka secara sosial-budaya dianggap niscaya berbeda

belaka.

Dua kategori yang berbeda konteks, tiba-tiba dirancukan.

Konteks biologis disamakan dengan konteks sosial-budaya. Hal itu

kemudian juga dimantapkan dan dilegitimasi oleh nilai-nilai yang

diproduksi oleh budaya masyarakat secara terus menerus. Maka,

perempuan didefiniskan secara niscaya bahwa dia lemah,

emosional, tidak rasional, sensitif, tidak mandiri, dan berbagai

kategori lain yang mengacu pada stereotype negatif. Perempuan

adalah makhluk kedua, semacam perhiasan atau bayang-bayang

dan ekor kaum laki-laki. Bahkan teolog besar seperti Thomas

Aquinas pun berfatwa bahwa perempuan adalah “makhluk yang

belum sempurna”. Tempatnya pun ditentukan: di dapur, mengurus

anak, memasak, ngerumpi, di atas ranjang dan bukan di kancah

politik, ekonomi, pemikiran dan seni. Tempat perempuan adalah di

wilayah domestik, karena wilayah publik adalah hak laki-laki.

Tentu, sejarah telah telanjur milik kaum laki-laki karena

mereka yang menentukan aturan, memproduksi nilai-nilai moral

tentang yang salah dan benar, menyusun penafsiran atas norma,

dan melestarikannya dengan kekuasaannya di wilayah publik.

Kebudayaaan pun cenderung mewakili kepentingan laki-laki. Hal itu

diperkuat dengan kenyataan bahwa bahasa, simbol, benda-benda,

warna, juga memiliki jenis kelamin. Walhasil, dalam kebudayaan

yang maskulin tersebut, tanpa disadari, kaum perempuan pun

kadang justru memperkuat dengan berpikir dan bertindak secara

patriarkhis. Citra maskulin menyebar di mana-mana, ditelan secara

halus melalui sistem budaya dan doktrin agama.

Maka, ketika kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari

menjadi patriarkhis, produk-produk citra pun akan mengikuti pola

Page 14: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

yang sama. Dua contoh iklan di atas menunjukkan betapa

perempuan memiliki kewajiban “mengabdi” kepada laki-laki. Pusat

kehidupan adalah kaum laki-laki. Ketika perempuan mempercantik

diri, mengelola rumah dengan baik, tujuannya adalah “memuaskan”

laki-laki. Gadis-gadis soeka melajankan Si Amat, karena Si Amat

adalah tujuan citra, apalagi setelah menggunakan sabun Lifebuoy.

III. Fenomena Komunikasi Massa

“Wacana Kapitalis dan Citra Perempuan dalam Iklan di

televisi”

Studi kasus Iklan Hemaviton (iklan obat suplemen)

Tak dapat dimungkiri perempuan adalah salah satu sasaran

dan medan utama dalam arus pencitraan dalam iklan. Berbagai

telaah para pakar mengenai kapitalisme dan masyarakat konsumer

menunjukkan bahwa perempuan adalah salah satu teks utama.

Artinya, budaya konsumer cenderung identik dengan eksplorasi dan

eksploitasi yang mengarah pada kaum perempuan, lebih spesifik,

pada tubuh perempuan. Tubuh perempuan diolah, dibajak,

dipotong-potong sedemikian rupa sebagai komoditas sekaligus

sebagai penyerap dan konsumen utama.

Dan dalam beberapa hal, konsep baru mengenai kecantikan

dalam budaya konsumer itu juga telah menyediakan berbagai

pilihan citra yang semakin banyak sehingga membuka kemungkinan

yang nyaris tak terbatas dalam membangun identitas baru

Page 15: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

mengenai eksistensi. Artinya, telah terbuka semacam proses

demokratisasi atas citra diri kaum perempuan.

Dalam masyarakat tradisional (di Indonesia), perempuan

cenderung tak memiliki banyak pilihan untuk merumuskan eksitensi

dan citra dirinya karena masih terbelenggu oleh nilai-nilai normatif

yang harus diterima secara sosio-kultural dan sosio-religius yang

dianut secara doktriner. Ketika datang modernitas dan globalisasi

acuan citra diri dalam masyarakat tradisional itu kemudian

mengalami pelapukan sehingga citra lama secara niscaya lenyap

dan kemudian citra baru yang disediakan oleh pasar siap

menggantikannya.

Tapi justru pada titik inilah muncul paradoks: di satu pihak,

perempuan bisa melepaskan diri diri dari belenggu tradisionalitas

sembari mendapatkan kebebasan memilih citra, tapi di lain pihak,

diam-diam dia telah menjadi korban dari ekspansi pasar.

Perempuan adalah penguasa citra, terutama melalui tubuhnya, tapi

pada saat yang sama sekaligus menjadi korban utamanya.

Keterlibatan perempuan dalam dunia iklan telah mengarahkan

perempuan yang lain terlibat dalam arus kapitalisme. Dalam

kaitannya dengan relasi gender, penyebarannya dan sosialisasi

budaya konsumen melalui iklan di media massa telah mengabaikan

bahkan mengeluarkan ide tentang kesetaraan gender.

Dalam iklan Hemaviton di televisi kita yang menggambarkan

bagaimana seorang perempuan yang wajib mengonsumsi kapsul itu

jika ingin memuaskan pasangannya. Atau iklan obat suplemen yang

menampilkan tokoh laki-laki yang perkasa di atas ranjang, tapi

bukan untuk “mengabdi” kepada istri atau pacar, melainkan untuk

mengukuhkan “kelaki-lakiannya”.

Fungsi tubuh telah bergeser dari fungsi

organis/biologis/reproduktif ke arah fungsi ekonomi politik. Citra

Page 16: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

cantik dibentuk oleh media di dalam benak masyarkat secara tidak

sadar, baik melalui iklan maupun tayangan acara-acara yang

dihadirkan. Sebagian besar endorser yang digunakan dalam iklan

adalah perempuan-perempuan dengan tubuh yang langsing,tinggi

serta mempunyai paras yang cantik.

a. Komunikator

Kita sering kali tidak sadar bahwa tayangan iklan televisi

yang kita konsumsi merupakan hasil dari konstruksi atas realitas

yang pada akhirnya kita anggap sebagai suatu kebenaran yang

berlaku umum mengenai kenyataan. Penelitian yang dilakukan

Deana A. Rohlinger tentang Iklan dan Objektivikasi laki-laki

menyajikan data yang menarik bahwa laki-laki secara meningkat

merespon budaya konsumen dengan menginginkan citra

sebagaimana yang ditampilkan dalam iklan-muda, kurus dan

atraktif.

Dalam proses penyebaran konsumsi tersebut, salah satu agen

utama dari ekspansi pasar global adalah media (massa) baik cetak,

audio maupun audio- visual (televisi). Media massa itu sendiri pada

akhirnya adalah juga suatu institusi pasar dimana informasi, ide-ide,

nilai-nilai adalah komoditas yang coba didesakkan kedalam struktur

kesadaran para konsumennya. Media massa adalah agen sekaligus

produsen khusus yang dapat disebut sebagai pembentuk

infrastuktur kedua dari pasar sehingga arus informasi, ide-ide dan

nilai-nilai telah mengalami penyebaran yang semakin dahsyat dan

dapat masuk kedalam ruang-ruang pribadi setiap orang.

Keterlibatan perempuan dalam dunia iklan telah mengarahkan

perempuan yang lain terlibat arus kapitalisme. Dalam kaiatannya

dengan relasi gender, penyebarannya dan sosialisasi budaya

konsumen melalui iklan di media massa telah mengabaikan ide

tentang kesetaraan gender.

Page 17: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

Hampir semua iklan di Indonesia secara mencolok atau

samar-samar, menampilkan hubungan gender yang dominatif. Iklan

Hemaviton menunjukkan cara pikir patriarkhis secara gamblang

dan sempurna: bahwa kesalahan ada di pihak perempuan. Lebih

tepat, dalam kasus pemerkosaan, yang salah adalah jenis kelamin.

b. Pesan

Dalam iklan Hemaviton di televisi kita yang menggambarkan

bagaimana seorang perempuan yang wajib mengonsumsi kapsul itu

jika ingin memuaskan pasangannya. Atau iklan obat suplemen yang

menampilkan tokoh laki-laki yang perkasa di atas ranjang, tapi

bukan untuk “mengabdi” kepada istri atau pacar, melainkan untuk

mengukuhkan “kelaki-lakiannya”.

Citranya berbeda, tapi substansinya tetap: bahwa laki-laki

adalah pusat makna. Ketika obat itu dicitrakan dengan tubuh

perempuan, maka maknanya adalah untuk “memuaskan” sang

patriarch, tapi ketika diberlakukan pada tubuh laki-laki, maknanya

adalah penegasan keperkasaan si patriarch sehingga para “hamba”

harus memujanya. Dengan kata lain, laki-laki adalah ordinan, dan

perempuan sub-ordinan dan hubungan di antara keduanya

merupakan hubungan dominatif.

Inilah cara kerja budaya konsumsi; yakni dengan memberi

kebebasan memilih citra dengan cara menyerapnya, sehingga yang

melakukan konsumsi akan menjadi tergantung pada proses

reproduksi yang dilakukan oleh industri citra; dia tidak dapat lagi

keluar dari jerat jaring-jaring mitos yang kian meluas itu. Artinya,

pada titik ini perempuan hanya dapat memiliki tubuhnya dengan

cara menyerap sebanyak mungkin citra yang ada.

Dan dalam hal ini, kemampuan tubuh perempuan berada jauh

di atas kemampuan kaum laki-laki. Melalui citra kecantikannya,

perempuan menempatkan dirinya sebagai penguasa dunia. Lebih

Page 18: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

tepat, dengan tubuhnya, perempuan telah berhasil menundukkan

dunia yang telah jadi milik kaum laki-laki dengan kosmetik dan

fashion sebagai pusat citra yang kelak menjadi unsur utama dalam

pembentukan identitas.

c. Media

Iklan Hemaviton maka sumber data yang digunakan adalah

rekaman iklan Hemaviton yang sudah tayang di media televisi.

Adapun rekaman yang digunakan adalah rekaman master dari iklan

tersebut yang dikeluarkan oleh pihak rumah produksi melalui You-

tube.

c. Komunikannya

Tak dapat dimungkiri perempuan adalah salah satu sasaran

dan medan utama dalam arus pencitraan dalam iklan. Berbagai

telaah para pakar mengenai kapitalisme dan masyarakat konsumer

menunjukkan bahwa perempuan adalah salah satu teks utama.

Artinya, budaya konsumer cenderung identik dengan eksplorasi dan

eksploitasi yang mengarah pada kaum perempuan, lebih spesifik,

pada tubuh perempuan. Tubuh perempuan diolah, dibajak,

dipotong-potong sedemikian rupa sebagai komoditas sekaligus

sebagai penyerap dan konsumen utama.

Dan dalam beberapa hal, konsep baru mengenai kecantikan

dalam budaya konsumer itu juga telah menyediakan berbagai

pilihan citra yang semakin banyak sehingga membuka kemungkinan

yang nyaris tak terbatas dalam membangun identitas baru

Page 19: DEFINISI KOMUNIKASI MASSA

mengenai eksistensi. Artinya, telah terbuka semacam proses

demokratisasi atas citra diri kaum perempuan.

Dalam Iklan hemaviton sangat berpengaruh terhadap sudut

pandang dari komunikan tentang citra perempuan. Jadi kesimpulan

analisis dari Iklan Hemaviton ternyata pihak sub-ordinan adalah

sumber problem. Jika yang ordinan kaum laki-laki, maka yang salah

adalah kaum perempuan, begitu juga sebaliknya. Padahal, ada

sebab yang lebih substansial, bahwa problem ada pada nilai-nilai

yang telah mapan dalam sistem sosial-budayanya. Baik laki-laki

maupun perempuan sama-sama punya andil dalam memapankan

sistem nilai tersebut. (Boleh jadi, tidak sedikit kaum perempuan

yang secara tidak sadar berpikir dan bertindak lebih patriarkhis

ketimbang laki-laki).

Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung:Remaja Rosdakarya

Widyatama, Rendra. Pengantar Periklanan, Jakarta: Buana Pustaka,

2005.

Widyatama, Rendra. Bias Gender dalam Iklan Televisi, Yogyakarta: Media Presindo, 2006.

Website